Membangun Corporate Culture yang Adaptif bagi Pengembangan TI : Suatu Pendekatan Antropologi Yuniawan Heru Santoso Direktorat Sistem Informasi Universitas Airangga [email protected] Abstraksi Kaca mata social-budaya, kerap menghadapkan para pengambil kebijakan organisasi pada aneka pilihan tentang penggunaan TI. Hubungan antara lingkungan dan organisasi dibentuk oleh beberapa afiliasi industri, finansial dan stake holder, yang membatasi aksi organisasi. Lingkungan, menggambarkan perhatian terhadap kejadian di luar organisasi untuk menstabilkan dan menginstitusionalkan kegiatan-kegiatan di dalam organisasi. Sementara di tubuh organisasi, terdapat pengembangan sistem kerja sama sebagai bagian dari jaringan sosial. Relasi ini terlihat dalam nilai dan norma, ketika organisasi berkepentingan untuk mengaplikasikan sebuah produk TI. Corporate culture telah merepresentasikan relasi internal dan intra organisasi yang dibuat dan didukung oleh para anggota organisasi sebagai hasil dari aktivitas mereka sehari-hari sebagai bagian dari organisasi. Melalui pendekatan antropologi, TI dipahami sebagai media untuk memenuhi kebutuhan manusia. Potensi kecendekiawanan yang dimiliki manusia, melahirkan asumsi-asumsi sekitar manusia dan kapasitasnya dalam korporasi. Corporate culture memberi kontribusi bagi anggota organisasi atas peningkatan dan kemampuan dalam menerima tanggung jawab terhadap kehadiran sebuah TI. Kata Kunci : Corporate Culture, TI, Organisasi, Antropologi 1. PENDAHULUAN Beberapa penelitian meyakini corporate culture dapat meningkatkan kinerja korporasi. Melalui corporate culture sebuah korporasi dapat menemukan dan membangun keunggulannya. Menurut Evans (2007), corporate culture memberi dampak yang signifakan bagi peningkatan kinerja organisasi. Kultur merupakan suatu yang berpengaruh bagi fungsi korporasi, tujuan, loyalitas dan komitmen karyawan, pengejahwantaan aturan, kepemimpinan yang kuat, akuntabilitas, inovasi, efektifitas mekanisme, ataupun toleransi terhadap kedatangan kultur alternatif. Sejalan dengan kondisi tersebut, teknologi informasi (TI) sering digunakan sebagai pendukung korporat dalam usaha percepatan kinerja. Sebagaimana Rowlands (2007), memaparkan bahwa pengembangan sistem berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan struktur organisasi. Penelitian informatika sosial juga telah mencurahkan perhatian tentang bagaimana TI memasuki sebuah aksi. Scott dan Lamb (dalam Rowlands, 2007) menjelaskan bagaimana aktor sosial membuat pilihan tentang penggunaan TI. Lingkungan diperlukan untuk mengenali kebiasaan dalam aksi organisasi. Aktor sosial melihat dirinya sebagai anggota organisasi yang berinteraksi sosial. Aktor sosial yang dimaksud adalah individu yang memiliki peran dari organisasi yang berinteraksi dengan organisasi dan lingkungannya (Rowlands, 2007). Sehubungan dengan itu, pendekatan antropologi dapat dimanfaatkan untuk memahami manusia dan kebudayaannya. Kapasitas intelektual dan persepsi tentang manusia diperlukan bagi usaha pengembangan TI. Melalui corporate culture, akan coba dipahami asumsi-asumsi sekitar manusia dan kapasitasnya dalam korporasi. 