PROSES DAN POLA INTERAKSI SOSIAL SISWA DIFABEL DAN

advertisement
PROSES DAN POLA INTERAKSI SOSIAL
SISWA DIFABEL DAN NON-DIFABEL
DI SEKOLAH INKLUSIF DI KOTA SURAKARTA
Joko Teguh Prasetyo
D 0306004
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010
64
PERSETUJUAN
Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politk
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Drs. Argyo Demartoto, M, Si
NIP. 19650825 199203 1 003
65
PENGESAHAN
Telah diterima dan disahkan oleh panitia penguji skripsi
Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
Universitas sebelas maret
Surakarta
Hari
:
Tanggal
:
Panitia penguji skripsi
1.
:
Drs. Muflich Nurhadi, SU
(
)
NIP. 19510116 198103 1 002
2.
Ketua
Drs. Bambang Santosa
(
NIP. 19560721 198303 1 002
3.
)
Sekretaris
Drs. Argyo Demartoto, M.Si
(
NIP. 19650825 199203 1 003
)
Penguji
Mengetahui,
Dekan FISIP UNS
Drs. H. Supriyadi, SN, SU
NIP.195301 28 198103 1 001
66
MOTTO
Untuk mencapai kesuksesan, kita jangan hanya bertindak, tapi juga
perlu bermimpi ; jangan hanya berencana, tapi juga perlu untuk percaya.
To accomplish great things, we must not only act, but also dream; not
only plan, but also believe.
~ Anatole France
Di balik kesuksesan seorang pria selalu ada wanita yang luar biasa di
belakangnya
~ Paul I. Wellman
67
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini saya persembahkan untuk :
Orang tua
Keluarga
Kekasih
68
KATA PENGANTAR
Bismillahhirahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr. wb
Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
kewajiban untuk menyusun penelitian skripsi dengan Judul : “Pola dan Proses
Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota
Surakarta”.
Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan penulis terhadap
pendidikan inklusif. Sehingga timbul kesadaran pentingnya membagi pengalaman
yang didapatkan selama penelitian, agar mendapatkan kepuasan pada diri sendiri
dan dapat membaginya lewat penyusunan skripsi ini. Banyak sekali yang penulis
bisa dapatkan dari penelitian ini terutama sikap dan perilaku siswa difabel dalam
berinteraksi dengan teman-temannya yang merupakan siswa non-difabel.
Sehingga membuat kita lebih bersyukur lagi atas karunia yang diberikan Tuhan
selama ini.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan penelitian
skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu dalam kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada :
1. Drs. H. Supriyadi SN, SU selaku Dekan FISIP UNS
2. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi FISIP UNS
3. Drs. Argyo Demartoto, M, Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan,
petunjuk serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah Sekolah Dasar (SD) AL
Firdaus Kota Surakarta.
5. Ibu Rizka Amalia, S.Psi, selaku konselor Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang telah memberikan banyak bantuan
dalam penyusunan skripsi ini di lokasi penelitian.
69
6. Ibu Ida, Isna, Bapak Joko, Ibu Uswahyu, Pak Agus, selaku guru di
Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus.
7. Orang tua siswa yang telah berbagi pengalaman tentang pendidikan
inklusif di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus bagi perkembangan anak-anak
mereka.
8. Sahabat, teman, dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan
skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih terdapat
kekurangan yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang
penulis miliki. Oleh karena itu penulis membuka diri terhadap segala kritik
maupun saran yang bersifat membangun.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat
bagi pembaca yang budiman.
Wassalau’alaikum wr. Wb.
Surakarta, Juni 2010
Penulis
70
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
…………………………………..
i
HALAMAN PERSETUJUAN
…………………………………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN
…………………………………..
iii
HALAMAN MOTTO
…………………………………..
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
…………………………………..
v
KATA PENGANTAR
…………………………………..
vi
DAFTAR ISI
…………………………………..
viii
DAFTAR GAMBAR
…………………………………..
xi
DAFTAR TABEL
…………………………………..
xii
DAFTAR BAGAN
…………………………………..
xiii
DAFTAR MATRIKS
…………………………………..
xiv
ABSTRAK
…………………………………..
xv
A. Latar Belakang Masalah
…………………………………..
1
B. Rumusan Masalah
…………………………………..
9
C. Tujuan Penelitian
…………………………………..
9
D. Manfaat Penelitian
…………………………………..
10
E. Landasan Teori
…………………………………..
10
F. Definisi Konseptual
......................................................
22
G. Metodologi Penelitian
......................................................
47
…………………………………..
47
2. Bentuk dan Jenis penelitian ………………………………...
48
3. Sumber Data
.....................................................
49
4. Teknik Pengumpulan Data …………………………………
50
5. Teknik Sampling
…………………………………..
54
6. Validitas Data
…………………………………..
55
7. Teknik Analisa Data
......................................................
58
…………………………………………..
61
BAB I PENDAHULUAN
1. Lokasi
H. Kerangka Berpikir
71
BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
A. Profil Yayasan Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta
1. Sejarah Berdirinya Lembaga Pendidikan Al Firdaus
Kota Surakarta
2. Visi Misi dan tujuan
…………………………………
64
…………………………………
66
3. Kurikulum dan Pembelajaran
.......................................
67
4. Sumber Daya Manusia
.......................................
67
5. Unit-unit Pendidikan
.......................................
68
6. Unit-unit Pendukung
.......................................
92
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Profil Informan
…………………………………..
120
2. Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dengan NonDifabel dan Siswa Difabel dengan Guru ……....…………..
146
B. Aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta
bagi Siswa Difabel
.....................................................
181
…………………………………..
196
…………………………………..
207
…………………………………..
207
1. Kesimpulan Empiris
…………………………………..
138
2. Kesimpulan Teoritis
…………………………………..
139
3. Kesimpulan Metodologis …………………………………..
143
C. Pembahasan
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
…………………………………..
144
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………..
221
LAMPIRAN
…………………………………..
226
72
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 : Skema Alur Penelitian
........................................
58
Gambar 1.2 : Skema Kerangka Pikir
…………………………
63
73
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Banyaknya Penyandang Cacat Menurut Jenis & Kecamatan
di Kota Surakarta Tahun 2008
......................................
5
Tabel 1.2 : Daftar Anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
Di Kota Surakarta Tahun 2006 .......................................
6
Tabel 1.3 : Daftar Penyandang Cacat Menurut Jenis Kelamin di Kota
Surakarta Tahun 2006
...................................................
Tabel 1.4 : Daftar Sekolah Inklusif di Kota Surakarta
...............
Tabel 2.1 : Daftar Siswa Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta ..............
7
8
69
Tabel 2.2 : Penggolongan Siswa Difabel Sekolah Dasar (SD)
Al Firdaus Kota Surakarta Menurut Jenis Kecacatan ……
52
Tabel 2.3 : Data Siswa Difabel di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta
Menurut Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
(PUSPA) ……………………………………………………
74
53
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 : Struktur organisasi pada Taman Pendidikan Pra Sekolah
(TPP) Al Firdaus Tahun Pelajaran 2009/20101 ............
74
Bagan 2.2 : Struktur Organisasi Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota
Surakarta Tahun Pelajaran 2009/2010 ........................
79
Bagan 2.3 : Struktur organisasi Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus
Kota Surakarta ............................................................
89
Bagan 2.4 : Struktur organisasi Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Al Firdaus Kota Surakarta
.....................................
90
Bagan 2.5 : Struktur organisasi Sekolah Menengah Atas (SMA)
Al Firdaus Kota Surakarta
.....................................
91
Bagan 2.6 : Struktur organisasi Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan
Khusus (PUSPA) Al Firdaus
....................................
100
Bagan 2.7 : Prosedur Standar Intervensi Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus .................
75
101
DAFTAR MATRIKS
Matriks 3.1 : Profil Informan
…………………………………..
136
Matriks 3.2 : Keterbatasan Siswa Difabel dalam Berinteraksi Sosial ….
150
Matriks 3.3 : Gangguan Interaksi dan Sosialisasi pada Siswa Difabel
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta …………
159
Matriks 3.4 : Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel …………………..
166
Matriks 3.5 : Pola Interaksi Sosial
178
………........……………………..
Matriks 3.6 : Aksesibilitas Seklah Dasar (SD) Al Firdaus Bagi Siswa
Difabel ………........……………………..........................
76
196
ABSTRAK
Joko Teguh Prasetyo. D0306004. Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa
Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta. Skripsi.
Jurusan Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas
Maret Surakarta. 2010.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif tentang Pola dan
Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota
Surakarta. Penelitian telah dilaksanakan di Lembaga Pendidikan Al Firdaus
khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta. Pengumpulan data
dilakukan dengan metode interaktif melalui wawancara dan dengan metode non
interaktif melalui catatan dokumen observasi tak berperan. Pengambilan sampel
dilakukan purposive sampling. Analisa data menggunakan model analisa
interaktif, sedangkan validitas data menggunakan triangulasi data/ sumber.
Kemudahan dalam penelitian skripsi ini adalah sikap yang terbuka dari
para stakeholder terkait, yaitu : guru dan orang tua siswa difabel, serta
keterbukaan dari informan (siswa difabel), yaitu : Abdul (bukan nama
sebenarnya), Rahman (bukan nama sebenarnya), Tian (bukan nama sebenarnya),
Nanda (bukan nama sebenarnya), Putra (bukan nama sebenarnya), Ian (bukan
nama sebenarnya), dan Iman (bukan nama sebenarnya). Sedangkan kesulitannya
adalah terbatasnya siswa difabel autis sebagai responden penelitian, karena sulit
untuk beradaptasi dengan orang baru.
Penelitian ini membuktikan bahwa tidak adanya kesulitan interaksi sosial
pada siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif khususnya di Sekolah
Dasar (SD) AL Firdaus. Aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai
sekolah inklusif memiliki sarana dan prasarana yang kurang memadai, tetapi
dalam hal manajerial telah memiliki program unggulan dalam pelayanan khusus
bagi siswa difabel, yaitu melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
(PUSPA). Output siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif khususnya di
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu mewujudkan generasi yang beriman dan
bertakwa berwawasan iptek serta mampu menuju kearah kemandirian.
77
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Difabel yang merupakan kepanjangan dari "different ability" merupakan
salah satu masalah sosial yang masih dihadapi oleh Negara Indonesia saat ini.
Banyaknya kaum difabel yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat
Indonesia, membuat kaum ini merasa terdiskriminasi di segala bidang kehidupan.
Di bidang pendidikan anak difabel juga mengalami pendiskriminasian, dimana
pendidikan yang diperoleh anak difabel dibedakan dengan anak non-difabel pada
umumnya.
Kesamaan hak anak atas pendidikan dijamin sepenuhnya didalam
instrumen hukum (baik internasional maupun nasional). Pendidikan bertujuan
memperkuat Hak Asasi Manusia. Walaupun tujuan dan sasarannya berbeda-beda
menurut konteks nasional budaya, politik, agama serta sejarah masing-masing.
Hak anak difabel atas pendidikan diperjelas kembali dalam Konvensi Hak Anak
(1989), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1989), Peraturan
Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat (1993),
Deklarasi Salamanca dan Kerangka Aksi Unesco (1994), Undang-undang
Penyandang Cacat (1997), dan Kerangka Aksi Dakar (2000). Dalam Deklarasi
Salamanca dipesankan untuk menerima setiap orang dan menghargai perbedaan.
78
Selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama tanpa
memandang kesulitan atau perbedaan yang ada.
Kongres Internasional ke-8 tentang Mengikutsertakan Anak Penyandang
Cacat ke Dalam Masyarakat : Menuju Kewarganegaraan yang Penuh, yang
dilaksanakan pada Juni 2004 di Stavanger, menegaskan adanya hak yang sama
bagi yang berkebutuhan khusus maupun bagi yang tidak berkebutuhan khusus.
Kewarganegaraan yang penuh memberi konsekuensi bahwa setiap anak memiliki
kesempatan yang sama dalam semua aspek kehidupan, seperti layanan kesehatan,
pendidikan, program perawatan, maupun rekreasi. Hal ini berarti, anak difabel
juga memiliki hak untuk berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan,
kesejahteraan dan kesehatan, serta mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh
sebagai warga negara. (European Journal of Psychology of Education Vol. XXI,
2006 : 231-238).
Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa setiap warga negara
mempunyai setiap kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini
berarti tidak terkecuali bagi anak difabel. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997
tentang Penyandang Cacat menyebutkan adanya kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pendidikan pada satuan, jenis, dan jenjang pendidikan sesuai dengan
jenis dan derajat kecacatannya. Sebaliknya, setiap lembaga pendidikan haruslah
memberi kesempatan tersebut.
Hak anak yang berkebutuhan khusus juga menjadi bagian yang diatur
dalam Konvensi Hak Anak (diratifikasi melalui Keppres Nomor 20 Tahun 1990)
79
dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ragam hak
untuk :
1. Mendapat kesempatan yang sama dan aksesibilitas bagi pendidikan biasa
dan pendidikan luar biasa.
2. Menerima pendidikan, pelatihan dengan cara yang memungkinkan demi
tercapainya integrasi sosial.
3. Dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan guru pengelola sekolah,
atau teman-temannya.
Mengenai sistem pendidikan, dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebut bahwa
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan (dapat diartikan
siswa difabel) diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Hal ini
berarti, tidak ada keharusan dilaksanakan melalui berbagai sekolah luar biasa,
melainkan juga dapat diselenggarakan melalui sekolah umum. Hal yang
terpenting. Pendidikan
haruslah
diselenggarakan
secara demokratis
dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa.
Pada dasarnya anak difabel memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan
peran yang sama dengan anak non-difabel dalam mewujudkan kesejahteraan
hidupnya. (Undang-Undang.No4/ 1997 tentang Penyandang Cacat; PP No 72/
1991 tentang Pendidikan Luar Biasa; PP No.13/ 1988 tentang Usaha
80
Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; Undang-Undang.No.25/ 1997 tentang
Ketenagakerjaan, UUSPN No.20/ 2003).
Pendidikan sangat diperlukan dalam upaya mencapai kesejahteraan sosial.
Hak atas pendidikan merupakan bagian esensial dalam hak asasi manusia
seseorang. Bahkan dapat dikatakan, pendidikan merupakan prasyarat bagi
terlaksananya hak-hak dasar yang lain bagi seseorang. Dalam lingkup hak
ekonomi, sosial dan budaya, hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan,
untuk memperoleh pembayaran yang setara dengan pekerjaan yang dilakukan,
untuk membentuk serikat buruh, atau untuk mengambil bagian dalam
kehidupan kebudayaan, untuk menikmati manfaat kemajuan ilmu pengetahuan
dan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi berdasarkan
kemampuannya, hanya dapat dilaksanakan secara berarti setelah seseorang
memperoleh tingkat pendidikan minimum.
Fenomena yang ada dalam pendidikan sekolah umum Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU),
selalu dijumpai siswa difabel tingkat ringan, seperti : anak berkesulitan belajar,
lamban belajar/ tunagrahita ringan, low vision, penyimpangan perilaku dan emosi,
dan sebagainya. Mereka membutuhkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan
masing-masing individu, namun tidak didapatkan dari sekolah. Sementara itu
siswa difabel yang termasuk gradasi sedang dan berat tidak diijinkan sekolah di
sekolah umum.
81
Sistem pendidikan inklusif diharapkan mampu menjadi jawabannya
karena dianggap dapat memberikan lebih banyak kesempatan kepada anak
difabel, namun dalam pelaksanaannya bentuk pendidikan ini belum berjalan
sebagaimana diharapkan karena beberapa hal, seperti: masalah terbatasnya jumlah
sekolah berpendidikan inklusif, keterbatasan sumber daya pengajarnya, sikap dan
perlakuan yang diskriminatif, dan penolakan sebagian orang tua murid.
Sejak lahirnya Direktorat Pendidikan Luar Biasa di Lingkungan Ditjen.
Dikdasmen Depdiknas telah diciptakan suatu model atau sistem pendidikan yang
disebut pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif pada dasarnya adalah pendidikan
yang mengikutsertakan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (anak difabel)
untuk belajar bersama-sama dengan anak sebayanya di sekolah umum. Menurut
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, saat ini di Indonesia terdapat
sekitar 1.450 sekolah luar biasa (SLB) dan hanya 400 yang negeri. Selain itu,
sebanyak 800 sekolah sudah menjadi sekolah inklusif. (Kompas, 17 November
2009).
Kota Surakarta merupakan salah satu tempat berdomisilinya kaum difabel
baik sebagai tempat tinggal permanen maupun pelatihan-pelatihan. Banyaknya
difabel di kota ini dapat dilihat dari jumlah kaum difabel dengan berbagai jenis
kecacatan dari tabel berikut ini:
Tabel 1.1
Banyaknya Penyandang Cacat Menurut Jenis & Kecamatan di Kota Surakarta
Tahun 2008
82
Kecamatan
Cacat
Tubuh
Tuna
Netra
Tuna
Mental
Tuna
Rungu/W icara
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
Laweyan
Serengan
Pasar Kliwon
jebres
Banjarsari
Jumlah
2007
2006
2005
2004
114
41
86
81
176
498
773
528
157
157
43
23
59
62
91
278
307
267
103
103
91
130
72
44
152
489
729
444
12
12
51
16
38
47
47
199
364
190
59
59
Sumber : BPMPPPA dan KB Kota Surakarta 2008
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa Di Kota Surakarta terdapat 498
orang penyandang cacat tubuh, 278 tunanetra, 489 orang tuna mental dan 199
orang tuna rungu/ wicara. Sedangkan daftar anak Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Surakarta pada tahun 2006 dapat dilihat
pada tabel dibawah ini :
Tabel 1.2
Daftar Anak Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Kota Surakarta Tahun
2006
No
Kriteria Cacat
1 Anak Balita Terlantar
2 Anak Terlantar
3 Anak yang menjadi KTK
4
5
6
L
199
378
20
Anak Nakal
Anak Jalanan
Anak cacat (difabel.)
75
92
464
Tahun 2006
P
JUMLAH
167
366
304
682
17
37
4
7
348
79
99
812
JUMLAH
1228
847
2075
Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta Tahun 2006
83
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa jumlah terbanyak anak Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Surakarta yaitu dengan kriteria
anak cacat (difabel) pada tahun 2006 berjumlah 812 jiwa yang terdiri dari
jenis kelamin laki-laki berjumlah 464 jiwa dan perempuan berjumlah 348
jiwa. Dari tabel diatas, tampak bahwa jumlah anak cacat (difabel) memiliki
angka tertinggi diantara jumlah anak penyandang masalaha kesejahteraan
sosial lainnya.
Keadaan anak yang mempunyai cacat fisik, mental, maupun mental dan
fisik (ganda) pada usia 0-18 tahun di Kota Surakarta dapat dilihat melalui tabel
dibawah ini :
Tabel 1.3
Daftar Penyandang Cacat Menurut Jenis Kelamin di Kota Surakarta Tahun 2006
Tahun 2006
No
Kriteria Cacat
L
P
JUMLAH
1
Cacat tubuh
122
86
208
2
Cacat Rungu Wicara
80
66
146
3
Cacat Netra
21
20
41
4
Cacat Mental Reterdasi
139
93
232
5
Cacat Mental Eks Psikotik
27
24
51
6
Cacat Ganda
56
45
101
7
Cacat Bibir Sumbing
17
15
31
84
JUMLAH
462
348
810
Sumber : Data PMKS dan PSKS DKRPPKB Kota Surakarta Tahun 2006
Kota Surakarta dijadikan program kota layak anak, didalam program kota
layak anak ini Kota Surakarta dituntut untuk memenuhi segala fasilitas
menyangkut kesejahteraan anak baik di bidang kesehatan, hukum maupun
pendidikan. Dibidang pendidikan Kota Surakarta diharuskan memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan didalam Konvensi Hak Anak, termasuk
menyediakan fasilitas pendidikan untuk anak-anak baik non-difabel dan
difabel. Salah satunya dengan menyediakan sekolah inklusif.
Di Kota Surakarta terdapat beberapa sekolah inklusif untuk memenuhi
kebutuhan hak anak difabel untuk memperoleh pendidikan. Adapun daftar sekolah
inklusif di Kota Surakarta menurut LPPM UNS adalah sebagai berikut:
Tabel 1.4
Daftar Sekolah Inklusif di Kota Surakarta
No
Nama Sekolah
1
SDN Bromontakan
2
SDN Pajang I
3
SDN Petoran
4
SDN Manahan
5
SD Al Firdaus Surakarta
6
SMPN 12
85
7
SMP SMU Al Firdaus Surakarta
8
SMAN 8 Surakarta
9
SMU Muhammadiyah 6 Surakarta
10
SMKN 9 Surakarta
Sumber : LPPM UNS 2009
Dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak permasalahan yang melekat
pada difabel dan terutama pada siswa difabel yang sama sekali tidak pernah
menjadi perhatian baik oleh masyarakat difabel itu sendiri maupun non-difabel.
Berdasarkan realitas sosial diatas maka kegiatan penelitian ini lebih difokuskan
pada Proses dan Pola interaksi sosial siswa difabel dan non-difabel di sekolah
inklusif di Kota Surakarta.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah proses dan pola interaksi siswa difabel dengan siswa
non-difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai salah satu
sekolah inklusif di Kota Surakarta?
2. Bagaimanakah aksesibilitas bagi siswa difabel yang diberikan oleh
Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai salah satu sekolah inklusif
di Kota Surakarta, demi menghasilkan output atau hasil sumber daya
manusia yang berkualitas?
86
C.
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui proses dan pola interaksi siswa difabel dengan siswa non-difabel
di sekolah inklusif di Kota Surakarta.
2. Mengetahui aksesibilitas bagi siswa difabel yang diberikan oleh Sekolah
Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai salah satu sekolah inklusif di Kota
Surakarta, demi menghasilkan output atau hasil sumber daya manusia yang
berkualitas?
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Teoritis
Dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pertimbangan untuk
penelitian sejenis dan dapat digunakan sebagai titik tolak untuk melaksanakan
penelitian serupa dalam lingkup yang lebih luas.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah Kota Surakarta
dan Dinas Pendidikan dan Olah Raga (DISDIKPORA) Kota Surakarta
untuk lebih memperhatikan pendidikan kaum difabel terkait dengan
sekolah inklusif dan aksesibilitasnya terhadap kaum difabel di Kota
Surakarta.
b. Dapat digunakan sebagai salah satu contoh bagi Lembaga Pendidikan
yang lain bahwa Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar Al Fidaus
merupakan salah satu Sekolah Inklusif terbaik di Kota Surakarta.
87
E. LANDASAN TEORI
Permasalahan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekatan
sosiologi. Roucek dan Waren mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang
mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok sosial.
Menurut WF.Ogburn dan Meyer F. Nimkoff berpendapat bahwa sosiologi adalah
penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan bahwa sosiologi
atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan prosesproses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Menurut Pitirim A Sorokin menyatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu
yang diharapkan untuk mempelajari :
1. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala
sosial.
2. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan non
sosial. (Soekanto, 1990 : 19-20)
Sedangkan Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemarji menyatakan bahwa:
“Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur
sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.”
(Soekanto, 1987 : 15)
Dalam beberapa hal sosiologi dikatakan mirip dengan psikologi, terutama
dalam teori interaksi simbolik yang banyak dipengaruhi oleh psikoanalisa. Untuk
membedakan kedua ilmu tersebut Soeprapto menyatakan bahwa:
“Sosiologi adalah induk ilmu sosial yang mengkaji secara ilmiah
mengenai kehidupan manusia. Sosiologi merupakan suatu ilmu dimana di
dalamnya dipelajari haikat dan sebab-sebab dari berbagai pola dan
perilaku manusia yang terjadi secara teratur dan bisa berulang-ulang. Hal
inilah yang membedakannya dengan psikologi yang dikenal sebagai ilmu
yang memusatkan perhatian pada karakterstik individu per individu.
88
Sedangkan sosiologi adalah ilmu yang mempelajari individu dalam
kapasitasnya sebagai masyarakat.”
(Soeprapto, 2002 : 1)
Menurut Max Weber yang dikenal sebagai pendukung paradigma definisi
sosial yang menjadi sudut pandang dari penelitian ini:
“Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan memahami tindakan
sosial secara interpretatif agar diperoleh kejelasan mengenai sebab-sebab,
proses, dan konsekuensinya. Dengan kata lain sosiologi adalah ilmu yang
berhubungan dengan pemahaman interpretatif mengenai tindakan sosial
agar dengan demikian bisa diperoleh penjelasan kausal mengenai arah
dan konsekuensi dari tindakan itu.”
(Raho, 2004 : 3)
Setiap ilmu memiliki teori-teori sendiri. Tapi kepastian dari teori-teori itu
berbeda dari satu ilmu ke ilmu yang lainnya. Derajat kepastian di dalam ilmu
alam, fisika, atau kimia biasanya lebih tinggi dari pada derajat kepastian di dalam
teori-teori ilmu sosial. Teori-teori di dalam ilmu sosial, tidak lebih dari suatu
perspektif atau cara pandang dalam meneropong kehidupan masyarakat. Sebuah
teori dalam ilmu sosial bertahan selama belum ada penjelasan lain yang
mengatakan sebaliknya.
Manusia merupakan makhluk sosial, dimana dasar kehidupan bersama
adalah komunikasi, terutama lambang-lambang sebagai kunci untuk memahami
kehidupan sosial manusia. Suatu lambang merupakan tanda, benda atau gerakan
yang secara sosial dianggap mempunyai arti-arti tertentu.
Mead mengatakan tentang kehidupan bersama manusia, bahwa manusia
mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan pihak-pihak lain dengan
perantaraan
lambang-lambang tertentu
89
yang
dipunyai
bersama. Dengan
perantaraan lambang-lambang tersebut, maka manusia memberikan arti pada
kegiatan-kegiatannya. Mereka dapat menafsirkan keadaan dan perilaku dengan
mempergunakan lambang-lambang tersebut. Manusia membentuk perspektifperspektif tertentu melalui suatu proses sosial dimana mereka memberi rumusan
hal-hal tertentu, bagi pihak-pihak lainnya. Selanjutnya mereka berperilaku
menurut hal-hal yang diartikan secara sosial (Soekanto, 1990 : 7).
Dari definisi tersebut tampak bahwa sebagaimana halnya dengan ilmuilmu sosial lainnya obyek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari sudut
hubungan antar manusia dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam
masyarakat. Masyarakat mempunyai batasan yang cukup luas yang memcakup
berbagai faktor termasuk didalamnya juga mencakup tentang pengetahuan, sikap
dan perilaku masyarakat tersebut. (Soekanto, 1990 : 23).
Salah satu cara untuk mengelompokkan teori-teori sosiologi adalah yang
dianjurkan George Ritzer dalam bukunya ‘Sosiologi: Ilmu Berparadigma Ganda’.
Pengelompokkan yang dilakukan oleh George Ritzer itu didasarkan pada
paradigma-paradigma yang ada dalam sosiologi. Paradigma adalah pandangan
yang mendasar dari ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan
semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Paradigma membantu
merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang
mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawab serta aturan-aturan apa saja yang
harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam
rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut. (Ritzer, 2002 : 6-7).
90
Menurut Ritzer, didalam sosiologi, ada tiga paradigma utama, yaitu
paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial dan paradigma perilaku sosial.
Pertama paradigma fakta sosial, paradigma yang dipelopori oleh Emile Durkheim
ini menekankan pokok persoalan sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial adalah
sesuatu (thing) yang berada diluar individu dan berbeda dari ide-ide tetapi bisa
mempengaruhi individu didalam bertingkah laku. Secara garis besar, fakta sosial
kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, sistem sosial, keluarga, pemerintah,
institusi politik, kebiasaan, hukum, undang-undang, nilai-nilai dan sebagainya.
Teori yang berada dalam naungan paradigma fakta sosial adalah teori
fungsionalisme struktural dan teori konflik.
Yang kedua adalah paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa
obyek studi sosiologi yang kongkrit dan realistis ialah perilaku manuisa yang
tampak dan kemungkinan perulangannya. Paradigma ini memusatkan perhatian
pada hubungan antar pribadi dan hubungan pribadi dengan lingkungan. Menurut
penganut paradigma ini tingkah laku seorang individu memiliki hubungan dengan
lingkungan yang mempengaruhi dia dalam bertingkah laku. Jadi ada hubungan
antara perubahan tingkah laku individu dengan perubahan lingkungan sosial yang
dialami individu. Teori yang searah dengan paradigma ini adalah teori pertukaran.
Terakhir adalah paradigma definisi sosial, paradigma yang digunakan
dalam penelitian ini, yang menekankan kenyataan sosial yang subyektif. Model
pemersatu dari paradigma ini adalah karya-karya Max Weber dan juga Talcott
Parsons. Karya Weber membantu mengarahkan perhatian sosiologi sebagai studi
atau
ilmu
yang
berusaha
menafsirkan
91
dan
memahami
(interpretative
understanding) tentang tindakan sosial. Bagi Weber perbuatan manusia baru
menjadi tindakan sosial sepanjang tindakan itu mempunyai arti bagi dirinya dan
diarahkan kepada orang lain. Sebaliknya tindakan yang diarahkan kepada benda
mati bukanlah sebagai suatu tindakan sosial, kecuali tindakan yang diarahkan
kepada benda mati dilakukan untuk memancing reaksi dari orang lain. Jadi pokok
persoalan yang perlu diselidiki oleh sosiologi ini adalah tindakan sosial, yakni
tindakan yang penuh arti dari seorang individu.
Perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa aktor dalam
paradigma definisi sosial bersifat dinamis dan kreatif, karena mereka memberikan
interpretasi sebelum mereka memberikan reaksi atas tindakan sosial. Sedangkan
pada paradigma perilaku sosial, aktor kurang kurang sekali memiliki kebebasan.
Tanggapan yang diberikannya lebih ditentukan oleh stimulus yang berasal dari
luar dirinya seperti norma, nilai-nilai, atau struktur sosial.
Paradigma yang relevan digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
definisi sosial. Ada tiga teori yang mencakup dalam paradigma definisi sosial
yaitu Teori Aksi, Teori Interaksionisme Simbolik, dan Teori Fenomenologi.
Paradigma definisi sosial lebih menekankan pada tindakan manusia yang penuh
arti. Weber sebagai pengemuka eksemplar dari paradigma ini mengartikan
sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Yang
dimaksudkannya dengan tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang
tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada tindakan orang lain.
92
Tindakan sosial seperti yang dikemukakan oleh Weber, juga dapat berupa
tindakan-tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain, juga dapat
berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subyektif yang mungkin
terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Atau merupakan tindakan
perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang berbeda.
Atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu. (Ritzer, 2002: 38).
Secara definitif Weber berusaha untuk menafsirkan dan memahami
(interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk
sampai kepada penjelasan kausal. Di dalam definisi ini terkandung dua konsep
dasar, yaitu pertama konsep tindakan sosial. Kedua konsep tentang penafsiran dan
pemahaman. Konsep terakhir ini menyangkut metode untuk menerangkan yang
pertama. Dalam mempelajari tindakan sosial, Weber menganjurkan melalui
penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Peneliti mencoba
menginterpretasikan tindakan dan memahami motif serta tindakan si aktor. Dalam
hal ini Weber menyarankan dua cara, dengan melalui kesungguhan dan dengan
mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman si aktor.
Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya ke dalam
empat tipe, yang mana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah
dipahami. Keempat tipe tersebut yaitu :
1. Zwerk rational
Yakni tindakan murni. Dalam hal ini maka aktor tidak hanya sekedar
menilai cara terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai
dari tujuan itu sendiri.
2. Werktrational action
Dalam tindakan ini aktor tidak dapat menentukan apakah cara-cara yang
dipakai merupakan cara yang paling tepat untuk mencapai tujuan ataukah
93
merupakan tujuan itu sendiri. Namun demikian ini rasional dapat
dipertanggungjawabkan karena dapat dipahami.
3. Affectual action
Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh emosi dan kepura-puraan si
aktor, tindakan ini sukar dipahami dan tidak rasional.
4. Traditional action
Tindakan yang didasarkan akan kebiasaan-kebiasaan melakukan sesuatu di
masa lain.
(Johnson, 1994: 220-222).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui interaksi siswa difabel
dengan siswa non-difabel di sekolah inklusif di Kota Surakarta dan aksesibilitas
apa saja yang diberikan oleh sekolah kepada siswa difabel di Kota Surakarta demi
menghasilkan output sumber daya manusia yang berkualitas. Pendekatan teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori interaksionisme simbolik.
Substansi dasar dari teori tersebut adalah bahwa kehidupan bermasyarakat
terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individual dan antar
kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui
proses belajar.
Proses Interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia
bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi
manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara
seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah makna tidak bersifat tetap
namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses
penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut
disebut juga dengan interpretative process.
Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok
terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama
94
dari terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu
informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang
disampaikan. Karp dan Yoels menunjukkan beberapa hal yang dapat menjadi
sumber informasi bagi dimulainya komunikasi atau interaksi sosial. Sumber
Informasi tersebut dapat terbagi dua, yaitu Ciri Fisik dan Penampilan. Ciri Fisik,
adalah segala sesuatu yang dimiliki seorang individu sejak lahir yang meliputi
jenis kelamin, usia, dan ras. Penampilan di sini dapat meliputi daya tarik fisik,
bentuk tubuh, penampilan berbusana, dan wacana.
Jadi tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata
merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang
dari lingkungannya atau dari luar dirinya. Tetapi tindakan itu merupakan hasil
daripada proses interprestasi terhadap stimulus. Jadi merupakan proses dari
belajar, dalam arti memahami simbol-simbol itu. Meskipun norma-norma, nilainilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap
tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya manusia
mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang
hendak dicapainya.
Bagian lainnya yang penting adalah konstruksi tentang diri “self”. Diri itu
tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau kebutuhan
teratur, motivasi dan norma serta nilai dari dalam. Diri adalah definisi yang
diciptakan orang (melalui interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada.
Dalam mendefinisikan “aku”, manusia menafsirkan tindakan dan isyarat yang
diarahkan kepada mereka dengan jalan menempatkan dirinya dalam peranan
95
orang lain. Diri merupakan bagian dari orang lain dan persepsi seseorang terhadap
dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi sosial
(Ritzer, 2002 : 50-53).
Jadi dalam teori tersebut terkandung pengertian bahwa manusia bukan
dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi
paling tidak sebagian, merupakan aktor-aktor yang bebas. Bukannya melihat aksi
sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial. Dengan demikian orang
tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga
berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi simbolis dilakukan dengan
menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya simbol yang terpenting dan melalui
isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada
dalam proses yang kontinyu.
Selain teori interaksionisme simbolik dan teori aksi diatas, penelitian
Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah
Inklusif di Kota Surakarta ini juga menggunakan teori kritis dari Max Horkheimer
dan juga Jurgen Habermas.
Di dalam gagasan kritis Horkheimer menitik beratkan pada peran psikologis
sosial dalam menjembatani kesenjangan antara individu dan masyarakat. Teori
kritis bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari
masyarakat irasional dan sekaligus memberikan kesadaran pembangunan
masyarakat yang rasional. Dalam bahasa yang lebih terperinci, bisa disingkat
dalam pokok-pokok sebagai berikut :
a. Sebagai tipe arah khusus, teori kritis menyelamatkan hasil tindakan.
96
b. Teori kritis berorientasi nilai, sekaligus mengajarkan bagaimana
seharusnya kita hidup.
c. Teori kritis berorientasi pada ilmu yang bebarengan dengan sisi
kematian, adat istiadat, kebiasaan, dan tradisi.
d. Teori kritis bersifat holistik dan tidak reduksionistik.
e. Teori kritis memulai dengan sebuah kepentingan dalam menafsirkan
makna tindakan, dengan maksud meningkatkan hubungan komunikasi
dan mereproduksi hubungan sosial.
f. Teori kritis mengasumsikan bahwa adalah mungkin merefleksikan
penggunaan bahasa sehingga bisa menuju pemahaman yang lebih
lengkap pada cara dimana realitas dekonstruksi secara sosial.
g. Teori kritis mengasumsikan bahwa orang tidak selau menyadari
aturan-aturan tempat ia tinggal dan mengorganisasikan pengalaman
mereka dalam hidup.
h. Teori kritis selalu berbentuk sebuah kritik atas cara, dimana individu
dibatasi untuk bertindak dan selalu mengidentifikasi diri mereka dalam
kerangka lembaga sosial khusus
(Susilo, 2008 : 140).
Teori kritis mendasarkan pada kritik atas banyak hal, seperti ilmu
positifis,rasionalitas, teknologi, ilmu hukum, kesatuan keluarga, pola-pola
birokrasi, bahasa, seni, musik, sastra, kepribadian otoriter, dan psikoanalisa. Teori
kritis mempunyai beberapa ciri khas:
1. Kritis terhdap masyarakat. Marx menjalankan kritis terhadap politik
dan ekonomi pada zamannya. Mazhab Frankfurt juga mempertanyakan
sebab-sebab yang mengakibatkan peyelewengan-penyelewengan
dalam masyarakat. Struktur masyarakat rapuh, karena itu harus
dirubah.
2. Teori kritis berfikir secara historis dengan berpijak pada proses
masyarakat yang historis. Teori kritis meneruskan posisi dasar Hegel
dan Marx. Dengan demikian, teori tersebut selalu berakar pada suatu
situasi pemikiran dan situasi sosial yang tertentu misalnya materialekonomis.
3. Teori kritis menyadari resiko setiap teori untuk jatuh dalam suatu
bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Itulah
yang terjadi dengan pemikiran filsafat modern. Menurut Mazhab
Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kaum
kapitalis. Teori harus memiliki kekuatan, nilai dan kebebasan untuk
mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk
menjadi ideologi.
97
4. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktik, pengetahuan dari
tindakan, rasio teoretis dari rasio praktis. Perlu dicatat bahwa rasio
praktis tidak boleh dicampuradukan dengan rasio instrumental yang
yang hanya memperhitungkan alat atau sarana saja. Frankfurt
menunjukan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori
kritis selalu harus melayani transformasi praktis masyarakat. (Santoso,
2007 : 97).
Menurut Habermas setidaknya ada enam tema dalam program teori kritis,
yaitu: bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat post-liberal, sosialis dan
perkembangan ego, media massa dan kebudayaan massa, psikologi sosial protes,
teori seni dan kritik atas positivis. Habermas, mengatakan bahwa segala bentuk
ilmu harus dialamatkan kepada kepentingan kognitif, sehingga itu tidak bebas
nilai. Setiap ilmu dan teori apapun haarus memiliki pertautan dengan nilai dan
kepentingan (Santoso, 2007 : 224).
Ilmu-ilmu kritis berusaha menunjukkan bahwa keajegan-keajegan tertentu
yang merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis pada dasarnya dapat
diubah. Habermas menyebut “refleksi diri” (substreflexion). Melalui refleksi ini
orang harus dibebaskan dari segala sesuatu yang mendominasi, yang
membelenggu dan mengarah pada kemungkinan adanya hubungan-hubungan
ketergantungan tersebut. Dalam hubungannya dengan sekolah inklusif difabel di
Sekolah Dasar Al Firdaus, baik siswa difabel maupun siswa non-difabel, tidak ada
yang saling mendominasi satu sama lain. Walaupun mayoritas siswa adalah siswa
non-difabel, tetapi interaksi sosial yang terjalin sangat baik, bahkan dalam hal
prestasi, siswa difabel mampu bersaing dengan siswa non-difabel. (Santoso, 2007
: 233).
Proses belajar masyarakat tergantung pada kompetensi individu-individu
yang menjadi anggotanya. Individu-individulah yang memiliki peranan penting
98
dalam perubahan masyarakat. Tanpa adanya kemauan individu untuk berubah,
maka masyarakat tidak akan berubah. Kemauan erat kaitannya dengan tindakan,
bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan
usaha seseorang untuk mencapai tujuan. (Santoso, 2007 : 237).
Menurut Richard Dewey dan W.J Humber, kemauan merupakan :
a. Hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu yang begitu kuat
sehingga mendorong orang untuk mengorbankan nilai-nilai yang
lain, yang tidak sesuai dengan pencapaian tujuan.
b. Berdasarkan pengetahuan tentang cara-cara yang diperlukan untuk
mencapai tujuan.
c. Dipengaruhi oleh kecerdasan dan energi yang diperlukan untuk
mencapai tujuan.
d. Pengeluaran energi yang sebenarnya dengan satu cara yang tepat
untuk mencapai tujuan.
(Rakhmat, 2007 : 43).
Siswa difabel merupakan salah satu individu yang memiliki peranan
penting dalam masyarakat, jika dari dalam diri difabel itu sendiri tidak memiliki
kemauan untuk berubah, maka proses belajar tidak akan terjadi, dan sekolah
inklusif tidak akan terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya. Siswa difabel
memiliki kemauan untuk mendapatkan kesetaraan dalam bidang pendidikan
dengan siswa non-difabel dan ikut bersaing dalam pendidikan. Untuk
mewujudkan cita-cita dalam mencapai tujuan tersebut, maka pemerintah
melaksanakan program sekolah inklusif, dan salah satunya yaitu di Yayasan Al
Firdaus Kota Surakarta.
F.
DEFINISI KONSEPTUAL
1.
