bab ii tinjauan pustaka

advertisement
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioekologi Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br)
Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br) merupakan salah satu jenis yang
tumbuhan obat yang termasuk dalam kategori langka (LIPI 2001). Berdasarkan
taksonominya tumbuhan pulai tergolong ke dalam :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Contortae
Famili
: Apocynaceae
Genus
: Alstonia
Spesies
: Alstonia scholaris (L.) R. Br
Daerah penyebaran pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br), antara lain
meliputi Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara dan
Jawa (Rifai et al 1992). Pada umumnya pulai tumbuh di daerah yang terbuka,
bersemak atau hutan campuran pada ketinggian 50-1500 mdpl (Hendrian &
Hadiah 1999 diacu dalam Sutomo & Putri 2005). Sedangkan menurut Heyne
(1987) di pulau Jawa pulai tumbuh pada ketinggian kurang dari 900 m diatas
permukaan laut. Pulai dapat tumbuh pada tanah liat dan tanah berpasir yang
kering atau digenangi air dan terdapat juga pada lereng bukit berbatu pada
ketinggian 0-1000 m di atas permukaan air laut (Martawijaya et al. 2005)
Pulai umumnya dapat mencapai tinggi 20 hingga 25 m dan diameter 40
hingga 60 cm. Pulai memiliki pertumbuhan yang sangat baik dan dapat dibiakkan
dengan setek dan cabang (Heyne 1987). Adapun ciri morfologinya yakni memiliki
batang lurus dengan kulit batang yang rapuh, rasanya pahit dan bergetah putih.
Daun tunggal warna hijau berbentuk lonjong hingga lanset atau lonjong hingga
bulat telur sungsang dengan permukaan atas licin, permukaan bawah buram, tepi
daun rata, pertulangan daun menyirip dengan panjang 10-23 cm, lebar 3-7,5 cm
dan tersusun melingkar antara 4-9 helai (Yuniarti 2008).
5
Keterangan : (1) Daun; (2) Susunan
bunga; (3) Irisan memanjang bunga;
(4) Kelopak bunga; (5) Buah; (6)
Benih.
Sumber: Plant Reources of South East Asia
5:1 diacu dalam Sutomo dan Putri (2005).
Gambar 1. Bagian-bagian tumbuhan pulai
Pulai termasuk ke dalam jenis yang selalu hijau atau tidak gugur daun
dengan jenis benih ortodoks. Benih pulai yang segar memiliki daya kecambah
yang tinggi yaitu mendekati 100%, akan
tetapi cepat pula kehilangan
viabilitasnya (IFSP 2001). Menurut Martawijaya et al. (2005) biji pulai yang telah
dijemur selama 2 hari dan disimpan dalam kaleng tertutup selama 2 bulan masih
mampu berkecambah hingga 90%.
Dalimartha (1999), Hikmat dan Zuhud (2010) menyatakan bahwa kulit
kayu pulai mengandung alkaloida ditamin, ekitamin (ditamin), ekitanin,
ekitamidin, alstonin, ekiserin, ekitin, porfirin,dan triterpen (α-amyrin dan lupeol),
daun mengandung pikrinin, dan bunga pulai mengandung asam ursolat dan lupeol.
2.2 Manfaat Pulai
Pemanfaatan pulai oleh masyarakat yaitu sebagai obat tradisional untuk
meluruhkan dahak, peluruh haid, stomakik, antipiretik, pereda kejang,
menurunkan kadar gula darah (hipoglikemik), tonik dan antiseptik, mengobati
bisul dan memperlancar ASI (Dalimartha 1999). Kayunya dimanfaatkan untuk
konstruksi ringan di dalam ruangan, pulp dan kertas, bahan-bahan kerajinan
tangan seperti patung, topeng dan papan tulis sekolah karena kayunya tidak awet
(IFSP 2001). Adapun bagian tumbuhan pulai yang biasanya dimanfaatkan oleh
masyarakat yaitu akar dan getah daun sebagai obat tradisional (Setyowati &
Wardah 2007).
6
2.3 Teknik Kultur in Vitro
Kultur in vitro adalah teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tumbuhan
dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas
mikroorganisme (Santoso & Nursandi 2003). Dasar kultur jaringan adalah
totipotensi yaitu kemampuan setiap sel dari mana saja sel tersebut diambil, apabila
diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan dapat tumbuh menjadi tumbuhan
yang sempurna (Suryowinoto 1991 diacu dalam Hendaryono & Wijayani 1994).
