PROSES DAN POLA INTERAKSI SOSIAL SISWA DIFABEL DAN NON-DIFABEL DI SEKOLAH INKLUSIF DI KOTA SURAKARTA Joko Teguh Prasetyo D 0306004 JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2010 64 PERSETUJUAN Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politk Universitas Sebelas Maret Surakarta Menyetujui, Dosen Pembimbing Drs. Argyo Demartoto, M, Si NIP. 19650825 199203 1 003 65 PENGESAHAN Telah diterima dan disahkan oleh panitia penguji skripsi Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas sebelas maret Surakarta Hari : Tanggal : Panitia penguji skripsi 1. : Drs. Muflich Nurhadi, SU ( ) NIP. 19510116 198103 1 002 2. Ketua Drs. Bambang Santosa ( NIP. 19560721 198303 1 002 3. ) Sekretaris Drs. Argyo Demartoto, M.Si ( NIP. 19650825 199203 1 003 ) Penguji Mengetahui, Dekan FISIP UNS Drs. H. Supriyadi, SN, SU NIP.195301 28 198103 1 001 66 MOTTO Untuk mencapai kesuksesan, kita jangan hanya bertindak, tapi juga perlu bermimpi ; jangan hanya berencana, tapi juga perlu untuk percaya. To accomplish great things, we must not only act, but also dream; not only plan, but also believe. ~ Anatole France Di balik kesuksesan seorang pria selalu ada wanita yang luar biasa di belakangnya ~ Paul I. Wellman 67 PERSEMBAHAN Karya sederhana ini saya persembahkan untuk : Orang tua Keluarga Kekasih 68 KATA PENGANTAR Bismillahhirahmanirrahim Assalamu’alaikum wr. wb Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kewajiban untuk menyusun penelitian skripsi dengan Judul : “Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta”. Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan penulis terhadap pendidikan inklusif. Sehingga timbul kesadaran pentingnya membagi pengalaman yang didapatkan selama penelitian, agar mendapatkan kepuasan pada diri sendiri dan dapat membaginya lewat penyusunan skripsi ini. Banyak sekali yang penulis bisa dapatkan dari penelitian ini terutama sikap dan perilaku siswa difabel dalam berinteraksi dengan teman-temannya yang merupakan siswa non-difabel. Sehingga membuat kita lebih bersyukur lagi atas karunia yang diberikan Tuhan selama ini. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada : 1. Drs. H. Supriyadi SN, SU selaku Dekan FISIP UNS 2. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi FISIP UNS 3. Drs. Argyo Demartoto, M, Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan, petunjuk serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta. 5. Ibu Rizka Amalia, S.Psi, selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang telah memberikan banyak bantuan dalam penyusunan skripsi ini di lokasi penelitian. 69 6. Ibu Ida, Isna, Bapak Joko, Ibu Uswahyu, Pak Agus, selaku guru di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus. 7. Orang tua siswa yang telah berbagi pengalaman tentang pendidikan inklusif di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus bagi perkembangan anak-anak mereka. 8. Sahabat, teman, dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis membuka diri terhadap segala kritik maupun saran yang bersifat membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca yang budiman. Wassalau’alaikum wr. Wb. Surakarta, Juni 2010 Penulis 70 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………….. i HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………….. ii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………….. iii HALAMAN MOTTO ………………………………….. iv HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………….. v KATA PENGANTAR ………………………………….. vi DAFTAR ISI ………………………………….. viii DAFTAR GAMBAR ………………………………….. xi DAFTAR TABEL ………………………………….. xii DAFTAR BAGAN ………………………………….. xiii DAFTAR MATRIKS ………………………………….. xiv ABSTRAK ………………………………….. xv A. Latar Belakang Masalah ………………………………….. 1 B. Rumusan Masalah ………………………………….. 9 C. Tujuan Penelitian ………………………………….. 9 D. Manfaat Penelitian ………………………………….. 10 E. Landasan Teori ………………………………….. 10 F. Definisi Konseptual ...................................................... 22 G. Metodologi Penelitian ...................................................... 47 ………………………………….. 47 2. Bentuk dan Jenis penelitian ………………………………... 48 3. Sumber Data ..................................................... 49 4. Teknik Pengumpulan Data ………………………………… 50 5. Teknik Sampling ………………………………….. 54 6. Validitas Data ………………………………….. 55 7. Teknik Analisa Data ...................................................... 58 ………………………………………….. 61 BAB I PENDAHULUAN 1. Lokasi H. Kerangka Berpikir 71 BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Profil Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta 1. Sejarah Berdirinya Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta 2. Visi Misi dan tujuan ………………………………… 64 ………………………………… 66 3. Kurikulum dan Pembelajaran ....................................... 67 4. Sumber Daya Manusia ....................................... 67 5. Unit-unit Pendidikan ....................................... 68 6. Unit-unit Pendukung ....................................... 92 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Profil Informan ………………………………….. 120 2. Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dengan NonDifabel dan Siswa Difabel dengan Guru ……....………….. 146 B. Aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta bagi Siswa Difabel ..................................................... 181 ………………………………….. 196 ………………………………….. 207 ………………………………….. 207 1. Kesimpulan Empiris ………………………………….. 138 2. Kesimpulan Teoritis ………………………………….. 139 3. Kesimpulan Metodologis ………………………………….. 143 C. Pembahasan BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran ………………………………….. 144 DAFTAR PUSTAKA ………………………………….. 221 LAMPIRAN ………………………………….. 226 72 DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 : Skema Alur Penelitian ........................................ 58 Gambar 1.2 : Skema Kerangka Pikir ………………………… 63 73 DAFTAR TABEL Tabel 1.1 : Banyaknya Penyandang Cacat Menurut Jenis & Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2008 ...................................... 5 Tabel 1.2 : Daftar Anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Di Kota Surakarta Tahun 2006 ....................................... 6 Tabel 1.3 : Daftar Penyandang Cacat Menurut Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2006 ................................................... Tabel 1.4 : Daftar Sekolah Inklusif di Kota Surakarta ............... Tabel 2.1 : Daftar Siswa Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta .............. 7 8 69 Tabel 2.2 : Penggolongan Siswa Difabel Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta Menurut Jenis Kecacatan …… 52 Tabel 2.3 : Data Siswa Difabel di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta Menurut Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) …………………………………………………… 74 53 DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 : Struktur organisasi pada Taman Pendidikan Pra Sekolah (TPP) Al Firdaus Tahun Pelajaran 2009/20101 ............ 74 Bagan 2.2 : Struktur Organisasi Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta Tahun Pelajaran 2009/2010 ........................ 79 Bagan 2.3 : Struktur organisasi Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus Kota Surakarta ............................................................ 89 Bagan 2.4 : Struktur organisasi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Al Firdaus Kota Surakarta ..................................... 90 Bagan 2.5 : Struktur organisasi Sekolah Menengah Atas (SMA) Al Firdaus Kota Surakarta ..................................... 91 Bagan 2.6 : Struktur organisasi Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus .................................... 100 Bagan 2.7 : Prosedur Standar Intervensi Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus ................. 75 101 DAFTAR MATRIKS Matriks 3.1 : Profil Informan ………………………………….. 136 Matriks 3.2 : Keterbatasan Siswa Difabel dalam Berinteraksi Sosial …. 150 Matriks 3.3 : Gangguan Interaksi dan Sosialisasi pada Siswa Difabel Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta ………… 159 Matriks 3.4 : Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel ………………….. 166 Matriks 3.5 : Pola Interaksi Sosial 178 ………........…………………….. Matriks 3.6 : Aksesibilitas Seklah Dasar (SD) Al Firdaus Bagi Siswa Difabel ………........…………………….......................... 76 196 ABSTRAK Joko Teguh Prasetyo. D0306004. Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta. Skripsi. Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2010. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif tentang Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta. Penelitian telah dilaksanakan di Lembaga Pendidikan Al Firdaus khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan metode interaktif melalui wawancara dan dengan metode non interaktif melalui catatan dokumen observasi tak berperan. Pengambilan sampel dilakukan purposive sampling. Analisa data menggunakan model analisa interaktif, sedangkan validitas data menggunakan triangulasi data/ sumber. Kemudahan dalam penelitian skripsi ini adalah sikap yang terbuka dari para stakeholder terkait, yaitu : guru dan orang tua siswa difabel, serta keterbukaan dari informan (siswa difabel), yaitu : Abdul (bukan nama sebenarnya), Rahman (bukan nama sebenarnya), Tian (bukan nama sebenarnya), Nanda (bukan nama sebenarnya), Putra (bukan nama sebenarnya), Ian (bukan nama sebenarnya), dan Iman (bukan nama sebenarnya). Sedangkan kesulitannya adalah terbatasnya siswa difabel autis sebagai responden penelitian, karena sulit untuk beradaptasi dengan orang baru. Penelitian ini membuktikan bahwa tidak adanya kesulitan interaksi sosial pada siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus. Aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai sekolah inklusif memiliki sarana dan prasarana yang kurang memadai, tetapi dalam hal manajerial telah memiliki program unggulan dalam pelayanan khusus bagi siswa difabel, yaitu melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Output siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu mewujudkan generasi yang beriman dan bertakwa berwawasan iptek serta mampu menuju kearah kemandirian. 77 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Difabel yang merupakan kepanjangan dari "different ability" merupakan salah satu masalah sosial yang masih dihadapi oleh Negara Indonesia saat ini. Banyaknya kaum difabel yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat Indonesia, membuat kaum ini merasa terdiskriminasi di segala bidang kehidupan. Di bidang pendidikan anak difabel juga mengalami pendiskriminasian, dimana pendidikan yang diperoleh anak difabel dibedakan dengan anak non-difabel pada umumnya. Kesamaan hak anak atas pendidikan dijamin sepenuhnya didalam instrumen hukum (baik internasional maupun nasional). Pendidikan bertujuan memperkuat Hak Asasi Manusia. Walaupun tujuan dan sasarannya berbeda-beda menurut konteks nasional budaya, politik, agama serta sejarah masing-masing. Hak anak difabel atas pendidikan diperjelas kembali dalam Konvensi Hak Anak (1989), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1989), Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993), Deklarasi Salamanca dan Kerangka Aksi Unesco (1994), Undang-undang Penyandang Cacat (1997), dan Kerangka Aksi Dakar (2000). Dalam Deklarasi Salamanca dipesankan untuk menerima setiap orang dan menghargai perbedaan. 78 Selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama tanpa memandang kesulitan atau perbedaan yang ada. Kongres Internasional ke-8 tentang Mengikutsertakan Anak Penyandang Cacat ke Dalam Masyarakat : Menuju Kewarganegaraan yang Penuh, yang dilaksanakan pada Juni 2004 di Stavanger, menegaskan adanya hak yang sama bagi yang berkebutuhan khusus maupun bagi yang tidak berkebutuhan khusus. Kewarganegaraan yang penuh memberi konsekuensi bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang sama dalam semua aspek kehidupan, seperti layanan kesehatan, pendidikan, program perawatan, maupun rekreasi. Hal ini berarti, anak difabel juga memiliki hak untuk berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan, serta mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga negara. (European Journal of Psychology of Education Vol. XXI, 2006 : 231-238). Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai setiap kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini berarti tidak terkecuali bagi anak difabel. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyebutkan adanya kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Sebaliknya, setiap lembaga pendidikan haruslah memberi kesempatan tersebut. Hak anak yang berkebutuhan khusus juga menjadi bagian yang diatur dalam Konvensi Hak Anak (diratifikasi melalui Keppres Nomor 20 Tahun 1990) 79 dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ragam hak untuk : 1. Mendapat kesempatan yang sama dan aksesibilitas bagi pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. 2. Menerima pendidikan, pelatihan dengan cara yang memungkinkan demi tercapainya integrasi sosial. 3. Dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan guru pengelola sekolah, atau teman-temannya. Mengenai sistem pendidikan, dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebut bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan (dapat diartikan siswa difabel) diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Hal ini berarti, tidak ada keharusan dilaksanakan melalui berbagai sekolah luar biasa, melainkan juga dapat diselenggarakan melalui sekolah umum. Hal yang terpenting. Pendidikan haruslah diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa. Pada dasarnya anak difabel memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan anak non-difabel dalam mewujudkan kesejahteraan hidupnya. (Undang-Undang.No4/ 1997 tentang Penyandang Cacat; PP No 72/ 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa; PP No.13/ 1988 tentang Usaha 80 Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; Undang-Undang.No.25/ 1997 tentang Ketenagakerjaan, UUSPN No.20/ 2003). Pendidikan sangat diperlukan dalam upaya mencapai kesejahteraan sosial. Hak atas pendidikan merupakan bagian esensial dalam hak asasi manusia seseorang. Bahkan dapat dikatakan, pendidikan merupakan prasyarat bagi terlaksananya hak-hak dasar yang lain bagi seseorang. Dalam lingkup hak ekonomi, sosial dan budaya, hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan, untuk memperoleh pembayaran yang setara dengan pekerjaan yang dilakukan, untuk membentuk serikat buruh, atau untuk mengambil bagian dalam kehidupan kebudayaan, untuk menikmati manfaat kemajuan ilmu pengetahuan dan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi berdasarkan kemampuannya, hanya dapat dilaksanakan secara berarti setelah seseorang memperoleh tingkat pendidikan minimum. Fenomena yang ada dalam pendidikan sekolah umum Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU), selalu dijumpai siswa difabel tingkat ringan, seperti : anak berkesulitan belajar, lamban belajar/ tunagrahita ringan, low vision, penyimpangan perilaku dan emosi, dan sebagainya. Mereka membutuhkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu, namun tidak didapatkan dari sekolah. Sementara itu siswa difabel yang termasuk gradasi sedang dan berat tidak diijinkan sekolah di sekolah umum. 81 Sistem pendidikan inklusif diharapkan mampu menjadi jawabannya karena dianggap dapat memberikan lebih banyak kesempatan kepada anak difabel, namun dalam pelaksanaannya bentuk pendidikan ini belum berjalan sebagaimana diharapkan karena beberapa hal, seperti: masalah terbatasnya jumlah sekolah berpendidikan inklusif, keterbatasan sumber daya pengajarnya, sikap dan perlakuan yang diskriminatif, dan penolakan sebagian orang tua murid. Sejak lahirnya Direktorat Pendidikan Luar Biasa di Lingkungan Ditjen. Dikdasmen Depdiknas telah diciptakan suatu model atau sistem pendidikan yang disebut pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif pada dasarnya adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (anak difabel) untuk belajar bersama-sama dengan anak sebayanya di sekolah umum. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, saat ini di Indonesia terdapat sekitar 1.450 sekolah luar biasa (SLB) dan hanya 400 yang negeri. Selain itu, sebanyak 800 sekolah sudah menjadi sekolah inklusif. (Kompas, 17 November 2009). Kota Surakarta merupakan salah satu tempat berdomisilinya kaum difabel baik sebagai tempat tinggal permanen maupun pelatihan-pelatihan. Banyaknya difabel di kota ini dapat dilihat dari jumlah kaum difabel dengan berbagai jenis kecacatan dari tabel berikut ini: Tabel 1.1 Banyaknya Penyandang Cacat Menurut Jenis & Kecamatan di Kota Surakarta Tahun 2008 82 Kecamatan Cacat Tubuh Tuna Netra Tuna Mental Tuna Rungu/W icara (2) (3) (4) (5) (1) Laweyan Serengan Pasar Kliwon jebres Banjarsari Jumlah 2007 2006 2005 2004 114 41 86 81 176 498 773 528 157 157 43 23 59 62 91 278 307 267 103 103 91 130 72 44 152 489 729 444 12 12 51 16 38 47 47 199 364 190 59 59 Sumber : BPMPPPA dan KB Kota Surakarta 2008 Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa Di Kota Surakarta terdapat 498 orang penyandang cacat tubuh, 278 tunanetra, 489 orang tuna mental dan 199 orang tuna rungu/ wicara. Sedangkan daftar anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Surakarta pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 1.2 Daftar Anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Kota Surakarta Tahun 2006 No Kriteria Cacat 1 Anak Balita Terlantar 2 Anak Terlantar 3 Anak yang menjadi KTK 4 5 6 L 199 378 20 Anak Nakal Anak Jalanan Anak cacat (difabel.) 75 92 464 Tahun 2006 P JUMLAH 167 366 304 682 17 37 4 7 348 79 99 812 JUMLAH 1228 847 2075 Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta Tahun 2006 83 Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa jumlah terbanyak anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Surakarta yaitu dengan kriteria anak cacat (difabel) pada tahun 2006 berjumlah 812 jiwa yang terdiri dari jenis kelamin laki-laki berjumlah 464 jiwa dan perempuan berjumlah 348 jiwa. Dari tabel diatas, tampak bahwa jumlah anak cacat (difabel) memiliki angka tertinggi diantara jumlah anak penyandang masalaha kesejahteraan sosial lainnya. Keadaan anak yang mempunyai cacat fisik, mental, maupun mental dan fisik (ganda) pada usia 0-18 tahun di Kota Surakarta dapat dilihat melalui tabel dibawah ini : Tabel 1.3 Daftar Penyandang Cacat Menurut Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2006 Tahun 2006 No Kriteria Cacat L P JUMLAH 1 Cacat tubuh 122 86 208 2 Cacat Rungu Wicara 80 66 146 3 Cacat Netra 21 20 41 4 Cacat Mental Reterdasi 139 93 232 5 Cacat Mental Eks Psikotik 27 24 51 6 Cacat Ganda 56 45 101 7 Cacat Bibir Sumbing 17 15 31 84 JUMLAH 462 348 810 Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta Tahun 2006 Kota Surakarta dijadikan program kota layak anak, didalam program kota layak anak ini Kota Surakarta dituntut untuk memenuhi segala fasilitas menyangkut kesejahteraan anak baik di bidang kesehatan, hukum maupun pendidikan. Dibidang pendidikan Kota Surakarta diharuskan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan didalam Konvensi Hak Anak, termasuk menyediakan fasilitas pendidikan untuk anak-anak baik non-difabel dan difabel. Salah satunya dengan menyediakan sekolah inklusif. Di Kota Surakarta terdapat beberapa sekolah inklusif untuk memenuhi kebutuhan hak anak difabel untuk memperoleh pendidikan. Adapun daftar sekolah inklusif di Kota Surakarta menurut LPPM UNS adalah sebagai berikut: Tabel 1.4 Daftar Sekolah Inklusif di Kota Surakarta No Nama Sekolah 1 SDN Bromontakan 2 SDN Pajang I 3 SDN Petoran 4 SDN Manahan 5 SD Al Firdaus Surakarta 6 SMPN 12 85 7 SMP SMU Al Firdaus Surakarta 8 SMAN 8 Surakarta 9 SMU Muhammadiyah 6 Surakarta 10 SMKN 9 Surakarta Sumber : LPPM UNS 2009 Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak permasalahan yang melekat pada difabel dan terutama pada siswa difabel yang sama sekali tidak pernah menjadi perhatian baik oleh masyarakat difabel itu sendiri maupun non-difabel. Berdasarkan realitas sosial diatas maka kegiatan penelitian ini lebih difokuskan pada Proses dan Pola interaksi sosial siswa difabel dan non-difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta. B. PERUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah proses dan pola interaksi siswa difabel dengan siswa non-difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta? 2. Bagaimanakah aksesibilitas bagi siswa difabel yang diberikan oleh Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta, demi menghasilkan output atau hasil sumber daya manusia yang berkualitas? 86 C. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui proses dan pola interaksi siswa difabel dengan siswa non-difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta. 2. Mengetahui aksesibilitas bagi siswa difabel yang diberikan oleh Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta, demi menghasilkan output atau hasil sumber daya manusia yang berkualitas? D. MANFAAT PENELITIAN 1. Teoritis Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pertimbangan untuk penelitian sejenis dan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melaksanakan penelitian serupa dalam lingkup yang lebih luas. 2. Manfaat Praktis a. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah Kota Surakarta dan Dinas Pendidikan dan Olah Raga (DISDIKPORA) Kota Surakarta untuk lebih memperhatikan pendidikan kaum difabel terkait dengan sekolah inklusif dan aksesibilitasnya terhadap kaum difabel di Kota Surakarta. b. Dapat digunakan sebagai salah satu contoh bagi Lembaga Pendidikan yang lain bahwa Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar Al Fidaus merupakan salah satu Sekolah Inklusif terbaik di Kota Surakarta. 87 E. LANDASAN TEORI Permasalahan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekatan sosiologi. Roucek dan Waren mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok sosial. Menurut WF.Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan prosesproses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Menurut Pitirim A Sorokin menyatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang diharapkan untuk mempelajari : 1. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial. 2. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan non sosial. (Soekanto, 1990 : 19-20) Sedangkan Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemarji menyatakan bahwa: “Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.” (Soekanto, 1987 : 15) Dalam beberapa hal sosiologi dikatakan mirip dengan psikologi, terutama dalam teori interaksi simbolik yang banyak dipengaruhi oleh psikoanalisa. Untuk membedakan kedua ilmu tersebut Soeprapto menyatakan bahwa: “Sosiologi adalah induk ilmu sosial yang mengkaji secara ilmiah mengenai kehidupan manusia. Sosiologi merupakan suatu ilmu dimana di dalamnya dipelajari haikat dan sebab-sebab dari berbagai pola dan perilaku manusia yang terjadi secara teratur dan bisa berulang-ulang. Hal inilah yang membedakannya dengan psikologi yang dikenal sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada karakterstik individu per individu. 88 Sedangkan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari individu dalam kapasitasnya sebagai masyarakat.” (Soeprapto, 2002 : 1) Menurut Max Weber yang dikenal sebagai pendukung paradigma definisi sosial yang menjadi sudut pandang dari penelitian ini: “Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan memahami tindakan sosial secara interpretatif agar diperoleh kejelasan mengenai sebab-sebab, proses, dan konsekuensinya. Dengan kata lain sosiologi adalah ilmu yang berhubungan dengan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial agar dengan demikian bisa diperoleh penjelasan kausal mengenai arah dan konsekuensi dari tindakan itu.” (Raho, 2004 : 3) Setiap ilmu memiliki teori-teori sendiri. Tapi kepastian dari teori-teori itu berbeda dari satu ilmu ke ilmu yang lainnya. Derajat kepastian di dalam ilmu alam, fisika, atau kimia biasanya lebih tinggi dari pada derajat kepastian di dalam teori-teori ilmu sosial. Teori-teori di dalam ilmu sosial, tidak lebih dari suatu perspektif atau cara pandang dalam meneropong kehidupan masyarakat. Sebuah teori dalam ilmu sosial bertahan selama belum ada penjelasan lain yang mengatakan sebaliknya. Manusia merupakan makhluk sosial, dimana dasar kehidupan bersama adalah komunikasi, terutama lambang-lambang sebagai kunci untuk memahami kehidupan sosial manusia. Suatu lambang merupakan tanda, benda atau gerakan yang secara sosial dianggap mempunyai arti-arti tertentu. Mead mengatakan tentang kehidupan bersama manusia, bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak-pihak lain dengan perantaraan lambang-lambang tertentu 89 yang dipunyai bersama. Dengan perantaraan lambang-lambang tersebut, maka manusia memberikan arti pada kegiatan-kegiatannya. Mereka dapat menafsirkan keadaan dan perilaku dengan mempergunakan lambang-lambang tersebut. Manusia membentuk perspektifperspektif tertentu melalui suatu proses sosial dimana mereka memberi rumusan hal-hal tertentu, bagi pihak-pihak lainnya. Selanjutnya mereka berperilaku menurut hal-hal yang diartikan secara sosial (Soekanto, 1990 : 7). Dari definisi tersebut tampak bahwa sebagaimana halnya dengan ilmuilmu sosial lainnya obyek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Masyarakat mempunyai batasan yang cukup luas yang memcakup berbagai faktor termasuk didalamnya juga mencakup tentang pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tersebut. (Soekanto, 1990 : 23). Salah satu cara untuk mengelompokkan teori-teori sosiologi adalah yang dianjurkan George Ritzer dalam bukunya ‘Sosiologi: Ilmu Berparadigma Ganda’. Pengelompokkan yang dilakukan oleh George Ritzer itu didasarkan pada paradigma-paradigma yang ada dalam sosiologi. Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawab serta aturan-aturan apa saja yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut. (Ritzer, 2002 : 6-7). 90 Menurut Ritzer, didalam sosiologi, ada tiga paradigma utama, yaitu paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial. Pertama paradigma fakta sosial, paradigma yang dipelopori oleh Emile Durkheim ini menekankan pokok persoalan sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial adalah sesuatu (thing) yang berada diluar individu dan berbeda dari ide-ide tetapi bisa mempengaruhi individu didalam bertingkah laku. Secara garis besar, fakta sosial kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, sistem sosial, keluarga, pemerintah, institusi politik, kebiasaan, hukum, undang-undang, nilai-nilai dan sebagainya. Teori yang berada dalam naungan paradigma fakta sosial adalah teori fungsionalisme struktural dan teori konflik. Yang kedua adalah paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa obyek studi sosiologi yang kongkrit dan realistis ialah perilaku manuisa yang tampak dan kemungkinan perulangannya. Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar pribadi dan hubungan pribadi dengan lingkungan. Menurut penganut paradigma ini tingkah laku seorang individu memiliki hubungan dengan lingkungan yang mempengaruhi dia dalam bertingkah laku. Jadi ada hubungan antara perubahan tingkah laku individu dengan perubahan lingkungan sosial yang dialami individu. Teori yang searah dengan paradigma ini adalah teori pertukaran. Terakhir adalah paradigma definisi sosial, paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yang menekankan kenyataan sosial yang subyektif. Model pemersatu dari paradigma ini adalah karya-karya Max Weber dan juga Talcott Parsons. Karya Weber membantu mengarahkan perhatian sosiologi sebagai studi atau ilmu yang berusaha menafsirkan 91 dan memahami (interpretative understanding) tentang tindakan sosial. Bagi Weber perbuatan manusia baru menjadi tindakan sosial sepanjang tindakan itu mempunyai arti bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain. Sebaliknya tindakan yang diarahkan kepada benda mati bukanlah sebagai suatu tindakan sosial, kecuali tindakan yang diarahkan kepada benda mati dilakukan untuk memancing reaksi dari orang lain. Jadi pokok persoalan yang perlu diselidiki oleh sosiologi ini adalah tindakan sosial, yakni tindakan yang penuh arti dari seorang individu. Perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa aktor dalam paradigma definisi sosial bersifat dinamis dan kreatif, karena mereka memberikan interpretasi sebelum mereka memberikan reaksi atas tindakan sosial. Sedangkan pada paradigma perilaku sosial, aktor kurang kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya lebih ditentukan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya seperti norma, nilai-nilai, atau struktur sosial. Paradigma yang relevan digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma definisi sosial. Ada tiga teori yang mencakup dalam paradigma definisi sosial yaitu Teori Aksi, Teori Interaksionisme Simbolik, dan Teori Fenomenologi. Paradigma definisi sosial lebih menekankan pada tindakan manusia yang penuh arti. Weber sebagai pengemuka eksemplar dari paradigma ini mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Yang dimaksudkannya dengan tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. 92 Tindakan sosial seperti yang dikemukakan oleh Weber, juga dapat berupa tindakan-tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain, juga dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang berbeda. Atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu. (Ritzer, 2002: 38). Secara definitif Weber berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Di dalam definisi ini terkandung dua konsep dasar, yaitu pertama konsep tindakan sosial. Kedua konsep tentang penafsiran dan pemahaman. Konsep terakhir ini menyangkut metode untuk menerangkan yang pertama. Dalam mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Peneliti mencoba menginterpretasikan tindakan dan memahami motif serta tindakan si aktor. Dalam hal ini Weber menyarankan dua cara, dengan melalui kesungguhan dan dengan mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman si aktor. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam empat tipe, yang mana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Keempat tipe tersebut yaitu : 1. Zwerk rational Yakni tindakan murni. Dalam hal ini maka aktor tidak hanya sekedar menilai cara terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. 2. Werktrational action Dalam tindakan ini aktor tidak dapat menentukan apakah cara-cara yang dipakai merupakan cara yang paling tepat untuk mencapai tujuan ataukah 93 merupakan tujuan itu sendiri. Namun demikian ini rasional dapat dipertanggungjawabkan karena dapat dipahami. 3. Affectual action Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh emosi dan kepura-puraan si aktor, tindakan ini sukar dipahami dan tidak rasional. 4. Traditional action Tindakan yang didasarkan akan kebiasaan-kebiasaan melakukan sesuatu di masa lain. (Johnson, 1994: 220-222). Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui interaksi siswa difabel dengan siswa non-difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta dan aksesibilitas apa saja yang diberikan oleh sekolah kepada siswa difabel di Kota Surakarta demi menghasilkan output sumber daya manusia yang berkualitas. Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori interaksionisme simbolik. Substansi dasar dari teori tersebut adalah bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individual dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process. Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama 94 dari terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan. Karp dan Yoels menunjukkan beberapa hal yang dapat menjadi sumber informasi bagi dimulainya komunikasi atau interaksi sosial. Sumber Informasi tersebut dapat terbagi dua, yaitu Ciri Fisik dan Penampilan. Ciri Fisik, adalah segala sesuatu yang dimiliki seorang individu sejak lahir yang meliputi jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan di sini dapat meliputi daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana. Jadi tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya. Tetapi tindakan itu merupakan hasil daripada proses interprestasi terhadap stimulus. Jadi merupakan proses dari belajar, dalam arti memahami simbol-simbol itu. Meskipun norma-norma, nilainilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Bagian lainnya yang penting adalah konstruksi tentang diri “self”. Diri itu tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau kebutuhan teratur, motivasi dan norma serta nilai dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada. Dalam mendefinisikan “aku”, manusia menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dengan jalan menempatkan dirinya dalam peranan 95 orang lain. Diri merupakan bagian dari orang lain dan persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi sosial (Ritzer, 2002 : 50-53). Jadi dalam teori tersebut terkandung pengertian bahwa manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi paling tidak sebagian, merupakan aktor-aktor yang bebas. Bukannya melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya simbol yang terpenting dan melalui isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada dalam proses yang kontinyu. Selain teori interaksionisme simbolik dan teori aksi diatas, penelitian Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta ini juga menggunakan teori kritis dari Max Horkheimer dan juga Jurgen Habermas. Di dalam gagasan kritis Horkheimer menitik beratkan pada peran psikologis sosial dalam menjembatani kesenjangan antara individu dan masyarakat. Teori kritis bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan sekaligus memberikan kesadaran pembangunan masyarakat yang rasional. Dalam bahasa yang lebih terperinci, bisa disingkat dalam pokok-pokok sebagai berikut : a. Sebagai tipe arah khusus, teori kritis menyelamatkan hasil tindakan. 96 b. Teori kritis berorientasi nilai, sekaligus mengajarkan bagaimana seharusnya kita hidup. c. Teori kritis berorientasi pada ilmu yang bebarengan dengan sisi kematian, adat istiadat, kebiasaan, dan tradisi. d. Teori kritis bersifat holistik dan tidak reduksionistik. e. Teori kritis memulai dengan sebuah kepentingan dalam menafsirkan makna tindakan, dengan maksud meningkatkan hubungan komunikasi dan mereproduksi hubungan sosial. f. Teori kritis mengasumsikan bahwa adalah mungkin merefleksikan penggunaan bahasa sehingga bisa menuju pemahaman yang lebih lengkap pada cara dimana realitas dekonstruksi secara sosial. g. Teori kritis mengasumsikan bahwa orang tidak selau menyadari aturan-aturan tempat ia tinggal dan mengorganisasikan pengalaman mereka dalam hidup. h. Teori kritis selalu berbentuk sebuah kritik atas cara, dimana individu dibatasi untuk bertindak dan selalu mengidentifikasi diri mereka dalam kerangka lembaga sosial khusus (Susilo, 2008 : 140). Teori kritis mendasarkan pada kritik atas banyak hal, seperti ilmu positifis,rasionalitas, teknologi, ilmu hukum, kesatuan keluarga, pola-pola birokrasi, bahasa, seni, musik, sastra, kepribadian otoriter, dan psikoanalisa. Teori kritis mempunyai beberapa ciri khas: 1. Kritis terhdap masyarakat. Marx menjalankan kritis terhadap politik dan ekonomi pada zamannya. Mazhab Frankfurt juga mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan peyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat rapuh, karena itu harus dirubah. 2. Teori kritis berfikir secara historis dengan berpijak pada proses masyarakat yang historis. Teori kritis meneruskan posisi dasar Hegel dan Marx. Dengan demikian, teori tersebut selalu berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial yang tertentu misalnya materialekonomis. 3. Teori kritis menyadari resiko setiap teori untuk jatuh dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Itulah yang terjadi dengan pemikiran filsafat modern. Menurut Mazhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kaum kapitalis. Teori harus memiliki kekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi. 97 4. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktik, pengetahuan dari tindakan, rasio teoretis dari rasio praktis. Perlu dicatat bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukan dengan rasio instrumental yang yang hanya memperhitungkan alat atau sarana saja. Frankfurt menunjukan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori kritis selalu harus melayani transformasi praktis masyarakat. (Santoso, 2007 : 97). Menurut Habermas setidaknya ada enam tema dalam program teori kritis, yaitu: bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat post-liberal, sosialis dan perkembangan ego, media massa dan kebudayaan massa, psikologi sosial protes, teori seni dan kritik atas positivis. Habermas, mengatakan bahwa segala bentuk ilmu harus dialamatkan kepada kepentingan kognitif, sehingga itu tidak bebas nilai. Setiap ilmu dan teori apapun haarus memiliki pertautan dengan nilai dan kepentingan (Santoso, 2007 : 224). Ilmu-ilmu kritis berusaha menunjukkan bahwa keajegan-keajegan tertentu yang merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis pada dasarnya dapat diubah. Habermas menyebut “refleksi diri” (substreflexion). Melalui refleksi ini orang harus dibebaskan dari segala sesuatu yang mendominasi, yang membelenggu dan mengarah pada kemungkinan adanya hubungan-hubungan ketergantungan tersebut. Dalam hubungannya dengan sekolah inklusif difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus, baik siswa difabel maupun siswa non-difabel, tidak ada yang saling mendominasi satu sama lain. Walaupun mayoritas siswa adalah siswa non-difabel, tetapi interaksi sosial yang terjalin sangat baik, bahkan dalam hal prestasi, siswa difabel mampu bersaing dengan siswa non-difabel. (Santoso, 2007 : 233). Proses belajar masyarakat tergantung pada kompetensi individu-individu yang menjadi anggotanya. Individu-individulah yang memiliki peranan penting 98 dalam perubahan masyarakat. Tanpa adanya kemauan individu untuk berubah, maka masyarakat tidak akan berubah. Kemauan erat kaitannya dengan tindakan, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan. (Santoso, 2007 : 237). Menurut Richard Dewey dan W.J Humber, kemauan merupakan : a. Hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan. b. Berdasarkan pengetahuan tentang cara-cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan. c. Dipengaruhi oleh kecerdasan dan energi yang diperlukan untuk mencapai tujuan. d. Pengeluaran energi yang sebenarnya dengan satu cara yang tepat untuk mencapai tujuan. (Rakhmat, 2007 : 43). Siswa difabel merupakan salah satu individu yang memiliki peranan penting dalam masyarakat, jika dari dalam diri difabel itu sendiri tidak memiliki kemauan untuk berubah, maka proses belajar tidak akan terjadi, dan sekolah inklusif tidak akan terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya. Siswa difabel memiliki kemauan untuk mendapatkan kesetaraan dalam bidang pendidikan dengan siswa non-difabel dan ikut bersaing dalam pendidikan. Untuk mewujudkan cita-cita dalam mencapai tujuan tersebut, maka pemerintah melaksanakan program sekolah inklusif, dan salah satunya yaitu di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta. F. DEFINISI KONSEPTUAL 1. Difabel 99 Kecacatan yang oleh masyarakat kita masih dimaknai sebagai sifat abnormal, ketidak sempurnaan, dan keadaan yang rusak sehingga perlu untuk disempurnakan. Pemaknaan kata cacat sebagai ketidak sempurnaan ini menjadi sangat kontroversial jika dikaitkan dengan hakikat penciptaan manusia. Jika entitas manusia dipandang sebagai hasil dari sebuah proses maka kecacatan atau ketidaksempurnaan yang dilekatkan pada para penyandang cacat dapat juga dimaknai sebagai ketidaksempurnaan dari sebuah proses penciptaan manusia yang dilakukan oleh Allah SWT. Dihadapan Allah, dimensi spiritual melalui keimanan dan amal sholeh lebih utama dibanding fisik. Dari sini dilihat bahwa tidak ada alasan untuk bersikap diskriminatif terhadap difabel. Dalam teori bahasa dan kekuasaan yang perkenalkan oleh Michael Fucoult penyandang cacat sebagai salah satu kelompok minoritas tak berdaya serta tak punya pilihan sehingga menerima begitu saja istilah yang dilekatkan pada dirinya selama berabad-abad dan dipahami sebagai sebuah “budaya” yang tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakat kita. Cara berfikir diatas telah dikontruksikan oleh masyarakat kita selama berabadabad menjadi bagian dari kehidupan mereka hingga tidak disadari hal tersebut sebagai sebuah kesalahan (ketidakadilan). Bahkan sebagian dari masyarakat awam kita masih meyakini bahwa kecacatan adalah kutukan atau dosa. Hanya karena istilah yang “kebetulan” disandangnya para penyandang cacat harus hidup menjadi kelompok marginal tersingkir dipojok hiruk pikuk kehidupan 100 di bumi ini. (http://www.scribd.com/doc/23956444/Difabel-Dan-Usaha-DekonstruksiKesempurnaan). Berdasarkan Hak Asasi Manusia, pada tanggal 9 Desember 1975, PBB mendeklarasikan Hak-Hak Penyandang Cacat melalui resolusi no. 3447(XXX) untuk meningkatkan kualitas hidup kaum difabel yang harus diikuti oleh seluruh negara anggotanya. Resolusi ini menjamin persamaan hak sebagai warga negara tanpa melihat kecacatan, menjamin hak untuk bekerja secara produktif dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial serta pelarangan perlakuan diskriminatif dan kekerasan terhadap kaum difabel. Konstruksi dan sikap atas kaum difabel dilukiskan sangat indah oleh Michael Foucault dalam Madness and Civilization : A history of insanity and age of reason (1988). Yakni bagaimana sebuah diskursus yang lahir dari rahim misi pencerahan: modernitas, melegitimasi proses pengekslusian orang-orang gila. Paska abad pertengahan, orang-orang penderita lepra lenyap begitu saja, kemudian posisinya digantikan oleh keberadaan orangorang gila. Muncul berbagai barak dan tempat-tempat yang digunakan untuk memenjarakan orang gila. Proses ini, sebagaimana dikatakan oleh Foucault merupakan proses yang didahului oleh sebuah kuasa diskursus: rasionalitas, yang berwujud legitimasi klinis/ medis atas orang-orang gila tersebut. Dengan demikian cacat merupakan konstruksi sosial. Bukan persoalan mudah untuk membahas diskriminasi disini. Membahas diskriminasi dalam hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan dua pandangan yang berbeda antara sudut pandang teori dan realitas 101 pengalaman kehidupan. Secara leksikal, diskriminasi di definisikan perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Dapat juga diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama, umur atau karakteristik yang lain. Dari dua definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa diskriminasi adalah bentuk perlakuan yang berbeda. Terhadap difabel, perlakuan tersebut didasarkan pada kondisi fisik mereka yang berbeda. Perlakuan diskriminatif masyarakat didasarkan pada asumsi bahwa dengan difabilitas yang dimiliki, difabel dianggap tidak mampu melakukan aktifitas sebagaimana orang lain pada umumnya. Fakta yang ada menunjukkan bahwa diskriminasi bukan hanya perasaan difabel, melainkan sebuah realitas yang ada di hadapan kita. Belajar dari pengalaman bahwa perlakuan diskriminatif, baik secara struktural (kebijakan negara) maupun kultural (penerimaan masyarakat) terhadap penyandang cacat hanya menciptakan masalah baru, yakni ketidakberdayaan mereka dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Kaum Difabel semakin sulit mengembangkan sumber daya manusianya, dan selalu tergantung pada uluran tangan pihak lain. Yang dibutuhkan saat ini adalah dekonstruksi terhadap paham cacat-normal yang selama ini tanpa disadari dilanggengkan juga oleh sistem sosial di Indonesia. Perjuangan penyandang cacat untuk bebas dari diskriminasi dan ketidakadilan tidak saja menyangkut aksesibilitas dalam sistem sosial, 102 politik, ekonomi, budaya, serta lingkungan infrastruktur yang ada, namun justru yang lebih berat adalah peluang mengubah asumsi dan ideologi cacatnormal yang telah mengakar di masyarakat. Dalam konteks itulah perubahan ideologi negara dan masyarakat menuju ‘sensitif terhadap penyandang cacat’ menduduki posisi penting. Istilah difabel muncul dan digunakan di Indonesia mulai akhir millennium kedua atau mulai pada tahun 1998 sebagai istilah yang digunakan untuk menyebut individu yang mengalami kelainan fisik. Bukan sejarah singkat untuk sampai penggunaan istilah difabel. Pada dekade 7080an masyarakat dan pemerintah menyebut individu yang mengalami kelainan fisik sebagai penderita cacat. Namun dalam pandangan umum, penggunaan kata penderita dianggap tidak menggambarkan secara obyektif realitas yang dialami individu yang disebut. Individu yang mengalami kelainan fisik tidak selalu hidup dalam penderitaan. Mereka juga bisa bertawa tanpa merasakan penderitaan karena kondisi yang mereka alami. Penderitaan yang diasumsikan oleh masyarakat pada umumnya lebih disebabkan oleh persepsi orang diluar individu yang mengalami kelainan fisik. Istilah berikutnya yang digunakan adalah penyandang cacat. Namun pada perkembangannya istilah ini juga mengalami penolakan karena masih terdapat istilah cacat di dalamnya. Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Kata cacat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pada dasarnya lebih tepat jika dilekatkan pada barang atau benda mati. 103 Oleh karena alasan diatas, mereka yang disandangi dengan istilah tersebut berusaha untuk menemukan istilah yang lebih tepat dan netral dalam menggambarkan kondisi mereka. Sekitar tahun 1998, beberapa aktivis gerakan penyandang cacat memperkenalkan istilah baru untuk mengganti sebutan penyandang cacat. Maka dipakailah istilah difable yang merupakan akronim dari kalimat Different Ability People (manusia yang memiliki kemampuan berbeda). Didasarkan pada realita bahwa setiap manusia diciptakan berbeda dan memiliki potensi diri yang dapat dikembangkan termasuk mereka yang selama ini disebut cacat. Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan. Para difabel pada dasarnya dan dalam kenyataannya dapat melakukan apa saja sebagaimana orang lain melakukan namun hanya caranya saja yang berbeda. Macam-macam kecacatan terdiri dari : 1. Cacat Fisik Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pengendengaran, dan kemampuan berbicara. Yang termasuk dalam kriteria ini adalah : a. Cacat kaki. b. Cacat punggung. c. Cacat tangan. d. Cacat jari. 104 e. Cacat leher. f. Cacat netra. g. Cacat rungu. h. Cacat wicara. i. Cacat raba. j. Cacat pembawaan sejak lahir. 2. Cacat Mental Cacat mental adalah kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit, antara lain : a. Retardasi mental. b. Gangguan psikiatrik fungsional. c. Alkoholisme. d. Gangguan mental organic dan epilepsy. 3. Cacat Fisik dan Cacat Mental Cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus. Apabila yang cacat adalah keduanya maka akan sangat mengganggu penyandang cacatnya. (Demartoto, 2007: 9-12). 2. Sekolah Inklusif Sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusif adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler 105 tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusif juga melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan, terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan guru berpusat pada anak. Sekolah inklusif adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusif, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan Inklusif mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. (http://bk3sjatim.org/?p=148). Inklusif terjadi pada semua lingkungan sosial anak, pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusif berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. 106 Pendidikan inklusif menurut Stainback dan Anin Back adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program yang layak, menantang tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan para guru agar anak-anak berhasil. (Sunardi, 1996 : 28). Staub dan Peck mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh dikelas reguler. hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak luar biasa apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. (Sunardi,1996 : 29). Sapon Seven ONeil menyebutkan inklusif didefinisikan sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa ditempatkan di sekolah terdekat di kelas biasa, bersama teman-teman seusianya. (Bintoro, 2002 : 7). Pengertian lain juga diungkapkan oleh Subagyo Brotosedjati menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak cacat (berkebutuhan khusus) yang diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal di lembaga pendidikan umum, dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga yang bersangkutan. (Brotosedjati, 2003 : 3). Penjelasan mengenai sekolah inklusif juga terdapat pada Undangundang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan 107 Nasional yang memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan SK Mendiknas No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Melalui pendidikan inklusif, siswa difabel dididik bersama-sama siswa non-difabel untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak difabel dan anak non-difabel yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak difabel perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak non-difabel untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD). Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi siswa selama ini. Dalam implementasi di lapangan, Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat 108 anak. Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat). Ciri-ciri sekolah inklusif menurut Cornelia Schneider dalam “International Journal of Education Vol I. Equal is not Enough – Current Issues in Inclusive Education in the Eyes of Children”, yaitu adalah sebagai berikut : 1. Hidup dan belajar bersama semua anak (difabel dan non-difabel) di sekolah adalah tujuan dari pendidikan inklusif. 2. Sistem inklusif untuk semua orang (difabel dan non-difabel). 3. Dalam metode pembelajarannya, menggunakan teori-teori yang sama dengan yang diberikan pada siswa non-difabel. 4. Memiliki perubahan-perubahan ide dan pengetahuan dalam pendidikan. 5. Mempertimbangkan dari semua tingkat pendidikan, sosial, dan emosional. 6. Sumber daya berasal dari seluruh sekolah, tidak hanya Sekolah Luar Biasa saja. 7. Memiliki system pembelajaran secara umum dan individual khusus bagi siswa difabel. 8. Satu kurikulum untuk seluruh siswa. 9. Seluruh siswa terlibat terlibatan dalam perencanaan pembelajaran. 10. Masing-masing siswa difabel, khusus memiliki guru pendamping, dan meiliki ruang khusus. 11. Perubahan dalam mata pelajaran praktek pendidikan. 12. Kerjasama. (International Journal of Education Vol I,. 2009 : 4). Melihat kondisi dan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusif yang lebih sesuai untuk diterapkan adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusif sama dengan pendidikan reguler, seperti 109 pendapat Vaughn, Bos & Schumn, Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut : 1) Kelas reguler (inklusif penuh) Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama 2) Kelas reguler dengan cluster Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler dalam kelompok khusus. 3) Kelas reguler dengan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 4) Kelas reguler dengan cluster dan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 5) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas reguler. 6) Kelas khusus penuh Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler. (Vaughn, Bos & Schumn, 2000: 30). Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusif penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusif lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit). 110 Menurut Departemen Pendidikan Nasional, penerapan pendidikan inklusif mempunyai landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat, yaitu : 1. Landasan Filosofis Penerapan Pendidikan Inklusif Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horisontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan kebhinekaan horisontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dan sebagainya. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan 111 keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Landasan yuridis Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia 112 yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas. Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional. 3. Landasan pedagogis Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah 113 khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya. 4. Landasan empiris Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen. (http://www.scribd.com/doc/23956444/DifabelDan-Usaha-Dekonstruksi-Kesempurnaan). Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/ 1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik 114 terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya. 3. Aksesibilitas Pemaknaan ‘aksesibilitas’ dalam UU No. 4 tahun 1998 adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dalam aspek bidang pendidikan, siswa difabel, yang memiliki keterbatasan dan ketidaksempurnaan fisik maupun mental, berhak mendapatkan kurikulum dan materi pendidikan yang sama dengan siswa nondifabel, tetapi berhak pula mendapatkan aksesibilitas sarana dan prasarana yang lebih, guna menunjang kesetaraan pendidikan dan kualitas individu di sekolah tersebut. Aksesibilitas sarana dan prasarana dapat berupa guiding block bagi difabel tunanetra, tangga ramp (tangga yang lurus tanpa anak tangga), hand rail, alat bantu dengar bagi tunarungu, dan lain sebagainya. Aksesibilitas yang disediakan oleh Sekolah Dasar Al Firdaus adalah penyediaan ruangan khusus bagi siswa difabel yang mengalami depresi hebat disaat mengikuti program belajar mengajar, penyediaan guru khusus yang menangani siswa difabel sehingga satu siswa difabel didampingi oleh satu guru khusus, disediakan pula tenaga profesional teraphist orthopedi. Siswa difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus juga mendapatkan akses terhadap informasi yang leluasa tentang diagnosa, hak-hak, dan pelayanan 115 yang mereka terima pada semua tingkatan. Informasi-informasi tersebut dihadirkan dalam format yang dapat diakses oleh siswa difabel, seperti misalnya dalam format huruf braille, pengeras suara, huruf dicetak besar, penggunaan sinyal dan bahasa tubuh (sign language) ataupun dalam bentuk lainnya yang ramah terhadap penyandang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, ataupun penyandang cacat lainnya. Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975) menegaskan bahwa penyandang cacat berhak untuk memperoleh upaya-upaya (dari pihak lain) yang memudahkan mereka untuk menjadi mandiri/ tidak tergantung pada pihak lain. Mereka juga berhak mendapatkan pelayanan medis, psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis dan sosial, pendidikan, pelatihan ketrampilan, konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan integrasi sosial mereka. Selanjutnya, pasal 5 Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disabilities 1993 menjelaskan bahwa Negara harus mengakui dan menjamin aksesibilitas para penyandang cacat melalui : 1. Menetapkan program-program aksi untuk mewujudkan aksesibilitas fisik penyandang cacat. 2. Melakukan upaya-upaya untuk memberikan akses terhadap informasi dan komunikasi para penyandang cacat. 116 4. Interaksi Sosial Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya. Dalam penelitian ini, interaksi sosial yang diteliti oleh penulis yaitu interaksi sosial antara siswa non-difabel dan siswa difabel serta interaksi antara guru dan siswa difabel di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta khususnya di Sekolah Dasar Al Firdaus Kota Surakarta. Sehingga tampak output atau hasil, yakni sumber daya manusia di Sekolah Dasar Al Firdaus khususnya siswa difabel yang berkualitas dan mampu untuk menghadapi kelanjutan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Serta interaksi sosial dalam masyarakatpun tidak mengalami tingkat kecenderungan diskriminasi yang tinggi lagi. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat di berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang pendidikan. Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjadi proses belajar mengajar, ketika ada kompetensi siswa difabel dan non-difabel, serta disaat menghabiskan waktu istirahat bersama teman-teman lainnya. Interaksi sosial 117 dalam penelitian ini difokuskan kepada interaksi antara siswa difabel dan siswa non-difabel, serta siswa difabel dengan guru. Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor : 1. Imitasi Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku 2. Sugesti Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. 3. Identifikasi Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. 4. Proses simpati Sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. (http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologikomunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/) Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok. Dua syarat terjadinya interaksi sosial, yaitu : 1. Adanya kontak sosial (social contact), yang dapat berlangsung dalam tiga bentuk.Yaitu antarindividu, antarindividu dengan kelompok, dan antarkelompok.. Selain itu, suatu kontak dapat pula bersifat langsung maupun tidak langsung. 2. Adanya Komunikasi, yaitu seseorang memberi arti pada perilaku orang lain, perasaan-perassaan apa yang ingin disampaikan orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. (Waluya, 2007 : 48). 118 Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Pertikaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti : menujuk pada suatu keadaan dan untuk menujuk pada suatu proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan. Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. (Waluyo, 2007 : 47). Dengan pengertian tersebut dimaksudkan sebagai suatu proses di mana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang mula-mula saling bertentangan, saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk 119 menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Tidak selamanya suatu akomodasi sebagai proses akan berhasil sepenuhnya. Di samping terciptanya stabilitas dalam beberapa bidang, mungkin sekali benih-benih pertentangan dalam bidang-bidang lainnya masih tertinggal, yang luput diperhitungkan oleh usaha-usaha akomodasi terdahulu. Benih-benih pertentangan yang bersifat laten tadi (seperti prasangka) sewaktuwaktu akan menimbulkan pertentangan baru. Dalam keadaan demikian, memperkuat cita-cita, sikap dan kebiasaan-kebiasaan masa-masa lalu yang telah terbukti mampu meredam bibit-bibit pertentangan merupakan hal penting dalam proses akomodasi, yang dapat melokalisasi sentimen-sentimen yang akan melahirkan pertentangan baru. Dengan demikian, akomodasi bagi pihak-pihak tertentu dirasakan menguntungkan, namun agak menekankan bagi pihak lain, karena adanya campur tangan kekuasaan-kekuasaan tertentu dalam masyarakat. Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu : 1. Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. 2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer. 3. Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial yang hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem berkasta. 4. Mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang terpisah. (Waluyo, 2007 : 47). Bentuk-bentuk akomodasi menurut Gillin and Gillin, adalah sebagai berikut : 120 1. Koersi (coercion), yaitu bentuk akomodasi yang terjadi melalui pemaksaan kehendak pihak tertentu terhadap pihak lain yang lebih lemah. Berarti terjadi penguasaan (dominasi) suatu kelompok atas kelompok yang lemah. 2. Kompromi (compromise), yaitu bentuk akomodasi ketika pihapihak yang terlibat perselisihan saling mengurangi tuntutan agar tercapai suatu penyelesaian. Sikap dasar untuk melakukan kompromi adalah semua pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya 3. Arbitrasi (arbitration), yaitu bentuk akomodasi apabila pihakpihak yang berselisih tidak sanggup mencapai kompromi sendiri sehingga dilakukan melalui pihak ketiga disini dapat ditunjuk dari kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang berwenang. 4. Mediasi (mediation), yaitu suatu bentuk akomodasi yang hamper sama dengan arbitrasi. Namun pihak ketiga yang bertindak sebagai penengah bersikap netral dan tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak. 5. Konsiliasi (conciliation), yaitu bentuk akomodasi untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang bertikai untuk tercapainya kesepakatan bersama. Konsiliasi bersifat lebih lunak dan membuka kesempatan kepada pihak-pihak yang bertikai untuk mengadakan asimilasi. 6. Toleransi (toleration), yaitu bentuk akomodasi yang terjadi tanpa persetujuan yang resmi. Kadang-kadang toleransi terjadi secara tidak sadar dan tanpa direncanakan karena adanya keinginankeinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak. 7. Stalemate, yaitu bentuk akomodasi ketika kelompok yang bertikai mempunyai kekuatan yang seimbang, lalu keduanya sadar bahwa tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur sehingga pertentangan atau ketegangan antara keduanya akan berhenti dengan sendirinya. 8. Ajudikasi (ajudication), yaitu penyelesaian masalah atau sengketa melalui pengadilan atau jalur hukum 9. Displacement, yaitu bentuk akomodasi yang merupakan cara untuk mengakhiri suatu pertentangan dengan cara mengalihkan perhatian pada objek bersama. 10. Konversi (convertion), yaitu bentuk akomodasi dalam menyelesaikan konflik yang menjadikan salah satu pihak bersedia mengalah dan mau menerima pendirian pihak lain. (Waluya, 2007 : 48-49). Kerja sama yang merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yaitu suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk 121 mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik. Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang menyinggung anggota/ perorangan lainnya. Fungsi Kerja sama digambarkan oleh Charles H.Cooley : ”Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna.” (http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologikomunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/) Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerja sama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan : 1. Kerja sama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang sertamerta. 122 2. Kerja sama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa. 3. Kerja sama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu. 4. Kerja sama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial. (http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologikomunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/) Adapun bentuk-bentuk kerja sama adalah sebagai berikut : 1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong. 2. Bargaining, Yaitu pelaksana perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih. 3. Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan. 4. Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktur yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, karena maksud utama adalah untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnnya adalah kooperatif. 5. Joint venture, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu. (http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologikomunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/) G. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem, mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoritis yang digunakan untuk melakukan penelitian, sementara perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau 123 interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain. 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Pendidikan Al Firdaus Surakarta, khususnya di Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta. Adapun alasan penulis memilih Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai lokasi penelitian yang berjudul “PROSES DAN POLA INTERAKSI SISWA DIFABEL DAN DIFABEL DI SEKOLAH INKLUSIF DI KOTA SURAKARTA”, yaitu adalah sebagai berikut : a. Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta merupakan salah satu Sekolah yang pertama kali menyelenggarakan pendidikan inklusif di Kota Surakarta. b. Aksesibilitas yang dimiliki oleh Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta terhadap siswa baik siswa difabel maupun non-difabel sangat beragam, memiliki kelebihan dibandingkan Sekolah Umum lainnya, salah satunya yaitu memiliki unit khusus Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang khusus menangani siswa difabel. Dengan pertimbangan alasan-alasan tersebut, maka penulis menganggap bahwa Lembaga Pendidikan Al Firdaus Surakarta, khususnya Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta ini cukup tepat untuk penulis, dan 124 dijadikan lokasi penelitian untuk melihat proses interaksi dan aksesibilitas dalam Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta. 2. Bentuk dan Jenis Penelitian Penelitian ini nantinya akan menggunakan metode penelitan kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Denzin dan Lincoln (1994) adalah sebagai kajian yang “multimethod in focus involving an interpretative naturalistic approach to its subjek matter” (Denzin & Lincoln, 2006 : 4). Untuk mempermudah pendefinisian dari konsep penelitian kualitatif maka dirumuskankarakteristik penelitian kualitatif. Berikut, karakteristik penelitian kualitatif : a. Data penelitian diperoleh secara langsung dari lapangan bukan dari laboratorium atau penelitian yang terkontrol. b. Penggalian data dilakukan secara alamiah, melakukan kunjungan pada situasi alamiah subyek c. Untuk memperoleh makna baru dalam bentuk kategori-kategori jawaban, periset wajib mengembangkan situasi dialogis sebagai situasi yang alamiah. (Denzin & Lincoln, 2006 : 4). Penelitian kualitatif bertolak dari asumsi dasar bahwa realitas sosial tidak mempunyai makna didalam dirinya sendiri melainkan sangat tergantung pada interpretasi atau arti yang diberikan oleh seorang individu kepadanya. Penelitian ini menggunakan teori interaksionisme simbolik yang salah satu temanya adalah mempelajari apa yang berlangsung di dalam benak manusia. Untuk itu menurut Blumer Sosiolog perlu menggunakan pendekatan introspeksi simpatetik (sympathetic instropection) untuk meneliti dunia sosial. Dengan kata lain, dalam penelitian mereka, interaksionisme simbolik harus 125 menempatkan diri dalam posisi pelaku yang sedang mereka teliti dengan tujuan untuk memahami situasi dari sudut pandang pelaku. (Moleong, 2001 : 105). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, dimana penelitian kualitatif bertolak dari asumsi dasar bahwa realitas sosial tidak mempunyai makna didalam dirinya sendiri melainkan sangat tergantung pada interpretasi atau arti yang diberikan oleh seorang individu kepadanya 3. Sumber Data a. Responden, yaitu seseorang yang diminta untuk memberikan respon (jawaban) terhadap pertanyaan-pertanyaan (langsung atau tidak langsung, lisan atau tertulis ataupun berupa perbuatan) yang diajukan oleh peneliti. Responden dalam penelitian ini yaitu siswa non-difabel, guru, dan Komite Sekolah Yayasan Al Firdaus Program Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang khusus menangani siswa difabel . b. Informan, yaitu orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, informan adalah siswa difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus Kota Surakarta, berjumlah 7 orang siswa, dimana 2 orang siswa merupakan siswa difabel fisik, 4 orang siswa merupakan siswa difabel mental, dan 1 orang siswa memiliki gangguan belajar. c. Kepustakaan, untuk memperoleh data sekunder yang dapat menunjang kepada kepentingan penelitian dan penemuan masalah. Kepustakaan yang 126 digunakan oleh peneliti untuk menunjang penelitian dan penemuan masalah adalah buku-buku, penelitian terdahulu, koran, internet dan jurnal internasional. 4. Teknik Pengumpulan Data Di dalam penelitian ini, bentuk semua teknik pengumpulan data dan kualitas pelaksanaannya, serta hasilnya sangat tergantung pada penelitiannya sebagai alat pengumpul data utamanya. Oleh karena itu sikap kritis dan terbuka sangat penting, dan teknik pengumpulan data yang digunakan selalu yang bersifat terbuka dengan kelenturan yang luas, seperti teknik wawancara mendalam, (in-depth interviewing), observasi berperan (participant observation), dan bila diperlukan data awal yang bersifat umum, dapat juga menggunakan kuesioner terbuka (open-ended questionaire), analisis dokumen atau arsip (content analysis), serta diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion). Posisi peneliti sebagai alat utama pengumpulan data ini menuntut kualitas peneliti yang benar-benar memahami metodologi penelitiannya, didukung dengan pengalaman yang cukup dalam melakukan penelitian, agar mampu menghasilkan penelitian yang bermutu. Dalam penelitian ”Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta” ini sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif dan juga jenis sumber data yang dimanfaatkan, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Wawancara Mendalam (In Depth Interview) 127 Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah berupa manusia yang dalam posisinya sebagai narasumber atau informan. Untuk mengumpulkan informasi dari sumber data ini diperlukan teknik wawancara mendalam (in-depth interviewing). Tujuan penulis menggunakan teknik ini dalam penelitiannya adalah karena peneliti mampu untuk menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas, organisai, perasaan, motivasi, tanggapan, atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan, dan lain sebagainya, untuk merekonstruksi beragam hal merupakan bagian dari pengalaman masa lampau, dan memproyeksikan hal-hal tersebut dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan datang. Wawancara dalam penelitian kualitatif dilakukan secara bebas dan dengan pertanyaan yang bersifat terbuka (open-ended), dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara tidak formal terstruktur, kepada informan yang dipilih berdasarkan keterlibatan dan pengetahuannya dengan peristiwa atau hal-hal yang berkaitan dengan data yang diperlukan, guna menggali pandangan subyek yang diteliti tentang banyak hal yang bermanfaat yang menjadi dasar bagi penggalian informasinya lebih jauh, lengkap, dan mendalam. Wawancara ini dilakukan dengan guru pengajar dan pendamping, staf dan karyawan sekolah, siswa difabel dan non difabel. 128 2. Observasi Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, aktivitas, perilaku, tempat atau lokasi, dan benda, serta rekaman gambar. Observasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pada observasi langsung dapat dilakukan oleh pengumpul data dengan mengambil peran atau tidak berperan. Menurut Kartono, pengertian observasi diberi batasan sebagai berikut: “studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan observasi dan pencatatan”. Selanjutnya dikemukakan tujuan observasi adalah : “mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter relasinya elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba kompleks dalam pola-pola kultural tertentu”. Observasi dapat menjadi teknik pengumpulan data secara ilmiah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1) Diabdikan pada pola dan tujuan penelitian yang sudah ditetapkan. 2) Direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis, dan tidak secara kebetulan (accidental) saja. 3) Dicatat secara sistematis dan dikaitkan dengan proposisiproposisi yang lebih umum, dan tidak karena didorong oleh impuls dan rasa ingin tahu belaka. 4) Validitas, reliabilitas dan ketelitiannya dicek dan dikontrol seperti pada data ilmiah lainnya. (Kartono 1980: 142). Untuk menguji kebenaran suatu observasi, peneliti dapat mengulang observasinya kemudian membandingkan dengan hasil observasi pertama. Walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan karena ada peristiwa yang hanya sekali terjadi, sehingga tidak dapat diamati lagi. Untuk membandingkan hasil observasi dari seorang peneliti dengan peneliti lain adalah sangat sulit karena belum tentu mendapatkan peneliti dalam masalah yang sama dengan subjek yang sama. Oleh karena itu peneliti wajib membandingkan wajib 129 penelitiannya dengan hasil observasi significant others yaitu individu yang dinilai berwibawa, dipercaya, disegani oleh subjek yang diteliti sehingga persepsinya terhadap subjek yang diteliti dianggap benar atau sesuai dengan kenyataannya. (Koentjaraningrat, 1977: 139). Penelitian pada “Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta” ini menggunakan metode observasi berperan pasif, karena peneliti bukan merupakan salah satu siswa maupun staff atau karyawan di Sekolah Inklusif tersebut. Peneliti hanya ingin mengetahui bagaimana Proses dan Pola interaksi sosial siswa difabel dan non-difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta. 5. Teknik Sampling Sesuai dengan tujuan penelitian maka yang menjadi unit analisis adalah Guru Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta dan Siswa difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta yaitu anak yang memiliki keterbatasan fisik dan mental (gangguan belajar). Dimana jumlah anak yang memiliki keterbatasan fisik yaitu ada 2 orang siswa dan yang memiliki keterbatasan gangguan belajar ada 12 siswa dan diberikan pendampingan khusus. Teknik pengambilan sampel yaitu Purposive Sampling, yakni pemilihan secara sengaja dengan maksud menemukan apa yang sesuai dengan tujuan penelitian, dan jumlah sampel dianggap telah cukup 130 representatif bila dirasa telah mendapatkan kebulatan analisa yang dikehendaki (Slamet, 2001: 2). Langkah awal pengambilan sampel dilakukan dengan menghubungi key person, yaitu orang yang dianggap cukup banyak tahu tentang situasi sekolah. Dalam hal ini adalah Pimpinan atau Kepala Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta yang pertama dihubungi. Dari hasil informasi kemudian dikembangkan kriteria-kriteria informasi yang perlu dicari sesuai dengan tujuan penelitian melalui beberapa responden yang cukup tahu. 6. Validitas Data Dalam pengujian validitas data, dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu : 1. Trianggulasi Data Dengan teknik trianggulasi, teknik ini merupakan pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu, pembanding untuk keperluan terhadap data. pengecekan atau Pengembangan sebagai validitas data menggunakan teknik trianggulasi, trianggulasi merupakan teknik yang didasari pola pikir fenomenologi yang bersifat multiperspektif, artinya untuk dapat menarik kesimpulan yang mantap dan valid, diperlukan berbagai macam cara pandang yang berbeda, kemudian disimpulkan dalam satu kesimpulan yang benar dan dapat 131 dipertanggungjawabkan. Untuk menyelesaikan masalah dengan berbagai cara pandang yang berbeda tersebut, maka diharapkan peneliti memperoleh dan memiliki data yang lebih lengkap, mantap, dan mendalam, serta mampu memadukan untuk membuat kesimpulan secara keseluruhan, dan kesimpulan tersebut dapat lebih mudah dipahami. Peneliti menggunakan teknik trianggulasi karena penelitian yang dilakukan ini bersifat deskriptif. 