Difabel
99
Kecacatan yang oleh masyarakat kita masih dimaknai sebagai sifat
abnormal, ketidak sempurnaan, dan keadaan yang rusak sehingga perlu
untuk disempurnakan. Pemaknaan kata cacat sebagai ketidak sempurnaan ini
menjadi sangat kontroversial jika dikaitkan dengan hakikat penciptaan
manusia. Jika entitas manusia dipandang sebagai hasil dari sebuah proses
maka kecacatan atau ketidaksempurnaan yang dilekatkan pada para
penyandang cacat dapat juga dimaknai sebagai ketidaksempurnaan dari
sebuah proses penciptaan manusia yang dilakukan oleh Allah SWT.
Dihadapan Allah, dimensi spiritual melalui keimanan dan amal sholeh lebih
utama dibanding fisik. Dari sini dilihat bahwa tidak ada alasan untuk
bersikap diskriminatif terhadap difabel.
Dalam teori bahasa dan kekuasaan yang perkenalkan oleh Michael
Fucoult penyandang cacat sebagai salah satu kelompok minoritas tak
berdaya serta tak punya pilihan sehingga menerima begitu saja istilah yang
dilekatkan pada dirinya selama berabad-abad dan dipahami sebagai sebuah
“budaya” yang tidak dapat dipisahkan dari sistem masyarakat kita. Cara
berfikir diatas telah dikontruksikan oleh masyarakat kita selama berabadabad menjadi bagian dari kehidupan mereka hingga tidak disadari hal
tersebut sebagai sebuah kesalahan (ketidakadilan). Bahkan sebagian dari
masyarakat awam kita masih meyakini bahwa kecacatan adalah kutukan
atau dosa. Hanya karena istilah yang “kebetulan” disandangnya para
penyandang cacat harus hidup menjadi kelompok marginal tersingkir
dipojok
hiruk
pikuk
kehidupan
100
di
bumi
ini.
(http://www.scribd.com/doc/23956444/Difabel-Dan-Usaha-DekonstruksiKesempurnaan).
Berdasarkan Hak Asasi Manusia, pada tanggal 9 Desember 1975,
PBB mendeklarasikan Hak-Hak Penyandang Cacat melalui resolusi no.
3447(XXX) untuk meningkatkan kualitas hidup kaum difabel yang harus
diikuti oleh seluruh negara anggotanya. Resolusi ini menjamin persamaan
hak sebagai warga negara tanpa melihat kecacatan, menjamin hak untuk
bekerja secara produktif dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial serta
pelarangan perlakuan diskriminatif dan kekerasan terhadap kaum difabel.
Konstruksi dan sikap atas kaum difabel dilukiskan sangat indah oleh
Michael Foucault dalam Madness and Civilization : A history of insanity and
age of reason (1988). Yakni bagaimana sebuah diskursus yang lahir dari
rahim misi pencerahan: modernitas, melegitimasi proses pengekslusian
orang-orang gila. Paska abad pertengahan, orang-orang penderita lepra
lenyap begitu saja, kemudian posisinya digantikan oleh keberadaan orangorang gila. Muncul berbagai barak dan tempat-tempat yang digunakan untuk
memenjarakan orang gila. Proses ini, sebagaimana dikatakan oleh Foucault
merupakan proses yang didahului oleh sebuah kuasa diskursus: rasionalitas,
yang berwujud legitimasi klinis/ medis atas orang-orang gila tersebut.
Dengan demikian cacat merupakan konstruksi sosial.
Bukan persoalan mudah untuk membahas diskriminasi disini.
Membahas diskriminasi dalam hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan
dua pandangan yang berbeda antara sudut pandang teori dan realitas
101
pengalaman kehidupan. Secara leksikal, diskriminasi di definisikan
perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan
atau kategori tertentu. Dapat juga diartikan sebagai sebuah perlakuan
terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras,
agama, umur atau karakteristik yang lain. Dari dua definisi tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa diskriminasi adalah bentuk perlakuan yang
berbeda. Terhadap difabel, perlakuan tersebut didasarkan pada kondisi fisik
mereka yang berbeda.
Perlakuan diskriminatif masyarakat didasarkan pada asumsi bahwa
dengan difabilitas yang dimiliki, difabel dianggap tidak mampu melakukan
aktifitas sebagaimana orang lain pada umumnya. Fakta yang ada
menunjukkan bahwa diskriminasi bukan hanya perasaan difabel, melainkan
sebuah realitas yang ada di hadapan kita. Belajar dari pengalaman bahwa
perlakuan diskriminatif, baik secara struktural (kebijakan negara) maupun
kultural (penerimaan masyarakat) terhadap penyandang cacat hanya
menciptakan masalah baru, yakni ketidakberdayaan mereka dalam
kehidupan individu dan bermasyarakat.
Kaum Difabel semakin sulit mengembangkan sumber daya
manusianya, dan selalu tergantung pada uluran tangan pihak lain. Yang
dibutuhkan saat ini adalah dekonstruksi terhadap paham cacat-normal yang
selama ini tanpa disadari dilanggengkan juga oleh sistem sosial di Indonesia.
Perjuangan penyandang cacat untuk bebas
dari diskriminasi dan
ketidakadilan tidak saja menyangkut aksesibilitas dalam sistem sosial,
102
politik, ekonomi, budaya, serta lingkungan infrastruktur yang ada, namun
justru yang lebih berat adalah peluang mengubah asumsi dan ideologi cacatnormal yang telah mengakar di masyarakat. Dalam konteks itulah perubahan
ideologi negara dan masyarakat menuju ‘sensitif terhadap penyandang
cacat’ menduduki posisi penting.
Istilah difabel muncul dan digunakan di Indonesia mulai akhir
millennium kedua atau mulai pada tahun 1998 sebagai istilah yang
digunakan untuk menyebut individu yang mengalami kelainan fisik. Bukan
sejarah singkat untuk sampai penggunaan istilah difabel. Pada dekade 7080an masyarakat dan pemerintah menyebut individu yang mengalami
kelainan fisik sebagai penderita cacat. Namun dalam pandangan umum,
penggunaan kata penderita dianggap tidak menggambarkan secara obyektif
realitas yang dialami individu yang disebut. Individu yang mengalami
kelainan fisik tidak selalu hidup dalam penderitaan. Mereka juga bisa
bertawa tanpa merasakan penderitaan karena kondisi yang mereka alami.
Penderitaan yang diasumsikan oleh masyarakat pada umumnya lebih
disebabkan oleh persepsi orang diluar individu yang mengalami kelainan
fisik. Istilah berikutnya yang digunakan adalah penyandang cacat. Namun
pada perkembangannya istilah ini juga mengalami penolakan karena masih
terdapat istilah cacat di dalamnya. Penolakan tersebut bukan tanpa alasan.
Kata cacat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pada dasarnya lebih tepat
jika dilekatkan pada barang atau benda mati.
103
Oleh karena alasan diatas, mereka yang disandangi dengan istilah
tersebut berusaha untuk menemukan istilah yang lebih tepat dan netral
dalam menggambarkan kondisi mereka. Sekitar tahun 1998, beberapa
aktivis gerakan penyandang cacat memperkenalkan istilah baru untuk
mengganti sebutan penyandang cacat. Maka dipakailah istilah difable yang
merupakan akronim dari kalimat Different Ability People (manusia yang
memiliki kemampuan berbeda). Didasarkan pada realita bahwa setiap
manusia diciptakan berbeda dan memiliki potensi diri yang dapat
dikembangkan termasuk mereka yang selama ini disebut cacat. Sehingga
yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan. Para
difabel pada dasarnya dan dalam kenyataannya dapat melakukan apa saja
sebagaimana orang lain melakukan namun hanya caranya saja yang berbeda.
Macam-macam kecacatan terdiri dari :
1.
Cacat Fisik
Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan
pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan,
pengendengaran, dan kemampuan berbicara. Yang termasuk dalam
kriteria ini adalah :
a. Cacat kaki.
b. Cacat punggung.
c. Cacat tangan.
d. Cacat jari.
104
e. Cacat leher.
f. Cacat netra.
g. Cacat rungu.
h. Cacat wicara.
i. Cacat raba.
j. Cacat pembawaan sejak lahir.
2.
Cacat Mental
Cacat mental adalah kelainan mental dan atau tingkah laku,
baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit, antara lain :
a. Retardasi mental.
b. Gangguan psikiatrik fungsional.
c. Alkoholisme.
d. Gangguan mental organic dan epilepsy.
3.
Cacat Fisik dan Cacat Mental
Cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang
menyandang dua jenis kecacatan sekaligus. Apabila yang cacat
adalah keduanya maka akan sangat mengganggu penyandang
cacatnya. (Demartoto, 2007: 9-12).
2.
Sekolah Inklusif
Sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah
anak-anak. Pendidikan inklusif adalah sebuah sistem pendidikan yang
memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler
105
tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu
pendidikan inklusif juga melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam
berbagi kegiatan pendidikan, terutama dalam proses perencanaaan, sedang
dalam belajar mengajar, pendekatan guru berpusat pada anak.
Sekolah inklusif adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan
mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program
yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak
penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusif, tidak hanya
memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan
tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi
manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak,
karena pendidikan Inklusif mulai dengan merealisasikan perubahan
keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari
keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang,
percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung
jawab. (http://bk3sjatim.org/?p=148).
Inklusif terjadi pada semua lingkungan sosial anak, pada keluarga,
pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi
kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan
inklusif berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup
(way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe
pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual
anak.
106
Pendidikan inklusif menurut Stainback dan Anin Back adalah sekolah
yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah inklusi
menyediakan program yang layak, menantang tetapi sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang
dapat diberikan para guru agar anak-anak berhasil. (Sunardi, 1996 : 28).
Staub dan Peck mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah
penempatan anak luar biasa tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh
dikelas reguler. hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat
belajar yang relevan bagi anak luar biasa apapun jenis kelainannya dan
bagaimanapun gradasinya. (Sunardi,1996 : 29).
Sapon Seven ONeil menyebutkan inklusif didefinisikan sebagai
sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa
ditempatkan di sekolah terdekat di kelas biasa, bersama teman-teman
seusianya. (Bintoro, 2002 : 7).
Pengertian lain juga diungkapkan oleh Subagyo Brotosedjati
menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah model penyelenggaraan
program pendidikan
bagi
anak cacat
(berkebutuhan khusus)
yang
diselenggarakan bersama-sama dengan anak normal di lembaga pendidikan
umum, dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di lembaga yang
bersangkutan. (Brotosedjati, 2003 : 3).
Penjelasan mengenai sekolah inklusif juga terdapat pada Undangundang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan
107
Nasional yang memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi
anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus
disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta
didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar
biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan
khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang
memungkinkan
terobosan
bentuk
pelayanan
pendidikan
bagi
anak
berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih
operasional, hal ini diperkuat dengan SK Mendiknas No. 002/U/1986 tentang
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Melalui pendidikan inklusif, siswa difabel dididik bersama-sama
siswa non-difabel untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini
dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak difabel
dan anak non-difabel yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Oleh karena itu, anak difabel perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama
dengan anak non-difabel untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di
sekolah (SD). Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu
persoalan dalam penanganan pendidikan bagi siswa selama ini.
Dalam implementasi di lapangan, Indonesia Menuju Pendidikan
Inklusif secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 Agustus 2004 di
Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk
mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat
108
anak. Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh
kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi
penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6
ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat).
Ciri-ciri sekolah inklusif menurut Cornelia Schneider dalam
“International Journal of Education Vol I. Equal is not Enough – Current
Issues in Inclusive Education in the Eyes of Children”, yaitu adalah sebagai
berikut :
1. Hidup dan belajar bersama semua anak (difabel dan non-difabel) di
sekolah adalah tujuan dari pendidikan inklusif.
2. Sistem inklusif untuk semua orang (difabel dan non-difabel).
3. Dalam metode pembelajarannya, menggunakan teori-teori yang sama
dengan yang diberikan pada siswa non-difabel.
4. Memiliki perubahan-perubahan ide dan pengetahuan dalam
pendidikan.
5. Mempertimbangkan dari semua tingkat pendidikan, sosial, dan
emosional.
6. Sumber daya berasal dari seluruh sekolah, tidak hanya Sekolah Luar
Biasa saja.
7. Memiliki system pembelajaran secara umum dan individual khusus
bagi siswa difabel.
8. Satu kurikulum untuk seluruh siswa.
9. Seluruh siswa terlibat terlibatan dalam perencanaan pembelajaran.
10. Masing-masing siswa difabel, khusus memiliki guru pendamping,
dan meiliki ruang khusus.
11. Perubahan dalam mata pelajaran praktek pendidikan.
12. Kerjasama.
(International Journal of Education Vol I,. 2009 : 4).
Melihat kondisi dan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia,
model pendidikan inklusif yang lebih sesuai untuk diterapkan adalah model
yang mengasumsikan bahwa inklusif sama dengan pendidikan reguler, seperti
109
pendapat Vaughn, Bos & Schumn, Penempatan anak berkelainan di sekolah
inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut :
1) Kelas reguler (inklusif penuh)
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) sepanjang
hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama
2) Kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas
reguler dalam kelompok khusus.
3) Kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas
reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler
ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4) Kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (non-difabel) di kelas
reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu
ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru
pembimbing khusus.
5) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler,
namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain
(non-difabel) di kelas reguler.
6) Kelas khusus penuh
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
(Vaughn, Bos & Schumn, 2000: 30).
Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua
anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata
pelajarannya (inklusif penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada
di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kelainannya yang cukup
berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat,
mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah
reguler (inklusif lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat
berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat
disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
110
Menurut Departemen Pendidikan Nasional, penerapan pendidikan
inklusif mempunyai landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris yang
kuat, yaitu :
1.
Landasan Filosofis Penerapan Pendidikan Inklusif
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di
Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus
cita-cita yang didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi,
yang disebut Bhineka Tunggal Ika. Filsafat ini sebagai wujud
pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal
maupun horisontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat
Tuhan di bumi. Kebhinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan
kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan,
kemampuan pengendalian diri, dan sebagainya. Sedangkan
kebhinekaan horisontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa,
ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik,
dan sebagainya. Karena berbagai keberagaman namun dengan
kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban
untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan
saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan
(kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan
seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di
dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan
111
keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu
berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya
makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan
keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya,
seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.Hal ini
harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan
harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar
siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih
asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang
dijumpai atau dicita-citakan dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Landasan yuridis
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan
inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para
menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan
kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan
berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar
PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu
berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari
sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan
bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan
yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia
112
yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak
dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas.
Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional,
yang
dalam
penjelasannya
menyebutkan
bahwa
penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau
memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif
atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya
akan diatur dalam bentuk peraturan operasional.
3.
Landasan pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003,
disebutkan
bahwa
tujuan
pendidikan
nasional
adalah
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui
pendidikan,
peserta
didik
berkelainan
dibentuk
menjadi
warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu
individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi
dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal
mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah
113
khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan
bersama teman sebayanya.
4.
Landasan empiris
Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di
negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala
besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika
Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan
anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif
dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan
khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil
identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan mengemukakan
bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan
anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang
sangat heterogen. (http://www.scribd.com/doc/23956444/DifabelDan-Usaha-Dekonstruksi-Kesempurnaan).
Beberapa peneliti
kemudian
melakukan
metaanalisis
(analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis
yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah
penelitian, Wang dan Baker (1985/ 1986) terhadap 11 buah
penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik
114
terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan
dan teman sebayanya.
3.
Aksesibilitas
Pemaknaan ‘aksesibilitas’ dalam UU No. 4 tahun 1998 adalah
kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan
kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Dalam aspek bidang pendidikan, siswa difabel, yang memiliki
keterbatasan dan ketidaksempurnaan fisik maupun mental, berhak
mendapatkan kurikulum dan materi pendidikan yang sama dengan siswa nondifabel, tetapi berhak pula mendapatkan aksesibilitas sarana dan prasarana
yang lebih, guna menunjang kesetaraan pendidikan dan kualitas individu di
sekolah tersebut.
Aksesibilitas sarana dan prasarana dapat berupa guiding block bagi
difabel tunanetra, tangga ramp (tangga yang lurus tanpa anak tangga), hand
rail, alat bantu dengar bagi tunarungu, dan lain sebagainya. Aksesibilitas yang
disediakan oleh Sekolah Dasar Al Firdaus adalah penyediaan ruangan khusus
bagi siswa difabel yang mengalami depresi hebat disaat mengikuti program
belajar mengajar, penyediaan guru khusus yang menangani siswa difabel
sehingga satu siswa difabel didampingi oleh satu guru khusus, disediakan pula
tenaga profesional teraphist orthopedi.
Siswa difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus juga mendapatkan akses
terhadap informasi yang leluasa tentang diagnosa, hak-hak, dan pelayanan
115
yang mereka terima pada semua tingkatan. Informasi-informasi tersebut
dihadirkan dalam format yang dapat diakses oleh siswa difabel, seperti
misalnya dalam format huruf braille, pengeras suara, huruf dicetak besar,
penggunaan sinyal dan bahasa tubuh (sign language) ataupun dalam bentuk
lainnya yang ramah terhadap penyandang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara,
ataupun penyandang cacat lainnya.
Declaration on the Rights of Disabled Persons (1975) menegaskan
bahwa penyandang cacat berhak untuk memperoleh upaya-upaya (dari pihak
lain) yang memudahkan mereka untuk menjadi mandiri/ tidak tergantung
pada pihak lain. Mereka juga berhak mendapatkan pelayanan medis,
psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis dan sosial, pendidikan, pelatihan
ketrampilan, konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis pelayanan yang
memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas dan ketrampilannya
secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses reintegrasi dan integrasi
sosial mereka.
Selanjutnya,
pasal 5 Standard Rules on the Equalization of
Opportunities for Persons with Disabilities 1993 menjelaskan bahwa Negara
harus mengakui dan menjamin aksesibilitas para penyandang cacat melalui :
1. Menetapkan
program-program
aksi
untuk
mewujudkan
aksesibilitas fisik penyandang cacat.
2. Melakukan upaya-upaya untuk memberikan akses terhadap
informasi dan komunikasi para penyandang cacat.
116
4.
Interaksi Sosial
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial
yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara
individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu
dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam
interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang
nilai
atau
maknanya
diberikan
kepadanya
oleh
mereka
yang
menggunakannya.
Dalam penelitian ini, interaksi sosial yang diteliti oleh penulis yaitu
interaksi sosial antara siswa non-difabel dan siswa difabel serta interaksi
antara guru dan siswa difabel di Yayasan Al Firdaus Kota Surakarta
khususnya di Sekolah Dasar Al Firdaus Kota Surakarta. Sehingga tampak
output atau hasil, yakni sumber daya manusia di Sekolah Dasar Al Firdaus
khususnya siswa difabel yang berkualitas dan mampu untuk menghadapi
kelanjutan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Serta interaksi sosial dalam
masyarakatpun tidak mengalami tingkat kecenderungan diskriminasi yang
tinggi lagi.
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di
dalam masyarakat di berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang
pendidikan. Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjadi proses belajar
mengajar, ketika ada kompetensi siswa difabel dan non-difabel, serta disaat
menghabiskan waktu istirahat bersama teman-teman lainnya. Interaksi sosial
117
dalam penelitian ini difokuskan kepada interaksi antara siswa difabel dan
siswa non-difabel, serta siswa difabel dengan guru. Berlangsungnya suatu
proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor :
1. Imitasi
Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong
seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang
berlaku
2. Sugesti
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu
pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang
kemudian diterima oleh pihak lain.
3. Identifikasi
Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan
dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain.
Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi, karena
kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
4. Proses simpati
Sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan
memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami
pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.
(http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologikomunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/)
Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut
hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan
kelompok. Dua syarat terjadinya interaksi sosial, yaitu :
1. Adanya kontak sosial (social contact), yang dapat berlangsung
dalam tiga bentuk.Yaitu antarindividu, antarindividu dengan
kelompok, dan antarkelompok.. Selain itu, suatu kontak dapat pula
bersifat langsung maupun tidak langsung.
2. Adanya Komunikasi, yaitu seseorang memberi arti pada perilaku
orang lain, perasaan-perassaan apa yang ingin disampaikan orang
tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi
terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tersebut.
(Waluya, 2007 : 48).
118
Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation),
persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau
pertikaian
(conflict).
Pertikaian
mungkin
akan
mendapatkan
suatu
penyelesaian, namun penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk
sementara waktu, yang dinamakan akomodasi.
Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti : menujuk pada suatu
keadaan dan untuk menujuk pada suatu proses. Akomodasi menunjuk pada
keadaan, adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan
atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma
sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu
proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan
suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.
Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu pengertian yang
digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan sebagai suatu proses
dimana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan,
mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan.
Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa
menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
(Waluyo, 2007 : 47).
Dengan pengertian tersebut dimaksudkan sebagai suatu proses di mana
orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang mula-mula saling
bertentangan,
saling
mengadakan
penyesuaian
diri
untuk
mengatasi
ketegangan-ketegangan. Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk
119
menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga
lawan tidak kehilangan kepribadiannya.
Tidak selamanya suatu akomodasi sebagai proses akan berhasil
sepenuhnya. Di samping terciptanya stabilitas dalam beberapa bidang,
mungkin sekali benih-benih pertentangan dalam bidang-bidang lainnya masih
tertinggal, yang luput diperhitungkan oleh usaha-usaha akomodasi terdahulu.
Benih-benih pertentangan yang bersifat laten tadi (seperti prasangka) sewaktuwaktu akan menimbulkan pertentangan baru. Dalam keadaan demikian,
memperkuat cita-cita, sikap dan kebiasaan-kebiasaan masa-masa lalu yang
telah terbukti mampu meredam bibit-bibit pertentangan merupakan hal
penting dalam proses akomodasi, yang dapat melokalisasi sentimen-sentimen
yang akan melahirkan pertentangan baru. Dengan demikian, akomodasi bagi
pihak-pihak tertentu dirasakan menguntungkan, namun agak menekankan bagi
pihak lain, karena adanya campur tangan kekuasaan-kekuasaan tertentu dalam
masyarakat.
Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang
dihadapinya, yaitu :
1. Untuk mengurangi pertentangan antara orang atau kelompok
manusia sebagai akibat perbedaan paham.
2. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu
atau secara temporer.
3. Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok sosial yang
hidupnya terpisah akibat faktor-faktor sosial psikologis dan
kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang
mengenal sistem berkasta.
4. Mengusahakan peleburan antara kelompok sosial yang terpisah.
(Waluyo, 2007 : 47).
Bentuk-bentuk akomodasi menurut Gillin and Gillin, adalah sebagai berikut :
120
1. Koersi (coercion), yaitu bentuk akomodasi yang terjadi melalui
pemaksaan kehendak pihak tertentu terhadap pihak lain yang lebih
lemah. Berarti terjadi penguasaan (dominasi) suatu kelompok atas
kelompok yang lemah.
2. Kompromi (compromise), yaitu bentuk akomodasi ketika pihapihak yang terlibat perselisihan saling mengurangi tuntutan agar
tercapai suatu penyelesaian. Sikap dasar untuk melakukan
kompromi adalah semua pihak bersedia untuk merasakan dan
memahami keadaan pihak lainnya
3. Arbitrasi (arbitration), yaitu bentuk akomodasi apabila pihakpihak yang berselisih tidak sanggup mencapai kompromi sendiri
sehingga dilakukan melalui pihak ketiga disini dapat ditunjuk dari
kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang berwenang.
4. Mediasi (mediation), yaitu suatu bentuk akomodasi yang hamper
sama dengan arbitrasi. Namun pihak ketiga yang bertindak sebagai
penengah bersikap netral dan tidak mempunyai wewenang untuk
memberi keputusan penyelesaian perselisihan antara kedua belah
pihak.
5. Konsiliasi (conciliation), yaitu bentuk akomodasi untuk
mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang
bertikai untuk tercapainya kesepakatan bersama. Konsiliasi bersifat
lebih lunak dan membuka kesempatan kepada pihak-pihak yang
bertikai untuk mengadakan asimilasi.
6. Toleransi (toleration), yaitu bentuk akomodasi yang terjadi tanpa
persetujuan yang resmi. Kadang-kadang toleransi terjadi secara
tidak sadar dan tanpa direncanakan karena adanya keinginankeinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari
perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak.
7. Stalemate, yaitu bentuk akomodasi ketika kelompok yang bertikai
mempunyai kekuatan yang seimbang, lalu keduanya sadar bahwa
tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur sehingga pertentangan
atau ketegangan antara keduanya akan berhenti dengan sendirinya.
8. Ajudikasi (ajudication), yaitu penyelesaian masalah atau sengketa
melalui pengadilan atau jalur hukum
9. Displacement, yaitu bentuk akomodasi yang merupakan cara untuk
mengakhiri suatu pertentangan dengan cara mengalihkan perhatian
pada objek bersama.
10. Konversi (convertion), yaitu bentuk akomodasi dalam
menyelesaikan konflik yang menjadikan salah satu pihak bersedia
mengalah dan mau menerima pendirian pihak lain.
(Waluya, 2007 : 48-49).
Kerja sama yang merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yaitu
suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk
121
mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut
berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan
bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari
mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan
dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam
perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka
yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan
baik.
Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap
kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan
out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang
menyinggung anggota/ perorangan lainnya.
Fungsi Kerja sama digambarkan oleh Charles H.Cooley :
”Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka
mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang
bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian
terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan
tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama
dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam
kerjasama yang berguna.”
(http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologikomunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/)
Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama
yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerja sama tersebut lebih
lanjut dibedakan lagi dengan :
1. Kerja sama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang
sertamerta.
122
2. Kerja sama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang
merupakan hasil perintah atasan atau penguasa.
3. Kerja sama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas
dasar tertentu.
4. Kerja sama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama
sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.
(http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologikomunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/)
Adapun bentuk-bentuk kerja sama adalah sebagai berikut :
1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong.
2. Bargaining, Yaitu pelaksana perjanjian mengenai pertukaran
barang-barang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih.
3. Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur
baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu
organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang
bersangkutan.
4. Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau
lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat
menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu
karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai
struktur yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi,
karena maksud utama adalah untuk mencapai satu atau beberapa
tujuan bersama, maka sifatnnya adalah kooperatif.
5. Joint venture, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek
tertentu.
(http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologikomunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/)
G. METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk
mendekati problem, mencari jawaban. Dengan ungkapan lain, metodologi adalah
suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Metodologi dipengaruhi
atau berdasarkan perspektif teoritis yang digunakan untuk melakukan penelitian,
sementara perspektif teoritis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau
123
interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data menghubungkan data
yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain.
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Pendidikan Al Firdaus
Surakarta, khususnya di Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta. Adapun alasan
penulis memilih Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai lokasi penelitian
yang berjudul “PROSES DAN POLA INTERAKSI SISWA DIFABEL
DAN DIFABEL DI SEKOLAH INKLUSIF DI KOTA SURAKARTA”,
yaitu adalah sebagai berikut :
a. Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta merupakan salah satu
Sekolah yang pertama kali menyelenggarakan pendidikan inklusif di
Kota Surakarta.
b. Aksesibilitas yang dimiliki oleh Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota
Surakarta terhadap siswa baik siswa difabel maupun non-difabel
sangat beragam, memiliki kelebihan dibandingkan Sekolah Umum
lainnya, salah satunya yaitu memiliki unit khusus Pusat Pelayanan
Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang khusus menangani siswa
difabel.
Dengan
pertimbangan
alasan-alasan
tersebut,
maka
penulis
menganggap bahwa Lembaga Pendidikan Al Firdaus Surakarta, khususnya
Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta ini cukup tepat untuk penulis, dan
124
dijadikan lokasi penelitian untuk melihat proses interaksi dan aksesibilitas
dalam Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta.
2. Bentuk dan Jenis Penelitian
Penelitian ini nantinya akan menggunakan metode penelitan kualitatif.
Penelitian kualitatif menurut Denzin dan Lincoln (1994) adalah sebagai kajian
yang “multimethod in focus involving an interpretative naturalistic approach
to its subjek matter” (Denzin & Lincoln, 2006 : 4).
Untuk mempermudah pendefinisian dari konsep penelitian kualitatif
maka dirumuskankarakteristik penelitian kualitatif. Berikut, karakteristik
penelitian kualitatif :
a. Data penelitian diperoleh secara langsung dari lapangan bukan dari
laboratorium atau penelitian yang terkontrol.
b. Penggalian data dilakukan secara alamiah, melakukan kunjungan pada
situasi alamiah subyek
c. Untuk memperoleh makna baru dalam bentuk kategori-kategori
jawaban, periset wajib mengembangkan situasi dialogis sebagai situasi
yang alamiah. (Denzin & Lincoln, 2006 : 4).
Penelitian kualitatif bertolak dari asumsi dasar bahwa realitas sosial
tidak mempunyai makna didalam dirinya sendiri melainkan sangat tergantung
pada interpretasi atau arti yang diberikan oleh seorang individu kepadanya.
Penelitian ini menggunakan teori interaksionisme simbolik yang salah satu
temanya adalah mempelajari apa yang berlangsung di dalam benak manusia.
Untuk itu menurut Blumer Sosiolog perlu menggunakan pendekatan
introspeksi simpatetik (sympathetic instropection) untuk meneliti dunia sosial.
Dengan kata lain, dalam penelitian mereka, interaksionisme simbolik harus
125
menempatkan diri dalam posisi pelaku yang sedang mereka teliti dengan
tujuan untuk memahami situasi dari sudut pandang pelaku. (Moleong, 2001 :
105).
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, dimana
penelitian kualitatif bertolak dari asumsi dasar bahwa realitas sosial tidak
mempunyai makna didalam dirinya sendiri melainkan sangat tergantung pada
interpretasi atau arti yang diberikan oleh seorang individu kepadanya
3. Sumber Data
a. Responden, yaitu seseorang yang diminta untuk memberikan respon
(jawaban) terhadap pertanyaan-pertanyaan (langsung atau tidak langsung,
lisan atau tertulis ataupun berupa perbuatan) yang diajukan oleh peneliti.
Responden dalam penelitian ini yaitu siswa non-difabel, guru, dan Komite
Sekolah
Yayasan
Al
Firdaus
Program
Pusat
Pelayanan
Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang khusus menangani siswa difabel .
b. Informan, yaitu orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi
yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Dalam
penelitian ini, informan adalah siswa difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus
Kota Surakarta, berjumlah 7 orang siswa, dimana 2 orang siswa
merupakan siswa difabel fisik, 4 orang siswa merupakan siswa difabel
mental, dan 1 orang siswa memiliki gangguan belajar.
c. Kepustakaan, untuk memperoleh data sekunder yang dapat menunjang
kepada kepentingan penelitian dan penemuan masalah. Kepustakaan yang
126
digunakan oleh peneliti untuk menunjang penelitian dan penemuan
masalah adalah buku-buku, penelitian terdahulu, koran, internet dan jurnal
internasional.
4. Teknik Pengumpulan Data
Di dalam penelitian ini, bentuk semua teknik pengumpulan data dan
kualitas pelaksanaannya, serta hasilnya sangat tergantung pada penelitiannya
sebagai alat pengumpul data utamanya. Oleh karena itu sikap kritis dan
terbuka sangat penting, dan teknik pengumpulan data yang digunakan selalu
yang bersifat terbuka dengan kelenturan yang luas, seperti teknik wawancara
mendalam,
(in-depth
interviewing),
observasi
berperan
(participant
observation), dan bila diperlukan data awal yang bersifat umum, dapat juga
menggunakan kuesioner terbuka (open-ended questionaire), analisis dokumen
atau arsip (content analysis), serta diskusi kelompok terarah (Focus Group
Discussion). Posisi peneliti sebagai alat utama pengumpulan data ini menuntut
kualitas peneliti yang benar-benar memahami metodologi penelitiannya,
didukung dengan pengalaman yang cukup dalam melakukan penelitian, agar
mampu menghasilkan penelitian yang bermutu.
Dalam penelitian ”Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan
Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta” ini sesuai dengan bentuk
penelitian kualitatif dan juga jenis sumber data yang dimanfaatkan, maka
teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Wawancara Mendalam (In Depth Interview)
127
Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif
adalah berupa manusia yang dalam posisinya sebagai narasumber atau
informan. Untuk mengumpulkan informasi dari sumber data ini
diperlukan teknik wawancara mendalam (in-depth interviewing).
Tujuan penulis menggunakan teknik ini dalam penelitiannya adalah
karena peneliti mampu untuk menyajikan konstruksi saat sekarang
dalam suatu konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas,
organisai, perasaan, motivasi,
tanggapan, atau persepsi, tingkat dan bentuk keterlibatan, dan lain
sebagainya, untuk merekonstruksi beragam hal merupakan bagian dari
pengalaman masa lampau, dan memproyeksikan hal-hal tersebut
dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan datang.
Wawancara dalam penelitian kualitatif dilakukan secara bebas
dan dengan pertanyaan yang bersifat terbuka (open-ended), dan
mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara
tidak formal terstruktur, kepada informan yang dipilih berdasarkan
keterlibatan dan pengetahuannya dengan peristiwa atau hal-hal yang
berkaitan dengan data yang diperlukan, guna menggali pandangan
subyek yang diteliti tentang banyak hal yang bermanfaat yang menjadi
dasar bagi penggalian informasinya lebih jauh, lengkap, dan
mendalam. Wawancara ini dilakukan dengan guru pengajar dan
pendamping, staf dan karyawan sekolah, siswa difabel dan non difabel.
128
2. Observasi
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber
data yang berupa peristiwa, aktivitas, perilaku, tempat atau lokasi, dan
benda, serta rekaman gambar. Observasi dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung. Pada observasi langsung dapat
dilakukan oleh pengumpul data dengan mengambil peran atau tidak
berperan.
Menurut Kartono, pengertian observasi diberi batasan sebagai berikut: “studi yang disengaja
dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan observasi dan pencatatan”.
Selanjutnya dikemukakan tujuan observasi adalah : “mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter
relasinya elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba kompleks dalam pola-pola
kultural tertentu”. Observasi dapat menjadi teknik pengumpulan data secara ilmiah apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
1) Diabdikan pada pola dan tujuan penelitian yang sudah
ditetapkan.
2) Direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis, dan tidak
secara kebetulan (accidental) saja.
3) Dicatat secara sistematis dan dikaitkan dengan proposisiproposisi yang lebih umum, dan tidak karena didorong oleh
impuls dan rasa ingin tahu belaka.
4) Validitas, reliabilitas dan ketelitiannya dicek dan dikontrol
seperti pada data ilmiah lainnya.
(Kartono 1980: 142).
Untuk menguji kebenaran suatu observasi, peneliti dapat
mengulang observasinya kemudian membandingkan dengan hasil
observasi pertama. Walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan
karena ada peristiwa yang hanya sekali terjadi, sehingga tidak dapat
diamati lagi. Untuk membandingkan hasil observasi dari seorang
peneliti dengan peneliti lain adalah sangat sulit karena belum tentu
mendapatkan peneliti dalam masalah yang sama dengan subjek yang
sama. Oleh karena itu peneliti wajib membandingkan wajib
129
penelitiannya dengan hasil observasi significant others yaitu individu
yang dinilai berwibawa, dipercaya, disegani oleh subjek yang diteliti
sehingga persepsinya terhadap subjek yang diteliti dianggap benar atau
sesuai dengan kenyataannya. (Koentjaraningrat, 1977: 139).
Penelitian pada “Proses dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel
dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta” ini
menggunakan metode observasi berperan pasif, karena peneliti bukan
merupakan salah satu siswa maupun staff atau karyawan di Sekolah
Inklusif tersebut. Peneliti hanya ingin mengetahui bagaimana Proses
dan Pola interaksi sosial siswa difabel dan non-difabel di sekolah
inklusif di Kota Surakarta.
5. Teknik Sampling
Sesuai dengan tujuan penelitian maka yang menjadi unit analisis
adalah Guru Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta dan Siswa difabel di
Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta yaitu anak yang memiliki
keterbatasan fisik dan mental (gangguan belajar). Dimana jumlah anak
yang memiliki keterbatasan fisik yaitu ada 2 orang siswa dan yang
memiliki keterbatasan gangguan belajar ada 12 siswa dan diberikan
pendampingan khusus.
Teknik pengambilan sampel yaitu Purposive Sampling, yakni
pemilihan secara sengaja dengan maksud menemukan apa yang sesuai
dengan tujuan penelitian, dan jumlah sampel dianggap telah cukup
130
representatif bila dirasa telah mendapatkan kebulatan analisa yang
dikehendaki (Slamet, 2001: 2).
Langkah
awal
pengambilan
sampel
dilakukan
dengan
menghubungi key person, yaitu orang yang dianggap cukup banyak tahu
tentang situasi sekolah. Dalam hal ini adalah Pimpinan atau Kepala
Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta yang pertama dihubungi. Dari hasil
informasi kemudian dikembangkan kriteria-kriteria informasi yang perlu
dicari sesuai dengan tujuan penelitian melalui beberapa responden yang
cukup tahu.
6. Validitas Data
Dalam pengujian validitas data, dapat dilakukan dengan 4 cara,
yaitu :
1. Trianggulasi Data
Dengan
teknik
trianggulasi,
teknik
ini
merupakan
pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain
diluar data itu,
pembanding
untuk keperluan
terhadap
data.
pengecekan atau
Pengembangan
sebagai
validitas
data
menggunakan teknik trianggulasi, trianggulasi merupakan teknik
yang didasari pola pikir fenomenologi yang bersifat multiperspektif,
artinya untuk dapat menarik kesimpulan yang mantap dan valid,
diperlukan berbagai macam cara pandang yang berbeda, kemudian
disimpulkan dalam satu kesimpulan yang benar dan dapat
131
dipertanggungjawabkan. Untuk menyelesaikan masalah dengan
berbagai cara pandang yang berbeda tersebut, maka diharapkan
peneliti memperoleh dan memiliki data yang lebih lengkap, mantap,
dan
mendalam,
serta
mampu
memadukan
untuk
membuat
kesimpulan secara keseluruhan, dan kesimpulan tersebut dapat lebih
mudah dipahami. Peneliti menggunakan teknik trianggulasi karena
penelitian yang dilakukan ini bersifat deskriptif.
2. Review informan kunci (key informant review)
Cara ini juga merupakan salah satu usaha pengembangan
validitas penelitian yang sering digunakan oleh peneliti kualitatif.
Pada waktu peneliti sudah mendapatkan data yang cukup lengkap
dan berusaha menyusun sajian datanya, walaupun mungkin masih
belum utuh dan menyeluruh, maka unit-unit laporan yang telah telah
disusunnya perlu dikomunikasikan dengan informannya, khususnya
yang dipandang sebagai informan pokok (key informant). Hal ini
perlu dilakukan untuk mengetahui apakah laporan yang ditulis
tersebut merupakan pernyatan atau diskripsi sajian yang bisa
disetujui mereka.
3. Penyusunan data base
Data base merupakan merupakan bukti data yang telah
dikumpulkan dalam segala bentuk : deskripsi, gambar, skema,
132
rekaman wawancara, matriks, dan sebagainya, guna memudahkan
review serta usaha penelusuran kembali proses penelitian bilamana
diperlukan.
4. Penyusunan mata rantai semua bukti penelitian
Mata rantai semua bukti penelitian disusun dan dirumuskan
secara teratur untuk meningkatkan reliabilitas informasi penelitian.
Tujuan penyusunan ini adalah agar pengamat atau pembaca dapat
memahami asal dan penemuan setiap bukti data, dari awal
pertanyaan penelitian sampai dengan pembuatan simpulan akhir.
Demikian pula pembaca dapat meneliti mundur untuk mengetahui
asal mula mengenai simpulan yang telah disusun.
Kejelasan kaitan bukti ini memudahkan usaha melakukan
penelusuran kembali untuk memeriksa ada atau tidaknya bias dan
juga kekeliruan dalam menyusun suatu simpulan penelitian yang
telah selesai dilaporkan. Peneliti dalam penelitian ini selalu hadir
dalam lokasi penelitiannya, dan selalu mengamati segala aktivitas
dalam sekolah guna memperoleh data sebanyak-banyaknya dan
sebagai cara yang terbaik untuk bisa lebih memahami konteks
dengan beragam peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Dalam penelitian ini validitas data menggunakan trianggulasi
sumber yang berarti dalam penelitian ini membandingkan dan
mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh
133
melalui waktu dan alat yang berbeda dengan jalan membandingkan
data hasil observasi dengan data hasil wawancara.
7. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisa interaktif, yaitu bahwa ketiga komponen aktivitasnya berbentuk
interaksi dengan proses pengumpulan data berbagai proses siklus. Dalam
bentuk ini peneliti tetap bergerak di antara tiga komponen analisis, yaitu
data reduction (reduksi data), data display (sajian data) dan data
conclusion drawing (penarikan kesimpulan). Seperti dalam skema di
bawah ini :
Gambar 1.1
Skema Alur Penelitian
Pengumpulan
Data
Reduksi Data
(Data Reduction)
Sajian Data
(Data Display)
Penarikan Kesimpulan
(Conclusion Drawing)
Sumber : (HB. Sutopo, 1988 : 120)
134
Keterangan :
a. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data adalah proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan
dan abstraksi dari semua jenis informasi yang ada di fieldnote. Proses ini
berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian. Bahkan prosesnya
bisa dinyatakan sudah diawali sebelum pengumpulan data di lapangan.
