PRESENTASI KASUS HERPES ZOSTER OLEH: ROMBONGAN E Dwi Wicaksono Evan Regar Hanifah Rahmani N. 0906487764 0906508024 0906487814 Narasumber: dr. Lies Suseno, Sp.KK MODUL PRAKTIK KLINIK DERMATOVENEREOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA RUMAH SAKIT UMUM PUSAT NASIONAL CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA MEI 2013 LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Kami yang namanya tertera di bawah ini, 1. Dwi Wicaksono, NPM 0906487764 2. Evan Regar, NPM 0906508024 3. Hanifah Rahmani N, NPM 0906487814 Dengan ini menyatakan bahwa makalah kami yang berjudul Presentasi Kasus: Herpes Zoster adalah benar merupakan karya kami yang kami tulis tanpa mengandung unsur plagiarisme. Apabila terdapat unsur plagiarisme di dalamnya, kami bersedia untuk mendapatkan sanksi sesuai dengan yang berlaku di lingkungan Universitas Indonesia. Jakarta, 6 Mei 2013 ( Dwi Wicaksono ) ( Evan Regar ) ( Hanifah Rahmani N ) BAB I PENDAHULUAN Herpes zoster merupakan salah satu penyakit kulit akibat infeksi virus, yaitu reaktivasi virus varisela zoster. Insidennya meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun.1 Meingkatnya insidensi pada usia lanjut ini berkaitan dengan menurunnya respon imun dimediasi sel yang dapat pula terjadi pada pasien imunokompromais seperti pasien HIVAIDS, pasien dengan keganasan, dan pasien yang mendapat obat imunosupresi. Namun, insidensinya pada pasien imunokompeten pun besar. Herpes zoster sendiri meskipun bukan penyakit yang life-threatening, namun dapat menggangu pasien sebab dapat timbul rasa nyeri. Lebih lanjut lagi nyeri yang dialami saat timbul lesi kulit dapat bertahan lama, hingga berbulan-bulan lamanya sehingga dapat menggangu kualitas hidup pasien – suatu keadaan yang disebut dengan postherpetic neuralgia. Prevalensi herpes zoster di Indonesia diprediksi kecil, yakni hanya mencakup 1%. Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2012, tercantum bahwa herpes zoster merupakan daftar masalah dermatologi yang perlu ditangani oleh dokter. Kompetensi herpes zoster tanpa komplikasi bagi dokter umum adalah 4A, yang berarti level kompetensi tertinggi yang perlu dicapai oleh dokter umum, di mana dokter dapat mengenali tanda klinis, mendiagnosis, menatalaksana hingga tuntas kecuali pada perjalanannya timbul komplikasi.2 Berkaca dari hal tersebut, presentasi kasus ini dimaksudkan untuk menambah pemahaman klinis mahasiswa tentang penyakit herpes zoster tanpa komplikasi, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, hingga penatalaksanaan. Setelah pemaparan kasus ini diharapkan mahasiswa dapat memiliki informasi yang semakin kaya tentang herpes zoster sehingga dalam pelayanan primer di masa yang akan datang kompetensi yang disyaratkan dalam SKDI dapat sepenuhnya tercapai. BAB II ILUSTRASI KASUS I. II. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. BS Tanggal Lahir : 21 April 1958 (55 tahun) Status Pernikahan : Menikah Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SMP Agama : Islam ANAMNESIS Dilakukan secara autoanamnesis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Persahabatan pada tanggal 6 Mei 2013 pukul 11.00 WIB. Keluhan Utama : Lenting disertai nyeri dan gatal di kaki kiri sejak tiga hari yang lalu. Riwayat Penyakit Sekarang : Tiga hari yang lalu, saat pasien bangun tidur pasien merasakan mendadak kaki kiri pasien nyeri, baik saat diistirahatkan maupun saat digunakan untuk berjalan. Nyeri di kaki dirasakan dengan VAS 6/10, dirasakan sepanjang waktu, berdenyut, namun tidak sampai mengganggu aktivitas pasien. Pasien menjadi agak pincang jika berjalan dengan kaki kirinya. Secara mendadak timbul pula lenting-lenting beberapa buah dan kulit yang kemerahan di tungkai bawah dan kaki kiri yang pada hari sebelumnya belum muncul. Lenting tersebut dikatakan merupakan sumber dari nyerinya, disertai rasa sedikit gatal. Pasien jarang menggaruk lenting tersebut, dan lenting tersebut belum ada yang pecah. Riwayat demam disangkal, namun pasien mengalami nyeri di kedua otot paha (terasa seperti ngilu) yang timbul mendadak dan belum pernah dirasakan sebelumnya. Keesokan harinya pasien berobat ke Puskesmas, di sana ia diberikan salep yang tidak diketahui namanya, cara menggunakanya dengan dioleskan sebanyak 1 kali sehari, serta diberikan obat minum CTM namun pasien merasakan tidak ada perbaikan. Nyeri tidak dirasakan makin berat, namun muncul lenting-lenting yang bertambah banyak. Pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan kulit di bagian lain, tidak mengeluhkan gangguan penglihatan dan pendengaran, tidak terdapat kelemahan untuk menggerakkan kaki. Pasien mandi dua sampai tiga kali sehari, menggunakan sabun Lux®. Dalam beberapa minggu terakhir pasien mengatakan memiliki stres emosional karena cucu pasien sedang sakit dan pasien banyak bekerja membantu acara tetangganya. Pasien sering tidak tidur dan lupa untuk makan. Saat ini pasien mengalami kencing manis, mendapatkan pengobatan metformin 2x1 tab dan glibenklamid 1x1 tab, didapatkan dari Puskesmas dengan gula darah sewaktu terakhir 270 mg/dl. Keluhan kesemutan di tangan ada, dalam beraktivitas pasien menggunakan alas kaki dan kaki pasien dikatakan tidak pernah mengalami luka. Pasien mengatakan rutin mengonsumsi obat. Pasien juga memiliki penyakit kolesterol, dengan kolesterol terakhir 250 mg/dl, namun tidak mendapatkan pengobatan dari puskesmas. Selain obat yang disebutkan di atas, saat ini pasien tidak mengonsumsi obat apa-apa. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien menderita cacar air pada saat berusia 8-10 tahun (saat pasien masih SD). Riwayat sakit berat dan dirawat di rumah sakit sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal. Riwayat darah tinggi disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga : Saat ini tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Riwayat penyakit kulit lainnya pada keluarga disangkal. Ayah dan ibu pasien keduanya memiliki kencing manis yang tidak terkontrol, saat ini keduanya sudah meninggal. Riwayat Sosial : Pasien beraktivitas sebagai ibu rumah tangga, memiliki empat orang anak yang semuanya sudah berumah tangga. Pasien tidak pernah bekerja formal. Suami pasien hingga kini masih bekerja. Pasien saat ini tinggal bersama suami, namun pada waktu tertentu cucu pasien main ke rumah dan menginap. Pembiayaan pasien dengan umum tanpa jaminan. III. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG • Kesadaran : Kompos mentis • Keadaan umum : Tampak sakit sedang • Tekanan darah : 130/80 mmHg • Nadi : 72 kali/menit • Pernafasan : 18 kali/menit • Suhu : Afebris STATUS DERMATOLOGIKUS 1. Pada regio plantar tungkai bawah sinistra dan kaki sinistra bagian medial, terdapat vesikel multipel bergerombol yang tersebar secara dermatomal, dengan ukuran lentikular, terletak di atas kulit yang eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak dengan permukaan yang licin. Gambar 1 – Gambaran lesi kulit pada pasien IV. RESUME Pada wanita usia 55 tahun datang dengan keluhan nyeri di kaki kiri disertai timbulnya lenting secara mendadak sejak tiga hari yang lalu. Nyeri dirasakan dengan VAS 6/10, berdenyut dan dirasakan sepanjang waktu. Timbul pula vesikel multipel yang nyeri dan sedikit gatal, belum ada yang pecah. Status dermatologis: ditemukan vesikel multipel bergerombol tersebar secara dermatomal di regio tungkai bawah sinistra dan kaki sinistra bagian medial, dengan ukuran lentikular yang terletak di atas kulit yang eritematosa. V. DIAGNOSIS KERJA 1. Herpes zoster VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak diusulkan. VII. RENCANA TERAPI 1. Herpes zoster • Edukasi: mengurangi sementara aktivitas fisik, jangan digaruk walaupun terasa sedikit gatal, hindari lenting yang pecah, jangan berdekatan dengan anak-anak atau orang lain yang belum pernah mengalami cacar air sebelumnya. Konsumsi obat harus teratur, termasuk jam-jamnya, sehingga perlu menggunakan alarm jika diperlukan untuk membangunkan pasien. • Asiklovir, 5 x 800 mg p.o selama 7 hari • Kontrol kembali ke dokter dalam waktu 7 hari 2. Neuralgia akibat herpes zoster • VIII. Asam mefenamat, 3 x 500 mg p.o jika nyeri PROGNOSIS 1. Ad vitam : bonam 2. Ad functionam : bonam 3. Ad sanationam : bonam BAB III TINJAUAN PUSTAKA Definisi Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varicella zoster. Virus varisela zoster dapat mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles. Pada usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000, semakin meningkat pada usia lebih tua.3 Patogenesis Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion spinal atau ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella zoster merupakan virus rantai ganda DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau neurodermatotropik. Reaktivasi virus varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik. Jika virus ini menyerang ganglion anterior, maka menimbulkan gejala gangguan motorik.3,4 Gambar 2 – Patogenesis infeksi herpes zoster (Sumber: medscape.com) Gambaran Klinis Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal). Setelah itu akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder.4 Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu. Selain gejala kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar. Penyakit ini lokalisasinya unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat struktur anatomisnya. Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena.4,5 Gambar 3 – Gambaran klinis herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick) Dermatom Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis. Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak. Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota badan. Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti infeksi herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada dermatom tertentu.6 Gambar 4 – Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia (Sumber: Duus6) Komplikasi Postherpetic neuralgia Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi herpes zoster yang paling sering terjadi. Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak saraf trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia. Postherpetic neuralgia didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya sakit dan mati rasa. Rasa nyeri akan menetap setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi sebagai akibat penyembuhan yang tidak baik pada penderita usia lanjut. Nyeri ini merupakan nyeri neuropatik yang dapat berlangsung lama bahkan menetap setelah erupsi akut herpes zoster menghilang.4,7 Gambar 5 – Jaras sensorik nyeri (Sumber: Fitzpatrick) Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang muncul oleh karena penyakit atau luka pada sistem saraf pusat atau tepi, nyeri menetap dialami lebih dari 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster. Penyebab paling umum timbulnya peningkatan virus ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan pertambahan umur. Berkurangnya imunitas di kaitkan dengan beberapa penyakit berbahaya seperti limfoma, kemoterapi atau radioterapi, infeksi HIV, dan penggunaan obat immunesuppressan setelah operasi transplantasi organ atau untuk manajemen penyakit (seperti kortikoteroid) juga menjadi faktor risiko.8,9 Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).9 Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang disebabkan oleh replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia yang ditemukan selama masa laten. Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut syaraf sensoris yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls abnormal, serabut saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat.5,8 Herpes Zoster Oftalmikus Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga memengaruhi cabang kedua dan ketiga. Jika cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan vesikel pada ujung dan tepi hidung (Hutchinson’s sign), maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat. Vesikel pada margo palpebra juga harus diperhatikan. Kelainan pada mata yang sering terjadi adalah uveitis dan keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis optik, ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis retina akut.4,5 Gambar 6 – Gambaran klinis herpes zoster oftalmikus (Sumber: Fitzpatrick) Diagnosis Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis.5 Komponen utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya (1) gejala prodromal berupa nyeri, (2) distribusi yang khas dermatomal, (3) vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus ditemukan papul, (4) beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat nervus sensorik, (5) tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan herpes simpleks zosteriformis), (6) nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam.10 Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren, dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila lesi pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau herpes simpleks. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi krusta, imunoflouresensi direk dari spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif karena membutuhkan waktu 1-2 minggu.1,10 Gambar 7 – Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan wright terlihat sel giant multinuklear; sedangkan pada imunofluoresensi direk pendaran warna hijau mengindikasikan terdapatnya antigen virus varisela zoster1 Diagnosis Banding4 1. Herpes simpleks (bersinonim dengan cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, herpes gladiatorium, scrum pox, herpes genitalis)11 Penyebabnya satu golongan (famili Herpesviridae). Umumnya infeksi awal HHV asimptomatik kecuali pada virus golongan VZV yang simptomatik berupa varicella. HHV akan laten di neuron atau sel limfoid, mengalami reaktivasi jika sisstem imun tidak adekuat. Infeksi herpes simpleks umumnya melalui kontak langsung kulit dan mukosa, jarang yang menyebar melalui aerosol. Untuk herpes simpleks sendiri (HSV), bentuknya pada umumnya atipik berbentuk plakat eritematosa, maupun erosi kecil. Herpes primer umumnya asimptomatik atau gejala yang tidak khas, berupa vesikel serta limfadenopati regional. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, dan mialgia yang terjadi 3-4 hari setelah lesi timbul, membaik dalam 3-4 hari kemudian. Virus HSV diklasifikasikan secara biologis menjadi HSV-1 yang sering ditemukan di wajah dan bibir serta jarang di mukosa; serta HSV-2 yang sering bermanifestasi sebagai gingivostomatitis, vulvovaginitis, uretritis dan cenderung ditransmisikan secara seksual. Erupsi yang berbentuk zosteriform dapat terjadi pada HSV zosteriform yang pada umumnya jarang terjadi. 2. Angina pektoris atau penyakit reumatik, bila nyeri sebagai gejala prodrormal terdapat di daerah setinggi jantung Tatalaksana Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses penyembuhan, mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta mengurangi risiko komplikasi.1,5 Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri dapat diberikan analgetik golongan NSAID seperti asam mefenamat 3 x 500mg per hari, indometasin 3 x 25 mg per hari, atau ibuprofen 3 x 400 mg per hari.12 Kemudian untuk infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik.4 Sedangkan pemberian antiviral sistemik direkomendasikan untuk pasien berikut13: 1. Infeksi menyerang bagian kepala dan leher, terutama mata (herpes zoster oftalmikus). Bila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat mengalami keratitis yang akan menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan komplikasi ocular lainnya 2. Pasien berusia lebih dari 50 tahun 3. Herpes zoster diseminata (dermatom yang terlibat multipel) direkomendasikan pemberian antiviral intravena 4. Pasien yag imunokompromais seperti koinfeksi HIV, pasien kemoterapi, dan pasca transplantasi organ atau bone marrow. Pada pasien HIV, terapi dilanjutkan hingga seluruh krusta hilang untuk mengurangi risiko relaps; dan 5. Pasien dengan dermatitis atopik berat Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya, seperti valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila diberikan pada tiga hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas 3 hari sejauh ini belum diketahui.13 Dosis asiklovir adalah 5 x 800mg per hari dan umumnya diberikan selama 7-10 hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah tablet 200 mg dan tablet 400 mg. Pilihan antiviral lainnya adalah valasiklovir 3 x 1000mg per hari, famsiklovir atau pensiklovir 3 x 250 mg per hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih panjang dari asiklovir.4,10 Obat diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan dihentikan 2 hari setelah lesi baru tidak timbul lagi.4 Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak kalamin atau phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah pecah dapat diberikan antibiotik topical untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi bersifat erosif dan basah dapat dilakukan kompres terbuka.4,12 Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi lebih sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi sekunder. Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat meredakan gatal. Untuk mengurangi gatal dapat pula menggunakan losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari kontak dengan pakaian dapat digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan non-adherent.14 Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut14: 1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada malam hari; 2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-300mg per hari; 3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin atau antidepresan trisiklik saja; 4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat menimbulkan sensasi terbakar; dan 5. Lidocaine patch 5% jangka pendek. Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis dari nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu dilakukan tapering off setelah satu minggu. Pemberiannya dikombinasikan dengan obat antiviral untuk mencegah fibrosis ganglion karena kortikosteroid menekan imunitas. Namun perlu diingat kontraindikasi relatif atau absolut kortikosteroid seperti diabetes mellitus.14 Pada komplikasi seperti ini, rujukan kepada spesialis terkait sangat dianjurkan. BAB IV PEMBAHASAN Seorang wanita berusia 55 datang ke dokter dengan keluhan nyeri yang timbul secara mendadak di kaki kiri sejak tiga hari yang lalu. Pada kulit muncul pula lenting-lenting yang berkelompok dan tersebar hanya di tungkai bawah kiri, serta kaki kiri bagian dalam. Tidak terdapat lokasi lain timbulnya kelainan kulit yang serupa. Dengan timbulnya lesi seperti ini, perlu dipikirkan terjadinya kelainan kulit yang manifestasinya merupakan lenting disertai dengan nyeri yang cukup hebat (dengan VAS 6/10). Dengan melihat lesi, tampak pada regio plantar tungkai bawah sinistra dan kaki sinistra bagian medial, terdapat vesikel multipel bergerombol yang tersebar secara dermatomal, dengan ukuran lentikular, terletak di atas kulit yang eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel teraba lunak dengan permukaan yang licin. Lesi yang terlihat cukup karakteristik untuk herpes zoster, yang mana timbul gejala kulit yang unilateral, bersifat dermatomal sesuai dengan persarafan. Pada pasien ditanyakan pula apakah terdapat kelemahan pada tungkai tersebut, namun pasien menyangkal kelemahan motorik. Pasien hanya mengatakan bahwa saat digunakan untuk berjalan kaki terasa sakit, bukan lemas. Dengan demikian keterlibatan elemen motorik pada persarafan ini tidak ada. Lesi yang timbul jug akhas berupa vesikel yang berkelompok, dengan dasar berupa kulit yang eritematosa (kemerahan). Keseluruhan penampakan kulit maupun gejala subjektif berupa nyeri sangat menyokong ke arah herpes zoster, mengingat penyakit ini memiliki perjalanan berupa masa tunas 7-12 hari, dengan timbulnya lesi dalam 1 minggu berikutnya, kemudian masa penyembuhan sendiri selama 1-2 minggu berikutnya. Pada pasien ini, keterlibatan dermatomal yang terlibat adalah L4 hingga L5. Pada reaktivasi herpes zoster, perlu ditanyakan gejala prodromal. Gejala prodromal berupa demam disangkal, namun pasien mengeluhkan timbulnya nyeri pada kedua otot paha yang terjadi kurang lebih bersamaan dengan timbulnya lesi pada kulit. Mialgia yang terjadi dapat merupakan gejala prodromal dari reaktivasi herpes zoster. Gejala prodromal lainnya berupa pusing dan malaise disangkal oleh pasien. Setelah yakin bahwa terjadi reaktivasi herpes zoster, perlu dipikirkan mengapa terjadi reaktivasi. Pada literatur11 dikatakan bahwa tidak jelas sebetulnya pemicu reaktivasi, namun herpes zoster dapat terjadi akibat penurunan fungsi sistem imun, seperti yang ditemui pada seorang berusia di atas 50 tahun. Penelitian oleh Schmader, et.al15 mengungkapkan bahwa herpes zoster sering terjadi pada orang yang baru-baru ini mengalami stressful recent events. Pada pasien dalam anamnesis mengatakan bahwa