Tinjauan Pustaka INFEKSI MIKOBAKTERIUM ATIPIKAL

advertisement
Tinjauan Pustaka
INFEKSI MIKOBAKTERIUM ATIPIKAL
Jimmi Chandra*, Wieke Triestianawati*, Retno Kadarsih**
*Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
**Departemen Mikrobiologi
FK Universitas Indonesia/ RSUPN dr. CiptoMangunkusumo, Jakarta
ABSTRAK
Mikobakterium atipikal terdiri atas sekitar 50 spesies di luar M. tuberculosis dan M. leprae. Frekuensi
infeksi semakin tinggi sejak era pandemi HIV/AIDS, dengan distribusi di seluruh dunia. Beberapa spesies
yang menjadi patogen pada manusia di antaranya adalah M. avium, M. intracellulare, M. ulcerans, M.
marinum, M. kansasii, M. scrofulaceum, M. chelonae, dan M. fortuitum. Klasifikasi kuman berdasarkan
kecepatan tumbuh, pembentukan pigmen kuning, dan karakteristik koloni dibagi menjadi empat kelompok
yaitu fotokromogen, skotokromogen, nonkromogen, rapid growers. Status imun pejamu sangat menentukan
patogenesis dan prognosis, apakah local atau diseminata. Infeksi pada manusia dapat bermanifestasi sebagai
penyakit paru kronik, limfadenitis, infeksi kulit dan jaringan lunak, diseminata, infeksi pada bursa, sendi,
tendon, dan tulang. Infeksi kulit terjadi akibat inokulasi eksternal, penyebaran infeksi organ dalam, dan
hematogen. Lesi kulit dapat berupa pustul, plak hiperkeratotik, nodus, pola sporotrikoid, ulkus, dan sinus.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan identifikasi mikroorganisme pada kultur. Pemeriksaan histopatologis
dapat menunjang diagnosis. Sampai saat ini, tidak ada regimen antibiotik, baik tinggal maupun kombinasi
yang menjadi terapi pilihan. (MDVI 2011; 38/2:104-11)
Kata kunci: mikobakterium atipikal, M. avium, M. intracellulare, M. ulcerans, M. marinum, M. kansasii, M.
scrofulaceum, M. chelonae, M. fortuitum
ABSTRACT
Atypical mycobacterium consists of about fifty species excluding M. tuberculosis and M. leprae. Infection
is global and its incidence is increasing since HIV/AIDS pandemic era. Some pathogenic atypical
mycobacterium species for human are M. avium, M. intracellulare, M. ulcerans, M. marinum, M. kansasii, M.
scrofulaceum, M. chelonae, and M. fortuitum. The microorganisms are classified into four groups
(photochromogens, scotochromogens, non chromogens, rapid growers) based on their growth rate,
production of yellow pigment, and colony characteristics. Host immune status determines the disease’s course
and prognosis, such as occuring locally or disseminated. Clinical presentations in humans may include
chronic pulmonary disease, lymphadenitis, skin and soft tissue infections; disseminated disease; bursa, joint,
tendon, and skeletal infections. Skin lesions varies and may feature pustules, hyperkeratotic plaque, nodules,
sporotrichoid lesions, ulcers, and sinus. Diagnosis is based on culture microorganism identification.
Histopathologic examination can support the diagnosis. Until now, there is no monotherapy or combination
of antibiotics deemed as drugs of choice for atypical mycobacterium. (MDVI 2011; 38/2:104-11)
Keywords: atypical mycobacterium, M. avium, M. intracellulare, M. ulcerans, M. marinum, M. kansasii, M.
scrofulaceum, M. chelonae, M. fortuitum
Korespondensi :
Jl. Diponegoro 71- Jakarta Pusat
Telp. 021-31935383
Email: [email protected]
104
J Chandra dkk.
PENDAHULUAN
Istilah mikobakterium diperkenalkan pada tahun
1896 untuk menggambarkan satu kelompok besar bakteri
yang menghasilkan selubung seperti kapang (mould-like
pellicles) ketika dikembangbiakkan dalam media cair.1
Kuman ini berbentuk batang panjang, nonmotile, aerob,
bervirulensi rendah, tidak membentuk spora, dan memiliki
selubung lipofilik (asam mikolat) yang menyebabkan kuman
resisten terhadap pewarnaan asam alkohol (tahan asam) dan
zat bakterisidal.1-3 Genus mikobakterium, terdiri atas 95
spesies, meliputi organisme patogen pada manusia dan
hewan vertebrata, sebagian besar berupa organisme
komensal dan saprofit yang dijumpai di alam bebas.1,4
Kuman dijumpai secara alami di air tanah, air minum
yang berasal dari sistem penampungan, tap water, tanah,
aerosol, susu, parasit protozoa, hewan, dan manusia.5-7
Organisme patogen pada manusia yang terpenting adalah
M. tuberculosis dan M. leprae. Akan tetapi, telah
ditemukan berbagai spesies yang berbeda dengan M.
tuberculosis.