Akan tetapi, persentase keberhasilan kultur jaringan akan lebih besar jika
menggunakan jaringan meristem karena jaringan meristem adalah jaringan muda
yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum
mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecilkecil (Hendaryono & Wijayani 1994). Adapun prinsip kerja kultur jaringan
menurut Santoso dan Nursandi (2003) terdiri dari :
1.
kegiatan isolasi bagian tanaman yang akan digunakan sebagai bahan tanam
(eksplan) dari tanaman induknya,
2.
penanaman bahan tanam (eksplan) pada medium yang tepat sehingga terjadi
percepatan induksi totipotensi,
3.
Terpenuhinya kondisi aseptik (bebas dari kontaminan atau mikroorganisme).
Menurut Acquaah (2004) dalam teknik kultur jaringan, secara umum dapat
dibagi menjadi lima tahapan yakni seleksi eksplan dan persiapan, inisiasi dan
pembuatan kondisi yang steril, perkembangbiakkan tunas aksiler (multiplikasi),
pengakaran dan aklimatisasi.
1.
Seleksi eksplan dan persiapan
Eksplan adalah bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan inisiasi
dalam kultur jaringan. Pada dasarnya eksplan dapat diambil dari semua
bagian tumbuhan baik dari jaringan akar, batang dan daun atau berupa sel
merismatik, kambium dan embrio yang belum mengalami perubahan bentuk
dan kekhususan fungsi (Acquaah 2004). Namun, akan lebih baik jika eksplan
diambil dari bagian yang masih muda (Conger 1981 diacu dalam Isnaeni
2008). Ukuran eksplan yang digunakan disesuaikan dengan tujuan dari
pembiakannya. Conger (1981) diacu dalam Isnaeni (2008) menyatakan bahwa
ukuran eksplan yang lebih besar cenderung lebih mudah terkontaminasi,
7
namun eksplan yang kecil memiliki persentase kematian jaringan yang lebih
tinggi.
2.
Inisiasi dan Pembuatan kondisi yang steril
Proses inisiasi merupakan salah satu tahap yang penting dalam teknik kultur
jaringan untuk menentukan langkah selanjutnya. Oleh karena itu inisiasi
kultur yang terbebas dari kontaminan merupakan hal yang harus dilakukan.
Inisiasi adalah penanaman bagian tumbuhan sebagai eksplan untuk
ditumbuhkan pada media kultur jaringan. Pada tahap ini dilakukan kegiatan
sterilisasi eksplan untuk mendapatkan kultur aseptik. Eksplan yang telah
disterilisisasi kemudian ditanam pada media prekondisi untuk memastikan
eksplan telah terbebas dari kontaminan dan jaringan berinisiasi untuk tumbuh.
3.
Perkembangbiakkan tunas aksiler (multiplikasi)
Multiplikasi merupakan kegiatan memindahkan tunas-tunas dari dalam
wadah kultur secara aseptik yang tumbuh dari hasil induksi dan ditanam lagi
dalam botol kultur lain yang berisi media dan hormon yang mampu
merangsang pertunasan. Tujuan utama dari proses multiplikasi adalah
perbanyakan pucuk atau tunas atau klon tumbuhan dan meningkatkan
terjadinya percabangan aksial dan pembentukan pucuk secara adventif.
4.
Pengakaran
Proses pengakaran dapat dilakukan dengan penggunaan media yang
ditambahkan ZPT jenis auksin. Wattimena (1988) diacu dalam Isnaeni (2008)
menyatakan bahwa pemberian auksin diketahui dapat memicu pertumbuhan
tunas dan akar. Proses ini dilakukan untuk mempersiapkan plantlet agar dapat
ditanam di lapang.
5.
Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan tahap pemindahan plantlet dari kondisi aseptik (in
vitro) ke kondisi lapang (ex vitro) atau dari keadaan heterotrop ke keadaan
autrotop. Proses aklimatisasi merupakan proses yang menentukan apakah
kultur jaringan berhasil atau tidak karena pada tahap ini akan diketahui
apakah tumbuhan yang diaklimatisasi dapat bertahan hidup di lapang atau
tidak. Proses aklimatisasi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti
suhu dan kelembaban. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keberhasilan
8
aklimatisasi sebaiknya lingkungan tumbuhnya harus mendekati lingkungan
asalnya pada saat pembiakan. Selain itu, pemberian hara tumbuhan yang
cukup pada media maupun penyemprotan daun akan sangat membantu proses
aklimatisasi (Mattjik 2005 diacu dalam Isnaeni 2008).
Salah satu faktor yang juga berperan penting dalam menentukan
keberhasilan kegiatan kultur jaringan adalah media tanam. Media tanam
merupakan tempat tumbuh untuk tumbuhnya eksplan. Menurut Soerianegara
(1994) diacu dalam Hidayat (2009) media tanam dalam kultur jaringan tumbuhan
dibedakan menjadi dua yaitu media dasar dan media perlakuan. Bentuk media
tanam yang digunakan dalam kultur jaringan ada 3 yaitu media tanam bentuk
padat, semi padat dan cair. Pada umumnya, media dasar yang sering digunakan
adalah media dasar Murashige dan Skoog (MS, 1962). Menurut Acquaah (2004)
media kultur jaringan mengandung komponen yang dapat dikategorikan menjadi
empat kelompok yaitu unsur mineral, senyawa organik, zat pengatur tumbuh dan
sistem penyokong, dengan uraian sebagai berikut :
1.
Unsur mineral terdiri dari unsur makronutrien dan unsur mikronutrien.
Adapun unsur-unsur yang terdapat pada unsur makronutrien terdiri dari
nitrogen-NO3, NH4, fosfor-P, potassium-K. Sedangkan unsur mikronutrien
terdiri dari Ca, Mg, Cl, Fe, S, Na, B, Mn, Zn, Cu, Mo,Co, I.
2.
Senyawa organik menyediakan sumber karbon dan faktor-faktor lain untuk
mendukung pertumbuhan. Pada umumnya, senyawa organik terdiri dari gula,
vitamin, dan myo-inositol.
3.
Zat pengatur tumbuh pada tanaman sama dengan hormon pertumbuhan pada
hewan. Zat pengatur tumbuh ini digunakan atau dicampurkan ke dalam
media. Adapun contoh senyawa zat pengatur tumbuh yang umum digunakan
yaitu auksin, sitokinin, dan giberelin. Auksin berfungsi untuk mendukung
terjadinya pertumbuhan akar. Contoh dari auksin alami yang umum
digunakan yaitu indole-3-acetic-acid (IAA), indole-3-butyric-acid (IBA), dan
contoh auksin sintetik
yaitu
naphtalene acetic
acid (NAA),
2,4-
dichlorophenoxyacetic cid (2,4-D). Sitokinin berfungsi untuk mendukung
terjadinya pertumbuhan tunas, contohnya yaitu zeatin (alami), benzyladenine
9
(BA) dan kinetin (sintetik). Sedangkan giberelin berfungsi untuk mendukung
pertumbuhan batang dan pembungaan, contohnya GA3 dan GA4+7.
4.
Sistem penyokong dalam kultur jaringan yakni media kultur jaringan.
2.4 Kontaminasi
Kontaminasi merupakan salah satu gangguan yang umum terjadi pada
kultur jaringan. Menurut Santoso dan Nursandi (2003) tingkat kontaminasi media
berbanding lurus dengan tingkat kekayaan unsur hara dalam media yaitu semakin
diperkaya suatu media maka tingkat kontaminasinya juga semakin besar,demikian
pula sebaliknya semakin sederhana suatu media maka tingkat kontaminasinya
juga semakin kecil. Pada umumnya, kontaminasi karena jenis media disebabkan
karena kontaminasi mikroorganisme dari lingkungan luar dan yang berasal dari
eksplan. Oleh karena itu, jika mikroorganisme dari lingkungan luar dan eksplan
tidak ada maka tidak akan terjadi kontaminasi media dan eksplan. Adapun
sumber-sumber kontaminan menurut Santoso dan Nursandi (2003) dapat berasal
dari :
1.
Udara : kontaminan yang ada di udara dapat berupa spora bakteri atau
cendawan dan umumnya banyak terdapat pada daerah yang berkelembaban
tinggi.
