sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXII, Nomor 4, 1997 : 31 - 42 ISSN 0216-1877 HABITAT MAKRO DAN MIKRO PADA FORAMINIFERA Oleh Ricky Rositasari *) ABSTRACT FORAMINIFERAL MACRO AND MICROHABITATS. Foraminifera have been reported from marine environments extending from tide pool in a marsh to the abyssal plains, each environments could be identified as macrohabitats. Each environment is characterized by its particular species, their diversity and densities. Morphological varieties on foraminiferal test were effected by certain environment which they adapted. Preferences and environments or microhabitats such a sediment and coral surface etc are related to morphotypes. Microhabitats and morphotypes of foraminifera was avaluable in paleoenviromental studies of marine sedimentary sequences to estimate past water depth or as basic information on modern environmental studies issues. berupa kajian sejarah lingkungan (Paleoenvironment) yang sangat diandalkan dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi, atau kajian bagi lingkungan modern dengan segala permasalahanya. PENDAHULUAN Sebagai biota yang mampu hidup secara planktonik atau sebagai mikrobentos, foraminifera memiliki sebaran yang sangat luas. Secara umum hampir seluruh zona samudra dihuni oleh biota ini, walaupun dalam sebarannya secara mikro jenis-jenis tertentu memilih habitat spesifik sesuai dengan kebutuhannya. Pemilihan habitat (sebaran) makro dan mikro dari foraminifera merupakan suatu implikasi dari beragamnya karakteristik kondisi perairan yang dibutuhkan bagi setiap taxa. Daya adaptasi dan kemampuan toleransi yang berbeda pada setiap taxa serta sebarannya yang sangat luas sejakperioda Cambrian pada era Paleozoic (500 juta tahun yang lalu) merupakan aset yang luar biasa bagi kegiatan yang berhubungan dengan studi lingkungan. Studi lingkungan ini dapat EKOLOGI FORAMINIFERA Ekosistem bahari merupakan kesatuan dari sifat fisik, kimia dan dinamika perairan laut, serta semua organisma yang terdapat didalamnya. Di dalam ekosistem inilah terdapat habitat individual atau lingkungan lokal dimana foraminifera hidup dan beradaptasi. Sebagian besar foraminifera merupakan biota marin yang hidup sebagai bentos, walaupun ada beberapa marga yang hidup sebagai biota planktonik dan beberapa jenis dari suku Allogromiidae dan Lagynidae yang hidup di perairan tawar. 31 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Penelitian terhadap ekologi foraminifera resen merupakan kajian yang sangat berharga bagi penafsiran indikator lingkungan purba (Paleoenviromental indicators) Kajian terhadap ekologi foraminifera resen ini sangat bermanfaat pula bagi penafsiran pengaruh perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia. Perubahan pada komunitas foraminifera sebagai elemen mikrobentik dalam suatu perairan dapat diasumsikan sebagai respon lingkungan tersebut secara umum terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan kondisi fisik seperti adanya pembangunan, meningkatnya proses sedimentasi akibat drainase dari daratan, adanya limbah pencemar baik yang berupa nutrien (eutrofikasi), logam berat, bahan organik atau buangan airpanas. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan foraminifera menurut BRASIER (1980) adalah sebagai berikut: faktor yang sangat mempengaruhi tingginya keanekaragaman jenis di dalam suatu komunitas foraminifera. Sebaliknya pengaruh fluktuasi musiman seperti yang terjadi di lingkungan "boreal" menyebabkan terjadinya blooming dengan kapadatan tinggi dan keanekaragaman rendah. Menurut BRASIER (1980) jenis 'opportunistic' ini biasanya cepat mencapai kedewasaan dengan tingkat pertumbuhan yang rendah. Pada foraminifera planktonik terdapat kecenderungan untuk mencari habitat dimana sering terjadi 'upwelling' karena biota ini dapat tumbuh subur di perairan yang kaya akan nutrien. Predasi Cara hidup foraminifera bentik yang melekat pada substrat sangat mudah untuk tehisap oleh biota yang memiliki cara makan dengan menghisap (filter feeder) seperti cacing, krustasea, gastropoda, echinodermata dan ikan. Terdapat dugaan yang menyebutkan bahwa faktor predasi ini dapat mempengaruhi penyebaran dan ukuran populasi foraminifera bentik pada suatu tipe lingkungan. Makanan Foraminifera memiliki peranan penting dalam ekosistem marin yakni sebagai mikroomnivora (Organisma mikro pemakan segala). Jenis makanan foraminifera sangat bervariasi mulai dari bakteri yang berukuran kecil. algae, protista dan beberapa jenis invertebrata (LIPPS & VALENTINE dalam HAQ & BOERMA 1984). Beberapa jenis ada yang memakan bangkai. Foraminifera yang hidup di lingkungan terumbu karang dan paparan karbonat biasanya memilih untuk hidup secara 'endosyimbiotic' dengan beberapa jenis algae. Dengan cara simbiosa seperti itulah dimungkinkna beberapa fosil foraminifera dapat mencapai bentuk 'raksasa', karena algae menyediakan senyawa hara dari hasil fotosintesa sehingga tersedia kalsium karbonat (CaCO3) maksimal. Terdapat dugaan yang kuat bahwa sumber makanan memadai merupakan Substrat Substrat lumpur dan lanau biasanya kaya akan kandungan organik dan pori-pori kecil merupakan habitat tempat ledakan populasi (blooming) bakteri. Substrat seperti ini sangat disukai foraminifera karena dapat menyokong populasi yang besar. Kebanyakan jenis yang hidup di lingkungan tersebut memiliki cangkang tipis, rapuh dan berbentuk bulat telur (elongate). Substrat yang terdiri dari pasir dan kerikil biasanya memiliki pori-pori yang lebih besar. Jenis lingkungan tersebut biasanya tidak memiliki cadangan makanan sebanyak daerah yang bersubstrat lumpur-lanau, sehingga 32 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id populasinyapun cenderung lebih sedikit. Jenis foraminifera yang terdapat pada lingkungan ini memiliki cangkang yang lebih tebal, memiliki ornamen yang jelas dan berbentuk lonjong memanjang (fusiform) atau cembung-cembung (biconvex). Tidak semua foraminifera bentos hidup dipermukaan substrat, adapula yang dapat bertahan hingga kedalaman 200 mm di dalambadan sedimen. Padaumumnya foraminifera bentos bergerak untuk mencari makan hingga kisaran kedalaman 10 mm. Foraminifera lebih menyukai substrat yang lebih keras seperti batuan, cangkang, rumput laut dan algae biasanya hidup dengan melekatkan dirinya pada substrat tersebut secara permananen atau temporer. Jenis-jenis yang hidup dengan melekatkan diri ini biasanya memiliki salah satu permukaan cangkang yang rata atau cekung, yakni sisi dimana biota ini melekatkan dirinya. Selain bentuk kedua permukaan cangkang yang berlainan, jenis foraminifera inipun biasanya memiliki variabilitas morfologi yang lebih tinggi dari pada jenis yang merayap dalam sedimen atau jenis planktonik. yang menyediakan banyak makanan dan perlindungan. Temperatur Setiap jenis foraminifera beradaptasi pada kisaran temperatur tertentu. Titik kritis dari kisaran ini tercapai bila proses reproduksi sudah tidak