belakangan ini pasien cukup stres akibat cucu yang sakit dan sering membantu tetangga pasien menyiapakan acara pasien. Selain itu makan pasien dalam beberapa waktu terakhir juga tidak teratur. Kesemua faktor ini diduga dapat menjadi pemicu reaktivasi herpes zoster. Herpes zoster merupakan suatu reaktivasi akibat infeksi awal yang bermanifestasi sebagai varicella zoster (cacar air). Pada pasien ditemukan riwayat cacar air pada saat berusia sekolah di SD. Dengan demikian jelaslah bahwa infeksi primer pada pasien ini telah terjadi. Pasien kemudian diberikan pengobatan, berupa edukasi dan medikamentosa. Lenting yang timbul jangan digaruk sebab dapat menimbulkan infeksi sekunder. Pasien juga dianjurkan mengurangi sementara aktivitas fisik sebab saat ini pasien sedang mengalami nyeri dan tingginya aktivitas fisik dapat meningkatkan gesekan maupun trauma pada kaki yang dapat menjadi penyebab pecahnya lenting. Pada riwayat saat ini pasien tinggal dengan suami, namun seringkali cucu pasien datang ke rumah untuk menginap. Pasien perlu diedukasi bahwa pada orang yang belum pernah mengalami cacar air, dapat terjadi penyebaran virus VZV ke pejamu lain, yang dapat menimbulkan varicela pada orang lain. Dengan demikian dalam fase ini sebaiknya pasien tidak membiarkan anak-anak ataupun orang yang belum pernah mengalami varicela sebelumnya untuk bermain atau berdekatan dengan pasien. Terapi medikamentosa yang diberikan berupa asiklovir 5 x 800 mg. Terapi dapat diberikan secara efektif maksimal 72 jam setelah lesi terakhir muncul, yang pada pasien ini masih terpenuhi (onset hari ke-3). Di atas 72 jam, pemberian asiklovir dikatakan tidak efektif lagi. Perlu diingat pula bahwa konsumsi obat harus teratur, termasuk jam-jamnya, sebab pemberian asiklovir sebanyak 5 hari dalam sehari. Dengan demikian perlu digunakan alarm jika diperlukan untuk membangunkan pasien atau mengingatkan pasien untuk mengonsumsi obat. Asiklovir diberikan selama tujuh hari. Untuk nyeri yang timbul pada pasien diberikan asam mefenamat 3x500 mg sebagai analgesik. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol selama 7 hari kemudian kepada dokter, untuk melihat perbaikan pada pasien. DAFTAR PUSTAKA 1. Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med. 2002;347(5):340–6. 2. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012. Jakarta; 2012. 3. James WD, Berger T, Elston D. Andrew’s diseases of the skin. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. 4. Handoko R. Penyakit virus. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 5. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks Dermatol. Gen. Med. 7th ed. 6. Baehr M, Frotscher M. Duus’ topical diagnosis in neurology. 4th ed. New York: Thieme; 2005. 7. Tunsuriyawong S, Puavilai S. Herpes zoster, clinical course and associated diseases: A 5year retrospective study at Tamathibodi Hospital. J. Med. Assoc. Thail. Chotmaihet Thangphaet. 2005 May;88(5):678–81. 8. Herr H. Prognostic factors of postherpetic neuralgia. J. Korean Med. Sci. 2002 Oct;17(5):655–9. 9. Oakes SA. Postherpetic Neuralgia Bacgground Monograph. Med Cases Inc; 2004. 10. Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M, et al. Recommendations for the management of herpes zoster. Clin. Infect. Dis. Off. Publ. Infect. Dis. Soc. Am. 2007 Jan 1;44 Suppl 1:S1–26. 11. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas & synposis of clinical dermatology. 6th ed. New York: McGraw Hill Medical; 12. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM, editors. Penyakit kulit yang umum di indonesia: sebuah panduan bergambar. Jakarta: Medical Multimedia Indonesia; 13. Gross G, Schöfer H, Wassilew S, Friese K, Timm A, Guthoff R, et al. Herpes zoster guideline of the German Dermatology Society (DDG). J. Clin. Virol. Off. Publ. Pan Am. Soc. Clin. Virol. 2003 Apr;26(3):277–289; discussion 291–293. 14. Federal Bureau of Prisons. Management of varicella zoster virus infections [Internet]. [cited 2013 May 6]. Available from: http://www.bop.gov/news/PDFs/varicella.pdf 15. Schmader K, Studenski S, MacMillan J, Grufferman S, Cohen HJ. Are stressful life events risk factors for herpes zoster? J. Am. Geriatr. Soc. 1990 Nov;38(11):1188–94.