2. PEMBAHASAN 2.1. Teknologi Informasi dan Corporate Culture Keen (dalam Poku dan Vlosky, 2002), menjelaskan bahwa TI merangkum tiga kategori prinsipal, berupa : komputer, telekomunikasi dan multimedia, serta beberapa kombinasi yang memungkinkan TI digunakan dalam organisasi. Teknologi datang sebagai alat yang digunakan untuk mengelola perubahan dalam strategi bisnis dan proses internalisasi korporat oleh perusahaan. e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta Beberapa aspek organisasi memungkinkan terjadinya peningkatan kinerja dan produktivitas, melalui percepatan komunikasi dalam proses korporasi bisnis, yang kemudian akan mendasari nilai-nilai yang menggambarkan suatu corporate culture (Poku dan Vlosky, 2002). Melalui kultur, manusia dan organisasi akan saling memahami dan terikat dalam satu visi dan strategi, hingga memiliki kehendak untuk mewujudkan sebuah realitas bersama melalui pemanfaatan ketiga kategori prinsipal TI tersebut di atas. Menurut Evants (2007), gejala kultural meliputi pengetahuan tentang aktivitas perusahaan. Mempelajari suatu korporasi, sama halnya dengan melakukan studi budaya terhadap suku primitif ataupun modernitas dalam konteks sosial. 2.2. Corporate Culture dan Antropologi Corporate culture merupakan bagian dari suatu kajian antropologi (Evants, 2007). Sementara antropologi sebagai the science of the human being (dalam Stahl, 2002), digunakan untuk menemukan tentang bagaimana keterlibatan manusia terhadap teknologi informasi, dan memahami dasar implikasi teknologi informasi. Stahl (2002) berpendapat, bahwa teknologi informasi harus memiliki dasar-dasar antropologi. Menurut Knauft (2006), antropologi mampu mengkombinasikan perspektif yang berbeda, sehubungan dengan aneka fakta, proyek dan topik yang hadir di tengah masyarakat. Berdasarkan pendapat Colleste (dalam Stahl, 2002), teknologi telah membantu manusia dalam mencapai tujuan, hingga dipandang sebagai penjelmaan budaya, sehubungan dengan relevansi etik dalam teknologi informasi. Kajian antropologi digunakan untuk memahami permasalahan sosialbudaya, hingga memiliki reflektivitas dalam pengujian proses-proses kelahiran pengetahuan manusia. Antropologi mencari pemahaman sosial dan gejala budaya dalam segala tempat dan waktu. Kajian antropologi dibutuhkan untuk menyelidiki kondisi manusia, hingga memiliki acuan-acuan untuk memahami umat manusia. (Reyna dan Wilson, 2001). 2.3. Membangun Kultur yang Adaptif Menurut Siregar (2002), kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Kilmann (dalam Kotter dan Heskett, 1998), menggambarkan kultur yang adaptif sebagai sebuah kultur yang meminta pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan organisasi dan individu. Terdapat dukungan yang aktif, antara satu sama lain, untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi, dimana ada rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama. Sehubungan dengan pembangunan kultur, perlu dipahami beberapa hal sebagai berikut : A. Kelahiran Budaya Menurut Tunggal (2004), budaya merupakan kepribadian organisasi. Dengan mengetahui, asal kultur dari sebuah organisasi, akan dapat memberi gambaran tentang peletakan sendi-sendi corporate culture, agar mampu adaptif terhadap TI. Sesungguhnya, kultur berasal dari kebiasaankebiasaan, tradisi, dan cara umum organisasi yang berlaku. Pada umumnya ditimbulkan oleh apa-apa yang telah dilakukan sebelumnya, meliputi beberapa usaha tertentu. Ide awal pendirian, kemudian dapat melahirkan pelaksanaan yang belum dibatasi oleh pendekatan atau kebiasaan tertentu, hingga membuahkan kebudayaan awal tertentu (Tunggal, 2004). B. Observable Culture Merupakan apa yang dapat dilihat dan didengar dalam organisasi dengan jelas, hingga menunjukkan hal-hal umum yang bisa dilakukan. Menurut Stanley (dalam Tunggal, 2004) aspek formal meliputi sasaran, teknologi, struktur, kebijakan dan prosedur, sumber daya keuangan. Aspek ini lebih terlihat, tampak dan bersifat terbuka. Merangkum kepercayaan tentang tata cara yang benar untuk berperilaku. Berdasarkan pandangan umum, observable culture (dalam Tunggal, 2004) dilihat melalui stories,heroes, symbols, rites and ritual. Menurut Kotter dan Hesket (1998), kultur perusahaan yang adaptif, memerlukan