Kuman
ini
digolongkan
sebagai
mikobakterium atipikal.1
Saat ini sekitar 50 spesies mikobakterium atipikal
telah teridentifikasi namun hanya beberapa spesies yang
bersifat patogen terhadap manusia, di antaranya M. avium,
M. intracellulare, M chelonae, M. kansasii, M. marinum,
M. fortuitum, M. gordonae, dan M. ulcerans. Status imun
pasien sangat menentukan manifestasi penyakit, apakah
diseminata atau lokal.8
EPIDEMIOLOGI
Sejak tahun 1982, terjadi peningkatan frekuensi
infeksi mikobakterium atipikal, khususnya pada pasien
HIV/AIDS dan imunokompromais lainnya (keganasan,
transplantasi organ, atau pasien dalam terapi obat
imunosupresi).8 Berbeda dengan M. tuberculosis, transmisi
antar individu tidak terjadi dan sukar dibuktikan pada
infeksi mikobakterium atipikal.1,2,7,8
Distribusi penyakit terdapat di seluruh dunia dan
bergantung pada era, area, dan individu.1,3,8 Pengecualian
terjadi pada beberapa spesies yang hanya terbatas di daerah
tertentu, misalnya M. ulcerans yang hanya terdapat di Afrika
bagian tengah Australia, Papua New Guinea, Meksiko,
Amerika Tengah dan Selatan. Pedro dkk. dalam
penelitiannya melaporkan bahwa M. avium complex menjadi
penyebab terbanyak infeksi mikobakterium atipikal di São
Infeksi mikrobakterium atipikal
José do Rio Preto, Brazil selama periode tahun 1996-2005
(57,4%), diikuti oleh M. gordonae (10,4%), M. fortuitum
(7,9%), M. chelonae (2,5%), dan M. kansasii (2,2%).5
Sementara Ho dkk. melaporkan tiga penyebab terbanyak
infeksi mikobakterium atipikal di Hongkong selama periode
1993-2002 berupa M. marinum (51,5%), M. aviumintracellulare (9,1%), dan M. chelonae (6,1%).9 Di Seoul,
Korea Selatan, Ryoo dkk. melaporkan M. avium complex
menjadi spesies terbanyak yang ditemukan selama
periode 1993-2006 (65%), diikuti oleh M. abscessus
(11,59%), M. fortuitum complex (7,14%), M. chelonae
complex (6,33%), dan M. kansasii (4,25%).6
Infeksi lebih sering terjadi pada laki-laki, terutama pada
usia tua. Diduga hal ini berkaitan dengan penurunan
kesehatan secara umum pada usia tersebut.8
KLASIFIKASI
Sekitar tahun 1950, Timple dan Runyon membuat
klasifikasi mikobakterium atipikal menjadi empat kelompok
berdasarkan kecepatan tumbuh, pembentukan pigmen
kuning di tempat terang atau gelap, serta sifat-sifat
kolonisasi.1,2,7,8,10 Fotokromogen (kelompok I) tumbuh
lambat pada media kultur (lebih dari tujuh hari, sekitar 2-3
minggu);7,10 koloni menghasilkan pigmen kuning terang atau
oranye pada pajanan cahaya; meliputi M. kansasii, M.
marinum, M. simiae.1,7,8,10 Sama halnya dengan fotokromogen, skotokromogen (kelompok II) juga tumbuh
lambat pada media namun koloni menghasilkan pigmen
dengan/tanpa pajanan cahaya,7 terdiri atas M. xenopi, M.
scrofulaceum, M. szulgai, M. gordonae, dan M.
flavescens.1,7,8,10 Non-fotokromogen (kelompok III) tumbuh
lambat dan tidak menghasilkan pigmen dengan/tanpa
pajanan cahaya;7,10 meliputi M. avium-intracellulare, M.
haemophilum, M. malmoense, M. gastri, M. triviale, M.
terrae, dan M. ulcerans.1,7,8,10 Rapid growers (kelompok
IV) juga tidak memproduksi pigmen, namun tumbuh
cepat dalam 3-5 hari;7,10 terdiri atas M. abscessus, M.
fortuitum, M. chelonae, dan M. smegmatis.1,7,8,10
Klasifikasi Runyon memiliki kekurangan, karena tidak
menunjukkan korelasi antara karakteristik kuman dengan
gambaran klinis yang terjadi. Pada tahun 1979, Wolinsky
memodifikasi
klasifikasi
tersebut
dan
membagi
mikobakterium atipikal ke dalam dua kelompok berdasarkan
potensi patogenitas dan kecepatan tumbuh.2 Tabel 1
menggambarkan klasifikasi mikobakterium atipikal modifikasi Wolinsky.
