BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya isu pencemaran dan keracunan merkuri (Hg)1 yang berdampak sangat buruk terhadap manusia dan lingkungan hidup dan juga dilatarbelakangi oleh pengaturan penggunaan merkuri dan pembuangan limbah industri yang mengandung zat merkuri. Berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ( IPTEK ) dan industrialisasi2 secara global memacu terjadinya pencemaran lingkungan baik pencemaran air, tanah dan udara secara global oleh zat merkuri (Hg) secara berlebihan. Pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh dampak perkembangan industri harus dapat dikendalikan, karena bila tidak dilakukan sejak dini akan menimbulkan permasalahan yang serius bagi kelangsungan hidup manusia maupun lingkungan hidup global. Salah satu contoh isu pencemaran merkuri di Indonesia adalah matinya ribuan ikan akibat aliran limbah merkuri di sungai dan keracunan warga akibat terpapar merkuri di lokasi sekitar penambangan emas di kawasan Aceh jaya. 1 Keracunan merkuri (Hg) juga dikenal dengan istilah mercurialism yaitu penyakit yang disebabkan oleh paparan mercuri dan senyawanya yang efeknya dapat merusak ginjal, otak dan paru-paru, Masran Saimima, 2013, Cited Sabtu, 8 Nopember 2013, http://www.slideshare.net/masransaimima1/ keracunan-merkuri?related=1. 2 Industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi yang mengubah sistem pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Industrialisasi adalah bagian dari proses modernisasi dimana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi. Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Cited Sabtu, 8 Nopember 2014 http://id. wikipedia.org/wiki/Industrialisasi. 1 Yang diindikasikan oleh kadar merkuri pada rambut warga yang mencapai kadar maksimum, hal ini diungkapkan oleh Kepala Bapedal Aceh.3 Beliau mengutip hasil penelitian Kementrian Lingkungan Hidup, dimana responden diteliti berdasarkan kadar merkuri pada rambut. Yang secara statistik menunjukkan bahwa rambut warga setempat sudah terpapar merkuri. Selain itu juga dicurigai bahwa pada air, ikan, rambut manusia dan makhluk hidup lain yang dicurigai terpapar merkuri adalah tanaman. Hal ini terjadi karena tanah berpotensi tercemar merkuri serta sifat merkuri yang tidak terurai, melainkan hanya berpindah antarhewan, tanaman dan manusia.4 Dari isu di atas dapat kita tangkap bahwa logam berat seperti merkuri (Hg) atau yang disebut juga dengan Raksa merupakan satu golongan logam transisi yang berbentuk cair pada suhu kamar dan mudah menguap. Logam merkuri banyak dipergunakan dalam proses penambangan emas skala kecil. Selain untuk kegiatan penambangan emas skala kecil, logam merkuri juga dipergunakan di berbagai bidang kehidupan manusia dan lingkungan. Selama kurun waktu beberapa tahun merkuri telah banyak dipergunakan dalam bidang pertanian dan industri. Merkuri dapat berada dalam berbagai senyawa. Contohnya garam merkuri sering digunakan dalam krim pemutih dan krim antiseptik. 3 KLH, 2012, Pemantauan Penggunaan Merkuri Pada Pertambangan Emas Skala Kecil Di Kecamatan Krueng Sabee, Kab. Aceh Jaya, Provinsi Aceh. 4 Tribun News Regional Sumatra, Rabu, 27 Agustus 2014, “Limbah Merkuri Yang Meracuni Warga Teunon Sudah Diambang Batas Maksimum”, Cited Rabu 5 Nopember 2014, http://www.tribunnews.com/regional/2014/08/27/limbah-mercuri-yang-meracuni- warga-teunonsudah-diambang-batas-maksimum. 2 Saat ini mulailah disadari efek buruk dari zat merkuri bagi manusia dan lingkungan hidup yang sebagian besar dari zat merkuri itu dihasilkan dari sisa industri secara global, menurut United Nations Environment Programme (UNEP) sekitar 10220 ton setiap tahunnya.5 Semua komponen merkuri yang masuk ke dalam tubuh manusia baik dalam bentuk unsur merkuri (Hg0), Merkuri Anorganik (Hg2+ dan Hg22+) dan Merkuri organic (organo mercury), apabila mengendap secara terus-menerus dalam tubuh makhluk hidup seperti manusia, akan menyebabkan kerusakan pada otak, hati dan ginjal. Hal ini disebabkan karena endapan merkuri yang menumpuk berakibat buruk pada sistem saraf pusat.6 Salah satu contoh katastropik7 akibat keracunan zat merkuri bagi manusia dan lingkungan hidup adalah “Minamata Desease” yang terjadi di teluk Minamata Jepang. Dilatarbelakangi oleh kesadaran yang besar akan bahaya keracunan zat merkuri bagi lingkungan hidup dan manusia oleh masyarakat serta Negara-negara di dunia, maka untuk mengatur penggunaan zat merkuri dan mengatur pengelolaan zat merkuri, diadakanlah Konferensi oleh Negara-negara di dunia yang diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Badan PBB 5 UNEP, Mercury Acting Now, Cited (Kamis, 6 Nopember 2014), http://www.unep.org/chemicalsandwaste Portals/9/Merkuri/Publications/Merkuri% 20Acting%20Now.pdf. 6 Zul Alfian, 2006, “Merkuri: Antara Manfaat Dan Efek Penggunaannya Bagi Kesehatan Manusia Dan Lingkungannya, Pidato Pengukuhan jabatan Guru besar Tetap Universitas Sumatra Utara”, USU e repository, Cited Selasa 4 November 2014. 