Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Pengertian Korosi Korosi berasal dari bahasa Latin ”corrous” yang berarti menggerogoti. Korosi didefinisikan sebagai berkurangnya kualitas suatu material (biasanya berupa logam atau campuran logam) sebagai akibat adanya interaksi dengan lingkungannya yang berlangsung secara berangsur-angsur yang dapat terjadi akibat interaksi secara fisika, kimia atau adanya pengaruh mahluk hidup (mikroorganisme). (3) Pada umumnya korosi pada logam disebabkan oleh proses elektrokimia yang terjadi pada permukaan logam dan atau pada antarmuka logam/larutan. Karenanya reaksi korosi merupakan reaksi heterogen yang sering kali dikendalikan oleh proses difusi. Kondisi yang memungkinkan korosi berlangsung secara elektrokimia adalah bila pada waktu bersamaan terdapat: (4) a. Beda potensial (antara anoda, tempat berlangsungnya reaksi oksidasi, dan katoda, tempat berlangsungnya reaksi reduksi). b. Mekanisme perpindahan muatan antara penghantar elektronik dan penghantar elektrolitik. c. Sirkuit hantaran listrik yang sinambung antara anoda dan katoda. II.2 Karakteristik Jenis Korosi Berdasarkan bentuk pemicunya, korosi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu : (3,4,6) Korosi umum/korosi seragam. Suatu bentuk korosi yang menghasilkan serangan seragam pada seluruh permukaan logam. Seringkali dikaitkan dengan korosi di lingkungan atmosfir dan oksidasi pada suhu tinggi atau serangan sulfidasi. Korosi berbentuk lubang/sumuran. Suatu serangan korosi terlokalisasi yang berbentuk lubang sumuran dengan kedalaman, ukuran dan jumlah lubang persatuan luas permukaan logam yang bervariasi. Sebagai pemicu terjadinya serangan korosi ini adalah faktor-faktor metalurgi. Korosi celah. Termasuk jenis korosi lokal yang berkaitan dengan adanya sevolume kecil larutan diam/terperangkap pada bagian sambungan, 4 endapan dipermukaan dan celah-celah di bawah baut dan kepala paku. Baja nirkarat dan sejumlah aliasi logam nikel adalah rentan terhadap jenis korosi ini. Serangan korosi antar butiran (intergranular attack). Korosi yang dimulai dari batas butiran di dalam logam disebabkan karena perlakuan panas awal dan berkaitan dengan kimia aliasi spesifik. Korosi galvanik. Sel korosi terbentuk dari penggandengan dua logam berbeda jenis. Sejalan dengan deret galvanik logam yang lebih aktif (potensial reduksi bernilai negatif) akan menjadi anoda, sedangkan logam yang lebih mulia akan menjadi katoda. Laju korosi logam yang lebih aktif akan mengalami percepatan, sedangkan logam yang lebih mulia akan mengalami hambatan. Korosi erosi. Adanya aliran zat padat, cairan atau gas dapat membantu dan mempercepat terjadinya korosi yang meliputi bentuk-bentuk kerusakan seperti tumbuk- gerusan dan erosi. Korosi retak tegangan (stress corrosion cracking, SCC). Inisiasi dan perambatan retakan intergranular atau transgranular yang diakibatkan oleh lingkungan korosif secara serentak dengan adanya tegangan tarik statik pada logam atau paduan logam. Pada umumnya kerentanan logam terhadap peretakan meningkat dengan naiknya suhu. II.3 Korosi Besi di Lingkungan Air II.3.1 Pengaruh pH Sebagian besar logam memiliki oksida-oksida yang larut dalam asam tapi tidak larut dalam basa. Besi berada diantara logam-logam yang dapat membentuk oksida amfoter dan oksida yang larut dalam asam tapi tidak larut dalam basa. (7) Laju korosi besi dalam air berkurang dengan meningkatnya pH sampai pH 4. Antara pH 4 dan pH 9 laju korosi besi dalam air relatif konstan. Laju korosi besi dalam air menurun kembali antara pH 9 sampai pH 12 dan meningkat antara pH 12 sampai pH 14. (7,8) 5 II.3.2 Pengaruh Garam-garam Terlarut Sifat air yang mengandung garam-garam terlarut dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasinya. Dalam hal ini dibedakan antara ion-ion agresif yaitu ion klorida dan sulfat, dan ion-ion karbonat, bikarbonat dan kalsium yang memiliki sifat inhibitif. (7) Ion-ion agresif terutama klorida dapat memecahkan selaput pasif yang terbentuk pada logam dan meningkatkan laju korosi. Ion-ion yang bersifat menginhibisi seperti kalsium dan karbonat berperan penting dalam pembentukan selaput tipis (film) kalsium karbonat, yang dapat menghalangi pelarutan besi selanjutnya. II.3.3 Gas-gas yang Terlarut Karbon dioksida dalam air dapat menurunkan nilai pH, karena itu dapat mendorong terjadinya penyerangan besi secara intensif. (7) Oksigen dapat berperan ganda baik sebagai zat yang dapat menurunkan polarisasi katoda maupun sebagai zat yang mempolarisasi anoda atau yang membuat anoda berada dalam keadaan pasif. (7) Dalam rentang konsentrasi tertentu laju penyerangan tergantung pada konsentrasi oksigen. Pada konsentrasi tertentu, oksigen mungkin bertindak sebagai suatu zat yang membuat anoda berada dalam keadaan pasif sehingga pada logam tertentu laju korosi berkurang sampai titik nol atau suatu nilai terkecil yang dapat diabaikan. Untuk memahami pengaruh oksigen selanjutnya, perlu dipahami keadaan pasif dan aktif dari logam. Hampir seluruh logam, kecuali emas dapat tertutup dengan film oksida ketika berada diudara kering atau kontak dengan oksigen. (7) Ketika dicelupkan dalam air, kestabilan dari film ini tergantung pada komposisinya dan konsentrasi oksigen atau zat pengoksida lainnya. Film ini berada dalam keadaan kesetimbangan dinamis dengan larutan. Banyak logam-logam seperti baja nirkarat berada dalam keadaan pasif dalam air dan dibawah kontrol anodik. Jika konsentrasi oksigen sangat rendah, logam seperti ini menjadi aktif dan meneruskan pelarutan. Besi berperilaku dengan cara serupa meskipun pasokan oksigen pada permukaan logam 6 harus tinggi agar logam tetap dalam keadaan pasif. Laju pelarutan besi selanjutnya dikendalikan oleh difusi ion logam melalui film tipis, yaitu kontrol anodik. II.4 Diagram Potensial – pH Diagram potensial – pH, atau diagram Pourbaix, memetakan kesetimbangan termodinamika fasa stabil logam atau senyawanya sebagai fungsi dari potensial elektroda dan pH larutan. (4,6,8) Pada diagram Pourbaix sistem besi / air, tampak bahwa reaksi besi dengan air dapat menghasilkan reaksi pelarutan besi, sebagian besar terletak di daerah asam dan yang lebih sempit terjadi pada larutan yang sangat basa, daerah ini disebut sebagai zona korosi. Zona kedua diacu sebagai zona pasif, yaitu daerah potensial – pH yang memungkinkan terbentuknya selaput tak larut di permukaan logam, yang berfungsi sebagai penghalang terhadap korosi lebih lanjut. Perusakan selaput tersebut, baik dengan cara kimia atau mekanik, dapat menyebabkan terjadinya pelarutan logam kembali dengan laju tinggi. Zona ketiga disebut zona kebal, karena di daerah potensial – pH ini, fasa termodinamik paling stabil yaitu sebagai logam murninya. Gambar II.1 memperlihatkan diagram Pourbaix yang disederhanakan untuk besi pada keadaan standar pada suhu 25 ºC. Diagram Pourbaix terutama berguna untuk dapat memperkirakan arah reaksi spontan, komposisi produk korosi, dan perubahan lingkungan yang akan dapat mencegah atau menurunkan laju serangan korosi. Patut dicatat bahwa, diagram potensial – pH, yang dikonstruksi berdasarkan hasil perhitungan termodinamika, menyatakan kesetimbangan termodinamika fasa-fasa stabil elektrokimia suatu logam, pada suhu 25 ºC dan tekanan 1 atmosfir (pada keadaan standar), karenanya diagram ini tidak dimaksudkan untuk memperkirakan laju reaksi korosi. 