SALAM Bismillah... Umat Islam masih saja dibuat bingung oleh oknum sebagian dai yang tiba-tiba melabeli Jokowi yang memenangkan pemilu 2014 sebagai ulil amri yang wajib ditaati. Ulil amri adalah istilah Islam yang memiliki definisi dan konsekuensi yang telah definitif. Menyematkan ulil amri kepada orang yang tidak berhak adalah kezaliman dan penyesatan yang nyata bagi umat sekaligus orang yang dilabeli. Bila ada orang munafik dilabeli sebagai orang yang jujur, maka ia akan bangga dengan kemunafikannya dan semakin jauh dari pertobatan. Bagi umat Islam sendiri yang dalam doktrin agamanya ilmu merupakan dasar utama dalam segala hal, maka memahami ulil amri secara komprehensif, mulai dari definisi sampai keluar dari ketaatan kepada penguasa akan menjadi bekal sekaligus benteng dari kemungkinan oknum-oknum nyleneh pada masa mendatang sampai sistem demokrasi lenyap dari muka bumi dengan izin Allah. Selamat membaca! Redaktur Ahli : Abu Zahrah, Abu Abdurrahman Pimpinan Redaksi : Tony Syarqi Redaksi : Agus Abdullah, Fahruddin, Dhani el-Ashimi, Bashirudin R, Miftahul Ihsan MAJALAH DIGITAL KIBLAT adalah salah satu konten dari situs berita Islam www.kiblat.net. Dapat diunduh dan sebarluaskan secara cuma-cuma. Email : [email protected] Donasi: BCA 7735072587 BNI Syariah 0298526555 BNI Syariah atas nama Muh Bashirudin Rosyed. kiblat muharram 1436 h 2 ISI 17 Menyelamatkan Bahtera Tak Hanya dengan “Empat Mata” 27 Pemerintah Sekuler Bukan Ulil Amri 40 44 Penguasa Berhati Setan 48 Syaikh Bin Baz Mengkafirkan Penguasa Meskipun Shalat 70 Penguasa Saleh Rakyat pun Saleh Polemik Ulil Amri di Pusaran Pesta Demokrasi Melawan Penguasa Tidak Selalu Khawarij Indonesia Bukan Negara Islam 4 34 SEJARAH HITAM MURJIAH 52 62 Menjual Agama Demi Penguasa Hubungan Rakyat dan Penguasa kiblat muharram 1436 h 3 polemik ulil amri di pusaran pesta demokrasi S ecara umum aktivis Islam penerus manhaj dakwah salafus saleh tidak sepakat dengan sistem demokrasi. Saat pemilu presiden berlangsung pilihannya adalah tidak mencoblos (golput) atau memilih calon yang menurut pertimbangan maslahat lebih ringan dampak buruknya bagi dakwah Islam. Definisi Ulil Amri Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab, uli bermakna memiliki. Kata ini dalam bahasa Arab tidak bisa berdiri sendiri. Sedangkan al-amr, Ibnu Mandzur mengatakan, “Seseorang memimpin pemerintahan, bila ia menjadi amir bagi mereka. Amir adalah penguasa mengimpementaskan perintahnya di Anehnya, siapa pun pemenang pemilu antara rakyatnya.” langsung dilabeli ulil amri yang Menurut Istilah, Ulil Amri adalah para wajib ditaati, tidak boleh dikritik. pemilik otoritas dalam urusan umat. Kalau ada yang mengritik langsung Mereka adalah orang-orang yang disebut khawarij. Penguasa yang tidak memegang kendali semua urusan. (Almewujudkan tujuan kepemimpinan Mufradat, 25). (maqashidul imamah) seolah-olah manusia suci, sedangkan aktivis Islam Ulil Amri Menurut Para Ulama dituding sebagai anjing-anjing neraka. Ulil Amri menurut Imam Asy-Syaukani Memahami secara komprehensif apa adalah: dan siapa sejatinya ulil amri dalam konsep Islam akan menjawab pantaskah penguasa itu layak disebut ulil amri. kiblat muharram 1436 h 4 Ulil amri adalah para imam, penguasa, hakim dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan thaghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan menjelaskan dengan ungkapan: “Ulil amri adalah pemegang dan pemilik kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang memerintah manusia. Perintah tersebut didukung oleh orang-orang yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (Majmu’ Al-Fatawa, 28/170) Sejalan dengan Ibnu Taimiyyah, Syaikh Utsaimin mengatakan, “Ulil Amri kaum muslimin itu ada dua kelompok. Pertama dan yang utama dari keduanya adalah para ulama yang menjelaskan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya Muhammad n. Mereka adalah orangorang yang mengatakan sesuai dengan perkataan Allah dan Rasul-Nya. Kedua adalah umara (para penguasa). Dalam dunia nyata, mereka adalah orang-orang yang menerapkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Yakni perintah yang telah disampaikan oleh ulil ilmi (ulama).” Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan, “Mereka (para ulama) adalah ulil amri dari sudut pandang bahwa mereka membawa syariat dan menyampaikannya kepada manusia, baik perintah maupun larangan.” Beliau menambahkan, ulama memegang otoritas syariat, sedangkan umara memegang otoritas politik. Karena kekuasaan berada di tangan umara. Umara adalah ujung tombak ulil amri dalam kewenangan eksekutif. Syaikh Mahmas Al-Jal’ud dalam kitab Al-Muwalah wal Mu’adah fi Syari’atil Islamiyyah (II/206) setelah nyebutkan tentang wajibnya hadis-hadits taat kepada penguasa yang zalim, kiblat muharram 1436 h 5 mengatakan, “Haditshadits tadi tidak berarti membolehkan sepakat dengan penguasa dalam kezaliman dan kebatilan mereka. Atau boleh tidak mengingkari kejahatan yang mereka lakukan, atau taat kepada mereka dalam kemaksiatan. Hadits-hadits itu justru menunjukkan bahwa siapa yang membenci kemungkaran maka ia telah lepas dari dosa dan akibatnyaa. Dalam hal ini, orang yang mampu mengingkari k e m u n g k a r a n dengan lisannya, dan mengingkaarinya, ia lepas dari dosa bila memang tidak mampu mengingkari dengan tangan. Orang yang tidak mampu membasmi kemungkaran (dengan lisan dan tangan) tidaklah berdosa dengan sekedar diam.” Lebih lanjut, Syaikh Utsaimin, menjelaskan bahwa dua kelompok itulah uli amri kaum muslimin. Allah telah memerintahkan agar umat Islam menaati mereka. Namun ketaatan ketaatan ini menyesuaikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.” Allah tidak “Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan taatilah ulil amri,” hal ini karena ketaatan kepada ulil amri bukanlah independen, melainkan mengikuti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah, bila ulil amri memberikan perintah yang menyelisihi perintah Allah dan RasulNya, maka tidak ada ketaatan bagi mereka dalam perintah tersebut. Selama mereka muslim, kesalahan yang dilakukan oleh ulil amri tidak lantas menjadi pintu untuk menjelek-jelekkan mereka di depan umum. Ini akan menyebabkan rakyat benci kepada mereka dan setiap pekerjaan yang dilakukan meskipun benar. Selain itu juga akan menyebabkan rakyat menentang dan tidak taat. Ini bisa berakibat kehancuran masyarakat serta kekacauan dan kerusakan. Namun, kata ulama yang pendapatnya sering menjadi rujukan umat Muslim Indonesia ini, hal itu tidak berarti bahwa kita harus mendiamkannya tanpa menasihati (bila melakukan kesalahan). Ulil amri yang melakukan kezaliman terhadap rakyat tidak sampai kepada kekafiran yang nyata. Yakni tidak sampai mengingkari syariat, tidak menolak berhukum dengannya, dan tidak meninggalkan kewajiban menegakkan Dien. Zalim yang dilakukan adalah kezaliman yang bersifat duniawi. Dalam hal ini rakyat tidak boleh merebut kekuasaannya. berfirman, kiblat muharram 1436 h 6 Sebab menasihati mereka adalah wajib. Mengingatkan ulil amri adalah bagian dari agama Allah. “Agama ini nasihat,” sabda Nabi sampai tiga kali. n “Bagi siapa wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. “Allah, Kitab-Nya, pemimpin kaum masyarakat umum.” Rasul-Nya, muslimin, para dan Syaikh Utsaimin menafsirkan, “Nabi mendahulukan nasihat untuk para pemimpin sebelum nasihat untuk rakyat, karena para pemimpin itu bila baik, maka baik pula rakyatnya.” Maksud taat kepada mereka adalah taat dalam perintah dan menjauhi larangan selama tidak maksiat.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 1/556). Ulil Amri yang ditaati Banyak nash yang memerintahkan ketaatan kepada ulil amri dengan batasan menegakkan Dien. Rasulullah bersabda: “Jika kalian dipimpin oleh seorang hamba hitam berambut keriting, yang memimpin kalian dengan kitab Allah, maka taatlah kepadanya.” (HR Muslim). “Sesungguhnya urusan ini (kepemimpinan kaum muslimin) adalah milik Quraisy. Tidak ada seorang pun yang menentangnya kecuali akan ditelungkupkan oleh Allah dengan wajahnya di neraka selama menegakkan dien.” (Al-Bukhari). Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ali, ulama Kuwait lulusan Universitas Madinah, menjelaskan, “Hadits-hadits tersebut dan lainnya menjelaskan bahwa ulil amri yang melakukan kezaliman terhadap rakyat tidak sampai kepada kekafiran yang nyata. Yakni tidak sampai mengingkari syariat, tidak menolak berhukum dengannya, dan tidak meninggalkan kewajiban menegakkan dien. Zalim yang dilakukan adalah kezaliman yang bersifat duniawi. Dalam hal ini rakyat tidak boleh merebut kekuasaannya. Karena ini akan meruntuhkan kesatuan umat. Menjaga persatuan umat lebih utama daripada melawan kezaliman penguasa. Hal itu seperti disebutkan dalam hadis shahih riwayat Muslim dari Junadah bin Abu Umayyah yang berkata, ‘Kami masuk ke tempat Ubadah bin Shamit saat ia sedang sakit. Kami berkata, ‘Semoga Allah menyembuhkanmu, ceritakanlah kepada kamu satu hadis yang dengan itu Allah memberi manfaat kepada kami. Hadits yang engkau dengar dari Rasulullah n. Ubadah menjawab, “Rasulullah memanggil kami, lalu kami membaiat beliau. Maka di antara syarat yang diambil dari kami adalah kami berbaiat untuk mendengar dan taat dalam suka maupun benci; sulit maupun mudah; dan meskipun menelantarkan hak kami. Kami tidak akan merebut kiblat muharram 1436 h 7 kekuasaan dari pemiliknya.’ Rasul n bersabda, “Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata, yang dengan itu kalian memiliki alasan di hadapan Allah.” Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ali Bila kekafiran yang nyata telah muncul dalam sebuah kekuasaan, maka ini merupakan kekuasaan kafir yang tidak ditaati. Ia wajib dimusnahkan dengan kekuatan. Bila kaum muslimin tidak mampu melakukannya, mereka wajib melakukan persiapan (i’dad). Allah berfirman, ‘Seandainya mereka ingin keluar (untuk berjihad) mereka tentu melakukan persiapan.’ (At-Taubah: 47). Di antara persiapan yang dilakukan adalah mengembalikan kaum muslimin kepada agama mereka dengan dakwah Islam; melatih para pemimpin Islam yang mengendalikan urusan umat agar eksistensi politiknya yang merealisasikan kemenangan agama mereka di bumi, syariat Islam tegak, dan mengantarkan kepada dunia dengan jihad. Di antara persiapan bekal adalah mengarahkan umat ke medan-medan jihad.” (http:// ar.islamway.net/fatwa/3746/ 3746/نم-وهيلو-رمأ-نيملسملا-يذلا-بجت-)هتعاط Syaikh Bin Baz menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh kaum muslimin ketika melihat kekafiran yang nyata pada penguasa: ٣٠٢٨ “Kecuali bila kaum muslimin melihat kekafiran yang nyata, mereka memiliki hujjah di hadapan Allah, maka tidak masalah bagi mereka melawan penguasa ini, untuk menggulingkannya. Yakni bila mereka mampu. Adapun bila mereka belum memiliki kekuatan, mereka tidak boleh melawan. Atau bila melawan malah menyebabkan keburukan yang lebih banyak, mereka tidak boleh melawan, demi menjaga kemaslahatan umum. Ada kaidah syar’i yang disepakati ‘Memberantas keburukan tidak boleh dilakukan dengan keburukan yang lebih besar darinya.’” (Al-Fatawa, VIII/203). Tentang keluar dari penguasa, beliau mengatakan: ٢٢٢١١٥٦٢١٣ “Bila kita mampu menyingkirkannya, kiblat muharram 1436 h 8 maka saat itu kita harus melawan penguasa itu. Bila kita tidak mampu, maka kita tidak melawan. Sebab semua kewajiban syariat memiliki syarat adanya kemampuan (bagi yang diwajibkan).” (Babul Maftuh, III/126, Pertemuan ke-51, Pertanyaan ke-1222). Syaikh Shalih Al-Fauzan juga mengatakan hal yang sama: Adapun hubungan dengan penguasa kafir, hal ini berbeda-beda mengikuti kondisi. Bila kaum muslimin memiliki kekuatan dan mampu memerangi dan menggulingkannya dari kekuasaan, serta bisa mewujudkan penguasa muslim, maka wajib bagi mereka melakukannya. Ini adalah jihad fi sabilillah.” Lebih jelas lagi, bagi kaum muslimin yang tinggal di wilayah penguasa kafir da belum memiliki kemampuan “ bila kemungkaran yang wajib diingkari merupakan perkara yang sangat berbahaya dan buruk bagi umat, Tidak terbatas pada penguasa saja yang bermaksiat. Bila demikian, semua orang yang melakukannya “ harus diingatkan. Demikian pula orang yang masih ragu tentang perkara yang buruk itu. Misalnya riba. untuk menggulingkan Taimiyyah mengatakan: penguasa, Ibnu ٣١٤٢ “Maka bagi kaum beriman di suatu negeri kiblat muharram 1436 h 9 dalam keadaan lemah, atau pada saat itu ia lemah, hendaknya ia mengamalkan ayat sabar dan memaafkan orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya dari kalangan ahli kitab dan musyrikin.” (Ash-Sharim Al-Maslul, II/413). Dari uraian para ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa melawan penguasa kafir adalah wajib. Namun pelaksanaan kewajiban tersebut berkaitan dengan kemampuan sebagai syaratnya. Ketika kaum muslimin belum mampu, i’dad wajib bagi ereka sampai memenuhi syarat tersebut. Ibnu Taimiyyah mengatakan: “(Kaum muslimin) wajib melakukan persiapan (i’dad) jihad dengan menyiapkan kekuatan dan menambatkan kuda ketika jihad tidak bisa dilaksanakan karena lemah. Sebab, kewajiban yang tidak bisa sempurna dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib.” (Al-Fatawa, 28/259). Amar Makruf Nahi Mungkar terhadap Penguasa Syaikh Dr. Ahmad bin Abdul Karim Najib menjelaskan dengan baik syarat dan kondisi untuk mengingkari kezaliman penguasa secara rahasia maupun terang-terangan. Kami mengutipnya secara ringkas berikut ini: Pertama: Ada perbedaan antara mengingkari kemungkaran dan keluar dari penguasa. Sebab tidak semua orang yang mengingkari kemungkaran yang dilakukan seorang penguasa yang memiliki otoritas (baik syar’i maupun tidak) keluar dari ketaatan hanya sekedar mengingkari, apalagi keluar dari manhaj, pemikiran dan mazhab, seperti digambarkan oleh sebagian orang. Karena sepanjang sejarah, umat tidak lepas dari pengingkaran kepada para penguasanya, baik secara rahasia maupun terang-terangan, sesuai kemampuan dan tuntutan keadaan. Namun sejarah kita yang panjang tidak kiblat muharram 1436 h 10 menunjukkan bahwa mereka dituduh telah keluar dari ketaatan atau dituduh keluar dari penguasa sama sekali. Apalagi dituduh sebagai khawarij (dalam makna sekte) hanya karena mengingkari kemungkaran secara terang-terangan kepada penguasa. Atau menyeru penguasa agar berbuat adil, mengembalikan hak-hak yang dizalimi serta menegakkan kebenaran. Persoalan ini dikuatkan oleh Imam Muslim dengan membuat judul Bab di kitab Sahihnya: Bab wajibnya mengingkari para penguasa dalam hal yang menyelisihi syariat dan tidak memerangi mereka. Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad sahih dari Abu Said Al-Khudri, bahwa Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling utama adalah perkataan yang adil di depan penguasa yang jahat.” Seandainya mengingkari kemungkaran yang dilakukan penguasa yang jahat adalah tindakan yang keliru, tentu melakukannya tidak disebut sebagai jihad yang paling utama di jalan Allah! Ya, tidak mungkin pula orang yang terbunuh karena melakukan itu berada dalam peringkat pemimpin syuhada. Seperti disebutkan dalam hadits sahih dari Nabi n “Pemimpin syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan seorang yang berdiri di depan penguasa yang jahat, lalu Seorang dai yang jujur harus mengutamakan ketaatan kepada Allah daripada diam dan tunduk kepada penguasa. kiblat muharram 1436 h 11 ia men nas a ihatinya, lalu ia dibunuh.” (HR Hakim) kiim . Kedu Kedu d a, me emb ba attassi bentukk pengi en ngi g ngkaran deng de ngan an tera errang-te t rangan atau rahasia te ad da allah ah uru rusa sa an ya ya g diatu yang turr se tu s suai tuj ujuan j syar sy aria ar ria i t. Ada bat ata asan-b bat ata asannyya da dan dan perl pe rlu u di d pe perhat atiikan keb e ai aikan (ma m slahat)) y ng ya g mungk gkin g diirrai raiih de dengan den ngan n mel e akkukkan a iitu. Demikian pula keburukan (mafsadat) yang kemungkinan timbul bila ditinggalkan. Hal ini berbeda-beda sesuai perkara yang diingkari, kondisi orang yang mengingkari, orang yang diingkari, dan cara mengingkari. Karena itulah, kita melihat para tokoh salaf mengingkari para penguasa kadangkadang secara terang-terangan dan rahasia, tanpa menimbulkan kesempitan atau membuat orang menggerutu terhadap pendapatnya. Salah satu contoh pengingkaran secara rahasia dilakukan oleh Usamah bi Zaid kepada Utsman bin Affan. Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, bahwa dikatakan kepadanya, “Mengapa engkau tidak menemui laki-laki ini dan berbicara kepadanya?” Maksudnya adalah Utsman. Usamah menjawab, “Apakah kalian menyangka bahwa setiap aku berbicara kepadanya, aku harus memperdengarkan kepada kalian?! Aku telah berbicara kepadanya ketika hanya berdua dengannya saja, tanpa membuka satu perkara yang aku tidak suka untuk membukanya pertama kali.” Qadhi Iyadh mengatakan, “Maksud Usamah bahwa ia tidak membuka pintu pengingkaran secara terang-terangan kepada Imam karena takut akibatnya. Ia memilih bersikap lembut dan menasihati secara rahasia. Ini lebih mungkin diterima.” (Fathul Bari, 13/57). Ini adalah cara membebaskan diri dari beban dosa bagi orang yang bisa mendatangi pemimpin dan berdiri di depannya untuk menyampaikan kebenaran dan melarangnya dari tindakan yang keliru. Maka sangat aneh, bagaimana orang bisa lepas dari beban dosa bila mengingkari kejahatan hanya dari balik dinding, tanpa berupaya sekuat tenaga untuk mengatakan yang benar dan mengamalkannya walaupun dari jauh? kiblat muharram 1436 h 12 Mengingkari perbuatan zalim penguasa muslim secara rahasia adalah aturan dasar yang berlaku, selama ini sudah cukup dan merealisasikan kebenaran, dan mencegah kemungkaran. Adapun bila itu tidak mungkin dilakukan, sedangkan kemungkaran bisa menyebar luas maka hukum dasar tersebut tidak berlaku. Peringatan secara terang-terangan harus disampaikan dalam beberapa kondisi: Pertama: Bila dunia telah menyaksikan terjadinya kemungkaran maka harus ini diingkari dan tidak boleh ditunda-tunda lagi. Contohnya adalah pengingkaran Abu Sa’id Al-Kudri a dan lainnya terhadap Marwan bin Al-Hakam yang mendahulukan khutbah Ied daripada shalatnya. Hal ini menyelisihi sunnah yang sudah tetap dari Nabi n . Muslim meriwayatkan dari Thariq bin Syihab dan ini adalah hadits Abu Bakar, “Orang pertama yang berkhutbah pada Hari Raya sebelum shalat Ied didirikan ialah Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, “Shalat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khut-bah.” Marwan menjawab, “Sungguh, apa yang ada dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan.” Kemudian Abu Said berkata, “Sungguh, orang ini telah merealisasikan apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah n yang bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.’” para pengusungnya, menghadapi setiap orang yang menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran dengan pedang dan kekuatan, maka sebaiknya pengingkaran kemungkaran dilakukan dengan cara lain yang lebih mudah, sekurang-kurangnya mengingatkan manusia dari kemungkaran yang didukung oleh penguasa. Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad hasan dari Hudzaifah, Rasulullah bersabda, “Tidak selayaknya seorang muslim menghinakan dirinya.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana ia menghinakan dirinya?” Beliau menjawab, Utusan Khalifah Al-Walid mendatangi Abdullah bin Mas’ud dan berkata, “Amir berkata kepadamu, tinggalkanlah kata-kata yang sering engkau ucapkan’.” “Kalimat apa? Kalimat-kalimat ini?” Abdullah terus mengulangnya, lalu utusan itu berkata, “Perkataanmu: Setiap hal yang baru adalah bid’ah.” “Saya tidak akan meninggalkannya.” “Kalau begitu, baginda memerintahkan agar engkau pergi.” “Ya, saya akan keluar.” Maka Abdullah akhirnya pergi ke Madinah.” Kedua: bila kemungkinan besar penguasa akan bertindak arogan kepada kebenaran dan kiblat muharram 1436 h 13 “Menantang rintangan yang ia sendiri bisikan itu tidak berpengaruh apa pun, tidak mampu menghadapinya.” serta kaum muslimin tidak terjaga dari pengaruh untuk melakukannya. Ketiga, bila kemungkaran yang wajib diingkari perkara yang sangat Tidak hanya diam, penguasa harus berbahaya dan buruk bagi umat. Tidak diingatkan secara terang-terangan, terbatas pada penguasa saja yang dijelaskan dampak buruk dan bahayanya bermaksiat. Bila demikian, semua orang di depan publik. Agar jelas siapa yang yang melakukannya harus diingatkan. hancur oleh penjelasan dan siapa yang Demikian pula orang yang masih menjadi baik dengannya. ragu tentang perkara yang buruk itu meriwayatkan bahwa atau orang yang terkena dampaknya. Al-Hakim Misalnya meniadakan jihad pada kondisi pemimpin Kuffah memanggil tukang fardhu ain atas kaum muslimin seperti sihir untuk menunjukkan permainannya situasi hari ini di Baitul Maqdis dan di hadapan publik. Hal ini terdengar lingkungannya. Bila ternyata penguasa oleh Jundub. Maka ia datang dengan menghentikan perang melawan musuh, menghunus pedang dan meletakkan Ketika Jundub tidak membela kehormatan, negeri di atas pundaknya. dan tempat-tempat suci, maka ia telah melihat tukang sihir itu, ia memukulkan melakukan kemungkaran besar yang pedangnya. Orang-orang pun menyingkir. Ia berkata, “Wahai manusia, jangan wajib diingatkan. takut, saya hanya menginginkan tukang Contohnya mengingatkan penguasa sihir ini.” Maka Gubernur menarik dan dari kemungkaran yang menyebar luas, menahannya. Hal ini terdengar juga seperti muamalah dalam riba, perzinaan oleh Salman. Maka ia berkata, “Betapa yang meluas dan kemaksiatan lainnya buruk apa yang dilakukan keduanya. Ia yang umum terjadi. Kita tidak boleh (gubernur) tidak pantas melakukannya. diam terhadap orang yang terlibat di Karena ia seorang imam yang dipercaya dalamnya. tetapi malah memanggil tukang sihir agar bermain di depannya. Namun orang Keburukan yang paling berbahaya ini juga tidak sebaiknya mengancam adalah yang disebarluaskan melalui amirnya dengan pedang.” media serta kriminalitas yangg merusak akal, perilaku dan moralitas. Orang yang Ini adalah ijtihad Jundub karena mampu harus mengingatkan penguasa fitnah telah muncul secara nyata di yang melegalkan hal-hal seperti ini. depan publik. Salman tidak setuju Rakyat harus diingatkan apa bahayanya. atas tindakannya mengancam dengan Karena dien ini adalah nasihat bagi Allah, pedang. Namun ia tidak mengingkari rasul-Nya, kaum muslimin, dan para tindakannya dalam mengingatkan pemimpin mereka. Orang yang mampu penguasa (dan tidak pula menuduhnya tidak akan lepas dari dosa hanya dengan sebagai khawarij). bisik-bisik di telinga penguasa, namun semua kejahatan itu tetap berjalan. Dan Keempat, bila seseorang mendengar kiblat muharram 1436 h 14 penguasa memutuskan perkara dengan menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, maka ia wajib mengingkarinya saat itu pula. Bila ia mendegarnya dari orang yang tepercaya, maka harus segera dijelaskan kepada umat sebab tidak halal mengakhirkan penjelasan saat dibutuhkan. Terutama bila ia seorang yang berilmu dan banyak pengikutnya; seorang panutan dan teladan dalam ilmu. Tidak berbeda jauh, adalah sebagian penguasa hari ini yang mengubah kurikulum pendidikan, yang bertujuan menjauhkan dari hukum-hukum Islam, menyembunyikan sebagian, atau mempersempit sebagian hukum had dan aturannya, terutama terkait wala wal bara’, i’dad dan isti’dad, dan keluar di jalan Allah untuk berjihad. Keenam: jika penguasa melakukan kejahatan atau kezaliman disebabkan oleh fatwa yang diinterpretasikan bukan semestinya dari ulama yang tsiqah, maka orang yang tahu wajib mengingkari dan menyelamatkan orang yang dizalimi. Kelima, bila penguasa melarang penyampaian kebenaran atau upaya menghidupkan sunah atau membasmi bid’ah. Dalam hal ini, seorang dai yang jujur harus mengutamakan ketaatan kepada Allah daripada diam dan tunduk kepada Diriwayatkan oleh Abu Bakar Khallal dalam Amar Makruf Nahi Mungkar dari Abu Bakar penguasa. Al-Marudzi, ia berkata, “Saya mendengar Abdurrazzaq meriwayatkan dalam Abu Abdullah bin Syarik berkata, Saya Mushannafnya dari Asy-Sya’bi, dari Qais mendengar Ahmad bin Yunus berkata, bin Abd, yang berkata, “Aku sering bertemu “Saya shalat Isya’ akhir di Maqom dan Abdullah bin Mas’ud selama satu tahun. ... Sufyan Ast-Tsauri berada di situ. Maka ada Ketika kami sedang berada di tempatnya seorang wanita datang, lalu berhenti di pada suatu malam, ia datang. Lalu depannya dan berkata, “Wahai Sufyan, apa dikatakan kepadanya, ‘Ini adalah utusan yang telah engkau halalkan hingga anakku Al-Walid.’ Abdullah berkata, ‘Matikan dipenjara karena dirimu?” .... Ahmad bin lampunya.’ Utusan itu masuk lalu berkata, Yunus berkata, “Saya melihat Sufyan telah ‘Amir (penguasa) berkata kepadamu, berdiri ke Maqom dan ternyata Amir kaum tinggalkanlah kata-kata yang sering engkau muslimin berada di depannya. Sufyan ucapkan.’ berkata, “Mengapa engkau memenjarakan orang karena diriku?” Sang penguasa ‘Kalimat apa?’ (menyadari kekeliruannya) dan menjawab, ‘Kalimat-kalimat ini?’ “Malam ini, pintu penjara terkunci.” “Saya Abdullah terus mengulangnya, lalu utusan tidak akan beranjak dari tempat ini sampai itu berkata, ‘Perkataanmu: Setiap hal yang engkau membebaskannya.” Maka amir itu baru adalah bid’ah.’ mengutus seseorang agar mengambil kunci ‘Saya tidak akan meninggalkannya.’ dan membuka penjara. Anak perempuan ‘Kalau begitu, baginda memerintahkan itu pun dibebaskan dan diserahkan agar engkau pergi.’ kepadanya.” [Agus Abdullah] ‘Ya, saya akan keluar.’ Maka Abdullah akhirnya pergi ke Madinah.” kiblat muharram 1436 h 15 Ingin Beriklan di Majalah Kiblat? Hubungi: [email protected] cp: 082134777734 kiblat muharram 1436 h 16 Menyelamatkan Bahtera Tak Hanya dengan “Empat Mata” ”Tiada seorang nabi pun yang diutus sebelumku, kecuali mempunyai beberapa hawari (pengikut setia) dan sahabat dari umatnya yang selalu memegang sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian setelah mereka muncul beberapa generasi pengganti, mereka mengatakan sesuatu yang tidak diamalkan dan mengamalkan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa berjihad melawan mereka dengan tangannya ia beriman, barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya ia beriman dan barang siapa berjihad melawan mereka dengan hatinya ia beriman, dan setelah itu tidak ada iman lagi walau sebesar biji sawi.” kiblat muharram 1436 h 17 M uatan atau penumpang berlebih bukan satu-satunya sebab kapal menjadi karam. Jika ada seseorang melubangi kapal, tentu saja bisa menyebabkan kapal itu tenggelam. Hal ini manakala tidak seorang pun mencegah perbuatannya. Begitu juga dengan sebuah negeri, tidak lantas karena banyaknya penduduk, negeri tersebut akan hancur dan kelaparan. Namun, saat ada seorang yang merusak kondisi negeri tersebut – dengan hal apapun—tentu saja dapat mengakibatkan kehancuran. Tindakan pencegahan (baca: amar ma’ruf nahi munkar) bukan hak dan kewajiban kalangan tertentu. Tidak terbatas pada satu golongan yang lebih tinggi dibanding yang lebih rendah, begitu pula sebaliknya. Setiap person atau golongan – ketika ia mampu— hendaknya dapat merealisasikan tindakan pencegahan. Tentu saja, hal ini dalam rangka mencapai kemaslahatan bersama dan menghindari timbulnya kemadharatan. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan, berkaitan dengan dua pihak yang saling terkait, yaitu si pencegah dan yang dicegah. Dari sini perlu ada sebuah batasan-batasan yang perlu dijaga. Si pencegah bukan asal mencegah dengan bertindak semaunya, di sisi lain yang dicegah hendaknya sadar kalau memang benar-benar bertindak salah. Keduanya harus sama-sama jujur akan tindakan yang diperbuatnya, karena hal itu dapat mempengaruhi hasil dari tindakan pencegahan. Maka dari itu, tindakan pencegahan sesegera mungkin harus dilaksanakan. Jangan sampai nasi menjadi bubur, saat negeri sudah hancur, barulah penduduk negeri bangun tidur. Tindakan pencegahan ini di dalam Islam terkait dengan sebuah ibadah, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Maknanya adalah menganjurkan kebaikan dan melakukan perbaikan, serta mencegah dari kemungkaran dan menahan pengrusakan. Inilah yang seharusnya Dalam satu sekup misalnya, terkait dilakukan demi mempertahankan sebuah negara atau wilayah kekuasaan, keutuhan sebuah negeri. subjek pencegahan bisa jadi bergantian, begitu pula dengan objeknya. Siapa Basyar Asad? Terkadang penguasa negeri melakukan tindak pencegahan terhadap rakyatnya, sebaliknya rakyat pun juga berhak melakukan tindak pencegahan terhadap penguasa. Dalam hal ini posisi keduanya sama, saling mengemban kewajiban dan masing-masing memperoleh hak. Penguasa yang melakukan tindakan pencegahan terhadap rakyatnya, dapat dipastikan ‘bebas’ menggunakan cara apapun. Ini karena penguasa memiliki kiblat muharram 1436 h 18 kemampuan dan kuasa untuk bertindak. Lantas bagaimanakah dengan rakyat – di mana secara strata posisinya di bawah dan lemah – ketika mereka dapati bahwa penguasanya melakukan hal yang dapat menyebabkan “karamnya kapal”. Tindakan apa yang seharusnya dilakukan? Bolehkah dengan sembarang cara atau dalam bentuk apapun? Tentu ini menjadi sebuah masalah tersendiri. Rakyat tentu saja memiliki hak dan kewajiban sama. Ketika penguasa melakukan tindak kesalahan yang dapat menghancurkan sebuah negara, rakyat harus bergerak, mencegah sekuat tenaga agar hal itu tidak terjadi. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan cara apapun, asalkan sesuai jalur syariat dan dapat diharapkan hasilnya. Rakyat boleh melakukan tindak pencegahan apa saja, selama dimampui dan sesuai kondisi. Satu contoh tindakan pencegahan adalah sebagaimana paparan hadits riwayat Imam Ahmad. “Barang siapa yang hendak menasihati penguasa dengan sebuah perkara, maka janganlah ditampakkan, tetapi ambillah tangannya lalu bawalah ke tempat yang kosong. Jika ia menerima, maka itulah yang didapat, jika tidak, maka engkau telah melakukan kewajibanmu kepadanya.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya 3/403 dan Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah hal. 507 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Zhilalul Jannah: 1096) Imam Ahmad menceritakan sebuah kejadian ketika meriwayatkan hadits di atas. Secara lengkap disebutkan sebagai berikut: Di dalamnya menjelaskan pola hubungan vertikal, antara bawahan (rakyat) dengan atasan (penguasa). Rasulullah n bersabda: kiblat muharram 1436 h 19 Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Abi Ashim dan Ibnu Adi melalui jalur Shafwan bahwa ia berkata, telah menceritakan kepadaku Syuraih bin Ubaid Al Hadlrami bahwa ia berkata, “Iyadl bin Ghanam pernah mencambuk penduduk Darya ketika sudah ditaklukkan. Maka Hisyam bin Hakim pun berkata keras kepadanya sehingga Iyadh pun marah. Kemudian ia pun menginap beberapa malam. Hisyam kemudian mendatanginya dan memberi tahu alasan perkataannya tersebut. Hisyam pun berkata kepada Iyadh, ‘Tidakkah engkau mendengar sabda sabda Rasulullah saw (Barang siapa yang hendak menasehati penguasa dengan sebuah perkara, maka janganlah ditampakkan, tetapi ambillah tangannya lalu bawalah ke tempat yang kosong. Jika ia menerima, maka itulah yang didapat, jika tidak, maka engkau telah melakukan kewajibanmu kepadanya). Dan bahwasanya engkau wahai Hisyam, engkau benar-benar berani karena telah berani kepada penguasa Allah, apakah engkau tidak takut jika penguasa itu membunuhmu, lalu engkau menjadi orang yang dibunuh penguasa Allah ta’ala.’.” Dalam hadits di atas, poin penting yang dijadikan satu landasan tindakan pencegahan adalah, larangan untuk mencegah tindakan buruk secara terang-terangan. Tidak boleh seseorang menegur tindakan yang salah dari orang yang berkuasa di hadapan khalayak. Hendaknya hal tersebut dilakukan secara diamdiam. Nabi n (Sesungguhnya manusia yang paling keras adzabnya adalah mereka yang paling keras adzabnya kepada manusia di dunia).’ Iyadh bin Ghanam pun berkata, ‘Wahai Hisyam, kita telah mendengar apa yang engkau dengar dan melihat apa yang engkau lihat, tapi bukankah Lantas, seperti itukah yang engkau engkau mendengar seharusnya dilakukan? kiblat muharram 1436 h 20 Apa hanya thariqah seperti inilah yang boleh dikerjakan untuk menegur pihak yang lebih berkuasa? Apakah cara-cara lain tertutup, sehingga kesalahan tetap saja dibiarkan? Hadits tersebut memang terdapat kontroversi tentang derajat keshahihannya. Syaikh Al-Albani memang menyatakan riwayat tersebut shahih – berdasarkan metode ilmu hadits yang dijadikan acuan. Namun, jika dilihat dari jalur-jalur periwayatan dan sanadnya, hadits ini lemah/dha’if. Jalur sanad hadits di atas ada beberapa koreksi, yaitu tidak bertemunya Syuraih dan Iyadl. Karena tidak bertemu, otomatis jalurnya terputus. Selain itu, Ibnu Hajar menilai Syuraih sebagai orang yang banyak meriwayatkan hadits mursal. Al Miqdam. Riwayatnya dari Abu Malik Al Asy’ari adalah mursal. (Al Marasil, Ibnu Abi Hatim: 1/90) Muhammad bin Auf perrnah ditanya: Apakah Syuraih bin Ubaid pernah mendengar dari Abu Darda? Ia menjawab, “Tidak, belum pernah.” Dikatakan kembali kepadanya, “Dia pernah mendengar dari salah seorang sahabat Nabi?” Dijawab, “Aku tidak berpikir demikian. Dia belum pernah mengatakan ‘(sami’tu) aku telah mendengar padahal ia tsiqah.’.” (Tahdzibul Kamal: 22/447) Abu Umamah wafat tahun 86 H, Miqdam bin Ma’ad dekat dengannya, yaitu 87 H. Lantas bagaimana bisa ia berjumpa dengan Iyadh yang wafat tahun 20 H? Perkataan Syaikh Al Albani dalam takhrijnya atas Kitab Sunnah milik Ibnu Abi ‘Ashim –bahwa sanadnya adalah shahih dan rijalnya tsiqah— adalah tidak benar. Para perawi yang ada dalam Kitab Sunnah Ibnu Abi ‘Ashim di antara mereka ada Baqiyah bin Al-Walid, kata-katanya Abu Hatim Ar Razi pernah memang diketahui tapi memutuskan bahwa sanadnya terputus dan Syuraih tidak pernah tidak baik. kenal Abu Umamah dan Harits bin Al Harits serta Menurut Ibnu Abi ‘Ashim, disebutkan bahwa ada “perantara” antara Syuraih dan kejadian yang dialami Iyadh. Ia berkata, “Muhammad bin ‘Auf Menceritakan kepadaku, Muhammad bin Ismail – Ibnu Iyasy— telah bercerita kepadaku, ayahku telah bercerita kepadaku dari Dhamdham bin Zur’ah dari Syuraih bin Ubaid yang berkata bahwa Jubair bin Nufair mengatakan bahwa Iyadl bin Ghanam kiblat muharram 1436 h 21 berkata kepada Hisyam bin Hakim.......Al hadits Sanad di atas adalah lemah sekali. Terdapat beberapa cacat pada perawi di dalamnya. 1. Muhammad bin Ismail bin Iyasy. Abu Dawud berkata tentangnya, “Dia belum pernah melakukan –periwayatan tersebut—dari ayahnya” Abu Hatim dalam Al Jarh wa AtTa’dil 7/190 berkata, “Dia belum pernah mendengar apapun dari ayahnya.” Dalam kitab AlIshabah (4/510) AlHafizh Ibnu Hajar sempat menyebut riwayatnya, kemudian melemahkannya dengan pernyataan, ”Tapi Muhammad bin Ismail ini dha’if jiddan (sangat lemah).” Hal ini sebagaimana yang dihukumi Abu Dawud terhadapnya, “Dia seorang yang lemah dan pemalsu hadits.” 2. Ismail bin Iyasy Dia adalah seorang yang lemah ketika meriwayatkan dari penduduk negerinya. Padahal di sini, ia meriwayatkan dari seorang penduduk negerinya. Oleh karena itu, lepas sudah ikatannya. 