BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Struktur Sosial Istilah struktur sosial

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Struktur Sosial
Istilah struktur sosial sebagaimana ungkapan Redcliffe Brown adalah
sebagai pengaturan kontinu atas orang-orang dalam kaitan hubungan yang
ditentukan atau dikendalikan oleh institusi, yakni norma atau pola perilaku yang
dimapankan secara sosial10. Dalam memberikan pengertiannya Redcliffe Brown11
mengemukakan bahwa struktur sosial adalah suatu rangkaian kompleks dari
relasi-relasi sosial yang berwujud dalam suatu masyarakat.
Teori lain telah melakukan konseptualisasi tentang struktur sosial secara
berbeda, seperti Evans Pritchard mengemukakan bahwa struktur sosial adalah
konfigurasi kelompok-kelompok yang mantap; dan menurut Talcot Parsons, suatu
sistem harapan atau ekspektasi normatif (normative expectations); Leach mengatakannya sebagai seperangkat norma atau aturan ideal; sedangkan Levi-Strauss
berpendapat bahwa struktur sosial adalah model12. H. P. Fairchild (1975)
mengemukakan bahwa struktur sosial diartikan sebagai pola yang mapan dari
organisasi internal setiap kelompok sosial.
Struktur sosial sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Eratnya dua
fenomena ini digambarkan J. B. A. F. Mayor Polak (1966) lewat pendapat bahwa
antara kebudayaan dan struktur dalam suatu masyarakat terjadi keadaan saling
mendukung dan membenarkan. Ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan dalam
10
Kaplan dan Manner. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000 Hal.139
Garna, Judistira K. Ilmu-Ilmu Sosial: Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Universitas Padjadjaran.
1996 Hal :150
12
Kaplan Dan Manner. loc. cit. hal 139
11
17
kebudayaan juga akan diikuti oleh perubahan dalam struktur masyarakat,
demikian pula sebaliknya.
Beberapa
strukturalis-sosial
berupaya
menjelaskan
struktur
kemasyarakatan dengan merumuskan beberapa kaidah tertentu yang menjadi
landasan organisasi. Redcliffe Brown mengajukan beberapa prinsip struktural
untuk menyoroti beberapa hal dalam sistem kekerabatan adalah kaidah
ekuivalensi saudara sekandung, kaidah solidaritas garis keturunan, dan seterusnya,
Kesemuanya tersebut adalah suatu sistem yang berlaku dalam masyarakat.
Pengertian konsep struktur sosial dapat bersifat kompleks dan abstrak
sekali. Namun, dapat pula lebih bersifat sederhana dan konkrit. Mengingat sasaran
pembahasan tentang struktur sosial dalam penelitian ini adalah masyarakat desa
yang relatif bersahaja, maka konsep yang akan digunakan sebagai instrumen
pembahasan adalah yang termasuk bersahaja pula. Betapapun beragamnya
pandangan tentang struktur sosial ini, banyak diantara yang disebut sebagai teori
struktur sosial dalam kenyataannya mempermasalahkan cara yang bermanfaat
dalam membeda-bedakan serta mengkonseptualisasikan berbagai bagian dari
suatu sistem sosial dan hubungan antara bagian-bagian itu. Ide yang mendasar
dalam struktur sosial sebagaimana dikemukakan oleh Beattie13 adalah bagianbagian, atau unsur-unsur dalam masyarakat itu yang tersusun secara teratur guna
membentuk suatu kesatuan yang sistematik.
13
Garna, Judistira K.op. cit. hal :150
18
Garna14 mengemukakan bahwa konsep struktur sosial merupakan dasar
atau teras bagi pendekatan struktural-fungsional, yang diajukan oleh para
antropolog Inggris. Aliran struktural fungsional dalam antropologi yang
dikembangkan oleh A.R. Radcliffe Brown, mengembangkan aliran ini dengan pra
anggapan bahwa masyarakat analogi dengan organisme yang bekerja secara
mekanik. Menurut Radcliffe Brown15, bahwa masyarakat itu semacam organisme
yang bagian-bagiannya tidak hanya saling berhubungan melainkan juga
memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas dan kelestarian hidup organisme
itu. Dengan demikian masyarakat itu mempunyai syarat-syarat fungsional tertentu
untuk memungkinkan eksistensinya. Syarat-syarat tersebut adalah:
1) Jaminan adanya hubungan yang memadai dengan lingkungan dan adanya
rekruitmen seksual;
2) Diferensiasi peran dan pemberian peran;
3) Komunikasi;
4) Perangkat tujuan yang jelas dan disangga bersama;
5) Pengaturan normatif atas sarana-sarana;
6) Pengaturan ungkapan efektif;
7) Sosialisasi; dan
8) Kontrol efektif atas perilaku disruptif.
Menurut
Koentjaraningrat16
bahwa
Radcliffe
Brown
dalam
mengembangkan konsep-konsep pendekatan struktural fungsionalnya banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Emile Durkheim dan Mauss. Salah satu konsep yang
14
Garna, Judistira K. loc. Cit. hal 150
Kaplan dan Manner. op.cit. hal. 77-78
16
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi Jilid I dan II. Jakarta: UI-Press. 1987 hal. 172
15
19
dikembangkan oleh Durkheim tentang struktural fungsionalisme yang cukup
mewarnai pemikiran Brown adalah dasar berpikir analogi organik, yang melihat
masyarakat sebagai satu kesatuan orgamisme. Durkheim melihat masyarakat
sebagai keseluruhan organisme yang memiliki realitas tersendiri, artinya
keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan dan fungsi-fungsi tertentu
yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar keadaan
tetap normal. Apabila fungsi itu tidak dipenuhi maka akan berkembang keadaan
patologis. Konsep Mauss yang mempengaruhi Radcliffe Brown salah satunya
adalah konsep tentang morfologi sosial dalam integrasi masyarakat. Mauss dan
Beuchat mengembangkan konsep ini berdasarkan deskripsi atas gejala-gejala
pengelompokkan dan pola aktivitas sosial yang menyertainya dalam masyarkat
Eskimo dalam rangka mengikuti siklus dan ritme alam. Pandangan akhir mereka
tentang morfologi sosial (pembentukan kelompok dan pola-pola aktivitas secara
kebudyaan dalam konteks tuntutan lingkungan alam), adalah pasangan antara
alam dan kebudayaan ternyata tidak selamanya berada dalam ritme yang
konsisten. Tidak selamanya perubahan dalam usur-unsur alam atau unsur-unsur
yang berkaitan dengan alam mengakibatkan perubahan yang sama pada bentukbentuk pengelompokkan (morfologi sosial) serta pola-pola aktivitasnya17.