7 Katastropik berasal dari bahasa Inggris yaitu kata “catastrophic” adalah kata sifat turunan dari “catastrophe” yang paling tidak punya dua makna yang cukup berbeda, yaitu (1) titik balik drama dan (2) bencana (besar) mendadak. 3 United Nations Environment Programme. Konferensi tersebut melahirkan Perjanjian Internasional baru yaitu Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013.8 Konvensi Minamata memuat pengaturan tentang penggunaan merkuri dan pengelolaan merkuri bagi masyarakat global. Konvensi Minamata dibuka penandatangannya dari bulan Oktober 2013 sampai dengan Oktober 2014.9 Konvensi Minamata akan mulai berlaku (entry into force) pada tahun 2017.10 Indonesia merupakan salah satu Negara penandatangan konvensi ini, namun sampai saat ini belum ada ratifikasi oleh pemerintah Indonesia ke dalam peraturan hukum nasional. Sementara kebutuhan pengaturan hukum yang tegas akan penggunaan merkuri dan pengelolaan merkuri sangatlah mendesak terutama bagi masyarakat dan lingkungan hidup yang dirugikan olehnya. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan oleh penulis di atas maka dapat ditarik Pemasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu: a. Bagaimanakah urgensi ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 oleh Indonesia ? b. Bagaimanakah tanggung jawab negara terhadap pelanggaran Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 ? 8 Diplomatic Conference for the Minamata Convention on Mercury, Cited (5 Nopember 2014), http://www.unep.org/chemicalsandwaste/MinamataConvention/ DiplomaticConference/tabid/105832/Default.aspx. 9 UNEP Treaty Collections, 2013, Minamata Convention On Merkuri, Article 29, Cited (4 Nopember 2014), http://www.unep.org/hazardoussubstances/Portals/9/ Merkuri/Documents/dipcon/CONF_3_Minamata%20Convention%20on%20Merkuri_ final%2026%2008_e.pdf. 10 Margaretha Quina, 2013, Indonesian Center For Environment Law, “Konvensi Minamata: Persiapan Implementasi Nasional”, Cited (Jumat, 7 Nopember 2014), http://www.icel.or.id/2013/11/28/konvensi-minamata-persiapan-implementasi-nasional. 4 1.3. Ruang Lingkup Masalah Penelitian ini akan mengkaji pengaturan dampak pencemaran dan keracunan zat merkuri kepada manusia dan lingkungan hidup sebagai isu global yang memerlukan pengaturan hukum secara internasional yaitu hukum lingkungan internasional, karena permasalahan ini melibatkan aktor negaranegara, organisasi internasional dan perusahaan industri baik perusahaan nasional, maupun multinasional yang memanfaatkan zat merkuri untuk proses produksinya. Urgensi tentang aturan hukum secara internasional tersebut dijawab oleh Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 yang diprakarsai oleh United Nations Environment Programme (UNEP), maka penelitian ini juga akan membahas tentang dibentuknya konvensi ini. Ruang lingkup yang akan dikaji secara mendalam adalah : 1. Kebutuhan Indonesia meratifikasi instrumen hukum yang mengatur tentang penggunaan dan pembuangan limbah merkuri di bidang industri. Meskipun Indonesia telah menandatangani Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 akan tetapi sampai sekarang belum ada wujud ratifikasi dalam Peraturan perundangan nasional. Maka penelitian ini akan mengkaji urgensi ratifikasi terhadap Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 oleh Negara-negara pesertanya, khususnya Indonesia. 2. Penelitian ini juga mengkaji tanggung jawab negara terhadap pelanggaran Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 serta akibat hukum bagi Indonesia jika meratifikasinya. 