BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Anti Monopoli merupakan sebuah Undang-Undang yang secara khusus mengatur persaingan dan praktek monopoli, yang sudah sejak lama dipikirkan oleh para pakar, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, serta instansi pemerintah. Sebagai contoh, misalnya Partai Demokrasi Indonesia pada tahun 1995 telah mengeluarkan gagasan tentang konsep Rancangan Undang-Undang tentang Anti Monopoli. Namun demikian, semua gagasan dan usulan tersebut tidak mendapat tanggapan yang positif, karena pada masa itu belum ada komitmen maupun political will dari elite politik yang berkuasa untuk mengatur masalah persaingan usaha. 1 Tujuan Undang-Undang Anti Monopoli ini adalah untuk memangkas praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat yang merajalela di Indonesia pada zaman pemerintah orde baru, dimana praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat tersebut banyak terjadi kebijakan pemerintah yang kerap kali menguntungkan pelaku usaha tertentu saja. 2 UndangUndang Anti Monopoli telah melewati sepuluh tahun keberadaannya di Indonesia, namun banyak kontroversi yang muncul, salah satu penyebab kontroversi tersebut adalah Undang- 1 Hikmahanto Juwana, “Menyambut Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999: Beberapa Harapan dalam Penerapannya oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha”, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999), hal. 4, dalam Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, cet.1, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 2. 2 Pelaku usaha diartikan yang luas yaitu setiap orang dan badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang ekonomi termasuk dalam pengertian pelaku usaha. Pengertian tersebut jelas tidak membedakan antara pelaku usaha asing dan domestik. Sepanjang mereka menjalankan kegiatan usahanya diwilayah hukum Republik Indonesia, mereka termasuk pelaku sebagai pelaku usaha yang dimaksud dalam Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli. Karena tidak dibedakan, badan usaha milik negara pun termasuk dalam kategori pelaku usaha, sama seperti orang perorangan atau badan usaha swasta. Lihat Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal.78. Universitas Sumatera Utara Undang Anti Monopoli kurang rinci mengatur penyelesaian perkara-perkara persaingan usaha, dan terutama peran lembaga peradilan dalam menangani keberatan terhadap Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut “KPPU”). 3 Analogi persaingan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berbisnis adalah dimana persaingan dianggap bersifat individualistik dan selalu berorientasi pada keuntungan. 4 Lembaga yang akan menjadi penjaga untuk tegaknya peraturan persaingan merupakan syarat mutlak agar peraturan persaingan dapat lebih operasional. Pemberian kewenangan khusus kepada suatu komisi untuk melaksanakan suatu peraturan di bidang persaingan merupakan hal yang lazim dilakukan oleh kebanyakan negara. Di Amerika Serikat, Departemen Kehakiman mempunyai Divisi khusus, yaitu Antitrust Division untuk menegakkan Sherman Act. Departemen kehakiman bersama-sama Federal Trade comision juga bertugas menegakkan Clayton Act, sedangkan tugas untuk menegakkan Robinson Patman Act, khususnya yang menyangkut tindakan penggabungan, peleburan, dan pengambil alihan, diserahkan kepada Federal Trade Commision. 5 Hal ini terjadi pula di Indonesia, yakni bahwa penegakkan hukum persaingan diserahkan kepada KPPU, di samping kepolisian, kejaksaan dan peradilan. Dalam kegiatan ekonomi atau bisnis adanya suatu persaingan usaha antara pelaku usaha yang satu dengan lainnya merupakan hal yang biasa terjadi. Persaingan usaha yang sehat akan berakibat positif bagi para pengusaha yang saling bersaing atau berkompetisi karena dapat menimbulkan upaya-upaya peningkatan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk yang dihasilkan. 6 Penegakan pelanggaran hukum persaingan harus dilakukan terlebih dahulu melalui KPPU. Setelah itu, tugas dapat diserahkan kepada penyidik kepolisian, 3 Siti Anisah, ”Permasalahan Seputar Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan KPPU”, Artikel dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24, 2005, hal. 16. 4 Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 10. 5 Ibid. 6 Abdul R. Saliman dan kawan-kawan, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta : Kencana, 2004), hal. 170. Universitas Sumatera Utara kemudian diteruskan ke pengadilan, jika pelaku usaha tidak bersedia menjalankan putusan yang telah dijatuhkan KPPU. 7 Istilah waralaba berakar dari sejarah masa silam praktek bisnis di Eropa. Pada masa lalu, bangsawan diberikan wewenang oleh raja untuk menjadi tuan tanah pada daerah-daerah tertentu. Pada daerah tersebut, dapat memanfaatkan tanah yang dikuasainya dengan imbalan pajak/ upeti yang dikembalikan kepada kerajaan. Sistem tersebut menyerupai royalti, seperti layaknya bentuk waralaba saat ini. 8 Ada lima syarat minimal suatu usaha dapat diwaralabakan yaitu: a) memiliki keunikan, b) terbukti telah berhasil, c) standar kualitas tetap, d) dapat diajarkan/diaplikasikan dan, e) menguntungkan. 