(CTL) dan Think Pair Share (TPS)

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hakikat Pembelajaran Matematika SD
Pendidikan matematika merupakan mata pelajaran yang ada di berbagai
Negara, terutama Negara-negara maju telah berkembang dengan cepat,
disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan serta perkembangan teknologi.
Pembelajaran matematika diberikan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari
Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi. Tetapi, matematika juga terdapat pada
kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga semua orang dapat melakukan
pembelajaran matematika. Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari misalnya,
jam, hari, jual-beli di pasar, dan lain-lain.
Corey (2003) dalam Ahmad Susanto (2013: 186) mengemukakan bahwa
“pembelajaran adalah proses menciptakan kondisi dan lingkungan belajar yang
kondusif sehingga menghasilkan perubahan tingkah laku siswa”. Sedangkan
Dimyati (2006) dalam Ahmad Susanto (2013: 186) mengemukakan bahwa
“pembelajaran adalah kegiatan guru dalam merancang bahan pengajaran agar
proses pembelajaran dapat berlangsung secara baik, yakni siswa dapat belajar
secara aktif dan bermakna”.
Depdiknas (2004) dalam Ahmad Susanto (2013: 184) menyebutkan :
Siswa yang telah mengikuti kegiatan pembelajaran, tidak hanya dapat
memahami standar kompetensi atau penguasaan matematika saja, tetapi
juga dapat memahami dunia sekitar, mampu bersaing, dan berhasil dalam
kehidupan sehari-hari.
Susanto (2013:195) mengemukakan :
Bidang studi matematika merupakan bidang studi yang berguna dan
membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan
sehari-hari yang berhubungan dengan hitung menghitung atau angkaangka dalam berbagai macam masalah, yang memerlukan suatu
keterampilan dan kemampuan untuk memecahkannya.
8
9
Soedjadi (1999) dalam Gatot Muhsetyo (2008: 1.2) menyatakan bahwa :
Keabsahan matematika karena objek dasarnya abstrak, yaitu fakta, konsep,
operasi, dan prinsip. Ciri keabsahan matematika yang tidak sederhana
menyebabkan matematika tidak mudah untuk dipahami dan akhirnya
banyak siswa yang kurang tertarik. Oleh karena itu, diperlukan model
pembelajaran yang menarik, mudah dipahami siswa, membangkitkan
semangat, dan menantang terlibat langsung dalam pembelajaran sehingga
siswa menjadi cerdas matematika.
Muhsetyo (2008:1.26) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika
adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui
kegiatan yang terencana.
Susanto (2013:186) mengemukakan :
Pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang
dibangun oleh guru untuk meningkatkan kemampuan berfikir siswa, serta
dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru untuk
menungkatkan siswa dalam menguasai materi matematika.
2.1.2 Tujuan Pembelajaran Matematika
Secara umum, tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar yaitu
supaya siswa mampu dan terampil menggunakan matematika, memberikan
tekanan penataran nalar dalam penerapan matematika. Secara khusus, tujuan
pembelajaran matematika di Sekolah Dasar yang disajikan oleh Depdiknas dalam
Ahmad Susanto (2013: 190) yaitu sebagai berikut :
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan
mengaplikasikannya konsep atau algoritme.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan
dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk menjelaskan keadaan atau masalah.
10
e. Memiliki sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan seharihari.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran mata pelajaran matematika, seorang
guru diharapkan dapat menciptakan pembelajaran yang membuat siswa aktif,
tekun, menemukan dan mengembangkan pengetahuannya. Dengan menemukan
sendiri, siswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang bermakna dengan
menemukan sendiri, sehingga mudah diingat. Hal ini sebagaiman dijelaskan oleh
Jean Piaget dalam Ahmad Susanto (2013: 191) mengemukakan bahwa
pengetahuan atau pemahaman siswa itu ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan
oleh siswa sendiri. Kemudian Ausubel dalam Ibrahim, dkk (2012: 67) juga
menjelaskan bahwa belajar menjadi bermakna bila informasi yang diterima siswa
itu disusun sendiri sesuai dengan pemikiran siswa.
Ruang lingkup mata pelajaran matematika meliputi penjumlahan,
pengurangan, perkalian, pembagian. Selain itu juga berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari, misalnya menghitung uang, jam, kecepatan, jual-beli di pasar. Bangun
datar meliputi persegi, persegi panjang, segitiga, belah ketupat, lingkaran, jajar
genjang, trapesium, layang-layang, dan segi banyak. Bangun ruang meliputi,
kubus, balok, tabung, kerucut, prisma. Selain itu, pengumpulan data, penyajian
data dengan tabel, grafik, dan gambar, mengurutkan data, rata-rata data, dan
modus.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pembelajaran matematika yaitu untuk menumbuhkan atau mengembangkan
keterampilan berhitung, memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari. Selain itu, untuk membentuk sikap cermat, teliti, jujur, dan percaya
diri. Belajar matematika pada jenjang Sekolah Dasar sangat penting, karena pada
pendidikan yang selanjutnya juga akan diberikan mata pelajaran matematika.
Banyak siswa yang bilang bahwa matematika sulit, tetapi pada jenjang yang
selanjutnya juga akan lebih sulit. Oleh karena itu, pada jenjang Sekolah Dasar
belajar matematika harus mengerti supaya pada jenjang selanjutnya juga akan
lebih mengerti.
11
Oleh karena itu dalam proses pembelajaran matematika dibutuhkan
strategi/model
pembelajaran
supaya
siswa
memiliki
keterampilan
atau
kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah. Terdapat berbagai model
pembelajaran yang cocok untuk pembelajaran matematika yang berkaitan dengan
pemecahan masalah, yaitu Contextual Teaching and Learning (CTL), Think Pairs
Share (TPS), Problem Solving, Direct Learning (DL), Problem Based Learning
(PBL), Problem Terbuka.
