tidak ber hubungan dengan derajat diferensia si sel pada kanker

advertisement
EKSPRESI PRO TEIN B CELL LYMPHOMA-2 ( BCL2) TIDAK BER HUBUNGAN DENGAN DERAJAT
DIFERENSIA SI SEL PADA KANKER OVARIUM
EPITELIAL
Dr. dr. Wayan Megadhana, Sp.OG(K)
BAGIAN/S MF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KE DOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/
R SUP SANGLAH DENPASAR
2014
ABSTRAK
EKSPRESI PROTEIN B CELL LYMPHOMA-2 (BCL-2) TIDAK
BERHUBUNGAN DENGAN DERAJAT DIFERENSIASI SEL PADA
KANKER OVARIUM EPITELIAL
Kanker ovarium merupakan suatu keganasan di bidang ginekologi yang
cukup banyak dijumpai di kalangan wanita.Sekitar 90 % dari kanker ovarium
berasal dari jaringan epitelial.Berdasarkan penilaian mikroskopis, sel kanker
ovarium epitelial dapat dibagi menjadi derajat diferensiasi baik, sedang, dan
buruk. Ratusan gen terkait kanker telah ditemukan. Gen pengatur apoptosis
merupakan salah satu gen yang penting karena dengan menurunnya proses
apoptosis merupakan salah satu dari tujuh perubahan mendasar pada
transformasi keganasan kanker. Mutasi sel pada gen yang mengatur proses
apoptosis dapat menyebabkan sel kanker ovarium epitelial resisten terhadap
apoptosis, sehingga sel dapat menyerupai atau gagal menyerupai sel normalnya.
Salah satu gen yang berperan dalam proses apoptosis adalah gen Bcl-2.
Overekspresi Bcl-2 dapat mencegah atau mengurangi kematian sel yang di
induksi oleh berbagai macam stimulus. Dengan demikian maka dalam penelitian
ini dilakukan untuk mencari hubungan antara ekspresi bcl-2 dengan derajat
diferensiasi sel pada kanker ovarium epitelial
Penelitian ini merupakan studi cross-sectional di Bagian Kebidanan dan
Penyakit Kandungan, Patologi Anatomi dan Rekam Medis Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar yang dilakukan mulai Januari 2012 sampai
bulan Desember 2013 dengan sampel penelitian sebanyak 51 buah blok parafin.
Sampel blok parafin ini dikelompokkan berdasarkan derajat diferensiasi kanker
ovarium epitelial yaitu derajat diferensiasi baik, sedang dan buruk. Masingmasing kelompok derajat diferensiasi kanker ovarium epitelial dilakukan
pemeriksaan ekspresi protein bcl-2 dengan teknik imunohistokimia, yang
kemudian dilakukan analisis hubungan antara ekspresi protein bcl-2 pada kanker
ovarium epitelial pada derajat diferensiasi baik, sedang dan buruk dengan
menggunakan uji Spearman.
Penelitian ini memperoleh rerata umur (P=0,217), paritas (P=0,809) dan
Indek Massa Tubuh (IMT) (P=0,363), pada ketiga kelompok derajat diferensiasi
kanker ovarium epitelial adalah homogen. Berdasarkan uji Spearman diperoleh
tidak terdapat hubungan antara ekspresi protein bcl-2 dengan derajat diferensiasi
sel pada kanker ovarium epitelial (r=0,217, P=0,127).
Kata kunci: ekspresi protein bcl-2, kanker ovarium epitelial, derajat diferensiasi.
ABSTRACT
B CELL LYMPHOMA-2 (BCL-2) PROTEIN EXPRESSION DOES NOT
RELATE WITH THE CELL DIFFERENTIATION DEGREE IN
EPITHELIAL OVARIAN CANCER
Ovarian cancer is a common gynecologic malignancy in women.
Approximately 90% of ovarian cancers originate from epithelial tissue. Based on
the microscopic cell assessment of epithelial ovarian cancer, it can be divided
into well, moderate and poor grade differentiation. Hundreds of cancer-related
genes have been found. Apoptosis regulating gene is one of the important genes
because decrease in apoptotic process is one of the seven fundamental changes
in the malignant transformation of cancer. Cells mutation in apoptotic regulating
genes can lead to epithelial ovarian cancer cells resistant to apoptosis, so that the
cells can resemble or fail to resemble normal cells. One of the genes that play a
role in the process of apoptosis is the bcl-2 gene. Overexpression of bcl-2 can
prevent or reduce cell death induced by various stimuli. Thus, this study was
conducted to find the relationship between the protein expressions of BCL-2
with cell differentiation degree in epithelial ovarian cancer.
This study was a cross-sectional study in the Obstetrics and Gynecology
Department, Pathology Anatomy Department and Medical Records of Sanglah
General Hospital, Denpasar held from January 2012 to December 2013, with 51
paraffin blocks as samples. Paraffin block samples were grouped based on the
differentiation degree of the epithelial ovarian cancer such as well, moderate,
and poor differentiated. BCL-2 protein expression was examined in each
differentiation degree groups by immunohistochemical techniques, and they
were analyzed for the relationship of BCL-2 protein expression in epithelial
ovarian cancer with well, moderate and poor differentiation degree by using the
Spearman test.
The mean age (P=0.217), parity (P=0.809), and Body Mass Index (BMI)
(P=0.363) in the three groups sample of the epithelial ovarian cancer
differentiation degree was homogeneous. Based on the Spearman test, there was
no correlation between the protein expression of BCL-2 with cell differentiation
degree in epithelial ovarian cancer (r =0.217, P=0.127).
Keywords: bcl-2 protein expression, epithelial ovarian cancer, differentiation
degree
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kanker ovarium merupakan suatu keganasan di bidang ginekologi yang
cukup banyak dijumpai di kalangan wanita.Sekitar 90 % dari kanker ovarium
berasal dari jaringan epitelial. Kanker ovarium epitelial sering disebut sebagai
“the silent killer” hal ini berkaitan dengan fatalitas dan prevalensi dari kanker
ovarium yaitu gejalanya yang tidak spesifik, keterbatasan dalam upaya deteksi
dini dan sering terlambat dalam penegakan diagnosis sehingga survival ratenya
rendah .
Di Amerika Serikat kanker ovarium merupakan salah satu penyebab utama
kematian pada wanita yang disebabkan oleh penyakit keganasan ginekologi.Pada
tahun 2006, ditemukan lebih dari 20.000 kasus baru kanker ovarium dan lebih
dari 15.000 wanita meninggal dikarenakan penyakit ini (John et al, 2008).Di
Indonesia kanker ovarium menduduki urutan terbanyak keenam dari keganasan
pada wanita (Djuana et al, 2001). Angka kejadian kanker ovarium di Indonesia
berdasarkan data Badan Registrasi Kanker pada tahun 2006 mencapai 5,99%
(Badan Registrasi Kanker, 2006). Angka kejadian kanker ovarium di Rumah
Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah pada tahun 2005 sebesar 35% dari seluruh
kanker ginekologi, dengan angka harapan hidup selama lima tahunnya hanya
15% (Karyana, 2005).
1
Patogenesis maupun penyebab kanker ovarium epitelial masih merupakan
hipotesis, salah satu alur karsinogenesis kanker ovarium epitelial diketahui
berkembang dari perubahan akumulasi genetik yang mengarah kepada
transformasi
keganasan
dari
kista
jinak
menjadi
tumor
LMP
(Low
malignantPotential) dan pada akhirnya berkembang menjadi kanker ovarium
epitelial,dimana diketahui terjadi beberapa mutasi gen yang terlibat dalam alur
karsinogenesis tersebut melalui perannya menghambat apoptosis seluler dan
meningkatkan proliferasi seluler (Schorge, 2008).
Perjalanan alamiah, etiologi serta histogenesis kanker ovarium masih belum
banyak diketahui.Etiologi perubahan seluler yang berperan dalam perkembangan
kanker ovarium didasari oleh perubahan yang terjadi pada tingkat molekuler serta
terjadinya defek yang spesifik, hal ini menandakan bahwa perbedaan gambaran dan
pola histologis pada kanker ovarium berhubungan dengan terjadinya defek yang
berbeda-beda pada gen-gen yang mendasari setiap tipe fenotip histologisnya.
Pengetahuan tentang aspek biologi molekuler yang bertanggung jawab terhadap
pertumbuhan dan perkembangan sel kanker ovarium sangat penting dalam hal
menentukan biomarker untuk deteksi dini, indikator prognosis atau luaran klinis,
bahkan terhadap perkembangan terapi yang memiliki target spesifik pada gen atau
protein tertentu yang mendasari proses karsinogenesis (Wheeler, 2001).
Selama dua dekade terakhir, ratusan gen terkait kanker telah ditemukan. Gen
pengatur apoptosis merupakan salah satu gen yang penting karena menurunnya
proses apoptosis merupakan salah satu dari tujuh perubahan mendasar pada
transformasi keganasan kanker (Robbins et al, 2010). B-cell lymphoma-2
2
merupakan gen pertama yang memiliki karakteristik jelas yang terlibat dalam
programmed
cell
death
(PCD)
dengan
menghambat
apoptosis
dan
meningkatkankemampuan sel untuk bertahan hidup/survival (Maria et al, 1998).
Protein BCL-2 berperan dalam mengontrol permeabilitas mitokondria dan
mencegah kebocoran protein mitokondria seperti sitokorom c yang memiliki
kemampuan untuk menginisiasi kematian sel (apoptosis).Overekspresi protein
BCL-2 dapat mencegah atau secara nyata mengurangi kematian sel yang
diinduksi oleh berbagai macam stimulus (John, 1994).
Akibat mutasi pada gen yang berperan pada proses apoptosis, maka sel – sel
kanker resisten terhadap apoptosis, mutasi tersebut menyebabkan sel dapat
menyerupai atau gagal menyerupai sel normalnya (Robbins et al, 2010). Sel
kanker secara mikroskopis dapat dinilai melalui derajat diferensiasi dan juga
dapat digunakan untuk menentukan fitur morfologis, keagresifan atau sifat
biologis dari sel kanker tersebut (Huston, 2006).Derajat diferensiasi karsinoma
ovarium epitelial juga merupakan karakteristik histopatologi yang memiliki nilai
prognostik dan relevansi terhadap terapi yang signifikan (Sato, et al., 2003).
Belum banyak penelitian yang mencari hubungan langsung antara ekspresi
BCL-2 dengan derajat diferensiasi sel pada kanker ovarium epitelial di Indonesia.
Menurut Rauf et al (2004), ekspresi protein BCL-2 meningkat sesuai dengan makin
buruknya derajat diferensiasi kanker. Penelitian ini memperlihatkan bahwa kelainan
molekuler pada bcl-2 berhubungan dengan fenotip kanker ovarium.
3
Menurut Chan et al (2000), ekspresi protein BCL-2 pada kanker ovarium
epitelial lebih kuat dideteksi pada derajat diferensiasi baik, dimana derajat
diferensiasi sedang dan buruk menunjukkan ekspresi protein BCL-2 moderat.
Dalam proses apoptosis dan karsinogenesis gen bcl-2 merupakan salah satu
komponen yang berperan. Terdapat gen lain yang saling mempengaruhi berperan
dalam proses tersebut diantaranya onkogen, gen yang terlibat sebagai pemicu
pertumbuhan sel (her2-neu, ras, myc, dan cdk1), gen yang terlibat dalam
inaktivasi gen supresor tumor (brca 1, brca 2 dan p53), gen pengatur apoptosis
(bax), dan gen yang terlibat pada perbaikan DNA (brca 1 dan brca 2) (Kumar
dkk., 2010). Sebagai contoh salah satu gen yang paling banyak diteliti bersama
dengan gen bcl-2 adalah gen p53 dimana diketahui overekspresi protein P53
dapat menekan ekspresi protein BCL-2 (Preethi et al, 2002).
Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan penilaian
hubungan antara ekspresi protein BCL-2 dengan derajat diferensiasi sel pada
kanker ovarium epitelial yang kemudian diharapkan dapat dimanfaatkan dalam
menjelaskan patogenesis dan prognosis serta dapat dimanfaatkan sebagai target
terapi kanker ovarium epitelial.
1.2
Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara ekspresi protein BCL-2 dengan derajat
diferensiasi sel pada kanker ovarium epitelial?
1.3
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara ekspresi protein BCL-2 dengan derajat
diferensiasi sel pada kanker ovarium epitelial.
4
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan
1. Untuk menambah pengetahuan mengenai hubungan ekspresi protein BCL-2
dihubungkan dengan derajat diferensiasi sel pada kanker ovarium epitelial.
2. Sebagai data dasar, acuan serta masukan untuk karsinogenesis molekuler
kanker ovarium lebih lanjut.
1.4.1 Manfaat bagi pelayanan
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan atau tambahan dalam
upaya pemahaman protein BCL-2 dalam patogenesis, prognosis dan target terapi
kanker ovarium sehingga penanganan pasien menjadi lebih tepat dan efisien.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kanker Ovarium
2.1.1 Epidemiologi
Insidensi kanker ovarium yang tertinggi terdapat di Swedia (19,6/100.000)
dan Amerika Serikat (15,4/100.000), sedangkan insidensi yang terendah terdapat
di Jepang (10,1/100.000). Di Amerika Serikat insidensi tertinggi kanker ovarium
terdapat pada wanita kaukasia, wanita Afrika-Amerika intermediet, dan insidensi
terendah pada wanita asli Amerika (John et al, 2008).
Dari beberapa penelitian di Indonesia, Kartodimejo (1976) di Yogyakarta
mendapatkan angka kejadian kanker ovarium sebesar 30,5% dari seluruh
keganasan ginekologi, Gunawan (1979) di Surabaya mendapatkan 7,4% dari
keganasan ginekologi, Danukusumo (1990) di Jakarta mendapatkan kejadian
kanker ovarium sebesar 13,8% dari seluruh keganasan ginekologi, dan Fadlan
(1993) di Medan pada tahun 1981–1990 melaporkan sebesar 10,64% dari
seluruh keganasan ginekologi (Sahil, 2007).
2.1.2 Etiologi dan faktor risiko
Faktor yang telah diketahui berkaitan dengan peningkatan risiko kanker
ovarium adalah umur, paritas, indek massa tubuh (IMT) dan riwayat keluarga
kanker ovarium. Risiko kejadian kanker ovarium meningkat seiring dengan
bertambahnya umur.Sebanyak 80% dari kejadian kanker ovarium ditemukan
pada umur wanita lebih dari 45 tahun (Fauzan, 2009). Kanker ovarium dapat
6
ditemukan pada semua golongan umur, bahkan pada kasus yang jarang, juga
dapat ditemukan pada bayi di bawah lima tahun (balita) dan anak-anak. Namun
angka kejadian paling banyak ditemukan pada rentang umur 60 sampai 74 tahun
dengan median umur saat terdiagnosis adalah 59 tahun. Bahkan, risiko tumor
ovarium untuk mangalami degradasi keganasan pun meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, di mana risiko keganasan didapatkan sebesar 13% pada
wanita premenopause dan 45% postmenopause (Colditz, 2004).
Paritas merupakan faktor genetik penting yang mempengaruhi risiko kanker
ovarium.Risiko kanker ovarium menurun secara progresif dengan meningkatnya
jumlah kehamilan (John, 2008).Pada wanita yang tidak memiliki anak atau
nullipara memiliki risiko dua kali lipat lebih besar untuk terjadinya kanker
ovarium daripada wanita dengan paritas tiga atau lebih (Granstrom, 2008).
