Perguruan Tinggi

advertisement
PROSPEK BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP)
SEBAGAI PENYELENGGARA PENDIDIKAN
DALAM
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
(Kajian Politik Sistem Pendidikan Nasional, Sosial dan Budaya)
Oleh
Prof.Dr.Johannes Gunawan,SH.,LL.M
Anggota Komisi RUU BHP Dewan Pendidikan Tinggi,
Ditjen.Dikti.Depdiknas
Pengertian Badan Hukum
Badan hukum
Subyek hukum yang diciptakan oleh hukum, dapat memiliki
dan menjalankan hak dan kewajiban seperti manusia
Manusia
Subyek Hukum
Badan Hukum
Jenis Badan Hukum
Badan Hukum Publik
Badan hukum yang didirikan oleh negara (pemerintah) dan
memiliki kewenangan menetapkan kebijakan publik yang
mengikat umum
Contoh: negara, propinsi, kabupaten, kota, kecamatan
Badan Hukum Privat/Perdata
Badan hukum yang didirikan oleh masyarakat dan diakui oleh
negara (pemerintah), atau didirikan oleh pemerintah, tetapi
tidak memiliki kewenangan menetapkan kebijakan publik yang
mengikat umum
Contoh: perseroan terbatas, koperasi, yayasan, BUMN, BHMN,
badan hukum pendidikan
Dasar Hukum Pendirian BHP
Pasal 53 UU.No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
(1)
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan
(2)
Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan
kepada peserta didik
(3)
Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana
secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan
(4)
Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur
dengan undang-undang tersendiri
Multi Tafsir Pasal 53 Ayat (1) UU Sisdiknas
• Siapa atau apa yang dimaksud dengan ‘penyelenggara’
• Apa maksud penggunaan istilah ‘dan/atau’
• Apa yang dimaksud dengan ‘badan hukum pendidikan’
• Apa yang dimaksud dengan ‘nirlaba’.
Siapa atau apa yang dimaksud dengan
‘penyelenggara’
Ketika UU Sisdiknas diundangkan 8 Juli 2003, masih berlaku
PP No. 60 /1999 tentang Pendidikan Tinggi, sampai sekarang
Pasal 119 PP No.60/1999 menyatakan:
Pendirian perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat selain memenuhi ketentuan sebagaimana diatur
dalam PP ini harus pula memenuhi persyaratan bahwa
penyelenggaranya berbentuk yayasan atau badan yang
bersifat sosial
Pasal 122 ayat (1) PP No.60 /1999 menyatakan:
Pendirian universitas, institut, dan sekolah tinggi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah ditetapkan dengan
Keputusan Presiden atas usul yang diajukan oleh Menteri
Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan:
Yayasan atau
badan yang
bersifat sosial
Pasal 119
PP No.60/1999
Pemerintah
Pasal 122 ayat (1)
PP No.60 /1999
Penyelenggara
Inkonsistensi tentang pengertian ’penyelenggara’ dalam
UU.Sisdiknas
Pasal 21 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang
memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi
Pasal 21 ayat (5) UU Sisdiknas juga menyatakan
Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi
persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan
tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa
penutupan penyelenggaraan pendidikan
Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan
bahwa penyelenggara adalah bukan yayasan, bukan
badan yang bersifat sosial, atau bukan Pemerintah,
melainkan perguruan tinggi
Tetapi di dalam Pasal 16 UU Sisdiknas, tersirat bahwa
yang dimaksud perguruan tinggi adalah satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat
Kalimat ’satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/ atau masyarakat’
menunjukkan bahwa dalam konteks pendidikan tinggi,
istilah penyelenggara adalah bukan satuan pendidikan
berupa perguruan tinggi, melainkan justru yayasan,
badan yang bersifat sosial, atau Pemerintah.
Apa maksud penggunaan istilah ‘dan/atau’
Kata ’dan’ berarti bersama-sama atau kedua-duanya.
