POLA PENGOBATAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG PERIODE AGUSTUS 2015-MARET 2016 ARTIKEL Oleh: NI MADE IRMA SETYANINGRUM NIM. 050112a061 PROGRAM STUDI ILMU FARMASI SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO UNGARAN 2016 1 2 Pola Pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang Periode Agustus 2015-Maret 2016 Ni Made Irma Setyaningrum Program Studi Farmasi STIKES Ngudi Waluyo Ungaran Email : [email protected] ABSTRAK Latar Belakang : Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut dapat menyebabkan kematian, yang disebabkan oleh virus dengue. Penatalaksanaan terapi DBD tidak ada terapi khusus, pengobatan DBD pada dasarnya bersifat suportif dan simptomatik. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pengobatan demam berdarah dengue di instalasi rawat inap Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang periode Agustus 2015-Maret 2016. Metode : Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-eksperimental menggunakan pendekatan retrospektif dan dianalisis secara deskriptif. Teknik sampling yang digunakan secara purposive sampling dengan jumlah sampel 40 pasien dengan total populasi 67 pasien. Hasil : Golongan obat yang diberikan pada pasien DBD adalah rehidrasi 100%, analgetik-antipiretik 92,5%, antitukak 82,5%, suplemen 60%, anti inflamasi 37,5%, antivirus 27,5%, mukolitik 7,5%, ekspektoran 7,5%, antitusif 2,5%, anti diare 2,5% dan obat lain yang digunakan (anti jamur 5%). Jenis obat yang paling banyak diberikan RL 95%, parasetamol 92,5%, ranitidin 37,5%, imesco 17,5%, vitamin C 17,5%, ondansetron 50%, metilprednisolon 20%, methisoprinol 25%, vostrin 5%, OBH 5%, codein 2,5%, atapulgit 2,5% dan nystatin 5%. Cara pemberian obat yang diberikan adalah parenteral 60,4% sedangkan oral 36%. Simpulan : Pola pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) di instalasi rawat inap Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang periode Agustus 2015-2016 adalah golongan obat terbanyak rehidrasi 100%, jenis obat terbanyak yang digunakan infus RL 95% dan cara pemberian obat terbanyak rute parenteral 60,4%. Kata kunci : Pola Pengobatan, Demam Berdarah Dengue, RSI Sultan Agung Kepustakaan : 47 (1969-2016) 1 ABSTRACT Background : Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is acute fever illness that can cause death, caused by the dengue virus. Management of DHF has no specific therapy, DHF treatment is essentially supportive and symptomatic. Objectives : The study aims to determine the treatment patterns of dengue hemorrhagic fever in inpatients at Sultan Agung Islamic Hospital Semarang of period August 2015-March 2016. Method : The method used in this research was non-experimental and retrospective approach and was analyzed descriptively. The sampling technique used puposive sampling with the samples of 40 patients with total population of 67 patiens. Results : Drug type given to patients with DHF is rehydration 100%, analgeticantipyretic 92,5%, anti-ulcer 82,5%, supplement 60%, anti-inflammatory 37,5%, antiviral 27,5%, mukolitic 7,5%, expectorant 7,5%, antitussives 2,5%, anti diarrhea 2,5% and other drugs used (anti fungi 5%). The types of drugs most widely prescribed are RL 95%, paracetamol 92,5%, ranitidine 37,5%, imesco 17,5%, vitamin C 17,5%, ondansetron 50%, methylprednisolone 20%, methisoprinol 25%, vostrin 5%, OBH 5%, codeine 2,5%, attapulgite 2,5%, nystatin 5%. The way of administration drugs is parenteral 60,4% whereas oral 36%. Conclusion : The treatment patterns of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in inpatient instalation of Sultan Agung Islamic Hospital Semarang of period August 2015-March 2016, most drug used is rehydration 100%, most type of medication used is infusion of RL 90% and most treatment given is parenteral way 60,4%. Keywords : Patterns of treatment, Dengue Hemorrhagic Fever, Sultan Agung Islamic Hospital Literatures : 47 (1969-2016) A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau dengue haemorrhagic fever (DHF) merupakan penyakit demam akut dan disertai dengan adanya perdarahan dalam yang memiliki kecenderungan untuk menimbulkan syok atau kejang-kejang dan dapat menyebabkan kematian, umumnya penyakit ini dapat menyerang anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun, maupun orang dewasa yang berusia 15 tahun keatas (Roose, 2008; Achmadi, 2011). Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS) (WHO, 2009); ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus yang terinfeksi (Supartha, 2008). Host alami DBD adalah manusia agentnya adalah virus dengue yang termasuk dalam family Flaviridae dan 2 genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 (Kurane, 2007). Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Semarang 2014, pada tahun 2014 jumlah kasus DBD sejumlah 1.628 kasus dengan jumlah meninggal 27 orang. Incidence Rate (IR) DBD adalah 92,43% dan Case Fatality Rate (CFR) DBD adalah 1,6%. Kematian akibat penyakit DBD Kota Semarang berdasarkan golongan umur terbanyak pada golongan umur 1 s.d. 4 tahun dengan 11 kematian dan kelompok usia 5 s.d. 9 yaitu 7 kematian. Kelompok usia balita dan anak sekolah masih merupakan kelompok usia dominan dalam hal kematian (Dinkes Semarang, 2015). Di Indonesia, penderita penyakit DBD terbanyak berusia 5-11 tahun (Ginanjar, 2008). Penyakit ini menunjukkan peningkatan jumlah orang yang terserang setiap 4-5 tahun. Kelompok umur yang sering terkena adalah anak-anak umur 4-10 tahun, walaupun dapat pula mengenai bayi dibawah umur 1 tahun (IDAI, 2009). Terdapat empat derajat spektrum klinis DBD (WHO, 2011), sebagai berikut : a. Derajat I : Demam dan manifestasi perdarahan (uji bending positif) dan tanda perembesan plasma b. Derajat II : Seperti derajat I ditambah perdarahan spontan c. Derajat III : Seperti derajat I atau II ditambah kegagalan sirkulasi (nadi lemah, tekanan nadi ≤ 20 mmHg, hipotensi, gelisah, diuresis menurun) d. Derajjat IV : Syok hebat dengan tekanan darah dan nadi yang tidak terdeteksi Pengobatan DBD pada dasarnya bersifat simptomatik. Terapi suportif mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Terapi simptomatik pada penderita DBD merupakan pemberian terapi untuk mengatasi gejala yang timbul (Handinegoro, 2004). 2. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Untuk mengetahui pola pengobatan demam berdarah dengue di instalasi rawat inap Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang bulan Agustus 2015-Maret 2016. b. Tujuan Khusus Untuk mengetahui pola pengobatan demam berdarah dengue di instalasi rawat inap Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang bulan Agustus 2015-Maret 2016 meliputi golongan obat, jenis obat dan cara pemberian. B. METODE PENELITIAN Penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian noneksperimental dengan pengambilan data secara retrospektif. Pengolahan data dilakukan dengan rancangan deskriptif, yaitu sebuah penelitian yang bertujuan untuk melakukan deskripsi terhadap kejadian yang ditemukan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien demam berdarah dengue di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang pada bulan Agustus 2015-Maret 2016 yaitu 67 pasien. 3 Sampel dalam penelitian ini adalah bagian dari populasi pasien demam berdarah dengue di instalasi rawat inap di RSI Sultan Agung Semarang pada bulan Agustus 2015-Maret 2016 yaitu 40 pasien. Berikut kriteria inklusi dan ekslusi : 1. Kriteria Inklusi a. Pasien dengan diagnosis demam berdarah dengue di instalasi rawat inap di RSI Sultan Agung pada bulan Agustus 2015-Maret 2016. b. Pasien demam berdarah dengue tanpa penyakit penyerta. 