Berbagai
penelitian
membuktikan
bahwa
peningkatan
IMT
dapat
meingkatkan risiko terjadinya kanker ovarium (Reeves, 2007). Penelitian yang
dilakukan oleh European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition
tahun 2006 memperoleh hasil bahwa pada wanita dengan IMT di atas 30 atau
obesitas memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk terjadinya kanker ovarium
dibandingan dengan wanita dengan IMT normal (Lahmann, 2009). Penelitian
yang berbeda memperoleh hasil bahwa peningkatan IMT pada wanita
premenopause meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium dengan risiko
relatif sebesar 1,72. Namun peningkatan IMT tersebut tidak bermakna
meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium pada wanita pascamenopause
(Schouten et al, 2008).
7
Risiko wanita Amerika untuk menderita kanker ovarium dengan tanpa
riwayat keluarga dari penyakit ini adalah 1 per 70 wanita (1,4%) (John, 2008).
Secara umum, risiko terjadinya kanker ovarium adalah 1,6% pada keseluruhan
populasi. Risiko tersebut dapat meningkat sampai 4-5% apabila ada satu anggota
keluarga, baik ibu atau saudara kandung, menderita kanker ovarium.Sedangkan
apabila terdapat dua anggota keluarga yang menderita kanker ovarium, maka
risiko menderita kanker ovarium meningkat menjadi 7%.Adanya riwayat kanker
payudara dan kolon juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium
pada anggota keluarga yang lainnya (Busman, 2008).
Penggunaan kontrasepsi oral juga menunjukkan penurunan risiko kanker
ovarium. Risiko kanker ovarium menurun kira – kira 11% sampai maksimal
46% per tahun pada penggunaan kontrasepsi oral setelah lima tahun penggunaan
(John, 2008).
Dari berbagai observasi maka didapatkan beberapa teori – teori etiologi kanker
ovarium.Teori pertama adalah teori incessant ovulasi.Berdasarkan teori ini, risiko
kanker ovarium epitelial berkaitan secara langsung dengan jumlah siklus ovulasi
yang belum terganggu. Saat ovulasi, permukaan epitelium rusak kemudian akan
mengalami proliferasi dan perbaikan yang cepat. Pada saat ovulasi, terjadi
invaginasi dari permukaan epitelium ke stroma dibawahnya yang akan membentuk
kista inklusi. Garis epitelium dari kista inklusi tersebut kemudian akan mengalami
transformasi neoplasma dibawah pengaruh dari faktor
– faktor onkogen. Observasi pada menarche pada usia yang sangat muda dan
menopause yang terlambat berkaitan dengan peningkatan risiko kanker ovarium,
8
hal tersebut konsisten dengan teori ini, karena keduanya dapat meningkatkan
jumlah dari siklus ovulasi (John et al, 2008).
Teori kedua dari karsinogenesis ovarium adalah hipotesis menstruasi
retrograd.Menurut hipotesis ini, transportasi retrograd karsinogen dari uterus dan
traktus genital bagian bawah terjadi melalui tuba fallopi menuju ke ovarium pada
saat menstruasi.Efek proteksi dari kontrasepsi oral konsisten dengan hipotesis ini,
hal ini disebabkan karena penggunaannya dikaitkan dengan pengurangan kehilangan
darah saat mensturasi dan oleh karenanya mengurangi terjadinya menstruasi
retrograd.Sebaliknya, pada observasi didapatkan pula risiko kanker ovarium
meningkat berkaitan dengan terapi penggantian hormon yang kemungkinan
dimediasi melalui periode perdarahan uterus abnormal yang terjadi melalui banyak
regimen hormonal.Hipotesis ini juga didukung dengan diketahui berkurangnya
risiko kanker ovarium pada wanita yang mengalami ligasi tuba atau histerektomi,
karena prosedur ini mencegah menjalarnya faktor onkogenik yang potensial dari
traktus genital bagian bawah ke ovarium (John et al, 2008).
Hipotesis terakhir adalah paparan pituitari gonadotropin dosis tinggi terhadap
eptelium ovarium yang secara persisten yang menghasilkan transformasi
neoplasma.Follilce stimulating hormone (FSH) telah diketahui dapat meningkatkan
pertumbuhan sel epitelial kanker ovarium secara in vitro, dan efek ini dapat di blok
oleh Leutinizing hormone (LH). Menurut hipotesis ini peningkatan level sirkulasi
gonadotropin akan meningkatkan biosintesis estrogen pada stroma ovarium, yang
kemudian akan menyebabkan proliferasi abnormal dari epitel yang berdekatan.
Menyusui, telah dilaporkan mengurangi risiko kanker
9
ovarium, hal tersebut berkaitan dengan penurunan konsentrasi serum FSH dan
estradiol. Kehamilan dan penggunaan kontrasepsi oral rupanya menurunkan
risiko kanker ovarium dengan menghambat sekresi pituitari gonadotropin. Teori
ini juga menerima dukungan dari observasi peningkatan risiko kanker ovarium
pada wanita yang memakai obat kesuburan karena obat ini menstimulasi ovulasi
dengan meningkatkan level FSH, terutama saat fase folikuler dari siklus
menstruasi (John et al, 2008).
Telah diketahui pula beberapa alur tumorgenesis yang berbeda pada kanker
ovarium epitelial.Pertama, beberapa kasus berkembang dari perubahan akumulasi
genetik yang mengarah kepada transformasi keganasan dari kista jinak menjadi
tumor LMP (Low malignant Potential) dan pada akhirnya berkembang menjadi
karsinoma ovarium invasif (Makarla, 2005; Schorge, 2008). Secara khas, tumor
invasif ini biasanya low grade dan secara klinis lamban perkembangannya. Pada
tumor ini, terjadi mutasi onkogenik k-ras sejak awal.Famili dari ras onkogen terdiri
dari k-ras, h-ras dan n-ras.Produk protein dari famili ras tersebut berperan pada
regulasi siklus sel dan mengontrol proliferasi dari sel. Mutasi ras terlibat dalam
karsinogenesis melalui perannya menghambat apoptosis seluler dan meningkatkan
proliferasi seluler. Kanker invasif yang berkembang dari tumor LMP juga
mengalami mutasi pada P53 tumor suppressor gen (Schorge, 2008).
Kedua, sekitar 5 sampai 10 persen dari karsinoma ovarium epitelial berasal dari
predisposisi pewarisan. Wanita yang dilahirkan dengan mutasi brca hanya
membutuhkan satu “pengaruh” kepada copy normal yang lain (alel) untuk
“melumpuhkan” produk dari brca tumor suppressor gen. Brca-terkait ovarium dan
10
kanker peritoneal memiliki patogenesis molekuler yang unik, karena membutuhkan
inaktivasi p53 untuk berkembang (Buller, 2001). P53 adalah tumor suppressor gen
yang telah dipetakan pada kromosom 17. Produk proteinnya dapat mencegah sel
memasuki tingkat selanjutnya dari pembelahan sel dan dengan demikian akan terjadi
penghentian dari replikasi sel tumor yang tidak terkontrol. Mutasi pada p53
berkaitan dengan bermacam kanker. Hilangnya fungsi brca dan p53 yang terdeteksi
sebelum invasi, mendukung anggapan lebih lanjut mengenai gen – gen tersebut
penting pada tahap awal pencetus tumor (Schorge, 2008)
Ketiga, kebanyakan dari karsinoma muncul dari sel epitelial permukaan
ovarium yang terjebak pada kista inklusi dengan stroma ovarium.Beberapa alur
telah diusulkan.Sebagai contoh, siklus perbaikan dari permukaan ovarium dalam
periode yang lama dan ovulasi berulang membutuhkan daya proliferasi yang
cukup banyak. Pada kasus ini, mutasi p53 secara spontan berkembang pada
sintesis DNA yang menyertai proliferasi dan tampaknya memainkan peran
utama pada proses karsinogenesis (Schorge, 2008).
Berdasarkan klinikopatologi dan studi molekuler diketahui karsinoma
ovarium dibagi menjadi dua grup : (1) karsinoma low grade (well differentiated)
dan (2) karsinoma high grade (moderately sampai poorly differentiated).
Perbedaan ini dibagi berdasarkan atipia inti sel dan hubungannya dengan
kemampuan pasien bertahan hidup (Robbins et al, 2010). Beberapa karsinoma
lowgrade
berkembang
berhubungan
dengan
tumor
serous
borderline,
sedangkankebanyakan karsinoma high grade berkembang secara “de novo”
tanpa dikenali lesi prekusornya (Robbins et al , 2010).
11
Studi molekuler dari low- dan high-grade karsinoma serous menunjukkan
perbedaan molekuler genetik pada kedua tipe karsinoma (Robbins et al,
2010).Tumor low grade berkembang dari tumor serous borderline yang mengalami
mutasi dari onkogen kras atau braf, dan sangat jarang mutasi pada p53.Berbeda,
tumor high grade memiliki frekuensi mutasi yang tinggi pada gen p53 tetapi sedikit
mutasi pada kras atau braf.Banyak kasus melaporkan karsinoma ovarium yang
berkembang pada wanita dengan mutasi brca 1 atau brca 2 adalah karsinoma serous
high grade dan biasanya mengalami mutasi p53.Pemeriksaan secara tertutup dari
tumor ini menyimpulkan bahwa terdapat presentase yang signifikan dari brca 1 dan
brca 2-terkait tumor yang berkembang pada garis epithelium ujung fimbria tuba
fallopi.Penemuan ini mengarahkan penelitian untuk berspekulasi bahwa sedikitnya
beberapa karsinoma high grade ovarium bersifat sopradis dan juga dinamakan
karsinoma serous primary peritoneal yang juga berasal dari bagian distal tuba
fallopi, area yang diteliti (Robbins et al, 2010).
2.1.3 Klasifikasi
Telah diketahui bahwa tumor ovarium berasal dari satu diantara tiga
komponen : (1) derivat epitelium permukaan dari epithelium coelomic; (2) sel
germ, yang bermigrasi ke ovarium dari yolk sac dan pluripoten, serta (3) stroma
ovarium, termasuk sex cord, yang merupakan pelopor aparatus endokrin dari
ovarium postnatal. Tetapi terdapat grup tumor yang tidak dapat diklasifikasikan,
dan terakhir terdapat tumor ovarium sekunder atau metastasis (Robbins et al,
2010).
12
Gambar 2.1 Pembagian Tumor Ovarium Berdasarkan Sel
Asalnya (Robbins et al, 2010)
Tabel 2.1 Pembagian Tumor Ovarium Berdasarkan Sel Asalnya
Sel asal
Frekuensi
keseluruhan
Proporsi
tumor
ovarium
ganas
Onset
Tipe
Sel epitel
permukaan
65-70%
Germ sel
15-20%
Sex cord stroma
5-10%
Metastase
ke ovarium
5%
90%
3-5%
2-3%
5%
20+tahun
0-25+ tahun
Semua usia
Bervariasi
Serus
Musinus
Endometrioid
Clear cell
Tumor Brenner
Cystadenofibroma
Teratoma
Disgerminoma
Endodermal
sinus tumor
Koriokarsinoma
Fibroma
Tumor Sel
Granulose –
teka
Tumor
sel
sertoli
–
leydig
Sumber : Robbins et al, 2010
Walaupun beberapa tumor spesifik telah memiliki ciri – ciri yang khusus dan
aktif secara hormonal, tetapi kebanyakan tidak fungsional dan hanya
menghasilkan gajala yang ringan sampai mencapai ukuran yang lebih besar.
Tumor malignan biasanya menyebar keluar ovarium sampai diagnosis definitif
13
dapat dibuat. Beberapa tumor, khususnya tumor epitelial biasanya bilateral. Nyeri
perut dan distensi, gejala traktus urinarius dan gastrointestinal dikarenakan
kompresi oleh tumor atau invasi kanker, serta perdarahan dari vagina merupakan
gejala yang sering ditemui. Bentuk jinak dapat tidak bergejala dan biasanya
ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan abdominal, pelvik atau
sepanjang operasi (Robbins et al, 2010).
2.1.4 Stadium
Stadium dari kanker berdasarkan pada ukuran dan lesi primer, dapat
berkembang dan menyebar ke nodus limfatikus regional atau metastasis melalui
darah (Robbins et al, 2010). Malignasi ovarium epitelial di kelompokkan
berdasarkan sistem FIGO. Stadium FIGO berdasarkan penemuan saat eksplorasi
pembedahan. Evaluasi preoperatif seharusnya dapat menyingkirkan metastasis
ekstraperitoneal (Berek et al, 2005).
Tabel 2.2 Stadium Kanker Ovarium Menurut FIGO
Staging
I
II
Keterangan
Tumor terbatas pada ovarium
IA
Tumor terbatas pada satu ovarium, kapsul tumor utuh, tidak
ada pertumbuhan tumor di permukaan ovarium, tidak ada sel
tumor di cairan asites ataupun pada bilasan cairan di rongga
peritoneum.
IB
Tumor terbatas pada dua ovarium, kapsul tumor utuh, tidak
ada pertumbuhan tumor pada permukaan ovarium, tidak ada
sel tumor di cairan asites ataupun pada bilasan cairan di
rongga peritoneum.
IC
Tumor terbatas pada satu atau dua ovarium dengan salah satu
faktor yaitu kapsul tumor pecah, pertumbuhan tumor pada
permukaan ovarium, ada sel tumor di cairan asites ataupun
pada bilasan cairan di rongga peritoneum
Tumor pada satu atau dua ovarium dengan perluasan di pelvis
IIA
Tumor meluas ke uterus dan/atau ke tuba tanpa sel tumor di
cairan asites ataupun bilasan cairan di rongga peritoneum.
IIB Tumor meluas ke jaringan/organ pelvis lainnya tanpa sel tumor
14
di cairan asites ataupun bilasan cairan di rongga peritoneum.
Perluasan di pelvis (IIA atu IIB) dengan sel tumor di cairan
asites ataupun bilasan cairan di rongga peritoneum.
III
Tumor pada satu atau dua ovarium disertai dengan perluasan tumor
pada rongga peritoneum di luar pelvis dengan/atau metastasis
kelenjar getah bening regional.
IIIA Metastasis mikroskopik di luar pelvis.
IIIB
Metastasis makroskopik di luar pelvis dengan besar lesi ≤ 2
cm.
IIIC
Metastasis makroskopik di luar pelvis dengan besar lesi > 2
cm dan/atau metastasis ke kelenjar getah bening.
IV
Metastasis jauh (di luar rongga peritoneum).
Sumber : Berek et al, 2005
IIC
2.1.5 Derajat diferensiasi
Derajat diferensiasi merupakan hasil penilaian mikroskopis sel kanker yang
berfungsi untuk menentukan fitur morfologis, keagresifan atau sifat biologis dari
sel kankernya (Huston, 2006). Pada kebanyakan jaringan, sel baru di produksi
melalui pembelahan dari sel undifferentiated yang dinamakan stem sel.