9 Saat ini di Indonesia berkembang dua jenis waralaba yaitu: 1) Waralaba produk dan merek dagang yaitu pemberian hak izin dan pengelolaan dari franchisor kepada penerima waralaba (franchisee) untuk menjual produk dengan menggunakan merek dagang dalam bentuk keagenan, distributor atau lesensi penjualan. Franchisor membantu franchisee untuk memilih lokasi yang aman dan showroom serta menyediakan jasa orang untuk membantu mengambil keputusan “do or not”. 2) Waralaba format bisnis yaitu sistem waralaba yang tidak hanya menawarkan merek dagang dan logo tetapi juga menawarkan sistem yang komplit dan komprehenshif tentang tatacara menjalankan bisnis. Jenis waralaba yang banyak berkembang di Indonesia saat ini adalah jenis waralaba format bisnis. 10 Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik bagi franchisor maupun 7 Rachmadi Usman, Op.cit., hal. 98. Rizal Calvary Marimbo, Rasakan Dahsyatnya Usaha Franchise !, (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2007), hal. 1. 9 Ibid. 10 Herustiati dan Victoria Simanungkalit, Op.cit., hal. 2. 8 Universitas Sumatera Utara franchisee. Karenanya, dapat dilihat bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas, waralaba berkembang pesat, misalnya di AS dan Jepang. Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 Tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut dan diganti dengan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam format bisnis waralaba adalah sebagai berikut: 1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba; 2) Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba; 3) Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten; 4) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek; 5) Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang waralaba di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis waralaba jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di Indonesia, khususnya di bidang rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini dimungkinkan karena para pengusaha yang berkedudukan sebagai penerima waralaba (franchisee) diwajibkan mengembangkan bisnisnya melalui master franchise yang diterimanya dengan cara mencari atau menunjuk penerima waralaba lanjutan. Dengan Universitas Sumatera Utara mempergunakan sistem piramida atau sistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi. 11 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang berisi 22 pasal dan mengganti peraturan sebelumnya, yakni PP No 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, itu diterbitkan dengan maksud untuk menertibkan bisnis waralaba. Namun banyak kalangan pelaku usaha franchisee justru kecewa, karena PP Waralaba ini kurang mendukung keberlangsungan pertumbuhan sektor UKM. 12 Perjanjian tersebut juga harus memuat klausul nama dan alamat para pihak, jenis hak kekayaan intelektual, kegiatan usaha, hak dan kewajiban semua pihak. Juga wilayah usaha, jangka waktu perjanjian, tatacara pembayaran imbalan, kepemilikan dan ahli waris, penyelesaian sengketa, tata cara perpanjangan dan pemutusan perjanjian. Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang, proses ini tidak dipungut biaya. Menteri, gubernur, bupati, atau walikota sesuai kewenangannya dapat mengenakan sanksi adminsitratif bagi pemberi maupun penerima waralaba yang melanggar ketentuan. 13 KPPU menetapkan Keputusan No. 252 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Asosiasi Franchise Indonesia menganggap KPPU belum paham soal waralaba. Agar tidak keliru dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak 11 Ibid. “Berita Waralaba”, http://www.inilah.com/berita/2009/10/03/957/ images/beritawaralaba.swf., diakses pada 18 Januari 2010. 13 Ibid., hal. 2. 12 Universitas Sumatera Utara Sehat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan Keputusan No.57/KPPU/Kep/III/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian untuk tidak memberikan ketentuannya terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, yakni sebagaimana diatur dalam pasal 50 huruf b. Termasuk yang dikecualikan dari ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah perjanjian yang berkaitan dengan HKI antara lain menguasai lisensi. Namun, menurut A. Junaidi, Direktur Komunikasi KPPU menganggap dalam praktek terdapat perjanjian yang terkait dengan waralaba yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Keadaan yang demikian tentunya tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 50 huruf b. Menyadari hal tersebut, maka penerapan ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf b UndangUndang No. 5 Tahun 1999 perlu diterapkan secara hati-hati dan bijaksana, sehingga tidak menyimpang dari tujuan pembentukan Undang-Undang tersebut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, antara lain untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif. 14 Dengan demikian, perjanjian yang dikecualikan adalah perjanjian yang mengatur sistem waralaba dan pengalihan hak lisensi dari pemberi kepada penerima waralaba. Sedangkan tentang perjanjian yang dapat menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, walaupun berkaitan dengan waralaba, tidak