Konsep Durkheim dan Mauss yang lain yang mempengaruhi pemikiran
Brown adalah konsep tentang klasifikasi primitif yang menyoroti cara-cara serta
prosedur manusia menggolong-golongkan segala hal dan kejadian serta bendabenda ke dalam kategori tertentu dan logika yang melatarbelakanginya. Konsep
17
Martodirdjo, Haryo S. Orang Tugutil Di Halmahera Struktur Dan Dinamika Sosial Masyarakat
Penghuni Hutan. Bandung: Disertasi: Program Pascasarjana Unpad. 1991 hal. 41
20
ini didasari oleh sebuah logika berpikir bahwa kondisi atau kategori-kategori
sosial, dalam konteks kehidupan masyarakat sehubungan dengan adanya
kecenderungan pembawaan manusia untuk selalu membedakan memisahkan
mengelompokkan dan kemudian menginterpretasikan. Lebih lanjut Martodirdjo 18
mengungkapkan bahwa berdasarkan beberapa konsep dasar dari Durkheim dan
Mauss itulah Brown mengembangkan konsep-konsep dan teori-teori struktur
sosialnya yang diwarnai oleh prinsip fungsional. Prinsip ini memandang bahwa
tiap-tiap bagian atau elemen kehidupan masyarakat ditempatkan berada dalam
suatu keseluruhan yang terintegrasi.
Dalam struktural fungsionalisme ada kaidah yang bersifat mendasar bagi
suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodologis bahwa
kita harus mengekplorasi ciri sistemik budaya, artinya harus mengetahui
bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu
masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat. Karena itu, memahami
struktur sosial suatu masyarakat menjadi sangat penting, sebab masyarakat tidak
bisa lepas dari keberadaan strukturnya sebagai jaringan kerjasama anatar individu
yang terorganisasikan secara teratur dan idividu-individu tersebut sadar bahwa
mereka adalah suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang jelas19.
Struktur sosial memang bersifat abstrak, karena hal tersebut merupakan
suatu gagasan atau bentuk pikiran-pikiran dari agregat individu dalam suatu
kesatuan sosial. Konsepsi atau pemikiran-pemikiran tersebut terbentuk atas dasar
18
19
Martodirdjo, Haryo S. Op. cit. hal. 42
Linton, R. The Study of Man. New York: Century Company. 1936 hal. 118
21
kepentingan bersama anggota masyarakat yang pada gilirannya terorganisir
sebagai kesadaran kolektif. Mekanisme kerja dari struktur sosial hanya dapat
diabstrasikan berdasarkan kemampuan logika melalui hubungan sebab akibat dari
aspek-aspek nyata yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Martodirdjo20
menyatakan bahwa, struktur sosial itu bersifat abstrak, tetapi keberadaannya
selalu dirasakan langsung atau tidak langsung oleh warga masyarakat yang
bersangkutan, karena struktur sosial merupakan faktor pengarah dan pengendali
seluruh kehidupan sutu masyarakat. Sepadan dengan itu, Spencer
21
mengatakan
bahwa struktur sosial suatu masyarakat dibangun untuk memungkinkan anggotaanggotanya memenuhi kebutuhan individualnya, sebab masyarakat dibentuk
sebagai hasil persetujuan kontraktual yang dirembuk oleh orang-orang yang
mereka
masing-masing
berusaha
mengejar
kebutuhannya
sendiri
serta
kepentingannya sendiri secara rasional. Masyarakat menjadi lebih memikirkan
kebutuhan individu masing-masing.
Menurut Garna22, dasar penting dalam struktur sosial adalah relasi-relasi
sosial yang apabila relasi-relasi tersebut tidak dilakukan maka masyarakat itu
tidak akan berwujud lagi. Lebih lanjut Garna menyatakan bahwa struktur sosial
juga dapat ditinjau dari segi status, peranan, nilai-nilai, norma-norma dan institusi
sosial dalam suatu sistem relasi. Brown23 menyatakan bahwa struktur sosial
adalah keseluruhan relasi sosial yang terwujud dalam suatu masyarakat. Brown
20
Martodirdjo, Haryo S. op. cit. hal. 23
Dalam Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern Jilid I dan II. Alih Bahasa:
Robert M. Z. Lawang. Jakarta: Gramedia. 1986 hal 56
22
Garna, Judistira K. Op. cit. hal. 151
23
Dalam Baal, J. Van. Sejarah Pertumbuhan Antropologi Budaya Jilid I. Alih Bahasa: J. Piry,
Jakarta: Gramedia. 1988 hal. 91
21
22
menganalogikan struktur sosial dengan organisme biologis yang memiliki
kesatuan yang sungguh ada yang dipersatukan oleh seperangkat relasi. Masingmasing dari kesatuan itu mempunyai fungsi membantu agar keseluruhannya tetap
terpelihara sebagaimana adanya, seperti alat-alat tubuh yang berfungsi turut
memelihara tubuh. Dalam perkembangan lebih lanjut Brown menamakan struktur
sosial :
“an actually exsisting concrete reality to be directly observerd” yang
terdiri dari: (1) all social relations of person to person, (2) the
differentions of individual and classes by their social role24.
Masyarakat adalah suatu kesatuan yang fungsional. Karena itu Fortes
memandang struktur sosial sebagai jaringan hubungan antara bagin-bagian dalam
suatu masyarakat yang memelihara azas-azasnya untuk jangka waktu yang
sekontinyu mungkin, di dalamnya terjadi dinamika kehidupan individu yang
konkret dari satu angkatan ke angkatan berikutnya25. Selain itu, Bouman26
mengatakan struktur sosial merupakan jaringan abstrak yang mengatur hubungan
orang dengan orang lain dalam kehidupan masyarakat dalam suatu sistem sosial
tertentu. Soekanto27 mengemukakan bahwa struktur sosial adalah suatu jaringan
dari pada unsur-unsur yang pokok dalam suatu masyarakat. Unsur-unsur pokok
tersebut adalah kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial
24
Baal, J. Van. Op. cit. hal. 92
Koentjaraningrat. Op. cit. hal. 198
26
Bouman, B.J. Sosiologi, Penegertian dan Masalah. Yogyakarta: Kanisius. 1982 hal 36
27
Soekanto, Soerjono. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press. 1987
hal 230
25
23
serta wewenang dan kekuasaan. Di dalam tiap-tiap masyarakat ada cara berbuat,
merasa dan berpikir yang hidup dalam kesadaran anggota masyarakat itu,
sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dikenal suatu sistem umum dari aksi
manusia yang mencakup empat sub sistem, yaitu organisme, kepribadian, sistem
sosial dan kebudayaan. Subsistem tersebut merupakan perangkat mekanisme yang
saling berkaitan yang mengendalikan aksi manusia, karena itu, menurut Soekanto
bahwa kebutuhan fisiologi, motivasi psikologis, norma-norma sosial dan nilainilai budaya membimbing dan mengendalikan aksi manusia.