Diferensiasi keturunan dari stem sel menghasilkan sel dengan tipe – tipe yang
terspesialisasi yang berfungsi pada jaringan tersebut. Karena stem sel dan sel – sel
keturunannya memiliki kapasitas untuk membelah, hal ini menyebabkan
peningkatan populasi dari sel tumor. Sel tumor dapat terdiri dari berbagai derajat
diferensiasi. Pada beberapa kasus, mutasi dapat memblok proses diferensiasi,
menghasilkan sedikit diferensiasi yang dinamakan anaplasia. Karena terjadi
mutasi yang menghambat diferensiasi hal tersebut menyebabkan sel tetap berada
dalam status proliferasi yang akan berkontribusi pada progresifitas kanker (David,
2007).
Derajat diferensiasi dari sel kanker, terdiri dari jumlah mitosis dan ciri – ciri
arsitektural. Beberapa skema derajat diferensiasi telah berkembang, dan secara
15
umum berkisar antara dua kategori (low grade dan high grade) sampai empat
kategori. Kriteria untuk setiap derajat diferensiasi bervariasi pada setiap neoplasia,
tetapi semuanya secara pokok berusaha untuk menilai secara luas apakah sel tumor
menyerupai atau gagal menyerupai normalnya (Robbins et al, 2010).
Derajat diferensiasi histologi telah menunjukkan memiliki prognostik
signifikan pada berbagai tumor. Terdapat berbagai macam derajat diferensiasi, akan
tetapi Shimizu dan Silverberg melaporkan sistem derajat diferensiasi baru
berdasarkan modifikasi dari sistem derajat diferensiasi Nottingham untuk kanker
payudara dan dapat digunakan untuk semua tipe dari kanker ovarium (Silverberg,
et al 2000).
Pada sistem ini nilai ditetapkan dari masing-masing 3 parameter berikut: pola
arsitektur (glandular, papiler, atau solid), derajat atipia inti dan indeks mitosis (Tabel
2.3). Nilai dari masing-masing parameter tersebut kemudian dijumlahkan,
menghasilkan skor total yang menentukan derajat diferensiasi (Tavasolli, et al.,
2003; Vang, et al., 2009). Sistem derajat diferensiasi universal ini membagi derajat
diferensiasi karsinoma ovarium menjadi tiga kelompok, skor 3-5: Grade 1 (derajat
diferensiasi baik); skor 6-7: Grade 2 (derajat diferensiasi sedang); skor 8-
9: Grade 3 (derajat diferensiasi buruk) (Gambar 2.2).
Tabel 2.3 Sistem Derajat Diferensiasi Shimizu-Silverberg Kanker Ovarium
Skor
Pola arsitektur dominan
Atipia sitologi
Mitosis per 10 HPF
1
Glandular
Ringan
0-9
2
Papiler
Sedang
10-24
3
Solid
Berat
>25
Sumber:
Malpica, 2004
16
Gambar 2.2 Sistem Derajat Diferensiasi Shimizu-Silverberg: Grade 1, 2 dan
3 (Kommoss, et al., 2009)
Pola arsitektur sel kanker ditentukan melalui bagian yang paling dominan
yaitu glandular, papiler, dan bentuk solid (Gambar 2.8).Atipia sitologi dinilai
pada area tumor yang tampak paling atipik.Atipia ringan bila terdapat sel dengan
inti vesikuler relatif uniform, tidak ditemukan penggumpalan kromatin atau anak
inti yang prominen.Atipia sedang bila terdapat variasi bentuk dan ukuran inti,
anak inti dapat diamati tetapi kecil, kromatin inti menggumpal, dan tidak ada sel
bizarre.Atipia berat bila terdapat bentuk dan ukuran inti yang sangat
bervariasi,kromatin inti sangat menggumpal, membrane inti tebal, anak inti
prorninen eosinofilik, dan dapat dijumpai adanya sel bizarre (Gambar 2.9)
Gambar 2.3 Derajat arsitekural: glanduler, papiler dan
solid (Kommoss, et al., 2009)
17
Gambar 2.4 Derajat atipia inti: ringan, sedang dan
berat (Kommoss, et al., 2009)
Jumlah mitosis pada umumnya akan meningkat sejalan dengan bertambahnya
derajat atipia inti, sebagai suatu mitotic figures (MF) yang abnormal. Jumlah mitosis
dihitung pada area mitosis yang paling aktif.Aktifitas mitosis dinilai pada bagian
perifer tumor karena biasanya pertumbuhannya lebih aktif.Penghitungan inti sel
dilakukan hanya pada fitur morfologi yang terbatas pada metafase, anafase, atau
telofase.Inti sel yang hiperkromatik dan mengalami apoptosis dieksklusi. Penilaian
dilakukan sedikitnya pada 30 lapangan pandang dan dihitung jumlah terbanyak dari
mitotic figures (MF) per 10-high power microscopic fields
(MF/10 HPF) menggunakan 10x wide field eyepiece 40x objective dengan
diameter lapangan pandang dan luas berturut-turut 0,663 mm dan 0,345 mm
2
(Ishioka et al., 2003).Sistem ini sangat sederhana, dapat dipakai berulang kali,
menyediakan informasi prognostik yang sangat berguna. Menggunakan sistem
ini diperoleh 5-year surveilance rate derajat diferensiasi I (91%), derajat
diferensiasi II (64%), derajat diferensiasi III (38%) (Sato, 2003).
Tipe histologi kanker ovarium epitelial terbanyak pada populasi penelitian
yang dilakukan di RSUP Sanglah tahun 2008 adalah tipe serous (40,6%), diikuti
18
oleh tipe sel jernih (31,3%), musinus (21,9%), dan endometrioid (6,3%), dengan
prevalensi karsinoma ovarium tipe serous derajat diferensiasi baik (30,8%),
sedang (15,4%) dan buruk (53,8%) di populasi (Sriwidnyani, 2008).
2.1.6 Transformasi keganasan
Gen terkait kanker berperan pada tujuh perubahan mendasar dalam fisiologi
sel dan secara bersama – sama menentukan fenotip keganasan (Robbins et al,
2010). Tujuh perubahan mendasar tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kecukupan ketersediaan sinyal pertumbuhan : Tumor memiliki
kemampuan proliferasi tanpa rangsangan eksternal, biasanya sebagai
akibat dari aktivasi onkogen.
2. Ketidakpekaan terhadap sinyal inhibisi pertumbuhan : Tumor mungkin
tidak merespon molekul yang menghambat proliferasi sel normal seperti
transforming growth factor (TGF-β) dan direct inhibitors of cyclindependent kinases (CDKIs).
3. Pengelakan dari apoptosis : Tumor mungkin resisten terhadap program
kematian sel, sebagai konsekuensi dari inaktivasi dari p53 atau aktifasi
dari gen anti apoptosis.
4. Potensi replikasi yang tidak terbatas : Tumor memiliki kapasitas untuk
berproliferasi, menghindari proses penuaan selular.
5. Proses angiogenesis yang berkelanjutan : Sel tumor, seperti sel normal,
tidak dapat tumbuh tanpa adanya pasokan pembuluh darah untuk
membawa nutrisi dan oksigen serta membuang produk yg tidak
diperlukan. Oleh karena itu tumor harus menginduksi angiogenesis.
19
6. Kemampuan untuk menginvasi dan metastasis : Tumor metastasis adalah
penyebab sebagian besar kematian akibat kanker dan tergantung pada
proses yang intrinsik dengan sel atau di inisiasi oleh sinyal dari jaringan.
7. Kerusakan pada DNA repair : Tumor mungkin gagal untuk memperbaiki
kerusakan DNA yang disebabkan oleh karsinogen atau selama proliferasi
seluler, hal ini menyebabkan ketidakstabilan genom dan mutasi pada
proto-onkogen dan tumor suppressor gen (Robbins et al, 2010).
Mutasi pada satu atau lebih gen yang mengatur karakteristik selular
terdapat pada setiap kanker. Tetapi alur genetik yang tepat untuk menimbulkan
karakteristik tersebut berbeda pada setiap kanker walaupun pada organ yang
sama. Dipercaya bahwa terjadinya mutasi pada gen terkait kanker dihubungkan
oleh kekuatan mesin DNA-repair, serta mekanisme perlindungan seperti
apoptosis dan penuaan yang mencegah proliferasi sel-sel dengan DNA yang
rusak (Robbins et al, 2010). Pada karya tulis ini yang akan banyak dibahas
adalah mengenai anti apoptosis gen.
20
Gambar 2 .5 Skema Dasar Sederhana Molekul
Kanker(Robbins et al, 2010).
2.2 Protein BCL-2
B-cell lymphoma-2 pertama kali dipublikasikan dalam penelitian oleh
Tsujimoto dan kawan – kawan pada tahun 1984 (Tsujimoto et al, 19884). BCL-2
merupakan protein kedua dari berbagai protein yang ditemukan pada limfoma.
Sesuai dengan namanya, gen ini ditemukan dikarenakan keterlibatannya dalam
keganasan sel-B, dim ana terjadi translokasi kromosomal yang kemudian
21
mengaktifkan sebagian besar gen pada non-Hodgkin’s sel-B limfom a folikuler.
Pada translokasi itu, g en bcl-2 berpindah dari lokasi kromosom no rmalnya di
18q21 ke lokus 14q32 yang mana merupakan jajaran dengan elemen penguat
pada rantai berat immunoglo bulin (IgH), hal tersebut menyebabkan pengaturan
kembali gen bcl-2 dan produksi berlebihan dari mRNA bcl-2 serta protein – pr
otein yang dikodekannya (Tsujimoto et al, 1985).
Gambar 2.6 Translokasi bcl2 (Anonim, 2011)
Vaux et al (1988 ) pertama kali yang melaporkan bahwa bcl-2 dapat
memperpanjang kehidu pan dari sel dan kemudian Hockenbery et al (1990)
memperkirakan bahwa bcl-2 memiliki kemampuan untuk memblok program
kematian sel/programmed cell death (PCD). Pada banyak kasus yang diperiksa,
Bcl-2 terlihat secara relatif memblok kejadian – kejadian awal yang berkaitan
dengan kematian sel apoptosis, yang mana karakteristik perubahan morfologi
seperti sel yang menciut, kondensasi kromatin, dan fragmentasi nuklear serta
degradasi DNA terlihat berkurang atau dicegah (John, 1994).
22
2.2.1 Struktur bcl-2
Gen bcl-2 memiliki rentang lebih dari 230 kb dari DNA dan terdiri dari tiga
exons dimana exon 2 dan sebagian kecil dari exon 3 mengkode protein.
Tergantung dari sambungan dengan intron 2-nya, BCL-2 mengkode 2 mRNA,
yaitu BCL-2α dan BCL-2β, yang mana hanya BCL-2α yang sepertinya memiliki
relevansi biologis. Protein BCL-2 merupakan membran protein yang memiliki
berat molekul 26 kDa terletak pada bagian sitosolik dari amplop nuklear,
retikulum endoplasma dan bagian luar membran mitokondria (Miguel, 2008).
Dengan penggunaan isolasi gen homolog, interaksi screen protein,
substraction kloning dan analisis gen virus, telah memperkenalkan secara
luasberbagai keluarga protein terkait BCL-2 pada mamalia. Berdasarkan dari
atribut struktural dan fungsional, protein BCL-2 dapat dibagi menjadi tiga
subgroup : 1) the antiapoptotic channel-forming protein BCL-2 dengan 4 BH
(BCL-2 homolog)domain (BH 1 sampai 4) dan transmembran anchor sequence,
2) the proapoptoticchannel-forming protein dengan 3 BH domain (BH 1 sampai
3) dan transmembran anchor sequence tanpa BH4, 3) the proapoptotic ligands
yanghanya mengandung BH 3 domain (Sheau et al, 2000). Protein subgrup 1 dan
2 dipercaya “berjangkar” pada membran mitokondria dan protein subgroup 3
bertindak sebagai ligand yang berdimerisasi dengan “jangkar” membran,
reseptor channel-forming BCL-2 (Sheau et al, 2000). BH3 domain pada sub grup
ke 3penting untuk aktivitas pengikatan dari ligand tersebut.
23
Gambar 2.7 Tig a Subgroup BCL-2 Protein dan BCL-2 Homolog
Domain (Sheau et al, 2000)
Protein mitochondria-anchored antiapoptotic diwakili oleh ced-9 d an BCL-2,
berbentuk seperti ion c hannel yang dapat menjaga homeostatsis membran dan
mencegah pelepasan dari sitokrom c, yang kemudian akan mening katkan sel
survival. Protein – pr otein ini juga berinteraksi dengan ced-4/Apaf-1
untukmencegah aktivasi caspase – caspase yang terkait, yang kemudian akan
mensupresi alur caspase dan apoptosis. Sebagai tambahan selain ced-9 dan BCL-2,
beberapa protein BC L-2 lain, seperti BCL-XL, BCL-W, MCL-1 d an BFL-1,
memiliki aktifitas antiap optosis dan motif pengaturan fungsional yang mirip tetapi
memiliki pola distribusi jaringan yang overlaping dan unik. Bcl-xl d an bcl-2 di
indentifikasi dengan homologous screen. Infeksi virus dapat mencetuskan apoptosis
pada sel inan g untuk mencegah perkembangbiakan virus, dan beberapa virus telah
mengembangkan beberapa mekanisme untuk mencegah ke matian sel inang.
Beberapa gen virus seperti adenovirus E1B 19K, Epstein-Barr virus BHRF-
24
1, demam flu babi Afrika virus LMW5-HL, ORF16 dan KsBCL-2, mengkode
protein yang secara struktural dan fungsional homolog terhadap protein BCL-2
antiapoptosis mamalia.Supresi apoptosis oleh beberapa protein virus tersebut
memperpanjang kehidupan dari sel inang dan meningkatkan efisiensi dari
replikasi virus (Sheau et al, 2000).
Tidak seperti anggota antiapoptosis bcl-2 pembentuk channel, protein
keluarga BCL-2 pada subgrup kedua (BAX, BAK, BOK) tidak hanya antagonis
dari aksi survival protein BCL-2 antiapoptosis tetapi juga aktif dalam
mencetuskan apoptosis pada sel yang terinfeksi. Pada subgroup ini protein BCL2 memiliki BH1,-2, dan -3 domain dan regio membran-anchoring tetapi tidak
memiliki NH2-terminal BH4 domain yang penting untuk inhibisi apoptosis yang
mana akan berdimerisasi dengan protein BCL-2 antiapoptosis, dan kemudian
dapat membebaskan ced-4/Apaf-1 dari supresi yang menekan dengan protein
BCL-2 serta akan meningkatkan aktifasi caspase. Proapoptosis mitochonriaanchored protein BCL-2 juga dapat meningkatkan apoptosis dengan
merubahhomeostasis membran mitokondria dan meningkatkan pelepasan
sitokrom c (Sheau et al, 2000).
Subgrup ketiga dari protein BCL-2, homolog dari protein nematoda EGL-1
yang baru – baru ini diidentifikasi, terdiri dari proapoptosis ligand dan hanya
memiliki BH3 domain.Protein ini memiliki kemampuan untuk berinteraksi
dengan pembentuk-channel protein BCL-2 yang selektif untuk mempromosikan
kematian sel dan dapat bertidak sebagai adaptor protein – protein yang terkait
dengan alur sinyal pada setiap langkah dari program apoptosis. Seperti pada
25
nematoda EGL-1, beberapa proapoptosis ligand (BAD, BOD/Bim, dan BID) hanya
memiliki BH3 domain. Sebagai tambahan beberapa protein pada subgroup ini
(Bik/Nbk, Blk, Harakiri/DP5, NIP3L/Nix, dan NIP3) memiliki regio tambahan
COOH-terminal transmembran untuk membran-anchoring (Sheau et al, 2000).