manajer yang memberi perhatian cermat terhadap seluruh konstituensi organisasi, memprakarsai perubahan, melayani kepentingan perusahaan, dan berani mengambil resiko. C. Aspek Tersembunyi Merupakan core culture, yang mengandung nilai-nilai atau kepercayaan mendasar yang mempengaruhi perilaku, dan mendasari berbagai aspek dari observable culture. Menurut Stanley (dalam Tunggal, 2004), meliputi persepsi, sikap, perasaan, nilai-nilai, interaksi informal, dan norma. Aspek ini tersembunyi, tak tampak, terselubung, dan bersifat tertutup. Sejalan dengan pendapat Kotter dan Hesket (1998), budaya perusahaan yang adaptif, terlihat dari nilai-nilai inti yang bersemi di dalam tubuh organisasi perusahaan. Budaya perusahaan yang adaptif, menuntut kepedulian manajer terhadap pendiri dan karyawan, penghargaan terhadap proses perubahan yang bermanfaat, termasuk TI. Menurut Keung (2002), jika ingin berhasil dalam pemahaman tersebut di atas, perlu dibentuk departemen khusus yang bertugas untuk mempromosikan dan memperkuat kultur e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta perusahaan, terutama melalui aktivitas pengembangan sumber daya manusia. Kepemimpinan, akan memainkan suatu peran utama dalam formasi dan pengembangan corporate culture yang adaptif terhadap teknologi. Dipadu dengan kepercayaan inti, nilai-nilai, peribahasa dan norma-norma, maka kepemimpinan akan sanggup membongkar komponen utama dalam kultur perusahaan. 2.4. Corporate Culture sebagai Pilar Pengembangan Teknologi Informasi Kotter dan Heskett (1998), menerangkan corporate culture sebagai nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu, menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi. Kultur dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, yang akan diasosiasikan dengan kinerja superior, sepanjang periode waktu berjalan. Menurut Conner (dalam Poku dan Vlosky, 2002), pengembangan corporate culture tergantung pada perilaku formil organisasi sehari-hari. Budaya dapat merubah organisasi, ketika suatu kebijakan strategis bergeser pada kacamata manajer dan karyawan. Budaya diaktifkan dari atas ke bawah, melalui struktur, berdasarkan prioritas dan sasaran yang terukur. Sebelum mengadopsi sebuah teknologi, korporat dirasa perlu untuk menjalani telaah kultural, memahami interaksi antara perusahaan dengan komunitas lokal, antar sesama anggota organisasi, serta persetujuan atas nilai-nilai dan perilaku yang mendukung pembangunan corporate culture yang adaptif (Evants, 2007). Merujuk pada model Vlosky (2002), diperlihatkan konstruksi hubungan antara proses adopsi TI dengan corporate culture. Dalam model ini, corporate culture memainkan suatu peran yang secara sistematis memodifikasi kekuatan hubungan antara efektivitas terhadap kedatangan sebuah TI, dengan hal-hal yang mempengaruhi proses pengadopsian sebuah TI, serta interaksi antara keduanya. Namun dalam telaah kali ini, corporate culture justru diletakkan sebagai pilar utama bagi pengembangan TI, melalui faktor-faktor yang mempengaruhi proses adopsi TI (Vlosky, 2002). A. Extent of IT Application Sehubungan dengan jangkauan aplikasi, mengarahkan relasi antara pihak-pihak yang membuat, menerapkan dan mengevaluasi keputusan-keputusan organisatoris. Sebagai nilai inti, diperlukan manajer puncak yang memiliki kepedulian dan perhatian lebih terhadap pembuat aplikasi, anak buah yang terlibat dalam usaha penerapan aplikasi, dan manajer menengah yang bertanggung jawab terhadap pengembangan TI. Dalam hirarki manajemen, diperlukan pemimpin yang dapat saling memahami terhadap suatu kebutuhan TI, mendukung terciptanya perubahan. Melahirkan penghargaan pada proses dan individu yang terlibat dalam