Penerapan Standar Pelayanan (Winengan) PENERAPAN STANDAR PELAYANAN PUBLIK DALAM PEMBUATAN BUKU NIKAH DI KUA KOTA MATARAM Winengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram Jl. Pendidikan No. 35 Mataram Email: [email protected] Abstrak: Standar pelayanan publik yang kini sudah dirumuskan dalam berbagai regulasi, merefleksikan tingginya espektasi masyarakat terhadap semua institusi pemerintah, tidak terkecuali Kantor Urusan Agama untuk melakukan pelayanan dengan baik. Namun dalam faktanya, adanya sejumlah hambatan yang dihadapi, penerapannya belum sepenuhnya memenuhi standar yang ditetapkan. Mencermati fenomena ini, dilakukan penelitian kualitatif, terhadap para aparatur pelayanan publik yang terdapat di lingkungan KUA Kota Mataram yang ditentukan secara purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, penerapan standar pelayanan kini semakin disadari dan dirasakan urgensinya sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kedua, perbedaan persepsi antara aparatur pelayanan dengan masyarakat pengguna jasa layanan, terutama terkait dengan kebijakan yang menjadi acuan penerapan standar pelayanan dapat menjadi hambatan dalam menghadirkan pelayanan yang berkualitas. Namun adanya upaya sosialisasi sebelum pemberlakukan kebijakan standarisasi pelayanan dapat menjadi faktor pendukung bagi aparatur pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Abstract: Public service standard, a set of guidance which has been defined in several laws, has reflected public’s enthusiasm upon all government institution, it so does to the local office of religious affairs of which the people have wished to increase its public service standard. The facts however, show that it is quite hard to be applied due to some obstacles and the application itself does not meet a minimum standard. Based on these phenomena this research is conducted. The subjects are the officers in local office of religious affairs in the City of Mataram. These subjects are determined through purposive sampling. The result shows that, first, the application of public service standard is necessarily realized by the people so its importance has been recognized in order to improve public service quality. Second, the existence of different perceptions between the officers and the people who use the service in term of the policy which become a guidance to apply service standard becomes the predicament to present high quality service to the people. Socialization effort, however, before the policy is carried out become a supportive factors for the officers to improve public service quality. Kata-kata Kunci: transparansi, pelayanan publik, nikah, birokrasi 1 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014 PENDAHULUAN Dalam sistem adminsitrasi publik, pelayanan publik memiliki peran yang sangat sentral dalam berbagai kehidupan masyarakat, sekaligus berfungsi untuk menjaga eksistensi dan pertumbuhan masyarakat, bangsa, dan negara. Bahkan tujuan utama pembentukan negara (pemerintah) adalah memberikan pelayanan publik yang tidak mampu disediakan sendiri oleh masyarakat dalam rangka mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan. Oleh karena itu, pelayanan publik merupakan ujung tombak interaksi antara masyarakat dan pemerintah, karena ia merupakan implementasi dari kebijakan birokrasi di lapangan. Dalam konsep penyelenggaraan negara, pelayanan publik, yang bermuara kepada kepentingan umum, dirumuskan sebagai salah satu dari tujuh azas umum penyelenggaraan negara, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR RI No. IX Tahun 1998, yang ditindaklanjuti dan dijabarkan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Lebih lanjut dijelaskan dalam UU ini bahwa azas kepentingan publik/umum adalah azas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, dan selektif.1 Pelayanan publik merupakan jembatan bagaimana negara (aparatur birokrasi) menjalankan fungsinya berkaitan dengan pemecahan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Tuntutan karakteristik pelayanan publik yang harus disediakan pemerintah sesuai dengan amanat undang-undang adalah pelayanan publik yang prima (excellent service) yang secara harfiah berarti pelayanan yang sangat baik atau pelayanan terbaik. Tolok ukur pelayan prima ini adalah sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku atau dimiliki oleh instansi yang memberikan pelayanan. Apabila instansi tersebut belum memiliki standar pelayanan, maka tolok ukur pelayanan prima ini adalah kepuasan dari pihak yang dilayani atau pelayanan yang sesuai dengan harapan pelanggan.2 Sedangkan pelayanan publik yang prima dapat dinilai dari proses dan produk layanan. Aspek proses meliputi kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, mekanisme, dan sarana dan prasaranya. Sedangkan aspek produk layanan menyangkut jenis, kualitas, dan kuantitas produk layanan.3 1 Agus Dwiyanto dan Bevaola Kusumasari, Policy Brief: Kinerja Pelayanan Publik (Yogyakarta: CPPS UGM, 2001), 1. 2 Sutopo dan Adi Suryanto, Pelayanan Prima (Jakarta: LAN, 2003), 10. 3 Surjadi, Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik (Bandung: Rafika Aditama, 2012), 10. 