Protein
BCL-2
dan
beberapa
protein
terkait
merupakan
protein
multifungsional dan interaksi antar protein memiliki peran penting pada regulasi
apoptosis. Salah satu mekanisme protein BCL-2 meregulasi apoptosis yaitu
melalui homodimerisasi dan heterodimerisasi dengan protein pada keluarga yang
sama. BH3 domain pada protein BCL-2 proapoptosis bertindak sebagai ligand
untuk mengikat reseptor domain (meliputi BH3, BH2, dan BH1 domain) pada
anggota antiapoptosis. Pada prototipe protein BCL-2 antiapoptosis mengandung
BH4 domain yang unik, dipercaya berperan penting untuk berinteraksi dengan
Apaf-1, yang akan mencegah aktivasi dari caspase. Sebagai tambahan terdapat
regio COOH-terminal transmembran yang esensial untuk anchoring terhadap
mitokondria, retikulum endoplasma atau membran nuclear, α-helix 5 dan 6
meliputi regio BH1 dan BH2 penting dalam pembentukan channel pada regulasi
pelepasan sitokrom c oleh mitokondria. Walaupun tidak ada molekul yang
spesifik yang diidentifikasi untuk berinteraksi dengan channel domain protein
BCL-2 ini, studi terkini menunjukkan bahwa pembentuk channel keluarga BCL2 dapat berinteraksi dengan multipel protein mitokondria untuk meregulasi
pelepasan sitokrom c melalui transisi permeabilitas dari pori – pori mitokondria
(Sheau et al, 2000).
26
Gambar 2.8 Prototipe bcl2 (Sheau et al, 2000).
2.2.2 Apoptosis dan peran bcl-2
Apoptosis adalah alur kematian sel yang di induksi oleh program “bunuh diri”
sel yang diatur dengan ketat dimana sel – sel yang ditakdirkan untuk mati
mengaktifkan enzim yang akan mendegradasi inti DNA sel itu sendiri dan protein
sitoplasma. Sel apoptosis terpecah menjadi beberapa fragmen, yang disebut badan
apoptosis, yang terdiri dari sebagian sitoplasma dan inti.Membran plasma dan badan
sel apoptosis tetap utuh, tetapi strukturnya diubah sedemikian rupa sehingga ini
menjadi "lezat" bagi fagosit. Sel yang mati dan fragmen – fragmennya dengan cepat
di fagositosis, sebelum isi dari sel keluar dan karena itu kematian sel melalui alur ini
tidak menimbulkan reaksi inflamasi pada inang/host
(Robbins et al 2010).
Apoptosis terjadi secara fisiologis baik selama masa perkembangan dan
sepanjang masa dewasa, serta berfungsi untuk menghilangkan sel – sel yang
tidak diinginkan, sel – sel yang sudah menua atau sel yang berpotensi berbahaya.
Apoptosis juga merupakan peristiwa patologis ketika sel – sel sakit menjadi
rusak dan tidak dapat diperbaiki akhirnya akan dieliminasi (Robbins et al, 2010).
27
2.2.2.1 Mekanisme apoptosis
Setiap sel mengandung mekanisme yang mana terdapat sinyal kematian atau
bertahan hidup, apoptosis dihasilkan dari ketidakseimbangan antara kedua sinyal
tersebut.Dikarenakan apoptosis yang terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat
mendasari banyak penyakit, seperti penyakit degenerasi dan kanker. Salah satu
fakta yang muncul adalah mekanisme dasar apoptosis, gen, dan protein yang
mengendalikan proses dan urutan alur apoptosis terdapat dalam semua
organisme multiseluler (Robbins et al, 2010)
Proses apoptosis dapat dibagi menjadi tahap inisiasi, di mana terdapat
beberapa caspases yang menjadi katalis aktif, serta tahap eksekusi atau
pelaksanaan, di mana caspases lainnya memicu degradasi komponen seluler.
Inisiasi apoptosis terjadi oleh karena sinyal dari dua jalur yang berbeda:. Jalur
intrinsik, atau mitokondria,, dan ekstrinsik, atau kematian reseptor (Robbins et
al, 2010).
Jalur ini diinduksi oleh stimulus yang berbeda dan melibatkan set protein
yang berbeda, walaupun terdapat beberapa persilangan jalur diantaranya. Kedua
jalur bertemu untuk mengaktifkan caspases, yang merupakan mediator
sebenarnya kematian sel (Robbins et al, 2010).
28
Gambar 2.9 Mekanisme Apoptosis
(Robbins et al, 2010)
2.2.2.2 Inisiasi apoptosis alur intrinsik (mitokondria)
Alur apoptosis intrinsik akan menghasilkan peningkatan permeabilitas
mitokondria dan pelepasan dari molekul pro-apoptosis (death inducers) ke dalam
sitoplasma. Mitokondria mengandung protein seperti sitokrom c yang penting bagi
kehidupan, tetapi bila beberapa protein yang serupa terlepas ke dalam sitoplasma
(merupakan indikasi bahwa sel tersebut tidak sehat), akan menginisiasi program
“bunuh diri” dari apoptosis. Pelepasan protein mitokondria ini dikontrol secara
seimbang
melalui
anggota
keluarga
protein
BCL
antara
pro
dan
antiapoptosis.Terdapat lebih dari 20 anggota dari keluarga BCL.Faktor pertumbuhan
dan sinyal – sinyal bertahan hidup/survival menstimulasi produksi dari protein
antiapoptosis, salah satu yang utama adalah BCL-2, BCL-X dan MCL-1.
Normalnya protein ini terdapat pada sitoplasma dan membran mitokondria, dimana
mereka mengontrol permeabilitas mitokondria dan
29
mencegah kebocoran protein mitokondria yang nantinya memiliki kemampuan
untuk mencetuskan kematian. Bila sel kehilangan sinyal bertahan/survival, terjadi
kerusakan DNA, atau kesalahan sintesis protein maka akan merangsang stres
retikulum endoplasma (RE), sensor dari kerusakan atau stres akan diaktifkan. Sensor
tersebut juga merupakan anggota dari keluarga Bcl, dan termasuk juga protein yang
dinamakan Bim, Bid dan Bad yang mengandung “BCL-2 homologydomain” tunggal
(tiga dari empat domain tersebut ada pada BCL-2) dandinamakan “BH3-only
proteins”. Sensor kemudian akan mengaktifkan dua kritikal (proapoptosis) efektor,
Bax dan Bak, yang membentuk oligomers yang kemudian masuk kedalam membran
mitokondria dan membuat saluran/channel yang memperbolehkan protein dari
membran dalam mitokondria untuk bocor ke dalam sitoplasma. BH3 juga mengikat
dan memblok fungsi dari bcl-2 dan bcl-x, diwaktu yang sama sintesis dari bcl-2 dan
bcl-x menurun. Hasil dari aktivasi dari bax-bak disertai dengan hilangnya fungsi
perlindungan dari anggota keluarga bcl antiapoptosis, maka terjadi pelepasan
beberapa protein mitokondria kedalam sitoplasma yang akan mengaktifkan alur
caspase.Salah satu protein tersebut adalah sitokrom c, yang diketahui fungsinya
pada respirasi mitokondria. Sekali terlepas ke dalam sitosol, sitokrom c mengikat
protein yang dinamakan Apaf-1 (apoptosis-activating factor-1, homolog dari Ced-4
pada C elegans), yang yang kemudian akan membentuk hexamer berbentuk seperti
roda yang disebut apoptosom. Komplek ini dapat mengikat caspase-9, inisiator
caspase yang penting dari alur mitokondria, dan enzim akan memecah molekul
caspase-9 yang berdekatan, sehingga membentuk sebuah proses auto-amplifikasi.
Protein
30
mitokondria lainnya, seperti Smac/diablo, memasuki sitoplasma, kemudian
mereka mengikat dan menetralisir protein sitoplasma yang berfungsi sebagai
inhibitor fisiologis apoptosis (disebut IAP). Fungsi normal dari IAP adalah
untuk memblokir aktivasi caspases, termasuk caspase-3, dan menjaga sel-sel
tetap hidup.Netralisasi dari IAP ini merupakan inisiasi dari alur caspase
(Robbins et al, et al 2010).
Gambar 2.10 Apoptosis Alur Intrinsik (Mitokondria)
(Robbins et al, 2008)
2.2.2.3 Inisiasi apoptosis alur ekstrinsik (inisiasi reseptor kematian)
Alur ini diawali melalui keterlibatan reseptor kematian membran plasma pada
berbagai sel. Reseptor kematian merupakan anggota dari keluarga reseptor TNF
yang mengandung domain sitoplasma yang ikut dalam interaksi protein, disebut
domain kematian karena pentingnya untuk mengantarkan sinyal apoptosis (beberapa
anggota keluarga reseptor TNF tidak mengandung domain kematian,
31
fungsi mereka untuk mengaktivasi alur inflamasi, dan perannya dalam mencetuskan
apoptosis sangat sedikit). Reseptor kematian yang paling banyak diketahui adalah
reseptor TNF tipe 1 (TNFR1) dan protein yang terkait yang dinamakan Fas
(CD95).Mekanisme apoptosis yang di induksi oleh reseptor kematian digambarkan
dengan baik pada Fas.Reseptor kematian diekspresikan pada berbagai tipe sel.
Ikatan terhadap Fas dinamakan Fas ligand (FasL).FasL di ekspresikan pada sel T
untuk mengenali self antigen (berfungsi untuk mengeliminasi self-reactive limfosit),
dan pada beberapa limfosit T sitotoksik (yang membunuh sel yang terinfeksi virus
atau tumor). Ketika FasL mengikat Fas, tiga atau lebih molekul dari Fas dibawa
bersama – sama dengan domain kematian sitoplasma yang kemudian membentuk
tempat pengikatan untuk protein yang juga mengandung domain kematian dan
dinamakan FADD (Fas-associated deathdomain). FADD yang melekat pada
reseptor kematian kemudian berubah bentukmenjadi caspase-8 inaktif (pada
manusia, caspase-10), juga melalui domain kematian.Molekul pro-caspase-8
multipel dibawa ke dalam jarak tertentu sehingga mereka bersatu membentuk
caspase-8 aktif. Enzim kemudian akan mencetuskan aktifasi caspase dengan
memecah dan dengan mengaktifkan procaspase yang lain, serta enzim yang aktif
memediasi fase eksekusi apoptosis. Alur apoptosis ini dapat dihambat oleh protein
yang dinamakan FLIP, yang dapat mengikat pro-caspase-8 tetapi tidak dapat
membelah dan mengaktifkan caspase karena sedikit mengandung domain protease.
Beberapa virus dan sel normal memproduksi FLIP dan menggunakan inhibitor ini
untuk melindungi dirinya dari apoptosis yang dimediasi oleh Fas (Robbins et al,
2010).
32
Gambar 2.11 Apoptosis Alur Ekstrinsik (Inisiasi Reseptor
Kematian) (Robbins et al, 2010)
Telah
digambarkan
mengenai
alur
ekstrinsik dan
intrinsik untuk
menginisiasi apoptosis secara berbeda dikarenakan secara fundamental melibatkan
molekul yang berbeda untuk melakukan inisiasi, tetapi kemungkinan didapatkan
interkoneksi antara alur tersebut, contoh singkatnya, pada hepatosit dan beberapa sel
tipe yang lainnya, sinyal Fas mengaktivasi protein BH3 yang dinamakan Bid, yang
kemudian akan mengaktifkan alur mitokondria. (Robbins et al, 2008)
33
Gambar 2.12 Hubungan Antara Inisiasi Apoptosis Alur
Ekstrinsik Dengan Alur Intrinsik
(Robbins et al, 2010)
2.2.2.4 Apoptosis fase eksekusi
Kedua alur inisiasi bersatu pada aktifasi alur caspase, yang akan memediasi
fase akhir dari apoptosis. Seperti yang kita lihat, alur mitokondria berujung pada
aktifasi inisiator caspase-9, dan alur reseptor kematian kepada inisiator caspase-8
dan -10.Setelah inisiator caspase membelah untuk membentuk bentuk aktifnya,
enzim program kematian diatur dengan gerakan yang cepat dan berurutan untuk
aktifasi dari eksekusioner caspase. Eksekusioner caspase seperti caspase-3 dan - 6
bekerja pada banyak komponen selular. Secara singkat, caspase ini, sekali aktif
34
akan menghilangkan inhibisi dari sitoplasma DNase dan membuat DNase secara
enzimatik aktif; enzim ini menginduksi karakteristik pemecahan DNA menjadi
pecahan – pecahan ukuran nukelosom. Caspase juga mendegradasi komponen
struktural dari matriks inti, dan memacu fragmentasi dari nukleus.Beberapa
langkah dari apoptosis tidak sepenuhnya dapat dijelaskan, secara singkat, kita
tidak mengetahui bagaimana struktur dari membran plasma berubah pada sel
apoptosis, atau bagaimana membran menggembung dan membentuk badan
apoptosis (Robbins et al, 2010).
2.2.2.5 Penghancuran sel yang mati
Badan apoptosis terbagi menjadi fragmen – fragmen dengan ukuran yang
dapat dimakan oleh fagosit.Sel apoptosis dan fragmen – fragmennya juga
menjalani beberapa perubahan pada membrannya yang secara aktif mempromosi
fagositosis maka sel – sel tersebut dapat di bersihkan sebelum menjalani nekrosis
sekunder dan melepaskan komponen selularnya (yang dapat menyebabka
inflamasi).Pada sel yang sehat phosphatidylserine muncul pada lipatan dalam
membran plasma, tetapi pada sel apoptosis phospolipid ini melipat keluar dan
terekspresi pada lapisan luar dari membran, dimana dikenali oleh beberapa
reseptor makrofag.Sel apoptosis yang hampir mati mensekresi faktor – faktor
yang dapat larut yang kemudian menarik fagosit (Robbins et al, 2010).
Beberapa dari badan apoptosis mengekspresikan thrombospondin, glikoprotein
adesif yang dikenali oleh fagosit, dan makrofag sendiri dapat memproduksi protein
yang mengikat sel apoptosis (tetapi tidak kepada sel yang hidup) dan oleh karena itu
sel target mati di makan. Badan apoptosis dilapisi oleh
35
antibodi natural dan protein dari sistem komplemen, terutama C1q yang dikenali
oleh fagosit (Robbins et al, 2010).
Dengan demikian, reseptor pada fagosit dan ikatan – ikatan yang terjadi
yang diinduksi pada sel apoptosis terlibat dalam proses pengikatan dan
pemakanan sel ini. Proses fagositosis sel apoptosis sel ini sangat efisien yang
menyebabkan sel mati hilang, bahkan dalam waktu hitungan menit, tanpa
meninggalkan jejak, dan tidak terjadi inflamasi (Robbins et al, 2010).
2.2.3 Eksepresi bcl-2
Peranan bcl-2 pada apoptosis ovarium didukung melalui beberapa
penemuan dalam penelitian, termasuk (i) penurunan jumlah folikel pada
defisiensi bcl-2 pada tikus; (ii) ekspresi yang kuat dari bcl-2 menunjukkan
penurunan dari apoptosis folikuler dan atresia; (iii) defisiensi bax pada tikus
mempunyai folikel yang abnormal dengan jumlah sel granulose yang banyak;
dan (iv) ekspresi bax kuat pada folikel yang atresia dibandingkan dengan folikel
yang sehat (Mahmoud, 2005).
