15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik oleh mikroorganisme pada kondisi anaerob. Pembentukan biogas berlangsung melalui proses fermentasi anaerobik atau tidak berhubungan dengan udara bebas. Proses fermentasinya merupakan suatu reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi, dimana sebagai donor dan akseptor elektronnya digunakan senyawa organik. Komponen biogas terdiri dari ± 60 % CH4 (metana), ± 38 % CO2 (karbondioksida), ± 2 % N2, O2, H2, dan H2S (Musanif, dkk, 2006). Biogas mulai dikembangkan untuk dijadikan energi alternatif pengganti BBM. Kesadaran masyarakat akan pemenuhan sumber energi yang berkelanjutan menjadikan biogas sebagai pilihan yang tepat. Biogas memberi solusi terhadap masalah penyediaan energi dengan murah dan tidak mencemari lingkungan. Biogas dapat dibakar seperti gas elpiji , dalam skala besar, biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik, sehingga dapat dijadikan energi alternative yang ramah lingkungan dan terbaharukan. Gas Methana (CH4 ) yang dihasilkan secara alami oleh limbah kotoran ternak merupakan gas penyumbang terbesar pada efek rumah kaca, bahkan lebih besar dibandingkan CO2 (karbondioksida). Pembakaran Methana pada Biogas mengubahnya menjadi CO2 sehingga mengurangi jumlah Methana di udara. 2.2 Bahan Penghasil Biogas Permasalahan kotoran ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan kotoran tersebut sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar biogas, karena ketersediaannya yang sangat besar diseluruh dunia. Bahan ini memiliki keseimbangan nutrisi, mudah dicerna dan relative dapat diproses secara biologis. 16 Kisaran pemprosesan secara biologis antara 28-70 % dari bahan organik tergantung dari pakannya. Bahan baku yang memproduksi gas metan bisa berasal dari semua bahan organik, baik yang berwujud padat, maupun cair, kecuali bahan organik senyawa hidrokarbon tinggi seperti plastik, karet dan lilin. Bahan yang mudah dicerna banyak mengandung selulosa seperti jerami padi atau gandum, rumput-rumputan dan sebagainya. Sedangkan bahan yang banyak mengandung lignin (kayu) sukar untuk dicerna. Bahan yang memiliki kadar air tinggi lebih mudah untuk dicerna (sianturi, 1990). 2.2.1 Pakan Gajah Gajah merupakan hewan herbivora terbesar di dunia, gajah menghabiskan 16 jam sehari untuk mengumpulkan makanan dan tanaman. Makanannya terdiri atas 50% rumput, ditambah dengan dedaunan, ranting, akar dan sedikit buah, benih dan bunga. Pakan gajah pada Kebun Binatang Bali Zoo adalah rumput gajah, Pelepah Kelapa, dan Daun Jagung. Pada rumput gajah mengandung 30,97 % selulosa, 15,21 % lignin dan 17% hemiselulosa. Pelepah kelapa mengandung 16,6 % selulosa, 27,6 % lignin dan 27,6 % hemiselulosa. Batang dan daun jagung mengandung 70% selulosa. Limbah ternak gajah yang akan digunakan harus masih segar atau masih basah dan belum terlalu lama berada di udara luar. Limbah ternak yang sudah kering tidak bisa menyerap air, sehingga akan mengapung di atas permukaan (Matthews, 2001). 2.2.2 Limbah Cair Tahu Limbah cair tahu merupakan limbah dari proses pembuatan tahu. Limbah cair tahu mempunyai rasio karbon-nitrogen (C/N) sebesar 15 dihasilkan dari proses pencucian, perebusan, pengepresan dan pencetakan tahu. Kandungan senyawa yang terdapat pada limbah cair tahu adalah energy mencapai 414 kalori, protein mencapai 40-60%, karbohidrat 25-50%, kalsium mencapai 19 mg dan lemak 10%. Jika senyawa-senyawa organik itu diuraikan secara anaerob akan menghasilkan gas nitrogen (N2), oksigen (O2), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), karbondioksida 17 (CO2) dan metana (CH4). Gas- gas tersebut berasal dari dekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air buangan (Herlambang,2002). Bahan baku yang memproduksi gas metana bisa berasal dari semua bahan organik, baik yang berwujud padat maupun cair kecuali bahan organik senyawa hidrokarbon tinggi seperti plastik, karet, dan juga lilin. Bahan yang mudah dicerna banyak mengandung selulosa seperti jerami padi atau gandum, rumput – rumputan dan sebagainya. Sedangkan bahan yang banyak mengandung lignin (kayu) sukar untuk dicerna. Bahan yang memiliki kadar air tinggi akan lebih mudah untuk dicerna (Sianturi, 1990 dalam Lazuardy, 2008 ). 