usaha pengembangan aplikasi. Selain itu, seorang manajer, berkewajiban untuk berperilaku konsisten, melalui cara dan kebijakan yang mendukung pengembangan TI berdasarkan kebutuhan perusahaan. Perilaku umum yang terbentuk, seorang pimpinan didorong untuk terbiasa dalam memberi perhatian yang cermat terhadap seluruh komponen pengembangan, khususnya pada aplikasi TI. Dalam pengambilan keputusan, terbiasa untuk melibatkan nara sumber yang menyatu dengan strategi alternatif. Perilaku umum yang diharapkan, user dapat dipastikan akan menggunakan aplikasi yang disodorkan. B. User Participation Kultur yang akan dibangun, harus bersifat mendukung dan memberi timbal balik, guna membantu perkembangan tingkat TI yang lebih tinggi, melalui identitas dan komitmen yang dibagi bersama, untuk meningkatkan peran serta user. Semakin besar keikutsertaan user di dalam proyek TI, akan kian menetapkan kepercayaan mereka. Menurut Foster dan Franz (dalam Vlosky, 2002), para user memiliki persepsi-persepsi yang berbeda. Oleh karena itu, peran serta dan kemauan perusahaan dalam menerima user, diharapkan dapat merangkum pandangan mereka kepada hal positif yang berdampak pada kepuasan user terhadap suatu produk TI. C. Perceived Ease of Use by User. Dalam kajian budaya, seorang manajer dituntut untuk senantiasa menciptakan dan mengimplementasikan suatu produk TI yang benarbenar cocok dengan lingkungan perusahaan. Menurut Kotter dan Heskett (1998), kepemimpinan dapat melengkapi penekanan atas nilai-nilai tertentu yang memunculkan sebuah kekuatan budaya. Merujuk pada enam variabel yang disampaikan Venkatesh (dalam Vlosky, 2002), manajer dapat mempermudah pemahaman user, melalui pemilihan produk TI yang sesuai dengan visi dan strategi perusahaan di bidang TI. Dalam hal ini, manajer perusahaan dapat menjamin kenyamanan kepada karyawan (user), atas segala kebijakan pemanfaatan produk TI tertentu. Seperti halnya Weizhi’s Culture (dalam Keung, 2002), perusahaan dapat memelihara norma-norma seperti : “Layani orang lain, sebelum melayani diri sendiri !”, atau bisa juga menggunakan Weizhi’s maxim; “Mereka yang membuat orang lain bahagia, adalah orang yang paling bahagia !” Selanjutnya, seorang manajer puncak bertugas memelihara nilai-nilai tertentu yang dianggap adaptif bagi user. D. Perceived Usefulness by User Sehubungan dengan teori perubahan sosial (dalam Vlosky, 2002), disebutkan bahwa seorang e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta manajer berpotensi untuk mempengaruhi daya guna suatu produk TI, hingga memberi pemahaman tentang kemudahan yang diperoleh ketika sebuah aplikasi TI direkomendasikan. Membangun perubahan sosial yang dimaksud, dengan menempatkan karyawan (user) seperti halnya pengembang yang memiliki respon terhadap masa depan aplikasi TI. Perusahaan harus mampu menjamin kepuasaan karyawan, ketika tiba saatnya untuk menggunakan produk TI yang dipilih. Selanjutnya, manajer dapat melakukan konfirmasi, apakah user dapat merasakan manfaatnya, dan apakah sudah sesuai dengan harapan-harapan mereka sebelumnya. Untuk menancapkan perceived usefulness, seorang manajer dituntut untuk memiliki komitmen dan legitimasi sosial. Seperti halnya Weizhi’s Ethical Codes (dalam Keung, 2002), jika seorang manajer mengingkari kepercayaan, maka seorang pantas untuk menampar mukanya. Hal ini terangkum dalam larangan etis yang sengaja dilestarikan untuk memperingatkan kepada pemimpin agar tidak mengambil resiko dalam kehidupan kerjanya. Di sisi lain, karyawan sebagai user, didorong untuk meyakini pilihan yang ditawarkan, memahami manfaat yang disuguhkan, dan senantiasa memberi respon positif bagi keberlangsungan sistem TI perusahaan. Nilai-nilai