3. Dhamdham bin Zur’ah. Yahya bin Ma’in berkata bahwa ia tsiqah. Ibnu Hibban juga pernah menyebutnya dalam kitabnya “Ats Tsiqaat”. Ibnu Hajar berkata, “Dia orang yang jujur.” Abu Hatim mengatakan bahwa ia lemah. Dapat dimaklumi bahwa Abu Hatim termasuk keras ketika menghukumi berkaitan masalah rijal. Sebutan yang paling dekat –kebenarannya— terhadap Dhamdham insya Allah bahwa ia orang yang jujur. Maka yang tersisa adalah Muhammad bin Ismail. Ia sungguh telah menyelisihi orang-orang yang tsiqah dalam hadits ini dengan menyebut Jubair bin Nufair antara Syuraih dan kejadian Iyadh. Ini adalah riwayat yang munkar lagi cacat –tidak ada perbedaan teknik periwayatan antara ahli mushtalah hadits terdahulu dengan yang sekarang. Selain dua jalur periwayatan di atas, ada satu jalur lagi dari Fudhail Fadhalah. Namun, sanad ini juga nilainya lemah. Ibnu Hajar berkata tentang Fudhail bin Fadhalah, “Ia bisa diterima, bila mutabi’ (bersekutu atau ada kesesuaian dengan periwayatan dari perawi lain yang lebih populer dalam meriwayatkan), bila tidak maka statusnya layyin (perawi yang cacat tetapi tidak gugur dari tahap keadilan [‘adalah]), tetapi telah memursalkan sesuatu. Ibnu Aidz adalah AtsTsimali. Imam Adz Dzahabi berkata tentang dirinya, “AlAzdi mendhaifkannya dan namun An-Nasa’i menguatkannya. Ia banyak meriwayatkan hadits mursal. Ibnu Hatim juga berkata bahwa hadits-haditsnya mursal. Imam Adz Dzahabi bergantung pada perkataan ini dengan mengatakan, “Sebagaimana kembalinya orang-orang Syam, sesungguhnya mereka keras dalam kiblat muharram 1436 h 22 masalah sanad di mana satu dengan lainnya. cenderung menilai bahwa Imam Az-Zuhri dan Padahal ketiganya adalah riwayat tambahan ini lainnya tinggal di sana.” sama-sama dhaif. syadz karena menyelisihi riwayat yang shahih dari Menurut Abu Qatadah Hal lain yang menjadi jalur Urwah yang ada Al-Filasthini, Ibnu saksi akan kedhaifan dalam Shahih Muslim. Aidz di sini tidak jelas hadits ini adalah sanadnya Dalam halaman 164 pendengarannya. Oleh menyelisihi sanad shahih dikatakan, (cetakan Darul karena itu, sanad ini yang diriwayatkan Aatsaar, Shan’a`): (sumber: menjadi dha’if karena oleh Imam Muslim. h t t p : / / k a w a l i t a r e n g . terdapat 2 cacat: Yaitu bahwa Nabi saw blogspot.com/2013/11/ 1. Terputusnya Fudhail bersabda (Sesungguhnya kelemahan-hadits-iyadhdan Ibnu Aidz Allah mengadzab orang- bin-ghanm.html) 2. Terputusnya Ibnu Aidz orang yang mengadzab dan Jubair bin Nufair ketika di dunia), tanpa Selain karena jalur tambahan ini. periwayatan yang Dari paparan di atas, bermasalah, dari sisi Imam Muslim dapat diketahui bahwa lafadz hadits tersebut hadits tersebut dhaif meriwayatkan hadits ini dinilai munkar. Hal karena sanad-sanadnya dalam shahihnya di Kitab tersebut dapat dilihat telah disepakati akan Al birru wash Shillah wal dari keterangan di bawah kedhaifannya. Dalam Adab melalui jalur Hisyam ini: bentuk seperti ini, salah bin hakim bin Hizam, Iyad bin satu (sanad) tidak bisa bahwa ia berkata, “Telah Perkataan menjadi syahid bagi lewat di Syam di antara Ghanam kepada Hisyam manusia dan mereka (Apakah engkau tidak lainnya. berdiri di bawah terik takut kalau penguasa itu Hal ini menegaskan matahari, dituangkan membunuhmu, sehingga kesalahan Syaikh Al- di atas kepala-kepala engkau menjadi orang Albani saat memberikan mereka minyak. Maka yang dibunuh penguasa ta’liq atas hadits itu, yang ia berkata, ‘Apa ini?’ Allah tabaraka wa ta’ala). mana ia mengatakan Dikatakan, ‘Mereka Perkataan dari Iyadh ini tentang sanad kedua disiksa karena tidak mau salah dilihat dari dua untuk menguatkan membayar kharaj.’ Maka sisi –selaras dengan sanad pertama. Untuk itu ia berkata: Adapun aku kesalahan atas kedhaifan nilainya dhaif. Dia juga mendengar Rasulullah hadits ini sebagaimana berusaha menguatkan saw ............ Al Hadits telah dijelaskan: dengan jalur sebelumnya 1. P e r k a t a a n n y a dan jalur lain setelahnya. Dari sinilah Syaikh Muqbil (Maka engkau akan bin Hadi Al-Wadi’i dalam Yaitu ketika menjadikan menjadi orang kitabnya Tuhfatul Mujib yang dibunuh oleh ketiga sanad ini berbeda kiblat muharram 1436 h 23 penguasa Allah). Ini adalah menyelisihi hadits-hadits yang menunjukkan fadhilah-fadhilah ketika dibunuh oleh penguasa lantaran menasehatinya. 2. Perkataan (penguasa Allah) adalah lafadz yang tidak shahih bahwa hadits ini berasal dari Rasulullah. Setiap apa yang dishahihkan Syaikh Albani atas hal ini maka nilainya adalah tidak shahih alias dhaif Terlepas dari itu semua, seandainya hadits ini pada akhirnya bernilai lemah, dalam hal-hal kemaslahatan hadits tersebut tetap dapat dijadikan acuan. Minimal menjadi satu metode dalam hal pencegahan. Dalam upaya pencegahan, apa yang menjadi poin dalam hadits di atas sebenarnya bukan satu-satunya cara. Upaya diamdiam memang bisa diterapkan dalam satu kondisi. Namun, upaya tersebut tidak lantas menutup Salah satu upaca pemakaman tentara Hizbullah Lebanon yang tewas di Suriah Abu Syahid Komandan Brigade Abu Fadl Al-Abbas Irak di Suriah, memberi hormat kepada foto Basyar Asad sebelum bertempur [foto: Abna.co] jalan-jalan pencegahan yang lain, semisal secara terang-terangan. Terlebih ketika keburukan tersebut membahayakan dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Tindakan buruk tetap harus dikoreksi baik secara diamdiam ataupun terangterangan, tentu saja harus sesuai kondisi dan dengan cara yang bijak, bukan dengan mengungkap aib dan kemaksiatan pribadi yang sudah ada upaya untuk ditutupi. Upaya pencegahan secara terang-terangan tersebut bukan lantas tanpa landasan. Generasi salaf dalam beberapa kasus pernah melakukan hal itu. Di antaranya adalah Marwan (Amir Madinah) ketika itu yang dikoreksi oleh Abu Said Al-Khudri a secara terang-terangan saat shalat ‘Ied, seperti disebutkan sebelumnya. Said bin Musayyaf bahkan sering dicambuki oleh para penguasa agar ia berhenti mengkritik mereka. Dalam suatu kisah, Penguasa zamannya berkata, “Apakah Said jera sejak kami cambuk?” Ada yang menjawab, “Demi Allah ia justru lebih keras berbicara sejak engkau mencambuknya. Cukuplah menghukum orang itu.” (Ath-Thabaqat, V/127). Said melakukan amar makruf nahi Munkar tersebut kepada penguasa muslim, bagaimana dengan penguasa sekuler? Dalam kasus lain, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab juga pernah diprotes langsung oleh seorang wanita dan beliau kiblat muharram 1436 h 24 tidak mengingkarinya. Diceritakan bahwa ketika Umar bin Khaththab a menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak membatasi mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh Rasulullah n. Jika ada yang lebih dari itu, maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: ٠٢ “Wahai Amirul mukminin, engkau melarang manusia dari memberi mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab, “Benar.” Wanita itu berkata, “Apakah kau tidak mendengar firman Allah, “…. sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (An-Nisa: 20) Umar menjawab, “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Kemudian Umar pun meralat keputusannya. Kemudian naik ke mimbar dan berkata, “Dahulu aku melarang kalian untuk membayar mahar wanita lebih dari 400 dirham, maka (sekarang) barang siapa yang mau (silakan) memberi dari hartanya sebanyak yang dia suka.”. Mengutip Al-Hafidz Abu Ya’la, Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawiy (baik lagi kuat. (Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/243 – 244, Dâru Thayyibah Lin Nasyri wat Tawzî’, Cet. II, Maktabah Syâmilah) Secara umum, tindakan pencegahan sudah kiblat muharram 1436 h 25 diajarkan oleh Nabi n sang pemilik akhlak mulia. Dalam hadits, Rasulullah n mengajarkan, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa hendaklah mengubahnya dengan lisannya, dan jika tidak mampu hendaklah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” Metode-metode yang disebutkan dalam hadits, berupa tindakan pencegahan dengan tangan, lisan, dan hati adalah sebuah pilihan sesuai kondisi yang berlaku. Pilihan tersebut tidak lantas menafikan satu dengan yang lainnya. Selama hal itu dimampui, relevan dengan keadaan, dan lebih berdampak positif, maka hendaknya itu Hal tersebut bertujuan agar pihak yang menjadi objek pencegahan dapat berjalan lagi sesuai jalurnya. Tidak menyimpang dengan melakukan berbagai tindak keburukan dan kezaliman. Begitu pun ketika objek pencegahan memiliki kuasa dan kekuatan, tidak lantas menjadikannya bebas dari kritik dan koreksi. Pencegahan tetap harus dilakukan, dengan cara apapun. Agar tidak menimbulkan sebuah kesenjangan bahwa yang berkuasa bisa bebas melakukan apa saja. Bahkan, “ Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa hendaklah mengubahnya “ menjadi sebuah pilihan. Pertimbangan tersebut hendaknya didasarkan pada ketentuan syariat dan realita yang terjadi, bukan lantaran hawa nafsu. Dr Yusuf Qardhawi Ketua Asosiasi Ulama Muslim Internasional dengan lisannya, dan jika tidak mampu hendaklah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman. secara tidak langsung mendapatkan legalitas untuk berbuat seenak hati memperlakukan pihak-pihak yang lebih lemah dari dirinya. [M. Basyiruddin] kiblat muharram 1436 h 26 PEMERINTAH SEKULER BUKAN ULIL AMRI S elang beberapa hari setelah pelantikan Jokowi sebagai presiden, banyak beredar broadcast tentang anjuran untuk menaati ulil amri. Pesan tersebut diwarnai dengan seabrek dalil tentang kewajiban taat kepada pemimpin. Tak ada yang aneh atau perlu dipertanyakan seputar dalil yang terdapat dalam pesan tersebut. Namun timbul pertanyaan ketika yang dimaksud ulil amri adalah Jokowi. Alasannya simpel, yaitu karena mantan gubernur DKI itu, saat ini telah resmi menjadi presiden Indonesia. Tanpa harus membeda-bedakan, siapa pun yang menjadi presiden maka wajib untuk ditaati. Tema ini sempat menjadi tranding topik yang diperdebatkan oleh para aktivis Islam. Banyak yang membantah, namun sebagian lain setuju dengan anjuran tersebut. Bahkan dalam salah satu tulisan yang beredar di internet, penyebutan nama Jokowi diikuti dengan kata-kata hafidhahullah. Salah satu doa yang sering disebutkan ketika menyebut nama tokoh muslim yang sedang memperjuangkan Islam. Tidak hanya gelar Ulil Amri, lebih tinggi dari itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj, menyematkan gelar khalifah kepada Jokowi. “NKRI sudah sesuai jalan Islam. Pak Jokowi khalifah kita sekarang, pemimpin bangsa Indonesia, termasuk umat Islam,” kata Said Aqil usai penutupan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Jakarta, Minggu (2/11) kiblat muharram 1436 h 27 Para aktivis yang selama ini gigih memperjuangkan syariat Islam pun kembali dibuat kaget dan heran dengan pernyataan tersebut. Gelar yang seharusnya dinisbatkan kepada mereka yang memimpin umat dalam menjalankan undang-undang Allah, kini dinisbatkan kepada pemimpin negara berasas Pancasila. Wajar jika para aktivis Islam banyak yang mempertanyakannya, karena dalam literatur Islam yang selama ini lazim diketahui oleh orang muslim, seseorang yang diangkat menjadi ulil amri atau khalifah, dia akan memiliki peran penting dalam menjaga agama dan mengurus kemaslahatan umat sesuai dengan syariat yang telah diatur dalam Islam. Oleh karena memiliki peran tersebut, setiap muslim diperintahkan untuk menaatinya, baik dalam keadaan rela maupun terpaksa kecuali jika dia memerintahkan kepada kemaksiatan. Kewajiban taat kepada ulil amri Para ulama sepakat bahwa ketaatan kepada ulil amri adalah perintah yang wajib ditaati oleh setiap muslim. Banyak sekali dalil yang menyebutkan kewajiban tersebut. Di antaranya, dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59, Allah l berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya, serta pemimpin di antara kalian.” (An-Nisâ’: 59) Ketegasan perintah tersebut, juga disampaikan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam wasiatnya kepada umat Islam. Sabdanya: “Aku wasiatkan kalian agar senantiasa takwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara) meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Daud, no. 4609 dan AtTirmidzi, no. 2677) Tentunya masih banyak dalil-dalil lain yang menegaskan perintah untuk menaati pemimpin, sehingga tak ada satu pun yang menyangkal tentang kewajiban tersebut, bahkan para ulama sepakat bahwa hukum keluar dari kiblat muharram 1436 h 28 ketaatan kepada ulil amri adalah haram. Namun permasalahannya adalah siapakah ulil amri yang wajib ditaati? Apakah setiap pemimpin yang beragama Islam pada saat ini bisa disebut ulil amri? Padahal telah kita ketahui bersama bahwa hampir seluruh pemimpin negara muslim hari ini hanya menjalankan sistem pemerintahan sekuler. Dan sistem tersebut jelas sangat bertentangan dengan sistem undang-undang Islam. lantas kalau memang tidak, apakah ada pemimpin hari ini yang wajib ditaati? Ketika menafsirkan surat An-Nisa ayat 59, Jumhur ulama berpendapat bahwa definisi ulil amri yang wajib ditaati adalah para penguasa dan pemimpin yang mengatur kemaslahatan umat. Asy-Syaukani dalam kitab tafsirnya, Fathul Qadir, mengatakan, “Ulil amri adalah para Ulil amri adalah para pemimpin, penguasa, hakim dan semua orang yang memegang pemerintahan yang menjalankan syariat, bukan pemerintahan thaghut. pemimpin, penguasa, hakim dan semua orang yang memegang pemerintahan yang menjalankan syariat, bukan pemerintahan thaghut.” (As-Syaukani, Fathul Qodir, hal. 308) Imam Nawawi v berkata, “Ulil Amri yang dimaksud adalah orang-orang yang Allah l wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat, inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang yaitu dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan selainnya.”(Syarh Shahih Muslim 12/222) Setidaknya ada tiga kesimpulan mendasar yang dituliskan oleh para ulama mufassir dalam menafsirkan surat AnNisa ayat 59: 1. Ulil amri yang wajib ditaati adalah ulil amri dari kalangan orangorang beriman dan memerintah dengan adil. 2. Ketaatan kepada ulil amri tidak mutlak, namun bersyarat. Yaitu selama bukan dalam perkara maksiat. 3. Ulil amri yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai hukum dalam pemerintahannya tidak wajib ditaati kiblat muharram 1436 h 29 secara mutlak baik ketika hukumnya bersesuaian dengan hukum syar’i ataupun menyelisihi. Ulil amri seperti ini tidak sah. Muqaddimah, hal. 195, dinukil dari AlImamah Al-‘Uzhma ‘inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah karya Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji, hal 29) Ketiga poin ini penting untuk diperhatikan dalam memandang penguasa yang memerintah di negerinegeri berpenduduk muslim. Termasuk di Indonesia, agar dengan demikian kita akan lebih bisa menilai siapakah yang disebut ulil amri sebenarnya. Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah sebagai proses seseorang (di antara umat Islam) dalam menggantikan (tugas) Rasulullah untuk menegakkan pilar-pilar syariat dan menjaga eksistensi agama, di mana ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk mengikuti (tunduk kepada)nya. (AlSelai itu, ada satu hal lain yang cukup Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’, mendasar juga adalah memahami tujuan hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al(maqashid) kepemimpinan dalam Islam Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5) itu sendiri. Para ulama menyebutkan bahwa tujuan pokok dari adanya Dengan demikian kewajiban pertama kepemimpinan adalah untuk mengatur dan yang paling pokok bagi ulil amri kemaslahatan umat dengan menjalankan adalah mewujudkan tujuan-tujuan syariat yang telah Allah gariskan dalam kepemimpinan tersebut, pertama, Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena menegakkan agama. kedua, mengatur itu, dalam Islam pemimpin juga disebut rakyatnya dengan syariat Islam. Dengan sebagai pengganti peran Rasulullah n peran ini, ia disebut ulil amri yang dalam menjalankan tugas kenabian. wajib ditaati dan tidak boleh dilawan karena telah menegakkan agama Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus dan menerapkan syariat. Adapun jika Sulthaniyah, 1/3 berkata: pemimpin yang tidak menegakan agama dan syariat maka tidak layak disebut ulil amri yang wajib ditaati. “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” Sementara Ibnu Khaldun menulis bahwa imamah merupakan pengganti (tugas) pemegang (otoritas) syariat dalam melindungi agama dan mengatur urusan keduniawian.” (Ibnu Khaldun, Al- Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid berkata, “Adapun jika (para penguasa) menonaktifkan syariat Allah, tidak berhukum dengannya dan berhukum dengan yang lain maka ketaatan kaum muslimin kepadanya telah lepas. Manusia tidak wajib menaatinya. Karena mereka telah menyia-nyiakan tujuan imamah (kepemimpinan) yang dengan keberadaannya ia diangkat, berhak kiblat muharram 1436 h 30 didengar, ditaati dan tidak ditentang. 