Saat bcl-2 mengalami overekspresi, protein BCL-2 akan menekan apoptosis
yang di induksi oleh bermacam - macam agen baik invitro maupun invivo
(Allsopp et al, 1993). Kemampuan produksi protein BCL-2 yang berlebihan
untuk mencegah kematian sel tanpa mempengaruhi proliferasi menyebabkan gen
bcl-2 digolongkan sebagai kategori baru dari onkogen (John, 1994).
36
Gambar 2.13 Keseimbangan Proliferasi dan Kematian S
el (Loren, 2008)
Gangguan regulasi ekspresi bcl-2 pada jaringan neoplasma menarik dalam
beberapa hal. Pertama, kemungkinan bahwa jumlah ekspresi bcl-2 yang tidak
seimbang terlibat dalam transformasi neoplasma, dan kedua, ekspresi bcl-2 oleh sel
tumor dapat membe rikan resistensi terhadap kemoterapi dengan menyebabkan
sel terhindar dari apoptosis (Jonathan et al, 1996). Ekspresi bcl-2
te lah diteliti
pada tumor solid, ter masuk non small sel paru – paru, prostat,
colon, dan
payudara. Ekspresi bcl-2 yang signifikan tidak menentu, tetapi secara paradoks,
studi retrospektif pada non-small sel paru – paru dan karsinoma payudara
menunjukkan bahwa ekspresi bcl-2 berkaitan
dengan memperpa njang usia
harapan hidup (Jonathan et al, 1996).
B-cell lymphoma-2 (pro-survival), bax
(proapoptosis)
diekspresikan pada sel granulosa baik pada ovarium fetus dan
d an
c-myc
dew asa. Bcl-2
ditemukan sebagian be sar pada folikel yang sedang berkembang seda ngkan bax
biasanya terlihat pada fo likel yang atresia (Mahmoud, 2005).
37
Ekspresi protein BCL-2 ditemukan pada semua komponen dari ovarium
fetus manusia (usia kandungan 19-33 minggu) yang bertujuan untuk mengatasi
aktivitas apoptosis yang luas. Ekspresi ini terkait dengan level dari gonadotropin
yang mana semakin tinggi gonadotropin akan meningkatkan ekspresi bcl-2 dan
menurunkan ekspresi dari bax (Mahmoud, 2005).
Maria, et al (1998) menemukan bahwa jaringan ovarium normal memiliki
level BCL-2 yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan jaringan
ovarium neoplasma. Sedangkan jaringan normal mengekspresikan level bax, bclxl, dan bcl-xs lebih rendah dibandingkan dengan jaringan ovarium neoplasma.
Data tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa regulasi dan peran gen ini pada
apoptosis mungkin berbeda dibandingkan pada karsinoma.
Rauf et al melakukan penelitian pada 41 jaringan ovarium ganas dan
borderline. Terdapat 63,4% sampel kanker ovarium yang mengekspresikan bcl2. Akumulasi bcl-2 ditemukan pada sitoplasma dan perinuklear.Ekspresi bcl-2
sangat kuat pada karsinoma ovarium dan lemah pada ovarium borderline,
ekspresi meningkat sesuai dengan makin buruknya derajat diferensiasi
tumor.Terdapat hubungan bermakna antara ekspresi bcl-2 dengan stadium
penyakit dan derajat diferensiasi (Rauf, et al, 2004).
38
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Dasar dari molekuler kanker adalah terjadinya kerusakan DNA namun
kerusakan tersebut bersifat tidak mematikan. Terdapat empat kelas gen normal
yang menjadi sasaran pokok kerusakan genetik pada patogenesis kanker, gen
tersebut
yaitu
growth-promoting
proto-oncogenes,
growth-inhibiting
tumorsuppressor genes, gen yang mengatur programmed cell death (apoptosis),
dan genyang terlibat dalam perbaikan DNA.
Mutasi yang terjadi pada gen DNA repair tidak secara langsung akan
mengubah sel, akan tetapi terlebih dahulu mempengaruhi proses proliferasi atau
apoptosis. Gen perbaikan DNA mempengaruhi proliferasi dan mekanisme
bertahan hidup sel melalui kemampuan suatu organisme untuk dapat
memperbaiki kerusakan gen yang tidak bersifat mematikan, termasuk pada
proto-onkogen, tumor suppressor gen, dan gen yang mengatur apoptosis. Tidak
berfungsinya gen DNA repairakan mempengaruhi sel untuk menyebarkan
mutasi pada genom dan menyebabkan transformasi neoplasma.
Aktivasi dari growth-promoting proto-oncogenes (contoh : gen her2-neu, ras,
myc dan cdk1) dan growth-inhibiting tumor suppressor genes (contoh : gen p53)
yang disertai dengan kegagalan perbaikan DNA (contoh : gen brca1 dan brca2) akan
menyebabkan proliferasi sel yang tidak terkontrol. Sedangkan mutasi pada
39
gen yang mengatur programmed cell death/apoptosis (contoh : gen bax dan bcl2) akan menyebabkan penurunan dari aktivitas apoptosis.
Salah satu mutasi gen pengatur apoptosis yang dikenal luas adalah bcl-2.
Protein BCL-2 berperan dalam mengontrol permeabilitas mitokondria dan
mencegah kebocoran protein mitokondria seperti sitokorom c yang memiliki
kemampuan untuk mencetuskan kematian sel (apoptosis).Overekspresi bcl-2
dapat mencegah atau secara nyata mengurangi kematian sel yang diinduksi oleh
berbagai macam stimulus.
Derajat diferensiasi merupakan hasil penilaian
mikroskopis untuk
menentukan keagresifan atau sifat biologis dari sel kanker, sesuai dengan peran
mutasi gen bcl-2 dalam proses malignansi kanker ovarium, terjadinya proliferasi
sel yang tidak terkontrol dengan penurunan dari aktivitas apoptosis akan
menyebabkan pertumbuhan dari sel kanker ovarium, dan selanjutnya akan
mempengaruhi derajat diferensiasi sel kanker tersebut.
3.2 Konsep Penelitian
Secara skematis konsep penelitian ditunjukkan pada bagan 3.1
bcl-2
Derajat Diferensiasi
Baik (G1)
Derajat Diferensiasi
Sedang (G2)
Bagan 3.1 Konsep Penelitian
40
Derajat Diferensiasi
Buruk (G3)
3.3 Hipotesis
Adapun hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Terdapat hubungan antara ekspresi protein BCL-2 dengan derajat
diferensiasi sel pada kanker ovarium epitelial.
41
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian berupa observasional analitik (cross-sectional), sampel
yang dipilih adalah jaringan blok parafin pasien penderita kanker ovarium
dengan derajat diferensiasi baik, sedang, dan buruk yang diperiksa dengan
pengecatan immunohistokimia untuk mengetahui adanya hubungan dengan
overekspresi bcl-2 pada jaringan blok parafin .
Kanker ovarium epitelial
Derajat diferensiasi
baik
Derajat diferensiasi
sedang
Derajat diferensiasi
buruk
Ekspresi bcl-2
(+)/(-)
Ekspresi bcl-2
(+)/(-)
Ekspresi bcl-2
(+)/(-)
Bagan 4.1. Rancangan Penelitian
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Obstetri dan Ginekologi, Patologi
Anatomi, dan Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah,
Denpasar.Waktu Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2012 sampai bulan
Desember 2013.
42
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Adapun populasi target penelitian adalah semua pasien dengan kanker
ovarium epitelial. Populasi terjangkau penelitian adalah semua pasien kanker
ovarium epithelial yang telah menjalani pembedahan laparotomi di RSUP
Sanglah dari tahun 2011 sampai 2013, dimana jaringan hasil pembedahannya
tersebut telah dibuat blok parafin di bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah.
4.4 Penentuan Sumber Data
Sampel penelitian ini adalah semua blok parafin pasien kanker ovarium
epitelial di bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah yang berasal dari pasien
kanker ovarium epitelial yang telah menjalani pembedahan di RSUP Sanglah
dari tahun 2011 sampai 2013 serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4.1 Kriteria inklusi
Kriteria inklusi penelitian adalah :
a. Blok parafin dari pasien yang terdiagnosis kanker ovarium epitelial dengan
kualitas blok parafin baik (tidak rusak) dan dapat dilakukan pemeriksaan
imunohistokimia bcl-2 dan pemeriksaan histopatologi derajat diferensiasi sel
kanker ovarium epitelial.
b. Data rekam medis yang lengkap
4.4.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi penelitian adalah :
Blok parafin dari pasien kanker ovarium epitelial yang sebelumnya pernah
menjalani kemoterapi atau radiasi (neoadjuvant) sebelum pembedahan.
43
4.4.3 Perhitungan besar sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Araoye, 2003):
____
_
N=
(__)
_
(1)
_
Keterangan:
N = besar sampel
Zα = 1,96 (α = 0,05)
P = 15,4% (prevalensi derajat diferensiasi sedang kanker ovarium epitelial tipe
serous di populasi)
q = 84,6% (1-p)
d = 10 % (penyimpangan absolut penelitian)
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas,
diperoleh besar sampel penelitian adalah 50,04 buah. Sehingga dalam penelitian
ini diambil sampel penelitian sebanyak 51 buah.
4.4.4 Cara pengambilan sampel
Sampel diambil dari blok parafin pasien kanker ovarium epithelial yang
telah menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2011 sampai 2013
serta telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian dipilih dengan cara
random sampling sebanyak 51 buah.
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Identifikasi variabel
Identifikasi variabel adalah sebagai berikut :
Variabel bebas
: ekspresi protein B-cell lymphoma-2 (BCL-2)
44
Variabel tergantung : derajat diferensiasi kanker ovarium epithelial
Variabel terkontrol : Umur, paritas, Indek Massa Tubuh (IMT),
4.5.2 Definisi operasional variabel
Definisi operasional variabel penelitian adalah sebagai berikut.
a. Kanker ovarium epitelial adalah keganasan pada ovarium dimana
jaringannya berasal dari jaringan epitelial coelomicatau mesotelium
b. Ekspresi protein BCL-2 adalah protein BCL-2 pada sediaan kaca objek
yang terwarnai granula coklat pada sebagian besar perinuklear dan
sitoplasma sel epitelial, yang mana merupakan lokasi dari mitokondria
dan retikulum endoplasma menggunakan teknik imunohistokimia/IHC
(monoklonal) dan dilihat dalam suatu lapangan pandang mikroskopis
dengan pembesaran 400x kemudian dihitung secara semi-kuantitatif.
b.1 Dinyatakan overekspresi jika terwarnai coklat lebih dari 10%
(positif).
b.2 Dinyatakan tidak overekspresi jika terwarnai coklat kurang atau
sama dengan 10% (negatif) (Yamashita, 2004).
c. Derajat diferensiasi adalah tingkat diferensiasi yang dinilai menurut
Shimizu-Silverberg grading system.Sistem ini membagi derajatdiferensiasi
tumor menjadi berdasarkan pola arsitektur yang dominan, derajat atipia inti,
dan indeks mitosis (Malpica et al, 2004).Pola arsitektur sel kanker
ditentukan melalui bagian yang paling dominan yaitu glandular, papiler,
dan bentuk solid Atipia sitologi dievaluasi pada area tumor yang paling
atipik. Atipia ringan jika sel dengan inti vesikuler
45
relatifuniform, tanpa adanya penggumpalan kromatin atau anak inti yang
prominen. Atipia sedang jika variasi bentuk dan ukuran inti sedang,
anak inti dapat diamati tetapi kecil, kromatin inti menggumpal, tidak ada
bizarre.Atipia
berat
jika
bentuk
dan
ukuran
inti
sangat
bervariasi,kromatin inti sangat menggumpal, membran inti tebal, anak
inti prominen eosinofilik, dan dapat dijumpai bizarre.Jumlah mitosis
dihitung pada area yang paling aktif.
c.1 Derajat diferensiasi baik (G1) adalah apabila skor total ShimizuSilverberg grading system adalah 3-5
c.2 Derajat diferensiasi sedang (G2) adalah apabila skor total
Shimizu-Silverberg grading system adalah 6-7
c.3 Derajat diferensiasi buruk (G3) adalah apabila skor total
Shimizu-Silverberg grading system adalah 8-9
d. Umur adalah usia pasien dalam tahun yang diperoleh dari rekam medis
pasien.
e. Paritas adalah Jumlah janin viabel yang dilahirkan, diperoleh dari rekam
medis pasien.
f. Indek Massa Tubuh (IMT) adalah indek antropometri yang dihitung dengan
menggunakan parameter berat badan dan tinggi badan, yaitu berat badan
(dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan (dalam meter).
Berat badan dan tinggi badan diperoleh dari catatan rekam medis.
Kemudian hasil perhitungan tersebut dimasukkan dalam kelompok
46
berdasarkan kategori IMT menurut Departemen kesehatan (Depkes)
tahun 1994 (tabel 4.1)
Tabel 4.1 Kategori Indek Massa Tubuh (IMT) untuk Indonesia
2
IMT(kg/m )
Kategori
Kurang berat badan berat
< 17,0
Kurang berat badan ringan
17,0 – 18,5
Normal
> 18,5 – 25,0
Kelebihan berat badan ringan
> 25,0 – 27,0
Kelebihan berat badan berat
> 27,0
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah formulir penelitian,
komputer, alat tulis serta perlengkapan lainnya termasuk didalamnya instrumen
pengecatan imunohistokimia.
4.7 Prosedur penelitian
Prosedur penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan blok parafin dari pasien kanker ovarium epitelial yang
menjalani pembedahan di RSUP Sanglah dari tahun 2011 sampai 2013 di
bagian Patologi Anatomi RSUP Sanglah.
2. Blok parafin tersebut telah diperiksa secara histopatologis di Bagian Patologi
Anatomi dan telah terdiagnosis secara histopatologis sebagai kanker ovarium
epitelial.
3. Blok parafin pasien kanker ovarium epitelial selanjutnya harus memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi penelitian.
47
4. Blok parafin yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian
dipilih dengan cara random sampling sebanyak 51 buah.
5. Sampel blok parafin ini dilakukan pemeriksaan penentuan derajat
diferensiasi yaitu : derajat diferensiasi baik, sedang, dan buruk
6. Pada blok parafin yang sama kemudian dilakukan pemeriksaan ekspresi bcl2 dengan teknik imunohistokimia.
7. Akhirnya, dilakukan analisis terhadap hasil pemeriksaan ekspresi bcl-2 pada
masing-masing kelompok derajat diferensiasi kanker ovarium epitelial.
48
Blok parafin pasien
kanker ovarium epitelial
Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
Sampel penelitian
Random sampling
Pemeriksaan
Derajat diferensiasi sel kanker ovarium
Ekspresi bcl-2
Analisis
Bagan 4.2. Alur Penelitian
4.8 Pengumpulan dan Analisis Data
4.8.1 Pengumpulan data
Data hasil penelitian yang diperoleh dari bagian Obstetri dan Ginekologi,
Patologi Anatomi, dan Rekam Medis RSUP Sanglah dikumpulkan dan
dimasukkan dalam formulir penelitian (terlampir).