2. Kriteria Ekslusi a. Pasien pulang paksa atau rujuk. b. Pasien meninggal. C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Pasien a. Jenis Kelamin Tabel 1. Distribusi Jenis Kelamin Pasien DBD No Jenis Kelamin Jumlah Pasien Persentase 1 Laki-laki 17 42,5% 2 Perempuan 23 57,5% Total 40 100% Berdasarkan pada tabel 1, sebagian besar pasien yang terdiagnosa demam berdarah dengue di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang adalah jenis kelamin perempuan sebanyak 23 pasien (57,5%). Pada umumnya seorang laki-laki lebih rentan terhadap infeksi dari pada perempuan karena produksi imunoglobulin dan antibodi perempuan lebih banyak dibanding laki-laki (Soedarmo, 2008). Namun, keduanya mempunyai peluang yang sama untuk tertular penyakit demam berdarah dengue. b. Usia Tabel 2. Distribusi Usia Pasien DBD No Usia Jumlah Pasien Persentase 1 0-5 tahun 10 25% 2 6-11 tahun 5 12,5% 3 12-16 tahun 6 15% 4 17-25 tahun 12 30% 5 26-45 tahun 6 15% 6 46-55 tahun 1 2,5% Total 40 100% Berdasarkan pada tabel 4.2, sebagian besar pasien yang terdiagnosa demam berdarah dengue adalah usia 17-25 tahun sebanyak 12 pasien (30%). Lebih tinggi kasus DBD pada remaja akhir karena pada usia tersebut memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga memudahkan untuk tertular virus dengue yang sebelumnya belum pernah ada pada suatu daerah (Stoddard, 2013). 4 c. Status Pelayanan Tabel 3. Distribusi Status Pelayanan Pasien DBD No Status Pelayanan Jumlah Pasien Persentase 1 Umum 36 90% 2 BPJS 2 5% 3 Asuransi 2 5% Total 40 100% Berdasarkan pada tabel 4.3, sebagian besar pasien yang terdiagnosa demam berdarah dengue di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang dengan status pelayanan umum sebanyak 36 pasien (90%). Pada penelitian ini status pelayanan umum lebih banyak pada kelas III. Ini menunjukkan bahwa masyarakat masih enggan untuk mengurus kartu BPJS Kesehatan, sehingga masih banyak pasien yang berasal dari keluarga tidak mampu harus menanggung biaya rumah sakit karena tidak memiliki kartu BPJS Kesehatan. d. Status Pulang Tabel 4 Distribusi Status Pulang Pasien DBD No Status Pulang Jumlah Pasien Persentase 1 Perbaikan 37 92,5% 2 Sembuh 3 7,5% Total 40 100% Berdasarkan pada tabel 4.4, sebagian besar pasien yang terdiagnosa demam berdarah dengue di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang dengan status pulang perbaikan sebanyak 37 pasien (92,5%). Hal ini karena pasien DBD dinilai sudah sembuh jika hasil pemeriksaan laboratorium darahnya menujukkan hasil yang sudah normal dan didukung dengan kondisi fisik pasien (nafsu makan meningkat dan aktivitas sudah tidak terganggu). Sedangkan kondisi pulang pasien dengan perbaikan dilihat dari nlai trombosit dibawah normal tapi cenderung mengalami kenaikan. e. Grade DBD Tabel 5 Distribusi Grade Pasien DBD No Grade DBD Jumlah Pasien Persentase 1 DBD derajat I 18 45% 2 DBD derajat II 19 47,5% 3 DBD derajat III 2 5% 4 DBD derajat IV 1 2,5% Total 40 100% Berdasarkan pada tabel 4.5, didapatkan hasil diagnosa yang paling banyak yaitu DBD derajat II sebanyak 19 pasien (47,5%). Pasien datang ke rumah sakit rata-rata pada hari ke 3-5 demam, pada saat terjadinya fase kritis. Dimana fase kritis, terjadi pada hari 3-7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai permeabilitas kapiler dan timbulnya 5 kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24-48 jam (Kemenkes RI, 2010). Tidak terdapat perbedaan terapi pada DBD grade I, II, III dan IV. 2. Pengobatan Pasien Demam Berdarah Dengue a. Golongan Obat Tabel 6 Data Golongan Obat No Golongan Obat Jumlah Kasus Persentase N = 40 1 Rehidrasi 40 100% 2 Analgetik-Antipiretik 37 92,5% 3 Antitukak 33 82,5% 4 Suplemen 24 60% 5 Antiemetik 20 50% 6 Anti inflamasi 15 37,5% 7 Antivirus 11 27,5% 8 Mukolitik 3 7,5% 9 Ekspektoran 3 7,5% 10 Antitusif 1 2,5% 11 Anti Diare 1 2,5% 12 Lain-lain 2 5% Berdasarkan tabel 4.6, didapatkan gambaran golongan obat yang digunakan untuk pasien DBD di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang adalah rehidrasi sebanyak 40 kasus (100%). Hal ini dikarenakan pada pengobatan DBD tidak ada terapi khusus selain mempertahankan terapi suportif dan terapi cairan secara bijaksana. Patofisiologik DBD adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma. Peningkatan hematokrit >20% mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Kriteria klinis DBD yaitu demam 2-7 hari, panas tinggi terus menerus (Nadesul, 2016). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan analgetik-antipiretik sebanyak 38 kasus (95%). Sehingga diperlukan antipiretik untuk menurunkan gejala demam pada pasien DBD. Penderita DBD memiliki resiko mengalami stress-ulcer (Kusumawati, 2007). Sehingga perlu diberikan antitukak untuk mencegah stress ulcer. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antitukak sebanyak 29 kasus (72,5%). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan suplemen sebanyak 24 kasus (60%). Diberikan suplemen untuk mencukupi kebutuhan nutrisi serta meningkatkan kekebalan tubuh pasien Selain demam dan perdarahan gambaran klinis lain yang tidak khas dijumpai pada penderita DBD adalah keluhan pada saluran pencernaan seperti anoreksia, mual, mntah, diare, konstipasi (Mubin, 2005). Sehingga perlu pemberian antiemetik untuk mengobati mual dan muntah, anti diare mengobati diarenya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 6 penggunaan antiemetik sebanyak 20 kasus (50%) dan penggunaan anti diare sebanyak 1 kasus (2,5%). Keluhan DBD pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, susah menelan (Mubin, 2005). Sehingga diberikan obat batuk seperti mukolitik, ekspektoran dan antitusif untuk mengobati batuk. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan mukoltik sebanyak 3 kasus (7,5%), penguunaan ekspektoran sebanyak 1 kasus (2,5%) dan penggunaan antitusif sebanyak 1 kasus (2,5%). Pada dasarnya DBD merupakan penyakit yang self-limited, dapat sembuh sendiri (Porter et al, 2005). Sehingga tidak diperlukan penggunaan antivirus. Dari penelitian menunjukkan penggunaan antivirus sebanyak 11 kasus (27,5%). Sesuai dengan penelitian Endah (2007), didapatkan pemberian antivirus (isoprinosin, asiklovir) pada 78 pasien (5,2%) dari 1818 kasus. Dari hasil penelitian menunjukkan penggunaan anti inflamasi sebanyak 15 kasus (37,5%). Penggunaan steroid pada penderita DBD masih menjadi perdebatan. Beberapa panduan ada yang tidak menyinggung mengenai pemberian kortikosteroid pada penderita DBD. Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi pembengkakan dan tekanan didalam otak. Golongan obat lain yang digunakan adalah anti jamur sebanyak 2 pasien (5%). b. Jenis Obat Tabel 4.7 Data Jenis Obat Pada Pasien DBD No 1 Golongan Obat Rehidrasi 2 3 Analgetik-Antipiretik Antitukak 4 Suplemen 5 6 Antiemetik Anti Inflamasi 7 Antivirus 8 Mukolitik 9 Ekspektoran 10 11 12 Antitusif Anti Diare Lain-lain Nama Obat RL 2A ½ N Asering Parasetamol Pantoprazol Omeprazole Ranitidin Sukralfat Lanzoprazole Antasida Cernevit Imesco Dehaf Vitamin K Curcuma Vitamin C Escovit Starmuno Zanmel Curvit Anabion B Complex Ondansetron Metilprednisolon Dexamethason Methisoprinol Acyclovir Bisolvon Vostrin OBH Coparcetin Codein Atapulgit Nystatin Jumlah 38 3 1 37 4 8 15 8 2 4 5 7 1 2 2 7 6 1 1 2 1 1 20 8 6 10 1 1 2 2 1 1 1 2 Persentase 95% 7,5% 2,5% 92,5% 10% 20% 37,5% 20% 5% 10% 12,5% 17,5% 2,5% 5% 5% 17,5% 15% 2,5% 2,5% 5% 2,5% 2,5% 50% 20% 15% 25% 2,5% 2,5% 5% 5% 2,5% 2,5% 2,5% 5% 7 Pada penelitian ini terlihat pemberian cairan rehidrasi paling banyak ialah pemberian RL (Ringer Laktat) sebanyak 38 pasien (95%). RL (Ringer Laktat) merupakan golongan cairan kristaloid. Kristaloid standar terapi cairan pada DBD. Keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler. Komposisi Ringer Laktat adalah natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca), klorida (Cl) dan laltat. Elektrolitelektrolit ini dibutuhkan untuk mengganti kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan. Dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah dieksresikan, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh dan memiliki efek alergi yang minimal. Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif. Cairan infus lain yang didapat dari hasil penelitian adalah asering sebanyak 1 pasien (2,5%) dan 2A ½ N 3 pasien (7,5%). Asering yang mengandung natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca) dan asetat, memiliki indikasi untuk terapi cairan pada DBD. D5 ½ NS yang disebut 2A ½ N mengandung natrium (Na), klorida (Cl), dekstrosa, memiliki indikasi untuk mengganti cairan. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan dengan tetesan cepat dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatam cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil. Penggunaan parasetamol sebanyak 24 pasien (60%). Parasetamol merupakan pilihan pertama untuk penderita DBD. Pada pasien DBD, penggunaan analgetik-antipiretik yan tidak tepat dapat menyebabkan perdarahan, iritasi lambung, dan keadaan yang lebih parah. Ibuprofen dan golongan NSAID (Non Steroidal Inflammatory Drugs) dapat memperburuk perdarahan dan iritasi lambung. Penggunaan aspirin pada anak tidak dianjurkan karena berhubungan dengan Reye’s Syndrome. Terapi antitukak terbanyak ialah penggunaan ranitidin sebanyak 15 pasien (37,5%). Pada pasien DBD dapat terjadi perdarahan spontan, salah satunya pada saluran cerna. Untuk mencegah terjadinya perdarahan spontan pada saluran cerna sehingga perlu diberikan obat anitukak. Pemberian Histamine 2-Receptor Antagonists (ranitidin) dan PPI (pantoprazole, omeprazole, lanzoprazol) dapat diberikan untuk mencegah perdarahan saluran cerna. Antasida diberikan pada pasien yang mengalami syok disertai muntah-muntah hebat dan epigastrium yang tidak jelas. Sukralfat diberikan untuk melindungi mukosa lambung dari serangan asam lambung. Penggunaan suplemen terbanyak ialah imesco dan vitamin C masing-masing 7 pasien (17,5%). DBD disebabkan oleh virus dengue, yang bersifat selft-limited, dapat sembuh sendiri. Dibutuhkan suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh pasien. 8 Terapi antiemetik terbanyak ialah penggunaan ondansetron sebanyak 18 pasien (45%). Gejala DBD ialah mual muntah secara terus menerus. Pemberian ondansetron digunakan untuk mengurangi rasa mual dan muntah pada penderita DBD. Pada penelitian ini anti inflamasi yang paling banyak digunakan ialah metilprednisolon diberikan pada 8 pasien (20%). Inflamasi merupakan suatu kejadian normal dari tubuh yang berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh. Inflamasi ini terjadi akibat sistem pertahanan yang ada dalam tubuh sudah tidak mampu lagi melawan paparan benda asing dari tubuh (virus dengue) secara biologis tempat-tempat yang mendapatkan serangan dari luar tersebut akan terjadi inflamasi. Ciri inflamasi yaitu rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (nyeri), tumor (bengkak) dan fungtion lesa (hilangnya sebagian fungsi kerja organ/jaringan/tubuh). Demam pada pasien DBD merupakan reaksi inflamasi, sehingga digunakan anti inflamasi membantu meredakan demam yang sulit turun dengan antipiretik. Terapi antivirus yang paling banyak digunakan ialah penggunaan methisoprinol sebanyak 10 pasien (25%). DBD disebabkan oleh virus dengue merupakan penyakit self-limited, dapat sembuh sendiri. Sehingga pada pengobatannya tidak diperlukan antivirus. Pada penelitan ini penggunaan antivirus ditemukan pada anak dan balita, ini dimungkinkan karena pada usia tersebut mempunyai imunitas yang rendah sehingga diberikan antivirus untuk meningkatkan sistem imun, karena methisoprinol merupakan obat imunostimulan yang dapat digunakan untuk meningkatkan sistem imun serta pengobatan infeksi virus. Keluhan DBD pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, susah menelan (Mubin, 2005). Sehingga diberikan mukolitik, ekspektoran dan antitusif untuk mengobati batuknya. Terapi mukolitik terbanyak ialah penggunaan vastrin sebanyak 2 pasien (5%), terapi ekspektoran terbanyak ialah penggunaan OBH sebanyak 1 pasien (2,5%) dan penggunaan antitusif sebanyak 1 pasien (2,5%). Terapi anti diare terbanyak ialah penggunaan atapulgit sebanyak 1 pasien (2,5%). Gejala lain yang tidak khas dijumpai pada saluran pencernaan yaitu diare. Sehingga diberikan obat anti diare untuk mengobati gejala diarenya. Golongan obat lain yang digunakan adalah nystatin sebanyak 2 pasien (5%) c. Cara Pemberian Obat Tabel 4.8 Data Pemberian Obat Pada Pasien DBD No Cara Pemberian Obat Jumlah Persentase 1 Oral 88 36% 2 Parenteral 134 