Dalam upaya memahami struktur sosial suatu masyarakat, maka pengungkapan gejala organisasi sosial merupakan salah satu langka yang relevan. Antara
organisasi sosial dan struktur sosial terdapat hubungan pengertian dan hubungan
substansial yang sangat erat, keduanya saling menjelaskan dan saling melengkapi.
Struktur merupakan aspek pokok yang statis, organisasi sosial merupakan aspek
yang dinamis dalam struktur sosial.
Firth28, menjelaskan hubungan anatara
struktur sosial dan organisasi sosial adalah sebagai berikut:
… struktur sosial merupakan kontinuitas, perangkat hubungan yang
mengukuhkan harapan (ekspektasi), mensahkan pengalaman masa
sebelumnya, dalam kaitan dengan pengalaman serupa dalam masa berikut.
… Organisasi sosial merupakan penataan yang sistematis terhadap
hubungan sosial melalui pilihan dan putusan …
. Bentuk-bentuk
struktural memberikan preseden dan membatasi alternatif yang mungkin;
bidang yang memungkinkan pelaksaan sesuatu yang kelihatan sebagai
pilihan bebas seringkali sangat sempit. Akan tetapi kemungkinan adanya
alternatiflah yang menimbulkan variabilitas. Secara sadar atau kurang
sadar orang menjatuhkan pilihan arah yang hendak ditempuhnya. Dan
28
Kaplan dan Manner. op. cit. hal.142
24
pilihan itu akan mempengaruhi pemihakkan strukturalnya di masa depan.
Kaidah kontinuitas masyarakat hendaknya dicari dalam struktur sosial,
sedang pada segi organisasi sosial ini memungkinkan adanya evaluasi
situasi serta campur tangan individual.
Hal yang paling esensial dalam organisasi sosial adalah proses pembentukan kelompok sosial serta sistem dan fungsi interelasi yang terkandung di
dalamnya. Organisasi sosial adalah penyusunan dari aktivitas dari dua orang atau
lebih yang disesuaikan untuk menghasilkan kesatuan aktivitas yang merupakan
satu kerjasama. Garna29 menjabarkan organisasi sosial sebagai:
1) Suatu tindakan yang tertata melalui aktivitas sosial, tindakan itu terkait
satu sama lainnya;
2) Susunan kerja suatu masyarakat atau dapat dikatan proses penyusunan
suatu tindakan dan hubungannya menurut tujuan sosial yang dapat
diterima oleh umum atau masyarakat; dan
3) Aspek kerjasama yang mendasar yang menggerakkan tingkah laku
individu pada tujuan sosial dan ekonomi tertentu.
Eksperimen tentang pembentukan kelompok ataupun sejarah pembentukan
kelompok-kelompok sendiri menunjukkan, bahwa perasaan untuk masuk
golongan bersama dan relasi antara peserta suatu kebersamaan yang lebih dari
kebetulan tidak dapat dielakkan menjadi interelasi yang teratur antar individu
dalam kebersamaan itu. Kebersamaan itu menumbuhkan dirinya menjadi suatu
kelompok sosial dengan suatu organisasi dan dengan sendirinya menjadi sutu
29
Garna, Judistira K. Op. cit. hal. 149
25
struktur. Menurut Alisjahbana
individu menjadi kelakuan
30
, organisasi sosial yang mengubah kelakuan
sosial yang tidak saja membatasi, mendesak dan
memaksa tetapi juga mengajarkan, mendorong dan membentuk kelakuan
anggotanya. Soekanto31 menyatakan bahwa setiap kelompok sosial biasanya
memiliki pola-pola kelakuan tertentu untuk memenuhi kebutuhannya. Kalau tidak,
maka tidak mungkin manusia dapat bertahan dalam kehidupannya. Apabila polapola tersebut kurang serasi, maka kelompok sosial akan menghadapi masalah
disorganisasi
yang mengakibatkan ketimpangan struktur sosial. Pendapat
Soekanto tersebut tampaknya semakin memperkuat tesis Kohen yang menyatakan
bahwa struktur sosial merupakan cerminan dari pola-pola aksi dan interelasi sosial
anggotanya dalam berbagai bidang kehidupan.
Hasil analisa Levis Straus mengenai pola-pola umum tingkah laku suatu
masyarakat menunjukkan bahwa sistem pertukaran merupakan unsur dasar
terbentuknya struktur sosial. Dalam pertukaran ini setiap anggota masyarakat
saling memberi dan menerima sesuatu yang berguna bagi mereka. Tujuan
pertukaran itu menurut Levis Straus bukanlah semata-mata memenuhi kebutuhan
individualnya, tetapi pertukaran itu mengandung makna ungkapan komitmen
moral individu terhadap kelompoknya32. Sejalan dengan itu, Dalton menyatakan
bahwa dalam studi antropologi ekonomi, pertukaran dilihat sebagai gejala
kebudayaan yang keberadaanya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi
ekonomi, tetapi juga agama, teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial33.
30
Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal 107
Soekanto, Soerjono. op. cit. hal 231
32
Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 57-58
33
Sairin, S, dkk. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002 hal 39
31
26
Pertukaran timbal-balik dalam kehidupan suatu masyarakat dapat
berfungsi efektif mengintensifkan hubungan sosial yang ada, sedangkan hubungan
sosial menjadi landasan penting bagi keberlangsungan pertukaran sumber daya.
Menurut Malinowski34 sistem tukar-menukar kewajiban dan benda dalam banyak
lapangan kehidupan masyarakat, melalui pertukaran tenaga dan benda dalam
lapangan produksi dan ekonomi, baik pertukaran mas kawin antara dua pihak
keluarga pada waktu perkawinan, maupun penukaran kewajiban pada waktu
upacara-upacara keagamaan merupakan daya pengikat dan daya gerak dari
masyarakat, demikian pula penukaran dalam melaksanakan pekerjaan seseorang
atau suatu keluarga.
Pada umumnya pertukaran timbal-balik mengambil bentuk yang bersifat
umum dan seimbang. Morais35 mengatakan bahwa bentuk sumber daya yang
selalu dipertukarkan dapat berupa uang, barang dan jasa, waktu keahlian atau
dukungan emosional. Berkaitan dengan tukar-menukar sumber daya dan
hubungan sosial, dalam kehidupan masyarakat tradisional dikenal tiga macam
kewajiban yaitu kewajiban memberi, kewajiban menerima dan kewajiban
membayar kembali. Ketiga macam kewajiban tersebut dilaksanakan berdasarkan
norma-norma dan sanksi sosial budaya yang telah disepakati bersama36.