Kata ’atau’ berarti salah satu. Jadi terdapat 4 kemungkinan
DAN
I
Penyelenggara
(Pemerintah/Yayasan)
DAN (bersama-sama)
Satuan Pendidikan
BHP
(Perguruan Tinggi)
Penyelenggara bersama dengan satuan
pendidikannya melebur dan berubah
bentuk menjadi BHP
II
Penyelenggara
(Pemerintah/Yayasan)
Satuan Pendidikan
(Perguruan Tinggi)
BHP
BHP
Penyelenggara dan satuan pendidikan,
masing-masing mengubah bentuk
menjadi BHP
III
Penyelenggara
(Pemerintah/Yayasan)
BHP
Satuan Pendidikan
(Perguruan Tinggi)
Penyelenggara berubah bentuk menjadi BHP,
satuan pendidikan berbentuk tetap dan
diintegrasikan ke dalam BHP yang baru
IV
Penyelenggara
(Pemerintah/Yayasan)
Satuan Pendidikan
(Perguruan Tinggi)
BHP
Penyelenggara berbentuk tetap, satuan
pendidikan berubah menjadi BHP
Apa yang dimaksud dengan
‘badan hukum pendidikan’
Badan hukum privat/perdata yang didirikan oleh:
• Masyarakat dan diakui oleh negara (pemerintah), yaitu
perguruan tinggi swasta (universitas, sekolah tinggi,
institut, akademi, polyteknik), atau badan penyelenggara
misalnya yayasan, wakaf, dll untuk menyelenggarakan
pendidikan
• Pemerintah, yaitu misalnya BHMN, untuk menyelenggarakan pendidikan, tetapi tidak memiliki kewenangan
menetapkan kebijakan publik yang mengikat umum
Dasar Hukum Pendirian Badan Hukum
Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Selain perseroan yang sejati, oleh undang-undang diakui pula
perkumpulan orang-orang sebagai badan hukum, baik
perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh
kekuasaan umum (pemerintah), maupun perkumpulan itu
diterima sebagai diperbolehkan atau telah didirikan untuk
suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan baik
Jadi, terdapat badan hukum:
• yang diadakan/didirikan oleh negara (pemerintah)
• yang diakui oleh negara (pemerintah)
• yang diterima sebagai diperbolehkan (tidak bertentangan
dengan UU dan kesusilaan baik)
Prosedur Pendirian Badan Hukum
S 1870 : 641653, 28 Maret 1870 tentang
Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum
(Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen)
 Dibuat anggaran dasar
 Isi anggaran dasar
 Status sebagai badan hukum diperoleh setelah pengesahan
anggaran dasar oleh Menteri Hukum dan HAM
 Penyimpangan dari anggaran dasar, berakibat pengakhiran
status sebagai badan hukum
Apa yang dimaksud dengan ‘nirlaba’
Kegiatan pendidikan merupakan kegiatan yang tidak
bertujuan mencari keuntungan, sehingga apabila timbul
keuntungan atau sisa hasil usaha dari kegiatan pendidikan
yang nirlaba, baik secara langsung atau tidak langsung,
maka seluruh keuntungan atau sisa hasil usaha tersebut
wajib digunakan kembali untuk menjalankan kegiatan
pendidikan yang nirlaba tersebut
BHP dan Otonomi Perguruan Tinggi
Pengaturan penyelenggaraan pendidikan, khususnya
pendidikan tinggi, secara bertahap mengalami pergeseran,
yaitu dari semula dilakukan oleh negara ke arah
pengaturan secara mandiri oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan. Hal inilah yang sekarang dikenal sebagai
otonomi perguruan tinggi
Mengapa diperlukan otonomi perguruan tinggi ?
Keunikan atau kekhasan perguruan tinggi perlu dipelihara
keberadaannya.
Agar perguruan tinggi mampu memelihara keunikan atau
kekhasannya, maka kepada perguruan tinggi harus
diberikan otonomi yang memungkinkan perguruan tinggi
mengatur diri sendiri sesuai dengan kontekstualitasnya
BHP dan Tanggungjawab Pemerintah
di Bidang Pendanaan Pendidikan
Amandemen UUD 45 dan Pasal 49 UU Sisdiknas
menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik
dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20
% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 %
dari APBD
Pola pendistribusiannya telah ditetapkan oleh Pasal 49
ayat 3 UU Sisdiknas, yaitu melalui metode hibah
Pasal 49 ayat 5 UU Sisdiknas menentukan bahwa realisasi
dana pendidikan dilakukan secara bertahap melalui
peraturan pemerintah.