2 Penerapan Standar Pelayanan (Winengan) Kualitas pelayanan publik yang dilakukan pemerintah seringkali dianggap sebagai cerminan dari kualitas birokrasi secara umum. Namun jika memperhatikan hak masyarakat atas pelayanan publik yang harus disediakan pemerintah yang begitu luas tersebut, tentu dalam pelaksanaannya tidak mudah bagi pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik yang cukup dengan kualitas terbaik (prima) sesuai tuntutan masyarakat yang terus meningkat seiring dengan perkembangan teknologi, globalisasi, dan demokrasi, karena pemerintah dihadapkan dengan berbagai keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Apalagi dalam pelaksanaannya, pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh sistem dan paradigma berpikir yang melatarbelakangi proses pelayanan itu diberikan kepada masyarakat. Jika sistem dan paradigma berpikir itu dibangun berdasarkan semangat untuk mengatur, bukan untuk melayani, tentu sulit untuk menghadirkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat, baik dalam hal produk maupun proses layanannya. Sejak gerakan reformasi berhasil menggusur rezim Orde Baru, banyak kebijakan yang telah berhasil dilakukan dalam perubahan sistem penyelenggaraan negara di Indonesia, kecuali kebijakan untuk mereformasi pelayanan publik. Demokratisasi yang telah berhasil memperkuat posisi warga melalui pengakuan hak-hak politiknya untuk memilih secara langsung wakil-wakilnya dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga perwakilan ternyata belum berhasil menempatkan warga benar-benar sebagai panglima dalam sistem pelayanan publik. Dalam banyak kasus, warga dan kepentingannya belum berhasil menempati arus utama, bahkan terus tergusur hingga ke pinggiran dalam orientasi pelayanan publik. Akibatnya, warga dan kepentingannya tidak pernah menjadi kriteria utama dalam pengembangan sistem pelayanan publik.4 Sedangkan secara empiris, beberapa faktor yang ditengarai sebagai penyebab masih rendahnya kualitas pelayanan publik ini adalah: 1. Sistem yang berlaku masih belum mengaitkan secara langsung prestasi kerja aparat dengan perkembangan karirnya. Seorang pegawai yang prestasi kerja kurang bagus bisa naik pangkat, dan sebaliknya pegawai yang berprestasi bagus justru karirnya tersendat-sendat. 2. Tidak sebandingnya posisi tawar antara masyarakat dengan pemberi pelayanan. Dalam pelayanan publik, masyarakat seringkali berada pada posisi tawar yang lebih lemah, karena dalam suatu jenis pelayanan, lembaga-lembaga pelayanan publik 4 Agus Dwiyanto, Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), 1. 3 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014 tertentu merupakan satu-satunya yang memiliki otoritas untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat tersebut, sehingga masyarakat tidak memiliki alternatif lembaga lain untuk mencari pelayanan yang dibutuhkan tersebut. Kondisi ini seringkali membuat aparatur pelayanan menjadi arogan, bertindak semaunya, dan memakan waktu yang lama, sehingga memberikan ruang terjadinya rente (pungli) dan praktik percaloan. Contoh, kasus pembuatan SIM di kepolisian, Akte Kelahiran di Dinas Dukcapil, Sertifikat tanah di BPN, IMB di Dinas Tata Kota, dan lain sebagainya. 3. Adanya budaya atau sikap masyarakat sebagai konsumen yang masih belum berani untuk mengadukan jika merasa dirugikan atau tidak puas terhadap suatu pelayanan. Kondisis ini dapat memberikan andil terhadap rendahnya kualitas pelayanan publik.5 Isu tentang rendahnya kualitas pelayanan publik ini merupakan isu sentral yang hampir terjadi pada semua lembaga pelayanan publik yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Sampai saat ini, pelayanan publik masih belum mampu hadir sebagaimana harapan masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih cenderung berorientasi pada kekuasaan (paternalistik), diskrimaninatif, sentralisasi keputusan (tidak ada diskresi), hingga masih adanya pungutan liar dari ketentuan pembiayaan yang telah ditetapkan (rente) merupakan fenomena yang masih melanda pelayanan publik di Indonesia. Buruknya perilaku birokrasi pelayanan publik merupakan salah satu masalah terakut yang dihadapi bangsa Indonesia. Era reformasi politik yang diharapkan memberikan angin segar terhadap perubahan kinerja birokrasi ke arah yang lebih baik dan bersih, ternyata tidak mampu menghasilkan perbaikan kehidupan berarti bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Gerakan perjuangan reformasi birokrasi sebagai suatu gerakan perubahan sistem birokrasi, baik yang berkaitan dengan struktur, proses atau prosedur, sumber daya manusia, dan etika ternyata tidak banyak menghasilkan peningkatan pelayanan publik. Pelayanan publik yang menyentuh langsung hajat kehidupan masyarakat seperti kesehatan, pendidikan, atau yang lebih bersifat hukum administratif seringkali bersifat pilih kasih. Contoh yang sering dilihat adalah bagaimana orang-orang miskin, yang dalam konstitusi seharusnya dipelihara oleh negara, masih sulit merasakan nikmatnya pelayanan maksimal dari rumah sakit umum atau sekolah negeri. Alih-alih gratis, jika ingin menggunakan fasilitas-fasilitas umum 5 4 NTB Post, 17 April 2013. Penerapan Standar Pelayanan (Winengan) tersebut, mereka harus menjangkaunya dengan harga yang sangat mahal. Ataupun kalau murah, seringkali pelayanan yang diberikan jauh dari apa yang diharapkan. Mengingat posisi strategis pelayanan publik dalam menjaga hubungan baik antara pemerintah dan masyarakat, maka upaya untuk mereformasi pelayanan publik sesuai dengan karakteristik sosial