Artinya, reduksi data sudah berlangsung sejak peneliti mengambil
keputusan (meski mungkin tidak disadari sepenuhnya), melakukan
pemilihan kasus, menyusun pertanyaan penelitian yang menekankan fokus
tertentu, tentang kerangka kerja konseptual, dan bahkan juga waktu
pengumpulan data tergantung jenis data yang akan digali, dan jenis data
ini sudah terarah dan ditentukan oleh beragam pertanyaan yang terdapat
dalam rumusan masalah penelitiannya.
Suatu
bentuk
analisis
yang
mempertegas,
memperpendek,
membuat fokus, membuang ha-hal yang tidak penting dan mengatur data
sedemikian rupa. Pada saat pengumpulan data yang ada pada fieldnote,
memusatkan, membuat batas-batas permasalahan. Proses ini berlangsung
sampai laporan akhir selesai.
b. Sajian Data (Data Display)
135
Sajian data adalah suatu rakitan organisasi, informasi, deskripsi
dalam bentuk narasi lengkap yang untuk selanjutnya memungkinkan
simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian data ini disusun berdasar
pokok-pokok yang terdapat dalam reduksi data, dan disajikan dengan
menggunakan kalimat dan bahasa peneliti yang merupakan rakitan kalimat
yang disusun secara logis dan sistematis, sehingga bila dibaca, akan
mudah dipahami.
Sajian data merupakan narasi mengenai berbagai hal yang terjadi
atau ditemukan di lapangan, sehingga peneliti dapat berbuat sesuatu pada
analisis atau tindakan lain berdasarkan atas pemahamannya tersebut.
Sajian data ini unit-unitnya harus mengacu pada rumusan masalah sebagai
pertanyaan penelitian, sehingga narasi yang tersaji merupakan deskripsi
mengenai kondisi yang rinci dan mendalam untuk menceritakan dan
menjawab setiap permasalahan yang ada.
Sajian data selain dalam bentuk narasi, juga dapat meliputi matriks,
gambar/ skema, jaringan kerja kaitan kegiatan, dan tabel sebagai
pendukung narasinya. Semuanya itu dirancang guna merakit informasi
secara teratur supaya mudah dilihat dan dapat lebih dimengerti dalam
bentuk yang lebih kompak.
c. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing)
136
Dari awal pengumpulan data, peneliti memahami apa arti dari
berbagai hal yang ia temui dengan melakukan pencatatan peraturanperaturan, pola-
pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab
akibat, dan berbagai proposisi. Simpulan perlu diverifikasi agar cukup
mantap dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu
perlu dilakukan verifikasi yang merupakan aktivitas pengulangan untuk
tujuan pemantapan, penelusuran data kembali dengan cepat, mungkin
sebagai akibat pikiran kedua yang timbul melintas kembali sebentar pada
fieldnote.
H. KERANGKA BERPIKIR
Setiap warganegara berhak memperoleh pendidikan. Hal ini tidak menutup
kemungkinan, bagi anak difabel untuk memperoleh pendidikan yang sama
seperti anak non-difabel. Sekolah Luar Biasa yang khusus diperuntukkan bagi
siswa difabel, menyebabkan eksklusivitas dan diskriminasi siswa difabel
dalam bidang pendidikan. Sehingga pemerintah berupaya untuk tidak
mendiskriminasikan kaum difabel dengan cara menyetarakan pendidikan
melalui pendidikan inklusif.
Dalam pendidikan inklusif, siswa difabel dididik bersama-sama siswa nondifabel untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh
137
kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak non-difabel dan anak difabel
yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak
difabel perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak non-difabel
untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah.
Di sekolah inklusif terdapat kurikulum yang menyetarakan kemampuan
siswa difabel dan non-difabel. Demi untuk menunjang kelancaran belajar
mengajar di sekolah inklusif, sekolah harus dapat memberikan aksesibilitas yang
berupa fasilitas-fasilitas, sarana dan prasarana, baik itu akses informasi, akses
komunikasi, maupun akses fisik. Sehingga memudahkan siswa difabel dalam
mengikuti kegiatan belajar mengajar serta berinteraksi dengan siswa non-difabel
dan guru. Setiap siswa baik siswa difabel maupun non-difabel saling berinteraksi
satu sama lain. Sehingga sekolah inklusif ini menghasilkan output yaitu siswa
difabel dan non-difabel yang berkualitas.
138
Gambar 1.2
Skema Kerangka Berpikir
HAK
DIFABEL
MENDAPATKAN KESETARAAN
PENDIDIKAN
SEKOLAH
INKLUSIF
INTERAKSI
INPUT
1. Siswa Difabel dan
Non-Difabel
2. Siswa Difabel dan
Guru sebagai
OUTPUT
1. Perkembangan Siswa
Difabel Meningkat
2. Siswa Difabel
Berprestasi
3. Siswa Difabel Mandiri
dan Percaya Diri
4. Sumber Daya Manusia
yang berkualitas
139
AKSESIBILITAS
SEKOLAH INKLUSIF
1. Akses Fisik
(sarana dan
prasarana
penunjang)
2. akses informasi
3. Akses Komunikasi
BAB II
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Penelitian yang berjudul “Proses dan Pola Interaksi Siswa Difabel dan NonDifabel di Sekolah Inklusif di Kota Surakarta” ini dilakukan di Lembaga Pendidikan Al
Firdaus Surakarta khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta. Adapun
alasan penulis memilih Sekolah Dasar Al Firdaus Surakarta sebagai lokasi penelitian,
yaitu karena Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta merupakan salah satu
Sekolah yang pertama kali menyelenggarakan pendidikan inklusi di Kota Surakarta dan
memiliki aksesibilitas yang sangat beragam bagi siswa difabel, salah satunya yaitu
memiliki unit khusus Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang
khusus menangani siswa difabel.
A.
PROFIL YAYASAN LEMBAGA PENDIDIKAN AL FIRDAUS KOTA
SURAKARTA
1. Sejarah Berdirinya Lembaga Pendidikan Al Firdaus Kota Surakarta
Keberadaan Lembaga Pendidikan Al Firdaus diawali dengan berdirinya
Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al Firdaus pada tanggal 17 Maret 1997
untuk jenjang pendidikan Play Group dan Taman Kanak-kanak yang secara
kelembagaan dibawah naungan Yayasan Majelis Pengajian Islam (MPI)
Surakarta. TPP Al Firdaus merupakan taman bermain dan belajar bagi anakanak usia prasekolah, usia 1,11 s/d 5,11 tahun dalam nuansa Islami.
Berdirinya TPP Al Firdaus tidak bisa dilepaskan dari andil dua sosok Ibu dan
anak, Ibu Hj. Siti Aminah Abdullah yang juga pendiri PT Tiga Serangkai dan
Ibu Hj. Eny Rahma Zaenah, SE, MM yang sama-sama merasakan
keprihatinan terhadap dunia pendidikan Islam saat itu. Di masa itu, sulit
ditemukan lembaga pendidikan Islam usia dini yang memiliki kualitas unggul,
140
baik dari sisi kurikulum dan program pembelajaran, metode, proses KBM,
sarana dan prasarana, sumber daya manusia maupun sistem pengelolaannya.
Berangkat dari fenomena inilah, keduanya sepakat untuk mendirikan TPP Al
Firdaus dengan dukungan beberapa orang yang peduli terhadap dunia
pendidikan anak di Surakarta, seperti H. Syamsul Hidayat, Drs. Achyadi dan
Drs. Hasto Daryanto,M.Pd.
Dalam perjalanannya, TPP Al Firdaus mendapatkan respon positif dari
masyarakat Surakarta dan sekitarnya, terbukti dengan meningkatnya jumlah
peminat atau pendaftar dari tahun ke tahun. Jika sebelumnya Lembaga
Pendidikan Al Firdaus semula hanya berfikir untuk menyelenggarakan Taman
Pendidikan Prasekolah, namun atas desakan para orang tua peserta didik dan
masyarakat waktu itu, maka tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 26
Februari 1999 berdirilah Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dengan program
pendidikan dasar 6 (enam) tahun.
Seiring perkembangan zaman dan dinamika dunia pendidikan, pada tahun
pelajaran 2005/2006, terjadi reorganisasi dan restrukturisasi di tubuh Lembaga
Pendidikan Al Firdaus. Jika sebelumnya masih di bawah yayasan MPI, kini
berubah statusnya menjadi yayasan, yaitu Yayasan Lembaga Pendidikan Al
Firdaus berdasarkan Akta Notaris No.46 tanggal 9 September 2005.
Kemudian, pada tahun ini juga mendirikan Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus untuk jenjang pendidikan
SMP dan SMA. Kedepan Insya Allah didirikan Universitas atau perguruan tinggi sebagai kesinambungan dari jenjang
pendidikan sebelumnya. Sehingga profil output Al Firdaus yang di bentuk mulai dari TPP, SD, SM dan Insya Allah
Universitas memiliki 4 (empat) fondasi pendidikan yang tangguh, yaitu iman dan taqwa, ilmu pengetahuan dan
teknologi, life skill dan kewirausahaan.
2. Visi Misi dan Tujuan
141
a. Visi :
"Terwujudnya lembaga pendidikan Islam yang unggul, inovatif, dan
adaptif berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah".
b. Misi :
1. Memenuhi dan meningkatkan standar mutu Lembaga Pendidikan Al
Firdaus sesuai dengan tuntutan perkembangan.
2. Menjadikan Lembaga Pendidikan Al Firdaus sebagai inovator dalam
pendidikan Islam yang adaptif terhadap perkembangan zaman dengan
kemanfaatan yang tinggi bagi masyarakat.
c. Tujuan :
Mewujudkan lembaga pendidikan yang bermutu dan profesional Islami.
Menyiapkan generasi yang beriman dan bertakwa berwawasan iptek.
Menyiapkan generasi yang mampu beradaptasi terhadap tuntutan dan
perkembangan zaman.
3. Kurikulum dan Pembelajaran
142
Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum Al Firdaus
yang mengembangkan empat fondasi pendidikan, yaitu keimanan
dan ketaqwaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, life skill dan
kewirausahaan berlandaskan nilai-nilai Islam (Islamic Core).
Kurikulum Al Firdaus dirancang secara sistem unit mulai dari
Taman Pendidikan Pra Sekolah (TPP) hingga Sekolah Menengah
(SM) Al Firdaus.
Dalam pembelajaran menerapkan pendekatan individual, dimana
memperhatikan perbedaan setiap anak dalam hal minat, bakat dan potensi
masing-masing. Adapun sebagai bahan acuan dalam memodifikasi kurikulum
adalah kurikulum Diknas dan kurikulum Departemen Agama.
4. Sumber Daya Manusia
Ketua Pembina
:
Hj.Siti Aminah Abdullah
Anggota Dewan Pembina :
Drs.H.Ahmad Syamuri, MM.
Pengawas
:
Elly Damaiwati, M.Pd.
Ketua Pengurus
:
Hj.Eny Rahma Zaenah, SE,MM.
Sekretaris
:
Drs.H.Munawir Yusuf, M.Psi.
Bendahara
:
Hj.Puti Rozanti Agustina
Konsultan Pendidikan
:
1. Prof.Dr.H.Usman Abu Bakar, MA.
2. Prof.Dr.H.M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.
3. Prof.Dr. Sunardi, M.Sc.
4. Drs.K.H Anwar Sholeh, M.Hum.
5. Bambang Kuncoro, M.Ot.
143
6. Dra.Niken Iriani Lnh, M.Si.
Kabag Pendidikan
:
Drs.Hasto Daryanto, M.Pd.
Staf Ahli Pendidikan
:
1. Drs.Muryanto
2. Siti Rohimah S.Pd.I.
Kabag SDM
:
Plt. Nia Hanifa, SE
Kabag Humas
:
Imam Subkhan, S.Pd.
Kabag Litbang
:
Anggoro Wulansari, S.Sos.
Kabag Administrasi
:
Nia Hanifa, SE.
Kepala TPP
:
Mudhofir, S.Pd.
Kepala SD
:
Drs. Joko Purwoko
Kepala SM
:
Supardi, S.Pd.I.
Kepala PUSPA
:
Muh. Adhari, Psi.
Kepala Unit Pendidikan
Tenaga Pendidik
5. Unit-unit Pendidikan
Yayasan Al Firdaus memiliki unit-unit pendidikan, yaitu : Taman Pendidikan
Pra Sekolah (TPP) Al Firdaus yang terdiri dari Play Group dan Taman Kanakkanak, Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, serta Sekolah Menengah (SM) Al
Firdaus yang terdiri dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Al Firdaus dan
Sekolah Menengah Atas (SMA) Al Firdaus. Adapun jumlah siswa dalam
setiap unitnya dalam jangka waktu 3 tahun terakhir, dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
144
TABEL 2.1
DATA SISWA YAYASAN AL FIRDAUS KOTA SURAKARTA TAHUN 2009/2010
TPP
PLAYGROUP
NO
TAHUN
SM
SD
TK
NON-
NON-
SMP
NON-
SMU
NON-
NON-
AJARAN
DIFABEL
DIFABEL
DIFABEL
DIFABEL
DIFABEL
DIFABEL
DIFABEL
DIFABEL
DIFABEL
DIFABEL
1.
2007/2008
0
97
6
198
19
430
0
105
0
0
2.
2008/2009
0
91
6
186
42
441
0
148
0
8
3.
2009/2010
0
85
4
179
51
481
0
134
1
40
Sumber : Litbang Al Firdaus 2010
145
Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al Firdaus
Taman Pendidikan Prasekolah Al Firdaus, terakreditasi A, merupakan institusi
pendidikan yang memberikan layanan pendidikan bagi anak usia pra sekolah
(Play Group dan TK). Adapun kategori usia di tiap unit sebagai berikut:
Play Group A untuk anak usia 1, 11 s.d. 2,11 tahun.
Play group B untuk anak usia 3,0 s.d 3,11 tahun.
TK A untuk anak usia 4,0 s.d. 4,11 tahun.
TK B untuk usia 5,0 s.d 5,11 tahun.
Taman Pendidikan Prasekolah Al Firdaus memiliki dimensi keunggulan
sebagai berikut:
1) Rasio guru dengan anak 1:8 (play group) dan 1:6 (TK).
2) Setiap materi pelajaran terinternalisasi dalam nilai-nilai Islam
(Islamic Core).
3) Mengembangkan ketrampilan bahasa Inggris dan komputer.
4) Pembelajaran
menggunakan
pendekatan
individual
untuk
mengoptimalkan pengembangan bakat, minat, dan potensi anak.
5) Diselenggarakan program sekolah lapang sebagai aplikasi keilmuan
yang sedang dipelajari dan yang sudah dicapai.
6) Mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional
(EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) secara seimbang.
7) Penyelenggara kegiatan Ceria Anak Indonesia (CAI) setiap 2 (dua)
tahun sekali dengan berbagai lomba-lomba sebagai media aktivitas
dan kreativitas anak.
146
8) Menerapkan program pendidikan inklusi yang menangani anak-anak
berkebutuhan khusus (ABK).
Output Taman Pendidikan Prasekolah Al Firdaus adalah anak yang
mempunyai kompetensi sebagai berikut :
1) Tertib dalam shalat.
2) Tertib dalam mengaji.
3) Hafal surat pendek dalam Al-Qur'an.
4) Santun, mandiri dan kreatif.
5) Siap membaca, menulis dan berhitung.
6) Siap melanjutkan studi ke jenjang berikutnya.
Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al Firdaus memiliki program-program
unggulan, antara lain :
1) Program Intrakurikuler
Program Intrakurikuler di Taman Pendidikan Prasekolah (TPP)
Al Firdaus, yaitu : Tahajji, hafalan bacaan shalat, hafalan surat-surat
pendek, latihan shalat, doa dan adab harian, tahsinul kitabah, bahasa,
daya pikir, daya cipta, ketrampilan dan jasmani.
2) Program Ekstrakurikuler
Program Ekstrakurikuler di Taman Pendidikan Prasekolah
(TPP) Al Firdaus, yaitu : Jendela pustaka, pengenalan komputer,
bahasa Inggris, bina vokalia, melukis, bina sensomotorik, dan
drumband.
3) Program Pembiasaan
147
Program pembiasaan di Taman Pendidikan Prasekolah (TPP)
Al Firdaus, yaitu terdiri dari pembiasaan diri pada : Aspek
kesopanan, aspek kerajinan dan ketekunan, aspek kerapian dan
kebersihan, aspek tanggung jawab, aspek kedisiplinan, aspek
kemandirian, aspek kebiasaan berdo’a dan mengucapkan kalimat
thoyyibah.
Fasilitas yang dimiliki oleh Taman Pendidikan Prasekolah (TPP) Al
Firdaus, adalah sebagai berikut :
1. Ruang kelas ber AC dengan loker pribadi
2. Ruang bermain Indoor dan Out door
3. Ruang Pusat Layanan Anak Berkebutuhan Khusus
4. Lab. Komputer
5. Ruang Kreatif
6. Perpustakaan
7. Mobil Antar Jemput
8. Rumah Pohon
9. Ruang Makan
10. Mini Market
11. Mushola
12. Satpam
Waktu belajar yang diterapkan di Taman Pendidikan
Prasekolah (TPP) Al Firdaus, antara lain :
1. Play Group A, pukul 07.30–10.15 WIB (3 hari seminggu)
148
2. Play Group B, pukul 07.30–10.30 WIB (3 hari seminggu)
3. TK A, pukul 07.00–11.50 (Senin–Jumat)
4. TK B, pukul 07.00–12.00 (Senin–Jumat)
Adapun bagan struktur organisasi pada Taman Pendidikan Pra Sekolah
(TPP) Al Firdaus Surakarta, adalah sebagai berikut :
149
150
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki program
pembelajaran, yaitu meliputi :
1. Program Intrakurikuler
Al Quran, hadist dan Tahajji, aqidah-akhlak-tarikh, fiqih,
kewarganegaraan,
bahasa
Indonesia,
matematika,
sains,
pengetahuan sosial, kertangkes, penjaskes, bahasa Jawa dan seni
suatu daerah
2. Program Ekstrakurikuler
Pramuka dan kepemimpinan, bahasa Arab, bahasa Inggris,
komputer, eksplorasi perpustakaan dan pelatihan penulisan karya
ilmiah sederhana, bulu tangkis, taekwondo, catur, bola voli,
qiro’ah, bina vokalia, lukis, ensambel musik dan teater.
3. Program Pembiasaan
Aspek kesopanan, aspek kerajinan dan ketekunan, aspek
kerapihan
dan
kebersihan,
aspek
tanggung
jawab,
aspek
kedisiplinan, aspek kemandirian, aspek kebiasaan berdoa dan
mengucapkan kalimat thoyyibah.
Waktu Belajar yang ditetapkan di Sekolah Dasar Al Firdaus untuk
pembelajaran di sekolah, yaitu :
Kelas 1 dan 2, pukul 07.00 – 13.15 WIB (Senin – Jumat).
Kelas 3 dan 6, pukul 07.00 – 15.30 WIB (Senin – Jumat).
151
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, terakreditasi A, merupakan unit pendidikan
bagi anak usia 6 – 12 tahun. Berbagai prestasi dan penghargaan telah diraih
SD Al Firdaus baik di tingkat lokal maupun nasional. SD Al Firdaus memiliki
dimensi keunggulan sebagai berikut:
1. Rasio guru dengan siswa 1:18.
2. Setiap materi pelajaran terinternalisasi dalam nilai-nilai Islam
(Islamic Core).
3. Mengembangkan ketrampilan bahasa Inggris, bahasa Arab dan
komputer.
4. Menerapkan bilingual (Bahasa Indonesia - Inggris) secara bertahap
dalam pembelajaran.
5. Pembelajaran
menggunakan
pendekatan
individual
untuk
mengoptimalkan pengembangan bakat, minat dan potensi anak.
6. Diselenggarakan
program
sekolah
lapang
sebagai
aplikasi
keilmuan yang sedang dipelajari dan yang sudah dicapai.
7. Mengembangkan
kecerdasan
intelektual
(IQ),
kecerdasan
emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) secara seimbang.
8. Penyelenggara kegiatan Student Science Expo dan Gelar Karya
Eksplorasi Perpustakaan (dua tahun sekali) sebagai ajang
pengalikasian ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan
sehari-hari.
9. Menerapkan program pendidikan inklusi yang menangani anakanak berkebutuhan khusus (ABK).
152
Output SD Al Firdaus adalah siswa yang mempunyai kompetensi sebagai
berikut:
1. Tertib dalam sholat
2. Fasih mengaji Al Qur’an
3. Lancar menyampaikan asbabun nuzul surat pendek
4. Hafal juz’amma
5. Santun, mandiri dan kreatif
6. Dapat berkomunikasi bahasa inggris dengan lingkungan sekitar
7. Prestasi akademik tinggi
8. Tuntas dalam menugasai dasar-dasar pengetahuan akademik
(PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS) sebagai bekal
studi lanjut.
Fasilitas yang dimiliki oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, adalah
sebagai berikut :
1. Ruang kelas dilengkapi loker pribadi
2. Ruang pusat pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
3. Perpustakaan
4. Laboratorium IPA/ sains
5. Laboratorium Bahasa
6. Laboratorium Komputer
7. Ruang bengkel karya
8. Ruang Unit Pelayanan Kesehatan Terpadu
9. Ruang audio visual
153
10. Green Garden
11. Mini market Ass Gross Al Firdaus
12. Masjid
13. Aula
14. Lapangan Olah Raga
15. Mobil Antar Jemput
16. Satpam
SD Al Firdaus memiliki struktur organisasi tersendiri, dimana struktur
tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan Sekolah
Dasar (SD) Al Firdaus, yaitu dapat digambarkan pada bagan dibawah ini :
154
155
Jumlah siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus berdasarkan penggolongan kecacatannya pada
tahun tahun ajaran 2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
TABEL 2.2
PENGGOLONGAN SISWA DIFABEL SEKOLAH DASAR AL FIRDAUS
KOTA SURAKARTA MENURUT JENIS KECACATAN
NO
JENIS KECACATAN
TAHUN AJARAN
2007/2008
2008/2009
2009/2010
1.
Kesulitan Belajar Ringan
12
27
28
2.
Kesulitan Belajar Kompleks
2
3
9
3.
Retardasi Mental Ringan
1
1
1
4.
Cerebral Palsy
2
2
2
5.
Asperger Syndrome
1
1
3
6.
Lamban Belajar
1
1
1
7.
Gangguan Sensori Integrasi
0
0
2
8.
Gangguan Motivasi
0
7
5
19
42
51
TOTAL
Sumber : Litbang Al Firdaus 2010
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa siswa difabel terbanyak yang
bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dari tahun ajaran 2007/2008,
120
2008/2009, dan 2009/2010 yaitu memiliki kondisi kesulitan belajar ringan.
Dimana siswa yang memiliki kesulitan belajar ringan ini juga memiliki
keterbatasan terhadap interaksi dengan guru dan teman-temannya. Sedangkan
difabel secara fisik hanya dimiliki oleh 2 siswa saja, yang tidak berpengaruh
pada proses pembelajaran dan interaksi siswa terhadap guru dan temantemannya.
Jumlah siswa difabel di Yayasan Al Firdaus berdasarkan penggolongan kecacatannya pada tahun tahun
ajaran 2005/2006, 2006/2007, 2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
TABEL 2.3
DATA SISWA DIFABEL DI YAYASAN AL FIRDAUS MENURUT
PUSAT PELAYANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (PUSPA)
TAHUN
SEMESTER
NO
AJARAN
I
II
TOTAL
1.
2005/2006
22
30
52
2.
2006/2007
31
35
66
3.
2007/2008
35
52
87
4.
2008/2009
37
62
99
5.
2009/2010
71
96
167
Sumber : Litbang Al Firdaus 2010
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa siswa difabel terbanyak yang
terdapat di Yayasan Al Firdaus yang masuk ikut pelayanan di Pusat Pelayanan
Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dari tahun ajaran 2005/2006,
121
2006/2007, 2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010 adalah pada tahun terakhir
yaitu pada tahun 2009/2010 mencapai 167 siswa, dan dapat dilihat dari tabel
di atas perkembangan tiap tahun mengalami jumlah peningkatan siswa difabel
di Yayasan Al Firdaus. Ini merupakan perkembangan yang cukup baik,
dikarenakan mutu dari pelayanan sekolah dan unit Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA) sendiri yang sudah dapat memuaskan para
orang tua murid. Selain itu lulusan dari sekolah Al Firdaus khususnya yang
difabel yang dapat mandiri dan bekerja sama setelah tamat sekolah dan juga
kepercayaan masyarakat atau orang tua murid untuk menyekolahkan anakanaknya di Yayasan Al firdaus yang cukup tinggi.
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki Komite Sekolah (KOSAF), yang didirikan pada tahun 2007.
Pada tahun 1999, awal pembentukan Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki Ikatan Keluarga Al Firdaus (IKAF),
yaitu sebuah lembaga sekolah yang membantu pelaksanaan kegiatan sekolah. Pengurus Ikatan Keluarga Al Firdaus
(IKAF) semuanya terdiri dari guru-guru Al Firdaus. Tetapi setelah adanya Peraturan Pemerintah tentang
pembentukan Komite Sekolah pada tahun 2007, maka Ikatan Keluarga Al Firdaus (IKAF) berubah namanya menjadi
Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF). Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) merupakan sebuah lembaga sekolah
yang membantu pelaksanaan kegiatan sekolah. Pengurus Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) tidak seluruhnya
berasal dari guru-guru Al Firdaus, melainkan 70% orang tua murid dan 30% guru-guru Al Firdaus.
Tujuan dibentuknya Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) yaitu untuk menjembatani informasi dan
kegiatan yang berhubungan dengan putra putri/ siswa di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dari guru kepada orang tua
murid (Supporting Program Pembelajaran di SD Al Firdaus). Sehingga hubungan kerjasama antara guru dan orang
tua murid dapat terjalin dengan baik melalui Komite Sekolah (KOSAF) ini.
Setiap satu bulan sekali Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) mengadakan pertemuan kelas atau rapat
kelas dan tiga bulan sekali mengadakan rapat besar yang terbentuk dalam Forum Silaturahmi Orang Tua (FORMIL)
demi perkembangan putra putri mereka. Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) juga mengadakan kegiatan-kegiatan
sekolah, diantaranya adalah :
1.
Outing (Sekolah Lapangan) yang dilakukan tiga atau empat bulan sekali.
2.
Outbond yang dilakukan 1 tahun sekali pada akhir tahun.
3.
Persiapan Ujian (UAN) dengan mengadakan seminar-seminar.
122
Dalam kepengurusannya, Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) melakukan pergantian kepengurusan
setiap dua tahun sekali, bersamaan dengan pergantian kepala sekolah yang juga dilakukan dua tahun sekali. Dimana
orang tua murid yang aktif di sekolah, dapat ditunjuk sebagai pengurus Komite Sekolah Al Firdaus (KOSAF) oleh
Koordinator Kelas. Orang tua murid yang sebagai Koordinator Kelas, secara otomatis adalah pengurus inti Komite
Sekolah Al Firdaus (KOSAF), dan 30% yaitu guru-guru di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus.
Adapun susunan pengurus Komite Sekolah (KOSAF) Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta,
adalah sebagai berikut :
SUSUNAN PENGURUS KOMITE SEKOLAH SD AL FIRDAUS
SURAKARTA (KOSAF) PERIODE 2008/2009 – 2009/2010
Pembina
:
Kepala Sekolah SD Plus Al Firdaus
Ketua
:
Yulia Rosa Santi Wardhani
Wakil
:
drh. Haris Raihan
Sekretaris
:
Erni & Farida Isnawati, S.Pd
Bendahara
:
Sri Hartati & Rina Istiana, A.Md
Koordinator Departemen
1. Departemen Kurikulum dan Pengajaran
Koordinator
:
Anggota
:
Siti Imsyawati
1. Darmawan Budianto, S.Pd
2. Riani
3. Asih
4. Nurbaiti
5. Ekowati Listyorini
6. Dewi Yuli S
2. Departemen Kesiswaan dan Kehumasan
123
Koordinator
:
Anggota
:
Suhartati Banowati
1. Wahyudi, S.Pd
2. Sukadi
3. Agus Darmojo
4. Helvi
5. Novi Wulandari
6. Arhatin
3. Departemen Sarana dan Prasarana
Koordinator
:
Dotty Harmida
Anggota
:
1. Drs. Joko Purwoko
2. Muna
3. Suryaningsih
4. Yusniar Martati
Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus
Sekolah Menengah Al Firdaus (SM) memiliki program pembelajaran,
adalah sebagai berikut :
1. Program Intrakurikuler
Aqidah, fiqih, al Qur’an hadist, sirah Nabawi dan sejarah
peradaban Islam, kewarganegaraan, bahasa dan sastra Indonesia,
bahasa Inggris, bahasa Arab, matematika, fisika, kimia, biologi,
teknologi informasi dan komunikasi, geografi, sejarah, ekonomi,
kesenian, pendidikan jasmani, bahasa Jawa.
124
2. Program Ekstrakurikuler
Desain grafis dan multimedia, eksplorasi perpustakaan dan
karya ilmiah remaja, leadership dan Palang Merah Remaja (PMR),
enterpreneurship, taekwondo, bulu tangkis, seni lukis kaligrafi,
jurnalistik, teater, bina musika dan vokalia, elektonika.
3. Program Pembiasaan
Aspek kesopanan, aspek kerajinan dan ketekunan, aspek
kerapihan
dan
kebersihan,
aspek
tanggung
jawab,
aspek
kedisiplinan, aspek kemandirian, aspek kebiasaan berdoa dan
mengucapkan kalimat thoyyibah.
Jadwal pembelajaran di Sekolah Menengah Al Firdaus, yaitu : masuk
pukul 07.30 – 16.00 WIB dari hari Senin sampai dengan Jumat, hari Sabtu
sebagai extra day untuk mengoptimalkan penggalian dan pengembangan
potensi siswa
Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus merupakan paket program
pendidikan untuk jenjang SMP dan SMA yang memberikan kesempatan bagi
para siswa untuk menyelesaikan studi selama 5 (lima) tahun.
Walaupun dengan masa studi lebih cepat 1 tahun untuk jenjang SMP dan
SMA, namun berbeda dengan konsep akselerasi yang diselenggarakan oleh
pemerintah, dimana memberikan syarat-syarat tertentu bagi profil inputnya.
Dengan melakukan modifikasi kurikulum, meode pembelajaran yang efektif
dan penambahan waktu belajar, maka setiap siswa SM Al Firdaus dapat
menyelesaikan masa studi 5 (lima) tahun untuk jenjang SMP dan SMA.
125
Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus memiliki dimensi keunggulan
sebagai berikut :
1. Percepatan masa studi.
2. Setiap materi pembelajaran terinternalisasi dalam nilai-nilai Islam
(Islam Core).
3. Menerapkan multilingual (Bahasa Indonesia, Inggris dan Arab)
secara bertahap dalam pembelajaran.
4. Pembelajaran
menggunakan
pendekatan
individual
untuk
mengoptimalkan pengembangan bakat, minat dan potensi anak.
5. Mengembangkan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional
(EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan nilai (EQ) secara
seimbang.
6. Menerapkan sistem sentra dalam pembelajaran dan wali asuh.
7. Menyelenggarakan Students Expo (dua tahun sekali) sebagai ajang
eksplorasi kreativitas siswa.
8. Memanfaatkan unit-unit bisnis sebagai sumber pembelajaran
(laboratorium besar).
Output SM AL Firdaus adalah siswa yang memiliki kompetensi sebagai
berikut:
1. Aqidah Islamiyah yang kuat
2. Akhlakul karimah
Hafalan Al qur’an 3 juz dan Al hadits 40
Berwawasan kebangsaan global
126
Terampil beberapa bahasa internasional disamping bahasa Inggris
Kemandirian dan berjiwa sosial
Dasar-dasar jiwa entrepreneurship (berwirausaha).
Prestasi akademik tinggi
Kesiapan melanjutkan ke jenjang berikutnya baik skala nasional
maupun internasional.
Fasilitas yang dimiliki oleh Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus, adalah
sebagai berikut :
1. Perpustakaan
2. Laboratorium Sains
3. Laboratorium Bahasa
4. Laboratorium Komputer
5. Laboratorium Skill
6. Ruang UKS
7. Ruang Organisasi Siswa
8. Ruang makan
9. Mushola
10. Lapangan Olah Raga
11. Bus Sekolah
12. Satpam
13. Unit Bisnis Tiga Serangkai Group sebagai Laboratorium besar
Adapun struktur organisasi Sekolah Menengah (SM) Al Firdaus, yaitu
dapat digambarkan pada bagan dibawah ini :
127
128
129
130
6. Unit-unit Pendukung
Pusat Pendampingan Al Firdaus : Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan
Khusus (PUSPA) Al Firdaus
Sebagai unit pendukung di yayasan, Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus juga membuka pelayanan
institusi lain dan masyarakat dalam penanganan ABK.
Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus
menyelenggarakan program kelas pendampingan yaitu program intervensi
bagi anak berkebutuhan khusus. PUSPA Al Firdaus sebagai pusat layanan
anak berkebutuhan khusus (ABK) berfungsi memberikan intervensi
(layanan) terhadap siswa didik di Al Firdaus (TPP, SD dan SM) yang
memiliki kebutuhan khusus berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dan kuota
di tiap kelas, dimana ABK dapat belajar bersama anak-anak lain di kelas
regular.
Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus
ditangani oleh tenaga Guru Pendidikan Luar Biasa, Terapis Okupasi,
Psikolog. Selain itu, tenaga referal meliputi dokter anak, dokter spesialis
jiwa, konsultan ahli pendidikan ABK, konsultan ahli terapi okupasi.
Kategori siswa ABK adalah sebagai berikut:
1. Kesulitan Belajar (Learning Disabilities)
Siswa dengan intelegensi normal atau diatas normal
yang mengalami kesenjangan antara potensi intelektual yang
131
mereka miliki dengan pencapaian hasil belajar. Kesulitan
belajar diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a) Development
Learning
Disabilities.
Kesulitan
belajar jenis ini adalah penyimpangan yang terjadi
dalam fungsi-fungsi psikologis dan bahasa.
b) Academic Learning Disabilities. Kesulitan belajar
dalam bidang akademik merujuk pada suatu
keadaan yang menghambat proses belajar dalam
bidang akademik.
2. Lamban Belajar (Slow Learning)
Siswa yang memiliki kapasitas intelektual dibawah ratarata tetapi masih diatas tunagrahita atau retardasi mental.
Mereka memili IQ sekitar 80-90. Siswa tersebut memiliki
kecepatan belajar di bawah siswa pada umumnya.
3. Berbakat Intelektual
Siswa
yang
memiliki
kecerdasan
umum
(logis
matematis), kreativitas dan komitmen terhadap tugas cukup
tinggi. Mereka akan mendapatkan program pengayaan untuk
mengoptimalkan potensinya dengan menggunakan kurikulum
Non Gradasi dibawah pengawasan Prof. Dr. Sunardi, M.Sc.
(Guru Besar/ Ahli Kependidikan dari Universitas Sebelas
Maret)
132
Allah menciptakan semua manusia dalam keadaan sempurna (QS Al
Hijr 29). Islam sangat menghargai perbedaan setiap individu dengan
keunikan dan kekhasan masing-masing. Demikian halnya dengan siswa,
mereka mempunyai perbedaan dalam hal potensi, minat dan bakat.
Perbedaan tersebut akan mempengaruhi daya tangkap dan pola belajar yang
dikembangkannya. Berpijak dari hal tersebut, Al Firdaus menerapkan
program pendidikan inklusi yang menerima dan mengelola anak
berkebutuhan khusus (ABK).
ABK adalah anak yang dalam proses perkembangannya secara
signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, mentalintelektual, sosial dan emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain.
ABK yang dikelola oleh Al Firdaus antara lain jenis kesulitan belajar,
lamban belajar, autism, low vision, dan lain-lain.
Di dalam Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA)
terdapat Program Penanganan (Intervensi) Anak Berkebutuhan Khusus.
Istilah intervensi menunjuk pada adanya bimbingan, treatment dan atau
terapi yang diatur melalui pendekatan individual secara terpadu dalam
rangka membantu individu mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal. Ada 7 area dalam individu yang saat ini menjadi wilayah intervensi
di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus.
Ketujuh area tersebut yaitu kognitif, emosi, komunikasi & bahasa, interaksi
sosial, bina diri dan sensomotorik.
133
Program penanganan (intervensi) dilaksanakan berdasarkan suatu
prosedur standar, yaitu di mulai dari identifikasi, perencanaan intervensi,
pelaksanaan intervensi, monitoring, evaluasi dan tindak lanjut. Program ini
dilaksanakan dengan melakukan:
Pemetaan dan identifikasi kemampuan pra akademik/akademik
dan non akademik.
Penyusunan program pembelajaran individual dengan modifikasi
kurikulum.
Pengelolaan pembelajaran dengan pendekatan individual.
Penyediaan guru pembimbing khusus dan tenaga professional
lainnya seperti psikolog, ortopaedagog, okupasi terapis,
psikiater, dan lain-lain.
Penanganan terpadu yang melibatkan pihak sekolah dan orang tua
secara bermakna.
Penyediaan sarana dan prasarana berupa ruang terapi, ruang
belajar khusus, alat assessment, media pembelajaran khusus,
alat terapi, dan lain-lain.
Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus
dipimpin oleh seorang Kepala, dibawah Kepala seorang Koordinator
Pelayanan Umum dan Kepala Bagian administrasi, Sarana dan Prasarana.
Koordinator Pelayanan Umum membawahi seorang Konselor, Terapis
Okupasi dan Guru Pembimbing Khusus. Selengkapnya struktur dan tugas
masing-masing jabatan dibawah ini :
134
a) Kepala.
Kepala bertugas menyusun rencana, mendistribusikan,
memonitor dalam bentuk memberi petunjuk dan menilai
pelaksanaan kegiatan staf di lingkungan SD Al Firdaus sesuai
dengan ketentuan demi kelancaran tugas.
b) Koordinator Pelayanan Umum.
Koordinator Pelayanan Umum bertugas melaksanakan
koordinasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan
assessment dan intervensi. Saat ini dijabat Muhammad Adhari,
Psi.
c)
Bagian Administrasi dan Sarana Prasarana.
Bagian Administrasi dan Sarana Prasarana bertugas menyusun rencana, membagi tugas,
memberi petunjuk dan menilai pelaksanaan kegiatan bawahan di lingkungan urusan tata usaha
serta mengatur urusan persuratan, kerumahtanggaan dan keuangan di lingkungan unit pendidikan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk kelancaran tugas. Saat ini belum ada personel
definitif. Tugas-tugasnya masih dijalankan oleh bagian-bagian lain secara tersendiri.
d) Okupasi Terapis.
Saat ini okupasi terapis dijabat oleh Ibu Anna Wahyu Budiarti,
Amd.OT. Okupasi terapis memiliki tugas adalah sebagai berikut :
1) Menerima laporan klien baru
2) Melakukan assessment lanjutan
3) Menyusun program terapi okupasi
4) Melaksanakan terapi okupasi
5) Melakukan evaluasi dan tindak lanjut
6) Menyusun laporan dan mengkomunikasikan perkembangan
terapi okupasi kepada pihak-pihak terkait.
e) Guru Pembimbing Khusus.
Guru pembimbing khusus saat ini dijabat oleh Ibu Yusriatin,
S,Pd. Tugas guru pembimbing khusus adalah sebagai berikut :
135
1) Menerima laporan klien baru,
2) Melakukan assessment lanjutan,
3) Menyusun program pembelajaran individual (PPI),
4) Melaksanakan program pembelajaran individual (PPI),
5) Melakukan evaluasi dan tindak lanjut,
6) Menyusun laporan dan mengkomunikasikan perkembangan
program pembelajaran individual (PPI) kepada pihak-pihak
terkait.
f) Konselor.
Tugas-tugas seorang konselor dijalankan oleh Koordinator
Pelayanan Umum. Tugas seorang konselor adalah sebagai berikut :
1) Menerima laporan klien baru,
2) Melakukan assessment lanjutan,
3) Menyusun program konseling/ psikoterapi,
4) Melaksanakan konseling/ psikoterapi,
5) Melakukan evaluasi dan tindak lanjut,
6) Menyusun laporan dan mengkomunikasikan perkembangan
konseling/ psikoterapi kepada pihak-pihak terkait.
g) Guru Pendamping Khusus.
Ada siswa didik di SD Plus Al Firdaus yang memiliki
kebutuhan khusus dan membutuhkan guru pendamping tersendiri
selanjutnya mereka dimasukkan ke dalam program khusus. Pusat
Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus saat
136
ini tercatat memiliki dua orang guru pendamping khusus. Tugasnya
membantu melakukan identifikasi, merencanakan pembelajaran,
melakukan pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran dan
melaporkan hasil-hasilnya.
Secara umum profil ketenagaan di Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus adalah sebagai berikut :
Koordinator Pelayanan Umum dijabat oleh Muhammad Adhari. Beliau
adalah lulusan dari Program Profesi Psikolog Universitas Muhammadiyah
Surakarta pada tahun 2002. Pengalaman organisasi adalah anggota senat
Fakultas Psikologi UMS, Asisten Biro Pengembangan SDM Fakultas
Psikologi UMS, Anggota Organisasi Alumni Fakultas Psikologi UMS.