5 1.4. Orisinalitas Penelitian Sifat keaslian atau orisinalitas dari penelitian ilmiah mengenai “Ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 Oleh Negara Peserta Bagi Masyarakat Internasional (Khususnya Indonesia) Dalam Mengatur Penggunaan Dan Pengelolaan Zat Merkuri (Hg)” ini melalui pendekatan hukum internasional yang bersifat yuridis normatif, berdasarkan pengamatan penulis dari sumber media seperti internet, merupakan topik penelitian ilmiah yang baru untuk tujuan penulisan skripsi di bidang hukum internasional, namun sebagai pembanding yang menunjukkan orisinalitas penelitian ini maka penulis mencantumkan penelitian sebelumnya yaitu berupa jurnal dalam ilmu hukum, yang berkaitan dengan tanggung jawab Negara terhadap lingkungan hidup dengan topik yang berbeda sebagai berikut: No. 1 Judul Penelitian Penulis Rumusan Masalah Indonesia’s Responsibility For Coral Reef Damage In Kepulauan Seribu Natalia Yeti Puspita,Tisa Windayani, A. Aris Swantoro (Jurnal Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Vol. 25 No. 2) Tahun 2013. 1.How does international law rule on state responsibility for environmental damage within stage territory? 6 2.What is the responsibility of indonesia as a state party to the convention on biological diversity in 1992 with regards to the damage to coral reefs in the kepulauan seribu? 1.5. Tujuan Penulisan Tujuan penelitian ini meliputi : 1.5.1. Tujuan Umum Penelitian sebagai bagian dari proses pengembangan ilmu pengetahuan menempati kedudukan yang sangat penting dikarenakan untuk menemukan halhal baru yang aktual mengenai perkembangan ilmu tersebut, menggali permasalahan-permasalahan yang ada saat ini untuk diungkap keberadaannya, memecahkan masalah yang timbul menjadi penghalang dan penghambat kehidupan secara terfokus dengan solusi-solusi yang praktis, serta mensinergikan antara das sollen dan das sein dengan dikaitkannya antara teori-teori dan hukum positif dan kenyataan yang dihadapi. 1.5.2. Tujuan Khusus 1. Menemukan sebab-sebab yang mengakibatkan Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 belum diratifikasi. 2. Menemukan model praktik realisasi tanggung jawab Negara terhadap pelanggaran Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013. 1.6. Manfaat Penulisan 1.6.1. 1. Manfaat Teoretis Menemukan permasalahan yang perlu diatasi dalam rangka ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 ke dalam sistem hukum nasional Indonesia. 2. Mengkaji dasar ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 dan penerapan ke dalam hukum nasional. 7 1.6.2. Manfaat Praktis Menemukan pola penyelesaian sengketa yang dapat digunakan sebagai dasar pelaksanaan tanggung jawab Negara dalam hal Indonesia menjadi pihak dalam suatu sengketa menurut Konvensi Minamata tentang Merkuri. 1.7. Landasan Teoritis Landasan teori yang penulis gunakan dalam penelitian tentang ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri 2013 ini adalah: 1. Teori-Teori Mengikatnya Hukum Internasional Hukum internasional merupakan keseluruhan kaidah hukum dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara yang bukan bersifat perdata.11 Kaidah hukum dan asas hukum tersebut memiliki sifat mengikat dan berlaku di antara subjek-subjeknya, yaitu negara dan negara serta negara dengan subjek hukum lain bukan negara satu sama lain. Bagaimanakah Hukum Internasional itu dapat mengikat subjek-subjeknya terutama negaranegara, sementara hukum internasional tidak memiliki kekuasaan eksekutif penuh seperti halnya hukum nasional ? Untuk menjawab persoalan tersebut ada beberapa teori yang dikemukakan tentang dasar mengikatnya hukum internasional yaitu: a. Teori Hukum Alam Teori ini merupakan teori hukum yang tertua serta memiliki pengaruh besar atas hukum internasional. Salah satu tokoh teori hukum alam modern adalah Hugo Grotius yang melepaskan teori ini dari sifat keagamaan. Yang 11 Mocthar Kusumaadmadja dan Etty R. Agoes, 2002, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Jakarta, h. 1-2. 8 memandang manusia sebagai makhluk berakal. Menurut para penganut ajaran hukum alam, hukum internasional bersifat mengikat karena hukum internasional itu adalah hukum alam yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Hukum internasional merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam. Kemudian teori ini disempurnakan oleh Emmerich Vattel dalam bukunya Droit De Gens, ia antara lain mengatakan: “ We use the term necessary Law of Nations for that law which result from applying the natural law to nations. It is necessary because nations are absolutely bound to observe it. It contains these preceipts which the natural law dictates to states, and it is no less binding upon them. It is upon individuals.”12 Pada dasarnya teori hukum alam ini berlandaskan pada kaidah moral dan keadilan individual-individual yang membentuk suatu bangsa-bangsa dan kemudian membentuk masyarakat internasional. Sebagai masyarakat internasional harus dapat hidup berdampingan dengan baik satu sama lain. b. Teori kehendak negara (voluntaris) untuk tunduk kepada hukum internasional Teori ini memandang bahwa dasar mengikatnya hukum initernasional adalah berdasarkan atas kehendak negara untuk tunduk pada hukum internasional, pada dasarnya negara merupakan sumber segala hukum dan hukum internasional itu mengikat karena Negara itu atas kemauan sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Tokoh dari aliran ini adalah Hegel, selain itu George Jellineck dengan Selbst-limitation-theorie. Lalu Zorn yang berpendapat bahwa 12 Ibid., h. 46-48. 9 hukum internasional itu tidak lain adalah hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara (Auszeres Staatrecht). Teori ini memiliki suatu kelemahan yang tidak dapat menerangkan secara memuaskan bagaimana caranya hukum internasional yang bergantung pada kehendak negara dapat mengikat negara itu, bagaimana bila suatu negara membatalkan niatnya untuk terikat pada hukum internasional.13 c. Teori mengikatnya hukum internasional berdasarkan kehendak bersama (Vereinbarungs Theorie) Teori ini berusaha mengatasi teori kehendak Negara, dimana Triepel mengungkapkan bahwa hukum internasional itu mengikat bagi Negara bukan karena kehendak mereka satu persatu untuk terikat, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama, yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara, untuk tunduk pada hukum internasional.14 Teori ini juga menerangkan sifat mengikatnya hukum kebiasaan (customary law) yang artinya kehendak untuk terikat diberikan secara diam-diam. Pada hakikatnya teori ini mendasarkan pada persetujuan negara untuk diikat oleh hukum internasional, teori ini memandang hukum internasional sebagai hukum perjanjian antara negara-negara. d. Teori norma hukum sebagai dasar mengikatnya hukum internasional yang dikemukakan oleh aliran objektivis dan Mazhab Vienna. Teori ini memandang bahwa kehendak manusia sebagai subjek hukum saja tidak mungkin menjadi dasar kekuatan hukum yang mengatur kehidupan. 13 14 Ibid., h. 49. Ibid., h. 50. 10 Sebab ia dapat melepaskan diri dari kekuatan mengikat hukum dengan menarik kembali persetujuannya untuk tunduk pada hukum itu. Berdasarkan teori ini persetujuan negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu dan berlaku lepas dari kehendak negara. Jadi norma hukumlah yang merupakan dasar terakhir mengikat hukum internasional. Aliran mengungkapkan ini melandasi tentang pendirian kaidah dasar mazhab viena, (grundnorm) mazhab daripada viena hukum internasional, Hans Kelsen sebagai tokoh yang terkenal dalam aliran ini menganggap bahwa asas pacta sunt servanda sebagai kaidah dasar (grundnorm) hukum internasional.15 Kekuatan mengikat hukum internasional muncul dari kaidah hukum itu sendiri yang dibentuk oleh subjek-subjek hukum internasional. Sebagai contoh apabila suatu perjanjian internasional dibentuk oleh negara-negara, maka pembentuk perjanjian internasional tersebut harus menaati apa yang telah dibentuk dan dikonsensuskan oleh suatu ketentuan hukum yaitu prinsip pacta sunt servanda.16 Pacta harus diartikan secara umum, yaitu setiap pactum atau persetujuan yang merupakan pencerminan dari kehendak dua atau lebih negara untuk mengikatkan diri, sehingga setiap pactum selalu dimaksudkan untuk mengikat berdasarkan hukum internasional. Sedangkan servanda berarti diwajibkan 15 Ibid., h. 52. F. A. Whisnu Situni, SH., 1989, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 2-3. 16 11 (required) oleh hukum internasional untuk dipatuhi (to be observed) dengan itikad baik (good faith).17 e. Teori Fakta Kemasyarakatan (Fait Sosial) dari Mazhab Perancis. Teori ini menghubungkan kekuatan mengikat hukum internasional dengan kenyataan hidup manusia. Teori ini dikemukakan oleh Fauchile, Scelle dan Duguit yang mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada factor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia. Dimana faktor seperti naluri sosial yang dimiliki oleh manusia yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa yang mempunyai kebutuhan untuk bersosialisasi. Jadi kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum internasional itu mutlak perlu untuk terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.18 2. Landasan Teori Tentang Tanggung Jawab Negara Berdasarkan hukum internasional, apabila tindakan suatu negara merugikan negara lainnya, maka negara yang dirugikan atas tindakan negara tersebut berhak akan ganti kerugian. Ganti kerugian bergantung pada keadaankeadaan peristiwa. Kerugian yang menimbulkan pertanggungjawaban suatu negara dapat bermacam-macam jenisnya, yang dapat berupa perbuatan atau kelalaian. Pertanggung jawaban negara diatur dengan ukuran internasional dan bergantung pada hukum internasional, kapan dan sampai dimana perbuatan atau kelalaian itu merupakan kesalahan.19 Secara umum unsur-unsur tanggung jawab negara adalah : 17 Ibid, h. 15. Ibid., h. 53. 19 F. Isjwara SH, LL.M., 1972, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, h. 18 147. 12 1. Ada perbuatan atau kelalaian (act or mission) yang dapat dipertautkan (imputable) kepada suatu negara; 2. Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Teori tentang tanggung jawab negara dapat dibagi menjadi : a. Risk Theory / Teori Resiko yang menimbulkan absolut liability / strict liability / objective responsibility. Yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggungjawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum. Menurut teori ini manakala suatu pejabat negara atau agen negara telah melakukan tindakan yang mengakibatkan kerugian terhadap orang lain maka negaranya bertanggung jawab menurut hukum internasional tanpa dibuktikan apakah tindakan tersebut dilaksanakan dengan maksud baik atau jahat.20 Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak bertanggungjawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian dipermukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.21 20 Huala Adolf, 1989, Aspek-Aspek Negara dalam hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, h. 187. 13 b. Teori kesalahan / Fault Theory yang menimbulkan tanggung jawab Negara subjective / liability based on fault. Yaitu tanggungjawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan perbuatan itu. Menurut JG Starke terdapat batas antara hukum internasional dan hukum nasional ini berkenaan dengan: a. Pelanggaran kewajiban atau kelalaian oleh sesuatu negara yang mengakibatkan pertanggungan jawaban. b. Kekuasaan (wewenang) badan negara yang melakukan kesalahan itu. Pelanggaran atau kelalaian pada instansi terakhir harus merupakan pelanggaran atau kelalaian akan suatu asas hukum internasional. Pertanggungan jawaban negara tidak ada karena hukum nasional saja, negara tidak dapat membela diri dengan mengemukakan bahwa badan yang melakukan kesalahan itu melampaui kewenangannya atau sama sekali tidak berwenang menurut hukum nasional. Apabila hukum internasional mengatakan bahwa negara itu bertanggung jawab maka hukum internasional berlaku, sekalipun menurut hukum nasional tidak. Maka negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk tidak melakukan kewajiban internasional.22 1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian atas suatu pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya akan 22 Ibid, h. 148-149. 14 digunakan untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.23 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.24 Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif yang berarti penelitian yang mengacu pada norma hukum. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif terdiri atas: 1. Penelitian terhadap asas-asas hukum; 2. Penelitian terhadap sistematika hukum; 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; 4. Penelitian sejarah hukum; 5. Penelitian terhadap perbandingan hukum. Penelitian hukum normatif meneliti kaidah atau norma hukum sebagai suatu bangunan hukum yang terkait dengan suatu peristiwa hukum.25 Oleh karena itu penulis menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu dari sejumlah pendekatan yang dikenal dalam penelitian hukum normatif. 23 Bambang Sunggono, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 27-28. 24 Ibid, h. 38. 25 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2009, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 36. 15 1.8.2. Jenis Pendekatan Penelitan hukum normatif pada umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis macam pendekatan yaitu :26 1. Pendekatan Kasus (the case approach); 2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach); 3. Pendekatan Fakta (Fact Approach); 4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical and conseptual approach); 5. Pendekatan Frase (Words and Phrase Approach); 6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach); 7. Pendekatan perbandingan (Comparative Approach). Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Kasus (Case Approach) yang bertujuan mempelajari norma-norma hukum yang diaktualisasikan dalam praktek hukum yang menelaah kasus yang berkaitan dengan aspek hukum dari bahaya pencemaran lingkungan hidup dan keracunan oleh zat merkuri yang dihasilkan oleh industri yang menghasilkan limbah merkuri. Serta pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) yang menelaah mengenai urgensi pengaturan penggunaan serta pembuangan zat merkuri dalam berbagai bidang industri secara global dari perspektif hukum internasional dan pendekatan Fakta (Fact Approach) yang menelaah fakta-fakta mengenai bahaya pencemaran lingkungan hidup dan keracunan oleh zat merkuri yang dihasilkan oleh industri yang menghasilkan limbah merkuri. 26 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 60. 16 1.8.3. Bahan Hukum Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode penelitian hukum normatif sehingga bahan hukum yang digunakan berdasarkan atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat umum, terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau putusan pengadilan, peraturan dasar, konvensi ketatanegaraan dan perjanjian internasional (traktat). Bahan hukum primer bersifat otoritatif yang artinya mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu. Dalam penulisan skripsi ini akan menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan yang lebih khusus. 27 b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar / koran, pamflet, brosur, karya tulis hukum, atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa maupun berita di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, yaitu aspek hukum dari bahaya pencemaran lingkungan hidup dan keracunan oleh zat merkuri yang dihasilkan oleh industri yang menghasilkan limbah merkuri 27 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, h. 144-154, dikutip dari Mukti Fajar MD dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, h. 34. 17 dan mengenai urgensi pengaturan penggunaan serta pembuangan zat merkuri dalam berbagai bidang industri secara global dari perspektif hukum internasional. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu sumber yang menjelaskan bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum dalam karya tulis ini berupa Kamus besar bahasa Indonesia, Ensiklopedia dan lain-lain. 28 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi dokumen, yaitu dalam pengumpulan bahan hukum terhadap sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dengan cara membaca dan mencatat kembali bahan hukum tersebut kemudian dikelompokkan secara sistematis yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian yang bertujuan untuk menyusun skripsi ini. Untuk menunjang penelitian ini maka bahan-bahan hukum diperoleh dari: 1. Pengumpulan bahan hukum primer yang diperoleh dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan Nasional dan perjanjian Internasional (traktat) yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. 2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan secara penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum yang berasal dari buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar koran, pamflet, brosur, karya tulis hukum, atau pandangan ahli hukum yang termuat 28 Amirudin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 30. 18 dalam media massa maupun berita di internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. 1.8.5. Teknik Analisis Teknik pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara, setelah bahan hukum terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa adanya.29 Yang selanjutnya kedua bahan hukum tersebut diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan intepretasi dan selanjutnya diajukan argumentasi. Argumentasi tersebut dilakukan oleh peneliti untuk memberikan penilaian mengenai benar atau salah apa yang seharusnya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dari hal tersebut nantinya akan ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang lain. Selain itu penulis menggunakan teknik analisis yaitu pemaparan secara mendetail dari keterangan-keterangan yang didapat pada tahap sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini sehingga keseluruhannya membentuk suatu kesatuan yang saling berhubungan secara logis.30 Menggambarkan secara lengkap tentang aspek-aspek tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan yang bersangkutan dengan masalah kemudian dianalisa kebenaran tersebut.31 29 Roni Hanitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet. II, Ghalia indo, Jakarta, h. 93. Ibid. 31 Amirudin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 25. 30 19