Model yang dianggap lebih cocok dalam pembelajaran matematika yang
berkaitan dengan pemecahan masalah kehidupan sehari-hari yaitu Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS). Kedua model
tersebut mengandung atau berkaitan dengan pemecahan masalah. Oleh karena itu,
akan dibahas secara berurutan tentang 2 model pembelajaran tersebut.
2.1.3 Model Pembelajaran Kooperatif
Joyce dan Weil (1980:1) dalam Miftahul Huda (2015: 73) berpendapat :
Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan
untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang),
merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di
kelas atau yang lain.
Eggen dan Kauchak dalam Hosnan (2014: 234) mengemukakan :
Model pembelajaran adalah pedoman berupa program atau petunjuk
strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu pembelajaran.
Pedoman itu memuat tanggung jawab guru dalam merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran.
Jadi dari pendapat Eggen & Kauchak dan Joyce & Weil dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pedoman yang dibuat
sebelum proses pembelajaran berlangsung. Model pembelajaran digunakan
supaya dapat mempermudah pembelajaran, sehingga siswa menjadi mudah
mengerti saat mengikuti pembelajaran. Banyak model pembelajaran yang bisa
digunakan, tetapi guru juga harus bisa memilih model pembelajaran yang cocok
sesuai dengan tingkat berpikirnya siswa.
12
Siswa SD tahap pemikirannya masih dalam tahap konkrit, belum bisa untuk
berfikir yang abstrak. Selain itu, mereka masih suka bermain dan berkumpul atau
berkelompok. Jadi, siswa dalam memecahkan masalah sehari-hari dalam proses
pembelajaran digunakan pembelajaran yang kooperatif.
Slavin dalam Hosnan (2014: 235) mengemukakan :
Cooperative learning adalah suatu metode pembelajaran dimana siswa
belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif
yang anggotanya terdiri dari atas 4 sampai 8 orang, dengan struktur
kelompoknya yang bersifat heterogen.
Pendapat lain yaitu Suprijono (2009: 54) dalam Hosnan (2014: 235)
mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas,
meliputi semua jenis kerja kelompok, baik yang dipimpin oleh guru maupun
siswa. Selanjutnya Hasan dalam Hosnan (2014: 235) berpendapat bahwa
cooperative learning artinya bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Jadi menurut ahli Slavin, Suprijono, dan Hasan, dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran kooperatif adalah suatu rancangan atau rencana pembelajaran
yang menekankan aspek kerja sama dengan kelompok untuk mengerjakan atau
menyelesaikan masalah untuk mencapai tujuan pembelajaran bersama. Dalam
pembagian kelompok juga harus adil, sehingga siswa dalam kelompok
mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda, bisa rendah, sedang, dan tinggi.
Tetapi, dalam pembagian kelompok tidak membeda-bedakan agama atau asal
siswa.
Terdapat berbagai model pembelajaran yang cocok untuk pembelajaran
matematika yang berkaitan dengan pemecahan masalah yaitu Contextual
Teaching and Learning (CTL), Think Pairs Share (TPS), Problem Solving,
Problem Based Learning (PBL), Problem Posing, Problem Terbuka.
Model yang dianggap lebih cocok dalam pembelajaran matematika yang
berkaitan dengan pemecahan masalah kehidupan sehari-hari yaitu Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS). Kedua model
tersebut mengandung atau berkaitan dengan pemecahan masalah, sehingga sesuai
dengan materi matematika yang diambil yaitu tentang pemecahan masalah yang
berkaitan dengan pecahan.
13
Penelitian lebih lanjut mengenai keefektifan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS) perlu
dilakukan terlebih dahulu memahami hakekat model CTL dan TPS, karakteristik,
langkah-langkah, kelebihan, dan kelemahannya. Berikut secara berurutan akan
dipaparkan mengenai model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) dan Think Pairs Share (TPS).
2.1.4 Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Johnson (2008) dalam Rusman (2014: 187) mengemukakan bahwa
pembelajaran konstektual adalah sebuah pembelajaran yang merangsang otak
untuk mewujudkan pembelajaran yang bermakna. Menurut Rusman (2014:187)
berpendapat bahwa pembelajaran konstektual adalah usaha untuk membuat siswa
aktif dalam pembelajaran, mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan
mengaitkannya dengan dunia nyata.
Taniredja (2011: 49) mengemukakan :
Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah konsep
belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran
dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Jadi dari pendapat Johnson, Rusman, dan Nurhadi dapat disimpulkan
bahwa
pembelajaran CTL adalah suatu
rancangan pembelajaran yang
menghadirkan atau menekankan aspek kehidupan nyata ke dalam kelas. Model
pembelajaran ini diharapkan dapat mendorong siswa untuk menghubungkan
pengetahuan atau pengalaman yang dimilikinya dengan kehidupan sehari-hari.
Landasan filosofis CTL adalah Konstruktivisme, yaitu filosofis belajar
yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal tetapi
merekonstruksi atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat faktafakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya.
14
2.1.5 Komponen Model Pembelajaran CTL
Model pembelajaran CTL mempunyai 7 komponen yang melandasi
pelaksanaan proses pembelajaran yang berlangsung. Hosnan (2014: 270)
menyebutkan 7 komponen pembelajaran menggunakan model pembelajaran CTL,
yaitu sebagai berikut :
a. Konstruktivisme (Contructivism)
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan
baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Jean Piaget (2005)
menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata,
tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek
yang diamatinya. Dalam konstruktivisme terdapat hal-hal yaitu belajar. Belajar
artinya menyediakan kondisi siswa membangun pengetahuannya sendiri,
menemukan ide, kemudian mencari strategi belajar yang efektif sesuai dengan
kerangka berpikir siswa, sehingga pembelajaran yang dilakukan lebih bermakna.