Adhari memang mengkonsentrasikan ilmu psikologi di bidang pendidikan
dan industri/ organisasi. Setelah lulus Adhari langsung bekerja di Lembaga
Pendidikan Al Firdaus. Selama di Lembaga Pendidikan Al Firdaus, Adhari
telah mengikuti pelatihan di bidang bimbingan dan konseling.
Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus
memiliki seorang Guru Pembimbing Khusus. Beliau adalah ibu Yusriatin.
Yusriatin adalah lulusan Program Studi Pendidkan Anak Berkesulitan
Belajar Jurusan PLB IKIP Jakarta, atau sekarang menjadi Universitas
Negeri Jakarta. Selama kuliah Yusriatin aktif dalam organisasi di
kampusnya. Lulus pada tahun 1997 dan pernah menjadi staf pengajar di
beberapa sekolah di Palembang. Saat ini Yusriatin mengkonsentrasikan
137
keahlian dan keterampilannya dalam menangani anak-anak berkesulitan
belajar. Tenaga Okupasi Terapis sekarang dijabat oleh Ibu Anna Wahyu
Budiarti. Anna adalah lulusan dari Akademi Okupasi Terapi Surakarta
pada tahun 1997. Setelah lulus beliau bekerja sebagai staf OT PRA YPAC
Surakarta. Anna juga pernah menjadi dosen tidak tetap AOT Surakarta.
Saat ini Anna menjadi staf ahli OT Special Need Center Permata Bunda.
Selama ini Anna telah mengikuti berbagai seminar, workshop dan
pelatihan tentang Sensory Integration, suatu teknik terapi untuk
menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Adapun struktur organisasi
Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus, adalah
sebagai berikut :
138
139
FATAHA, Education & Training Center
Al Firdaus, sebagai sebuah lembaga yang mengedepankan inovasi
pendidikan, tentu saja diperlukan program–program pendukung seperti
halnya penelitian dan pengembangan (research and development)
keilmuan serta diimbangi oleh kapabilitas Sumber Daya Manusia (SDM)
secara kontinyu dan konsisten. FATAHA, Education dan Training Center
(FATAHA ETC) adalah sebuah lembaga pengembangan potensi sumber
daya manusia yang berkonsentrasi di bidang pendidikan sebagai upaya Al
140
Firdaus mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM pendidik) yang
berkualitas.
FATAHA Education dan Training Center merupakan lembaga
sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidik, baik pendidik di
sekolah maupun pendidik di keluarga dan masyarakat. Fataha sebagai
pusat dalam menumbuhkan kreativitas dan mengasah keterampilan para
pendidik dalam mengasuh anak.
Sasaran lembaga ini adalah guru–guru sebagai pendidik di sekolah
dan para orang tua sebagai pendidik di rumah. Selain mengembangkan
SDM secara internal di lingkungan Yayasan Lembaga Pendidikan Al
Firdaus, lembaga ini juga memberikan jasa pelayanan pengembangan
SDM bagi institusi-institusi pendidikan di luar Al Firdaus serta masyarakat
pada umumnya. Adapun program–program pendidikan yang dikelola
adalah sebagai berikut :
a) Program Reguler, yaitu program pendidikan dan pelatihan bagi
para pendidik selama periode tertentu.
b) Program non Reguler, yaitu program pengembangan SDM yang
dilaksanakan secara insidental, meliputi :
Perekrutan SDM
Training SDM
Konsultasi Pendidikan
Parenting
Event Organizer untuk pendidikan
141
Penyedia media pembelajaran
Prestasi dan Penghargaan
Dalam perjalanannya Al Firdaus cukup banyak mendapatkan penghargaan dan
prestasi di tingkat lokal dan nasional baik secara kelembagaan maupun secara
personal. Beberapa catatan prestasi terakhir periode 2005/ 2006 yang diraih Al
Firdaus:
1) TPP dan SD Al Firdaus mendapatkan akreditasi A tahun 2005 dan
2006.
2) SD Al Firdaus ditunjuk sebagai penyelenggara program pendidikan
inklusi oleh Depdiknas Pusat sekaligus sebagai anggota Tim
Nasional Orientasi Pendidikan Inklusi di seluruh Indonesia tahun
2006.
3) SD Al Firdaus ditunjuk Dikpora Kota Surakarta sebagai
penyelenggara program life skill mata pelajaran Eksplorasi
Perpustakaan pada program Broad Base Education (BBE).
4) Al Firdaus menjadi tempat rujukan dan studi banding bagi lembaga–
lembaga pendidikan di Indonesia.
5) Bina Vokalia Al Firdaus beberapa kali menjadi bintang tamu di
event nasional seperti pada peluncuran buku “SD, Pergulatan
Mengejar Ketertinggalan” Depdiknas Pusat Jakarta dan bintang
tamu konser Anak Indonesia "Berkarya sebagai backing vocal Nia
dan Adit AFI Indosiar".
142
6) Juara I Lomba Gugus TK Tingkat Nasional tahun 2007.
7) Peringkat I Merk Terbaik (best brand) kategori lembaga pendidikan
prasekolah di kawasan Soloraya dalam penganugrahan Solo Best
Brand Index 2007 – SOLOPOS.
8) Juara I Lomba Penulisan Buku Pengayaan Sains untuk SD yang
diselenggarakan Pusat Perbukuan Nasional.
9) Juara IV Lomba KID WITNESS NEWS Tingkat Nasional berupa
pembuatan film dokumenter oleh siswa SD tentang lingkungan
hidup oleh PT. Panasonic Gobel.
10) Juara II Lomba Penulisan Karya Ilmiah Inovasi Pembelajaran Guru
Tingkat Jawa Tengah.
11) Juara Lomba Guru Berprestasi Tingkat Kota Surakarta.
12) Juara Lomba Guru Mengajar Tingkat Kota Surakarta
13) Para siswa dari TPP sampai SM Al Fidaus banyak mendapatkan
kejuaraan dalam berbagai lomba, seperti lomba pendidikan Agama
Islam, sains, komputer, bahasa, life skill, olahraga serta kesenian dan
kebudayaan.
B.
SEKOLAH INKLUSIF DI SEKOLAH DASAR (SD) AL FIRDAUS
Pendidikan terpadu menuju inklusi adalah pelayanan pendidikan
bagi peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah reguler. Peserta didik
tersebut adalah mereka yang tergolong memerlukan layanan khusus, baik
dalam arti berkelainan, lamban belajar maupun yang berkesulitan belajar
143
lainnya. Sekolah terpadu adalah sekolah reguler, negeri maupun swasta
yang melaksanakan pendidikan terpadu.
Pada tahun 2000 hingga 2004, banyak sekali pertimbangan-pertimbangan
yang dilakukan oleh Dewan Lembaga Pendidikan Al Firdaus, khususnya
SD Al Firdaus berkaitan dengan pembentukan sekolah inklusif di SD Al
Firdaus, yaitu semakin banyaknya anak-anak difabel yang memerlukan
pendidikan setara dengan pendidikan reguler di Sekolah Dasar. Atas
pertimbangan tersebut, maka SD Al Firdaus memantapkan langkah untuk
menyelenggarakan
program
sekolah
inklusif
di
Kota
Surakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah, dalam hal ini Direktorat Pendidikan Luar Biasa membuat
proyek pendidikan terpadu tersebut. Proyek tersebut direalisasikan dalam
bentuk bantuan dana untuk sosialisasi, pendukung pembelajaran dan
beasiswa bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.
SD Plus Al Firdaus sebagai sekolah penyelenggara program pendidikan
terpadu
(inklusi)
menyambutnya
dengan
baik.
Sebagai
sekolah
penyelenggara Program Pendidikan Terpadu menuju Inklusi SD Al Firdaus
juga memiliki struktur organisasi dan job desk sendiri. Sarana dan prasarana
juga mengalami peningkatan. Antara lain ruang okupasi terapi dan
peralatan terapinya. Selain itu untuk mendukung terapi okupasi dan
remedial ada penambahan alat permainan edukatif. Untuk ruang belajar
pada bulan Februari 2005 SD Al Firdaus mendapatkan satu ruangan lagi
untuk belajar dan konseling.
144
Bersamaan berkembangnya kompleksitas permasalahan selama
tahun pelajaran 2004/ 2005, SD Al Firdaus mengadakan telaah program
pembelajaran untuk anak berkesulitan dan lamban belajar dengan tenaga
ahli eksternal, antara lain dengan Bapak Prof. Dr. Sunardi, M.Sc.
Selanjutnya memunculkan kurikulum non gradasi. Selain itu PUSPA Al
Firdaus melaksanakan kunjungan ke Sekolah Khusus Autis Fredofios di
Yogyakarka. Hal ini untuk mempersiapkan program pembelajaran bagi
anak autisme, karena pada bulan April 2005 SD Plus Al Firdaus menerima
siswa didik yang mengalami autisme.
1. PENGGOLONGAN SISWA DIFABEL YANG DITANGANI OLEH
SEKOLAH DASAR (SD) AL FIRDAUS
Siswa difabel adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau
perkembangannya secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan atau
penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial dan emosional) dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan
pendidikan khusus. Adapun penggolongan siswa difabel di lembaga
Pendidikan Al Firdaus saat ini dibagai menjadi beberapa golongan yaitu :
1. Kesulitan Belajar (Learning Disabilities)
Siswa yang memiliki kesulitan belajar adalah siswa yang memiliki
intelligensi normal atau di atas normal yang mengalami kesenjangan
antara potensi intelektual yang mereka miliki dengan pencapaian hasil
belajar. Faktor penyebabnya adalah dugaan adanya gangguan seperti
145
disfungsi otak minimal, gangguan neurologis, faktor genetik.
Gangguan tersebut dapat menyebabkan keterbatasan dalam proses
psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa
lisan/ tulisan.
Gangguan tersebut menampakkan diri dalam bentuk kesulitan
mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja dan
berhitung. Secara umum kesulitan belajar diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu :
a) Development Learning Disabilities. Kesulitan belajar jenis
ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam fungsi-fungsi
psikologis dan bahasa. Meliputi : attention disorder,
memory disorder, visual perceptual and perceptual
motor disorder, thingking disorder dan language
disorder.
2. Academic Learning Disabilities. Kesulitan belajar dalam
bidang akademik merujuk pada suatu keadaan yang
menghambat proses belajar dalam bidang akademik
seperti kesulitan belajar membaca, belajar menulis,
belajar matematika, dan dalam bidang akademik lainnya.
b.
Lamban Belajar (Slow Learning)
Siswa yang mengalami lamban belajar adalah siswa yang memiliki
kapasitas intelektual rata-rata bagian bawah tetapi masih di atas
tunagrahita atau retardasi mental. Mereka memiliki IQ sekitar 70-90.
Siswa tersebut memiliki kecepatan belajar di bawah siswa pada
umumnya.
c. Hambatan Belajar (Learning Problem)
Siswa yang memiliki hambatan belajar adalah mereka yang
sebenarnya memiliki potensi yang cukup (IQ 90 ke atas) tetapi mereka
memiliki masalah-masalah eksternal yang mempengaruhi aspek
kognitif,
afeksi
dan
psikomotor.
Hambatan
tersebut
akan
mengakibatkan gangguan emosi dan perilaku yang pada akhirnya
menghambat proses belajar secara maksimal. Faktor penyebab
hambatan belajar seperti : lingkungan belajar yang tidak menunjang,
146
sistem di dalam PBM yang tidak memadahi, pola didik yang tidak
tepat, pengaruh negatif dari lingkungan, masalah sosial ekonomi dan
sebagainya. Manivestasi dari hal ini dapat nampak pada merosotnya
motivasi belajar, agresivitas, dan perilaku mal adaptif lainnya.
d.
Berbakat Intelektual
Anak berbakat intelektual atau anak yang memiliki kemampuan
dan kecerdasan luar biasa adalah anak yang memiliki potensi
kecerdasan (intelligensi), kreativitas, dan tanggung jawab terhadap
tugas (task commitment) di atas anak-anak seusianya (anak normal),
sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi yang nyata,
memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berbakat sering juga
disebut sebagai gifted dan talented
MODEL PENEMPATAN SISWA DIFABEL
Penempatan siswa difabel di sekolah dapat dilakukan dengan berbagai
model, antara lain:
Kelas reguler
ABK belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di
kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.
Kelas reguler dengan cluster
ABK belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam
kelompok tertentu.
Kelas reguler dengan pull out
147
ABK belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler
namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke
ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. Di
Sekolah Dasar Al Firdaus, hanya ada 1 siswa yang menggunakan
model kelas reguler dengan pull out, yaitu Firmansyah Adrian, yang
sekarang telah menduduki kelas VI, dimana pada awal masuk
Sekolah Dasar Al Firdua, guru menerapkan sistem ini dikarenakan
siswa difabel tersebut memiliki pronlem pembelajaran yang berat.
Sehingga setiap saat siswa harus dikeluarkan dari kelas dan
dibimbing secara khusus di ruang PUSPA oleh guru pendamping.
Kelas Khusus dengan berbagai pengintegrasian
ABK di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun
dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain
(normal) di kelas reguler.
Kelas khusus Penuh
ABK berada di dalam kelas khusus pada sekolah regular.
Sekolah Dasar Al Firdaus menerapkan model ini pada saat Ujian
Nasional Saja, dimana siswa difabel dijadikan satu pada satu kelas
tertentu untuk dapat mengikuti Ujian Nasional.
PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI
3.1. Identifikasi
1. Kesulitan Belajar (Learning Disabilities)
148
Siswa yang memiliki kesulitan belajar adalah siswa yang
memiliki intelligensi normal atau di atas normal yang mengalami
kesenjangan antara potensi intelektual yang mereka miliki dengan
pencapaian hasil belajar. Gangguan tersebut menampakkan diri dalam
bentuk kesulitan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis,
mengeja dan berhitung. Identifikasi dilakukan dengan tes formal
maupun informal. Secara umum kesulitan belajar diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu :
a. Development Learning Disabilities.
Kesulitan belajar jenis ini adalah penyimpangan yang
terjadi dalam fungsi-fungsi psikologis dan bahasa. Meliputi ;
attention disorder, memory disorder, visual perceptual and
perceptual motor disorder, thingking disorder dan language
disorder.
b.
Academic Learning disabilities.
Kesulitan belajar dalam bidang akademik merujuk pada
suatu keadaan yang menghambat proses belajar dalam bidang
akademik seperti kesulitan belajar membaca, belajar menulis,
belajar matematika, dan dalam bidang akademik lainnya.
b. Lamban Belajar (Slow Learner)
Siswa yang mengalami lamban belajar adalah siswa yang
memiliki kapasitas intelektual rata-rata bagian bawah tetapi masih di
atas tunagrahita atau retardasi mental. Mereka memiliki IQ sekitar 90
- 100. Siswa tersebut memiliki kecepatan belajar di bawah siswa pada
149
umumnya. Identifikasi dilakukan dengan tes IQ. Sampai saat ini
tercatat seorang siswa di UP SD yang mendapatkan intervensi atas
kategori tersebut. Mereka belajar dengan menggunakan kurikulum
non gradasi
3.2. Laporan Kasus
Selama tahun pelajaran 2009/ 2010 PUSPA Al Firdaus telah menerima
laporan kasus sebanyak 42. Dua puluh tiga kasus dari Unit Pendampingan
Taman Pra Sekolah (UP TPP) dan 19 kasus dari Unit Pendampingan Sekolah
Dasar (UP SD)
3.3. Pelaksanaan Program Intervensi
a. Assessment
Suatu proses pengumpulan data tentang anak-anak yang diduga
mengalami kesulitan belajar dan hambatan belajar. Kegiatan ini untuk
mengungkap kekuatan dan kelemahan seorang anak. Pengumpulan data
ini dilakukan oleh tenaga psikolog, okupasi terapis dan guru
pembimbing khusus. Pengumpulan data dilakukan dengan tes formal, tes
informal, wawancara dan observasi.
b. Analisis Kebutuhan
Berdasarkan hasil assessment maka akan diperoleh diagnosis atau
kesimpulan dari identifikasi jesis gangguan/ hambatan. Hal ini menjadi
dasar penyusunan program terapi atau pembelajaran yang dibutuhkan.
150
c. Program Pembelajaran Individual
Program ini meliputi modifikasi proses tanpa mengganggu
kelancaran pembelajaran di dalam kelas. Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus dengan program Kelas
Pendampingannya selama tahun pelajaran 2009/2010 telah menyusun
Program Pengajaran Individual (PPI) untuk siswa yang mengalami
kesulitan belajar dan lamban belajar di UP SD. Penyusunan Program
Pengajaran Individual (PPI). Program ini memuat tentang :
Permasalahan atau kesulitan siswa
Rumusan jangka panjang dan jangka pendek
Materi yang sesuai dengan kebutuhan siswa
Metode dan media yang digunakan
Waktu pelaksanaan
Evaluasi
3.4. Model Pelaksanaan
Pelaksanaan program pengajaran individual berdasarkan pertemuan
antara guru kelas reguler, guru kelas pendampingan, orang tua, siswa didik
yang berkepentingan dan Supervisor Pelayanan Umum Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus, untuk menentukan program
layanan/ terapeutik yang tepat dan disetujui beberapa pihak di atas. Jadwal
pelaksanaannya berdasarkan beberapa alternatif, yaitu :
a. Program Layanan Langsung
151
Kasus-kasus tertentu yang membutuhkan penanganan langsung,
tenaga ahli seperti okupasi terapis, guru pembimbing khusus, konselor,
dan tenaga ahli lainnya secara langsung memberikan intervensi pada
siswa yang mengalami kesulitan/ hambatan/ gangguan.
b. Program Asistensi
Pada program ini dibentuk tim terpadu yang berkolaborasi
mendampingi orang tua dan guru reguler dalam menyelesaikan kesulitan
belajar seorang siswa. Tim terpadu tersebut membuat program intervensi
yang kemudian pelaksanaannya didelegasikan pada guru umum (reguler)
atau guru pendamping khusus.
c.
Program Konsultatif
Pada program ini guru kelas reguler sepenuhnya menyusun PPI dan
melaksanakannya. Hanya saja guru reguler melakukan konsultasi dengan
tenaga ahli dalam menentukan materi, metode dan media yang digunakan.
Tenaga ahli tersebut seperti okupasi terapis, guru khusus PLB, psikolog.
d. Program Referal
Kasus-kasus yang tidak memungkinkan ditangani oleh tenaga di
Lembaga Pendidikan Al Firdaus akan dialihtangankan pada tenaga ahli/
lembaga eksternal. Jika gejala-gejala kesulitan/hambatan/gangguan yang
dialami seorang siswa sudah memungkinkan untuk dicampurkan dengan
siswa-siswa reguler maka program ini akan dialihkan ke program yang
lebih ringan oleh tenaga di lingkungan Lembaga Pendidikan Al Firdaus.
152
3.5.Evaluasi
Evaluasi dilakukan tiap semester. Hasil evaluasi tersebut bersifat narasi
dan individual sebagai laporan hasil pembelajaran di Unit Pendampingan
Sekolah Dasar (UP SD). Berdasarkan hasil evaluasi perkembangan dari 45
siswa di Unit Pendampingan Sekolah Dasar (UP SD) tercatat 35 anak
mengalami kemajuan sesuai target pembelajaran dengan program lanjutan, 10
anak belum mengalami kemajuan sesuai target pembelajaran dan 2 anak telah
lepas tangan kasus.
3.6. Alih Tangan Kasus
Berdasarkan evaluasi tingkat pencapaian target (keberhasilan) program
pembelajaran/ terapi, dimungkinkan ada kasus-kasus yang tidak dapat
ditangani oleh Lembaga Pendidikan Al Firdaus. Selama tahun pelajaran 2009/
2010 Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) Al Firdaus
pernah satu kali melakukan alih tangan kasus di Unit Pendampingan Sekolah
Dasar (UP SD).
3.7. Lepas Tangan Kasus
Beberapa kasus telah dinyatakan selesai mengikuti program layanan di
PUSPA Al Firdaus berdasarkan parameter tertentu.
a. Pelatihan Team Building
Pelatihan Team Building dilakasanakan dalam upaya membentuk
team di unit Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dapat bekerja dengan baik.
153
Acara ini juga di isi dengan senam otak untuk para guru dan karyawan.
Kepentingan team building ini adalah secara khusus agar guru dapat
bekerja dengan optimal, untuk karyawan agar lebih paham dengan
tugasnya. Pelatihan team building ini dilaksanakn di luar ruangan dan
dalam ruangan, puncak acara team building disi oleh team dari
Primagama Wahyu Setiawan S.Si. bertindak sebagai team motivasi di
lembaga tersebut.
b.
Pengembangan program dan sarana prasarana
Pengembangan ini meliputi beberapa unsur yaitu :
1. Pengembangan kurikulum : dengan kegiatan AMT.
2. Pengembangan life skill : untuk membantu siswa agar lebih
mampu mandiri perlu adanya kegiatan life skill siswa dengan
menjahit dan beberapa alat ketrampilan untuk membuat karya
seperti boneka, dan lain-lain.
3. Media Pembelajaran khusus : beberapa alat khusus diperlukan
untuk membantu meningkatkan kemampuan anak seperti alat-alat
lukis, VCD dan beberapa alat pemacu ketrampilan siswa.
MODEL UJIAN AKHIR NASIONAL (UASBN) BAGI SISWA DIFABEL
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai penyelenggara Sekolah Inklusi
mengalami beberapa tantangan diantaranya adalah masalah UASBN tetapi
dengan kerja keras akhirnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus mampu
154
memantapkan diri untuk menyelenggarakan sekolah inklusi. Oleh sebab itu
diperlukan bantuan dari pihak-pihak terkait untuk menyelenggarakan sekolah
inklusi.
Dengan diberlakukannya pendidikan inklusif di Sekolah Dasar (SD)
Al Firdaus sejak angkatan 2004/ 2005 maka siswa difabel dapat memperoleh
hak pendidikan di sekolah tersebut. Namun demikian keberhasilan tersebut
menyisakan permasalahan di antaranya adalah ketika anak berkebutuhan
khusus yang berada di sekolah reguler harus mengikuti UASBN. Bagi anak
berkebutuhan khusus yang high functioning atau tidak mengalami hambatan
mental/ kecerdasan seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunalaras
dapat mengikuti UASBN sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya
bagi anak berkebutuhan khusus yang low functioning atau yang mengalami
hambatan mental/ kecerdasan dan mereka sudah terdaftar sebagai peserta
UASBN. Bagi mereka ini tentunya akan menjadi persoalan ketika harus
mengikuti UASBN dengan soal yang sama seperti anak-anak lain pada
umumnya, sedangkan kemampuan mereka tidak memadai untuk itu. Kondisi
ini merupakan permasalahan yang perlu dicarikan solusinya oleh kita
bersama.
Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan sebagai solusi untuk
mengatasi UASBN bagi anak berkebutuhan khusus low functioning, yaitu :
1. Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus
memberikan keterangan peserta
UASBN yang tergolong pada anak berkebutuhan khusus. Keterangan
ini berguna untuk menentukan soal mana yang akan digunakan.
155
2. Sekolah bekerjasama dengan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah
Raga Provinsi Jawa Tengah melakukan identifikasi dan asessment.
Identifikasi dan asessment ini penting dilakukan agar diperoleh data
yang akurat mengenai kemampuan dan hambatan yang dimiliki oleh
anak berkebutuhan khusus sehingga dapat menjadi dasar dalam
pembuatan soal. Setelah data diperoleh melalui identifikasi dan
asessment kemudian soal dibuat oleh guru/ sekolah masing-masing
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Selanjutnya pihak
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Jawa Tengah
melakukan validasi terhadap soal yang telah dibuat oleh guru/ sekolah
itu.
3. Soal yang telah divalidasi itu dapat digunakan dalam UASBN bagi
siswa difabel. Soal yang dikerjakan oleh siswa difabel akan berbeda
dengan anak pada umumnya, bahkan bisa berbeda pula antar sesama
siswa difabel.
Dalam pelaksanaan UASBN, siswa difabel mental yang tidak mampu
bergabung dengan siswa non-difabel dalam pengerjaan soal di kelas, maka di
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus disediakan ruangan khusus bagi mereka yaitu
di ruangan PUSPA dan disediakan guru pendamping untuk memandu dalam
setiap pengerjaan soal, serta pengawas ujian dari pihak Dinas Pendidikan,
Pemuda dan Olahraga, agar dalam pengerjaan soal benar-benar murni.
Dalam pemilihan pengawas ujian peserta difabel, tidak sembarangan,
156
dimana pengawas tersebut harus mampu dan mengerti benar tentang program
inklusif, tentang sikap dan perilaku siswa difabel, serta penampilan pengawas
tidak membuat takut para siswa difabel, karena hal ini akan sangat
mempengaruhi dalam pengerjaan soal UASBN.
Dalam hasil penilaian hasil UASBN bagi siswa difabel, nilai yang
diperoleh harus disajikan dalam dua bentuk, yaitu bentuk angka dan bentuk
deskriptif. Dua bentuk sajian ini diperlukan agar diperoleh kejelasan dan
pertanggungjawaban mengenai nilai-nilai yang diperoleh siswa difabel.
Misalnya, nilai matematika 7 bagi siswa difabel berbeda dengan nilai
matematika 7 yang diperoleh anak pada umumnya karena dari bentuk,
kualitas, dan kuantitas pertanyaan berbeda. Bagi siswa difabel memperoleh
nilai 7 harus ada penjelasan mengapa nilainya 7.
Dalam penjelasannya, kurang lebih berisi standar kompetensi,
kompetensi dasar, dan indikator-indikator yang telah dicapainya sehingga
dapat diwakili dengan nilai 7. Begitu pula di dalam ijazah/ STTB bagi siswa
difabel, dimana terdiri dari dua lembar, lembar pertama ijazah yang di
dalamnya tercantum nilai berbentuk angka-angka dan lembar kedua
berbentuk deskriptif.
157
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada Bab III ini penulis akan menyajikan hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan interpretasi data yang diperoleh
dari penelitian yang telah dilakukan di lokasi penelitian.
A. HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian berikut ini merupakan data yang diperoleh dari penelitian
yang telah dilakukan di lokasi penelitian, yaitu di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus
Kota Surakarta. Adapun hasil penelitian ini diperoleh dari wawancara mendalam
terhadap para informan yang terdiri beberapa siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus Kota Surakarta guru dan orang tua siswa difabel. Adapun hasil penelitiannya
adalah sebagai berikut:
PROFIL INFORMAN
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus merupakan salah satu sekolah inklusif di
Kota Surakarta. Di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus terdapat siswa difabel yang
belajar bersama dengan siswa non-difabel yang ditempatkan pada ruang dan
waktu serta kurikulum pembelajaran yang sama tanpa suatu pembedaan. Tetapi
pada saat-saat tertentu ada kebutuhan khusus yang wajib diikuti oleh siswa difabel
di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan
Khusus (PUSPA).
Program inklusif di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus telah digalakkan sejak
tahun ajaran 2004/ 2005 dan hingga kini memiliki siswa difabel sebanyak 51
siswa dan non-difabel sebanyak 481 siswa. Adapun 7 orang informan yang
158
mewakili populasi telah dipilih oleh peneliti untuk mendukung penelitian ini
yakni:
1.1 Siswa difabel yang mempunyai gangguan fisik (Celebral Palsy)
Siswa difabel yang mempunyai gangguan fisik di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus sebanyak 2 siswa, yaitu : Nanda (gangguan pada kedua kaki) dan Tian
(gangguan pada tangan kanan), keduanya mempunyai gangguan fisik yang
disebabkan karena fungsi otak saraf yang tidak baik sejak lahir. Adapun profil
kedua siswa tersebut adalah sebagai berikut :
Nanda (Bukan Nama Sebenarnya)
Nanda siswa kelas 3C, merupakan penyandang Celebral Palsy atau
istilah lainnya yaitu kelainan saraf otak yang meyebabkan pertumbuhan
tulang kaki khususnya pada telapak kaki. Sejak lahir, Nanda telah
memiliki kekurangan ini. Ketika menginjak kelas 2 kaki Nanda dioperasi.
Dalam proses interaksi sosial Nanda tidak mengalami kesulitan sama
sekali justru Nanda mempunyai mental yang kuat. Pada awal masuk
sekolah justru yang merasa malu adalah orang tua Nanda. Mereka malu
karena teman-teman Nanda sering menanyakan : “Tante kakinya Nanda
kenapa? Kok kayak bebek?”. Banyak teman laki-lakinya suka menirukan
cara jalan Nanda dibelakangnya.
Rasa malu orang tua Nanda menimbulkan motivasi untuk melakukan
operasi pada kedua kaki Nanda di salah satu rumah sakit di Jakarta. Pasca
operasi satu bulan penuh Nanda memakai kursi roda yang disediakan oleh
sekolah dan selama satu bulan itu Nanda ditunggui ibunya di sekolah
159
karena masih dalam proses pemulihan dan kesulitan untuk aktifitas ke
kamar mandi. Pada saat operasi hingga pasca operasi Nanda sering tidak
masuk sekolah dikarenakan untuk keperluan kontrol, sehingga mengalami
ketertinggalan beberapa mata pelajaran khususnya pelajaran Matematika.
Setelah kondisi Nanda benar-benar pulih, tetap saja kakinya masih
belum normal, akhirnya para guru dan tenaga terapis memberikan solusi
bahwa Nanda harus memakai sepatu terbalik yakni sepatu kaki kanan
dipakai di kaki kiri dan sepatu kaki kiri dipakai untuk kaki kanan selama
proses pemulihan, agar bentuk kaki kembali normal. Setelah naik di kelas
tiga sekarang Nanda sudah kembali normal seperti anak lainnya dan juga
pemakaian sepatunya pun juga sudah sama dengan anak lainnya.
Dalam kaitanya dengan proses belajar mengajar kepada Nanda
digunakan kurikulum yang sama dengan siswa non-difabel tetapi Nanda
tetap mengikuti jam tambahan untuk pelajaran Matematika yang
dilaksanakan oleh Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA).
Hal ini disebabkan karena seringnya siswa tidak masuk sekolah pra
operasi dan pasca operasi. Program intervensi diberikan pada Nanda agar
siswa mampu mengikuti seluruh pelajaran kurikulum reguler. Nanda
mempunyai kelebihan pada bidang seni tarik suara, Nanda pernah meraih
juara tiga lomba menyanyi yang diselenggarakan oleh Yayasan Raka
Perkasa.
Tian (Bukan Nama Sebenarnya)
160
Tian siswa kelas 4C, merupakan penyandang Celebral Palsy. Yang
menyebabkan kecacatan pada Tian adalah karena ada gangguan pada
semua saraf di bagian tubuh sebelah kanan dan juga menyebabkan
pertumbuhan tulang di bagian tangan dan kaki sebelah kanan tidak
sempurna.
Ketika awal masuk sekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini
Tian malu dengan kondisi yang ada pada dirinya, karena sering diejek
teman-temannya “gak punya tangan”. Hal ini menyebabkan Tian kurang
bersosialisasi dan sedikit pendiam. Akan tetapi menginjak di kelas 4 Tian
sudah terbiasa dengan kondisinya dan begitu juga teman-temannya bisa
menerima Tian apa adanya bahkan saling tolong menolong jika Tian
mengalami kesulitan dalam hal pelajaran atau hal lainnya. Dari segi
interaksi sosial Tian tidak mengalami kesulitan sama sekali hanya sering
malu akan keadaan dirinya, tetapi sekarang sudah memiliki rasa percaya
diri yang kuat.
Dalam segi akademis secara umum Tian tidak mengalami kesulitan
atau
gangguan
karena
kecacatan
yang
dialaminya
dan
tidak
mempengaruhinya dalam proses belajar, bahkan prestasi Tian dapat
bersaing dengan anak non-difabel dikelasnya. Dalam penyaluran bakat
Tian mengikuti kegiatan ekstrakurikuler olahraga Tae Kwondo yang
memerlukan fisik dan mental yang kuat, saat ini Tian sudah mencapai
tingkatan sabuk hijau garis dua.
161
Orang tua Tian sangat peduli dengan keadaan Tian. Setiap satu
minggu sekali orang tua Tian membawanya untuk melakukan terapi di
Orthopedi Rehabilitasi Centrum demi perbaikan saraf dan tulang serta
akan dibuatkan alat bantu penyandang cacat yang bernama split guna
penyembuhan pada tangan kanannya.
1.2 Penyandang Autis dan Gangguan Sosialisasi serta Interaksi
Siswa difabel yang merupakan penyanang autis dan mempunyai gangguan
fisik di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebanyak 5 siswa, yaitu : Rahman,
Abdul, Putra, Iman, dan Ian. Adapun profil kelima siswa tersebut adalah
sebagai berikut :
Rahman (Bukan Nama Sebenarnya)
Rahman siswa kelas 1A yang menurut ahli terapis diindikasikan
sebagai penyandang autis. Ibu Rahman merupakan seorang bidan,
sehingga tahu tentang penanganan Rahman sejak dini. Rahman
sebelumnya juga merupakan siswa di Yayasan Al Firdaus yaitu dari
Taman Pendidikan Pra Sekolah (TPP) dan Taman Kanak-kanak (TK) AL
Firdaus, sehingga pemantauan pendidikan dan perkembangan anak
menjadi lebih mudah karena dari awal sudah mempunyai riwayat
pendidikan di Yayasan Al Firdaus.
Ibu Uswahyu sebagai wali kelas Rahman mengatakan bahwa
Rahman mengalami kesulitan pembelajaran di kelas karena sistem
motoriknya tidak jalan dan tampak pasif. Apabila diajari menulis atau
162
diberi tugas untuk mengerjakan sesuatu di kelas harus ada instruksi ganda
atau berulang. Pada saat diterangkan tidak bisa langsung tanggap dan
harus diterangkan atau dijelaskan dengan istilah lain atau memberi
penjelasan dengan buku cerita dan gambar. Cara menulis Rahman juga
masih mengalami kesulitan, harus dengan bantuan atau arahan dari guru
khususnya untuk penempatan huruf yang benar.
Rahman juga cenderung pasif dalam hal berinteraksi sosial dengan
temannya, pendiam tidak mau bertanya sebelum ditanya dan juga jarang
mengajak temannya bermain. Dari pihak siswa non-difabel memiliki rasa
toleransi yang cukup tinggi terhadap Rahman. Teman-temannya selalu
berusaha mengajak Rahman untuk bermain bersama namun, saat bermain
dia tidak dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan baik. Rahman sangat
pasif dan hanya ikut-ikut saja tanpa ada tujuan, bahkan Rahman tidak
menyadari bahwa dia sedang bermain bersama teman-temannya.
Kurikulum pembelajaran untuk Rahman sama dengan murid-murid
yang lain, karena masih kelas satu jadi targetnya untuk sementara hanya
bisa membaca, menulis dan berhitung. Mata pelajaran yang digemari oleh
Rahman adalah menggambar dan mewarnai. Ketika duduk di Taman
Pendidikan Pra Sekolah (TPP) dan Taman Kanak-kanak (TK) AL Firdaus
Rahman pernah juara satu menggambar.
Untuk perawatan terapi terhadap Rahman dilakukan disekolah
melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dengan
pengenalan gambar dan istilah, selain itu pihak orang tua Rahman juga
163
kooperatif untuk perkembangan anaknya sendiri maka setiap libur atau
waktu luang Rahman juga diterapi di Natura Medika.
Abdul (Bukan Nama Sebenarnya)
Abdul adalah siswa kelas 2 SD Al Firdaus yang memiliki
keterbatasan yaitu autis taraf ringan. Dalam interaksi sosial dengan temantemannya satu kelas Abdul cenderung pendiam dan jarang bermain
bersama. Apabila ada temannya yang meledek dan membuatnya emosi dia
cenderung memukul atau melempar sesuatu. Apabila bermain Abdul
hanya mengikuti permainan temannya atau hanya ikut-ikutan saja tanpa
mengerti maksud dan tujuan teman-temannya itu. Apabila ada sesuatu
yang tidak sesuai dengan perasaan Abdul atau sedang sedih yang
berlebihan Abdul biasanya menangis sambil berteriak.
Sementara itu untuk masalah akademik Abdul mengikuti kurikulum
pembelajaran yang ada. Dalam kaitanya dengan kemampuan membaca
dan menulis Abdul sudah bisa membaca dengan lancar tetapi untuk
menulis belum terlalu Abdul jarang bertanya apabila tidak tahu atau belum
paham karena kesulitan untuk mengungkapkan apa yang akan ditanyakan
kepada guru. Sementara itu untuk kemampuan lainnya Abdul sudah dapat
mengikuti mata pelajaran Matematika dan mempunyai nilai di atas ratarata.
Selama ini Abdul sudah mampu mengikuti pelajaran dan tugas yang
diberikan oleh guru, bahkan apabila tugasnya belum selesai tetapi jam
164
pelajaranya sudah selesai Abdul tidak mau berhenti. Abdul terus
melanjutkan untuk menyelesaikan tugasnya sampai selesai walaupun jam
pelajarannya sudah ganti dengan pelajaran yang lain. Oleh karena itu Guru
pendamping dan wali kelas Abdul selalu memberikan pemahaman dan
pengertian mengenai batas waktu disetiap tugas dan jam pelajaran apabila
jam pelajarannya sudah habis.
Untuk terapi di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
(PUSPA) Abdul diberi intervensi lebih mengenai kerapian menggambar
dan mewarnai untuk melatih kerapiannya serta dilatih untuk berinteraksi
sosial dan bersosialisasi dengan teman-temannya. Selain itu juga diberi
terapi-terapi lainnya untuk menambah kemampuan Abdul.
Putra (Bukan Nama Sebenarnya)
Putra siswa kelas 3C ini merupakan salah satu murid berkebutuhan
khusus atau difabel penyandang autis taraf ringan akan tetapi walaupun
sama-sama penyandang autis tetapi Putra berbeda dengan Ian kakak
kelasnya yang berada di kelas 6. Di dalam perilaku sosial anak-anak autis
seperti Putra selalu tergantung situasi dan dari keadaan perasaan hati atau
mood dan keinginan si anak tersebut. Seperti misalnya: apabila Putra
marah atau tidak suka dengan apa yang dilakukan teman karena
mengejeknya maka Putra cenderung berteriak dan bahkan pernah sampai
mengangkat kursi untuk dilempar ke teman yang mengejeknya. Dari pihak
sekolah juga memberikan bimbingan konseling apabila terjadi konflik
165
seperti itu, dan biasanya anak dipanggil satu persatu lalu diberi pengertian
tentang yang seharusnya tidak dilakukan dan yang seharusnya dilakukan.
Komunikasi Putra dengan guru tidak berbeda dengan anak lain,
tetapi untuk anak autis seperti Putra ini kadang-kadang suka berteriakteriak, suka menceritakan apa yang dialaminya namun terkadang tidak
sesuai dengan topik yang sedang dibahas atau dibicarakan. Untuk rutinitas
atau kegiatan Putra sama dengan murid lain tetapi Putra lebih suka
menyendiri dan jarang mengajak temannya untuk bermain, seperti
misalnya pada saat jam istirahat. Berkaitan dengan masalah kurikulum,
Putra memperoleh kurikulum pembelajaran yang sama dengan muridmurid lain tetapi apabila terlihat mengalami kesulitan sekolah memberikan
guru pendamping. Selain guru pendamping sekolah SD Al Firdaus ini
selaku sekolah inklusif memberikan terapi khusus untuk siswa difabel
seperti Putra diberi terapi melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan
Khusus (PUSPA) melalui program intervensi tiga kali satu minggu dan
juga kegiatan outing untuk anak berkebutuhan khusus yang bertujuan agar
anak-anak berkebutuhan khusus ini mampu mandiri dan yang diberikan
berguna untuk kehidupan siswa difabel tersebut.
Kegiatan outing adalah kegiatan dimana anak diajak belajar diluar
sekolah bersama-sama dengan murid-murid berkebutuhan khusus lain
yang dilakukan minimal dua kali dalam satu semester. Kegiatan ini
merupakan kegiatan rutinitas yang diselenggarakan oleh Komite Sekolah
166
bekerjasama dengan guru kelas. Minat dan bakat Putra sudah terlihat sejak
dini yaitu di bidang ilmu pengetahuan atau sains dan juga di mata
pelajaran Matematika Putra mempunyai nilai yang bagus tidak kalah
dibandingkan dengan sisiwa non-difabel yang lain. Selain itu Putra suka
membaca sesuatu tentang ilmu pengetahuan atau sains, walaupun suka
membaca tapi Putra ini malah tidak suka kalau disuruh menulis terlalu
banyak.
Orang tua Putra menjalin kerjasama yang baik dengan guru sehingga
kekurangan Putra ini tertangani dengan baik. Antara orang tua dan guru
memberikan informasi yang sama agar dapat diaplikasikan di rumah
dengan baik, sehingga perkembangan Putra juga baik. Jadi antara pihak
orang tua dan pihak sekolah khususnya wali kelas terdapat sebuah
komunikasi yang baik dan program yang seimbang antara di rumah dan di
sekolah.
