surya medika gambaran perilaku faktor pemungkin (enabling factors)

advertisement
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
GAMBARAN PERILAKU FAKTOR PEMUNGKIN (ENABLING
FACTORS) DALAM PELAKSANAAN KEWASPADAAN UMUM
TENAGA PERAWAT DALAM MELAYANI PASIEN SUSPECT
HIV/ AIDS DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA
Oleh :
Yelli Yani Rusyani5
ABSTRACT
Background: Increasing prevalence of HIV/AIDS also increases risk of health staff in services
suspect HIV/AIDS patient, especially when universal preacaution is not implemented to all patients.
Objective: This study aims to understand in depth about the behavior description actuating
universal precaution of nurses in serving patients with HIV/AIDS suspect at PKU Muhammadiyah
Hospital Yogyakarta.
Method: This study used a qualitative approach with the case method. The subject of the study is
consisted of 14 nurses who conduct risk prevention in the Arofah and Marwah Rooms.
Triangulation research used the observation and interview with supervisors in Arofah and Marwah
Rooms, the management and HIV/AIDS team as a prerequisite for the validity of the study.
Result: The result of this study is not all nurses comply uses APD before and after the action.
Enabling factor in the implementation of public awareness of nurses in serving patients suspected
of HIV / AIDS is the hospital has adequate facilities in the care of patients suspected of HIV / AIDS,
training / refreshing and VCT, there are no rules.
Keywords: universal, precaution, behavior, nurses, staff, suspect, HIV, AIDS
5
Staf Pengajar Stikes Surya Global Yogyakarta
27
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
PENDAHULUAN
Rumah sakit merupakan instansi
kesehatan yang berperan penting untuk
melawan penyebaran HIV/AIDS dan
memberikan perawatan bagi penderita
HIV/AIDS. Rumah sakit memiliki potensi
penularan penyakit seperti HIV/AIDS,
hepatitis, TBC, Demam Berdarah, SARS
dsb. Oleh karena itu, universal
precaution diajarkan kepada perawat,
bidan, dokter dan petugas kesehatan
lainnya di tiap rumah sakit agar tidak
tertular dari pekerjaannya (Achmadi U.F.,
2005). Petugas kesehatan menghadapi
peningkatan risiko kematian akibat
penyakit yang ditularkan melalui darah
contohnya HIV dan penyakit lain,
dibandingkan pekerja di bidang lain (The
Kaiser daily HIV/AIDS Report. 2008).
Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS
meningkatkan
pula
risiko
tenaga
kesehatan yang dapat tertular dari darah
pasien yang terinfeksi HIV, khususnya
jika kewaspadaan terhadap darah dan
cairan tubuh tidak dilaksanakan terhadap
semua pasien. Tenaga kesehatan perlu
mempertimbangkan
bahwa
semua
pasien berpotensi untuk terinfeksi
penyakit HIV/AIDS maupun penyakit
menular lannya dan untuk menerapkan
kewaspadaan untuk meminimalkan risiko
penularan dari darah serta cairan tubuh
semua pasien (Centers For Disease
Control (CDC). 1987).
Harus ditekankan bahwa pedoman
tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk
melindungi terhadap penularan HIV
tetapi yang tidak kalah penting terhadap
infeksi lain yang dapat berat dan
sebetulnya lebih mudah menular, karena
akan sulit untuk mengetahui apakah
pasien terinfeksi atau tidak. Petugas
layanan kesehatan harus menerapkan
kewaspadaan umum secara penuh
dalam hubungan dengan semua pasien.
Ada
banyak
alasan
mengapa
kewaspadaan umum tidak diterapkan,
SURYA MEDIKA
termasuk: petugas layanan kesehatan
kurang pengetahuan, kurang dana untuk
menyediakan pasokan yang dibutuhkan,
misalnya sarung tangan dan masker,
Penyediaan pasokan tersebut kurang,
petugas layanan kesehatan ‘terlalu
sibuk’,
dianggap
ODHA,
harus
mengatakan bahwa dirinya HIV-positif
agar kewaspadaan dapat dilakukan
(Yayasan Spiritia, diakses 18 februari
2009)
Berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan Provinsi DIY, bahwa distribusi
kasus HIV/AIDS yang dilaporkan dari
tahun 2003 sampai dengan Juli 2008
berjumlah 557 kasus ; laki-laki 237
kasus, perempuan 150 kasus, waria 1
kasus dan tidak diketahui 169 kasus
(Dinas Kesehatan Provinsi DIY. 2008).