dapat berlangsung. Batas kisaran ini akan semakin sempit pada jenis-jenis yang hidup di lingkungan beriklim tropis. Pelapisan air di samudra menyebabkan terjadinya penurunan temperatur yang progesif pada lapisan air terdalam. Sebagai contoh temperatur permukaan air di daerah tropikal berkisar antara 25°C padahal temperatur paparan abisal dapat mencapai rata-rata 4°C. Perairan dingin di kedalaman laut ini biasanya dihuni oleh kumpulan foraminifera bentik yang telah beradaptasi terhadap lingkungan tersebut, namun dilain pihak jenis inipun merupakan jenis endemik di perairan dangkal daerahdaerah dekat kutub (BRASSSIER 1980). Oksigen Pencahayaan Konsentrasi oksigen di laut dan samudra tidak berbeda banyak, kecuali di lingkungan khusus seperti Laut Hitam. Kandungan oksigen rendah pada suatu perairan biasanya disebabkan oleh tingginya produksi unsur organik di perukaan air serta gas H2S akibat dari ledakan populasi bakteri anaerobik di dasar laut. Namun demikian tedapat dugaan bahwa kebutuhan oksigen pada biota kecil seperti foraminifera sangatlah kecil. Populasi anaerobik dicirikan dengan cangkang gampingan, tipis dan berukuran kecil, tidak ber-ornamen atau populasi foraminifera dengan cangkang agglutinin. Rendahnya kandungan oksigen mengurangi kemampuan foraminifera untuk mensekresi kalsium karbonat, keadaan ini akan bertambah parah bila kondisi perairan juga Zona dimana matahari masih dapat menembus kedalam air disebut 'photic zone'. Di perairan tropik zona ini dapat mencapai kedalaman sampai 200 meter, dan kedalam ini terus berkurang ke arah kutub. Kandungan produsen primer (nutrien yang terdiri dari algae bentik dan planktonik) yang tinggi sangat menarikbagi foraminifera, terutama jenis-jenis yang bercangkang porcelaneous (seperti porselen) seperti Miliolina dan foramini fera dari jenis yang berukuran besar (larger foraminifera). Kecenderungan foraminifera untuk memilih zona fotik sebagai habitatnya, disamping karena sejumlah besar algae sebagai makanannya, juga karena sebagian besar foraminifera cenderung untuk memilih habitat 33 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id bersifat asam (PHLEGER & SOUTAR dalam BRADDIER 1980). Pada beberapa jenis foraminifera planktonik seperti Globigerina pachiderma, populasi yang hidup di perairan hangat atau dingin dapat dibedakan dari perputaran cangkangnya. Perairan hangat didominasi oleh cangkang yang terputar kerah kanan (sinistral) dan perairan dingin didominasi oleh cangkang yang terputar ke arah kiri (dextral). Diagram ilustrasi dari sebaran foraminifera berdasarkan perubahan suhu dapat dilihat pada gambar 2. lebih dingin. Daya larut Kalsium karbonat juga akan meningkat dengan makin tingginya tekanan air seperti di perairan dalam (laut dalam). Oleh sebab itu biota bercangkang gampingan akan terus berkurang dengan bertambahnya kedalaman, dan pada zona abisal hanya biota bercangkang agglutinin yang masih dapat beradaptasi. HABITAT MAKRO Habitat makro pada foraminifera meliputi seluruh zona dalam samudra, secara skematis sebaran habitat ini dapat dilihat pada gambar 1. Secara umum foraminifera dapat ditemukan mulai dari zona neritik, batial hingga abisal. Zona neritik yang dapat mencapai kedalaman 200 meter merupakan habitat yang banyak dihuni oleh jenis-jenis foraminifera yang bercangkang gampingan (calcareous) yang secara umum hidupnya masih tergantung pada tingginya penetrasi cahaya. Pada zona perbatasan antara zona neritik (paparan