105
MDVI
Tabel 1. Classification of mycobacteria2
I. Human pathogens
A. Mammalian tubercle bacilli (tuberculosis complex)
1. M. tuberculosis
2. M. bovis (including strain bacillus Calmette-Guérin, BCG)
3. M. africanum
4. M. leprae
II. So-called nontuberculous, potentially pathogenic
mycobacteria
A. Slow growing
1. MAIS complex
a. M. avium-intracellulare
b. M. scrofulaceum
c. M. haemophilum
2. M. kansasii
3. M. ulcerans
4. M. marinum
5. M. xenopi
6. M. szulgai
7. M. simiae
B. Rapid growing tablet 1x
1. M. fortuitum complex tablet 2x
a. M. fortuitum tablet 3x
b. M. chelonei tablet 3x
III. So-called nontuberculous, nonpathogenic (except under
unusual circumstances) mycobacteria
A. Slow growing tablet 1x
1. M. gordonae tablet 2x
2. M. gastri tablet 2x
3. M. terrae tablet 2x
a. M. nonchromogenicum tablet 3x
b. M. triviale tablet 3x
4. M. flavescens tablet 3x
5. M. thermoresistibile tablet 3x
B. Rapid growing tablet 1x
1. M. smegmatis tablet 2x
2. M. vaccae tablet 2x
3. M. parafortuitum complex tablet 2x
PATOGENESIS
Infeksi mikobakterium atipikal terjadi akibat reaksi
antara manusia dan kuman. Saprofit ini hanya akan
menimbulkan infeksi pada manusia dalam beberapa
kondisi tertentu.8 Infeksi ditentukan oleh virulensi
organisme, derajat pajanan, dan respons imun pejamu.1
Untuk menimbulkan infeksi, dibutuhkan gangguan
sistem pertahanan pejamu. Pertama, berupa kerusakan
integritas kulit atau membran mukosa akibat luka dan trauma
yang dapat memfasilitasi infeksi kulit.1,8 Beberapa laporan
kasus menyatakan bahwa infeksi mikobakterium atipikal
terjadi pasca prosedur medis, misalnya kateterisasi,
mammoplasti, videoskopi, dan bedah kosmetik.5 Ferringer
dkk. melaporkan kejadian infeksi mikobakterium atipikal
pada lokasi tindik atau tattoo (alis mata dan umbilikus).10
Sañudo dkk. melaporkan 15 kasus infeksi mikobakterium
atipikal pasca tindakan mesoterapi.11 Laporan lainnya
menyatakan infeksi mikobakterium atipikal terjadi pasca tindakan liposuction, laparoskopi, dan transplantasi organ.12-14
106
Vol. 38.No.2 Tahun 2011: 104-111
Gambaran histopatologis yang berbeda-beda dan tidak
spesifik sering dijumpai pada infeksi mikobakterium atipikal.
Dapat ditemukan infiltrat granulomatosa dengan pembentukan granuloma tuberkuloid, granuloma sarcoid-like,
atau nodus rheumatoid-like sering ditemukan. Selain itu,
abses pada dermis atau subkutan, infiltrasi histiositik difus
pada dermis dan subkutan, infiltrat inflamasi jaringan
subkutan akut maupun kronik (panikulitis), atau bahkan
inflamasi kronis yang nonspesifik juga pernah dilaporkan.
Berbagai gambaran histopatologis ini diyakini berkaitan
dengan status imunologi pejamu.16
Mycobacterium ulcerans
Infeksi M. ulcerans merupakan infeksi yang menimbulkan jaringan bersifat nekrotik dan indolen pada kulit,
jaringan subkutan, dan tulang.2,17 Infeksi ini (disebut juga
ulkus Buruli) merupakan infeksi mikobakterium tersering
pada pasien imunokompeten setelah tuberkulosis dan
lepra.3,15,17 Infeksi bersifat endemik sedikitnya di 32 negara,
namun sebagian besar terdapat di daerah tropis yang
memiliki banyak hutan dan curah hujan tinggi.1,3,17 Infeksi
paling banyak ditemukan pada usia anak dan dewasa
muda, serta lebih sering menyerang perempuan dibandingkan laki-laki.2,3,8 Infeksi terjadi pada kulit yang tidak
utuh akibat trauma setelah terpajan air, tanah, atau
tanaman yang telah terkontaminasi.1,2,8,17 Laporan lain
menyatakan bahwa infeksi dapat terjadi melalui gigitan
ataupun saliva dan feses serangga air (Naucoris spp. dan
Blastomatidae spp.).8,17
Patogenesis infeksi M. ulcerans berkaitan erat
dengan dua sifat kuman, yaitu pertumbuhan kuman yang
optimal pada temperatur 30-33°C dan kemampuan kuman
memproduksi toksin mikolakton.7,17 Temperatur yang tepat
menentukan awitan lesi pada kulit. Masa inkubasi berkisar
antara 2-3 bulan setelah inokulasi.17 Toksin menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat dan kronis, menciptakan
medium yang baik untuk proliferasi kuman dan melindungi
kuman terhadap kontak dengan sel imunokompeten.2,7,17
Infeksi M. ulcerans tediri atas dua stadium, (1) stadium
pra-ulseratif dan (2) stadium ulkus nekrotik yang kronis.2,8
Lesi kulit dini biasanya berupa nodus kecil subkutan yang
tidak tampak dan jarang teraba.1,2 Pada perkembangan
selanjutnya, lesi membesar dan menjadi terlihat oleh mata,
kadang membentuk plak dengan indurasi di bagian tepi dan
edema.2,8 Kulit di atas lesi menjadi berkilat dan kehitaman,
kemudian timbul nekrosis dan ulserasi. Bula dapat mendahului sebelum timbul ulkus.2,3 Setiap bagian tubuh dapat
terlibat pada pasien anak.2 Pada dewasa, tempat predileksi
terdapat di ekstremitas, terutama ekstremitas bawah.1-3,7
Ulkus tidak terasa nyeri ataupun nyeri tekan, berkembang
cepat menjadi bentuk iregular dengan dinding yang
bergaung.1,2 Dasar ulkus berupa jaringan lemak yang
nekrotik dan kadang dijumpai sekret mukoid jernih.1,3
Nekrosis dapat meluas ke otot atau tulang.1 Pasien umumnya
J Chandra dkk.