Hasil wawancara observasi awal
melakukan pada tanggal 1 April 2009
dengan koordinator HIV/AIDS dan
manajer kasus yang ada di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta bahwa
pada hari itu ada pasien yang dirawat
dengan diagnosis HIV/ AIDS dan baru
saja merujuk pasien AIDS ke rumah sakit
Sardjito bukan karena menolak dengan
statusnya AIDS tetapi tidak memadainya
fasilitas karena pasien tersebut terkena
kanker.
Berdasarkan data dari penelitian
Puspita bahwa tingkat kepatuhan
pelaksanaan kewaspadaan umum oleh
perawat masih rendah yakni hanya 64
responden dari 220 responden atau
sebesar 33,5% (Puspita Dentiana. 2008).
Perawat merupakan salah satu
pemberi pelayanan yang mempunyai
risiko dalam penanganan kasus HIV/
AIDS. Termasuk untuk perawat di
Bangsal “Arofah” dan Bangsal “Marwa”.
Selama ini pelayanan yang diberikan
oleh perawat dalam penanganan kasus
HIV/ AIDS adalah sarung tangan dan
masker. Walau demikian masih ada
perawat yang merasa ‘ribet’ apabila
28
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
harus pakai alat pelindung diri dan
menganggap pelayanan akan lebih cepat
bila tidak menggunakan alat pelindung
diri. Seharusnya dalam memberikan
pelayanan,
kewaspadaan
umum
(universal precaution) tetap harus
dilaksanakan. Masih ada juga perawat
bila telah menyuntik pasiennya, perawat
tersebut masih saja memasukkan jarum
suntik ke dalam spuitnya dengan
menggunakan dua tangan tanpa harus
menutup kembali spuitnya,
padahal
tempat
sampah
khusus
sudah
disediakan oleh pihak rumah sakit atau
dengan prosedur menutup dengan satu
tangan.
Petugas kesehatan
yang
melayani mempunyai risiko untuk tertular
penyakit dan menuntut adanya kesiapan
dalam mencegah penularan penyakit
HIV/ AIDS.
Berdasarkan hasil wawancara
dengan pihak manajemen rumah sakit
diperoleh data awal bahwa sosialisasi
dan
pelatihan
tentang
pelayanan
komprehensif HIV/ AIDS
pernah
diberikan oleh pihak rumah sakit, dan
pihak
manajemen
mengharuskan
perawat untuk menerapkan sistem
kewaspadaan
umum
(universal
precaution)
dalam
memberikan
pelayanan
pada
pasiennya
tapi
mayoritas
perawat
jarang
melaksanakannya.
Adanya kondisi tersebut diperlukan
penelitian yang bersifat kualitatif. Adanya
program
dari
pemerintah
dalam
penanganan HIV/ AIDS, maka kiranya
perlu
di
Rumah
Sakit
PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta
untuk
menjalankan suatu pelayanan yang
berkualitas
dalam
memberikan
pelayanan HIV/ AIDS dengan tidak
melanggar hak pasien dan menjamin
keamanan dan keselamatan petugas
kesehatan serta pasien lain dalam
memberikan pelayanan.
SURYA MEDIKA
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode
studi kasus. Subyek dalam penelitian ini
disebut dengan responden penelitian
yang berjumlah 14 tenaga perawat yang
ditentukan secara purposive sampling
(Sugiyono,2008) dan untuk triangulasi
menggunakan triangulasi sumber yaitu
supervisor, pihak manajemen serta tim
HIV/ AIDS yang selanjutnya disebut
dengan informan penelitian. Obyek
dalam penelitian ini adalah pelaksanaan
kewaspadaan umum tenaga perawat.