4.8.2 Analisis data
49
Data pada formulir penelitian kanker ovarium diolah dengan menggunakan
SPSS 17,0 for windows. Kemudian dilakukan beberapa tes atau uji, antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Karakteristik sampel disajikan secara deskriptif, dengan menggunakan
tabel.
b. Uji One sample KS untuk mengetahui normalitas data, uji One Way
Anova serta Uji Kruskal-Wallis untuk membandingkan nilai rerata
masing-masing variabel digunakan.
c. Uji Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel
penelitian.
50
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian dengan rancangan observasional analitik (cross-sectional), yang
dilaksanakan di Bagian Obstetri dan Ginekologi, Patologi Anatomi, dan Rekam
Medis RSUP Sanglah, Denpasar, mulai bulan Januari 2012 sampai bulan
Desember 2013. Sampel adalah jaringan blok parafin pasien penderita kanker
ovarium epitelial yang diperiksa dengan pengecatan immunohistokimia. Dari 60
sampel yang didapatkan dipilih sebanyak 51 buah dengan carasimple
randomsampling.
Sampel
hematoxylin-eosinuntuk
yang
terpilih
melihat
derajat
tersebut
dilakukan
diferensiasi
dan
pewarnaan
pewarnaan
imunohistokimia untuk melihat ekspresi protein BCL-2 kemudian dianalisis.
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Data karakteristik subjek yang meliputi umur, paritas, dan IMT disajikan
pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Karakteristik subjek yang meliputi umur, paritas, IMT
Derajat Diferensiasi
Variabel
Baik
P
Sedang
Buruk
(n=15)
(n=17)
(n=19)
Umur (tahun)
49,00±9,58
43,41±11,33
48,11±8,25
0,217
Paritas
1,80±1,42
1,59±1,18
1,84±1,26
0,809
IMT
23,25±5,20
22,88±4,35
21,02±2,34
0,363
51
Tabel 5.1 di atas, menunjukkan bahwa dengan uji One Way Anova dan
UjiKruskal-Wallis didapatkan nilai P > 0,05 pada ketiga variabel. Hal ini
berartibahwa tidak ada perbedaan nilai rerata antar kelompok pada masingmasing variabel.
5.2 Hubungan Antara Ekspresi Protein BCL-2 Dengan Derajat Diferensiasi
Sel Pada Kanker Ovarium Epitelial
Untuk mengetahui hubungan antara ekspresi BCL-2 dengan derajat
diferensiasi sel pada kanker ovarium epitelial dipakai uji Spearman.Hasil
analisis disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Hubungan antara ekspresi protein BCL-2 dengan derajat diferensiasi
sel pada kanker ovarium epitelial
Derajat Diferensiasi
Baik
Positif
Sedang
2
9
Buruk
r
8
BCL-2
0,217
Negatif
13
8
p
0,127
11
Tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
ekspresi protein BCL-2 dengan derajat diferensiasi sel pada kanker ovarium
epitelial (r=0,217, P=0,127).
52
BAB VI
PEMBAHASAN
Kanker ovarium epitelial merupakan kanker ovarium dengan tipe histologis
yang terbanyak.Sampai saat ini etiologi dan patogenesis kanker ovarium epitelial
belum jelas. Mutasi pada gen yang berperan dalam proses karsinogenesis dimana
salah satunya gen pengatur apoptosis diperkirakan berperan penting dalam
perkembangan sel epitel kanker ovarium. Gen utama yang telah dikenal berperan
dalam proses apoptosis adalah B cell lymphoma-2 (bcl-2) dimana berperan
sebagai antiapoptosis.
Untuk mengetahui hubungan antara ekspresi protein BCL-2 dengan derajat
diferensiasi sel pada kanker ovarium epitelial maka dilakukan penelitian crosssectional,
yang
dilaksanakan
di
Bagian
Kebidanan
dan
Penyakit
Kandungan,Patologi Anatomi dan Rekam Medis RSUP Sanglah, Denpasar dari
bulan Januari 2012 sampai bulan Desember 2013 dengan jumlah sampel 51 buah
blok parafin.
6.1 Karakteristik Subyek
Penelitian ini menggunakan 51 buah blok parafin sebagai sampel yang
telah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, yang terdiri dari 15 buah
blok parafin dengan derajat diferensiasi baik, 17 buah dengan derajat sedang,
dan 19 buah dengan derajat buruk.
Dari hasil penelitian didapatkan rerata umur kelompok derajat diferensiasi
baik adalah 49,00±9,58 tahun, rerata umur kelompok derajat sedang adalah
43,41±11,33 tahun, dan rerata umur kelompok derajat buruk adalah 48,11±8,25
53
tahun, dengan nilai P = 0,127. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan umur
antar kelompok derajat diferensiasi.
Hasil ini sesuai berdasarkan data distribusi umur pada kanker ovarium di
Indonesia tahun 2002 dimana didapatkan bahwa kanker ovarium paling banyak
pada usia 35 – 54 tahun dengan puncak umur penderita kanker ovarium adalah
umur 45 - 54 tahun (Aziz, 2009). Sedangkan di Amerika Serikat insiden kanker
ovarium meningkat sejalan dengan meningkatnya umur. Lebih dari 80% kanker
ovarium terjadi pada umur lebih dari 45 tahun, dimana umur rata – rata adalah
63 tahun (Permuth-Wey dan Sellers, 2009).
Hal tersebut sesuai dengan salah satu mekanisme terjadinya kanker ovarium
yaitu berdasarkan pada teori incessant ovulation.Berdasarkan teori ini risiko
kanker ovarium epitelial berkaitan secara langsung dengan jumlah siklus ovulasi
yang belum terganggu. Saat ovulasi, permukaan epitelium rusak kemudian akan
mengalami proliferasi dan perbaikan yang cepat. Pada saat ovulasi, terjadi
invaginasi permukaan epitelium ke stroma dibawahnya yang akan membentuk
kista inklusi. Garis epitelium dari kista inklusi tersebut kemudian akan
mengalami transformasi neoplasma dibawah pengaruh dari faktor – faktor
onkogen. (John et al, 2008).
Rerata paritas kelompok derajat diferensiasi baik adalah 1,80±1,42, rerata
paritas kelompok derajat sedang adalah 1,59±1,18, dan rerata paritas kelompok
derajat buruk adalah 1,84±1,26, dengan nilai P = 0,809. Hal ini berarti bahwa
tidak ada perbedaan paritas antar kelompok derajat diferensiasi.
54
Risiko kanker ovarium menurun secara progresif dengan meningkatnya jumlah
kehamilan (John, 2008).Kaitan antara kehamilan dan risiko kanker ovarium telah
banyak
diteliti.Kehamilan
menyebabkan
anovulasi
dan
menekan
sekresi
gonadotropin di hipofisis.Wanita multipara diperkirakan memiliki risiko yang lebih
rendah 30-60% terhadap kanker ovarium dibandingkan wanita nulipara. Lebih
lanjut,setiap tambahan kehamilan aterm akan menurunkan risiko kanker ovarium
sekitar 15% (Permuth-Wey dan Sellers, 2009). Paparan gonadotropin dosis tinggi
terhadap eptelium ovarium secara persisten dapat menghasilkan transformasi
neoplasma.Follilce stimulating hormone (FSH) telah diketahui dapat meningkatkan
pertumbuhan sel epitelial kanker ovarium secara invitro. Menurut hipotesis ini
peningkatan level sirkulasi gonadotropin akanmeningkatkan biosintesis estrogen
pada stroma ovarium, yang kemudian akan menyebabkan proliferasi abnormal dari
epitel yang berdekatan (John et al, 2008).
Rerata IMT kelompok derajat diferensiasi baik adalah 23,25±5,20 kg/m2,
rerata IMT kelompok derajat sedang adalah 22,88±4,35 kg/m2, dan rerata IMT
kelompok derajat buruk adalah 21,02±2,34 kg/m2, dengan nilai P = 0,363. Hal
ini berarti bahwa tidak ada perbedaan IMT antar kelompok derajat diferensiasi.
Hubungan antara faktor hormonal terhadap risiko kanker ovarium
menimbulkan pertanyaan mengenai pengaruh potensial lain dari kadar estrogen
yang bersirkulasi. IMT mengukur lemak tubuh yang dikalkulasikan dari berat
dalam kilogram dibagi tinggi dalam meter kuadrat.Pada wanita terutama yang
postmenopause sumber estrogen yang bersirkulasi berkaitan dengan aromatisasi
androgen pada jaringan adiposa (Permuth-Wey dan Sellers, 2009).
55
Schouten et al melakukan penelitian mengenai hubungan IMT dengan risiko
kanker ovarium, didapatkan bahwa IMT ≥ 30 memiliki relative risk 1.03 (95%
CI, 0.86-1.22) dibandingkan wanita dengan IMT 18.5 sampai 23. Dengan
perbandingan yang sama didapatkan relative risk 1.72 1.72 (95% CI, 1.02-2.89)
pada wanita premenopause dan 1.07 (95% CI, 0.87-1.33) pada wanita
postmenopause. Disimpulkan bahwa IMT tidak berkaitan dengan risiko kanker
ovarium pada wanita postmenopause tetapi memiliki hubungan positif pada
wanita premenopause (Schouten et al, 2008).
6.2 Hubungan Antara Ekspresi Protein BCL-2 Dengan Derajat Diferensiasi
Sel Pada Kanker Ovarium Epitelial
Pada penelitian ini didapatkan ekspresi protein BCL-2 sebanyak 2 dari 15
sampel (13,3%) pada derajat diferensiasi baik, 9 dari 17 sampel (52,9 %) pada
derajat diferensiasi sedang dan 8 dari 19 sampel (42,1%) derajat diferensiasi
buruk. Dengan uji Spearman didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
ekspresi protein BCL-2 dengan derajat diferensiasi sel pada kanker ovarium
epitelial dengan nilai P=0,127. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Sagarra et al, dimana didapatkan ekspresi protein BCL-2 sebanyak 8% pada
derajat diferensiasi baik, 21% pada derajat diferensiasi sedang dan 24% pada
derajat diferensiasi buruk. Walaupun kecenderungan intensitas pewarnaan yang
semakin meningkat dengan meningkatnya derajat diferensiasi, akan tetapi tidak
ada korelasi langsung antara ekspresi protein BCL-2 dan derajat diferensiasi sel
kanker ovarium tipe epitelial (P=0.56) (Sagarra, 2002). Arik dan Kulacoglu juga
mendapatkan bahwa tidak ada hubungan antara ekspresi protein BCL-2 dengan
56
derajat diferensiasi sel kanker ovarium dimana ekspresi bcl-2 sebanyak 33%
pada derajat diferensiasi baik, 33,3% pada derajat diferensiasi sedang dan tidak
ada pewarnaan pada derajat diferensiasi buruk (Arik dan Kulacoglu, 2010)
Hasil tersebut berbeda dengan beberapa penelitian lain. Penelitian yang
dilakukan di Indonesia oleh Rauf et al menemukan bahwa terdapat korelasi yang
signifikan antara derajat diferensiasi sel kanker ovarium dengan ekspresi protein
BCL-2, dimana derajat diferensiasi buruk memiliki pewarnaan yang lebih kuat
dibandingkan derajat diferensiasi yang lebih baik (P=0.023) (Rauf et al, 2004).
Sedangkan Chan et al melakukan penelitian dimana didapatkan penurunan ekspresi
protein BCL-2 yaitu 30% pada derajat diferensiasi baik, 27% pada derajat
diferensiasi sedang, dan 7% pada derajat diferensiasi buruk. (Chan et al, 2000).
Lukyanova et al menemukan bahwa pewarnaan bcl-2 secara mayoritas didapatkan
pada kanker ovarium epitelial dengan derajat diferensiasi baik (Lukyanova et al,
2000). Skirnisdóttir et al juga menyatakan hubungan terdapat terbalik antara
ekspresi protein BCL-2 dengan derajat diferensiasi (P=0.034) pada kanker ovarium
epitelial (Skirnisdóttir et al, 2002). Preethi et al menemukan penurunan secara
gradual ekspresi protein BCL-2 pada kanker ovarium dengan derajat diferensiasi
buruk (Preethi et al, 2002).Elnashar dan Hafez juga menemukan hubungan terbalik
antara ekspresi protein BCL-2 dan derajat diferensiasi kanker ovarium epitelial
(P<0.005) (Elnashar dan Hafez, 2012).
Adapun perbedaan ekspresi protein BCL-2 pada penelitian ini dengan
beberapa penelitian yang lain dapat disebabkan oleh karena adanya
ketidakseragaman pada fase preanalitik dan fase analitik, Perbedaan pada fase
57
preanalitik adalah fase yang dimulai sejak jaringan dikeluarkan dari tubuh
penderita sampai jaringan siap diproses untuk pemeriksaan imunohistokimia,
dalam hal ini jaringan beku atau jaringan yang telah di blok parafin dan fiksasi
jaringan yang dipergunakan, hal tersebut akan mempengaruhi hasil pemeriksaan
imunohistokimia. Demikian pula dengan fase analitik, fase dimana jaringan
mulai diproses sampai menjadi sediaan yang siap diintrepretasi oleh patologik
terutama dalam hal antibodi primer yang dipergunakan.Perbedaan kriteria
interpretasi yang dipergunakan pun juga mempengaruhi hasil penelitian.
Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara ekspresi protein BCL2 dengan derajat diferensiasi sel kanker ovarium epitelial dapat dikarenakan
untuk terjadinya suatu proses keganasan membutuhkan beberapa gen yang
terlibat dalam jalur karsinogenesis yang multistep. Gen tersebut dibagi menjadi
empat kelompok, yaitu onkogen sebagai gen pemicu pertumbuhan sel (her2-neu,
ras, myc, dan cdk1), inaktivasi gen supresor tumor (brca1, brca2 dan p53),
perubahan pada gen apoptosis (bax dan bcl-2), dan kerusakan gen yang terlibat
pada perbaikan DNA (brca 1 dan brca 2). Mutasi yang terjadi pada gen-gen
tersebut berperan dalam proses karsinogenesis termasuk dalam tingkat derajat
diferensiasi sel dan proses apoptosis, sehingga gen bcl-2 bukan satu – satunya
gen yang berperan dalam diferensiasi sel dan apoptosis (Robbins et al, 2010).
Mutasi gen yang banyak diteliti pada perkembangan kanker ovarium epitelial
diantaranya mutasi onkogenik k-ras. Famili dari ras onkogen terdiri dari k-ras, h-ras
dan n-ras. Produk protein dari famili ras tersebut berperan pada regulasi siklus sel
dan mengontrol proliferasi dari sel. Mutasi ras terlibat dalam karsinogenesis
58
melalui perannya menghambat apoptosis seluler dan meningkatkan proliferasi
seluler. Mutasi gen ini banyak didapatkan pada kanker ovarium yang
berkembang dari perubahan akumulasi genetik yang mengarah kepada
transformasi keganasan dari kista jinak menjadi tumor LMP (Low malignant
Potential) dan pada akhirnya berkembang menjadi karsinoma ovarium invasif
(Makarla, 2005; Schorge, 2008). Kanker invasif yang berkembang dari tumor
LMP juga mengalami mutasi pada p53 tumor suppressor gen (Schorge, 2008).