benua) dengan lereng benua dapat dijumpai foraminifera yang bercangkang gampingan bercampur dengan foraminifera planktonik. Zona abisal merupakan habitat yang banyak dihuni oleh foraminifera planktonik. Foraminifera planktonik hidup dengan cara melayang-layang (mengapung) sepanjang kolom air, dengan demikian daya tembus penetrasi cahaya tidak banyak mempengaruhi sebaran organisma ini karena dapat bergerak untuk mendapatkan intensitas cahaya yang dibutuhkannya. Pada perbatasan antara zona batial dengan zona abisal, selain foraminifera planktonik, foraminifera dengan cangkang agglutinin sudah mulai dapat ditemukan, walaupun masih dalam kepadatan rendah. Zona abisal merpakan zona terdalam di samudra, daerah ini merupakan habitat bagi berbagai jenis foraminifera aglutinin. Foraminifera dengan cangkang gampingan tidak dapat ditemukan di zona ini Salinitas Kebanyakan foraminifera beradaptasi pada salinitas normal, sehingga pada lingkungan tersebut keanekaragaman jenis foraminifera biasanya tinggi. Lingkungan bersalinitas rendah seperti teluk berair payau dan rawa-rawa biasanya dihuni oleh foraminifera agglutinin dengan keanekaragaman rendah. Foraminifera yang beradaptasi pada salinitas rendah dicirikan dengan cangkang yang tersusun dari silikat atau berperekat unsurunsur bersifat besi seperti marga Rheoplax dan kduargaRotaliacea tertentu seperti Ammonia. Marga Allogromiina yang lunak dengan cangkang tektin ditemukan di perairan tawar dan payau. Konsentrasi kalsium karbonat yang tinggi pada perairan bersalinitas tinggi (Hypersaline) disukai oleh jenis-jenis bercangkang seperti porselen (Porcellanous) seperti Miliolina. Plot berbentuk segitiga yang menggambarkan proporsi relatif sebaran ketiga bangsa dalam foraminifera yakni Textulariina, Miliolina dan Rotaliina dapat dilihat pada gambar 1. Kalsium Karbonat. Day a larut Kalsium karbonat di perairan hangat, lebih rendah dari pada di perairan yang 34 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id karena struktur gampingan tidak cukup kuat untuk menahan tekanan air yang sedemikian tinggi. Jenis foraminifera bercangkang agglutinin merupakan organisma yang membangun cangkang dari materi yang ada disekitarnya. jenis materi yang biasa digunakan untuk membangun cangkang agglutinin adalahmika, silika, fragmen skeletal organisma lain dan lain sebagainya. Bahan perekatutama dari cangkang ini adalah oksida besi (BRASIER 1980). Secara lebih rinci habitat makro ini terbagi lagi menjadi beberapa tipe lingkungan, yang dibedakan oleh ciri-ciri ekologi spesifik dari daerah tersebut. Sebaran foraminifera pada berbagai tipe lingkungan dapat dilihat pada gambar 1. Beberapa hasil penelitian berikut ini akan menggambarkan sebaran foraminifera mulai dari perairan tawar sampai laut dalam. Perairan tawar Foraminifera air tawar merupakan seke-lompok kecil yang masih tegolong primitif, hal ini dapat dilihat dari struktur cangkangnya yang hanya terdiri dari selapis jaringan tektin. Jaringan tektin merupakan lapisan terdalam cangkang foraminifera pada umumnya. Jaringan ini lunak dan tidak dapat terawetkan. Jika ada foraminifera dengan struktur cangkang lebih kompleks (sudah memiliki lapisan gampingan atau agglutinin) hidup di lingkungan ini maka biota tersebut akan memiliki cangkang yang mengalami penyimpangan (aberrant). Suku Allogromidae dan Lagynidae merupakan foraminifera bentik yang biasa menghuni perairan tawar. 