2.
Bahan tanam (eksplan) : untuk eksplan yang berasal dari tanah umumnya
lebih banyak mengandung bahan kontaminan dibanding eksplan yang ada di
permukaan atau pucuk. Kontaminan yang berada di permukaan eksplan dapat
dibersihkan menggunakan air dan larutan pensteril. Sedangkan untuk
kontaminan yang berasal dari dalam eksplan ditangani dengan penggunaan
antibiotika.
3.
Manusia atau pekerja : kontaminan yang berasal dari manusia dapat terbawa
melalui pakaian yang dikenakan, anggota badan dan pernapasan.
4.
Alat-alat yang digunakan : kontaminan dapat berasal dari peralatan yang
digunakan dalam kegiatan penanaman karena proses sterilisasi yang kurang
sempurna sehingga kontaminan masih melekat dalam peralatan.
5.
Aquades (air steril)
10
Menurut
Gunawan
(2007)
untuk
mengurangi kontaminasi
yang
berhubungan dengan media maka sebaiknya menggunakan media ½ MS.
Kontaminasi sangat beragam mulai dari jenis kontaminannya (bakteri, jamur,
virus, yeast, kapang),waktu terjadinya kontaminasi (cepat, dalam hitungan jam;
sedang, dalam hitungan hari; lambat, dalam hitungan minggu dan bulan), dan apa
yang terkontaminasi (media atau eksplan).
Jenis kontaminasi ada dua yaitu kontaminasi eksternal dan kontaminasi
internal. Kontaminasi eksternal dapat disebabkan oleh jamur dan bakteri,
sedangkan kontaminasi internal umumnya disebabkan oleh bahan eksplan itu
sendiri. Menurut Denish (2007) untuk mengatasi kontaminasi internal dapat
digunakan HgCl2 karena dapat menurunkan laju kontaminasi bakteri internal
tanpa merusak jaringan. Selain itu juga dapat dilakukan dengan penggunaan
fungisida, HgCl2 dan klorin karena dengan penggunaan kombinasi bahan sterilan
tersebut merupakan upaya sterilisasi berlapis untuk mereduksi resiko kontaminasi
baik yang berasal dari cendawan, bakteri maupun kotoran-kotoran lain yang
menempel pada permukaan eksplan.Sedangkan untuk pencegahan kontaminasi
eksternal dapat dilakukan dengan sterilisasi kontak (Gunawan 2007).
Gunawan (1987) diacu dalam Gunawan (2007) menyatakan bahwa setiap
bahan tumbuhan memiliki tingkat kontaminasi permukaan yang berbeda
tergantung dari :
1. Jenis tumbuhannya
2. Bagian tumbuhan yng dipergunakan
3. Morfologi permukaan (misalnya berbulu atau tidak)
4. Lingkungan tumbuhnya (Green house atau lapang)
5. Musim waktu pengambilan (musim penghujan atau musim kemarau)
6. Umur tumbuhan (seedling atau tumbuhan dewasa)
7. Kondisi tumbuhannya (sehat atau sakit)
Menurut Gunawan (1995) kontaminasi dapat berasal dari sterilisasi yang
kurang sempurna, lingkungan kerja dan pelaksanaan, eksplan, serangga atau
hewan kecil yang berhasil masuk ke dalam botol kultur setelah diletakkan di
ruang kultur. Sedangkan menurut Sandra (2010) beberapa hal yang dapat
menyebabkan terjadinya kontaminasi yaitu proses sterilisasi yang kurang
11
sempurna, lingkungan kerja dan pelaksanaan atau cara kerja saat penanaman,
eksplan, molekul-molekul atau benda-benda asing berukuran kecil yang jatuh atau
masuk ke dalam botol kultur jaringan setelah penanaman dan ketika diletakkan di
ruang kultur (Sandra 2010). Adapun dari semua jenis sumber kontaminan
Gunawan (1995)berpendapat bahwa kontaminan yang berasal dari eksplanlah
yang paling sulit diatasi karena untuk menanggulanginya diperlukan metode
sterilisasi yang selektif yaitu hanya mengeliminasi organisme mikro yang tidak
diinginkan dengan gangguan seminimal mungkin terhadap bahan tanaman.