Pengumpulan data dilakukan dengan
metode indept interview terhadap subyek
penelitian, supervisor, pihak manajemen
serta tim HIV/AIDS . Obervasi untuk
melihat kegiatan
yang dilakukan
tenaga perawat dan cek list
untuk
mengetahui sarana dan prasarana yang
mendukung pelaksanaan kewaspadaan
umum. Pengolahan data dilakukan
dengan metode content analysis dari
Miles dan Huberman yang meliputi
reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan (Milles, M.B.
Huberman, A.M; Penerjemah Rohindi
T.R. 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perilaku Pelaksanaan Kewaspadaan
Umum
Alat Pelindung Diri (APD)
Pertama, Sarung tangan perawat
yang mendapat pelatihan: sebagian
besar
menggunakan alat ini bila
dianggap penting karena perawat sering
lupa, terburu-buru, merasa sibuk, ribet ,
tidak lancar dan tidak nyaman.
Perawat yang belum mendapat
pelatihan: Separuh responden kadangkadang saja menggunakan sarung
tangan, responden sering pilih diagnose
pasien dengan alasan untuk efisiensi
29
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
karena jumlah sarung tangan yang
tersedia minim dan separuh lagi selalu
pakai sarung tangan karena bila tidak
pakai kadang mendapat teguran teman.
Hal ini mempunyai hasil yang sama
antara wawancara dan observasi dan
didukung oleh Ji,G,. (2005) prevalensi
ketidakpatuhan penggunaan sarung
tangan saat memeriksa dan menolong
pasien sebesar 60% dari 137 responden.
Didukung pula oleh Puspita yang
menyatakan bahwa tingkat kepatuhan
pelaksanaan kewaspadaan umum masih
rendah sebesar 33, 5%.
Sebagian
besar
perawat
memakai sarung tangan non steril
double dalalm melayani pasien suspect
HIV/AIDS karena responden merasa
sarung tangan yang dipakai tipis dan
merasa takut sobek.
Yanri dalam pedoman bersama
ILO/ WHO, APD akan mencegah
pajanan dari percikan darah dan akan
mencegah luka karena jarum suntik.
Penggunaan sarung tangan ganda
dalam tindakan telah mengurangi
tusukan dari sarung tangan bagian
dalam sampai 60-70%.
a. Masker, perawat sebagian besar
jarang
menggunakan masker.
Masker hanya digunakan untuk
kasus tertentu dan hanya sebagian
kecil saja yang selalu pakai masker.
Hal ini Bertentangan dengan Yunus
dalam recommendation isolation
yang menyatakan bahwa gunakan
masker
jika
masuk
ruangan.
Nursalam juga mengungkapkan
bahwa
komponen
utama
kewaspadaan
umum
meliputi;
masker yang digunakan untuk
melindungi selaput mata, hidung,
mulut saat terjadi kontak atau untuk
menghindari cipratan darah dan
cairan tubuh setiap berganti pasien
dan untuk pasien infeksi respirasi.
b.
Baju tindakan; Sebagian besar
perawat jarang menggunakan baju
tindakan karena merasa tidak
nyaman, ribet, risih dan dianggap
menghabiskan
waktu.
Hanya
sebagian kecil yang selalu pakai
baju tindakan. Baju tindakan ini
digunakan
responden
untuk
medikasi, masuk ruang isolasi dan
saat membersihkan alat-alat yang
telah dipakai pasien.
c.
Kaca mata, Semua respoden tidak
meggunakan
kaca
mata.
Responden merasa tidak perlu
dalam tindakan memakai kaca mata
dan di ruang “Arofah” maupun
“Marwa” kaca mata tidak tersedia.
d.
Sandal tindakan sebagian besar
tidak menggunakannya karena di
ruangan tidak tersedia dan hanya
sebagian kecil perawat yang kadang
menggunakanya yaitu pada saat
responden masuk ruang isolasi di
“A”.
Hal ini didukung oleh Priambodo,
yang menyatakan bahwa tidak semua
APD dipakai dalam waktu yang
bersamaan
tapi
tergantung
jenis
tindakan.