7 2 1 E (V) korosi pasif 0 kebal -1 korosi 0 pH 14 Gambar II.1 Diagram Pourbaix sederhana untuk besi pada suhu 25ºC II.5 Persamaan Tafel Potensial polarisasi, η, atau potensial lebih, adalah selisih potensial sampel logam yang tercelup dalam suatu larutan terhadap potensial korosinya, Ecorr. Bila terhadap sampel logam diberikan potensial terapan, maka potensial polarisasi adalah selisih antara potensial terapan terhadap potensial korosi logam tersebut pada keadaan kesetimbangan dengan ionnya dalam larutan. Parameter ini digunakan untuk menyatakan laju pelarutan atau laju proses korosi logam sampel, yang dikenal sebagai persamaan Tafel. Persamaan Tafel dapat diungkapkan sebagai berikut: Untuk polarisasi anodik, ηa = βa log ia – βa log i0 (II.1) untuk polarisasi katodik, ηk = βk log ik – βk log i0 (II.2) dengan, ηa = potensial polarisasi anodik ηk = potensial polarisasi katodik ia = rapat arus anodik ik = rapat arus katodik i0 = rapat arus korosi pada kesetimbangan 8 Sedangkan βa dan βk disebut sebagai tetapan – tetapan Tafel atau beta anodik dan beta katodik. Ungkapan persamaan Tafel menunjukkan bahwa, aluran η terhadap log i baik pada proses anodik maupun pada proses katodik akan berupa suatu garis lurus, dengan kemiringan sama dengan tetapan Tafel yang bersangkutan, sebagaimana yang diungkapkan pada Gambar II..2 .Tampak bahwa pada Ecorr, η = 0. Tetapan ini digunakan untuk menentukan rapat arus korosi yang berbanding langsung dengan laju korosi. Potensial relatif terhadap Ecorr (mV) Anodik +10 0 -10 Ecorr Icorr Katodik Log arus Gambar II.2 Aluran kurva Tafel II.6 Inhibitor Korosi Suatu inhibitor korosi adalah senyawa kimia yang pada konsentrasi rendahpun sudah berfungsi secara efektif menurunkan, atau mencegah reaksi pelarutan logam oleh lingkungannya yang bersifat korosif. Inhibitor ini dapat digolongkan menjadi inhibitor anorganik dan organik, namun yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah inhibitor organik. Hal ini disebabkan karena disamping luasnya penggunaan inhibitor ini dalam pencegahan korosi logam – logam juga disebabkan karena inhibitor ini lebih mudah terdegradasi, sehingga tidak mencemari lingkungan, sedangkan inhibitor anorganik bergantung kationnya dapat mencemari lingkungan bila terakumulasi. 9 Suatu inhibitor senyawa organik dapat digolongkan sebagai inhibitor anodik, inhibitor katodik, atau campuran keduanya, tergantung pada pengaruhnya terhadap reaksi – reaksi elektrodik di permukaan logam yang diamati dari pergeseran potensial korosi. Bila dengan teradsorpsinya molekul – molekul inhibitor pada permukaan logam menyebabkan potensial korosi bergeser ke arah positif, hal ini menunjukkan bahwa inhibitor tersebut terutama menghambat proses anodik, sebaliknya pergeseran potensial korosi ke arah negatif menunjukkan bahwa inhibitor tersebut terutama menghambat proses katodik. Bila inhibitor korosi mampu menurunkan laju korosi dan hanya terjadi sedikit perubahan dalam potensial korosi logam, hal ini menunjukkan inhibitor tersebut menghambat reaksi anodik maupun reaksi katodik. (4) II.7 Adsorpsi Inhibitor pada Permukaan Logam Adsorpsi inhibitor pada permukaan logam, terjadi karena adanya muatan sisa pada permukaan logam dan melalui struktur kimia dan alamiah logam. Terdapat dua jenis adsorpsi suatu inhibitor organik pada permukaan logam yaitu secara fisik atau elektrostatik dan kemisorpsi. (9) Kekuatan adsorpsi elektrostatik umumnya lemah, inhibitor diadsorpsi pada permukaan logam melalui gaya elektrostatik dan logam yang mengalami adsorpsi fisik dapat dengan mudah mengalami desorpsi. Pada adsorpsi elektrostatik ion-ion tidak kontak langsung secara fisik dengan logam. Suatu lapisan molekul air memisahkan logam dari ion-ion. Adsorpsi fisik memiliki energi aktivasi yang