60,4% Total 222 100% Berdasarkan data tabel 4.8, didapatkan hasil cara pemberian obat pada pasien demam berdarah dengue di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang yang paling banyak adalah secara parenteral sebanyak 9 134 (60,4%). Saat pasien diindikasikan untuk rawat inap berarti kondisi pasien lemah. Sehingga perlu pengobatan dengan efek terapi yang cepat. Kondisi umum pasien saat masuk kebanyakan tidak bisa mengkonsumsi obat secara peroral, karena mual maka cairan berkurang agar tepat mendapatkan nutrisi dan mencegah dehidrasi pasien diberi secara parenteral. Pemberian obat melalui selang intravena merupakan salah satu cara pemberian obat dengan cara menyuntikkan obat melalui selang intravena pada pasien yang sedang diinfus dengan tujuan agar obat bekerja lebih cepat. D. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pola pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) di instalasi rawat inap RSI Sultan Agung Semarang periode Agustus 2015-Maret 2016 sebagai berikut : 1. Golongan obat yang diberikan pada pasien DBD meliputi rehidrasi 100%, analgetik-antipiretik 92,5%, antitukak 82,5%, suplemen 60%, antiemetik 50%, anti inflamasi 37,5%, antivirus 27,5%, mukolitik 7,5%, ekspektoran 7,5%, antitusif 2,5%, anti diare 2,5% dan obat lain yang digunakan (anti jamur 5%). 2. Jenis obat yang paling banyak diberikan RL 95%, parasetamol 92,5%, ranitidin 37,5%, imesco 17,5%, vitamin C 17,5%, ondansetron 50%, metilprednisolon 20%, methisoprinol 25% vostrin 5%, OBH 5%, codein 2,5%, atapulgit 2,5% dan nystatin 5% . 3. Cara pemberian obat yang paling banyak diberikan pada pasien DBD ialah pemberian secara parenteral 60,4%. E. UCAPAN TERIMAKASIH Seluruh civitas akademika STIKES Ngudi Waluyo Ungaran, Ketua Program Studi Farmasi STIKES Ngudi Waluyo Ungaran Drs. Jatmiko Susilo, Apt., M.Kes, dan RSI Sultan Agung Semarang. F. DAFTAR PUSTAKA 1. Roose, A. 2008. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukti Raya Kota Pekanbaru tahun 2008. Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pascasarjana Administrasi dan Kebijakan Kesehatan. 2. Achmadi. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 3. World Health Organization. 2009. Regional Guideline for diagnosis, treatment, prevention and control. 4. Supartha I. 2008. Pengendalian Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes argypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse). Universitas Udayana. Denpasar. 5. Kurane, I. 2007. Dengue Hemmorhagic Fever with Spesial Emphasis on Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious Disease. 10 6. Dinkes Semarang. 2015. Profil Kesehatan Kota Semarang. Semarang. 7. Ginanjar K. 2008. Demam Berdarah : A Survial Guide. 2-4. Bentang Pustaka. Bandung. 8. IDAI. 2009. Demam Penanggulangannya. Berdarah Dengue, Masalah dan Cara 9. World Health Organization-South East Asia Regional Office. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. 10. Handinegoro, Sri Rezeki, Soegijanto WS. dan Suroso. 2004. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Depkes RI, Jakarta. 11. Soedarmo S.S., Garna H., Hadinegoro S.R. dan Satari H.I. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatrik Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 12. Stoodard. 2013. House to house human movement dreves dengue virus transmission. PNAS. 13. Kemenkes RI. 2010. Demam Berdarah Dengue 1968-2009. Buletin Jendela Epidemiologi. Vol 2 :1,5 Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 14. Nadesul. 2016. Demam Berdarah dan Virus Zika. Kompas. Jakarta. Penerbit Buku 15. Kusumawati, C. 2007. Ringkasan Studi Penggunaan Obat Pada Penderita Demam Berdarah Dengue di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Surabaya. 16. Mubin. 2005. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi. EGC. Jakarta. 17. Endah C, Sri RH dan Arwin APA. 2007. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Berdarah Dengue pada Kejadian Luar Biasa Tahun 2004 di Enam Rumah Sakit di Jakarta. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 11