2.3 Digester Biogas Digester atau reaktor merupakan tempat untuk membantu terbentuknya biogas. Didalam digester terjadi proses pencernaan yang akan menghasilkan gas bio. Dilihat dari sisi konstruksinya, pada umumnya digester dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu: 1. Fixed Dome Gambar 2.1 Digester Fixed dome ( sumber Wahyuni, 2011) Jenis fixed dome terdiri dari beberapa bagian pencerna yang membentuk kubah yang tidak dapat dipindah – pindahkan, penahan gas kaku, baskom pemindah substrat (keseimbangan). Bagian silinder dari pencerna terbuat dari beton, walaupun 18 demikian efektifitas penggunaan gasnya rendah, karena fluktuasi tekanan yang tidak konstan, selain itu bahan beton tidak kedap air, sehingga pada bagian penyimpanan gas harus dicat dengan dengan bahan yang kedap udara seperti cat sintetis. Kotoran ternak dan air yang telah tercampur masuk dari inlet ke dalam digester. Di dalam digester terjadi proses fermentasi anaerob yang menghasilkan gas methana, karbondioksida, nitrogen, oksigen, dan hidrogen sulfida. Selanjutnya gas tersebut disalurkan ke dalam reservoir melalui pipa gas dan menekan lumpur sisa fermentasi (slurry) ke outlet. Slurry akan keluar melalui outlet, dan dapat digunakan sebagai pupuk tanaman. Kemudian proses dimulai lagi dengan memasukkan bahan baku ke dalam digester (tipe batch digestion). 2. Floating Drum (Tangki Terapung) Gambar 2.2 Digester floating drum ( sumber Wahyuni, 2011) Digester biogas floating drum berarti ada beberapa bagian pada konstruksi digester yang bisa bergerak menyesuaikan dengan kenaikan tekanan reaktor. Pergerakan bagian reaktor tersebut juga menjadi tanda telah dimulainya produksi gas dalam digester biogas. Tangki ini dapat dibedakan menjadi dua jenis. Jenis pertama ialah tangki yang diletakan diatas bahan mentah yang sedang berfermentasi didalam tangki. Sedangkan jenis yang kedua ialah tangki yang diletakkan diatas air didalam tangki yang berbeda. 19 2.4 Proses Produksi Biogas Proses produksi biogas biasanya dilakukan secara semi sinambung (substrat dimasukkan satu kali dalam selang waktu tertentu), tetapi untuk mendapatkan kemungkinan metode produksi optimal, sistem batch (substrat hanya dimasukkan satu kali) juga digunakan. 2.5 Proses Pembentukan Biogas Untuk mengkonversikan zat – zat organik yang berupa lelulosik menjadi gas metan melalui beberapa tahap proses yang cukup panjang dengan bantuan berbagai macam mikroba. Selulosik yang tidak larut dalam air dikonversikan menjadi bahan – bahan terlarut oleh suatu jenis mikroba tertentu, namun peruraian ini masih merupakan bahan organik rantai panjang. Selanjutnya bahan organik rantai panjang ini dipecah menjadi asam – asam, karbon dioksida dan gas hydrogen oleh mikroba pembentuk asam. Kemudian dari asam – asam dan gas hydrogen inilah metan terbentuk oleh bakteri metanogenesis. Hasil utama proses biogas adalah gas metana dan CO2. Proses ini sangat ditentukan oleh aktivitas bakteri pembentuk metan, karena biasanya pembentukan asam lebih cepat dari pembentukan metan. Akibatnya akan terjadi penumpukan asam yang akan mengganggu pertumbuhan dari bakteri metannya. Secara garis besar proses pembentukan biogas dibagi dalam tiga tahap yaitu sebagai berikut: 1. Tahap Hidrolisis Pada tahap ini, bahan organik dienzimatik secara eksternal oleh enzim ekstrasesluler (selulose, amylase, protease, dan lipase) mikroorganisme. Bakteri memutuskan rantai panjang karbohidrat kompleks, protein dan lipida menjadi senyawa rantai pendek. Sebagai contoh polisakarida diubah menjadi monosakarida sedangkan protein diubah menjadi peptide dan asam amino. 2. Tahap Asidifikasi (Pengasaman) Pada tahap ini bakteri penghasil asam, mengubah senyawa rantai pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hydrogen (H2) dan karbondioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerobic yang dapat tumbuh dan dapat tumbuh dalam keadaab asam. Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan 20 oksigen dan kabon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan. Pembentukan asam pada kondisi anaerobic tersebut penting untuk membentuk gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Selain itu, bakteri tersebut juga mengunah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alcohol, asam organic, asam aminon karbondoksida, H2S dan sedikit gas metana. 3. Tahap Pembentukan Gas Metana Pada tahap ini bakteri metanogenik mendekomposisiskan senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai contoh bakteri ini menggunakan hydrogen, CO2, dan asam asetat untuk membentuk simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan atmosfer yang ideal untuk bakteri penghasil metana. Sedangkan bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Sumber : Lazuardy, 2008 Gambar 2.3. Proses Pembentukan Biogas Produksi biogas biasanya dilakukan secara semi sinambung (subtract dimasukan satu kali dalam sekang waktu tertentu), tetapi untuk mendapatkan kemungkinan metode produksi optimal, system batch ( subtract hanya dimasukan satu kali) juga dapat digunakan. Kecepatan produksi pada system batch mula – mula akan naik hingga mencapai kecepatan maksimum dan akhirnya akan turun lagi ketika sejumlah bahan telah dirombak. 21 Bakteri – bakteri anaerob yang berperan dalam ketiga fase diatas terdiri dari bakteri – bakteri sebagai berikut: 1. Bakteri Pembentuk Asam (Acidogenic Bacteria) Pada susunan anaerob, bakteri golongan ini aktif merombak substan – substan polimer komplek, yaitu protein, karbohidrat dan lemak menjadi asam organik sederhana yaitu asam butiras, propionate, laktat, asetat dan alcohol. Golongan bakteri ini bersiat fakultatif aerob, artinya pada suasana aerob bakteri ini masih dapat hidup dan aktif mengadakan perombakan bahan menjadi asam asam organik (CO2, H2, H2S). 2. Bakteri Pembentuk Asetat (Acetogenic Bacteria) Merubah asam organik dan senyawa netral yang lebih besar dari methanol menjadi asetat dan hydrogen. 3. Bakteri penghasil metan (metanogens) Berperan dalam merubah asam – asam lemak dan lakohol menjadi metan dan karbondioksida. Bakteri pembentuk metan antara lain adalah mthanococcus, methanobacterum, dan mthanosarcina. Kelemahan bakteri metan adalah tidak tahan pada daerah pertumbuhan yang suasananya terlalu asam. Karena sama yang dihasilkan oleh bakteri – bakteri pembentuk asam terlalu banyak, maka bakteri pembentuk metan akan mati dan pembentukan gas metana akan menjadi gagal. 2.6 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Biogas Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi biogas, antara lain adalah sebagai berikut: 2.6.1 Bahan Isian Bahan baku isian berupa bahan organik seperti kotoran ternak, limbah pertanian, sisa dapur dan sampah organik. Bahan isian harus terhindar dari bahan anorganik seperti pasir, batu, beling dan plastik. Bahan isian bisa dimasukkan hingga ¾ volume tangki utama (Forst, 2002). 22 2.6.2 Rasio Karbon dan Nitrogen Rasio karbon-nitrogen dengan nilai 30 (C/N = 30/1 atau karbon 30 kali dari jumlah nitrogen) akan menciptakan proses pencernaan pada tingkat yang optimum, bila kondisi yang lain juga mendukung. Apabila rasio C-N sangat tinggi, nitrogen akan dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri metan sampai batas persyaratan protein dan tak lama bereaksi kearah kiri terhadap kandungan karbon pada bahan. Sebagai akibatnya produksi gas metan akan menjadi rendah. Sebaliknya, apabila rasio C-N sangat rendah, nitrogen akan bebas dan berakumulasi dalam bentuk amoniak (NH3), NH3 akan meningkatkan derajat pH bahan dalam digester. PH lebih tinggi dari 8,5 akan mulai menghasilkan racun pada populasi bakteri metan. Sebagai akibatnya bakteri metan akan mati dan produksi gas metan menjadi rendah. Selain itu, rasio karbon-nitrogen (C/N) juga menentukan lamanya proses produksi biogas . Lamanya produksi biogas disebabkan oleh mutu pakan ternak yang lebih rendah, sehingga rasio karbon-nitrogen (C/N) menjadi tinggi. Akibatnya perkembangan mikroba pembentuk gas menjadi lebih lambat dibandingkan dengan ternak yang mutu pakannya lebih tinggi. Tinggi rendahnya mutu ini tergantung pada nilai N (nitrogen) di dalam ransum. Namun demikian nilai N (nitrogen) juga tergantung pada C (karbon). Jadi, perbandingan C dan N akan menentukan lama tidaknya proses pembentukan biogas (Yunus, 1995 dalam Lazuardy, 2008). 