tidak mengalami gejala konstitusi dan limfadenopati.1-3
Ulkus dapat sembuh spontan dalam waktu beberapa bulan
sampai tahun (6-9 bulan), mengalami fibrosis dan kalsifikasi
dengan meninggalkan jaringan parut dan komplikasi lainnya
antara lain kontraktur, ankilosis, osteomielitis, deformitas,
dan limfedema.1,2,8
Gambaran histopatologis lesi awal menunjukkan
nekrosis akut di dermis atau subkutan, dengan temuan
keterlibatan luas jaringan lemak subkutan berupa pannikulitis
septum. Lemak menjadi nekrotik dan dapat mengalami
kalsifikasi. Pada dermis bagian dalam, tampak vaskulitis
leukositoklastik pembuluh darah kecil dan sedang. Saat
penyembuhan dimulai, gambaran histopatologis yang
ditemukan berupa reaksi granulomatosa atau limfositik.1
Diagnosis banding lesi dini infeksi M. ulcerans berupa
granuloma benda asing, fascitis nodular, phycomycetes,
abses injeksi, furunkulosis, myiasis, pannikulitis, kista, dan
tumor kelenjar apendiks. Diagnosis banding pada fase
ulseratif meliputi selulitis nekrotik aerob atau anaerob,
pioderma gangrenosum, pannikulitis supurativa, vaskulitis
dengan atau tanpa granuloma, dan gumma (sifilis).2
Mycobacterium marinum
Mycobacterium marinum terdapat di air tawar dan air
laut, termasuk kolam renang dan akuarium. Faktor risiko
infeksi berupa riwayat trauma dan pekerjaan atau hobi yang
berkaitan dengan air.1-4 Pandian dkk. melaporkan infeksi M.
marinum pada pasien pasca transplantasi organ.14
Lesi awal berupa area eritematosa dengan indurasi dan
sedikit nyeri tekan yang muncul dalam masa inkubasi 2-3
minggu.1,2 Lesi kemudian berkembang menjadi papulonodus
soliter atau multipel berkelompok berwarna merah
kecoklatan yang perlahan berubah menjadi keunguan.8 Lesi
dapat berupa abses2 dan menjadi ulkus atau membentuk
papul verukosa atau plak menyerupai psoriasis. Tempat
predileksi terdapat pada siku (tersering), lutut, tangan, dan
kaki. Pada 25% kasus, nodus sekunder dapat terlihat dengan
pola sporotrikoid.3,8,15 Lesi dapat sembuh spontan dalam 1-2
tahun dan meninggalkan jaringan parut.1-3 Kelenjar getah
bening regional dapat membesar, namun tidak pernah
pecah.1,2 Laringitis, osteomielitis, artritis, bursitis, tenosinovitis
dapat terjadi apabila struktur dalam terserang.2,4,7
Gambaran histopatologis infeksi M. marinum dapat berupa
inflamasi akut dan kronis sampai granuloma tuberkuloid.1 Lesi
awal menunjukkan kumpulan sel PMN (polimorfonuklear)
yang dikelilingi histiosit. Pada perkembangan selanjutnya,
dapat ditemukan infiltrat inflamasi yang terdiri atas limfosit,
sel epiteloid, sel raksasa Langerhans, dan fokus nekrosis
Infeksi mikrobakterium atipikal
fibrinoid. Pada kebanyakan kasus tidak dijumpai kuman, bila
ada biasanya di dalam histiosit.2
Infeksi M. marinum pada pasien imunokompromais
tidak berbeda dengan pasien imunokompeten. Pasien
imunokompromais memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami infeksi dalam, lesi sporotrikoid, lesi kulit
diseminata, dan keterlibatan organ dalam.14,15
Beberapa kelainan kulit yang menyerupai lesi plak atau
nodus pada infeksi M. marinum adalah leismaniasis, veruka
vulgaris, tuberkulosis kutis verukosa, lupus vulgaris, sifilis,
lepra, granuloma benda asing, dan pioderma gangrenosum.2,3
Mycobacterium kansasii
Mycobacterium kansasii merupakan mikobakterium
atipikal yang paling dekat hubungannya dengan M.
tuberculosis.3 Kuman dapat dijumpai di alam bebas dan
infeksi bersifat endemik.2,3 Infeksi primer yang ditimbulkan
M. kansasii adalah penyakit paru kronik dengan sifat khas
yaitu lokasi tersering di lobus atas paru dan kavitas multipel
dengan dinding yang tipis. Namun demikian, kuman juga
dapat menyerang organ di luar paru antara lain kulit, kelenjar
getah bening, sistem muskuloskeletal, gastrointestinal, dan
urogenital.2 Infeksi umumnya terjadi pada usia dewasa, lebih
sering ditemukan pada laki-laki dan pasien dalam keadaan
imunodefisiensi.1-3,7,8 Inokulasi dapat terjadi baik pada
kulit sehat maupun kulit yang mengalami trauma ringan
sebelumnya.8
Manifestasi kulit infeksi M. kansasii terdapat dalam
berbagai bentuk. Bentuk tersering berupa papul dengan
distribusi sporotrikoid.2,3 Nodus subkutan kadang ditemukan
dan dapat meluas ke struktur yang lebih dalam.3 Kelainan
juga dapat berupa plak berindurasi berwarna merah
keunguan, pustul, krusta, papul verukosa, abses piogenik,
selulitis, plak ulserasif yang menyebar pada penyakit
diseminata, limfadenopati servikal, dan infeksi kulit
periorifisial.2,3,8 Keterlibatan sistem muskuloskeletal yang
umum terjadi yaitu sindrom carpal tunnel, sinovitis
granulomatosa, artritis, tendonitis, fasciitis, dan osteomielitis.
