BAB IV KESIMPULAN Setelah melakukan beberapa analisa data melalui pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan penelitian ini kedalam beberapa hal pokok untuk menjawab pertanyaan mengenai mengapa terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir pada tahun 2011. Penulis menyimpulkan bahwa dalam kasus revolusi di kedua negara tersebut harus dibedakan antara apa yang menjadi penyebab utama terjadinya revolusi di kedua negara, apa pemicuya dan apa saja yang menjadi faktor pendukung terjadinya revolusi di kedua negara tersebut. Penulis menemukan ada dua hal mendasar dan utama yang menyebabkan terjadinya revolusi di kedua negara tersebut sebagai berikut. 1. Prosperity (kesejahteraan dan persoalan sosial ekonomi). Berlarut-larutnya dampak resesi global pada tahun 2008 ternyata juga ikut berpengaruh pada semakin buruknya ekonomi di kedua negara tersebut, yang berimplikasi pada semakin meningkatnya pengangguran dan meluasnya kemiskinan. Pada puncaknya, masyarakat rela melakukan apapun demi terjadinya suatu perubahan. 2. Outhority (kepemimpinan dan kekuasaan politik). Adanya dominasi kekuasaan rezim penguasa di kedua negara, membuat rakyatnya semakin menderita. Mereka menjadikan kekuasaannya sebagai alat untuk membangun dan memodernisasi otoritarianismenya secara permanen dan rapi, melalui mekanisme pengekangan hak-hak politik rakyat. Khusus untuk di negara Mesir, adanya penerapan konstitusi keadaan darurat (emergency constitution) tanpa pernah melakukan redesain konstitusi ulang, membuat konstitusi tersebut sebagai “endenger absolute constitution” yang melahirkan praktek-praktek politik otoriter. Konstitusi tersebut menjadikan otoritarianisme semakin mengakar kuat di masyarakat Mesir yang berdampak pada berlarut-larutnya kekuasaan terus berada di tangan rezim yang sedang berkuasa. Penulis juga menemukan adanya perbedaan yang sangat signifikan antara penyebab utama terjadinya revolusi di Tunisia dengan penyebab utama terjadinya revolusi di Mesir. Terjadinya revolusi di Tunisia berawal dari adanya faktor sosial ekonomi yang buruk, sehingga memaksa masyarakat Tunisia berani melakukan aksi apapun untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan terhadap rezim berkuasa. Dari permasalahan ekonomi, protes kemudian meluas pada persoalan-persoalan politik, yaitu sistem pemerintahan Ben Ali yang otoriter yang dirasa 1 sangat mengekang rakyatnya. Sementara itu, penyebab utama terjadinya revolusi di Mesir justru bermula dari adanya faktor politiknya yang kotor, yaitu rezim berkuasa seperti dibenarkan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang, yang membuat rakyatnya antipati dan tidak percaya kepada pemimpinnya. Kemarahan rakyat Mesir semakin memuncak ketika mereka menyadari bahwa rezim Husni Mubarak gagal mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi di negaranya, yang berdampak pada semakin banyaknya pengangguran dan kemiskinan. Buruknya perekonomian di negara Tunisia ternyata disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah menurunnya GDP dan GNI negara Tunisia, menurunnya volume ekspor dan terus meningkatnya volume impor, besarnya jumlah pinjaman negara sehingga menyebabkan hutang luar negeri Tunisia semakin membengkak, semakin menurunnya nilai investasi, melonjaknya harga pangan khususnya bahan pokok dan semakin besarnya devisit anggaran negara. Lemahnya peran pemerintah dalam usaha-usaha stabilisasi ekonomi negara menyebabkan semakin bertambah sempitnya ruang gerak pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru di Tunisia, yang akhirnya berdampak pada semakin tingginya tingkat pengangguran dan meluasnya kemiskinan. Disisi lain, meskipun pemerintah Tunisia melakukan pinjaman luar negeri dalam jumlah besar, namun tidak memberikan kontribusi yang nyata bagi perbaikan kesejahteraan rakyat Tunisia. Yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi serta memperkuat kroninya dengan cara melakukan praktek-praktek korupsi dan penyelewengan anggaran negara, sehingga hutang luar negeri dan devisit anggaran negara semakin meningkat. Kenyataan tersebutlah yang menyebabkan timbulnya kemarahan rakyat di Tunisia, yang sebelumnya juga telah menemukan momentum terjadinya revolusi melalui pembakaran diri Muhammad Bouazizi (seorang sarjana yang menjadi tukang sayur) yang kecewa terhadap pemerintah yang tidak menanggapi pengaduannya. Buruknya praktek politik juga membuat situasi di Tunisia semakin memanas, karena banyak masyarakat yang semakin menyadari bahwa pemerintah Tunisia di bawah kepemimpinan Zainal Abidin Ben Ali memainkan praktek-praktek politik yang kotor. Hal tersebut ditandai dengan adanya pengekangan hak-hak politik masyarakat, utamanya kelompok-kelompok oposisi dan penggiat HAM, pemberlakuan sensor media secara ketat, melakukan penahanan dan penyiksaan terhadap lawan-lawan politik, serta adanya pengawasan ketat terhadap mantan2 mantan tahanan politik, bahkan tidak diperbolehkannya melakukan hal-hal yang secara sepihak dianggap berlawanan dengan rezim yang berkuasa. Sehingga banyak masyarakat Tunisia yang tidak berani mengekspresikan pendapat, meskipun hal tersebut mungkin baik untuk kemajuan Tunisia. Meskipun tingkat pendidikan di Tunisia tergolong tinggi dan memiliki kaum intelektual yang tidak sedikit, namun hal tersebut juga tidak mampu membawa Tunisia menjadi lebih baik. Disebabkan adanya dominasi otoritas kekuasaan dalam pembangunan Tunisia. Fakta-fakta di ataslah yang kemudian membuat protes masyarakat di Tunisia semakin meluas ke seluruh penjuru Tunisia, hingga tercetusnya revolusi pada tanggal 18 Desember 2010. Gerakan protes terhadap pemerintah Tunisia itu awalnya diorganisir oleh koalisi intelektual muda dan kaum buruh yang didukung oleh adanya peran media sosial, media massa, dan media cetak. Kelompok tersebut melakukan konsolidasi dan penyebaran informasi yang menyerukan pentingnya melakukan perubahan di negara tersebut. Gerakan perubahan tersebut ternyata mendapatkan simpati dari masyarakat luas di Tunisia. Akhirnya pimpinan-pimpinan kelompok oposisi yang sebagiannya baru pulang dari pengasingan luar negeri menyatukan semua kekuatan yang ada untuk bersama-sama melakukan revolusi. Masifnya protes yang dilakukan oleh masyarakat Tunisia selama hampir 30 hari, baik melalui media sosial maupun turun langsung ke jalanan akhirnya berhasil mencapai puncaknya yaitu menjatuhkan presiden Zainal Abidin Ben Ali dari jabatannya pada 14 Januari 2011. Berbanding terbalik dengan Tunisia, penyebab utama terjadinya revolusi di Mesir pada tahun 2011 diawali dengan adanya situasi politik yang buruk. Hal tersebut disebabkan oleh diterapkannya undang-undang darurat militer sejak tahun 1981, yang memberi wewenang yang luar biasa kepada pemerintah untuk membatasi hak warga sipil Mesir, dengan cara memberikan hak yang luas kepada pihak berwenang untuk menangkap dan menahan seseorang tanpa batas waktu dan alasan. Undang-undang tersebut seperti memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada rezim untuk membuat kebijakan-kebijakan yang sangat otoriter, sehingga masyarakat merasa terkekang. Kondisi pemerintahan yang kaku dan otoriter tersebut menjadi alasan utama masyarakat menuntut perubahan. Dilain sisi, terjadinya penyiksaan terhadap salah seorang warga Mesir yang bernama Khaled Said oleh aparat keamanan Mesir, membuat seorang aktivis media sosial bernama Wael Ghonim turut prihatin atas kesewenang-wenangan di negaranya tersebut. Sehingga berinisiatif 3 untuk menyebarluaskan informasi penyiksaan tersebut ke seluruh penjuru Mesir dengan membuat sebuah akun Facebook bernama “We Are All Khaled Said”. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu masyarakat Mesir untuk melakukan gerakan revolusi. Kondisi perekonomian yang buruk di Mesir juga membuat semakin memuncaknya kemarahan masyarakat terhadap rezim berkuasa, Karena sebagaimana yang terjadi Tunisia, buruknya kondisi perekonomian negara Mesir membuat jumlah pengangguran dan kemiskinan terus menerus meningkat. Masifnya pemberitaan mengenai keberhasilan revolusi di Tunisia juga menjadi efek domino bagi masyarakat Mesir. Keberhasilan revolusi di Tunisia sedikit banyak menginspirasi masyarakat Mesir untuk melakukan hal yang sama di negaranya demi tercapainya suatu perubahan. Akumulasi fakta-fakta diataslah yang kemudian menjadi pemicu dan penyebab munculnya gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah di Mesir, hingga puncaknya terjadilah revolusi pada tanggal 25 Januari 2011 dan berhasil menggulingkan pemimpinnya pada tanggal 11 Februari 2011. Gerakan protes terhadap pemerintah Mesir itu, awalnya diorganisir secara diam-diam oleh kelompok-kelompok intelektual muda yang prihatin terhadap kondisi Mesir dalam lingkup kecil. Adanya informasi yang disebarluaskan oleh aktivis media sosial mengenai penyiksaan dan kebrutalan aparat keamanan Mesir di berbagai media sosial, membuat semakin kuatnya kesadaran kolektif masyarakat Mesir mengenai pentingnya melakukan sebuah gerakan perubahan untuk menggulingkan Husni Mubarak. Gerakan tersebut terus semakin menguat seiring aktifnya konsolidasi tidak langsung melalui media sosial, utamanya Facebook dan Twitter antar aktivis-aktivis revolusi. Setelah gerakan revolusi tersebut meluas keseluruh penjuru Mesir, akhirnya pemimpin-pemimpin kelompok oposisi menyatukan gerakan untuk bersama-sama melakukan revolusi. Selama 18 hari masyarakat Mesir melakukan demonstrasi besar-besaran, baik melalui media sosial maupun turun langsung ke jalanan, akhirnya berhasil menggulingkan presiden Husni Mubarak dari jabatannya pada tanggal 11 Februari 2011. Melalui fenomena yang terjadi di Tunisia dan Mesir diatas, dapat kita ambil hikmah bahwa, seorang pemimpin dimasa yang akan datang hendaknya mampu memberikan keadilan, kesejahteraan dan kebebasan bagi seluruh rakyatnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ramlan 4 Surbakti dalam bukunya “Memahami Ilmu Politik”, yang menyebutkan bahwa salah satu cara untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan bagi seorang pemimpin ialah karena kemampuannya untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat, seperti menjamin tersedianya kebutuhan dasar, fasilitas kesehatan dan pendidikan, sarana produksi pertanian, sarana komunikasi dan transportasi, kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Untuk dapat memberikan kesejahteraan. Selain berlaku adil terhadap seluruh warganya, pemimpin juga harus mampu memberikan peluang untuk mengikut sertakan peran masyarakat dalam pembangunan di negaranya, dengan formulasi program-program yang ditawarkannya. Karena di era globalisasi saat ini, pemimpin yang merasa paling benar dan berlaku sekehendaknya sendiri akan dianggap tidak relevan dalam konteks kemajuan dan pembangunan. Sebaliknya seorang pemimpin justru harus mampu memotivasi masyarakatnya agar selalu partisipatif dan mampu bekerjasama, bersama-sama dalam memberikan konstribusi positif untuk membangun kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik. Ketika seorang pemimpin gagal memberikan harapan-harapan tersebut, maka akan muncul keadaan-keadaan yang oleh Soerjono Soekanto disebut sebagai syarat atau penyebabpenyebab terjadinya revolusi. Maka cepat atau lambat seorang pemimpin tersebut akan kehilangan dukungan dan legitimasinya dari masyarakat yang mungkin sebelumnya mendukung, dan berikutnya masyarakat akan mencari kepemimpinan lain yang dianggapnya lebih baik, sebagaimana yang terjadi di negara Tunisia dan Mesir tahun 2011. 5