Rangkaian pola-pola berpikir dan bertingkah laku suatu masyarakat seperti yang
telah diuraikan di atas, merupakan suatu jaringan hubungan timbal-balik yang
telah terinternalisasi dalam suatu struktur sosial.
34
Dalam Koentjaraningrat. Op. cit. hal. 172
Kusnadi. Nelayan: Strategi Adaptasi Dan Jaringan Sosial. Bandung: HUP. 2000 hal. 23
36
Mauss, Marcel. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. 1992 hal 56
35
27
2.2. Konsep Hubungan Sosial
Max Weber37 mengemukakan bahwa pengertian hubungan sosial
dipergunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dalam mana dua orang atau
lebih terlibat dalam suatu proses perilaku. Proses perilaku tersebut terjadi
berdasarkan tingkah laku para pihak yang masing-masing memperhitungkan
perilaku pihak lain dengan cara yang mengandung arti bagi masing-masing.
Dengan demikian, maka hubungan sosial berisikan kemungkinan bahwa para
pribadi yang terlihat dalamnya akan berprilaku dengan cara yang mengandung arti
serta ditetapkan terlebih dahulu.
Suatu hubungan sosial mempunyai derajat keteraturan yang berbeda-beda
artinya, mungkin terdapat pengulangan perilaku yang terkait dengan arti subyektifnya sehingga memang diharapkan. Di lain pihak, hubungan sosial berisi tentang
kemungkinan menyangkut pemenuhan suatu kebutuhan, pengelakan terhadap
kewajiban, ketegasan agar mentaati perjanjian dan seterusnya. Menurut Weber38
bahwa batasan hubungan sosial tidak berisikan informasi mengenai taraf
solidaritas (atau gejala yang merupakan lawannya) yang menjadi ciri pihak-pihak
yang terlibat dalam perilaku tertentu. H.P. Secher39 berpendapat bahwa:
“it is always a case, if used in this context, of the meaning imputed to
those individuals involved in a given concrete situation, either on the
average or in a theoretically constructed pure type-but it is never a case of
normatively “correct” or “metaphysically” “true” meaning”.
Secara obyektif dapatlah dikatakan bahwa suatu hubungan hanya ada
kalau dalam pengharapan-pengharapan terhadap hubungan tersebut ada persama37
Dalam Soekanto, Soerjono. Max Weber: Konsep-Konsep Dasar Dalam Sosiologi, Seri
Pengenalan Sosiologi I, Jakarta: CV. Rajawali. 1985 hal. 53
38
Soekanto, Soerjono. Op. cit hal. 54
39
Soekanto, Soerjono. loc. cit hal. 54
28
an pengartian mengenai sifat hubungan tersebut, misalnya sikap aktual seorang
anak terhadap ayahnya mungkin adalah sesuai dengan apa yang diharapkan sang
ayah. Suatu hubungan sosial dapat disepakati atas dasar persetujuan mutual.
Artinya, para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan membuat perjanjian
mengenai perilaku di masa depan. Setiap pihak dalam keadaan normal dan selama
dia berprilaku rasional, akan dianuti oleh pihak lain dengan siapa dia berhubungan
dan akan menyesuaikan diri dengan pemahamannya terhadap kesepakatan yang
telah ada. Dengan demikian maka untuk sebagian perilaku berorientasi pada
tujuan dan dia ingin berpegang pada orientasi tersebut.
Selanjutnya,
Soekanto40
mengemukakan
bahwa
hubungan
sosial
mengandung faktor-faktor komunalisasi dan agregasi. Komunalisasi hubungan
sosial terjadi, apabila proses sosial itu didasarkan pada rasa solidaritas yang
merupakan hasil keterikatan secara emosional atau tradisional. Agregasi
hubungan sosial merupakan hasil rekonsiliasi dan keseimbangan kepentingankepentingan yang dimotivasikan oleh penilaian secara rasional atau kebiasaan.
Kebiasaan dalam suatu masyarakat menurut pandangan ini adalah hasil
dari rekonsiliasi dan keseimbangan atas kepentingan-kepentingan yang ada dalam
masyarakat tersebut. Dalam hal demikian, maka perilaku agregatif berorientasi
pada nilai, atau pada tujuan yang masing-masing dilandaskan pada kepercayaan
terhadap keterikatan yang harus dipatuhi serta harapan bahwa pihak lain akan
menyesuaikan diri. Komunalisasi yang terjadi dalam hubungan sosial didasarkan
pada setiap bentuk hubungan emosional, efektif maupun tradisional. Tipe hubung-
40
Soekanto, Soerjono. loc. cit. hal. 61
29
an ini lazimnya dijumpai pada hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Jadi,
kebanyakan hubungan sosial mengandung faktor-faktor komunal dan agregatif.
Bentuk-bentuk hubungan agregatif yang paling murni menurut Soekanto dapat
ditemukan pada:
1. Kompromi antara kepentingan yang bertentangan, namun bersifat komplementer;
2. Perserikatan sukarela yang murni yang didasarkan pada kepentingan diri yang
tujuannya adalah meningkatkan kepentingan material tertentu;
3. Perserikatan sukarela yang didasarkan pada nilai-nilai ideologi yang mutlak.
Komuniti bahasa misalnya, timbul sebagai akibat persamaan tradisi
melalui keluarga dan lingkungan sosial, mempermudah pemahaman mutual dan
mendorong kearah terjadinya derajat paling tinggi dari hubungan sosial. Bahasa
sendiri tidak cukup untuk menimbulkan komunalisasi. Fungsinya hanya mempermudah komunikasi sehingga menimbulkan peningkatan taraf agregatif. Hal ini
terjadi dengan adanya kontak antar individu, bukan karena mempergunakan
bahasa yang sama, akan tetapi oleh karena terjadi penyerasian antara kepentingan
yang berbeda. Menurut Weber41 bahwa:
“Is is only the emergence of conscious differences vis-a-vis other persons,
that the fact of two individuals speaking a different language and in this
respect sharing a common situation can lead them to experience a feeling
of community and create modes of social organization that are consciously
based on the sharing of a common language”.