termasuk yang dikecualikan. Oleh karena itu, jika dalam perjanjian yang berkaitan dengan waralaba terdapat unsur yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak 14 Ibid. Universitas Sumatera Utara sehat, maka ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dapat diterapkan terhadap pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut. Dalam perjanjian, biasanya pemberi waralaba menetapkan berbagai persyaratan kepada penerima waralaba yang dimaksudkan untuk menjaga ciri khas usaha, standar pelayanan, dan barang dan/atau jasa yang dipasarkan. Persyaratan yang demikian biasanya untuk menjaga HKI dan konsep waralaba itu sendiri sehingga dapat dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Namun, dalam praktek berbagai persyaratan perjanjian waralaba sering memuat klausula yang dapat menghambat atau memberikan batasan kepada penerima waralaba dalam menjalankan usahanya, sehingga berpotensi menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal terdapat persyaratan yang demikian, maka perjanjian waralaba tersebut tidak dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. 15 Selain itu perlu disadari juga bahwa dalam perjanjian waralaba dapat pula mengandung ketentuan atau klausul yang berpotensi menghambat persaingan, seperti penetapan harga jual, pembatasan pasokan, keharusan untuk membeli produk lain yang tidak terkait dengan waralaba dari pemberi waralaba, pembagian wilayah, dan larangan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama setelah berakhirnya perjanjian waralaba. Klausul yang demikian berpotensi bertentangan dengan pencapaian tujuan UndangUndang No. 5 Tahun 1999 yang menginginkan adanya efisiensi, kesempatan berusaha yang sama bagi seluruh pelaku usaha, dan pengembangan teknologi. Pedoman KPPU Pasal 50 huruf b ini ternyata tidak serta merta dapat diterima begitu saja oleh kalangan usaha. Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang 15 Ibid. Universitas Sumatera Utara Sukandar mengatakan, sebaiknya KPPU tidak terburu-buru mengambil suatu sikap bila tidak menguasai masalah. 16 Banyak kritik atas Pedoman KPPU tersebut. Misalnya mengenai penentuan harga (price fixing). Menurutnya, selama ini pemberi waralaba umumnya menganjurkan suatu harga yang direkomendasikan (recomended price). Dasar dari recommended price adalah cara menghitung harga pokok suatu barang. Selama ini, semua pemberi waralaba selalu memberitahukan hal itu kepada penerima waralaba. Jadi, itu tidak ada kaitannya dengan price fixing yang curang. 17 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk atas amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 memuat ketentuan yang melarang berbagai bentuk kegiatan usaha yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yaitu perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan penyalahgunaan posisi dominan. Di samping berbagai bentuk larangan tersebut, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur pula mengenai ketentuan pengecualian terhadap berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 50 dan ketentuan Pasal 51 tentang Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang diberi wewenang atau hak khusus dalam melakukan kegiatan usahanya. 18 16 Ibid. Ibid. 18 Ricky Alqodri, Pengecualian pasal 50 huruf b Undang-Undang anti Monopoli, (Medan : Bisnis, 4 November 2006), hal. 5. 17 Universitas Sumatera Utara Salah satu pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b, yaitu tentang perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, akan sulit diterapkan apabila tidak dipahami maksud pengaturan ketentuan tersebut dan penerapannya. Memperhatikan hal tersebut maka Komisi sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Pasal 35 huruf f Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyusun dan menetapkan Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 huruf b, khususnya tentang pengecualian terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. : 57/KPPU/Kep/III/2009 tanggal 12 Maret 2009. Pedoman diharapkan dapat memberikan kejelasan bagi siapapun, terutama bagi pelaku usaha dan bagi KPPU dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Komentar, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan guna penyempurnaan Pedoman ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi semua pihak terkait. Perkembangan jenis usaha dalam bentuk waralaba di Indonesia telah mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang, antara lain di bidang makanan siap saji (fast food), jasa konsultasi, minimarket, jasa kesehatan, rekreasi dan hiburan, serta sistem pendidikan. Perkembangan jenis usaha dalam bentuk waralaba tidak dapat dihindari seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di era globalisasi. Terkait dengan perkembangan jenis usaha dan bentuk waralaba yang pesat tersebut, Pemerintah menyadari perlu untuk memberi ruang gerak bagi perkembangan waralaba agar masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara kondusif. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diadakan pengecualian untuk Universitas Sumatera Utara berlakunya ketentuan Undang-Undang tersebut terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b. 19 Namun perlu dipahami, dalam praktek ternyata terdapat perjanjian yang terkait dengan waralaba yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Keadaan yang demikian tentunya tidak termasuk dalam kategori sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 50 huruf b. Menyadari bahwa terdapat kemungkinan ada perjanjian yang berkaitan dengan waralaba yang dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka penerapan ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, perlu diterapkan secara hati-hati dan bijaksana sehingga tidak menyimpang dari tujuan pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3, antara lain untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif. Dengan demikian, perjanjian yang dikecualikan adalah perjanjian yang mengatur sistem waralaba dan pengalihan hak lisensi dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba. 20 Sedangkan mengenai perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat walaupun berkaitan dengan waralaba tidak termasuk yang dikecualikan. Oleh karena itu, jika dalam perjanjian yang berkaitan dengan waralaba terdapat unsur yang ternyata dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tetap dapat diterapkan terhadap pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut. Penerapan ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut pada prinsipnya sejalan 19 20 Ibid. Ibid. Universitas Sumatera Utara dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang menentukan bahwa: Dalam melaksanakan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 para pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia. Pasal 26 antara lain mengatur kemitraan dengan pola waralaba (Pasal 26 huruf c). Selanjutnya yang dimaksud dengan “berlaku hukum Indonesia” di bidang pengaturan usaha tentunya adalah Untuk tidak keliru dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Komisi menetapkan Keputusan tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 huruf b tentang Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. 21 Pedoman pelaksanaan ketentuan Pasal 50 huruf b tentang pengecualian penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disusun dengan tetap memperhatikan latar belakang, filosofi, dan tujuan dibentuknya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 2 mengatakan bahwa Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Pasal 3 menyatakan bahwa Tujuan pembentukan Undang-Undang ini adalah untuk: menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil, mencegah praktek monopoli dan atau persaingan 21 Hadi Setia Tunggal, Dasar-Dasar Pewaralabaan (Franchising), (Jakarta : Harvarindo, 2006), hal. 7. Universitas Sumatera Utara usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Dalam praktek berbagai persyaratan perjanjian waralaba sering memuat klausula yang dapat juga menghambat atau memberikan batasan kepada penerima waralaba dalam menjalankan usahanya, sehingga berpotensi menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal terdapat persyaratan yang demikian maka perjanjian waralaba tersebut tidak dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No. 5Tahun 1999. 22 Dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan penggunaan produksi dalam negeri, maka penerapan Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, khususnya tentang pengecualian terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, tetap harus memperhatikan prinsip larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, agar dapat menjamin kesempatan berusaha bagi seluruh pelaku usaha, mewujudkan iklim usaha yang kondusif sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Prinsip tersebut ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang menentukan bahwa “waralaba diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia.” Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan usaha waralaba tetap tidak boleh melanggar ketentuan yang diatur oleh Hukum Indonesia, antara lain adalah ketentuan 22 Ibid Universitas Sumatera Utara dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 23 Bukan hanya penetapan harga jual saja, tapi pembatasan pasokan, keharusan membeli produk lain, pembagian wilayah dan termasuk larangan melakukan kegiatan usaha yang sama meski perjanjian waralaba sudah berakhir juga berpotensi menghambat persaingan. Berdasarkan pasal 50 huruf b, perjanjian yang terkait dengan waralaba memang termasuk salah satu yang dikecualikan dari penerapan Undang-Undang No 5 tahun 1999. Tapi dalam perjanjian waralaba tidak tertutup kemungkinan mengandung ketentuan/klausal yang berpotensi menghambat persaingan, seperti penetapan harga jual dan kalau itu terjadi maka hal itu tidak masuk dalam pengecualian. Dalam Pasal 50b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan yang dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Apalagi, sejumlah kebijakan pewaralaba mengarah pada praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, seperti harus membeli bahan baku dan furnitur toko dari 23 Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf b tentang Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Universitas