2.5 Antibiotika
Antibiotika adalah senyawa kimia khas yang dihasilkan atau diturunkan
oleh organisme hidup, termasuk struktur analognya yang dibuat secara sintetik,
yang dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan
satu spesies atau lebih mikroorganisme (Siswandono & Soekardjo 1995). Salah
satu contoh antibiotika alami yaitu propolis dan contoh antibiotika sintetik yaitu
Plant Preservative Mixture (PPM). Menurut Siswandono dan Soekardjo (1995)
antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan tempat kerja, spektrum aktivitas dan
struktur kimianya.
Berdasarkan spektrum aktivitasnya antibiotika dapat digolongkan menjadi
enam yaitu :
1.
Antibiotika dengan spektrum luas, efektif baik terhadap Gram-positif maupun
Gram-negatif.
2.
Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram-positif
3.
Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram-negatif
4.
Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae
(antituberkulosis)
5.
Antibiotika yang aktif terhadap jamur (anti jamur)
6.
Antibiotika yang aktif terhadap neoplasma (antikanker)
Berdasarkan struktur kimianya, Siswandono dan Soekardjo (1995)
mengelompokkan antibiotika menjadi sepuluh yaitu antibiotika β-laktam (turunan
pesisilin, sefalosporin dan β-laktam nonkllasik), turunan amfenikol, turunan
tetrasiklin, aminoglikosida, antibiotika makrolida, antibiotika polipeptida,
12
linkosamida, antibiotika polien, turunan ansamisin dan turunan antrasiklin. Gale
(1963) diacu dalam Gale et al. (1972) menyatakan bahwa berdasarkan reaksi
biokimia umum, antibiotika dikelompokkan menjadi lima kelompok yakni : (1)
reaksi dalam metabolisme energi, (2) reaksi dalam fungsi membran bakteri, (3)
reaksi dalam sintesis protein, (4) reaksi dalam metabolisme asam nukleat, dan (5)
reaksi dalam sintesis peptidoglycan.
Berdasarkan tempat kerjanya antibiotika dapat digolongkan menjadi empat
yaitu sebagai berikut :
Tabel 1. Penggolongan antibiotika berdasarkan tempat kerjanya
Tempat kerja
Proses
yang
dihambat
-Biosintesis
peptidoglikan
Dinding sel
Fungsi
dan
integritas membran
sel
-Biosintesis ADN
-Biosintesis m ARN
-Biosintesis ADN
dan mARN
Membran sel
Asam nukleat
Antibiotika
Tipe aktivitas
-Penisilin
-Sefalosporin
-Basitrasin
-Vankomisin
-Sikloserin
-Nistatin
-Amfoterisin
-Polimiksin B
-Mitomisin C
Bakterisid
Bakterisid
Bakterisid
Bakterisid
Bakterisid
Fungisid
Fungisid
Bakterisid
Fansidal
(Antikanker)
Bakterisid
Fungisid
-Rifampisin
-Griseofulvin
Ribosom
-Sub
unit
prokariotik
-Sub
unit
prokariotik
-Sub
unit
eukariotik
30
S
50
S
60
S
-Biosintesis protein
-Aminosiklitol
-Tetrasiklin
Bakterisid
Bakteriostatik
-Amfenikol
-Makrolida
-Linkosamida
Bakteriostatik
Bakteriostatik
Bakteriostatik
-Biosintesis protein
-Biosintesis protein
-Glutarimid
-Asam fusidat
Sumber : Doerge RF (1982) diacu dalam Siswandono dan Soekardjo (1995)
Fungisid
Bakterisid
2.5.1 Plant Preservative Mixture
Plant Preservative Mixture (PPM) merupakan preservative atau biosida
spektrum luas yang sangat efektif untuk mencegah atau menurunkan tingkat
kontaminasi mikroba pada kultur jaringan. Penggunaan PPM dengan dosis yang
optimum sangat efektif dan tidak mempengaruhi vitro germination, proliferasi
kalus dan regenerasi kalus. Kandungan zat aktif yang terkandung dalam PPM
13
terdiri dari 5-Chloro-2 methyl-3-(CH)-isothiazolone 0,1350 % dan 2-methyl-3(H)isothiazolone 0,0412% dan komposisi lain 99,82338% (Syatria 2010).