1. Cuci Tangan Sebelum Dan Sesudah
Tindakan
Perawat
yang
mendapat
pelatihan: Sebagian besar selalu
cuci tangan sebelum tindakan. hal
ini dianggap penting oleh perawat
walaupun
perawat
telah
mempergunakan sarung tangan dan
dianggap sebagai suatu kebiasaan
perawat.
Perawat
yang tidak
mencuci tangan merasa tangannya
sudah bersih, suka lupa dan adanya
anggapan bahwa perawat dalam
melakukan
tindakan
memakai
sarung tangan serta sering terburu-
30
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
buru. Semua perawat selalu cuci
tangan sesudah tindakan dan
separuh
perawat
menyatakan
sarung tangan memberi alasan takut
bocor karena sarung tangan tipis,
mencegah infeksi silang
dan
separuh lagi menyatakan adanya
rasa “risih” karena di dalam sarung
tangan ada sejenis tepung. Perawat
yang mendapat pelatihan: semua
responden menyatakan selalu cuci
tangan sebelum dan sesudah
tindakan karena merupakan suatu
kebiasaan.
Penggunaan sabun; sebagian besar
perawat cuci tangan memakai sabun
dengan air kran yang mengalir dan
hanya sebagian kecil saja yang
mencuci tangannya tanpa sabun
karena alergi terhadap sabun
perawat ganti dengan menggunakan
alkohol semprot.
Pemakaian Lap/ handuk digunakan
perawat berkali-kali dan tisu baik di
ruang Arofah dan Marwah tidak
tersedia. dengan adanya hall
tersebut perawat mengeluh lap/
handuk yang dipakai lembab.
Perawat sering membawa tisu
sendiri dan dua perawat yang
membiarkan tangannya kering.
Khusus untuk menangani pasien
suspect HIV/ AIDS; sebagian besar
cuci tangan di kran yang mengalir
dengan memakai sabun atau
alkohol dan hanya sebagian kecil di
air kran yang mengalir dengan
menggunakan sabun tanpa alkohol
karena perawat merasa aman. Cara
menutup kran sebagian besar
responden menutupnya tangan
tanpa alas dan sebagian kecil
menggunakan
sikutnya
dan
meminta
bantuan
teman
di
sebelahnya.
Penelitian
Ji,
G.
(2005),
ketidakpatuhan cuci tangan sebelum
SURYA MEDIKA
dan sesudah masih tinggi (40% dari
137 perawat) Berdasarkan pedoman
pelaksanaan universal precaution
(Depkes RI, 2006) terdapat 7
langkah dalam prosedur cuci
tangan. Berdasarkan hasil indepth
interview dan observasi, semua
responden tidak melakukan cuci
tangan secara lengkap. Hal ini
dikarenakan
faktor
pemungkin
(Green) yakni: lap/ handuk dipakai
berkali-kali dan tisu tidak ada serta
sosialisasi menutup kran tidak ada.
2. Pengelolaan Linen, Semua perawat
memisahkan
linen,
perawat
memasukan dalam kantung sesuai
warnanya dan sebagian besar
jarang menggunakan sarung tangan
dan masker. Sebagian kecil perawat
selalu pakai sarung tangan dan
masker.
3. Penanganan Darah Dan Cairan
Tubuh,
Semua
perawat
menyatakan untuk penanganan
darah dan cairan tubuh ditangani
oleh cleaning service (bila banyak)
dan dilakukan perawat (bila sedikit)
biasanya perawat membersihkannya
dengan menggunakan kapas/ tisu
ditambah alkohol.
4. Pengelolaan Benda Tajam Dan
Jarum, dikelola oleh bagian sanitasi.
Penggunaan jarum suntik; jarum
suntik digunakan 1 hari untuk pasien
yang tidak suspect HIV/ AIDS dan 1
kali untuk pasien suspect HIV/AIDS.
Semua
perawat
melakukan
recapping jarum setelah dipakai;
Sebagian besar perawat recapping
jarum dengan menggunakan dua
tangan dan ada sebagian kecil yang
terkena luka saat recapping jarum.