35 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Paparan benua (continental shelf) dan laut terbuka bercangkang gampingan seperti Elphidium, Ammonia, Nonion, Nonionella, Bulimina, Bolivina, Brizalina, Discorbinella, Quiqueloculina, Triloculina dan Miliolinella, seta sejumlah kecil marga agglutinin seperti Reophax, Textularia, Ammotium, Eggrella dan Ammoscalaria. Paparan benua yang dapat mencapai kedalaman hingga 150 meter tercirikan oleh beberapa jenis-jenis foraminifera kecil (smaller foraminifera) bercangkang gampingan dan sejumlah kecil jenis aggutinin. Foraminifera planktonik belum dapat ditemukan pada tipe lingkungan ini. Jenis agglutinin yang terdapat di lingkungan ini membangun cangkang dengan interior sederhana BARMAWIDJAYA et al (1992), JORISSEN (1987), HOHENGER et al. (1989) dan HOHENEGER (1993) telah melakukan penelitian di Laut Adriatik yang merupakan salah satu laut dangkal di dalam kawasan paparan benua. Peneliti-peneliti tersebut menemukan lebih kurang 40 sampai 50 marga foraminifera bentik kecil yang Perairan payau, estuari dan mangrove Karakteristik substrat perairan payau berupa sedimen berukuran lebih halus yang tercampur dengan serpihan tumbuhan yang membusuk. Faktor pembatas bagi biota yang hidup di perairan ini adalah kadar salinitas yang rendah. Faktor lain yang turut serta mempengaruhi lingkungan perairan ini pada umumnya adalah proses pasang surut serta pembahan temperatur, salinitas, kedalaman air, 36 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id turbiditas dan kandungan kimiawi air akibat pengaruh musim (HAQ & BOERSMA 1984). Penelitian tentang foraminifera bentos sebagai indikator berbagai bidang yang berhubungan dengan proses alam di perairan estuarin telah dilakukan beberapa peneliti seperti WANG & MURRAY (1983); ALVE & NAGY (1990); ALVE (1990) dan ROSITASARI (1997). Hasil-hasil penelitian tersebut telah berhasil menunjukkan kemampuan foraminifera bentos dari jenis tertentu sebagai indikator (petunjuk). & BOERSMA 1984). Foraminifera planktonik terdapat di lingkungan ini berkisar antara 50 sampai 85% dari seluruh mikrofauna yang terdapat di lingkungan tersebut. Populasi foraminifera bentik tidak dapat ditemukan di sepanjang lereng. Pada zona abisal jenis-jenis bentik mulai dapat ditemukan kembali, walaupun jenis planktonik masih dominan di lingkungan ini, yakni mencapai 75 - 90% dari seluruh mikrofauna. Semakin dalam suatu perairan maka CCD (Calsium carbonate compensation depth) akan bertambah. CCD adalah keadaan dimana kandungan kalsium karbonat terlarut dalam air setara dengan persediaan yang ada (BRASIER 1980). Tingginya CCD ini berdampak pada kelarutan cangkang gampingan, sehingga perairan dalam cenderung didominasi oleh jenis-jenis non-gampingan. Jenis-jenis yang biasa ditemukan di zona abisal adalah foraminifera bercangkang agglutinin. Cangkang ini biasanya terdiri dari partikel gampingan halus dengan tekstur yang tampak seperti gula. Interior bagian dalam biasanya kompleks. Dari hasil penelitian CORLISS (1979) diketahui bahwa sebaran foraminifera bentos di Lautan Hindia bagian Tenggara hanya terdiri dari 12 sampai 25 jenis. Sebagian besar jenis-jenis tersebut hanya muncul sebanyak 10% dari seluruh stasiun. CORLISS & CHEN (1988) Dalam penelitian di Laut Norwegia menemukan 9 tipe morfologi yang berubah dengan bertambahnya kedalaman. Tipe morfologi (morphotype) ini berhubungan erat dengan habitat mikro jenis yang bersangkutan. Kesembilan tipe morfologi ini hanya mewakili foraminifera yang bercangkang