Pada penyakit diseminata dapat disertai demam, gejala
konstitusi, keterlibatan organ paru, hepatosplenomegali, dan
kelainan hematologi berupa leukopenia atau pansitopenia.2
Perjalanan penyakit umumnya lambat. Sering dijumpai
lesi kronik yang stabil atau regresi spontan.3 Gambaran
histopatologis bersifat tidak spesifik, berupa granuloma
perkijuan dan dapat ditemukan basil tahan asam (BTA)
.2 Penyakit lain yang menyerupai infeksi M. kansasii yaitu
sporotrikosis, tuberkulosis, dan infeksi kulit granulomatosa
lainnya.3
107
MDVI
Mycobacterium scrofulaceum
Kuman M. scrofulaceum ditemukan dalam produk
ternak, tanah, dan air.2 Paling sering bermanifestasi klinis
sebagai limfadenitis servikal bagian atas, unilateral, dengan
nyeri spontan dan nyeri tekan minimal.2,3,8 Port d’entrée
kuman tidak diketahui namun diduga berasal dari
tenggorokan.2 Umumnya terjadi pada anak yang tampak
sehat, dengan rentang usia antara 1-3 tahun.3,8 Umumnya
mengenai kelenjar getah bening submandibular dan
submaksilar, jarang pada tonsilar dan servikal anterior.3 Lesi
berkembang dan membesar dalam beberapa minggu,
melunak, kadang-kadang menjadi ulkus, fistula atau ruptur
dan mengering.2,3,8 Penyembuhan lesi ditandai dengan
fibrosis dan kalsifikasi.2,8 Lesi kulit tidak disertai gejala
konstitusi.2,3 Infeksi M. scrofulaceum juga dapat berupa
abses subkutan, multipel, diskret, atau berupa gambaran
sporotrikoid.8 Keterlibatan paru dan organ lain jarang
dilaporkan dan pada kebanyakan kasus, infeksi bersifat jinak
dan swasirna.3
Gambaran histopatologis limfadenopati akibat infeksi M.
scrofulaceum serupa dengan limfadenopati pada tuberkulosis.2 Diagnosis banding infeksi ini adalah limfadenitis
bakterial, infeksi virus termasuk mononukleosis dan mumps,
keganasan termasuk tumor padat, limfoma, dan leukemia.3
Mycobacterium avium-intracellulare
Mycobacterium avium-intracellulare meliputi berbagai
organisme dengan variasi mikrobiologi dan sifat patogenik
yang luas. Setidaknya terdapat 20 subtipe kuman yang dapat
dibedakan secara teknik imunologis, walaupun kepentingan
klinisnya tidak jelas. Organisme ini biasanya dikelompokkan
bersama dengan M. scrofulaceum dan dinamakan kompleks
M. avium-intracellulare-scrofulaceum. Akan tetapi, beberapa
kepustakaan lain tetap membedakan kedua kuman ini.3
Mycobacterium scrofulaceum menyebabkan limfadenopati
yang bersifat jinak dan swasirna serta jarang melibatkan organ
lain, sedangkan M. avium-intracellulare umumnya menyebabkan kelainan paru dan lebih jarang menyebabkan
osteomielitis dan limfadenitis servikal disertai pembentukan
sinus.3,7 Mycobacterium avium-intracellulare menjadi
penyebab morbiditas pada pasien AIDS.3
Lesi primer kulit sangat jarang dan biasanya berhubungan dengan keadaan imunodefisiensi pasien.8 Lesi primer
berupa plak multipel kekuningan atau dengan tepi kemerahan, berskuama, dan indolen yang kadang-kadang menyerupai lupus vulgaris.3 Lesi juga dapat berupa nodus subkutan
yang berkembang secara lambat, cenderung mengalami
ulserasi, berkrusta, dan bersifat kronis.3,8 Lesi lain berupa
adenitis servikal, dengan pola sporotrikoid, pannikulitis,
fasicitis, dan sinovitis.8 Pada keadaaan diseminata, kelainan
kulit muncul secara sekunder, berupa ulserasi generalisata,
granuloma, infiltrasi eritematosa pada ekstremitas, adenopati
generalisata, pustul, atau edema jaringan lunak.3,8
108
Vol. 38.No.2 Tahun 2011: 104-111
Mycobacterium fortuitum, Mycobacterium
chelonae dan Mycobacterium abscessus
Tiga spesies mikobakterium yang termasuk golongan
rapid growers ini bersifat patogen fakultatif dan saprofit
di alam. Organisme ini tersebar luas dan umum dijumpai
di air dan tanah.2,3
Mycobacterium fortuitum, M. chelonae, dan M.
abscesssus menimbulkan gambaran klinis serupa. Lesi kulit
umumnya timbul mengikuti trauma kulit atau pasca tindakan
bedah, misalnya liposuction, injeksi silikon, mesoterapi,
laparoskopi, injeksi subkutan, dan pedicure.3,8,11-13,18 Lesi kulit
dini timbul dalam 3-4 minggu setelah inokulasi berupa
infiltrasi kemerahan yang nyeri pada lokasi inokulasi, tidak
disertai gejala diseminata dan konstitusi. Abses dingin
pasca injeksi kadang-kadang ditemukan.3,8 Sarma dan
Thakur pernah melaporkan gambaran atipikal lesi kulit M.