2. Review informan kunci (key informant review) Cara ini juga merupakan salah satu usaha pengembangan validitas penelitian yang sering digunakan oleh peneliti kualitatif. Pada waktu peneliti sudah mendapatkan data yang cukup lengkap dan berusaha menyusun sajian datanya, walaupun mungkin masih belum utuh dan menyeluruh, maka unit-unit laporan yang telah telah disusunnya perlu dikomunikasikan dengan informannya, khususnya yang dipandang sebagai informan pokok (key informant). Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah laporan yang ditulis tersebut merupakan pernyatan atau diskripsi sajian yang bisa disetujui mereka. 3. Penyusunan data base Data base merupakan merupakan bukti data yang telah dikumpulkan dalam segala bentuk : deskripsi, gambar, skema, 132 rekaman wawancara, matriks, dan sebagainya, guna memudahkan review serta usaha penelusuran kembali proses penelitian bilamana diperlukan. 4. Penyusunan mata rantai semua bukti penelitian Mata rantai semua bukti penelitian disusun dan dirumuskan secara teratur untuk meningkatkan reliabilitas informasi penelitian. Tujuan penyusunan ini adalah agar pengamat atau pembaca dapat memahami asal dan penemuan setiap bukti data, dari awal pertanyaan penelitian sampai dengan pembuatan simpulan akhir. Demikian pula pembaca dapat meneliti mundur untuk mengetahui asal mula mengenai simpulan yang telah disusun. Kejelasan kaitan bukti ini memudahkan usaha melakukan penelusuran kembali untuk memeriksa ada atau tidaknya bias dan juga kekeliruan dalam menyusun suatu simpulan penelitian yang telah selesai dilaporkan. Peneliti dalam penelitian ini selalu hadir dalam lokasi penelitiannya, dan selalu mengamati segala aktivitas dalam sekolah guna memperoleh data sebanyak-banyaknya dan sebagai cara yang terbaik untuk bisa lebih memahami konteks dengan beragam peristiwa yang terjadi di dalamnya. Dalam penelitian ini validitas data menggunakan trianggulasi sumber yang berarti dalam penelitian ini membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh 133 melalui waktu dan alat yang berbeda dengan jalan membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara. 7. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa interaktif, yaitu bahwa ketiga komponen aktivitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data berbagai proses siklus. Dalam bentuk ini peneliti tetap bergerak di antara tiga komponen analisis, yaitu data reduction (reduksi data), data display (sajian data) dan data conclusion drawing (penarikan kesimpulan). Seperti dalam skema di bawah ini : Gambar 1.1 Skema Alur Penelitian Pengumpulan Data Reduksi Data (Data Reduction) Sajian Data (Data Display) Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing) Sumber : (HB. Sutopo, 1988 : 120) 134 Keterangan : a. Reduksi Data (Data Reduction) Reduksi data adalah proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi dari semua jenis informasi yang ada di fieldnote. Proses ini berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian. Bahkan prosesnya bisa dinyatakan sudah diawali sebelum pengumpulan data di lapangan. Artinya, reduksi data sudah berlangsung sejak peneliti mengambil keputusan (meski mungkin tidak disadari sepenuhnya), melakukan pemilihan kasus, menyusun pertanyaan penelitian yang menekankan fokus tertentu, tentang kerangka kerja konseptual, dan bahkan juga waktu pengumpulan data tergantung jenis data yang akan digali, dan jenis data ini sudah terarah dan ditentukan oleh beragam pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah penelitiannya. Suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang ha-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa. Pada saat pengumpulan data yang ada pada fieldnote, memusatkan, membuat batas-batas permasalahan. Proses ini berlangsung sampai laporan akhir selesai. b. Sajian Data (Data Display) 135 Sajian data adalah suatu rakitan organisasi, informasi, deskripsi dalam bentuk narasi lengkap yang untuk selanjutnya memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data ini disusun berdasar pokok-pokok yang terdapat dalam reduksi data, dan disajikan dengan menggunakan kalimat dan bahasa peneliti yang merupakan rakitan kalimat yang disusun secara logis dan sistematis, sehingga bila dibaca, akan mudah dipahami. Sajian data merupakan narasi mengenai berbagai hal yang terjadi atau ditemukan di lapangan, sehingga peneliti dapat berbuat sesuatu pada analisis atau tindakan lain berdasarkan atas pemahamannya tersebut. Sajian data ini unit-unitnya harus mengacu pada rumusan masalah sebagai pertanyaan penelitian, sehingga narasi yang tersaji merupakan deskripsi mengenai kondisi yang rinci dan mendalam untuk menceritakan dan menjawab setiap permasalahan yang ada. Sajian data selain dalam bentuk narasi, juga dapat meliputi matriks, gambar/ skema, jaringan kerja kaitan kegiatan, dan tabel sebagai pendukung narasinya. Semuanya itu dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dapat lebih dimengerti dalam bentuk yang lebih kompak. c. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing) 136 Dari awal pengumpulan data, peneliti memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temui dengan melakukan pencatatan peraturanperaturan, pola- pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proposisi. Simpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu perlu dilakukan verifikasi yang merupakan aktivitas pengulangan untuk tujuan pemantapan, penelusuran data kembali dengan cepat, mungkin sebagai akibat pikiran kedua yang timbul melintas kembali sebentar pada fieldnote. H. KERANGKA BERPIKIR Setiap warganegara berhak memperoleh pendidikan. Hal ini tidak menutup kemungkinan, bagi anak difabel untuk memperoleh pendidikan yang sama seperti anak non-difabel. Sekolah Luar Biasa yang khusus diperuntukkan bagi siswa difabel, menyebabkan eksklusivitas dan diskriminasi siswa difabel dalam bidang pendidikan. Sehingga pemerintah berupaya untuk tidak mendiskriminasikan kaum difabel dengan cara menyetarakan pendidikan melalui pendidikan inklusif. Dalam pendidikan inklusif, siswa difabel dididik bersama-sama siswa nondifabel untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh 137 kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak non-difabel dan anak difabel yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak difabel perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak non-difabel untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah. Di sekolah inklusif terdapat kurikulum yang menyetarakan kemampuan siswa difabel dan non-difabel. Demi untuk menunjang kelancaran belajar mengajar di sekolah inklusif, sekolah harus dapat memberikan aksesibilitas yang berupa fasilitas-fasilitas, sarana dan prasarana, baik itu akses informasi, akses komunikasi, maupun akses fisik. Sehingga memudahkan siswa difabel dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar serta berinteraksi dengan siswa non-difabel dan guru. Setiap siswa baik siswa difabel maupun non-difabel saling berinteraksi satu sama lain. Sehingga sekolah inklusif ini menghasilkan output yaitu siswa difabel dan non-difabel yang berkualitas. 138 Gambar 1.2 Skema Kerangka Berpikir HAK DIFABEL MENDAPATKAN KESETARAAN PENDIDIKAN SEKOLAH INKLUSIF INTERAKSI INPUT 1. Siswa Difabel dan Non-Difabel 2. Siswa Difabel dan Guru sebagai OUTPUT 1. Perkembangan Siswa Difabel Meningkat 2. Siswa Difabel Berprestasi 3. Siswa Difabel Mandiri dan Percaya Diri 4. Sumber Daya Manusia yang berkualitas 139 AKSESIBILITAS SEKOLAH INKLUSIF 1. Akses Fisik (sarana dan prasarana penunjang) 2. akses informasi 3. Akses Komunikasi BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Penelitian yang berjudul “Proses dan Pola Interaksi Siswa Difabel dan NonDifabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta” ini dilakukan di Lembaga Pendidikan Al Firdaus Surakarta khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta. Adapun alasan penulis memilih Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai lokasi penelitian, yaitu karena Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta merupakan salah satu Sekolah yang pertama kali menyelenggarakan pendidikan inklusi di Kota Surakarta dan memiliki aksesibilitas yang sangat beragam bagi siswa difabel, salah satunya yaitu memiliki unit khusus Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang khusus menangani siswa difabel. A. PROFIL YAYASAN LEMBAGA PENDIDIKAN AL FIRDAUS KOTA SURAKARTA 1. Sejarah Berdirinya Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta Keberadaan Lembaga Pendidikan Al Firdaus diawali dengan berdirinya Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al Firdaus pada tanggal 17 Maret 1997 untuk jenjang pendidikan Play Group dan Taman Kanak-kanak yang secara kelembagaan dibawah naungan Yayasan Majelis Pengajian Islam (MPI) Surakarta. TPP Al Firdaus merupakan taman bermain dan belajar bagi anakanak usia prasekolah, usia 1,11 s/d 5,11 tahun dalam nuansa Islami. Berdirinya TPP Al Firdaus tidak bisa dilepaskan dari andil dua sosok Ibu dan anak, Ibu Hj. Siti Aminah Abdullah yang juga pendiri PT Tiga Serangkai dan Ibu Hj. Eny Rahma Zaenah, SE, MM yang sama-sama merasakan keprihatinan terhadap dunia pendidikan Islam saat itu. Di masa itu, sulit ditemukan lembaga pendidikan Islam usia dini yang memiliki kualitas unggul, 140 baik dari sisi kurikulum dan program pembelajaran, metode, proses KBM, sarana dan prasarana, sumber daya manusia maupun sistem pengelolaannya. Berangkat dari fenomena inilah, keduanya sepakat untuk mendirikan TPP Al Firdaus dengan dukungan beberapa orang yang peduli terhadap dunia pendidikan anak di Surakarta, seperti H. Syamsul Hidayat, Drs. Achyadi dan Drs. Hasto Daryanto,M.Pd. Dalam perjalanannya, TPP Al Firdaus mendapatkan respon positif dari masyarakat Surakarta dan sekitarnya, terbukti dengan meningkatnya jumlah peminat atau pendaftar dari tahun ke tahun. Jika sebelumnya Lembaga Pendidikan Al Firdaus semula hanya berfikir untuk menyelenggarakan Taman Pendidikan Prasekolah, namun atas desakan para orang tua peserta didik dan masyarakat waktu itu, maka tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 26 Februari 1999 berdirilah Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dengan program pendidikan dasar 6 (enam) tahun. Seiring perkembangan zaman dan dinamika dunia pendidikan, pada tahun pelajaran 2005/2006, terjadi reorganisasi dan restrukturisasi di tubuh Lembaga Pendidikan Al Firdaus. Jika sebelumnya masih di bawah yayasan MPI, kini berubah statusnya menjadi yayasan, yaitu Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus berdasarkan Akta Notaris No.46 tanggal 9 September 2005. Kemudian, pada tahun ini juga mendirikan Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus untuk jenjang pendidikan SMP dan SMA. Kedepan Insya Allah didirikan Universitas atau perguruan tinggi sebagai kesinambungan dari jenjang pendidikan sebelumnya. Sehingga profil output Al Firdaus yang di bentuk mulai dari TPP, SD, SM dan Insya Allah Universitas memiliki 4 (empat) fondasi pendidikan yang tangguh, yaitu iman dan taqwa, ilmu pengetahuan dan teknologi, life skill dan kewirausahaan. 2. Visi Misi dan Tujuan 141 a. Visi : "Terwujudnya lembaga pendidikan Islam yang unggul, inovatif, dan adaptif berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah". b. Misi : 1. Memenuhi dan meningkatkan standar mutu Lembaga Pendidikan Al Firdaus sesuai dengan tuntutan perkembangan. 2. Menjadikan Lembaga Pendidikan Al Firdaus sebagai inovator dalam pendidikan Islam yang adaptif terhadap perkembangan zaman dengan kemanfaatan yang tinggi bagi masyarakat. c. Tujuan : Mewujudkan lembaga pendidikan yang bermutu dan profesional Islami. Menyiapkan generasi yang beriman dan bertakwa berwawasan iptek. Menyiapkan generasi yang mampu beradaptasi terhadap tuntutan dan perkembangan zaman. 3. Kurikulum dan Pembelajaran 142 Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum Al Firdaus yang mengembangkan empat fondasi pendidikan, yaitu keimanan dan ketaqwaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, life skill dan kewirausahaan berlandaskan nilai-nilai Islam (Islamic Core). Kurikulum Al Firdaus dirancang secara sistem unit mulai dari Taman Pendidikan Pra Sekolah (TPP) hingga Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus. Dalam pembelajaran menerapkan pendekatan individual, dimana memperhatikan perbedaan setiap anak dalam hal minat, bakat dan potensi masing-masing. Adapun sebagai bahan acuan dalam memodifikasi kurikulum adalah kurikulum Diknas dan kurikulum Departemen Agama. 4. Sumber Daya Manusia Ketua Pembina : Hj.Siti Aminah Abdullah Anggota Dewan Pembina : Drs.H.Ahmad Syamuri, MM. Pengawas : Elly Damaiwati, M.Pd. Ketua Pengurus : Hj.Eny Rahma Zaenah, SE,MM. Sekretaris : Drs.H.Munawir Yusuf, M.Psi. Bendahara : Hj.Puti Rozanti Agustina Konsultan Pendidikan : 1. Prof.Dr.H.Usman Abu Bakar, MA. 2. Prof.Dr.H.M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. 3. Prof.Dr. Sunardi, M.Sc. 4. Drs.K.H Anwar Sholeh, M.Hum. 5. Bambang Kuncoro, M.Ot. 143 6. Dra.Niken Iriani Lnh, M.Si. Kabag Pendidikan : Drs.Hasto Daryanto, M.Pd. Staf Ahli Pendidikan : 1. Drs.Muryanto 2. Siti Rohimah S.Pd.I. Kabag SDM : Plt. Nia Hanifa, SE Kabag Humas : Imam Subkhan, S.Pd. Kabag Litbang : Anggoro Wulansari, S.Sos. Kabag Administrasi : Nia Hanifa, SE. Kepala TPP : Mudhofir, S.Pd. Kepala SD : Drs. Joko Purwoko Kepala SM : Supardi, S.Pd.I. Kepala PUSPA : Muh. Adhari, Psi. Kepala Unit Pendidikan Tenaga Pendidik 5. Unit-unit Pendidikan Yayasan Al Firdaus memiliki unit-unit pendidikan, yaitu : Taman Pendidikan Pra Sekolah (TPP) Al Firdaus yang terdiri dari Play Group dan Taman Kanakkanak, Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, serta Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus yang terdiri dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Al Firdaus dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Al Firdaus. Adapun jumlah siswa dalam setiap unitnya dalam jangka waktu 3 tahun terakhir, dapat dilihat pada tabel berikut ini : 144 TABEL 2.1 DATA SISWA YAYASAN AL FIRDAUS KOTA SURAKARTA TAHUN 2009/2010 TPP PLAYGROUP NO TAHUN SM SD TK NON- NON- SMP NON- SMU NON- NON- AJARAN DIFABEL DIFABEL DIFABEL DIFABEL DIFABEL DIFABEL DIFABEL DIFABEL DIFABEL DIFABEL 1. 2007/2008 0 97 6 198 19 430 0 105 0 0 2. 2008/2009 0 91 6 186 42 441 0 148 0 8 3. 2009/2010 0 85 4 179 51 481 0 134 1 40 Sumber : Litbang Al Firdaus 2010 145 Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al Firdaus Taman Pendidikan Prasekolah Al Firdaus, terakreditasi A, merupakan institusi pendidikan yang memberikan layanan pendidikan bagi anak usia pra sekolah (Play Group dan TK). Adapun kategori usia di tiap unit sebagai berikut: Play Group A untuk anak usia 1, 11 s.d. 2,11 tahun. Play group B untuk anak usia 3,0 s.d 3,11 tahun. TK A untuk anak usia 4,0 s.d. 4,11 tahun. TK B untuk usia 5,0 s.d 5,11 tahun. Taman Pendidikan Prasekolah Al Firdaus memiliki dimensi keunggulan sebagai berikut: 1) Rasio guru dengan anak 1:8 (play group) dan 1:6 (TK). 2) Setiap materi pelajaran terinternalisasi dalam nilai-nilai Islam (Islamic Core). 3) Mengembangkan ketrampilan bahasa Inggris dan komputer. 4) Pembelajaran menggunakan pendekatan individual untuk mengoptimalkan pengembangan bakat, minat, dan potensi anak. 5) Diselenggarakan program sekolah lapang sebagai aplikasi keilmuan yang sedang dipelajari dan yang sudah dicapai. 6) Mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) secara seimbang. 7) Penyelenggara kegiatan Ceria Anak Indonesia (CAI) setiap 2 (dua) tahun sekali dengan berbagai lomba-lomba sebagai media aktivitas dan kreativitas anak. 146 8) Menerapkan program pendidikan inklusi yang menangani anak-anak berkebutuhan khusus (ABK). Output Taman Pendidikan Prasekolah Al Firdaus adalah anak yang mempunyai kompetensi sebagai berikut : 1) Tertib dalam shalat. 2) Tertib dalam mengaji. 3) Hafal surat pendek dalam Al-Qur'an. 4) Santun, mandiri dan kreatif. 5) Siap membaca, menulis dan berhitung. 6) Siap melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al Firdaus memiliki program-program unggulan, antara lain : 1) Program Intrakurikuler Program Intrakurikuler di Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al Firdaus, yaitu : Tahajji, hafalan bacaan shalat, hafalan surat-surat pendek, latihan shalat, doa dan adab harian, tahsinul kitabah, bahasa, daya pikir, daya cipta, ketrampilan dan jasmani. 2) Program Ekstrakurikuler Program Ekstrakurikuler di Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al Firdaus, yaitu : Jendela pustaka, pengenalan komputer, bahasa Inggris, bina vokalia, melukis, bina sensomotorik, dan drumband. 3) Program Pembiasaan 147 Program pembiasaan di Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al Firdaus, yaitu terdiri dari pembiasaan diri pada : Aspek kesopanan, aspek kerajinan dan ketekunan, aspek kerapian dan kebersihan, aspek tanggung jawab, aspek kedisiplinan, aspek kemandirian, aspek kebiasaan berdo’a dan mengucapkan kalimat thoyyibah. Fasilitas yang dimiliki oleh Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al Firdaus, adalah sebagai berikut : 1. Ruang kelas ber AC dengan loker pribadi 2. Ruang bermain Indoor dan Out door 3. Ruang Pusat Layanan Anak Berkebutuhan Khusus 4. Lab. Komputer 5. Ruang Kreatif 6. Perpustakaan 7. Mobil Antar Jemput 8. Rumah Pohon 9. Ruang Makan 10. Mini Market 11. Mushola 12. Satpam Waktu belajar yang diterapkan di Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al Firdaus, antara lain : 1. Play Group A, pukul 07.30–10.15 WIB (3 hari seminggu) 148 2. Play Group B, pukul 07.30–10.30 WIB (3 hari seminggu) 3. TK A, pukul 07.00–11.50 (Senin–Jumat) 4. TK B, pukul 07.00–12.00 (Senin–Jumat) Adapun bagan struktur organisasi pada Taman Pendidikan Pra Sekolah (TPP) Al Firdaus Surakarta, adalah sebagai berikut : 149 150 Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki program pembelajaran, yaitu meliputi : 1. Program Intrakurikuler Al Quran, hadist dan Tahajji, aqidah-akhlak-tarikh, fiqih, kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, sains, pengetahuan sosial, kertangkes, penjaskes, bahasa Jawa dan seni suatu daerah 2. Program Ekstrakurikuler Pramuka dan kepemimpinan, bahasa Arab, bahasa Inggris, komputer, eksplorasi perpustakaan dan pelatihan penulisan karya ilmiah sederhana, bulu tangkis, taekwondo, catur, bola voli, qiro’ah, bina vokalia, lukis, ensambel musik dan teater. 3. Program Pembiasaan Aspek kesopanan, aspek kerajinan dan ketekunan, aspek kerapihan dan kebersihan, aspek tanggung jawab, aspek kedisiplinan, aspek kemandirian, aspek kebiasaan berdoa dan mengucapkan kalimat thoyyibah. Waktu Belajar yang ditetapkan di Sekolah Dasar Al Firdaus untuk pembelajaran di sekolah, yaitu : Kelas 1 dan 2, pukul 07.00 – 13.15 WIB (Senin – Jumat). Kelas 3 dan 6, pukul 07.00 – 15.30 WIB (Senin – Jumat). 151 Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, terakreditasi A, merupakan unit pendidikan bagi anak usia 6 – 12 tahun. Berbagai prestasi dan penghargaan telah diraih SD Al Firdaus baik di tingkat lokal maupun nasional. SD Al Firdaus memiliki dimensi keunggulan sebagai berikut: 1. Rasio guru dengan siswa 1:18. 2. Setiap materi pelajaran terinternalisasi dalam nilai-nilai Islam (Islamic Core). 3. Mengembangkan ketrampilan bahasa Inggris, bahasa Arab dan komputer. 4. Menerapkan bilingual (Bahasa Indonesia - Inggris) secara bertahap dalam pembelajaran. 5. Pembelajaran menggunakan pendekatan individual untuk mengoptimalkan pengembangan bakat, minat dan potensi anak. 6. Diselenggarakan program sekolah lapang sebagai aplikasi keilmuan yang sedang dipelajari dan yang sudah dicapai. 7. Mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) secara seimbang. 8. Penyelenggara kegiatan Student Science Expo dan Gelar Karya Eksplorasi Perpustakaan (dua tahun sekali) sebagai ajang pengalikasian ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. 9. Menerapkan program pendidikan inklusi yang menangani anakanak berkebutuhan khusus (ABK). 152 Output SD Al Firdaus adalah siswa yang mempunyai kompetensi sebagai berikut: 1. Tertib dalam sholat 2. Fasih mengaji Al Qur’an 3. Lancar menyampaikan asbabun nuzul surat pendek 4. Hafal juz’amma 5. Santun, mandiri dan kreatif 6. Dapat berkomunikasi bahasa inggris dengan lingkungan sekitar 7. Prestasi akademik tinggi 8. Tuntas dalam menugasai dasar-dasar pengetahuan akademik (PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS) sebagai bekal studi lanjut. Fasilitas yang dimiliki oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, adalah sebagai berikut : 1. Ruang kelas dilengkapi loker pribadi 2. Ruang pusat pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 3. Perpustakaan 4. Laboratorium IPA/ sains 5. Laboratorium Bahasa 6. Laboratorium Komputer 7. Ruang bengkel karya 8. Ruang Unit Pelayanan Kesehatan Terpadu 9. Ruang audio visual 153 10. Green Garden 11. Mini market Ass Gross Al Firdaus 12. Masjid 13. Aula 14. Lapangan Olah Raga 15. Mobil Antar Jemput 16. Satpam SD Al Firdaus memiliki struktur organisasi tersendiri, dimana struktur tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, yaitu dapat digambarkan pada bagan dibawah ini : 154 155 Jumlah siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus berdasarkan penggolongan kecacatannya pada tahun tahun ajaran 2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010 dapat dilihat pada tabel dibawah ini : TABEL 2.2 PENGGOLONGAN SISWA DIFABEL SEKOLAH DASAR AL FIRDAUS KOTA SURAKARTA MENURUT JENIS KECACATAN NO JENIS KECACATAN TAHUN AJARAN 2007/2008 2008/2009 2009/2010 1. Kesulitan Belajar Ringan 12 27 28 2. Kesulitan Belajar Kompleks 2 3 9 3. Retardasi Mental Ringan 1 1 1 4. Cerebral Palsy 2 2 2 5. Asperger Syndrome 1 1 3 6. Lamban Belajar 1 1 1 7. Gangguan Sensori Integrasi 0 0 2 8. Gangguan Motivasi 0 7 5 19 42 51 TOTAL Sumber : Litbang Al Firdaus 2010 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa siswa difabel terbanyak yang bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dari tahun ajaran 2007/2008, 120 2008/2009, dan 2009/2010 yaitu memiliki kondisi kesulitan belajar ringan. Dimana siswa yang memiliki kesulitan belajar ringan ini juga memiliki keterbatasan terhadap interaksi dengan guru dan teman-temannya. Sedangkan difabel secara fisik hanya dimiliki oleh 2 siswa saja, yang tidak berpengaruh pada proses pembelajaran dan interaksi siswa terhadap guru dan temantemannya. Jumlah siswa difabel di Yayasan Al Firdaus berdasarkan penggolongan kecacatannya pada tahun tahun ajaran 2005/2006, 2006/2007, 2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010 dapat dilihat pada tabel dibawah ini : TABEL 2.3 DATA SISWA DIFABEL DI YAYASAN AL FIRDAUS MENURUT PUSAT PELAYANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (PUSPA) TAHUN SEMESTER NO AJARAN I II TOTAL 1. 2005/2006 22 30 52 2. 2006/2007 31 35 66 3. 2007/2008 35 52 87 4. 2008/2009 37 62 99 5. 2009/2010 71 96 167 Sumber : Litbang Al Firdaus 2010 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa siswa difabel terbanyak yang terdapat di Yayasan Al Firdaus yang masuk ikut pelayanan di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dari tahun ajaran 2005/2006, 121 2006/2007, 2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010 adalah pada tahun terakhir yaitu pada tahun 2009/2010 mencapai 167 siswa, dan dapat dilihat dari tabel di atas perkembangan tiap tahun mengalami jumlah peningkatan siswa difabel di Yayasan Al Firdaus. Ini merupakan perkembangan yang cukup baik, dikarenakan mutu dari pelayanan sekolah dan unit Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) sendiri yang sudah dapat memuaskan para orang tua murid. Selain itu lulusan dari sekolah Al Firdaus khususnya yang difabel yang dapat mandiri dan bekerja sama setelah tamat sekolah dan juga kepercayaan masyarakat atau orang tua murid untuk menyekolahkan anakanaknya di Yayasan Al firdaus yang cukup tinggi. Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki Komite Sekolah (KOSAF), yang didirikan pada tahun 2007. Pada tahun 1999, awal pembentukan Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki Ikatan Keluarga Al Firdaus (IKAF), yaitu sebuah lembaga sekolah yang membantu pelaksanaan kegiatan sekolah. Pengurus Ikatan Keluarga Al Firdaus (IKAF) semuanya terdiri dari guru-guru Al Firdaus. Tetapi setelah adanya Peraturan Pemerintah tentang pembentukan Komite Sekolah pada tahun 2007, maka Ikatan Keluarga Al Firdaus (IKAF) berubah namanya menjadi Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF). Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) merupakan sebuah lembaga sekolah yang membantu pelaksanaan kegiatan sekolah. Pengurus Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) tidak seluruhnya berasal dari guru-guru Al Firdaus, melainkan 70% orang tua murid dan 30% guru-guru Al Firdaus. Tujuan dibentuknya Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) yaitu untuk menjembatani informasi dan kegiatan yang berhubungan dengan putra putri/ siswa di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dari guru kepada orang tua murid (Supporting Program Pembelajaran di SD Al Firdaus). Sehingga hubungan kerjasama antara guru dan orang tua murid dapat terjalin dengan baik melalui Komite Sekolah (KOSAF) ini. Setiap satu bulan sekali Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) mengadakan pertemuan kelas atau rapat kelas dan tiga bulan sekali mengadakan rapat besar yang terbentuk dalam Forum Silaturahmi Orang Tua (FORMIL) demi perkembangan putra putri mereka. Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) juga mengadakan kegiatan-kegiatan sekolah, diantaranya adalah : 1. Outing (Sekolah Lapangan) yang dilakukan tiga atau empat bulan sekali. 2. Outbond yang dilakukan 1 tahun sekali pada akhir tahun. 3. Persiapan Ujian (UAN) dengan mengadakan seminar-seminar. 122 Dalam kepengurusannya, Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) melakukan pergantian kepengurusan setiap dua tahun sekali, bersamaan dengan pergantian kepala sekolah yang juga dilakukan dua tahun sekali. Dimana orang tua murid yang aktif di sekolah, dapat ditunjuk sebagai pengurus Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) oleh Koordinator Kelas. Orang tua murid yang sebagai Koordinator Kelas, secara otomatis adalah pengurus inti Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF), dan 30% yaitu guru-guru di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus. Adapun susunan pengurus Komite Sekolah (KOSAF) Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta, adalah sebagai berikut : SUSUNAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH SD AL FIRDAUS SURAKARTA (KOSAF) PERIODE 2008/2009 – 2009/2010 Pembina : Kepala Sekolah SD Plus Al Firdaus Ketua : Yulia Rosa Santi Wardhani Wakil : drh. Haris Raihan Sekretaris : Erni & Farida Isnawati, S.Pd Bendahara : Sri Hartati & Rina Istiana, A.Md Koordinator Departemen 1. Departemen Kurikulum dan Pengajaran Koordinator : Anggota : Siti Imsyawati 1. Darmawan Budianto, S.Pd 2. Riani 3. Asih 4. Nurbaiti 5. Ekowati Listyorini 6. Dewi Yuli S 2. Departemen Kesiswaan dan Kehumasan 123 Koordinator : Anggota : Suhartati Banowati 1. Wahyudi, S.Pd 2. Sukadi 3. Agus Darmojo 4. Helvi 5. Novi Wulandari 6. Arhatin 3. Departemen Sarana dan Prasarana Koordinator : Dotty Harmida Anggota : 1. Drs. Joko Purwoko 2. Muna 3. Suryaningsih 4. Yusniar Martati Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus Sekolah Menengah Al Firdaus (SM) memiliki program pembelajaran, adalah sebagai berikut : 1. Program Intrakurikuler Aqidah, fiqih, al Qur’an hadist, sirah Nabawi dan sejarah peradaban Islam, kewarganegaraan, bahasa dan sastra Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Arab, matematika, fisika, kimia, biologi, teknologi informasi dan komunikasi, geografi, sejarah, ekonomi, kesenian, pendidikan jasmani, bahasa Jawa. 124 2. Program Ekstrakurikuler Desain grafis dan multimedia, eksplorasi perpustakaan dan karya ilmiah remaja, leadership dan Palang Merah Remaja (PMR), enterpreneurship, taekwondo, bulu tangkis, seni lukis kaligrafi, jurnalistik, teater, bina musika dan vokalia, elektonika. 3. Program Pembiasaan Aspek kesopanan, aspek kerajinan dan ketekunan, aspek kerapihan dan kebersihan, aspek tanggung jawab, aspek kedisiplinan, aspek kemandirian, aspek kebiasaan berdoa dan mengucapkan kalimat thoyyibah. Jadwal pembelajaran di Sekolah Menengah Al Firdaus, yaitu : masuk pukul 07.30 – 16.00 WIB dari hari Senin sampai dengan Jumat, hari Sabtu sebagai extra day untuk mengoptimalkan penggalian dan pengembangan potensi siswa Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus merupakan paket program pendidikan untuk jenjang SMP dan SMA yang memberikan kesempatan bagi para siswa untuk menyelesaikan studi selama 5 (lima) tahun. Walaupun dengan masa studi lebih cepat 1 tahun untuk jenjang SMP dan SMA, namun berbeda dengan konsep akselerasi yang diselenggarakan oleh pemerintah, dimana memberikan syarat-syarat tertentu bagi profil inputnya. Dengan melakukan modifikasi kurikulum, meode pembelajaran yang efektif dan penambahan waktu belajar, maka setiap siswa SM Al Firdaus dapat menyelesaikan masa studi 5 (lima) tahun untuk jenjang SMP dan SMA. 125 Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus memiliki dimensi keunggulan sebagai berikut : 1. Percepatan masa studi. 2. Setiap materi pembelajaran terinternalisasi dalam nilai-nilai Islam (Islam Core). 3. Menerapkan multilingual (Bahasa Indonesia, Inggris dan Arab) secara bertahap dalam pembelajaran. 4. Pembelajaran menggunakan pendekatan individual untuk mengoptimalkan pengembangan bakat, minat dan potensi anak. 5. Mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan nilai (EQ) secara seimbang. 6. Menerapkan sistem sentra dalam pembelajaran dan wali asuh. 7. Menyelenggarakan Students Expo (dua tahun sekali) sebagai ajang eksplorasi kreativitas siswa. 8. Memanfaatkan unit-unit bisnis sebagai sumber pembelajaran (laboratorium besar). Output SM AL Firdaus adalah siswa yang memiliki kompetensi sebagai berikut: 1. Aqidah Islamiyah yang kuat 2. Akhlakul karimah Hafalan Al qur’an 3 juz dan Al hadits 40 Berwawasan kebangsaan global 126 Terampil beberapa bahasa internasional disamping bahasa Inggris Kemandirian dan berjiwa sosial Dasar-dasar jiwa entrepreneurship (berwirausaha). Prestasi akademik tinggi Kesiapan melanjutkan ke jenjang berikutnya baik skala nasional maupun internasional. Fasilitas yang dimiliki oleh Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus, adalah sebagai berikut : 1. Perpustakaan 2. Laboratorium Sains 3. Laboratorium Bahasa 4. Laboratorium Komputer 5. Laboratorium Skill 6. Ruang UKS 7. Ruang Organisasi Siswa 8. Ruang makan 9. Mushola 10. Lapangan Olah Raga 11. Bus Sekolah 12. Satpam 13. Unit Bisnis Tiga Serangkai Group sebagai Laboratorium besar Adapun struktur organisasi Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus, yaitu dapat digambarkan pada bagan dibawah ini : 127 128 129 130 6. Unit-unit Pendukung Pusat Pendampingan Al Firdaus : Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus Sebagai unit pendukung di yayasan, Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus juga membuka pelayanan institusi lain dan masyarakat dalam penanganan ABK. Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus menyelenggarakan program kelas pendampingan yaitu program intervensi bagi anak berkebutuhan khusus. PUSPA Al Firdaus sebagai pusat layanan anak berkebutuhan khusus (ABK) berfungsi memberikan intervensi (layanan) terhadap siswa didik di Al Firdaus (TPP, SD dan SM) yang memiliki kebutuhan khusus berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dan kuota di tiap kelas, dimana ABK dapat belajar bersama anak-anak lain di kelas regular. Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus ditangani oleh tenaga Guru Pendidikan Luar Biasa, Terapis Okupasi, Psikolog. Selain itu, tenaga referal meliputi dokter anak, dokter spesialis jiwa, konsultan ahli pendidikan ABK, konsultan ahli terapi okupasi. Kategori siswa ABK adalah sebagai berikut: 1. Kesulitan Belajar (Learning Disabilities) Siswa dengan intelegensi normal atau diatas normal yang mengalami kesenjangan antara potensi intelektual yang 131 mereka miliki dengan pencapaian hasil belajar. Kesulitan belajar diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: a) Development Learning Disabilities. Kesulitan belajar jenis ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam fungsi-fungsi psikologis dan bahasa. b) Academic Learning Disabilities. Kesulitan belajar dalam bidang akademik merujuk pada suatu keadaan yang menghambat proses belajar dalam bidang akademik. 2. Lamban Belajar (Slow Learning) Siswa yang memiliki kapasitas intelektual dibawah ratarata tetapi masih diatas tunagrahita atau retardasi mental. Mereka memili IQ sekitar 80-90. Siswa tersebut memiliki kecepatan belajar di bawah siswa pada umumnya. 3. Berbakat Intelektual Siswa yang memiliki kecerdasan umum (logis matematis), kreativitas dan komitmen terhadap tugas cukup tinggi. Mereka akan mendapatkan program pengayaan untuk mengoptimalkan potensinya dengan menggunakan kurikulum Non Gradasi dibawah pengawasan Prof. Dr. Sunardi, M.Sc. (Guru Besar/ Ahli Kependidikan dari Universitas Sebelas Maret) 132 Allah menciptakan semua manusia dalam keadaan sempurna (QS Al Hijr 29). Islam sangat menghargai perbedaan setiap individu dengan keunikan dan kekhasan masing-masing. Demikian halnya dengan siswa, mereka mempunyai perbedaan dalam hal potensi, minat dan bakat. Perbedaan tersebut akan mempengaruhi daya tangkap dan pola belajar yang dikembangkannya. Berpijak dari hal tersebut, Al Firdaus menerapkan program pendidikan inklusi yang menerima dan mengelola anak berkebutuhan khusus (ABK). ABK adalah anak yang dalam proses perkembangannya secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, mentalintelektual, sosial dan emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain. ABK yang dikelola oleh Al Firdaus antara lain jenis kesulitan belajar, lamban belajar, autism, low vision, dan lain-lain. Di dalam Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) terdapat Program Penanganan (Intervensi) Anak Berkebutuhan Khusus. Istilah intervensi menunjuk pada adanya bimbingan, treatment dan atau terapi yang diatur melalui pendekatan individual secara terpadu dalam rangka membantu individu mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Ada 7 area dalam individu yang saat ini menjadi wilayah intervensi di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus. Ketujuh area tersebut yaitu kognitif, emosi, komunikasi & bahasa, interaksi sosial, bina diri dan sensomotorik. 133 Program penanganan (intervensi) dilaksanakan berdasarkan suatu prosedur standar, yaitu di mulai dari identifikasi, perencanaan intervensi, pelaksanaan intervensi, monitoring, evaluasi dan tindak lanjut. Program ini dilaksanakan dengan melakukan: Pemetaan dan identifikasi kemampuan pra akademik/akademik dan non akademik. Penyusunan program pembelajaran individual dengan modifikasi kurikulum. Pengelolaan pembelajaran dengan pendekatan individual. Penyediaan guru pembimbing khusus dan tenaga professional lainnya seperti psikolog, ortopaedagog, okupasi terapis, psikiater, dan lain-lain. Penanganan terpadu yang melibatkan pihak sekolah dan orang tua secara bermakna. Penyediaan sarana dan prasarana berupa ruang terapi, ruang belajar khusus, alat assessment, media pembelajaran khusus, alat terapi, dan lain-lain. Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus dipimpin oleh seorang Kepala, dibawah Kepala seorang Koordinator Pelayanan Umum dan Kepala Bagian administrasi, Sarana dan Prasarana. Koordinator Pelayanan Umum membawahi seorang Konselor, Terapis Okupasi dan Guru Pembimbing Khusus. Selengkapnya struktur dan tugas masing-masing jabatan dibawah ini : 134 a) Kepala. Kepala bertugas menyusun rencana, mendistribusikan, memonitor dalam bentuk memberi petunjuk dan menilai pelaksanaan kegiatan staf di lingkungan SD Al Firdaus sesuai dengan ketentuan demi kelancaran tugas. b) Koordinator Pelayanan Umum. Koordinator Pelayanan Umum bertugas melaksanakan koordinasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan assessment dan intervensi. Saat ini dijabat Muhammad Adhari, Psi. c) Bagian Administrasi dan Sarana Prasarana. Bagian Administrasi dan Sarana Prasarana bertugas menyusun rencana, membagi tugas, memberi petunjuk dan menilai pelaksanaan kegiatan bawahan di lingkungan urusan tata usaha serta mengatur urusan persuratan, kerumahtanggaan dan keuangan di lingkungan unit pendidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk kelancaran tugas. Saat ini belum ada personel definitif. Tugas-tugasnya masih dijalankan oleh bagian-bagian lain secara tersendiri. d) Okupasi Terapis. Saat ini okupasi terapis dijabat oleh Ibu Anna Wahyu Budiarti, Amd.OT. Okupasi terapis memiliki tugas adalah sebagai berikut : 1) Menerima laporan klien baru 2) Melakukan assessment lanjutan 3) Menyusun program terapi okupasi 4) Melaksanakan terapi okupasi 5) Melakukan evaluasi dan tindak lanjut 6) Menyusun laporan dan mengkomunikasikan perkembangan terapi okupasi kepada pihak-pihak terkait. e) Guru Pembimbing Khusus. Guru pembimbing khusus saat ini dijabat oleh Ibu Yusriatin, S,Pd. Tugas guru pembimbing khusus adalah sebagai berikut : 135 1) Menerima laporan klien baru, 2) Melakukan assessment lanjutan, 3) Menyusun program pembelajaran individual (PPI), 4) Melaksanakan program pembelajaran individual (PPI), 5) Melakukan evaluasi dan tindak lanjut, 6) Menyusun laporan dan mengkomunikasikan perkembangan program pembelajaran individual (PPI) kepada pihak-pihak terkait. f) Konselor. Tugas-tugas seorang konselor dijalankan oleh Koordinator Pelayanan Umum. Tugas seorang konselor adalah sebagai berikut : 1) Menerima laporan klien baru, 2) Melakukan assessment lanjutan, 3) Menyusun program konseling/ psikoterapi, 4) Melaksanakan konseling/ psikoterapi, 5) Melakukan evaluasi dan tindak lanjut, 6) Menyusun laporan dan mengkomunikasikan perkembangan konseling/ psikoterapi kepada pihak-pihak terkait. g) Guru Pendamping Khusus. Ada siswa didik di SD Plus Al Firdaus yang memiliki kebutuhan khusus dan membutuhkan guru pendamping tersendiri selanjutnya mereka dimasukkan ke dalam program khusus. Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus saat 136 ini tercatat memiliki dua orang guru pendamping khusus. Tugasnya membantu melakukan identifikasi, merencanakan pembelajaran, melakukan pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran dan melaporkan hasil-hasilnya. Secara umum profil ketenagaan di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus adalah sebagai berikut : Koordinator Pelayanan Umum dijabat oleh Muhammad Adhari. Beliau adalah lulusan dari Program Profesi Psikolog Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2002. Pengalaman organisasi adalah anggota senat Fakultas Psikologi UMS, Asisten Biro Pengembangan SDM Fakultas Psikologi UMS, Anggota Organisasi Alumni Fakultas Psikologi UMS. Adhari memang mengkonsentrasikan ilmu psikologi di bidang pendidikan dan industri/ organisasi. Setelah lulus Adhari langsung bekerja di Lembaga Pendidikan Al Firdaus. Selama di Lembaga Pendidikan Al Firdaus, Adhari telah mengikuti pelatihan di bidang bimbingan dan konseling. Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus memiliki seorang Guru Pembimbing Khusus. Beliau adalah ibu Yusriatin. Yusriatin adalah lulusan Program Studi Pendidkan Anak Berkesulitan Belajar Jurusan PLB IKIP Jakarta, atau sekarang menjadi Universitas Negeri Jakarta. Selama kuliah Yusriatin aktif dalam organisasi di kampusnya. Lulus pada tahun 1997 dan pernah menjadi staf pengajar di beberapa sekolah di Palembang. Saat ini Yusriatin mengkonsentrasikan 137 keahlian dan keterampilannya dalam menangani anak-anak berkesulitan belajar. Tenaga Okupasi Terapis sekarang dijabat oleh Ibu Anna Wahyu Budiarti. Anna adalah lulusan dari Akademi Okupasi Terapi Surakarta pada tahun 1997. Setelah lulus beliau bekerja sebagai staf OT PRA YPAC Surakarta. Anna juga pernah menjadi dosen tidak tetap AOT Surakarta. Saat ini Anna menjadi staf ahli OT Special Need Center Permata Bunda. Selama ini Anna telah mengikuti berbagai seminar, workshop dan pelatihan tentang Sensory Integration, suatu teknik terapi untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Adapun struktur organisasi Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus, adalah sebagai berikut : 138 139 FATAHA, Education & Training Center Al Firdaus, sebagai sebuah lembaga yang mengedepankan inovasi pendidikan, tentu saja diperlukan program–program pendukung seperti halnya penelitian dan pengembangan (research and development) keilmuan serta diimbangi oleh kapabilitas Sumber Daya Manusia (SDM) secara kontinyu dan konsisten. FATAHA, Education dan Training Center (FATAHA ETC) adalah sebuah lembaga pengembangan potensi sumber daya manusia yang berkonsentrasi di bidang pendidikan sebagai upaya Al 140 Firdaus mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM pendidik) yang berkualitas. FATAHA Education dan Training Center merupakan lembaga sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidik, baik pendidik di sekolah maupun pendidik di keluarga dan masyarakat. Fataha sebagai pusat dalam menumbuhkan kreativitas dan mengasah keterampilan para pendidik dalam mengasuh anak. Sasaran lembaga ini adalah guru–guru sebagai pendidik di sekolah dan para orang tua sebagai pendidik di rumah. Selain mengembangkan SDM secara internal di lingkungan Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus, lembaga ini juga memberikan jasa pelayanan pengembangan SDM bagi institusi-institusi pendidikan di luar Al Firdaus serta masyarakat pada umumnya. Adapun program–program pendidikan yang dikelola adalah sebagai berikut : a) Program Reguler, yaitu program pendidikan dan pelatihan bagi para pendidik selama periode tertentu. b) Program non Reguler, yaitu program pengembangan SDM yang dilaksanakan secara insidental, meliputi : Perekrutan SDM Training SDM Konsultasi Pendidikan Parenting Event Organizer untuk pendidikan 141 Penyedia media pembelajaran Prestasi dan Penghargaan Dalam perjalanannya Al Firdaus cukup banyak mendapatkan penghargaan dan prestasi di tingkat lokal dan nasional baik secara kelembagaan maupun secara personal. Beberapa catatan prestasi terakhir periode 2005/ 2006 yang diraih Al Firdaus: 1) TPP dan SD Al Firdaus mendapatkan akreditasi A tahun 2005 dan 2006. 2) SD Al Firdaus ditunjuk sebagai penyelenggara program pendidikan inklusi oleh Depdiknas Pusat sekaligus sebagai anggota Tim Nasional Orientasi Pendidikan Inklusi di seluruh Indonesia tahun 2006. 3) SD Al Firdaus ditunjuk Dikpora Kota Surakarta sebagai penyelenggara program life skill mata pelajaran Eksplorasi Perpustakaan pada program Broad Base Education (BBE). 4) Al Firdaus menjadi tempat rujukan dan studi banding bagi lembaga– lembaga pendidikan di Indonesia. 5) Bina Vokalia Al Firdaus beberapa kali menjadi bintang tamu di event nasional seperti pada peluncuran buku “SD, Pergulatan Mengejar Ketertinggalan” Depdiknas Pusat Jakarta dan bintang tamu konser Anak Indonesia "Berkarya sebagai backing vocal Nia dan Adit AFI Indosiar". 142 6) Juara I Lomba Gugus TK Tingkat Nasional tahun 2007. 7) Peringkat I Merk Terbaik (best brand) kategori lembaga pendidikan prasekolah di kawasan Soloraya dalam penganugrahan Solo Best Brand Index 2007 – SOLOPOS. 8) Juara I Lomba Penulisan Buku Pengayaan Sains untuk SD yang diselenggarakan Pusat Perbukuan Nasional. 9) Juara IV Lomba KID WITNESS NEWS Tingkat Nasional berupa pembuatan film dokumenter oleh siswa SD tentang lingkungan hidup oleh PT. Panasonic Gobel. 10) Juara II Lomba Penulisan Karya Ilmiah Inovasi Pembelajaran Guru Tingkat Jawa Tengah. 11) Juara Lomba Guru Berprestasi Tingkat Kota Surakarta. 12) Juara Lomba Guru Mengajar Tingkat Kota Surakarta 13) Para siswa dari TPP sampai SM Al Fidaus banyak mendapatkan kejuaraan dalam berbagai lomba, seperti lomba pendidikan Agama Islam, sains, komputer, bahasa, life skill, olahraga serta kesenian dan kebudayaan. B. SEKOLAH INKLUSIF DI SEKOLAH DASAR (SD) AL FIRDAUS Pendidikan terpadu menuju inklusi adalah pelayanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah reguler. Peserta didik tersebut adalah mereka yang tergolong memerlukan layanan khusus, baik dalam arti berkelainan, lamban belajar maupun yang berkesulitan belajar 143 lainnya. Sekolah terpadu adalah sekolah reguler, negeri maupun swasta yang melaksanakan pendidikan terpadu. Pada tahun 2000 hingga 2004, banyak sekali pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh Dewan Lembaga Pendidikan Al Firdaus, khususnya SD Al Firdaus berkaitan dengan pembentukan sekolah inklusif di SD Al Firdaus, yaitu semakin banyaknya anak-anak difabel yang memerlukan pendidikan setara dengan pendidikan reguler di Sekolah Dasar. Atas pertimbangan tersebut, maka SD Al Firdaus memantapkan langkah untuk menyelenggarakan program sekolah inklusif di Kota Surakarta. Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam hal ini Direktorat Pendidikan Luar Biasa membuat proyek pendidikan terpadu tersebut. Proyek tersebut direalisasikan dalam bentuk bantuan dana untuk sosialisasi, pendukung pembelajaran dan beasiswa bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus. SD Plus Al Firdaus sebagai sekolah penyelenggara program pendidikan terpadu (inklusi) menyambutnya dengan baik. Sebagai sekolah penyelenggara Program Pendidikan Terpadu menuju Inklusi SD Al Firdaus juga memiliki struktur organisasi dan job desk sendiri. Sarana dan prasarana juga mengalami peningkatan. Antara lain ruang okupasi terapi dan peralatan terapinya. Selain itu untuk mendukung terapi okupasi dan remedial ada penambahan alat permainan edukatif. Untuk ruang belajar pada bulan Februari 2005 SD Al Firdaus mendapatkan satu ruangan lagi untuk belajar dan konseling. 144 Bersamaan berkembangnya kompleksitas permasalahan selama tahun pelajaran 2004/ 2005, SD Al Firdaus mengadakan telaah program pembelajaran untuk anak berkesulitan dan lamban belajar dengan tenaga ahli eksternal, antara lain dengan Bapak Prof. Dr. Sunardi, M.Sc. Selanjutnya memunculkan kurikulum non gradasi. Selain itu PUSPA Al Firdaus melaksanakan kunjungan ke Sekolah Khusus Autis Fredofios di Yogyakarka. Hal ini untuk mempersiapkan program pembelajaran bagi anak autisme, karena pada bulan April 2005 SD Plus Al Firdaus menerima siswa didik yang mengalami autisme. 1. PENGGOLONGAN SISWA DIFABEL YANG DITANGANI OLEH SEKOLAH DASAR (SD) AL FIRDAUS Siswa difabel adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial dan emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Adapun penggolongan siswa difabel di lembaga Pendidikan Al Firdaus saat ini dibagai menjadi beberapa golongan yaitu : 1. Kesulitan Belajar (Learning Disabilities) Siswa yang memiliki kesulitan belajar adalah siswa yang memiliki intelligensi normal atau di atas normal yang mengalami kesenjangan antara potensi intelektual yang mereka miliki dengan pencapaian hasil belajar. Faktor penyebabnya adalah dugaan adanya gangguan seperti 145 disfungsi otak minimal, gangguan neurologis, faktor genetik. Gangguan tersebut dapat menyebabkan keterbatasan dalam proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa lisan/ tulisan. Gangguan tersebut menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan berhitung. Secara umum kesulitan belajar diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : a) Development Learning Disabilities. Kesulitan belajar jenis ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam fungsi-fungsi psikologis dan bahasa. Meliputi : attention disorder, memory disorder, visual perceptual and perceptual motor disorder, thingking disorder dan language disorder. 2. Academic Learning Disabilities. Kesulitan belajar dalam bidang akademik merujuk pada suatu keadaan yang menghambat proses belajar dalam bidang akademik seperti kesulitan belajar membaca, belajar menulis, belajar matematika, dan dalam bidang akademik lainnya. b. Lamban Belajar (Slow Learning) Siswa yang mengalami lamban belajar adalah siswa yang memiliki kapasitas intelektual rata-rata bagian bawah tetapi masih di atas tunagrahita atau retardasi mental. Mereka memiliki IQ sekitar 70-90. Siswa tersebut memiliki kecepatan belajar di bawah siswa pada umumnya. c. Hambatan Belajar (Learning Problem) Siswa yang memiliki hambatan belajar adalah mereka yang sebenarnya memiliki potensi yang cukup (IQ 90 ke atas) tetapi mereka memiliki masalah-masalah eksternal yang mempengaruhi aspek kognitif, afeksi dan psikomotor. Hambatan tersebut akan mengakibatkan gangguan emosi dan perilaku yang pada akhirnya menghambat proses belajar secara maksimal. Faktor penyebab hambatan belajar seperti : lingkungan belajar yang tidak menunjang, 146 sistem di dalam PBM yang tidak memadahi, pola didik yang tidak tepat, pengaruh negatif dari lingkungan, masalah sosial ekonomi dan sebagainya. Manivestasi dari hal ini dapat nampak pada merosotnya motivasi belajar, agresivitas, dan perilaku mal adaptif lainnya. d. Berbakat Intelektual Anak berbakat intelektual atau anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelligensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi yang nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berbakat sering juga disebut sebagai gifted dan talented MODEL PENEMPATAN SISWA DIFABEL Penempatan siswa difabel di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai model, antara lain: Kelas reguler ABK belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama. Kelas reguler dengan cluster ABK belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok tertentu. Kelas reguler dengan pull out 147 ABK belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. Di Sekolah Dasar Al Firdaus, hanya ada 1 siswa yang menggunakan model kelas reguler dengan pull out, yaitu Firmansyah Adrian, yang sekarang telah menduduki kelas VI, dimana pada awal masuk Sekolah Dasar Al Firdua, guru menerapkan sistem ini dikarenakan siswa difabel tersebut memiliki pronlem pembelajaran yang berat. Sehingga setiap saat siswa harus dikeluarkan dari kelas dan dibimbing secara khusus di ruang PUSPA oleh guru pendamping. Kelas Khusus dengan berbagai pengintegrasian ABK di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler. Kelas khusus Penuh ABK berada di dalam kelas khusus pada sekolah regular. Sekolah Dasar Al Firdaus menerapkan model ini pada saat Ujian Nasional Saja, dimana siswa difabel dijadikan satu pada satu kelas tertentu untuk dapat mengikuti Ujian Nasional. PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI 3.1. Identifikasi 1. Kesulitan Belajar (Learning Disabilities) 148 Siswa yang memiliki kesulitan belajar adalah siswa yang memiliki intelligensi normal atau di atas normal yang mengalami kesenjangan antara potensi intelektual yang mereka miliki dengan pencapaian hasil belajar. Gangguan tersebut menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan berhitung. Identifikasi dilakukan dengan tes formal maupun informal. Secara umum kesulitan belajar diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : a. Development Learning Disabilities. Kesulitan belajar jenis ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam fungsi-fungsi psikologis dan bahasa. Meliputi ; attention disorder, memory disorder, visual perceptual and perceptual motor disorder, thingking disorder dan language disorder. b. Academic Learning disabilities. Kesulitan belajar dalam bidang akademik merujuk pada suatu keadaan yang menghambat proses belajar dalam bidang akademik seperti kesulitan belajar membaca, belajar menulis, belajar matematika, dan dalam bidang akademik lainnya. b. Lamban Belajar (Slow Learner) Siswa yang mengalami lamban belajar adalah siswa yang memiliki kapasitas intelektual rata-rata bagian bawah tetapi masih di atas tunagrahita atau retardasi mental. Mereka memiliki IQ sekitar 90 - 100. Siswa tersebut memiliki kecepatan belajar di bawah siswa pada 149 umumnya. Identifikasi dilakukan dengan tes IQ. Sampai saat ini tercatat seorang siswa di UP SD yang mendapatkan intervensi atas kategori tersebut. Mereka belajar dengan menggunakan kurikulum non gradasi 3.2. Laporan Kasus Selama tahun pelajaran 2009/ 2010 PUSPA Al Firdaus telah menerima laporan kasus sebanyak 42. Dua puluh tiga kasus dari Unit Pendampingan Taman Pra Sekolah (UP TPP) dan 19 kasus dari Unit Pendampingan Sekolah Dasar (UP SD) 3.3. Pelaksanaan Program Intervensi a. Assessment Suatu proses pengumpulan data tentang anak-anak yang diduga mengalami kesulitan belajar dan hambatan belajar. Kegiatan ini untuk mengungkap kekuatan dan kelemahan seorang anak. Pengumpulan data ini dilakukan oleh tenaga psikolog, okupasi terapis dan guru pembimbing khusus. Pengumpulan data dilakukan dengan tes formal, tes informal, wawancara dan observasi. b. Analisis Kebutuhan Berdasarkan hasil assessment maka akan diperoleh diagnosis atau kesimpulan dari identifikasi jesis gangguan/ hambatan. Hal ini menjadi dasar penyusunan program terapi atau pembelajaran yang dibutuhkan. 150 c. Program Pembelajaran Individual Program ini meliputi modifikasi proses tanpa mengganggu kelancaran pembelajaran di dalam kelas. Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus dengan program Kelas Pendampingannya selama tahun pelajaran 2009/2010 telah menyusun Program Pengajaran Individual (PPI) untuk siswa yang mengalami kesulitan belajar dan lamban belajar di UP SD. Penyusunan Program Pengajaran Individual (PPI). Program ini memuat tentang : Permasalahan atau kesulitan siswa Rumusan jangka panjang dan jangka pendek Materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa Metode dan media yang digunakan Waktu pelaksanaan Evaluasi 3.4. Model Pelaksanaan Pelaksanaan program pengajaran individual berdasarkan pertemuan antara guru kelas reguler, guru kelas pendampingan, orang tua, siswa didik yang berkepentingan dan Supervisor Pelayanan Umum Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus, untuk menentukan program layanan/ terapeutik yang tepat dan disetujui beberapa pihak di atas. Jadwal pelaksanaannya berdasarkan beberapa alternatif, yaitu : a. Program Layanan Langsung 151 Kasus-kasus tertentu yang membutuhkan penanganan langsung, tenaga ahli seperti okupasi terapis, guru pembimbing khusus, konselor, dan tenaga ahli lainnya secara langsung memberikan intervensi pada siswa yang mengalami kesulitan/ hambatan/ gangguan. b. Program Asistensi Pada program ini dibentuk tim terpadu yang berkolaborasi mendampingi orang tua dan guru reguler dalam menyelesaikan kesulitan belajar seorang siswa. Tim terpadu tersebut membuat program intervensi yang kemudian pelaksanaannya didelegasikan pada guru umum (reguler) atau guru pendamping khusus. c. Program Konsultatif Pada program ini guru kelas reguler sepenuhnya menyusun PPI dan melaksanakannya. Hanya saja guru reguler melakukan konsultasi dengan tenaga ahli dalam menentukan materi, metode dan media yang digunakan. Tenaga ahli tersebut seperti okupasi terapis, guru khusus PLB, psikolog. d. Program Referal Kasus-kasus yang tidak memungkinkan ditangani oleh tenaga di Lembaga Pendidikan Al Firdaus akan dialihtangankan pada tenaga ahli/ lembaga eksternal. Jika gejala-gejala kesulitan/hambatan/gangguan yang dialami seorang siswa sudah memungkinkan untuk dicampurkan dengan siswa-siswa reguler maka program ini akan dialihkan ke program yang lebih ringan oleh tenaga di lingkungan Lembaga Pendidikan Al Firdaus. 152 3.5.Evaluasi Evaluasi dilakukan tiap semester. Hasil evaluasi tersebut bersifat narasi dan individual sebagai laporan hasil pembelajaran di Unit Pendampingan Sekolah Dasar (UP SD). Berdasarkan hasil evaluasi perkembangan dari 45 siswa di Unit Pendampingan Sekolah Dasar (UP SD) tercatat 35 anak mengalami kemajuan sesuai target pembelajaran dengan program lanjutan, 10 anak belum mengalami kemajuan sesuai target pembelajaran dan 2 anak telah lepas tangan kasus. 3.6. Alih Tangan Kasus Berdasarkan evaluasi tingkat pencapaian target (keberhasilan) program pembelajaran/ terapi, dimungkinkan ada kasus-kasus yang tidak dapat ditangani oleh Lembaga Pendidikan Al Firdaus. Selama tahun pelajaran 2009/ 2010 Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus pernah satu kali melakukan alih tangan kasus di Unit Pendampingan Sekolah Dasar (UP SD). 3.7. Lepas Tangan Kasus Beberapa kasus telah dinyatakan selesai mengikuti program layanan di PUSPA Al Firdaus berdasarkan parameter tertentu. a. Pelatihan Team Building Pelatihan Team Building dilakasanakan dalam upaya membentuk team di unit Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dapat bekerja dengan baik. 153 Acara ini juga di isi dengan senam otak untuk para guru dan karyawan. Kepentingan team building ini adalah secara khusus agar guru dapat bekerja dengan optimal, untuk karyawan agar lebih paham dengan tugasnya. Pelatihan team building ini dilaksanakn di luar ruangan dan dalam ruangan, puncak acara team building disi oleh team dari Primagama Wahyu Setiawan S.Si. bertindak sebagai team motivasi di lembaga tersebut. b. Pengembangan program dan sarana prasarana Pengembangan ini meliputi beberapa unsur yaitu : 1. Pengembangan kurikulum : dengan kegiatan AMT. 2. Pengembangan life skill : untuk membantu siswa agar lebih mampu mandiri perlu adanya kegiatan life skill siswa dengan menjahit dan beberapa alat ketrampilan untuk membuat karya seperti boneka, dan lain-lain. 3. Media Pembelajaran khusus : beberapa alat khusus diperlukan untuk membantu meningkatkan kemampuan anak seperti alat-alat lukis, VCD dan beberapa alat pemacu ketrampilan siswa. MODEL UJIAN AKHIR NASIONAL (UASBN) BAGI SISWA DIFABEL Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai penyelenggara Sekolah Inklusi mengalami beberapa tantangan diantaranya adalah masalah UASBN tetapi dengan kerja keras akhirnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus mampu 154 memantapkan diri untuk menyelenggarakan sekolah inklusi. Oleh sebab itu diperlukan bantuan dari pihak-pihak terkait untuk menyelenggarakan sekolah inklusi. Dengan diberlakukannya pendidikan inklusif di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sejak angkatan 2004/ 2005 maka siswa difabel dapat memperoleh hak pendidikan di sekolah tersebut. Namun demikian keberhasilan tersebut menyisakan permasalahan di antaranya adalah ketika anak berkebutuhan khusus yang berada di sekolah reguler harus mengikuti UASBN. Bagi anak berkebutuhan khusus yang high functioning atau tidak mengalami hambatan mental/ kecerdasan seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunalaras dapat mengikuti UASBN sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya bagi anak berkebutuhan khusus yang low functioning atau yang mengalami hambatan mental/ kecerdasan dan mereka sudah terdaftar sebagai peserta UASBN. Bagi mereka ini tentunya akan menjadi persoalan ketika harus mengikuti UASBN dengan soal yang sama seperti anak-anak lain pada umumnya, sedangkan kemampuan mereka tidak memadai untuk itu. Kondisi ini merupakan permasalahan yang perlu dicarikan solusinya oleh kita bersama. Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sebagai solusi untuk mengatasi UASBN bagi anak berkebutuhan khusus low functioning, yaitu : 1. Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memberikan keterangan peserta UASBN yang tergolong pada anak berkebutuhan khusus. Keterangan ini berguna untuk menentukan soal mana yang akan digunakan. 155 2. Sekolah bekerjasama dengan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Jawa Tengah melakukan identifikasi dan asessment. Identifikasi dan asessment ini penting dilakukan agar diperoleh data yang akurat mengenai kemampuan dan hambatan yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus sehingga dapat menjadi dasar dalam pembuatan soal. Setelah data diperoleh melalui identifikasi dan asessment kemudian soal dibuat oleh guru/ sekolah masing-masing sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Selanjutnya pihak Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Jawa Tengah melakukan validasi terhadap soal yang telah dibuat oleh guru/ sekolah itu. 3. Soal yang telah divalidasi itu dapat digunakan dalam UASBN bagi siswa difabel. Soal yang dikerjakan oleh siswa difabel akan berbeda dengan anak pada umumnya, bahkan bisa berbeda pula antar sesama siswa difabel. Dalam pelaksanaan UASBN, siswa difabel mental yang tidak mampu bergabung dengan siswa non-difabel dalam pengerjaan soal di kelas, maka di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus disediakan ruangan khusus bagi mereka yaitu di ruangan PUSPA dan disediakan guru pendamping untuk memandu dalam setiap pengerjaan soal, serta pengawas ujian dari pihak Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga, agar dalam pengerjaan soal benar-benar murni. Dalam pemilihan pengawas ujian peserta difabel, tidak sembarangan, 156 dimana pengawas tersebut harus mampu dan mengerti benar tentang program inklusif, tentang sikap dan perilaku siswa difabel, serta penampilan pengawas tidak membuat takut para siswa difabel, karena hal ini akan sangat mempengaruhi dalam pengerjaan soal UASBN. Dalam hasil penilaian hasil UASBN bagi siswa difabel, nilai yang diperoleh harus disajikan dalam dua bentuk, yaitu bentuk angka dan bentuk deskriptif. Dua bentuk sajian ini diperlukan agar diperoleh kejelasan dan pertanggungjawaban mengenai nilai-nilai yang diperoleh siswa difabel. Misalnya, nilai matematika 7 bagi siswa difabel berbeda dengan nilai matematika 7 yang diperoleh anak pada umumnya karena dari bentuk, kualitas, dan kuantitas pertanyaan berbeda. Bagi siswa difabel memperoleh nilai 7 harus ada penjelasan mengapa nilainya 7. Dalam penjelasannya, kurang lebih berisi standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator-indikator yang telah dicapainya sehingga dapat diwakili dengan nilai 7. Begitu pula di dalam ijazah/ STTB bagi siswa difabel, dimana terdiri dari dua lembar, lembar pertama ijazah yang di dalamnya tercantum nilai berbentuk angka-angka dan lembar kedua berbentuk deskriptif. 157 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada Bab III ini penulis akan menyajikan hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan interpretasi data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan di lokasi penelitian. A. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian berikut ini merupakan data yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan di lokasi penelitian, yaitu di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta. Adapun hasil penelitian ini diperoleh dari wawancara mendalam terhadap para informan yang terdiri beberapa siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta guru dan orang tua siswa difabel. Adapun hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: PROFIL INFORMAN Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus merupakan salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta. Di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus terdapat siswa difabel yang belajar bersama dengan siswa non-difabel yang ditempatkan pada ruang dan waktu serta kurikulum pembelajaran yang sama tanpa suatu pembedaan. Tetapi pada saat-saat tertentu ada kebutuhan khusus yang wajib diikuti oleh siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Program inklusif di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus telah digalakkan sejak tahun ajaran 2004/ 2005 dan hingga kini memiliki siswa difabel sebanyak 51 siswa dan non-difabel sebanyak 481 siswa. Adapun 7 orang informan yang 158 mewakili populasi telah dipilih oleh peneliti untuk mendukung penelitian ini yakni: 1.1 Siswa difabel yang mempunyai gangguan fisik (Celebral Palsy) Siswa difabel yang mempunyai gangguan fisik di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebanyak 2 siswa, yaitu : Nanda (gangguan pada kedua kaki) dan Tian (gangguan pada tangan kanan), keduanya mempunyai gangguan fisik yang disebabkan karena fungsi otak saraf yang tidak baik sejak lahir. Adapun profil kedua siswa tersebut adalah sebagai berikut : Nanda (Bukan Nama Sebenarnya) Nanda siswa kelas 3C, merupakan penyandang Celebral Palsy atau istilah lainnya yaitu kelainan saraf otak yang meyebabkan pertumbuhan tulang kaki khususnya pada telapak kaki. Sejak lahir, Nanda telah memiliki kekurangan ini. Ketika menginjak kelas 2 kaki Nanda dioperasi. Dalam proses interaksi sosial Nanda tidak mengalami kesulitan sama sekali justru Nanda mempunyai mental yang kuat. Pada awal masuk sekolah justru yang merasa malu adalah orang tua Nanda. Mereka malu karena teman-teman Nanda sering menanyakan : “Tante kakinya Nanda kenapa? Kok kayak bebek?”. Banyak teman laki-lakinya suka menirukan cara jalan Nanda dibelakangnya. Rasa malu orang tua Nanda menimbulkan motivasi untuk melakukan operasi pada kedua kaki Nanda di salah satu rumah sakit di Jakarta. Pasca operasi satu bulan penuh Nanda memakai kursi roda yang disediakan oleh sekolah dan selama satu bulan itu Nanda ditunggui ibunya di sekolah 159 karena masih dalam proses pemulihan dan kesulitan untuk aktifitas ke kamar mandi. Pada saat operasi hingga pasca operasi Nanda sering tidak masuk sekolah dikarenakan untuk keperluan kontrol, sehingga mengalami ketertinggalan beberapa mata pelajaran khususnya pelajaran Matematika. Setelah kondisi Nanda benar-benar pulih, tetap saja kakinya masih belum normal, akhirnya para guru dan tenaga terapis memberikan solusi bahwa Nanda harus memakai sepatu terbalik yakni sepatu kaki kanan dipakai di kaki kiri dan sepatu kaki kiri dipakai untuk kaki kanan selama proses pemulihan, agar bentuk kaki kembali normal. Setelah naik di kelas tiga sekarang Nanda sudah kembali normal seperti anak lainnya dan juga pemakaian sepatunya pun juga sudah sama dengan anak lainnya. Dalam kaitanya dengan proses belajar mengajar kepada Nanda digunakan kurikulum yang sama dengan siswa non-difabel tetapi Nanda tetap mengikuti jam tambahan untuk pelajaran Matematika yang dilaksanakan oleh Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Hal ini disebabkan karena seringnya siswa tidak masuk sekolah pra operasi dan pasca operasi. Program intervensi diberikan pada Nanda agar siswa mampu mengikuti seluruh pelajaran kurikulum reguler. Nanda mempunyai kelebihan pada bidang seni tarik suara, Nanda pernah meraih juara tiga lomba menyanyi yang diselenggarakan oleh Yayasan Raka Perkasa. Tian (Bukan Nama Sebenarnya) 160 Tian siswa kelas 4C, merupakan penyandang Celebral Palsy. Yang menyebabkan kecacatan pada Tian adalah karena ada gangguan pada semua saraf di bagian tubuh sebelah kanan dan juga menyebabkan pertumbuhan tulang di bagian tangan dan kaki sebelah kanan tidak sempurna. Ketika awal masuk sekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini Tian malu dengan kondisi yang ada pada dirinya, karena sering diejek teman-temannya “gak punya tangan”. Hal ini menyebabkan Tian kurang bersosialisasi dan sedikit pendiam. Akan tetapi menginjak di kelas 4 Tian sudah terbiasa dengan kondisinya dan begitu juga teman-temannya bisa menerima Tian apa adanya bahkan saling tolong menolong jika Tian mengalami kesulitan dalam hal pelajaran atau hal lainnya. Dari segi interaksi sosial Tian tidak mengalami kesulitan sama sekali hanya sering malu akan keadaan dirinya, tetapi sekarang sudah memiliki rasa percaya diri yang kuat. Dalam segi akademis secara umum Tian tidak mengalami kesulitan atau gangguan karena kecacatan yang dialaminya dan tidak mempengaruhinya dalam proses belajar, bahkan prestasi Tian dapat bersaing dengan anak non-difabel dikelasnya. Dalam penyaluran bakat Tian mengikuti kegiatan ekstrakurikuler olahraga Tae Kwondo yang memerlukan fisik dan mental yang kuat, saat ini Tian sudah mencapai tingkatan sabuk hijau garis dua. 161 Orang tua Tian sangat peduli dengan keadaan Tian. Setiap satu minggu sekali orang tua Tian membawanya untuk melakukan terapi di Orthopedi Rehabilitasi Centrum demi perbaikan saraf dan tulang serta akan dibuatkan alat bantu penyandang cacat yang bernama split guna penyembuhan pada tangan kanannya. 1.2 Penyandang Autis dan Gangguan Sosialisasi serta Interaksi Siswa difabel yang merupakan penyanang autis dan mempunyai gangguan fisik di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebanyak 5 siswa, yaitu : Rahman, Abdul, Putra, Iman, dan Ian. Adapun profil kelima siswa tersebut adalah sebagai berikut : Rahman (Bukan Nama Sebenarnya) Rahman siswa kelas 1A yang menurut ahli terapis diindikasikan sebagai penyandang autis. Ibu Rahman merupakan seorang bidan, sehingga tahu tentang penanganan Rahman sejak dini. Rahman sebelumnya juga merupakan siswa di Yayasan Al Firdaus yaitu dari Taman Pendidikan Pra Sekolah (TPP) dan Taman Kanak-kanak (TK) AL Firdaus, sehingga pemantauan pendidikan dan perkembangan anak menjadi lebih mudah karena dari awal sudah mempunyai riwayat pendidikan di Yayasan Al Firdaus. Ibu Uswahyu sebagai wali kelas Rahman mengatakan bahwa Rahman mengalami kesulitan pembelajaran di kelas karena sistem motoriknya tidak jalan dan tampak pasif. Apabila diajari menulis atau 162 diberi tugas untuk mengerjakan sesuatu di kelas harus ada instruksi ganda atau berulang. Pada saat diterangkan tidak bisa langsung tanggap dan harus diterangkan atau dijelaskan dengan istilah lain atau memberi penjelasan dengan buku cerita dan gambar. Cara menulis Rahman juga masih mengalami kesulitan, harus dengan bantuan atau arahan dari guru khususnya untuk penempatan huruf yang benar. Rahman juga cenderung pasif dalam hal berinteraksi sosial dengan temannya, pendiam tidak mau bertanya sebelum ditanya dan juga jarang mengajak temannya bermain. Dari pihak siswa non-difabel memiliki rasa toleransi yang cukup tinggi terhadap Rahman. Teman-temannya selalu berusaha mengajak Rahman untuk bermain bersama namun, saat bermain dia tidak dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik. Rahman sangat pasif dan hanya ikut-ikut saja tanpa ada tujuan, bahkan Rahman tidak menyadari bahwa dia sedang bermain bersama teman-temannya. Kurikulum pembelajaran untuk Rahman sama dengan murid-murid yang lain, karena masih kelas satu jadi targetnya untuk sementara hanya bisa membaca, menulis dan berhitung. Mata pelajaran yang digemari oleh Rahman adalah menggambar dan mewarnai. Ketika duduk di Taman Pendidikan Pra Sekolah (TPP) dan Taman Kanak-kanak (TK) AL Firdaus Rahman pernah juara satu menggambar. Untuk perawatan terapi terhadap Rahman dilakukan disekolah melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dengan pengenalan gambar dan istilah, selain itu pihak orang tua Rahman juga 163 kooperatif untuk perkembangan anaknya sendiri maka setiap libur atau waktu luang Rahman juga diterapi di Natura Medika. Abdul (Bukan Nama Sebenarnya) Abdul adalah siswa kelas 2 SD Al Firdaus yang memiliki keterbatasan yaitu autis taraf ringan. Dalam interaksi sosial dengan temantemannya satu kelas Abdul cenderung pendiam dan jarang bermain bersama. Apabila ada temannya yang meledek dan membuatnya emosi dia cenderung memukul atau melempar sesuatu. Apabila bermain Abdul hanya mengikuti permainan temannya atau hanya ikut-ikutan saja tanpa mengerti maksud dan tujuan teman-temannya itu. Apabila ada sesuatu yang tidak sesuai dengan perasaan Abdul atau sedang sedih yang berlebihan Abdul biasanya menangis sambil berteriak. Sementara itu untuk masalah akademik Abdul mengikuti kurikulum pembelajaran yang ada. Dalam kaitanya dengan kemampuan membaca dan menulis Abdul sudah bisa membaca dengan lancar tetapi untuk menulis belum terlalu Abdul jarang bertanya apabila tidak tahu atau belum paham karena kesulitan untuk mengungkapkan apa yang akan ditanyakan kepada guru. Sementara itu untuk kemampuan lainnya Abdul sudah dapat mengikuti mata pelajaran Matematika dan mempunyai nilai di atas ratarata. Selama ini Abdul sudah mampu mengikuti pelajaran dan tugas yang diberikan oleh guru, bahkan apabila tugasnya belum selesai tetapi jam 164 pelajaranya sudah selesai Abdul tidak mau berhenti. Abdul terus melanjutkan untuk menyelesaikan tugasnya sampai selesai walaupun jam pelajarannya sudah ganti dengan pelajaran yang lain. Oleh karena itu Guru pendamping dan wali kelas Abdul selalu memberikan pemahaman dan pengertian mengenai batas waktu disetiap tugas dan jam pelajaran apabila jam pelajarannya sudah habis. Untuk terapi di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Abdul diberi intervensi lebih mengenai kerapian menggambar dan mewarnai untuk melatih kerapiannya serta dilatih untuk berinteraksi sosial dan bersosialisasi dengan teman-temannya. Selain itu juga diberi terapi-terapi lainnya untuk menambah kemampuan Abdul. Putra (Bukan Nama Sebenarnya) Putra siswa kelas 3C ini merupakan salah satu murid berkebutuhan khusus atau difabel penyandang autis taraf ringan akan tetapi walaupun sama-sama penyandang autis tetapi Putra berbeda dengan Ian kakak kelasnya yang berada di kelas 6. Di dalam perilaku sosial anak-anak autis seperti Putra selalu tergantung situasi dan dari keadaan perasaan hati atau mood dan keinginan si anak tersebut. Seperti misalnya: apabila Putra marah atau tidak suka dengan apa yang dilakukan teman karena mengejeknya maka Putra cenderung berteriak dan bahkan pernah sampai mengangkat kursi untuk dilempar ke teman yang mengejeknya. Dari pihak sekolah juga memberikan bimbingan konseling apabila terjadi konflik 165 seperti itu, dan biasanya anak dipanggil satu persatu lalu diberi pengertian tentang yang seharusnya tidak dilakukan dan yang seharusnya dilakukan. Komunikasi Putra dengan guru tidak berbeda dengan anak lain, tetapi untuk anak autis seperti Putra ini kadang-kadang suka berteriakteriak, suka menceritakan apa yang dialaminya namun terkadang tidak sesuai dengan topik yang sedang dibahas atau dibicarakan. Untuk rutinitas atau kegiatan Putra sama dengan murid lain tetapi Putra lebih suka menyendiri dan jarang mengajak temannya untuk bermain, seperti misalnya pada saat jam istirahat. Berkaitan dengan masalah kurikulum, Putra memperoleh kurikulum pembelajaran yang sama dengan muridmurid lain tetapi apabila terlihat mengalami kesulitan sekolah memberikan guru pendamping. Selain guru pendamping sekolah SD Al Firdaus ini selaku sekolah inklusif memberikan terapi khusus untuk siswa difabel seperti Putra diberi terapi melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) melalui program intervensi tiga kali satu minggu dan juga kegiatan outing untuk anak berkebutuhan khusus yang bertujuan agar anak-anak berkebutuhan khusus ini mampu mandiri dan yang diberikan berguna untuk kehidupan siswa difabel tersebut. Kegiatan outing adalah kegiatan dimana anak diajak belajar diluar sekolah bersama-sama dengan murid-murid berkebutuhan khusus lain yang dilakukan minimal dua kali dalam satu semester. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutinitas yang diselenggarakan oleh Komite Sekolah 166 bekerjasama dengan guru kelas. Minat dan bakat Putra sudah terlihat sejak dini yaitu di bidang ilmu pengetahuan atau sains dan juga di mata pelajaran Matematika Putra mempunyai nilai yang bagus tidak kalah dibandingkan dengan sisiwa non-difabel yang lain. Selain itu Putra suka membaca sesuatu tentang ilmu pengetahuan atau sains, walaupun suka membaca tapi Putra ini malah tidak suka kalau disuruh menulis terlalu banyak. Orang tua Putra menjalin kerjasama yang baik dengan guru sehingga kekurangan Putra ini tertangani dengan baik. Antara orang tua dan guru memberikan informasi yang sama agar dapat diaplikasikan di rumah dengan baik, sehingga perkembangan Putra juga baik. Jadi antara pihak orang tua dan pihak sekolah khususnya wali kelas terdapat sebuah komunikasi yang baik dan program yang seimbang antara di rumah dan di sekolah. Iman (Bukan Nama Sebenarnya) Iman siswa kelas 4C mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran atau gangguan belajar yang sering disebut LD (Learning Disability). Jika dilihat dari penampilan fisik Iman memang tidak terlihat kekurangan sama sekali, akan tetapi terlihat kekurangan ketika adanya kegiatan belajar mengajar, yaitu kurang bisa fokus dan kurang bisa memahami perintah atau tugas yang harus dilakukan atau dikerjakan. Untuk memahami dan menghafalkan dalam bentuk kalimat yang panjang masih susah, selain itu 167 kemampuan menulisnya juga masih kurang terutama belum bisa menggunakan huruf kapital dengan benar. Pada mata pelajaran Matematika Iman masih susah atau kesulitan menghitung dengan perkalian yang besar dan belum paham dengan konsep pembagian. Oleh karena itu khusus untuk Iman maka kurikulumnya juga di modifikasi, misalnya: apabila murid yang lain diberi 20 soal maka untuk Iman hanya 15 soal, dan untuk waktu mengerjakan tugas yang lain misalnya 2 jam untuk Iman hanya 1 jam. Apabila dibanding dengan nilai akademis Tian teman satu kelas yang juga mengalami keterbatasan fisik, Iman masih jauh di bawah anak yang berkemampuan normal di akademis dan oleh sebab itu Iman dikategorikan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus dan harus diberi terapi dan pendampingan dari Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Kemampuan interaksi sosial Iman pada awalnya memang sedikit terganggu tetapi kemudian lama kelamaan setelah mendapatkan bimbingan dan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, Iman dapat berinteraksi sosial dengan anak-anak lain dengan baik, berbicara lancar dan bergaul dengan murid lain tanpa ada batasan. Hanya saja hingga saat ini kemampuan belajarnya yang mengalami gangguan dan ketertinggalan. Untuk kemampuan lainnya Iman memiliki bakat di dunia seni khususnya di bidang seni tari dan pernah juara tingkat propinsi. Untuk minat mata pelajaran Iman lebih minat dengan mata pelajaran Bahasa Jawa bahkan hafal tokoh-tokoh pewayangan. 168 Ian (Bukan Nama Sebenarnya) Ian adalah salah satu penyandang autis taraf ringan di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus. Saat ini Ian duduk di kelas 6 Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus. Usia Ian yaitu 15 tahun, setara dengan usia siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada umumnya, tetapi hingga saat ini Ian hanya mampu menguasai pelajaran kelas 2 Sekolah Dasar dan diperkirakan akan mampu menguasai pelajaran-pelajaran kelas 6 Sekolah Dasar pada saat umur 20 tahun nanti. Ian masuk di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus pada kelas 2, sebelumnya Ian merupakan siswa pindahan dari SD Negeri Non Inklusif. Penanganan Ian dari Taman Kanak-kanak hingga kelas 1 Sekolah Dasar kurang baik dan tidak diarahkan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus, karena Sekolah Dasar Negeri Non Inklusif tidak tahu tentang tata cara penanganan untuk Anak Berkebutuhan Khusus seperti Ian. Pada awal masuk sampai di kelas 4 lebih banyak digunakan sistem pull out untuk Ian, setelah masuk kelas 5 sampai sekarang kelas 6, sudah jarang menggunakan sistem pull out. Sistem pull out ini diterapkan kepada Ian karena interaksi dan sosialisasi Ian terhadap teman-temannya cenderung ke arah negatif dengan perilaku yang membahayakan. Misalnya dengan mengambil pisau di ruang makan untuk membunuh temannya yang mengejek dia, kemudian marah sambil berteriak-teriak dan melempar serta memukul barang-barang milik sekolah untuk membalas perlakuan teman-temannya yang sering mengganggu Ian. 169 Ian suka mengasingkan diri di ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), karena situasi dan kondisi ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) sangat tenang yang memungkinkan untuk dapat menenangkan pikiran disana serta didampingi oleh guru pendamping dan konselor dalam menangani kasus Ian. Untuk menangani Ian harus ada cara khusus misalnya: apabila Ian tidak mau disuruh atau tidak menuruti perintah dari guru, khususnya guru wali kelas tidak akan memutarkan lagu kesukaan Ian dan apabila mau menuruti perintah guru maka Ian akan diberi hadiah kesukaannya yaitu akan di putarkan lagu “My Heart Will Go On”. Jadi guru akan memberi reward bila Ian menuruti guru dan punishmen bila tidak mau menurut dengan guru. Ian memiliki tingkat imajinasi yang tinggi, dia menyukai hal-hal yang berhubungan dengan dinosaurus. Setiap mata pelajaranpun selalu dihubungkan dengan dinosaurus, sehingga para guru juga harus pandai dalam mengkaitkan atau tidak mengkaitkan antara pelajaran yang diterima oleh Ian dengan kehidupan dinosaurus Ian cenderung mengulang pertanyaan yang sudah pernah ditanyakan, maka dari pihak guru pengajar khususnya wali kelas biasanya apabila Ian bertanya tentang kesukaannya yaitu dinosaurus di luar pelajaran tersebut contohnya ketika Ian bertanya mengenai dinosaurus di mata pelajaran yang sedang diterangkan maka guru juga menerangkan kalau dinosurus ini sudah punah dan sudah tidak ada di jaman sekarang ini. 170 Selain imajinasi tinggi, anak autis seperti Ian cenderung emosinya tidak terkontrol dan hanya tergantung mood atau perasaan. Pernah pada saat jam istirahat Ian pergi ke dapur untuk mengambil pisau, kemudian ditanya oleh guru, “Buat apa ambil pisau? Ian menjawab buat bunuh temannya karena menjengkelkan.” Selain itu juga pernah terjadi sebuah kejadian yakni Ian ke luar kelas mengambil batu untuk dilempar ke temannya yang ada di kelas karena suka menggodanya. Perkembangan jiwa Ian lebih ke arah yang negatif dibandingkan dengan Putra yang menuju ke arah positif. Walaupun sama-sama penderita autis, tetapi Ian dan Putra tidak bisa akur, bahkan jika bertemu saling bertengkar satu sama lain. Ian memiliki daya seksualitas yang tinggi suatu ketika pernah pada saat istirahat Ian mengejar-ngejar teman perempuan satu kelasnya dan bila ditanya “Kenapa mengejar-ngejar temanya?” Ian menjawab bahwa ia suka dan mau menikah dengan teman perempuan satu kelasnya. Setiap bertemu dengan orang tua teman perempuan satu kelas tersebut ketika menjemput Ian bilang “Tante aku mau menikah dengan anaknya”. Selain itu ketika pada masa awal duduk di kelas 6 setiap pagi atau mau pulang sekolah Ian selalu meminta peluk dari ibu gurunya dan ketika dipeluk Ian tersenyum ketawa kemudian Ibu gurunya bertanya, “Kenapa kok ketika dipeluk Ian ketawa? Ian menjawab payudara ibu guru seperti milik mama” Ternyata setiap pagi mau berangkat sekolah Ian dipeluk mamanya dan menjadi kebiasaan dan berpikiran ke arah seksual. Semenjak itu apabila Ian 171 meminta peluk ke ibu gurunya, ibu gurunya selalu menolak dan juga orang tua Ian di beri pengertian supaya untuk tidak membiasakan Ian dipeluk. Selain itu terhadap teman-teman perempuan satu kelas Ian diberi pengertian oleh ibu guru supaya ada batasan dikarenakan Ian anak autis yang secara fisik seharusnya sudah SMP tetapi pola pikirnya masih setaraf dengan siswa Sekolah Dasar kelas 6. Dalam kaitanya dengan kerjasama apabila ada pekerjaan kelompok atau pekerjaan keterampilan bersama, Ian cenderung mondar-mandir melihat pekerjaan teman-temannya yang lain, hanya membawa bahan untuk pekerjaan kelompoknya saja tetapi tidak mau untuk bekerja sama. Ian paling tidak suka diskusi, apabila sedang diskusi teman-temannya harus ikut jalan pikirannya. Apabila sedang istirahat Ian lebih suka menyendiri, biasanya jajan kemudian menyendiri makan di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Untuk berinteraksi sosial dengan teman-temannya seperti ketika istirahat Ian sangat jarang berinteraksi sosial bahkan apabila istirahat atau pelajaran Ian bertemu Putra murid kelas 3 maka selalu terjadi konflik karena Putra selalu menggoda, padahal mereka sama-sama penyandang autis. Ketika Ian sedang menyanyi Putra pasti mengejek kalau suara Ian jelek begitu juga sebaliknya apabila Putra sedang pidato atau bercerita Ian juga selalu mengejeknya, karena reaksi yang berlebihan ini yang mengundang Putra dan kadang teman yang lainnya untuk menggoda si Ian. Ian menyukai pelajaran science atau pengetahuan alam dan IT, dunia maya atau internet. 172 Apabila ada pelajaran yang dia tidak suka khususnya seperti Kewarganegaraan, dan pelajaran sosial dia selalu keluar kelas atau ke Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Oleh karena itu Ian diberi metode khusus karena apabila temannya diterangkan sekali maka Ian harus diterangkan berulang-ulang dan harus ada guru pendamping yang selalu mendampingi lalu menjelaskan. Ian paling tidak suka pelajaran membaca dan menulis. Ian mendapat program terapis atau intervensi dari Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) tiga kali dalam satu minggu. Dalam kurikulumnya untuk Ian ada modifikasi, misalnya: apabila anak lain atau non-difabel jenjang nilai 1-100 kalau Ian 1-70. Khusus untuk UASBN karena Ian sudah kelas 6. Maka menurut wali kelasnya tidak ada masalah karena materi dan pengisian jawaban untuk Ian hanya melingkari tetapi untuk membacanya harus ada bantuan atau pendamping yang membantu membacakan soal tetapi tidak mengarahkan ke jawaban hal ini disebabkan karena Ian tidak suka membaca bila kalimatnya panjang. Berdasarkan data dan informasi yang peneliti peroleh di lapangan maka berikut ini peneliti menyajikan matriks profil informan yaitu siswa difabel Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta : 173 Matriks 3.1 Profil Informan (Siswa Difabel Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta) NAMA NO 1. KELAS Rahman (Bukan Nama PROFIL SISWA 1. Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi 2. Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain. 3. Kekuatan : Memahami instruksi. Mau berinteraksi dengan orang lain. Keterampilan motorik kasar dan halus sudah cukup bagus. Mampu Sebenarnya) membaca suku kata hidup. Mampu menulis kata dengan dengan didektekan persuku kata. Sudah mampu menulis di buku kotak kecil. IA Mampu membilang benda sampai dengan 20. Anak selalu membawa alat tulis. Tidak mempunyai hambatan sosialisasi, anak yang terbuka. Ada kemauan bercerita dan menjawab pertanyaan tentang peristiwa yang dialaminya. Suka melukis. Anak sudah mampu membaca iqro 2 hal 27 dan belum mampu menghafal surat Al falaq, An Nas, Al Maun, Al Kafirun, doa masuk dan keluar kamar mandi. 4. Kelemahan : Sulit untuk memahami instruksi bertingkat2.Cenderung mengulang pertanyaan. Muncul gerakan tremor ketika memegang benda kecil dan ringan. Belum mampu membaca suku kata berakhiran kosonan. Kesulitan mencontoh tulisan dari papan tulis. Masih diarahkan dalam menempatkan huruf sesuai aturan. Belum mampu mengurutkan bilangan dari yang terkecil ke bilangan yang terbesar. Belum mampu mempersiapkan perlengkapan alat tulis. Tidak mampu mengungkapkan perasaannya. Melukis masih belum rapi. Anak belum mampu membaca iqro 4 hal 18 dan sudah mampu menghafal surat Al Fatihah, An Nas, Al Falaq, Al Ikhas, Al Lahab, Al-Kafirun, Al Kautsar, Al FIL, Al Nasr, doa makan, doa tidur dan doa masuk kamar mandi. 5. Kebutuhan : Pengulangan instruksi dan memahami instruksi. Memperkaya kosa kata dengan memberi penjelasan dalam buku cerita. Mengurangi gerakan tremor. Latihan membaca. Kemampuan visual persepsi. pemahaman aturan melukis di kotak kecil. latihan mengurutkan bilangan dari yang terkecil ke bilangan yang terbesar. Persiapan alat tulis dan buku sebelum pelajaran. Anak mampu 174 mengungkapkan perasaanya. Anak mampu melukis dengan rapi. Latihan membaca dan menghafal surat-surat pendek. 6. Langkah Bantuan : Mengulangi instruksi dan penyederhanaan instruksi. Mengajak bercerita dengan memperbanyak kosakata. Mengkondisikan beraktifitas menggunakan benda yang kecil dan ringan dengan memposisikan tangan tidak menggantung tetapi berada di atas meja. Menggunakan CCB2, latihan visual persepsi, latihan menulisa sesuai aturan di buku kotak kecil. Latihan untuk meningkatkan kemampuan pengurutan ke samping. Latihan untuk meningkatkan kemampuan pengurutan bersusun kebawah. Membantu persiapan dengan memberi pengarahan sebelum pelajaran di mulai. Membantu persiapan dengan menggunakan check list atau gambar. Jeli terhadap permasalahan anak. Sharing bersama keluarga. Memberikan kesempatan kepada anak untuk menceritakan permasalahannya. Menceritakan gambar-gambar sebagai inspirasi anak. Membantu melukis denggan baik dan rapi. Memberikan contoh gambar-gambar sebagai acuan anak. Membantu membaca dan menghafal surat-surat pendek. 7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Reguler 8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Menggambar 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Berulang-ulang 10. Interaksi antar siswa : Baik 2. Abdul (Bukan Nama Sebenarnya) IIC 1. Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi 2. Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain. 3. Kekuatan : Anak mampu mengikuti tugas yang diberikan dikelas dengan cepat, bahasa reseptif: mampu mengerti makna bahasa sederhana yang sering dipakai sehari-hari, bahasa ekspresif: anak mampu mengungkapkan bahasa ekspresif misalnya saat anak senang dan tidak senang dengan sesuatu, menginginkan sesuatu, saat marah dan lainnya, bila diajak komunikasi dua arah anak mampu menangapi dan menjawab, motorik kasar: anak mampu melompat, melempar, berlari, berputar meskipun gerakan masih kaku, motorik halus: anak mampu menulis dengan pola pegang pensil three pod pinch, menggambar mewarnai mandiri tetapi masih seering keluar garis, kemampuan menulis: mampu menulis dengan mengcopy tulisan yang ada dipapan tulis, mampu menulis dengan dikte suku kata,kata konsonan mati dan konsonan rangkap, kemampuan membaca: mampu membaca suku kata hidup, suku kata berkonsonan mati 175 dan konsonan rangkap, kemampuan matematika: mampu membilang sampai dengan 10000, ma,pu menjumlah dengan teknik meyimpan dan mengurang dengan teknik meminjam, anak mau bersosialisasi dengan teman-teman saat jam istirahat dengan bergabung bersamasama anak lainnya, untuk toilet training mampu mandiri, berpakaian, makanan, minuman, mandi mandiri, mau berbagi makanan, mempunyai semangat yang tinggi dalam belajar, mampu menyelesaikan aktifitas berhitung dan menulis dalam waktu yang cepat. 4. Kelemahan : Anak sulit dihentikan atau diganti dengan pelajaran yang lain bila tugas pada pelajaran yang sebelumnya belum selesai, bahasa reseptif: anak sering menanyakan makna bahasa-bahasa yang jarang didengar dalam keseharian seperti: syahid, tumbas, boros dan lainya, bahasa ekspresif yang dikeluarkan jika anak sedih terlalu berlebihan yaitu menaggis sambil berteriak, anak lebih sering menjawab pertanyaan jika ditanya, tetapi anak jarang memulai pembicaraan serta sering mengalamikesulitan mengungkapkan pertanyaan yang ingin ditanyakan, belum mampu surving dan memukul satelkok dengan baik ketika bulu tangkis, mewaarnai belum rapi, tulisan anak kurang rapi dan terlalu besar, hanya mengikuti pola permainan teman-temanya, anak belum mampu melakukan sholat lima waktu, belum mampu menata jadwal sendiri, masih kaku dalam melaksanakan aktifitas, anak lebih cenderung memukul jika ada seseorang yang keterlaluanmemancing emosinya. 5. Kebutuhan : Memahami batas waktu menyelesaikan tiap tugas, membutuhkan lebih banyak kosa kata dan penjelasan kata-kata yang jarang didengar dalam keseharian, membutuhkan latihan untuk mengendalikan emosi, membutuhkan banyak latihan untuk memulai pembicaraan, mampu bermain bulu tangkis dengan baik, mewarnai dengan rapi, menulis dengan rapi dan sesuai dengan garis dan kotak, mengetahui cara bermain, mampu melaksanakan sholat lima waktu, mampu menata jadwal sendiri, mengetahui durasi waktu tiap tugas, membutuhkan latihan untuk mengendalikan emosi. 6. Langkah Bantuan : Memberikan pemahaan durasi waktu tiap tugas, memakai media gambar untuk bercerita, meminta anak mengulangi bercerita, menjelaskan kata-kata yang ditanyakan, sosial story, berlaatih bulu tangkis setiap hari jumat, berlatih mewarnai, sosial story mengenai perlunya menulis rapi dan mengarahkan anak untuk menulis sesuai dengan kotak yang ada, melatih anak bertukar bekal dengan teman, latihan bermain kelompok, strategi fisual, memberikan pemahaman dan mengingatkan anak tentang waktu mengerjakan tugas, memperbanyak latihan soal yang berkaitan dengan latihan berhitung, dan menulis. 176 7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Reguler 8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Menggambar dan berhitung 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Berulang-ulang 10. Interaksi antar siswa : Baik 3. Putra (Bukan Nama 1. Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi 2. Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain dan masih tergantung keadaan hati atau keinginan. Sebenarnya) 3. IIIC Kekuatan : Mampu menghafal pelajaran ilmu pengetahuan alam (science) dengan cepat dan secara spontan berlagak seperti guru menerangkan di depan kelas dengan percaya diri. 4. Kelemahan : Anak tidak mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman. Bahkan disaat ada kegiatan makan siang bersama, anak tidak dapat mengambil makanannya sendiri. Jika ada yang mengganggu cenderung marah, menangis, dan melempar. Jika diajak komunkasi dua arah, anak mampu menanggapi, tetapi memerlukan waktu yang lama. Anak tidak peka terhadap keadaan dan kejadian disekitarnya. Tidak bisa mengikuti pelajaran yang bersifat sosial, seperti ilmu pengetahuan sosial dan kewarganegaran, dimana dalam mata pelajaran tersebut berisikan norma-norma sosial dan aplikasinya dilakukan dalam masyarakat. 5. Kebutuhan : Pengulangan instruksi dan memahami instruksi. Memberi penjelasan setiap kalimat yang diterangkan. membutuhkan latihan untuk mengendalikan emosi, membutuhkan banyak latihan untuk memulai pembicaraan, mampu bermain bulu tangkis dengan baik, mewarnai dengan rapi, menulis dengan rapi dan sesuai dengan garis dan kotak, mengetahui cara bermain, mampu melaksanakan sholat lima waktu, mampu menata jadwal sendiri, mengetahui durasi waktu tiap tugas, membutuhkan latihan untuk mengendalikan emosi. 6. Langkah Bantuan : Setiap mata pelajaran sosial, guru pendamping harus mendampingi untuk mendefinisikan ulang setiap kalimatnya disertai dengan contohnya. Agar ana mengerti akan maksud dari mata pelajaran tersebut dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan seharihari 7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Modifikasi dengan penambahan jam pelajaran sosial dan kewarganegaraan 177 8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Menerangkan tentang science 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Berulang-ulang 10. Interaksi antar siswa : Baik 4. Nanda (Bukan Nama Sebenarnya) 1. Jenis Kecacatan : Celebral Palsy 2. Perilaku di Sekolah : Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi dengan siswa non-difabel 3. Kekuatan : Menonjol di mata pelajaran seni, khususnya menyanyi 4. Kelemahan : Pada mata pelajaran matematika memiliki ketertinggalan, dikarenakan setelah operasi kaki, sering tidak masuk, sehingga membutuhkan guru pendamping khusus pada mata pelajaran matematika IIIC 5. Kebutuhan : Memberikan tambahan pembelajaran berhitung 6. Langkah Bantuan : Pada mata pelajaran matematika, avisa menggunakan sistem pull out, dimana dia ditarik dari kelas untuk ditempatkan diruang khusus dengan guru pendamping dan guru lainnya yang khusus mata pelajaran matemtika. Dalam ruangan tersebut anak diberikan pelajaran lebih detail daripada teman-temannya. 7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Modifikasi dengan menambah jam pelajaran matematika 8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Baik 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Tidak Berulang-ulang 10. Interaksi antar siswa : baik 5. Iman (Bukan Nama Sebenarnya) IVA 1. Jenis Kecacatan : Learning Disability (Gangguan Belajar) 2. Perilaku di Sekolah : Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi dengan siswa non-difabel 3. Kekuatan : Anak mau menyelesaikan tugas yang diberikan guru kelas. Anak tidak cepat putus asa apabila tidak bisa, anak semangat dalam mengerjakan tugas sampai selesai. Motorik kasar : anak dapat menari dengan lincah, pandai mengolah tubuh. Tulisan anak bagus. Suka dipelajaran bahasa jawa, khususnya tokoh-tokoh pewayangan. Paham konsep perkalian meskipun masih menghitung secara penambahan dengan jari. Bagus dalam bersosialisasi. Tidak nudah tersinggung walaupun diejek teman saat dia tidak bisa. Disiplin 178 terhadap peralatan sekolah (berusaha menghubungi rumah saat buku paket/ peralatan sekolah tertinggal dirumah, berusaha meminjam alat ke kelas lain sementara anak belum membeli). Pandai menari. Mudah dalam menghafal ayat Al-Quran. 4. Kelemahan : Kurang memahami instruksi tugas dalam buku. Kurang konsentrasi. Motorik halus: anak lama dalam menulis, menulis sangat pelan karena posisi menulis anak terlalu ditekan sehingga anak gampang capek. Pemahaman dalam menerima materi kurang. Sulit menghafal dalam kalimat yang panjang. Penggunaan huruf kapital dalam menulis belum sesuai (imam, jL. Merapi). Anak kesulitan menghitung perkalian yang lebih besar. Belum memahami konsep pembagian. Manja(meminta sesuatu harus terpenuhi saat itu juga, keinginan yidak bisa ditunda). Hampir setiap mata pelajaran selalu ijin ke kamar mandi sehingga mengakibatkan ketertinggalan materi yang disampaikan guru. Sering keliru dalam membaca huruf hijayah. Panjang dan pendek membaca belum benar. 5. Kebutuhan : Pengulangan instruksi. Tugas cepat selesai. Latihan senso motorik. Peyederhanaan materi. Pengulangan materi. Mudah menghafal. Latihan menulis sesuai kapital. Menghafal perkalian. Memahami konsep pembagian. Menahan diri. Tidak terlalu sering kekamar mandi. Selalu mengasah keterampilan dalam menarinya. Benar dalam membaca huruf Al-Quran beserta panjang pendeknya. 6. Langkah Bantuan : Pengulangan instruksi. Peyederhanaan instruksi. Mengingatkan anak untuk konsentrasi. Melatih konsenntrasi dengan permainan jumbopas/logika. Terapi okupasi. Belajar dengan mind maping. Merangkum dan mengemas materi. Pelajaran dengan permainan. Mengemas hafalan dengan permainan (cth: komponen peta:judul, skala menjadi jusuf kala). Memberikan pemakaian huruf kapital, praktik saat mencatat, memberi reward saat penggunaan huruf kapital benar. Memberi hafalan perkalian. Memberi teknik perkalian dengan jari secara bertahap. Mengajarkan konsep pembagian adalah kebalikan dari perkalian. Tidak memberikan apa yang diinginkannya. Dibolehkan ijin kekamar mandi saat pergantian jam pelajaran. Mengikut sertakan dalam sanggar tari. Mencari info lomba-lomba. Latihan membaca iqro minimal 2lembar per hari. 7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Modifikasi dengan menambah jam pelajaran matematika 8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Menari 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Tidak Berulang-ulang 10. Interaksi antar siswa : Baik 179 6. Tian (Bukan Nama Sebenarnya) 1. Jenis Kecacatan : Celebral Palsy dan Gangguan sosialisasi 2. Perilaku di Sekolah : Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi. 3. Kekuatan : Mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Mampu berinteraksi dan bersosialisasi. 4. Kelemahan : Malu ketika bersalaman dengan guru maupun teman non-difabel, karena keadaan tangan kanan kecil. Dalam mata pelajaran IVA ketrampilan, mengalami kesulitan, karena tangan susah untuk digunakan menggunting, menempel, dan melipat. Dalam kesehariannya yang aktif adalah tangan kirinya. 5. Kebutuhan : Memberikan pendampingan pada mata pelajaran matematika 6. Langkah Bantuan : Pada mata pelajaran matematika, anak tetap berada diruang kelas bersama teman-temannya, hanya didampingi oleh guru pendamping. 7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Reguler 8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Taekwondo 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Tidak Berulang-ulang 10. Interaksi antar siswa : Baik 7. Ian VI 1. Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi 2. Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Hanya mampu berinteraksi dengan orang-orang yang disukainya. 3. Kekuatan : Anak mampu mengerjakan tugas yang diberikan dengan instruksi secara lisan baik dari guru kelas maupun guru pendamping. Pemahaman instruksi baik. Bahasa reseptil: penggunaan bahasa sederhana anak akan mengerti maknanya. Bahasa ekspresif: anak mampu mengungkapkan bahasa ekspresif misalnya saat perasaan anak sedang senang dan sedih, anak menginginkan sesuatu, anak marah; baik dengan ucapan atau sikap. Apabila anak diajak berkomunikasi dua arah, anak mampu menanggapi dan menjawab dengan benar. Motorik halus: anak mampu menulis dengan rapi tanpa keluar garis, mampu membuat table dengan garis yang lurus serta ukuran yang benar, mampu menggambar, mewarnai mandiri tanpa keluar garis. Motorik kasar: anak mampu melompat, menggerakan tangan dan kepala secara bergantian dalam 1x hitungan, menekuk lutut untuk menjaga keseimbangan, melempar, berputar 180 berlari; meskipun gerakan masih kaku. Secara umum kemampuan akademis sama dengan anak lainnya kecuali pada pelajaran matematika. Anak hafal perkalian 1dan 2. jika anak diajak komunikasi dua arah anak mampu menanggapi dan menjawab dengan lancar dan benar. Anak mau berteman dengan anak yang bisa menanggapi ceritanya (anak mudah akrab dengan orang lain meskipun belum kenal). Anak sudah mampu mencuci peralatan makan yang kotor dan membersihkan bagian yang kotor pada pakaian. Anak mau mengakui kesalahan secara jelas ketika bersalah dan patuh terhadap konsekuensi yanga telah disepakatinya. Anak sangat pandai menghafal lyric lagu dalam waktu yang relatif singkat dan mampu menyanyikan nya dengan nada yang tepat. Anak banyak hafal suratsurat pendek. 4. Kelemahan : Anak masih menolak jika mengerjakan soal dan catatan dalam jumlah yang terlalu banyak (lebih dari 10 soal). Anak masih malas jika harus menulis dengan waktu yang cepat. Anak selalu menulis catatan dalam bentuk yang lebih ringkas dan yang ditulis oleh guru. Anak belum mengerti tahapan mengerjakan soal UASBN. Bahasa reseptif: penggunaan kata dalam penulisan naskah drama, pidato maupun laporan pengamatan belum mengrti maknanya seperti(kronologis, tenaga medis, penghijauan, antagonis, prolog, berkenaan, intonasi, lafal). Bahasa ekspresif yang diucapkan terkadang tidak tepat. Anak lebih sering menjawab pertanyaan ketika ditanya, tetapi anak jarang untuk memulai pertanyaan. Anak masih membutuhkan waktu yang lama untuk menulis. Anak belum bisa mengikuti irama kecepatan gerakan kelompok. Anak belum hafal perkalian 3dan 4. anak belum tahu konsep pembagian 2 secara tepat. Anak belum mampu menulis dengan menggunakan kaidah EYD terutama dalampenulisan naskah drama, pidato, dan laporan pengamatan. Anak hanya mau berteman dengan anak yang memiliki sesuatu yang menarik inatnya dan bisa menanggapi cerita dan khayalannya. Anak silit menerima perubahan. Anak belum mengerti cara mencuci baju dengan benar. Anak masih mengulang kesalahan yang sama meskipun anak sudah meminta maaf dan mengaku jera. Anak belum mau langsung kekelas bila telah tiba di sekolah. 5. Kebutuhan : Modifikasi soal terutama soal matematika. Membutuhkan waktu lama untuk menulis. Membutuhkan point penting dari catatan guru dipapan tulis. Pemahaman tahapan (langkah-langkah ) mengerjakan soal UASBN. Membutuhkan lebih banyak kosa kata dan kata-kata kiasan, ungkapan dan istilah dalam penulisan naskah drama, pidato dan laporan pengamatan. Membutuhkan latihan untuk menggunakan bahasa ekspresif yang tepat. Membuthkan banyak latihan intuk memulai bertanya. Banyak latihan motorik halus. 181 Membutuhkan lebih banyak olahraga brkelompok dengan irama gerakan mengikuti kelompok secara bersama-sama. Membutuhkan banyak latihan perkalian 3 dan 4. Membutuhkan banyak latihan menghafal pembagian 2. Anak masih membutuhkan waktu yang lama dalam pembagian. Latihan menulisa menggunakan penulisan kalimat pada naskah pidato, drama, dan laporan pengamatan menggunakan EYD. Membutuhkan latihan bersosialisasi dengan teman antar kels. Butuh lebih fleksibel dalam menerima perubahan. Latihan mencuci baju dengan benar melipiti penggunaan air, sabun, sampai tatacara yang benar untuk mengucek. Anak masih membutuhkan pemahaman perilaku yang baik dan buruk. Anak membutuhkan motivasi untuk mau langsung ke kelas bila telah tiba di sekolah. Penyaluran potensi atau bakat yang sesuai. Hafalan surat pendek Al-Qur’an. 6. Langkah Bantuan : Memberikan tugas secara bertahap. Tidak perlu menulis soal dan membuat / mempunyai catatan hanya jika pada kondisi anak benar-benar tidak mau menulis. Sesekali guru pendamping menuliskan jawaban maupun catatan dari anak. Guru pendamping membacakan poin penting dari catatan guru kelas. Social story mengenai tahapan mengerjakan soal UASBN. Lebih banyak menambah kosa kata dan kata-kata kiasan, ungkapan dan, istilah dalam kalimat terutama dalam naskah drama, pidato, dan laporan pengamatan. Latihan bermain peran dengan berbagai eatak. Memberikan kesempatan kepada anak untuk memulai bertanya dengan media tulis, missal: melakukan wawancara sederhana dengan guru (menanyakan hobby, alamat, dan lainya). Memberikan latihan motorik halus (meremas kertas, permainan boneka tangan atau boneka jari, bermsin lempsr tsngkap bola, latihan menjimpit kelerang satu per satu di lantai, dan lainya). Memberikan reward pada saat anak mau berolah raga berkelompok. Memberi latihan lari haling rintang. Latihan menghafal perkalian dengan bantuan media audio(missal: mendengarkan rekaman hafalan perkalian dari suaranya sendiri). Latihan belajar menghafal pembagian dengan bantuan media visual (misal: kartu table pembagian secara acak bertahap dan kartu pembagian seperti domino) dan media audio seperti perkalian. Memberikan latihan menulis kalimat naskah pidato, drama, dan laporan pengamatan sesuai dengan aturan EYD. Latihan bersosialisasi yang baik dengan teman. Sosialisasi awal (memberikan penjelasan) sebelum adanya perubahan bagi dirinya. Membimbing anak ketika memperaktikan mencuci baju. Pemberian reward dari konsekuensi pelanggaran. Pembiasaan dan pemberian pemahaman etika siswa yang disiplin ketika tiba disekolah. Mengikutsertakan anak dalam kompetisi / perlombaan yang mengembangkan bakatnya (pada waktu-waktu tertentu) membuat rekaman lagu-lagu dengan bahasa 182 daerah, nasional, maupun asing. Mengulang hafalan surat-surat pendek dalam juz30 agar terjaga hafalanya. Iqra 3 mulai halaman 36 sampai tamat. 7. Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : 8. Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : 9. Komunikasi Guru terhadap Siswa : Berulang-ulang 10. Interaksi antar siswa : Baik Sumber : Data Primer, April 2010 183 2. PROSES DAN POLA INTERAKSI SOSIAL SISWA DIFABEL DENGAN SISWA NON DIFABEL DAN SISWA DIFABEL DENGAN GURU Siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki berbagai macam keterbatasan, antara lain yaitu keterbatasan fisik (Celebral Palsy), autisme, serta gangguan bersosialisasi dan berinteraksi. Siswa difabel pada umumnya dan apapun jenis gangguan yang dimilikinya, mereka memiliki keterbatasan dalam berinteraksi dan bersosialisasi, terutama bagi siswa difabel autisme. Pada umumnya mereka merasa minder, tidak percaya diri dan terbelakang. Siswa difabel penyandang autis sering dikira tuli oleh orangtuanya karena tidak bereaksi apabila dipanggil. Sejalan dengan pertambahan usia, anak lebih senang sendiri, tidak tertarik pada anak lain atau anggota keluarga yang lain, tidak responsif terhadap isyarat sosial seperti kontak mata atau senyuman. Sering tidak ada perilaku melekat dan kegagalan yang relatif awal pada pertalian dengan orang tertentu. Anak sering tidak mampu membedakan orang yang paling penting dalam kehidupannya, seperti orangtua, saudara dan guru bahkan hampir tidak menunjukkan rasa cemas saat perpisahan bila ditinggal dalam lingkungan yang asing dengan orang asing, juga lemah dalam respon timbal balik. 2.1 Keterbatasan dalam berinteraksi sosial, antara lain sebagai berikut : a. Penyandang autistik lebih suka menyendiri Anak penyandang autis hanya akan asyik dengan dirinya sendirinya dan mainannya tanpa merespon keberadaan orang lain di sekitarnya. Tetapi akan marah apabila mainannya diambil atau diganti 184 dengan benda lain dan berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankan miliknya. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Karmita selaku orang tua murid Putra, seperti berikut ini: “Anak saya Putra lebih suka menyendiri dirumah dan saat diterapi diberikan bunyi-bunyian kerincingan di belakang kepalanya dia tidak langsung menengok, tetapi tangannya yang langsung meyambar tanpa harus melihat, dia juga asyik memegang mainannya tanpa menengok kesana kemari dan tidak memperdulikan keadaan sekitar.” (Minggu, 11 April 2010). b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan Kontak mata (eye contact) adalah kejadian ketika dua orang melihat mata satu sama lain pada saat yang sama. Kontak mata merupakan salah satu bentuk komunikasi non verbal yang disebut okulesik dan memiliki pengaruh yang besar dalam perilaku sosial. Frekuensi dan arti kontak mata sering bervariasi dalam berbagai budaya manusia. Kontak mata dan ekspresi wajah memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan sosial dan perasaan, orang-orang tanpa sengaja sering memperhatikan mata orang lain untuk menduga perasaan orang tersebut. Melalui kontak mata, seseorang juga dapat memeriksa apakah lawan bicara memperhatikannya, dan apakah lawan bicara setuju dengan pembicaraannya. Dalam beberapa konteks, pertemuan mata sering membangkitkan perasaan yang kuat. Kontak mata juga penting dalam mendekati lawan jenis, karena dapat mengukur ketertarikan satu sama lain. 185 Selain itu anak penyandang autisme mempunyai gangguan kemampuan bersosialisasi terutama ditandai oleh minimal atau tidak adanya kontak mata. Atau pandangan matanya ada tetapi kualitasnya tidak lekat. Sekilas sepertinya pandangan dia menembus mata kita, tetapi dia seakan-akan melihat ke arah sesuatu yang berada antara kita dan dia. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Isna selaku guru pendamping Putra adalah sebagai berikut : “Putra kalau diajak ngobrol atau bersalaman selalu tidak mau menatap orangnya, pasti wajahnya berpaling kesana kemari tidak fokus. Begitupula disaat pelajaran berlangsung, kurang memperhatikan ketika guru memberikan materi pembelajaran. Tatapan matanya sering kosong dan seperti orang melamun, serta selalu berimajinasi. Ekspresi wajahnya juga tidak dapat ditebak apakah dia sedang sedih atau senang, kesannya datar dan tidak berekspresi. Kadang ketawa-ketawa sendiri, kadang menangis sendiri, tapi hal itu belum bisa menandakan bahwa dia tersenyum karena senang atau menangis karena sedih.” (Selasa, 23 Maret 2010). c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman Dia cenderung bermain sendiri dan tidak tertarik untuk bermain dengan taman-teman lainnya, atau seandainya kita masukkan dalam kelompok teman sebaya dia akan asyik bermain sendiri dan tidak mau bermain bersama. Sehingga kalau dibiarkan dia akan menikmati dan asyik bermain sendiri. Kadang-kadang ada yang menangis dan tertawa tanpa sebab. Anak penyandang autisme biasanya tidak bisa bermain yang sifatnya resiprokal (timbal balik) dengan teman-teman sebayanya, jadi bentuk permainan yang dilakukannya hanya searah. Misalnya hanya mengejar terus dan tidak paham apa yang harus 186 dilakukan kalau dikejar, sering hanya menjadi pengikut karena mereka tidak mampu memulai suatu permainan. Mereka sering tidak paham dengan permainan yang bersifat giliran. Anak minimal harus memiliki satu gejala dari kelompok ini untuk dapat di diagnosis penyandang autisme. Hal ini ditunjukkan oleh sikap Putra, seperti berikut ini : “Dimana saat teman-temannya bermain sepakbola, dia hanya diam saja disudut lapangan sambil asyik makan semangka, dan ketika ada bola didekatnya, maka didiamkan saja, acuh terhadap teman yang menghampirinya, dan tidak perduli dengan teman-teman yang sedang bermain sepakbola.” (Observasi, Jumat, 5 Maret 2010 ). d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh, seperti yang dilakukan oleh Ian berikut ini : “Ketika jam istirahat, Ian suka menyendiri ke ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), padahal temanteman yang lain asyik bermain, tetapi Ian tidak mau bermain bersama, bahkan Ian lebih nyaman sendirian di ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dan makan dengan tenang.” (Observasi, Jumat, 5 Maret 2010 ). e. Ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak-gerik sangat kaku, tidak ada timbal balik sosial atau emosional, tidak memiliki ekspresi emosional. Hal ini terlihat pada ekspresi wajah yang biasa saja ketika bertemu ibunya ataupun ketika digendong oleh bapaknya, seperti yang dilakukan oleh Ian berikut ini “Saat menghadiri acara lomba bagi siswa difabel pada hari Minggu, 11 April 2010 di Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari, yang dilaksanakan oleh PT. Raka Perkasa, Ian dari awal ia datang pukul 08.00 WIB hingga gilirannya maju pentas ke panggung pada pukul 12.00 WIB, ia hanya duduk diam saja, dan dibelai oleh ayahnya, sama sekali tidak ada reaksi, hanya diam saja. Ian mengobrol juga tidak sering hanya sepatah atau dua patah kata saja. Ian selalu didampingi oleh kedua orang tuanya ketika menghadiri acara-acara perlombaan bagi siswa difabel di Kota Surakarta.” (Observasi, Minggu, 11 April 2010). 187 Pada masyarakat tertentu, sosialisasi terjadi hampir selama masa bayi dan anak-anak saja. Misalnya pada masyarakat yang primitif dan mempunyai sistem sosial yang tertutup dan tidak banyak perubahan dalam teknologi. Dalam masyarakat modern, sosialisasi terus berlangsung selama proses sosialisasi keluarga. Unsur penting lainnya yang berpengaruh terhadap perilaku sosial adalah termasuk teman, televisi, film dan berbagai macam bahan bacaan. Dalam kelangsungan hidupnya manusia tidak dapat hidup secara sendiri, tetapi dia memerlukan hidup bersama dengan orang lain. Hidup bermasyarakat adalah syarat mutlak bagi manusia supaya ia dapat menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya. Dalam bersosialisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Sifat dasar Sifat dasar adalah keseluruhan potensi yang diwarisi oleh orangtuanya atau lebih cenderung disebut sebagai sifat keturunan. 2. Lingkungan prenatal Lingkungan prenatal adalah lingkungan sebelum dilahirkan yaitu sejak dalam kandungan. Lingkungan prenatal itu embrio mendapat pengaruh dari ibu secara tidak langsung. 3. Perbedaan individu Perbedaan individu adalah perbedaan-perbedaan yang ada pada individu, meliputi ciri-ciri fisik, mental dan emosional, personal dan sosial. 4. Lingkungan Lingkungan adalah kondisi yang mengelilingi individu yang mempengaruhi proses sosialisasi. 5. Motivasi Motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu yang didorong oleh keinginan baik dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya. 188 Walaupun bukan satu-satunya gejala utama pada difabel, tetapi pada kenyataannya gangguan interaksi dan sosialisasi ini terdapat pada hampir seluruh penyandang autis, termasuk pada siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta, yaitu pada Putra dan Ian, yang merupakan informan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan maka peneliti menyajikan matriks tentang keterbatasan, gangguan interaksi dan sosialisasi pada siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta : 189 Matriks 3.2 Keterbatasan Siswa Difabel dalam Berinteraksi Sosial N o Nama Siswa 1. Rahman (Bukan Nama Sebenarnya) Abdul (Bukan Nama Sebenarnya) Putra (Bukan Nama Sebenarnya) 2. 3. 4. 5. 6. Nanda (Bukan Nama Sebenarnya) Iman (Bukan Nama Sebenarnya) Tian (Bukan Nama Sebenarnya) Jenis Gangguan Keterbatasan Siswa dalam Berinteraksi Sosial Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi Siswa jarang memberikan respon atau tanggapan. Celebral Palsy Siswa tidak mengalami masalah dalam berinteraksi Gangguan Belajar Siswa tidak mengalami masalah dalam berinteraksi Celebral Palsy dan Gangguan sosialisasi Siswa tidak percaya diri Siswa jarang memberikan respon atau tanggapan. Siswa jarang memberikan respon atau tanggapan. 190 Gangguan Interaksi dan Sosialisasi Siswa Difabel Cenderung menyendiri dan pasif dalam berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain. Cenderung menyendiri dan pasif dalam berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain. Cenderung menyendiri dan pasif dalam berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain dan masih tergantung keadaan hati atau keinginan. Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi dengan siswa non-difabel Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi dengan siswa non-difabel, hanya saja mengalami gangguan belajar pada mata pelajaran tertentu sehingga disaat kegiatan belajar berlangsung, siswa tidak fokus terhadap pelajaran yang ada. Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi dengan siswa non-difabel 7. Ian (Bukan Nama Sebenarnya) Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi Siswa jarang memberikan respon atau tanggapan. Sumber : Data Diolah, Mei 2010 191 Cenderung menyendiri dan pasif dalam berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain. Hanya mampu bersosialisasi dan berinteraksi dengan orangorang tertentu. Hanya memiliki rasa takut dengan Kepala Sekolah, wali kelas, ketua PUSPA dan ibunya. 2.2 Perilaku yang mencerminkan gangguan interaksi dan sosialisasi, antara lain : a. Stereotipik Gerakan stereotipik adalah gerakan motorik kasar tidak wajar yang dilakukan berulang-ulang. Para ahli menyebutkan bahwa gerakan stereotipik merupakan gejala utama dari anak difabel. Hampir seluruh penyandang autis memiliki gerak stereotipik. Biasanya anak penyandang autis memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/ berjalan bolak balik, melakukan gerakan yang diulang-ulang. Keadaan ini dapat berkurang pada situasi yang lebih terstruktur (tetap). Karena anak penyandang autis tidak tahan dalam situasi transisi atau perubahan. Pindah ke rumah baru, memindahkan perabotan rumah tangga dalam ruangan dan makan pagi sebelum mandi apabila merupakan kebalikan dari rutinitas, dapat menyebabkan penyandang autis menjadi cemas, tegang, panik atau temper tantrum (ngadat, marah, menangis sambil berguling-guling). Seperti yang dilakukan oleh Putra, yaitu ketika dia berjalan kaki, suka bertepuk tangan sendiri, bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, dan melakukan gerakan-gerakan yang berulang-ulang. Juga yang dilakukan oleh Ian yaitu ketika dia berjalan, gerakannya sangat kaku, mata hanya memandang kedepan kesatu arah saja dengan berbicara sendiri. 192 Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Karmita selaku orang tua Putra, berikut ini : “Dulu waktu sebelum saya tahu bahwa anak saya memiliki gangguan autis, pada umur 2 tahun setelah dia bisa berjalan, dia selalu aktif berjalan kesana kemari hingga keliling perumahan. Saya punya pembantu selalu tidak krasan, slalu ganti pembantu hanya karena mereka tidak sanggup mengurus Putra. Putra sangat aktif tidak bisa diam. Dinasehati marah, anaknya semaunya sendiri. Dia suka jalanjalan berkeliling perumahan berkali-kali sambil menyanyi sendiri, bertepuk tangan sendiri, berputar-putar kayak burung ditengah jalan. Yang saya tau ya hal itu wajar karena anak saya senang melakukan hal tersebut setiap harinya.” (Wawancara, Minggu, 11 April 2010). b. Hiperaktif atau Hipoaktifitas Hiperaktif atau sering disebut juga sebagai Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas (GPPH) adalah gangguan perilaku yang sering terjadi pada anak ditandai dengan perilaku motorik yang berlebihan, sehingga rentang perhatiannya pada sesuatu sangat buruk. Penyebabnya adalah gangguan di otak bagian depan yang disebut lobus frontalis dan sekitarnya, yang mengontrol proses berpikir dan yang mempengaruhi perilaku anak. Faktor genetika juga diduga berpengaruh kuat, karena 90% dari saudara kembar anak GPPH juga menyandang kelainan yang sama. Disamping faktor genetika, juga ada faktor pemicu lainnya, yaitu berat badan lahir yang kurang, gangguan pernapasan bayi pada saat lahir, keracunan dalam rahim dan trauma kepala. 193 Pengobatan GPPH adalah pengobatan jangka panjang. Beberapa anak memerlukan obat-obatan untuk memperbaiki gangguan neurotransmitternya. Tetapi bisa juga dengan terapi perilaku yang berbeda-beda dan terapi musik yang dapat membantu menenangkan hiperaktivitas dan impulsivitas anak. Pengobatan ini pernah dilakukan oleh Ibu Karmita selaku orang tua siswa di AFIS Colomadu. Ibu karmita menyatakan bahwa: “Saya pernah mengajak Putra untuk melakukan terapi pertama kali di AFIS Colomadu oleh dokter Prasetyo. Disana Alif diterapi diberikan bunyi-bunyian kerincingan di belakang kepalanya, dia tidak langsung menengok arah suara, tetapi tangannya langsung menyambar kerincingan tersebut tanpa menengok ke arah belakang.” (Wawancara, 11 April 2010). Siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus tidak ada yang hiperaktif, perilaku siswa di sekolah biasa saja dan mampu berinteraksi sosial dengan teman-teman non-difabel. Ada beberapa siswa autis yang lebih bersikap hipoaktif, yaitu memiliki tingkat aktivitas yang rendah. Hipoaktifitas sering diartikan dimana seorang anak yang dalam melakukan kegiatan yang sangat minim atau kurang. Bahkan ada yang tidak melakukan kegiatan sama sekali. Anak difabel khususnya penyandang autis lebih banyak mengalami gangguan perilaku hiperaktifitas dibanding hipoaktifitas. Hipoaktifitas terjadi pada Rahman, hal ini sesuai pernyataan Ibu Uswahyu berikut ini : “Ketika dia tidak diajak bermain dahulu, maka dia akan tetap diam dikelas, tetapi jika dia diajak bermain, dia hanya mengikuti temantemannya saja, tidak memiliki respon yang bagus dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-temannya.” (Wawancara, Selasa 23 Maret 2010). 194 c. Temperamental dan Menyakiti diri sendiri Beberapa difabel menunjukkan perubahan emosional yang tibatiba, tanpa sebab yang jelas mendadak tertawa atau terjadi ledakan tangis. Kadang-kadang anak selain agresif terhadap orang lain juga menyakiti dirinya sendiri. Anak sering menyerang orang lain, membentur-benturkan kepalanya ke tembok, memukul-mukulkan tangannya ke kepala, membanting kursi, mengambil pisau, seperti yang dilakukan oleh Ian yang memiliki kecenderungan emosi tidak terkontrol dan hanya tergantung mood atau perasaan. “Pernah pada saat jam istirahat Ian pergi ke dapur untuk mengambil pisau, kemudian ditanya oleh guru, “buat apa ambil pisau? Ian menjawab buat bunuh temannya karena jengkelin.” Selain itu juga pernah terjadi kejadian Ian ke luar kelas mengambil batu buat melempar temannya yang ada di kelas karena suka menggodanya.” (Wawancara, Selasa, 23 Maret 2010). Adapun sikap membanting kursi yang dilakukan oleh Putra, menurut penuturan Ibu Karmita selaku orang tua murid, seperti berikut ini: “Waktu Taman Kanak-kanak (TK) saya pernah dipanggil oleh Kepala Sekolah Putra, karena Putra pernah melempar kursi ke temannya, karena teman-temannya Putra mengejek dia. Tetapi Putra sendiri tidak pernah mau menceritakan segala kegiatannya di sekolah kepada saya. Putra sifatnya sangat tertutup bahkan dengan saya sekalipun. Dia lebih suka menceritakan hal-hal yang bisa menyenangkan hati saya, tetapi pintar menyembunyikan hal-hal yang tidak saya sukai.” (Wawancara, Minggu, 11 April 2010). d. Gangguan koordinasi motorik Gangguan koordinasi motorik mengakibatkan anak difabel mempunyai kesulitan dalam mengkoordinasikan atau menyelaraskan gerakan-gerakan motorik dalam tubuhnya. Elisabeth B. Hurlock mengungkapkan bahwa hal ini mungkin timbul dari kerusakan otak pada 195 waktu lahir atau kondisi pra lahir yang tidak menguntungkan. (Hurlock, 1991 : 164). Gangguan koordinasi motorik ini terjadi pada Tian seperti yang diungkapkan oleh Ibu Trisno, selaku orang tua murid, yang menyatakan bahwa : “Pada Tian, kerusakan otak saraf pada waktu kondisi pra lahir menyebabkan tangan kanannya kecil sebelah, atau tidak seimbangnya fisik tangan kanan dan tangan kiri, sehingga dalam mengerjakan pekerjaan yang menggunakan tangan kanan, Tian mengalami kesulitan.” (Wawancara, Minggu, 11 April 2010). Berdasarkan data dan informasi yang peneliti peroleh dilapangan maka berikut ini peneliti menyajikan matriks tentang gangguan interaksi sosial siswa difabel yang penjelasannya telah diuraikan diatas : 196 Matriks 3.3 Gangguan Interaksi dan Sosialisasi pada Siswa Difabel Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta Macam Gangguan Interaksi dan Sosialisasi 1. Stereotipik Rahman Abdul Putra Nanda Iman Tian Ian V V V V PASIF PASIF PASIF V V X X X V X V V V V X V X V X V V V V X V X V X V V V V X X X V X V V X X X X X X X V X X X V 2. Hiperaktif atau Hipoaktif X X X X X X X V X X X V V V V V V V V V X X X V V V X X X 3. Tidak suka pada perubahan 4. Duduk bengong dengan tatapan kosong 5. Minat dan aktivitas yang terbatas 6. Temperamental 7. Menyakiti diri sendiri 8. Gangguan koordinasi motorik 9. Seperti tidak mengenal takut 10. Lebih suka menyendiri 11. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan 12. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman 13. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh 14. Ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak - gerik sangat kaku Sumber : Data Diolah, Mei 2010 197 PASIF PASIF V V X V X V X V V V V V 2.3 Proses interaksi sosial. Menurut Herbert Blumer proses interaksi sosial adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process. Proses interaksi sosial seperti yang diungkapkan oleh Herbert Blumer tidak serta merta terjadi pada siswa Ian, Putra, Rahman Miftahurrahman, Abdul Abdul KhPutraatulloh, dan Iman, melainkan melalui proses yang cukup panjang dimana mereka dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Proses yang cukup panjang tersebut salah satunya dilakukan melalui bidang pendidikan, yaitu pembelajaran ke arah kemandirian di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta, dengan peran guru, orang tua dan temantemannya yaitu siswa non-difabel yang sangat dibutuhkan. Konstruksi tentang interaksionisme simbolik dan aksi bagi siswa difabel autisme sangat melekat pada diri masing-masing siswa. Setiap siswa memiliki karakter yang berbeda-beda dan mereka memiliki sifat individual yang kemudian sulit untuk dikembangkan dan diaplikasikan ke dalam 198 sebuah interaksi. Seperti yang terjadi pada Ian, hal ini diungkapkan oleh Ibu Ida selaku wali kelas Ian bahwa: ”Ian itu kalo ada mata pelajaran yang tidak dia sukai, dia akan keluar sekolah. Ketika ada pelajaran praktek yang membutuhkan kerjasama kelompok, Ian tidak bisa mengambil peran di dalam sebuah kelompok. Ian hanya membawakan bahan praktikum saja, kemudian saat kerja kelompok, Ian hanya jalan mondar-mandir dan bertindak sesukanya, tanpa memperdulikan pekerjaan kelompoknya. Ketika istirahat pun Ian hanya senang jajan kemudian dibawa ke ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Sifat semau gue yang hingga sekarang ada pada diri Ian, bahkan sangat jarang Ian mau mengobrol dengan teman-temannya. Seperti kebanyakan penderita autis, bahwa Ian lebih suka mengobrol dengan dirinya sendiri dan memaksa orang lain yang ikut mengobrol dengannya harus mengikuti kearah mana obrolan Ian mengarah. Ian lebih memiliki imajinasinya sendiri dan orang lain bahkan tidak mampu mengikuti arah imajinasinya itu” Adapun penuturan Bapak Joko selaku guru matematika Putra berkaitan dengan proses interaksi sosial Putra menyebutkan bahwa : ”Jika ada sesuatu hal yang tidak sesuai dengan kemauan dirinya, Putra cenderung berteriak dan lari keluar kelas tanpa memperdulikan teman-teman bahkan guru yang ada di kelas tersebut. Putra juga sering menari-nari sendiri, menyanyi sendiri, tertawa sendiri, atau tiba-tiba menangis sendiri. Teman-teman yang semula tidak menyadarinya sering mengejek, tetapi lama kelamaan siswa nondifabel harus mampu untuk memberikan toleransi kepada Putra dalam seluruh tindakannya. Putra lebih suka berinteraksi dengan dirinya sendiri melalui gerakan-gerakan yang dia mainkan.” (Selasa, 2 Maret 2010) Berbeda pada kasus yang dialami oleh Rahman dan Abdul, yaitu bahwa mereka bersikap pasif, dimana saat pembelajaran dimulai, mereka hanya diam dan tidak mampu untuk bertanya meskipun mereka ingin bertanya, tetapi tidak tahu apa yang akan ditanyakan. Jika disuruh menjawab mereka bisa tetapi untuk merespon atau memulai pertanyaan kembali 199 mereka tidak bisa. Sehingga tidak terjadi interaksi karena komunikasi hanya terjadi satu arah saja, yaitu dari guru ke siswa difabel maupun dari siswa non-difabel ke siswa difabel saja. Di sekolah inklusif Sekolah Dasar Al Firdaus, baik siswa difabel maupun siswa non-difabel, tidak ada yang saling mendominasi satu sama lain. Walaupun mayoritas siswa adalah siswa non-difabel, tetapi interaksi sosial yang terjalin sangat baik, bahkan dalam hal prestasi, siswa difabel mampu bersaing dengan siswa non-difabel. Berlangsungnya proses interaksi sosial didasarkan pada berbagai faktor antara lain : 5. Imitasi Salah satu segi positif dari faktor imitasi adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidahkaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Bentuk imitasi yang diterapkan oleh para guru yaitu selalu memberikan contoh yang konkrit dalam setiap kegiatan belajar mengajar melalui masingmasing guru pendamping. Contoh konkrit tersebut bisa berupa guiding block, gambar, lukisan, puzzle, maupun contoh yang langsung diberikan oleh guru pendamping. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut : “Imitasi yaitu memberikan contoh konkrit ini berlaku pada ke lima siswa difabel yaitu : Ian, Putra, Rahman, dan Abdul, dimana masing-masing siswa ini diberikan bentukbentuk imitasi yang berbeda. Jika Abdul dan Rahman lebih 200 ditekankan pada pemberian gambar-gambar maupun guiding block dan puzzle, untuk dapat lebih memperjelas pemahaman mereka terhadap mata pelajaran sosial dan science. Serta diberikan contoh sikap dan perilaku yang nyata, contohnya guru mempraktekan cara membeli maka harus memberikan uang. Dan jika pada Putra dan Ian yaitu memberikan contoh nyata sikap dan perilaku positif dalam bermasyarakat atau berperilaku sosial, karena Putra dan Ian kurang dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat. Dimana sikap mereka sangat kaku dan hanya bisa melakukan sesuai dengan patokan-patokan pada aturan-aturan yang ada.” (Selasa, 23 Maret 2010). 6. Sugesti Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Sugesti dilakukan untuk mensugesti kegiatan yang positif dalam setiap kegiatan pembelajaran agar siswa mau melakukan kegiatan positif tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku wali kelas Ian terkait faktor sugesti sebagai berikut : “Sugesti yang diberikan pada Ian contohnya setiap pembelajaran yang ada selalu sedikit dikaitkan dengan masalah dinosaurus, karena Ian menyukai dinosaurus. Tetapi pada mata pelajaran yang tidak dapat dihubungkan dengan dinosaurus, guru memberikan penjelasan yang menerangkan tentang dinosaurus tetapi dijauhkan dari mata pelajaran tersebut. Siswa Putra juga sering bertanya pada tema yang diluar mata pelajaran, maka guru memberikan sugesti-sugesti mengenai kebenaran dan realita yang ada tanpa menghilangkan imajinasi mereka.“ (Selasa, 23 Maret 2010). 201 7. Identifikasi Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) sebagai berikut : “Rahman dalam mengidentifikasi permasalahan hanya dapat dilakukan dengan cara menunjukkan gambar, cerita, maupun simbol-simbol yang lain. Sama juga halnya dengan Ian, Putra, Nanda, Iman, Abdul, dan Seeptian. Dimana tingkat identifikasi masing-masing siswa berbeda-beda. Jika Nanda, Iman, dan Tian kurang dapat mengidentifikasi permasalahan pada mata pelajaran matematika, berbeda halnya dengan Putra, Ian, dan Abdul, kurang mampu mengidentifikasi permasalahan pada mata pelajaran sosial yang berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar. Itulah manfaat dari seorang guru pendamping yaitu membantu siswa difabel dalam memahami mengidentifikasi setiap mata pelajaran yang ada.” (Selasa, 9 Maret 2010). 8. Proses simpati Simpati merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Proses simpati ini dilakukan oleh guru agar mampu mengambil hati para siswa difabel, agar menyenangi diri mereka sehingga mempermudah proses pembelajaran. 202 Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku wali kelas Ian, dimana beliau harus mampu memiliki rasa simpati kepada Ian agar Ian mau mendengarkan nasehat-nasehatnya. Seperti penuturan Ibu Ida berikut ini : “Rasa simpati saya ini bisa berupa punishment dan reward, ketika Ian tidak menuruti nasehat ibu Ida, maka Ian tidak akan mendapatkan hadian berupa lagu ”My Hearth Will Go On” yang disenangi oleh Ian. sehingga proses simpati sangat diperlukan oleh guru yang diperuntukkan siswa difabel agar mereka mampu berinteraksi dengan baik.” (Selasa, 23 Maret 2010). Dari data yang diperoleh di lapangan dan penjelasan tersebut diatas maka berikut ini peneliti menyajikan data matriks tentang proses interaksi sosial siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta : 203 Matriks 3.4 Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel No Nama Siswa 1. Rahman (Bukan Nama Sebenarnya) 2. Abdul (Bukan Nama Sebenarnya) Imitasi Guru memberikan contoh yang konkrit dalam kegiatan belajar mengajar melalui masing-masing guru pendamping, misalnya menggambar lukisan, puzzle, dan guiding block. Guru pendamping mendampingi Abdul pada pelajaran matematika. Dan Proses Interaksi Siswa Difabel Sugesti Identifikasi Guru memberikan sugesti Rahman dalam atau proses mempengaruhi mengidentifikasi yang bersifat positif bahwa permasalahan hanya dapat segala nasehat yang dilakukan dengan cara diberikan oleh guru adalah menunjukkan gambar, untuk kebaikan siswa itu cerita, maupun simbolsendiri. simbol yang lain. Maka Rahman memiliki seorang guru pendamping untuk membantu dalam memahami mengidentifikasi setiap mata pelajaran yang ada agar siswa mampu menerapkannya di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Guru memberikan sugesti Abdul kurang mampu atau proses mempengaruhi mengidentifikasi yang bersifat positif bahwa permasalahan pada mata 204 Simpati Guru dan teman-teman memiliki rasa simpati yang tinggi terhadap Rahman, dimana ketika berada di sekolah, guru memperlakukan Rahman lebih khusus daripada perlakuan terhadap siswa non-difabel. Teman-teman non-difabel pun juga memiliki rasa simpati yang tinggi terhadap Rahman, sehingga teman-temannya memiliki sikap tolongmenolong yang tinggi terhadap Rahman. Guru dan teman-teman memiliki rasa simpati yang tinggi terhadap Abdul, 3. Putra (Bukan Nama Sebenarnya) menerangkan serta memberi contoh dengan gambar lukisan, puzzle, dan guiding block segala nasehat yang diberikan oleh guru adalah untuk kebaikan siswa itu sendiri. Guru pendamping mendampingi Putra pada pelajaran sosial dan kewarganegaraan. Dan menerangkan serta memberi contoh dengan sikap dan gerakan tubuh (gesture) lebih dari satu kali dalam setiap bahasan Guru memberikan sugesti atau proses mempengaruhi yang bersifat positif bahwa segala nasehat yang diberikan oleh guru adalah untuk kebaikan siswa itu sendiri. 205 pelajaran sosial yang berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar. Maka Abdul memiliki seorang guru pendamping untuk membantu dalam memahami mengidentifikasi setiap mata pelajaran yang ada agar siswa mampu menerapkannya di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Putra kurang mampu mengidentifikasi permasalahan pada mata pelajaran sosial yang berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar. Maka Putra memiliki seorang guru pendamping untuk membantu dalam memahami mengidentifikasi setiap mata pelajaran yang ada agar siswa mampu menerapkannya di dimana ketika berada di sekolah, guru memperlakukan Abdul lebih khusus daripada perlakuan terhadap siswa non-difabel. Teman-teman non-difabel pun juga memiliki rasa simpati yang tinggi terhadap Abdul, sehingga teman-temannya memiliki sikap tolongmenolong yang tinggi terhadap Abdul. Guru dan teman-teman memiliki rasa simpati yang tinggi terhadap Putra, dimana ketika berada di sekolah, guru memperlakukan Putra lebih khusus daripada perlakuan terhadap siswa non-difabel. Teman-teman non-difabel pun juga memiliki rasa simpati yang tinggi terhadap Putra, sehingga temantemannya memiliki sikap tolong-menolong yang 4. Nanda (Bukan Nama Sebenarnya) Guru pendamping mendampingi Nanda pada pelajaran matematika. Dan menerangkan lebih dari satu kali dalam setiap bahasan. Guru memberikan sugesti atau proses mempengaruhi yang bersifat positif bahwa segala nasehat yang diberikan oleh guru adalah untuk kebaikan siswa itu sendiri. 5. Iman (Bukan Nama Sebenarnya) Guru pendamping mendampingi Iman pada pelajaran matematika. Dan menerangkan lebih dari satu kali dalam setiap bahasan. Guru memberikan sugesti atau proses mempengaruhi yang bersifat positif bahwa segala nasehat yang diberikan oleh guru adalah untuk kebaikan siswa itu sendiri. 206 lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Nanda dapat mengidentifikasi sendiri dalam berbagai hal tanpa adanya bantuan dari guru maupun teman. Karena dalam hal berinteraksi, Nanda tidak bermasalah. Tetapi Nanda tetap diberikan guru pendamping, karena pada mata pelajaran tertentu Nanda kurang mampu mengidentifikasikan mata pelajaran tersebut. Iman dapat mengidentifikasi sendiri dalam berbagai hal tanpa adanya bantuan dari guru maupun teman. Karena dalam hal berinteraksi, Iman tidak bermasalah. Tetapi Iman tetap diberikan guru pendamping, karena pada mata pelajaran tertentu Iman kurang mampu mengidentifikasikan mata pelajaran tersebut. tinggi terhadap Putra. Rasa simpati yang dimiliki oleh guru dan teman-teman pada Nanda biasa saja, karena memang Nanda merupakan murid yang biasa saja, walaupun difabel, tapi tidak ada perlakuan khusus bagi Nanda. Rasa simpati yang dimiliki oleh guru dan teman-teman pada Iman biasa saja, karena memang Iman merupakan murid yang biasa saja, walaupun difabel, tapi tidak ada perlakuan khusus bagi Iman. 6. Tian (Bukan Nama Sebenarnya) Guru pendamping mendampingi Tian pada pelajaran ketrampilan. Karena tangannya sulit digunakan untuk menggunting, menempel, dan merangkai 7. Ian (Bukan Nama Sebenarnya) Guru pendamping mendampingi Ian pada pelajaran sosial dan kewarganegaraan. Dan menerangkan serta memebri contoh dengan sikap dan gerakan tubuh (gesture) lebih dari satu kali dalam setiap bahasan Guru memberikan sugesti atau proses mempengaruhi yang bersifat positif bahwa segala nasehat yang diberikan oleh guru adalah untuk kebaikan siswa itu sendiri. Tian dapat mengidentifikasi sendiri dalam berbagai hal tanpa adanya bantuan dari guru maupun teman. Karena dalam hal berinteraksi, Tian tidak bermasalah. Tetapi Tian tetap diberikan guru pendamping, karena pada mata pelajaran tertentu Tian kurang mampu mengidentifikasikan mata pelajaran tersebut. Sugesti yang diberikan pada Ian kurang mampu Ian contohnya setiap mengidentifikasi pembelajaran yang ada selalu permasalahan pada mata sedikit dikaitkan dengan pelajaran sosial yang masalah dinosaurus, karena berhubungan dengan Ian menyukai dinosaurus. masyarakat dan lingkungan Tetapi pada mata pelajaran sekitar. Maka Ian memiliki yang tidak dapat seorang guru pendamping dihubungkan dengan untuk membantu Ian dalam dinosaurus, guru memberikan memahami mengidentifikasi penjelasan yang setiap mata pelajaran yang menerangkan tentang ada agar siswa mampu dinosaurus tetapi dijauhkan menerapkannya di dari mata pelajaran tersebut. lingkungan keluarga, Siswa Putra juga sering sekolah, maupun bertanya pada tema yang masyarakat. 207 Rasa simpati yang dimiliki oleh guru dan teman-teman pada Tian biasa saja, karena memang Tian merupakan murid yang biasa saja, walaupun difabel, tapi tidak ada perlakuan khusus bagi Tian. Rasa simpati Ian bisa berupa punishment dan reward, ketika Ian tidak menuruti nasehat ibu Ida, maka Ian tidak akan mendapatkan hadian berupa lagu ”My Hearth Will Go On” yang disenangi oleh Ian. sehingga proses simpati sangat diperlukan oleh guru yang diperuntukkan siswa difabel agar mereka mampu berinteraksi dengan baik diluar mata pelajaran, maka guru memberikan sugestisugesti mengenai kebenaran dan realita yang ada tanpa menghilangkan imajinasi mereka Sumber : Data Diolah, Mei 2010 208 2.4 Pola Interaksi Sosial a) Kerja sama Kerja sama yang merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yaitu suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahliankeahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik. Kerja sama belum seluruhnya dapat berjalan dengan baik pada siswa difabel. Siswa difabel khususnya difabel autis sangat sulit untuk aktif dalam sebuah kerjasama, dikarenakan sifat dari autis sendiri yang lebih bersifat individu. Hal ini tampak pada sikap siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus berikut ini : “Menurut penuturan Ibu Ida selaku wali kelas Ian, dalam masalah kerjasama apabila ada pekerjaan kelompok atau pekerjaan keterampilan bersama, Ian cenderung mondar-mandir melihat kerjaan teman-temannya yang lain, hanya membawa bahan untuk pekerjaan kelompoknya saja tetapi tidak mau untuk bekerja sama. Apalagi untuk diskusi dan interaksi Ian paling tidak suka diskusi, apabila sedang diskusi teman-temannya harus ikut jalan pikirannya. Untuk berkomunikasi dengan jalan pikiran teman-temannya apabila sedang berdiskusi sulit, temantemannya harus mengikuti jalan pikiran Ian.” (Selasa, 23 Maret 2010) 209 Ada beberapa bentuk kerja sama (cooperation). Kerja sama dibedakan lagi menjadi : Kerja sama Spontan (Spontaneous Cooperation), Kerja sama Langsung (Directed Cooperation), Kerja sama Kontrak (Contractual Cooperation), dan Kerja sama Tradisional (Traditional Cooperation. Kerjasama yang ada antara siswa di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus hanya Kerjasama Langsung (Directed Cooperation), yaitu kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa. Dimana guru memerintahkan siswa difabel untuk mengerjakan soal di papan tulis dengan maju ke depan ataupun dengan melakukan pembelajaran secara kelompok, tetapi hal ini tidak berhasil diterapkan pada Ian. “Bapak Joko selaku guru matematika Nanda dan Putra menuturkan : Nanda jika disuruh untuk mengerjakan soal di papan tulis langsung bisa, tetapi berbeda dengan Putra yang satu kelas juga dengan Nanda, kalau Putra itu harus diajarin oleh guru pendampingnya dulu, baru mau maju ke depan, itupun prosesnya lama sekali untuk mau maju ke depan, harus dirayu-rayu dulu. Ibu Ida selaku wali kelas Ian dalam menangani Ian harus ada cara tersendiri diantaranya yaitu apabila Ian tidak mau disuruh atau tidak menuruti perintah dari guru, khususnya guru wali kelas tidak akan memutarkan lagu kesukaan Ian dan apabila mau menuruti perintah guru maka Ian akan diberi hadiah kesukaannya yaitu akan di putarkan lagu “My Heart Will Go On”. Jadi guru membiasakan memberikan reward bila menuruti guru dan punishme bila tidak mau menurut dengan guru. (Selasa, 23 Maret 2010).” b) Persaingan Persaingan merupakan sikap bersaing, ingin saling mengalahkan. Persaingan dapat berarti kearah positif dan negatif, dimana persaingan positif yaitu persaingan yang saling bekerjasama tetapi tidak saling 210 menjatuhkan,sedangkan persaingan negatif yaitu persaingan yang saling menjatuhkan. Persaingan diantara siswa difabel maupun non-difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus adalah persaingan yang positif, dimana setiap siswa baik itu siswa difabel maupun non-difabel bersaing untuk meraih prestasi nilai terbaik atau rangking. Seperti yang diungkapkan oleh Iman salah satu siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, berikut ini : “Apabila nilai saya jelek dibawah 7 saya harus rajin belajar dan harus didampingi oleh ibu Indi guru pendamping saya, pokoknya biar nilainya bagus biar bisa pinter. Saya dirumah juga belajar ditemani ibu, dan ikut les privat dirumah.” (Selasa, 24 Mei 2010). c) Pertikaian Pertiakaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, yang dinamakan akomodasi. Pertikaian yang terjadi diantara siswa baik itu siswa difabel maupun non-difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sangat jarang, tetapi ada salah satu kejadian Pertikaian yang menarik dan sangat membuat para guru heran, yaitu pertikaian sesama siswa difabel autis, yaitu Ian dan Putra, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut : “Salah satu yang membuat para guru heran adalah antara Ian dan Putra ini jika ketemu saling berantem. Mereka sepertinya tidak mau diganggu dan dimasuki dunia imajinasinya dengan anak autis yang lain. Bahkan itu selalu seperti itu, jika bertemu jika bertemu si Putra mengganggu dengan tertawa-tawa atau bernyanyi didepannya atau mengejek, kemudian si Ian mengacung-acungkan tangannya dengan menggenngam serasa mau memukul dan berteriak-teriak.” (Selasa, 23 Maret 2010). 211 Ketika peneliti mewawancarai Putra yang didampingi oleh Ibu Rizka, maka: “Saat ditanya oleh peneliti dan Ibu Rizka dengan pertanyaan : Kenapa kamu senang mengganggu Ian? Dijawab oleh Putra bahwa saya senang mengganggu Ian karena saya merasa senang, bisa terhibur hatinya melihat Ina marah-marah. Suatu ketika pernah saya dikejar-kejar Ian, ya saya terus lari aja. Ibu Rizka menyampaikan bahwa pertentangan seperti ini hal yang wajar yang dilakukan oleh kedua siswa tersebut dan tidak berakibat fatal.” (Selasa, 24 Mei 2010). d) Akomodasi Bentuk-bentuk akomodasi menurut Gillin dan Gillin, adalah sebagai berikut : Koersi (coercion), Kompromi (compromise), Arbitrasi (arbitration), Mediasi (mediation), Konsiliasi (conciliation), Toleransi (toleration), Stalemate, Ajudikasi (ajudication), Displacement, dan Konversi (convertion). Bentuk-bentuk akomodasi tersebut tidak seluruhnya digunakan dalam penyelesaian masalah antara guru, siswa non-difabel dan siswa difabel namun hanya beberapa bentuk saja antara lain : 11. Koersi (coercion) Koersi yaitu bentuk akomodasi yang terjadi melalui pemaksaan kehendak pihak tertentu terhadap pihak lain yang lebih lemah. Berarti terjadi penguasaan (dominasi) suatu kelompok atas kelompok yang lemah. Di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, bentuk dari akomodasi koersi yaitu yang guru berkuasa atas siswa difabel. Hal ini dilakukan oleh guru ketika memberikan stimulus kepada siswa apabila siswa kurang atau tidak bisa memahami suatu materi di dalam pembelajaran. 212 Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku guru wali kelas Ian, berikut ini : ” Ketika Ian tidak mampu memahami pelajaran, maka guru pendamping memberikan contoh-contoh yang konkret yang bisa dicontohkan kepada Ian khususnya pada mata pelajaran sosial yang berhubungan dengan masyarakat. Karena Ian merupakan anak yang pasif dan hanya dapat bergerak seperti robot, jika tidak diberikan contoh yang konkret, dia tidak bisa melakukan apapun. Sedikit memaksa dan pemaksaan tersebut terjadi berulang-ulang agar siswa memahami apa yang dijelaskan oleh guru.” (Selasa, 9 Maret 2010). 12. Kompromi (compromise) Kompromi yaitu bentuk akomodasi ketika pihak-pihak yang terlibat perselisihan saling mengurangi tuntutan agar tercapai suatu penyelesaian. Sikap dasar untuk melakukan kompromi adalah semua pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya. Dalam hal ini guru memberikan bentuk punishment dan reward kepada siswa ketika siswa tidak mau mendengarkan nasehat-nasehatnya. “Untuk menangani Ian harus ada cara tersendiri diantaranya yaitu dengan berkompromi, dengan adanya bentuk punisment dan reward. Apabila Ian tidak mau disuruh atau tidak menuruti perintah dari guru, khususnya guru wali kelas tidak akan memutarkan lagu kesukaan Ian dan apabila mau menuruti perintah guru maka Ian akan diberi hadiah kesukaannya yaitu akan di putarkan lagu “My Heart Will Go On”. Jadi guru membiasakan memberikan reward bila menuruti guru dan punishme bila tidak mau menurut dengan guru.” (Selasa, 9 Maret 2010). 13. Toleransi (tolerance) 213 Toleransi yaitu bentuk akomodasi yang terjadi tanpa persetujuan yang resmi. Kadang-kadang toleransi terjadi secara tidak sadar dan tanpa direncanakan karena adanya keinginankeinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak. Toleransi dalam hal ini dapat berbentuk sikap saling menghargai antara guru, siswa difabel, dan siswa non-difabel. Guru harus mampu memberikan toleransi pada saat siswa difabel mengerjakan tugas-tugasnya. Siswa non-difabel lebih aktif mengajak berinteraksi siswa difabel. Sikap toleransi ini dimiliki oleh seluruh siswa nondifabel dan guru dalam memahmi sikap siswa non-difabel. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku guru wali kelas Ian, berikut ini : “Guru-guru dan teman-teman non-difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap teman-temannya yang difabel, contohnya saja saat ada belajar kelompok, Ian cenderung mondar-mandir melihat kerjaan temantemannya yang lain. Ia hanya membawa bahan untuk pekerjaan kelompoknya saja tetapi tidak mau untuk bekerja sama. Apalagi untuk diskusi dan interaksi Ian paling tidak suka diskusi, maka dari itu temantemannya membiarkan Ian melakukan pekerjaan sesuai dengan keinginannya itu, yang penting Ian tidak mengganggu saat belajar kelompok berlangsung.” (Selasa, 9 Maret 2010). Menurut data yang diperoleh di lapangan serta penjelasan tersebut diatas maka peneliti menyajikan matriks mengenai bentuk- 214 bentuk interaksi sosial yang ada pada siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta : 215 Matriks 3.5 Pola Interaksi Sosial No Nama Siswa Kerjasama Dapat melakukan kerjasama secara langsung (setelah diperintah oleh guru) serta adanya Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong Bentuk Interaksi Sosial Persaingan Pertentangan Belum memiliki rasa Tidak pernah mengalami bersaing dengan teman, baik pertentangan baik dengan persaingan yang bersifat teman maupun dengan guru. positif maupun negatif 1. Rahman (Bukan Nama Sebenarnya) 2. Abdul (Bukan Nama Sebenarnya) Dapat melakukan kerjasama secara langsung (setelah diperintah oleh guru) serta adanya Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong Belum memiliki rasa bersaing dengan teman, baik persaingan yang bersifat positif maupun negatif 3. Putra (Bukan Nama Sebenarnya) Dapat melakukan kerjasama secara langsung (setelah diperintah oleh guru) serta Tidak memiliki rasa bersaing dengan teman, baik persaingan yang bersifat 216 Akomodasi Toleransi. Siswa nondifabel dan guru memiliki sikap toleransi dan tolong menolong yang tinggi terhadap Rahman, dimana memberikan peluang waktu lebih terhadap setiap kegiatan yang ada di sekolah. Tidak pernah mengalami Toleransi. Siswa nonpertentangan baik dengan difabel dan guru memiliki teman maupun dengan guru. sikap toleransi dan tolong menolong yang tinggi terhadap Abdul, dimana memberikan peluang waktu lebih terhadap setiap kegiatan yang ada di sekolah. Alif memiliki sifat Toleransi. Siswa nonbertentangan dengan Ian, difabel dan guru memiliki sehingga saat mereka sikap toleransi dan tolong adanya Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong positif maupun negatif 4. Nanda (Bukan Nama Sebenarnya) Dapat melakukan kerjasama secara langsung (setelah diperintah oleh guru) serta adanya Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong Ada rasa bersaing yang positif, yaitu tidak mau mendapatkan nilai jelek dan ingin mendapatkan rangking 5. Iman (Bukan Nama Sebenarnya) Dapat melakukan kerjasama secara langsung (setelah diperintah oleh guru) serta adanya Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong Ada rasa bersaing yang positif, yaitu tidak mau mendapatkan nilai jelek dan ingin mendapatkan rangking 6. Tian Dapat melakukan kerjasama Ada rasa bersaing yang 217 bertemu satu sama lain selalu bertengkar menolong yang tinggi terhadap Putra, dimana memberikan peluang waktu lebih terhadap setiap kegiatan yang ada di sekolah. Tidak pernah mengalami Toleransi. Siswa nonpertentangan baik dengan difabel dan guru memiliki teman maupun dengan guru. sikap toleransi dan tolong menolong yang tinggi terhadap Nanda, dimana memberikan waktu belajar di sekolah lebih terhadap setiap mata pelajaran yang ada. Memiliki pertentangan Toleransi. Siswa nonterhadap mata pelajaran difabel dan guru memiliki yang tidak disenanginya. sikap toleransi dan tolong Contohnya pada mata menolong yang tinggi pelajaran matematika, terhadap Iman, dimana dimana ketika mata memberikan waktu belajar pelajaran tersebut di sekolah lebih terhadap berlangsung, Iman selalu setiap mata pelajaran yang minta ijin keluar sebagai ada. alasan menghindari pembelajaran pada mata pelajaran tersebut. Memiliki pertentangan Toleransi. Siswa non- 7. (Bukan Nama Sebenarnya) secara langsung (setelah diperintah oleh guru) serta adanya Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong positif, yaitu tidak mau mendapatkan nilai jelek dan ingin mendapatkan rangking Ian (Bukan Nama Sebenarnya) Tidak dapat melakukan kerjasama serta sikap gotongroyong dan tolong menolong hanya dapat dilakukan ketika diberi perintah Tidak memiliki rasa bersaing dengan teman, baik persaingan yang bersifat positif maupun negatif Sumber : Data Diolah, Mei 2010 218 terhadap mata pelajaran ketrampilan, karena banyak beraktivitas menggunakan tangan. Dimana tangan kanan Tian tidak dapat digunakan secara maksimal untuk menggunting, menempel, dan menggambar. Firmansyah Adrian memiliki sifat bertentangan dengan Alif, sehingga saat mereka bertemu satu sama lain selalu bertengkar difabel dan guru memiliki sikap toleransi dan tolong menolong yang tinggi terhadap Tian, dimana memberikan waktu belajar di sekolah lebih terhadap setiap mata pelajaran yang ada. Toleransi. Siswa nondifabel dan guru memiliki sikap toleransi dan tolong menolong yang tinggi terhadap Rahman, dimana memberikan ijin kepada Ian untuk tidak mengikuti beberapa kegiatan yang tidak disenangi oleh Ian. Guru memberikan ganti kegiatan positif lainnya di ruang PUSPA, sedangkan teman-temannya bersikap wajar terhadap keadaan Ian. B. AKSESIBILITAS BAGI SISWA DIFABEL YANG DIBERIKAN OLEH SEKOLAH DASAR (SD) AL FIRDAUS KOTA SURAKARTA 4.1 Aksesibilitas Sarana dan Prasarana Pemaknaan ‘aksesibilitas’ dalam UU No. 4 tahun 1998 adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dalam aspek bidang pendidikan, siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta mendapatkan berbagai macam aksesibilitas sarana dan prasarana berupa alat bantu dengar bagi tunarungu, kursi roda, alat-alat bantu untuk pembelajaran. Aksesibilitas yang disediakan oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus adalah penyediaan ruangan khusus bagi siswa difabel yang mengalami depresi berat disaat mengikuti program belajar mengajar, yaitu ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) serta penyediaan guru khusus yang menangani siswa difabel sehingga satu siswa difabel didampingi oleh satu guru khusus, disediakan pula tenaga profesional teraphist orthopedi. 4.2 Pelayanan dan Informasi Medis Siswa difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus juga mendapatkan pelayanan medis dan akses terhadap informasi yang leluasa tentang diagnosa, pelayanan psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis yang mereka terima pada semua tingkatan. Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), memberikan informasi 219 tentang aksesibilitas yang dimiliki oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai berikut : “Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus tidak sepenuhnya memiliki aksesakses yang lengkap bagi siswa difabel. Akses yang dimiliki oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus seperti kursi roda, alat-alat wirausaha, alat-alat peraga, alat-alat olahraga, alat pendengar, dan yang utama yaitu Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) itu sendiri. Dimana Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) merupakan satu-satunya tempat bagi siswa difabel mendapatkan pelayanan khusus jika mengalami kesulitan dalam hal pembelajaran serta mengalami gangguan interaksi dan sosialisasi. Saya sebagai seorang konselor pada saat ada pendaftaran siswa telah memberikan informasi kepada masing-masing orang tua siswa difabel bahwa akses yang dimiliki oleh Sekolah (SD) Al Firdaus tidak sebanyak yang dimiliki oleh Sekolah Luar Biasa (SLB). Seperti siswa yang menggunakan kursi roda, tidak dapat bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, dikarenakan tidak ada fasilitas trailer. Tetapi Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki kursi roda, yang pernah digunakan oleh Nanda, siswa yang berkebutuhan khusus dengan jenis Celebral Palsy, pada saat kelas 2 melakukan operasi pada kedua kakinya, dan setelah operasi menggunakan kursi roda saat sekolah. Tetapi karena kebetulan kelasnya dilantai bawah, maka kursi roda tersebut dapat digunakan sementara. Jika sudah menduduki kelas 4, 5, dan 6, maka kursi roda tidak dapat digunakan lagi karena kelasnya berada dilantai 2, dimana tidak ada trailler dan diharuskan bisa naik atau turun melalui anak tangga.” (Selasa, 2 Maret 2010) Satu-satunya layanan yang paling unggul di Yayasan Al Firdaus khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Banyak orang tua murid yang memiliki putra/ putri difabel memilih Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai tempat pendidikan putra/ putri mereka, dengan alasan adanya layanan Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) ini. Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus 220 (PUSPA) memiliki program-program khusus bagi siswa difabel, salah satunya adalah menjadikan siswa difabel mandiri dan mampu berinteraksi, bersosialisasi, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan ibu Trisno salah satu orang tua murid Anak Berkebutuhan Khusus, anaknya yang bernama Tian, tentang pilihan menyekolahkan putra/ putri mereka di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu : “Anak saya itu pertama ada gangguan pada saraf bagian kanan dari tubuh. Selama masuk pertama kali di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini pertama kali minder, mentalnya down, karena pada awal masuk sekolah sering diejek tidak punya tangan. Saya mengetahui Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dari mencari-mencari informasi, terus saya ke Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus agar landasan agama anak saya kuat dan juga di sana terdapat Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang cukup bagus umtuk menangani Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam problem komunikasi yang dialami anak saya ini, tidak ada masalah, ya pada awal sekolah tadi minder karena sering diejek temannya, kemudian setelah lama-kelamaan menjadi terbiasa dan tidak minder lagi. Di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini anak saya mengikuti keterampilan atau ekstra kurikuler taekwondo dan ini sudah sabuk hijau garis dua. Harapan saya setelah anak saya sekolah di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus, anak saya supaya lebih bisa beradaptasi dan 221 berinteraksi dengan orang lain dan tidak minderan.” (Minggu, 11 April 2010). Hal ini sama seperti apa yang diutarakan ibu Karmita seorang single parent, dan juga salah satu orangtua murid yang memiliki anak Anak Berkebutuhan Khusus yang bernama Putra menceritakan mengenai kondisi anaknya. “Pada awal mulanya tidak tahu Putra ini kalau autis, awalnya Putra ini dimasukan di Play Goup Budi Mulia karena dekat dengan tempat saya bekerja dan juga dikarenakan dirumah hanya dengan pembantu saja. Saya sering ganti pembantu karena mereka tidak kuat untuk mengasuh Putra. Putra ini dirumah sering aktif sukanya jalan-jalan keliling komplek perumahan dan si pembantu tidak kuat bila harus mengikuti dan menjaga Putra keliling komplek dan juga harus masih mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah selesai dari Play Group Putra ini di masukan di salah satu Taman Kanak-kanak di tempat tinggalnya di daerah Mojosongo, di Taman Kanak-kanak ini Putra sudah bisa lancar membaca tetapi belum bisa mengucapkan kata maupun kalimat, seperti anak bisu, kemudian guru TK menyuruh agar Putra di terapi. Pertamanya di terapi di dokter Prasetyo di Akademi Fisioterapi Colomadu, disana saat Putra diterapi apabila diberikan bunyibunyian kerincingan di belakang kepalanya dia tidak langsung menengok tetapi tangannya yang langsung meyambar tanpa harus melihat. Kemudian dari dokter Prasetyo dirujuk supaya ke Yayasan Penyandang Anak Cacat Kota Barat untuk melakukan terapi. Dikarenakan di Kota Barat antrian panjang dan pelayanannya lama Putra mulai bosan dan selalu marah-marah. Saat tiba giliran Putra diperiksa oleh dokter, pemeriksaannya cuma sebentar, dan diajak pulang tidak mau sampai marah. Putra tidak mau diajak pulang karena merasa senang dan nyaman berada di Yayasan Penyandang Anak Cacat karena mainan disana banyak. Karena pelayanannya lama dan antrinya banyak, kemudian saya pindah terapi ke Natura Medika dengan rujukan dari dokter Budi.hingga satu setengah bulan. Saya selalu berpikir bahwa setelah jenjang Taman kanakkanak, Putra harus saya masukkan ke Sekolah Dasar, tetapi saya tidak ingin anak saya dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa, sehingga saya selalu mencari-cari informasi mengenai sekolah umum untuk Putra. Pada awalnya saya tidak tahu tentang sekolah inklusif, setelah banyak membaca brosur dan informasi lainnya serta bertanya 222 kepada temannya, seorang pengacara dan juga kebetulan mempunyai seorang Anak Berkebutuhan Khusus, kemudian disarankan untuk menyekolahkan Putra di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus. Dari situlah saya jadi tahu tentang sekolah inklusif khususnya di Sekolah Dasar Al Firdaus. Selain itu dikarenakan di SD Al Firdaus terdapat Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang bagus dan jam sekolah yang agak padat menjadikan saya dengan mudah bisa menyamakan jadwal kerjanya sama dengan jam sekolah anaknya. Sehingga setelah selesai kerja anaknya juga selesai sekolah dan bisa langsung dijemput. Waktu kelas satu Putra ini setiap makan bersama teman-temannya belum bisa mengambil sendiri harus ada yang membantu mengambilkan, dan juga tidak ada respon ketika melihat teman-temanya, selain itu yang terjadi sampai sekarang tidak pernah mau bercerita kepada saya tentang segala hal yang dialaminya di sekolah. Putra apabila diejek temannya marah dan bila ada sesuatu halyang tidak sesuai dengan keinginanya Putra berteriak dan juga pernah sampai membanting kursi untuk dilempar keteman yang mengejeknya. Tetapi setelah tiga tahun bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dan diterapi di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), Putra sudah mengalami perubahan yang semula diam saja ketika melihat temannya, menjadi ada respon walaupun hanya sedikit. Kemampuan anak saya yang sangat menonjol ada di bidang pelajaran science atau ilmu pengetahuan alam dan matematika. Harapan saya setelah Putra bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu supaya menjadi anak yang bisa mandiri dan memiliki dasar agama yang kuat.” (Minggu, 11 April 2010). 4.3 Pelayanan Sosial Pelayanan sosial di SD Al Firdaus terutama dalam bidang sosial, pendidikan dan pelatihan ketrampilan komputer dan internet diberikan kepada siswa difabel, konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan integrasi sosial mereka. 223 Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus memiliki program khusus bagi siswa difabel, yaitu program ketrampilan kewirausahaan. Program ini adalah program belajar yang difasilitasi oleh Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) diperuntukkan bagi seluruh siswa Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus pada umumnya dan siswa difabel pada khususnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), berikut ini : “Setiap satu semester sekali, sekolah mengadakan latihan kewirausahaan bagi seluruh siswa khususnya siswa difabel. Kewirausahaan tersebut berupa masak memasak dan kemudian menjual hasil masakannya tersebut. Program ini diadakan untuk melatih kemandirian siswa dalam berwiraswasta, sehingga diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri nantinya. Adapun setiap hari jumat diadakan ekstrakurikuler, dimana seluruh siswa termasuk siswa difabel diharuskan mengikuti kegiatan tersebut. Kegiatan ekstrakurikuler ini diikuti salah satunya oleh Tian dan Iman yang mengikuti taekwondo dan catur.” (Selasa, 23 Maret 2010). 4.4 Akses Pendidikan (kurikulum) Kurikulum yang diberikan oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus kepada siswa difabel merupakan kurikulum modifikasi. Kurikulum modifikasi merupakan kurikulum yang diterapkan pada sekolah reguler sesuai dengan Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional ditambah dengan kurikulum individu siswa difabel. Kurikulum individu siswa difabel ini sifatnya berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan siswa difabel. Dalam mata pelajaran yang kurang disenangi atau memiliki nilai paling rendah, biasanya mata pelajaran inilah yang ditambahkan dalam 224 kurikulum modifikasi, seperti yang diterapkan pada Nanda. Menurut wali kelas Nanda, yaitu Ibu Isna bahwa : “Nanda itu lemah di mata pelajaran matematika. Lemahnya mata pelajaran matematika dikarenakan tidak pernah masuk sekolah setelah operasi kaki (Cerebral Palsy) pada saat kelas 2. Karena mata pelajaran matematika sifatnya bertahap harus mulai dari dasar, maka Nanda mendapatkan kurikulum modifikasi khusus pada mata pelajaran matematika. Karena dasar dari mata pelajaran matematika, Nanda tidak dapat mengikuti dengan lancar. Ada waktu khusus dimana Nanda harus mengikuti program intervensi yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), bertempat diruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus.” (Selasa, 2 Maret 2010) Kurikulum modifikasi hanya dibuat oleh Konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dan dikonsultasikan oleh guru pendamping serta wali kelas masing-masing siswa difabel sebelumnya. Adapun pihak-pihak terkait yang terdapat di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus adalah : Wali kelas, guru pendamping, terapis, konselor, dan orang tua yang saling bekerjasama demi perkembangan siswa Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus pada umumnya dan siswa difabel pada khususnya. Kurikulum modifikasi mayoritas diterapkan pada siswa difabel jenis autis dan gangguan kesulitan belajar, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa siswa difabel Celebral Palsy juga diberikan kurikulum tambahan seperti pada kasus Nanda diatas. Kurikulum modifikasi lainnya diterapkan pada Ian difabel autisme, Iman difabel gangguan sosialisasi, dan Putra difabel autisme. Menurut penuturan Ibu Ida selaku guru wali kelas Ian, tentang kurikulum pembelajaran Ian, bahwa : 225 “Dalam kurikulumnya sendiri untuk Ian di modifikasi seluruh mata pelajaran. Karena Ian tidak dapat mengikuti seluruh mata pelajaran, dikarenakan mengalami autisme atau keterlambatan berfikir. Apabila anak lain atau non-difabel jenjang nilai 1-100 maka Ian 170. Khususnya untuk ujian UASBN karena Ian sudah kelas 6, menurut wali kelasnya tidak ada masalah karena Ian untuk materi dan pengisian jawaban hanya melingkari tetapi untuk membacanya nanti harus ada bantuan atau pendamping yang membantu membacakan soal tetapi tidak mengarahkan kejawaban karena Ian hanya tidak terlalu suka membaca bila kalimatnya banyak atau panjang. Ian memiliki fisik kelas 6, tetapi kemampuan akademisnya kelas 2. Dan menurut ahli terapis diperkirakan bahwa Ian mampu untuk memiliki kemampuan kelas 6 pada umur 20 tahun nanti.” (Selasa, 2 Maret 2010) Ibu Wahyu selaku guru wali kelas Rahman Miftakhur Rahman terkait dengan kurikulum Rahman, menuturkan bahwa: “Untuk kurikulum Rahman masih disamakan dengan murid-murid non-difabel yang lain, karena masih duduk dikelas satu, jadi target yang harus dicapai Rahman untuk sementara hanya bisa membaca, menulis, dan berhitung. Belum ada kurikulum khusus bagi anak kelas satu, dua, dan tiga serta belum ada penjurusan bakat, yaitu seluruh siswa diwajibkan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler guna mengembangkan bakatnya. Mata pelajaran yang menonjol dan prestasi Rahman pada mata pelajaran seni khususnya menggambar, karena Rahman lebih suka menggambar dan mewarnai. Kebetulan Rahman sebelumnya telah bersekolah di Play Group dan Taman kanak-kanak Al Firdaus, sehingga guru dan orang tua sudah saling mengetahui sebelumnya dan memiliki ikatan kerjasama yang kuat demi perkembangan Rahman. Saat di Play Group dan Taman kanak-kanak Al Firdaus Rahman pernah menjuarai lomba menggambar, yaitu sebagai juara I.” (Selasa, 2 Maret 2010) 226 Di dalam kurikulum di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus terdapat penyaluran bakat dan minat siswa, tetapi di kelas 1 sampai kelas 3 belum ada pengarahan bakat dan minat. Mulai kelas 4 baru bakat dan minat siswa diarahkan seperti olah raga contohnya: taekwondo, bulu tangkis, voli, dan futsal. Kesenian: menggambar, seni musik, menari dan lainya. Selain Rahman ada juga murid di kelas 2 yaitu Abdul yang juga salah satu siswa autis. Menurut penuturan ibu Rizka yang selaku konselor di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini, terkait dengan kurikulum Abdul bahwa: “Untuk kurikulum Abdul masih disamakan dengan murid-murid non-difabel yang lain, karena masih duduk dikelas dua tapi sudah ada guru pendamping sendiri, jadi target yang harus dicapai untuk anak masih standar yang sama yaitu baca, tulis, dan berhitung tapi masih di arahkan atau dibantu dengan guru pendamping. Dan untuk bakat yang menonjol Abdul ini memiliki bakat berhitung atau bakat di pelajaran matematika, Abdul kemampuan matematikanya sudah mampu membilang sampai dengan 10 000, dan juga sudah mampu menjumlah dengan cara meyimpan dan mengurang dengan teknik meminjam dan sudah dapat menyelesaikan tugas berhitung dengan cepat.” (Selasa, 2 Maret 2010) Di kelas tiga juga terdapat siswa penyandang autis yang memiliki kemampuan di bidang pelajaran sains atau pengetahuan alam, siswa ini bernama Putra. Menurut pernyataan ibu Isna selaku wali kelas dan juga bapak Joko selaku guru matematika bahwa: “Untuk kurikulum Putra diberikan kurikulum yang sama dengan murui-murid lain tetapi apabila terlihat mengalami kesuliatan sekolah memberikan guru pendamping dan diberi program intervensi di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Untuk Putra ini dalam minat dan bakatnya sudah terlihat tetapi baru 227 dikelas empat nanti baru dapat diarahkan minat khususnya dan juga ada program prengembangan diri. Tapi untuk minat dan bakatnya Putra ini sudah terlihat sejak dini yaitu di bidang ilmu pengetahuan atau sains dan juga di mata pelajaran matematika Putra ini mempunyai nilai yang lumayan bagus, tidak kalah dibandingkan dengan sisiwa non-difabel yang lain. Selain itu Putra ini suka membaca sesuatu tentang ilmu pengetahuan atau sains apalagi mengenai tata surya dan susunannya, Putra ini sudah bisa menjelaskan atau mempersentasikan di hadapan para siswa kelas dua bagaimana terjadinya tata surya dan penjelasannya dengan lancar. Walaupun suka membaca tapi Putra ini malah tidak suka kalau disuruh menulis terlalu banyak.” (Selasa, 2 Maret 2010) Sementara itu di kelas empat terdapat dua siswa difabel yang memiliki kecacatan yang berbeda yaitu Tian yang secara kasat mata kecacatannya itu sudah tampak karena Tian ini penderita Celebral Palsy yaitu kerusakan otak saraf khususnya pada Tian otak bagian kanan, yang menyebabkan pertumbuhan tulang Tian menjadi lain dan terhambat. Selain Tian ada siswa yang bernama Iman yang menderita kesulitan belajar. Menurut penuturan wali kelas bahwa: “Tian untuk secara umum tidak ada masalah mengenai kurikulim belajar, secara umum baik dan dapat mengikuti pelajaran dengan lancar tanpa ada hambatan walaupun kondisi fisik Tian sendiri seperti itu (terbatas karena kecacatan pada tanganya), untuk menulis Tian menggunakan tangan kiri dan untuk penyaluran bakatnya sendiri Tian justru memilih mengikuti kegiatan olahraga taekwondo walaupun secara fisiknya atau tangan kanannya yang kurang sempurna namun Tian dapat mengikutinya dengan baik.” (Selasa, 9 Maret 2010). 228 Berbeda dengan Iman apabila dilihat dari penampilan fisik Iman memang tidak terlihat kekurangan sama sekali tetapi untuk akademik baru terlihat kekurangan Iman. Hal ini sesuai dengan penuturan bapak Agus : “Iman di dalam kurikulum sendiri mengikuti kurikulum modifikasi dikarenakan Iman masih mengalami kesulitan mengikuti kurikulum umum yang diberikan kepada teman-teman satu kelasnya kesulitannya antaranya, kurang bisa fokus dan kurang bisa memahami perintah atau tugas yang harus dilakukan atau dikerjakan. Untuk memahami dan menghafalkan dalam bentuk kalimat yang panjang masih susah, selain itu kemampuan menulisnya juga masih kurang belum bisa menggunakan huruf kapital dengan benar. Dan untuk di pelajaran matematika Iman masih susah atau kesulitan menghitung dengan perkalian yang besar dan belum paham dengan konsep pembagian. Maka dari itu untuk Iman kurikulumnya masih harus ikut di modifikasi apabila murid yang lain 20 soal untuk Iman hanya 15 soal, dan untuk waktu mengerjakan tugas yang lain 2 jam untuk Iman hanya 1jam, Iman untuk masalah akademis masih jauh dibawah anak yang berkemampuan normal dan oleh sebab itu Iman dikategorikan sebagai Anak Berkebutuhan Khusus dan harus diberi terapi dan guru pendamping dari Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus 229 (PUSPA). Untuk penyaluran bakat khususnya sendiri Iman lebih suka ke seni, khususnya pada seni tari dan selain itu prestasi di bakat khususnya ini sudah sampai di tingkat provinsi yaitu menjuarai lomba tari se Jawa Tengah. Dan untuk pelajaran yang paling menonjol sendiri Iman memiliki nilai lebih pada bahasa jawa.” (Selasa, 9 Maret 2010). Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki target output bagi siswa difabel yang berbeda, sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa. Selain itu juga melihat bakat dan minat siswa yang satu dengan yang lainnya. Pada umumnya setiap siswa harus dapat menguasai materi atau kurikulum yang sudah diberikan sekolah agar dapat melanjutkan ke jenjang yang selanjutnya. Hal ini seperti yang telah disampaikan salah seorang orang tua murid yaitu ibu Karmita orang tua Putra yang mengatakan bahwa: “Harapan saya setelah Putra ini bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus supaya menjadi anak yang bisa mandiri dan kelak bisa hidup sendiri mandiri tanpa harus menggantungkan ke orang lain.” (Minggu, 11 April 2010). Selain ibu Karmita orang tua Putra ada juga orang tua siswa yang anaknya juga salah satu siswa difabel atau berkebutuhan khusus yang mempunyai harapan lain seperti yang diutarakan ibu Siska orang tua dari Abdul yaitu: “Setelah anak saya bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus supaya lebih bisa tergali bakat-bakatnya dibidang yang menonjol seperti pada matematikanya.” (Minggu, 11 April 2010). Hal ini seperti yang diutarakan ibu Trisno orang tua Tian siswa Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yang mempunyai keterbatasan Celebral Palsy mengatakan harapannya seperti berikut ini: 230 “Harapan saya setelah anak saya sekolah di Sekolah Dasar AL Firdaus ini, anak saya supaya lebih bisa beradaptasi dan berinteraksi dengan orang lain dan tidak minderan.” (Minggu, 11 April 2010). Selain out put yang diinginkan atau diharapkan dari orang tua, sekolah sendiri juga memberikan target dan tujuan out put yang harus dicapai seperti yang diutarakan guru wali kelas Ian ibu Ida berikut ini: “Saya mendidik Ian supaya menjadi anak yang lebih mandiri dan bisa hidup tanpa bantuan oaring lain sampai saya memaksa orangtua Ian apa yang harus dilakukan dirumah dan di sekolah harus sama, jadi program atau tindakan yang dilakukan Ian harus diselaraskan baik di rumah maupun disekolah ini perlunya kerjasama antara kami dari pihak sekolah dan orang tua Ian yang mengawasinya di rumah.” (Selasa, 9 Maret 2010) Alumni siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus baru 1 orang siswa yang lulus dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus, sehingga perkembangan anak tersebut hingga kini tetap dipantau oleh guru-guru dari Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus. Siswa tersebut penderita IQ rendah atau gangguan belajar ringan, dimana dia sudah dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik. Semua orang tua yang memiliki anak difabel tentunya merasakan kesulitan yang tidak terbayangkan sebelumnya dengan kehadiran anak tersebut. Sebagai orang tua, umumnya ingin selalu memberikan sesuatu yang terbaik bagi semua anak-anak kita baik anak yang difabel maupun non-difabel. Orang tua melalui Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus telah mempercayakan pendidikan anaknya mulai dari melatih kemandirian, menanamkan nilai-nilai sosial, sampai dengan 231 mempersiapkan masa depannya. Kurikulum yang disusun oleh SD Al Firdaus adalah untuk : 3.4.1 Melatih Kemandirian Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Karmita selaku orang tua Putra, sebagai berikut : “Saya sekolahkan Putra di sekolah inklusif Sekolah dasar (SD) Al Firdaus, agar Putra bisa mandiri. Kalau saya sekolahkan di Sekolah Luar Biasa, tentu saja dia hanya bergaul dengan anak-anak autis lainnya, malah akan tidak mandiri nantinya. Beda kalau saya sekolahkan di sekolah inklusif kan mau tidak mau dia harus berinteraksi dan bersosialisasi dengan anak-anak non-difabel pada umumnya, yang akan dapat membantu Putra ke arah kemandirian. Dari pihak pengajar juga diberikan guru pendamping khusus dalam menangani Putra. Saya percayakan Putra pada Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus agar Putra bisa hidup mandiri saat dewasa nanti” (Minggu, 11 April 2010). 3.4.2 Penanaman Nilai-nilai Sosial Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku wali kelas Ian, sebagai berikut : “Ian sekarang jika bertengkar atau berbuat salah kepada orang lain, dia tidak segan-segan untuk langsung meminta maaf, itulah yang saya tanamkan dari dasar Ian masuk sekolah. Walaupun pada kenyataannya Ian sering berbuat salah dan sering meminta maaf. Ian juga tidak pernah menyentuh barang yang bukan miliknya, sekalipun sebuah koran yang disediakan untuk umum, karena Ian merasa koran itu tidak ada yang memilikinya dan bukan miliknya. Jika Ian ingin meminjam selalu meminta ijin terlebih dahulu, sehingga jika ingin ijin membaca koran, dia bingung, mau ijin kepada siapa.” (Selasa, 23 Maret 2010). 232 3.4.3 Mempersiapkan Masa Depan Setelah anak mulai terlepas dari “ketidakberdayaannya”, maka perlu untuk mengembangkan minat anak pada dunia. Orangtua harus memperhatikan arah minat anak karena akan membantu masa depan anak kelak. Berbagai alternatif kegiatan bisa diperkenalkan menyanyi, kepada memasak, anak, komputer, seperti olahraga, menggambar, dan lain-lain. Pengembangan minat tersebut dapat mengupayakan penggunaan kelebihan anak untuk mengatasi kekurangannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Retno selaku orang tua murid, sebagai berikut : “Anak saya Tian saya ikutkan berbagai macam kegiatan di sekolah dan dirumah, biar tidak minder dan memiliki rasa percaya diri. Di sekolah Ian ikut ekstrakurikuler taekwondo dan catur, kegiatan ini positif bagi perkembangan anak saya. Setiap ada perlombaan juga saya ikutkan, biasanya dia ikut lomba gambar. Saya sering mengikutkan berbagai macam perlombaan agar dia mampu berinteraksi bertemu banyak orang asing dan rasa percaya diri itu muncul. (Minggu, 11 April 2010). Menurut penuturan Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), bahwa : “Nanda baik dirumah maupun disekolah diikutkan dengan kegiatan menyanyi. Sedangkan Ian ditajamkan lagi dengan berbagai macam hafalan-hafalan surat Al-Qur`an, dan Putra ditajamkan lagi pada hal science, karena Putra sangat berbakat dalam bidang science. Untuk Abdul dan Rahman belum diikutkan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah karena masih kelas I dan kelas II. Kegiatan ekstrakurikuler yang merupakan pengembangan bakat anak diperuntukkan bagi siswa yang sudah kelas III, IV, V, dan VI.” (Selasa, 9 Maret 2010). 233 Lembaga pendidikan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus menyediakan aksesibilitas dan fasilitas bagi perkembangan siswa difabel. Berdasarkan data dan informasi yang peneliti peroleh dilapangan maka berikut ini peneliti menyajikan matriks tentang Aksesibilitas Sekolah Dasar Al Firdaus : 234 Matriks 3.6 Aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus bagi Siswa Difabel No BENTUK AKSESIBILITAS 1. SARANA DAN PRASARANA Kursi Roda INFORMASI DAN KOMUNIKASI Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) 2. Ayunan Layanan Internet dan Komputer 3. Trampolin Mendapatkan pelayanan kesehatan 4. Alat memasak Mendapatkan Pelayanan Sosial 5. Alat bantu praktikum Mendapatkan guru pendamping 6. Alat musik 7. Bola dan guiding block 8. Puzzle 9. Gambar-gambar dan balok 10. Alat bantu dengar Sumber : Data Diolah, Mei 2010 235 SOSIAL Mendapatkan pendidikan dan pelatihan ketrampilan komputer dan internet Konsultasi dan penempatan kerja Mendapatkan latihan kewirausahaan PENDIDIKAN Mendapatkan kurikulum yang sama dengan siswa non-difabel C. PEMBAHASAN Pendidikan merupakan suatu kegiatan (formal/ nonformal) yang diselenggarakan oleh orang dewasa (orang yang matang dalam pemikiran) kepada anak-anak dalam rangka membuka, mengembangkan, dan meningkatkan pengembangan psikologis, mental, dan akademis dengan pengertian untuk membuat mereka menjadi mandiri secara individu. Proses yang dimaksud mencakup setiap anak terlepas dari suku, jenis kelamin, status sosial, kecacatan, bahasa, kebangsaan (pendidikan untuk semua). Dua hal terpenting yang berperan dalam mempercepat kesuksesan pelaksanaan pendidikan inklusi adalah kebijakan yang berfokus untuk memfasilitasi dan memberi akses bagi mereka yang berkebutuhan khusus, dan bagaimana sikap atau opini masyarakat yang menyangkut interaksi dengan anak-anak atau mereka yang berkebutuhan khusus. Fenomena yang ada saat ini bahwa anak–anak difabel mulai mendapatkan haknya dalam bidang pendidikan, yaitu pendidikan yang setara dengan anak-anak non-difabel, melalui adanya sekolah inklusif, khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta. Siswa difabel merupakan salah satu individu yang memiliki peranan penting dalam masyarakat, jika dari dalam diri difabel itu sendiri tidak memiliki kemauan untuk berubah, maka proses belajar tidak akan terjadi, dan sekolah inklusif tidak akan terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya. Siswa difabel memiliki kemauan untuk mendapatkan kesetaraan dalam bidang pendidikan dengan siswa non-difabel dan ikut bersaing dalam pendidikan. Untuk mewujudkan cita-cita dalam mencapai tujuan tersebut, maka pemerintah melaksanakan program sekolah inklusif, dan salah satunya yaitu di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta. Dalam sekolah inklusif, secara tidak langsung siswa difabel harus mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan siswa non-difabel demi perkembangannya. Interaksi sosial siswa difabel, siswa non-difabel, serta guru di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta dapat dianalisis dengan teori “Interaksionisme Simbolik”. i Interaksionisme simbolik menunjuk kepada jenis interaksi yang sangat khusus antara individu-individu, yaitu antara siswa difabel, siswa non-difabel, dan guru. Kekhususan interaksi itu nampak dalam kenyataan bahwa dalam berinteraksi, manusia tidak hanya memberikan reaksi terhadap tingkah laku atau perbuatan sesamanya melainkan terlebih dahulu menafsirkan atau memberikan interpretasi sebelum bertindak. Menurut teori interaksionisme simbolik, tindakan tidak selalu diarahkan pada diri sendiri, namun juga ada alternatif-alternatif lain, seperti emosi, luapan perasaan dan kebiasaan-kebiasaan lain. Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh pihak-pihak yang terlibat atas interaksi sosial. Komunikasi melibatkan tidak hanya proses verbal yang berupa kata, frase atau kalimat yang diucapkan dan didengar, tetapi juga proses non verbal. Proses non verbal meliputi isyarat, ekspresi wajah, kontak mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, artefak, diam, temporalitas dan ciri poralinguistik. Istilah “interaksionisme simbolik” tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi ii manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Seperti yang terjadi pada siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta, menurut pengungkapan Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), bahwa : “Ian menepukkan tangan, hal tersebut menunjukkan bahwa sedang senang. Ian sedang berteriak-teriak menggambarkan kalau dirinya tidak suka. Putra tertawa dan menari-nari menunjukkan bahwa dirinya sedang bahagia. Putra berteriak serta mengangkat kursi itu menggambarkan kalau dirinya sedang marah dan ketidaksetujuannya terhadap kehadiran atau perlakuan orang lain padanya.” (Selasa, 23 Maret 2010) Adakalanya senyuman merupakan simbol dari ketidaksukaannya terhadap perilaku siswa difabe. Hal ini seperti yang diungkapkan Ibu Ida selaku guru wali kelas Ian, sebagai berikut : “Ketika ada diskusi kelompok, Ian tidak pernah suka dengan hal tersebut, sehingga Ian suka mengganggu dan mengacaukan kelas. Tetapi ketika Ian melihat saya tersenyum dan saya merangkulnya, dia langsung tahu apa yang saya maksud dengan senyuman saya itu. Saya tersenyum tandanya menyuruh Ian untuk duduk dan diam jika ia tidak ingin ikut belajar kelompok dengan temannya.” (Selasa, 9 Maret 2010). Perilaku manusia merupakan suatu rangkaian yang diantaranya terdiri dari sikap dan tindakan. Sikap merupakan sebuah konsep yang dianggap paling penting dalam ilmu-ilmu sosial. Mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku kita terhadap manusia atau sesuatu yang kita hadapi, bahkan diri kita sendiri. iii Tindakan sosial diartikan sebagai tindakan yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Dalam kaitanya dengan rasionalitas Marx Weber membagi tindakan sosial ke dalam empat tipe, yang mana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Keempat tipe tersebut yaitu : zwerk rational, werktrational action, affectual action, dan traditional action. Berdasarkan ke empat tipe rasionalitas tersebut. Maka tindakan sehari-hari yang dilakukan oleh siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta dapat dikategorikan kedalam tindakan traditional action yaitu dimana tindakan yang dilakukan para siswa difabel khususnya para penyandang autis adalah atas dasar kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu, jadi para guru di Sekolah Dasar Al Firdaus ini memberikan beberapa metode kepada siswa difabel untuk membiasakan apa yang dianggapnya lemah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut : “Ketika guru pendamping iman merasa nilai iman dibawah standar siswa pada umumnya, guru pendamping iman ibu Indi yang mendampingi iman melakukan metode intervensi kepada iman untuk mengulang dan membiasakan agar iman ini untuk diberikan tambahan pelajaran khususnya untuk materi yang mendapatkan nilai buruk, seperti pada pelajaran Matematika, Bahasa Arab dan Bahasa inggris.” (Selasa, 6 April 2010). Adapula tindakan yang mencerminkan kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu yang menjadi ciri tersendiri bagi para siswa difabel khususnya siswa autis. Secara umum anak autis sulit untuk menerima perubahan secara langsung dan harus ada pemahaman yang bisa meyakinkan anak tersebut ketika mengalami perubahan dalam kebiasaan sehari-hari, misalnya yang terjadi pada Putra. “Pada awal kelas 3 Putra ini sulit sekali beradaptasi dengan waktu ketika pada kelas 2 jadwal pulang sekolah adalah pukul 13.05 kemudian pada kelas 3 iv menjadi pukul 15.15. Pada awal sekolah di kelas 3 saat jam 13.05 Putra menagis dan ingin pulang dikarenakan kebiasaanya di kelas 2 adalah jam pulang, kemudian dari wali kelasnya dan guru pendamping diberi pengertian dan dibebaskan untuk sementara asal tidak pulang. Setelah lama-kelamaan sudah terbiasa di kelas 3 Putra tidak lagi meminta pulang dan sudah mau mengikuti pelajaran sampai jadwal jam pulang pada pukul 15.15” (Selasa, 6 April 2010). Hal ini berbeda dengan kasus Ian, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku guru wali kelas Ian, sebagai berikut : “Ian pada awal masuk sekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, dia tidak mau mengikuti sholat, kemudian guru memberikan penjelasan berulang kali tentang makna dan cara sholat kepada Ian. Ibu Ida memberikan penjelasan bahwa saat adzan, Ian harus mengambil air wudhlu, kemudian saat menunggu qomat, Ian boleh berada di kelas, tetapi setelah qomat harus segera ke masjid untuk mendirikan sholat. Setelah beberapa bulan proses tersebut berlangsung, Ian mengikuti aturan sholat yang telah dijelaskan Ibu Ida. Tetapi aturan tersebut ternyata tidak dapat diterapkan pada sholat Jumat. Karena dalam sholat Jumat setelah adzan ada dakwah kemudian qomat setelah itu sholat. Sedangkan Ian sudah terlanjur paham tentang penjelasan pertama dimana tidak ada dakwah dalam sholat biasanya, sehingga sampai saat ini Ian tidak bisa mengikuti Sholat Jumat sebagaimana mestinya. Untuk merubah sikap dan aturan yang seperti ini sangat sulit diterapkan pada Ian, harus mulai dari awal lagi dan butuh proses yang semakin lama lagi” (Selasa, 23 Maret 2010). Berkaitan dengan hal diatas manusia sebagai aktor mempunyai kemampuan untuk memilih. Kemampuan inilah yang disebut Parsons sebagai Voluntarisme, yaitu kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan. Hal ini sesuai dengan salah satu asumsi fundamental teori aksi yang dikemukakan oleh Hinkle yaitu sebagai subyek, manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan tertentu, tindakan manusia tanpa ada tujuan dan maksud tertentu. v Selain teori interaksionisme simbolik dan teori aksi diatas, penelitian Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta ini juga menggunakan teori kritis dari Max Horkheimer dan Jurgen Habermas. Di dalam gagasan kritis Horkheimer menitikberatkan pada peran psikologis sosial dalam menjembatani kesenjangan antara individu dan masyarakat. Teori kritis bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat rasional dan sekaligus memberikan kesadaran pembangunan masyarakat yang rasional. Teori kritis yang tampak pada penelitian ini adalah bahwa siswa difabel mengalami perkembangan psikologis dan ego. Salah satunya yang terjadi antara lain semangat siswa difabel yang tidak mau kalah dan semangat dalam memperoleh nilai yang bagus seperti yang di utarakan Iman bahwa: “Apabila nilai saya jelek dibawah 7 saya harus rajin belajar dan harus didampingi oleh ibu Indi guru pendamping saya, pokoknya biar nilainya bagus biar bisa pinter.” (Selasa, 24 Mei 2010). Selain untuk menunjukkan identitas dan keaktifannya dilingkungan baik lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal, siswa difabel juga harus mendapatkan hak yang sama setara dengan siswa non-difabel. Hal ini seperti yang diungkapkan ibu Ida wali kelas Ian sebagai berikut: “Materi dan soal yang diujikan di UASBN untuk Ian sama dengan siswa nondifabel hanya cuma masalah membaca soalnya saja yang harus dibantu, karena Ian ini tidak suka membaca soal-soal yang panjang. Walaupun Ian ini autis kemampuan akademiknya sama dengan siswa non-difabel jadinya tidak ada pembedaan atau diskriminasi disekolah ini.” (Selasa, 23 Maret 2010). vi Adapun penuturan Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) mengenai materi, kurikulum, dan soal ujian siswa difabel, bahwa : “Untuk siswa dengan gangguan Cerebral Palsy, yaitu pada Nanda dan Tian, serta pada siswa yang nengalami gangguan belajar yaitu pada Iman, bahwa kurikulum, mata pelajaran, dan soal-soal ujiannya adalah sama dengan siswa non-difabel. Hanya saja ada tambahan pelajaran bagi mata pelajaran yang dirasa siswa mengalami ketertinggalan atau nilainya buruk. Bimbingan pelajaran tambahan dilakukan di ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), diluar jam mata pelajaran. Kemudian untuk Abdul dan Rahman, kurikulum, materi dan soal-soalnya sama dengan siswa non-difabel. Karena mereka masih menduduki kelas I dan kelas II, maka target pembelajaran adalah bisa membaca, menulis, dan berhitung, maka seluruh kurikulum masih sama dengan siswa non-difabel. Berbeda pada siswa autis, yaitu Ian dan Putra, walaupun mereka juga memiliki kurikulum, mata pelajaran, dan soal-soal yang sama, tetapi tetap saja ada beberapa faktor yang dibedakan oleh konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) disesuaikan dengan kemampuan anak. Dimana contohnya jika Ian, yaitu target nilainya diturunkan, jika siswa non-difabel yaitu memiliki target nilai antara 0-100, maka Ian ditargetkan antara 0-70 saja. Pada dasarnya seluruh kurikulum, materi dan soal yaitu disesuakikan dengan kemampuan anak.” (Selasa, 9 Maret 2010). Selain masalah akademis atau kurikulum di sekolah inklusif seperti Sekolah Dasar Al Firdaus ini juga ada beberapa kendala antara lain dari sisi aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta sebagai salah satu Sekolah Inklusif di Kota Surakarta, yaitu : fasilitas fisik atau sarana prasarana penunjang. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut : vii “Untuk penerimaan siswa baru khususnya untuk siswa berkebutuhan khusus atau siswa difabel kami dari pihak sekolah akan memberikan tes dan wawancara terlebih dahulu. Kami juga memberikan penawaran dan penjelasan kepada orang tua calon siswa mengenai masalah fasilitas penunjang belajar siswa dikarenakan fasilitas yang dimiliki oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus saat ini terbatas untuk jenis difabel tertentu saja, jadi untuk siswa seperti contohnya tuna netra kami belum bisa menerima dikarenakan kami belum memiliki fasilitas bagi tunanetra, seperti huruf braile. Dan untuk siswa yang memakai kursi roda kami juga belum bisa menerima, karena sekolah kami tidak memiliki trailler, dimana lokasi ruang kelas kami ada yang dilantai 2, dan siswa diharuskan mampu untuk menaiki atau menuruni anak tangga. Kami tidak memiliki fasilitas trailler untuk menaiki dan menuruni tangga menggunakan kursi roda. Untuk akses komunikasi dan informasi kami memang sudah memberikan seperti sekolah lainnya, yaitu berupa komputer dan internet, dimana seluruh siswa baik difabel maupun non-difabel mendapatkan fasilitas tersebut. Khusus bagi siswa difabel mendapatkan fasilitas cek kesehatan, serta bagi siswa autisme kami memiliki berbagai macam alat bantu seperti trampolin, ayunan, guiding block, bola, dan alat-alat wiraswasta, untuk membantu mengembangkan ketrampilan dan daya pikir bagi siswa autis, sehingga diharapkan dengan adanya fasilitas seperti itu siswa difabel dapat hidup mandiri nantinya.” (Selasa, 9 Maret 2010). Kritik merupakan refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri, rasio dalam sejarah serta bersifat emansipatoris dan untuk melakukan transformasi sosial. Kritik juga merupakan refleksi atas proses menjadi sadar atau refleksi tentang asal-usul tentang kesadaran, tidak berpihak kepada kemanusiaan dan melakukan pemberdayaan sehingga tercipta masyarakat yang berkeadilan. Ilmu-ilmu kritis berusaha menunjukkan bahwa keajegan-keajegan tertentu yang merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis pada dasarnya dapat diubah. Habermas menyebut “refleksi diri” (self reflexion). Melalui refleksi ini orang harus dibebaskan dari segala sesuatu yang mendominasi, yang membelenggu dan mengarah pada kemungkinan adanya hubungan-hubungan ketergantungan tersebut. viii Dalam hubungannya dengan sekolah inklusif di Sekolah Dasar Al Firdaus, baik siswa difabel maupun siswa non-difabel, tidak ada yang saling mendominasi satu sama lain. Walaupun mayoritas siswa adalah siswa non-difabel, tetapi interaksi sosial yang terjalin sangat baik, bahkan dalam hal prestasi, siswa difabel mampu bersaing dengan siswa non-difabel. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Nanda tentang interaksi sosial dengan teman-temannya yang non-difabel, sebagai berikut : ”Teman-teman saya baik kok, kalau saya butuh bantuan, mereka mau membantu, bahkan ada yang mau berteman akrab dengan saya. Dulu pas kelas 2 saya sering diejek ama teman-teman laki-laki saya karena katanya jalannya seperti bebek, dan mereka mengikut cara jalan saya, tapi ya sudah itu kan hal biasa, sekarang sudah tidak lagi soalnya sudah dioperasi. Sekarang mereka semua baik sama saya dan saling menolong. Saat saya bertanya atau belajar kelompok, teman-teman juga asyik, tidak menjauhi saya, malah selalu mendekati.” (Selasa, 24 Mei 2010). Interaksi sosial siswa difabel autis berbeda dengan difabel Celebral Palsy, dimana para penyandang autis jarang berinteraksi sosial dengan teman-teman nondifabel. tetapi pada umumnya tidak ada hambatan komunikasi dan interaksi sosial diantara siswa difabel autis dan siswa non-difabel. Hanya saja untuk memulai komunikasi harus dilakukan berulang kali dan dengan pendekatan yang tidak biasa, dimana pendekatan tersebut dilakukan berulang-ulang dan secara teratur. Mereka memiliki dunianya sendiri atau memiliki imajinasi yang tinggi, sehingga jika kita ingin berkomunikasi harus mampu memasuki dunia imajinasi mereka. Hanya beberapa orang saja yang ditakuti dan ditaati oleh siswa difabel, contohnya adalah bahwa Ian hanya takut dan menurut pada 4 orang saja, yaitu : Kepala Sekolah, Kepala Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), guru walikelas, dan orang tuanya saja. ix Di lingkungan masyarakat anak difabel hingga saat ini masih terkesan harus “dikasihani” padahal hal tersebut salah, dimana anak difabel harus diajarkan lebih keras untuk dapat hidup mandiri melalui pendidikan pada umumnya dan pendidikan inklusif pada khususnya. Masyarakat saat ini harus lebih peka terhadap hak yang dimiliki oleh anak difabel, salah satunya adalah hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang sama dengan anak non-difabel. Melalui pendidikan inklusif inilah hak anak-anak difabel tersebut didapatkan. Pendidikan inklusif sebaiknya terus ditingkatkan oleh Pemerintah, tidak hanya Pendidikan di Sekolah Luar Biasa saja. Sehingga siswa difabel memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan seperti siswa non-difabel pada umumnya. Memiliki kurikulum pendidikan yang sama tanpa membedakan kurikulum yang satu dengan yang lainnya. Bahkan untuk perkembangan interaksi kearah kemandirian siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif dan siswa difabel yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa memiliki perbedaan tingkat perkembangannya. Hal ini telah terbukti seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut : “Kurikulum di Sekolah Luar Biasa lain dengan kurikulum di sekolah inklusif, selain itu interaksi siswanya juga lebih berkembang, karena mereka berteman dengan siswa non-difabel. Jika di Sekolah Luar Biasa kan teman-temannya ya siswa difabel semua, maka tidak akan berkembang nantinya. Memang di sekolah inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini menekankan pada Interaksi siswa agar dapat mandiri.” (Selasa, 23 Maret 2010). Namun demikian, sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif tidak serta merta mau menerima anak difabel pada umumnya, tetapi melalui seleksi tes dan wawancara, sehingga persaingan untuk mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan dan pengajaran bagi anak difabel juga sangat ketat seperti pada anak non- x difabel pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan aksesibilitas yang dimiliki oleh sekolah inklusif belum selengkap yang dimiliki oleh Sekolah Luar Biasa (SLB) yang memang dikhususkan bagi siswa difabel. Anak difabel adalah anak yang mampu berhasil dengan keterbatasannya jika pihak-pihak terkait seperti : keluarga, masyarakat, dan kalangan pendidik mampu lebih peka terhadap kebutuhan, hak, dan kewajiban anak-anak difabel, agar di masa mendatang dapat berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. xi BAB IV PENUTUP Pada bagian penutup ini, penulis akan memaparkan secara singkat kesimpulan dan memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian yang berjudul “Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta”. Difabel merupakan sebuah fenomena yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Walaupun sudah lama muncul, tapi masih banyak juga orang tua yang belum mengerti tentang difabel ini, bahkan mengartikannya dengan anak idiot/ aneh, padahal difabel adalah semacam keterlambatan perkembangan. Di dalam skripsi ini penulis telah membahas mengenai aksesibilitas dan interaksi sosial siswa difabel dan non-difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yang merupakan salah satu sekolah inklusif di Kota Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah inklusif sangat diperlukan demi perkembangan interaksi sosial siswa difabel dan mempersiapkan masa depannya kelak. Dengan keterbatasan aksesibilitas yang dimiliki oleh sekolah inklusif, diharapkan kedepannya mampu menambah aksesibilitas yang diperlukan bagi siswa difabel, karena pendidikan inklusif sangat dibutuhkan oleh siswa difabel terutama dalam membina kemandirian, rasa percaya diri, dan interaksi sosial yang nantinya dapat digunakan dalam masyarakat. xii KESIMPULAN Fenomena yang ada dalam masyarakat sekarang ini adalah semakin kompleksnya permasalahan yang berkaitan dengan penyandang cacat atau difabel. Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut. Sehingga masyarakat sebagai sistem sosial berusaha agar fenomena ini tidak lagi menjadi hal yang menakutkan, dan perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak untuk memecahkan persoalan ini. Gangguan komunikasi pada siswa difabel ditandai tiga gejala utama yaitu gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan perilaku yang stereotipik. Di antara ketiga hal tersebut, yang paling penting diperbaiki lebih dahulu adalah interaksi sosial. apabila interaksi sosial membaik, maka seringkali gangguan komunikasi berkurang dan perilaku akan membaik secara otomatis. 1. Kesimpulan Empiris Setiap orangtua pasti tidak berharap dan ditakdirkan untuk memiliki anak difabel, yang mengalami kesulitan dalam hal : bahasa, perilaku, dan interaksi sosial. Maka yang dapat dilakukan orangtua adalah bertanggung jawab atas kelangsungan hidup maupun kesejahteraan mereka di kemudian hari, salah satunya bertanggungjawab dalam hal pendidikan. Setiap anak memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan. Melalui pendidikan inklusif, setiap siswa baik itu siswa difabel dan nondifabel mendapatkan materi, kurikulum, tempat, dan waktu pembelajaran yang xiii sama tanpa adanya pembedaan. Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus merupakan salah satu sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif di Kota Surakarta yang memberikan pelayanan bagi siswa difabel melalui program intervensi dari Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), dimana program intervensi tersebut merupakan program tambahan bagi siswa difabel selain mereka mengikuti pelajaran di ruang kelas. Anak difabel memerlukan penanganan secara menyeluruh, yang tentunya harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, khususnya di bidang pendidikan. Melalui pendidikan inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini siswa difabel telah banyak mengalami perubahan sikap yang terkait dengan masalah gangguan interaksi sosial dan sosialisasi. Saat pertama kali masuk di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, siswa sangat tidak percaya diri, sulit untuk berinteraksi sosial dan bersosialisasi bersama teman-teman, serta mempunyai nilai pelajaran yang rendah. Tetapi setelah melalui proses pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, siswa difabel kini mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman non-difabel serta memiliki rasa percaya diri dan mandiri. Sikap-sikap inilah yang nantinya akan dibutuhkan oleh para siswa difabel ketika mereka memasuki dunia kerja maupun untuk bekal hidup di masa mendatang. 2. Kesimpulan Teoritis Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga teori sebagai alat untuk menganalisa permasalahan yang berkaitan dengan penelitian, yaitu : Teori Interaksionisme Simbolik, Teori Aksi dan Teori Kritis. Teori Interaksionisme Simbolik menurut George Herbert Mead menekankan pada tindakan Sosial dari Max Weber. Teori Interaksionisme xiv Simbolik menyatakan bahwa perilaku dijelaskan menurut gerak-gerak refleks yang dipelajari atau yang sudah menjadi kebiasaan, rangsangan-rangsangan lingkungan, atau proses-proses psikologis yang pada prinsipnya semua itu dapat diukur secara empiris. Perkembangan kemampuan berkomunikasi dengan bahasa verbal maupun non verbal bagi anak penyandang autis sangat lambat, maka segala keinginannya akan diungkapkan secara simbolik sebagai bentuk komunikasi. Begitu pula bentuk komunikasi orang tua kepada anaknya yang walaupun verbal, tetapi hanya satu-dua kata saja, karena pemahaman yang minim dari sang anak. Istilah “interaksi simbolik” menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol dalam menginterpretasikan makna. Hal ini sangat dibutuhkan oleh Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus ketika menangani siswa difabel dalam hal memahami seluruh mata pelajaran yang ada, yaitu dengan adanya guru pendamping yang selalu mendampingi siswa difabel ketika menerima pelajaran di kelas, kemudian menerangkannya kembali kepada siswa, karena siswa difabel membutuhkan pemahaman yang berulang kali agar dapat mengerti maksud dari pelajaran yang didapatkan. Adapula simbol-simbol berupa alat bantu yang digunakan oleh guru untuk mempermudah menerangkan kepada siswa difabel, yaitu berupa puzzle, guiding block, dan gambar-gambar. Hal ini dilakukan xv oleh para guru pendamping karena siswa difabel khususnya autis hanya dapat mencerna pelajaran dengan cara memberikan contoh yang konkrit, jika tidak diberikan contoh yang konkrit, mereka sangat sulit mencerna pelajaran yang ada. Khususnya pada mata pelajaran sosial dan kewarganegaraan, dimana mata pelajaran tersebut sebagian besar menerangkan tentang kehidupan manusia, sehingga guru pendamping selalu memberikan contoh dalam pelaksanaannya di lingkungan masyarakat. Selanjutnya teori aksi yang terdapat dalam paradikma definisi sosial yang menekankan pada tindakan sosial karya Max Weber. Secara definitive Max Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Dalam definisi sosial ini terkandung dua konsep dasarnya, yaitu tindakan sosial dan konsep tentang penafsiran serta pemahamannya. Menurut teori aksi, tindakan yang dilakukan siswa difabel dengan berinteraksi dengan siswa non difabel dan guru, muncul dari kesadaran pribadi sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Dalam hal ini berlaku pada siswa difabel untuk berinteraksi dalam kegiatan belajar mengajar sebagai upaya bersama untuk mewujudkan hak-hak difabel dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan setara dengan non difabel pada umumnya. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu sehingga apa yang dilakukan siswa-siswa difabel tersebut bukan tanpa tujuan yang jelas, akan tetapi dengan melihat tindakan mereka mengikuti program tambahan atau intervensi dan terapi merupakan langkah yang diambil dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan dengan tujuan kesetaraan hak dan kemampuan mereka dengan siswa non difabel lainnya. Teori Kritis dalam gagasan kritis Horkheimer menitikberatkan pada peran psikologis sosial dalam menjembatani kesenjangan antara individu dan masyarakat. Teori kritis bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat irasional dan sekaligus memberikan kesadaran pembangunan masyarakat yang rasional. Anak difabel di masyarakat masih dikesampingkan, dimana mereka masih dikasihani dan tidak diberikan ruang lebih untuk mengembangkan potensi dan bakat mereka. Anak difabel seharusnya tidak boleh dikasihani, tetapi harus diberikan pendidikan yang lebih agar dapat bertahan dan bersaing dalam kehidupan masa mendatang. Pendidikan untuk anak difabel dapat dilakukan melalui pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) serta melalui pendidikan inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus. Pendidikan inklusif adalah program dari pemerintah dimana siswa difabel dan non-difabel dapat belajar bersama di tempat dan di ruangan yang sama serta mendapatkan kurikulum yang sama, sedangkan di Sekolah Luar Biasa (SLB) pada dasarnya teman-teman mereka juga merupakan siswa difabel, sehingga dalam pengembangan interaksi sosial sangat kurang, karena mereka ada pada situasi dimana seluruh teman-temannya difabel semua. Pemerintah telah memberikan program sekolah inklusif ini dengan merujuk kepada hak-hak difabel, dimana mereka juga berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang sama. Perkembangan psikologis siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif terbukti lebih baik, karena lingkungan di sekolah inklusif memberikan pengaruh yang sangat baik bagi siswa difabel. Mereka harus dapat berinteraksi dan xvi bersosialisasi dengan siswa non-difabel serta harus mampu bersaing dengan siswa non-difabel. Sekolah inklusif selain menekankan pada bidang pendidikan dimana ruang dan kurikulum yang diberikan oleh siswa difabel sama dengan siswa non-difabel, juga memberikan pelayanan bagi perkembangan psikologis siswa difabel melalui program terapi yang khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) . Sehingga output yang ditargetkan oleh sekolah inklusif khususnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu bagi siswa difabel dapat hidup mandiri di kehidupan mendatang. 3. Kesimpulan Metodologis Berdasarkan masalah yang telah dibahas maka penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala, atau keadaan. Dengan demikian data-data yang telah terkumpulkan dari hasil penelitian dideskripsikan kemudian disimpulkan sebagai informasi aktual tentang peran orang dalam penanaman nilai-nilai sosial terhadap anak difabel. Dalam teknik pengumpulan data, penulis berperan sebagai Human instrument yang turun ke lapangan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data. Pengumpulan data dilakukan baik interaktif maupun non interaktif. Metode wawancara mendalam digunakan untuk metode interaktif dan catatan dokumen dan observasi tak berperan digunakan untuk metode noninteraktif.. Pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik purposive sampling, yaitu peneliti memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Dengan demikian, penulis dapat memperoleh data-data dari informan yang selain tahu permasalahan penelitian juga sanggup untuk memberikan data yang penulis butuhkan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis interaktif. Reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan dilakukan sejak atau xvii bersamaan dengan proses pengumpulan data, sehingga pada akhirnya mengarah pada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara mantap. SARAN Sebagai penutup dalam penelitian untuk penyusunan skripsi yang berjudul “Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta” ini penulis mengajukan beberapa saran yang bisa dipertimbangkan dan ditindaklanjuti. Untuk masyarakat Apabila menjumpai anak dengan difabel di sekitar kita, jangan menghina keterbatasan yang mereka miliki. Karena dukungan semacam itu dapat meningkatkan semangat anak difabel itu sendiri beserta orangorang disekelilingnya. Apabila mengetahui informasi yang tepat mengenai difabel itu sendiri khususnya mengenai sekolah inklusif hendaknya dapat memberikan informasi kepada para orangtua yang belum mengetahui, untuk selanjutnya dilakukan penanganan secara dini, khususnya di bidang pendidikan. Di tangan orang yang tepat anak akan mendapatkan intervensi yang tepat pula. Bagi orangtua Diharapkan para orangtua anak penyandang difabel jangan berhenti untuk selalu mencari informasi dan ikut menyebarluaskan pengalamannya kepada masyarakat umum melalui seminar ataupun kegiatan positif lainnya. Seperti yang telah dilaksanakan Komite Sekolah xviii Al Firdaus, bahwa organisasi yang terdiri dari orang tua murid dan guru ini pernah mengadakan seminar pendidikan dengan Kak Seto, kemudian kegiatan rutin yang dilaksanakan adalah kegiatan outting, dimana siswa difabel dan non-difabel diberikan kesempatan untuk belajar diluar, dirumah teman-temannya secara bergantian. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan interaksi sosial bagi siswa non-difabel pada umumnya dan siswa difabel pada khususnya. Apabila istilah Difabel sudah tidak asing di telinga masyarakat umum, maka tidak akan ada yang namanya rasa malu dan ketakutan akan dikucilkan. Bagi Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Berupaya tetap bekerjasama dengan sekolah-sekolah baik itu sekolah umum maupun Sekolah Luar Biasa demi perkembangan pendidikan siswa difabel. Tetap memberikan pelayanan yang terbaik bagi siswa difabel melalui program khusus yang diberikan melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Menambah sarana dan prasarana termasuk perbaikan ruangan Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang dijadikan sebagai tempat menyendirinya siswa difabel serta perbaikan ruang terapi, agar siswa difabel yang melakukan terapi maupun konsultasi di ruang tersebut merasa nyaman serta merubah struktur bangunan sekolah dengan menambah trailer, sehingga siswa difabel yang menggunakan kursi roda juga dapat bersekolah di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus. xix Saran yang lain walaupun sarana dan prasarana yang ada sudah cukup memadai, tetapi seharusnya sarana yang ada tidak hanya untuk siswa autis, celebral palsy, dan hambatan belajar saja, melainkan juga bagi untuk difabel tuna rungu, tuna netra, tuna daksa, dan lainnya karena pada hakekatnya sekolah inklusif adalah sekolah umum yang dapat menerima siswa difabel dari berbagai jenis difabel. Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus telah menjadi sekolah rujukan bagi pendidikan inklusif lainnya untuk memberikan layanan bagi siswa difabel di sekolah lain melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Hal ini perlu ditingkatkan lagi khususnya dari segi pelayanan dan manajemennya terkait dengan kepercayaan pemerintah Kota Surakarta menjadikan satu-satunya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai sekolah percontohan pendidikan inklusif untuk sekolah yang lainnya. Bagi pemerintah Agar menyediakan sekolah-sekolah umum yang mau dan mampu menampung anak penyandang difabel (sekolah inklusif) dan lebih memberikan fasilitas kepada sekolah inklusif guna menunjang pendidikan bagi siswa difabel, karena saat ini sekolah inklusif yang telah berjalan dengan baik ternyata belum memiliki fasilitas yang menyeluruh dengan adanya keterbatasan dana. Selain itu juga pemerintah juga harus memperhatikan hak-hak anak difabel, apa yang dibutuhkan dan yang xx dirasa kurang untuk fasilitas-fasilitas umum untuk para difabel juga harus ditambah. Seperti kita ketahui bahwa hak-hak dan aksessibilitas difabel sudah diatur didalam beberapa landasan hukum tentang kesejahteraan penyandang cacat dan penyediaan aksesibilitas di Indonesia yaitu UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah RI No.43 tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan, dan beberapa peraturan lainya. Dalam UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat berkaitan dengan aksesibilitas disebutkan pada pasal 2 bahwa penyediaan aksesibilitas dimaksudkan baik untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat hidup bermasyarakat sedangkan pada pasal 3 disebutkan peyediaan aksesibilitas yang dimaksud pada pasal (1) dan pasal (2) diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Jelas sekali amanat dari undang-undang tersebut bahwa pemerintah dan atau masyarakat wajib menyelenggarakan aksesibilitas terhadap difabel. Hal tersebut juga diperkuat oleh Peraturan Pemerintah bahkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umun. Selain itu juga pada tahun 2009, Menteri Pendidikan berhasil menggulirkan peraturan tentang Pendidikan Inklusi dalam bentuk Surat Keputusan Menteri No. 70 tentang Pendidikan xxi Inklusi Untuk Anak-anak Penyandang Cacat dan Anak-anak Berbakat. Pemerintah bertanggung jawab untuk mengelola pelaksanaan pendidikan inklusif. Mereka mewajibkan pengelolaan sekolah di masing-masing Kabupaten dan Kota sementara pemerintah Nasional dan Propinsi akan berperan sebagai pendukung yang efektif untuk memastikan bahwa sekolah inklusif mendapatkan dana yang memadai. Oleh karena itu diperlukan koordinasi yang baik antar bagian (divisi) di Depdiknas. Ini semua adalah upaya pemerintah untuk terciptanya hak-hak difabel, untuk memenuhi kebutuhan dan haknya di berbagai bidang khususnya pendidikan. Di beberapa Negara maju seperti Amerika dan Eropa sudah terdapat banyak program penempatan kerja bagi para penyandang difabel dewasa. Hendaknya di Indonesia, dengan keahlian (skill) khusus ini, mereka diharapkan bisa memperoleh pekerjaan yang layak dalam masyarakat. Walaupun kesempatan untuk bekerja memang lebih terbatas pada keahlian (skill) khusus yang harus diberikan dan dikembangkan pada diri mereka. Masih banyak hal yang patut kita ketahui dan kita kaji tentang dunia anak difabel, baik di lingkungan rumah, sekolah dan di masyarakat. Penulis berharap akan semakin banyak penelitian yang berkaitan dengan difabel dan sekolah inklusif. Dengan harapan dapat memperbanyak wacana tentang difabel dan pendidikan bagi siswa difabel selain di Sekolah Luar Biasa itu sendiri. Yang menjadikan fenomena interaksi sosial siswa difabel di sekolah inklusif ini menarik xxii adalah interaksi sosial siswa difabel dan siswa non-difabel, dimana siswa difabel memiliki gangguan interaksi sedangkan siswa non-difabel memiliki sikap toleransi yang tinggi terhadap kondisi teman difabel mereka. Sehingga diantaranya terjalin hubungan interaksi yang baik khususnya bagi siswa difabel itu sendiri. Yang menjadikan penelitian difabel ini sulit adalah mencari informasi langsung dari siswa difabelnya, karena mereka sulit menerima orang baru dan berbagai bentuk perubahan yang ada, sehingga penulis mendapatkan banyak informasi dari siswa non-difabel, guru, dan orang tua siswa difabel. Peneliti hanya mengamati perilaku siswa difabel selama penelitian berlangsung dan mencari informasi melalui siswa non-difabel, guru, dan orang tua. Sebagai akhir kata, mudah-mudahan skripsi dapat bermanfaat dan bila ada saran dan kritik dengan senang hati penulis akan menerimanya sebagai bahan untuk lebih menyempurnakan skripsi ini. xxiii DAFTAR PUSTAKA Abdul Salim Choiri. 1999. Pendidikan Inklusif : Teori dan Implementasinya. Surakarta : PPRR LEMLIT UNS. Attwood, Tony. 2005. Sindrom Asperge. Panduan Bagi Orangtua dan Profesional. Jakarta.: PT Serambi Ilmu Semesta. Brotosedjati, Soebagyo. 2003. Rintisan Pendidikan Inklusi di Jawa Tengah. Makalah Seminar Dies-Natalis XXVII. Surakarta : UNS. Demartoto, Argyo. 2007. Menyibak Sensitivitas Gender Dalam Keluarga Difabel. Surakarta : UNS Press. Johnson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Kartono, Kartini. 1990. Pengantar Metode Riset Sosial. Bandung : Mandar Maju. Koentjoroningrat. 1990. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Moleong, Lexy. J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. 2007. Bandung ; PT. Remaja Rosdakarya. Raho, Bernard. 2004. Sosiologi – Sebuah Pengantar. Maumere : Ledalero. Ritzer, George. 1982. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta : Rajawali Pers. xxiv Ryadi Soeprapto,. 2000. Interaksionisme Simbolik, Perspektiof Sosiologi Modern. Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar. Salim, Agus. 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta : Tiara Wacana. Santoso, Listiyono. 2007. Epistemologi Kiri. Jogjakarta : Ar Ruzz Media. Sarwono, Sarlito W. 2005. Psikologi dalam Praktek. Jakarta : Restu Agung. Slamet, Y. 2002. Metode Penelitian Sosial. Surakarta : UNS Press. Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik; Perspektif Sosiologi Modern. Malang : Averroes Press. Soekanto, Soerjono. 1970. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Universitas Indonesia. Sunardi. 1996. Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta : Proyek PTG. Susilo, Dwi, Rachmat. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern. Jogjakarta : Ar Ruzz Media. Sutopo, H. B. 2002. “Metodologi Penelitian Kulitatif, Dasar Teori dan Penerapannya”. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Totok, Bintoro. 2002. Penyelenggaraan Pendidikan Bagi Anak Yang Memerlukan Pelayanan Khusus di Indonesia Dari Waktu ke Waktu. Makalah disampaikan dalam Seminar Pendidikan Terpadu dan Layanan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta. Vaugn, S, Bos,C.S.& Schuman. 2000. Teaching Exeptional, Diverse, And At Risk Student in the General Education Classroom. Boston. Allyn Bacon. xxv Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi : Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat Kelas X. Jakarta : PT. Grafindo Media Pratama. JURNAL INTERNASIONAL 1. Ainscow, Mel. 2006. European Journal of Psychology of Education Vol. XXI. Inclusive Education Ten Years After Salamanca : Setting The Agenda.. United Kingdom : University of Manchester. 2. Schneider, Cornelia. 2009. International Journal of Education Vol I. Equal is not Enough – Current Issues in Inclusive Education in the Eyes of Children. Canada : Mount Saint – Vincent University Faculty of Education. PENELITIAN TERDAHULU : 1. Annisa, Rizky Aulia. 2005. Peranan Orangtua dalam Membentuk Minat dan Perilaku Membaca pada Anak Usia Sekolah Dasar. Surakarta : UNS 2. Salim, Abdul. 2005. Uji Model Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkelainan di Sekolah Umum. Surakarta : UNS. 3. Wijayanti, Paramitha Esti. 2008. Peran Orangtua dalam Penanaman Nilai-Nilai Sosial terhadap Anak Autis (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Peran Tiga Orangtua Anak Penyandang Autis dalam Penanaman Nilainilai Sosial di Mitra Ananda, PPRBM Prof. Dr. Soeharso, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar). Surakarta : UNS. xxvi 4. Listyaningrum, Winda Tri. 2009. Konstruksi dan Model Pendidikan Inklusif (Studi Atas Pola Pembelajaran Inklusif di Madrasah Aliya Negeri Maguwoharjo). Yogyakarta : UGM. 5. Widyamurti, Indah. 2007. Model komunikasi Proses Belajar Mengajar Antara Guru dengan Siswa Penyandang Tunagrahita (StudiKasus di Sekolah Luar Biasa C1 AKW "Kumara I" Surabaya). Surabaya : Universitas Kristen Petra. INTERNET 1. http://priyadi.net/archives/2006/10/04/penggunaan-istilah-difable-ataudifabel/ 2. http://ronawajah.wordpress.com/2008/10/24/mengapa-menjadi-pengemis/ 3. http://fisip.uns.ac.id/publikasi/sp2_1_sonhaji.pdf 4. http://puspasca.ugm.ac.id/files/(0512-H-2004).pdf 5. http://www.acehinstitute.org/opini_badruzzaman_mengemis_dalam_buda ya.htm 6. http://d.scribd.com/docs/c9m3g3utnun0e4590q.pdf 7. http://www.kalbarinfo.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1& id=106 8. http://www.autisme.or.id/berita/article.php?article_id=71 9. http://www.autisme.or.id/welcome/ 10. http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial 11. http://mahardika.wordpress.com/2007/05/23/autisme/ xxvii 12. harry.sufehmi.com/archives/2006-10-17-1302/ - 72k 13. http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi 14. http://id.wikipedia.org/wiki/Kontak_mata 15. http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologikomunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/ 16. http://dahlanforum.wordpress.com/2009/04/20/proses-akomodasi-barudan-kesinambungan-masyarakat-di-tengah-arus-perubahan-sosialmakalah-sosiologi/ 17. http://tatangmanguny.wordpress.com/2009/04/21/subjek-responden-daninforman18. penelitian/http://www.forumsdm.org/index.php?option=com_content&tas k=view&id=807&Itemid=182 19. http://www.scribd.com/doc/20296342/SKRIPSI-Konstruksi-dan-ModelPendidikan-Inklusif-Studi-Atas-Pola-Pembelajaran-Inklusif-di-MadrasahAliyah-Negeri-Maguwoharjo. xxviii xxix