41
Dalam Soekanto, Soerjono. Op. cit. hal. 64
30
Hubungan sosial adalah identik dengan interaksi sosial. Sebagaimana
dikemukakan oleh Syani42 bahwa interaksi sosial adalah identik dengan hubungan
sosial, karena dengan adanya hubungan tersebut berarti ia sudah sekaligus sudah
merupakan interaksi sosial. Dikatakan demikian karena dalam interaksi sosial
terdapat saling hubungan antara satu sama lainnya dengan saling memberi dan
menerima, yang akan berwujud sebagai suatu kerja sama atau mungkin bisa
terjadi suatu perselisihan. Syarat terjadinya hubungan sosial yang baik adalah
apabila komponen-komponen dalam suatu masyarakat tersebut dapat berinteraksi
dengan baik, dan interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya akitivitasaktivitas sosial, karena merupakan hubungan dinamis yang menyangkut hubungan
antara individu dengan individu maupun individu dengan kelompok. Interaksi
sosial dapat juga disebut sebagai bentuk umum dari proses sosial.
Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktifitas sosial karena
merupakan proses dinamis yang menyangkut hubungan individu dengan individu
maupun individu dengan kelompok. Interaksi sosial dapat juga disebut sebagai
bentuk dari proses-proses sosial. Sehubungan dengan hal itu, Syani43
mengemukakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis
menyangkut hubungan antara orang perorang, antar kelompok, dan antara orang
dengan kelompok. Dalam interaksi sosial tersebut terdapat berbagai tantangan
dimana orang-orang dapat menguji kemampuan dalam memenuhi berbagai
kepentingan, baik kepentingan kelompok maupun kepentingan perorangan.
42
43
Syani. Abdul. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial, Jakarta: Fajar Agung. 1987 hal. 31
Syani. Abdul. Op. cit. hal. 37
31
Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupan sehari-hari terlibat
langsung dengan berbagai kegiatan interaksi. Mereka melakukan interaksi sosial
antara individu dengan individu lain, maupun anatara individu dengan kelompok
dalam upaya menciptakan hubungan yang baik diantara mereka. Hubungan sosial
dipergunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dalam dua orang atau lebih
terlibat dalam suatu proses perilaku. Proses perilaku tersebut terjadi berdasarkan
tingkah laku para pihak yang masing-masing memperhitungkan perilaku pihak
lain dengan cara yang mengandung arti bagi masing-masing.
Dalam penelitian ini, yang akan dibahas adalah tentang pola hubungan
antara Pakua lo Bohito dan masayarakat umum dalam kehidupan pada masyarakat
Desa Momala di Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo. Banyak teori
sosiologi yang membahas tentang manusia dan masyarakat yang satu sama
lainnya berbeda dalam pandangannya, antaranya adalah “interaksi-simbolis” yang
dikembangkan oleh George Herbert Mead. George Herbert Mead adalah seorang
filosof Amerika awal abad ke sembilan belas yang sering dianggap sebagai
sesepuh paling berpengaruh dari perspektif ini. Mead mengembangkan suatu
kerangka yang menekankan arti penting perilaku terbuka (overt) atau obyektif,
dan tertutup (covert) atau subyektif. Menurut Mead orang tak hanya menyadari
orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian orang
tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga
berinteraksi dengan dirinya sendiri44. Bagi Mead, subject matter sosiologi adalah
44
Paloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000 Hal. 255
32
interaksi para aktor yang terorganisir dan terpola di dalam berbagai situasi-situasi
sosial yang saling berinteraksi antara satu dengan lainnya.
Di zaman kejayaan aliran fungsional tekanan yang diberikan dalam hal
kelompok sosial (bukan individual) dan pada realitas obyektif (bukan subyektif).
Hanya Herbert Blumer seorang murid Mead yang tetap menghidupkan konsep
yang
dikembangkan
oleh
Mead.
Blumer45
mengemukakan
bahwa
interaksionisme-simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasar makna-makna yang ada pada
sesuatu itu bagi mereka
2. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”
3. Makna-makna tersebut
disempurnakan disaat
proses interaksi sosial
berlangsung
Selanjutnya Blumer46 mengemukakan bahwa interaksionisme-simbolik
mengandung sejumlah ide-ide dasar yang diringkas oleh Paloma sebagai berikut:
1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut
saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang
dikenal sebagai oraganisasi atau struktur sosial.
2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan
dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis
mencakup stimulus respon yang sederhana. Interaksi simbolis
mencakup “penafsiran tindakan”.
3. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik; makna lebih
merupakan produk interaksi simbolis. Obyek-obyek dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang luas: (a) obyek fisik,
obyek sosial, dan (c) obyek abstrak berupa nilai-nilai, hak dan
peraturan.
4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat
dirinya sebagai obyek. Pandangan terhadap diri sendiri ini,
45
46
Paloma, Margaret M. loc. cit. hal. 258
Paloma, Margaret M. loc. cit. hal. 264-266
33
sebagaimana dengan semua obyek, lahir di saat proses interaksi
simbolis.
5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh
manusia itu sendiri. Blumer menulis, pada dasarnya tindakan manusia
terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan
melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka
menafsirkan hal tersebut. Hal-hal yang dipertimbangkan itu mencakup
berbagai masalah seperti keinginan dan kemauan, tujuan dan sarana
yang tersedia untuk mencapainya, serta tindakan yang diharapkan dari
orang lain.
6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggotaanggota kelompok; hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang
dibatasi sebagai, “organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan
berbagai manusia”.
Jadi, interaksi sosial antara kelompok-kelompok orang bisa juga terjadi
pada kehidupan dalam masyarakat pada umumnya, yang sekaligus di dalamnya
terkandung berbagai tantangan, yang orang-orang tersebut dapat menguji kemampuannya dalam memenuhi berbagai kepentingan, baik kepentingan kelompok
ataupun kepentingan bagi perorangan. Dalam aktivitas yang dilakukan dapat
menimbulkan keseimbangan sosial dan dapat pula menimbulkan goncangan
sosial. Dikatakan goncangan sosial, apabila dalam aktivitas interaksinya dalam
upaya pemenuhan kepentingannya dirasakan tidak sesuai dengan norma-norma,
nilai-nilai dan aturan-aturan kemasyarakatan yang berlaku. Dikatakan keseimbangan sosial, jika dalam aktivitas interaksinya dalam upaya memenuhi kepentingannya mengalami kesesuaian dengan norma-norma, nilai-nilai dan aturanaturan kemasyarakatan yang berlaku.
2.3. Struktural-Fungsional
Pendekatan teori struktural-fungsional, mengatakan bahwa masyarakat
merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen
yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang
34
terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula pada bagian yang lain.
Asumsi dasarnya bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap
yang lain. Sebaliknya, kalau tidak fungsional struktur itu tidak akan ada atau akan
hilang dengan sendirinya47.