fortuitum yang hanya berupa pembengkakan yang bertambah besar dalam waktu tiga minggu tanpa riwayat
trauma pada seorang imunokompeten.18
Lesi selanjutnya berkembang menjadi nodus berwarna
merah kehitaman dan dapat disertai abses. Lesi diseminata
umumnya tidak disertai riwayat trauma dan berupa episode
abses multipel yang rekurens pada ekstremitas atau erupsi
papular dan makula generalisata.3,18 Organ dalam juga dapat
terkena.3 Kuman juga dapat menyebabkan limfadenopati
servikal unilateral dan gambaran pola sporotrikoid.8
Temuan pada pemeriksaan histopatologis menunjukkan
respons inflamasi dimorfik berupa pembentukan granuloma
dengan sel raksasa benda asing serta mikroabses dengan
sebukan sel PMN. Gambaran lain dapat berupa nekrosis,
namun tidak ada perkijuan. Kuman BTA kadang-kadang
ditemukan di dalam mikroabses.3
Mycobacterium szulgai, Mycobacterium
haemophilum dan Mycobacterium genavense
Kuman M. szulgai, M. haemophilum dan M. genavense sangat jarang menyebabkan gangguan klinis pada
manusia. Beberapa laporan pernah menyatakan limfadenitis servikal, selulitis, nodus dan plak, bursitis, pneumonia, dan erupsi granulomatosa subkutan yang disebabkan oleh organisme ini.3
Lebih lanjut, M. szulgai dapat memberikan kelainan
kulit berupa nodus eritematosa dengan nyeri tekan pada
ekstremitas, badan, atau leher. Nodus dapat berfluktuasi,
memecah, dan mengering secara spontan.8
Lesi kulit akibat M. haemophilum umumnya timbul
pada lokasi yang berbeda di ekstremitas dan badan. Lesi
berupa papul kemerahan hingga keunguan yang membesar secara perlahan menjadi nodus ulseratif, berkrusta,
disertai nyeri tekan atau abses dan fistula dengan isi pus.8
Keluhan sistemik berupa penurunan berat badan, tenosinovitis,
efusi pada sendi, atau keluhan paru dapat ditemukan.
Gambaran histopatologis yang dijumpai berupa granuloma
supuratif yang mengandung kuman BTA.1
TERAPI
Penanganan infeksi akibat mikobakterium atipikal
sulit dan membutuhkan waktu lama.7 Sebagian kuman
haemophilum
scrofulaceum
aviumintracellulare
fortuitum
Diagnosis beberapa infeksi mikobakterium atipikal
dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit gambaran
klinis, lokasi geografis, dan riwayat pekerjaan (seperti
pada infeksi M. marinum). Namun, tidak semua infeksi
mudah dikenali.1
Seperti halnya infeksi lain, diagnosis pasti infeksi mikobakterium atipikal bergantung pada identifikasi mikroorganisme yang diisolasi dari spesimen pada kultur.1,3,8,10
Pemeriksaan histopatologis dapat membantu diagnosis,
namun tidak dapat membedakan kuman penyebab karena
sebagian besar infeksi memberikan gambaran yang sama.3
Kuman BTA tidak selalu ditemukan dalam pemeriksaan dan
ketiadaan kuman BTA tidak menyingkirkan diagnosis
infeksi mikobakterium atipikal.10
Saat ini, kemajuan bidang biologi molekular memungkinkan dan memudahkan indentifikasi kuman penyebab
dilakukan lebih cepat tanpa harus menunggu selama 4-6
minggu seperti pada metode kultur konvensional. Teknik
polymerase chain reaction (PCR) memungkinkan diagnosis
langsung secara cepat, sensitif, dan spesifik dalam
identifikasi kuman. Pemeriksaan PCR dilakukan dengan
menggunakan penanda asam nukleat dalam mengidentifikasi sekuens basa spesifik DNA atau RNA kuman.1
Abdala dkk. dan Collina dkk. melaporkan keunggulan
teknik PCR sebagai metode terbaik untuk mendiagnosis
infeksi mikobakterium atipikal. Namun mereka menyatakan
bahwa diagnosis akhir infeksi tidak dapat ditegakkan
ataupun disingkirkan hanya berdasarkan teknik PCR.
Korelasi temuan klinis dan patologi tetap menjadi langkah
diagnosis untuk semua kasus.20,21
chelonae
DIAGNOSIS
Tabel 2. Treatment of infections with mycobacteria other than
M. tuberculosis3
Amikacin
+
+
Ansamycin
+
Azithromycin
+
Cefoxitin
Ciprofloxacin
Clarithromycin
+
+
+
Clofazimine
+
+
Cotrimoxazole
+
Cycloserine
+
Dapsone
+
Doxycycline
+
+
Erythromycin
+
Ethambutola
+
+
+
+
Ethionamide
+
+
Imipenem
Isoniazida
+
+
+
Kanamycin
+
Minocycline
+
+
+
+
+b
Rifampicina
+
+
+
+
+
Rifamycin
+
+
+
Streptomycina
+
+
+
Tobramycin
Surgery
+
+
+
a
Usual antituberculosis drugs
b
Alone or in combination with ciprofloxacin or rifampicin
+
kansasii
Sejumlah mikobakterium lain pernah dilaporkan menyebabkan penyakit pada manusia. Beberapa spesies dapat
menyebabkan kelainan kulit pada manusia. Mycobacterium
gordonae yang bersifat non patogen1 menyebabkan
papulonodus ulseratif dengan atau tanpa penyebaran
limfangitik pola sporotrikoid.8 Inokulasi terjadi pada kulit
yang mengalami trauma atau pasca gigitan tikus.1,8 Setelah
inokulasi, infeksi dapat menyebabkan inflamasi difus dan
meluas dengan sekret serosanguinolen disertai gejala
sistemik (demam, menggigil, nausea, dan muntah).8
Pada pasien imunokompromais, infeksi kulit M.