Iman (Bukan Nama Sebenarnya)
Iman siswa kelas 4C mengalami kesulitan dalam menerima pelajaran
atau gangguan belajar yang sering disebut LD (Learning Disability). Jika
dilihat dari penampilan fisik Iman memang tidak terlihat kekurangan sama
sekali, akan tetapi terlihat kekurangan ketika adanya kegiatan belajar
mengajar, yaitu kurang bisa fokus dan kurang bisa memahami perintah
atau tugas yang harus dilakukan atau dikerjakan. Untuk memahami dan
menghafalkan dalam bentuk kalimat yang panjang masih susah, selain itu
167
kemampuan menulisnya juga masih kurang terutama belum bisa
menggunakan huruf kapital dengan benar.
Pada mata pelajaran Matematika Iman masih susah atau kesulitan
menghitung dengan perkalian yang besar dan belum paham dengan konsep
pembagian. Oleh karena itu khusus untuk Iman maka kurikulumnya juga
di modifikasi, misalnya: apabila murid yang lain diberi 20 soal maka untuk
Iman hanya 15 soal, dan untuk waktu mengerjakan tugas yang lain
misalnya 2 jam untuk Iman hanya 1 jam. Apabila dibanding dengan nilai
akademis Tian teman satu kelas yang juga mengalami keterbatasan fisik,
Iman masih jauh di bawah anak yang berkemampuan normal di akademis
dan oleh sebab itu Iman dikategorikan sebagai Anak Berkebutuhan
Khusus dan harus diberi terapi dan pendampingan dari Pusat Pelayanan
Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA).
Kemampuan interaksi sosial Iman pada awalnya memang sedikit
terganggu
tetapi
kemudian
lama kelamaan
setelah
mendapatkan
bimbingan dan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, Iman dapat
berinteraksi sosial dengan anak-anak lain dengan baik, berbicara lancar
dan bergaul dengan murid lain tanpa ada batasan. Hanya saja hingga saat
ini kemampuan belajarnya yang mengalami gangguan dan ketertinggalan.
Untuk kemampuan lainnya Iman memiliki bakat di dunia seni khususnya
di bidang seni tari dan pernah juara tingkat propinsi. Untuk minat mata
pelajaran Iman lebih minat dengan mata pelajaran Bahasa Jawa bahkan
hafal tokoh-tokoh pewayangan.
168
Ian (Bukan Nama Sebenarnya)
Ian adalah salah satu penyandang autis taraf ringan di Sekolah Dasar
(SD) Al Firdaus. Saat ini Ian duduk di kelas 6 Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus. Usia Ian yaitu 15 tahun, setara dengan usia siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP) pada umumnya, tetapi hingga saat ini Ian hanya
mampu menguasai pelajaran kelas 2 Sekolah Dasar dan diperkirakan akan
mampu menguasai pelajaran-pelajaran kelas 6 Sekolah Dasar pada saat
umur 20 tahun nanti. Ian masuk di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus pada
kelas 2, sebelumnya Ian merupakan siswa pindahan dari SD Negeri Non
Inklusif. Penanganan Ian dari Taman Kanak-kanak hingga kelas 1 Sekolah
Dasar kurang baik dan tidak diarahkan sebagai Anak Berkebutuhan
Khusus, karena Sekolah Dasar Negeri Non Inklusif tidak tahu tentang tata
cara penanganan untuk Anak Berkebutuhan Khusus seperti Ian.
Pada awal masuk sampai di kelas 4 lebih banyak digunakan sistem
pull out untuk Ian, setelah masuk kelas 5 sampai sekarang kelas 6, sudah
jarang menggunakan sistem pull out. Sistem pull out ini diterapkan kepada
Ian karena interaksi dan sosialisasi Ian terhadap teman-temannya
cenderung ke arah negatif dengan perilaku yang membahayakan. Misalnya
dengan mengambil pisau di ruang makan untuk membunuh temannya
yang mengejek dia, kemudian marah sambil berteriak-teriak dan melempar
serta memukul barang-barang milik sekolah untuk membalas perlakuan
teman-temannya yang sering mengganggu Ian.
169
Ian suka mengasingkan diri di ruang Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA), karena situasi dan kondisi ruang Pusat
Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) sangat tenang yang
memungkinkan untuk dapat menenangkan pikiran disana serta didampingi
oleh guru pendamping dan konselor dalam menangani kasus Ian.
Untuk menangani Ian harus ada cara khusus misalnya: apabila Ian
tidak mau disuruh atau tidak menuruti perintah dari guru, khususnya guru
wali kelas tidak akan memutarkan lagu kesukaan Ian dan apabila mau
menuruti perintah guru maka Ian akan diberi hadiah kesukaannya yaitu
akan di putarkan lagu “My Heart Will Go On”. Jadi guru akan memberi
reward bila Ian menuruti guru dan punishmen bila tidak mau menurut
dengan guru.
Ian memiliki tingkat imajinasi yang tinggi, dia menyukai hal-hal
yang berhubungan dengan dinosaurus. Setiap mata pelajaranpun selalu
dihubungkan dengan dinosaurus, sehingga para guru juga harus pandai
dalam mengkaitkan atau tidak mengkaitkan antara pelajaran yang diterima
oleh Ian dengan kehidupan dinosaurus
Ian cenderung mengulang pertanyaan yang sudah pernah ditanyakan,
maka dari pihak guru pengajar khususnya wali kelas biasanya apabila Ian
bertanya tentang kesukaannya yaitu dinosaurus di luar pelajaran tersebut
contohnya ketika Ian bertanya mengenai dinosaurus di mata pelajaran
yang sedang diterangkan maka guru juga menerangkan kalau dinosurus ini
sudah punah dan sudah tidak ada di jaman sekarang ini.
170
Selain imajinasi tinggi, anak autis seperti Ian cenderung emosinya
tidak terkontrol dan hanya tergantung mood atau perasaan. Pernah pada
saat jam istirahat Ian pergi ke dapur untuk mengambil pisau, kemudian
ditanya oleh guru, “Buat apa ambil pisau? Ian menjawab buat bunuh
temannya karena menjengkelkan.” Selain itu juga pernah terjadi sebuah
kejadian yakni Ian ke luar kelas mengambil batu untuk dilempar ke
temannya yang ada di kelas karena suka menggodanya. Perkembangan
jiwa Ian lebih ke arah yang negatif dibandingkan dengan Putra yang
menuju ke arah positif. Walaupun sama-sama penderita autis, tetapi Ian
dan Putra tidak bisa akur, bahkan jika bertemu saling bertengkar satu sama
lain.
Ian memiliki daya seksualitas yang tinggi suatu ketika pernah pada
saat istirahat Ian mengejar-ngejar teman perempuan satu kelasnya dan bila
ditanya “Kenapa mengejar-ngejar temanya?” Ian menjawab bahwa ia suka
dan mau menikah dengan teman perempuan satu kelasnya. Setiap bertemu
dengan orang tua teman perempuan satu kelas tersebut ketika menjemput
Ian bilang “Tante aku mau menikah dengan anaknya”. Selain itu ketika
pada masa awal duduk di kelas 6 setiap pagi atau mau pulang sekolah Ian
selalu meminta peluk dari ibu gurunya dan ketika dipeluk Ian tersenyum
ketawa kemudian Ibu gurunya bertanya, “Kenapa kok ketika dipeluk Ian
ketawa? Ian menjawab payudara ibu guru seperti milik mama” Ternyata
setiap pagi mau berangkat sekolah Ian dipeluk mamanya dan menjadi
kebiasaan dan berpikiran ke arah seksual. Semenjak itu apabila Ian
171
meminta peluk ke ibu gurunya, ibu gurunya selalu menolak dan juga orang
tua Ian di beri pengertian supaya untuk tidak membiasakan Ian dipeluk.
Selain itu terhadap teman-teman perempuan satu kelas Ian diberi
pengertian oleh ibu guru supaya ada batasan dikarenakan Ian anak autis
yang secara fisik seharusnya sudah SMP tetapi pola pikirnya masih setaraf
dengan siswa Sekolah Dasar kelas 6.
Dalam kaitanya dengan kerjasama apabila ada pekerjaan kelompok
atau pekerjaan keterampilan bersama, Ian cenderung mondar-mandir
melihat pekerjaan teman-temannya yang lain, hanya membawa bahan
untuk pekerjaan kelompoknya saja tetapi tidak mau untuk bekerja sama.
Ian paling tidak suka diskusi, apabila sedang diskusi teman-temannya
harus ikut jalan pikirannya. Apabila sedang istirahat Ian lebih suka
menyendiri, biasanya jajan kemudian menyendiri makan di Pusat
Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Untuk berinteraksi
sosial dengan teman-temannya seperti ketika istirahat Ian sangat jarang
berinteraksi sosial bahkan apabila istirahat atau pelajaran Ian bertemu
Putra murid kelas 3 maka selalu terjadi konflik karena Putra selalu
menggoda, padahal mereka sama-sama penyandang autis. Ketika Ian
sedang menyanyi Putra pasti mengejek kalau suara Ian jelek begitu juga
sebaliknya apabila Putra sedang pidato atau bercerita Ian juga selalu
mengejeknya, karena reaksi yang berlebihan ini yang mengundang Putra
dan kadang teman yang lainnya untuk menggoda si Ian. Ian menyukai
pelajaran science atau pengetahuan alam dan IT, dunia maya atau internet.
172
Apabila ada pelajaran
yang dia tidak
suka khususnya seperti
Kewarganegaraan, dan pelajaran sosial dia selalu keluar kelas atau ke
Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Oleh karena itu
Ian diberi metode khusus karena apabila temannya diterangkan sekali
maka Ian harus diterangkan berulang-ulang dan harus ada guru
pendamping yang selalu mendampingi lalu menjelaskan. Ian paling tidak
suka pelajaran membaca dan menulis.
Ian mendapat program terapis atau intervensi dari Pusat Pelayanan
Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) tiga kali dalam satu minggu. Dalam
kurikulumnya untuk Ian ada modifikasi, misalnya: apabila anak lain atau
non-difabel jenjang nilai 1-100 kalau Ian 1-70. Khusus untuk UASBN
karena Ian sudah kelas 6. Maka menurut wali kelasnya tidak ada masalah
karena materi dan pengisian jawaban untuk Ian hanya melingkari tetapi
untuk membacanya harus ada bantuan atau pendamping yang membantu
membacakan soal tetapi tidak mengarahkan ke jawaban hal ini disebabkan
karena Ian tidak suka membaca bila kalimatnya panjang.
Berdasarkan data dan informasi yang peneliti peroleh di lapangan maka
berikut ini peneliti menyajikan matriks profil informan yaitu siswa difabel
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta :
173
Matriks 3.1
Profil Informan (Siswa Difabel Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta)
NAMA
NO
1.
KELAS
Rahman
(Bukan Nama
PROFIL SISWA
1.
Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi
2.
Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain.
3.
Kekuatan : Memahami instruksi. Mau berinteraksi dengan orang lain. Keterampilan motorik kasar dan halus sudah cukup bagus. Mampu
Sebenarnya)
membaca suku kata hidup. Mampu menulis kata dengan dengan didektekan persuku kata. Sudah mampu menulis di buku kotak kecil.
IA
Mampu membilang benda sampai dengan 20. Anak selalu membawa alat tulis. Tidak mempunyai hambatan sosialisasi, anak yang
terbuka. Ada kemauan bercerita dan menjawab pertanyaan tentang peristiwa yang dialaminya. Suka melukis. Anak sudah mampu
membaca iqro 2 hal 27 dan belum mampu menghafal surat Al falaq, An Nas, Al Maun, Al Kafirun, doa masuk dan keluar kamar mandi.
4.
Kelemahan : Sulit untuk memahami instruksi bertingkat2.Cenderung mengulang pertanyaan. Muncul gerakan tremor ketika memegang
benda kecil dan ringan. Belum mampu membaca suku kata berakhiran kosonan. Kesulitan mencontoh tulisan dari papan tulis. Masih
diarahkan dalam menempatkan huruf sesuai aturan. Belum mampu mengurutkan bilangan dari yang terkecil ke bilangan yang terbesar.
Belum mampu mempersiapkan perlengkapan alat tulis. Tidak mampu mengungkapkan perasaannya. Melukis masih belum rapi. Anak
belum mampu membaca iqro 4 hal 18 dan sudah mampu menghafal surat Al Fatihah, An Nas, Al Falaq, Al Ikhas, Al Lahab, Al-Kafirun,
Al Kautsar, Al FIL, Al Nasr, doa makan, doa tidur dan doa masuk kamar mandi.
5.
Kebutuhan : Pengulangan instruksi dan memahami instruksi. Memperkaya kosa kata dengan memberi penjelasan dalam buku cerita.
Mengurangi gerakan tremor. Latihan membaca. Kemampuan visual persepsi. pemahaman aturan melukis di kotak kecil. latihan
mengurutkan bilangan dari yang terkecil ke bilangan yang terbesar. Persiapan alat tulis dan buku sebelum pelajaran. Anak mampu
174
mengungkapkan perasaanya. Anak mampu melukis dengan rapi. Latihan membaca dan menghafal surat-surat pendek.
6.
Langkah Bantuan : Mengulangi instruksi dan penyederhanaan instruksi. Mengajak bercerita dengan memperbanyak kosakata.
Mengkondisikan beraktifitas menggunakan benda yang kecil dan ringan dengan memposisikan tangan tidak menggantung tetapi berada
di atas meja. Menggunakan CCB2, latihan visual persepsi, latihan menulisa sesuai aturan di buku kotak kecil. Latihan untuk
meningkatkan kemampuan pengurutan ke samping. Latihan untuk meningkatkan kemampuan pengurutan bersusun kebawah. Membantu
persiapan dengan memberi pengarahan sebelum pelajaran di mulai. Membantu persiapan dengan menggunakan check list atau gambar.
Jeli terhadap permasalahan anak. Sharing bersama keluarga. Memberikan kesempatan kepada anak untuk menceritakan
permasalahannya. Menceritakan gambar-gambar sebagai inspirasi anak. Membantu melukis denggan baik dan rapi. Memberikan contoh
gambar-gambar sebagai acuan anak. Membantu membaca dan menghafal surat-surat pendek.
7.
Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Reguler
8.
Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Menggambar
9.
Komunikasi Guru terhadap Siswa : Berulang-ulang
10. Interaksi antar siswa : Baik
2.
Abdul
(Bukan Nama
Sebenarnya)
IIC
1.
Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi
2.
Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain.
3.
Kekuatan : Anak mampu mengikuti tugas yang diberikan dikelas dengan cepat, bahasa reseptif: mampu mengerti makna bahasa
sederhana yang sering dipakai sehari-hari, bahasa ekspresif: anak mampu mengungkapkan bahasa ekspresif misalnya saat anak senang
dan tidak senang dengan sesuatu, menginginkan sesuatu, saat marah dan lainnya, bila diajak komunikasi dua arah anak mampu
menangapi dan menjawab, motorik kasar: anak mampu melompat, melempar, berlari, berputar meskipun gerakan masih kaku, motorik
halus: anak mampu menulis dengan pola pegang pensil three pod pinch, menggambar mewarnai mandiri tetapi masih seering keluar
garis, kemampuan menulis: mampu menulis dengan mengcopy tulisan yang ada dipapan tulis, mampu menulis dengan dikte suku
kata,kata konsonan mati dan konsonan rangkap, kemampuan membaca: mampu membaca suku kata hidup, suku kata berkonsonan mati
175
dan konsonan rangkap, kemampuan matematika: mampu membilang sampai dengan 10000, ma,pu menjumlah dengan teknik meyimpan
dan mengurang dengan teknik meminjam, anak mau bersosialisasi dengan teman-teman saat jam istirahat dengan bergabung bersamasama anak lainnya, untuk toilet training mampu mandiri, berpakaian, makanan, minuman, mandi mandiri, mau berbagi makanan,
mempunyai semangat yang tinggi dalam belajar, mampu menyelesaikan aktifitas berhitung dan menulis dalam waktu yang cepat.
4.
Kelemahan : Anak sulit dihentikan atau diganti dengan pelajaran yang lain bila tugas pada pelajaran yang sebelumnya belum selesai,
bahasa reseptif: anak sering menanyakan makna bahasa-bahasa yang jarang didengar dalam keseharian seperti: syahid, tumbas, boros
dan lainya, bahasa ekspresif yang dikeluarkan jika anak sedih terlalu berlebihan yaitu menaggis sambil berteriak, anak lebih sering
menjawab pertanyaan jika ditanya, tetapi anak jarang memulai pembicaraan serta sering mengalamikesulitan mengungkapkan pertanyaan
yang ingin ditanyakan, belum mampu surving dan memukul satelkok dengan baik ketika bulu tangkis, mewaarnai belum rapi, tulisan
anak kurang rapi dan terlalu besar, hanya mengikuti pola permainan teman-temanya, anak belum mampu melakukan sholat lima waktu,
belum mampu menata jadwal sendiri, masih kaku dalam melaksanakan aktifitas, anak lebih cenderung memukul jika ada seseorang yang
keterlaluanmemancing emosinya.
5.
Kebutuhan : Memahami batas waktu menyelesaikan tiap tugas, membutuhkan lebih banyak kosa kata dan penjelasan kata-kata yang
jarang didengar dalam keseharian, membutuhkan latihan untuk mengendalikan emosi, membutuhkan banyak latihan untuk memulai
pembicaraan, mampu bermain bulu tangkis dengan baik, mewarnai dengan rapi, menulis dengan rapi dan sesuai dengan garis dan kotak,
mengetahui cara bermain, mampu melaksanakan sholat lima waktu, mampu menata jadwal sendiri, mengetahui durasi waktu tiap tugas,
membutuhkan latihan untuk mengendalikan emosi.
6.
Langkah Bantuan : Memberikan pemahaan durasi waktu tiap tugas, memakai media gambar untuk bercerita, meminta anak mengulangi
bercerita, menjelaskan kata-kata yang ditanyakan, sosial story, berlaatih bulu tangkis setiap hari jumat, berlatih mewarnai, sosial story
mengenai perlunya menulis rapi dan mengarahkan anak untuk menulis sesuai dengan kotak yang ada, melatih anak bertukar bekal
dengan teman, latihan bermain kelompok, strategi fisual, memberikan pemahaman dan mengingatkan anak tentang waktu mengerjakan
tugas, memperbanyak latihan soal yang berkaitan dengan latihan berhitung, dan menulis.
176
7.
Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Reguler
8.
Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Menggambar dan berhitung
9.
Komunikasi Guru terhadap Siswa : Berulang-ulang
10. Interaksi antar siswa : Baik
3.
Putra
(Bukan Nama
1.
Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi
2.
Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Baru aktif bila ada teman yang mengajak bermain dan masih tergantung keadaan hati atau
keinginan.
Sebenarnya)
3.
IIIC
Kekuatan : Mampu menghafal pelajaran ilmu pengetahuan alam (science) dengan cepat dan secara spontan berlagak seperti guru
menerangkan di depan kelas dengan percaya diri.
4.
Kelemahan : Anak tidak mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman. Bahkan disaat ada kegiatan makan siang bersama,
anak tidak dapat mengambil makanannya sendiri. Jika ada yang mengganggu cenderung marah, menangis, dan melempar. Jika diajak
komunkasi dua arah, anak mampu menanggapi, tetapi memerlukan waktu yang lama. Anak tidak peka terhadap keadaan dan kejadian
disekitarnya. Tidak bisa mengikuti pelajaran yang bersifat sosial, seperti ilmu pengetahuan sosial dan kewarganegaran, dimana dalam
mata pelajaran tersebut berisikan norma-norma sosial dan aplikasinya dilakukan dalam masyarakat.
5.
Kebutuhan : Pengulangan instruksi dan memahami instruksi. Memberi penjelasan setiap kalimat yang diterangkan. membutuhkan latihan
untuk mengendalikan emosi, membutuhkan banyak latihan untuk memulai pembicaraan, mampu bermain bulu tangkis dengan baik,
mewarnai dengan rapi, menulis dengan rapi dan sesuai dengan garis dan kotak, mengetahui cara bermain, mampu melaksanakan sholat
lima waktu, mampu menata jadwal sendiri, mengetahui durasi waktu tiap tugas, membutuhkan latihan untuk mengendalikan emosi.
6.
Langkah Bantuan : Setiap mata pelajaran sosial, guru pendamping harus mendampingi untuk mendefinisikan ulang setiap kalimatnya
disertai dengan contohnya. Agar ana mengerti akan maksud dari mata pelajaran tersebut dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan seharihari
7.
Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Modifikasi dengan penambahan jam pelajaran sosial dan kewarganegaraan
177
8.
Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Menerangkan tentang science
9.
Komunikasi Guru terhadap Siswa : Berulang-ulang
10. Interaksi antar siswa : Baik
4.
Nanda
(Bukan Nama
Sebenarnya)
1.
Jenis Kecacatan : Celebral Palsy
2.
Perilaku di Sekolah : Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi dengan siswa non-difabel
3.
Kekuatan : Menonjol di mata pelajaran seni, khususnya menyanyi
4.
Kelemahan : Pada mata pelajaran matematika memiliki ketertinggalan, dikarenakan setelah operasi kaki, sering tidak masuk, sehingga
membutuhkan guru pendamping khusus pada mata pelajaran matematika
IIIC
5.
Kebutuhan : Memberikan tambahan pembelajaran berhitung
6.
Langkah Bantuan : Pada mata pelajaran matematika, avisa menggunakan sistem pull out, dimana dia ditarik dari kelas untuk ditempatkan
diruang khusus dengan guru pendamping dan guru lainnya yang khusus mata pelajaran matemtika. Dalam ruangan tersebut anak
diberikan pelajaran lebih detail daripada teman-temannya.
7.
Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Modifikasi dengan menambah jam pelajaran matematika
8.
Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Baik
9.
Komunikasi Guru terhadap Siswa : Tidak Berulang-ulang
10. Interaksi antar siswa : baik
5.
Iman
(Bukan Nama
Sebenarnya)
IVA
1.
Jenis Kecacatan : Learning Disability (Gangguan Belajar)
2.
Perilaku di Sekolah : Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi dengan siswa non-difabel
3.
Kekuatan : Anak mau menyelesaikan tugas yang diberikan guru kelas. Anak tidak cepat putus asa apabila tidak bisa, anak semangat
dalam mengerjakan tugas sampai selesai. Motorik kasar : anak dapat menari dengan lincah, pandai mengolah tubuh. Tulisan anak bagus.
Suka dipelajaran bahasa jawa, khususnya tokoh-tokoh pewayangan. Paham konsep perkalian meskipun masih menghitung secara
penambahan dengan jari. Bagus dalam bersosialisasi. Tidak nudah tersinggung walaupun diejek teman saat dia tidak bisa. Disiplin
178
terhadap peralatan sekolah (berusaha menghubungi rumah saat buku paket/ peralatan sekolah tertinggal dirumah, berusaha meminjam
alat ke kelas lain sementara anak belum membeli). Pandai menari. Mudah dalam menghafal ayat Al-Quran.
4.
Kelemahan : Kurang memahami instruksi tugas dalam buku. Kurang konsentrasi. Motorik halus: anak lama dalam menulis, menulis
sangat pelan karena posisi menulis anak terlalu ditekan sehingga anak gampang capek. Pemahaman dalam menerima materi kurang. Sulit
menghafal dalam kalimat yang panjang. Penggunaan huruf kapital dalam menulis belum sesuai (imam, jL. Merapi). Anak kesulitan
menghitung perkalian yang lebih besar. Belum memahami konsep pembagian. Manja(meminta sesuatu harus terpenuhi saat itu juga,
keinginan yidak bisa ditunda). Hampir setiap mata pelajaran selalu ijin ke kamar mandi sehingga mengakibatkan ketertinggalan materi
yang disampaikan guru. Sering keliru dalam membaca huruf hijayah. Panjang dan pendek membaca belum benar.
5.
Kebutuhan : Pengulangan instruksi. Tugas cepat selesai. Latihan senso motorik. Peyederhanaan materi. Pengulangan materi. Mudah
menghafal. Latihan menulis sesuai kapital. Menghafal perkalian. Memahami konsep pembagian. Menahan diri. Tidak terlalu sering
kekamar mandi. Selalu mengasah keterampilan dalam menarinya. Benar dalam membaca huruf Al-Quran beserta panjang pendeknya.
6.
Langkah Bantuan : Pengulangan instruksi. Peyederhanaan instruksi. Mengingatkan anak untuk konsentrasi. Melatih konsenntrasi dengan
permainan jumbopas/logika. Terapi okupasi. Belajar dengan mind maping. Merangkum dan mengemas materi. Pelajaran dengan
permainan. Mengemas hafalan dengan permainan (cth: komponen peta:judul, skala menjadi jusuf kala). Memberikan pemakaian huruf
kapital, praktik saat mencatat, memberi reward saat penggunaan huruf kapital benar. Memberi hafalan perkalian. Memberi teknik
perkalian dengan jari secara bertahap. Mengajarkan konsep pembagian adalah kebalikan dari perkalian. Tidak memberikan apa yang
diinginkannya. Dibolehkan ijin kekamar mandi saat pergantian jam pelajaran. Mengikut sertakan dalam sanggar tari. Mencari info
lomba-lomba. Latihan membaca iqro minimal 2lembar per hari.
7.
Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Modifikasi dengan menambah jam pelajaran matematika
8.
Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Menari
9.
Komunikasi Guru terhadap Siswa : Tidak Berulang-ulang
10. Interaksi antar siswa : Baik
179
6.
Tian
(Bukan Nama
Sebenarnya)
1.
Jenis Kecacatan : Celebral Palsy dan Gangguan sosialisasi
2.
Perilaku di Sekolah : Normal dan mampu berinteraksi serta bersosialisasi.
3.
Kekuatan : Mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Mampu berinteraksi dan bersosialisasi.
4.
Kelemahan : Malu ketika bersalaman dengan guru maupun teman non-difabel, karena keadaan tangan kanan kecil. Dalam mata pelajaran
IVA
ketrampilan, mengalami kesulitan, karena tangan susah untuk digunakan menggunting, menempel, dan melipat. Dalam kesehariannya
yang aktif adalah tangan kirinya.
5.
Kebutuhan : Memberikan pendampingan pada mata pelajaran matematika
6.
Langkah Bantuan : Pada mata pelajaran matematika, anak tetap berada diruang kelas bersama teman-temannya, hanya didampingi oleh
guru pendamping.
7.
Kurikulum Pembelajaran yang diberikan : Kurikulum Reguler
8.
Minat/ Bakat Siswa/ Hobi : Taekwondo
9.
Komunikasi Guru terhadap Siswa : Tidak Berulang-ulang
10. Interaksi antar siswa : Baik
7.
Ian
VI
1.
Jenis Kecacatan : Autism Spectrum Disorder dan Gangguan Interaksi dan Sosialisasi
2.
Perilaku di Sekolah : Menyendiri dan pasif. Hanya mampu berinteraksi dengan orang-orang yang disukainya.
3.
Kekuatan : Anak mampu mengerjakan tugas yang diberikan dengan instruksi secara lisan baik dari guru kelas maupun guru
pendamping. Pemahaman instruksi baik. Bahasa reseptil: penggunaan bahasa sederhana anak akan mengerti maknanya. Bahasa
ekspresif: anak mampu mengungkapkan bahasa ekspresif misalnya saat perasaan anak sedang senang dan sedih, anak menginginkan
sesuatu, anak marah; baik dengan ucapan atau sikap. Apabila anak diajak berkomunikasi dua arah, anak mampu menanggapi dan
menjawab dengan benar. Motorik halus: anak mampu menulis dengan rapi tanpa keluar garis, mampu membuat table dengan garis yang
lurus serta ukuran yang benar, mampu menggambar, mewarnai mandiri tanpa keluar garis. Motorik kasar: anak mampu melompat,
menggerakan tangan dan kepala secara bergantian dalam 1x hitungan, menekuk lutut untuk menjaga keseimbangan, melempar, berputar
180
berlari; meskipun gerakan masih kaku. Secara umum kemampuan akademis sama dengan anak lainnya kecuali pada pelajaran
matematika. Anak hafal perkalian 1dan 2. jika anak diajak komunikasi dua arah anak mampu menanggapi dan menjawab dengan lancar
dan benar. Anak mau berteman dengan anak yang bisa menanggapi ceritanya (anak mudah akrab dengan orang lain meskipun belum
kenal). Anak sudah mampu mencuci peralatan makan yang kotor dan membersihkan bagian yang kotor pada pakaian. Anak mau
mengakui kesalahan secara jelas ketika bersalah dan patuh terhadap konsekuensi yanga telah disepakatinya. Anak sangat pandai
menghafal lyric lagu dalam waktu yang relatif singkat dan mampu menyanyikan nya dengan nada yang tepat. Anak banyak hafal suratsurat pendek.
4.
Kelemahan : Anak masih menolak jika mengerjakan soal dan catatan dalam jumlah yang terlalu banyak (lebih dari 10 soal). Anak masih
malas jika harus menulis dengan waktu yang cepat. Anak selalu menulis catatan dalam bentuk yang lebih ringkas dan yang ditulis oleh
guru. Anak belum mengerti tahapan mengerjakan soal UASBN. Bahasa reseptif: penggunaan kata dalam penulisan naskah drama, pidato
maupun laporan pengamatan belum mengrti maknanya seperti(kronologis, tenaga medis, penghijauan, antagonis, prolog, berkenaan,
intonasi, lafal). Bahasa ekspresif yang diucapkan terkadang tidak tepat. Anak lebih sering menjawab pertanyaan ketika ditanya, tetapi
anak jarang untuk memulai pertanyaan. Anak masih membutuhkan waktu yang lama untuk menulis. Anak belum bisa mengikuti irama
kecepatan gerakan kelompok. Anak belum hafal perkalian 3dan 4. anak belum tahu konsep pembagian 2 secara tepat. Anak belum
mampu menulis dengan menggunakan kaidah EYD terutama dalampenulisan naskah drama, pidato, dan laporan pengamatan. Anak
hanya mau berteman dengan anak yang memiliki sesuatu yang menarik inatnya dan bisa menanggapi cerita dan khayalannya. Anak silit
menerima perubahan. Anak belum mengerti cara mencuci baju dengan benar. Anak masih mengulang kesalahan yang sama meskipun
anak sudah meminta maaf dan mengaku jera. Anak belum mau langsung kekelas bila telah tiba di sekolah.
5.
Kebutuhan : Modifikasi soal terutama soal matematika. Membutuhkan waktu lama untuk menulis. Membutuhkan point penting dari
catatan guru dipapan tulis. Pemahaman tahapan (langkah-langkah ) mengerjakan soal UASBN. Membutuhkan lebih banyak kosa kata
dan kata-kata kiasan, ungkapan dan istilah dalam penulisan naskah drama, pidato dan laporan pengamatan. Membutuhkan latihan untuk
menggunakan bahasa ekspresif yang tepat. Membuthkan banyak latihan intuk memulai bertanya. Banyak latihan motorik halus.
181
Membutuhkan lebih banyak olahraga brkelompok dengan irama gerakan mengikuti kelompok secara bersama-sama. Membutuhkan
banyak latihan perkalian 3 dan 4. Membutuhkan banyak latihan menghafal pembagian 2. Anak masih membutuhkan waktu yang lama
dalam pembagian. Latihan menulisa menggunakan penulisan kalimat pada naskah pidato, drama, dan laporan pengamatan menggunakan
EYD. Membutuhkan latihan bersosialisasi dengan teman antar kels. Butuh lebih fleksibel dalam menerima perubahan. Latihan mencuci
baju dengan benar melipiti penggunaan air, sabun, sampai tatacara yang benar untuk mengucek. Anak masih membutuhkan pemahaman
perilaku yang baik dan buruk. Anak membutuhkan motivasi untuk mau langsung ke kelas bila telah tiba di sekolah. Penyaluran potensi
atau bakat yang sesuai. Hafalan surat pendek Al-Qur’an.
6.
Langkah Bantuan : Memberikan tugas secara bertahap. Tidak perlu menulis soal dan membuat / mempunyai catatan hanya jika pada
kondisi anak benar-benar tidak mau menulis. Sesekali guru pendamping menuliskan jawaban maupun catatan dari anak. Guru
pendamping membacakan poin penting dari catatan guru kelas. Social story mengenai tahapan mengerjakan soal UASBN. Lebih banyak
menambah kosa kata dan kata-kata kiasan, ungkapan dan, istilah dalam kalimat terutama dalam naskah drama, pidato, dan laporan
pengamatan. Latihan bermain peran dengan berbagai eatak. Memberikan kesempatan kepada anak untuk memulai bertanya dengan
media tulis, missal: melakukan wawancara sederhana dengan guru (menanyakan hobby, alamat, dan lainya). Memberikan latihan
motorik halus (meremas kertas, permainan boneka tangan atau boneka jari, bermsin lempsr tsngkap bola, latihan menjimpit kelerang satu
per satu di lantai, dan lainya). Memberikan reward pada saat anak mau berolah raga berkelompok. Memberi latihan lari haling rintang.
Latihan menghafal perkalian dengan bantuan media audio(missal: mendengarkan rekaman hafalan perkalian dari suaranya sendiri).
Latihan belajar menghafal pembagian dengan bantuan media visual (misal: kartu table pembagian secara acak bertahap dan kartu
pembagian seperti domino) dan media audio seperti perkalian. Memberikan latihan menulis kalimat naskah pidato, drama, dan laporan
pengamatan sesuai dengan aturan EYD. Latihan bersosialisasi yang baik dengan teman. Sosialisasi awal (memberikan penjelasan)
sebelum adanya perubahan bagi dirinya. Membimbing anak ketika memperaktikan mencuci baju. Pemberian reward dari konsekuensi
pelanggaran. Pembiasaan dan pemberian pemahaman etika siswa yang disiplin ketika tiba disekolah. Mengikutsertakan anak dalam
kompetisi / perlombaan yang mengembangkan bakatnya (pada waktu-waktu tertentu) membuat rekaman lagu-lagu dengan bahasa
182
daerah, nasional, maupun asing. Mengulang hafalan surat-surat pendek dalam juz30 agar terjaga hafalanya. Iqra 3 mulai halaman 36
sampai tamat.
7.
Kurikulum Pembelajaran yang diberikan :
8.
Minat/ Bakat Siswa/ Hobi :
9.
Komunikasi Guru terhadap Siswa : Berulang-ulang
10. Interaksi antar siswa : Baik
Sumber : Data Primer, April 2010
183
2. PROSES DAN POLA INTERAKSI SOSIAL SISWA DIFABEL
DENGAN SISWA NON DIFABEL DAN SISWA DIFABEL
DENGAN GURU
Siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki berbagai macam
keterbatasan, antara lain yaitu keterbatasan fisik (Celebral Palsy), autisme, serta
gangguan bersosialisasi dan berinteraksi. Siswa difabel pada umumnya dan
apapun jenis gangguan yang dimilikinya, mereka memiliki keterbatasan dalam
berinteraksi dan bersosialisasi, terutama bagi siswa difabel autisme. Pada
umumnya mereka merasa minder, tidak percaya diri dan terbelakang.
Siswa difabel penyandang autis sering dikira tuli oleh orangtuanya karena
tidak bereaksi apabila dipanggil. Sejalan dengan pertambahan usia, anak lebih
senang sendiri, tidak tertarik pada anak lain atau anggota keluarga yang lain, tidak
responsif terhadap isyarat sosial seperti kontak mata atau senyuman. Sering tidak
ada perilaku melekat dan kegagalan yang relatif awal pada pertalian dengan orang
tertentu. Anak sering tidak mampu membedakan orang yang paling penting dalam
kehidupannya, seperti orangtua, saudara dan guru bahkan hampir tidak
menunjukkan rasa cemas saat perpisahan bila ditinggal dalam lingkungan yang
asing dengan orang asing, juga lemah dalam respon timbal balik.
2.1 Keterbatasan dalam berinteraksi sosial, antara lain sebagai berikut :
a. Penyandang autistik lebih suka menyendiri
Anak penyandang autis hanya akan asyik dengan dirinya
sendirinya dan mainannya tanpa merespon keberadaan orang lain di
sekitarnya. Tetapi akan marah apabila mainannya diambil atau diganti
184
dengan benda lain dan berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankan
miliknya. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Karmita selaku orang tua murid
Putra, seperti berikut ini:
“Anak saya Putra lebih suka menyendiri dirumah dan saat diterapi
diberikan bunyi-bunyian kerincingan di belakang kepalanya dia
tidak langsung menengok, tetapi tangannya yang langsung
meyambar tanpa harus melihat, dia juga asyik memegang
mainannya tanpa menengok kesana kemari dan tidak
memperdulikan keadaan sekitar.” (Minggu, 11 April 2010).
b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk
bertatapan
Kontak mata (eye contact) adalah kejadian ketika dua orang
melihat mata satu sama lain pada saat yang sama. Kontak mata
merupakan salah satu bentuk komunikasi non verbal yang disebut
okulesik dan memiliki pengaruh yang besar dalam perilaku sosial.
Frekuensi dan arti kontak mata sering bervariasi dalam berbagai
budaya manusia. Kontak mata dan ekspresi wajah memiliki peran
penting dalam menyampaikan pesan sosial dan perasaan, orang-orang
tanpa sengaja sering memperhatikan mata orang lain untuk menduga
perasaan orang tersebut. Melalui kontak mata, seseorang juga dapat
memeriksa apakah lawan bicara memperhatikannya, dan apakah lawan
bicara setuju dengan pembicaraannya. Dalam beberapa konteks,
pertemuan mata sering membangkitkan perasaan yang kuat. Kontak
mata juga penting dalam mendekati lawan jenis, karena dapat
mengukur ketertarikan satu sama lain.
185
Selain itu anak penyandang autisme mempunyai gangguan
kemampuan bersosialisasi terutama ditandai oleh minimal atau tidak
adanya kontak mata. Atau pandangan matanya ada tetapi kualitasnya
tidak lekat. Sekilas sepertinya pandangan dia menembus mata kita,
tetapi dia seakan-akan melihat ke arah sesuatu yang berada antara kita
dan dia. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Isna selaku guru
pendamping Putra adalah sebagai berikut :
“Putra kalau diajak ngobrol atau bersalaman selalu tidak mau
menatap orangnya, pasti wajahnya berpaling kesana kemari tidak
fokus. Begitupula disaat pelajaran berlangsung, kurang
memperhatikan ketika guru memberikan materi pembelajaran.
Tatapan matanya sering kosong dan seperti orang melamun, serta
selalu berimajinasi. Ekspresi wajahnya juga tidak dapat ditebak
apakah dia sedang sedih atau senang, kesannya datar dan tidak
berekspresi. Kadang ketawa-ketawa sendiri, kadang menangis
sendiri, tapi hal itu belum bisa menandakan bahwa dia tersenyum
karena senang atau menangis karena sedih.” (Selasa, 23 Maret
2010).
c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman
Dia cenderung bermain sendiri dan tidak tertarik untuk bermain
dengan taman-teman lainnya, atau seandainya kita masukkan dalam
kelompok teman sebaya dia akan asyik bermain sendiri dan tidak mau
bermain bersama. Sehingga kalau dibiarkan dia akan menikmati dan
asyik bermain sendiri. Kadang-kadang ada yang menangis dan tertawa
tanpa sebab. Anak penyandang autisme biasanya tidak bisa bermain
yang
sifatnya
resiprokal
(timbal
balik)
dengan
teman-teman
sebayanya, jadi bentuk permainan yang dilakukannya hanya searah.
Misalnya hanya mengejar terus dan tidak paham apa yang harus
186
dilakukan kalau dikejar, sering hanya menjadi pengikut karena mereka
tidak mampu memulai suatu permainan. Mereka sering tidak paham
dengan permainan yang bersifat giliran. Anak minimal harus memiliki
satu gejala dari kelompok ini untuk dapat di diagnosis penyandang
autisme. Hal ini ditunjukkan oleh sikap Putra, seperti berikut ini :
“Dimana saat teman-temannya bermain sepakbola, dia hanya diam
saja disudut lapangan sambil asyik makan semangka, dan ketika
ada bola didekatnya, maka didiamkan saja, acuh terhadap teman
yang menghampirinya, dan tidak perduli dengan teman-teman yang
sedang bermain sepakbola.” (Observasi, Jumat, 5 Maret 2010 ).
d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh, seperti yang
dilakukan oleh Ian berikut ini :
“Ketika jam istirahat, Ian suka menyendiri ke ruang Pusat
Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), padahal temanteman yang lain asyik bermain, tetapi Ian tidak mau bermain
bersama, bahkan Ian lebih nyaman sendirian di ruang Pusat
Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dan makan
dengan tenang.” (Observasi, Jumat, 5 Maret 2010 ).
e. Ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak-gerik sangat kaku, tidak
ada timbal balik sosial atau emosional, tidak memiliki ekspresi
emosional. Hal ini terlihat pada ekspresi wajah yang biasa saja ketika
bertemu ibunya ataupun ketika digendong oleh bapaknya, seperti yang
dilakukan oleh Ian berikut ini
“Saat menghadiri acara lomba bagi siswa difabel pada hari Minggu, 11 April 2010 di Taman Hiburan Rakyat (THR)
Sriwedari, yang dilaksanakan oleh PT. Raka Perkasa, Ian dari awal ia datang pukul 08.00 WIB hingga gilirannya
maju pentas ke panggung pada pukul 12.00 WIB, ia hanya duduk diam saja, dan dibelai oleh ayahnya, sama sekali
tidak ada reaksi, hanya diam saja. Ian mengobrol juga tidak sering hanya sepatah atau dua patah kata saja. Ian selalu
didampingi oleh kedua orang tuanya ketika menghadiri acara-acara perlombaan bagi siswa difabel di Kota Surakarta.”
(Observasi, Minggu, 11 April 2010).