gampingan, sedangkan tipe morfologi jenis agglutinin hingga saat ini belum dapat digunakan sebagai standar. Dalam penelitian lain CORLISS (1985) menyimpulkan bahwa secara garis besar terdapat dua cara hidup foraminifera bentos di laut dalam, yakni sebagai epifauna (melekat/merayap di Paparan karbonat dan terumbu karang Menurut HAQ & BOERSMA (1984) terumbu modern terbentuk diantara 30° lintang Utara dan 30° lintang Selatan, yakni daerah perairan hangat yang memiliki penetrasi cahay a dan kandungan kalsium karbonat tinggi. Perairan inipun tercirikan dengan kadar salinitas yang tinggi seta merupakan zona turbulen. Foraminifera terdapat di lingkungan ini sebagai biota penempel seperti Homotrema dan Miniacina, dan sebagai epifauna yang hidup dalam kerangka terumbu seperti Calcarina, Amphistegina dan Marginophora. BRASIER (1975), HALLOCK (1984), HELFINALIS & ROSITASARI (1988), ROSITASARI (1988) dan ROSITASARI (1989) masing-masing telah meneliti lingkungan terumbu sebagai salah satu habitat bagi foraminifera bentik. Marga-marga yang beradaptasi dengan baik di lingkungan ini adalah Marginophora, Amphistegina, Peneroplis, Operculina, Archaias, Rotorbinella, Borelis, Calcarina dan Baculogypsina. Laut Dalam Yang biasa disebut sebagai laut dalam adalah bagian lereng benua (continental slope) hingga abisal. Litologi dan struktur dari lereng benua ini cukup kompleks dan bervariasi (HAQ 37 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id atas sedimen) dan sebagai infauna (hidup di dalam badan sedimen). Chilostomella olina, Globulimina affinis dan Melonis barleanum merupakan jenis bentos laut dalam yang hidup secara infauna Cibicidoides kullenbergi, Hoeglundina elegans, Oridorsalis tener dan Planulina wuellerstorfi merupakan jenis mikrobentosyangcenderungbersifat epifauna, walaupun mampu hidup secara infauna pada kedalaman terbatas. HABITAT MIKRO Habitat mikro adalah lokasi tertentu dimana biota dari taxa tertentu memiliki kecenderungan untuk hidup pada suatu lingkungan. Salah satu contoh dari habitat mikro adalah permukaan sedimen dan permukaan rangka karang bagi biota epifauna, badan sedimen bagi biota infauna, helai daun atau batang algae dan lamun bagi biota epifauna 38 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id 39 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id 40 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Habitat mikro ini erat hubungannya dengan kajian sebaran mikro seperti pada penelitianpenelitian yang telah dilakukan oleh HOHENERGER et al. (1983), HOHENEGER et al (1985), LEE et al (1969) dan CORLISS (1985). CORLISS (1985) melakukan pengamatan terhadap distribusi mikro pada foraminifera bentik yang hidup di laut dalam, yakni pada sedimen hingga kedalaman 15 cm. Data sebaran memperlihatkan terdapatnya dua kelompok biota yang memiliki cara hidup berbeda yakni epifauna dan infauna. Kedua kelompok ini memperlihatkan perbedaan pula pada morfologi cangakangnya, dimana CORLISS (1985) menyebutkan sebagai tipe morfologi (morphotype). Ditemukannya biota yang mampu hidup secara infauna membuktikan bahwa penyebaran foraminifera tertentu tidak hanya dipengaruhi secara langsung oleh kondisi dasar perairan, tapi juga oleh kondisi fisikokimia sedimen. Penelitian mengenai pemilihan habitat mikro secara vertikal ke dalam badan sedimen pada foraminifera juga dilakukan oleh BARMAWIDJAJA et al. (1992) di Laut Adriatik. Penggambaran secara skematik sebaran mikro dari foraminifera