Pada umumnya rentang dosis PPM yang disarankan yaitu 0,05%-0,2%
untuk kontaminasi endogen sedangkan untuk proliferasi kalus, organogenesis dan
embriogenesis yaitu 0,5%-0,75%. Selain itu, penggunaan dosis PPM yang sering
digunakan yaitu 0,5 ml/liter atau menurut rekomendasi dari pabrik dengan dosis 1
ml sampai 2 ml/liter media. Cara pemakaian PPM yaitu dengan menambahkan
langsung pada saat pembuatan media ketika media sudah ditambahkan dengan
agar dan dimasak hingga mendidih lalu ditambahkan hormon yang dikehendaki
selanjutnya ditambahkan dengan PPM lalu diukur pH media dan dimasukan
kedalam botol-botol (Syatria 2010). Dosis penggunaan PPM yang baik yakni 0,5
ml/liter media atau rekomendasi dari pabrik penggunaan PPM yang baik yaitu
antara 1 sampai 2 ml/liter media.
Pembuatan PPM ini dirancang untuk menghambat kontaminasi yang
berasal dari udara, air, dan yang melalui kontak dengan manusia serta kontaminasi
yang berasal dari dalam tumbuhan itu sendiri. Bahan aktif yang ada dalam PPM
inipun dapat menghambat tumbuhnya jamur atau menembus dinding sel bakteri
dan menghambat aktivitas enzim kunci dalam siklus metabolisme sentral seperti
siklus asam sitrat dan transpor elektron. Selain itu juga dapat menghambat proses
pengangkutan monosakarida dan asam amino dari medium ke dalam sel bakteri
atau jamur. Adapun kelebihan penggunaan PPM daripada antibiotika lain yakni :
1.
PPM dapat digunakan secara luas dan efektif untuk menghambat tumbuhnya
jamur
2.
PPM lebih murah dibandingkan dengan antibiotika sehingga lebih terjangkau
jika akan digunakan dalam jumlah yang besar dan rutin
3.
Sasaran PPM yaitu menghambat beberapa jenis enzim, akan tetapi untuk
pembentukan mutan resisten tidak efektif.
4.
PPM memiliki sifat tahan panas yang stabil dan dapat diautoclave dengan
media
14
2.5.2 Propolis
Propolis berasal dari bahasa Yunani yaitu Pro = sebelum dan Polis =
sistem pertahanan kota. Propolis adalah bahan perekat atau dempul yang bersifat
resin yang dikumpulkan oleh lebah pekerja dari kuncup, kulit tumbuhan atau
bagian-bagian lain dari tumbuhan (Gojmerac 1983). Woo (2004) diacu dalam
Saputra (2009) menyatakan bahwa propolis berwarna kuning hingga coklat tua,
ataupun transparan tergantung kandungan flavonoidnya. Umumnya propolis akan
meleleh pada suhu 60-690C dan beberapa sampel mempunyai titik leleh diatas
1000C. Pada suhu dibawah 150C propolis keras dan rapuh, namun akan kembali
lengket pada suhu 25-450C.
Menurut Gojmerac (1983) kandungan senyawa yang terdapat pada
propolis yaitu bahan campuran campuran kompleks malam, resin, balsam, minyak
dan sedikit polen. Sedangkan menurut Khismatullina (2005) diacu dalam Saputra
(2009) propolis mengandung senyawa resin, lilin, minyak esensial, polen,
senyawa organik dan mineral, sebagaimana tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi propolis
Kelas Senyawa
Resin
Lilin
Minyak esensial
Polen
Senyawa organik dan mineral
Golongan Senyawa
Flavonoid, asam aromatik, dan esternya
Asam lemak dan esternya
Volatil
Protein dan asam amino bebas
Mineral, lakton, quinon, steroid, vitamin,
dan gula
Sumber : Khismatullina (2005) diacu dalam Saputra (2009)
Jumlah
50%
30%
10%
5%
5%
Selain itu, unsur aktif yang terkandung dalam propolis antara lain
flavonoid (flavon, flavonol, flavonon), senyawa fenolat, serta senyawa aromatik.