Gen berikutnya adalah gen brca. Wanita yang dilahirkan dengan mutasi BRCA
hanya membutuhkan satu “pengaruh” kepada copy normal yang lain (alel) untuk
“melumpuhkan” produk dari brca tumor suppressor gen. Brca-terkait ovarium dan
kanker peritoneal memiliki patogenesis molekuler yang unik, karena membutuhkan
inaktivasi p53 untuk berkembang (Buller, 2001). P53 adalah tumor suppressor gen
yang telah dipetakan pada kromosom 17. Produk proteinnya dapatmencegah sel
memasuki tingkat selanjutnya dari pembelahan sel dan dengan demikian akan terjadi
penghentian dari replikasi sel tumor yang tidak terkontrol. Mutasi pada p53
berkaitan dengan bermacam kanker. Hilangnya fungsi brca dan p53 yang terdeteksi
sebelum invasi, mendukung anggapan lebih lanjut mengenai gen – gen tersebut
penting pada tahap awal pencetus tumor (Schorge, 2008).
Fungsi utama bcl-2 pada sel epitel ovarium permukaan belum begitu jelas.
Protein BCL-2 selain berperan dalam menghambat proses apoptosis, juga
diperkirakan berperan penting dalam menjaga fungsi fisiologis normal dan
integritas dari epitel permukaan ovarium yang mengalami ovulasi. Penekanan
regulasi dari protein BCL-2 dapat mengganggu fisiologis normal epitel ovarium
59
normal yang dapat menyebabkan perubahan abnormal bahkan keganasan.
Diebold et al melaporkan bahwa apoptosis terjadi paling banyak pada tumor
dengan derajat diferensiasi buruk, hal tersebut menyatakan bahwa walaupun
tumor ganas menunjukan aktivitas proliferatif yang tinggi, secara relatif terjadi
aksi dari apoptosis yang tinggi, hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi proses
penggantian sel yang tinggi pada tumor ini (Chan et al, 2000).
Selain itu beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat gen lain yang
berhubungan dengan bcl-2 dalam proses apoptosis. Gen yang paling banyak
diteliti adalah p53. Apoptosis secara signifikan lebih tinggi pada tumor dengan
derajat diferensiasi buruk dibandingkan dengan tumor derajat diferensiasi baik
atau sedang, dimana tumor dengan derajat diferensiasi buruk menunjukkan
overekspresi p53 dan berkurangnya ekspresi bcl-2.Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa overekspresi mutan p53 dapat menginduksi penekanan bcl2 pada tingkat mRNA dan protein.Juga telah ditunjukkan bahwa wild dan mutan
p53 menekan bcl-2 dengan mengikat elemen trankripsi silencer dengan promoter
bcl-2 (Preethi et al, 2002).
Ekspresi protein juga dipengaruhi oleh proses sintesis protein oleh gen.
Sintesis protein secara garis besar dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap
transkripsi (mengkopi informasi DNA menjadi molekul lain yang dinamakan
RNA messenger) dan tahap translasi (sintesis protein dari asam amino dengan
menggunakan RNA messenger sebagai blueprint). Tahap transkripsi terjadi di
nukleus sel, terdiri dari tiga proses yaitu, inisiasi (RNA polymerase mengikat
DNA pada tempat yang spesifik yang dinamakan promoter, berlokasi dekat
60
dengan bagian awal gen), elongasi (RNA polymerase membentuk ribonukleotida
yang sesuai untuk membentuk mRNA), terminasi (RNA polymerase dikenal
pada bagian ujung gen). Tahap translasi terjadi pada sitoplasma sel, terdiri dari
tiga tahap yaitu, inisiasi (ribosom mengikat mRNA, dan bergerak sepanjang
untai membaca 3 nukleotida secara bersamaan), elongasi (tRNA menghantarkan
asam amino yang sesuai untuk membentuk polypeptida), terminasi (tRNA
mencaoai 3 urutan basa yang merupakan sinyal untuk berhenti, dan polypeptide
dilepaskan). Pada kanker ovarium dapat terjadi kerusakan gen. Kerusakan dan
gangguan yang terjadi pada proses transkripsi maupun translasi pada gen bcl-2
akan menyebabkan tidak terjadi sintesis protein atau sintesis protein yang tidak
sesuai dengan seharusnya. Hal tersebut dapat menyebabkan lemahnya ekspresi
protein bcl-2 pada kanker ovarium epitelial (Moat A. G. et al, 2002)
61
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2011,
BCL-2.
[cited
2011
November
http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultranet/BiologyPages/B/BCL-2.html
12]
Alan, H. D., Lauren, N. 2002. Premalignant and Malignant Disorder of The
Ovaries and Oviduct. Current obstetric & gynecology diagnosis and treatment.
Eight edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies. Chapter
49.
Araoye, M. O. 2003. Sample Size in: Research Methodology with Statistic
for Health and Social Sciences. Ilorin: Nathadex Publishers. p. 115-122.
Arik, D. and Kulaçoğlu, S. 2011. p53, bcl-2, and nm23 Expressions in
Serous Ovarian Tumors: Correlation with the Clinical and Histopathological
Parameters. Cilt; 1: 38-45
Aziz, M. F. 2009. Gynecological Cancer In Indonesia. J Gynecol Oncol.vol
20; 1:8-10
Badan Registrasi Kanker. 2006. Kanker di Indonesia Tahun 2006
DataHistopatologik. Jakarta: Yayasan Kanker Indonesia.
Berek, J. S.,
Hacker,
N.
F.
2005. Epithelial
Ovarian
Cancer.PracticalGynecologic Oncology, 4th ed. Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins.p.443-509.
Buller, R. E., Lallas, T. A., Shahin, M. S. 2001. The p53 Mutational
Spectrum Associated with BRCA1 Mutant Ovarian Cancer. Clin Cancer Res 7,
pp. 831.
Busman, B. Aziz, M. .F., Andriono, Siafuddin, A .B 2008. Kanker Ovarium.
Buku Acuan Nasional Onkologi dan Ginekologi. Jakarta: Yayasan Bina
PustakaSarwono Prawirohardjo.
Chan, W. Y., Kwok-Kuen, C., John, O. S., Lee-Wen H, William R. W,
Debra A. B Ross S. B and Samuel C. M. 2000. Short Communication : Bcl-2
and p53 Protein Expression, Apoptosis, and p53 Mutation in Human Epithelial
Ovarian Cancers. American Journal of Pathology, Vol. 156, No. 2,pp. 409-417.
Colditz, G. A. 2004. Handbook of Cancer Risk Assesment and Prevention.
(serial
online),
[cited
2010
Aug.
18).
Available
from:
URL:
http://riskfactor.cancer.gov/cancer_risk_prediction/workshop/JNCI_Workshop_C
ommentary.pdf.
62
Danukusumo, D. 1991. Akurasi Pembedahan Kanker Ovarium, Tinjauan
Retrospektif di RS Cipto Mangunkusumo 1991.Simposium Keganasan
Ovarium.PTP POGI IX, Bandung.
David, O. M. 2007. The Cell Cycle in Cancer.The Cell Cycle principles
ofcontrol, pp. 248-267.
Djuana, A., Rauf, S., Manuaba, I. B. G. F. 2001. Pengenalan Dini Kanker
Ovarium. Makalah ilmiah PIT XII POGI Palembang.
Elnashar, A. T., and Hafez, A. S. 2012.Immunohistochemical Expression of
CD44V6, P53 and BCL-2 in Epithelial Ovarian Tumors.Journal of
AmericanScience; 8(8):258-264.
Fadlan. 1993. “Tinjauan Kasus Neoplasma Ovarium Ganas di Rumah Sakit
Dr. Pirngadi Medan (1981–1990)” (tesis) Medan : Universitas Sumatera Utara.
Fauzan, R. 2009. “Gambaran Faktor Penggunaan Kontrasepsi Terhadap
Angka Kejadian Kanker Ovarium di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
berdasarkan pemeriksaan histopatologik tahun 2003-2007” (tesis). Jakarta:
Universitas Indonesia.
Granstrom, C. 2008. Population Attributable Fractions for Ovarian
Cancerin Swedish Women by Morphological Type. (serial online), [cited 2010
Oct.
21].Available
from:
URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2359681/.
Gunawan, P. 1979. Neoplasma Ovarium Ganas di RS Dr Sutomo Surabaya
selama 3 tahun (Oktober 1974–Oktober 1977).Naskah Lengkap KOGI IV.hal
629-38.
Hockenbery, D. M., Nunez, G., Milliman, C., Schreiber, R. D., and
Korsmeyer, S. J. 1990. Bcl-2 Is An Inner Mitochondrial Membrane Protein That
Blocks Programmed Cell Death. Nature 348, pp. 334-336.
Huston, L. M. 2006. Cell Differentiation and Natural Compounds
ThatInduced Differentiation Induce-Differentiation [cited 2010 Nov.24].
Availablefrom : http://www.physiolcell.org/sch/art/17/.
Ishioka, S., Sagae, S., Terasawa, K., Sugimura, M., Nishioka, Y., Tsukada,
K., Kudo, R. 2003. Comparison of the Usefulness Between a New Universal
Grading System for Epithelial Ovarian Cancer and the FIGO Grading System.
Gynecologic Oncology, 89(3). p. 447-452.
John, A. R., Howard, W. J. III. 2008. Ovarian Cancer: Etiology, Screening,
and Surgery. Te Linde’s Operative Gynecology tenth edition. United State of
America : Lippincott Williams & Wilkins. Chapter 49.
63
John, C. R,. 1994. Bcl-2 and the Regulation of Programmed Cell Death.
jcb.rupress.org, pp. 1-6
Jonathan, O. J. H., Aristides, G. E., Jane, W., Gerald, N., Lawrence, S. Y.,
and David, J. K. 1996. The Prognostic Significance of Bcl-2 and p53 Expression
in Ovarian Carcinoma.Cancer research. 56, pp. 2178-2184
Kartodimejo, D. 1976. Karsinoma Ovarii. Naskah Lengkap KOGI-III,
Medan, hal 405-12.
Karyana, K. 2005. “Profil Kanker Ovarium di Rumah Sakit Sanglah
Denpasar periode Januari 2002 sampai Desember 2004” (tesis). Denpasar
Universitas Udayana
Kommoss, S., Schmidt, D., Hedderich, J., Harter, P., Pfisterer, J., du Bois,
A. 2009. Histological Grading in a Large Series of Advanced Stage Ovarian
Carcinomas by Three Widely Used Grading Systems Consistent Lack of
Prognostic Significance.Virchows Arch, 454:249-256
Lahmann, P. H. 2009. Anthropometric Measures and Epithelial
OvarianCancer Risk in The European Prospective Investigation into Cancer and
Nutrition. (serial online), [cited 2010 Sep. 18]. Available from:
URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19821492.
Lukyanova, N. Y., Kulik, G. I., Yurchenko, O. V., Shatrova, K . M.,
Vorobyova, L. I., Svintitsky, V. S., Evtushenko, G. V., Chekhun, V. F.
Expression Of P53 And Bcl-2 Proteins In Epithelial Ovarian Carcinoma With
Different Grade Of Differentiation. Experimental Oncology ;22: 91-93.
Mahmoud, R. H. 2005. Apoptosis in The Ovary: Molecular Mechanisms.
Human reproduction Updated vol 11 No 2, pp. 162-178
Makarla, P. B., Saboorian, M. H., Ashfaq, R. 2005. Promoter
Hypermethylation Profile of Ovarian Epithelial Neoplasms.Clin Cancer Res 11,
pp. 5365.
Maria, M., Giovanni, S., Simona, M., Gabriella.F., Sonia, l., Anna, D. P.,
Pierluigi, B. P., and Salvatore, M. 1998.Bcl-2, bax, bcl-xL, and bcl-xı
Expression in Normal and Neoplastic Ovarian Tissues.Clinical Cancer Research
Vol. 4, pp. 517-524.
Malpica, A. Deavers, M T., Lu, K., Bodurka, D. C. Atkinson, E .N.
Gershenson, D. M., Silva, E .G. 2004. Grading Ovarian Serous Carcinoma Using
Two Tier System. Am J Surg Pathol 28, pp. 249-504.
64
Malpica A. 2007. Interobserver and Intraobserver Variability of A Two-Tier
System for Grading Ovarian Serous Carcinoma. Am J Surg Pathol 31, pp. 1168.
Miguel, H. B., MaryAnn, F., Giuseppe, G. 2008.Genetic Markers in
Sporadic Tumors.Principles of Molecular Oncology, pp. 83-84.
Moat A. G, Foster J. W, Spector M. P. 2002. Macromolecular Synthesis
And Processing : DNA, RNA, And Protein Synthesis. Microbial Physiology.
Chapter 2, pp. 27 – 100
Morita, Y., and Tilly, J. L. 1999. Oocyte Apoptosis: Like Sand Through An
Hourglass. Dev Biol 213, pp. 1–17
Permuth-Wey, J., and Sellers, T. A. 2009.Epidemiology of Ovarian
Cancer.Methods of Molecular Biology.Cancer Epidemiology, vol. 472
Preethi, T. R., Chacko, P., Kesari, A. L., Praseeda, I., Chellam, V. G., Pillai,
M. R. 2002. Apoptosis in Epithelial Ovarian Tumors.Pathol. Res. Pract. 198:
273–280.
Rauf S., Rina, M., Irawan, Y. 2004.Bcl-2 Protein Expression in Ovarian
Cancer.J Med Nus 25, pp. 55-58.
Reed, J. C., Jurgensmeimer, J. M., and Matsumaya, S. 1998. Bcl-2 Family
Proteins and Mitochondria.Biochim.Biophysis. Acta 1366, pp. 127-137.
Reeves, G. K. 2007. Cancer
Incidence and Mortality in Relation to
Body Mass Index in The Million
Women Study: Cohort Study. (serial
online), [Accessed:
2010 Aug.
5].
Available from:
URL:
http://www.bmj.com/content/335/7630/1134.abstract.
Robbins, Cotran. 2010. Molecular Basis of Cancer. Pathologic Basis
ofDisease 8th edition, Saunders, an imprint of Elsevier Inc, Philadelphia.
Sagarra, R. A. M., Andrade, L. A., Nartinez, E. Z., Pinto, G. A., Syrjanen,
K. J., Derchain, S. F. M. 2002. P53 and Bcl-2 as Prognostic Predictors in
Epithelial Ovarian Cancer.Int J Gynecol Cancer; 12: 720-727
Sahil. M. F. 2007. Penatalaksanaan Kanker Ovarium Pada Wanita Usia Muda
Dengan Mempertahankan Fungsi Reproduksi. Pidato pengukuhan jabatan
gurubesar tetap dalam bidang ilmu onkologi ginekologi pada fakultas
kedokteran,diucapkan di hadapan rapat terbuka universitas sumatera utara, hal.1-38.
Sato, Y., S., Tomihiro, M. D. A., Satoshi, M. .D., Asada, Y. M. D., Hayashi,
T. M. D. 2003. Prognostic Value of Histologic Grading of Ovarian Carcinomas.
Int J Gynecol Pathol, 22(1): 52-6.
65
Schorge, J. O. 2008. Epithelial Ovarian Cancer ,Ovarian Germ Cell and Sex
Cord–Stromal Tumors. Williams Gynecology Section 4. Texas: The McGrawHill Companies Inc. chapter 35-36.