bentik di Laut Adriatik sebelah Utara dapat dilihat pada gambar 3,4 dan 5. Dari penggambaran tersebut dapat dilihat bahwa Bolivina seminuda, Stainfothia fusiformis, Hopkinsia pacifica kemampuan untuk hidup secara infaunal. DAFTAR PUSTAKA ALVE. E. 1990. Variations in estuarine foraminiferal biofacies with diminishing oxygen conditions in Drammesfyard, SE Norway. Paleoeco., Biostra., Paleoocean, and Taxon. of agglutinated foraminifera: 661-694. ALVE. E. and J. NAGY 1990. Main features of foraminiferal distribution reflecting estuarine hydrography in Oslo Fyord. Mar. Micropal 16 : 181-206. BARMAWIDJAJA, D.M., F.J. JORISSEN., S. PUSKARIC and G.J. VAN DER ZWAAN 1992. Mikrohabitat selection by benthic foraminifera in the northern adriatic sea. Jour. For am. Res. 22 (4): 297-317. BRASIER, M.D. 1980. Microfossil George Allen & Unwin. Sidney: 380 pp. BRASIER, M.D. 1975. Morphology and habitat of living benthonic foraminiferids from caribean carbonate environments. Revista Espanola de Micropaleontologia VII (3) p: 567-578. CORLISS, B.H. and C. CHEN 1988. Morphotype patterns of Norwegian Sea deepsea benthic foraminifera and ecological implications. Geology 16: 716-719. CORLISS, B.H. 1985.Microhabitat of benthic foraminifera within deep-sea sediments. Nature 314 (6010): 435-438. CORLISS, B.H. 1979. Recent deep-sea benthonic foraminiferal distributions in the Southeast Indian Ocean: interfered bottom-water routes and ecologycal implications. Marine Geology 31 : 115-138. HALLOCK, P. 1984. Distribution of selected species of living algal symbiont-bearing foraminifera on two Pacific coral reef. Jour Foram. Res. 14 (4): 250-261. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepadarekan-rekan seksi Kartografi yang telah membantu dalam scanning gambar-gambar yang dibutuhkan untuk penulisan ini. 41 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id HAQ, B.U. and A. BOERSMA1984. Introduc- LEE, J.J.,W.A. MULLER, RJ.STONE, M.E. McENERY and W. ZUCKER 1969. Standing crop of foraminifera in sublitoral epiphytic communities of a Long Island salt marsh. Int. Jour, on Life in Oce. and Coas. Waters 4 (1): 44-61. ROSITASARI. R. 1988. Calcarina sebagai genus indikator pada lingkungan terumbu karang resen.(B. SITUMORANG ed.) Pros. Simp. IAGI XVII: 79-85. ROSITASARI. R. 1989. Beberapa karakteristik komunitas foraminifera resen di perairan terumbu karang Pulau Genteng Besar, Kepulauan Seribu, Jakarta. Makalah pada acara lustrum VII Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta.. WANG, P and J.W. MURRAY 1983. The use of foraminifera as indicators of tidal effects in estuarine deposits. Mar. Geology 51: 239 -250. tion to marine micropaleontologi. Elsevier Biomedical, Oxford : 376 pp. HELFINALIS dan R. ROSITASARI 1988. Foraminifera di lingkungan terumbu karang Pulau Pari. Teluk Jakarta. (M.K. MOOSA, D.P.PRASENO dan SUKARNO eds.). Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta: 119-124. HOHENEGER. J., W.E. PILLER and C. BAAL 1989. Reasons for spatial microdistributions of foraminifers in an intertidal pool (Northern Adriatic Sea). Marine Ecology 10(1): 43-78. HOHENEGER, J., W.E.PILLER and C. BAAL 1993. Horizontal and spatial microdistribution of foraminifers in the shallow subtidal gulf of Trieste, Northern Adriatic Sea. Jour. Foram. Res. 23(2): 79-101. JORISSEN, FJ. 1987. The distribution of benthic foraminifera in the Adriatic Sea. Marine Micropaleontology 12:21-48. 42 Oseana, Volume XXII no. 4, 1997