b. Menemukan (Inquiry)
Inquiry artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan
penemuan melalui proses berfikir secara sistematis. Jadi, inquiry adalah proses
kegiatan inti dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CTL
yang menekankan siswa untuk menemukan sendiri sehingga hasil yang didapat
bukan sekedar menghafal dan mudah diingat. Langkah-langkah dalam inquiry
yaitu merumuskan masalah, mengamati atau melakukan observasi, menganalisis
dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya
lainnya. Kemudian mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada
pembaca, teman sekelas, guru atau audiensi yang lain.
c. Bertanya (Questioning)
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Pembelajaran dengan melakukan tanya jawab akan banyak menemukan informasi
yang sebelumnya tidak terpikirkan baik guru maupun siswa dan pembelajaran
yang dilakukan juga akan lebih hidup. Kegiatan bertanya berfungsi yaitu untuk
15
menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, menyegarkan kembali
pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Manusia tidak bisa hidup sendiri, sehingga manusia tidak hanya diciptakan
sebagai makhluk individu tetapi juga sosial. Masyarakat belajar yaitu belajar yang
dilakukan melalui kerja sama atau berdiskusi dengan teman, sehingga bisa dekat
dengan teman dan informasi yang didapat lebih banyak.
e. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu
sebagai contoh yang dapat ditiru oleh siswa. Model yang dimaksud bisa berupa
pemberian contoh tentang cara mengoperasikan sesuatu, menunjukkan hasil karya
atau mempertontonkan suatu penampilan.
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah proses mengingatkan kembali apa yang telah dipelajari
siswa. Kegiatan refleksi dilakukan di akhir pembelajaran yaitu dengan guru
memberi pertanyaan.
g. Penilaian Autentik (Authentic Assesment)
Penilaian adalah proses yang dilakukan oleh guru untuk mengetahui apakah
siswa belajar dengan sungguh-sungguh atau tidak. Penilaian dilakukan dengan
terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
2.1.6 Karakteristik Model Pembelajaran CTL
Model pembelajaran CTL juga mempunyai beberapa karakteristik. Aqib
(201: 8) mengemukakan 11 karakteristik pembelajaran menggunakan model
pembelajaran CTL, yaitu sebagai berikut :
a. Kerja sama.
b. Saling menunjang.
16
c. Menyenangkan, tidak membosankan.
d. Belajar dengan semangat.
e. Menggunakan berbagai sumber.
f. Siswa aktif.
g. Sharing dengan teman.
h. Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar,
artikel, humor, dan lain-lain.
i. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan
hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain.
2.1.7 Langkah-langkah Model Pembelajaran CTL
Rusman
(2014:
192)
mengemukakan
langkah-langkah
model
pembelajaran CTL yaitu sebagai berikut :
a. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih
bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri.
b. Melaksanakan kegiatan inquiry.
c. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan memunculkan pertanyaan
pertanyaa.
d. Menciptakan masyarakat belajar, seperti kegiatan kelompok, berdiskusi, tanya
jawab, dan sebagainya.
e. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi,
model bahkan media yang sebenarnya.
f. Membiasakan
anak
untuk
melakukan
refleksi
dari
setiap
kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan.
g. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang
sebenarnya pada setiap siswa.
Prosedur pelaksanaan pembelajaran atau langkah-langkah dibuat atau
dirancang sebelum pembelajaran dilaksanakan. Langkah-langkah yang harus
ditempuh dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran CTL adalah
sebagai berikut :
17
Tabel 2.1 Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran Matematika
Menggunakan Model Contextual Teaching and Learning (CTL)
Kegiatan Guru
Tahapan
Pelaksanaan
Guru mengarahkan siswa untuk
1. Mengembangkan
sedemikian
rupa
dapat Pikiran
mengembangkan
pemikirannya
dan memfasilitasi siswa untuk
mengkontruksi
sendiri
pengetahuan dan keterampilan
yang baru saja ditemui.
Kegiatan Siswa
Siswa menemukan
maslah dan mencari
serta
menemukan
sendiri jawabannya.
Guru membimbing siswa untuk
2. Menemukan
menemukan suatu masalah yang Suatu Fakta
diberikan oleh guru.
Siswa menemukan
suatu fakta dari
permasalahan yang
disajikan oleh guru /
dari materi yang
diberikan oleh guru.
Guru memancing siswa untuk
3. Mengembangkan
melakukan pertanyaan-pertanyaan Rasa Ingin Tahu
dengan
tujuan
untuk
mengembangkan rasa ingin tahu.
Siswa
melakukan
kegiatan bertanya.
Guru membentuk siswa menjadi
4. Melakukan
beberapa
kelompok
untuk Diskusi
melakukan diskusi dan tanya
jawab.
Siswa
diskusi
jawab.
Guru mendemonstrasikan ilustrasi
5. Kegiatan
/ gambaran materi dengan model Demonstrasi
atau media yang sebenarnya.
Siswa
mendengarkan guru
saat menjelaskan.
Guru melakukan refleksi atas
6. Kegiatan Refleksi
kegiatan yang telah dilakukan
dengan memberikan pertanyaan
kepada siswa.
melakukan
dan tanya
Siswa
melakukan
refleksi atas kegiatan
yang telah dilakukan
dengan menjawab
pertanyaan
yang
telah diberikan oleh
guru.
Guru melakukan evaluasi, yaitu
7. Kegiatan Evaluasi Siswa mengerjakan
menilai kemampuan siswa yang
soal evaluasi.
sebenarnya.
18
2.1.8 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran CTL
Hosnan
(2014:
279)
mengemukakan
bahwa
dalam
pembelajaran
menggunakan model pembelajaran CTL terdapat beberapa kelebihan dan
kelemahan. Kelebihan dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran
CTL, yaitu sebagai berikut :
a. Pembelajaran yang dilakukan menjadi lebih bermakna dan nyata.
b. Pembelajaran konstektual dapat menjadikan siswa belajar bukan menghafal,
melainkan proses berpengalaman dalam kehidupan nyata.
c. Pembelajaran lebih menyenangkan dan tidak membosankan.
d. Terbentuk sikap kerja sama yang baik antarindividu maupun kelompok.