Perspektif struktural-fungsional yang berkembang pada beberapa dakade
terakhir ini, sebenarnya dipengaruhi dari pengembangan teori oleh sosiolog dan
antropolog terdahulu. Tokoh-tokoh sosiolog diantaranya Auguste Comte (17981857), Herbert Spencer (1820-1903), dan Emile Durkheim (1858-1917). Tokoh
antropolog yang menyumbangkan pemikirannya untuk bidang sosiologi adalah
Malinowski (1884-1942) dan Radcliffe-Brown (1881-1955)48.
Auguste Comte yang mencurahkan perhatiannya pada ketertiban dan
keharmonisan masyarakat mengatakan bahwa sosiologi studi tentang statika
(struktur) atau strata sosial dan dinamika sosial (proses/fungsi). Dalam membahas
struktur masyarakat, Comte menerima premis bahwa masyarakat laksana
organisme
hidup.
Perspektif
organik
Comte,
memperlakukan
atau
mengembangkan hukum-hukum sosial sebagaimana halnya suatu organisme
hidup. Studi tentang statika sosial (struktur) dari sosiologi adalah penyelidikan
hukum-hukum tindakan dan reaksi yang berbeda dari bagian sistem Sosial.
Dinamika sosial adalah mempelajari gerakan perubahan masyarakat. Pernyataan
Comte tentang statika sosial (struktur) memberikan inspirasi pada teori strukturalfungsional. Hal ini dipertegas oleh Veeger49, bahwa statika sosial melandasi dan
47
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Alih Bahasa Alimandan,
Jakarta: Rajawali Pers. 1992 hal. 25
48
Paloma, Margaret M. op. cit. hal. 23-26
49
Paloma, Margaret M. op. cit. hal. 25
35
menunjang orde, tertib, dan kestabilan masyarakat. Antara lain sistem
perundangan, struktur organisasi, nilai-nilai keyakinan, kaidah dan kewajiban
yang kesemuanya memberi bentuk yang kongkrit dan mantap kepada kehidupan
bersama.
Herbert Spencer seorang ahli sosiologi Inggris menganggap bahwa
masyarakat sama dengan organisme hidup, mereka sama-sama tumbuh dalam
proses evaluasi dengan ciri-ciri khas mereka50. Analisis Spencer mengenai
perbedaan dan kesamaan antara organisme biologis dan sistem sosial, dengan
hati-hati menegaskan bahwa hanya merupakan sebuah analogi atau model yang
tidak seharusnya diterima begitu saja. Hal ini, masyarakat
tidak benar-benar
mirip dengan organisme hidup; di antara keduanya terdapat sebuah perbedaan
yang sangat penting. Dalam organisme, mempunyai saling ketergantungan antara
bagian-bagian atau saling terkait dalam suatu hubungan yang intim. Sedangkan
dalam sistem sosial hubungan yang sangat dekat seperti bagian-bagian organisme
tidak begitu jelas terlihat; bagian-bagian yang kadang-kadang sangat terpisah.
Makna saling ketergantungan dalam sistem sosial mempunyai arti relatif; banyak
variabel-variabel sosial lainnya yang terlibat di dalamnya. Tiap bagian yang
tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun dalam sistem sosial memiliki
fungsi dan tujuan tertentu. Dalam sistem oragnisme maupun sistem sosial, bila
terjadi perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya akan terjadi perubahan
dalam sistem secara keseluruhan. Pemikiran Comte dan Spencer tersebut
mempertegas asumsi dasar sosiologi, bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai
50
Paloma, Margaret M. loc. cit. hal. 25
36
suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung satu sama
lain51.
Lahirnya aliran struktural-fungsional dalam sosiologi memperoleh
dorongan yang kuat melalui karya-karya Emile Durkheim. Durkheim memandang
masyarakat modern adalah merupakan keseluruhan organis yang memiliki realitas
tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsifungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggota
agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Keadaan normal menunjuk pada
keseimbangan (equilibrium) atau sebagai suatu sistem yang seimbang. Bila
kebutuhan tertentu tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang
bersifat “patologis” (ketidakseimbangan atau perubahan sosial)52. Sumbangan
pemikiran Durkheim terhadap aliran struktural-fungsional cukup besar, dengan
menekankan kepada konsep; kesatuan moral dan keseimbangan sistem sosial serta
fungsi dari fakta sosial.
Sumber utama analisis Durkheim adalah mengenai tipe-tipe yang berbeda
dalam solidaritas dan sumber-sumber struktur sosial. Durkheim menggunakan
istilah solidaritas mekanik dan organik untuk menganalisa masyarakat
keseluruhannya. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu keadaan kolektif
bersama, kepercayaan, sentimen-sentimen bersama, ruang lingkup dan kerasnya
hukum-hukum yang bersifat menekan (repressive). Keadaan tersebut terjadi pada
masyarakat yang homogen yang merupakan ciri khas solidaritas mekanik.
Sedangkan solidaritas organis adalah merupakan hasil evolusi dari solidaritas
51
52
Paloma, Margaret M. op. cit. hal. 25
Paloma, Margaret M. Op. cit. hal. 25-26
37
mekanis. Di dalam solidaritas organis, bahwa setiap anggota masyarakat
merasakan adanya saling ketergantungan kompleks, saling ketergantungan
fungsional, menganut nilai dan norma umum bersama serta ruang lingkup hukum
yang bersifat memulihkan (restitutive)53.
Sumbangan pemikiran aliran struktural fungsional Durkheim tetap
dipertahankan dan dikembangkan oleh dua orang antropolog, yaitu Bronislaw
Malinoswki dan A.R. Radciffe-Brown. Malinoswki menggunakan pengertian
fungsi untuk pendekatan konsensus. Masyarakat dapat dikatakan sebagai sistem
sosial, unsur-unsur yang saling berhubungan timbul dari kebutuhan dasar setiap
manusia. Dasar pemikirannya dari kebutuhan dasar manusia dan respon budaya
yang terintegrasi,
berkembang dalam kesatuan
fungsi.
Radcliffe-Brown
memberikan konsep mendasar tentang fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial.
Menurut Radcliffe-Brown, fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang,
seperti menghukum kejahatan atau upacara penguburan, merupakan bagian yang
dilakukan dalam kehidupan sosial. Hal ini merupakan sumbangan atau fungsi bagi
pemeliharaan kelangsungan struktural54.