rendah dan tidak bergantung pada suhu. Kemisorpsi dapat terjadi karena adanya ikatan koordinat yang melibatkan transfer elektron dari inhibitor pada permukaan logam. Transfer elektron terjadi jika molekul inhibitor memiliki pasangan elektron bebas pada atom donor dari suatu gugus fungsi. Adanya elektron π, karena adanya ikatan rangkap atau adanya cincin aromatis dapat memfasilitasi transfer elektron dari inhibitor pada 10 permukaan logam. Kemisorpsi lebih lambat daripada adsorpsi fisik dan memiliki energi aktivasi yang tinggi. Ketergantungan pada suhu terlihat dengan meningkatnya inhibisi pada suhu lebih tinggi. . Hubungan erat antara konsentrasi inhibitor dan laju korosi serta antara konsentrasi dan tingkat inhibisinya diselidiki oleh Sieverts dan Lueg disebut isoterm adsorpsi. Isoterm adsorpsi (9) seringkali dan gambarannya menggambarkan karakteristik inhibitor dan kecepatan tertutupnya permukaan yang ditentukan melalui pengukuran kapasitansi. Salah satu jenis isoterm adsorpsi adalah isoterm adsorpsi Langmuir. Langmuir menggambarkan hubungan antara fraksi permukaan yang tertutupi karena adsorpsi, S dengan konsentrasi adsorbat, C dalam larutan melalui Persamaan (II.3): S= ac 1 + ac (II.3) Teori adsorpsi Langmuir diturunkan dengan anggapan gas adsorbat berkelakuan ideal, gas teradsorpsi membentuk lapisan molekul tunggal, permukaan adsorben bersifat homogen, tidak ada antar aksi lateral antar molekul adsorbat dan molekul-molekul gas yang teradsorpsi tidak bersifat ”mobil” (terlokalisasi). II.8 Perilaku Inhibitor dalam Larutan Basa Secara umum, seluruh logam yang membentuk oksida amfoter, dimana oksida tersebut dapat larut dalam suasana basa berpotensi mengalami korosi dalam larutan basa. Suatu bentuk korosi lokal mungkin berlangsung disebabkan terbentuknya pitting dan crevice. Inhibisi korosi dalam larutan basa dilaporkan utamanya melibatkan logam seperti aluminium, seng, tembaga dan besi. Senyawasenyawa organik seperti gelatin, saponin dan agar-agar sering digunakan sebagai inhibitor pada logam dalam suasana basa. Inhibitor ini dapat memperluas rentang kestabilan pH dari oksida amfoter dan lapisan hidroksida, sehingga dapat memperbaiki film hidroksida dan oksida yang cacat, menurunkan laju difusi reaktan terhadap permukaan logam dan melepaskan hasil korosi dari permukaan logam. 11 II.9 Inhibitor Korosi Tiourea NH 2 NH 2 S Gambar II.3 Struktur molekul tiourea Tiourea memiliki rumus molekul CH4N2S, merupakan molekul yang planar, dengan panjang ikatan C=S 1,60 ± 0,1 Å. Memiliki pasangan elektron bebas pada atom S maupun N. Tiourea memiliki sifat-sifat fisik: titik leleh 176 ºC-178 ºC, kerapatan 1,405 g/mL dengan kelarutan dalam air 95 g/L pada 10 ºC dan 137 g/L pada 20 ºC. Tiourea telah ditemukan merupakan inhibitor yang efektif di lingkungan basa, kemungkinan disebabkan kemampuannya dalam membentuk komplek logam yang stabil. (9) Selain itu keplanaran dalam struktur molekul merupakan faktor yang meningkatkan daya inhibisi tiourea. (10) II.10 Inhibitor Korosi Simetidin Gambar II.4 Struktur molekul simetidin Simetidin memiliki rumus molekul C10H16N6S yang merupakan suatu histamine receptor antagonist yang dapat menekan produksi asam dalam lambung. 12 Dilihat dari strukturnya, simetidin memiliki gugus imidazol yang memiliki elektron bebas pada atom N, yang memungkinkan adanya transfer elektron pada atom logam untuk membentuk ligan. Selain itu simetidin memiliki gugus-gugus yang lain yang memiliki kerapatan elektron tinggi, yang memungkinkan pembentukan ligan dengan logam. Adanya gugus-gugus dengan kerapatan elektron tinggi akan meningkatkan daya inhibisi.(10) Sehingga dari segi struktur, simetidin berpotensi sebagai inhibitor korosi. 13