Bertentangan dengan Yanri dalam
pedoman
ILO/
WHO
dan
rekomendasi
dalam
teknik
31
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
kewaspadaan
umum
bahwa
recapping tidak perlu dilakukan,
jarum
suntik
dan
syiringnya
langsung buang ke tempat khusus,
bila terpaksa gunakan dengan teknik
satu
tangan.
Kondisi
ini
bertentangan dengan direktorat
pengawasan
kesehatan
kerja
dengan cara eliminasi recapping
jarum
memberikan
hasil
pengurangan 2/3 luka.
5. Pemulasaraan jenazah, Semua
perawat menyatakan ada bagian
tersendiri yang mengurusi jenazah.
Semua
perawat
hanya
membereskan alat yg terpasang dan
tutup luka. Sesuai dengan petunjuk
teknis perawatan jenazah pasien
AIDS Depkes RI bahwa untuk
perawatan jenazah perawat ruangan
bertugas: luruskan tubuh, tutup
mata, telinga dan mulut, melepas
alat kesehatan yang terpasang,
plester kedap air untuk tutup semua
luka dan lubang.
Faktor Pemungkin
1. Ketersediaan Fasilitas, sebagian
besar responden APD disediakan
oleh pihak rumah sakit dan sebagian
kecil
mengatakan
APD
yang
disediakan meliputi: sarung tangan,
masker, baju tindakan, sandal
tindakan, penyeteril linen dan tempat
buang sampah. Sebagian besar
perawat menyatakan APD sudah
cukup (bila butuh tersedia) dan
sebagian kecil mengatakan minim
sehingga harus menggunakannya
secara efisien. Menurut manajer
pelayanan ruang rawat inap; RS
menyediakan APD (sarung tangan
non steril, masker, baju tindakan dan
di
sebagian
ruangan
sandal
tindakan),
pengelolaan
linen,
pengelolaan limbah.
Menurut
Green, faktor pemungkin merupakan
SURYA MEDIKA
faktor anteseden terhadap perilaku
yg memungkinkan suatu motivasi
terlaksana.
2. Program,
semua
perawat
menyatakan bahwa program untuk
pelayanan pasien suspect HIV/ AIDS
sudah ada yaitu program pelatihan/
refreshing dan VCT.
3. Peraturan,
semua
perawat
mengatakan untuk aturan dalam
pelaksanaan kewaspadaan umum
belum ada tetapi didasarkan kepada
himbauan, kesadaran, inisiatif dan
kedisplinan diri perawat dan adanya
anggapan penularan HIV/ AIDS
kecil. Begitu pula tentang reward
dan punishment tidak ada.
4. Masukan;
separuh
responden
menginginkan pemusatan ruang
perawatan untuk pasien suspect
HIV/AIDS.
Sebagian
kecil
menginginkan
ruang
isolasi,
kelengkapan APD dan hanya
sebagian kecil saja yang merasa
bahwa pelayanan yang diberikan
sudah cukup.
Hal ini didukung oleh manager
pelayanan rawat inap bahwa aturan
sudah include dalam SOP, aturan,
reward dan punishment tidak ada. RS
lebih menekankan kepada kesadaran diri
hal tersebut dilakukan karena dengan
kesadaran diri akan bersifat langgeng
dan HIV kecil penularannya.
KESIMPULAN
Hasilnya adalah tidak semua
perawat mematuhi penggunaan APD
sebelum dan sesudah melakukan
tindakan. Faktor pemungkin dalam
pelaksanaan
kewaspadaan
umum
tenaga perawat dalam melayani pasien
suspect HIV/ AIDS adalah rumah sakit
mempunyai fasilitas cukup dalam
32
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
SURYA MEDIKA
Volume 7. No. 1 Januari 2011
pelayanan pasien suspect HIV/AIDS,
pelatihan/refreshing dan VCT, peraturan
tidak ada
Pelayanan
Medik.
Direktorat
Rumah
Sakit
Umum
dan
Pendidikan. Jakarta.