Perspektif struktural-fungsional dalam membahas struktur, Parsons
menggunakan konsep sistem (sistem sosial). Sistem ialah organisasi dari
keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Sistem sosial ialah struktur
atau bagian yang saling berhubungan, atau posisi-posisi yang saling dihubungkan
oleh peranan timbal-balik yang diharapkan55. Karya Parsons, pada awalnya
dimaksudkan untuk mengembangkan suatu model tindakan sosial yang bersifat
53
Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 181-188
Paloma, Margaret M. loc. cit. hal. 26
55
Paloma, Margaret M. Op. cit. hal. 28
54
38
voluntaristik yang didasarkan pada sintesanya dari teori Alfred Marshall, Vilfredo
Pareto, Emile Durkheim, dan Max Weber56. Konsepsi sistem yang dipergunakan
untuk menganalisa masyarakat sebagai sistem sosial, yang di dalamnya terdapat
tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, baik secara individu maupun
secara kolektif dalam suatu kelompok, lembaga dan masyarakat.
Perspektif fungsional Parsons mengenai sistem sosial didasarkan pada
teori tindakan sosial dalam sistem sosial sebagai unit analisis. Konsep masyarakat
sebagai sistem sosial digunakan oleh Talcot Parsons dan pengikut-pengikutnya
melalui pendekatan struktural-fungsional, memberikan pengertian tentang sistem
sosial, ialah proses interaksi diantara pelaku sosial (actor), sedangkan yang
merupakan struktur sistem sosial adalah struktur relasi antara pelaku sebagaimana
yang terlibat dalam proses interaksi. Sistem sosial dapat diartikan sebagai suatu
perangkat peran sosial yang berinteraksi atau kelompok sosial yang memiliki
nilai, norma, dan tujuan yang sama57.
Keluarga yang merupakan lembaga paling kecil dalam masyarakat
mempunyai prinsip-prinsip serupa sebagaimana menurut pandangan aliran
struktural-fungsional. Parsons yang mengembangkan pendekatan strukturalfungsional dalam kehidupan keluarga, mengakui adanya keragaman dalam
kehidupan sosial. Parsons menjelaskan pula bahwa satuan utama dari sistem sosial
terdiri atas kolektivitas dan peranan58.
56
Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 106
Garna, Judistira K. Op. cit. hal :145
58
Garna, Judistira K. loc. cit. hal :146
57
39
Martin Roderick
59
menguraikan, pendekatan sistem beranjak dari asumsi
bahwa masyarakat secara keseluruhan sedikit banyak saling tergantung dan
lembaga-lembaga sosial berusaha untuk memenuhi fungsi-fungsi yang penting
sama menjamin kelangsungan hidup mereka. Selain itu, pendekatan sistem yaitu
mengnalisa masyarakat dari sudut struktur, fungsi, peranan,dan prosesnya.
Sedangkan pendekatan tindakan sosial secara langsung atau tidak melihat
lembaga-lembaga sosial sebagai sarana bagi individu untuk mencapai, baik tujuan
individu maupun tujuan kelompok. Pendekatan tindakan sosial menganalisa
masyarakat dari segi pelakunya. Nasikun60 menjelaskan bahwa sistem sosial pada
dasarnya tidak lain adalah suatu sistem daripada tindakan-tindakan yang terbentuk
dari interaksi sosial yang terjadi diantara berbagai individu yang tumbuh dan
berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para
anggota masyarakat. Berbagai standar penilaian umum tersebut adalah normanorma sosial dan adanya hubungan sosial yang dinamis antara bagian-bagian itu
yang sesungguhnya akan membentuk struktur sosial. Max Weber dalam
Jonhson61, menekankan pada pemahaman subyektif (verstehen) sebagai metoda
untuk memperoleh pemahaman yang valid mengenai arti-arti subyektif tindakan
sosial. Weber menjelaskan, bahwa tidak hanya mengamati obyek, tetapi juga
mengerti menafsirkan tindakan sosial dan melalui tindakan tersebut dapat
menjelaskan terjadinya dan dampaknya atau akibat. Prinsip pemahaman subyektif
dari Weber ialah menunjuk pada upaya memahami suatu perilaku dengan
mencoba menjelaskan fenomena tersebut untuk menangkap hubungan di antara
59
Lauer, Robert H. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka Cipta. 1993 hal 43
Paloma, Margaret M. Op. cit. hal. 12-13
61
Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 214-216
60
40
perasaan, motivasi, dan pikiran seseorang dengan tindakannya dalam lingkup
situasi.
Perspektif Parsons yang bersifat fungsional itu mengatakan bahwa
tindakan-tindakan individu harus memenuhi persyaratan-persyaratan fungsional.
Pada bagian ini, Parsons menekankan pentingnya pemahaman orientasi individu
yang bersifat subyektif, termasuk definisi situasi serta kebutuhan dan tujuan
individu. Setiap pola perilaku yang sesuai atau menyimpang, setiap kebiasaan atau
norma, setiap keputusan kebijaksanaan yang besar dan setiap nilai budaya dapat
dianalisa dengan kerangka fungsional62. Weber yang menggunakan rasionalitas
sebagai konsep dasar dalam mengkalisifikasi mengenai tipe-tipe tindakan sosial,
dibedakan antara tindakan rasional dan nonrasional. Tindakan rasional menurut
Weber meliputi pertimbangan yang sadar dan pilihan yang berhubungan dengan
tujuan tindakan itu dan alat yang digunakan untuk mencapainya. Tindakan
diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang
memiliki sifat-sifatnya sendiri, apabila tujuan itu, alat dan akibat-akibat
sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal
ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk mencapai tujuan itu,
pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang
mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan
mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relatif63.
Individu atau masyarakat memiliki bermacam-macam tujuan, akan tetapi sangat
tergantung pada kondisi atau situasi lingkungan untuk menentukan pilihan dengan
62
63
Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 100-101
Johnson, Doyle Paul. loc. cit. hal. 220
41
pertimbangan yang sadar untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk
mencapai tujuan individu selalu menilai alat yang mungkin dapat digunakan,
dilakukannya melalui pengumpulan informasi, atau bahkan telah dicobanya,
kemungkinan hambatan-hambatan dalam lingkungan.
Parsons mengatakan bahwa tindakan manusia dipengaruhi oleh dua
macam orientasi, yaitu orientasi motivasional dan orientasi nilai-nilai. Kedua
macam orientasi itu sama-sama menunjuk pada pencapaian kebutuhan-kebutuhan
atau tujuan-tujuan. Akan tetapi keduanya mempunyai perbedaan di mana orientasi
motivasional lebih bersifat individual dan orientasi nilai lebih bersifat sosial.
Orientasi motivasional menunjuk pada keinginan individu yang bertindak itu
untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Orientasi nilai
menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan individu
(alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan
dan tujuan-tujuan yang berbeda. Hal ini mengandung pengertian bahwa tindakan
seseorang dipengaruhi oleh kehendak pribadinya dan sekaligus dikontrol oleh
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat64.