1423, hlm. 169) Ulil Amri berhak mendapatkan itu semua dikarenakan mereka melaksanakan Rasulullah n bersabda: kepentingan (urusan) kaum muslim, menjaga dan menyebarkan agama, melaksanakan hukum-hukum, menjaga perbatasan, memerangi orang“Dengar dan taatilah, meskipun yang orang yang menolak Islam setelah memimpinmu seorang budak dari mendakwahinya, mencintai kaum Habsyi yang kepalanya seperti anggur.” muslimin dan memusuhi orang-orang (HR. Al-Bukhari dari Anas bin Malik) kafir. dalam riwayat Ahmad dari Ummul Hushain al-Ahmasiyyah terdapat tamJika dia tidak menjaga agama atau tidak bahan, “Selama ia menegakkan kitabmelaksanakan urusan kaum muslim ullah di tengah-tengah kalian.” maka hak kepemimpinan telah hilang darinya. Umat (dalam hal ini diwakili Taat kepada Ulil Amri kecuali dalam oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena kemaksiatan kepada merekalah kembalinya kendali permasalahan) wajib mencopotnya Kita telah mengetahui bahwa ulil amri dan menggantinya dengan orang yang wajib didengar dan ditaati adalah yang mampu merealisasikan tujuan yang mengatur rakyatnya dengan kepemimpinan. syariat Islam. Kemudian ketaatan Ketika Ahli Sunnah tidak membolehkan keluar dari para pemimpin yang zalim dan fasik—karena kejahatan dan kezaliman tidak berarti menyia-nyiakan agama— maka yang dimaksud mereka adalah pemimpin yang berhukum dengan syariat Allah. Kalangan salafus saleh tidak mengenal istilah pemimpin (ulil amri) yang tidak menjaga agama. Menurut mereka pemimpin seperti ini bukanlah ulil amri. Yang dimaksud kepemimpinan (ulil amri) adalah menegakan agama. Setelah itu baru ada yang namanya kepemimpinan yang baik dan kepemimpinan yang buruk.” (Abdullah bin Abdul Hamid, Al Wajîz Fî Aqîdati al Salaf al Shâlih Ahli al Sunnah Wal Jamâ’ah, Riyadh: Wazârah al Syu’ûn al Islâmiyyah Wa al Da’wah Wa al Irsyâd, kepada pemimpin tidak bersifat mutlak namun ketaatan kepadanya harus sesuai dengan batasan-batasan hukum yang telah diturunkan Allah. Karena tidak boleh menaati makhluk dalam perkara kemaksiatan. Dari Ibnu Umar h Rasulullah n bersabda, “Setiap muslim wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” (Muttafaqun ‘alaih) kiblat muharram 1436 h 31 “Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, ketaatan itu dalam “Mendengar dan menaati seorang (pem- sesungguhnya impin) yang Muslim adalah wajib, baik kebajikan.” (HR. Bukhari dan Muslim) dalam perkara yang disenangi atau Ali bin Abi Thalib a pernah menceritakan dibenci, selama tidak diperintahkan untuk maksiat.” (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, kisah yang cukup menarik dalam at-Tirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu Umar) permasalahan ini, Ali berkata, “Nabi n mengirim pasukan perang dan beliau Nash-nash di atas menunjukkan bahwa mengangkat salah seorang dari mereka kaum muslimin diwajibkan menaati yang berasal dari Al-Anshar sebagai pemimpin. Hanya saja ketaatan itu tidak pemimpin, dan beliau memerintahkan mutlak. Ia harus selaras dengan aturan mereka untuk menaatinya. Di tengah syariat. Artinya, tidak dalam rangka perjalanan, pemimpin mereka marah melanggar perintah Allah. Para ulama maka dia berkata, “Bukankah Nabi n telah sepakat bahwa ketaatan terhadap ulil memerintahkan kalian untuk menaatiku?” amri tidak bersifat mutlak. Namun ada mereka menjawab, “Betul.” Dia berkata, batasan-batasan yang diberikan. Secara “Kalau begitu saya perintahkan kepada garis besar perintah yang dimaksudkan kalian agar mengumpulkan kayu bakar adalah tidak boleh ada unsur kemaksiatan lalu kalian menyalakannya kemudian kalian masuk ke dalamnya.” Maka mereka kepada Allah. kiblat muharram 1436 h 32 pun mulai mengumpulkan kayu bakar lalu menyalakannya. Tatkala mereka akan melompat masuk ke api tersebut, mereka hanya berdiri sambil memandang satu sama lain. Lalu sebagian di antara mereka berkata, ‘Kami hanyalah mengikuti Nabi n karena menghindar dari api (neraka), kalau begitu kenapa kami akan memasukinya.’ Demikian keadaan mereka hingga apinya padam dan kemarahan pemimpinnya reda. Hal ini kemudian diceritakan kepada Nabi n maka beliau bersabda: kebenaran kepada seseorang yang terpilih sebagai penguasa adalah kesetiaan yang sebenar-benarnya, sedang menyembunyikan kebenaran adalah suatu kemunafikan. Orang yang kuat maupun orang yang lemah sama kedudukannya dan saya akan memperlakukan kalian semua dengan adil. Jika aku bertindak dengan hukum Allah dan Rasul-Nya maka taatilah aku akan tetapi jika aku mengabaikan ketentuan Allah dan rasul-Nya, tidak layak kalian menaatiku.” [Fakhruddin] ‘Seandainya mereka masuk ke dalam api tersebut niscaya mereka tidak akan keluar darinya (neraka) selama-lamanya. Sesungguhnya ketaatan kepada pimpinan itu hanya dalam perkara yang baik’.” (HR. Muslim no. 1840) Demikianlah batasan taat kepada pemimpin, selama pemimpin tersebut menegakkan syariat dan memerintahkan kepada yang makruf maka wajib ditaati, namun sebaliknya jika pemimpin tersebut memerintahkan kepada kemaksiatan maka wajib diingkari, dan di sinilah letak peran rakyat untuk melaksanakan hak mereka kepada pemimpin, yaitu menasihatinya jika menyimpang dari jalur syariat. Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq dilantik menjadi khalifah, beliau berkhutbah, “Saya bukanlah yang terbaik di antara kalian. Oleh karena itu saya sangat menghargai dan mengharapkan saran dan pertolongan dari kalian semua. Menyampaikan Seandainya mereka masuk ke dalam api tersebut niscaya mereka tidak akan keluar darinya (neraka) selama-lamanya. Sesungguhnya ketaatan kepada pimpinan itu hanya dalam perkara yang baik. kiblat muharram 1436 h 33 MELAWAN PENGUASA TIDAK SELALU KHAWARIJ wacana siyasah syar’iyyah. Inilah bentuk protes dan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Perwujudannya bisa beragam, mulai dari menolak baiat terhadap pemimpin, membatalkan baiat yang telah diikrarkan, hingga pemberontakan. Pertanyaannya, apakah setiap orang yang menentang penguasa tersebut disebut sebagai khawarij? B anyak sekali dalil yang menyebutkan bahwa pemimpin wajib ditaati selagi tidak menyuruh berbuat maksiat. Meskipun mereka masih sering melakukan kezaliman, kita dilarang menasihati di depan umum apalagi demonstrasi, karena itu bagian dari sifat Khawarij. Demikian anggapan sebagian dai yang mengklaim dirinya sebagai pengikut salaf. Menurut mereka, kalau memang ingin menasihati penguasa zalim harus dengan empat mata alias tidak boleh di depan khalayak umum. Kalau pun tidak bisa maka cukup lewat anggota DPR yang menjadi perwakilannya di parlemen. Cukup menarik apa yang ditulis Syaikh Abdullah Ad-Dumaiji ketika menguraikan permasalahan ini. Menurut beliau tidak semua orang yang menantang penguasa disebut Khawarij. Harus dilihat terlebih dahulu apa motivasi yang mendasari mereka ketika memutuskan untuk keluar dari kepemimpinan. Dengan demikian kita akan bisa lebih obyektif dalam menilai. Dengan latar belakang tersebut juga, kita akan dapat menilai jika status khuruj itu sendiri bisa beragam, kadang-kadang bisa jadi haram, makruh, mubah, sunnah, atau bahkan wajib. Untuk mencapai kesimpulan yang obyektif diperlukan pendefinisian secara tepat tiga unsur utama, al-kharijun (kelompok yang khuruj), almakhruj ‘alaih (penguasa), dan wasilatul khuruj (sarana khuruj). Ketepatan mendefinisikan tiga unsur ini sangat penting untuk mencapai sebuah konklusi Khuruj atau keluar dari ketaatan terhadap hukum yang tepat. penguasa menjadi topik menarik dalam kiblat muharram 1436 h 34 Penguasa tidak lepas dari tiga kategori, yaitu imam adil, imam ja’ir/zalim (maksiat) dan imam murtad. Penegasan status kategori ini menjadi penting karena akan mempengaruhi status hukum alkharijun (kelompok penentang). Khuruj terhadap imam adil misalnya, tentu tidak bisa disamakan dengan khuruj terhadap penguasa murtad (kufrun bawwah). sebagaimana tertera dalam Al-Maidah: 33 “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu Selain itu, dalam konteks ini, kelompok penghinaan untuk mereka di dunia, dan di perlawanan terhadap penguasa, juga harus akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” dibedakan atau diklarifikasikan terlebih dahulu. Karena orang yang menentang Ketiga, bughat yaitu sekelompok yang melawan imam adil. Motivasinya bisa penguasa tidak selalu disebut khawarij. karena menuntut hak, ambisi jabatan, Para ulama mengklarifikasi kelompok ambisi dunia, kepentingan kelompok dan perlawanan terhadap penguasa Islam lain-lain. sekurang-kurangnya menjadi empat kategori, yakni Khawarij, Al-Muharabah, Kelompok semacam ini tidak boleh langsung diperangi, melainkan Bughat, dan Ahlul Haq. diperlukan pendekatan persuasif (islah) Pertama, khawarij. Khawarij secara dengan mencoba melacak lebih jauh historis adalah sekelompok orang yang apa motivasi perlawanannya. Jika ada melakukan pemberontakan terhadap kesalahan pemahaman (syubhat) maka khalifah Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan perlu diberikan penjelasan, jika ada hak dipicu oleh penolakan mereka terhadap yang dirampas maka perlu dikembalikan. proses tahkim, mereka digambarkan Kemudian jika cara-cara persuasif tidak sebagai kelompok yang bersahaja membuahkan hasil, baru dilakukan namun tidak berilmu. Akibatnya, mereka tindakan tegas. Sebagaimana firman Allah terlalu gegabah dalam menuduh selain dalam Al-Hujurat: 9 kelompoknya sebagai kafir. Terhadap kelompok ini, para ulama sepakat tentang “Dan apabila ada dua golongan orang kesesatan mereka. Sehingga tidak dilarang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari memerangi mereka. keduanya melampaui batas (zalim) Kedua, al-muharibun yaitu para pembuat terhadap (golongan) yang lain, maka onar yang sering mengganggu stabilitas perangilah (golongan) yang melampaui keamanan, meresahkan penduduk dengan batas (zalim) itu, sehingga golongan itu melakukan aksi teror, perampokan, kembali kepada perintah Allah...” (QS. Alpencurian dan sejenisnya. Kewajiban Hujurat: 9) imam adalah menegakkan hukum had kiblat muharram 1436 h 35 Keempat, Ahlul Haq (pembela kebenaran) yaitu sekelompok penegak keadilan yang melawan imam ja’ir. Ibnu Hajar mengatakan, “Orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada penguasa dalam keadaan marah atas dasar dien (agama), karena melihat penguasa yang ja’ir (zalim) dan meninggalkan sunnah (tuntunan) Nabi, mereka adalah ahlul haq, termasuk di dalamnya, Husein bin Ali, penduduk Madinah dalam perang Harrah, dan mereka yang melawan Hajjaj bin Yusuf.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari, 12/286) Di antara sebab seorang pemimpin menjadi tidak sah dan layak untuk dilengserkan adalah sebagai berikut. Pertama: Kafir dan murtad dari Islam Allah l berfirman: “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman.” (QS. An-Nisa’: 141) Imam An-Nawawi berkata, “Mencopot Para sahabat yang disebut Ibnu Hajar pemimpin karena kekufuran merupakan adalah ahlul haq dan tidak dituduh ijma’ para ulama. Maka wajib bagi setiap khawarij meskipun mereka tidak taat muslim untuk melakukan hal tersebut. kepada penguasa saat itu. Barang siapa yang mampu melakukannya, maka ia mendapatkan pahala. Barang siapa Pemakzulan khilafah yang tidak mau melakukannya (padahal dia Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mampu), maka ia mendapatkan dosa. Dan bahwa tujuan kepemimpinan adalah barang siapa yang lemah (tidak memiliki menggantikan Nabi n dalam menjaga kemampuan), maka ia harus berhijrah agama dan mengatur kemaslahatan hidup meninggalkan negeri tersebut.” (Fathulumat dengan syariat Islam. oleh karena itu, Baariy, 13/123].) ketika seorang pemimpin tidak mampu melaksanakan tugas atau mewujudkan Al-Qadhi bin Iyadh menukil ijma’ tentang tujuan tersebut maka kepemimpinannya kewajiban melengserkan penguasa yang pun harus dilengserkan dan digantikan melakukan perbuatan kufur. “Para ulama dengan orang yang mampu mewujudkan telah berijma’ bahwa kepemimpinan (negara Islam) haram dilimpahkan tujuan kepemimpinan. kepada orang kafir. Jika di tengah masa Imam At-Taftazani berkata, “Baiat jabatannya, seorang penguasa melakukan kepada pemimpin akan batal ketika kekafiran, atau mengganti syariat, atau tujuan kepemimpinan tidak terwujud.” melaksanakan kebid’ahan (bid’ah kufriyah), Dalam literatur Islam, para ulama telah maka kepemimpinannya gugur, ia tidak menyebutkan beberapa sebab kenapa wajib ditaati,” jelas Al-Qadhi. khalifah harus dilengserkan. (Syarhul Maqashid, 2/199-207, Al-Irsyad, hal. 425- “Maka wajib bagi umat untuk melengserkan 426, An-Nihayah Li Syahrastani, hal. 492, penguasa tersebut dan menggantikannya Al-Ahkam Sulthaniyah li Abi Ya’la, hal. 4-6, dengan penguasa adil, jika mereka Al-Asybah wa Nadhair, As-Suyuti, Hal. 557) memiliki kemampuan. Jika yang memiliki kiblat muharram 1436 h 36 kemampuan untuk melengserkannya mendengar Rasulullah bersabda: “Meskipun kalian dipimpin oleh seorang hanya sekelompok orang, maka kelompok budak, namun dia memerintahkan detersebut wajib melengserkan penguasa ngan Kibullah, maka taatilah dan denkafir itu,” kata Al-Qadhi lebih lanjut. (Lihat: garkanlah.” (HR. Muslim) Shahih Muslim Syarh An-Nawawi, 12/229). “Wahai umat manusia! Bertakwalah Kedua: tidak menegakkan shalat kepada Allah. Dengarlah dan taatilah meskipun kalian dipimpin oleh seorang Pemimpin yang tidak menegakkan shalat, budak habasyah yang berambut keriting entah karena malas atau mengingkari selama melaksanakan Kitab Allah.” (HR. kewajiban shalat, harus dicopot dari Ahmad) jabatan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan muslim dari Auf bin Malik. Hadits ini jelas menunjukkan bahwa syarat Ia berkata, saya mendengar Rasulullah n untuk didengar dan ditaati adalah pemimpin bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian yang mengatur pemerintahannya dengan adalah pemimpin yang kalian cintai dan Kitab Allah. Jika pemimpin tersebut tidak mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan menegakkan syariat Islam maka dia tidak mereka dan mereka mendoakan kalian. layak untuk didengar dan ditaati bahkan Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah dia harus dicopot dan diganti. pemimpin yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka Pernyataan Syaikh Abdullah bin Abdul dan mereka pun melaknat kalian. Para Hamid Al-Atsari mengenai penguasa yang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidak menerapkan syariat Islam patut bolehkah kita menyatakan perang kepada disimak. Pernyataan itu dia tulis dalam mereka ketika itu?’ beliau menjawab, bukunya, Al-Wajîz fî ‘Aqîdah As-Salaf Ash‘Jangan! Selama mereka mengerjakan Shâlih Ahl As-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah: shalat di tengah-tengah kalian. Selama mereka menegakkan shalat di tengah- “Adapun para pemimpin yang meniadakan syariat Allah dan tidak berhukum tengah kalian’.” kepadanya, akan tetapi berhukum Makna hadits tersebut adalah ketika kepada selainnya, maka mereka tidak penguasa meninggalkan shalat, maka mendapatkan hak ketaatan dari kaum mereka boleh ditentang dan diperangi. muslimin. Tidak ada ketaatan bagi mereka Tetapi perlu diketahui perang merupakan dari rakyat, karena mereka menyia-nyiakan cara terakhir untuk mencopot penguasa fungsi-fungsi imamah yang karenanya tersebut. mereka dijadikan pemimpin dan berhak ditaati serta tidak diberontak. Karena, Ketiga: tidak menerapkan hukum Allah pemimpin tidak berhak mendapatkan itu, pemimpin yang tidak menerapkan hukum kecuali menunaikan urusan-urusan kaum Allah harus dicopot. Pemerintahannya muslimin, menjaga dan menyebarkan tidak sah. Hal ini berdasarkan hadis dari agama, menegakkan hukum, menjaga Ummul Husain Al-Ahmasyiah bahwa dia perbatasan, berjihad melawan musuhmusuh Islam setelah mereka diberi kiblat muharram 1436 h 37 dakwah, berwala’ kepada kaum muslimin, tidak dicopot. Namun jika fisik berat, dia dan memusuhi musuh-musuh agama. harus dicopot. Misalnya hilang akal, buta, tuli, bisu atau hilangnya sebagian anggota Apabila dia tidak menjaga agama badan yang dapat mengganggu kerja. atau tidak menunaikan urusan-urusan (Lihat: Abdullah bin Umar bin Sulaiman kaum muslimin, maka hilanglah hak Ad-Dumaiji, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda imamah darinya dan wajib atas umat— Ahl As-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah, hal. 468yang diwakili oleh ahlul halli wal aqdi 485). [Fakhruddin] dimana mereka menjadi rujukan dalam menentukan masalah seperti ini—untuk menurunkannya dan menggantinya dengan orang lain yang siap mewujudkan fungsi imamah.” Keempat: Melakukan kezaliman, dan kebid’ahan kefasikan, Orang fasik tidak layak menjadi pemimpin. Al-Qurthubi berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa haram mengangkat orang fasik sebagai pemimpin.” (Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkami al-Qur’an, 1/270) Kelima: Cacat dari segi keberlangsungan kerja Hal ini terjadi karena pemimpin disetir atau ditawan. Jika pemimpin disetir oleh orang-orang yang di sekitarnya, namun masih bisa menjalankan pemerintahannya dengan adil maka dia tidak dicopot. Tetapi jika tugas-tugasnya terbengkalai, maka dia harus dicopot. Demikian juga jika pemimpin ditawan musuh maka ahlul halli wal ‘aqdi harus mengangkat pemimpin baru. Sebagaimana halnya jika terjadi kudeta maka pemimpin lama menjadi batal. Keenam: Cacat fisik Jika pemimpin mengalami cacat fisik ringan pada masa pemerintahannya, dia kiblat muharram 1436 h 38 “Pemimpin syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan seorang yang berdiri di depan penguasa yang jahat, lalu ia menasihatinya, lalu penguasa itu membunuhnya.” (HR Al-Hakim) kiblat muharram 1436 h 39 Penguasa Berhati setan “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orangorang yang hatinya adalah hati setan dalam wujud manusia.” (Shahih Muslim) M atan hadis tersebut adalah bagian dari hadis panjang tentang fitnah akhir zaman yang diriwayatkan dari Hudzaifah bin Al-Yaman. Ia bertanya kepada Rasulullah n: “Wahai Rasulullah, kami dahulu berada dalam keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan, lalu kami berada di dalamnya. Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” “Ya.” “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” aku lakukan jika aku mendapatkannya?” “Ya.” “Hendaknya engkau mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat.” “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan?” “Ya.” “Bagaimana itu?” “Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati setan dalam wujud manusia.” “Apa yang harus Status Hadits Ad-Daruquthni dalam kitab Al-Ilzamat wa At-Tattabu’, 181-182 berkata, “Hadits ini menurut saya mursal. Abu Salam tidak mendengar dari Hudzaifah. Demikian pula orang-orang yang sejajar dengannya yang tinggal di kiblat muharram 1436 h 40 Irak. Sebab Hudzaifah meninggal beberapa hari setelah pembunuhan Utsman. Namun Abu Salam mengatakan dalam hadis ini: Hudzaifah berkata. Ini menunjukkan dia telah memursalkan hadis ini. Syaikh Muqbil bin Hadi ulama Yaman yang mentahqiq kitab Al-Ilzamat tersebut pada halaman 182 mengatakan, “AlHafidz Al-Mazi di Tahdzib Al-Kammal ketika menyebutkan guru-guru Abu Salam dan Hudzaifah bin Al-Yaman, mengatakan, “Ia dikenal mursal.” Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib At-Tahdzib mengatakan, “Ia (Abu Salam) memursalkan dari Abu Hudzaifah, Abu Dzar dan lainnya.” Dr Hani As-Sibai dalam ulasanya mengatakan, “Di hadis ini ada tambahan yang bukan bagian dari hadis hudzaifah yang disepakati. Yaitu kalimat “Meskipun ia memukul punggung dan mengambil hartamu.” Tambahan ini lemah karena dari jalur ini terputus. Ada ulama yang menshahihkan tambahan tersebut dengan mutabaah di hadis Sabi’ bin Khalid Al-Yasykari dari Hudzaifah. Demikian pula pernyataan tsiqah dari Imam Ahmad Al-Ajlani untuk Mamthur. Demikian pula pernyataan yang sama dari Ibnu Hibban untuk Sabi’ bin Khalid.” Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata, kalian memiliki alasan dari Allah di dalamnya. Berkaitan dengan pernyataan Ad-Daruquthni, Imam Nawawi berkata, “Benar kata Ad-Daruquthni. Akan tetapi matannya shahih dan bersambung dengan jalur pertama. Muslim menyebutkan mutabaah ini, seperti Anda lihat. Kami telah menyebutkan sebelumnya di banyak bagian dan di tempat lain bahwa hadis mursal bila diriwayatkan juga dalam jalur lain secara bersambung, maka ini menjadi penjelas akan kelayakan hadits mursal dan boleh berhujjah dengannya. Dua hadis ini menjadi shahih.” Syaikh Al-Huwaini mengatakan, “Muslim menyebutkan jalur tersebut sebagai mutabaah seperti disebutkan Imam Nawawi. Akan tetapi beliau menyebutkannya untuk menjelaskan cacatnya. Ia (Muslim) telah menegaskan di awal bukunya bahwa ia akan menyebutkan beberapa hadis untuk menjelaskan cacatnya. Ini adalah salah satunya. Sebab, jauh kemungkinan Muslim tidak tahu bahwa Abu kiblat muharram 1436 h 41 Salam tidak mendengar dari Hudzaifah.” Sunnah, I/382) Syaikh Al-Albani juga menyimpulkan bahwa hadis ini shahih. Di Silsilah Ash-Shahihah (hadis no. 2739), beliau menjelaskannya bersamaan dengan hadis lain yang di antara matannya adalah, “Dai di pintu neraka jahanam. Siapa yang menjawabnya, ia akan melemparkannya ke dalamnya.” Lalu ketika Huzaifah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?” Beliau menjawab, “Tetaplah dalam jamaah kaum muslimin dan imam mereka.” Lalu Syaikh Al-Albani menafsirkannya dengan sabda Rasul, “Hendaknya engkau mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat!” Syaikh Al-Albani juga membahas hadis ini dalam konteks larangan keluar dari penguasa dan kewajiban taat kepadanya meskipun jahat dan zalim. Kesimpulan Hukum dari Hadits Hadits ini adalah dalil atas kewajiban taat kepada para imam meskipun mereka berbuat zalim. Imam Nawawi memasukkan hadis ini di bab kewajiban mengikuti jamaah kaum muslimin ketika muncul fitnah dan dalam kondisi apa pun, serta haram keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah. Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Minhajus Sunnah, “Rasulullah n telah mengabarkan bahwa akan ada penguasa yang tidak mengambil petunjuk dari petunjuk beliau dan tidak mengikuti sunnah beliau. Hati mereka seperti hati setan di tubuh manusia. Meskipun demikian, perintahnya adalah taat kepada penguasa meskipun memukul punggung dan mengambil hartamu. Ini menjelaskan bahwa penguasa yang ditaati adalah orang yang memiliki otoritas, baik seorang yang adil maupun zalim.” (Minhajus Penjelasan para ulama tersebut menunjukkan bahwa status zalim penguasa tidak sampai pada level kafir atau murtad dari Islam. Hal ini berarti bahwa kesimpulan hukum dari hadis ini tidaklah berbeda dengan hadis-hadits lain tentang kewajiban taat kepada penguasa muslim meskipun jahat dan zalim. Dalam hal ini Dr Hani AsSibai mengatakan: “Anggaplah tambahan tersebut shahih, ia dibatasi oleh hadis Ubadah bin Shamit di Ash-Shahihain: Kitab Al-Imarah, Shahih Muslim hadis no. 4877; Shahih Bukhari Kitab Al-Fitan, hadis no. 7056. Disebutkan, ‘Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata, kalian memiliki alasan dari Allah di dalamnya.’ Hadits ini diterapkan kepada penguasa kaum muslimin yang jahat dan zalim, namun dengan kejahatan dan kezalimannya, mereka tetap berhukum dengan syariat Allah.” Maka, kata Dr As-Sibai lebih lanjut, pembicaraan ini tidak berlaku untuk para penguasa di zaman kita yang menggantikan hukum Allah; mereka mengubah ketentuan agama kita yang Hanif dengan berwala’ kepada musuh-musuh Allah; memerangi wali-wali Allah, membuat makar terhadap bangsanya sendiri. Mereka melindungi konstitusi dan hukum yang menentang otoritas hukum Allah di muka bumi. Para penguasa itu memerintahkan rakyat dengan hukum selain yang diturunkan Allah, di samping tidak berhukum dengan yang kiblat muharram 1436 h 42 dan setelah itu tidak ada iman lagi walau diturunkan Allah!! Jika apa yang mereka sebesar biji sawi.” terapkan dalam kekuasaannya tidaklah kekafiran yang nyata, lantas seperti apa Catatan lain yang perlu diperhatikan dari kekafiran nyata itu? penjelasan ulama yang telah disebutkan Selain itu, jihad melawan penguasa dengan bahwa perintah Nabi n ketika terjadi kekuatan telah disebutkan dalam kitab fitnah, termasuk kemunculan penguasa Shahih. Muslim di Shahih-nya kitab Al- berhati setan, adalah komitmen kepada Iman hadis no. 188 meriwayatkan dengan jamaah kaum muslimin dan imam mereka. Sand dari Abu Rafi’ dari Abdullah bin [Agus Abdullah] Mas’ud bahwa Rasulullah bersabda, “ “Tiada seorang Nabi pun yang diutus sebelumku, kecuali mempunyai beberapa hawari (pengikut setia) dan sahabat dari umatnya yang selalu memegang sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian setelah mereka muncul beberapa generasi pengganti, mereka mengatakan sesuatu yang tidak diamalkan dan mengamalkan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa berjihad melawan mereka dengan tangannya ia beriman, barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya ia beriman dan barang siapa berjihad melawan mereka dengan hatinya ia beriman, kiblat muharram 1436 h 43 INDONESIA BUKAN NEGARA ISLAM I slam memiliki konsep yang agung tentang negeri dan tujuan yang sangat mulia dalam syariat kewajiban mengangkat pemimpin atau imam. Pemimpin kaum muslimin yang dalam Islam dikenal dengan istilah khilafah didefinisikan oleh ulama sebagai posisi yang menggantikan kenabian dalam menjaga dien dan mengatur dunia dengan dien itu. (Al-Ahkam AsSulthaniyah, 3). tersebut. Yaitu menjaga dien dan mengatur dunia dengannya. Maksud menjaga dien adalah menjaga Islam dan menerapkannya. Makna menjaga adalah mengupayakan agar tetap utuh dan murni, menyebarkannya kepada manusia seperti dilakukan oleh Rasulullah saw dan diteruskan oleh generasi sahabat dan seterusnya. berhak mengganti agama Allah. Abu Ya’la Al-Hambali mengatakan, “Imam wajib menjaga dien agar tetap seperti yang disepakati salaful ummah. Bila ada orang yang ragu dan menyimpang darinya, ia harus menegakkan hujjah kepadanya dan menjelaskan yang benar. Ia juga harus memberikan hak dan sanksi yang semestinya agar dien tetap terjaga dari penyimpangan Sisi lain tugas penguasa dan umat terjaga dari dalam hal ini adalah penyelewengan.” (Abu Ya’la Ada dua unsur penting mencegah segala bentuk Al-Hanbali, 11). dari tujuan mamah yang penyimpangan dan tertuang dalam definisi penyelewengan. Ia tidak kiblat muharram 1436 h 44 Sedangkan mengatur dunia dengan dien adalah secara ringkas adalah mengelola urusan negara dan rakyat dalam bentuk yang merealisasikan maslahat dan mencegah kerusakan. Ini akan terwujud bila manajemen urusan hidup sesuai dengan kaidah dan prinsip-prinsip syariat. Hakikatnya mencegah musuh dari negeri Islam diperlukan untuk menyelamatkan agama dan kelangsungannya. Karena pengambilalihan kekuasaan negeri Islam oleh orang kafir akan melenyapkan Islam, mengaburkan hakikatnya, dan fitnah besar bagi kaum muslimin. Hal ini merupakan tugas penguasa seperti disebutkan oleh Al-Mawardi, “Tugas keenam adalah memerangi orang yang memusuhi Islam setelah mendapatkan dakwah sampai bersedia masuk Islam atau menjadi ahli dzimmah, untuk menegakkan hak Allah dalam memenangkan dien di atas semua agama.” (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, 14). Penjelasan tentang tujuan imamah tersebut menggambarkan secara jelas tentang negeri Islam yang dipimpin oleh imam yang menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Hal ini selaras dengan definisi negeri Islam yang dikemukakan oleh para ulama. Imam Ibnul Qayyim menjelaskan tentang negeri Islam, “Mayoritas ulama mengatakan bahwa negeri Islam adalah negeri yang dikuasai oleh umat Islam dan hukum-hukum Islam diberlakukan di negeri tersebut.” (Ahkamu Ahli Dzimmah 1/366). . Kelompok penentang (bughat) saja diperangi, meskipun mereka muslim sampai mereka kembali. Lantas bagaimana bila kelompok penentang itu zalim dan kafir seperti keadaan penguasa Irak? Maka ketika tujuan imamah tidak terwujud, penguasa tidak menjalankan tugasnya, negerinya bisa berubah menjadi negeri kafir. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Qayyim lebih lanjut, “Bila hukum-hukum Islam tidak diberlakukan, negeri tersebut bukanlah negeri Islam, sekalipun negeri tersebut berdampingan dengan sebuah negeri Islam. Contohnya adalah Thaif, sekalipun letaknya sangat dekat dengan Makkah, namun dengan terjadinya fathu Makkah; Thaif tidak langsung berubah menjadi negeri Islam.” (Ahkamu Ahli Dzimmah 1/366). Sebagian ulama mengatakan bahwa sebuah negeri cukup disebut negeri Islam dengan hidupnya syiar-syiar Islam, seperti azan. Namun, pendapat Ibnu Qayyim tersebut lebih mendekati kebenaran bila dihubungkan dengan fakta kiblat muharram 1436 h 45 sejarah. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di juga mengatakan hal yang sama, “Negeri Islam adalah negeri yang diperintah oleh kaum muslimin, hukum Islam berlangsung di dalamnya dan diterapkan oleh orang-orang Islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah orang kafir.” (Fatawa Sa’diyah hal 92) Sebaliknya bila suatu negeri dikuasai oleh hukum kafir, maka ia menjadi negeri kafir. Al-Kasani berkata, “Sebuah negeri akan menjadi negeri kafir apabila hukum kafir mendominasi di dalamnya.” (Bada’iush Shanai’ fi Tartiibisy Syarai’ 7/131 ) Demikian pula negeri yang menerapkan sistem hukum positif, meskipun penduduknya kebanyakan muslim, ia termasuk negara kafir. Syaikh Al-Fauzan mengatakan, “Tidak diragukan bahwa yang diyakini oleh para ulama dakwah bahwa parameternya adalah hukum (yang berlaku). Bila hukum yang berlaku adalah syariat Islam maka itu adalah negeri Islam. Namun bila hukum yang berlaku bukan syariat, maka itu bukanlah negeri Islam meskipun penduduknya muslim.” Lajnah Daimah Arab Saudi juga menguatkan hal tersebut, “Semua negeri atau wilayah yang penguasa dan pemegang otoritasnya menegakkan hukum-hukum Allah, memerintah rakyatnya dengan syariat Islam, rakyat bisa menegakkan syariat Islam yang diwajibkan kepada mereka di dalamnya maka negeri ini disebut darul Islam.... Contohnya adalah Madinah setelah hijrah Nabi saw dan beliau menegakkan negara Islam di sana. Demikian pula Mekkah setelah fathu Mekkah, maka dengan fathu Mekkah itu dan urusannya dikuasai oleh kaum muslimin, negeri ini menjadi negeri Islam. Sebelumnya Mekkah merupakan negeri kafir, yang dalam hal ini kaum muslimin yang mampu diwajibkan hijrah darinya.” (Fatawa Lajnah Daimah, XII/52) Bila semua penjelasan ulama tersebut diterapkan kepada negeri Indonesia, apakah Indonesia masuk negeri Islam dengan penguasanya yang menegakkan syariat Islam, sehingga mendapatkan hak ketaatan? Yang tampak, Indonesia tidak menggambarkan sedikit pun penjelasan ulama tersebut. Bukan hanya teori, bahkan pemerintah sendiri menyatakan hal ini. Mei 2010 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam. SBY berbicara menentang upaya penegakan negara Islam. Gagasan mendirikan negara Islam di Indonesia, menurutnya, bertentangan dengan semangat pluralisme Pancasila. . kiblat muharram 1436 h 46 Sebuah gerakan untuk menghapuskan pemerintahan sekuler Indonesia dan memberlakukan hukum syariah secara nasional bertentangan dengan UUD. “Indonesia adalah negara sekuler dan itu merupakan warisan kita yang penting dari Soekarno dan para bapak pendiri Indonesia lainnya,” kata Yudhoyono dalam pidato di Soekarno Centre Mei 2014 lalu. Negara sekuler adalah salah satu konsep sekularisme, di mana sebuah negara menjadi netral dalam permasalahan agama, dan tidak mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama. Negara sekuler juga dideskripsikan sebagai negara yang mencegah agama ikut campur dalam masalah pemerintahan, dan mencegah agama menguasai pemerintahan atau kekuatan politik. Bila pemerintah sendiri menyatakan demikian, mengapa sebagian umat yang ingin mengembalikan Islam sesuai manhaj salaf justru melabeli penguasa negeri ini dengan ulil amri? Bila seorang penjual sate anjing telah mengumumkan dirinya menjual sate anjing, mengapa Anda malah mengumumkan kepada publik bahwa ia menjual sate kambing yang enak dan halal? Ini adalah penyesatan yang nyata. [Agus Abdullah] kiblat ki k iblat blat bl at muharram muh mu ar am arr m 1436 143 h 47 syaikh bin bazz Mengafirkan penguasa meskipun shalat B anyak sekali perkataan dan fatwa ulama dahulu dan sekarang tentang menasihati sampai melawan penguasa, baik yang zalim maupun yang telah kafir. Namun kondisi suatu zaman bisa membuat fatwa berubah. Kita akan melihat satu contoh nyata dalam hal ini. Syaikh bin Baz berpendapat, menyebut kesesatan para penguasa thaghut tidaklah dibolehkan. Beliau pernah berfatwa: “Kita menaatinya dalam kebaikan, bukan dalam maksiat, sampai Allah mendatangkan pengganti.” “Mengumbar aib penguasa (Al-Fatawa, VII/117) dan menyebutnya di Beliau juga berpendapat mimbar-mimbar bukanlah bahwa melawan penguasa manhaj salaf.” (Al-Fatawa kafir tidak boleh bila juz VIII) umat belum memiliki Ketika ditanya tentang kekuatan, tetapi beliau warga Irak hubungan dengan meminta penguasa murtad, beliau melawan penguasa mereka. Padahal beliau tahu bahwa menjawab: mereka tidak memiliki persenjataan yang mampu menggulingkan penguasa. Sebelumnya beliau telah kiblat muharram 1436 h 48 berfatwa bahwa pasukan Islam seluruhnya tidak mampu menghadapi Saddam dan tentaranya. Artinya, kekhawatiran “iraqatu dima’ al-muslimin (menumpahkan darah kaum muslimin, tidak menjadi pertimbangan lagi dalam kasus ini. Beliau berfatwa: “Tidak diragukan bahwa membaiat (baca: mendengar dan taat) kepada kepada thaghut seperti ini (Saddam) dan mendukungnya merupakan kejahatan terbesar. Itu termasuk pelanggaran terbesar terhadap kaum muslimin, dan membahayakan mereka. Karena di antara syarat baiat, orang yang dibaiat adalah seorang muslim, yang menguntungkan, bukan membahayakan kaum muslimin.” (Fatwa-Fatwa Syaikh Bin Baz, VII/389). Beliau juga mengatakan dalam fatwanya: . Saddam Husein Kelompok penentang (bughat) saja diperangi, meskipun mereka muslim sampai mereka kembali. Lantas bagaimana bila kelompok penentang itu zalim dan kafir seperti keadaan penguasa Irak? “Kelompok penentang (bughat) saja diperangi, meskipun mereka muslim sampai mereka kembali. Lantas bagaimana bila kelompok penentang itu zalim dan kafir seperti keadaan penguasa Irak? Ia adalah penganut partai Ba’ats yang ateis, penganutnya bukanlah mukmin.” (http://www. binbaz.org.sa/mat/8342/print) Bahkan beliau memfatwakan jihad melawan Saddam adalah jihad terbesar: kiblat muharram 1436 h 49 “Jihad yang paling agung adalah jihad melawan penguasa Irak (Saddam). Karena ia telah melampaui batas, menyerang, dan menginvasi negara Kuwait, menumpahkan darah, menjarah harta, menodai kehormatan, dan mengancam negara-negara Teluk yang bertetanggaan dengannya.” (Fatwa-Fatwa Syaikh Bin Baz Juz VII). Kemungkinan Penguasa Kafir Meskipun Shalat Banyak orang bertanya-tanya tentang melaknat Saddam Husein. Sebagian orang mengatakan, selama Saddam mengucapkan syahadatain, kita menahan diri dari melaknatnya. Maka ketika ditanyakan kepada Syaikh Bin Baz apakah Saddam telah kafir, beliau menjawab: diperjuangkannya. Hal itu karena Ba’ats adalah kekafiran dan kesesatan. Siapa yang tidak menyatakan ini maka ia telah kafir, seperti Abdullah bin Ubai yang kafir, meskipun ia shalat bersama Nabi saw dan mengucapkan las illaha illallah, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ia adalah orang yang paling kafir.” (http://www.binbaz.org.sa/ mat/259) Syaikh Bin Baz bersama sejumlah ulama senior Arab Saudi juga mengkafirkan penguasa Libya Muammar Qaddafi. Alasannya karena Qaddafi telah menghujat penguasa dan ulama kerajaan Saudi. (Lihat Fatwa Lembaga Ulama Senior Arab Saudi, yang ditandatangani oleh 16 ulama pada 22 Jumadil Ula 1402 http://www.muslm.org/vb/archive/index. php/t-423212.html). “Ia telah kafir, meskipun mengucapkan las illah illallah. Bahkan meskipun ia shalat dan puasa, (ia telah kafir) selama tidak meninggalkan prinsip-prinsip partai Ba’ats ateis, dan menyatakan bahwa ia bertobat kepada Allah dan apa yang . Muammar Qadddafi kiblat muharram 1436 h 50 Hal ini menunjukkan bahwa penguasa yang shalat bisa saja kafir. Shalat tidak menjadi satu-satunya parameter untuk melabeli setiap pemenang pemilu sebagai ulil amri. Sebagaimana telah disebutkan dalam kitabkitab akidah dan fikih, banyak pembatal keislaman seseorang selain meninggalkan shalat. Bila dua hal tersebut tidak diperhatikan, maka ulama atau dai yang berfatwa akan menyesatkan umat. Banyak pendapat ulama tentang kewajiban taat kepada penguasa, tetapi apakah itu tepat diterapkan untuk penguasa sekuler hari ini? Demikian pula nasihat secara diam-diam, apakah memang untuk mereka? Demikian pula persoalan takfir penguasa. Perlu disebutkan bahwa fatwa kafir terhadap Presiden Irak Saddam Husein Semoga salam dan salawat dilimpahkan keluar setelah ia menyerang Kuwait pada kepada Nabi kita Muhammad saw. (Agus 1991 dan mengancam Saudi. Ketika Irak Abdullah) perang melawan Iran pada 1988, Saddam Husein mendapatkan semua dukungan dan pertolongan negara-negara Arab di Teluk. Bahkan ia mendapatkan julukan Penjaga Gerbang Timur. Dapat disimpulkan bahwa fatwa sangat berkaitan dengan kondisi dan peristiwa pada aktual saat dikeluarkan. Dengan demikian menerapkan pendapat dan fatwa ulama untuk realitas kekinian memerlukan penelitian yang mendalam. Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Seorang mufti dan penguasa tidak akan bisa berfatwa dan memutuskan perkara dengan benar, kecuali bila memadukan dua pemahaman (fikih). Pertama : memahami dan mengerti waqi’ (realita), serta menyimpulkan ilmu tentang hakikat realita yang ada dengan qarinah, amarah dan’alamat (bukti-bukti dan data-data) sehingga ilmunya meliputi realita. Kedua: memahami apa yang wajib (kewajiban syariat) atas realita, yaitu memahami hukum Allah yang ditetapkan dalam kitab-Nya atau melalui lisan RasulNya atas realita tersebut. Baru kemudian menerapkan yang satu (hukum syariat) atas yang lain (realita).” (I’ilamul Muwaqi’in I/81). kiblat ki k iblat bl b la at t muharram mu muh m uhar uh ar arr rr ram am 1436 114 43 366 h 51 5 1 SEJARAH HITAM MURJIAH Menjual Agama Demi Penguasa T idak seperti khawarij, istilah Murji’ah kuranglah populer. Bila akhir-akhir ini kajian, perbincangan, tuduhan terkait khawarij begitu akrab di telinga, terutama setelah Amerika mengumumkan perang melawan terorisme global, masalah Murji’ah tidaklah demikian. Namun jangan salah, bahaya dan virus Murji’ah tidak lebih mematikan dan menyesatkan umat daripada khawarij. Mari kita lihat bagaimana sejarah Murji’ah dan ancamannya bagi umat. Kita akan memulainya dari definisi! Murji’ah berasal dari kata al-irja’, yang bermakna mengakhirkan perbuatan dan keimanan. Secara bahasa, kata al-irja’ mem miiliki liki d li dua makkna, ya ang per e ta tama ma be era rarrt r ti mengakh hirkan hi rkkan an, se sepe p rti pe r t pa rt ad da a firma fi an Allah: “((Pe Pemu m ka a-p -pem em mukka)) itu menjawab b, ‘T Tah hanla anlah h ((u unt ntuk u uk sementara) me dia a dan an sauda auda ara rany nya’ a’.” a’ (Al(A l-A -A’raf: 111). ).. Makna k yang kkedua d adalah d l h memberi b i apa yang diharapkan. Imam Ahmad mendefinisikan Murji’ah sebagai “orang-orang yang meyakini bahwa iman itu hanya dengan ucapan lisan saja. Menurut mereka tidak ada seorang pun yang melebihi orang lain dalam keimanan, keimanan mereka sama saja dengan keimanan para nabi ataupun para malaikat. Iman tidak bertambah dan tidak juga berkurang. Iman itu tidak ada pengecualian. Orang yang telah mengucapkan keimanannya dengan lisan telah dianggap sebagai mukmin sejati walaupun tidak mengamalkan keimanan tersebut dengan perbuatan.” Kelompok Murji’ah sejati adalah mereka yang mengatakan bahwa kiblat muharram 1436 h 52 Pada awalnya pemikiran Murji’ah hanyalah gerakan politik yang tidak menyangkut perkara iman; hanya berkaitan dengan penangguhan hukum para mujahid dari kalangan sahabat kepada Allah. dosa tidak akan memadaratkan keimanan, sebagaimana ketaatan tidak akan memberi manfaat pada kekufuran. Pendapat ini disampaikan oleh Jahm dan para pengikutnya. Kemunculan Murji’ah sangat berkaitan erat dengan lahirnya Khawarij dan Syiah. Murji’ah adalah buntut dari kemunculan kedua golongan ini. Jika kita menilik sejarah, Murji’ah muncul untuk menghadang paham Khawarij yang mengafirkan Hakamain (dua orang yang memutuskan perkara dalam masalah Ali dan Muawiyah). Pada awalnya pemikiran Murji’ah hanyalah gerakan politik yang tidak menyangkut perkara iman, tetapi hanya berkaitan dengan penangguhan perkara para mujahid dari kalangan sahabat kepada Allah. Gerakan yang awalnya hanya bernuansa politik ini pertama kali dipelopori oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad AlHanafiyah, sekitar tahun 695 H.. Ibnu Sa’ad berkata bahwa AlHasan adalah orang yang pertama kali mengatakan tentang Murji’ah. Dikisahkan bahwa Zadzan dan Maisarah datang kepadanya dan langsung mencelanya, lantaran sebuah buku yang ia tulis tentang Irja’, Al-Hasan berkata pada Zadzan, “Wahai Abu Umar, sungguh aku lebih suka mati dan aku dalam keadaan tidak menulis buku tersebut.” Buku yang ditulis oleh Al-Hasan ini hanyalah Irja’ tentang sahabat yang ikut serta dalam perselisihan yang terjadi setelah wafatnya Syaikhani (Abu Bakar dan Umar). Sebenarnya Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok pemberontak Syiah yang terlampau mengagumkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kiblat muharram 1436 h 53 kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan Utsman. Al-Hafidz Ibnu Hajar menegaskan bahwa yang dimaksud Irja’ yang dibawa oleh AlHasan adalah Irja’ yang tidak dicela oleh Ahlus Sunnah--Irja’ yang tidak berkaitan dengan iman--. Penegasan Ibnu Hajar ini dilandaskan dengan apa yang tertulis di dalam kitab Al-Hasan bin Muhammad. Di akhir kitab Al-Iman, karya Ibnu Abi Umar, dikatakan, “Telah diceritakan oleh Ibrahim bin Uyainah dari Abdul Wahid bin Ayman bahwa Al-Hasan bin Muhammad menyuruhku untuk membicarakan kitabnya kepada khalayak, yang bunyinya sebagai berikut: “Amma ba’du. Kami wasiatkan kepada Anda sekalian agar bertakwa pada Allah, kemudian dia berwasiat tentang Kitab Allah dan agar mengikutinya serta menyebutkan keyakinannya lalu dia berkata pada akhir wasiatnya, ‘Kami telah mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah dan kami berjihad di masa mereka berdua, karena keduanya belum pernah dibunuh oleh umatnya bahkan umatnya tidak merasa ragu terhadap urusan-urusan mereka. Sedangkan orang-orang setelahnya yang berselisih maka kami akhirkan (posisi) mereka dan kami serahkan urusannya kepada Allah...” Inilah Irja’ yang telah dikatakan oleh Al-Hasan bin Muhammad yang tidak menyangkut masalah keimanan sedikit pun, bahkan permasalahan ini dikuatkan pula oleh Ibnu Hajar. Akan tetapi, suasana pertentangan semakin memanas setelah wafatnya Ali. Aliran Murji’ah berkembang sangat subur pada masa pemerintahan Bani Umayyah, karena bersifat netral dan tidak memusuhi pemerintahan yang sah. Dalam perkembangan berikutnya, lambat laun Murji’ah mulai merambah permasalahan iman. Gagasan Irja’ yang diprakarsai oleh Al-Hasan mulai menyimpang dari ranah politik ke dalam masalah iman hingga muncul para tokoh Murji’ah dengan pemikiran nyeleneh. Dari persoalan politik mereka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan bagi mereka. Terhadap orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin. Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini bahwa orang Islam yang berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad kiblat muharram 1436 h 54 adalah Rasul-nya. Dengan kata lain, orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin dan bukan kafir. Aliran Murji’ah berkembang sangat subur pada masa pemerintahan Dinasti bani Umayyah, karena bersifat netral dan tidak memusuhi pemerintahan yang sah. Dalam perkembangan berikutnya, lambat laun Murji’ah mulai merambah permasalahan iman. Gagasan Irja’ yang digadangi oleh AlHasan mulai menyimpang dari ranah politik ke dalam masalah iman. Hingga muncul para tokoh Murji’ah dengan beberapa pemikiran nyelenehnya, seperti: 1. Kelompok Jahmiyah yang dipelopori oleh Jahm bin Shafwan. Ia berpendapat bahwa iman adalah mempercayai Allah l, rasul-rasulNya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah l. Sebaliknya, kafir adalah tidak mempercayai hal-hal tersebut di atas. Apabila seseorang sudah mempercayai Allah l, rasul-rasulNya, dan segala sesuatu yang datang dari Allah l, berarti ia mukmin meskipun perbuatannya membuktikan hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah berhala, dan minum minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah l semata. 2. Kelompok Al-Salihiyah dengan tokohnya Abu Hasan As-Sahili. Sama dengan pendapat Jahmiyah, kelompok ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata makrifat (mengetahui) Allah l, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya yakni tidak mengetahui Allah l. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang. Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadah itu adalah beriman kepada Allah dalam arti mengetahui Allah. 3. Kelompok Yunusiah, pengikut Yunus bin An-Namiri. Berpendapat bahwa iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang Allah, kerendahan hati, dan tidak takabur. Kufur adalah kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Allah, melainkan karena kesombongannya. Mereka juga percaya bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman. 4. Kelompok Al-Ubaidiyah, dipelopori oleh Ubaid Al-Maktaib. Pendapatnya pada dasarnya sama dengan kelompok Yunusiah. Sekte ini berpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak kiblat muharram 1436 h 55 merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit tidak akan memperbaiki posisi orang kafir. 5. Kelompok Gailaniyah dipelopori oleh Gailan Ad-Dimasyqi. Berpendapat bahwa iman adalah makrifat (mengetahui) kepada Allah l melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabbah (cinta) dan tunduk kepadaNya. 6. Kelompok Saubaniyah dipimpin oleh Abu Sauban. Prinsip ajarannya sama dengan sekte Gailaniyah, namun mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Dengan demikian, sekte ini mengakui adanya kewajibankewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syariat. 7. Kelompok Marisiyah dipelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Berpendapat bahwa iman di samping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah l dan Muhammad n itu rasul-nya, juga harus diucapkan secara lisan. Jika tidak diyakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Sementara itu, kufur merupakan kebalikan dari iman. 8. Kelompok Karamiyah dipelopori oleh Muhammad bin Karram. Berpendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya seseorang dapat diketahui melalui pengakuannya secara lisan. 9. Kelompok Khassaniyah, yang berpendapat jika seseorang mengatakan, “Saya tahu bahwa Allah melarang makan babi, tetapi saya tak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” orang yang demikian tetap mukmin dan bukan kafir. Jika seseorang mengatakan, “Saya tahu Allah mewajibkan naik haji ke Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain”, orang demikian juga tetap mukmin. Beginilah awal mula perkembangan paham Irja’ yang awal mulanya dipelopori Al-Hasan sebagai solusi politik dan berakhir dengan munculnya paham yang sesat. Sa’id bin Jabir berkata kepada Ayub AsSakhtiyani, “Jangan duduk bersama Thalaq bin Khubaib karena ia seorang Murji’ah.” Sa’id berkata lagi karena melihat Ayub duduk bersama Thalaq, “Apa kamu pernah melihatku duduk bersamanya? Ayub menjawab, “Tidak” Sa’id berkata lagi, “Karena ia berpaham Irja.” kiblat muharram 1436 h 56 “Pedih hati Sang kayu bukan karena dipotong, melainkan sebagian dari kapak adalah bagian tubuhnya.” [Hikmah] Th hab bar ari) berkata ta, ’W Wah ahai aii Abu b Abdullah, h,, me eng gap apa a en e gkau tid idak ak men nam amak akkan annya deng de gan sel ellai ain n Islam m saja sa aja a?’ ? Ia me enj n aw wab, ’Y Ya, a say aya a ju uga a me en nam mak a an nny nya a se ela ain i Isla la am. m” Para Ulama Mengecam Murji’ah Berikut beberapa komentar para ulama tentang paham Murji’ah: Al-Auza’i berkata, “Yahya dan Qatadah berkata: ’Tidak ada kelompok budak hawa nafsu yang lebih kami takutkan keberadaan mereka di tengah umat selain murji’ah’.” At-Thabari meriwayatkan dari Umar bin Marrah dan dia berkata, “Saya melihat pemahaman orang khawarij, mereka adalah sejelek-jelek kaum. Saya juga melihat pemahaman orang Syiah, mereka juga sejelek-jelek kaum. Begitu pula ketika saya melihat pemahaman orang Murji’ah, mereka sama saja, seandainya ada kebaikan di dalam Murji’ah maka saya adalah seorang Murji’ah. Saya (Ath Ibnu Mujahid berkata, ”Ketika itu saya bersama Atha’ bin Abi Rabah, kemudian datang anaknya Ya’kub dan berkata pada ayahnya, ’Ayahku, sahabat-sahabatku menyangka bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril.’ Atha’ menjawab, ’Anakku, keimanan seseorang yang taat kepada Allah berbeda dengan iman seseorang yang bermaksiat pada-Nya.” “Seperti Yahudi, Nashara, Shabiah.” Perkataan Sa’id bin Jabir tentang Murji’ah yang diriwayatkan Ahmad bin Sa’id. Dia menambahkan, “Mereka adalah pengekor Yahudi.” Para salaf melarang untuk menyalami dan duduk dengan mereka. Ayub As-Sakhtiyani berkata, ”Sa’id bin Jabir berkata padaku, ’Jangan duduk bersama Thalaq--Thalaq bin Khubaib-karena dia seorang Murji’ah. Sa’id berkata lagi karena melihatku duduk bersama Thalaq bin Khubaib, dia berkata, ”Apa kamu pernah melihatku kiblat muharram 1436 h 57 duduk bersamanya? Aku menjawab, yang sangat gamblang.” ’Tidak’ Sa’id berkata lagi, ’Karena dia Politik Murji’ah Menyenangkan berpaham Irja’.” Penguasa Lajnah Daimah juga mengeluarkan fatwanya no. 21436 tanggal 8/4/1421 H tentang bahaya pemikiran Irja’. Fatwa ini dikeluarkan berangkat dari beberapa pertanyaan serupa mengenai Murji’ah. Para penanya mengeluhkan ulah kaum Murji’ah yang memotongmotong perkataan Ibnu Taimiyah untuk melegitimasi pemahamannya. Komite yang diketuai Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Muhammad Alu Syaikh ini dengan tegas mengatakan, “Dampak negatif dari kesesatan paham ini antara lain: membatasi kekufuran hanya pada kufur at-takdzib (kufur karena mendustakan) dan istihlal alqalb (adanya penghalalan dalam hati). Tiada keraguan lagi bahwa ini adalah perkataan yang bathil dan kesesatan nyata yang jelas menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah serta menyelisihi Ahlus Sunnah, baik dari generasi salaf maupun khalafnya. Paham ini juga membuka jalan bagi para pelaku kejahatan dan kerusakan untuk berpaling dari dien dan untuk meniadakan keterikatan dengan perintah dan larangan Allah, serta takut dan khasyyah kepada Allah.” Lajnah Daimah juga memperingatkan bagi kaum muslimin terhadap kaum Murji’ah yang menguatkan paham sesatnya dengan nukilan-nukilan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan para ulama lainnya dengan nukilan yang tidak teratur (semrawut), hanya dicari yang mirip dengan paham mereka dan tidak mendasarkan kepada nukilan mereka Seperti dikatakan Ibnu Taimiyyah dalam Al-Inhirafat Al-‘Aqdiyah wal Amaliyah halaman 119-120 bahwa orang-orang Murji’ah telah melakukan kesalahan yang nyata. Mereka mengira bahwa iman cukup dengan pembenaran, penguatan hati serta pernyataan dengan lisan saja. Akibat dari pemahaman seperti ini sangatlah fatal. Orang Murji’ah menyangka bahwa seseorang akan menjadi sempurna imannya hanya dengan hati saja, di sisi lain dia mencela Allah, Rasul-Nya dan melaksanakan segala hal yang membatalkan keislamannya. Tak ayal jika pemahaman seperti ini akan merusak Islam dari dalam dan ternyata An-Nadhar bin Syumail berkembang di era ini. berkata, “Saya masuk ke tempat Al-Ma’mun, lalu ia bertanya, ‘Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai Nadhar?’ Saya menjawab, ‘Baikbaik saja, wahai Amirul Mukminin.’ Ia bertanya lagi, ‘Apakah Murji’ah itu?’ Saya menjawab, ‘Murji’ah adalah agama yang menyesuaikan para raja. Mereka mendapatkan kekayaan dunia dengan agama dan mengurangi agama mereka.’ Al-Makmun berkata, ‘Kamu benar.’” kiblat muharram 1436 h 58 pendahulunya sesumbar, ‘Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, ‘Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?’ (Az-Zukhruf: 51) Penguasa-penguasa negara di era ini kebanyakan atau bahkan seluruhnya menggunakan sistem dan hukum positif (buatan manusia). Hukum-hukum Allah yang telah final dan memang diperuntukkan manusia dibuang dan diganti dengan hukum gagasan manusia sendiri. Dengan doktrin Seolah manusia lupa bahwa politik neohanya Allah Maha Tahu apa Murji’ah, mereka yang terbaik buat mereka. Syaikh Abu Mus’ab As-Suri mengatakan, “Akan tetapi, terang-benderangnya hal ini—penggunaan hukum positif—ternyata ada kelompok yang membelanya dan tetap menjadikannya ulil amri. Kelompok ini berpendapat bahwa penguasa adalah pemimpin yang sah dan wajib ditaati. Para penguasa tetaplah muslim, mereka ulil amri yang berhak ditaati, walaupun mereka merampas harta dan mencambuk punggung kita. Umat ini tetap harus berkata, ‘Kami ridha.’ Ya, mereka tetap muslim, walaupun mengambil harta rakyat dan mencambuk punggung. bersabar untuk menangguhkan dan memaafkan perlakuan jahat para penguasa. Akan tetapi, mereka tidak bersabar untuk menangguhkan aksi para mujahid, lalu dituding sebagai anjing-anjing neraka, yang tidak akan mencium bau surga, boleh dibunuh, disalib, dipotong silang tangan dan kakinya dan diusir dari tempat kediamannya di dunia ini Kelompok ini lebih melonggarkan lagi kepada mereka dengan tambahan; walaupun para penguasa melecehkan harga diri dan menumpahkan darah kita; walau mereka berteriak dengan kata dan perbuatan seperti para Walaupun, para penguasa tersebut terang-terangan mengatakan ketidakcocokan hukum syariah untuk zaman sekarang. Walaupun mereka mengangkat pelindung dari musuh-musuh Allah. Walau mereka berperang dan memberangkatkan tentara untuk berperang di bawah panji-panji Yahudi dan Nasrani untuk membunuh muslimin. Dan walau… walau… yang lain. Dapat kita bahasakan dengan mudah dan gamblang bahwa Murji’ah adalah paham yang menganut politik menyenangkan penguasa. Ibnu Asakir meriwayatkan melalui jalur An-Nadhar bin Syumail, berkata, “Saya masuk ke tempat AlMa’mun, lalu dia bertanya, ‘Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai Nadhar?’ Saya menjawab, ‘Baik-baik saja, wahai Amirul Mukminin.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah Murji’ah itu?’ Saya menjawab, ‘Murji’ah kiblat muharram 1436 h 59 adalah agama yang menyesuaikan para raja. Mereka mendapatkan kekayaan dunia dengan agama dan mengurangi agama mereka.’ Al-Makmun berkata, ‘Kamu benar.’’ Bukankah penguasa tersebut menunaikan shalat idul Fitri dan idul Adha? Bukankah dia merayakan hari kelahiran nabi? Bukankah dia berzina dengan dalih nikah mut’ah yang dikatakan sebagian dari penguasa tersebut? Bukankah ketika penguasa menelanjangi kebebasan dan pakaian kaum Muslim di berbagai penjara dan penyiksaan terhadap mereka, dia beralasan dengan perkataan Ali a kepada utusan Hatib bin Abu Balta’ah, ‘Keluarkan suratmu, atau kami akan menelanjangimu!’ Bukanlah penguasa dianjurkan untuk membunuh sepertiga rakyatnya untuk menerima dua pertiga? Alasan-alasan seperti itu telah ditunjukkan oleh para ulama penipu hari ini yang berperilaku seperti Dajjal. Mufti Agung di Pakistan, Rafi’ Utsmani, mengatakan bahwa orang-orang yang terbunuh karena membela jiwa mereka melawan berbagai serbuan tentara Pakistan, bukanlah syuhada. Rafi’ Utsmani membantah hukum hadits Rasulullah n. bahwa barang siapa mati membela harta, jiwa, atau kezaliman terhadap dirinya, atau agamanya, dia mati syahid. yang serupa dengan mereka aman dan terlindungi. Tidak diperbolehkan bermusuhan dengan mereka di negara kita atau di negara mereka. Dia menarik kembali pernyataan kebolehan praktek-praktek istisyhad (bom syahid) sebelumnya dari Darul Fatwa dan berkata, “Kami tidak mewajibkan jihad kecuali bila pemerintah, Musharraf, mewajibkannya, seperti kasus beberapa hari ketika Dhiyaul Haq menuntut jihad melawan Rusia.” Dia menambahkan bahwa (a) barang siapa bertempur bersama Amerika melawan kaum muslimin, dia hanya berdosa saja dan tidak kafir dan (b) berhukum dengan selain hukum Allah berdosa, namun tidak mengeluarkan dari Islam, yaitu kemungkinan yang paling keras hanya kafir kecil (kufur ashghar). Bila kita memperhatikan doktrin politik neo-Murji’ah, mereka bersabar untuk menangguhkan dan memaafkan perlakuan dan aksi para raja dan penguasa. Akan tetapi, mereka tidak bersabar untuk menangguhkan aksi para mujahid, sehingga menghukumi bahwa mereka adalah anjing-anjing penghuni neraka, yang tidak akan mencium bau surga dan boleh dibunuh, disalib, dipotong silang tangan dan kakinya serta diusir dari tempat kediamannya di dunia ini.” Na’udzu billah![Dhany] Rafi’ Utsmani juga menyatakan bahwa orang-orang Amerika dan orang-orang kiblat muharram 1436 h 60 kiblat muharram 1436 h 61 hubungan rakyat dan penguasa Sebuah negeri akan menjadi Darul Islam dengan dominasi hukum Islam di dalamnya. B agi umat Islam, memahami status sebuah negeri sangatlah penting. Dari pemahaman inilah hubungan antara mereka dengan negeri dan penduduknya dibangun. Dalam terminologi Islam negeri atau wilayah kekuasaan hanya dibagi menjadi dua. Yaitu negeri Islam (darul Islam) dan negeri kafir (darul kufr). Untuk mengetahui lebih jauh apa yang dimaksud dengan darul Islam dan darul kufr mari kita simak perkataan para ulama’ berikut ini tentang negeri Islam. • Imam Ibnul Qayyim berkata,” Mayoritas ulama mengatakan bahwa Daarul Islam adalah negeri yang dikuasai oleh umat Islam dan hukum-hukum Islam diberlakukan di negeri tersebut. Bila hukum-hukum Islam tidak diberlakukan, negeri tersebut bukanlah Daarul Islam, sekalipun negeri tersebut berdampingan dengan sebuah Darul Islam. Contohnya adalah Thaif, sekalipun letaknya sangat dekat dengan Makkah, namun dengan terjadinya fathu Mekkah; Thaif tidak kiblat muharram 1436 h 62 Mengantre pencairan dana Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS). [Foto: Kabar24] berubah menjadi Darul Islam.” (Ahkamu Ahli Dzimmah 1/366, Ibnu Qayyim). • Alaudin Al-Kasani Al-Hanafi berkata, “Sebuah negeri akan menjadi negeri Islam ( darul Islam ) dengan dominasi hukum Islam di dalamnya.” (Bada’iush Shanai’ fi Tariibisy Syarai’ 7/130). • Abu Zahrah berkata, “Negeri Islam adalah negeri yang diatur dengan kekuasaan kaum muslimin yang kekuatan dan dominasi dipegang oleh kaum muslimin, negeri yang seperti ini wajib dibela oleh kaum muslimin, dan berjihad mempertahankannya adalah fardu kifayah.” (Al-‘Ilaqat ad dauliyah fil Islam, 53) • Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Negeri Islam adalah negeri yang diperintah oleh kaum muslimin, hukum Islam berlangsung di dalamnya dan diterapkan oleh orang-orang islam, walaupun mayoritas penduduknya adalah orang kafir.” (Fatawa Sa’diyah, 92) Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah negeri dikatakan negeri Islam jika hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum Islam. Lantas bagaimana dengan sebuah negeri yang tidak berhukum dengan hukum Islam akan tetapi mayoritas penduduknya adalah umat Islam? Maka jika syarat mutlak sebuah negeri bisa disebut negeri Islam adalah berlakunya hukum Islam, maka negeri jenis ini belum layak disebut negeri Islam walaupun salah satu komponennya yaitu rakyatnya adalah mayoritas umat Islam. Sebaliknya jika sebuah negeri menerapkan sistem hukum Islam, sedanggkan mayoritas rakyatnya adalah non-Muslim maka negeri tersebut layak disebut negeri Islam, karena hukum Islam berlaku di dalamnya. negeri jenis ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah n. Yaitu Khabar. Ketika Rasulullah n menaklukkannya pada tahun 7 H, beliau menyetujui kaum Yahudi tetap tinggal di Khaibar dan menggarap lahan pertaniannya kiblat muharram 1436 h 63 (hadits Bukhari no. 4248). Rasulullah n lalu mengutus seorang shahabat Anshar sebagai amir (penguasa) Khaibar {hadits Bukhari no. 4246). Jadi, sebagian besar warga negeri Khaibar adalah kaum Yahudi, sampai mereka diusir oleh Umar bin Khaththab pada masa kekhilafahannya. Meski demikian hal ini tidak menghalangi status Khaibar sebagai sebuah negeri Islam, karena Khaibar berada di bawah kekuasaan kaum muslimin dan hukum-hukum Islam diberlakukan di Khaibar. Abul Qasim Ar Rafi’i Asy Syafi’i mengatakan, “Untuk disebut sebagai negeri Islam, suatu negeri tidak berlaku syarat di dalamnya harus ada kaum muslimin, tetapi cukup dengan keberadaan negeri tersebut berada di bawah pemerintahan seorang penguasa muslim.” (Fathul Aziz Syarhu Al Wajiz 8/14). Adapun tentang pengertian negeri Kafir (Darul Kufr) sudah dapat disimpulkan dari pengertian negeri Islam sebelumnya. Jika negeri Islam adalah negeri yang menjadikan syariat Islam sebagai landasan hukum, maka negeri Kafir adalah sebaliknya. Berikut kami nukilkan definisi negeri Kafir yang disebutkan oleh para ulama. Al-Kasani berkata, “Sebuah negeri akan menjadi negeri kafir apabila hukum kafir mendominasi di dalamnya.” (Bada’iush Shanai’ fi Tartiibisy Syarai’ 7/131). Abu Yusuf dan Muhammad Asy-Syaibani berkata, “Jika mereka menampakkan hukum syirik di dalam sebuah negeri, maka negeri tersebut telah jadi negeri kafir, karena penisbatan kekafiran atau keislaman sebuah daerah dilihat dari kekuatan dan dominasi. Maka setiap tempat yang didominasi hukum syirik, itu adalah tempat orang-orang musyrik dan tempat tersebut menjadi negeri harb (boleh diperangi)." (Al Mabsut 10/114) Al-Qadhi Abu Ya’la Al-Hanbali mengatakan, “Setiap negeri di mana hukum yang dominan (superioritas hukum) adalah hukum-hukum kafir dan bukannya hukum-hukum Islam, adalah Darul kufri.” (Al Mu’tamadu fi Ushuli Dien, 276). Hukum Tinggal di Negeri Kafir Seorang muslim diharuskan melaksanakan agamanya secara Sebagaimana firman Allah : untuk kaffah. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam agama Islam secara kaffah.” (Al-Baqarah: 208) Untuk melaksanakan Islam secara kaffah maka seorang muslim membutuhkan naungan sebuah institusi berupa negeri. Hal ini dapat dilihat dari sejarah Nabi n. Bagaimana beliau membangun sebuah kekuatan yang akhirnya menjadi kekuatan yang disegani kawan maupun lawan. Titik tolaknya adalah saat Nabi Muhammad n hijrah ke Madinah. Di sana Rasulullah dan kaum muslimin bisa dengan leluasa menjalankan syariat Islam dengan aman dan nyaman tanpa khawatir gangguan dari musuh-musuh Islam. Dari peristiwa sejarah ini dan tuntutan untuk menjalankan Islam secara kaffah maka seorang muslim haruslah hidup di bawah naungan negeri Islam. Lantas bagaimana dengan umat Islam yang tidak tinggal di negeri Islam? Dalam hal ini Ibnu Qudamah dalam kitab beliau yang cukup fenomenal yaitu Al-Mughni menyebutkan ada beberapa kondisi seorang muslim yang tinggal di negeri kafir. 1. Kondisi pertama adalah seorang muskiblat muharram 1436 h 64 lim yang tidak bisa menampakkan syiar agamanya di negeri kafir, dan mampu untuk hijrah, maka dalam kondisi seperti ini wajib baginya hijrah. Haram baginya untuk tinggal di negeri kafir. Hal ini didasarkan kepada firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini.’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami orangorang yang tertindas di negeri (Mekkah).’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu. Bagi mereka adalah Jahannam dan ia adalah seburuk-buruk tempat kembali.’” (An Nisa’: 97). Dalam tafsir Fathul Qadir dijelaskan bahwa ayat ini berbicara tentang orangorang yang mengaku muslim tapi tidak mau berhijrah, sehingga mereka dipaksa oleh orang Quraisy untuk keluar berperang melawan pasukan umat Islam saat perang Badar. Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman : “Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (Al-Anfal: 72). Ayat ini menjelaskan bahwa orang muslim yang tidak mau berhijrah maka mereka tidak mendapatkan perlindungan Nabi n. Rasulullah n bersabda : “Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrik, supaya api keduanya tidak bertemu.” (HR. Abu Daud dengan sanad mursal shahih). 2. Kondisi kedua adalah seorang muslim yang tidak mampu menampakkan agamanya dan juga dalam keadaan lemah, sehingga tidak bisa berhijrah. Kelompok ini tidak wajib berhijrah karena kelemahan mereka. Ketidakmampuan mereka untuk hijrah bisa disebabkan paksaan dan intimidasi, kelemahan orang tua, anak-anak dan orang-orang yang seperti mereka. Orang-orang dengan kondisi ini dibolehkan tetap tinggal di negeri kafir. Hal ini didasarkan pada firman Allah l: “Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah)." (An-Nisa’: 97). 3. Kondisi ketiga adalah seorang muslim mampu menampakkan agamanya di negeri kafir dan juga mampu untuk berhijrah. Hukum hijrah ke negeri Islam bagi kelompok dengan kondisi seperti ini adalah sunnah. Mereka boleh untuk tinggal di negeri kafir. Kondisi inilah yang dialami oleh paman Nabi n Abbas bin Abdul Muthalib saat berada di kota Mekkah. Untuk kelompok ketiga, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Majmu’ Fatawanya, fatwa nomor 288, beliau memberikan dua syarat agar seorang bisa tinggal di negeri kafir. kiblat muharram 1436 h 65 • Orang yang tinggal di negeri kafir bisa terjaga agamanya yaitu dengan mempunyai ilmu, iman dan tekad yang membuatnya bisa bertahan dengan agamanya. Ia juga hendaknya selalu waspada terhadap kesesatan, memendam permusuhan kepada orang kafir, membenci mereka, dan menghindari berwala’ dan cinta kepada orang kafir Karena sesungguhnya berwala kepada orang kafir menafikan keimanan. • Hendaknya orang yang akan tinggal di negeri kafir mampu menampakkan agamanya dengan melakukan syiar-syiar agama tanpa adanya yang melarang. Tidak dilarang untuk mengerjakan shalat fardu berjamaah, shalat Jum’at jika memang ada orang yang melakukan Jum’at dan jamaah. Ia juga tidak dilarang untuk membayar zakat, menunaikan puasa dan naik haji. Apabila ia tidak mampu melakukan hal tersebut, ia dilarang tinggal di negeri kafir. Ia wajib hijrah. Realita Hari Ini Dapat disimpulkan bahwa hari ini kita akan mendapati negeri Islam yang sesuai dengan definisi yang disebutkan para ulama. Karena tidak ada negeri yang menjadikan syariat Islam sebagai alat untuk mengatur negeri. Bila dihubungkan dengan kondisi kaum muslimin, kita tentu akan menemukan orang-orang yang wajib berhijrah, tetapi ke mana tujuannya? Solusinya, kita bisa melihat kemampuan menampakkan Islam di tempat kita saat ini. Jika kita dihalang-halangi untuk beribadah dan melakukan syiar-syiar Islam, kita harus mencari tempat yang lebih baik untuk melakukan ibadah dan syiar-syiar Islam, walaupun negeri itu tidak berhukum dengan hukum Allah. Seorang yang muslim mampu menampakkan agamanya di negeri kafir dan juga mampu untuk berhijrah. Hukum hijrah ke negeri Islam bagi kelompok dengan kondisi seperti ini adalah sunnah. Mereka boleh untuk tinggal di negeri kafir. Kondisi inilah yang dialami oleh paman Nabi n Abbas bin Abdul Muthalib saat berada di kota Mekkah. Upaya mencari tempat untuk menyelamatkan agama pernah dilakukan oleh orang-orang lemah (mustadh’afin) dari kalangan sahabat, saat gangguan musyrikin Quraisy semakin menjadi-jadi. Istri Nabi n Ummu Salamah x berkata, “Saat Mekkah menjadi sempit bagi kami (karena gangguan kuffar Quraisy), dan sebagian sahabat nabi diganggu dan mendapat cobaan dan mereka melihat cobaan yang diberikan kepada mereka dan ujian yang menimpa agama mereka sementara Rasulullah tidak bisa mencegah hal tersebut karena saat itu rasulullah dan pamannya sedang diembargo kaumnya, sehingga tidak sampai kepada beliau kabar tentang apa yang diterima ( ujian ) oleh para kiblat muharram 1436 h 66 sahabatnya. Rasulullah n berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya di negeri Habasyah ada seorang raja yang tidak menzalimi siapa pun. Pergilah ke negerinya sampai Allah memberikan kepada kalian jalan keluar.” ( HR Baihaqi dengan sanad hasan ). Dalam kaidah fiqih disebutkan “Ma laa yudraku kulluh la yutraku julluh”, yaitu sesuatu yang tidak bisa dicapai seluruhnya, tidak harus ditinggalkan sama sekali. Misalnya, hari ini kita tidak bisa hidup di bawah negeri yang menjadikan syariat Islam sebagai dasar hukum, akan tetapi hal tersebut tidak lantas menjadi alasan untuk tidak menjalankan syariat Islam. Di negeri mana kita berada, tugas kita adalah melaksanakan Islam semampunya, dengan tetap berupaya mewujudkan cita-cita umat Islam, yaitu berada di bawah naungan sebuah negeri yang menjadikan syariat Islam sebagai penguasa. Lantas, bagaimana cara kita berinteraksi dengan negeri yang tidak berhukum dengan hukum Allah? Untuk mengetahui cara berinteraksi dengan sebuah negeri yang tidak berhukum dengan hukum salah, setidaknya kita harus membagi interaksi dengan sebuah negeri yang tidak berhukum dengan hukum Islam dengan dua bagian. 1. Interaksi yang berkaitan dengan masalah hukum dan perundang-undangan. Sebagai seorang muslim yang taat seharusnya menghindari interaksi jenis ini, entah itu dengan bekerja di instansi yang membuat hukum, atau menjalankan dan menjaga keberlangsungannya, karena berhukum dengan hukum Allah adalah sesuatu yang dapat membatalkan keislaman seorang muslim. Allah l berfirman : “Dan putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (Al Maidah : 49) Ayat di atas adalah perintah untuk memutuskan perkara dengan hukum Allah, berarti larangan atas sebaliknya yaitu tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah. “Apakah hukum jahiliah yang mereka inginkan? Dan (hukum) siapa yang lebih baik Allah dari hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.” (Al Maidah : 50) Ayat ini adalah perintah untuk memutuskan/ berhukum dengan hukum Allah, berarti larangan atas sebaliknya yaitu tidak berhukum dengan hukum Allah. “Barang siapa yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah maka dia adalah orang-orang yang kafir.” (Al Maidah : 44) “Demi Rabbmu sungguh mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu atas segala perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian tidak ada dalam hati kiblat muharram 1436 h 67 mereka rasa tidak senang atas apa yang engkau putuskan, dan mereka menerimanya dengan penuh penerimaan.” (An-Nisa’ : 65). Dan ayat-ayat lainnya yang senada dengan ayat di atas. 2. Interaksi yang berkaitan dengan hubungan muamalah. Interaksi dengan negeri yang tidak berhukum dengan hukum Allah yang kaitannya dengan muamalah banyak ragamnya. Akan tetapi perlu dipahami bahwa interaksi dengan sebuah negeri yang tidak berhukum dengan hukum Allah bisa dianalogikan dengan berinteraksi dengan orang kafir, karena sama-sama interaksi dan sama-sama kafir, hanya yang berbeda adalah obyeknya, yang satu negeri sementara yang satu lagi adalah personal. Sebagaimana bermuamalah dengan orang kafir diperbolehkan, maka berhubungan muamalah dengan negeri yang tidak berhukum dengan hukum Allah juga diperbolehkan. Hal ini didasarkan kepada kaidah “Al-Ashlu fil mu’amalah al-ibahah.” Hukum asal muamalah adalah mubah. Kaidah ini hanya kerangka besar dalam berhubungan dengan negeri yang tidak berhukum dengan hukum Allah, akan tetapi bukan berarti setiap muamalah diperbolehkan, tentunya perlu dikaji kasus per kasus. Sebagai contoh kasus adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, baik itu berupa perbaikan jalan, sekolah dan berobat gratis. Menjadi sebuah dilema bagi seorang muslim yang tinggal di sebuah negeri yang tidak berhukum dengan hukum Islam jika ada fasilitas atau layanan yang diberikan negeri kepada rakyatnya. Baik itu berupa pelayanan kesehatan, perbaikan jalan, dan sekolah gratis. Apakah bisa dimanfaatkan atau tidak? Untuk mengetahui hal tersebut kita harus mengonversikan pelayanan yang diberikan oleh negeri yang tidak berhukum dengan hukum Allah kepada istilah fiqih, atau dalam Bahasa fikih disebut “takyiiful fiqhy”. • Pelayanan merupakan sebuah pemberian cuma-cuma yang diberikan sebuah negeri kepada rakyatnya. Dalam hal ini secara istilah fikih pemberian cuma-cuma bisa disebut hadiah atau hibah. • Pihak penyedia layanan atau pemberi layanan adalah negeri yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka sesuai teori pembagian negeri yang sudah dijelaskan di atas, maka negeri seperti ini disebut negeri kafir. 