budaya masyarakat atau sebagaimana yang diinginkan oleh publik semestinya harus menjadi isu pelayanan yang terus dipikirkan agar mendapat solusi terbaik.6 Rendahnya kinerja pelayanan publik dan minimnya kualitas sumberdaya manusia aparatur merupakan hambatan yang masih terus menghampiri peningkatan kinerja birokrasi Indonesia. Kondisi ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah hingga saat ini. Protes, demonstrasi, pendudukan kantor-kantor pemerintah, dan bahkan perusakan fasilitas-fasilitas publik oleh masyarakat yang banyak terjadi di berbagai daerah menjadi indikator dari besarnya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahnya. Fakta tentang rendahnya kinerja birokrasi Indonesia ini diperkuat lagi oleh hasil survey yang dilakukan oleh Transparancy International yang mengemukakan bahwa Indonesia pada tahun 2013 berada pada posisi ke 114 dari 177 dalam kategori negara paling bersih. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara Asean, seperti Singapura di posisi ke-5, Brunei di posisi ke-38, Malaysia di posisi 53, Filipina di posisi ke-94, dan Thailand di posisi ke-102.7 Di samping itu, tidak adanya standar pelayanan yang jelas membuat praktik pelayanan menjadi sepenuhnya sangat tergantung pada kebaikan hati aparat birokrasi pelayanan. Jika mereka dalam suasana kerja yang baik maka warga pengguna layanan mungkin akan menerima pelayanan yang baik pula. Namun apabila aparat birokrasi yang melayani dalam suasana hati yang buruk maka sikap dan perilaku aparat birokrasi menjadi sangat buruk dan tidak peduli kepada warga pengguna layanan. Praktik penyelenggaraan layanan publik menjadi sangat tergantung pada subjektivitas yang melekat baik pada aparat pelayanan. Persoalan praktik pelayanan publik juga muncul dari prosedurnya yang cenderung kompleks dan panjang. Hal ini terjadi karena semangat pembuatan prosedur bukan untuk mempermudah, menyederhanakan, dan menciptakan kepastian pelayanan, melainkan untuk mengontrol perilaku warga agar tidak melakukan moral hazards, karena itu prosedur pelayanan dibuat lebih sering 6 7 Ahmad Ainur Rohman dkk, Reformasi Pelayanan Publik (Malang: Averroes, 2008), vi. (http/:www.transparency.or/cpi, 2013) 5 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014 untuk mengontrol perilaku warga daripada untuk mempasilitasi praktik penyelenggaraan pelayanan agar dapat dikelola dengan mudah, efisien, dan predictable.8 Tuntutan perbaikan pelayanan akibat realitas rendahnya kualitas pelayanan publik yang dirasakan masyarakat Indonesia ini membuat pemerintah pusat kembali mengeluarkan kebijakan baru untuk meningkatkan pelayanan publik yang dituangkan dalam PP. No. 96 Tahun 2012 sebagai tindaklanjut dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Salah satu poin penting dalam peraturan tersebut adalah keharusan bagi lembaga pelayanan publik untuk memberlakukan dan menerapkan standar pelayanan publik. Kebijakan ini juga dipertegas oleh Kemenpan dan RB, selaku lembaga yang membidangi keberadaan aparatur pelayanan publik, melalui Permenpan dan RB No. 36 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan, Penetapan, dan Penerapan Standar Pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Atau dengan kata lain, standar pelayanan ini merupakan petunjuk dan referensi operasional dalam sistem penyelenggaraan pelayanan publik. Oleh karena itu, keberadaannya dapat dijadikan sebagai instrumen bagi pemberi maupun penerima pelayanan dalam rangka saling memantau dalam suatu pelaksanaan pelayanan publik. Menindaklanjuti kebijakan standarisasi pelayanan publik sebagaimana yang tertuang dalam peraturan pemerintah dan Kemenpan dan RB tersebut, Kementerian Agama RI sebagai salah satu lembaga penyelenggara pelayanan publik bidang keagamaan juga mengeluarkan kebijakan untuk menjamin dan mendukung terselenggaranya penerapan standar pelayanan publik pada lembaga-lembaga pelayanan publik di bawah tanggung jawabnya. Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Sekjen Kementerian Agama RI No. SJ/B.IV/2/OT.00/296/2014. Kebijakan ini juga dikeluarkan sebagai respon atas telah dilaksanakannya penilaian pelayanan publik di lingkungan Kementerian Agama RI oleh Ombusdman RI. Berdasarkan kebijakan yang tertuang dalam SE Sekretariat Jenderal ini, terdapat 30 variabel yang menjadi sasaran perbaikan yang harus dijalankan oleh aparatur publik di lingkungan Kementerian Agama RI dalam memberikan pelayanan publik. Salah satu pelayanan publik bidang keagamaan yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama RI adalah pelayanan untuk memberikan legalitas terhadap praktik perkawinan masyarakat dengan menerbitkan buku catatan nikah. Keberadaan buku 8 6 Dwiyanto, Manajemen..., 79. Penerapan Standar Pelayanan (Winengan) nikah ini sangat penting, karena tanpa buku nikah, kerap kali pasangan suami-istri dituduh pasangan ilegal. Di samping itu, jika buku nikah tidak dimiliki, maka akan menyulitkan masyarakat dalam mengurus administrasi keluarga dan identitas kewarganegaraan. Sebagai contoh, pengurusan kartu keluarga, KTP, akta kelahiran, dan paspor mengharuskan buku nikah ini sebagai salah satu persyaratannya.9 Dalam pengelompokkan layanan publik, penyediaan layanan pembuatan buku nikah ini termasuk jenis pelayanan administratif, dan secara institusional lembaga yang memiliki otoritas atau wewenang untuk menyediakan layanan ini adalah Kantor Urusan Agama yang berada di tiap-tiap kecamatan. Di NTB, sebagaimana dikatakan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama NTB, Usman, kebutuhan terhadap buku nikah ini termasuk yang tertinggi di Indonesia. Setiap tahun jumlah kebutuhannya mencapai 25.000 eksemplar. Lebih lanjut menurut Usman, daerah dengan peringkat kebutuhan buku nikah tertinggi di Kota Mataram, yang tipenya lebih 100 orang yang menikah dalam sebulan. Disusul Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Barat, dan seterusnya di Pulau Sumbawa yang masuk tipe lebih rendah karena kurang dari 100 orang yang menikah dalam sebulan. Namun, sejak Mei tahun 2013, masyarakat Kota Mataram mengalami kesulitan untuk mendapatkan buku nikah tersebut. Hampir semua pasangan warga yang melakukan pernikahan tidak bisa langsung menerima penyerahan buku nikahnya. Hambatannya, Kementerian Agama (Kemenag) belum mendistribusikan buku nikah tersebut karena masih dalam proses pengadaan buku nikah.10 Berdasarkan fenomena empirik di atas, penelitian ini menemukan relevansinya untuk dilakukan apalagi terkait dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI untuk meningkatkan kualitas pelayanan publiknya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana aparatur publik Kementerian Agama RI di Kantor Urusan Agama Kota Mataram yang menangani layanan pembuatan buku cacatan nikah memiliki komitmen untuk menjalankan standar pelayan publik sebagaimana kebijakan yang tertuang dalam Surat Edaran Sekretariat Jenderal Kementrian Agama RI Nomor: SJ/B.IV/2/ OT.00/296/2014. METODE PENELITIAN 9 Lihat, syarat pembuatan paspor di Kantor Imigrasi atau pembuatan Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga di Kantor Dinas Dukcapil. 10 www.tempo.com, 5 Februari 2014. 7 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014 Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati yang dapat menggambarkan kondisi obyektif fenomena permasalahan yang diteliti pada saat dilakukan penelitian.11 Subyek penelitian ini adalah para aparatur pelayanan publik yang terdapat di lingkungan Kantor Urusan Agama se-Kota Mataram. Sasarannya adalah untuk mendapatkan informasi atau data terkait dengan standar pelayanan publiknya serta penghambat dan pendukung dalam melaksanakan standar pelayanan publik tersebut pada layanan pembuatan buku catatan nikah. Teknik penentuan subyek yang digunakan adalah purposiv sampling, yaitu teknik penentuan sampel penelitian untuk tujuan tertentu.12 Berdasarkan teknik ini, subyek penelitian ditetapkan sebagai berikut: Kepala Kantor Urusan Agama, Bagian Pendaftaran, Bagian Proses Pembuatan, dan Penyerahan. Sejumlah data yang diperoleh melalui observasi, wawancara dan dokumentasi, dianalisis secara langsung, tanpa harus menunggu terkumpulnya data secara keseluruhan. Analisis dilakukan dengan logika ”induktif-abstraktif”,13 dengan mengacu pada konsep Milles dan Huberman yang disebut dengan interactive model yang terdiri dari tiga alur yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Standarisasi dalam Pelayanan Pembuatan Buku Nikah Peningkatan kualitas pelayanan publik merupakan isu sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan yang didiharapkan dapat memperbaiki kembali image pemerintah di mata masyarakat, karena dengan kualitas pelayanan publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa dibangun kembali. Jika hal ini dapat dilakukan, pemerintah akan dapat memperoleh kembali legitimasi di mata publik. Seiring dengan perkembangan masyarakat yang mengarah kepada pemenuhan kebutuhan secara efektif dan efisien, memberikan pelayanan publik yang memuaskan merupakan kata kunci bagi kinerja birokrasi.14 11 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakarya, 2007), 4. Sugiono, Metode Penelitian Administrasif (Bandung: ALFABETA, 2001), 62. 13 Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodelogis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 64. 14 Dwiyanto, Reformasi, xi. 12 8 Penerapan Standar Pelayanan (Winengan) Selama ini penyelenggaraan pelayanan publik telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan publik yang memuaskan karena orientasi pada kekuasaan yang sangat kuat. Lambannya pelayanan hingga masih adanya pungutan liar dari ketentuan pembiayaan yang telah ditetapkan, merupakan fenomena yang masih terjadi di berbagai pelayanan publik. Di samping itu, sebagian besar pola pikir aparatur pelayanan publik di Indonesia masih didominasi oleh pikiran dan perilaku “dilayani”, “menghambat”, “mempersulit”, “memperumit urusan sederhana”, dan “tertutup”.15 Birokrasi dan para pejabatnya lebih menempatkan diri sebagai penguasa daripada sebagai pelayanan masyarakat. Akibatnya, sikap dan perilaku birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik cenderung mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Berkembangnya budaya paternalistik juga memberikan andil dalam memperburuk sistem pelayanan publik melalui penempatan kepentingan elit politik dan birokrasi sebagai variabel dominan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Elit politik, birokrasi, dan orang-orang yang dekat mereka seringkali memperoleh perlakuan istimewa dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akses terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan publik seringkali memperlihatkan perilaku