Untuk menganalisis persyaratan-persyaratan suatu sistem sosial, Parsons65
menggunakan karangka: adaptation (I), goal attainment (G), integration (I), dan
latent pattern maintenance (L). Ke empat persyaratan fungsional ini merupakan
subsistem-subsistem dari sistem yang ada, akan bekerja sama secara normal
64
65
Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 114
Skema pertukaran atau hubungan timbal-balik antara subsistem-subsistem secara fungsional
dalam sistem sosial menurut Talcot Parsons. Sumber: Johnson, Doyle Paul. loc. cit hal.
133.
42
apabila memiliki empat kondisi dasar sebagai alternatif. Parsons menyebutkan
kondisi atau persyaratan fungsional atau kewajiban fungsinal.
Adaptation (A)
Goal Attainment (G)
Subsistem Organisme
Individu
Subsistem
Kepribadian
Latent Pattern
Maintenance (L)
Gambar 2.1
Integration (I)
Subsistem Sosial
Subsistem
Kebudayaan
Menurut Parsons, tindakan manusia dalam sistem sosial memiliki empat
elemen sistem atau subsistem, yaitu: subsistem budaya, subsistem sosial,
subsistem kepribadian (personality), dan subsistem perilaku organisme individu66.
Ke empat subsistem tersebut berada dalam suatu hubungan hirarki yang berfungsi
untuk adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pertahanan pola tingkah laku.
Akan tetapi ke empat subsistem atau sistem aksi tersebut berada dalam hubungan
timbal-balik yang saling melengkapi untuk mencapai tujuan-tujuan67.
Subsistem budaya merupakan orientasi nilai dasar dan pola normatif yang
dilembagakan dalam sistem sosial dan diinternalisasikan dalam struktur
kepribadian para anggotanya. Kebudayaan secara informasional membatasi sistem
sosial, sistem sosial mengatur sistem kepribadian, dan sistem kepribadian
66
67
Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 134 dan Soekanto, Soerjono. Op. cit. hal 47
Soekanto, Soerjono. loc. cit. hal 48-51
43
mengatur sistem perilaku organisme individu. Unsur-unsur subsistem budaya
seperti nilai norma, falsafah, dan kaidah-kaidah sosial biasanya diwujudkan dalam
pandangan hidup yang mengarah pada tujuan yang ingin dicapai yang didasarkan
pada pemeliharaan tapal batas, sehingga membentuk suatu ketahanan (latency)
pola tingkah laku. Norma yang diwujudkan dalam peran-peran tertentu dalam
sistem sosial dan juga disatukan dalam struktur kepribadian anggota sistem.
Kaidah-kaidah sosial yang merupakan harapan-hrapan para pelaku yang
memainkan peranan, hal ini dapat dipandang sebagai pembatasan terhadap
berbagai motif serta pengambilan keputusan dalam sistem-sistem kepribadian68 .
Subsistem sosial berfungsi untuk kehidupan bersama secara integrasi.
Artinya integrasi berfungsi untuk mempertahankan keteraturan hidup dalam
sistem sosial yang diciptakan oleh unsur-unsur dari subsistem sosial. Integrasi
menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup
untuk menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan
dan dipertahankan. Masalah integrasi berhubungan interelasi antara berbagai
satuan dalam sistem sosial. Sektor integratif dalam sistem sosial mengandalkan
pengaruh atau kekuasaan, yakni kemampuan untuk mengajak dan keadaan laten
mempergunakan keterikatan, yaitu kemampuan untuk setia69. Menurut Bertrand
(1974), bahwa dalam subsistem sosial, pola-pola tingkah laku diaplikasikan
pada unsur-unsurnya seperti status dan peranan individu dalam kepangkatan
sosial (social rank) yang disertai dengan
68
69
kekuasaan
(kemampuan untuk
Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 134 dan Soekanto, Soerjono. loc. cit. hal 48
Johnson, Doyle Paul. Op. cit. hal. 130 dan Soekanto, Soerjono. Op. cit. hal 51
44
mendorong terjadinya kepatuhan) dan sangsi-sangsi sosial tertentu (reward and
punishment) serta ditunjang oleh fasilitas yang tersedia.
Subsistem
kepribadian
individu
ialah
menyangkut
aspek-aspek
kepribadian manusia yang dapat mempengaruhi organisme individu untuk
mengadaptasikan perilakunya pada perilaku sosial yang telah menjadi
kepribadiannya. Subsistem kepribadian individu dalam sistem sosial juga
distimulasi dan dipengaruhi oleh nilai-nilai dan norma-norma dalam subsistem
budaya dan oleh pola-pola bertindak dalam sistem sosial yang telah diinternalisasi
melalui proses sosialisasi. Hal ini dapat berfungsi sebagai sumber motivasional
dari tindakan sosialnya. Pencapaian tujuan (Goal attainment) dalam subsistem
kepribadian ialah menyangkut pengambilan keputusan terhadap pencapaian tujuan
dari individu dalam menetapkan prioritas dari sekian banyak tujuan. Persyaratan
fungsional untuk pencapaian tujuan oleh individu sehubungan dengan
pengambilan keputusan itu akan mendorong individu untuk menetapkan orientasi
motivasional dan orientasi nilai yang telah dibentuk oleh sistem budaya dan
sistem sosial70 .
Subsistem organisme individu ialah menyangkut sifat-sifat biologis
individu sebagai organisme yang berperilaku dengan persyaratan biologis yang
harus dipenuhi oleh mereka untuk bertahan hidup. Penyesuaian atau adaptasi
(adaptation) sifat-sifat biologis individu terhadap lingkungan turut menentukan
kepribadian individu, pola-pola tingkah lakunya serta gagasan-gagasan yang
dicetusnya untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya. Manusia sebagai
70
Johnson, Doyle Paul. loc. cit. hal. 130
45
organisme selalu berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya dalam upaya pemenuhan
kebutuhan biologis. Pemenuhan kebutuhan biologis dasar individu
sebagai
organisme, berfungsi untuk pengolahan kebutuhan kepribadian dalam suatu
proses adaptasi serta melibatkan proses interaksi sosial budaya, sehingga
melembagakan ketiga subsistem tersebut di atas.
Dari empat persyaratan fungsional Parsons sebagaimana diuraikan di atas
menunjukkan bahwa sistem sosial sebagai satu keseluruhan berada dalam
hubungan timbal-balik dengan lingkungan yang terdiri dari lingkungan fisik,
sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem perilaku organisme individu.
46
Download