Selain kelebihan-kelebihan tersebut, dalam pembelajaran menggunakan
model pembelajaran CTL juga terdapat kelemahan-kelemahan, yaitu sebagai
berikut :
a. Penerapan pembelajaran konstektual merupakan pembelajaran yang kompleks
dan sulit dilaksanakan dalam konteks pembelajaran, selain itu juga
membutuhkan waktu yang lama.
b. Guru tidak lagi berperan sebagai pemberi informasi, tetapi mengelola kelas
dan
membimbing
siswa
agar
dapat
belajar
sesuai
dengan
tahap
perkembangannya.
c. Guru hanya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dengan cara mereka sendiri. Dalam hal ini guru
memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan
pembelajaran sesuai dengan apa yang direncanakan.
2.1.9 Model Pembelajaran Think Pairs Share (TPS)
Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) pertama kali diperkenalkan
oleh Frang Lyman. Arends (1997) dalam Jumanta Hamdayana (2014: 201)
menyatakan bahwa Think Pair Share (TPS) adalah suatu cara efektif yang
digunakan dalam pembelajaran diskusi kelas sehingga diskusi dalam kelas
menjadi bervariasi. Huda (2013: 206) mengemukakan bahwa Think Pair Share
19
(TPS) memperkenalkan gagasan tentang waktu “tunggu atau berpikir” pada proses
pembelajaran kooperatif yang ampuh dalam meningkatkan respon siswa terhadap
pertanyaan yang diberikan oleh guru.
Shoimin (2014: 208) menyatakan bahwa Think Pair Share (TPS) adalah
suatu model pembelajaran kooperatif yang memberi kesempatan kepada siswa
untuk berpikir dan bekerja sama atau diskusi dengan teman yang lain. Menurut
Hamdayana (2014: 201) mengemukakan bahwa Think Pair Share (TPS)
merupakan suatu teknik sederhana untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam
mengingat suatu informasi atau materi dan didiskusikan dengan temannya
sehingga memperoleh pengalaman belajar dari teman lainnya.
Jadi menurut ahli Arends, Huda, Shoimin, Hamdayana dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran Think Pair Share (TPS) yaitu suatu teknik atau cara
yang digunakan dalam proses pembelajaran dengan menuntut siswa untuk
memecahkan masalah kemudian didiskusikan dengan teman sebangku, setelah itu
dipresentasikan di depan teman-temannya. Model pembelajaran Think Pair Share
(TPS) ini dilakukan supaya siswa dapat berpikir atau mengingat pembelajaran
yang dilakukan dan memperoleh pengalaman belajar dari teman lainnya.
2.1.10 Komponen Model Pembelajaran Think Pairs Share (TPS)
Komponen dalam pembelajaran menggunakan model Think Pairs Share
(TPS) menurut Aqib (2013: 25) yaitu sebagai berikut :
a. Think (berpikir)
Pembelajaran TPS diawali dengan pemberian masalah dari guru, kemudian
siswa diminta untuk berpikir dalam memecahkan masalah yang telah diberikan
oleh guru. Dalam memecahkan masalah siswa dituntut untuk tekun belajar dan
aktif mencari referensi supaya dalam memecahkan masalah tersebut lebih mudah.
b. Pair (berpasangan)
Setelah siswa berpikir atau memecahkan masalah yang diberikan oleh guru,
kemudian siswa diminta untuk berkelompok dengan teman satu bangku. Dengan
berkelompok ini, siswa diminta untuk mendiskusikan hasil pemikirannya atau
20
bertukar pendapat tentang pemecahan masalah tersebut, sehingga siswa dapat
memperoleh pengetahuan yang lebih banyak, salng menghargai pendapat orang
ain, dan dapat bekerja sama dengan temannya.
c.
Share (berbagi)
Pada tahap share (berbagi) ini merupakan tahap dimana siswa membagikan
hasil pemikirannya atau pekerjaannya. Setelah selesai berdiskusi dengan teman
sebangku, kemudian salah satu siswa membagikan atau mempresentasikan hasil
pekerjaannya ke semua teman satu kelas. Pada tahap terakhir ini, semua siswa
akan memperoleh keuntungan mendapatkan pengalaman atau berbagai cara untuk
menyelesaikan suatu masalah dari berbagai kelompok dengan cara mendengarkan
teman lain saat presentasi di depan.
2.1.11 Langkah-langkah Model Pembelajaran Think Pairs Share (TPS)
Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) mempunyai beberapa
langkah. Hamdayana (2014: 202) mengemukakan langkah yang harus dilakukan
dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran TPS yaitu sebagai
berikut:
a. Tahap Pendahuluan
Pembelajaran dimulai dengan apersepsi dan memotivasi siswa agar terlibat
dalam proses pembelajaran. Pada tahap ini, guru menjelaskan aturan main atau
memberi masalah kepada siswa pada proses pembelajaran.
b. Tahap Think (berpikir secara individual)
Setelah siswa diberi masalah dari guru, kemudian siswa diminta untuk
berpikir atau memecahkan masalah tersebut secara individu. Selain itu, guru juga
memberi waktu atau kesempatan kepada siswa untuk memecahkan masalah
tersebut.