diskriminasi tergantung pada kedekatannya dengan elit birokrasi dan politik. Hal ini sering mengusik rasa keadilan dalam masyarakat yang merasa diperlakukan secara tidak wajar oleh birokrasi publik.16 Aspek-aspek inilah yang membuat proses peningkatan pelayanan publik yang berkualitas seringkali mengalami hambatan. Pelayanan pembuatan buku nikah merupakan jenis pelayanan publik di bidang keagamaan yang disediakan pemerintah yang secara teknisnya diselenggarakan oleh Kantor-Kantor Urusan Agama yang berada di setiap kecamatan. Kepemilikan buku catatan nikah merupakan salah satu identitas penting bagi setiap warga negara Indonesia yang dimaksudkan sebagai bukti dan dasar pengakuan dari legalitas perkawianan yang diakui oleh negara. Kepemilikan buku nikah ini akan memberikan kemudahan dan pengakuan masyarakat dalam memperoleh jenis-jenis pelayanan publik lainnya. Namun, rendahnya kualitas pelayanan publik dalam pelayanan pembuatan buku nikah ini, membuat pemerintah terus melakukan perbaikan dalam rangka memberikan kepuasan terhadap masyarakat yang menggunakan jasa pelayanannya. Salah satu upaya perbaikan tersebut adalah memberlakukan standarisasi. Melalui upaya ini, diharapkan aparatur publik memiliki acuan opersional terhadap pelayanan 15 16 Rohman, Reformasi, vi. Dwiyanto, Reformasi, 2. 9 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014 yang diberikan kepada masyarakat, dan masyarakat pun memiliki acuan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja pelayanan aparatur publik di Kantor Urusan Agama selaku instansi pemerintah yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan pelayanan pembuatan buku nikah tersebut. Pelayanan pencatatan pernikahan (pembuatan buku nikah) merupakan sub pelayanan publik di bidang keagamaan yang harus disediakan oleh negara (pemerintah). Jenis pelayanan ini termasuk pelayanan dasar dan merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 yang aturan turunannya meliputi: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang. Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan 3. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Pasal 5 ayat 2, Pasal 13 ayat 1-3 4. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama. Penetapan standar pelayanan menjadi isu yang sangat penting dalam pengembangan sistem pelayanan publik di Negara Kesatuan. Dalam rangka memberikan kepastian bagi penerima layanan, setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan. Standar yang ditetapkan adalah ekspresi dari pandangan penyedia layanan untuk berapa lama proses menanggapi pertanyaan atau menyelesaikan keluhan. Kinerja Layanan benar-benar membutuhkan waktu. Kehilangan pelanggan tidak hanya menunjukkan ketidakmampuan untuk memenuhi harapan tetapi juga menunjukkan kinerja yang tidak memenuhi standar. Mengacu pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, standar pelayanan publik organisasi penyelenggara pelayanan publik sekurang-kurangnya meliputi: 1. Prosedur Pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan. 2. Waktu Penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan. 3. Biaya pelayanan atau tarif termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan. 4. Produk Layanan, yaitu hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 10 Penerapan Standar Pelayanan (Winengan) 5. Sarana dan Prasarana, yaitu penyediaan sarana dan prasarana pendukung pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik 6. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan yang harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.17 Berdasarkan acuan di atas, pelayanan publik pada pembuatan buku nikah di Kantor KUA se-Kota Mataram dapat dikatakan sudah memenuhi unsur-unsur atau prinsip standar pelayanan, karena mimiliki prosedur, waktu, biaya, produk, dan kompetensi pelayan yang telah diatur secara jelas. Komitmen untuk memberlakukan standar pelayanan oleh Kantor KUA se-Kota Mataram ini juga diperkuat dengan kebijakan standarisasi pelayanan publik yang keluarkan Kementerian Agama RI selaku induk dari Kantor Urusan Agama se-Kota Mataram, di mana standar pelayanan tersebut adalah sebagai berikut: 1)Persyaratan pelayanan; 2) Jangka waktu penyelesaian; 3) Biaya/tarif pelayanan; 4) Apakah petugas penyelenggara pelayanan publik memiliki prosedur pelayanan; 5) Alur pelayanan; 6) Ruang tunggu; 7) Pendingin ruangan (AC); 8) Tempat duduk; 9) Ketersediaan jenis layanan publik dalam bentuk booklet, leaflet, poster, dll; 10) Sistem antrian (loket); 11) Toliet/WC; 12) Maklumat pelayanan; 13)Sistem informasi standar pelayana; 14) Sikap dan perilaku pegawai dalam memberikan pelayanan; 15) Apakah unit layanan tersebut mempunyai unit layanan khusus pengelolaan pengaduan; 16) Kotak saran dan pengaduan; 17) Pejabat pengelola pengaduan; 18) Loket pengaduan/ruang pengaduan; 19) Informasi nomor telpon pengaduan; 20) Informasi email pengaduan; 21) Informasi prosedur pengaduan; 22) Informasi pengelolaan pengaduan yang dipajang di ruang pengelola pengaduan dan atau di ruang pelayanan; 23) Ruang khusus ibu menyusui/hamil/manula; 24) Aksebilitas pengguna layanan berkebutuhan khusus; 25) Visi dan misi; 26) Motto; 27) Memiliki sertifikat ISO 9001:2008 dalam penyelenggaraan pelayanan publik; 28) Apakah petugas penyelenggara layanan menggunakan pakaian seragam?; 29) Apakah petugas penyelenggara layanan menggunakan ID Card?; dan 30) Unit pelayanan terpadu.18 Sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, sistem standar pelayanan harus diatur di dalamnya hal-hal yang meliputi; aspek input, proses, dan output pelayanan. Input pelayanan penting untuk distandarisasi mengingat kuantitas dan kualitas dari input pelayanan yang berbeda antarkantor KUA menyebabkan sering terjadi ketimpangan akses terhadap pelayanan yang berkualitas. Tentu tidak adil, 17 18 Kepmenpan No. 63 Tahun 2003. Surat Edaran Sekjen Kemenag RI No. SJ/B.IV/2/OT.00/296/2014. 11 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014 ketika pemerintah menetapkan standar output yang berlaku di seluruh Indonesia, sementara pemerintah gagal menjamin adanya standar input yang sama antarkantor peayanan. Ketimpangan standar input pelayanan tentu akan menghasilkan ketimpangan kualitas pelayanan, dan pada akhirnya standar output pelayanan pun menjadi hal yang mustahil untuk diwujudkan secara merata di seluruh Indonesia. Ini artinya, jika pemerintah mengharapkan standar output yang sama di seluruh Indonesia, maka pemerintah harus menjamin adanya standar input yang sama antar daerah. Di Kantor Urusan Agama yang ada di Kota Mataram, standar input ini terlihat ada ketimpangan. Misalnya, sebagaimana dikemukan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Ampenan, untuk melayani pembuatan buku nikah yang satu bulan mencapai ratusan pemohon, input sumberdaya yang dimiliki hanya 3 orang. Dengan kondisi input yang terbatas ini, tentu sulit untuk memberikan pelayanan yang berkualitas, terutama dari aspek waktu yang cepat. Akibatnya, menurut Kepala KUA Ampenan, seringkali masyarakat merasa diabaikan, bahkan menganggap dirinya tidak mau dilayani dan mengancam aparatur pelayanan yang ada di KUA. Respon negatif masyarakat ini tidak akan terjadi jika ketersediaan input sumberdaya manusia aparatur pelayanan pembuatan buku catatan nikah di Kantor Urusan Agama se-Kota Mataram memadai sesuai dengan tingkat permohonan pencacatan nikah yang terjadi selama ini. Standar proses pelayanan juga penting untuk diatur. Namun pengaturannya harus dilakukan secara hati-hati agar standar proses pelayanan tidak mencegah dan membatasi kreativitas lokal dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Proses penyelenggaraan layanan harus memenuhi prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Standar proses perlu dirumuskan untuk menjamin pelayanan publik di daerah memenuhi prinsip-prinsip penyelenggaraan layanan yang transparan, non-partisan, efisien, dan akuntabel. Standar transparansi, misalnya, mengatur kewajiban penyelenggara layanan untuk menyediakan informasi dan menjelaskan kepada warga pengguna jasa layanan mengenai persyaratan, prosedur, biaya, dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan (client carter). Termasuk di dalam standar transparansi ini adalah keharusan bagi penyelenggara layanan pembuatan buku nikah untuk memberitahukan hak-hak warga pengguna layanan untuk mengadu dan memprotes ketika mereka merasa diperlakukan secara tidak wajar oleh penyelenggara layanan. Standar output pelayanan tentu sangat penting untuk diatur karena standar tersebut menjamin hak warga negara dan penduduk Indonesia di mana pun mereka 12 Penerapan Standar Pelayanan (Winengan) berada untuk memperoleh kualitas dan kuantitas pelayanan tertentu. Standar output harus menjadi benchmark bagi setiap penyelenggara layanan untuk menilai apakah mereka sudah dapat memenuhi standar yang telah ditetapkan atau belum. Dalam Negara Kesatuan yang memiliki variabilitas antardaerah yang tinggi, seperti Indonesia, penentuan standar output harus dilakukan secara cermat, agar standar tersebut dapat diterapkan secara nasional. Penentuan standar harus memperhatikan tujuan dan nilai yang ingin diwujudkan dalam penyelenggaraan layanan sekaligus kapasitas daerah untuk mewujudkannya.19 Namun untuk pelayanan pembuatan buku nikah ini, standar out-put ini tidak terlalu substansi, karena out-put dari pelayanan ini adalah kepemilikan buku nikah yang modelnya sama di seluruh Indonesia karena di buat oleh Kementerian Agama Pusat. Faktor Pendukung dan Penghambat Pemberlakuan Standar Pelayanan Publik Pemberlakukan PP No. 48 tahun 2014 yang mengatur tentang tarif pencatatan pernikahan yang ditanda tangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Juni 2014 dan berlaku efektif terhitung sejak tanggal 10 Juli 2014 pada awalnya menimbulkan persepsi masyarakat yang kurang baik terhadap para petugas pencatat nikah. Karena dengan berlakunya PP yang baru ini maka tarif pencatatan pernikahan berubah dari Rp. 30.000 menjadi Rp. 600.000. Perubahan tarif pencatatan pernikahan yang sangat tinggi ini sontak sangat mengejutkan masyarakat, hal ini karena dianggap nilainya yang sangat tinggi. Namun, karena adanya upaya sosialisasi Kantor KUA di Kota Mataram, bahwa perubahan tersebut merupakan aturan dari pemerintah, maka masyarakat dengan lapang dada menerima perubahan tarif pencatatan nikah berdasarkan PP baru tersebut. Adanya kesadaran masyarakat menerima pemberlakuan PP baru tersebut juga dikarenakan pada kenyataannya - dalam banyak kasus, untuk mengurus pencatatan pernikahan seringkali melalui oknum-oknum tertentu dimana para catin mengaku bahwa mengurus pencatatan pernikahan melalui oknum-oknum tertentu ini terkadang juga seringkali menghabiskan biaya yang cukup besar melebihi tarif sebenarnya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka menyambut perubahan PP tarif pernikahan ini dengan sangat positif, meskipun dalam beberapa analisi bahwa berlakunya PP yang baru terkait dengan tarif pencatatn pernikahan ini masih menjadi pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. 19 Dwiyanto, Manajemen, 41. 13 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014 Sebelum adanya perubahan PP terkait tarif pencatatan pernikahan ini, di masyarakat Lombok berkembang perspektif negatif bahwa “menikah di KUA disebabkan karena adanya suatu masalah atau hanya bagi catin yang menggunakan wali hakim”. Namun menurut petugas pencatat nikah di Kantor Urusan Agama seKota Mataram, dengan diberlakukannya peraturan yang baru ini, perspektif negatif masyarakat tersebut mulai memudar. Hal ini terlihat dari adanya perubahan jumlah catin yang menikah di dalam KUA mulai meningkat setelah adanya perubahan peraturan tersebut. Meskipun tidak signifikan namun perubahan ini terlihat cukup tinggi dalam jangka waktu yang cukup pendek. Jadi dengan diberlakukannya PP yang baru ini dapat mengubah perspektif negatif masyarakat menjadi lebih positif tentang pelaksanaan nikah di dalam kantor KUA. Latar belakang terjadinya perubahan tarif pencatatan pernikahan dari RP. 30.000 berubah menjadi Rp. 600.000 ini bermula pada peristiwa pernikahan yang terjadi di Jawa Timur dimana seorang dari penghulunya dan atau kepala KUA-nya diberitakan telah menerima uang diluar ketentuan peraturan (uang ucapan terimakasih) dari pihak terkait (keluarga catin) yang dimana kemudian hal tersebut diketahui oleh salah seorang warga sehingga dilaporkan ke kejaksaan. Peristiwa ini sontak membuat para penghulu sejawa timur saat itu melakukan mogok kerja. Selain itu, fakta yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang dimana pembuatan buku catatan nikahnya di urus melalui oknum-oknum tertentu dengan uang balas jasa juga menjadi alasan kuat kenapa peraturan tentang tarif pencatatan nikah ini di rubah. Peristiwa-peristiwa ini kemudian menjadi pembahasan dalam rapat yang di adakan Menteri Agama yang kemudian hal ini disampaikan kepada Presiden. Karena itulah kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 tentang tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Agama. Berdasarkan aturan yang tertuang dalam PP di atas, pelayanan pembuatan buku nikah oleh Petugas Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama tidak boleh lagi memungut dan menerima uang di luar jumlah yang telah ditetapkan apa pun alasannya. Artinya bahwa tarif Rp. 600.000 itu termasuk sudah ada jatah bagi petugas yang menghadiri pernikahan, baik itu kepala KUA dan atau penghulunya. Untuk Kantor Urusan Agama se-Kota Mataram yang termasuk tipe A, untuk uang transport itu dengan jatah sebesar Rp. 110.000 kemudian jasa profesi dengan jatah Rp. 125.000 per peristiwa nikah. 14 Penerapan Standar Pelayanan (Winengan) Setalah diberlakukannya PP No. 48 2014, terjadi perubahan jumlah catin yang menikah di dalam dan luar kantor, meskipun perubahan jumlah ini tidak terlalu signifikan namun pengaruh terhadap jumlah catin yang menikah di dalam kantor bertambah dibandingkan sebelum dikeluarkannya peraturan baru ini. Adanya biaya Rp. 0, untuk peristiwa pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama merupakan salah satu faktor pendukung yang mendorong para catin yang melakukan proses pencatatan nikahnya di KUA se-Kota Mataram. Kondisi ini dapat merubah imeg negatif masyarakat yang selama ini memandang bahwa menikah di KUA karena adanya suatu aib seperti misalnya karena terjadinya kecelakaan (hamil diluar nikah) atau bahkan hanya catin yang menggunakan wali hakim. Dalam perspektif pelayanan, terjadi kesenjangan (gap) atau perbedaan persepsi antara aparatur pelayanan dengan menyarakat pengguna jasa layanan memang dapat menjadi hambatan menghadirkan suatu pelayanan yang berkualitas. Beberapa bentuk kesenjangan yang biasanya terjadi adalah: 1. Gap 1: gap persepsi manajemen. Gap ini terjadi apabila terdapat perbedaan antara harapan-harapan konsumen dengan persepsi manajemen terhadap harapan-harapan konsumen. Misalnya harapan konsumen adalah mendapatkan pelayanan yang terbaik, meskipun harganya mahal. Namun sebaliknya, manajemen mempunyai persepsi bahwa konsumen mengharapakn harga yang murah meskipun kualitasnya agak rendah. Beberapa faktor penyebabnya adalah 1) Kurangnya riset pemasaran dan tidak dimanfaatkan hasil riset pemasaran. 2) Kurang efektifnya komunikasi ke atas di dalam organisasi penyelenggara pelayanan. 3) Terlalu banyak tingkatan manajemen. 2. Gap 2: gap persepsi kualitas. Gap ini akan terjadi apabila terdapat perbedaan antara persepsi manajemen tentang harapan-harapan konsumen dengan spesikasi kualitas pelayanan yang dirumuskan. Misalnya, persepsi manajemen bahwa konsumen ingin mendapatkan pelayanan dengan proses yang sederhana dan cepat (satu pintu), tetapi manajemen merumuskan prosedur pelayanan yang rumit dan lama (banyak pintu). Faktor penyebab munculnya gap ini adalah 1) lemahnya komitmen manajemen terhadap kualitas pelayanan. 2) Tidak tepatnya persepsi tentang feasibilitas. 3) Tidak tepatnya standarisasi tugas. 4) Kurang tepatnya perumusan tujuan. 3. Gap 3: gap penyelenggaraan pelayanan. Gap ini terjadi jika pelayanan yang diberikan berbeda dengan spesifikasi kualitas pelayanan yang dirumuskan. 