3. Pihak penerimanya adalah seorang muslim. Takyiifu fiqhinya adalah “seorang muslim menerima hadiah dari orang kafir”. Untuk melihat boleh atau tidaknya, mari kita lihat dalil-dalil yang ada. Berdasarkan hadits-hadits yang ada maka seorang muslim menerima hadiah atau hibah dari orang kafir adalah boleh. Di antaranya adalah : • Hadits dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad n bahwa Ibrahim q hijrah bersama Sarah, kemudian beliau memasuki sebuah perkampungan yang dipimpin oleh raja atau seorang yang raja yang kejam Kemudian raja tadi berkata, “Berikanlah kepadanya Hajar.” (HR Bukari, Bab Menerima Hadiah dari Orang Musyik). Dalam hadits ini diterangkan bagaimana Ibrahim q menerima hadiah dari seorang raja yang kejam, yaitu Hajar yang kemudian menjadi istrinya. kiblat muharram 1436 h 68 • Hadits Anas bin Malik a bahwa seorang wanita Yahudi memberikan kambing yang sudah diberi racun kepada Nabi n dan beliau memakannya (HR. Bukhari no. 2617) • Anas a berkata, “Nabi mendapatkan hadiah sebuah jubbah dari sutera, padahal beliau melarangnya. Orang-orang pun menjadi heran. Kemudian Nabi berkata, ‘Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangannya sapu tangan Sa’d bin Muadz yang berada di surga lebih baik dari ini.” (HR. Muslim no. 2615) Hadits-hadits di atas menerangkan kebolehan menerima hadiah dari orang kafir. Adapun hadits yang menyatakan Nabi n tidak mau menerima hadiah dari orang kafir, menurut Ibnu Hajar hadits tersebut derajatnya Mursal, sehingga tidak cukup kuat untuk membantah hadits-hadits di Shahih Al-Bukhari. Maka dengan kajian di atas dapat itu simpulkan bahwa menerima dan memanfaatkan fasilitas dan pelayanan yang diselenggarakan oleh negeri yang tidak berhukum dengan hukum Allah merupakan sesuatu yang diperbolehkan. Karena hal tersebut sama halnya dengan menerima hadiah dari orang kafir. Wallahu a’lam. [Miftahul Ihsan]. Nabi mendapatkan hadiah sebuah jubbah dari sutera, padahal beliau melarangnya. Orang-orang pun menjadi heran. Kemudian Nabi berkata, 'Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangannya sapu tangan Sa’d bin Muadz yang berada di surga lebih baik dari iini'. ni'.. kiblat muharram 1436 h 69 penguasa saleh rakyat pun saleh A langkah indahnya bila penguasa yang menaungi kehidupan umat Islam adalah imam yang adil. Rasulullah n bersabda, “Makhluk yang paling dicintai Allah adalah imam yang adil, sedangkan yang paling dimurkai adalah imam yang jahat.” Tidak ada umat yang benci bila hadis seperti ini benar-benar ada dalam kehidupan nyata. Penguasa yang adil adalah orang yang adil di tengah rakyatnya adalah yang menegakkan syariat Islam secara menyeluruh. Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh Riyadhus Shalihin mengatakan, “Penguasa yang adil adalah orang yang adil di tengah rakyatnya. Tidak ada keadilan yang lebih lurus dan wajib daripada berhukum dengan syariat Allah di tengah-tengah mereka. Inilah pokok keadilan. Karena Allah mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (AnNahl: 90). Maka siapa yang memerintah rakyatnya dengan selain syariat Allah, ia bukanlah penguasa yang adil.” Tetapi bila faktanya penguasa tidak adil dan tidak menegakkan syariat Islam; penguasa justru mencampakkan Islam dan menggantinya dengan undang-undang positif, siapa yang salah? Pemimpin buruk itu salah rakyat atau rakyat buruk karena pemimpinnya buruk? Ulama telah menjelaskan secara lengkap persoalan ini. Pemimpin dan rakyat adalah sama-sama manusia yang bisa salah. Tidak ada yang menganggap maksum kecuali keyakinan Syiah terhadap para imam mereka. Oleh karena itu, kedua pihak berada dalam lingkup saling menasihati, seperti digambarkan dalam hadis Nabi n “Dien ini adalah nasihat.” Salah satunya adalah nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin. Inilah hakikat kehidupan kiblat muharram 1436 h 70 dan hubungan antara pemimpin dan hikmah-Nya tatkala Dia menjadikan rakyat dalam konsep Islam. para raja, penguasa dan pemegang tampuk pemerintahan sesuai dengan Rakyat Buruk, Pemimpin Buruk amalan yang dilakukan oleh para rakyat Satu sisi yang harus berusaha menjadi di dalam negeri tersebut. Bahkan, salah adalah rakyat. Bila keburukan amalan dari para rakyat akan tercermin telah menyebar luas dalam masyarakat, dari tingkah laku para penguasanya. Allah bisa kapan saja murka dan — Apabila rakyat di dalam negeri tersebut naudzubillah— memberikan musibah komitmen dalam menjalankan syariat, kepada mereka dengan berkuasanya maka tentu penguasanya pun demikian. pemimpin yang zalim. Dalam hal ini Apabila mereka berlaku adil, maka para penguasa akan berlaku adil kepada Allah berfirman: “Dan demikianlah Kami jadikan mereka. Apabila mereka suka berbuat sebahagian orang-orang yang zal- kemaksiatan, maka para penguasa im itu menjadi teman bagi sebagi- juga akan senantiasa berbuat maksiat. an yang lain disebabkan apa yang Apabila rakyat senantiasa berbuat makar mereka usahakan.” (Al-An’am: dan tipu daya, maka tentulah penguasa 129) demikian pula keadaannya. Apabila para rakyat tidak menunaikan hak-hak Allah Al-Alusi menjelaskan ayat ini dengan serta mengabaikannya, maka penguasa ungkapan, “Bila rakyat zalim, Allah akan mereka pun juga akan berbuat hal yang menguasakan orang zalim pula kepada sama, mereka akan melanggar dan mereka.” tidak menunaikan hak-hak para Hal yang sama juga disebutkan rakyatnya. oleh Al-Qurtubi, “Bila Apabila rakyat sering Allah ridha kepada suatu melanggar hak kaum yang kaum, Dia menguasakan lemah dalam berbagai urusan kepada orang interaksi mereka, maka yang terbaik di antara para penguasa akan mereka. Bila Allah melanggar hak para murka kepada suatu rakyatnya secara paksa, kaum, Dia menguasakan menetapkan berbagai urusan mereka kepada pajak dan pungutan liar orang yang terburuk. kepada mereka. Setiap Nabi n bersabda, mereka (yakni rakyat) ‘Siapa yang menolong mengambil hak kaum orang zalim, Allah akan yang lemah, maka hak mereka pun menguasakan kepadanya.” akan diambil secara paksa oleh para Ibnul Qayyim juga melihat hal yang penguasa. Sehingga para penguasa sama dalam menafsirkan ayat tersebut. merupakan cerminan amal dari para Beliau mengatakan, "Perhatikanlah rakyatnya." Bila rakyat zalim, Allah akan menguasakan orang zalim pula kepada mereka. kiblat muharram 1436 h 71 Artinya sebagai otokritik pada sisi ini, rakyat harus memperbaiki diri agar Allah tidak menimpakan pemimpin yang zalim kepada mereka. Adalah kezaliman bila menuntut orang lain adil, sedangkan diri sendiri tidak adil. Maka wajar ketika Abdul Malik bin Marwan berkata kepada rakyatnya, “Kalian tidak adil terhadap kami wahai seluruh rakyat! Kalian menginginkan kami seperti Abu Bakar dan Umar, namun kalian tidak berlaku seperti kami dan juga pada diri kalian.” Demikian pula Ubaidah bin As-Salmani ketika bertanya kepada Ali a, “Wahai Amir Mukminin, mengapa manusia taat kepada Abu Bakar dan Umar. Kekayaan dunia pada waktu itu lebih sempit daripada sejengkal, lalu menjadi luas pada masa keduanya. Ketika engkau dan Utsman menjadi khilafah, dunia terbuka luas pada awalnya namun kemudian menjadi lebih sempit daripada sejengkal.” Ali menjawab, “Karena rakyat Abu Bakar dan Umar seperti aku dan Utsman, sedangkan rakyatku sekarang adalah kamu dan orang-orang seperti dirimu.” (Sirajul Muluk, Imam Ath-Thurthursyi, 94). Kesalehan Penguasa Kesalehan Rakyat Sisi lain dan inilah yang utama adalah kesalehan pemimpin. Rakyat akan menjadi saleh bila pemimpinnya saleh. Ibnu Taimiyyah dalam kitab As-Siyasah As-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa ArRa’iyyah, I/37 mengatakan, “Ketika rakyat berubah (menjadi rusak), sedangkan penguasa sebaliknya, semua urusan pun saling bertentangan. Apabila penguasa mengambil langkah untuk memperbaiki agama dan urusan dunia mereka sesuai kemampuannya, maka ia termasuk orang yang paling utama pada masanya. Ia adalah mujahid paling afdhal di jalan Allah. Telah diriwayatkan bahwa ‘Satu hari dengan imam yang adil itu lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun’.” Di tempat lain, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Ulil amri terdiri atas dua kelompok manusia: ulama dan umara. Bila mereka baik, manusia pun baik. Bila mereka buruk, manusia pun buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa hal yang menjamin kami akan senantiasa berada di atas perkara (yang baik yang Allah datangkan setelah masa jahiliah) ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab, ‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan (Islam) tersebut selama para pemimpin kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari) (Majmu’ Al-Fatawa, 28/170) Satu hari dengan imam yang adil itu lebih baik daripada ibadah selama 60 6 0 ttahun. ahun. kiblat muharram 1436 h 72 Syaikh Utsaimin ketika menafsirkan hadis ad-dien nasihah mengatakan, "Nabi mendahulukan nasihat untuk para pemimpin sebelum nasihat untuk rakyat, karena para pemimpin itu bila baik, maka baik pula rakyatnya." Persepsi Keliru dari Hadits Dhaif Penguasa Muslim dan rakyatnya adalah satu tubuh dalam persaudaraan Islam. Sebagai haknya, ia tidak boleh dibiarkan ketika melanggar aturan. Inilah yang ditunjukkan oleh sejarah para salaf. Ada Sufyan Ats-Tsauri secara tegas hubungan yang baik. menyatakan hal ini di depan pemimpin; Dengan demikian, tidaklah benar Abu Ja’far Al-Manshur, “Sungguh aku menyalahkan rakyat setiap hidup di tahu tentang seseorang yang bila ia bawah penguasa yang jahat. Persepsi baik maka umat pun menjadi baik. Bila keliru ini secara umum dibangun dari ia buruk, umat pun buruk.” Al-Manshur hadis lemah riwayat Ad-Dailami dan berkata, “Siapa?” Ats-Tsauri menjawab, Al-Baihaqi: “Engkau!” (Sirajul Muluk, I/35). Pemimpin yang baik juga menjadi harapan dalam doa ulama agar rakyat menjadi baik karenanya. Hasan Bashri mengatakan, “Bila saya memiliki doa yang dikabulkan, saya akan mendoakan untuk kebaikan penguasa. Sebab dengan baiknya penguasa, rakyat pun menjadi baik. Bila penguasa baik, rakyat dan negeri pun aman.” (Imamatul ‘Udhma Ad-Dumaiji, I/370 Nabi n mendahulukan nasihat untuk para pemimpin sebelum nasihat untuk rakyat, karena para pemimpin itu bila baik, maka baik pula pula rrakyatnya. akyatnya. “Seperti apa kalian, seperti itu pula pemimpin kalian.” Hadits ini telah dinyatakan dhaif oleh ulama masa lalu seperti Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga ulama masa akhir seperti Syaikh Al-Albani. Syaikh Al-Albani telah mengumpulkan matannya di Silsilah Adh-Dhaifah (1/490). Setelah menjelaskan takhrij hadis ini, beliau mengatakan, “Selain dhaif, hadis ini maknanya tidak shahih sama sekali menurut saya. Sebab sejarah telah menunjukkan kepada kita, adanya seorang yang saleh menjadi pemimpin setelah pemimpin sebelumnya yang tidak saleh, sedangkan rakyatnya tetap saja (tidak saleh).” Ungkapan Syaikh Al-Albani benar. Kenyataannya bahwa di tengah-tengah masyarakat yang tidak saleh bisa muncul pemimpin yang saleh. Demikian pula sebaliknya. Jawaban Ali bin Abi Thalib yang telah disebutkan sebelumnya membuktikan kiblat muharram 1436 h 73 perkara Syaikh Al-Albani. Ali berkata, “Karena rakyat Abu Bakar dan Umar seperti aku dan Utsman, sedangkan rakyatku sekarang adalah kamu dan orang-orang seperti dirimu.” (Sirajul Muluk, Imam Ath-Thurthursyi, 94). Rakyat itu Bagaimana Pemimpinnya Khalifah Al-Walid adalah orang yang suka kuliner dan berlibur. Maka obrolan rakyat di warung-warung tidak lepas dari pertanyaan tentang makan dan menu makanan. m enu m akanan. Sisi ini disebut lebih utama karena kesalehan pemimpin lebih mudah membentuk kesalehan rakyat, bukan sebaliknya. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim dan lainnya—yang telah kami sebutkan sebelumnya— adalah penafsiran ayat yang menunjukkan ancaman Allah bagi orang-orang zalim, bukan sebab langsung, yang kemudian menj jadi anggapan angg ggap pan b ahw wa p e im em mpin menjadi bahwa pemimpin za alilim m adalah adal ad alah al ah kkesalahan esal es alah al ahan ah an rrakyat. akkya a yat. t. LLalu t. alu al u zalim p pe ng gua u sa a zal a im ““dikultuskan”, dikulttus u kan” n”, ”, rrakyat akyyat penguasa zalim (ba (b acca: a a kttiv ktiv ivis is IIslam) slam) yya sl ang d isal is alla ah hka kan n. n. (baca: aktivis yang disalahkan. Ada ungkapan Arab, rakyat itu mengikuti pemimpin; masyarakat umum itu tergantung agama rajanya. Sejarawan Islam telah mencatat contoh nyata dalam hal ini. Masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai masa yang di dalamnya rakyat sangat giat dalam ibadah dan ketaatan kepada Allah. Umar bin Abdul Aziz dalam sebuah riwayat terlihat salat tahajud di mihrabnya dalam kondisi menangis. Ia biasa meneteskan air mata dalam ibadahnya. Beliau dikenal sebagai ahli ibadah dan suka membaca Al-Qur’an. Maka kebiasaan pemimpin ini pun ditiru oleh rakyatnya. Bahkan perbincangan sehari-hari mereka adalah tentang ibadah. Ketika mereka saling bertemu, pertanyaan yang dilontarkan tidak lepas dari berapakah Anda menghafal AlQur’an, berapa rakaat engkau qiyamul lail tadi malam dan tentang kesalehan lainnya. Hal itu berbeda dengan masa dua khalifah sebelumnya. Masa Al-Walid bin Abdul Malik dikenal sebagai masa harta berlimpah dan makmur. AlWalid dikenal pemimpin yang suka bangunan dan infrastruktur mewah. Ia rela mengeluarkan biaya yang sangat mahal untuk proyek-proyek bangunan. Ia membangun masjid Jami’, gedung, dan pabrik-pabrik. Kesukaannya ini pun pu n me menu nula larr ke kepa pada da rrakyatnya, akya ak kyatn tnya tn ya, hi hing ngga ng ga menular kepada hingga pe erbi rb binca inca cang ng gan an d ant tara tara a m errekka ti e tida idak dak perbincangan dii an antara mereka tidak lepa le pass dari pa dari b angu an guna an da dan n ge g du ung g lepas bangunan gedung me mew ewa wah. mewah. P sikol sik ollogi o gi manu ma nusi nu sia si a cend ce end nde errun ung g Su Psikologi manusia cenderung S laim la im man bin bin Abdul Abd bdul Malik Mal alik lik saudara sau udara darra da a A lSulaiman Almeng me n ik ng ikut u i dan dan me m eni niru ru p e im em mpi p nn nya y . Wa mengikuti meniru pemimpinnya. W lid berbeda berbed eda la eda ed agi g g ayya h id du up pn nyya a. Walid lagi gaya hidupnya. kiblat muharram 1436 h 74 Ia a Ia adalah dalah dal lah or oran orang ang g ya yyang ng g ssuka uka uk ka ku kuli kuliner liline ine nerr dan da n be rlib libur. Maka obrolan rakyat berlibur. di warung-warung tidak lepas dari pertanyaan tentang makan dan apa menu makanan hari ini. (Al-Kamil Fi At-Tarikh, Asy-Syaibani, IV/292. Tarikh Ath-Thabari, IV/29). d la di laku lak kuka kuk kan, d kan enga en ga gan an ka kkaidah aid idah h amar makruf dilakukan, dengan nahi mungkar yang benar. Membiarkan penguasa muslim dalam kemaksiatan kezaliman adalah bentuk dan kezaliman dari saudaranya. Rasulullah n bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi.” Wujud Besarnya pengaruh pemimpin menolong orang yang zalim adalah yang saleh terhadap rakyat adalah mencegah dari perbuatan zalimnya. salah satu hikmah dari syarat-syarat Nabi n bersabda: kepemimpinan Islam yang ketat, di antaranya adil dan berilmu. Selain itu Islam juga tidak memberikan jabatan kepemimpinan bagi orang yang memintanya. Bisa jadi orang yang “Tidak ada seorang pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin, berambisi tidak akan amanah dalam tidakk b bersungguh-sungkkemudian di tid h i i l i sampaii pada d memimpin. Apalagi guh dan melaksanakannya dengan politik uang demi jabatan, bisa saja baik, kecuali ia tidak akan masuk selama menjabat ia akan menzalimi surga bersama mereka.” (HR Musuang rakyat untuk mengembalikan lim) modalnya. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari r.a, ia berkata, “Aku dan dua orang dari kaumku datang menghadap Nabi n. Salah seorang mereka berkata, ‘Ya Rasululloh n angkatlah kami sebagai pejabatmu.’ Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasululloh n bersabda, ‘Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya’.” (HR Bukhari dan Muslim). “Tiada seorang pemimpin yang diamanahi oleh Allah untuk rakyatnya, suatu saat mati dalam kondisi menzalimi (hak mereka) kecuali Allah mengharamkan wangi surga baginya.” (Muslim). Dua hadis tersebut bentuk ancaman bagi penguasa zalim di akhirat, sedangkan di dunia, Allah bisa kapan saja sesuai kehendaknya telah memiliki alasan untuk menimpakan musibah yang tidak hanya menimpa orang jahat, tetapi orang saleh juga kena Komunikasi antara Rakyat dan Pen- getahnya. Ancaman ini berlaku—dan guasa kita berlindung kepada Allah darinya— Dengan dua sisi yang harus diperbaiki bila kemaksiatan telah merajalela tanpa tersebut, maka menyampaikan peringa- ada proses amar makruf nahi mungkar. tan kepada pemimpin jelas harus Allah berfirman: kiblat muharram 1436 h 75 “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Al-Ma’idah: 78-79). Dalam kaitan yang sama, Rasulullah bersabda, “Hendaklah kalian beramar makruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atas kalian orang-orang yang paling jahat di antara kalian, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kalian berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka).” (HR. Al-Bazzar dari Abu Hurairah. Dinyatakan Hasan oleh AsSuyuthi dalam Jami’ush Shaghir, namun Syaikh Al-Albani menyatakan dhaif). Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, hendaknya kalian beramar makruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allah akan mengirimkan siksa-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun doa kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. Tirmidzi no. 2169. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Hendaklah kalian beramar makruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atas kalian orangorang yang paling jahat di antara kalian, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kalian berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka). Semoga salam dan salawat dilimpahkan kepada nabi Muhammad, beserta keluarga dan sahabat beliau. [Agus Abdullah]. kiblat muharram 1436 h 76 kiblat muharram 1436 h 77