JS Enam Cetak 24 Juni. pmd.pmd - Institut für Orient

advertisement
Budaya Universalia Raya
Sebuah Dasar
bagi Humanisme Terbuka
di Indonesia
CHRISTOPH ANTWEILER
I
ndonesia adalah negara dengan banyak budaya berbeda.
Orientasi budaya Indonesia kerap dikemas sebagai sebuah
keberagaman dengan slogan “bhineka tunggal ika”.
Keragaman dan fragmentasi budaya memang cukup jelas
terlihat di Indonesia. Dalam pada itu, pada masa pasca-Suharto,
Indonesia dengan cepat berubah dari sebuah negara yang
sangat terpusat menjadi salah satu negara yang paling terdesentralisasi di dunia. Dalam kaitan transisi tersebut, kesatuan
kerap dipahami secara top down dan dari perspektif nasionalis.
Orde Baru telah pergi, tetapi demokrasi Pancasila masih dikerahkan dari pusat, sementara kesatuan nasional disajikan dalam bentuk quasi-religius.
Meskipun secara prinsip terbuka, wacana masyarakat Indonesia atas identitas kolektif terpusat pada agama monoteistik.
Dengan demikian, sementara retorika resmi menyatakan keragaman, imajinasi nasional yang dominan adalah monobudaya. Integrasi secara luas diandaikan sebagai asimilasi.
Mengingat kuatnya mono-orientasi tersebut, keanekaragaman
budaya pun terdepolitisasi. Keragaman akhirnya dijinakkan
lewat seni-budaya dan cerita rakyat.
JurnalSajak No. 06, 2013
9
Pancasila pada prinsipnya memungkinkan kebebasan memilih agama. Dengan kalimat “Ketuhanan
Yang Maha Esa” orientasinya adalah
teistik, namun tidak mesti terbatas
pada pribadi tuhan.1 Dilihat sebagai
agama peradaban, Pancasila pada
prinsipnya bahkan terbuka bagi sikap
nonagama, sebagaimana baru-baru
ini dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pertanyaan penting bagi pembangunan bangsa dan demokratisasi di
Indonesia sekarang ini adalah: “Apakah persatuan Indonesia dapat didasarkan pada nilai-nilai sekuler tinimbang pada keyakinan agama?
Jelas ini merupakan tantangan
nyata bagi politik dan kehidupan publik di Indonesia: siapa yang benarbenar siap untuk bertoleransi pada
aneka rupa kepercayaan (non-monoteistik)? Siapa yang akan dengan toleran menghormati mereka sama sebagaimana pada pemeluk agama lainnya? Akankah masyarakat Indonesia
secara keseluruhan, dan tidak hanya
beberapa individu tercerahkan, terbuka untuk menerima ini semua?
Tulisan ini didasarkan pada delapan bagian. Bagian 1 menjelaskan
kebutuhan global akan humanisme
yang tidak terbatas pada nilai-nilai
Barat. Di sini digarisbawahi potensi
definisi inklusif atas humanisme,
sementara godaan dan bahaya untuk
terjerumus dalam lambungan lamunan pencarian nilai-nilai umum pun
mendapat catatan. Pada bagian 2,
Budaya Universalia Raya2 (Pan-Cultural Universals) didefinisikan sebagai sifat umum manusia di tingkat
kolektif (masyarakat). Di sini dikemukakan bahwa universalia dibedakan dengan konsep ‘kodrat manusia’
maupun ‘konstanta antropologis’.
Bagian 3 menyajikan metode perbandingan lintas budaya sebagai prosedur
sentral dalam pengamatan universal
secara empiris yang akan membawa
kita pada hujah-hujah bagi universalia yang akan disusun dalam bagian 4.
Di bagian ini digarisbawahi bahwa
unsur biotik kita hanya merupakan
salah satu saja di antara sekian banyak faktor asali universalia. Bagian
5 menyajikan ultra-sosialitas, kondisi
besar dan kompleks bagi munculnya
universalia dalam masyarakat. Bagian 6 menyajikan hujah bahwa teoriteori budaya tidak semestinya hanya
memusatkan diri pada perbedaan antara satu dengan lain budaya —baik
antar budaya etnis, budaya nasional,
maupun bahkan antar peradaban—
melainkan harus mempertimbang-
2
1
Wolfgang Brehm, “Religionsfreiheit in Indonesiens
Pancasila-Demokratie” (Teil 1: Gründerjahre),
dalam Berthold Damshäuser & Wolfgang Kubin
(ed.) Orientierungen 2/2012: 117-136; lihat
khususnya hal. 128.
10
Mengingat kata universals menempati posisi
penting dalam tulisan ini dan kerap digunakan
dengan makna berbeda, maka kata universals sebagai konsep diterjemahkan menjadi universalia
untuk membedakannya dengan penggunaannya
dalam makna biasa (penerjemah, ARS) .
JurnalSajak No. 06, 2013
kan keragaman intra-budaya di satu
sisi dan kesamaan budaya raya di sisi
lain. Pada bagian 7 saya menetapkan
beberapa universalia yang secara
khusus mungkin berguna untuk membentuk humanisme inklusif. Ini adalah wilayah baru di mana banyak penelitian masih harus dilakukan. Hal
ini dijelaskan dengan bercontohkan
gambaran atas pandangan dunia. Bagian penutup, bagian 8, akan menyajikan bahasan bagaimana penggunaan
metafora keluarga di Indonesia dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan toleransi yang lebih besar dan
membawa rahmat bagi Indonesia.
Humanisme di Luar Barat
Di Indonesia saat ini, sebagaimana di banyak negara lain di seluruh
dunia, kian banyak orang yang tidak
puas dengan pendefinisian budaya
yang berpusatkan pada pembedaan
sebagai terminologi utamanya.
Mereka mengecam penggunaan
“budaya” dan “identitas” secara tertutup tapi dalam bentuk jamak. Ada
kecenderungan umum di seluruh dunia untuk menafsirkan konflik sebagai bentrokan antarbudaya. Pandangan ini dikompori oleh perdebatan
seputar globalisasi gaya Barat. Untuk
mengatasi masalah ini, kita perlu
orientasi trans-budaya dan tata nilai
lintas-budaya bersama. Di luar tata
nilai, bagaimanapun, kita perlu memiliki pengetahuan tentang manusia
dan budaya. Kita perlu mengetahui
lebih banyak tentang budaya, baik
JurnalSajak No. 06, 2013
secara umum maupun khusus, jamak maupun tunggal. Berkaitan dengan kesatuan, ada peningkatan permintaan bagi penelitian empiris yang
berfokus pada apa yang menjadi kesamaan umat manusia. Dasar pemikiran mengenai kodrat manusia saat
ini merupakan domain khas bioscience. Di sisi lain, mengganjal kritik
atas pendekatan yang memfokuskan
diri pada faktor biologis semata. Oleh
sebab itu, dibu-tuhkan pandangan
yang lebih holistik —dengan fakta
mutakhir— bagi pandangan biocultural atas budaya manusia.
Konseptualisasi atas humanisme
lintas budaya merupakan proyek
yang mendesak bagi kemanusiaan.
Sebuah dialog antarbudaya bermukamuka dengan oposisi mendasar, karena kebijakan saat ini justru memberi tekanan pada perbedaan budaya
dan etnisitas. Banyak orang melihat
kesenjangan tak terjembatani antara
perbedaan dan kekhasan budaya di
satu sisi dengan wacana universalia
di sisi lain. Dalam konteks ini, pencarian yang hati-hati bagi kesamaan
terbukti secara empiris mampu memberi kontribusi penting bagi landasan
kerjasama dan kemanusiaan di era
globalisasi sekarang ini.
Apa yang dipertaruhkan di sini
adalah upaya untuk mengembangkan suatu bentuk humanisme yang
menekankan kesatuan lintas-budaya
di mana budaya apa pun memiliki
kesamaan tanpa pada saat yang sama
mengabaikan perbedaan yang sangat
11
diperlukan bagi pembentukan identitasnya. Untuk tujuan ini, dan ini
asumsi yang mendasari esai ini, konsep keragaman budaya yang senantiasa menyerukan beberapa jenis
kualitas yang universal terbukti akan
menjadi yang paling tepat. Ini semua
akan lebih bermanfaat dibanding
pemfokusan umum yang bertumpu
pada pembedaan budaya yang berkecenderungan menempatkan perbedaan budaya sebagai sesuatu yang mutlak ada dari sananya. Pada saat yang
sama, ini semua jauh lebih realistis
daripada penyangkalan total atas tiap
perbatasan antarbudaya dalam kajian budaya (dibingkai sebagai “ethnoscapes”) yang tengah mode saat ini.
Dengan demikian, segunung pertanyaan atas bagaimana gambaran dunia secara menyeluruh, dapat diandaikan bukan dari segi kekurangannya sebagai satu bulatan dunia dengan pemberian tekanan pada perbedaan, melainkan lebih sebagai sebuah
planet yang akan membuka diri bagi
perspektif akan kesamaan-kesamaan.
dalam proses ini dapat dirumuskan
dalam pertanyaan: “Apakah tradisi
besar, agama maupun peradaban —
lepas dari semua perbedaannya— memiliki unsur-unsur tertentu yang sama, terutama saat mendefinisikan
apa makna menjadi manusia.
Proyek humanisme mutakhir di
Jerman bertumpu pada pencarian
atas unsur-unsur umum dalam khasanah tradisi filsafat dan agama-agama besar yang mungkin terbukti bermanfaat untuk mengembangkan humanisme baru. 3 Relevansi utama
Secara empiris, saya mencoba
mencari kesamaan dalam sekian
banyak —jika tidak semua— budaya
melalui gambaran yang bersumber
pada Antropologi Budaya. Kita tidak
bisa mengambil yang “harus” dari
yang “adalah”. Tujuan pembangunan
masyarakat harus ditentukan dalam
proses politik, bukan oleh kaum ilmuwan. Jika tidak, para ilmuwan akan
melakukan dosa “kesalahan alami”.
Namun, dalam rangka membangun
3
Der Humanismus in der Epoche der Globalisierung. Ein interkultureller Dialog über Kultur,
Menschheit und Werte. Kulturwissenschaftliches
Institut Essen (KWI). (http://www.kwi-humanis
mus.de/cms/index .php?t=3, diakses 12-5-2013).
12
Jika dalam semua konsep kemanusiaan tertentu dapat ditemukan
pokok tertentu yang dapat menjadi
suatu jatidiri alami universalia itu
sendiri, maka hal ini akan memberi
sumbangan besar bagi bangunan
konseptual humanisme inklusif.
Cukup sedikit pengetahuan sistematis
yang kita miliki mengenai konsep
universalia yang tersebar cukup merata pada khasanah pemikiran besar.
Makin sedikit lagi yang kita ketahui
mengenai atribut berbagi (shared
attributes) di antara beribu budaya,
masyarakat, dan suku bangsa, terutama saat berkenaan dengan normanorma umum, nilai-nilai, atau idealideal. Tulisan ini, persis diniatkan
untuk memverifikasi persoalan-persoalan ini.
JurnalSajak No. 06, 2013
sebuah orientasi yang realistis atas
sekian banyak budaya yang saling
berjalin-berkelindan di planet yang
terbatas ini, kita harus mengetahui
sebanyak mungkin mengenai manusia nyata sebagai satu keseluruhan:
budaya dan kemanusiaannya.
Pola Budaya Raya versus “Kodrat
Manusia”
Universalia (juga universalia
budaya, universalia manusia) adalah
unsur atau fenomena untuk ditemukan secara teratur dalam semua —
atau nyaris semua— masyarakat
yang kita kenal.4 Dengan definisi ini,
universalia sengaja dipahami sebagai
fenomena yang ada di mana-mana.
Di sana lah berdiam sejumlah perkara potensial.
Dari perspektif empiris, pertanyaan yang menentukan adalah sebagai
berikut: apakah tindakan manusia di
mana pun dilakukan sebagai upaya
meningkatkan keuntungan mereka
sendiri? Atau hal ini berbeda, misalnya, dalam masyarakat Asia? Dalam
semua budaya, adakah semacam
konsep keadilan? Apakah semua manusia pada umumnya selalu berpikir
dalam dikotomi? Apakah di mana
pun orang lebih mengutamakan
kerabat dekat mereka? Apakah semua
4
Brown, Donald Edward: Human Universals, New
York etc., 1991; Antweiler, Christoph: Was ist
den Menschen gemeinsam? Über Kultur und
Kulturen, Darmstadt, 2009a.
JurnalSajak No. 06, 2013
masyarakat diklasifikasikan berdasar
peran dan status? Apakah inses ditabukan di seluruh masyarakat mana
pun di dunia? Apakah di masyarakat
mana saja, para remaja cenderung
merasa galau dan tak bahagia? Apakah di masyarakat mana saja orang
piawai dalam seni menatap sekejap
dengan pandangan aneh saat mereka
ingin memandang remeh seseorang?
Apakah manusia dari semua budaya
memiliki fakultas yang saling mengenali ekspresi emosi mereka? Dan
akhirnya: bentuk dan isi belajarmengajar yang mana yang mirip
dalam semua kebudayaan —lepas
dari perbedaan yang ada?
Contoh masyhur dari universalia
yang kerap dijadikan dalil adalah
Oedipus kompleks, dominasi laki-laki
dalam politik dan kehidupan publik,
dan terutama ditabukannya inses.
Universalia tersebut, yang akan lebih
tepat disebut ‘penghindaran inses’,
terutama menyiratkan pencegahan
hubungan seksual atau perkawinan
antar-kerabat lengkap dengan norma,
larangan, dan sanksi. Istilah populer
‘tabu inses’ hanya mengacu pada satu
segi dari keseluruhan masalah yang
kompleks. Norma larangan inses adalah satu dari beberapa universalia yang
tidak terbantahkan dalam kepustakaan ilmiah.
Universalia dapat mewujud dalam
beragam bentuk: kondisi umum kehidupan, perilaku, pikiran dan perasaan,
serta dalam lembaga-lembaga sosial
dan benda-benda tertentu. Pada
13
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Konsep antropomorfis
Nepotisme
Peranan gender, kedudukan, ideal-ideal tertentu
Upacara inisiasi menuju kedewasaan
Kategori atau terminologi berdasarkan kelompok usia
Praktek kontrasepsi
Konsep magis
Konsep waktu linear, waktu bagai anak panah (selain konsep waktu
yang lain)
Etnisitas dan etnosentrisme
Praktek prakiraan cuaca
Konsep cinta dan asmara
Musik, tari, seni pertunjukan
Seni sebagai ‘pengkhususan’
Kesantunan yang bermakna pengenalan dan penyajian manusia secara
bertahap
Gambar 1: Contoh-contoh universalia
gambar 1, saya memberikan beberapa
contoh untuk menunjukkan beragam
uni-ersalia berkenaan dengan isi dan
kekhususan mereka. Contoh yang
diajukan merupakan hasil seleksi dari
sejumlah universalia yang telah menjadi dalil dan/atau telah mengalami
pembuktian.5
5
Berbagai katalog atas universalia telah terbit
menyusul daftar universalia yang disajikan oleh
George Peter Murdock pada tahun 1945: “The
Common Denominator of Cultures” dalam Ralph
Linton (Ed.), The Science of Man in the World
Crisis, New York 1945, pp. 123–140. Cf.
Dokumentasi atas berbagai daftar pada Antweiler,
Was ist den Menschen gemeinsam?, 393–409.
Untuk sajian yang lebih populer atas berbagai
contoh pola pan-cultural dalam konteks
keberbagaian budaya cf. Antweiler, Christoph,
Heimat Mensch. Was uns alle verbindet,
Hamburg, 2009.
14
Biasanya, orang melakukan pembedaan berbagai bentuk dan jenis universalia dalam terminologi dan taksonomi yang tepat sebagaimana telah disusun dalam linguistik. Tanpa memikirkan hal ini secara luas, saya dengan
singkat akan menggarisbawahi hal-hal
yang paling penting. Universalia absolut atau universalia sejati merupakan
sesuatu yang menonjol dan dapat
ditemukan dalam semua masyarakat
yang dikenal, sedangkan nyaris universal adalah fenomena yang ditemui
dalam sejumlah besar masyarakat yang
dikenal namun tidak pada semua
mereka.
Universalia absolut atau universalia sejati adalah f itur yang ditemukan
dalam semua masyarakat yang dikenal, sementara nyaris universalia
JurnalSajak No. 06, 2013
adalah fenomena yang ditemukan pada sejumlah besar masyarakat, namun
tidak pada semua. Apa yang disebut
universalia implikasional membentuk
kelompok khas. Mereka terdiri dari
hubungan antara dua karakteristik
dengan cara: kapan saja satu segi khas
(yang dalam dirinya tak universal) ada
dalam sebuah masyarakat, segi lain
yang terkait pun akan ditemukan (namun tidak sebaliknya). Contoh sederhananya: semua bahasa yang memiliki
bentuk jamak memiliki juga bentuk
ganda.
Universalitas atau keadadimanamanaan yang merupakan fenomena
yang cocok sebagai universalia selalu
berlaku untuk unit budaya —masyarakat, bangsa, atau etnis— dan,
bagaimanapun, tidak untuk individu.
Karena mereka menampakkan diri di
seluruh budaya, meskipun tidak harus pada semua individu, universalia
tersebut juga dinyatakan sebagai ‘universalia budaya’. Hal ini berbeda dengan bentuk lain yang mengacu pada
karakteristik umum manusia, misalnya kekhasan yang mesti ditemukan
pada setiap individu, seluruh spesies,
dan seluruh umat manusia. Berlawanan dengan pendapat umum, universalia tidak dapat disamakan secara
sederhana dengan kodrat manusia
atau atribut umum homo sapiens,
meskipun tentu menjadi bagian
kausalitas dengan ini semua.
Universalia manusia memiliki
status berbeda dengan pendefinisian
berbagai jenis hewan. Pada hewan,
JurnalSajak No. 06, 2013
ciri tujuan penguniversalan spesies
sangat dekat dengan upaya menemukan satu hal yang diasalkan dari
ethogram (inventarisasi semua perilaku) dari setiap populasi spesies tersebut. Dengan demikian, seseorang
bisa menyelidiki populasi yang berbeda dari suatu spesies tertentu dengan mempertimbangkan parameter
lingkungan, dan dari sana melakukan generalisasi atas seluruh spesies
tersebut secara keseluruhan. Meskipun demikian, bahkan dalam beberapa primata cara ini hanya dapat dilakukan dalam batas-batas tertentu,
seperti ditunjukkan pada perbedaan
perilaku antara berbagai populasi
simpanse di alam bebas dengan
orang-utan. Pada populasi manusia,
generalisasi tersebut bahkan kurang
layak. Penelitian universalia dapat
dihitung sebagai sumbangan empiris
untuk memecahkan masalah berkenaan dengan unsur yang mengkonstitusi sifat alami kemanusiaan kita,
kodrat manusia yang mencakup disposisi warisan biotis kita, arah, juga
kebutuhan, budaya.
Dalam arti yang sedikit berbeda,
universalia adalah fenomena yang
tidak hanya ditemukan pada semua
budaya mutakhir. Ia secara umum
terdapat juga pada semua masyarakat
manusia yang kita kenal. Universalia
diakronis demikian, ada dalam budaya di seluruh waktu dan ruang. Universalia yang demikian, dapat dianggap sebagai sifat umum yang abadi.
Sementara pengetahuan etnografis
15
kita atas kebudayaan mutakhir sudah
agak lengkap, pengetahuan kita tentang budaya prasejarah sangatlah
fragmentaris. Oleh karena itu, akan
sangat sulit bagi kita untuk mendefinisikan dengan tepat universalia di
sana. Hal ini, bagaimanapun, janganlah menghalangi kita dalam penyelidikan diakronis universalia. Pengetahuan empiris kita yang fragmentaris
dapat dilengkapi dengan metode lain:
deduksi atau retrodiksi. Donald
Brown, misalnya, mendefinisikan
universalia manusia sebagai transbudaya serta trans-historis:
“Universalia manusia terdiri dari segi
budaya, masyarakat, bahasa, perilaku, dan
kejiwaan yang keberadaannya tanpa
kecuali terekam secara etnograf is maupun
historis dalam masyarakat manusia.” 6
(Tekanan dari penulis, CA).
“Universalia manusia —yang ratusan kali
telah diidentif ikasi— terdiri dari segi-segi
budaya, masyarakat, bahasa, perilaku, dan
pemikiran, sejauh tercatat dan teruji, yang
ditemukan di antara semua bangsa yang
dikenal secara etnograf is dan historis.”7
(Tekanan dari penulis, CA)
Universalia budaya selalu ada
sebagai segi tertutup bagi komunitas
atau masyarakat tertentu, dan bukan
6
Brown, Donald Edward, “Human Universals”,
dalam Robert Anton Wilson/Frank C. Keil (Eds.),
The MIT Encyclopedia of the Cognitive Sciences,
London, 1999, hal. 382.
7
Brown, Donald Edward, “Human Universals,
Human Nature/Human Culture”, dalam Daedalus
(Fall 2004), hal. 47.
16
merupakan jumlah keseluruhan seginya. Untuk mengklaim bahwa keserupaan masyarakat hanya dengan
mengacu pada satu segi “a” tidak
menutup kemungkinan dalam segi
“b”, “c”, ... —atau bahkan semua
karakteristik lainnya— muncul perbedaan yang signifikan. Penentuan
universalia tidaklah mengurangi kekhasan suatu objek, pribadi, atau masyarakat tertentu. Ini hanya berarti
bahwa pengujian obyek tidak lah
unik dalam segala hal. Meminjam
ungkapan Kluckhohn dan Murray,
orang bisa mengatakan: setiap manusia sama seperti semua manusia
lain, sama seperti beberapa manusia
lain, tidak sama seperti manusia lain.8
Definisi universalia sebagaimana
terdapat di semua masyarakat manusia tidak menyiratkan secara tegas
bahwa suatu ciri tertentu tidak ada
pada populasi primata lainnya. Ini
perlu ditekankan mengingat pemahaman sejumlah penulis atas universalia menyiratkan bahwa sejumlah
karakteristik menampakkan diri pada
manusia namun tidak dapat ditemukan pada hewan. Karakteristik semacam ini harus dibedakan sebagai segi
khusus suatu ‘spesies’ dari universalia. Salah satu dari beberapa segi
memenuhi kondisi tambahan dan
merupakan ‘kopulasi rahasia’. Hal ini
8
Kluckhohn, Clyde Kay Maben/Murrey, Henry
A, Personality in Nature, Society and Culture,
New York, 1953.
JurnalSajak No. 06, 2013
tidak berarti bahwa hanya ovulasi
yang merupakan tindakan terselubung di kalangan manusia, karena
hubungan seksual pun dalam semua
kebudayaan tidak lazim berlangsung
secara terbuka (coram publico). Ia
kerap dilakukan dalam ruang pribadi
(yang berasosiasi dengan kerahasiaan dan ketertutupan), sedangkan pada sejumlah primata lainnya perilaku
ini benar-benar berbeda.
Bagaimana Menemukan
Universalia? —Perbandingan
Lintas-budaya
Metode yang secara empiris paling relevan dalam mendokumentasikan universalia terdiri dari beragam bentuk perbandingan antar
spesies dan perbandingan lintasbudaya. Dalam ilmu-ilmu sosial dan
humaniora metode mendasar untuk
memasok bukti empiris keberadaan
universalia sangatlah sistematis
sebagaimana perbandingan antar
budaya di dunia (perbandingan
lintas-budaya). Ini merupakan pendekatan utama antropologi budaya
berkenaan dengan penelitian mengenai universalia. Untuk tujuan ini perbandingan sinkronis antropologi
budaya dapat dilengkapi dengan
perbandingan diakronis sebagaimana
ia ditunjang oleh penelitian sejarah.
Dalam penelitian perbandingan budaya fenomena khas yang diamati
melingkupi berbagai, atau setidaknya
beberapa, unit budaya. Penyelidikan
komparatif di bidang antropologi
JurnalSajak No. 06, 2013
budaya, sosiologi, dan ilmu politik
dapat menujukan bandingan mereka
atas berbagai tingkatan: perbandingan intra-budaya, perbandingan antar-budaya, dan perbandingan sejumlah besar masyarakat hingga
sampel mendunia (Perbandingan lintas budaya sistematis). Tinimbang
berkutat dalam masalah metodologis
yang dihadapi seseorang dalam perbandingan budaya secara empiris,
saya memilih untuk lebih menyoroti
dua pandangan yang bertolak belakang dalam tipologi perbandingan
empiris atas budaya9:
·
Budaya dibedakan lewat segi-segi
yang mereka miliki, seperti seginya
yang khas, atau dalam kondisi tertentu bahkan lewat seginya yang
eksklusif. Budaya adalah suatu yang
terputus satu sama lain;
·
Budaya dibedakan lewat segi yang
relatif penting yang juga dapat ditemukan di mana saja: dengan demikian, perbedaan bersifat gradual dan
hubungan antarbudaya berkesinambungan. Segi-segi tersebut tidak
eksklusif melainkan bertingkat, bergantung statusnya yang relatif. dengan cara kepentingan relatif dari f i-
9
Holenstein, Elmar, “Interkulturelle Beziehungen
– multikulturelle Verhältnisse. Im Ausgang von
Japan-Berichten in der westdeutschen Presse”,
dalam E. Holenstein, Menschliches Selbstverständnis. Ichbewußtsein –Intersubjektive
Verantwortung Interkulturelle Verständigung,
Frankfurt/Main, 1985, hal. 139.
17
tur yang juga dapat ditemukan di
tempat lain, sehingga perbedaan
yang bertahap dan hubungan antar
budaya adalah kontinu. Fitur tidak
eksklusif tapi dinilai menurut status
relatif mereka. Segi yang utama menentukan kepentingan relatif semua
yang lain.
Pilihan pada salah satu dari dua
pandangan tersebut memiliki pengaruh yang kuat pada bagaimana kesamaan atau perbedaan dikonseptualisasi. Yang pertama menjadi salah
satu pandangan yang saat ini merupakan arus utama dalam kajian budaya dan sosial. Pandangan kedua
merupakan pandangan yang cenderung lebih optimis. Terlepas itu semua, saya berpegang pada model
bandingan yang kedua agar dapat
lebih adekuat secara teoretis dan lebih
realistis secara empiris.
4 Sebab-sebab Universalia —
Evolusi… dan Banyak Lagi!
Ketika sebuah fenomena terdapat
dalam semua —atau nyaris semua—
budaya, ia pada awalnya cukup nyata
mempertalikan penyebab bagi faktor
biotik alamiah berturutan. Hal ini
diasalkan pada terminologi seperti
‘kodrat manusia’ atau ‘jiwa manusia’.
Dalam konteks ini orang mungkin
menganggap penyebab terkait dengan struktur dan fungsi dari organisme manusia dan menganggap penyebab utamanya mesti berakar pada
evolusi manusia. “Keseragaman
18
mental manusia”, misalnya, dapat
dianggap bertanggung jawab bagi
beberapa atau bahkan sejumlah besar
universalia, sebagaimana pendapat
Stephen Pinker:”
Melalui penemuan kesejajaran mendalam
dalam bahasa Perancis dan Jerman, orang
Arab dan Israel, Timur dan Barat, orangorang zaman internet dan orang-orang
zaman Batu, orang dapat menangkap
sekilas keseragaman mental umat
manusia.”10
Fenomena yang tersebar di mana-mana ini, bagaimanapun, tidak
dapat secara otomatis —bertentangan dengan Pinker— dinyatakan pada
basis biotika. Selain faktor biotika
atau evolusi, di sana hadir kemungkinan lain sebagai penyebab universalia. Fenomena budaya global dapat
disebabkan oleh difusi di seluruh dunia. Difusi semacam ini terjadi jauh
sebelum munculnya Globalisasi dalam pengertian kita sekarang ini.
Universalia juga dapat disebabkan
oleh bentuk-bentuk historis awal
difusi yang merupakan hasil dari
penyebaran homo sapiens di seluruh
dunia.
Pada akhirnya, tipe universal
perilaku atau tendensi mental dapat
diasalkan pada kenyataan bahwa
manusia sebagai organisme yang terikat secara budaya digugat, kemana
pun mereka pergi, dengan keadaan
10
Pinker, Steven, Wörter und Regeln. Die Natur
der Sprache, Heidelberg/Berlin 2000, hal. 287.
JurnalSajak No. 06, 2013
dan masalah yang mengatur hidup
mereka. Hal ini menghasilkan pola
yang universal tanpa ada disposisi
khusus genetik. Hal yang sama berlaku untuk universalia sosial yang
merupakan respon terhadap kebutuhan fungsional universal.
Mengingat bio-budaya sifat manusia yang mendasar, setiap studi
universalia pada umumnya bermuka-muka dengan persoalan teoretis
maupun persoalan metodologis
membumihanguskan budaya dengan
hayati. Kapasitas untuk budaya dalam bentuk faktor-faktor non-genetik
saat tiba pada pengaturan eksistensi
manusia merepresentasikan sebuah
biotik terberi yang diperlukan untuk
bertahan hidup. Oleh sebab itu, tidak
akan ada versi empiris manusia yang
akan menjadi ‘alami’ dalam arti yang
sepenuhnya tanpa budaya. Tetap
bertahannya dikotomi antara alami
dan asuhan (nature dan nurture) –
baik ia mengambil bentuk sebagai
oposisi, saling melengkapi, maupun
berinteraksi— telah terbukti menjadi
salah satu kendala paling serius
dalam penelitian tentang universalia.
Alam dan kebudayaan sebagai faktor
menentukan harus dilihat secara terpisah dari konteks persamaan dan
perbedaan. Pada prinsipnya, gen dapat bertanggung jawab atas kesamaan maupun perbedaan, sebagaimana
budaya pun dapat menuntun pada
persamaan maupun perbedaan.
Pemecahan dikotomi tegas antara
satu lapisan terdalam biotik dan sebu-
JurnalSajak No. 06, 2013
ah “lapisan tipis” budaya dengan menisbahkan yang universal dengan sebuah biotik non-variabel dan segi khusus pada variabel lapisan budaya adalah keliru. Universalia tidak perlu harus ditentukan oleh genetika. Sebabsebabnya boleh jadi lebih dari satu dan
saling terkait. Jika umat manusia adalah untuk ditematisasikan dalam segala aspeknya, penelitian budaya dan
biologis harus saling melengkapi. Ini
semua hanya akan efektif dalam
kerangka pandangan dunia yang diterangi oleh sebuah kealamian terbuka,
dibanding oleh biologi.
Masyarakat Luas —
Ultra-Sosialitas sebagai
Universalia yang Tumbuh
Karena universalia tidak sama dengan konstanta antropologis, ia dapat
berkembang secara historis dan universalia-universalia baru bisa terbentuk. Universalia tersebut harus berurusan dengan besar dan kompleksnya
masyarakat. Dalam perspektif makrohistoris, ukuran masyarakat modern
dapat dianggap sebagai luar biasa
besar. Masyarakat manusia modern —
baik kelompok etnis atau negara—
secara demograf is dan spasial jauh
lebih besar dari apa yang kita ketahui
tentang primata lain maupun anthropogenesis. Mereka mewakili satu atau
sebagian dari bentuk masyarakat yang
sangat kompleks. Selain itu, sebagian
kelompok manusia seringkali membuang sejumlah besar benda-benda yang
merupakan artefak dari daya tahan
19
trans-generasi. Puncaknya adalah terjadinya perubahan-perubahan intensif dan juga trans-generasi di lingkungan f isik kita. Hampir di manamana, di bumi, manusia tinggal di lanskap berbentuk antropogenik yang didominasi oleh faktor budaya. Masyarakat yang lebih besar dan lebih kompleks dari ini disebut Holocene yang
umumnya terdiri dari kelompok-kelompok kecil beranggotakan sekitar
150 orang. Inilah yang ditandai sebagai
‘ultra-sosial’11
Dalam perspektif sejarah universalia, hingga sekarang ini, manusia
hanya hidup dalam komunitas yang
besar dan kompleks. Dalam sejarah secara keseluruhan, memang ada masa
di mana homo sapiens hidup dalam
kelompok kecil, namun fakta ini hanya menjadi tema dalam psikologi
evolusioner yang berbeda dari sosiobiologi, di mana bukan kesamaan
antara manusia dengan hewan yang
ditekankan, melainkan karakteristik
khusus manusia. Psikolog evolusi terfokus pada bagaimana jiwa manusia
dibentuk oleh lingkungan. Kelompokkelompok ini memang kecil, dan artefak yang mereka gunakan relatif sedikit. Bahkan, mereka pun tak membawa pengaruh yang berarti pada perubahan-perubahan f isik lingkungan
mereka. Sifat khusus masyarakat awal
yang membentuk bagian besar sejarah
manusia adalah bahwa ada sangat sedikit materi serta media informasi. Hal
ini terjadi terutama karena saat itu belum ada tulisan atau monumen sebagai pemancar memori trans-generasi.
Fenomena ultra-sosialitas dapat
menyebabkan pembentukan universalia, karena ukuran dan kompleksitas
masyarakat tersebut menyebabkan
tim-ulnya kebutuhan dan persyaratan
organisasi atau teknologi. Agar bisa
berfungsi, masyarakat yang kompleks
membutuhkan institusi yang kompleks
yang melampaui tingkat organisasi
hubungan kekerabatan.12 Masyarakat
sosioekonomi kompleks berskala besar
dengan demograf i yang padat memerlukan pembagian kerja serta subsistem, seperti birokrasi. Masyarakat semacam ini, kemudian harus beradaptasi dengan masalah-masalah yang
timbul baik akibat kompleksitas mereka sendiri maupun akibat lingkungan mereka yang juga terdiri dari
masyarakat tetangga yang kompleks.
Oleh karena itu, dapat diasumsikan
bahwa kelompok manusia, dengan
budaya spesif ik, tingkat ekstensi,
ukuran dan kepadatan penduduk,
serta kompleksitas tertentu, cenderung menunjukkan kesamaan tertentu. Persyaratan lainnya adalah adanya
media, sejauh media massa dapat
12
11
Dunbar, Robin I.M., The Human Story. A New
History of Mankind Evolution, London, 2004.
20
Richerson, Peter J./Robert Boyd, Not by Genes
Alone. How Human Culture Transformed Human
Evolution, Chicago/London, 2005.
JurnalSajak No. 06, 2013
dianggap sebagai universalia yang cukup dekat, yang produknya memungkinkan seseorang untuk menyelidiki
universalia spesif ik lainnya.
Dalam konteks ini kita dapat mendalilkan universalia, yang dapat dikualif ikasikan sebagai universal implikasional yang terkait erat dengan kondisi
ultra-sosialitas. Karena masyarakat
saat ini telah melampaui ambang ultrasosialitas Dunbar, maka sejumlah universalia yang dekat bisa bermunculan.
Dengan berfokus pada dimensi yang
lebih komprehensif dari masyarakat
yang lebih besar, dimensi ultra-sosialitas mampu memperluas perspektif kelompok kecil ‘suku’ dengan cara yang
telah diterapkan oleh disiplin ilmu
sosial-biologi dan psikologi evolusioner
dalam mengembangkan universaliauniversalia psikologis. Hal ini secara
khusus akan mengarah pada pemahaman yang lebih mendalam akan universalia-universalia yang tumbuh yang
merupakan hasil dari perkembangan
sosial jangka panjang.
dengan perilaku yang relatif radikal.
Obsesi akan alteritas ditentang oleh
kecenderungan yang tidak realistis
untuk mengaburkan garis batas antarbudaya. Kedua pendekatan tersebut dapat ditemukan dalam beberapa
konsep budaya hibrida. Saya tidak
akan membahas konsep budaya secara panjang lebar di sini.
Menuju Teori Realistis tentang
Keragaman Budaya dan Kesatuan
di Indonesia
Berlawanan dengan gagasan populer tentang suku bangsa di Indonesia,
posisi dominan saat ini di kalangan antropolog dan peneliti lain didasarkan
pada gagasan bahwa kebudayaankebudayaan tidaklah digambarkan
dengan tajam. Selain itu, kebudayaankebudayaan tersebut tidak statis, tidak
homogen, dan tidak koheren secara
internal. Saya sepakat dengan kritik
terhadap konsep budaya monadik ini,
namun saya juga percaya bahwa dalam
teori budaya saat ini, ada hal-hal yang
relatif sama. Kebudayaan jelas bukan
sebuah tempat penampungan, tapi
juga bukan merupakan kumpulan
sejumlah elemen entitas terbuka, tidak
terbatas, dan tanpa kontur. Budaya
Indonesia, lebih dari sekedar cara
hidup urban-metropolitan bangsa
Indonesia.
Merenungkan dan melakukan
pemikiran terhadap universalia-universalia yang ada dapat memberikan
kontribusi pada konsep budaya yang
realistis. Dalam pandangan saya,
perdebatan teoritis saat ini tentang
budaya sepertinya didominasi oleh
posisi yang agak ekstrim. Di satu sisi,
perbedaan budaya terlalu ditekankan
Kebudayaan-kebudayaan umumnya heterogen atau beragam secara
internal (keragaman intra-budaya).
Kecuali hukum positif, hampir tak ada
sesuatu yang (a) bisa ditemukan seseorang hanya dalam budayanya sendiri, (b) bersama semua anggota, dan (c)
tanpa anggota dari budaya lain. Budaya tidak dibedakan sedemikian rupa
JurnalSajak No. 06, 2013
21
sehingga budaya X memiliki sejumlah
f itur yang sama sekali tidak ada dalam
budaya Y, dan sebaliknya Y ditandai
dengan f itur yang eksklusif. Khasanah
milik budaya X atau Y juga dapat ditemukan (setidaknya sedikit) di (hampir
semua) budaya lain. Oleh karena itu,
budaya tidak dibedakan berdasarkan
kualitas tertentu atau kumpulan segi
eksklusif mereka, melainkan oleh status atau derajat relevansi yang diberikan kepada sejumlah segi mereka. Jadi, yang membedakan budaya-budaya
adalah kepentingan-kepentingan yang
berhubungan atau posisi hirarkis kualitas masing-masing budaya.
Variasi-variasi dalam satu budaya
yang sama (misalnya dalam hal usia,
pekerjaan, kelas sosial, wilayah, atau
zaman) nyaris selalu hadir sebagai
variasi di antara berbagai budaya (keragaman antar-budaya), bahkan kerap
lebih dari itu. Subkultur dan ketidaksesuaian adalah sesuatu yang normal,
disamping biasanya ada cukup perbedaan antar-individu, bahkan jika hanya karena ada sekelompok orang
yang tergolong dalam kelompok usia
berbeda. Lebih jauh lagi, Holenstein
bahkan menyatakan bahwa perbedaan
dalam dan di antara masyarakat adalah identik berkait dengan jenis, derajat, fungsi dan konsekuensi13.
13
Holenstein, Elmar, “Intrakulturelle Variationen
unterscheiden sich nicht selten weder der Art noch
dem Grad nach von interkulturellen Variationen”,
dalam Zeitschrift für Kulturwissenschaft 1/2013,
hal. 184-192.
22
Keragaman dalam budaya adalah
analog dengan variabilitas antar-budaya manusia. Bahwa hal ini mengarah pada penghapusan perbedaan antara intra dan antar-budaya, menurut
saya agak terlalu jauh. Namun, pandangan Holenstein layak dipertimbangkan, terutama kontras dengan pernyataan Habermas awal, karena pandangan ini mewakili pendapat yang dominan dalam kajian budaya saat ini:
“Lebih mudah untuk membuat pernyataan
umum tentang manusia sebagai spesies
tertentu, yaitu pernyataan yang berlaku
untuk semua manusia dan tidak ada
mahluk lain selain manusia yang bisa membuat pernyataan umum tentang budaya
individu sebagai populasi tertentu, yaitu
pernyataan yang berlaku untuk semua
anggota budaya tertentu, dan tidak berlaku
bagi anggota budaya yang lain.”14
“Manusia seperti itu —dan dalam ukuran
yang sama, bahasa seperti itu— tidaklah
ada. Karena manusia hanya membuat diri
mereka menjadi sedemikian, dan hal itu
dilakukan dengan cara-cara tertentu sesuai dengan tuntutan lingkungan. Memang
ada masyarakat dan budaya yang variasivariasi umumnya dapat dibuat dalam cara
yang sama seperti jenis tanaman atau hewan, tetapi tidak bisa diterapkan untuk
manusia secara umum.”15
Namun, budaya bukanlah —seperti disebutkan di atas– sejumlah
14
Holenstein, Kulturphilosophische Perspektiven,
hal. 326.
15
Habermas, Jürgen, “Philosophische Anthropologie. Ein Lexikonartikelî, in: idem: Kultur und
Kritik. Verstreute Aufsätze, Frankfurt/Main, 1973,
hal. 106.
JurnalSajak No. 06, 2013
kumpulan elemen yang seluruhnya
bisa ditembus oleh pengaruh eksternal. Meskipun ada manifestasi budaya yang berseberangan dengan tipe
budaya tua16, seperti pola konsumerisme dan bentuk perilaku profesi, hal
ini tidak membuat budaya bisa dengan mudahnya diuraikan sebagai
unit-unit yang dapat didefinisikan.
Budaya-budaya umumnya menjaga
hubungan dengan lingkungan sekitar
mereka dan bersifat dinamis, namun
secara terbatas mereka adalah sistem
yang terintegrasi. Budaya adalah
organisasi yang sistematis, tetapi
tidak seragam. Subsistem individual
dimungkinkan untuk memperoleh
tingkat otonomi tertentu, misalnya
melalui modulasi.
Beberapa Pandangan Dunia
Budaya Raya yang Relevan bagi
Humanisme
Saya ingin menjelaskan secara
singkat beberapa universalia yang
dapat dibuat relevan untuk proyek
humanisme. Usulan ini saya kemukakan lewat gambaran atas pandangan dunia dan ide-ide kemanusiaan
yang mendasarinya. Pandangan dunia, yaitu konsep bagaimana dunia
ini disusun dan bekerja, menunjukkan beberapa kesamaan trans-buda-
16
Welsch, Wolfgang, “Transkulturalität. Lebensformen nach der Auflösung der Kulturenî, dalam
Kurt Luger/R. Renger (Eds.), Dialog der Kulturen.
Die multikulturelle Gesellschaft und die Medien,
Wien, 1994, hal. 147.
JurnalSajak No. 06, 2013
ya. Jadi, kosmologi dunia yang seragam dan kosmologi berdasarkan ini
cukup luas. Apa yang menyatukan
semua konsep-konsep dunia adalah
klaim bersama yang menjelaskan
bagaimana dunia ditata. Mitos dari
semua belahan dunia yang memasok
teori berkenaan dengan bagaimana
alam dunia mewujud, dan bagaimana ia berkembang, memiliki banyak
kesamaan, bahkan hingga ke detail.
Di hampir di semua masyarakat,
perbedaan mendasar antara manusia
dengan hewan pun dibuat, baik secara eksplisit maupun implisit. Pertama, hanya manusia membuat api tidak hanya untuk menghangatkan diri
melainkan juga untuk memasak;
kedua, mereka hanya memiliki hubungan seksual dengan sesama manusia, dan ketiga mereka mengubah tubuh mereka dengan lukisan, mutilasi,
atau pakaian. Kecenderungan untuk
melakukan pemanusiaan dan mengubah alam tampaknya merupakan
universalia lainnya. Hal yang sama
boleh jadi berlaku bagi dikotomisasi
alam dan budaya. Hal ini, bagaimana
pun, belum diverifikasi secara empiris. Boleh jadi hal itu hanya sekedar
proyeksi dari dualisme Cartesian kuno Barat. Maka, antropolog budaya
memiliki keraguan kuat mengenai
apakah perbedaan alam sebagai realitas yang bebas dari budaya tersebut
memang sesungguhnya universal
atau tidak.
Pandangan dunia terdiri dari konsep mengenai dunia di tingkat makro,
23
menengah (mezo), dan mikro. Di antaranya, konsep mengenai individu
sebagai tubuh adalah hal yang secara
langsung paling menarik bagi seseorang dalam proses menjelajahi pengalaman diri sendiri. Konsep badan
dapat ditemukan dalam semua budaya manusia:
“... Awalnya apa yang tampaknya mendasar
adalah kebutuhan mendesak dari setiap
manusia untuk mengembangkan suatu
gambaran identitas pribadi dan untuk
menjaga integritas dan otonomi, yaitu
untuk membuat suatu ukuran kontrol diri
yang memadai dan menolak campur
tangan dan kontrol berlebihan dari orang
lain “.17
Clifford Geertz menggarisbawahi
bahwa perbedaan ‘diri’ vs ‘si lain’ bersifat universal, sebagaimana gagasan
manusia sebagai obyek dan subyek,
yaitu manusia tidak hanya dipahami
sebagai reaksi.18 Universalia lainnya
adalah konsep intensi, yaitu asumsi
bahwa tubuh menghasratkan sesuatu, bahwa mereka bisa membuat rencana dan dapat membuat keputusan.
Berkaitan dengan hal ini adalah konsep umum aktor yang setidaknya bertanggung jawab sebagian atas tindakannya. Yang juga sama menyebar
luas adalah perbedaan tindakan di
17
Markl, Hubert, Evolution, Genetik und
menschliches Verhalten. Zur Frage
wissenschaftlicher Verantwortung, Munich/
Zürich, 1986, hal. 84-85.
18
Geertz, Clifford James, The Interpretation of
Cultures, New York, 1972.
24
mana kita memberi pengaruh dan di
mana tidak memberi pengaruh. Persoalan seputar keputusan dan tanggung jawab menjelaskan dengan
terang pada siapa saja, apapun budayanya, bagaimana tindakan ambivalen bisa mewujud, dan karenanya kita
temukan di mana-mana gagasan
bahwa tindakan, lebih-lebih keputusan, selalu ambivalen sifatnya.19 Konsep-aktor bahkan mempengaruhi
perumpamaan kita: Di mana saja,
yakni manakala seseorang datang
dengan suatu cara berbicara tertentu
mengenai institusi sosial dalam terminologi aktor, seperti misalnya
“pengaturan menghukumi keberbagaian”.(“the legislative punishes the
university”.)
Kebanyakan antropolog budaya
berbagi pendapat bahwa –sebagai
tantangan atas konsep-aktor— mengenai konsep kepribadian yang lebih
spesifik sebagai individu yang dikaruniai dengan otonomi dan identitas
jangka panjang bersifat universal. Ini
lah sebabnya mengapa kajian yang
menyatakan bahwa semua kemungkinan mengenai konsep otonomi kepribadian tidak dikenal di antara semua budaya haruslah diberi perhatian khusus dengan sangat serius. Ada
banyak indikator mengenai hal ini
dalam etnografi dari wilayah Pa-
19
Cf. Boehm, Christopher, “Ambivalence and
Compromise in Human Nature”, dalam American
Anthropologist 91 (1989), hal. 921–939.
JurnalSajak No. 06, 2013
sifik.20 Beberapa teoretisi Barat, bahkan ketika hujah mereka dinyatakan
berlaku umum, tidak memiliki pandangan bulat mengenai universalitas
kepribadian. Dalam Marxisme, misalnya, sang subjek didasari oleh modus
produksi tertentu secara historis,
hingga tidaklah ada pribadi yang
universal.
Ide-ide mengenai dunia mezo
dan makro macam apa yang ada
secara universal? Berdasarkan penelitian budaya secara komparatif dan
argumentasi deduktif mengenai tipetepe budaya materialis, Michael Kearney telah mengembangkan model
umum pandangan dunia. Saat mengerjakan hal tersebut ia telah menyarikan kembali pertanyaan-pertanyaan purba mengenai kesatuan
mental manusia dengan mengacu
pada aspek tertentu. Konsep Kearney
mengenai generalisasi “pandangan
dunia universal”,21 dalam banyak hal
20
21
Loizos, Peter/Heady, Patrick (Eds.), Conceiving
Persons. Ethnographies of Procreation, Fertility
and Growth. (= London School of Economics
Monographs on Social Anthropology), London
1999; Strathern, Andrew J./ Stewart, Pamela J.
(Eds.), Identity Work. Constructing Pacific Lives.
(Association of Social Anthropologists of Oceania Monograph), Pittsburg, 2000; Gregor, Thomas A./ Tuzin, Donald F., “Comparing Gender
in Amazonia and Melanesia: A Theoretical Orientationî, dalam Gregor/Tuzin (Eds.), Gender in
Amazonia and Melanesia. An Exploration of
Comparative Method, Berkeley, 2001, hal. 1-16.
Kearney, World View, hal. 65–107; “World View”;
hal. 138; bdk dengan Wrightsman, Lawrence S.,
Assumptions about Human Nature. A SocialPsychological Approach, Monterrey, Cal., 1975.
JurnalSajak No. 06, 2013
sesuai dengan model awal universalia
yang diusulkan oleh Redfield.22 Menurut kedua model tersebut, pemberadaan yang paling mendasar dan
universal adalah kaitan seseorang
dengan diri dan si lain. Kearney menekankan hubungan logis yang muncul di antara dikotomi tersebut. Dengan demikian, semua pembedaan
dualistik lainnya sebagian besar
dapat diasalkan pada hal ini. Konsep
ruang dan waktu lebih erat bergantung pada konsep kausalitas dibanding ketergantungan mereka satu sama lain. Menurut Kearney pandangan dunia universal adalah refleksi dari
pengalaman manusia yang paling
umum dalam menangani situasi
praktis kehidupan. Hasilnya adalah,
antara lain, konsep ruang-waktu praEinstein yang melihat ruang dan
waktu sebagai kategori berbeda. Kategori-kategori yang didefinisikan
oleh Kearney sebagian besar berkaitan dengan hasil psikologi genetik
Piaget tentang perkembangan pemikiran logis pada anak-anak.
Sebuah universalia yang terkait
erat dengan pandangan dunia adalah
sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan hukum alam. Konsep ini berkenaan dengan jenis perilaku atau
norma/cita-cita tindakan yang dianggap sebagai pencapaian universal
semua orang. Ada banyak konsep
22
Redfield, Robert: The Primitive World and Its
Transformations, Ithaca, N.J., 1953; cf. Kearney,
World View, hal. 39.
25
berbeda mengenai hukum alam. Hal
ini niscaya bersebab pada entitas berbeda seperti Tuhan, akal, kodrat manusia, atau kendala sosial. Di kalangan masyarakat lisan kerap hadir secara implisit; lazimnya dicontohkan
lewat kontras dengan hukum positif
buatan manusia. 23 Sebagai suatu
konsep umum, hukum alam nyaris
lah universal, sebagaimana dipertahankan Adams: “... dari satu atau lain
segi, pastilah ia universal.” Konsep
yang beragam dan agak berbeda mengenai hukum alam menunjukkan
diri sebagai segi umum atas pola pikiran tempat hadirnya suatu “kesatuan esensial” antara hukum dan manifestasi tertinggi dari alam. Keuniversalannya adalah, sejauh mengacu
pada Adams, ditunjukkan dengan
kealamiahannya, dan sebaliknya kealamiahannya lah yang menjadi indikator bagi keuniversalannya. Kebenaran atau kesahihannya menjadi
indikator bagi kealamiannya, dan
sebaliknya kealamiannya lah yang
merupakan indikator bagi kehahihan
atau kebenarannya.
Berbagai penulis telah mendalilkan adanya universalia dalam pandangan dunia dan berspekulasi mengenai keberadaan mereka. Saya hanya memberikan beberapa contoh: Di
manapun, kata mereka, ada teori tentang cuaca, tentang nasib baik atau
nasib buruk, juga mengenai kesehatan atau penyakit. Di mana-mana
terdapat gagasan tentang hubungan
sebab akibat antara penyakit dan
kematian, dan juga penafsiran atas
situasi atau peristiwa tertentu bahkan melalui indikator kecil (hewan,
penyakit). Dalam semua budaya ada
ilmu gaib (magic) untuk melindungi
kebutuhan penting kehidupan atau
ketertarikan pada lawan jenis. Ada
spekulasi lebih jauh mengenai adanya ketertarikan pada sihir, misalnya
gagasan bahwa dengan memanipulasi simbol atau gambar obyek tertentu maka objek yang dilambangkan
atau diwakili dapat dipengaruhi. Bahkan beberapa ide yang sangat spesifik
diklaim sebagai nyaris universal.
Menurut Edward Leach, misalnya,
unsur simbolis bulu pada umumnya,
khususnya penyamaan bulu dengan
alat kelamin, bersifat universal.24 Namun, sejumlah pertanyaan mengenai
persamaan dan perbedaan dalam
pandangan dunia atau pola pemikiran masih lah tetap belum terjawab.
Selain kesamaan pandangan dunia yang ada, di antara beratus universalia yang sejauh ini telah didokumentasikan, beberapa mungkin relevan untuk proyek humanisme. Pada
gambar 2, saya senaraikan beberapa
dari padanya.
24
23
Adams, William Yewdale, The Philosophical
Roots of Anthropology, Stanford, Cal. 1998, hal.
117ff.
26
Leach, Edmund Ronald, “Magical Hair” dalam
Proceedings of the Royal Anthropological Institute
of Great Britain and Ireland 88, 2 (1958), hal.
147 ff.
JurnalSajak No. 06, 2013
The Family of Man —Indonesia
dan Potensi Metafor Kekerabatan
sistematik atas kesamaan-kesamaan
yang diasumsikan di sisi lain.
Universalia Budaya bukanlah sekedar rekan dan pasangan imbangan
bagi perbedaan budaya manusia.
Universalia baru sungguh-sungguh
beroleh relevansi yang nyata manakala ia dilihat sebagai suatu pola
umum atas keragaman cara manusia
mengatur keberadaan mereka. Penelitian atas universalia membuka perspektif yang bermanfaat atas apa
yang konon selama ini disebut dengan kodrat manusia. Ini merupakan
pendekatan yang menawarkan jalan
tengah antara spekulasi dan lamunan di satu sisi dan pengumpulan non-
Saya tertarik pada jalan masuk
nonmetafisik menuju kodrat manusia.
Gagasan utamanya adalah bahwa seseorang dapat mereduksi insan manusia baik kepada kodratnya sebagai
manusia, maupun pada budayanya
dan yang, kedua, budaya tak dapat
dijadikan pembatas bagi kegiatan intelektual melainkan merupakan sesuatu yang melekat secara sosial. Esai
ini dimengerti sebagai satu sumbangan pada suatu antropologi yang dapat
bertindak sebagai pecahan umum
terkecil bagi sains yang berprihatin
pada manusia. Antropologi di benak
•
Konsep manusia (misalnya manusia sebagai organisme dan kualitas
manusia, misalnya kemampuan menahan penderitaan)
•
Konsep kemanusiaan (sebuah kemungkinan untuk muncul sebagai
universalia, namun saat ini hanya tersebar secara luas )
•
Konsep aktor dengan otonomi terbatas (badan)
•
Konsep sejarah, kesejarahan budaya manusia, sejarah alam
•
Kerjasama
•
Ketimbalbalikan (perilaku dan norma-norma sosial)
•
Keadilan minimal dalam berkompetisi (setidaknya sebagai kecenderungan)
•
Kemampuan untuk berempati
•
Konsep, norma, dan tujuan ideal pendidikan
•
Keluarga sebagai lingkup gabungan propagasi biotik dan reproduksi sosial
•
Konsep remaja dan kelompok usia lain serta upacara inisiasi
•
Perbedaan gender dalam perilaku selama masa remaja
•
Kecenderungan dikhotomis dalam konsep gender, norma, dan cita-cita
•
Kearifan dan temuan empiris lokal dan pembelajaran performatif
•
Berpikir dalam metafor
•
Kecenderungan Nepotisme
•
Kecenderungan Egoisme
•
Kontrol sosial atas perilaku menyimpang
JurnalSajak No. 06, 2013
27
saya adalah: “... pemahaman atas
apa yang mungkin manusiawi, dan
batas-batas bagi apa yang mungkin
manusiawi”.25 Jadi, menyusun penelitian kedalam universalia memiliki
kemampuan untuk memberi sumbangan pada ilmu pengetahuan sebagai
suatu sains atas “semesta manusia”.
Penelitian ke dalam universalia
dapat memberikan wawasan penting
atas kesamaan antara sekitar 7.000
budaya yang ada di dunia. Universalia tidak harus dilihat sebagai lawan
bagi kekhasan budaya, perbedaan,
atau keragaman umat manusia. Universalia tidak mengelirukan diri ke
dalam kemutlakan. Kekerapan, lebih
dibanding yang tak sengaja, kemunculan gejala tersebut lebih dari cukup
untuk mengupayaan persoalan universalitas. Namun, universalia hanya
memperoleh perhatian nyata lewat
dipersepsikannya ia sebagai lawan
bagi yang berlatarbelakangkan pembedaan budaya. Ia tidak dapat diverifikasi oleh semacam “jajak pendapat” di kalangan masyarakat. Apa
yang dibutuhkan dalam terminologi
metodologis adalah susunan teori
yang berdasar pada evolusi dan ilmu
sosial bagi tujuan membuat penilaian
perbandingan antarbudaya.
humana (kondisi manusia) atau
“kendala antropologis”, sebagaimana
dibahas dalam filsafat. Dalam ukuran
yang sama, ia pun tidak harus disamakan dengan “kesatuan fisik umat
manusia”. Universalia berpandangan
bahwa suatu kemutlakan tidak dapat
dipertahankan sebagaimana satu kekhasan sepihak yang telah dimutasikan ke dalam kerelatifan. Dalam sebuah universalime dogmatik, antropologi budaya akan berlebihan alias
—dalam bahasa populer— lebay,
sebab yang akrab dan yang asing sekedar sisi dari sebuah berlian yang
sama dan identik. Di sisi lain, desakan
ekstrim atas pembedaan budaya
mengalami jalan buntu. Hasrat akan
alteritas26 membuat budaya menjadi
suatu yang mutlak terberi, tak dapat
dipertanyakan lagi, dan secara politis
hal ini sangatlah berbahaya.27
26
Agak sulit menerjemahkan alterity dalam satu kata
Indonesia secara tepat. Dalam termonologi filsafat ia bermakna rasa akan si lain dalam satu
perspektif dualitas. Dalam tradisi fenomenologis,
ia lazimnya dipahami sebagai sesuatu yang dikontraskan dengan identitas (yang dikonstruksikan)
sehingga menyiratkan pembedaan antara diri dan
nondiri. Konsep ini ditubuhkan oleh Emmanuel
Lévinas dalam serangkaian esainya, yang dikumpulkan dalam Alterity and Transcendence (1999
[1970]). Diluar filsafat, konsep ini juga digunakan
dalam antropologi, misalnya oleh Nicholas
Dirks, Johannes Fabian, Michael Taussig, dan
Pauline Turner Strong dengan mengacu pada konstruksi atas “budaya lain” (catatan penerjemah,
ARS).
27
Van der Walt, Sibylle, “Die Last der Vergangenheit
und die kulturrelativistische Kritik an den Menschenrechten. Ursprung und Folgen der westlichen
Alteritätsobsession” dalam Saeculum 57.2
(2006), hal. 237.
Universalia tidak dapat secara sederhana disamakan dengan conditio-
25
Hauschild, Thomas: “Ethnologie als
Kulturwissenschaftî, in: Klaus Stierstorfer/
Laurenz Volkmann (Eds.): Kulturwissenschaft
interdisziplinär, Tübingen 2005, hal. 61.
28
JurnalSajak No. 06, 2013
Dalam esai ini saya telah berbicara tentang ‘universalia’ bukan ‘budaya universal ‘. Hal ini bukan saja
secara ringkas cukup pantas, tapi sekaligus juga mengijinkan kita untuk
menjaga definisi tetap jelas bagi setiap
kesimpulan yang lebih dulu, dalam
kaitan ini, dari kaum budayawan.