BHP dan Tenaga Kependidikan
Di dalam peraturan pemerintah sebagaimana diperintahkan
oleh Pasal 49 ayat 5 UU Sisdiknas sebaiknya diatur:
a. Berdasarkan Pasal 49 Ayat 2 UU Sisdiknas yang mengatur
bahwa gaji dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan
dalam APBN, maka di dalam PP tersebut perlu ditetapkan
bahwa dosen PNS yang sekarang telah ada, tetap digaji oleh
pemerintah dengan skala gaji PNS
b. Dosen PNS tersebut diberi status dipekerjakan (status DPK) ke
BHP/BHMN, seperti yang selama ini dilakukan oleh Kopertis
dalam memberikan bantuan pada perguruan tinggi swasta
c. Karena BHP/BHMN memiliki wewenang sendiri dalam mengatur
struktur penggajian, maka BHP/BHMN dapat menetapkan
bahwa di samping (on top of) gaji sebagai PNS, BHP/BHMN
menetapkan tambahan gaji sehingga sama dengan gaji
karyawan BHP/BHMN non PNS
BHP dan Kepentingan Mahasiswa
Setelah menjadi BHP, maka perguruan tinggi menjadi legal
untuk mencari pendapatan sendiri melalui yang disebut
sebagai ’commercial arms’ atau ’revenue generating unit.
Hasilnya digunakan untuk pertama menyejahterakan karyawan,
dan yang kedua untuk mencegah agar penyelenggaraan
pendidikan tinggi tidak hanya mengandalkan pada biaya kuliah
yang diperoleh dari mahasiswa saja
Dengan kemandirian yang dimilikinya, BHP dapat mengatur
bahwa kenaikan gaji karyawan dan kenaikan biaya kuliah
mahasiswa dapat dilakukan secara bertahap seiring dengan
kenaikan pendapatan melalui commercial arms atau ’revenue
generating unit
BHP dan Badan Penyelenggara
Pendidikan Swasta
Di berbagai fora berkembang pandangan bahwa
perguruan tinggi swasta merasa keberatan dengan RUU
BHP, karena badan penyelenggaranya (yayasan,dll) merasa
khawatir kehilangan aset dan kewenangannya
Konsep mutakhir yang dikembangkan oleh Pemerintah
bersama Komisi X DPR RI pada tanggal 2 dan 3 Juli 2005
yang lalu, dimungkinkan tiga opsi berdasarkan Pasal 53
UU Sisdiknas, yaitu yang dapat menjadi badan hukum
pendidikan:
a. Satuan pendidikan (perguruan tinggi/sekolah/madrasah).
Dalam hal ini satuan pendidikan sebagai BHP didirikan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, yayasan atau badan
hukum yang sejenis, atau
b. Penyelenggara (yayasan atau badan hukum yang sejenis).
Dalam hal ini satuan pendidikan (perguruan tinggi/
sekolah/madrasah) merupakan unit pelaksana dari BHP
yang didirikan, atau
c. Penyelenggara (yayasan atau badan hukum yang sejenis)
dan satuan pendidikan (perguruan tinggi/sekolah/
madrasah) bersama-sama menjadi BHP.
Struktur Organisasi BHPT (Opsi 1)
Untuk PTN atau PTS
Pendiri:
Pemerintah/
Yayasan
MWA
Penyelenggara:
BHP
Dewan
Audit
Senat
Akademik
Pimpinan
Perguruan
Tinggi
Struktur Organisasi BHPT (Opsi 2 dan 3)
Khusus untuk PTS
Pendiri:
MWA
MWA
Yayasan
Penyelenggara:
BHP
Dewan
Audit
Senat
Akademik
Pimpinan
Perguruan
Tinggi
Struktur Organisasi BHPDM (Opsi 1)
Untuk Sekolah/Madrasah Swasta
Pendiri:
Yayasan/
Wakaf/dll
MWA
Penyelenggara:
BHPDM
Dewan
Audit
Pimpinan
Sekolah/
Madrasah
Struktur Organisasi BHPDM (Opsi 2 dan 3)
Untuk Sekolah/Madrasah Swasta
Pendiri:
MWA
MWA
Yayasan/dll
Penyelenggara:
BHPDM
Dewan
Audit
Pimpinan
Sekolah/
Madrasah
Terima Kasih
Download