21
c. Tahap Pairs (berpasangan dengan teman sebangku)
Pada tahap ini, guru mengelompokkan siswa secara berpasangan. Penentuan
kelompok berpasangan ditentukan oleh guru yaitu dari teman sebangku masingmasing siswa, sehingga siswa tidak memilih kelompok sendiri dengan teman yang
pintar dan tidak meninggalkan teman sebangkunya. Setelah berkelompok secara
berpasangan, kemudian siswa diminta untuk mendiskusikan hasil pemikirannya
atau pemecahannya dengan teman sebangkunya. Dengan berdiskusi, siswa
diharapkan dapat bertukar pendapat sehingga dapat memecahkan masalah dengan
teman sebangku.
d. Tahap Share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau seluruh kelas)
Setelah berdiskusi dengan teman sebangku, kemudian perwakilan kelompok
diminta untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan teman-teman satu
kelas. Pada tahap ini, siswa memperoleh banyak cara yang berbeda atau
pengalaman dalam memecahkan masalah dari teman-temannya yang presentasi di
depan.
e. Tahap Penghargaan
Tahap penghargaan yaitu tahap pemberian nilai baik secara individu maupun
kelompok.
Prosedur pelaksanaan pembelajaran atau langkah-langkah dibuat atau
dirancang sebelum pembelajaran dilaksanakan, sehingga setelah membuat
langkah pembelajaran tersebut guru mempunyai kesempatan untuk mempelajari
atau memahami dahulu langkah-langkah yang akan dilakukan dalam proses
pembelajaran. Mempelajari atau memahami dahulu langkah-langkah yang telah
dibuat bertujuan supaya dalam mengimplementasikan dapat berjalan dengan
lancar dan tidak lupa urutan langkah pembelajaran yang akan dilakukan.
Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) yaitu teknik pembelajaran
dengan meminta siswa untuk memecahkan masalah, kemudian mendiskusikan
dengan teman sebangku, dan mempresentasikannya di depan teman sekelas.
22
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pembelajaran menggunakan model
Think Pairs Share (TPS) yaitu sebagai berikut :
Tabel 2.2 Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran Matematika Menggunakan
Model Think Pairs Share (TPS)
Kegiatan Guru
Guru menjelaskan materi
1.
yang
akan
dipelajari
kepada siswa
Guru
memberikan
2.
masalah
setelah
menjelaskan
materi,
kemudian siswa diminta
untuk mengerjakan atau
memecahkan
masalah
tersebut secara individual
Guru
meminta
siswa
3.
untuk
berkelompok
dengan teman sebangku,
kemudian mendiskusikan
hasil pemikiran siswa
masing-masing
Guru
meminta
siswa
4.
perwakilan
kelompok
untuk mempresentasikan
hasilnya
Guru menilai siswa secara
5.
individu
maupun
kelompok
Tahapan Pelaksanaan
Kegiatan Siswa
Tahap Pendahuluan
Siswa menerima meteri
dari penjelasan guru
Tahap Think (berpikir Siswa menerima masalah
secara individual)
yang diberikan oleh guru
kemudian mengerjakan
atau
memecahkan
masalah tersebut dengan
caranya sendiri
Tahap
Pairs Siswa
berkelompok
(berpasangan dengan dengan teman sebangku
teman sebangku)
kemudian
berdiskusi
mengenai hasil pemikiran
masing-masing
Tahap Share (berbagi
jawaban
dengan
pasangan lain atau
seluruh kelas)
Tahap Penghargaan
Siswa
perwakilan
kelompok
mempresentasikan hasil
kerja kelomponya
Siswa menerima nilai
yang diberikan oleh guru
2.1.12 Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Think Pairs Share
Hamdayana (2014: 203) mengemukakan model pembelajaran TPS
mempunyai beberapa kelebihan, yaitu sebagai berikut :
a. TPS mudah diterapkan di berbagai jenjang pendidikan dan dalam setiap
kesempatan.
b. Menyediakan waktu berpikir untuk meningkatkan kualitas respons siswa.
23
c. Siswa menjadi lebih aktif dalam berpikir mengenai konsep dalam mata
pelajaran.
d. Siswa lebih memahami tentang konsep topik pelajaran selama diskusi.
e. Siswa dapat belajar dari siswa lain.
f. Setiap siswa dalam kelompoknya mempunyai kesempatan untuk berbagi atau
menyampaikan ide.
Selain kelebihan, TPS juga mempunyai kelemahan-kelemahan. Hamdayana
(2014: 204) mengemukakan kelemahan TPS yaitu sebagai berikut :
a. Tidak selamanya mudah bagi siswa untuk mengatur cara berpikir sistematik.
b. Lebih sedikit ide yang masuk.
c. Jika ada perselisihan, tidak ada penengah dari siswa dalam kelompok yang
bersangkutan sehingga banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor.
d. Jumlah murid yang ganjil berdampak pada saat pembentukan kelompok,
karena ada salah satu murid tidak mempunyai pasangan.
e. Banyak kelompok yang terbentuk.
f. Menggantungkan pada pasangan.
2.1.13 Hasil Belajar
Nawawi (2007) dalam Ahmad Susanto (2013: 5) mengemukakan bahwa
hasil belajar adalah tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi
pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari tes mengenai
materi yang dipelajari. Nana Sudjana (2011: 22) mengemukakan hasil belajar
yaitu kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah ia menerima
pengalaman belajarnya. Menurut Susanto (2013: 5) menyimpulkan bahwa hasil
belajar yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada siswa pada aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar.
Jadi dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
adalah perubahan tingkah laku dan kemampuan dari yang tidak bisa menjadi bisa
setelah menerima pengalaman belajar.
24
2.1.14 Penilaian Hasil Belajar
Untuk dapat menentukan tercapai tidaknya tujuan pendidikan dan
pengajaran perlu dilakukan usaha atau tindakan penilaian atau evaluasi. Proses
belajar dan mengajar adalah proses yang bertujuan. Tujuan tersebut dinyatakan
dalam rumusan tingkah laku yang diharapkan dimiliki siswa setelah
menyelesaikan pengalaman belajarnya.
Dalam Ahmad Susanto (2013: 5), Sunal (1993) mengemukakan bahwa
penilaian adalah proses penggunaan informasi untuk membuat pertimbangan
secara efektif dari suatu proses pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa.
Menurut Nana Sudjana (1988: 111) menyimpulkan bahwa penilaian adalah
memberikan pertimbangan atau harga terhadap sesuatu berdasarkan kriteria
tertentu.
Hosnan (2014: 387) mengemukakan :
Penilaian atau asesmen hasil belajar siswa artinya untuk mengukur
kompetensi atau kemampuan tertentu terhadap kegiatan yang telah
dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran, sedangkan penilaian untuk
mengetahui sikap yang digunakan dalam teknik nontes.
Dalam proses belajar mengajar penilaian berfungsi untuk mengetahui
tercapai tidaknya suatu tujuan pengajaran/instruksional dan sebagai bahan dalam
memperbaiki proses belajar mengajar. Sedangkan penilaian yang lebih banyak
ditujukan untuk mengetahui hasil belajar siswa disebut penilaian sumatif yang
pelaksanaannya oleh guru dilakukan pada akhir program seperti akhir semester,
tengah semester dan lain-lain.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa penilaian adalah pedoman yang dilakukan
oleh guru untuk mengetahui kemampuan atau hasil belajar siswa terhadap
kegiatan yang telah dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran dengan kriteria
tertentu. Penilaian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tes dan non tes.
25
A. Teknik Tes
Menurut Mardapi (2008) dalam Eko Putro Widoyoko (2014: 2), tes (test)
merupakan salah satu cara untuk menaksir besarnya kemampuan seseorang secara
tidak langsung, yaitu melalui respon seseorang terhadap stimulus atau pertanyaan.
Mansyur, dkk (2009) dalam Eko Putro Widoyoko (2014: 2) berpendapat :
Tes sebagai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, atau
sejumlah pertanyaan yang harus diberi tanggapan dengan tujuan mengukur
tingkat kemampuan seseorang atau mengungkap aspek tertentu dari orang
yang dikenai tes (testee).
Widoyoko (2014: 2), tes merupakan alat ukur untuk memperoleh informasi
hasil belajar siswa yang memerlukan jawaban atau respons benar atau salah. Tes
merupakan bagian tersempit dari evaluasi.
Berdasarkan pendapat Djemari Mardapi, Mansyur, Adi Suryanto, dan Eko
Putro Widoyoko, tes adalah salah satu cara atau alat untuk mengukur kemampuan
siswa terhadap pembelajaran yang sudah dilakukan dengan pemberian pertanyaan
yang sudah direncanakan. Berdasarkan alat pelaksanaannya secara garis besar alat
penilaian dengan teknik tes dapat dikelompokkan sebagai berikut :
i.
Tes Tertulis
Tes tertulis adalah suatu teknik penilaian yang menuntun jawaban dari
siswa secara tertulis. Tes tertulis ini dapat berbentuk pilihan ganda, menjodohkan,
benar-salah, isian singkat, atau uraian (essay).
ii.
Tes Lisan
Tes lisan adalah suatu teknik penilaian hasil belajar siswa yang pertanyaan
dan jawabannya disampaikan secara lisan. Dalam penilaian menggunakan tes
lisan ini menggunakan pedoman penskoran.
B. Teknik Non Tes
Teknik non tes merupakan teknik penilaian untuk memperoleh gambaran
terutama mengenai karakteristik, sikap, atau kepribadian. Teknik non tes lebih
sesuai digunakan untuk menilai aspek tingkah laku. Dalam proses pembelajaran
pada umumnya kegiatan penilaian mengutamakan teknik tes. Hal ini dikarenakan
26
lebih berperannya aspek pengetahuan dan keterampilan dalam pengambilan
keputusan yang dilakukan guru pada saat menentukan pencapaian hasil belajar
siswa. Seiring dengan berlakunya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
yang didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, maka teknik
penilaian harus disesuaikan dengan hal-hal sebagai berikut :
i. Kompetensi yang diukur
ii. Aspek yang akan diukur (pengetahuan, keterampilan atau sikap)
iii. Kemampuan siswa yang akan diukur
iv. Sarana dan prasarana yang ada
Teknik penilaian nontes dapat dikelompokkan sebagai berikut :
i.
Pengamatan atau Observasi
Observasi yaitu pengamatan kepada tingkah laku pada suatu situasi
tertentu. Observasi bisa dalam situasi yang sebenarnya atau observasi langsung
dan situasi buatan atau observasi tidak langsung. Kedua jenis observasi ini dapat
dilaksanakan secara sistematik, yaitu dengan menggunakan pedoman observasi
dan tidak observasi (tanpa pedoman).
ii.
Penugasan
Penugasan adalah suatu teknik penilaian yang menekankan siswa untuk
mengerjakan atau melakukan suatu tugas di luar kegiatan pembelajaran. Penilaian
dengan penugasan diberikan oleh guru, baik secara individual atau kelompok.
Penilaian dengan penugasan dapat berupa tugas atau proyek.
2.2 Hasil Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa terdapat pengaruh
yang positif dan signifikan penerapan pembelajaran konstektual terhadap hasil
belajar matematika. Penelitian ini dilakukan oleh Lies Setyaningrum yang
berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Konstektual terhadap Hasil Belajar
Matematika”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh model
pembelajaran konstektual terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD
Negeri Se-Gugus III Kartini menggunakan Pretest Posttest Control Group
27
Design. Pada hasil uji dengan taraf signifikansi 0,05, nilai
> 1,992). Jadi,
ditolak dan
>
(2,317
diterima, sehingga ada pengaruh yang positif
dan signifikan penerapan model pembelajaran konstektual terhadap hasil belajar
Matematika.
Peneliti yang lain yaitu Darhim yang berjudul “Pengaruh Pembelajaran
Matematika Konstektual terhadap Hasil Belajar Siswa Sekolah Dasar Kelas
Awal”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah hasil belajar siswa
dengan PMK dan PMB menggunakan eksperimen dengan kontrol. Hasil
penelitian ini ditinjau dari keseluruhan maupun dari kelompok sekolah (baik dan
sedang) pembelajaran matematika konstektual berpengaruh lebih baik terhadap
hasil belajar siswa daripada pembelajaran matematika biasa.
Peneliti yang lain yaitu Windi Septyani yang berjudul “Pengaruh
pembelajaran
Matematika
Berbasis
Konstektual
terhadap
Hasil
Belajar
Matematika Siswa Kelas IV SD Negeri 02 Salatiga Tahun Pelajaran 2012/2013.
Hasil analisis data diperoleh nilai signifikan 0,000 < 0,05 yang berarti terdapat
pengaruh pembelajaran matematika menggunakan pendekatan konstektual (kelas
eksperimen) dengan rata-rata hasil belajar matematikanya sebesar 87,81,
sedangkan dengan menggunakan model konvensional (kelas kontrol) dengan ratarata hasil belajar matematikanya sebesar 80,22. Hasil dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pendekatan konstektual terhadap hasil
belajar matematika siswa kelas IV SD Negeri 02 Salatiga tahun pelajaran
2012/2013.
Selain penelitian tentang model pembelajaran CTL, peneliti lain juga
meneliti model pembelajaran yang berbeda. Penelitian tersebut yaitu Pujiono yang
berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS)
Terdahap Hasil Belajar Matematika SMP Negeri 3 Getasan”. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang signifikan model pembelajaran
kooperatif Think Pairs Share (TPS) materi garis dan sudut bagi siswa kelas VIIB
SMP Negeri 3 Getasan. Hasil analisis data yang diperoleh t hitung yaitu sig 0,003
< 0,05 yang berarti
ditolak. Jadi, hasil penelitian yang dilakukan oleh Pujiono
28
yaitu model pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS) lebih efektif dengan
nilai rata-rata 75,57 daripada menggunakan model pembelajaran konvensional.
Peneliti yang lain yaitu Yani Purbaningrum yang berjudul “Pengaruh
Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) Terhadap Hasil Belajar Matematika
Siswa Ditinjau dari Minat Belajar Siswa Semester II Tahun Ajaran 2011/2012 di
SD Negeri Salatiga 06” dengan menggunakan eksperimen semu (quasi
eksperimental research). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Think
Pair Share (TPS) berpengaruh terhadap hasl belajar matematika siswa ditinjau
dari minat siswa kelas III Tahun Ajaran 2011/2012 di SD Negeri Salatiga 06 dan
untuk mengetahui apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dan minat
belajar terhadap hasil belajar matematika siswa ditinjau dari minat siswa kelas III
Tahun Ajaran 2011/2012 di SD Negeri Salatiga 06. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan hasil belajar matematika
siswa dengan hasil uji menunjukkan bahwa perbedaan tidak signifikan dengan
nilai sig. 0,067 > 0,05 maka
diterima.
Peneliti yang lain yaitu Juli Rahayu dengan judul “Efektivitas Model
Cooperative Learning Tipe TPS (Think Pair Share) Terhadap Hasil Belajar
Kognitif, Afektif, dan Psikomotor Siswa pada Pelajaran Matematika Bangun
Ruang Kelas V SD Gugus Hasanudin Kecamatan Andong Kabupaten Boyolali.
Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen, yaitu Pre Test – Post Test
Control Group Design. Hasil penelitian yang dilaksanakan menunjukkan nilai
signifikan 0,035 < 0,05 dan signifikan ranah afektif 0,011 < 0,0, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan untuk pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran cooperative learning tipe Think Pair
Share dengan metode konvensional.
2.3 Kerangka Pikir
Matematika merupakan mata pelajaran yang dikenal semua orang, dan
diberikan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi,
bahkan masyarakat. Matematika mata pelajaran yang berhubungan dengan angka
atau perhitungan, sehingga banyak siswa yang tidak menyukai mata pelajaran
29
tersebut, karena bagi mereka perhitungan itu sulit, membingungkan. Proses
pembelajaran matematika di lapangan masih didominasi oleh guru, pembelajaran
yang dilakukan juga biasa. Oleh karena itu, siswa menjadi tidak semangat belajar
atau tidak ada keinginan untuk belajar apalagi pembelajaran matematika bagi
mereka membosankan.
Masalah yang dihadapi siswa tersebut, memunculkan ide untuk
menerapkan model pembelajaran saat proses pembelajaran berlangsung.
Pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran dengan teknik atau cara
yang berbeda, diharapkan siswa menjadi semangat atau menyukai pembelajaran
matematika dan dapat memperoleh pengalaman belajar serta lebih mudah
memahami pembelajaran yang dilakukan. Selain itu, dengan penerapan model
diharapkan akan berpengaruh baik terhadap hasil belajar mereka, sehingga hasil
belajarnya menjadi lebih bagus atau meningkat. Penerapan model pembelajaran
yang dianggap cocok dengan masalah yang dihadapi siswa tersebut yaitu, model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share
(TPS).
Jadi, dengan penerapan kedua model ini, diharapkan dapat menjadikan
siswa lebih mudah memahami pembelajaran atau masalah matematika. Model
pembelajaran CTL menekankan pembelajaran dengan menemukan sendiri
(inkuiri) atau memecahkan masalah yang diberikan oleh guru dengan temannya 4
orang atau berkelompok. Setelah berdiskusi, kemudian perwakilan kelompok
mempresentasikannya. Model CTL menggunakan benda nyata atau sebenarnya,
sehingga siswa melihat sendiri benda tersebut dan diharapkan dapat lebih
mengerti pembelajaran yang dilakukan. Sedangkan TPS menekankan aspek-aspek
atau masalah yang diberikan oleh guru, kemudian memecahkannya secara
berkelompok dengan teman sebangku dan mempresentasikannya, sehingga
pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan mudah untuk diingat. Jadi, dengan
menggunakan model pembelajaran CTL dan Think Pairs Share (TPS) diharapkan
dapat memberi pengaruh baik pada hasil belajar matematika siswa.