Namun, universalia juga disebut
sebagai universalia budaya karena ia
hanya universal di tataran budaya
atau masyarakat, bukan dalam tataran individual. Itu sebabnya mengapa
ia jangan dikusutkan dengan universalia bio-psikologi. Ini tidak berarti,
menghalangi hubungan sebab-akibat
di antara mereka, terutama karena
sejumlah universalia budaya merupakan hasil langsung dari universalia
bio-psikologi, namun ini hanya dapat
diterapkan sebagian saja.
Indonesia adalah negara di mana
kata-kata seperti keluarga dan kita
kerap digunakan untuk menciptakan
persatuan. Metafora keluarga memiliki potensi positif di satu sisi, namun
di sisi lain dapat pula mengarah pada
lamunan atau tindak depolitisasi. Salah satu bahaya yang melekat dalam
keprihatinan kemanusiaan kita adalah bahwa seseorang mungkin mengharapkan universalia tertentu benarbenar menjadi ada. Gagasan mempertimbangkan kemanusiaan sebagai
satu kepentingan komunitas dunia
sangat lah penting,28 namun dapat
28
Topik ini dikembangkan secara detail dalam
Antweiler, Christoph, Inclusive Humanism.
Anthropological Basics for a Realistic Cosmopolitanism, Göttingen and Taipei, 2012.
JurnalSajak No. 06, 2013
menjadi sesuatu yang bermasalah sekaligus menggoda bagi institusi politik. Di belakang proyek semacam ini,
kerap mengendap-endap dan mengintai angan lamunan, sentimentalitas, agenda politik tersembunyi, atau
ideologi relijius terselubung.
Sebuah contoh klasik dari proyek
ini adalah pameran fotografi yang sangat sukses hasil susunan Edward
Steichen (1879-1973) selaku kurator
Museum of Modern Art di New York.
Menyusul perumusan ‘Deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia” tahun
1948, ada 503 foto hitam-putih karya
278 fotografer amatir dan profesional
dari 68 negara dipamerkan. Dengan
memanfaatkan fotografi sebagai bahasa dunia, terbagi dalam 24 kategori, pameran ini menunjukkan bahwa
di belahan dunia mana pun, tema
universal manusia yang sama dan
masalah-masalah yang serupa, mendominasi keseluruhan pameran: bermain, kerja, kelahiran, penyakit, usia
tua, dan kematian. Apa yang ingin
dicapai Steichen adalah menciptakan
sebuah “cermin kesamaan mendasar
dari spesies manusia”.29 Foto-foto tersebut dilengkapi dengan kutipan yang
tampaknya abadi, misalnya peribahasa atau baris-baris Perjanjian
Lama untuk masing-masing kategori. ‘The Family of Man’ melanjutkan
tur ke 67 negara sebagai sebuah edisi
29
Steichen, Edward, The Family of Man. The
Greatest Photographic Exhibition of All Time –
503 Pictures From 68 Countries, New York,
1955.
29
pameran keliling dan ternyata mencapai sukses secara sensasional. Di
era Perang Dingin, pameran ini mendorong gagasan kesatuan umat manusia. Berbagai divisi umat manusia
tampil sekedar sebagai permukaan
belaka, sesuatu yang tergantung, di
mana identitas substansial menjadi
nyata. Pembauran keragaman manusia dan kesatuan mendasar dari
tindakan dan emosi mereka memesona jutaan pemirsa.
Apa yang dikritik pada pameran
tersebut adalah karena ia memberikan penekanan tak sengaja atas perbedaan fisik di satu sisi, dan universalisasi pesan di sisi lain.30 Persahabatan monumental sama dengan penolakan segala jenis perbedaan sosial.
Yang belakangan ini, dianggap sebagai instrumen imperialisme Amerika
dan nilai-nilai keluarga AS selama Perang Dingin. Beberapa suara mengkritisi nuansa patriarki yang tersirat
pada ‘Family Man’; Keluarga “normal” di Amerika tak diberi tempat
ideal dalam acara. Yang lainnya mengeluhkan menonjolnya kecenderungan didaktis di sana.
Setelah melihat pameran lebih
dekat, ada banyak hal membenarkan
apa yang dikritik, namun dalam banyak hal lain kritik tersebut terkesan
agak berlebihan. Apa yang mudah
dilupakan adalah bahwa konsep
‘Family Man’, terlepas dari hal yang
bermasalah, memiliki potensi yang
benar-benar serius. Kita dapat merumuskan konsep kemanusiaan sebagai
sebuah ‘keluarga umat manusia’. Ini
akan membawa kita pada peluang
untuk tidak mendefinisikan kemanusiaan melalui katalog kualitas tertentu yang kaku, melainkan akan
beralih ke arah genealogis lewat jalur
lintas generasi umat manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh filsuf Jerman Gernot Böhmethe, metafora keluarga tidak lah, jauh dari keharusan, harus dipahami secara Kristen,
Yahudi, atau kerangka patriarki, juga selanjutnya pun tak perlu dipahami secara penglipur lara atau sentimental. Metafora ini juga dapat dibaca dalam kerangka sejarah atau filogenetik. Keanggotaan setiap individu
dalam genre umat manusia terutama
ditekankan oleh konsep ‘keluarga’ –
yang bekonotasi dengan kekerabatan, keterhubungan, dan kesatuan.
“Seseorang adalah manusia karena ia
keturunan umat manusia”.31 Dengan
cara demikian, orang dapat mendefinisikan kemanusiaan lewat konsep
keterkaitannya, dan orang dapat menyusunnya sebagai perluasan (exten-
31
30
Barthes, Roland, “Die große Familie des
Menschenî, dalam idem, Mythen des Alltags,
Frankfurt/Main, 1974, hal. 16
30
Böhme, Gernot, “Kant und die Family of Man.
Wie begründet sich die Universalität der
Menschenrechte?” dalam Lettre Internationale 25
(1999), hal. 26.
JurnalSajak No. 06, 2013
sional) konsep yang mengakui keberagaman. Suatu definisi manusia
yang membuat keanggotaan dalam
umat manusia ditentukan oleh batasan kualitas tertentu (intensional)
bakal sulit mengijinkan ruang gerak
tersebut.
Satu Pemahaman kemanusiaan
yang luas, diilhami oleh metafora keluarga, bisa juga dimasukkan ke dalam perdebatan mutakhir tentang dimensi universalis keragaman budaya
di berbagai belahan dunia. ‘Budaya
universalia” baru di bawah tajuk “budaya dunia” atau ‘budaya global’ 32
tidak lagi berkutat pada dominasi
homogenisasi Eropa-Amerika. Yang
menjadi fokus mestilah keluarga besar umat manusia yang hidup di atas
planet bumi yang secara mendalam
berubah oleh kita, sebuah kemanusiaan yang hidup di zaman Anthropocene.33
Sejumlah budaya Indonesia memiliki ketangguhan pengalaman
yang panjang dengan orientasi kosmopolitan. Di negeri di mana kontak
antara berbagai manusia berbeda
merupakan hal biasa dalam kehidupan sehari-hari, perbedaan budaya tidak lah dapat diabaikan. Batas-batas
budaya tidak diabaikan, namun kerap dapat disisihkan untuk sementara. 34 Dengan demikian, peluang
untuk melihat kesamaan pun muncul. Indonesia adalah salah satu negeri di planet ini yang bakal jadi negara besar di masa mendatang. Indonesia tengah berada dalam transformasi dan mungkin beroleh keuntungan dari nilai-nilai kemanusiaan dan
pengalaman puspa ragam budaya
manusia di dunia. Dunia selebihnya,
dapat belajar dari pengalaman Indonesia sebagai sebuah negeri yang secara damai menghasratkan kesatuan
tanpa menghindari keragaman.[]
Diterjemahkan oleh Agus R. Sarjono
32
Lechner, Frank J./Boli, John, World Culture.
Origins and Consequences, Oxford etc., 2005,
hal. 22–25.
33
Anthropocene adalah sebuah istilah geologi berkenaan dengan dampak signifikan aktivitas manusia pada ekosistem bumi. Istilah ini diciptakan
baru-baru ini oleh ahli ekologi Eugene F. Stoermer,
namun menjadi terkenal di mana-mana setelah
dipopulerkan oleh pemenang Hadiah Nobel bidang
kimia, Paul Crutzen. Zaman Anthropocene adalah
zaman dimana perilaku manusia membawa akibat
besar pada lingkungan planet bumi. Hingga sekarang, istilah ini belum diadopsi sebagai bagian
dari nomenklatur resmi bidang kajian geologi
(catatan penerjemah, ARS)
JurnalSajak No. 06, 2013
34
Antweiler, Christoph, 2013, “Alltags-Kosmopolitismus in Indonesien? Transdifferenz in
Makassar, Süd-Sulawesi”, dalam Asien 127 (1),
hal. 1-20.
31
Download