xenopi dapat menyertai infeksi pada tulang dan jaringan
lunak, misalnya epididimitis, osteomielitis, limfadenitis,
dan artritis. Lesi kulit pada infeksi M. malmoense berupa
nodus di dermis berwarna kemerahan dan nyeri tekan
yang tersebar di ekstremitas dan badan.8
umumnya telah resisten terhadap berbagai obat anti
tuberkulosis.3,7 Tabel 4 menunjukkan pilihan terapi infeksi
mikobakterium atipikal yang umum diberikan.
marinum
Mikobakterium lain
Infeksi mikrobakterium atipikal
ulcerans
J Chandra dkk.
+
+
+
+
+
Dalam menentukan terapi infeksi mikobakterium
atipikal serta pemilihan antibiotik sebaiknya berdasarkan
hasil uji resistensi kuman.8,9
Pemilihan regimen, baik monoterapi atau kombinasi, dan
lama pemberian terapi pada infeksi mikobakterium atipikal
sangat bervariasi. Sampai saat ini, tidak ada regimen antibiotik baik tunggal atau kombinasi yang menjadi terapi pilihan. Pemilihan terapi diyakini bergantung pada status imun
pejamu, kedalaman infeksi, dan respons terapi sebelumnya.4,7
Terapi empiris dapat dilakukan mengingat waktu
kultur yang lama. Lesi kecil dapat dilakukan eksisi. Lesi
yang luas atau diseminata paling baik diterapi dengan
antibiotik sesuai sensitivitas kuman. Lama terapi yang
dibutuhkan bervariasi, namun biasanya membutuhkan
waktu beberapa bulan atau lebih.10
Terapi bedah menjadi kontraindikasi pada infeksi M.
marinum karena dapat mengaktivasi dan memperluas
infeksi. Aplikasi panas dianggap sebagai terapi ajuvan yang
cukup efektif. Minosiklin, trimetoprim-sulfametoksasol
atau kombinasi rifampisin dengan etambutol dilaporkan
109
MDVI
masih efektif. Lama terapi yang dibutuhkan untuk infeksi
M. marinum rata-rata 6 minggu.2 Dalam studi terhadap 63
kasus yang dilakukan oleh Aubry dkk., antibiotik yang masih
sensitif terhadap kuman M. marinum adalah klaritromisin,
minosiklin, doksisiklin, rifampisin, dan etambutol.*
Pemberian antibiotik pada infeksi M. ulcerans sering
mengecewakan dan dianjurkan untuk menunda pemberian
antibiotik sampai terjadi fase penyembuhan.1 Intervensi bedah
merupakan pilihan terapi. Eksisi pada nodus merupakan cara
terapi relatif sederhana dan kuratif.17 Sementara pada ulkus,
debridement luas disertai tandur kulit menjadi terapi yang
cukup efektif.2,8 Terapi tambahan yang dapat mempercepat
proses penyembuhan ulkus adalah rifampisin dan kombinasi
trimetoprim-sulfametoksazol disertai terapi fisis menggunakan
panas atau oksigen hiperbarik.1,2,8
Mycobacterium kansasii umumnya memberikan respons
terapi yang baik.7 Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru
dan organ di luar paru-paru umumnya diberikan terapi
kombinasi rifampisin dengan satu atau lebih obat antituberkulosis lainnya.2 Rekomendasi lain berupa kombinasi
isoniazid, etambutol, dan rifampisin selama 18-24 bulan atau
sampai kultur sputum memberikan hasil negatif.7 Terapi
bedah dianjurkan pada pasien dengan kelainan paru.2
Pengobatan infeksi M. haemophilum sering mengecewakan. Lesi kulit dapat menetap atau rekuren setelah terapi
dihentikan. Status imun pasien mempengaruhi keberhasilan
terapi.1
Saat ini terdapat regimen baru yang mulai banyak
digunakan dalam terapi infeksi mikobakterium tuberkulosis maupun atipikal. Ntziora dan Falagas melaporkan
bahwa linezolid, sebuah obat golongan oksazolidinon,
mungkin efektif diberikan pada pasien infeksi mikobakterium, terutama pada kasus kegagalan terapi dengan
regimen antibiotik akibat galur kuman yang resisten.
Linezolid mampu menghambat pertumbuhan kuman
mikobakterium yang resisten. Selain itu, obat ini juga
mampu melakukan penetrasi ke dalam makrofag dan
menghambat kuman yang terdapat di dalam sel.22
Vol. 38.No.2 Tahun 2011: 104-111
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
PENUTUP
Angka kejadian infeksi mikobakterium atipikal semakin
tinggi belakangan ini, terutama setelah era pandemi
HIV/AIDS. Status imun pejamu mempengaruhi tingkat
keparahan infeksi, misalnya pada keadaan imunodefisiensi
infeksi mikobakterium atipikal dapat bersifat diseminata.
Terapi antibiotik pada infeksi mikobakterium atipikal
diberikan berdasarkan hasil uji sensitivitas dan resistensi
kuman. Kebanyakan kuman telah resisten terhadap agen
antituberkulosis, sehingga uji sensitivitas dan resistensi
menjadi pemeriksaan yang penting dan wajib dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Gawkrodger DJ. Mycobacterial infections. Dalam: Champion
RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM, penyunting. Rook
110
13.
14.
15.
16.
/ Wilkinson / Ebling textbook of dermatology. Edisi ke-6.
London: Blackwell Science, 1998. h.1181-14.
Moschella SL, Cropley TG. Diseases of the mononuclear
phagocytic system (the so-called reticuloendothelial system).
Dalam: Moschella SL, Hurley HJ, penyunting. Moschella
and Hurley dermatology. Edisi ke-3. Philadelphia: WB
Saunders Company, 1992. h. 1077-89.
Tappeiner G. tuberculosis and infections with atypical mycobacteria. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: The
McGraw-Hill Companies Inc, 2008. h.1768-78
Dodiuk-Gad R, Dyachenko P, Ziv M, Shani-Adir A, Oren
Y, Mendelovici S, dkk. Nontuberculous mycobacterial
infections of the skin: a retrospective study of 25 cases. J
Am Acad Dermatol. 2007; 57(3):413-20.
Pedro HSP, Pereira MIF, Goloni MRA, Ueki SYM,
Chimara E. Nontuberculous mycobacteria isolated in São
José do Rio Preto, Brazil between 1996 and 2005. J Bras
Pneumol. 2008; 34(11):950-5.
Ryoo SW, Shin S, Shim MS, Park YS, Lew WJ, Park SN, dkk.
Spread of nontuberculous mycobacteria from 1993 to 2006 in
Koreans. J Clin Lab Anal. 2008; 22:415-20.
Johnson JL, Ellner JJ. Tuberculosis and atypical mycobacterial
infections. Dalam: Guerrant RL, Walker DH, Weller PF,
penyunting. Tropical infectious diseases principles, pathogens,
& practice. Edisi ke-2. Philadelphia: Churchill Livingstone
Elsevier; 2006. h.418-27.
Motta RN, dos Reis AN. Atypical mycobacteriosis. Dalam:
Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, penyunting. Tropical
dermatology. Edisi ke-1. Philadelphia: Churchill Livingstone
Elsevier; 2006. h.273-7.
Ho MH, Ho CK, Chong LY. Atypical mycobacterial cutaneous infections in Hong Kong: 10-year retrospective study.
Hong Kong Med J. 2006; 12(1): 21-6.
Ferringer T et al. Body piercing complicated by atypical
mycobacterial infections. Pediatric Dermatology. 2008; 25(2):
219-22.
Sañudo A, Vallejo F, Sierra M, Hoyos JG, Yepes S, Wolff JC,
dkk. Nontuberculous mycobacteria infection after mesotherapy: Preliminary report of 15 cases. International
Journal of Dermatology 2007; 46:649-53.
Al Soub H, Al-Maslamani E, Al-Maslamani M. Mycobacterium fortuitum abdominal wall abscesses following
liposuction. Indian J Plast Surg. 2008; 41(1): 58-61.
Rajini M et al. Postoperative infection of laparoscopic surgery
wound due to Mycobacterium chelonae. Indian J Med
Microbiol. 2007; 25(2): 163-5.
Pandian TK, Deziel PJ, Otley CC, Eid AJ, Eazonable RR.
Mycobacterium marinum infections in transplant recipients:
case report and review of the literature. Transplant Infectious
Disease 2008; 10: 358-63.
Bartralot R, Garcia-Patos V, Sitjas D, Rodriguez-Cano L,
Mollet J, Martion-Casabona N, dkk. Clinical patterns of
cutaneous nontuberculous mycobacterial infections. Br J
Dermatol. 2005; 152: 727-34.
Bartralot R et al. Cutaneous infections due to nontuberculous
mycobacteria: histopathological review of 28 cases. Comparative study between lesions observed in immunosuppressed
patients and normal hosts. J Cutan Pathol. 2000; 27: 124-9.
J Chandra dkk.
17. Meyers WM, Portaels F. Mycobacterium ulcerans infections
(buruli ulcer). Dalam: Guerrant RL, Walker DH, Weller PF,
penyunting. Tropical infectious diseases principles, pathogens,
& practice. Edisi ke-2. Philadelphia: Churchill Livingstone
Elsevier; 2006. h.428-34.
18. Sarma S, Thakur R. cutaneous infection with Mycobacterium
fortuitum: an unusual presentation. Indian Journal of Medical Microbiology. 2008; 26(4): 388-90.
19. Jesudason MV, Gladstone P. Non tuberculous mycobacteria isolated from clinical specimens at a tertiary care
hospital in South India. Indian J Med Microbiol. 2005;
23(3): 172-5.
Infeksi mikrobakterium atipikal
20. Abdalla CMZ, de Oliveira ZN, Sotto MN, Leite KR, Canavez
FC, de Carvalho CM. Polymerase chain reaction compared to
other laboratory findings and to clinical evaluation in the
diagnosis of cutaneous tuberculosis and atypical mycobacteria
skin infection. International Journal of Dermatology. 2009;
48:27-35.
21. Collina G, Morandi L, Lanzoni A, Reggiani M. Atypical
cutaneous mycobacteriosis diagnosed by polymerase chain
reaction. Br J Dermatol. 2002; 147: 781-4.
22. Ntziora F, Falagas ME. Linezolid for the treatment of patients
with atypical mycobacterial infection: a systematic review. Int
J Tuberc Lung Dis; 2007; 11(6): 606-11
111
Download