Schouten, L. J. 2008. Height, Body Mass index, and Ovarian Cancer:
aPooled Analysis of 12 Cohort Studies. (serial online), [cited 2010 Sep.
10].Available from: URL:
http://info.cancerresearchuk.org/cancerstats/types/ovary/riskfactors/.
Sheau, Y. S., and Aaron, J. W. H. 2000. Tissue Specific Bcl-2 Protein
Partners in Apoptosis: An Ovarian Paradigm. Physiological review vol 80, No 2,
pp. 593-610.
Silverberg, S. G. 2000. Histopathologic Grading of Ovarian Carcinoma: A
Review and Proposal. Int J Gynecol Pathol 19, pp. 7–15.
Skirnisdóttir, T. Seidal, E. Gerdin, B., Sorbe. 2002. The Prognostic
Importance of P53, Bcl-2, And Bax in Early Stage Epithelial Ovarian Carcinoma
Treated With Adjuvant Chemotherapy. Int J Gynecol Cancer;12:265–276.
Sriwidyani N P. 2008. Korelasi Ekspresi Her-2/neu Dengan Tipe Histologik
dan Derajat Diferensiasi karsinoma Ovarium, (tesis), Denpasar, Universitas
udayana.
Stefan, K., Dietmar ,S., Friedrich, K., Juergen, H., Philipp, H., Jacobus, P.,
Andreas, D. B. 2009. Histological Grading in a Large Series of Advanced Stage
Ovarian Carcinomas by Three Widely Used Grading Systems: Consistent Lack
of Prognostic Significance. A Translational Research Subprotocol of a
Prospective Randomized Phase III Study (AGO-OVAR 3 Protocol).Virchows
Arch 454, pp. 249–256.
Tavasolli, F. A., and Devilee, P. 2003. Tumours of the Ovary and
Peritoeum. Lyon: IARC Press, p. 113-202.
Tsujimoto, Y., Finger, L. R., Yunis, J., Nowell, P. C., Croce, C. M. 1984.
"Cloning of the Chromosome Breakpoint of Neoplastic B Cells With The T
(14;18) Chromosome Translocation". Science 226 (4678), pp. 1097–1099.
Tsujimoto, Y., Cossman, J., Jaffe, E., and Croce, C. 1985. Involvement of
the Bcl-2 Gene in Human Follicular Lymphoma.Science (Was. DC) 228, pp.
1449-1443.
Vang, R., Shih, I., Kurman, R.J. 2009.Ovarian Low-grade and High-grade
Serous Carcinoma; Pathogenesis, Clinicopathologic and Molecular Biologic
Features, and Diagnostic Problems.Adv Anat Pathol. 16: 267-282.
66
Vaux, D. L., Silke, J. 2003. Mammalian Mitochondrial IAP Binding
Proteins.Biochem Biophys Res Commun 304, pp. 499.
Wheeler, J.E. 2001. Histopathology of Ovarian Cancer in: Rubin, S.C.,
nd
Sutton,
G.P.,
editors.
Ovarian
Cancer,
2 .Ed.Lippincott
Williams&Wilkins.p.201-218.
Yamashita. 2004. P53 and BCL-2 Sscoring. Breast Cancer.Res. 6, pp. 24-30.
67
Data Penelitian
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
CM
01.44.62.10
01.44.94.40
01.45.18.86
01.45.44.57
00.44.13.72
01.46.84.91
01.46.67.88
01.44.95.40
01.46.61.79
01.47.05.36
01.38.48.90
01.47.90.00
01.47.69.39
01.47.21.38
01.23.13.40
01.48.31.89
01.49.25.03
01.49.63.90
01.46.20.82
01.52.30.28
01.52.52.09
01.48.35.96
01.50.80.92
01.53.48.73
01.53.50.97
01.53.39.11
01.53.95.99
01.54.14.54
01.54.80.49
01.55.67.92
01.55.81.11
01.18.69.85
01.55.43.48
01.55.04.87
01.14.23.14
01.55.66.84
01.52.30.28
No. Parafin
blok
245/pp/2011
385/PP/2011
442/pp/2011
554/pp/2011
668/pp/2011
1151/pp/2011
1246/pp/2011
1306/pp/2011
1391/pp/2011
1460/pp/2011
1737/pp/2011
1914/pp/2011
1992/pp/2011
2024/pp/2011
2139/pp/2011
2208/pp/2011
2527/pp/2011
2667/pp/2011
2965/pp/2011
4335/pp/2011
4474/pp/2011
4497/pp/2011
175/pp/2012
263/pp/2012
0479/pp/2012
507/pp/2012
721/pp/2012
917/pp/2012
1097/pp/2012
1691/pp/2012
1709/pp2012
1285/pp/2012
1321/pp/2012
1324/pp/2012
1348/pp/2012
554/pp/2012
4335/pp/2011
Umur
50
34
48
59
49
30
40
64
44
60
48
45
28
44
43
36
50
47
37
61
36
48
39
52
55
39
67
35
56
44
58
39
48
63
35
66
46
71
Derajat
BCL-2 diferensiasi Paritas
positif
3
2
positif
2
2
negatif
3
0
positif
3
3
positif
3
3
negatif
2
1
negatif
1
0
positif
1
3
negatif
2
2
positif
1
3
negatif
1
2
positif
2
2
negatif
2
2
negatif
1
0
positif
2
2
negatif
3
2
positif
3
2
negatif
2
0
negatif
1
3
negatif
1
2
negatif
2
2
negatif
1
2
positif
2
1
positif
2
4
negatif
1
0
positif
3
0
negatif
2
0
positif
3
2
positif
2
3
negatif
2
2
negatif
3
1
negatif
3
2
positif
3
0
negatif
1
4
negatif
1
0
negatif
3
4
negatif
3
0
IMT
18.9
18.3
21.2
22.0
21.6
26.8
29.6
17.3
20.0
22.8
19.4
19.1
28.3
21.2
23.8
19.4
22.5
32.3
38.2
26.8
18.9
23.5
20.5
24.6
22.0
18.2
28.4
23.3
15.2
23.3
24.5
15.5
23.8
17.7
23.4
17.8
20.0
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
01.60.66.47
01.60.65.71
01.61.98.89
01.61.89.00
01.55.59.01
13.00.39.42
01.22.78.66
01.64.20.03
13.00.50.48
01.64.70.41
13.00.71.29
13.00.34.13
01.64.45.93
01.64.81.09
0022/pp/2013
0154/pp/2013
829/pp/2013
1246/pp/2013
1463/pp/2013
3545/PP/13
3554/PP/13
2506/pp/2013
3583/pp/2013
3587/pp/2013
3593/pp/2013
3162/pp/2013
3261/pp/2013
2877/pp/2013
46
45
51
50
44
29
44
60
61
40
50
33
45
46
72
negatif
negatif
negatif
negatif
negatif
positif
negatif
negatif
positif
negatif
negatif
positif
negatif
positif
3
1
3
1
3
2
3
3
2
1
2
2
1
3
2
2
4
4
3
0
1
2
3
1
1
0
1
2
22.2
19.8
20.4
22.0
21.2
22.1
20.2
23.4
24.2
22.3
19.9
23.2
22.8
23.2
Langkah – langkah Pengecatan
Pengecatan rutin dengan reagen
hematoxylin-eosin (derajat diferensiasi)
1. Potong blok parafin dengan mikrotom
dengan ketebalan 5 mikron.
2. Masukan hasil potongan mikrotom ke
dalam waterbath
3. Tempelkan hasl potongan mikrotom
diatas kaca objek yang sudah diberi
nomor lab dengan pensil kaca (menjadi
preparat).
4. Deparafinisasi dengan xylol sebanyak
4x (xylol I, xylol II, xylol III, dan xylol
IV) masing – masing selama 3-5 menit.
5. Dilanjutkan rehidrasi dengan alkohol
bertingkat menurun (alkohol 95%,
80%, 70%, 50%) selama masing –
masing 3-5 menit.
6. Cuci dengan air mengalir selama 5-10
menit.
7. Rendam preparat dalam larutan
Mayer’s hematoxillin selama 10-15
menit.
8. Cuci dengan air mengalir selama 20
menit.
9. Celupkan dalam HCL 0,4% sebanyak
1-2 celup.
10. Cuci dengan air mengalir selama 5-10
menit.
11. Celupkan dalam Litium karbonat 5%
sebanyak 3 celup.
12. Cuci lagi dengan air mengalir selama 510 menit.
13. Rendam dalam larutan Eosin selama 15
detik-2 menit.
14. Dilanjutkan dehidrasi dengan alkohol
50%, alkohol 70%, alkohol 80%, dan
alkohol 95% secara berturut-turut,
masing-masing selama 3-5 menit.
73
Pengecatan imunohistokimia bcl-2
1. Siapkan blok yang akan dicat
imunohistokimia
2. Potong blok sesuai permintaan yang
diinginkan (5 mikron) serta kontrol
positif (tonsil)
3. Tiriskan sebentar kemudian ditekan
menggunakan kertas saring pelan –
pelan. Panaskan sebentar diatas hot
plate dan disimpan dalam inkubator
suhu 45⁰C selama semalam.
4. Deparafinisasi dengan urutan xylol,
xylol, xylol, xylol, alkohol 95%,
alkohol 95%, alkohol 95%, alkohol
95%, dan air, masing-masing 2 menit.
5. Cuci dengan aquadest. Rotator selama
5 menit.
6. Dilanjutkan dengan penetesan H2O2 3%
selama 20 menit dalam chamber.
7. Slide ditempatkan pada wadah lalu
dilanjutkan dengan cuci aquadest
sambil digoyang-goyang selama 5
menit dan dilanjutkan dengan
pencucian memakai PBS selama 5
menit pada rotator.
8. Slide dilap dengan kassa lalu dilakukan
penetesan Ultra V blok selama 5 menit.
Slide cukup dilap saja tanpa dicuci,
dilanjutkan dengan penetesan antibodi
“Novocastra Lyphilized Mouse
Monoclonal antibody (NCL-bcl-2)”
dengan pengenceran 1:50, inkubasi
selama 60 menit pada suhu 25⁰C.
9. Slide dicuci dengan PBS selama 5
menit pada rotator sebanyak 2x.
10. Diteruskan dengan penambahan Biotin
(kuning), diamkan selama 15 menit.
15. Lalu rendam dalam xylol sebanyak
4x, masing-masing selama 3-5 menit.
11. Dicuci kembali dengan PBS selama 5
menit pada rotator sebanyak dua kali.
16. Mounting menggunakan entelan
danpreparat ditutup dengan kaca
penutup.
17. Beri label.
18. Diserahkan ke dokter PA untuk dibaca.
12. Diteteskan streptavidin (merah),
diamkan selama 10 menit.
13. Dicuci dengan PBS baru pada
rotator selama 4 menit.
14. Ditetesi dengan kromogen selama
10 nmenit.
19. Pembacaan di mikroskop dengan
pembesaran bertahap, penilaian derajat 15. Disiram dengan air kran 1x, lalu
diferensiasi dilakukan pada
dicuci kembali dengan air mengalir
pembesaran mikroskop 400x.
selama 10 menit
20. Derajat diferensiasi dinilai menurut
16. Ditetesi dengan HE mayer selama 4
Shimizu-Silverberg grading system.
menit saja. Dicuci dengan air
mengalir sampai bersih.
17. Dicelupkan sebentar pada alkohol
bertingkat, xylol, xylol, xylol, xylol.
18. Mounting menggunakan entelan dan
slide ditutup dengan deck glass.
19. Diserahkan ke dokter PA untuk dibaca.
20. Pembacaan di mikroskop dengan
pembesaran secara bertahap,
perhitungan semi kuantitatif
ekspresi protein bcl-2 dilakukan
pada pembesaran mikroskop 400x.
21. Dinyatakan overekspresi jika
terwarnai coklat lebih dari 10% dan
dinyatakan tidak overekspresi jika
kurang atau sama dengan 10%
Sumber : Buku Panduan Laboratorium Patologi Anatomi RSUP
Sanglah Denpasar tahun 2012
74
Hasil Pemeriksaan Imunohistokimia Bcl-2
Positif
Negatif
75
Perhitungan Uji Statistik
Uji Normalitas Data Karakteristik Subjek yang Meliputi Umur, Paritas,
dan IMT
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov
Statistic
df
Sig.
Shapiro-Wilk
df
Statistic
*
.200
Umur
.098
51
Paritas
.207
51
.000
IMT
.160
51
.002
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
.974
.892
.901
Sig.
51
51
51
.309
.000
.000
Uji One Way Anova Data Umur antar Derajat Diferensiasi
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
Std.
Mean Deviation
Std.
Error
15
49.00
9.577
2.473
43.70
54.30
35
64
Sedang
17
43.41
11.331
2.748
37.59
49.24
28
67
Buruk
19
48.11
8.252
1.893
44.13
52.08
35
66
Total
51
46.80
9.863
1.381
44.03
49.58
28
67
N
Umur Baik
Lower
Bound
Upper
Bound
Minimu Maxim
m
um
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic
Umur
Paritas
IMT
df1
df2
1.047
.477
1.924
2
2
2
Sig.
48
48
48
.359
.623
.157
ANOVA
Sum of Squares
Umur
Between Groups
df
Mean Square
300.132
2
150.066
Within Groups
4563.907
48
95.081
Total
4864.039
50
76
F
1.578
Sig.
.217
Uji Kruskal-Wallis Data Paritas dan IMT antar Derajat Diferensiasi
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
N
Paritas Baik
Sedang
Buruk
Total
IMT Baik
Sedang
Buruk
Total
15
Std.
Mean Deviation
1.80
1.424
Std.
Error
.368
Lower
Bound
1.01
Upper Minimu Maxim
Bound
m
um
2.59
0
4
17
19
1.59
1.84
1.176
1.259
.285
.289
.98
1.24
2.19
2.45
0
0
4
4
51
15
1.75
23.25
1.262
5.197
.177
1.342
1.39
20.38
2.10
26.13
0
17
4
38
17
19
51
22.88
21.02
22.29
4.354
2.338
4.075
1.056
.536
.571
20.64
19.89
21.15
25.12
22.14
23.44
15
16
15
32
24
38
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Grade
Paritas
IMT
N
Mean Rank
Baik
Sedang
15
17
26.63
24.18
Buruk
19
27.13
Total
51
Baik
Sedang
15
17
27.77
28.71
Buruk
Total
19
51
22.18
a,b
Test Statistics
Paritas
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
a. Kruskal Wallis Test
IMT
.423
2
.809
77
2.028
2
.363
a,b
Test Statistics
Paritas
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Grade
IMT
.423
2
.809
2.028
2
.363
Uji Hubungan dengan Spearman berdasarkan Tabulasi Silang 2 x 3 antara
Bcl-2 dengan Derajat Diferensiasi
Bcl_2 * Grade Crosstabulation
Count
Grade
Bcl_2 Positif
Negatif
Total
Baik
Sedang
Buruk
Total
2
9
8
19
13
8
11
32
15
17
19
51
Symmetric Measures
Value
Interval by
Interval
Ordinal by
Ordinal
Pearson's R
Spearman
Correlation
N of Valid Cases
Asymp. Std.
Approx.
a
b
Error
Approx. T
Sig.
.225
.125
1.617
.112
.217
.129
1.553
.127
51
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
78
c
c
Download