187
Pada masyarakat tertentu, sosialisasi terjadi hampir selama masa bayi
dan anak-anak saja. Misalnya pada masyarakat yang primitif dan
mempunyai sistem sosial yang tertutup dan tidak banyak perubahan dalam
teknologi. Dalam masyarakat modern, sosialisasi terus berlangsung selama
proses sosialisasi keluarga. Unsur penting lainnya yang berpengaruh
terhadap perilaku sosial adalah termasuk teman, televisi, film dan berbagai
macam bahan bacaan.
Dalam kelangsungan hidupnya manusia tidak dapat hidup secara
sendiri, tetapi dia memerlukan hidup bersama dengan orang lain. Hidup
bermasyarakat adalah syarat mutlak bagi manusia supaya ia dapat menjadi
manusia dalam arti yang sesungguhnya.
Dalam bersosialisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara
singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Sifat dasar
Sifat dasar adalah keseluruhan potensi yang diwarisi oleh orangtuanya atau lebih cenderung disebut sebagai
sifat keturunan.
2. Lingkungan prenatal
Lingkungan prenatal adalah lingkungan sebelum dilahirkan yaitu sejak dalam kandungan. Lingkungan prenatal
itu embrio mendapat pengaruh dari ibu secara tidak langsung.
3. Perbedaan individu
Perbedaan individu adalah perbedaan-perbedaan yang ada pada individu, meliputi ciri-ciri fisik, mental dan
emosional, personal dan sosial.
4. Lingkungan
Lingkungan adalah kondisi yang mengelilingi individu yang mempengaruhi proses sosialisasi.
5. Motivasi
Motivasi adalah kemauan untuk berbuat sesuatu yang didorong oleh keinginan baik dari dalam dirinya maupun
dari luar dirinya.
188
Walaupun bukan satu-satunya gejala utama pada difabel, tetapi pada
kenyataannya gangguan interaksi dan sosialisasi ini terdapat pada hampir
seluruh penyandang autis, termasuk pada siswa difabel di Sekolah Dasar
(SD) AL Firdaus Kota Surakarta, yaitu pada Putra dan Ian, yang merupakan
informan penelitian ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan maka peneliti
menyajikan matriks tentang keterbatasan, gangguan interaksi dan sosialisasi
pada siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus Kota Surakarta :
189
Matriks 3.2
Keterbatasan Siswa Difabel dalam Berinteraksi Sosial
N
o
Nama Siswa
1.
Rahman
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Abdul
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Putra
(Bukan Nama
Sebenarnya)
2.
3.
4.
5.
6.
Nanda
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Iman
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Tian
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Jenis Gangguan
Keterbatasan Siswa dalam
Berinteraksi Sosial
Autism Spectrum Disorder dan
Gangguan Interaksi dan
Sosialisasi
Autism Spectrum Disorder dan
Gangguan Interaksi dan
Sosialisasi
Autism Spectrum Disorder dan
Gangguan Interaksi dan
Sosialisasi
Siswa jarang memberikan respon
atau tanggapan.
Celebral Palsy
Siswa tidak mengalami masalah
dalam berinteraksi
Gangguan Belajar
Siswa tidak mengalami masalah
dalam berinteraksi
Celebral Palsy dan Gangguan
sosialisasi
Siswa tidak percaya diri
Siswa jarang memberikan respon
atau tanggapan.
Siswa jarang memberikan respon
atau tanggapan.
190
Gangguan Interaksi dan Sosialisasi Siswa
Difabel
Cenderung menyendiri dan pasif dalam
berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang
mengajak bermain.
Cenderung menyendiri dan pasif dalam
berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang
mengajak bermain.
Cenderung menyendiri dan pasif dalam
berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang
mengajak bermain dan masih tergantung
keadaan hati atau keinginan.
Normal dan mampu berinteraksi serta
bersosialisasi dengan siswa non-difabel
Normal dan mampu berinteraksi serta
bersosialisasi dengan siswa non-difabel,
hanya saja mengalami gangguan belajar pada
mata pelajaran tertentu sehingga disaat
kegiatan belajar berlangsung, siswa tidak
fokus terhadap pelajaran yang ada.
Normal dan mampu berinteraksi serta
bersosialisasi dengan siswa non-difabel
7.
Ian
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Autism Spectrum Disorder dan
Gangguan Interaksi dan
Sosialisasi
Siswa jarang memberikan respon
atau tanggapan.
Sumber : Data Diolah, Mei 2010
191
Cenderung menyendiri dan pasif dalam
berinteraksi. Baru aktif bila ada teman yang
mengajak bermain. Hanya mampu
bersosialisasi dan berinteraksi dengan orangorang tertentu. Hanya memiliki rasa takut
dengan Kepala Sekolah, wali kelas, ketua
PUSPA dan ibunya.
2.2
Perilaku yang mencerminkan gangguan interaksi dan sosialisasi, antara lain :
a. Stereotipik
Gerakan stereotipik adalah gerakan motorik kasar tidak wajar yang
dilakukan berulang-ulang. Para ahli menyebutkan bahwa gerakan
stereotipik merupakan gejala utama dari anak difabel. Hampir seluruh
penyandang autis memiliki gerak stereotipik. Biasanya anak penyandang
autis memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang,
mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata
ke pesawat TV, lari/ berjalan bolak balik, melakukan gerakan yang
diulang-ulang. Keadaan ini dapat berkurang pada situasi yang lebih
terstruktur (tetap). Karena anak penyandang autis tidak tahan dalam
situasi transisi atau perubahan. Pindah ke rumah baru, memindahkan
perabotan rumah tangga dalam ruangan dan makan pagi sebelum mandi
apabila merupakan kebalikan dari rutinitas, dapat menyebabkan
penyandang autis menjadi cemas, tegang, panik atau temper tantrum
(ngadat, marah, menangis sambil berguling-guling). Seperti yang
dilakukan oleh Putra, yaitu ketika dia berjalan kaki, suka bertepuk
tangan sendiri, bergoyang-goyang, mengepakkan tangan seperti burung,
berputar-putar, dan melakukan gerakan-gerakan yang berulang-ulang.
Juga yang dilakukan oleh Ian yaitu ketika dia berjalan, gerakannya
sangat kaku, mata hanya memandang kedepan kesatu arah saja dengan
berbicara sendiri.
192
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Karmita selaku orang tua
Putra, berikut ini :
“Dulu waktu sebelum saya tahu bahwa anak saya memiliki gangguan
autis, pada umur 2 tahun setelah dia bisa berjalan, dia selalu aktif
berjalan kesana kemari hingga keliling perumahan. Saya punya
pembantu selalu tidak krasan, slalu ganti pembantu hanya karena
mereka tidak sanggup mengurus Putra. Putra sangat aktif tidak bisa
diam. Dinasehati marah, anaknya semaunya sendiri. Dia suka jalanjalan berkeliling perumahan berkali-kali sambil menyanyi sendiri,
bertepuk tangan sendiri, berputar-putar kayak burung ditengah jalan.
Yang saya tau ya hal itu wajar karena anak saya senang melakukan
hal tersebut setiap harinya.” (Wawancara, Minggu, 11 April 2010).
b. Hiperaktif atau Hipoaktifitas
Hiperaktif atau sering disebut juga sebagai Gangguan Pemusatan
Perhatian dan Hiperaktifitas (GPPH) adalah gangguan perilaku yang
sering terjadi pada anak ditandai dengan perilaku motorik yang berlebihan,
sehingga rentang perhatiannya pada sesuatu sangat buruk.
Penyebabnya adalah gangguan di otak bagian depan yang disebut
lobus frontalis dan sekitarnya, yang mengontrol proses berpikir dan yang
mempengaruhi perilaku anak. Faktor genetika juga diduga berpengaruh
kuat, karena 90% dari saudara kembar anak GPPH juga menyandang
kelainan yang sama. Disamping faktor genetika, juga ada faktor pemicu
lainnya, yaitu berat badan lahir yang kurang, gangguan pernapasan bayi
pada saat lahir, keracunan dalam rahim dan trauma kepala.
193
Pengobatan GPPH adalah pengobatan jangka panjang. Beberapa
anak memerlukan obat-obatan untuk memperbaiki gangguan neurotransmitternya. Tetapi bisa juga dengan terapi perilaku yang berbeda-beda
dan terapi musik yang dapat membantu menenangkan hiperaktivitas dan
impulsivitas anak. Pengobatan ini pernah dilakukan oleh Ibu Karmita
selaku orang tua siswa di AFIS Colomadu. Ibu karmita menyatakan
bahwa:
“Saya pernah mengajak Putra untuk melakukan terapi pertama kali
di AFIS Colomadu oleh dokter Prasetyo. Disana Alif diterapi
diberikan bunyi-bunyian kerincingan di belakang kepalanya, dia
tidak langsung menengok arah suara, tetapi tangannya langsung
menyambar kerincingan tersebut tanpa menengok ke arah
belakang.” (Wawancara, 11 April 2010).
Siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus tidak ada yang
hiperaktif, perilaku siswa di sekolah biasa saja dan mampu berinteraksi
sosial dengan teman-teman non-difabel. Ada beberapa siswa autis yang
lebih bersikap hipoaktif, yaitu memiliki tingkat aktivitas yang rendah.
Hipoaktifitas sering diartikan dimana seorang anak yang dalam
melakukan kegiatan yang sangat minim atau kurang. Bahkan ada yang
tidak melakukan kegiatan sama sekali. Anak difabel khususnya
penyandang
autis
lebih
banyak
mengalami
gangguan
perilaku
hiperaktifitas dibanding hipoaktifitas. Hipoaktifitas terjadi pada Rahman,
hal ini sesuai pernyataan Ibu Uswahyu berikut ini :
“Ketika dia tidak diajak bermain dahulu, maka dia akan tetap diam
dikelas, tetapi jika dia diajak bermain, dia hanya mengikuti temantemannya saja, tidak memiliki respon yang bagus dalam
berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-temannya.”
(Wawancara, Selasa 23 Maret 2010).
194
c. Temperamental dan Menyakiti diri sendiri
Beberapa difabel menunjukkan perubahan emosional yang tibatiba, tanpa sebab yang jelas mendadak tertawa atau terjadi ledakan tangis.
Kadang-kadang anak selain agresif terhadap orang lain juga menyakiti
dirinya sendiri. Anak sering menyerang orang lain, membentur-benturkan
kepalanya ke tembok, memukul-mukulkan tangannya ke kepala,
membanting kursi, mengambil pisau, seperti yang dilakukan oleh Ian yang
memiliki kecenderungan emosi tidak terkontrol dan hanya tergantung
mood atau perasaan.
“Pernah pada saat jam istirahat Ian pergi ke dapur untuk mengambil
pisau, kemudian ditanya oleh guru, “buat apa ambil pisau? Ian
menjawab buat bunuh temannya karena jengkelin.” Selain itu juga
pernah terjadi kejadian Ian ke luar kelas mengambil batu buat
melempar temannya yang ada di kelas karena suka menggodanya.”
(Wawancara, Selasa, 23 Maret 2010).
Adapun sikap membanting kursi yang dilakukan oleh Putra,
menurut penuturan Ibu Karmita selaku orang tua murid, seperti berikut ini:
“Waktu Taman Kanak-kanak (TK) saya pernah dipanggil oleh Kepala Sekolah Putra, karena Putra pernah melempar
kursi ke temannya, karena teman-temannya Putra mengejek dia. Tetapi Putra sendiri tidak pernah mau menceritakan
segala kegiatannya di sekolah kepada saya. Putra sifatnya sangat tertutup bahkan dengan saya sekalipun. Dia lebih
suka menceritakan hal-hal yang bisa menyenangkan hati saya, tetapi pintar menyembunyikan hal-hal yang tidak saya
sukai.” (Wawancara, Minggu, 11 April 2010).
d. Gangguan koordinasi motorik
Gangguan koordinasi motorik mengakibatkan anak difabel
mempunyai kesulitan dalam mengkoordinasikan atau menyelaraskan
gerakan-gerakan motorik dalam tubuhnya. Elisabeth B. Hurlock
mengungkapkan bahwa hal ini mungkin timbul dari kerusakan otak pada
195
waktu lahir atau kondisi pra lahir yang tidak menguntungkan. (Hurlock,
1991 : 164).
Gangguan koordinasi motorik ini terjadi pada Tian seperti yang
diungkapkan oleh Ibu Trisno, selaku orang tua murid, yang menyatakan
bahwa :
“Pada Tian, kerusakan otak saraf pada waktu kondisi pra lahir menyebabkan tangan kanannya kecil sebelah, atau
tidak seimbangnya fisik tangan kanan dan tangan kiri, sehingga dalam mengerjakan pekerjaan yang menggunakan
tangan kanan, Tian mengalami kesulitan.” (Wawancara, Minggu, 11 April 2010).
Berdasarkan data dan informasi yang peneliti peroleh dilapangan maka berikut ini peneliti menyajikan
matriks tentang gangguan interaksi sosial siswa difabel yang penjelasannya telah diuraikan diatas :
196
Matriks 3.3
Gangguan Interaksi dan Sosialisasi pada Siswa Difabel Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta
Macam Gangguan Interaksi dan Sosialisasi
1. Stereotipik
Rahman
Abdul
Putra
Nanda
Iman
Tian
Ian
V
V
V
V
PASIF
PASIF
PASIF
V
V
X
X
X
V
X
V
V
V
V
X
V
X
V
X
V
V
V
V
X
V
X
V
X
V
V
V
V
X
X
X
V
X
V
V
X
X
X
X
X
X
X
V
X
X
X
V
2. Hiperaktif atau Hipoaktif
X
X
X
X
X
X
X
V
X
X
X
V
V
V
V
V
V
V
V
V
X
X
X
V
V
V
X
X
X
3. Tidak suka pada perubahan
4. Duduk bengong dengan tatapan kosong
5. Minat dan aktivitas yang terbatas
6. Temperamental
7. Menyakiti diri sendiri
8. Gangguan koordinasi motorik
9. Seperti tidak mengenal takut
10. Lebih suka menyendiri
11. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar
untuk bertatapan
12. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman
13. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh
14. Ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak - gerik sangat
kaku
Sumber : Data Diolah, Mei 2010
197
PASIF
PASIF
V
V
X
V
X
V
X
V
V
V
V
V
2.3
Proses interaksi sosial.
Menurut Herbert Blumer proses interaksi sosial adalah pada saat
manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu
tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal
dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah
makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna
dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika
menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative
process.
Proses interaksi sosial seperti yang diungkapkan oleh Herbert
Blumer tidak serta merta terjadi pada siswa Ian, Putra, Rahman
Miftahurrahman, Abdul
Abdul KhPutraatulloh, dan Iman, melainkan
melalui proses yang cukup panjang dimana mereka dapat berinteraksi dan
bersosialisasi dengan lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Proses yang cukup panjang tersebut salah satunya dilakukan melalui bidang
pendidikan, yaitu pembelajaran ke arah kemandirian di Sekolah Dasar (SD)
Al Firdaus Kota Surakarta, dengan peran guru, orang tua dan temantemannya yaitu siswa non-difabel yang sangat dibutuhkan.
Konstruksi tentang interaksionisme simbolik dan aksi bagi siswa
difabel autisme sangat melekat pada diri masing-masing siswa. Setiap siswa
memiliki karakter yang berbeda-beda dan mereka memiliki sifat individual
yang kemudian sulit untuk dikembangkan dan diaplikasikan ke dalam
198
sebuah interaksi. Seperti yang terjadi pada Ian, hal ini diungkapkan oleh Ibu
Ida selaku wali kelas Ian bahwa:
”Ian itu kalo ada mata pelajaran yang tidak dia sukai, dia akan keluar
sekolah. Ketika ada pelajaran praktek yang membutuhkan kerjasama
kelompok, Ian tidak bisa mengambil peran di dalam sebuah
kelompok. Ian hanya membawakan bahan praktikum saja, kemudian
saat kerja kelompok, Ian hanya jalan mondar-mandir dan bertindak
sesukanya, tanpa memperdulikan pekerjaan kelompoknya. Ketika
istirahat pun Ian hanya senang jajan kemudian dibawa ke ruang
Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Sifat semau
gue yang hingga sekarang ada pada diri Ian, bahkan sangat jarang
Ian mau mengobrol dengan teman-temannya. Seperti kebanyakan
penderita autis, bahwa Ian lebih suka mengobrol dengan dirinya
sendiri dan memaksa orang lain yang ikut mengobrol dengannya
harus mengikuti kearah mana obrolan Ian mengarah. Ian lebih
memiliki imajinasinya sendiri dan orang lain bahkan tidak mampu
mengikuti arah imajinasinya itu”
Adapun penuturan Bapak Joko selaku guru matematika Putra
berkaitan dengan proses interaksi sosial Putra menyebutkan bahwa :
”Jika ada sesuatu hal yang tidak sesuai dengan kemauan dirinya,
Putra cenderung berteriak dan lari keluar kelas tanpa memperdulikan
teman-teman bahkan guru yang ada di kelas tersebut. Putra juga
sering menari-nari sendiri, menyanyi sendiri, tertawa sendiri, atau
tiba-tiba menangis sendiri. Teman-teman yang semula tidak
menyadarinya sering mengejek, tetapi lama kelamaan siswa nondifabel harus mampu untuk memberikan toleransi kepada Putra
dalam seluruh tindakannya. Putra lebih suka berinteraksi dengan
dirinya sendiri melalui gerakan-gerakan yang dia mainkan.” (Selasa,
2 Maret 2010)
Berbeda pada kasus yang dialami oleh Rahman dan Abdul, yaitu
bahwa mereka bersikap pasif, dimana saat pembelajaran dimulai, mereka
hanya diam dan tidak mampu untuk bertanya meskipun mereka ingin
bertanya, tetapi tidak tahu apa yang akan ditanyakan. Jika disuruh menjawab
mereka bisa tetapi untuk merespon atau memulai pertanyaan kembali
199
mereka tidak bisa. Sehingga tidak terjadi interaksi karena komunikasi hanya
terjadi satu arah saja, yaitu dari guru ke siswa difabel maupun dari siswa
non-difabel ke siswa difabel saja.
Di sekolah inklusif Sekolah Dasar Al Firdaus, baik siswa difabel
maupun siswa non-difabel, tidak ada yang saling mendominasi satu sama
lain. Walaupun mayoritas siswa adalah siswa non-difabel, tetapi interaksi
sosial yang terjalin sangat baik, bahkan dalam hal prestasi, siswa difabel
mampu bersaing dengan siswa non-difabel.
Berlangsungnya proses interaksi sosial didasarkan pada berbagai
faktor antara lain :
5. Imitasi
Salah satu segi positif dari faktor imitasi adalah bahwa
imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidahkaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Bentuk imitasi yang
diterapkan oleh para guru yaitu selalu memberikan contoh yang
konkrit dalam setiap kegiatan belajar mengajar melalui masingmasing guru pendamping. Contoh konkrit tersebut bisa berupa
guiding block, gambar, lukisan, puzzle, maupun contoh yang
langsung diberikan oleh guru pendamping. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan
Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut :
“Imitasi yaitu memberikan contoh konkrit ini berlaku pada
ke lima siswa difabel yaitu : Ian, Putra, Rahman, dan
Abdul, dimana masing-masing siswa ini diberikan bentukbentuk imitasi yang berbeda. Jika Abdul dan Rahman lebih
200
ditekankan pada pemberian gambar-gambar maupun
guiding block dan puzzle, untuk dapat lebih memperjelas
pemahaman mereka terhadap mata pelajaran sosial dan
science. Serta diberikan contoh sikap dan perilaku yang
nyata, contohnya guru mempraktekan cara membeli maka
harus memberikan uang. Dan jika pada Putra dan Ian yaitu
memberikan contoh nyata sikap dan perilaku positif dalam
bermasyarakat atau berperilaku sosial, karena Putra dan Ian
kurang dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan
masyarakat. Dimana sikap mereka sangat kaku dan hanya
bisa melakukan sesuai dengan patokan-patokan pada
aturan-aturan yang ada.” (Selasa, 23 Maret 2010).
6. Sugesti
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi
suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang
kemudian diterima oleh pihak lain. Sugesti dilakukan untuk
mensugesti kegiatan yang positif dalam setiap kegiatan
pembelajaran agar siswa mau melakukan kegiatan positif
tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku
wali kelas Ian terkait faktor sugesti sebagai berikut :
“Sugesti yang diberikan pada Ian contohnya setiap
pembelajaran yang ada selalu sedikit dikaitkan dengan
masalah dinosaurus, karena Ian menyukai dinosaurus.
Tetapi pada mata pelajaran yang tidak dapat dihubungkan
dengan dinosaurus, guru memberikan penjelasan yang
menerangkan tentang dinosaurus tetapi dijauhkan dari mata
pelajaran tersebut. Siswa Putra juga sering bertanya pada
tema yang diluar mata pelajaran, maka guru memberikan
sugesti-sugesti mengenai kebenaran dan realita yang ada
tanpa menghilangkan imajinasi mereka.“ (Selasa, 23 Maret
2010).
201
7. Identifikasi
Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau
keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan
pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam daripada imitasi,
karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses
ini. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor
Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) sebagai
berikut :
“Rahman dalam mengidentifikasi permasalahan hanya
dapat dilakukan dengan cara menunjukkan gambar, cerita,
maupun simbol-simbol yang lain. Sama juga halnya dengan
Ian, Putra, Nanda, Iman, Abdul, dan Seeptian. Dimana
tingkat identifikasi masing-masing siswa berbeda-beda.
Jika Nanda, Iman, dan Tian kurang dapat mengidentifikasi
permasalahan pada mata pelajaran matematika, berbeda
halnya dengan Putra, Ian, dan Abdul, kurang mampu
mengidentifikasi permasalahan pada mata pelajaran sosial
yang berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan
sekitar. Itulah manfaat dari seorang guru pendamping yaitu
membantu
siswa
difabel
dalam
memahami
mengidentifikasi setiap mata pelajaran yang ada.” (Selasa,
9 Maret 2010).
8. Proses simpati
Simpati merupakan suatu proses dimana seseorang merasa
tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang
peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada
simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk
bekerja sama dengannya. Proses simpati ini dilakukan oleh guru
agar mampu mengambil hati para siswa difabel, agar menyenangi
diri mereka sehingga mempermudah proses pembelajaran.
202
Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku wali kelas Ian,
dimana beliau harus mampu memiliki rasa simpati kepada Ian
agar Ian mau mendengarkan nasehat-nasehatnya. Seperti
penuturan Ibu Ida berikut ini :
“Rasa simpati saya ini bisa berupa punishment dan reward,
ketika Ian tidak menuruti nasehat ibu Ida, maka Ian tidak
akan mendapatkan hadian berupa lagu ”My Hearth Will Go
On” yang disenangi oleh Ian. sehingga proses simpati
sangat diperlukan oleh guru yang diperuntukkan siswa
difabel agar mereka mampu berinteraksi dengan baik.”
(Selasa, 23 Maret 2010).
Dari data yang diperoleh di lapangan dan penjelasan tersebut diatas
maka berikut ini peneliti menyajikan data matriks tentang proses interaksi
sosial siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta :
203
Matriks 3.4
Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel
No
Nama Siswa
1.
Rahman
(Bukan Nama
Sebenarnya)
2.
Abdul
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Imitasi
Guru memberikan contoh
yang konkrit dalam kegiatan
belajar mengajar melalui
masing-masing guru
pendamping, misalnya
menggambar lukisan, puzzle,
dan guiding block.
Guru pendamping
mendampingi Abdul pada
pelajaran matematika. Dan
Proses Interaksi Siswa Difabel
Sugesti
Identifikasi
Guru memberikan sugesti
Rahman dalam
atau proses mempengaruhi
mengidentifikasi
yang bersifat positif bahwa
permasalahan hanya dapat
segala nasehat yang
dilakukan dengan cara
diberikan oleh guru adalah
menunjukkan gambar,
untuk kebaikan siswa itu
cerita, maupun simbolsendiri.
simbol yang lain. Maka
Rahman memiliki seorang
guru pendamping untuk
membantu dalam
memahami mengidentifikasi
setiap mata pelajaran yang
ada agar siswa mampu
menerapkannya di
lingkungan keluarga,
sekolah, maupun
masyarakat.
Guru memberikan sugesti
Abdul kurang mampu
atau proses mempengaruhi
mengidentifikasi
yang bersifat positif bahwa
permasalahan pada mata
204
Simpati
Guru dan teman-teman
memiliki rasa simpati yang
tinggi terhadap Rahman,
dimana ketika berada di
sekolah, guru
memperlakukan Rahman
lebih khusus daripada
perlakuan terhadap siswa
non-difabel. Teman-teman
non-difabel pun juga
memiliki rasa simpati yang
tinggi terhadap Rahman,
sehingga teman-temannya
memiliki sikap tolongmenolong yang tinggi
terhadap Rahman.
Guru dan teman-teman
memiliki rasa simpati yang
tinggi terhadap Abdul,
3.
Putra
(Bukan Nama
Sebenarnya)
menerangkan serta memberi
contoh dengan gambar
lukisan, puzzle, dan guiding
block
segala nasehat yang
diberikan oleh guru adalah
untuk kebaikan siswa itu
sendiri.
Guru pendamping
mendampingi Putra pada
pelajaran sosial dan
kewarganegaraan. Dan
menerangkan serta memberi
contoh dengan sikap dan
gerakan tubuh (gesture) lebih
dari satu kali dalam setiap
bahasan
Guru memberikan sugesti
atau proses mempengaruhi
yang bersifat positif bahwa
segala nasehat yang
diberikan oleh guru adalah
untuk kebaikan siswa itu
sendiri.
205
pelajaran sosial yang
berhubungan dengan
masyarakat dan lingkungan
sekitar. Maka Abdul
memiliki seorang guru
pendamping untuk
membantu dalam
memahami mengidentifikasi
setiap mata pelajaran yang
ada agar siswa mampu
menerapkannya di
lingkungan keluarga,
sekolah, maupun
masyarakat.
Putra kurang mampu
mengidentifikasi
permasalahan pada mata
pelajaran sosial yang
berhubungan dengan
masyarakat dan lingkungan
sekitar. Maka Putra
memiliki seorang guru
pendamping untuk
membantu dalam
memahami mengidentifikasi
setiap mata pelajaran yang
ada agar siswa mampu
menerapkannya di
dimana ketika berada di
sekolah, guru
memperlakukan Abdul
lebih khusus daripada
perlakuan terhadap siswa
non-difabel. Teman-teman
non-difabel pun juga
memiliki rasa simpati yang
tinggi terhadap Abdul,
sehingga teman-temannya
memiliki sikap tolongmenolong yang tinggi
terhadap Abdul.
Guru dan teman-teman
memiliki rasa simpati yang
tinggi terhadap Putra,
dimana ketika berada di
sekolah, guru
memperlakukan Putra lebih
khusus daripada perlakuan
terhadap siswa non-difabel.
Teman-teman non-difabel
pun juga memiliki rasa
simpati yang tinggi terhadap
Putra, sehingga temantemannya memiliki sikap
tolong-menolong yang
4.
Nanda
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Guru pendamping
mendampingi Nanda pada
pelajaran matematika. Dan
menerangkan lebih dari satu
kali dalam setiap bahasan.
Guru memberikan sugesti
atau proses mempengaruhi
yang bersifat positif bahwa
segala nasehat yang
diberikan oleh guru adalah
untuk kebaikan siswa itu
sendiri.
5.
Iman
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Guru pendamping
mendampingi Iman pada
pelajaran matematika. Dan
menerangkan lebih dari satu
kali dalam setiap bahasan.
Guru memberikan sugesti
atau proses mempengaruhi
yang bersifat positif bahwa
segala nasehat yang
diberikan oleh guru adalah
untuk kebaikan siswa itu
sendiri.
206
lingkungan keluarga,
sekolah, maupun
masyarakat.
Nanda dapat
mengidentifikasi sendiri
dalam berbagai hal tanpa
adanya bantuan dari guru
maupun teman. Karena
dalam hal berinteraksi,
Nanda tidak bermasalah.
Tetapi Nanda tetap
diberikan guru pendamping,
karena pada mata pelajaran
tertentu Nanda kurang
mampu mengidentifikasikan
mata pelajaran tersebut.
Iman dapat mengidentifikasi
sendiri dalam berbagai hal
tanpa adanya bantuan dari
guru maupun teman. Karena
dalam hal berinteraksi, Iman
tidak bermasalah. Tetapi
Iman tetap diberikan guru
pendamping, karena pada
mata pelajaran tertentu Iman
kurang mampu
mengidentifikasikan mata
pelajaran tersebut.
tinggi terhadap Putra.
Rasa simpati yang dimiliki
oleh guru dan teman-teman
pada Nanda biasa saja,
karena memang Nanda
merupakan murid yang
biasa saja, walaupun
difabel, tapi tidak ada
perlakuan khusus bagi
Nanda.
Rasa simpati yang dimiliki
oleh guru dan teman-teman
pada Iman biasa saja,
karena memang Iman
merupakan murid yang
biasa saja, walaupun
difabel, tapi tidak ada
perlakuan khusus bagi
Iman.
6.
Tian
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Guru pendamping
mendampingi Tian pada
pelajaran ketrampilan.
Karena tangannya sulit
digunakan untuk
menggunting, menempel, dan
merangkai
7.
Ian
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Guru pendamping
mendampingi Ian pada
pelajaran sosial dan
kewarganegaraan. Dan
menerangkan serta memebri
contoh dengan sikap dan
gerakan tubuh (gesture) lebih
dari satu kali dalam setiap
bahasan
Guru memberikan sugesti
atau proses mempengaruhi
yang bersifat positif bahwa
segala nasehat yang
diberikan oleh guru adalah
untuk kebaikan siswa itu
sendiri.
Tian dapat mengidentifikasi
sendiri dalam berbagai hal
tanpa adanya bantuan dari
guru maupun teman. Karena
dalam hal berinteraksi, Tian
tidak bermasalah. Tetapi
Tian tetap diberikan guru
pendamping, karena pada
mata pelajaran tertentu Tian
kurang mampu
mengidentifikasikan mata
pelajaran tersebut.
Sugesti yang diberikan pada
Ian kurang mampu
Ian contohnya setiap
mengidentifikasi
pembelajaran yang ada selalu permasalahan pada mata
sedikit dikaitkan dengan
pelajaran sosial yang
masalah dinosaurus, karena
berhubungan dengan
Ian menyukai dinosaurus.
masyarakat dan lingkungan
Tetapi pada mata pelajaran
sekitar. Maka Ian memiliki
yang tidak dapat
seorang guru pendamping
dihubungkan dengan
untuk membantu Ian dalam
dinosaurus, guru memberikan memahami mengidentifikasi
penjelasan yang
setiap mata pelajaran yang
menerangkan tentang
ada agar siswa mampu
dinosaurus tetapi dijauhkan
menerapkannya di
dari mata pelajaran tersebut.
lingkungan keluarga,
Siswa Putra juga sering
sekolah, maupun
bertanya pada tema yang
masyarakat.
207
Rasa simpati yang dimiliki
oleh guru dan teman-teman
pada Tian biasa saja, karena
memang Tian merupakan
murid yang biasa saja,
walaupun difabel, tapi tidak
ada perlakuan khusus bagi
Tian.
Rasa simpati Ian bisa
berupa punishment dan
reward, ketika Ian tidak
menuruti nasehat ibu Ida,
maka Ian tidak akan
mendapatkan hadian berupa
lagu ”My Hearth Will Go
On” yang disenangi oleh
Ian. sehingga proses simpati
sangat diperlukan oleh guru
yang diperuntukkan siswa
difabel agar mereka mampu
berinteraksi dengan baik
diluar mata pelajaran, maka
guru memberikan sugestisugesti mengenai kebenaran
dan realita yang ada tanpa
menghilangkan imajinasi
mereka
Sumber : Data Diolah, Mei 2010
208
2.4 Pola Interaksi Sosial
a) Kerja sama
Kerja sama yang merupakan salah satu bentuk interaksi sosial
yaitu suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok
manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk
kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk
mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan
tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus
ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa
yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahliankeahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya
rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.
Kerja sama belum seluruhnya dapat berjalan dengan baik pada
siswa difabel. Siswa difabel khususnya difabel autis sangat sulit untuk
aktif dalam sebuah kerjasama, dikarenakan sifat dari autis sendiri yang
lebih bersifat individu. Hal ini tampak pada sikap siswa difabel di
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus berikut ini :
“Menurut penuturan Ibu Ida selaku wali kelas Ian, dalam
masalah kerjasama apabila ada pekerjaan kelompok atau
pekerjaan keterampilan bersama, Ian cenderung mondar-mandir
melihat kerjaan teman-temannya yang lain, hanya membawa
bahan untuk pekerjaan kelompoknya saja tetapi tidak mau untuk
bekerja sama. Apalagi untuk diskusi dan interaksi Ian paling
tidak suka diskusi, apabila sedang diskusi teman-temannya harus
ikut jalan pikirannya. Untuk berkomunikasi dengan jalan pikiran
teman-temannya apabila sedang berdiskusi sulit, temantemannya harus mengikuti jalan pikiran Ian.” (Selasa, 23 Maret
2010)
209
Ada beberapa bentuk kerja sama (cooperation). Kerja sama
dibedakan
lagi
menjadi
:
Kerja
sama
Spontan
(Spontaneous
Cooperation), Kerja sama Langsung (Directed Cooperation), Kerja
sama Kontrak (Contractual Cooperation), dan Kerja sama Tradisional
(Traditional Cooperation.
Kerjasama yang ada antara siswa di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus hanya Kerjasama Langsung (Directed Cooperation), yaitu
kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa. Dimana
guru memerintahkan siswa difabel untuk mengerjakan soal di papan tulis
dengan maju ke depan ataupun dengan melakukan pembelajaran secara
kelompok, tetapi hal ini tidak berhasil diterapkan pada Ian.
“Bapak Joko selaku guru matematika Nanda dan Putra
menuturkan : Nanda jika disuruh untuk mengerjakan soal di
papan tulis langsung bisa, tetapi berbeda dengan Putra yang satu
kelas juga dengan Nanda, kalau Putra itu harus diajarin oleh guru
pendampingnya dulu, baru mau maju ke depan, itupun prosesnya
lama sekali untuk mau maju ke depan, harus dirayu-rayu dulu.
Ibu Ida selaku wali kelas Ian dalam menangani Ian harus ada cara
tersendiri diantaranya yaitu apabila Ian tidak mau disuruh atau
tidak menuruti perintah dari guru, khususnya guru wali kelas
tidak akan memutarkan lagu kesukaan Ian dan apabila mau
menuruti perintah guru maka Ian akan diberi hadiah kesukaannya
yaitu akan di putarkan lagu “My Heart Will Go On”. Jadi guru
membiasakan memberikan reward bila menuruti guru dan
punishme bila tidak mau menurut dengan guru. (Selasa, 23 Maret
2010).”
b) Persaingan
Persaingan merupakan sikap bersaing, ingin saling mengalahkan.
Persaingan dapat berarti kearah positif dan negatif, dimana persaingan
positif yaitu persaingan yang saling bekerjasama tetapi tidak saling
210
menjatuhkan,sedangkan persaingan negatif yaitu persaingan yang saling
menjatuhkan. Persaingan diantara siswa difabel maupun non-difabel di
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus adalah persaingan yang positif, dimana
setiap siswa baik itu siswa difabel maupun non-difabel bersaing untuk
meraih prestasi nilai terbaik atau rangking. Seperti yang diungkapkan
oleh Iman salah satu siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus,
berikut ini :
“Apabila nilai saya jelek dibawah 7 saya harus rajin belajar dan
harus didampingi oleh ibu Indi guru pendamping saya, pokoknya
biar nilainya bagus biar bisa pinter. Saya dirumah juga belajar
ditemani ibu, dan ikut les privat dirumah.” (Selasa, 24 Mei 2010).
c) Pertikaian
Pertiakaian mungkin akan mendapatkan suatu penyelesaian, namun
penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu,
yang dinamakan akomodasi. Pertikaian yang terjadi diantara siswa baik
itu siswa difabel maupun non-difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus
sangat jarang, tetapi ada salah satu kejadian Pertikaian yang menarik dan
sangat membuat para guru heran, yaitu pertikaian sesama siswa difabel
autis, yaitu Ian dan Putra, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka
selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA),
sebagai berikut :
“Salah satu yang membuat para guru heran adalah antara Ian dan Putra ini jika ketemu saling berantem. Mereka
sepertinya tidak mau diganggu dan dimasuki dunia imajinasinya dengan anak autis yang lain. Bahkan itu selalu
seperti itu, jika bertemu jika bertemu si Putra mengganggu dengan tertawa-tawa atau bernyanyi didepannya atau
mengejek, kemudian si Ian mengacung-acungkan tangannya dengan menggenngam serasa mau memukul dan
berteriak-teriak.” (Selasa, 23 Maret 2010).
211
Ketika peneliti mewawancarai Putra yang didampingi oleh Ibu
Rizka, maka:
“Saat ditanya oleh peneliti dan Ibu Rizka dengan pertanyaan : Kenapa kamu senang mengganggu Ian? Dijawab oleh
Putra bahwa saya senang mengganggu Ian karena saya merasa senang, bisa terhibur hatinya melihat Ina marah-marah.
Suatu ketika pernah saya dikejar-kejar Ian, ya saya terus lari aja. Ibu Rizka menyampaikan bahwa pertentangan
seperti ini hal yang wajar yang dilakukan oleh kedua siswa tersebut dan tidak berakibat fatal.” (Selasa, 24 Mei 2010).
d) Akomodasi
Bentuk-bentuk akomodasi menurut Gillin dan Gillin, adalah
sebagai berikut : Koersi (coercion), Kompromi (compromise), Arbitrasi
(arbitration), Mediasi (mediation), Konsiliasi (conciliation), Toleransi
(toleration), Stalemate, Ajudikasi (ajudication), Displacement, dan
Konversi
(convertion).
Bentuk-bentuk akomodasi
tersebut
tidak
seluruhnya digunakan dalam penyelesaian masalah antara guru, siswa
non-difabel dan siswa difabel namun hanya beberapa bentuk saja antara
lain :
11. Koersi (coercion)
Koersi yaitu bentuk akomodasi yang terjadi melalui
pemaksaan kehendak pihak tertentu terhadap pihak lain yang
lebih lemah. Berarti terjadi penguasaan (dominasi) suatu
kelompok atas kelompok yang lemah. Di Sekolah Dasar (SD)
Al Firdaus, bentuk dari akomodasi koersi yaitu yang guru
berkuasa atas siswa difabel. Hal ini dilakukan oleh guru ketika
memberikan stimulus kepada siswa apabila siswa kurang atau
tidak bisa memahami suatu materi di dalam pembelajaran.
212
Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku guru wali kelas
Ian, berikut ini :
” Ketika Ian tidak mampu memahami pelajaran, maka guru
pendamping memberikan contoh-contoh yang konkret yang
bisa dicontohkan kepada Ian khususnya pada mata
pelajaran sosial yang berhubungan dengan masyarakat.
Karena Ian merupakan anak yang pasif dan hanya dapat
bergerak seperti robot, jika tidak diberikan contoh yang
konkret, dia tidak bisa melakukan apapun. Sedikit memaksa
dan pemaksaan tersebut terjadi berulang-ulang agar siswa
memahami apa yang dijelaskan oleh guru.” (Selasa, 9
Maret 2010).
12. Kompromi (compromise)
Kompromi yaitu bentuk akomodasi ketika pihak-pihak
yang terlibat perselisihan saling mengurangi tuntutan agar
tercapai suatu penyelesaian. Sikap dasar untuk melakukan
kompromi adalah semua pihak bersedia untuk merasakan dan
memahami keadaan pihak lainnya. Dalam hal ini guru
memberikan bentuk punishment dan reward kepada siswa
ketika siswa tidak mau mendengarkan nasehat-nasehatnya.
“Untuk menangani Ian harus ada cara tersendiri diantaranya
yaitu dengan berkompromi, dengan adanya bentuk
punisment dan reward. Apabila Ian tidak mau disuruh atau
tidak menuruti perintah dari guru, khususnya guru wali
kelas tidak akan memutarkan lagu kesukaan Ian dan apabila
mau menuruti perintah guru maka Ian akan diberi hadiah
kesukaannya yaitu akan di putarkan lagu “My Heart Will
Go On”. Jadi guru membiasakan memberikan reward bila
menuruti guru dan punishme bila tidak mau menurut
dengan guru.” (Selasa, 9 Maret 2010).
13. Toleransi (tolerance)
213
Toleransi yaitu bentuk akomodasi yang terjadi tanpa
persetujuan yang resmi. Kadang-kadang toleransi terjadi secara
tidak sadar dan tanpa direncanakan karena adanya keinginankeinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari
perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak.
Toleransi dalam hal ini dapat berbentuk sikap saling
menghargai antara guru, siswa difabel, dan siswa non-difabel.
Guru harus mampu memberikan toleransi pada saat siswa
difabel mengerjakan tugas-tugasnya. Siswa non-difabel lebih
aktif mengajak berinteraksi siswa difabel.
Sikap toleransi ini dimiliki oleh seluruh siswa nondifabel dan guru dalam memahmi sikap siswa non-difabel.
Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku guru wali kelas
Ian, berikut ini :
“Guru-guru dan teman-teman non-difabel di Sekolah
Dasar (SD) Al Firdaus memiliki sikap toleransi yang
tinggi terhadap teman-temannya yang difabel,
contohnya saja saat ada belajar kelompok, Ian
cenderung mondar-mandir melihat kerjaan temantemannya yang lain. Ia hanya membawa bahan untuk
pekerjaan kelompoknya saja tetapi tidak mau untuk
bekerja sama. Apalagi untuk diskusi dan interaksi Ian
paling tidak suka diskusi, maka dari itu temantemannya membiarkan Ian melakukan pekerjaan sesuai
dengan keinginannya itu, yang penting Ian tidak
mengganggu saat belajar kelompok berlangsung.”
(Selasa, 9 Maret 2010).
Menurut data yang diperoleh di lapangan serta penjelasan
tersebut diatas maka peneliti menyajikan matriks mengenai bentuk-
214
bentuk interaksi sosial yang ada pada siswa difabel di Sekolah Dasar
(SD) AL Firdaus Kota Surakarta :
215
Matriks 3.5
Pola Interaksi Sosial
No
Nama Siswa
Kerjasama
Dapat melakukan kerjasama
secara langsung (setelah
diperintah oleh guru) serta
adanya Kerukunan yang
mencakup gotong-royong
dan tolong menolong
Bentuk Interaksi Sosial
Persaingan
Pertentangan
Belum memiliki rasa
Tidak pernah mengalami
bersaing dengan teman, baik pertentangan baik dengan
persaingan yang bersifat
teman maupun dengan guru.
positif maupun negatif
1.
Rahman
(Bukan Nama
Sebenarnya)
2.
Abdul
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Dapat melakukan kerjasama
secara langsung (setelah
diperintah oleh guru) serta
adanya Kerukunan yang
mencakup gotong-royong
dan tolong menolong
Belum memiliki rasa
bersaing dengan teman, baik
persaingan yang bersifat
positif maupun negatif
3.
Putra
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Dapat melakukan kerjasama
secara langsung (setelah
diperintah oleh guru) serta
Tidak memiliki rasa bersaing
dengan teman, baik
persaingan yang bersifat
216
Akomodasi
Toleransi. Siswa nondifabel dan guru memiliki
sikap toleransi dan tolong
menolong yang tinggi
terhadap Rahman, dimana
memberikan peluang waktu
lebih terhadap setiap
kegiatan yang ada di
sekolah.
Tidak pernah mengalami
Toleransi. Siswa nonpertentangan baik dengan
difabel dan guru memiliki
teman maupun dengan guru. sikap toleransi dan tolong
menolong yang tinggi
terhadap Abdul, dimana
memberikan peluang waktu
lebih terhadap setiap
kegiatan yang ada di
sekolah.
Alif memiliki sifat
Toleransi. Siswa nonbertentangan dengan Ian,
difabel dan guru memiliki
sehingga saat mereka
sikap toleransi dan tolong
adanya Kerukunan yang
mencakup gotong-royong
dan tolong menolong
positif maupun negatif
4.
Nanda
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Dapat melakukan kerjasama
secara langsung (setelah
diperintah oleh guru) serta
adanya Kerukunan yang
mencakup gotong-royong
dan tolong menolong
Ada rasa bersaing yang
positif, yaitu tidak mau
mendapatkan nilai jelek dan
ingin mendapatkan rangking
5.
Iman
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Dapat melakukan kerjasama
secara langsung (setelah
diperintah oleh guru) serta
adanya Kerukunan yang
mencakup gotong-royong
dan tolong menolong
Ada rasa bersaing yang
positif, yaitu tidak mau
mendapatkan nilai jelek dan
ingin mendapatkan rangking
6.
Tian
Dapat melakukan kerjasama
Ada rasa bersaing yang
217
bertemu satu sama lain
selalu bertengkar
menolong yang tinggi
terhadap Putra, dimana
memberikan peluang waktu
lebih terhadap setiap
kegiatan yang ada di
sekolah.
Tidak pernah mengalami
Toleransi. Siswa nonpertentangan baik dengan
difabel dan guru memiliki
teman maupun dengan guru. sikap toleransi dan tolong
menolong yang tinggi
terhadap Nanda, dimana
memberikan waktu belajar
di sekolah lebih terhadap
setiap mata pelajaran yang
ada.
Memiliki pertentangan
Toleransi. Siswa nonterhadap mata pelajaran
difabel dan guru memiliki
yang tidak disenanginya.
sikap toleransi dan tolong
Contohnya pada mata
menolong yang tinggi
pelajaran matematika,
terhadap Iman, dimana
dimana ketika mata
memberikan waktu belajar
pelajaran tersebut
di sekolah lebih terhadap
berlangsung, Iman selalu
setiap mata pelajaran yang
minta ijin keluar sebagai
ada.
alasan menghindari
pembelajaran pada mata
pelajaran tersebut.
Memiliki pertentangan
Toleransi. Siswa non-
7.
(Bukan Nama
Sebenarnya)
secara langsung (setelah
diperintah oleh guru) serta
adanya Kerukunan yang
mencakup gotong-royong
dan tolong menolong
positif, yaitu tidak mau
mendapatkan nilai jelek dan
ingin mendapatkan rangking
Ian
(Bukan Nama
Sebenarnya)
Tidak dapat melakukan
kerjasama serta sikap gotongroyong dan tolong menolong
hanya dapat dilakukan ketika
diberi perintah
Tidak memiliki rasa bersaing
dengan teman, baik
persaingan yang bersifat
positif maupun negatif
Sumber : Data Diolah, Mei 2010
218
terhadap mata pelajaran
ketrampilan, karena banyak
beraktivitas menggunakan
tangan. Dimana tangan
kanan Tian tidak dapat
digunakan secara maksimal
untuk menggunting,
menempel, dan
menggambar.
Firmansyah Adrian
memiliki sifat bertentangan
dengan Alif, sehingga saat
mereka bertemu satu sama
lain selalu bertengkar
difabel dan guru memiliki
sikap toleransi dan tolong
menolong yang tinggi
terhadap Tian, dimana
memberikan waktu belajar
di sekolah lebih terhadap
setiap mata pelajaran yang
ada.
Toleransi. Siswa nondifabel dan guru memiliki
sikap toleransi dan tolong
menolong yang tinggi
terhadap Rahman, dimana
memberikan ijin kepada Ian
untuk tidak mengikuti
beberapa kegiatan yang
tidak disenangi oleh Ian.
Guru memberikan ganti
kegiatan positif lainnya di
ruang PUSPA, sedangkan
teman-temannya bersikap
wajar terhadap keadaan Ian.
B. AKSESIBILITAS BAGI SISWA DIFABEL YANG DIBERIKAN OLEH
SEKOLAH DASAR (SD) AL FIRDAUS KOTA SURAKARTA
4.1 Aksesibilitas Sarana dan Prasarana
Pemaknaan ‘aksesibilitas’ dalam UU No. 4 tahun 1998 adalah
kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan
kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Dalam aspek bidang pendidikan, siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus Kota Surakarta mendapatkan berbagai macam aksesibilitas
sarana dan prasarana berupa alat bantu dengar bagi tunarungu, kursi roda,
alat-alat bantu untuk pembelajaran. Aksesibilitas yang disediakan oleh
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus adalah penyediaan ruangan khusus bagi
siswa difabel yang mengalami depresi berat disaat mengikuti program
belajar mengajar, yaitu ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan
Khusus (PUSPA) serta penyediaan guru khusus yang menangani siswa
difabel sehingga satu siswa difabel didampingi oleh satu guru khusus,
disediakan pula tenaga profesional teraphist orthopedi.
4.2 Pelayanan dan Informasi Medis
Siswa difabel di Sekolah Dasar Al Firdaus juga mendapatkan
pelayanan medis dan akses terhadap informasi yang leluasa tentang
diagnosa, pelayanan psikologis dan fungsional, rehabilitasi medis yang
mereka terima pada semua tingkatan. Ibu Rizka selaku konselor Pusat
Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), memberikan informasi
219
tentang aksesibilitas yang dimiliki oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus
sebagai berikut :
“Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus tidak sepenuhnya memiliki aksesakses yang lengkap bagi siswa difabel. Akses yang dimiliki oleh
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus seperti kursi roda, alat-alat
wirausaha, alat-alat peraga, alat-alat olahraga, alat pendengar, dan
yang utama yaitu Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
(PUSPA) itu sendiri. Dimana Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan
Khusus (PUSPA) merupakan satu-satunya tempat bagi siswa difabel
mendapatkan pelayanan khusus jika mengalami kesulitan dalam hal
pembelajaran serta mengalami gangguan interaksi dan sosialisasi.
Saya sebagai seorang konselor pada saat ada pendaftaran siswa telah
memberikan informasi kepada masing-masing orang tua siswa
difabel bahwa akses yang dimiliki oleh Sekolah (SD) Al Firdaus
tidak sebanyak yang dimiliki oleh Sekolah Luar Biasa (SLB).
Seperti siswa yang menggunakan kursi roda, tidak dapat bersekolah
di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, dikarenakan tidak ada fasilitas
trailer. Tetapi Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki kursi roda,
yang pernah digunakan oleh Nanda, siswa yang berkebutuhan
khusus dengan jenis Celebral Palsy, pada saat kelas 2 melakukan
operasi pada kedua kakinya, dan setelah operasi menggunakan kursi
roda saat sekolah. Tetapi karena kebetulan kelasnya dilantai bawah,
maka kursi roda tersebut dapat digunakan sementara. Jika sudah
menduduki kelas 4, 5, dan 6, maka kursi roda tidak dapat digunakan
lagi karena kelasnya berada dilantai 2, dimana tidak ada trailler dan
diharuskan bisa naik atau turun melalui anak tangga.” (Selasa, 2
Maret 2010)
Satu-satunya layanan yang paling unggul di Yayasan Al Firdaus
khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Banyak orang tua murid yang memiliki
putra/ putri difabel memilih Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah
Dasar (SD) Al Firdaus sebagai tempat pendidikan putra/ putri mereka,
dengan alasan adanya layanan Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan
Khusus (PUSPA) ini. Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
220
(PUSPA) memiliki program-program khusus bagi siswa difabel, salah
satunya adalah menjadikan siswa difabel mandiri dan mampu
berinteraksi, bersosialisasi, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal
ini dapat diketahui dari pernyataan ibu Trisno salah satu orang tua murid
Anak Berkebutuhan Khusus, anaknya yang bernama Tian, tentang pilihan
menyekolahkan putra/ putri mereka di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus
yaitu :
“Anak saya itu pertama ada gangguan pada saraf bagian kanan dari
tubuh. Selama masuk pertama kali di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus ini pertama kali minder, mentalnya down, karena pada awal
masuk sekolah sering diejek tidak punya tangan. Saya mengetahui
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus dari mencari-mencari informasi,
terus saya ke Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus agar landasan agama
anak saya kuat dan juga di sana terdapat Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang cukup bagus umtuk
menangani Anak Berkebutuhan Khusus. Dalam problem
komunikasi yang dialami anak saya ini, tidak ada masalah, ya pada
awal sekolah tadi minder karena sering diejek temannya, kemudian
setelah lama-kelamaan menjadi terbiasa dan tidak minder lagi. Di
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini anak saya mengikuti
keterampilan atau ekstra kurikuler taekwondo dan ini sudah sabuk
hijau garis dua. Harapan saya setelah anak saya sekolah di Sekolah
Dasar (SD) AL Firdaus, anak saya supaya lebih bisa beradaptasi dan
221
berinteraksi dengan orang lain dan tidak minderan.” (Minggu, 11
April 2010).
Hal ini sama seperti apa yang diutarakan ibu Karmita seorang
single parent, dan juga salah satu orangtua murid yang memiliki anak
Anak Berkebutuhan Khusus yang bernama Putra menceritakan mengenai
kondisi anaknya.
“Pada awal mulanya tidak tahu Putra ini kalau autis, awalnya Putra
ini dimasukan di Play Goup Budi Mulia karena dekat dengan tempat
saya bekerja dan juga dikarenakan dirumah hanya dengan pembantu
saja. Saya sering ganti pembantu karena mereka tidak kuat untuk
mengasuh Putra. Putra ini dirumah sering aktif sukanya jalan-jalan
keliling komplek perumahan dan si pembantu tidak kuat bila harus
mengikuti dan menjaga Putra keliling komplek dan juga harus
masih mengerjakan pekerjaan rumah.
Setelah selesai dari Play Group Putra ini di masukan di salah
satu Taman Kanak-kanak di tempat tinggalnya di daerah
Mojosongo, di Taman Kanak-kanak ini Putra sudah bisa lancar
membaca tetapi belum bisa mengucapkan kata maupun kalimat,
seperti anak bisu, kemudian guru TK menyuruh agar Putra di terapi.
Pertamanya di terapi di dokter Prasetyo di Akademi Fisioterapi
Colomadu, disana saat Putra diterapi apabila diberikan bunyibunyian kerincingan di belakang kepalanya dia tidak langsung
menengok tetapi tangannya yang langsung meyambar tanpa harus
melihat. Kemudian dari dokter Prasetyo dirujuk supaya ke Yayasan
Penyandang Anak Cacat Kota Barat untuk melakukan terapi.
Dikarenakan di Kota Barat antrian panjang dan pelayanannya
lama Putra mulai bosan dan selalu marah-marah. Saat tiba giliran
Putra diperiksa oleh dokter, pemeriksaannya cuma sebentar, dan
diajak pulang tidak mau sampai marah. Putra tidak mau diajak
pulang karena merasa senang dan nyaman berada di Yayasan
Penyandang Anak Cacat karena mainan disana banyak. Karena
pelayanannya lama dan antrinya banyak, kemudian saya pindah
terapi ke Natura Medika dengan rujukan dari dokter Budi.hingga
satu setengah bulan.
Saya selalu berpikir bahwa setelah jenjang Taman kanakkanak, Putra harus saya masukkan ke Sekolah Dasar, tetapi saya
tidak ingin anak saya dimasukkan ke Sekolah Luar Biasa, sehingga
saya selalu mencari-cari informasi mengenai sekolah umum untuk
Putra. Pada awalnya saya tidak tahu tentang sekolah inklusif, setelah
banyak membaca brosur dan informasi lainnya serta bertanya
222
kepada temannya, seorang pengacara dan juga kebetulan
mempunyai seorang Anak Berkebutuhan Khusus, kemudian
disarankan untuk menyekolahkan Putra di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus.
Dari situlah saya jadi tahu tentang sekolah inklusif khususnya
di Sekolah Dasar Al Firdaus. Selain itu dikarenakan di SD Al
Firdaus terdapat Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
(PUSPA) yang bagus dan jam sekolah yang agak padat menjadikan
saya dengan mudah bisa menyamakan jadwal kerjanya sama dengan
jam sekolah anaknya. Sehingga setelah selesai kerja anaknya juga
selesai sekolah dan bisa langsung dijemput. Waktu kelas satu Putra
ini setiap makan bersama teman-temannya belum bisa mengambil
sendiri harus ada yang membantu mengambilkan, dan juga tidak ada
respon ketika melihat teman-temanya, selain itu yang terjadi sampai
sekarang tidak pernah mau bercerita kepada saya tentang segala hal
yang dialaminya di sekolah. Putra apabila diejek temannya marah
dan bila ada sesuatu halyang tidak sesuai dengan keinginanya Putra
berteriak dan juga pernah sampai membanting kursi untuk dilempar
keteman yang mengejeknya.
Tetapi setelah tiga tahun bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus dan diterapi di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
(PUSPA), Putra sudah mengalami perubahan yang semula diam saja
ketika melihat temannya, menjadi ada respon walaupun hanya
sedikit. Kemampuan anak saya yang sangat menonjol ada di bidang
pelajaran science atau ilmu pengetahuan alam dan matematika.
Harapan saya setelah Putra bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus yaitu supaya menjadi anak yang bisa mandiri dan memiliki
dasar agama yang kuat.” (Minggu, 11 April 2010).
4.3 Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial di SD Al Firdaus terutama dalam bidang sosial,
pendidikan dan pelatihan ketrampilan komputer dan internet diberikan
kepada siswa difabel, konsultasi, penempatan kerja, dan semua jenis
pelayanan yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kapasitas
dan ketrampilannya secara maksimal sehingga dapat mempercepat proses
reintegrasi dan integrasi sosial mereka.
223
Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus memiliki program khusus bagi
siswa difabel, yaitu program ketrampilan kewirausahaan. Program ini
adalah program belajar yang difasilitasi oleh Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA) diperuntukkan bagi seluruh siswa
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus pada umumnya dan siswa difabel pada
khususnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku
konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), berikut
ini :
“Setiap satu semester sekali, sekolah mengadakan latihan
kewirausahaan bagi seluruh siswa khususnya siswa difabel.
Kewirausahaan tersebut berupa masak memasak dan kemudian
menjual hasil masakannya tersebut. Program ini diadakan untuk
melatih kemandirian siswa dalam berwiraswasta, sehingga
diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri
nantinya. Adapun setiap hari jumat diadakan ekstrakurikuler,
dimana seluruh siswa termasuk siswa difabel diharuskan mengikuti
kegiatan tersebut. Kegiatan ekstrakurikuler ini diikuti salah satunya
oleh Tian dan Iman yang mengikuti taekwondo dan catur.” (Selasa,
23 Maret 2010).
4.4 Akses Pendidikan (kurikulum)
Kurikulum yang diberikan oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus
kepada siswa difabel merupakan kurikulum modifikasi. Kurikulum
modifikasi merupakan kurikulum yang diterapkan pada sekolah reguler
sesuai dengan Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional ditambah
dengan kurikulum individu siswa difabel. Kurikulum individu siswa
difabel ini sifatnya berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan siswa difabel.
Dalam mata pelajaran yang kurang disenangi atau memiliki nilai paling
rendah, biasanya mata pelajaran inilah yang ditambahkan dalam
224
kurikulum modifikasi, seperti yang diterapkan pada Nanda. Menurut wali
kelas Nanda, yaitu Ibu Isna bahwa :
“Nanda itu lemah di mata pelajaran matematika. Lemahnya mata
pelajaran matematika dikarenakan tidak pernah masuk sekolah
setelah operasi kaki (Cerebral Palsy) pada saat kelas 2. Karena mata
pelajaran matematika sifatnya bertahap harus mulai dari dasar, maka
Nanda mendapatkan kurikulum modifikasi khusus pada mata
pelajaran matematika. Karena dasar dari mata pelajaran matematika,
Nanda tidak dapat mengikuti dengan lancar. Ada waktu khusus
dimana Nanda harus mengikuti program intervensi yang
diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
(PUSPA), bertempat diruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan
Khusus (PUSPA) Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus.” (Selasa, 2 Maret
2010)
Kurikulum modifikasi hanya dibuat oleh Konselor Pusat Pelayanan
Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) dan dikonsultasikan oleh guru
pendamping serta wali kelas masing-masing siswa difabel sebelumnya.
Adapun pihak-pihak terkait yang terdapat di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus adalah : Wali kelas, guru pendamping, terapis, konselor, dan
orang tua yang saling bekerjasama demi perkembangan siswa Sekolah
Dasar (SD) Al Firdaus pada umumnya dan siswa difabel pada khususnya.
Kurikulum modifikasi mayoritas diterapkan pada siswa difabel jenis autis
dan gangguan kesulitan belajar, tetapi tidak menutup kemungkinan
bahwa siswa difabel Celebral Palsy juga diberikan kurikulum tambahan
seperti pada kasus Nanda diatas. Kurikulum modifikasi lainnya
diterapkan pada Ian difabel autisme, Iman difabel gangguan sosialisasi,
dan Putra difabel autisme. Menurut penuturan Ibu Ida selaku guru wali
kelas Ian, tentang kurikulum pembelajaran Ian, bahwa :
225
“Dalam kurikulumnya sendiri untuk Ian di modifikasi seluruh mata
pelajaran. Karena Ian tidak dapat mengikuti seluruh mata pelajaran,
dikarenakan mengalami autisme atau keterlambatan berfikir.
Apabila anak lain atau non-difabel jenjang nilai 1-100 maka Ian 170. Khususnya untuk ujian UASBN karena Ian sudah kelas 6,
menurut wali kelasnya tidak ada masalah karena Ian untuk materi
dan pengisian jawaban hanya melingkari tetapi untuk membacanya
nanti harus ada bantuan atau pendamping yang membantu
membacakan soal tetapi tidak mengarahkan kejawaban karena Ian
hanya tidak terlalu suka membaca bila kalimatnya banyak atau
panjang. Ian memiliki fisik kelas 6, tetapi kemampuan akademisnya
kelas 2. Dan menurut ahli terapis diperkirakan bahwa Ian mampu
untuk memiliki kemampuan kelas 6 pada umur 20 tahun nanti.”
(Selasa, 2 Maret 2010)
Ibu Wahyu selaku guru wali kelas Rahman Miftakhur Rahman
terkait dengan kurikulum Rahman, menuturkan bahwa:
“Untuk kurikulum Rahman masih disamakan dengan murid-murid
non-difabel yang lain, karena masih duduk dikelas satu, jadi target
yang harus dicapai Rahman untuk sementara hanya bisa membaca,
menulis, dan berhitung. Belum ada kurikulum khusus bagi anak
kelas satu, dua, dan tiga serta belum ada penjurusan bakat, yaitu
seluruh siswa diwajibkan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
guna mengembangkan bakatnya. Mata pelajaran yang menonjol dan
prestasi Rahman pada mata pelajaran seni khususnya menggambar,
karena Rahman lebih suka menggambar dan mewarnai. Kebetulan
Rahman sebelumnya telah bersekolah di Play Group dan Taman
kanak-kanak Al Firdaus, sehingga guru dan orang tua sudah saling
mengetahui sebelumnya dan memiliki ikatan kerjasama yang kuat
demi perkembangan Rahman. Saat di Play Group dan Taman
kanak-kanak Al Firdaus Rahman pernah menjuarai lomba
menggambar, yaitu sebagai juara I.” (Selasa, 2 Maret 2010)
226
Di dalam kurikulum di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus terdapat
penyaluran bakat dan minat siswa, tetapi di kelas 1 sampai kelas 3 belum
ada pengarahan bakat dan minat. Mulai kelas 4 baru bakat dan minat
siswa diarahkan seperti olah raga contohnya: taekwondo, bulu tangkis,
voli, dan futsal. Kesenian: menggambar, seni musik, menari dan lainya.
Selain Rahman ada juga murid di kelas 2 yaitu Abdul yang juga salah
satu siswa autis. Menurut penuturan ibu Rizka yang selaku konselor di
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini, terkait dengan kurikulum Abdul
bahwa:
“Untuk kurikulum Abdul masih disamakan dengan murid-murid
non-difabel yang lain, karena masih duduk dikelas dua tapi sudah
ada guru pendamping sendiri, jadi target yang harus dicapai untuk
anak masih standar yang sama yaitu baca, tulis, dan berhitung tapi
masih di arahkan atau dibantu dengan guru pendamping. Dan untuk
bakat yang menonjol Abdul ini memiliki bakat berhitung atau bakat
di pelajaran matematika, Abdul kemampuan matematikanya sudah
mampu membilang sampai dengan 10 000, dan juga sudah mampu
menjumlah dengan cara meyimpan dan mengurang dengan teknik
meminjam dan sudah dapat menyelesaikan tugas berhitung dengan
cepat.” (Selasa, 2 Maret 2010)
Di kelas tiga juga terdapat siswa penyandang autis yang memiliki
kemampuan di bidang pelajaran sains atau pengetahuan alam, siswa ini
bernama Putra. Menurut pernyataan ibu Isna selaku wali kelas dan juga
bapak Joko selaku guru matematika bahwa:
“Untuk kurikulum Putra diberikan kurikulum yang sama dengan
murui-murid lain tetapi apabila terlihat mengalami kesuliatan
sekolah memberikan guru pendamping dan diberi program
intervensi di Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA).
Untuk Putra ini dalam minat dan bakatnya sudah terlihat tetapi baru
227
dikelas empat nanti baru dapat diarahkan minat khususnya dan juga
ada program prengembangan diri. Tapi untuk minat dan bakatnya
Putra ini sudah terlihat sejak dini yaitu di bidang ilmu pengetahuan
atau sains dan juga di mata pelajaran matematika Putra ini
mempunyai nilai yang lumayan bagus, tidak kalah dibandingkan
dengan sisiwa non-difabel yang lain. Selain itu Putra ini suka
membaca sesuatu tentang ilmu pengetahuan atau sains apalagi
mengenai tata surya dan susunannya, Putra ini sudah bisa
menjelaskan atau mempersentasikan di hadapan para siswa kelas
dua bagaimana terjadinya tata surya dan penjelasannya dengan
lancar. Walaupun suka membaca tapi Putra ini malah tidak suka
kalau disuruh menulis terlalu banyak.” (Selasa, 2 Maret 2010)
Sementara itu di kelas empat terdapat dua siswa difabel yang memiliki
kecacatan yang berbeda yaitu Tian yang secara kasat mata kecacatannya
itu sudah tampak karena Tian ini penderita Celebral Palsy yaitu
kerusakan otak saraf khususnya pada Tian otak bagian kanan, yang
menyebabkan pertumbuhan tulang Tian menjadi lain dan terhambat.
Selain Tian ada siswa yang bernama Iman yang menderita kesulitan
belajar. Menurut penuturan wali kelas bahwa:
“Tian untuk secara umum tidak ada masalah mengenai kurikulim
belajar, secara umum baik dan dapat mengikuti pelajaran dengan
lancar tanpa ada hambatan walaupun kondisi fisik Tian sendiri
seperti itu (terbatas karena kecacatan pada tanganya), untuk menulis
Tian menggunakan tangan kiri dan untuk penyaluran bakatnya
sendiri Tian justru memilih mengikuti kegiatan olahraga taekwondo
walaupun secara fisiknya atau tangan kanannya yang kurang
sempurna namun Tian dapat mengikutinya dengan baik.” (Selasa, 9
Maret 2010).
228
Berbeda dengan Iman apabila dilihat dari penampilan fisik Iman
memang tidak terlihat kekurangan sama sekali tetapi untuk akademik
baru terlihat kekurangan Iman. Hal ini sesuai dengan penuturan bapak
Agus :
“Iman di dalam kurikulum sendiri mengikuti kurikulum modifikasi
dikarenakan Iman masih mengalami kesulitan mengikuti kurikulum
umum yang diberikan kepada teman-teman satu kelasnya
kesulitannya antaranya, kurang bisa fokus dan kurang bisa
memahami perintah atau tugas yang harus dilakukan atau
dikerjakan. Untuk memahami dan menghafalkan dalam bentuk
kalimat yang panjang masih susah, selain itu kemampuan
menulisnya juga masih kurang belum bisa menggunakan huruf
kapital dengan benar. Dan untuk di pelajaran matematika Iman
masih susah atau kesulitan menghitung dengan perkalian yang besar
dan belum paham dengan konsep pembagian. Maka dari itu untuk
Iman kurikulumnya masih harus ikut di modifikasi apabila murid
yang lain 20 soal untuk Iman hanya 15 soal, dan untuk waktu
mengerjakan tugas yang lain 2 jam untuk Iman hanya 1jam, Iman
untuk masalah akademis masih jauh dibawah anak yang
berkemampuan normal dan oleh sebab itu Iman dikategorikan
sebagai Anak Berkebutuhan Khusus dan harus diberi terapi dan guru
pendamping dari Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
229
(PUSPA). Untuk penyaluran bakat khususnya sendiri Iman lebih
suka ke seni, khususnya pada seni tari dan selain itu prestasi di bakat
khususnya ini sudah sampai di tingkat provinsi yaitu menjuarai
lomba tari se Jawa Tengah. Dan untuk pelajaran yang paling
menonjol sendiri Iman memiliki nilai lebih pada bahasa jawa.”
(Selasa, 9 Maret 2010).
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus memiliki target output bagi siswa
difabel yang berbeda, sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa.
Selain itu juga melihat bakat dan minat siswa yang satu dengan yang
lainnya. Pada umumnya setiap siswa harus dapat menguasai materi atau
kurikulum yang sudah diberikan sekolah agar dapat melanjutkan ke
jenjang yang selanjutnya. Hal ini seperti yang telah disampaikan salah
seorang orang tua murid yaitu ibu Karmita orang tua Putra yang
mengatakan bahwa:
“Harapan saya setelah Putra ini bersekolah di Sekolah Dasar (SD)
Al Firdaus supaya menjadi anak yang bisa mandiri dan kelak bisa
hidup sendiri mandiri tanpa harus menggantungkan ke orang lain.”
(Minggu, 11 April 2010).
Selain ibu Karmita orang tua Putra ada juga orang tua siswa yang
anaknya juga salah satu siswa difabel atau berkebutuhan khusus yang
mempunyai harapan lain seperti yang diutarakan ibu Siska orang tua dari
Abdul yaitu:
“Setelah anak saya bersekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus
supaya lebih bisa tergali bakat-bakatnya dibidang yang menonjol
seperti pada matematikanya.” (Minggu, 11 April 2010).
Hal ini seperti yang diutarakan ibu Trisno orang tua Tian siswa
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yang mempunyai keterbatasan Celebral
Palsy mengatakan harapannya seperti berikut ini:
230
“Harapan saya setelah anak saya sekolah di Sekolah Dasar AL
Firdaus ini, anak saya supaya lebih bisa beradaptasi dan berinteraksi
dengan orang lain dan tidak minderan.” (Minggu, 11 April 2010).
Selain out put yang diinginkan atau diharapkan dari orang tua,
sekolah sendiri juga memberikan target dan tujuan out put yang harus
dicapai seperti yang diutarakan guru wali kelas Ian ibu Ida berikut ini:
“Saya mendidik Ian supaya menjadi anak yang lebih mandiri dan
bisa hidup tanpa bantuan oaring lain sampai saya memaksa orangtua
Ian apa yang harus dilakukan dirumah dan di sekolah harus sama,
jadi program atau tindakan yang dilakukan Ian harus diselaraskan
baik di rumah maupun disekolah ini perlunya kerjasama antara kami
dari pihak sekolah dan orang tua Ian yang mengawasinya di rumah.”
(Selasa, 9 Maret 2010)
Alumni siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus baru 1
orang siswa yang lulus dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah
Menengah (SM) Al Firdaus, sehingga perkembangan anak tersebut
hingga kini tetap dipantau oleh guru-guru dari Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus. Siswa tersebut penderita IQ rendah atau gangguan belajar
ringan, dimana dia sudah dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan
baik.
Semua orang tua yang memiliki anak difabel tentunya merasakan
kesulitan yang tidak terbayangkan sebelumnya dengan kehadiran anak
tersebut. Sebagai orang tua, umumnya ingin selalu memberikan sesuatu
yang terbaik bagi semua anak-anak kita baik anak yang difabel maupun
non-difabel. Orang tua melalui Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah
Dasar (SD) Al Firdaus telah mempercayakan pendidikan anaknya mulai
dari melatih kemandirian, menanamkan nilai-nilai sosial, sampai dengan
231
mempersiapkan masa depannya. Kurikulum yang disusun oleh SD Al
Firdaus adalah untuk :
3.4.1
Melatih Kemandirian
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Karmita selaku
orang tua Putra, sebagai berikut :
“Saya sekolahkan Putra di sekolah inklusif Sekolah dasar
(SD) Al Firdaus, agar Putra bisa mandiri. Kalau saya
sekolahkan di Sekolah Luar Biasa, tentu saja dia hanya
bergaul dengan anak-anak autis lainnya, malah akan tidak
mandiri nantinya. Beda kalau saya sekolahkan di sekolah
inklusif kan mau tidak mau dia harus berinteraksi dan
bersosialisasi dengan anak-anak non-difabel pada
umumnya, yang akan dapat membantu Putra ke arah
kemandirian. Dari pihak pengajar juga diberikan guru
pendamping khusus dalam menangani Putra. Saya
percayakan Putra pada Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus agar
Putra bisa hidup mandiri saat dewasa nanti” (Minggu, 11
April 2010).
3.4.2
Penanaman Nilai-nilai Sosial
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida selaku wali
kelas Ian, sebagai berikut :
“Ian sekarang jika bertengkar atau berbuat salah kepada
orang lain, dia tidak segan-segan untuk langsung meminta
maaf, itulah yang saya tanamkan dari dasar Ian masuk
sekolah. Walaupun pada kenyataannya Ian sering berbuat
salah dan sering meminta maaf. Ian juga tidak pernah
menyentuh barang yang bukan miliknya, sekalipun sebuah
koran yang disediakan untuk umum, karena Ian merasa
koran itu tidak ada yang memilikinya dan bukan miliknya.
Jika Ian ingin meminjam selalu meminta ijin terlebih
dahulu, sehingga jika ingin ijin membaca koran, dia
bingung, mau ijin kepada siapa.” (Selasa, 23 Maret 2010).
232
3.4.3
Mempersiapkan Masa Depan
Setelah anak mulai terlepas dari “ketidakberdayaannya”,
maka perlu untuk mengembangkan minat anak pada dunia.
Orangtua harus memperhatikan arah minat anak karena akan
membantu masa depan anak kelak. Berbagai alternatif kegiatan
bisa
diperkenalkan
menyanyi,
kepada
memasak,
anak,
komputer,
seperti
olahraga,
menggambar,
dan
lain-lain.
Pengembangan minat tersebut dapat mengupayakan penggunaan
kelebihan anak untuk mengatasi kekurangannya.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Retno selaku
orang tua murid, sebagai berikut :
“Anak saya Tian saya ikutkan berbagai macam kegiatan di
sekolah dan dirumah, biar tidak minder dan memiliki rasa
percaya diri. Di sekolah Ian ikut ekstrakurikuler taekwondo
dan catur, kegiatan ini positif bagi perkembangan anak
saya. Setiap ada perlombaan juga saya ikutkan, biasanya
dia ikut lomba gambar. Saya sering mengikutkan berbagai
macam perlombaan agar dia mampu berinteraksi bertemu
banyak orang asing dan rasa percaya diri itu muncul.
(Minggu, 11 April 2010).
Menurut penuturan Ibu Rizka selaku konselor Pusat
Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), bahwa :
“Nanda baik dirumah maupun disekolah diikutkan dengan
kegiatan menyanyi. Sedangkan Ian ditajamkan lagi dengan
berbagai macam hafalan-hafalan surat Al-Qur`an, dan Putra
ditajamkan lagi pada hal science, karena Putra sangat
berbakat dalam bidang science. Untuk Abdul dan Rahman
belum diikutkan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah karena
masih kelas I dan kelas II. Kegiatan ekstrakurikuler yang
merupakan pengembangan bakat anak diperuntukkan bagi
siswa yang sudah kelas III, IV, V, dan VI.” (Selasa, 9 Maret
2010).
233
Lembaga pendidikan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus menyediakan aksesibilitas dan
fasilitas bagi perkembangan siswa difabel. Berdasarkan data dan informasi yang peneliti peroleh dilapangan maka berikut
ini peneliti menyajikan matriks tentang Aksesibilitas Sekolah Dasar Al Firdaus :
234
Matriks 3.6
Aksesibilitas Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus bagi Siswa Difabel
No
BENTUK AKSESIBILITAS
1.
SARANA DAN
PRASARANA
Kursi Roda
INFORMASI DAN
KOMUNIKASI
Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA)
2.
Ayunan
Layanan Internet dan Komputer
3.
Trampolin
Mendapatkan pelayanan kesehatan
4. Alat memasak
Mendapatkan Pelayanan Sosial
5. Alat bantu praktikum
Mendapatkan guru pendamping
6. Alat musik
7. Bola dan guiding block
8. Puzzle
9. Gambar-gambar dan balok
10. Alat bantu dengar
Sumber : Data Diolah, Mei 2010
235
SOSIAL
Mendapatkan pendidikan
dan pelatihan ketrampilan
komputer dan internet
Konsultasi dan
penempatan kerja
Mendapatkan latihan
kewirausahaan
PENDIDIKAN
Mendapatkan kurikulum
yang sama dengan siswa
non-difabel
C. PEMBAHASAN
Pendidikan merupakan suatu kegiatan (formal/ nonformal) yang
diselenggarakan oleh orang dewasa (orang yang matang dalam pemikiran) kepada
anak-anak dalam rangka membuka, mengembangkan, dan meningkatkan
pengembangan psikologis, mental, dan akademis dengan pengertian untuk membuat
mereka menjadi mandiri secara individu. Proses yang dimaksud mencakup setiap
anak terlepas dari suku, jenis kelamin, status sosial, kecacatan, bahasa, kebangsaan
(pendidikan untuk semua). Dua hal terpenting yang berperan dalam mempercepat
kesuksesan pelaksanaan pendidikan inklusi adalah kebijakan yang berfokus untuk
memfasilitasi dan memberi akses bagi mereka yang berkebutuhan khusus, dan
bagaimana sikap atau opini masyarakat yang menyangkut interaksi dengan anak-anak
atau mereka yang berkebutuhan khusus.
Fenomena yang ada saat ini bahwa anak–anak difabel mulai mendapatkan
haknya dalam bidang pendidikan, yaitu pendidikan yang setara dengan anak-anak
non-difabel, melalui adanya sekolah inklusif, khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus Kota Surakarta. Siswa difabel merupakan salah satu individu yang memiliki
peranan penting dalam masyarakat, jika dari dalam diri difabel itu sendiri tidak
memiliki kemauan untuk berubah, maka proses belajar tidak akan terjadi, dan sekolah
inklusif tidak akan terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya.
Siswa difabel memiliki kemauan untuk mendapatkan kesetaraan dalam bidang
pendidikan dengan siswa non-difabel dan ikut bersaing dalam pendidikan. Untuk
mewujudkan
cita-cita
dalam
mencapai
tujuan
tersebut,
maka
pemerintah
melaksanakan program sekolah inklusif, dan salah satunya yaitu di Yayasan Al
Firdaus Kota Surakarta.
Dalam sekolah inklusif, secara tidak langsung siswa difabel harus mampu
berinteraksi dan bersosialisasi dengan siswa non-difabel demi perkembangannya.
Interaksi sosial siswa difabel, siswa non-difabel, serta guru di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus Kota Surakarta dapat dianalisis dengan teori “Interaksionisme Simbolik”.
i
Interaksionisme simbolik menunjuk kepada jenis interaksi yang sangat khusus antara
individu-individu, yaitu antara siswa difabel, siswa non-difabel, dan guru.
Kekhususan interaksi itu nampak dalam kenyataan bahwa dalam berinteraksi,
manusia tidak hanya memberikan reaksi terhadap tingkah laku atau perbuatan
sesamanya melainkan terlebih dahulu menafsirkan atau memberikan interpretasi
sebelum bertindak.
Menurut teori interaksionisme simbolik, tindakan tidak selalu diarahkan pada
diri sendiri, namun juga ada alternatif-alternatif lain, seperti emosi, luapan perasaan
dan kebiasaan-kebiasaan lain. Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas
yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang
diberi makna. Kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan
menggunakan simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol yang
merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan
sesamanya, dan juga pengaruh pihak-pihak yang terlibat atas interaksi sosial.
Komunikasi melibatkan tidak hanya proses verbal yang berupa kata, frase atau
kalimat yang diucapkan dan didengar, tetapi juga proses non verbal. Proses non
verbal meliputi isyarat, ekspresi wajah, kontak mata, postur dan gerakan tubuh,
sentuhan, artefak, diam, temporalitas dan ciri poralinguistik.
Istilah “interaksionisme simbolik” tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan
khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam
fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama
lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi
ii
manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh
penetapan makna dari tindakan orang lain.
Seperti yang terjadi pada siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus
Kota Surakarta, menurut pengungkapan Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan
Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), bahwa :
“Ian menepukkan tangan, hal tersebut menunjukkan bahwa sedang senang. Ian
sedang berteriak-teriak menggambarkan kalau dirinya tidak suka. Putra
tertawa dan menari-nari menunjukkan bahwa dirinya sedang bahagia. Putra
berteriak serta mengangkat kursi itu menggambarkan kalau dirinya sedang
marah dan ketidaksetujuannya terhadap kehadiran atau perlakuan orang lain
padanya.” (Selasa, 23 Maret 2010)
Adakalanya senyuman merupakan simbol dari ketidaksukaannya terhadap
perilaku siswa difabe. Hal ini seperti yang diungkapkan Ibu Ida selaku guru wali kelas
Ian, sebagai berikut :
“Ketika ada diskusi kelompok, Ian tidak pernah suka dengan hal tersebut,
sehingga Ian suka mengganggu dan mengacaukan kelas. Tetapi ketika Ian
melihat saya tersenyum dan saya merangkulnya, dia langsung tahu apa yang
saya maksud dengan senyuman saya itu. Saya tersenyum tandanya menyuruh
Ian untuk duduk dan diam jika ia tidak ingin ikut belajar kelompok dengan
temannya.” (Selasa, 9 Maret 2010).