Sumatera Utara pewaralaba, harga jual produk juga ditentukan oleh pemberi waralaba sehingga mematikan persaingan dengan terwaralaba lain. 24 Dalam penulisan Tesis ini akan dianalisis perjanjian waralaba Yayasan Pendidikan Oxford Course Indonesia untuk melihat ada atau tidaknya klausula yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dalam pelaksanaan waralaba tersebut. Berdasarkan pemikiran di atas, penulis menganggap perlu melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Terhadap Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang Berkaitan Dengan Waralaba”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dibatasi sebagai berikut: 1. Bagaimana Pengecualian terhadap Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba? 2. Hal-hal apa sajakah yang menjadi Pelaksanaan dan Pengecualian terhadap Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat? 3. Apakah perjanjian franchise (waralaba) yayasan pendidikan oxford course Indonesia telah sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf b tentang 24 Linda T. Silitonga, “Bisnis Indonesia”, http://www.disperindag-jabar.go.id/cetak.php?id=4441., diakses pada 28 November 2010. Universitas Sumatera Utara Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang berkaitan dengan Waralaba? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengecualian terhadap Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba. 2. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi Pelaksanaan dan Pengecualian terhadap Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 3. Untuk menganalisis perjanjian franchise (waralaba) yayasan pendidikan oxford course Indonesia dengan Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf b tentang Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang berkaitan dengan Waralaba. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan atau data informasi di bidang ilmu hukum bagi kalangan akademis untuk mengetahui dinamika masyarakat dan perkembangan hukum persaingan usaha serta seluruh proses mekanismenya, khususnya masalah “Analisis Terhadap Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Universitas Sumatera Utara Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba”. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan dalam hukum persaingan usaha di Indonesia. 2. Secara Praktis Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat) serta konsultan hukum persaingan usaha serta KPPU, sehingga aparat penegak hukum dan para pihak yang terlibat dalam praktek waralaba mempunyai persepsi yang sama. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Analisis Terhadap Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba”(Studi Terhadap Perjanjian Kerjasama Yayasan Pendidikan Oxford Course Indonesia)”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang persaingan usaha tidak sehat tapi jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah. F. Kerangka Teori dan Konsepsi Universitas Sumatera Utara 1. Kerangka Teori Dalam pembahasan mengenai Analisis terhadap Pengecualian Penerapan UndangUndang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang Berkaitan dengan Waralaba, teori utama yang digunakan adalah teori kedaulatan negara (staats-souvereiniteit) yang dikemukakan oleh Jean Boudin dan George Jellinek. Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur kehidupan anggota masyarakatnya. Negara yang berdaulat melindungi anggota masyarakatnya terutama anggota masyarakat yang lemah. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan ketentuan dasar yang mengatur tentang susunan perekonomian Indonesia. Dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan ketentuan dasar mengenai demokrasi ekonomi Indonesia. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang bercorak kolektivistis dengan tidak mengabaikan prinsip hak individu. Menurut W. Friedman, maka corak tersebut merupakan penggabungan kedua tuntutan antara kolektivitasme dengan individualisme. Teori-teori pendukung untuk meneliti analisis terhadap pengecualian penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba adalah sebagai berikut: Teori Pengayoman dari Soedirman Kartohadiprodjo, yang menyatakan bahwa fungsi hukum adalah pengayoman. Hukum itu mengayomi anggota masyarakat. Hukum itu melindungi manusia secara aktif dan pasif. Teori Perlindungan yang dikemukakan oleh Telders, Vander Grinten dan Molengraaf, suatu norma baru dapat dianggap dilanggar, apabila suatu kepentingan yang dimaksudkan untuk dilindungi oleh norma itu dilanggar. Teori ini menjadi pegangan yang kuat untuk menolak suatu Universitas Sumatera Utara tuntutan dari seseorang yang merasa dirugikan kepentingannya oleh suatu perbuatan melanggar hukum. Secara umum, semua orang adalah sama kedudukannya dalam hukum, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak perseorangan dilindungi oleh hukum. Hak perseorangan adalah relatif, sifat perseorangan dalam hukum perjanjian menimbulkan gejala-gejala hukum sebagai akibat hubungan hukum antara persoon dengan persoon lainnya. Konsep hukum dan teori hukum dalam sistem mendekatkan hukum pada permasalahan peran sekaligus fungsi hukum. Orang (termasuk dalam pengertian kelembagaan) dapat melakukan sesuatu kehendak melalui pemanfaatan hukum. 25 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice), Smith mengatakan bahwa “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of the justice to secure from enjury). 26 Menurut G.W. Paton, hak yang diberikan oleh hukum ternyata tidak hanya mengandung unsur perlindungan dan kepentingan tetapi juga unsur kehendak (the element of will). 27 Maka teori hukum perlindungan dan kepentingan bertujuan untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan. 28 25 Mahfud M.D., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1999), hal. 69., Lihat Buku Imam Kabul, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta : Kurnia Kalam, 2005), hal. 7. 26 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, disampaikan pada “Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”, (Medan : Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara, 17 April 2004), hal. 4-5. 27 George Whitecross Paton, A Text-Book of Jurisprudence, edisi kedua, (London : Oxford University Press, 1951), hal. 221. 28 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 79. Universitas Sumatera Utara Akan tetapi menurut John Rawls ada ketidaksamaan antara tiap orang, contohnya dalam hal tingkat perekonomian, ada tingkat perekonomian lemah dan ada tingkat perekonomian kuat. Jadi negara harus bertindak sebagai penyeimbang terhadap ketidaksamarataan kedudukan dari status ini dan negara harus melindungi hak dan kepentingan pihak yang lemah. Lalu Rawls mengoreksi juga bahwa ketidakmerataan dalam pemberian perlindungan kepada orang-orang yang tidak beruntung itu. 29 Teori ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun terdapat perbedaan bangsa, kekuasaan, jabatan, kedudukan, dan lain-lain. Teori ini sangat penting terutama dalam perjanjian franchise yang bersifat internasional, karena dalam perjanjian franchise internasional pihak-pihak yang terlibat terdiri dari subjek-subjek hukum yang berlainan negara, kewarganegaraan, maupun geografis. Contoh penyimpangan dari teori ini yaitu apabila terbentuk perjanjian franchise antara A (franchisor pengusaha dari Amerika) dengan B (franchisee pengusaha dari Indonesia), maka dalam hal terjadi perselisihan franchisor seringkali menginginkan penyelesaian dengan menggunakan hukum franchisor. Padahal penggunaan hukum franchisor seringkali merugikan bagi franchisee. Sehingga, teori ini sering menjadi masalah terutama dalam perjanjian franchise internasional. 30 Dalam hal pendirian waralaba merupakan cermin dari utilitarianisme. Teori tersebut untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) 31 . Teori utilitarianisme menyatakan bahwa suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara 29 O. K. Thariza, “Teori Keadilan: Perspektif John Rawls”, www.okthariza.multiply.com/journal/item., diakses pada 5 Januari 2010. 30 P. Lindawaty S. Sewu, Loc.cit., hal. 34. 31 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 93. Universitas Sumatera Utara moral kalau tidak hanya mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau mendatangkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. 32 Teori utilitarianisme ini juga mendapat dukungan dari Thomas Hobbes 1679). 33 Filsafat Hobbes nyaris sepenuhnya ditinjau berdasarkan prinsip (1588utilitas. 34 Ia menyatakan bahwa manusia siap untuk menerima hukum dan mematuhi Undang-Undang hanya karena mereka telah mengakui perdamaian dan ketentraman sebagai hal yang bermanfaat. 35 Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba dan Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf b tentang Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia telah menunjukkan implementasi dari teori utilitarianisme tersebut. Dalam hubungan dengan aplikasi dari hukum monopoli, ada beberapa teori yuridis, yaitu sebagai berikut: (1) Teori Keseimbangan (Balancing); (2) Teori Per Se; 32 A. Sonny Keraf, Ibid., hal. 94. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1982), hal. 63. 34 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung : PNM, 2004), hal. 109. 35 Ibid. 33 Universitas Sumatera Utara (3) Teori Rule of Reason; (4) Analisis Keluaran (Output Analysis); (5) Analisis Kekuatan Pasar (Market Power Analysis); (6) Doktrin Pembatasan Tambahan (Ancillary Restraint); Untuk lebih jelasnya, berikut ini penjelasan terhadap masing-masing teori tersebut di atas, yaitu sebagai berikut: 36 (1) Teori Keseimbangan (Balancing); Teori keseimbangan ini lebih menitikberatkan kepada pertimbangan apakah tindakan yang dilakukan seseorang pelaku pasar lebih menjurus kepada pengebirian atau bahkan penghancuran persaingan pasar atau sebaliknya bahkan dapat lebih mempromosikan persaingan tersebut. Dalam memberikan penilaian tersebut, teori ini bahkan mempertimbangkan pula kepentingan ekonomi dan sosial termasuk kepentingan pihak pebisnis kecil, sehingga teori ini dijuluki sebagai teori kemasyarakatan (populism). Di USA, kasus terkenal yang menerapkan teori ini adalah US v. Trans Missouri Association (tahun 1897) dan kasus Chicago Board of Trade v. US (tahun 1918). (2) Teori Per Se; Teori ini lebih menitikberatkan kepada struktur pasar tanpa terlalu memperhitungkan kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Karena itu, pendekatan yang dilakukan oleh penganut-penganut teori ini adalah merupakan kaum structualist dengan paham structualismnya. Menurut teori ini, misalnya pertukaran informasi harga antara pihak kompetitor, bagaimanapun juga dianggap bertentangan dengan hukum anti monopoli. 36 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 46-49. Universitas Sumatera Utara Di USA, teori ini banyak diterapkan semasa Mahkamah Agung Federalnya dipimpin oleh Earl Warren. Misalnya dalam kasus US v. Container Corp (diputus dalam tahun 1969). 37 (3) Teori Rule of Reason; Teori ini lebih luas dari teori Per Se. Teori ini lebih berorientasi kepada efisiensi ini berasal dari aliran Chicago, yakni aliran yang sangat berpegang kepada teori tentang harga. Teori ini diterapkan dengan menimbang-nimbang antara akibat negatif dari tindakan tertentu terhadap persaingan dengan keuntungan ekonomisnya. Di USA, teori ini banyak diterapkan semasa Chief Justice Warren Burger, misalnya dalam kasus pidana US v. US Gypsum Co. Yang diputus dalam tahun 1978. dalam hal ini, pengadilan menyatakan bahwa pertukaran harga antar kompetitor tidak Per Se melanggar hukum anti monopoli, seperti dalam teori Per Se. Melainkan harus dibuktikan dulu apakah ada maksud atau pengetahuan dari pihak pelaku terhadap konsekuensi dari tindakannya itu terhadap persaingan pasar. Bahkan pengadilan mengatakan bahwa pertukaran informasi antar kompetitor tidak selamanya mempunyai efek anti kompetisi, malahan dalam hal tertentu, tindakan tersebut dapat lebih meningkatkan efisiensi dan persaingan pasar. (4) Analisis Keluaran (Output Analysis); Analisis ini dilakukan dengan cara menganalisis apakah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha, misalnya penetapan harga bersama (price fixing) dirancang atau mempunyai efek yang negatif terhadap persaingan pasar. Jadi, dalam hal ini, yang dilihat bukan penetapan harga bersama Per Se, melainkan yang dilihat adalah efeknya terhadap persaingan pasar. Dengan perkataan lain, analisis ini tidak melihat kepada teori Per Se, tetapi lebih bersandar kepada teori Rule of Reason. (5) Analisis Kekuatan Pasar (Market Power Analysis); 37 Ibid, hal.47 Universitas Sumatera Utara Analisis ini disebut juga dengan analisis struktural (structural analysis) merupakan suatu pendekatan dimana agar suatu tindakan dari pelaku pasar dapat dikatakan melanggar hukum anti monopoli, maka di samping analisis terhadap tindakan yang dilakukan itu, tetapi juga dilihat kepada kekuatan pasar atau struktur pasar. (6) Doktrin Pembatasan Tambahan (Ancillary Restraint); Teori ini mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua monopoli atau pembatasan persaingan dapat dianggap bertentangan dengan hukum. Hanya perbuatan-perbuatan yang mempengaruhi persaingan secara langsung dan segera (direct and immidiate) yang dapat dianggap bertentangan dengan hukum. Apabila efeknya terhadap persaingan pasar terjadi secara tidak langsung atau hanya merupakan efek sampingan (tambahan) semata-mata, maka tindakan tersebut, sungguh pun mempunyai efek negatif terhadap persaingan pasar, tetap dianggap sebagai tidak bertentangan dengan hukum anti monopoli. 2. Konsepsional Guna menghindarkan perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang dipakai dalam penulisan ini, definisi operasional dari istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. 38 2. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan pemasaran barang atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. 39 38 39 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Ibid., angka 2. Universitas Sumatera Utara 3. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. 40 4. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi atau pemasaran barang dan jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. 41 5. KPPU adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat. 42 6. Pengadilan Negeri adalah pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perUndang-Undangan yang berlaku, ditempat kedudukan hukum usaha pelaku usaha. 43 7. Waralaba (franchisee) adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/ atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba; 44 8. Pemberi waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba; 45 40 Ibid., angka 5. Ibid., angka 6. 42 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Anti Monopoli 43 Lihat ketentuan Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Anti Monopoli dalam Ronald Dworkin, Legal Research, (Daedalus : Spring, 1973), hal.250. 44 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Pasal 1 angka 1. 45 Ibid., angka 2. 41 Universitas Sumatera Utara 9. Penerima waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba; 46 10. Pemberi waralaba lanjutan adalah orang perseorangan atau badan usaha yang menerima hak dari pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba untuk menunjuk penerima waralaba lanjutan; 47 11. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Istilah hukum perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrecht. 48 Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 49 Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 12. Perjanjian waralaba adalah perjanjian secara tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba. 50 46 Ibid., angka 3. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, Pasal 1 angka 4. 48 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 3, 49 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XII, Intermasa, Jakarta, 1990, hal. 1. 50 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, Pasal 1 angka 7. 47 Universitas Sumatera Utara 13. Surat Tanda Pendaftaran Waralaba selanjutnya disebut STPW adalah bukti pendaftaran prospektus atau pendaftaran perjanjian yang diberikan kepada pemberi waralaba dan/atau penerima waralaba setelah memenuhi persyaratan pendaftaran yang ditentukan dalam Peraturan Menteri ini. 51 14. Perjanjian yang dilarang adalah perjanjian waralaba yang berpotensi melanggar prinsip larangan praktek monopoli dan persaiangan usaha tidak sehat. 15. Price Fixing adalah penetapan harga bersama antara para pelaku bisnis terhadap barang dan/ jasa. 16. Tie In adalah persyaratan untuk membeli barang dan/jasa lain dari pemberi waralaba. 17. Pembatasan Wilayah adalah pemberi waralaba yang melakukan pembatasan wilayah dengan cara menetapkan wilayah tertentu kepada penerima waralaba. G. Metode Penelitian 1. Tipe atau Jenis Penelitian Penelitian tentang “Analisis Terhadap Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang Berkaitan Dengan Waralaba” merupakan suatu penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis norma hukum, baik hukum dalam arti Law as it is written in the books (dalam peraturan perUndangUndangan), maupun hukum dalam arti Law as it is decided by judge through judicial process (putusan-putusan pengadilan). 52 51 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba, Pasal 1 angka 10. 52 Enid Campbell, et.al., legal Research, Materials and Methods, (Sydney : The Law Book Company Limited, 1988), hal.1. Universitas Sumatera Utara 2. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Penelitian ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan Undang-Undang (statute approach) Pendekatan Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan issue hukum yang sedang ditangani, yaitu : Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba; Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba; Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Keputusan No.57/KPPU/Kep/III/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, dan peraturan perUndang-Undangan lainnya yang relevan. 2. Pendekatan kasus (case approach) Pendekatan kasus (case approach) ini dilakukan dengan cara menelaah perjanjian kerjasama franchise Yayasan Pendidikan Oxford Indonesia. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu apakah seluruh proses perjanjian Universitas Sumatera Utara kerjasama franchise Yayasan Pendidikan Oxford Indonesia telah memenuhi ketentuan perUndang-Undangan mengenai waralaba. 3. Sumber Bahan Hukum Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan dokumentasi. Data kepustakaan digolongkan dalam dua bahan hukum, yaitu bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum primer meliputi produk lembaga legislatif. 53 Dalam hal ini, bahan yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Anti Monopoli serta Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf b tentang Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 terhadap Perjanjian yang berkaitan dengan Waralaba. Guna melengkapi kajian yuridis terhadap topik yang dianalisis, ditinjau pula. Bahan hukum primer yang otoritasnya di bawah Undang-Undang adalah Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba; Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba; Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; atau peraturan suatu badan hukum atau lembaga negara. Keputusan No.57/KPPU/Kep/III/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. 53 Ibid., hal. 2. Universitas Sumatera Utara Di samping itu yang diteliti dalam penelitian ini yaitu tentang hukum persaingan usaha yang tidak sehat yang juga berkaitan dengan penelitian tentang “Analisis terhadap pengecualian penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba” untuk dijadikan objek analisis. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perUndang-Undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, yang berkaitan dengan penelitian ini. 54 5. Analisis Data Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. 55 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan : a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ; 54 55 Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, (Bandung : Bina Cipta, 2004), hal 97. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafindo, 2006), hal. 225. Universitas Sumatera Utara b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah “Analisis Terhadap Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang Berkaitan Dengan Waralaba”; c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ; d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan. Universitas Sumatera Utara