2.6.3 Kandungan Bahan Kering Bahan isisan dalam pembuatan biogas harus berupa bubur. Bentuk bubur ini dapat diperoleh bila bahan bakunya mempunyai kandungan air yang tinggi. Bahan baku dengan kadar air yang rendah dapat dijadikan berkadar air tinggi dengan menambahkan air ke dalamnya dengan perbandingan tertentu sesuai dengan kadar bahan kering bahan tersebut. Menurut Singh di dalam Dissanayake (1997), kandungan bahan kering optimal adalah antara 7-9 persen. Aktivitas normal dari mikroba metan membutuhkan sekitar 90% air dan 7- 10 % bahan kering dari bahan masukan untuk fermentasi. Dengan demikian isian yang paling banyak menghasilkan biogas adalah yang mengandung 7-9% bahan kering. 23 2.6.4 Suhu Terdapat dua selang optimum untuk produksi biogas, yaitu selang mesofilik, 30 - 40 ℃ dan selang termofilik, 50 – 60 ℃. Biasanya, suhu optimum untuk produksi biogas adalah 32 – 37 ℃. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan digester rentan mengalami kerusakan. Penggunaan digester yang kedap udara seperti fiber glass dapat membantu mengatasi perubahan suhu karena selama proses fermentasi tidak terpengaruh oleh suhu udara luar. 2.6.5 Besaran pH Bakteri methana tidak dapat bekerja jika suasana terlalu asam atau terlalu basa, suasana netral atau sedikit asam ( pH 6,6 – 7,5) adalah suasana yang paling baik untuk menghasilkan biogas. Sedangkan pada pH 6,2 bakteri methan akan mengalami keracunan. Untuk mengatur keasaman dapat ditambah bahan-bahan yang bersifat basa, misalnya kapur atau abu. 2.6.6 Lama Fermentasi Secara umum proses fermentasi / pencernaan limbah ternak didalam digester dapat berlangsung 60 – 90 hari. Menurut (Hadi, 1981), gas bio terbentuk sekitar 10 – 24 hari. Produksi biogas tersebut sekitar 10 hari. Setelah 10 hari fermentasi sudah terbentuk kira – kira 1,1 – 0,2 m3/kg dari berat bahan kering. Peningkatan penambahan waktu fermentasi dari 10 hingga 30 hari meningkatkan produksi biogas sebesar 50 % (Hadi, 1981) Pada hari ke 30 fermentasi jumlah biogas yang terbentuk mencapai maksimal, dan setelah 30 hari terjadi penurunan produksi gas bio (Sembiring, 2004). 2.7 Tekanan Gas Untuk mengetahui tekanan gas yang dihasilkan, digunakan manometer yang dipasang pada pipa penyalur gas bio yang menghubungkan digester dengan reservoir. Kemudian ukur perubahan tekanan yang ditunjukan oleh manometer, besarnya tekanan menunjukkan tekanan dalam digester. Semakin besar nilainya maka semakin 24 banyak gas yang dihasilkan. Berikut adalah cara mencari tekanan harian pada biogas dengan menggunakan manometer air. Gambar 2.4 Manometer U (sumber Joko Untoro) Persamaan yang digunakan : P gas = 𝝆. g.∆h……………………… ................................................ (2.1) Dimana : P gas = Tekanan gas (N/ m2) ρ = massa jenis minyak tanah (800 kg/ m3) g = gaya gravitasi = 9,8 ( m/s2 ) h = ketinggian minyak tanah pada manometer U (m) 2.8 Massa Gas Untuk menghitung massa dari gas, maka digunakan persamaan sebagai berikut: m= 𝑷 𝒈𝒂𝒔 .𝑨 𝒈 .................................................................................................(2.2) dimana: m = massa gas (kg) P gas = tekanan gas biogas (N/ m2 ) A = luas penampang selang manometer (m2) g = gaya gravitasi (m/s2) 25 2.9 Nilai Kalor Biogas Untuk menghitung nilai kalor dari biogas, maka digunakan persamaan sebagai berikut: Q=( 𝒎 𝒂𝒊𝒓 .𝒄𝒗 𝒂𝒊𝒓 .∆𝒕 ∆𝒎𝒃𝒃 ) . mtotal .................................................(2.3) Dimana: Q = jumlah kalor (kJ) mair = massa air (kg) cv air = kalor jenis air (kJ/ kg 0K) ∆t = perubahan suhu (0K) ∆mbb = perubahan massa bahan bakar (kg) mtotal = massa total biogas yang dihasilkan (kg)