UCAPAN TERIMA KASIH
Diucapkan terima kasih kepada
Menteri Pendidikan Nasional yang telah
memberikan dukungan pembiayaan
melalui program Beasiswa Unggulan
hingga penyelesaian tesis berdasarkan
DIPA Sekretariat Jenderal Pendidikan
Nasional Tahun Anggaran 2007 hingga
2009. Jenderal Pendidikan Nasional
Tahun Anggaran 2007 hingga 2009.
Dinas Kesehatan Provinsi DIY. 2008.
Laporan kasus HIV/AIDS. Seksi
Pemberantasan
Penyakit
Menular. Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi U.F. , 2005. Manajemen
Penyakit
Berbasis
Wilayah.
Penerbit Buku Kompas. Jakarta
Azwar S., 2007. Sikap Manusia Teori
Dan Pengukurannya. Pustaka
Pelajar. Edisi Kedua. Cetakan XI.
Yogyakarta.
Centers For Disease Control (CDC).
1987. Universal Precaution For
Prevention Of Transmission Of
HIV And Other Bloodborne
Infection.
http//www.cdc.gov/hip/BLOOD/uni
versa.HTM. Diakses November
2008
Departemen Kesehatan RI. 2006. Modul
Pelatihan Konseling Dan Tes
Sukarela HIV. Direktorat Jenderal
Pelayanan
Medik.
Direktorat
Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 1996/1997.
Petunjuk
Khusus
Perawatan
Pasien dan Jenazah AIDS di
Rumah Sakit. Direktorat Jenderal
Green L W dan Kreteur M W. 1991.
Health Promotion Planning An
Educational and Environmental
Approach. Mayfield Publishing
Company.
Second
Edition.
London.
Ji, G, 2005. Prevalence Of And Risk
Factors For Non-Compliance
With Glove Utilization And Hand
Hygiene Among Abstetrics And
Gynaecology Workers In Rural
China. Journal Of Hospital
Infection.
Milles,
M.B.
Huberman,
A.M;
Penerjemah Rohindi T.R. 2007.
Analisis Data Kualitatif: Buku
Sumber Tentang Metode-Metode
Baru.
Penerbit
Universitas
Indonesia. Jakarta
---------------------. 2007. POKDIKSUS
AIDS
Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia/ Rumah
Sakit
Cipto
Mangunkusumo.
Laporan rutin. Jakarta.
Notoatmodjo
S.,
2005.
Promosi
kesehatan teori dan aplikasinya.
Rineka cipta. Cetakan pertama.
Jakarta.
Nursalam, 2007. Asuhan Keperawatan
Pada
Pasien
Terinfeksi
HIV/AIDS. Salemba Medika, Edisi
Pertama. Jakarta.
Puspita Dentiana. 2008. Analisis Sistem
Pelaksanaan
Manajemen
33
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di
Rumah
Sakit
PKU
Muhammadiyah
Yogyakarta.
Yogyakarta.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian
Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R
& D. Alfabeta. Bandung.
The Kaiser daily HIV/AIDS Report. 2008.
Petugas
Kesehatan
Menghadapi Peningkatan Risiko
Kematian Akibat HIV Dan
Penyakit Lain Yang Ditularkan
Melalui Darah. http//spiritia,
diakses 18 februari 2009
Yanri, Z, et al. 2005. Pedoman Bersama
ILO/WHO Tentang Pelayanan
Kesehatan
Dan
HIV/AIDS.
Direktorat
Pengawasan
Kesehatan Kerja, Direktorat
Jenderal
Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan,
Departemen Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi RI.
Yunus
W,
2005/2006.
Isolation
Precaution. Seminar Nasional
Universal Precaution. Program
Studi
Ilmu
Keperawatan.
Program Hibah Kompetisi (PHK
A1). Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Yayasan
Spiritia.
Kewaspadaan
Universal. Lembaran Informasi
811. New Mexico Infonet.
http//www.aidsinfonet.org.
diakses 18 februari 2009
Yayasan
spiritia.
Kewaspadaan
Universal. Lembaran Informasi
154.
New Mexico Infonet.
http//www.aidsinfonet.org.
Yayasan spiritia.
34
JURNAL ILMU-ILMU KESEHATAN
Volume 7. No. 1 Januari 2011
SURYA MEDIKA
35
Download