Model
pembelajaran
Contextual
Teaching
and
Learning
(CTL)
mempunyai beberapa sintaks yang juga diharapkan dapat berpengaruh terhadap
30
hasil belajar matematika siswa. Sintaks dari model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) yaitu tahap pertama, diharapkan siswa dapat
melakukan kegiatan belajar yang bermakna. Tahap kedua, siswa diharapkan dapat
menemukan suatu fakta dari permasalahan yang disajikan guru. Tahap ketiga,
siswa melakukan pertanyaan-pertanyaan. Tahap keempat, siswa melakukan
diskusi dan tanya jawab dengan teman sekelas. Tahap kelima, siswa
mendengarkan guru saat menjelaskan menggunakan model atau media
sebenarnya. Tahap keenam, siswa melakukan refleksi atas kegiatan yang telah
dilakukan. Tahap ketujuh, siswa menyimpulkan pembelajaran yang telah
dilakukan.
Model pembelajaran Think Pairs Share (TPS) juga mempunyai beberapa
sintak yang diharapkan dapat mempengaruhi hasil belajar matematika siswa.
Sintaks tersebut yaitu tahap pendahuluan, siswa dijelaskan materi pembelajaran
dan diberi masalah. Tahap think, setelah memperoleh masalah dari guru,
kemudian siswa diberi kesempatan berpikir untuk memecahkan masalah tersebut
secara individual. Tahap pair, siswa berkelompok dengan teman sebangku dan
berdiskusi mengenai hasil pemikiran masing-masing. Tahap share, siswa
perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusinya di depan temantemannya. Tahap penghargaan, siswa dinilai oleh guru baik secara individu
maupun kelompok.
Berdasarkan sintaks model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS) tersebut, diharapkan siswa memiliki
semangat untuk menyelesaikan suatu masalah dengan caranya sendiri dan mampu
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pembelajaran yang
dilakukan mudah diingat. Oleh karena itu siswa dapat belajar secara aktif sesuai
dengan sintaks dari model pembelajaran yang digunakan, sehingga kedua model
tersebut dapat efektif diterapkan dalam pembelajaran matematika. Model efektif
yang dimaksudkan adalah hasil belajar yang diperoleh siswa saat pembelajaran
menggunakan model lebih bagus atau lebih meningkat daripada hasil belajar yang
sebelumnya atau pembelajaran konvensional tidak menggunakan model.
31
Berikut gambar bagan kerangka pikir penggunaan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) :
Contextual Teaching
and Learning (CTL)
Menyelesaikan
Sintak / Langkah-langkah
masalah yang
berhubungan dengan
Mengembangkan
pikiran
Minat
siswa
muncul
penjumlahan pecahan
berpenyebut sama
Menyelesaikan
Kegiatan Inkuiri
Mengembangkan
rasa ingin tahu
Melakukan
diskusi
Penggunaan
model
Kegiatan refleksi
Mandiri
masalah yang
Rasa
ingin
tahu
tinggi
berhubungan dengan
pengurangan pecahan
berpenyebut sama
Tanggung
jawab
Menyelesaikan
Hasil
Belajar
masalah yang
berhubungan dengan
Kerja
sama
penjumlahan pecahan
dengan penyebut
Kritis
berbeda
Komuni
katif
Menyelesaikan
masalah yang
berhubungan dengan
Penilaian
Teliti
pengurangan pecahan
dengan penyebut
berbeda
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir Model Contextual Teaching and
Learning (CTL)
32
Kerangka
pikir
pembelajaran
menggunakan
model
pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) di atas sesuai dengan teori belajar
Piaget bahwa pengetahuan atau pemahaman siswa itu ditemukan, dibentuk, dan
dikembangkan oleh siswa sendiri.
Sedangkan gambar bagan kerangka pikir penggunaan model pembelajaran
Think Pairs Share (TPS) yaitu sebagai berikut :
Menyelesaikan masalah
Think Pairs
Share (TPS)
yang berhubungan
dengan pengurangan
pecahan dengan
Sintak / Langkah-langkah
Tahap
Pendahuluan
Minat
siswa
muncul
Rasa ingin
tahu tinggi
Tahap Think
Mandiri
Kritis
penyebut berbeda
Menyelesaikan masalah
yang berhubungan
dengan pengurangan
pecahan dengan
penyebut berbeda
Menyelesaikan masalah
yang berhubungan
Tahap Pairs
Kerja
sama
Hasil
Belajar
dengan pengurangan
pecahan dengan
Tahap Share
Tanggung
jawab
Disiplin
penyebut berbeda
Menyelesaikan masalah
yang berhubungan
Tahap
Penghargaan
Komuni
katif
dengan pengurangan
pecahan dengan
Teliti
penyebut berbeda
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pikir Model Think Pairs Share (TPS)
33
Kerangka pikir pembelajaran menggunakan model pembelajaran Think
Pair Share (TPS) di atas sesuai dengan teori belajar Ausubel juga menjelaskan
bahwa belajar menjadi bermakna bila informasi yang diterima siswa itu disusun
sendiri sesuai dengan pemikiran siswa.
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori, kajian hasil penelitian yang relevan, dan
kerangka pikir yang telah dibahas, diduga model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) dan Think Pairs Share (TPS) dapat mempengaruhi
hasil belajar matematika siswa. Perumusan dari suatu hipotesis adalah sebagai
berikut :
: Tidak ada perbedaan hasil belajar Matematika yang signifikan dalam
penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan
Think Pairs Share (TPS) pada kelas IV SD Negeri 5 Putatsari Grobogan.
: Ada perbedaan hasil belajar Matematika yang signifikan dalam penerapan
model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan Think
Pairs Share (TPS) pada kelas IV SD Negeri 5 Putatsari Grobogan.
Download