Senyawa flavonoid yang ada yaitu flavonol (galangin, kaemferol, quersetin),
flavonon (pinocembrin dan pinsobrin), serta flavon (chrysin, acacetin, apigenin,
ermanin). Adapun senyawa fenolat yang ada antara lain hidroksisimat, asam
sinamat, vanilin, benzil alkohol, asam benzoat, kafeat, kumarat, serta asam ferulat.
Menurut Winingsih (2004) diacu dalam Suseno (2009) zat aktif yang diketahui
bersifat antibiotika adalah asam ferulat yang efektif terhadap bakteri gram positif
dan negatif. Komposisi kimia propolis sangat kompleks dan tergantung vegetasi
lingkungan tempat pengumpulannya. Untuk aktivitas biologis propolis dapat
dilihat pada Tabel 3.
15
Tabel 3 Aktivitas biologis komponen propolis
No
1
Jenis aktivitas
Antibakteri
Senyawa
Prenylated p-coumaric acids
Lignans
Diterpenic acids
Sitotoksik
Flavonoid
2
Prenylated p-coumaric acids
Lignans
Diterpenics acid
Imunomodulasi
Caffeoulquinic acids
3
Antihepatotoksik
Caffeoulquinic acids
4
Sumber : Bankova et al. (2000) diacu dalam Saputra (2009)
Propolis digunakan untuk mensterilkan sarang lebah dari bakteri, jamur,
dan virus, dimanfaatkan oleh lebah pekerja untuk melapisi bagian dalam rongga
sarang dan mengurangi pintu masuk sarang yang bertujuan untuk menggunakan
sifat antibakteri dan antifungi propolis sehingga dapat melindungi koloninya dari
serangan penyakit (Adiprabowo 2008) digunakan untuk mengisi celah dan retakan
serta menghaluskan permukaan yang kasar pada sarang lebah madu (Gojmerac
1983). Anggraini (2006) menyatakan bahwa beberapa bakteri gram positif yang
mampu dihambat oleh propolis adalah Bacillus subtilis dan Staphylococcus
aureus. Sedangkan untuk bakteri gram
negatif yang efektif dihambat oleh
propolis yakni Escherichia coli dan Pseudomonas aeuriginosa (Anggraini 2006),
Klebsiella sp., Salmonela sp., Campylobacter sp. (Tukan 2008 diacu dalam
Abidin 2010) dan Enterobacter sakazakii (Fitriannur 2009). Abidin (2010) juga
menyatakan bahwa senyawa aktif yang terdapat pada propolis mampu
menghambat pertumbuhan bakteri Lactobacillus bulgaricus.
Propolis yang berasal dari sarang lebah madu (Trigona spp) merupakan
propolis yang sangat berpotensi sebagai antibakteri alami (Adiprabowo 2008)
Kelebihan propolis sebagai antibiotika alami dibandingkan dengan bahan sintetik
yaitu lebih aman serta dengan efek samping yang relatif kecil. Propolis bekerja
melawan bakteri berbahaya tanpa membinasakan bakteri yang dibutuhkan oleh
manusia karena propolis memiliki daya selektivitas yang tinggi sebagai
antibiotika (Winingsih 2004 diacu dalam Saputra 2009). Propolis juga telah
terbukti efektif untuk melawan strain bakteri yang tahan terhadap antibakteri
sintetik (Drapper’s Super Bee Apiaries 2007 diacu dalam Adiprabowo 2008).
Adapun senyawa aktif yang memberikan efek antibakteri di dalam
propolis
adalah pinocembrin, galangin, asam kafeat, dan asam ferulat. Senyawa
16
antifunginya adalah pinocembrin, pinobaksin, asam kafeat. Benzil ester,
sakuranetin dan pterostilbena. Senyawa antiviralnya yakni asam kafeat, lutseolin,
dan quersetin (Winingsih 2004 diacu dalam Suseno 2009).
Menurut Abidin (2010) meskipun propolis memiliki manfaat kesehatan
sebagai antibakteri, namun propolis pada konsentrasi tertentu memiliki peranan
simbiotik terhadap beberapa spesies bakteri probiotik. Berdasarkan hasil
penelitian Abidin (2010) diketahui bahwa pada konsentrasi 0,6% propolis mampu
menstimulasi pertumbuhan bakteri Lactobacillus casei subsp. Rhamnosus dan
aktivitas bakteri Streptococcus thermophillus yaitu dengan menstimulasi produksi
asam laktat.
Download