15 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014 Misalnya, spesifikasi pelayanan menyatakan bahwa jam keberangkatan pesawat maksimal terlambat 15 menit, akan tetapi kenyataannya terlambat 1 jam. Faktor penyebab munculnya gap ini adalah 1) Adanya ketidakjelasan peran. 2) Adanya konflik peran. 3) Tidak cocoknya karakteristik pekerja dengan pekerjaan. 4) Tidak cocoknya teknologi dengan karakteristik pekerjaan. 5) Tidak tepatnya sistem pengawasan. 6) Lemahnya kekompakan tim. 4. Gap 4: gap komunikasi pasar. Gap ini terjadi sebagai akibat dari adanya perbedaan anatara pelayanan yang diberikan dengan komunikasi eksternal terhadap konsumen. Misalnya perjalanan pesawat dijanjikan selalu tepat waktu, ternyata pada kenyataannya terlambat. Gap ini muncul karena kurangnya komunikasi horizontal dan adanya kecenderungan untuk mengobral janji. 5. Gap 5: gap kualitas pelayanan. Gap ini terjadi karena pelayanan yang diharapkan oleh konsumen tidak sama dengan pelayanan yang senyatanya diterima atau dirasakan oleh konsumen. Misalnya konsumen berharap dapat menyelesaikan urusan perpanjangan KTP atau SIM dalam waktu satu hari, tetapi ketika dia benar-benar mengurusnya sampai satu minggu. Gap ini muncul sebagai akibat akumulasi dari empat macam gap tersebut di atas.20 Untuk itu, untuk menghindari terjadinya kesenjangan tersebut, maka manajemen pelayanan perlu direformasi, di antaranya dengan cara memberlakukan standar pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Atau merupakan referensi operasional standar prosedur yang dibuat untuk kebutuhan kesopanan seorang karyawan sebagai bentuk standar untuk perilaku karyawan. Perilaku layanan karyawan, pengetahuan dan penampilan adalah salah satu, meskipun penting, elemen dalam perdebatan tentang standar layanan. Secara umum kata standar (sering digunakan bergantian dengan kualitas) menunjukkan tingkat kinerja yang sangat diterima oleh pelanggan. Namun banyak tingkat yang penting bagi pelanggan yang harus menjamin pengawasan tambahan. Sementara pembentukan harapan pelanggan telah menimbulkan minat, proses dimana standar yang ditentukan belum menarik banyak perhatian dalam literatur jasa. Tidak mengherankan, kita harus menggunakan pandangan bahwa standar harus ditetapkan sesuai dengan persyaratan pelanggan atau harapan. 20 Ratminto dan Atik Septi Winarsih, Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter, dan Standar Pelayanan Minimal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). 16 Penerapan Standar Pelayanan (Winengan) SIMPULAN Berdasarkan uraian hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pertama, standar pelayanan dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, terutama terkait dengan kepastian waktu dan biaya pelayanan, meningkatkan transparansi, dan dapat menghilangkan praktik percaloan yang pada akhirnya dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap aparatur pelayanan. Kedua, perbedaan persepsi antara aparatur pelayanan dengan masyarakat pengguna jasa layanan, terutama terkait dengan kebijakan yang menjadi acuan penerapan standar pelayanan dapat menjadi hambatan dalam menghadirkan pelayanan yang berkualitas. Namun adanya upaya sosialisasi sebelum pemberlakukan kebijakan standarisasi pelayanan dapat menjadi faktor pendukung bagi aparatur pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Daftar Pustaka Arif, Saiful. (Penyunting). Reformasi Pelayanan Publik. Malang: Program Sekolah Demokrasi PLaCIDS, 2008. Bungin, Burhan. Analisa Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodelogis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Depag RI. Teknik Pengukuran Kinerja di Lingkungan Departemen Agama. Jakarta: Sekjen Biro Ortala, 2007. Dwiyanto dkk, Agus. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008. Dwiyanto, Agus dan Bevaola Kusumasari. Policy Brief: Kinerja Pelayanan Publik. Yogyakarta: CPPS UGM, 2001. Dwiyanto, Agus. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011. http://www.transparency.or/cpi. 2013 Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 tentang Pelayanan Publik Keputusan Menteri pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan. Lombok Post, 12 April 2013. 17 Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014 NTB Post, 17 April 2013 Nurmandi, Achmad. Manajemen Pelayanan Publik. Yogyakarta: Sinergi Visi Utama, 2010. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Agama. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelayanan Publik Ratminto dan Atik Septi Winarsih. Manajemen Pelayanan: Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter, dan Standar Pelayanan Minimal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Ratminto. Diktat Kuliah Pengembangan Kelembagaan. Yogyakarta: MAP UGM, 2002. Rohman dkk., Ahmad Ainur. Reformasi Pelayanan Publik. Malang: Averroes, 2008. Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA, 2005. Surat Edaran Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI Nomor: SJ/B.IV/2/OT.00/296/2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Kementerian Agama RI, tertanggal 4 Februari 2014. Surjadi. Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. Bandung: Rafika Aditama, 2012. Sutopo dan Adi Suryanto. Pelayanan Prima. Jakarta: LAN, 2003. www.tempo.com. Diakses tanggal 5 Februari 2014. 18