Perilaku manusia merupakan suatu rangkaian yang diantaranya terdiri dari
sikap dan tindakan. Sikap merupakan sebuah konsep yang dianggap paling penting
dalam ilmu-ilmu sosial. Mekanisme mental yang mengevaluasi, membentuk
pandangan, mewarnai perasaan dan akan ikut menentukan kecenderungan perilaku
kita terhadap manusia atau sesuatu yang kita hadapi, bahkan diri kita sendiri.
iii
Tindakan sosial diartikan sebagai tindakan yang mempunyai makna atau arti
subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Dalam kaitanya
dengan rasionalitas Marx Weber membagi tindakan sosial ke dalam empat tipe, yang
mana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Keempat tipe
tersebut yaitu : zwerk rational, werktrational action, affectual action, dan traditional
action. Berdasarkan ke empat tipe rasionalitas tersebut. Maka tindakan sehari-hari
yang dilakukan oleh siswa difabel di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta
dapat dikategorikan kedalam tindakan traditional action yaitu dimana tindakan yang
dilakukan para siswa difabel khususnya para penyandang autis adalah atas dasar
kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu, jadi para guru di
Sekolah Dasar Al Firdaus ini memberikan beberapa metode kepada siswa difabel
untuk membiasakan apa yang dianggapnya lemah. Hal ini seperti yang diungkapkan
oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
(PUSPA), sebagai berikut :
“Ketika guru pendamping iman merasa nilai iman dibawah standar siswa pada
umumnya, guru pendamping iman ibu Indi yang mendampingi iman
melakukan metode intervensi kepada iman untuk mengulang dan
membiasakan agar iman ini untuk diberikan tambahan pelajaran khususnya
untuk materi yang mendapatkan nilai buruk, seperti pada pelajaran
Matematika, Bahasa Arab dan Bahasa inggris.” (Selasa, 6 April 2010).
Adapula tindakan yang mencerminkan kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu
yang menjadi ciri tersendiri bagi para siswa difabel khususnya siswa autis. Secara
umum anak autis sulit untuk menerima perubahan secara langsung dan harus ada
pemahaman yang bisa meyakinkan anak tersebut ketika mengalami perubahan dalam
kebiasaan sehari-hari, misalnya yang terjadi pada Putra.
“Pada awal kelas 3 Putra ini sulit sekali beradaptasi dengan waktu ketika pada
kelas 2 jadwal pulang sekolah adalah pukul 13.05 kemudian pada kelas 3
iv
menjadi pukul 15.15. Pada awal sekolah di kelas 3 saat jam 13.05 Putra
menagis dan ingin pulang dikarenakan kebiasaanya di kelas 2 adalah jam
pulang, kemudian dari wali kelasnya dan guru pendamping diberi pengertian
dan dibebaskan untuk sementara asal tidak pulang. Setelah lama-kelamaan
sudah terbiasa di kelas 3 Putra tidak lagi meminta pulang dan sudah mau
mengikuti pelajaran sampai jadwal jam pulang pada pukul 15.15” (Selasa, 6
April 2010).
Hal ini berbeda dengan kasus Ian, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ida
selaku guru wali kelas Ian, sebagai berikut :
“Ian pada awal masuk sekolah di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, dia tidak
mau mengikuti sholat, kemudian guru memberikan penjelasan berulang kali
tentang makna dan cara sholat kepada Ian. Ibu Ida memberikan penjelasan
bahwa saat adzan, Ian harus mengambil air wudhlu, kemudian saat menunggu
qomat, Ian boleh berada di kelas, tetapi setelah qomat harus segera ke masjid
untuk mendirikan sholat. Setelah beberapa bulan proses tersebut berlangsung,
Ian mengikuti aturan sholat yang telah dijelaskan Ibu Ida. Tetapi aturan
tersebut ternyata tidak dapat diterapkan pada sholat Jumat. Karena dalam
sholat Jumat setelah adzan ada dakwah kemudian qomat setelah itu sholat.
Sedangkan Ian sudah terlanjur paham tentang penjelasan pertama dimana
tidak ada dakwah dalam sholat biasanya, sehingga sampai saat ini Ian tidak
bisa mengikuti Sholat Jumat sebagaimana mestinya. Untuk merubah sikap dan
aturan yang seperti ini sangat sulit diterapkan pada Ian, harus mulai dari awal
lagi dan butuh proses yang semakin lama lagi” (Selasa, 23 Maret 2010).
Berkaitan dengan hal diatas manusia sebagai aktor mempunyai kemampuan
untuk memilih. Kemampuan inilah yang disebut Parsons sebagai Voluntarisme, yaitu
kemampuan individu melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari
sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka mencapai tujuan. Hal ini sesuai
dengan salah satu asumsi fundamental teori aksi yang dikemukakan oleh Hinkle yaitu
sebagai subyek, manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan tertentu,
tindakan manusia tanpa ada tujuan dan maksud tertentu.
v
Selain teori interaksionisme simbolik dan teori aksi diatas, penelitian Proses
dan Pola Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah Inklusif di Kota
Surakarta ini juga menggunakan teori kritis dari Max Horkheimer dan Jurgen
Habermas. Di dalam gagasan kritis Horkheimer menitikberatkan pada peran
psikologis sosial dalam menjembatani kesenjangan antara individu dan masyarakat.
Teori kritis bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari
masyarakat rasional dan sekaligus memberikan kesadaran pembangunan masyarakat
yang rasional. Teori kritis yang tampak pada penelitian ini adalah bahwa siswa
difabel mengalami perkembangan psikologis dan ego. Salah satunya yang terjadi
antara lain semangat siswa difabel yang tidak mau kalah dan semangat dalam
memperoleh nilai yang bagus seperti yang di utarakan Iman bahwa:
“Apabila nilai saya jelek dibawah 7 saya harus rajin belajar dan harus
didampingi oleh ibu Indi guru pendamping saya, pokoknya biar nilainya bagus
biar bisa pinter.” (Selasa, 24 Mei 2010).
Selain untuk menunjukkan identitas dan keaktifannya dilingkungan baik
lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal, siswa difabel juga harus
mendapatkan hak yang sama setara dengan siswa non-difabel. Hal ini seperti yang
diungkapkan ibu Ida wali kelas Ian sebagai berikut:
“Materi dan soal yang diujikan di UASBN untuk Ian sama dengan siswa nondifabel hanya cuma masalah membaca soalnya saja yang harus dibantu,
karena Ian ini tidak suka membaca soal-soal yang panjang. Walaupun Ian ini
autis kemampuan akademiknya sama dengan siswa non-difabel jadinya tidak
ada pembedaan atau diskriminasi disekolah ini.” (Selasa, 23 Maret 2010).
vi
Adapun penuturan Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak
Berkebutuhan Khusus (PUSPA) mengenai materi, kurikulum, dan soal ujian siswa
difabel, bahwa :
“Untuk siswa dengan gangguan Cerebral Palsy, yaitu pada Nanda dan Tian,
serta pada siswa yang nengalami gangguan belajar yaitu pada Iman, bahwa
kurikulum, mata pelajaran, dan soal-soal ujiannya adalah sama dengan siswa
non-difabel. Hanya saja ada tambahan pelajaran bagi mata pelajaran yang
dirasa siswa mengalami ketertinggalan atau nilainya buruk. Bimbingan
pelajaran tambahan dilakukan di ruang Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan
Khusus (PUSPA), diluar jam mata pelajaran. Kemudian untuk Abdul dan
Rahman, kurikulum, materi dan soal-soalnya sama dengan siswa non-difabel.
Karena mereka masih menduduki kelas I dan kelas II, maka target
pembelajaran adalah bisa membaca, menulis, dan berhitung, maka seluruh
kurikulum masih sama dengan siswa non-difabel. Berbeda pada siswa autis,
yaitu Ian dan Putra, walaupun mereka juga memiliki kurikulum, mata
pelajaran, dan soal-soal yang sama, tetapi tetap saja ada beberapa faktor yang
dibedakan oleh konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
(PUSPA) disesuaikan dengan kemampuan anak. Dimana contohnya jika Ian,
yaitu target nilainya diturunkan, jika siswa non-difabel yaitu memiliki target
nilai antara 0-100, maka Ian ditargetkan antara 0-70 saja. Pada dasarnya
seluruh kurikulum, materi dan soal yaitu disesuakikan dengan kemampuan
anak.” (Selasa, 9 Maret 2010).
Selain masalah akademis atau kurikulum di sekolah inklusif seperti Sekolah
Dasar Al Firdaus ini juga ada beberapa kendala antara lain dari sisi aksesibilitas
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus Kota Surakarta sebagai salah satu Sekolah Inklusif di
Kota Surakarta, yaitu : fasilitas fisik atau sarana prasarana penunjang. Hal ini seperti
yang diutarakan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan
Khusus (PUSPA), sebagai berikut :
vii
“Untuk penerimaan siswa baru khususnya untuk siswa berkebutuhan khusus
atau siswa difabel kami dari pihak sekolah akan memberikan tes dan
wawancara terlebih dahulu. Kami juga memberikan penawaran dan penjelasan
kepada orang tua calon siswa mengenai masalah fasilitas penunjang belajar
siswa dikarenakan fasilitas yang dimiliki oleh Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus
saat ini terbatas untuk jenis difabel tertentu saja, jadi untuk siswa seperti
contohnya tuna netra kami belum bisa menerima dikarenakan kami belum
memiliki fasilitas bagi tunanetra, seperti huruf braile. Dan untuk siswa yang
memakai kursi roda kami juga belum bisa menerima, karena sekolah kami
tidak memiliki trailler, dimana lokasi ruang kelas kami ada yang dilantai 2,
dan siswa diharuskan mampu untuk menaiki atau menuruni anak tangga.
Kami tidak memiliki fasilitas trailler untuk menaiki dan menuruni tangga
menggunakan kursi roda. Untuk akses komunikasi dan informasi kami
memang sudah memberikan seperti sekolah lainnya, yaitu berupa komputer
dan internet, dimana seluruh siswa baik difabel maupun non-difabel
mendapatkan fasilitas tersebut. Khusus bagi siswa difabel mendapatkan
fasilitas cek kesehatan, serta bagi siswa autisme kami memiliki berbagai
macam alat bantu seperti trampolin, ayunan, guiding block, bola, dan alat-alat
wiraswasta, untuk membantu mengembangkan ketrampilan dan daya pikir
bagi siswa autis, sehingga diharapkan dengan adanya fasilitas seperti itu siswa
difabel dapat hidup mandiri nantinya.” (Selasa, 9 Maret 2010).
Kritik merupakan refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan
kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri, rasio dalam sejarah serta
bersifat emansipatoris dan untuk melakukan transformasi sosial. Kritik juga
merupakan refleksi atas proses menjadi sadar atau refleksi tentang asal-usul tentang
kesadaran, tidak berpihak kepada kemanusiaan dan melakukan pemberdayaan
sehingga tercipta masyarakat yang berkeadilan.
Ilmu-ilmu kritis berusaha menunjukkan bahwa keajegan-keajegan tertentu
yang merupakan pola hubungan ketergantungan ideologis pada dasarnya dapat
diubah. Habermas menyebut “refleksi diri” (self reflexion). Melalui refleksi ini orang
harus dibebaskan dari segala sesuatu yang mendominasi, yang membelenggu dan
mengarah pada kemungkinan adanya hubungan-hubungan ketergantungan tersebut.
viii
Dalam hubungannya dengan sekolah inklusif di Sekolah Dasar Al Firdaus, baik siswa
difabel maupun siswa non-difabel, tidak ada yang saling mendominasi satu sama lain.
Walaupun mayoritas siswa adalah siswa non-difabel, tetapi interaksi sosial
yang terjalin sangat baik, bahkan dalam hal prestasi, siswa difabel mampu bersaing
dengan siswa non-difabel. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Nanda tentang
interaksi sosial dengan teman-temannya yang non-difabel, sebagai berikut :
”Teman-teman saya baik kok, kalau saya butuh bantuan, mereka mau
membantu, bahkan ada yang mau berteman akrab dengan saya. Dulu pas kelas
2 saya sering diejek ama teman-teman laki-laki saya karena katanya jalannya
seperti bebek, dan mereka mengikut cara jalan saya, tapi ya sudah itu kan hal
biasa, sekarang sudah tidak lagi soalnya sudah dioperasi. Sekarang mereka
semua baik sama saya dan saling menolong. Saat saya bertanya atau belajar
kelompok, teman-teman juga asyik, tidak menjauhi saya, malah selalu
mendekati.” (Selasa, 24 Mei 2010).
Interaksi sosial siswa difabel autis berbeda dengan difabel Celebral Palsy,
dimana para penyandang autis jarang berinteraksi sosial dengan teman-teman nondifabel. tetapi pada umumnya tidak ada hambatan komunikasi dan interaksi sosial
diantara siswa difabel autis dan siswa non-difabel. Hanya saja untuk memulai
komunikasi harus dilakukan berulang kali dan dengan pendekatan yang tidak biasa,
dimana pendekatan tersebut dilakukan berulang-ulang dan secara teratur. Mereka
memiliki dunianya sendiri atau memiliki imajinasi yang tinggi, sehingga jika kita
ingin berkomunikasi harus mampu memasuki dunia imajinasi mereka.
Hanya beberapa orang saja yang ditakuti dan ditaati oleh siswa difabel,
contohnya adalah bahwa Ian hanya takut dan menurut pada 4 orang saja, yaitu :
Kepala Sekolah, Kepala Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), guru
walikelas, dan orang tuanya saja.
ix
Di lingkungan masyarakat anak difabel hingga saat ini masih terkesan harus
“dikasihani” padahal hal tersebut salah, dimana anak difabel harus diajarkan lebih
keras untuk dapat hidup mandiri melalui pendidikan pada umumnya dan pendidikan
inklusif pada khususnya. Masyarakat saat ini harus lebih peka terhadap hak yang
dimiliki oleh anak difabel, salah satunya adalah hak mendapatkan pendidikan dan
pengajaran yang sama dengan anak non-difabel. Melalui pendidikan inklusif inilah
hak anak-anak difabel tersebut didapatkan.
Pendidikan inklusif sebaiknya terus ditingkatkan oleh Pemerintah, tidak hanya
Pendidikan di Sekolah Luar Biasa saja. Sehingga siswa difabel memiliki hak yang
sama dalam bidang pendidikan seperti siswa non-difabel pada umumnya. Memiliki
kurikulum pendidikan yang sama tanpa membedakan kurikulum yang satu dengan
yang lainnya. Bahkan untuk perkembangan interaksi kearah kemandirian siswa
difabel yang bersekolah di sekolah inklusif dan siswa difabel yang bersekolah di
Sekolah Luar Biasa memiliki perbedaan tingkat perkembangannya. Hal ini telah
terbukti seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rizka selaku konselor Pusat Pelayanan
Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), sebagai berikut :
“Kurikulum di Sekolah Luar Biasa lain dengan kurikulum di sekolah inklusif,
selain itu interaksi siswanya juga lebih berkembang, karena mereka berteman
dengan siswa non-difabel. Jika di Sekolah Luar Biasa kan teman-temannya ya
siswa difabel semua, maka tidak akan berkembang nantinya. Memang di
sekolah inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus ini menekankan
pada Interaksi siswa agar dapat mandiri.” (Selasa, 23 Maret 2010).
Namun demikian, sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif tidak serta
merta mau menerima anak difabel pada umumnya, tetapi melalui seleksi tes dan
wawancara, sehingga persaingan untuk mendapatkan hak yang sama dalam
pendidikan dan pengajaran bagi anak difabel juga sangat ketat seperti pada anak non-
x
difabel pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan aksesibilitas yang dimiliki oleh
sekolah inklusif belum selengkap yang dimiliki oleh Sekolah Luar Biasa (SLB) yang
memang dikhususkan bagi siswa difabel. Anak difabel adalah anak yang mampu
berhasil dengan keterbatasannya jika pihak-pihak terkait seperti : keluarga,
masyarakat, dan kalangan pendidik mampu lebih peka terhadap kebutuhan, hak, dan
kewajiban anak-anak difabel, agar di masa mendatang dapat berguna bagi dirinya
sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
xi
BAB IV
PENUTUP
Pada bagian penutup ini, penulis akan memaparkan secara singkat kesimpulan dan
memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian yang
berjudul “Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah
Inklusif di Kota Surakarta”.
Difabel merupakan sebuah fenomena yang sudah tidak asing lagi di telinga
masyarakat. Walaupun sudah lama muncul, tapi masih banyak juga orang tua yang belum
mengerti tentang difabel ini, bahkan mengartikannya dengan anak idiot/ aneh, padahal
difabel adalah semacam keterlambatan perkembangan. Di dalam skripsi ini penulis telah
membahas mengenai aksesibilitas dan interaksi sosial siswa difabel dan non-difabel di
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yang merupakan salah satu sekolah inklusif di Kota
Surakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah inklusif sangat diperlukan demi
perkembangan interaksi sosial siswa difabel dan mempersiapkan masa depannya kelak.
Dengan keterbatasan aksesibilitas yang dimiliki oleh sekolah inklusif, diharapkan
kedepannya mampu menambah aksesibilitas yang diperlukan bagi siswa difabel, karena
pendidikan inklusif sangat dibutuhkan oleh siswa difabel terutama dalam membina
kemandirian, rasa percaya diri, dan interaksi sosial yang nantinya dapat digunakan dalam
masyarakat.
xii
KESIMPULAN
Fenomena yang ada dalam masyarakat sekarang ini adalah semakin
kompleksnya permasalahan yang berkaitan dengan penyandang cacat atau difabel.
Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama
dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut
mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya
mempengaruhi sistem tersebut. Sehingga masyarakat sebagai sistem sosial
berusaha agar fenomena ini tidak lagi menjadi hal yang menakutkan, dan perlu
adanya kerjasama dari berbagai pihak untuk memecahkan persoalan ini.
Gangguan komunikasi pada siswa difabel ditandai tiga gejala utama yaitu
gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi dan perilaku yang stereotipik. Di
antara ketiga hal tersebut, yang paling penting diperbaiki lebih dahulu adalah
interaksi sosial. apabila interaksi sosial membaik, maka seringkali gangguan
komunikasi berkurang dan perilaku akan membaik secara otomatis.
1. Kesimpulan Empiris
Setiap orangtua pasti tidak berharap dan ditakdirkan untuk memiliki
anak difabel, yang mengalami kesulitan dalam hal : bahasa, perilaku, dan
interaksi sosial. Maka yang dapat dilakukan orangtua adalah bertanggung
jawab atas kelangsungan hidup maupun kesejahteraan mereka di kemudian
hari, salah satunya bertanggungjawab dalam hal pendidikan.
Setiap anak memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan.
Melalui pendidikan inklusif, setiap siswa baik itu siswa difabel dan nondifabel mendapatkan materi, kurikulum, tempat, dan waktu pembelajaran yang
xiii
sama tanpa adanya pembedaan. Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus merupakan
salah satu sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif di Kota Surakarta
yang memberikan pelayanan bagi siswa difabel melalui program intervensi
dari Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA), dimana program
intervensi tersebut merupakan program tambahan bagi siswa difabel selain
mereka mengikuti pelajaran di ruang kelas.
Anak difabel memerlukan penanganan secara menyeluruh, yang
tentunya harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, khususnya di bidang
pendidikan. Melalui pendidikan inklusif khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al
Firdaus ini siswa difabel telah banyak mengalami perubahan sikap yang
terkait dengan masalah gangguan interaksi sosial dan sosialisasi. Saat pertama
kali masuk di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, siswa sangat tidak percaya diri,
sulit untuk berinteraksi sosial dan bersosialisasi bersama teman-teman, serta
mempunyai nilai pelajaran yang rendah. Tetapi setelah melalui proses
pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus, siswa difabel kini mampu
berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman non-difabel serta memiliki
rasa percaya diri dan mandiri. Sikap-sikap inilah yang nantinya akan
dibutuhkan oleh para siswa difabel ketika mereka memasuki dunia kerja
maupun untuk bekal hidup di masa mendatang.
2. Kesimpulan Teoritis
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga teori sebagai alat untuk menganalisa permasalahan yang berkaitan
dengan penelitian, yaitu : Teori Interaksionisme Simbolik, Teori Aksi dan Teori Kritis.
Teori Interaksionisme Simbolik menurut George Herbert Mead
menekankan pada tindakan Sosial dari Max Weber. Teori Interaksionisme
xiv
Simbolik menyatakan bahwa perilaku dijelaskan menurut gerak-gerak refleks
yang dipelajari atau yang sudah menjadi kebiasaan, rangsangan-rangsangan
lingkungan, atau proses-proses psikologis yang pada prinsipnya semua itu
dapat diukur secara empiris. Perkembangan kemampuan berkomunikasi
dengan bahasa verbal maupun non verbal bagi anak penyandang autis sangat
lambat, maka segala keinginannya akan diungkapkan secara simbolik sebagai
bentuk komunikasi. Begitu pula bentuk komunikasi orang tua kepada anaknya
yang walaupun verbal, tetapi hanya satu-dua kata saja, karena pemahaman
yang minim dari sang anak.
Istilah “interaksi simbolik” menunjuk pada sifat khusus dan khas dari
interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam
fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu
sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain. Jadi,
interaksi
manusia
dimediasi
oleh
penggunaan
simbol-simbol
dalam
menginterpretasikan makna. Hal ini sangat dibutuhkan oleh Sekolah Dasar
(SD) AL Firdaus ketika menangani siswa difabel dalam hal memahami
seluruh mata pelajaran yang ada, yaitu dengan adanya guru pendamping yang
selalu mendampingi siswa difabel ketika menerima pelajaran di kelas,
kemudian menerangkannya kembali kepada siswa, karena siswa difabel
membutuhkan pemahaman yang berulang kali agar dapat mengerti maksud
dari pelajaran yang didapatkan. Adapula simbol-simbol berupa alat bantu yang
digunakan oleh guru untuk mempermudah menerangkan kepada siswa difabel,
yaitu berupa puzzle, guiding block, dan gambar-gambar. Hal ini dilakukan
xv
oleh para guru pendamping karena siswa difabel khususnya autis hanya dapat
mencerna pelajaran dengan cara memberikan contoh yang konkrit, jika tidak
diberikan contoh yang konkrit, mereka sangat sulit mencerna pelajaran yang
ada. Khususnya pada mata pelajaran sosial dan kewarganegaraan, dimana
mata pelajaran tersebut sebagian besar menerangkan tentang kehidupan
manusia, sehingga guru pendamping selalu memberikan contoh dalam
pelaksanaannya di lingkungan masyarakat.
Selanjutnya teori aksi yang terdapat dalam paradikma definisi sosial yang
menekankan pada tindakan sosial karya Max Weber. Secara definitive Max
Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan
memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar
hubungan sosial untuk sampai pada penjelasan kausal. Dalam definisi sosial
ini terkandung dua konsep dasarnya, yaitu tindakan sosial dan konsep tentang
penafsiran serta pemahamannya.
Menurut teori aksi, tindakan yang dilakukan siswa difabel dengan berinteraksi
dengan siswa non difabel dan guru, muncul dari kesadaran pribadi sebagai
subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek. Dalam hal
ini berlaku pada siswa difabel untuk berinteraksi dalam kegiatan belajar
mengajar sebagai upaya bersama untuk mewujudkan hak-hak difabel dalam
mendapatkan pendidikan yang layak dan setara dengan non difabel pada
umumnya. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu sehingga apa yang dilakukan siswa-siswa
difabel tersebut bukan tanpa tujuan yang jelas, akan tetapi dengan melihat
tindakan mereka mengikuti program tambahan atau intervensi dan terapi
merupakan langkah yang diambil dalam rangka untuk meningkatkan
kemampuan dengan tujuan kesetaraan hak dan kemampuan mereka dengan
siswa non difabel lainnya.
Teori Kritis dalam gagasan kritis Horkheimer menitikberatkan pada peran psikologis sosial dalam menjembatani
kesenjangan antara individu dan masyarakat. Teori kritis bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan
manusia dari masyarakat irasional dan sekaligus memberikan kesadaran pembangunan masyarakat yang rasional.
Anak difabel di masyarakat masih dikesampingkan, dimana mereka masih dikasihani dan tidak diberikan ruang lebih
untuk mengembangkan potensi dan bakat mereka. Anak difabel seharusnya tidak boleh dikasihani, tetapi harus
diberikan pendidikan yang lebih agar dapat bertahan dan bersaing dalam kehidupan masa mendatang. Pendidikan
untuk anak difabel dapat dilakukan melalui pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) serta melalui pendidikan inklusif
khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus.
Pendidikan inklusif adalah program dari pemerintah dimana siswa difabel dan non-difabel dapat belajar bersama di
tempat dan di ruangan yang sama serta mendapatkan kurikulum yang sama, sedangkan di Sekolah Luar Biasa (SLB)
pada dasarnya teman-teman mereka juga merupakan siswa difabel, sehingga dalam pengembangan interaksi sosial
sangat kurang, karena mereka ada pada situasi dimana seluruh teman-temannya difabel semua. Pemerintah telah
memberikan program sekolah inklusif ini dengan merujuk kepada hak-hak difabel, dimana mereka juga berhak
mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang sama.
Perkembangan psikologis siswa difabel yang bersekolah di sekolah inklusif terbukti lebih baik, karena lingkungan di
sekolah inklusif memberikan pengaruh yang sangat baik bagi siswa difabel. Mereka harus dapat berinteraksi dan
xvi
bersosialisasi dengan siswa non-difabel serta harus mampu bersaing dengan siswa non-difabel. Sekolah inklusif selain
menekankan pada bidang pendidikan dimana ruang dan kurikulum yang diberikan oleh siswa difabel sama dengan
siswa non-difabel, juga memberikan pelayanan bagi perkembangan psikologis siswa difabel melalui program terapi
yang khususnya di Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) .
Sehingga output yang ditargetkan oleh sekolah inklusif khususnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus yaitu bagi siswa
difabel dapat hidup mandiri di kehidupan mendatang.
3. Kesimpulan Metodologis
Berdasarkan masalah yang telah dibahas maka penelitian ini
merupakan
penelitian
deskriptif
kualitatif
yang
bertujuan
untuk
menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala, atau keadaan.
Dengan demikian data-data yang telah terkumpulkan dari hasil penelitian
dideskripsikan kemudian disimpulkan sebagai informasi aktual tentang peran
orang dalam penanaman nilai-nilai sosial terhadap anak difabel.
Dalam teknik pengumpulan data, penulis berperan sebagai Human
instrument yang turun ke lapangan untuk mencari, mengumpulkan, dan
mengolah data. Pengumpulan data dilakukan baik interaktif maupun non
interaktif. Metode wawancara mendalam digunakan untuk metode interaktif
dan catatan dokumen dan observasi tak berperan digunakan untuk metode
noninteraktif..
Pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik purposive
sampling, yaitu peneliti memilih informan yang dianggap mengetahui
informasi dan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk
menjadi sumber data yang mantap. Dengan demikian, penulis dapat
memperoleh data-data dari informan yang selain tahu permasalahan penelitian
juga sanggup untuk memberikan data yang penulis butuhkan.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis interaktif.
Reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan dilakukan sejak atau
xvii
bersamaan dengan proses pengumpulan data, sehingga pada akhirnya
mengarah pada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
mantap.
SARAN
Sebagai penutup dalam penelitian untuk penyusunan skripsi yang berjudul
“Pola dan Proses Interaksi Sosial Siswa Difabel dan Non-Difabel di Sekolah
Inklusif di Kota Surakarta” ini penulis mengajukan beberapa saran yang bisa
dipertimbangkan dan ditindaklanjuti.
Untuk masyarakat
Apabila menjumpai anak dengan difabel di sekitar kita, jangan
menghina keterbatasan yang mereka miliki. Karena dukungan semacam
itu dapat meningkatkan semangat anak difabel itu sendiri beserta orangorang disekelilingnya. Apabila mengetahui informasi yang tepat mengenai
difabel itu sendiri khususnya mengenai sekolah inklusif hendaknya dapat
memberikan informasi kepada para orangtua yang belum mengetahui,
untuk selanjutnya dilakukan penanganan secara dini, khususnya di bidang
pendidikan. Di tangan orang yang tepat anak akan mendapatkan intervensi
yang tepat pula.
Bagi orangtua
Diharapkan para orangtua anak penyandang difabel jangan
berhenti untuk selalu mencari informasi dan ikut menyebarluaskan
pengalamannya kepada masyarakat umum melalui seminar ataupun
kegiatan positif lainnya. Seperti yang telah dilaksanakan Komite Sekolah
xviii
Al Firdaus, bahwa organisasi yang terdiri dari orang tua murid dan guru
ini pernah mengadakan seminar pendidikan dengan Kak Seto, kemudian
kegiatan rutin yang dilaksanakan adalah kegiatan outting, dimana siswa
difabel dan non-difabel diberikan kesempatan untuk belajar diluar,
dirumah teman-temannya secara bergantian. Hal ini dilakukan untuk
mengembangkan interaksi sosial bagi siswa non-difabel pada umumnya
dan siswa difabel pada khususnya. Apabila istilah Difabel sudah tidak
asing di telinga masyarakat umum, maka tidak akan ada yang namanya
rasa malu dan ketakutan akan dikucilkan.
Bagi Yayasan Al Firdaus khususnya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus
Berupaya tetap bekerjasama dengan sekolah-sekolah baik itu
sekolah umum maupun Sekolah Luar Biasa demi perkembangan
pendidikan siswa difabel. Tetap memberikan pelayanan yang terbaik bagi
siswa difabel melalui program khusus yang diberikan melalui Pusat
Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA).
Menambah sarana dan prasarana termasuk perbaikan ruangan
Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA) yang dijadikan
sebagai tempat menyendirinya siswa difabel serta perbaikan ruang terapi,
agar siswa difabel yang melakukan terapi maupun konsultasi di ruang
tersebut merasa nyaman serta merubah struktur bangunan sekolah dengan
menambah trailer, sehingga siswa difabel yang menggunakan kursi roda
juga dapat bersekolah di Sekolah Dasar (SD) AL Firdaus.
xix
Saran yang lain walaupun sarana dan prasarana yang ada sudah
cukup memadai, tetapi seharusnya sarana yang ada tidak hanya untuk
siswa autis, celebral palsy, dan hambatan belajar saja, melainkan juga bagi
untuk difabel tuna rungu, tuna netra, tuna daksa, dan lainnya karena pada
hakekatnya sekolah inklusif adalah sekolah umum yang dapat menerima
siswa difabel dari berbagai jenis difabel.
Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus telah menjadi sekolah rujukan bagi
pendidikan inklusif lainnya untuk memberikan layanan bagi siswa difabel
di sekolah lain melalui Pusat Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus
(PUSPA). Hal ini perlu ditingkatkan lagi khususnya dari segi pelayanan
dan manajemennya terkait dengan kepercayaan pemerintah Kota Surakarta
menjadikan satu-satunya Sekolah Dasar (SD) Al Firdaus sebagai sekolah
percontohan pendidikan inklusif untuk sekolah yang lainnya.
Bagi pemerintah
Agar menyediakan sekolah-sekolah umum yang mau dan mampu
menampung anak penyandang difabel (sekolah inklusif) dan lebih
memberikan fasilitas kepada sekolah inklusif guna menunjang pendidikan
bagi siswa difabel, karena saat ini sekolah inklusif yang telah berjalan
dengan baik ternyata belum memiliki fasilitas yang menyeluruh dengan
adanya keterbatasan dana. Selain itu juga pemerintah juga harus
memperhatikan hak-hak anak difabel, apa yang dibutuhkan dan yang
xx
dirasa kurang untuk fasilitas-fasilitas umum untuk para difabel juga harus
ditambah. Seperti kita ketahui bahwa hak-hak dan aksessibilitas difabel
sudah diatur didalam beberapa landasan hukum tentang kesejahteraan
penyandang cacat dan penyediaan aksesibilitas di Indonesia yaitu UU No.
4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Peraturan Pemerintah RI No.43
tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang
Cacat, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI No. 468/KPTS/1998
tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan
Lingkungan, dan beberapa peraturan lainya.
Dalam UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat berkaitan
dengan aksesibilitas disebutkan pada pasal 2 bahwa penyediaan
aksesibilitas
dimaksudkan baik
untuk menciptakan
keadaan
dan
lingkungan yang lebih menunjang penyandang cacat dapat hidup
bermasyarakat sedangkan pada pasal 3 disebutkan peyediaan aksesibilitas
yang dimaksud pada pasal (1) dan pasal (2) diselenggarakan oleh
pemerintah dan atau masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh,
terpadu, dan berkesinambungan.
Jelas sekali amanat dari undang-undang tersebut bahwa pemerintah
dan atau masyarakat wajib menyelenggarakan aksesibilitas terhadap
difabel. Hal tersebut juga diperkuat oleh Peraturan Pemerintah bahkan
Keputusan Menteri Pekerjaan Umun. Selain itu juga pada tahun 2009,
Menteri Pendidikan berhasil menggulirkan peraturan tentang Pendidikan
Inklusi dalam bentuk Surat Keputusan Menteri No. 70 tentang Pendidikan
xxi
Inklusi Untuk Anak-anak Penyandang Cacat dan Anak-anak Berbakat.
Pemerintah bertanggung jawab untuk mengelola pelaksanaan pendidikan
inklusif. Mereka mewajibkan pengelolaan sekolah di masing-masing
Kabupaten dan Kota sementara pemerintah Nasional dan Propinsi akan
berperan sebagai pendukung yang efektif untuk memastikan bahwa
sekolah inklusif mendapatkan dana yang memadai. Oleh karena itu
diperlukan koordinasi yang baik antar bagian (divisi) di Depdiknas. Ini
semua adalah upaya pemerintah untuk terciptanya hak-hak difabel, untuk
memenuhi kebutuhan dan haknya di berbagai bidang khususnya
pendidikan. Di beberapa Negara maju seperti Amerika dan Eropa sudah
terdapat banyak program penempatan kerja bagi para penyandang difabel
dewasa. Hendaknya di Indonesia, dengan keahlian (skill) khusus ini,
mereka diharapkan bisa memperoleh pekerjaan yang layak dalam
masyarakat. Walaupun kesempatan untuk bekerja memang lebih terbatas
pada keahlian (skill) khusus yang harus diberikan dan dikembangkan pada
diri mereka.
Masih banyak hal yang patut kita ketahui dan kita kaji tentang dunia anak
difabel, baik di lingkungan rumah, sekolah dan di masyarakat. Penulis berharap
akan semakin banyak penelitian yang berkaitan dengan difabel dan sekolah
inklusif. Dengan harapan dapat memperbanyak wacana tentang difabel dan
pendidikan bagi siswa difabel selain di Sekolah Luar Biasa itu sendiri. Yang
menjadikan fenomena interaksi sosial siswa difabel di sekolah inklusif ini menarik
xxii
adalah interaksi sosial siswa difabel dan siswa non-difabel, dimana siswa difabel
memiliki gangguan interaksi sedangkan siswa non-difabel memiliki sikap
toleransi yang tinggi terhadap kondisi teman difabel mereka. Sehingga
diantaranya terjalin hubungan interaksi yang baik khususnya bagi siswa difabel itu
sendiri.
Yang menjadikan penelitian difabel ini sulit adalah mencari informasi
langsung dari siswa difabelnya, karena mereka sulit menerima orang baru dan
berbagai bentuk perubahan yang ada, sehingga penulis mendapatkan banyak
informasi dari siswa non-difabel, guru, dan orang tua siswa difabel. Peneliti hanya
mengamati perilaku siswa difabel selama penelitian berlangsung dan mencari
informasi melalui siswa non-difabel, guru, dan orang tua.
Sebagai akhir kata, mudah-mudahan skripsi dapat bermanfaat dan bila ada
saran dan kritik dengan senang hati penulis akan menerimanya sebagai bahan
untuk lebih menyempurnakan skripsi ini.
xxiii
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Salim Choiri. 1999. Pendidikan Inklusif : Teori dan Implementasinya.
Surakarta : PPRR LEMLIT UNS.
Attwood, Tony. 2005. Sindrom Asperge. Panduan Bagi Orangtua dan
Profesional. Jakarta.: PT Serambi Ilmu Semesta.
Brotosedjati, Soebagyo. 2003. Rintisan Pendidikan Inklusi di Jawa Tengah.
Makalah Seminar Dies-Natalis XXVII. Surakarta : UNS.
Demartoto, Argyo. 2007. Menyibak Sensitivitas Gender Dalam Keluarga Difabel.
Surakarta : UNS Press.
Johnson, Doyle Paul. 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Kartono, Kartini. 1990. Pengantar Metode Riset Sosial. Bandung : Mandar Maju.
Koentjoroningrat. 1990. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Moleong, Lexy. J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. 2007. Bandung ; PT. Remaja
Rosdakarya.
Raho, Bernard. 2004. Sosiologi – Sebuah Pengantar. Maumere : Ledalero.
Ritzer, George. 1982. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta : Rajawali
Pers.
xxiv
Ryadi Soeprapto,. 2000. Interaksionisme Simbolik, Perspektiof Sosiologi Modern.
Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar.
Salim, Agus. 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta : Tiara
Wacana.
Santoso, Listiyono. 2007. Epistemologi Kiri. Jogjakarta : Ar Ruzz Media.
Sarwono, Sarlito W. 2005. Psikologi dalam Praktek. Jakarta : Restu Agung.
Slamet, Y. 2002. Metode Penelitian Sosial. Surakarta : UNS Press.
Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik; Perspektif Sosiologi Modern.
Malang : Averroes Press.
Soekanto, Soerjono. 1970. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Universitas
Indonesia.
Sunardi. 1996. Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta : Proyek
PTG.
Susilo, Dwi, Rachmat. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern. Jogjakarta : Ar Ruzz
Media.
Sutopo, H. B. 2002. “Metodologi Penelitian Kulitatif, Dasar Teori dan
Penerapannya”. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Totok, Bintoro. 2002. Penyelenggaraan Pendidikan Bagi Anak Yang Memerlukan
Pelayanan Khusus di Indonesia Dari Waktu ke Waktu. Makalah
disampaikan dalam Seminar Pendidikan Terpadu dan Layanan Anak
Berkebutuhan Khusus. Jakarta.
Vaugn, S, Bos,C.S.& Schuman. 2000. Teaching Exeptional, Diverse, And At Risk
Student in the General Education Classroom. Boston. Allyn Bacon.
xxv
Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi : Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat
Kelas X. Jakarta : PT. Grafindo Media Pratama.
JURNAL INTERNASIONAL
1. Ainscow, Mel. 2006. European Journal of Psychology of Education Vol.
XXI.
Inclusive Education Ten Years After Salamanca : Setting The
Agenda.. United Kingdom : University of Manchester.
2. Schneider, Cornelia. 2009. International Journal of Education Vol I.
Equal is not Enough – Current Issues in Inclusive Education in the Eyes of
Children. Canada : Mount Saint – Vincent University Faculty of
Education.
PENELITIAN TERDAHULU :
1. Annisa, Rizky Aulia. 2005. Peranan Orangtua dalam Membentuk Minat
dan Perilaku Membaca pada Anak Usia Sekolah Dasar. Surakarta : UNS
2. Salim, Abdul. 2005. Uji Model Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkelainan
di Sekolah Umum. Surakarta : UNS.
3. Wijayanti, Paramitha Esti. 2008. Peran Orangtua dalam Penanaman
Nilai-Nilai Sosial terhadap Anak Autis (Studi Deskriptif Kualitatif tentang
Peran Tiga Orangtua Anak Penyandang Autis dalam Penanaman Nilainilai Sosial di Mitra Ananda, PPRBM Prof. Dr. Soeharso, Kecamatan
Colomadu, Kabupaten Karanganyar). Surakarta : UNS.
xxvi
4. Listyaningrum, Winda Tri. 2009. Konstruksi dan Model Pendidikan
Inklusif (Studi Atas Pola Pembelajaran Inklusif di Madrasah Aliya Negeri
Maguwoharjo). Yogyakarta : UGM.
5. Widyamurti, Indah. 2007. Model komunikasi Proses Belajar Mengajar
Antara Guru dengan Siswa Penyandang Tunagrahita (StudiKasus di
Sekolah Luar Biasa C1 AKW "Kumara I" Surabaya). Surabaya :
Universitas Kristen Petra.
INTERNET
1. http://priyadi.net/archives/2006/10/04/penggunaan-istilah-difable-ataudifabel/
2. http://ronawajah.wordpress.com/2008/10/24/mengapa-menjadi-pengemis/
3. http://fisip.uns.ac.id/publikasi/sp2_1_sonhaji.pdf
4. http://puspasca.ugm.ac.id/files/(0512-H-2004).pdf
5. http://www.acehinstitute.org/opini_badruzzaman_mengemis_dalam_buda
ya.htm
6. http://d.scribd.com/docs/c9m3g3utnun0e4590q.pdf
7. http://www.kalbarinfo.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&
id=106
8. http://www.autisme.or.id/berita/article.php?article_id=71
9. http://www.autisme.or.id/welcome/
10. http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial
11. http://mahardika.wordpress.com/2007/05/23/autisme/
xxvii
12. harry.sufehmi.com/archives/2006-10-17-1302/ - 72k
13. http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi
14. http://id.wikipedia.org/wiki/Kontak_mata
15. http://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/sosiologikomunikasi-proses-sosial-dan-interaksi-sosial/
16. http://dahlanforum.wordpress.com/2009/04/20/proses-akomodasi-barudan-kesinambungan-masyarakat-di-tengah-arus-perubahan-sosialmakalah-sosiologi/
17. http://tatangmanguny.wordpress.com/2009/04/21/subjek-responden-daninforman18. penelitian/http://www.forumsdm.org/index.php?option=com_content&tas
k=view&id=807&Itemid=182
19. http://www.scribd.com/doc/20296342/SKRIPSI-Konstruksi-dan-ModelPendidikan-Inklusif-Studi-Atas-Pola-Pembelajaran-Inklusif-di-MadrasahAliyah-Negeri-Maguwoharjo.
xxviii
xxix
Download