yang dapat ditanamkan, dapat meliputi kebaikan hati, keikhlasan, kearifan, dan ketekunan (Keung, 2002). Dalam perjalanannya, keempat nilai tersebut dapat dijadikan sebagai dasar kepercayaan yang dianut oleh seluruh karyawan. E. Adoption Diffusion by Company Proses adopsi dan pemanfaatan TI, merupakan jalan untuk memahami persepsi-persepsi individu dan lingkungannya. Pemahaman tentang desain inovasi TI, pelaksana dan pengguna TI dalam evaluasi, pemilihan, implementasi, serta penggunaan TI secara berkesinambungan. Dalam hal ini, manajemen puncak menjamin terlaksananya difusi secara positif di lingkungan organisasi perusahaan. Menentukan karakteristik dari suatu inovasi, guna mendukung terlaksananya adopsi TI. Membangun tercapainya keuntungan relatif, kecocokan, kompleksitas, keterandalan, dan kecermatan (Vlosky, 2002). Manajemen menengah, lebih berperan sebagai katalisator yang mendukung proses adopsi terhadap suatu produk TI. Menjaga terlaksananya seluruh prosedur organisatoris dan senantiasa mendorong karyawan dalam sosialisasi terhadap pelaksanaan TI. Adapun nilai inti yang perlu ditanamkan, berpijak pada nilai dan perilaku yang memungkinkan sebuah difusi teknologi baru terjadi. Hal ini dimungkinkan, jika asumsi dasar terbentuk. Merupakan korelasi antara nilai-nilai yang didukung dengan struktur organisasi yang telah ada. Sementara simbol, dapat menjadi asumsi dasar yang berwujud sebuah keyakinan, persepsi pemikiran, dan perasaan yang merupakan muara atas nilai dan tindakan (Tunggal, 2004). 3. PENUTUP Melalui pendekatan antropologi, akhirnya dapat diletakkan pemahaman panjang tentang pembangunan corporate culture yang adiptif bagi pengembangan teknologi informasi. Guna memenuhi kebutuhannya, manusia bersandar pada kapasitas intelektualnya. Manusia memiliki kapasitas untuk mengembangkan dan menggunakan tools bagi lingkungannya, sesuai dengan keperluan dan harapan manusia. Teknologi bertindak untuk melanjutkan dan memperluas jangkauan manusia hingga mampu mewakili aktivitas-aktivitasnya. Sebagai manusia, sehubungan dengan makalah dan segala persepsi yang membangun, perkenankan saya untuk mengucapkan terima kasih kepada : KNRT Republik Indonesia yang selama ini telah mendukung aktivitas POSS Network di Perguruan Tinggi, Panitia eII2008 atas mediasi yang diberikan, dan Direktur Sistem Informasi Universitas Airlangga selaku nara sumber atas berjalannya pemikiran ini. 4. DAFTAR PUSTAKA [1]. Evans. Anthony J, “Towards a Corporate Culture Theory”, ESCP-EAP European School of Management, -, 2007 [2]. Keung. Ip Po, “The weizhi Group of Xian : A Chinese Virtuous Corporation”, Kluwer Academic Publishers, Netherlands, 2002 [3]. Kotter. J.P and Heskett. J.L, "Corporate Culture and Performance", Prenhallindo, Jakarta, 1998 [4]. Knauft, Bruce M, ”Anthropology in The Middle,” SAGE Publications, London, 2006 [5]. Poku. Kofi and Vlosky. R.P, "A Model of The Impact of Corporate Culture on Information Technology Adoption", Louisiana State University Agricultural Center, Louisiana, 2002 [6]. ---------------, "A Model of Marketing Oriented Corporate Culture Influences on Information Technology Adoption", Louisiana Forest Products Development Center, Louisiana, 2003 [7]. Rowlands, BH, “Power and Authority Over Systems Proffesionals By The Business Client”, IC on Information Systems, Montreal, 2007 [8]. Siregar. Leonard, “Antropologi dan Konsep Kebudayaan,” Jurnal Antropologi Papua, Jayapura, 2002 [9]. Stahl. Bernd C, “Information Technology, Responsibility, and Anthropology,” University College Dublin, Dublin, 2002 [10]. Tunggal. Amin Widjaja, "Budaya Organisasi", Harvarindo, -, 2004 e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta