Majalah Kiblat Npember jook.indd

advertisement
SALAM
Bismillah...
Umat Islam masih saja dibuat
bingung oleh oknum sebagian dai
yang tiba-tiba melabeli Jokowi yang
memenangkan pemilu 2014 sebagai
ulil amri yang wajib ditaati.
Ulil amri adalah istilah Islam yang
memiliki definisi dan konsekuensi
yang telah definitif. Menyematkan
ulil amri kepada orang yang tidak
berhak adalah kezaliman dan
penyesatan yang nyata bagi umat
sekaligus orang yang dilabeli. Bila
ada orang munafik dilabeli sebagai
orang yang jujur, maka ia akan
bangga dengan kemunafikannya
dan semakin jauh dari pertobatan.
Bagi umat Islam sendiri yang dalam
doktrin agamanya ilmu merupakan
dasar utama dalam segala hal,
maka memahami ulil amri secara
komprehensif, mulai dari definisi
sampai keluar dari ketaatan kepada
penguasa akan menjadi bekal
sekaligus benteng dari kemungkinan
oknum-oknum nyleneh pada
masa mendatang sampai sistem
demokrasi lenyap dari muka bumi
dengan izin Allah.
Selamat membaca!
Redaktur Ahli : Abu Zahrah, Abu
Abdurrahman Pimpinan Redaksi :
Tony Syarqi Redaksi : Agus Abdullah,
Fahruddin, Dhani el-Ashimi, Bashirudin R,
Miftahul Ihsan
MAJALAH DIGITAL KIBLAT adalah
salah satu konten dari situs berita Islam
www.kiblat.net. Dapat diunduh dan
sebarluaskan secara cuma-cuma.
Email : [email protected]
Donasi: BCA 7735072587 BNI Syariah
0298526555 BNI Syariah atas nama Muh
Bashirudin Rosyed.
kiblat
muharram 1436 h
2
ISI
17
Menyelamatkan Bahtera
Tak Hanya
dengan
“Empat Mata”
27
Pemerintah
Sekuler Bukan
Ulil Amri
40
44
Penguasa
Berhati Setan
48
Syaikh Bin Baz
Mengkafirkan Penguasa
Meskipun
Shalat
70
Penguasa
Saleh Rakyat
pun Saleh
Polemik Ulil Amri
di Pusaran Pesta
Demokrasi
Melawan Penguasa
Tidak Selalu Khawarij
Indonesia
Bukan Negara
Islam
4
34
SEJARAH
HITAM
MURJIAH
52
62
Menjual Agama
Demi Penguasa
Hubungan
Rakyat dan
Penguasa
kiblat
muharram 1436 h
3
polemik ulil amri
di pusaran pesta
demokrasi
S
ecara umum aktivis Islam penerus
manhaj dakwah salafus saleh
tidak sepakat dengan sistem
demokrasi. Saat pemilu presiden
berlangsung pilihannya adalah tidak
mencoblos (golput) atau memilih calon
yang menurut pertimbangan maslahat
lebih ringan dampak buruknya bagi
dakwah Islam.
Definisi Ulil Amri
Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab, uli
bermakna memiliki. Kata ini dalam
bahasa Arab tidak bisa berdiri sendiri.
Sedangkan al-amr, Ibnu Mandzur
mengatakan, “Seseorang memimpin
pemerintahan, bila ia menjadi amir
bagi mereka. Amir adalah penguasa
mengimpementaskan perintahnya di
Anehnya, siapa pun pemenang pemilu antara rakyatnya.”
langsung dilabeli ulil amri yang
Menurut Istilah, Ulil Amri adalah para
wajib ditaati, tidak boleh dikritik.
pemilik otoritas dalam urusan umat.
Kalau ada yang mengritik langsung
Mereka adalah orang-orang yang
disebut khawarij. Penguasa yang tidak
memegang kendali semua urusan. (Almewujudkan tujuan kepemimpinan
Mufradat, 25).
(maqashidul
imamah)
seolah-olah
manusia suci, sedangkan aktivis Islam Ulil Amri Menurut Para Ulama
dituding sebagai anjing-anjing neraka.
Ulil Amri menurut Imam Asy-Syaukani
Memahami secara komprehensif apa adalah:
dan siapa sejatinya ulil amri dalam
  
 
konsep Islam akan menjawab pantaskah 
   
   
   
penguasa itu layak disebut ulil amri.
kiblat
muharram 1436 h
4
 
 
 
     
    
  
Ulil amri adalah para imam, penguasa,
hakim dan semua orang yang memiliki
kekuasaan yang syar’i, bukan kekuasaan
thaghut.” (Fathul Qadir, Asy-Syaukani,
1/556).
Syaikhul
Islam
Ibnu
Taimiyyah
menjelaskan
menjelaskan
dengan
ungkapan:
 
 
 

         
     
       
   
      
               



      
 
    
    
    

        
  
 
   
  

 
   
 
        
   

   
  

    
 
“Ulil amri adalah pemegang dan pemilik
kekuasaan. Mereka adalah orang-orang
yang memerintah manusia. Perintah
tersebut didukung oleh orang-orang
yang memiliki kekuatan (ahli qudrah) dan
ahli ilmu. Karena itulah, ulil amri terdiri
atas dua kelompok manusia: ulama dan
umara. Bila mereka baik, manusia pun
baik. Bila mereka buruk, manusia pun
buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar
Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani
Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa
hal yang menjamin kami akan senantiasa
berada di atas perkara (yang baik yang
Allah datangkan setelah masa jahiliah)
ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab,
‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan
(Islam) tersebut selama para pemimpin
kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari)
(Majmu’ Al-Fatawa, 28/170)
Sejalan dengan Ibnu Taimiyyah, Syaikh
Utsaimin mengatakan, “Ulil Amri kaum
muslimin itu ada dua kelompok. Pertama
dan yang utama dari keduanya adalah
para ulama yang menjelaskan apa yang
diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya
Muhammad n. Mereka adalah orangorang yang mengatakan sesuai dengan
perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Kedua adalah umara (para penguasa).
Dalam dunia nyata, mereka adalah
orang-orang yang menerapkan perintah
Allah dan Rasul-Nya. Yakni perintah yang
telah disampaikan oleh ulil ilmi (ulama).”
Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan,
“Mereka (para ulama) adalah ulil amri
dari sudut pandang bahwa mereka
membawa syariat dan menyampaikannya
kepada manusia, baik perintah maupun
larangan.” Beliau menambahkan, ulama
memegang otoritas syariat, sedangkan
umara memegang otoritas politik.
Karena kekuasaan berada di tangan
umara. Umara adalah ujung tombak ulil
amri dalam kewenangan eksekutif.
Syaikh Mahmas Al-Jal’ud dalam kitab
Al-Muwalah wal Mu’adah fi Syari’atil
Islamiyyah (II/206) setelah nyebutkan
tentang
wajibnya
hadis-hadits
taat kepada penguasa yang zalim,
kiblat
muharram 1436 h
5
mengatakan,
“Haditshadits tadi tidak berarti
membolehkan
sepakat
dengan penguasa dalam
kezaliman dan kebatilan
mereka. Atau boleh tidak
mengingkari
kejahatan
yang mereka lakukan,
atau taat kepada mereka
dalam kemaksiatan.
Hadits-hadits itu justru
menunjukkan
bahwa
siapa yang membenci
kemungkaran maka ia
telah lepas dari dosa
dan akibatnyaa. Dalam
hal ini, orang yang
mampu
mengingkari
k e m u n g k a r a n
dengan lisannya, dan
mengingkaarinya, ia lepas
dari dosa bila memang
tidak mampu mengingkari
dengan tangan. Orang
yang
tidak
mampu
membasmi kemungkaran
(dengan lisan dan tangan)
tidaklah berdosa dengan
sekedar diam.”
Lebih
lanjut,
Syaikh
Utsaimin,
menjelaskan
bahwa dua kelompok
itulah uli amri kaum
muslimin. Allah telah
memerintahkan
agar
umat
Islam
menaati
mereka. Namun ketaatan
ketaatan ini menyesuaikan
ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya.”
Allah
tidak
“Taatilah Allah, taatilah
Rasul, dan taatilah ulil
amri,” hal ini karena
ketaatan kepada ulil amri
bukanlah
independen,
melainkan
mengikuti
ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Karena itulah,
bila ulil amri memberikan
perintah yang menyelisihi
perintah Allah dan RasulNya, maka tidak ada
ketaatan bagi mereka
dalam perintah tersebut.
Selama mereka muslim,
kesalahan yang dilakukan
oleh ulil amri tidak lantas
menjadi
pintu
untuk
menjelek-jelekkan mereka
di depan umum. Ini akan
menyebabkan
rakyat
benci kepada mereka
dan setiap pekerjaan
yang dilakukan meskipun
benar. Selain itu juga akan
menyebabkan
rakyat
menentang dan tidak
taat. Ini bisa berakibat
kehancuran masyarakat
serta
kekacauan
dan
kerusakan.
Namun, kata ulama yang
pendapatnya
sering
menjadi rujukan umat
Muslim Indonesia ini, hal
itu tidak berarti bahwa kita
harus
mendiamkannya
tanpa menasihati (bila
melakukan
kesalahan).
Ulil amri yang melakukan kezaliman
terhadap rakyat tidak sampai kepada
kekafiran yang nyata. Yakni tidak
sampai mengingkari syariat, tidak
menolak berhukum dengannya, dan tidak
meninggalkan kewajiban menegakkan
Dien. Zalim yang dilakukan adalah
kezaliman yang bersifat duniawi. Dalam
hal ini rakyat tidak boleh merebut
kekuasaannya.
berfirman,
kiblat
muharram 1436 h
6
Sebab menasihati mereka adalah wajib.
Mengingatkan ulil amri adalah bagian
dari agama Allah.
“Agama ini nasihat,” sabda Nabi
sampai tiga kali.
n
“Bagi siapa wahai Rasulullah?” tanya
para sahabat.
“Allah, Kitab-Nya,
pemimpin
kaum
masyarakat umum.”
Rasul-Nya,
muslimin,
para
dan
Syaikh Utsaimin menafsirkan, “Nabi
mendahulukan nasihat untuk para
pemimpin sebelum nasihat untuk rakyat,
karena para pemimpin itu bila baik,
maka baik pula rakyatnya.”
Maksud taat kepada mereka adalah taat
dalam perintah dan menjauhi larangan
selama tidak maksiat.” (Fathul Qadir,
Asy-Syaukani, 1/556).
Ulil Amri yang ditaati
Banyak nash yang memerintahkan
ketaatan kepada ulil amri dengan
batasan menegakkan Dien. Rasulullah
bersabda:
  
  
       

      

  
  
    

   
“Jika kalian dipimpin oleh seorang
hamba hitam berambut keriting, yang
memimpin kalian dengan kitab Allah,
maka taatlah kepadanya.” (HR Muslim).
    
    
    

  





      
“Sesungguhnya
urusan
ini
(kepemimpinan kaum muslimin) adalah
milik Quraisy. Tidak ada seorang pun
yang menentangnya kecuali akan
ditelungkupkan oleh Allah dengan
wajahnya di neraka selama menegakkan
dien.” (Al-Bukhari).
Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ali, ulama
Kuwait lulusan Universitas Madinah,
menjelaskan, “Hadits-hadits tersebut dan
lainnya menjelaskan bahwa ulil amri yang
melakukan kezaliman terhadap rakyat
tidak sampai kepada kekafiran yang
nyata. Yakni tidak sampai mengingkari
syariat, tidak menolak berhukum
dengannya, dan tidak meninggalkan
kewajiban menegakkan dien. Zalim yang
dilakukan adalah kezaliman yang bersifat
duniawi. Dalam hal ini rakyat tidak boleh
merebut kekuasaannya. Karena ini akan
meruntuhkan kesatuan umat. Menjaga
persatuan umat lebih utama daripada
melawan kezaliman penguasa.
Hal itu seperti disebutkan dalam hadis
shahih riwayat Muslim dari Junadah bin
Abu Umayyah yang berkata, ‘Kami masuk
ke tempat Ubadah bin Shamit saat ia
sedang sakit. Kami berkata, ‘Semoga
Allah menyembuhkanmu, ceritakanlah
kepada kamu satu hadis yang dengan
itu Allah memberi manfaat kepada
kami. Hadits yang engkau dengar dari
Rasulullah
n. Ubadah menjawab,
“Rasulullah memanggil kami, lalu kami
membaiat beliau. Maka di antara syarat
yang diambil dari kami adalah kami
berbaiat untuk mendengar dan taat
dalam suka maupun benci; sulit maupun
mudah; dan meskipun menelantarkan
hak kami. Kami tidak akan merebut
kiblat
muharram 1436 h
7
kekuasaan dari pemiliknya.’ Rasul n
bersabda, “Kecuali kalian melihat
kekafiran yang nyata, yang dengan itu
kalian memiliki alasan di hadapan Allah.”




       
      
 
Syaikh Hamid bin Abdullah Al-Ali
Bila kekafiran yang nyata telah muncul
dalam sebuah kekuasaan, maka ini
merupakan kekuasaan kafir yang tidak
ditaati. Ia wajib dimusnahkan dengan
kekuatan. Bila kaum muslimin tidak
mampu melakukannya, mereka wajib
melakukan persiapan (i’dad). Allah
berfirman, ‘Seandainya mereka ingin
keluar (untuk berjihad) mereka tentu
melakukan persiapan.’ (At-Taubah: 47).
Di antara persiapan yang dilakukan
adalah mengembalikan kaum muslimin
kepada agama mereka dengan dakwah
Islam; melatih para pemimpin Islam
yang mengendalikan urusan umat agar
eksistensi politiknya yang merealisasikan
kemenangan agama mereka di bumi,
syariat Islam tegak, dan mengantarkan
kepada dunia dengan jihad. Di antara
persiapan bekal adalah mengarahkan
umat ke medan-medan jihad.” (http://
ar.islamway.net/fatwa/3746/ 3746/‫نم‬-‫وه‬‫يلو‬-‫رمأ‬-‫نيملسملا‬-‫يذلا‬-‫بجت‬-‫)هتعاط‬
Syaikh Bin Baz menjelaskan apa yang
harus dilakukan oleh kaum muslimin
ketika melihat kekafiran yang nyata
pada penguasa:
٣٠٢٨
“Kecuali bila kaum muslimin melihat
kekafiran yang nyata, mereka memiliki
hujjah di hadapan Allah, maka tidak
masalah bagi mereka melawan penguasa
ini, untuk menggulingkannya. Yakni bila
mereka mampu. Adapun bila mereka
belum memiliki kekuatan, mereka tidak
boleh melawan. Atau bila melawan
malah menyebabkan keburukan yang
lebih banyak, mereka tidak boleh
melawan, demi menjaga kemaslahatan
umum. Ada kaidah syar’i yang disepakati
‘Memberantas keburukan tidak boleh
dilakukan dengan keburukan yang lebih
besar darinya.’” (Al-Fatawa, VIII/203).
Tentang keluar dari penguasa, beliau
mengatakan:


   
٢٢٢١١٥٦٢١٣
“Bila kita mampu menyingkirkannya,
kiblat
muharram 1436 h
8
maka saat itu kita harus melawan
penguasa itu. Bila kita tidak mampu,
maka kita tidak melawan. Sebab
semua kewajiban syariat memiliki
syarat
adanya
kemampuan
(bagi yang diwajibkan).” (Babul
Maftuh, III/126, Pertemuan ke-51,
Pertanyaan ke-1222).
Syaikh Shalih Al-Fauzan juga
mengatakan hal yang sama:
      
     
     


Adapun hubungan dengan
penguasa
kafir,
hal
ini
berbeda-beda
mengikuti
kondisi. Bila kaum muslimin
memiliki
kekuatan
dan
mampu
memerangi
dan
menggulingkannya
dari
kekuasaan,
serta
bisa
mewujudkan
penguasa
muslim, maka wajib bagi
mereka melakukannya. Ini
adalah jihad fi sabilillah.”
Lebih jelas lagi, bagi kaum
muslimin yang tinggal di
wilayah penguasa kafir da
belum memiliki kemampuan
“
bila kemungkaran yang wajib diingkari
merupakan perkara yang sangat berbahaya
dan buruk bagi umat, Tidak terbatas pada
penguasa saja yang bermaksiat. Bila
demikian, semua orang yang melakukannya
“
     
harus diingatkan. Demikian pula orang
yang masih ragu tentang perkara yang
buruk itu. Misalnya riba.
untuk menggulingkan
Taimiyyah mengatakan:
penguasa,
Ibnu



٣١٤٢
“Maka bagi kaum beriman di suatu negeri
kiblat
muharram 1436 h
9
dalam keadaan lemah,
atau pada saat itu ia
lemah,
hendaknya
ia
mengamalkan ayat sabar
dan memaafkan orang
yang menyakiti Allah dan
Rasul-Nya dari kalangan
ahli kitab dan musyrikin.”
(Ash-Sharim
Al-Maslul,
II/413).
Dari
uraian
para
ulama tersebut dapat
disimpulkan
bahwa
melawan penguasa kafir
adalah wajib. Namun
pelaksanaan
kewajiban
tersebut
berkaitan
dengan
kemampuan
sebagai syaratnya. Ketika
kaum muslimin belum
mampu, i’dad wajib bagi
ereka sampai memenuhi
syarat
tersebut.
Ibnu
Taimiyyah mengatakan:
  


     

“(Kaum muslimin) wajib
melakukan
persiapan
(i’dad)
jihad
dengan
menyiapkan
kekuatan
dan menambatkan kuda
ketika jihad tidak bisa
dilaksanakan
karena
lemah. Sebab, kewajiban
yang tidak bisa sempurna
dengan
sesuatu
maka
sesuatu itu menjadi wajib.”
(Al-Fatawa, 28/259).
Amar Makruf Nahi Mungkar terhadap Penguasa
Syaikh Dr. Ahmad bin Abdul
Karim Najib menjelaskan
dengan baik syarat dan
kondisi untuk mengingkari
kezaliman
penguasa
secara rahasia maupun
terang-terangan.
Kami
mengutipnya secara ringkas
berikut ini:
Pertama: Ada perbedaan
antara
mengingkari
kemungkaran dan keluar
dari
penguasa.
Sebab
tidak semua orang yang
mengingkari kemungkaran
yang dilakukan seorang
penguasa yang memiliki
otoritas
(baik
syar’i
maupun tidak) keluar dari
ketaatan hanya sekedar
mengingkari, apalagi keluar
dari manhaj, pemikiran
dan
mazhab,
seperti
digambarkan oleh sebagian
orang. Karena sepanjang
sejarah, umat tidak lepas
dari pengingkaran kepada
para penguasanya, baik
secara rahasia maupun
terang-terangan,
sesuai
kemampuan dan tuntutan
keadaan. Namun sejarah
kita yang panjang tidak
kiblat
muharram 1436 h
10
menunjukkan bahwa mereka dituduh telah
keluar dari ketaatan atau dituduh keluar
dari penguasa sama sekali. Apalagi dituduh
sebagai khawarij (dalam makna sekte)
hanya karena mengingkari kemungkaran
secara terang-terangan kepada penguasa.
Atau menyeru penguasa agar berbuat adil,
mengembalikan hak-hak yang dizalimi serta
menegakkan kebenaran.
Persoalan ini dikuatkan oleh Imam Muslim
dengan membuat judul Bab di kitab
Sahihnya: Bab wajibnya mengingkari para
penguasa dalam hal yang menyelisihi syariat
dan tidak memerangi mereka.
Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad
sahih dari Abu Said Al-Khudri, bahwa
Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling
utama adalah perkataan yang adil di depan
penguasa yang jahat.”
Seandainya
mengingkari
kemungkaran
yang dilakukan penguasa yang jahat adalah
tindakan yang keliru, tentu melakukannya
tidak disebut sebagai jihad yang paling
utama di jalan Allah! Ya, tidak mungkin pula
orang yang terbunuh karena melakukan itu
berada dalam peringkat pemimpin syuhada.
Seperti disebutkan dalam hadits sahih dari
Nabi n “Pemimpin syuhada adalah Hamzah
bin Abdul Muthallib dan seorang yang
berdiri di depan penguasa yang jahat, lalu
Seorang dai
yang jujur harus
mengutamakan
ketaatan
kepada Allah
daripada
diam dan
tunduk kepada
penguasa.
kiblat
muharram 1436 h
11
ia men
nas
a ihatinya, lalu ia dibunuh.” (HR
Hakim)
kiim .
Kedu
Kedu
d a, me
emb
ba
attassi bentukk pengi
en
ngi
g ngkaran
deng
de
ngan
an tera
errang-te
t rangan atau rahasia
te
ad
da
allah
ah uru
rusa
sa
an ya
ya g diatu
yang
turr se
tu
s suai tuj
ujuan
j
syar
sy
aria
ar
ria
i t. Ada bat
ata
asan-b
bat
ata
asannyya da
dan
dan
perl
pe
rlu
u di
d pe
perhat
atiikan keb
e ai
aikan (ma
m slahat))
y ng
ya
g mungk
gkin
g
diirrai
raiih de
dengan
den
ngan
n mel
e akkukkan
a
iitu.
Demikian pula keburukan (mafsadat)
yang
kemungkinan
timbul
bila
ditinggalkan. Hal ini berbeda-beda
sesuai perkara yang diingkari, kondisi
orang yang mengingkari, orang yang
diingkari, dan cara mengingkari. Karena
itulah, kita melihat para tokoh salaf
mengingkari para penguasa kadangkadang secara terang-terangan dan
rahasia, tanpa menimbulkan kesempitan
atau membuat orang menggerutu
terhadap pendapatnya.
Salah satu contoh pengingkaran secara
rahasia dilakukan oleh Usamah bi Zaid
kepada Utsman bin Affan. Diriwayatkan
dari Usamah bin Zaid, bahwa dikatakan
kepadanya, “Mengapa engkau tidak
menemui laki-laki ini dan berbicara
kepadanya?”
Maksudnya
adalah
Utsman. Usamah menjawab, “Apakah
kalian
menyangka
bahwa
setiap
aku berbicara kepadanya, aku harus
memperdengarkan kepada kalian?! Aku
telah berbicara kepadanya ketika hanya
berdua dengannya saja, tanpa membuka
satu perkara yang aku tidak suka untuk
membukanya pertama kali.”
Qadhi Iyadh mengatakan, “Maksud
Usamah bahwa ia tidak membuka pintu
pengingkaran secara terang-terangan
kepada Imam karena takut akibatnya. Ia
memilih bersikap lembut dan menasihati
secara rahasia. Ini lebih mungkin diterima.”
(Fathul Bari, 13/57).
Ini adalah cara membebaskan diri
dari beban dosa bagi orang yang bisa
mendatangi pemimpin dan berdiri di
depannya untuk menyampaikan kebenaran
dan melarangnya dari tindakan yang keliru.
Maka sangat aneh, bagaimana orang bisa
lepas dari beban dosa bila mengingkari
kejahatan hanya dari balik dinding, tanpa
berupaya sekuat tenaga untuk mengatakan
yang
benar
dan
mengamalkannya
walaupun dari jauh?
kiblat
muharram 1436 h
12
Mengingkari perbuatan zalim penguasa
muslim secara rahasia adalah aturan dasar
yang berlaku, selama ini sudah cukup dan
merealisasikan kebenaran, dan mencegah
kemungkaran.
Adapun bila itu tidak mungkin dilakukan,
sedangkan kemungkaran bisa menyebar luas
maka hukum dasar tersebut tidak berlaku.
Peringatan secara terang-terangan harus
disampaikan dalam beberapa kondisi:
Pertama: Bila dunia telah menyaksikan
terjadinya kemungkaran maka harus ini
diingkari dan tidak boleh ditunda-tunda lagi.
Contohnya adalah pengingkaran Abu Sa’id
Al-Kudri a dan lainnya terhadap Marwan
bin Al-Hakam yang mendahulukan khutbah
Ied daripada shalatnya. Hal ini menyelisihi
sunnah yang sudah tetap dari Nabi n .
Muslim meriwayatkan dari Thariq bin Syihab
dan ini adalah hadits Abu Bakar, “Orang
pertama yang berkhutbah pada Hari Raya
sebelum shalat Ied didirikan ialah Marwan.
Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata
kepadanya, “Shalat Hari Raya hendaklah
dilakukan sebelum membaca khut-bah.”
Marwan menjawab, “Sungguh, apa yang ada
dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan.”
Kemudian Abu Said berkata, “Sungguh,
orang ini telah merealisasikan apa yang
pernah aku dengar dari Rasulullah n yang
bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian
melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah
kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak
mampu, hendaklah mencegahnya dengan
lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah
ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah
selemah-lemah iman.’”
para pengusungnya, menghadapi
setiap
orang
yang
menyuruh
kepada kebaikan dan melarang
dari kemungkaran dengan pedang
dan kekuatan, maka sebaiknya
pengingkaran
kemungkaran
dilakukan dengan cara lain yang
lebih mudah, sekurang-kurangnya
mengingatkan
manusia
dari
kemungkaran yang didukung oleh
penguasa.
Ibnu
Majah
meriwayatkan
hadits dengan sanad hasan dari
Hudzaifah,
Rasulullah
bersabda,
“Tidak selayaknya seorang muslim
menghinakan dirinya.” Para sahabat
bertanya, “Bagaimana ia menghinakan
dirinya?”
Beliau
menjawab,
Utusan Khalifah Al-Walid
mendatangi Abdullah
bin Mas’ud dan berkata,
“Amir berkata kepadamu,
tinggalkanlah kata-kata yang
sering engkau ucapkan’.”
“Kalimat apa? Kalimat-kalimat
ini?”
Abdullah terus
mengulangnya, lalu utusan itu
berkata, “Perkataanmu: Setiap
hal yang baru adalah bid’ah.”
“Saya tidak akan
meninggalkannya.”
“Kalau begitu, baginda
memerintahkan agar engkau
pergi.”
“Ya, saya akan keluar.”
Maka Abdullah akhirnya pergi
ke Madinah.”
Kedua: bila kemungkinan besar penguasa
akan bertindak arogan kepada kebenaran dan
kiblat
muharram 1436 h
13
“Menantang rintangan yang ia sendiri bisikan itu tidak berpengaruh apa pun,
tidak mampu menghadapinya.”
serta kaum muslimin tidak terjaga dari
pengaruh untuk melakukannya.
Ketiga,
bila
kemungkaran
yang
wajib diingkari perkara yang sangat Tidak hanya diam, penguasa harus
berbahaya dan buruk bagi umat. Tidak diingatkan secara terang-terangan,
terbatas pada penguasa saja yang dijelaskan dampak buruk dan bahayanya
bermaksiat. Bila demikian, semua orang di depan publik. Agar jelas siapa yang
yang melakukannya harus diingatkan. hancur oleh penjelasan dan siapa yang
Demikian pula orang yang masih menjadi baik dengannya.
ragu tentang perkara yang buruk itu
meriwayatkan
bahwa
atau orang yang terkena dampaknya. Al-Hakim
Misalnya meniadakan jihad pada kondisi pemimpin Kuffah memanggil tukang
fardhu ain atas kaum muslimin seperti sihir untuk menunjukkan permainannya
situasi hari ini di Baitul Maqdis dan di hadapan publik. Hal ini terdengar
lingkungannya. Bila ternyata penguasa oleh Jundub. Maka ia datang dengan
menghentikan perang melawan musuh, menghunus pedang dan meletakkan
Ketika Jundub
tidak membela kehormatan, negeri di atas pundaknya.
dan tempat-tempat suci, maka ia telah melihat tukang sihir itu, ia memukulkan
melakukan kemungkaran besar yang pedangnya. Orang-orang pun menyingkir. Ia berkata, “Wahai manusia, jangan
wajib diingatkan.
takut, saya hanya menginginkan tukang
Contohnya mengingatkan penguasa sihir ini.” Maka Gubernur menarik dan
dari kemungkaran yang menyebar luas, menahannya. Hal ini terdengar juga
seperti muamalah dalam riba, perzinaan oleh Salman. Maka ia berkata, “Betapa
yang meluas dan kemaksiatan lainnya buruk apa yang dilakukan keduanya. Ia
yang umum terjadi. Kita tidak boleh (gubernur) tidak pantas melakukannya.
diam terhadap orang yang terlibat di Karena ia seorang imam yang dipercaya
dalamnya.
tetapi malah memanggil tukang sihir
agar bermain di depannya. Namun orang
Keburukan yang paling berbahaya ini juga tidak sebaiknya mengancam
adalah yang disebarluaskan melalui amirnya dengan pedang.”
media serta kriminalitas yangg merusak
akal, perilaku dan moralitas. Orang yang Ini adalah ijtihad Jundub karena
mampu harus mengingatkan penguasa fitnah telah muncul secara nyata di
yang melegalkan hal-hal seperti ini. depan publik. Salman tidak setuju
Rakyat harus diingatkan apa bahayanya. atas tindakannya mengancam dengan
Karena dien ini adalah nasihat bagi Allah, pedang. Namun ia tidak mengingkari
rasul-Nya, kaum muslimin, dan para tindakannya
dalam
mengingatkan
pemimpin mereka. Orang yang mampu penguasa (dan tidak pula menuduhnya
tidak akan lepas dari dosa hanya dengan sebagai khawarij).
bisik-bisik di telinga penguasa, namun
semua kejahatan itu tetap berjalan. Dan Keempat, bila seseorang mendengar
kiblat
muharram 1436 h
14
penguasa memutuskan perkara dengan
menyelisihi Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, maka ia wajib mengingkarinya saat
itu pula. Bila ia mendegarnya dari orang
yang tepercaya, maka harus segera
dijelaskan kepada umat sebab tidak halal
mengakhirkan penjelasan saat dibutuhkan.
Terutama bila ia seorang yang berilmu dan
banyak pengikutnya; seorang panutan dan
teladan dalam ilmu.
Tidak berbeda jauh, adalah sebagian
penguasa hari ini yang mengubah kurikulum
pendidikan, yang bertujuan menjauhkan
dari hukum-hukum Islam, menyembunyikan
sebagian, atau mempersempit sebagian
hukum had dan aturannya, terutama terkait
wala wal bara’, i’dad dan isti’dad, dan keluar
di jalan Allah untuk berjihad.
Keenam:
jika
penguasa
melakukan
kejahatan atau kezaliman disebabkan
oleh fatwa yang diinterpretasikan bukan
semestinya dari ulama yang tsiqah, maka
orang yang tahu wajib mengingkari dan
menyelamatkan orang yang dizalimi.
Kelima,
bila
penguasa
melarang
penyampaian kebenaran atau upaya
menghidupkan sunah atau membasmi
bid’ah. Dalam hal ini, seorang dai yang
jujur harus mengutamakan ketaatan kepada
Allah daripada diam dan tunduk kepada Diriwayatkan oleh Abu Bakar Khallal dalam
Amar Makruf Nahi Mungkar dari Abu Bakar
penguasa.
Al-Marudzi, ia berkata, “Saya mendengar
Abdurrazzaq
meriwayatkan
dalam Abu Abdullah bin Syarik berkata, Saya
Mushannafnya dari Asy-Sya’bi, dari Qais mendengar Ahmad bin Yunus berkata,
bin Abd, yang berkata, “Aku sering bertemu “Saya shalat Isya’ akhir di Maqom dan
Abdullah bin Mas’ud selama satu tahun. ... Sufyan Ast-Tsauri berada di situ. Maka ada
Ketika kami sedang berada di tempatnya seorang wanita datang, lalu berhenti di
pada suatu malam, ia datang. Lalu depannya dan berkata, “Wahai Sufyan, apa
dikatakan kepadanya, ‘Ini adalah utusan yang telah engkau halalkan hingga anakku
Al-Walid.’ Abdullah berkata, ‘Matikan dipenjara karena dirimu?” .... Ahmad bin
lampunya.’ Utusan itu masuk lalu berkata, Yunus berkata, “Saya melihat Sufyan telah
‘Amir (penguasa) berkata kepadamu, berdiri ke Maqom dan ternyata Amir kaum
tinggalkanlah kata-kata yang sering engkau muslimin berada di depannya. Sufyan
ucapkan.’
berkata, “Mengapa engkau memenjarakan
orang karena diriku?” Sang penguasa
‘Kalimat apa?’
(menyadari kekeliruannya) dan menjawab,
‘Kalimat-kalimat ini?’
“Malam ini, pintu penjara terkunci.” “Saya
Abdullah terus mengulangnya, lalu utusan
tidak akan beranjak dari tempat ini sampai
itu berkata, ‘Perkataanmu: Setiap hal yang
engkau membebaskannya.” Maka amir itu
baru adalah bid’ah.’
mengutus seseorang agar mengambil kunci
‘Saya tidak akan meninggalkannya.’
dan membuka penjara. Anak perempuan
‘Kalau begitu, baginda memerintahkan itu pun dibebaskan dan diserahkan
agar engkau pergi.’
kepadanya.” [Agus Abdullah]
‘Ya, saya akan keluar.’
Maka Abdullah akhirnya pergi ke Madinah.”
kiblat
muharram 1436 h
15
Ingin Beriklan
di Majalah Kiblat?
Hubungi:
[email protected]
cp: 082134777734
kiblat
muharram 1436 h
16
Menyelamatkan
Bahtera
Tak Hanya dengan
“Empat Mata”
”Tiada seorang nabi pun yang diutus sebelumku, kecuali mempunyai
beberapa hawari (pengikut setia) dan sahabat dari umatnya yang selalu memegang sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian
setelah mereka muncul beberapa generasi pengganti, mereka mengatakan sesuatu yang tidak diamalkan dan mengamalkan apa yang
tidak diperintahkan. Maka barang siapa berjihad melawan mereka dengan tangannya ia beriman, barang siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya ia beriman dan barang siapa berjihad melawan
mereka dengan hatinya ia beriman, dan setelah itu tidak ada iman lagi
walau sebesar biji sawi.”
kiblat
muharram 1436 h
17
M
uatan atau penumpang
berlebih bukan satu-satunya sebab kapal menjadi
karam. Jika ada seseorang
melubangi kapal, tentu saja bisa menyebabkan kapal itu tenggelam. Hal ini
manakala tidak seorang pun mencegah
perbuatannya. Begitu juga dengan sebuah negeri, tidak lantas karena banyaknya penduduk, negeri tersebut akan
hancur dan kelaparan. Namun, saat ada
seorang yang merusak kondisi negeri
tersebut – dengan hal apapun—tentu
saja dapat mengakibatkan kehancuran.
Tindakan pencegahan (baca: amar
ma’ruf nahi munkar) bukan hak dan
kewajiban kalangan tertentu. Tidak
terbatas pada satu golongan yang lebih
tinggi dibanding yang lebih rendah,
begitu pula sebaliknya. Setiap person
atau golongan – ketika ia mampu—
hendaknya
dapat
merealisasikan
tindakan pencegahan. Tentu saja, hal ini
dalam rangka mencapai kemaslahatan
bersama dan menghindari timbulnya
kemadharatan.
Ada hal-hal yang perlu diperhatikan,
berkaitan dengan dua pihak yang saling
terkait, yaitu si pencegah dan yang
dicegah. Dari sini perlu ada sebuah
batasan-batasan yang perlu dijaga.
Si pencegah bukan asal mencegah
dengan bertindak semaunya, di sisi lain
yang dicegah hendaknya sadar kalau
memang benar-benar bertindak salah.
Keduanya harus sama-sama jujur akan
tindakan yang diperbuatnya, karena
hal itu dapat mempengaruhi hasil dari
tindakan pencegahan.
Maka dari itu, tindakan pencegahan
sesegera mungkin harus dilaksanakan.
Jangan sampai nasi menjadi bubur,
saat negeri sudah hancur, barulah
penduduk
negeri
bangun
tidur.
Tindakan pencegahan ini di dalam Islam
terkait dengan sebuah ibadah, yaitu
amar ma’ruf nahi munkar. Maknanya
adalah menganjurkan kebaikan dan
melakukan perbaikan, serta mencegah
dari kemungkaran dan menahan
pengrusakan. Inilah yang seharusnya
Dalam satu sekup misalnya, terkait
dilakukan
demi
mempertahankan
sebuah negara atau wilayah kekuasaan,
keutuhan sebuah negeri.
subjek pencegahan bisa jadi bergantian,
begitu
pula
dengan
objeknya.
Siapa
Basyar Asad?
Terkadang penguasa negeri melakukan
tindak pencegahan terhadap rakyatnya,
sebaliknya rakyat pun juga berhak
melakukan tindak pencegahan terhadap
penguasa. Dalam hal ini posisi keduanya
sama, saling mengemban kewajiban dan
masing-masing memperoleh hak.
Penguasa yang melakukan tindakan
pencegahan terhadap rakyatnya, dapat
dipastikan ‘bebas’ menggunakan cara
apapun. Ini karena penguasa memiliki
kiblat
muharram 1436 h
18
kemampuan dan kuasa
untuk bertindak. Lantas
bagaimanakah dengan
rakyat – di mana
secara strata posisinya
di bawah dan lemah –
ketika mereka dapati
bahwa
penguasanya
melakukan hal yang
dapat
menyebabkan
“karamnya
kapal”.
Tindakan apa yang
seharusnya dilakukan?
Bolehkah
dengan
sembarang cara atau
dalam bentuk apapun?
Tentu
ini
menjadi
sebuah
masalah
tersendiri.
Rakyat
tentu
saja
memiliki
hak
dan
kewajiban sama. Ketika
penguasa melakukan
tindak kesalahan yang
dapat menghancurkan
sebuah negara, rakyat
harus
bergerak,
mencegah
sekuat
tenaga agar hal itu
tidak terjadi. Tindakan
tersebut
dapat
dilakukan dengan cara
apapun, asalkan sesuai
jalur syariat dan dapat
diharapkan
hasilnya.
Rakyat boleh melakukan
tindak pencegahan apa
saja, selama dimampui dan
sesuai kondisi.
Satu
contoh
tindakan
pencegahan
adalah
sebagaimana
paparan
hadits riwayat Imam Ahmad.
“Barang siapa yang
hendak
menasihati
penguasa
dengan
sebuah perkara, maka
janganlah ditampakkan,
tetapi ambillah tangannya lalu bawalah ke
tempat yang kosong.
Jika ia menerima, maka
itulah yang didapat, jika
tidak, maka engkau telah
melakukan kewajibanmu
kepadanya.” (HR. Ahmad
dalam Musnadnya 3/403
dan Ibnu Abi Ashim
dalam As Sunnah hal.
507 dan dishahihkan
Syaikh Al Albani dalam
Zhilalul Jannah: 1096)
Imam Ahmad menceritakan sebuah kejadian
ketika
meriwayatkan
hadits di atas. Secara
lengkap
disebutkan
sebagai berikut:

    
Di dalamnya menjelaskan
pola hubungan vertikal,
antara bawahan (rakyat)
dengan atasan (penguasa).
Rasulullah n bersabda:

   
    

              

          
    
     

     
   
    

    
kiblat
muharram 1436 h
19









      



    

Diriwayatkan oleh Ahmad
dan Ibnu Abi Ashim dan
Ibnu Adi melalui jalur
Shafwan bahwa ia berkata,
telah
menceritakan
kepadaku
Syuraih
bin
Ubaid Al Hadlrami bahwa ia
berkata, “Iyadl bin Ghanam
pernah
mencambuk
penduduk Darya ketika
sudah ditaklukkan. Maka
Hisyam bin Hakim pun
berkata keras kepadanya
sehingga Iyadh pun marah.
Kemudian ia pun menginap
beberapa malam. Hisyam
kemudian mendatanginya
dan memberi tahu alasan
perkataannya
tersebut.
Hisyam
pun
berkata
kepada Iyadh, ‘Tidakkah
engkau mendengar sabda
sabda
Rasulullah
saw
(Barang
siapa
yang
hendak
menasehati
penguasa dengan sebuah
perkara, maka janganlah
ditampakkan,
tetapi
ambillah tangannya lalu
bawalah ke tempat yang
kosong. Jika ia menerima,
maka
itulah
yang
didapat, jika tidak, maka
engkau telah melakukan
kewajibanmu kepadanya).
Dan bahwasanya engkau
wahai Hisyam, engkau
benar-benar
berani
karena
telah
berani
kepada penguasa Allah,
apakah
engkau
tidak
takut
jika
penguasa
itu membunuhmu, lalu
engkau menjadi orang
yang dibunuh penguasa
Allah ta’ala.’.”
Dalam hadits di atas, poin
penting yang dijadikan
satu landasan tindakan
pencegahan
adalah,
larangan untuk mencegah
tindakan buruk secara
terang-terangan.
Tidak
boleh seseorang menegur
tindakan yang salah dari
orang
yang
berkuasa
di
hadapan
khalayak.
Hendaknya hal tersebut
dilakukan secara diamdiam.
Nabi n (Sesungguhnya
manusia yang paling keras
adzabnya adalah mereka
yang paling keras adzabnya
kepada manusia di dunia).’
Iyadh bin Ghanam pun
berkata, ‘Wahai Hisyam,
kita telah mendengar apa
yang engkau dengar dan
melihat apa yang engkau
lihat,
tapi
bukankah Lantas, seperti itukah yang
engkau engkau mendengar seharusnya
dilakukan?
kiblat
muharram 1436 h
20
Apa
hanya
thariqah
seperti
inilah
yang
boleh dikerjakan untuk
menegur
pihak
yang
lebih berkuasa? Apakah
cara-cara lain tertutup,
sehingga kesalahan tetap
saja dibiarkan?
Hadits tersebut memang
terdapat
kontroversi
tentang derajat keshahihannya. Syaikh Al-Albani
memang
menyatakan
riwayat tersebut shahih –
berdasarkan metode ilmu
hadits
yang
dijadikan
acuan. Namun, jika dilihat
dari jalur-jalur periwayatan
dan sanadnya, hadits ini
lemah/dha’if.
Jalur sanad hadits di atas
ada beberapa koreksi,
yaitu tidak bertemunya
Syuraih dan Iyadl. Karena
tidak bertemu, otomatis
jalurnya terputus. Selain
itu, Ibnu Hajar menilai
Syuraih sebagai orang
yang banyak meriwayatkan
hadits mursal.
Al Miqdam. Riwayatnya
dari Abu Malik Al Asy’ari
adalah mursal. (Al Marasil,
Ibnu Abi Hatim: 1/90)
Muhammad
bin
Auf
perrnah ditanya: Apakah
Syuraih bin Ubaid pernah
mendengar
dari
Abu
Darda?
Ia
menjawab,
“Tidak, belum pernah.”
Dikatakan
kembali
kepadanya, “Dia pernah
mendengar dari salah
seorang sahabat Nabi?”
Dijawab,
“Aku
tidak
berpikir demikian. Dia
belum pernah mengatakan
‘(sami’tu)
aku
telah
mendengar padahal ia
tsiqah.’.” (Tahdzibul Kamal:
22/447)
Abu Umamah wafat tahun
86 H, Miqdam bin Ma’ad
dekat dengannya, yaitu 87
H. Lantas bagaimana bisa
ia berjumpa dengan Iyadh
yang wafat tahun 20 H?
Perkataan Syaikh Al Albani
dalam takhrijnya atas Kitab
Sunnah milik Ibnu Abi
‘Ashim –bahwa sanadnya
adalah shahih dan rijalnya
tsiqah—
adalah
tidak
benar. Para perawi yang
ada dalam Kitab Sunnah
Ibnu Abi ‘Ashim di antara
mereka ada Baqiyah bin
Al-Walid,
kata-katanya
Abu Hatim Ar Razi pernah memang diketahui tapi
memutuskan
bahwa sanadnya terputus dan
Syuraih
tidak
pernah tidak baik.
kenal Abu Umamah dan
Harits bin Al Harits serta Menurut Ibnu Abi ‘Ashim,
disebutkan bahwa ada
“perantara”
antara
Syuraih dan kejadian yang
dialami Iyadh. Ia berkata,
“Muhammad
bin
‘Auf
Menceritakan kepadaku,
Muhammad bin Ismail –
Ibnu Iyasy— telah bercerita
kepadaku, ayahku telah
bercerita kepadaku dari
Dhamdham bin Zur’ah
dari Syuraih bin Ubaid
yang berkata bahwa Jubair
bin Nufair mengatakan
bahwa Iyadl bin Ghanam
kiblat
muharram 1436 h
21
berkata kepada Hisyam
bin Hakim.......Al hadits
Sanad di atas adalah
lemah sekali. Terdapat
beberapa cacat pada
perawi di dalamnya.
1. Muhammad bin Ismail bin Iyasy.
Abu Dawud berkata
tentangnya, “Dia belum pernah melakukan
–periwayatan
tersebut—dari ayahnya”
Abu
Hatim
dalam Al Jarh wa AtTa’dil 7/190 berkata,
“Dia belum pernah
mendengar apapun
dari ayahnya.”
Dalam kitab AlIshabah (4/510) AlHafizh Ibnu Hajar
sempat
menyebut
riwayatnya, kemudian melemahkannya
dengan pernyataan,
”Tapi
Muhammad
bin Ismail ini dha’if
jiddan
(sangat
lemah).” Hal ini sebagaimana yang dihukumi Abu Dawud
terhadapnya,
“Dia
seorang yang lemah
dan pemalsu hadits.”
2. Ismail bin Iyasy
Dia adalah seorang
yang lemah ketika
meriwayatkan dari
penduduk negerinya. Padahal di sini,
ia meriwayatkan dari
seorang penduduk
negerinya. Oleh karena itu, lepas sudah
ikatannya.
3. Dhamdham
bin
Zur’ah. Yahya bin
Ma’in berkata bahwa ia tsiqah. Ibnu
Hibban juga pernah menyebutnya
dalam kitabnya “Ats
Tsiqaat”. Ibnu Hajar
berkata, “Dia orang
yang jujur.”
Abu Hatim mengatakan
bahwa ia lemah. Dapat
dimaklumi bahwa Abu
Hatim termasuk keras
ketika
menghukumi
berkaitan masalah rijal.
Sebutan yang paling
dekat –kebenarannya—
terhadap
Dhamdham
insya Allah bahwa ia
orang yang jujur.
Maka
yang
tersisa
adalah Muhammad bin
Ismail. Ia sungguh telah
menyelisihi orang-orang
yang tsiqah dalam hadits
ini dengan menyebut
Jubair bin Nufair antara
Syuraih dan kejadian
Iyadh. Ini adalah riwayat
yang munkar lagi cacat
–tidak ada perbedaan
teknik
periwayatan
antara ahli mushtalah
hadits terdahulu dengan
yang sekarang.
Selain
dua
jalur
periwayatan
di
atas,
ada satu jalur lagi
dari Fudhail Fadhalah.
Namun, sanad ini juga
nilainya lemah. Ibnu
Hajar berkata tentang
Fudhail bin Fadhalah,
“Ia bisa diterima, bila
mutabi’ (bersekutu atau
ada kesesuaian dengan
periwayatan dari perawi
lain yang lebih populer
dalam
meriwayatkan),
bila tidak maka statusnya
layyin (perawi yang cacat
tetapi tidak gugur dari
tahap keadilan [‘adalah]),
tetapi telah memursalkan
sesuatu.
Ibnu Aidz adalah AtsTsimali.
Imam
Adz
Dzahabi
berkata
tentang dirinya, “AlAzdi
mendhaifkannya
dan namun An-Nasa’i
menguatkannya.
Ia
banyak
meriwayatkan
hadits
mursal.
Ibnu
Hatim
juga
berkata
bahwa hadits-haditsnya
mursal.
Imam
Adz
Dzahabi
bergantung pada perkataan ini dengan mengatakan,
“Sebagaimana
kembalinya orang-orang
Syam,
sesungguhnya
mereka
keras
dalam
kiblat
muharram 1436 h
22
masalah sanad di mana satu dengan lainnya. cenderung menilai bahwa
Imam
Az-Zuhri
dan Padahal ketiganya adalah riwayat tambahan ini
lainnya tinggal di sana.”
sama-sama dhaif.
syadz karena menyelisihi
riwayat yang shahih dari
Menurut Abu Qatadah Hal lain yang menjadi jalur Urwah yang ada
Al-Filasthini,
Ibnu saksi akan kedhaifan dalam Shahih Muslim.
Aidz di sini tidak jelas hadits ini adalah sanadnya Dalam
halaman
164
pendengarannya.
Oleh menyelisihi sanad shahih dikatakan, (cetakan Darul
karena itu, sanad ini yang
diriwayatkan Aatsaar, Shan’a`): (sumber:
menjadi dha’if karena oleh
Imam
Muslim. h t t p : / / k a w a l i t a r e n g .
terdapat 2 cacat:
Yaitu bahwa Nabi saw blogspot.com/2013/11/
1. Terputusnya Fudhail bersabda (Sesungguhnya
kelemahan-hadits-iyadhdan Ibnu Aidz
Allah mengadzab orang- bin-ghanm.html)
2. Terputusnya Ibnu Aidz orang yang mengadzab
dan Jubair bin Nufair
ketika di dunia), tanpa Selain
karena
jalur
tambahan ini.
periwayatan
yang
Dari paparan di atas,
bermasalah,
dari
sisi
Imam
Muslim
dapat diketahui bahwa
lafadz hadits tersebut
hadits tersebut dhaif meriwayatkan hadits ini dinilai
munkar.
Hal
karena sanad-sanadnya dalam shahihnya di Kitab tersebut dapat dilihat
telah disepakati akan Al birru wash Shillah wal dari keterangan di bawah
kedhaifannya.
Dalam Adab melalui jalur Hisyam ini:
bentuk seperti ini, salah bin hakim bin Hizam,
Iyad
bin
satu (sanad) tidak bisa bahwa ia berkata, “Telah Perkataan
menjadi
syahid
bagi lewat di Syam di antara Ghanam kepada Hisyam
manusia dan mereka (Apakah engkau tidak
lainnya.
berdiri di bawah terik takut kalau penguasa itu
Hal
ini
menegaskan matahari,
dituangkan membunuhmu, sehingga
kesalahan
Syaikh
Al- di atas kepala-kepala engkau menjadi orang
Albani saat memberikan mereka minyak. Maka yang dibunuh penguasa
ta’liq atas hadits itu, yang ia berkata, ‘Apa ini?’ Allah tabaraka wa ta’ala).
mana ia mengatakan Dikatakan,
‘Mereka Perkataan dari Iyadh ini
tentang sanad kedua disiksa karena tidak mau salah dilihat dari dua
untuk
menguatkan membayar kharaj.’ Maka sisi
–selaras
dengan
sanad pertama. Untuk itu ia berkata: Adapun aku kesalahan atas kedhaifan
nilainya dhaif. Dia juga mendengar
Rasulullah hadits ini sebagaimana
berusaha
menguatkan saw ............ Al Hadits
telah dijelaskan:
dengan jalur sebelumnya
1. P e r k a t a a n n y a
dan jalur lain setelahnya. Dari sinilah Syaikh Muqbil
(Maka engkau akan
bin
Hadi
Al-Wadi’i
dalam
Yaitu ketika menjadikan
menjadi
orang
kitabnya
Tuhfatul
Mujib
yang dibunuh oleh
ketiga sanad ini berbeda
kiblat
muharram 1436 h
23
penguasa Allah). Ini adalah menyelisihi hadits-hadits yang menunjukkan fadhilah-fadhilah ketika dibunuh oleh penguasa lantaran
menasehatinya.
2. Perkataan (penguasa Allah) adalah lafadz yang
tidak shahih bahwa hadits ini berasal dari Rasulullah. Setiap apa yang dishahihkan Syaikh
Albani atas hal ini maka nilainya adalah tidak
shahih alias dhaif
Terlepas dari itu semua,
seandainya hadits ini
pada akhirnya bernilai
lemah, dalam hal-hal
kemaslahatan
hadits
tersebut tetap dapat
dijadikan
acuan.
Minimal menjadi satu
metode
dalam
hal
pencegahan.
Dalam upaya
pencegahan, apa
yang menjadi poin
dalam hadits di
atas sebenarnya
bukan satu-satunya
cara. Upaya diamdiam memang bisa
diterapkan dalam
satu kondisi. Namun,
upaya tersebut tidak
lantas menutup
Salah satu upaca pemakaman
tentara Hizbullah Lebanon yang
tewas di Suriah
Abu Syahid Komandan Brigade Abu
Fadl Al-Abbas Irak di Suriah, memberi
hormat kepada foto Basyar Asad sebelum
bertempur [foto: Abna.co]
jalan-jalan pencegahan
yang lain, semisal secara
terang-terangan. Terlebih
ketika keburukan tersebut
membahayakan dan
berkaitan dengan hajat
hidup orang banyak.
Tindakan buruk tetap harus
dikoreksi baik secara diamdiam ataupun terangterangan, tentu saja harus
sesuai kondisi dan dengan
cara yang bijak, bukan
dengan mengungkap aib
dan kemaksiatan pribadi
yang sudah ada upaya untuk
ditutupi.
Upaya pencegahan secara
terang-terangan tersebut
bukan lantas tanpa
landasan. Generasi salaf
dalam beberapa kasus
pernah melakukan hal
itu. Di antaranya adalah
Marwan (Amir Madinah)
ketika itu yang dikoreksi
oleh Abu Said Al-Khudri
a secara terang-terangan
saat shalat ‘Ied, seperti
disebutkan sebelumnya.
Said bin Musayyaf bahkan
sering dicambuki oleh
para penguasa agar
ia berhenti mengkritik
mereka. Dalam suatu
kisah, Penguasa zamannya
berkata, “Apakah Said jera
sejak kami cambuk?” Ada
yang menjawab, “Demi
Allah ia justru lebih keras
berbicara sejak engkau
mencambuknya. Cukuplah
menghukum orang itu.”
(Ath-Thabaqat, V/127).
Said melakukan amar
makruf nahi Munkar
tersebut kepada penguasa
muslim, bagaimana dengan
penguasa sekuler?
Dalam kasus lain, Amirul
Mukminin Umar bin
Khaththab juga pernah
diprotes langsung oleh
seorang wanita dan beliau
kiblat
muharram 1436 h
24
tidak mengingkarinya.
Diceritakan bahwa
ketika Umar bin
Khaththab a
menyampaikan
khutbah di atas
mimbar, dia
menyampaikan
bahwa Umar hendak
membatasi mahar
sebanyak 400 Dirham,
sebab nilai itulah
yang dilakukan oleh
Rasulullah n. Jika
ada yang lebih dari
itu, maka selebihnya
dimasukkan ke dalam
kas negara. Hal ini
diprotes langsung
oleh seorang wanita,
di depan manusia
saat itu, dengan
perkataannya:
   
  

  
   

 
 
         

 
  
 
     
   
   
  
  
 
 
  

    
   
 
   
   
  
    
   
٠٢
       

 

    
         
  
   
 
  

  
    
 
 
 
        
 


         
“Wahai Amirul mukminin,
engkau melarang manusia
dari memberi mahar
buat wanita melebihi
400 Dirham?” Umar
menjawab, “Benar.” Wanita
itu berkata, “Apakah kau
tidak mendengar firman
Allah, “…. sedang kamu
telah memberikan kepada
seseorang di antara mereka
harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil
kembali dari padanya
barang sedikit pun. Apakah
kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa
yang nyata?” (An-Nisa: 20)
Umar menjawab, “Ya Allah
ampunilah, semua manusia
lebih tahu dibanding
Umar.” Kemudian Umar
pun meralat keputusannya.
Kemudian naik ke mimbar
dan berkata, “Dahulu aku
melarang kalian untuk
membayar mahar wanita
lebih dari 400 dirham,
maka (sekarang) barang
siapa yang mau (silakan)
memberi dari hartanya
sebanyak yang dia suka.”.
Mengutip Al-Hafidz Abu
Ya’la, Imam Ibnu katsir
mengatakan: sanadnya
jayyid qawiy (baik lagi
kuat. (Imam Ibnu Katsir
dalam Tafsir Al Quran Al
‘Azhim, 2/243 – 244, Dâru
Thayyibah Lin Nasyri wat
Tawzî’, Cet. II, Maktabah
Syâmilah)
Secara umum, tindakan
pencegahan sudah
kiblat
muharram 1436 h
25
diajarkan oleh Nabi n sang pemilik akhlak mulia.
Dalam hadits, Rasulullah n mengajarkan, “Barang
siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka
hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya,
jika tidak bisa hendaklah mengubahnya dengan
lisannya, dan jika tidak mampu hendaklah dengan
hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.”
Metode-metode yang disebutkan dalam hadits,
berupa tindakan pencegahan dengan tangan,
lisan, dan hati adalah sebuah pilihan sesuai
kondisi yang berlaku. Pilihan tersebut tidak lantas
menafikan satu dengan yang lainnya. Selama
hal itu dimampui, relevan dengan keadaan, dan
lebih berdampak positif, maka hendaknya itu
Hal tersebut bertujuan
agar pihak yang menjadi
objek pencegahan dapat
berjalan lagi sesuai jalurnya.
Tidak menyimpang dengan
melakukan berbagai tindak
keburukan dan kezaliman.
Begitu pun ketika objek
pencegahan memiliki
kuasa dan kekuatan, tidak
lantas menjadikannya
bebas dari kritik dan
koreksi. Pencegahan tetap
harus dilakukan, dengan
cara apapun. Agar tidak
menimbulkan sebuah
kesenjangan bahwa yang
berkuasa bisa bebas
melakukan apa saja. Bahkan,
“
Barang siapa di antara kalian melihat
kemungkaran maka hendaklah ia
mengubahnya dengan tangannya, jika
tidak bisa hendaklah mengubahnya
“
menjadi sebuah pilihan.
Pertimbangan tersebut
hendaknya didasarkan pada
ketentuan syariat dan realita
yang terjadi, bukan lantaran
hawa nafsu.
Dr Yusuf Qardhawi Ketua Asosiasi Ulama
Muslim Internasional
dengan lisannya, dan jika tidak mampu
hendaklah dengan hatinya, dan itulah
selemah-lemah iman.
secara tidak langsung mendapatkan
legalitas untuk berbuat seenak hati
memperlakukan pihak-pihak yang lebih
lemah dari dirinya.
[M. Basyiruddin]
kiblat
muharram 1436 h
26
PEMERINTAH SEKULER
BUKAN ULIL AMRI
S
elang beberapa
hari
setelah
pelantikan
Jokowi sebagai
presiden, banyak beredar
broadcast
tentang
anjuran untuk menaati
ulil amri. Pesan tersebut
diwarnai dengan seabrek
dalil tentang kewajiban
taat kepada pemimpin.
Tak ada yang aneh atau
perlu
dipertanyakan
seputar
dalil
yang
terdapat dalam pesan
tersebut. Namun timbul
pertanyaan ketika yang
dimaksud ulil amri adalah
Jokowi.
Alasannya simpel, yaitu
karena mantan gubernur
DKI itu, saat ini telah
resmi menjadi presiden
Indonesia. Tanpa harus
membeda-bedakan,
siapa pun yang menjadi
presiden
maka
wajib
untuk ditaati.
Tema ini sempat menjadi
tranding
topik
yang
diperdebatkan oleh para
aktivis
Islam.
Banyak
yang membantah, namun
sebagian
lain
setuju
dengan anjuran tersebut.
Bahkan dalam salah satu
tulisan yang beredar di
internet, penyebutan nama
Jokowi diikuti dengan
kata-kata hafidhahullah.
Salah satu doa yang
sering disebutkan ketika
menyebut nama tokoh
muslim
yang
sedang
memperjuangkan Islam.
Tidak hanya gelar Ulil
Amri, lebih tinggi dari itu,
Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) KH Said Aqil
Siroj, menyematkan gelar
khalifah kepada Jokowi.
“NKRI sudah sesuai jalan
Islam. Pak Jokowi khalifah
kita sekarang, pemimpin
bangsa
Indonesia,
termasuk umat Islam,” kata
Said Aqil usai penutupan
Musyawarah
Nasional
Alim Ulama dan Konferensi
Besar NU di Jakarta,
Minggu (2/11)
kiblat
muharram 1436 h
27
Para aktivis yang selama
ini gigih memperjuangkan
syariat Islam pun kembali
dibuat kaget dan heran
dengan pernyataan tersebut.
Gelar
yang
seharusnya
dinisbatkan
kepada
mereka yang memimpin
umat dalam menjalankan
undang-undang
Allah,
kini dinisbatkan kepada
pemimpin negara berasas
Pancasila.
Wajar jika para aktivis
Islam
banyak
yang
mempertanyakannya,
karena
dalam
literatur
Islam yang selama ini
lazim diketahui oleh orang
muslim, seseorang yang
diangkat menjadi ulil amri
atau khalifah, dia akan
memiliki peran penting
dalam menjaga agama dan
mengurus
kemaslahatan
umat sesuai dengan syariat
yang telah diatur dalam
Islam. Oleh karena memiliki
peran
tersebut,
setiap
muslim
diperintahkan
untuk menaatinya, baik
dalam
keadaan
rela
maupun terpaksa kecuali
jika dia memerintahkan
kepada kemaksiatan.
Kewajiban taat kepada ulil
amri
Para ulama sepakat bahwa
ketaatan kepada ulil amri
adalah perintah yang wajib
ditaati oleh setiap muslim.
Banyak sekali dalil yang
menyebutkan
kewajiban
tersebut. Di antaranya,
dalam
Al-Qur’an
surat
An-Nisa ayat 59, Allah l
berfirman:
“Wahai orang-orang yang
beriman, taatlah kamu
sekalian kepada Allah dan
Rasul-Nya, serta pemimpin
di antara kalian.” (An-Nisâ’:
59)
Ketegasan
perintah
tersebut,
juga
disampaikan oleh Nabi
shallallahu’alaihi
wa
sallam dalam wasiatnya
kepada umat Islam.
Sabdanya:
“Aku wasiatkan kalian
agar senantiasa takwa
kepada Allah serta
mendengar dan taat
kepada
pemimpin
(negara)
meskipun
pemimpin
tersebut
seorang budak dari
Habasyah.” (HR. Abu
Daud, no. 4609 dan AtTirmidzi, no. 2677)
Tentunya
masih
banyak dalil-dalil lain
yang
menegaskan
perintah
untuk
menaati
pemimpin,
sehingga tak ada satu
pun yang menyangkal
tentang
kewajiban
tersebut, bahkan para
ulama sepakat bahwa
hukum
keluar
dari
kiblat
muharram 1436 h
28
ketaatan kepada ulil amri
adalah haram. Namun
permasalahannya adalah
siapakah ulil amri yang
wajib ditaati? Apakah
setiap pemimpin yang
beragama Islam pada
saat ini bisa disebut ulil
amri? Padahal telah kita
ketahui bersama bahwa
hampir seluruh pemimpin
negara muslim hari ini
hanya
menjalankan
sistem
pemerintahan
sekuler.
Dan
sistem
tersebut jelas sangat
bertentangan
dengan
sistem undang-undang
Islam.
lantas
kalau
memang tidak, apakah
ada pemimpin hari ini
yang wajib ditaati?
Ketika menafsirkan surat
An-Nisa ayat 59, Jumhur
ulama
berpendapat
bahwa
definisi
ulil
amri yang wajib ditaati
adalah para penguasa
dan
pemimpin
yang
mengatur kemaslahatan
umat.
Asy-Syaukani
dalam
kitab tafsirnya, Fathul
Qadir,
mengatakan,
“Ulil amri adalah para
Ulil amri
adalah para
pemimpin,
penguasa,
hakim dan
semua
orang yang
memegang
pemerintahan
yang
menjalankan
syariat, bukan
pemerintahan
thaghut.
pemimpin,
penguasa,
hakim
dan
semua
orang yang memegang
pemerintahan
yang
menjalankan
syariat,
bukan
pemerintahan
thaghut.” (As-Syaukani,
Fathul Qodir, hal. 308)
Imam Nawawi v berkata,
“Ulil Amri yang dimaksud
adalah orang-orang yang
Allah l wajibkan untuk
ditaati dari kalangan para
penguasa dan pemimpin
umat, inilah pendapat
mayoritas
ulama
terdahulu dan sekarang
yaitu
dari
kalangan
ahli tafsir, fikih, dan
selainnya.”(Syarh Shahih
Muslim 12/222)
Setidaknya
ada
tiga
kesimpulan
mendasar
yang dituliskan oleh para
ulama mufassir dalam
menafsirkan surat AnNisa ayat 59:
1. Ulil amri yang wajib
ditaati adalah ulil amri
dari kalangan orangorang beriman dan
memerintah dengan
adil.
2. Ketaatan kepada ulil
amri tidak mutlak,
namun bersyarat. Yaitu
selama bukan dalam
perkara maksiat.
3. Ulil amri yang tidak
menjadikan
syariat
Islam
sebagai
hukum
dalam
pemerintahannya
tidak wajib ditaati
kiblat
muharram 1436 h
29
secara mutlak baik ketika hukumnya
bersesuaian dengan hukum syar’i
ataupun menyelisihi. Ulil amri seperti
ini tidak sah.
Muqaddimah, hal. 195, dinukil dari AlImamah Al-‘Uzhma ‘inda Ahl As-Sunnah
wa Al-Jama’ah karya Abdullah bin Umar
bin Sulaiman Ad-Dumaiji, hal 29)
Ketiga
poin
ini
penting
untuk
diperhatikan
dalam
memandang
penguasa yang memerintah di negerinegeri berpenduduk muslim. Termasuk
di Indonesia, agar dengan demikian kita
akan lebih bisa menilai siapakah yang
disebut ulil amri sebenarnya.
Al-Baidhawi juga menyebutkan bahwa
kepemimpinan adalah sebagai proses
seseorang (di antara umat Islam) dalam
menggantikan (tugas) Rasulullah untuk
menegakkan pilar-pilar syariat dan
menjaga eksistensi agama, di mana ada
kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk
mengikuti (tunduk kepada)nya. (AlSelai itu, ada satu hal lain yang cukup Baidhawi, Hasyiyah Syarh Al-Mathali’,
mendasar juga adalah memahami tujuan hal. 228, dinukil dari Al-Wajiz fi Fiqh Al(maqashid) kepemimpinan dalam Islam Khilafah karya Shalah Shawi, hal. 5)
itu sendiri. Para ulama menyebutkan
bahwa tujuan pokok dari adanya Dengan demikian kewajiban pertama
kepemimpinan adalah untuk mengatur dan yang paling pokok bagi ulil amri
kemaslahatan umat dengan menjalankan adalah
mewujudkan
tujuan-tujuan
syariat yang telah Allah gariskan dalam kepemimpinan
tersebut,
pertama,
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena menegakkan agama. kedua, mengatur
itu, dalam Islam pemimpin juga disebut rakyatnya dengan syariat Islam. Dengan
sebagai pengganti peran Rasulullah n peran ini, ia disebut ulil amri yang
dalam menjalankan tugas kenabian.
wajib ditaati dan tidak boleh dilawan
karena telah menegakkan agama
Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus dan menerapkan syariat. Adapun jika
Sulthaniyah, 1/3 berkata:
pemimpin yang tidak menegakan agama
dan syariat maka tidak layak disebut ulil
  
       
  

 

  


amri yang wajib ditaati.

  
“Kepemimpinan
adalah
pengganti
tugas
kenabian
dalam
menjaga
agama dan mengatur urusan dunia.”
Sementara Ibnu Khaldun menulis
bahwa imamah merupakan pengganti
(tugas) pemegang (otoritas) syariat
dalam melindungi agama dan mengatur
urusan keduniawian.” (Ibnu Khaldun, Al-
Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid
berkata, “Adapun jika (para penguasa)
menonaktifkan syariat Allah, tidak
berhukum dengannya dan berhukum
dengan yang lain maka ketaatan
kaum muslimin kepadanya telah lepas.
Manusia tidak wajib menaatinya. Karena
mereka telah menyia-nyiakan tujuan
imamah (kepemimpinan) yang dengan
keberadaannya ia diangkat, berhak
kiblat
muharram 1436 h
30
didengar, ditaati dan tidak ditentang. 1423, hlm. 169)
Ulil Amri berhak mendapatkan itu semua
dikarenakan mereka melaksanakan Rasulullah n bersabda:
kepentingan (urusan) kaum muslim,

       
    
   
menjaga dan menyebarkan agama,
melaksanakan hukum-hukum, menjaga
       
perbatasan,
memerangi
orang“Dengar dan taatilah, meskipun yang
orang yang menolak Islam setelah
memimpinmu seorang budak dari
mendakwahinya,
mencintai
kaum
Habsyi yang kepalanya seperti anggur.”
muslimin dan memusuhi orang-orang
(HR. Al-Bukhari dari Anas bin Malik)
kafir.
dalam riwayat Ahmad dari Ummul
Hushain al-Ahmasiyyah terdapat tamJika dia tidak menjaga agama atau tidak
bahan, “Selama ia menegakkan kitabmelaksanakan urusan kaum muslim
ullah di tengah-tengah kalian.”
maka hak kepemimpinan telah hilang
darinya. Umat (dalam hal ini diwakili
Taat kepada Ulil Amri kecuali dalam
oleh Ahlul Halli Wal ‘Aqdi, karena
kemaksiatan
kepada merekalah kembalinya kendali
permasalahan) wajib mencopotnya Kita telah mengetahui bahwa ulil amri
dan menggantinya dengan orang yang wajib didengar dan ditaati adalah
yang mampu merealisasikan tujuan yang mengatur rakyatnya dengan
kepemimpinan.
syariat Islam. Kemudian ketaatan
Ketika Ahli Sunnah tidak membolehkan
keluar dari para pemimpin yang zalim
dan fasik—karena kejahatan dan
kezaliman tidak berarti menyia-nyiakan
agama— maka yang dimaksud mereka
adalah pemimpin yang berhukum
dengan syariat Allah. Kalangan salafus
saleh tidak mengenal istilah pemimpin
(ulil amri) yang tidak menjaga agama.
Menurut mereka pemimpin seperti
ini bukanlah ulil amri. Yang dimaksud
kepemimpinan
(ulil
amri)
adalah
menegakan agama. Setelah itu baru
ada yang namanya kepemimpinan yang
baik dan kepemimpinan yang buruk.”
(Abdullah bin Abdul Hamid, Al Wajîz Fî
Aqîdati al Salaf al Shâlih Ahli al Sunnah
Wal Jamâ’ah, Riyadh: Wazârah al Syu’ûn
al Islâmiyyah Wa al Da’wah Wa al Irsyâd,
kepada pemimpin tidak bersifat mutlak
namun ketaatan kepadanya harus sesuai
dengan batasan-batasan hukum yang
telah diturunkan Allah. Karena tidak
boleh menaati makhluk dalam perkara
kemaksiatan.
Dari Ibnu Umar h Rasulullah n
bersabda, “Setiap muslim wajib taat
dan mendengar kepada pemimpin
(penguasa) kaum muslimin dalam
hal yang disukai maupun hal yang
tidak disukai (dibenci) kecuali jika
diperintahkan dalam maksiat. Jika
diperintahkan dalam hal maksiat, maka
boleh menerima perintah tersebut dan
tidak boleh taat.” (Muttafaqun ‘alaih)
kiblat
muharram 1436 h
31

    

     
  

   
      

  
  

 
     
  
“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan,
ketaatan
itu
dalam
“Mendengar dan menaati seorang (pem- sesungguhnya
impin) yang Muslim adalah wajib, baik kebajikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
dalam perkara yang disenangi atau
Ali bin Abi Thalib a pernah menceritakan
dibenci, selama tidak diperintahkan untuk maksiat.” (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, kisah yang cukup menarik dalam
at-Tirmidzi, dan Ahmad dari Ibnu Umar) permasalahan ini, Ali berkata, “Nabi n
mengirim pasukan perang dan beliau
Nash-nash di atas menunjukkan bahwa mengangkat salah seorang dari mereka
kaum muslimin diwajibkan menaati yang berasal dari Al-Anshar sebagai
pemimpin. Hanya saja ketaatan itu tidak pemimpin, dan beliau memerintahkan
mutlak. Ia harus selaras dengan aturan mereka untuk menaatinya. Di tengah
syariat. Artinya, tidak dalam rangka perjalanan, pemimpin mereka marah
melanggar perintah Allah. Para ulama maka dia berkata, “Bukankah Nabi n telah
sepakat bahwa ketaatan terhadap ulil memerintahkan kalian untuk menaatiku?”
amri tidak bersifat mutlak. Namun ada mereka menjawab, “Betul.” Dia berkata,
batasan-batasan yang diberikan. Secara “Kalau begitu saya perintahkan kepada
garis besar perintah yang dimaksudkan kalian agar mengumpulkan kayu bakar
adalah tidak boleh ada unsur kemaksiatan lalu kalian menyalakannya kemudian
kalian masuk ke dalamnya.” Maka mereka
kepada Allah.
kiblat
muharram 1436 h
32
pun mulai mengumpulkan kayu bakar lalu
menyalakannya.
Tatkala mereka akan melompat masuk ke
api tersebut, mereka hanya berdiri sambil
memandang satu sama lain. Lalu sebagian
di antara mereka berkata, ‘Kami hanyalah
mengikuti Nabi n karena menghindar
dari api (neraka), kalau begitu kenapa
kami akan memasukinya.’
Demikian
keadaan mereka hingga apinya padam
dan kemarahan pemimpinnya reda. Hal
ini kemudian diceritakan kepada Nabi n
maka beliau bersabda:
kebenaran kepada seseorang yang
terpilih sebagai penguasa adalah
kesetiaan yang sebenar-benarnya,
sedang menyembunyikan kebenaran
adalah suatu kemunafikan. Orang
yang kuat maupun orang yang
lemah sama kedudukannya dan saya
akan memperlakukan kalian semua
dengan adil. Jika aku bertindak
dengan hukum Allah dan Rasul-Nya
maka taatilah aku akan tetapi jika
aku mengabaikan ketentuan Allah
dan rasul-Nya, tidak layak kalian
menaatiku.” [Fakhruddin]
          
   
  

 
‘Seandainya mereka masuk ke dalam
api tersebut niscaya mereka tidak akan
keluar darinya (neraka) selama-lamanya. Sesungguhnya ketaatan kepada
pimpinan itu hanya dalam perkara yang
baik’.” (HR. Muslim no. 1840)
Demikianlah
batasan
taat
kepada
pemimpin, selama pemimpin tersebut
menegakkan syariat dan memerintahkan
kepada yang makruf maka wajib ditaati,
namun sebaliknya jika pemimpin tersebut
memerintahkan kepada kemaksiatan maka
wajib diingkari, dan di sinilah letak peran
rakyat untuk melaksanakan hak mereka
kepada pemimpin, yaitu menasihatinya
jika menyimpang dari jalur syariat.
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq dilantik
menjadi khalifah, beliau berkhutbah, “Saya
bukanlah yang terbaik di antara kalian.
Oleh karena itu saya sangat menghargai
dan mengharapkan saran dan pertolongan
dari kalian semua. Menyampaikan
Seandainya
mereka masuk
ke dalam api
tersebut niscaya
mereka tidak
akan keluar
darinya (neraka)
selama-lamanya.
Sesungguhnya
ketaatan kepada
pimpinan itu
hanya dalam
perkara yang
baik.
kiblat
muharram 1436 h
33
MELAWAN
PENGUASA
TIDAK SELALU KHAWARIJ
wacana siyasah syar’iyyah. Inilah bentuk
protes dan perlawanan terhadap kebijakan
pemerintah. Perwujudannya bisa beragam,
mulai dari menolak baiat terhadap
pemimpin, membatalkan baiat yang
telah diikrarkan, hingga pemberontakan.
Pertanyaannya, apakah setiap orang yang
menentang penguasa tersebut disebut
sebagai khawarij?
B
anyak
sekali
dalil
yang
menyebutkan bahwa pemimpin
wajib
ditaati
selagi
tidak
menyuruh
berbuat
maksiat.
Meskipun mereka masih sering melakukan
kezaliman, kita dilarang menasihati di
depan umum apalagi demonstrasi, karena
itu bagian dari sifat Khawarij. Demikian
anggapan sebagian dai yang mengklaim
dirinya sebagai pengikut salaf. Menurut
mereka, kalau memang ingin menasihati
penguasa zalim harus dengan empat mata
alias tidak boleh di depan khalayak umum.
Kalau pun tidak bisa maka cukup lewat
anggota DPR yang menjadi perwakilannya
di parlemen.
Cukup menarik apa yang ditulis Syaikh
Abdullah Ad-Dumaiji ketika menguraikan
permasalahan ini. Menurut beliau tidak
semua orang yang menantang penguasa
disebut Khawarij. Harus dilihat terlebih
dahulu apa motivasi yang mendasari
mereka ketika memutuskan untuk keluar
dari kepemimpinan. Dengan demikian kita
akan bisa lebih obyektif dalam menilai.
Dengan latar belakang tersebut juga, kita
akan dapat menilai jika status khuruj itu
sendiri bisa beragam, kadang-kadang bisa
jadi haram, makruh, mubah, sunnah, atau
bahkan wajib.
Untuk mencapai kesimpulan yang obyektif
diperlukan pendefinisian secara tepat tiga
unsur utama, al-kharijun (kelompok yang
khuruj), almakhruj ‘alaih (penguasa), dan
wasilatul khuruj (sarana khuruj). Ketepatan
mendefinisikan tiga unsur ini sangat
penting untuk mencapai sebuah konklusi
Khuruj atau keluar dari ketaatan terhadap hukum yang tepat.
penguasa menjadi topik menarik dalam
kiblat
muharram 1436 h
34
Penguasa tidak lepas dari tiga kategori,
yaitu imam adil, imam ja’ir/zalim (maksiat)
dan imam murtad. Penegasan status
kategori ini menjadi penting karena
akan mempengaruhi status hukum alkharijun (kelompok penentang). Khuruj
terhadap imam adil misalnya, tentu tidak
bisa disamakan dengan khuruj terhadap
penguasa murtad (kufrun bawwah).
sebagaimana tertera dalam Al-Maidah: 33
“Sesungguhnya
pembalasan
terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya).
Yang demikian itu (sebagai) suatu
Selain itu, dalam konteks ini, kelompok penghinaan untuk mereka di dunia, dan di
perlawanan terhadap penguasa, juga harus akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”
dibedakan atau diklarifikasikan terlebih
dahulu. Karena orang yang menentang Ketiga, bughat yaitu sekelompok yang
melawan imam adil. Motivasinya bisa
penguasa tidak selalu disebut khawarij.
karena menuntut hak, ambisi jabatan,
Para ulama mengklarifikasi kelompok ambisi dunia, kepentingan kelompok dan
perlawanan terhadap penguasa Islam lain-lain.
sekurang-kurangnya
menjadi
empat
kategori, yakni Khawarij, Al-Muharabah, Kelompok semacam ini tidak boleh
langsung
diperangi,
melainkan
Bughat, dan Ahlul Haq.
diperlukan pendekatan persuasif (islah)
Pertama, khawarij. Khawarij secara dengan mencoba melacak lebih jauh
historis adalah sekelompok orang yang apa motivasi perlawanannya. Jika ada
melakukan
pemberontakan
terhadap kesalahan pemahaman (syubhat) maka
khalifah Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan perlu diberikan penjelasan, jika ada hak
dipicu oleh penolakan mereka terhadap yang dirampas maka perlu dikembalikan.
proses tahkim, mereka digambarkan Kemudian jika cara-cara persuasif tidak
sebagai
kelompok
yang
bersahaja membuahkan hasil, baru dilakukan
namun tidak berilmu. Akibatnya, mereka tindakan tegas. Sebagaimana firman Allah
terlalu gegabah dalam menuduh selain dalam Al-Hujurat: 9
kelompoknya sebagai kafir. Terhadap
kelompok ini, para ulama sepakat tentang “Dan apabila ada dua golongan orang
kesesatan mereka. Sehingga tidak dilarang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya. Jika salah satu dari
memerangi mereka.
keduanya
melampaui
batas
(zalim)
Kedua, al-muharibun yaitu para pembuat terhadap (golongan) yang lain, maka
onar yang sering mengganggu stabilitas perangilah (golongan) yang melampaui
keamanan, meresahkan penduduk dengan batas (zalim) itu, sehingga golongan itu
melakukan aksi teror, perampokan, kembali kepada perintah Allah...” (QS. Alpencurian dan sejenisnya. Kewajiban Hujurat: 9)
imam adalah menegakkan hukum had
kiblat
muharram 1436 h
35
Keempat, Ahlul Haq (pembela kebenaran)
yaitu sekelompok penegak keadilan
yang melawan imam ja’ir. Ibnu Hajar
mengatakan, “Orang-orang yang keluar
dari ketaatan kepada penguasa dalam
keadaan marah atas dasar dien (agama),
karena melihat penguasa yang ja’ir (zalim)
dan meninggalkan sunnah (tuntunan)
Nabi, mereka adalah ahlul haq, termasuk
di dalamnya, Husein bin Ali, penduduk
Madinah dalam perang Harrah, dan
mereka yang melawan Hajjaj bin Yusuf.”
(Ibnu Hajar, Fathul Bari, 12/286)
Di antara sebab seorang pemimpin menjadi
tidak sah dan layak untuk dilengserkan
adalah sebagai berikut.
Pertama: Kafir dan murtad dari Islam
Allah l berfirman:
   
 
    
  

   
 
“Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang beriman.”
(QS. An-Nisa’: 141)
Imam An-Nawawi berkata, “Mencopot
Para sahabat yang disebut Ibnu Hajar
pemimpin karena kekufuran merupakan
adalah ahlul haq dan tidak dituduh
ijma’ para ulama. Maka wajib bagi setiap
khawarij meskipun mereka tidak taat
muslim untuk melakukan hal tersebut.
kepada penguasa saat itu.
Barang siapa yang mampu melakukannya,
maka ia mendapatkan pahala. Barang siapa
Pemakzulan khilafah
yang tidak mau melakukannya (padahal dia
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mampu), maka ia mendapatkan dosa. Dan
bahwa tujuan kepemimpinan adalah barang siapa yang lemah (tidak memiliki
menggantikan Nabi n dalam menjaga kemampuan), maka ia harus berhijrah
agama dan mengatur kemaslahatan hidup meninggalkan negeri tersebut.” (Fathulumat dengan syariat Islam. oleh karena itu, Baariy, 13/123].)
ketika seorang pemimpin tidak mampu
melaksanakan tugas atau mewujudkan Al-Qadhi bin Iyadh menukil ijma’ tentang
tujuan tersebut maka kepemimpinannya kewajiban melengserkan penguasa yang
pun harus dilengserkan dan digantikan melakukan perbuatan kufur. “Para ulama
dengan orang yang mampu mewujudkan telah berijma’ bahwa kepemimpinan
(negara
Islam)
haram
dilimpahkan
tujuan kepemimpinan.
kepada orang kafir. Jika di tengah masa
Imam
At-Taftazani
berkata,
“Baiat jabatannya, seorang penguasa melakukan
kepada pemimpin akan batal ketika kekafiran, atau mengganti syariat, atau
tujuan kepemimpinan tidak terwujud.” melaksanakan kebid’ahan (bid’ah kufriyah),
Dalam literatur Islam, para ulama telah maka kepemimpinannya gugur, ia tidak
menyebutkan beberapa sebab kenapa wajib ditaati,” jelas Al-Qadhi.
khalifah harus dilengserkan. (Syarhul
Maqashid, 2/199-207, Al-Irsyad, hal. 425- “Maka wajib bagi umat untuk melengserkan
426, An-Nihayah Li Syahrastani, hal. 492, penguasa tersebut dan menggantikannya
Al-Ahkam Sulthaniyah li Abi Ya’la, hal. 4-6, dengan penguasa adil, jika mereka
Al-Asybah wa Nadhair, As-Suyuti, Hal. 557) memiliki kemampuan. Jika yang memiliki
kiblat
muharram 1436 h
36
kemampuan
untuk
melengserkannya mendengar Rasulullah bersabda:
“Meskipun kalian dipimpin oleh seorang
hanya sekelompok orang, maka kelompok
budak, namun dia memerintahkan detersebut wajib melengserkan penguasa
ngan Kibullah, maka taatilah dan denkafir itu,” kata Al-Qadhi lebih lanjut. (Lihat:
garkanlah.” (HR. Muslim)
Shahih Muslim Syarh An-Nawawi, 12/229).
“Wahai umat manusia! Bertakwalah
Kedua: tidak menegakkan shalat
kepada Allah. Dengarlah dan taatilah
meskipun kalian dipimpin oleh seorang
Pemimpin yang tidak menegakkan shalat,
budak habasyah yang berambut keriting
entah karena malas atau mengingkari
selama melaksanakan Kitab Allah.” (HR.
kewajiban shalat, harus dicopot dari
Ahmad)
jabatan. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan muslim dari Auf bin Malik.
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa syarat
Ia berkata, saya mendengar Rasulullah n
untuk didengar dan ditaati adalah pemimpin
bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian
yang mengatur pemerintahannya dengan
adalah pemimpin yang kalian cintai dan
Kitab Allah. Jika pemimpin tersebut tidak
mereka mencintai kalian. Kalian mendoakan
menegakkan syariat Islam maka dia tidak
mereka dan mereka mendoakan kalian.
layak untuk didengar dan ditaati bahkan
Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah
dia harus dicopot dan diganti.
pemimpin yang kalian benci dan mereka
membenci kalian. Kalian melaknat mereka Pernyataan Syaikh Abdullah bin Abdul
dan mereka pun melaknat kalian. Para Hamid Al-Atsari mengenai penguasa yang
sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidak menerapkan syariat Islam patut
bolehkah kita menyatakan perang kepada disimak. Pernyataan itu dia tulis dalam
mereka ketika itu?’ beliau menjawab, bukunya, Al-Wajîz fî ‘Aqîdah As-Salaf Ash‘Jangan! Selama mereka mengerjakan Shâlih Ahl As-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah:
shalat di tengah-tengah kalian. Selama
mereka menegakkan shalat di tengah- “Adapun para pemimpin yang meniadakan
syariat Allah dan tidak berhukum
tengah kalian’.”
kepadanya,
akan
tetapi
berhukum
Makna hadits tersebut adalah ketika kepada selainnya, maka mereka tidak
penguasa meninggalkan shalat, maka mendapatkan hak ketaatan dari kaum
mereka boleh ditentang dan diperangi. muslimin. Tidak ada ketaatan bagi mereka
Tetapi perlu diketahui perang merupakan dari rakyat, karena mereka menyia-nyiakan
cara terakhir untuk mencopot penguasa fungsi-fungsi imamah yang karenanya
tersebut.
mereka dijadikan pemimpin dan berhak
ditaati serta tidak diberontak. Karena,
Ketiga: tidak menerapkan hukum Allah
pemimpin tidak berhak mendapatkan itu,
pemimpin yang tidak menerapkan hukum kecuali menunaikan urusan-urusan kaum
Allah harus dicopot. Pemerintahannya muslimin, menjaga dan menyebarkan
tidak sah. Hal ini berdasarkan hadis dari agama, menegakkan hukum, menjaga
Ummul Husain Al-Ahmasyiah bahwa dia perbatasan, berjihad melawan musuhmusuh Islam setelah mereka diberi
kiblat
muharram 1436 h
37
dakwah, berwala’ kepada kaum muslimin, tidak dicopot. Namun jika fisik berat, dia
dan memusuhi musuh-musuh agama.
harus dicopot. Misalnya hilang akal, buta,
tuli, bisu atau hilangnya sebagian anggota
Apabila dia tidak menjaga agama badan yang dapat mengganggu kerja.
atau tidak menunaikan urusan-urusan (Lihat: Abdullah bin Umar bin Sulaiman
kaum muslimin, maka hilanglah hak Ad-Dumaiji, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘Inda
imamah darinya dan wajib atas umat— Ahl As-Sunnah wa Al-Jamâ‘ah, hal. 468yang diwakili oleh ahlul halli wal aqdi 485). [Fakhruddin]
dimana mereka menjadi rujukan dalam
menentukan masalah seperti ini—untuk
menurunkannya
dan
menggantinya
dengan orang lain yang siap mewujudkan
fungsi imamah.”
Keempat:
Melakukan
kezaliman, dan kebid’ahan
kefasikan,
Orang fasik tidak layak menjadi pemimpin.
Al-Qurthubi
berkata,
“Tidak
ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama
bahwa haram mengangkat orang fasik
sebagai pemimpin.” (Al-Qurtubi, Al-Jami’
Li Ahkami al-Qur’an, 1/270)
Kelima: Cacat dari segi keberlangsungan
kerja
Hal ini terjadi karena pemimpin disetir
atau ditawan. Jika pemimpin disetir oleh
orang-orang yang di sekitarnya, namun
masih bisa menjalankan pemerintahannya
dengan adil maka dia tidak dicopot. Tetapi
jika tugas-tugasnya terbengkalai, maka
dia harus dicopot. Demikian juga jika
pemimpin ditawan musuh maka ahlul halli
wal ‘aqdi harus mengangkat pemimpin
baru. Sebagaimana halnya jika terjadi
kudeta maka pemimpin lama menjadi
batal.
Keenam: Cacat fisik
Jika pemimpin mengalami cacat fisik
ringan pada masa pemerintahannya, dia
kiblat
muharram 1436 h
38
     






















    
       
 

“Pemimpin syuhada adalah Hamzah
bin Abdul Muthallib dan seorang yang
berdiri di depan penguasa yang jahat,
lalu ia menasihatinya, lalu penguasa itu
membunuhnya.”
(HR Al-Hakim)
kiblat
muharram 1436 h
39
Penguasa Berhati setan
    
  
  
  
 

   
   
 
     
  
  
    
 

 
 
  
“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak
mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orangorang yang hatinya adalah hati setan dalam wujud manusia.” (Shahih Muslim)
M
atan
hadis
tersebut
adalah bagian
dari
hadis
panjang tentang fitnah
akhir zaman yang diriwayatkan dari Hudzaifah bin
Al-Yaman. Ia bertanya kepada Rasulullah n:
“Wahai Rasulullah, kami
dahulu berada dalam
keburukan, lalu Allah
mendatangkan kebaikan,
lalu kami berada di
dalamnya. Apakah
setelah kebaikan ini ada
keburukan?”
“Ya.”
“Apakah setelah kejelekan
itu ada kebaikan?”
aku lakukan jika aku
mendapatkannya?”
“Ya.”
“Hendaknya engkau
mendengar dan taat
kepada amir, meskipun ia
memukul punggungmu
dan merampas hartamu,
tetaplah mendengar dan
taat.”
“Apakah setelah kebaikan
itu ada kejelekan?”
“Ya.”
“Bagaimana itu?”
“Akan ada sepeninggalku
nanti para pemimpin
yang tidak mengambil
petunjukku, dan tidak
mengambil sunnah dengan
sunnahku. Akan muncul
pula di tengah-tengah
kalian orang-orang yang
hatinya adalah hati setan
dalam wujud manusia.”
“Apa yang harus
Status Hadits
Ad-Daruquthni dalam kitab
Al-Ilzamat wa At-Tattabu’,
181-182 berkata, “Hadits ini
menurut saya mursal. Abu
Salam tidak mendengar dari
Hudzaifah. Demikian pula
orang-orang yang sejajar
dengannya yang tinggal di
kiblat
muharram 1436 h
40
Irak. Sebab Hudzaifah meninggal beberapa hari setelah
pembunuhan Utsman. Namun Abu Salam mengatakan
dalam hadis ini: Hudzaifah berkata. Ini menunjukkan dia
telah memursalkan hadis ini.
Syaikh Muqbil bin Hadi ulama Yaman yang mentahqiq kitab
Al-Ilzamat tersebut pada halaman 182 mengatakan, “AlHafidz Al-Mazi di Tahdzib Al-Kammal ketika menyebutkan
guru-guru Abu Salam dan Hudzaifah bin Al-Yaman,
mengatakan, “Ia dikenal mursal.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib At-Tahdzib mengatakan,
“Ia (Abu Salam) memursalkan dari Abu Hudzaifah, Abu Dzar
dan lainnya.”
Dr Hani As-Sibai dalam ulasanya mengatakan, “Di hadis ini
ada tambahan yang bukan bagian dari hadis hudzaifah yang
disepakati. Yaitu kalimat “Meskipun ia memukul punggung
dan mengambil hartamu.” Tambahan ini lemah karena dari
jalur ini terputus.
Ada ulama yang menshahihkan tambahan tersebut
dengan mutabaah di hadis Sabi’ bin Khalid Al-Yasykari dari
Hudzaifah. Demikian pula pernyataan tsiqah dari Imam
Ahmad Al-Ajlani untuk Mamthur. Demikian pula pernyataan
yang sama dari Ibnu Hibban untuk Sabi’ bin Khalid.”
Kecuali kalian
melihat
kekafiran
yang nyata,
kalian memiliki
alasan dari
Allah di
dalamnya.
Berkaitan dengan pernyataan Ad-Daruquthni, Imam
Nawawi berkata, “Benar kata Ad-Daruquthni. Akan tetapi
matannya shahih dan bersambung dengan jalur pertama.
Muslim menyebutkan mutabaah ini, seperti Anda lihat.
Kami telah menyebutkan sebelumnya di banyak bagian
dan di tempat lain bahwa hadis mursal bila diriwayatkan
juga dalam jalur lain secara bersambung, maka ini menjadi
penjelas akan kelayakan hadits mursal dan boleh berhujjah
dengannya. Dua hadis ini menjadi shahih.”
Syaikh Al-Huwaini mengatakan, “Muslim menyebutkan
jalur tersebut sebagai mutabaah seperti disebutkan
Imam Nawawi. Akan tetapi beliau menyebutkannya untuk
menjelaskan cacatnya. Ia (Muslim) telah menegaskan di
awal bukunya bahwa ia akan menyebutkan beberapa hadis
untuk menjelaskan cacatnya. Ini adalah salah satunya.
Sebab, jauh kemungkinan Muslim tidak tahu bahwa Abu
kiblat
muharram 1436 h
41
Salam tidak mendengar dari Hudzaifah.”
Sunnah, I/382)
Syaikh Al-Albani juga menyimpulkan
bahwa hadis ini shahih. Di Silsilah
Ash-Shahihah (hadis no. 2739), beliau
menjelaskannya bersamaan dengan hadis
lain yang di antara matannya adalah,
“Dai di pintu neraka jahanam. Siapa yang
menjawabnya, ia akan melemparkannya ke
dalamnya.” Lalu ketika Huzaifah bertanya,
“Wahai Rasulullah, apa yang harus aku
lakukan jika aku mendapatkannya?” Beliau
menjawab, “Tetaplah dalam jamaah kaum
muslimin dan imam mereka.” Lalu Syaikh
Al-Albani menafsirkannya dengan sabda
Rasul, “Hendaknya engkau mendengar dan
taat kepada amir, meskipun ia memukul
punggungmu dan merampas hartamu,
tetaplah mendengar dan taat!”
Syaikh Al-Albani juga membahas hadis
ini dalam konteks larangan keluar dari
penguasa dan kewajiban taat kepadanya
meskipun jahat dan zalim.
Kesimpulan Hukum dari Hadits
Hadits ini adalah dalil atas kewajiban
taat kepada para imam meskipun mereka
berbuat zalim. Imam Nawawi memasukkan
hadis ini di bab kewajiban mengikuti jamaah
kaum muslimin ketika muncul fitnah dan
dalam kondisi apa pun, serta haram keluar
dari ketaatan dan memisahkan diri dari
jamaah.
Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Minhajus
Sunnah, “Rasulullah n telah mengabarkan
bahwa akan ada penguasa yang tidak
mengambil petunjuk dari petunjuk beliau
dan tidak mengikuti sunnah beliau. Hati
mereka seperti hati setan di tubuh manusia.
Meskipun demikian, perintahnya adalah
taat kepada penguasa meskipun memukul
punggung dan mengambil hartamu. Ini
menjelaskan bahwa penguasa yang ditaati
adalah orang yang memiliki otoritas, baik
seorang yang adil maupun zalim.” (Minhajus
Penjelasan
para
ulama
tersebut
menunjukkan bahwa status zalim penguasa
tidak sampai pada level kafir atau murtad
dari Islam. Hal ini berarti bahwa kesimpulan
hukum dari hadis ini tidaklah berbeda
dengan hadis-hadits lain tentang kewajiban
taat kepada penguasa muslim meskipun
jahat dan zalim. Dalam hal ini Dr Hani AsSibai mengatakan:
“Anggaplah tambahan tersebut shahih, ia
dibatasi oleh hadis Ubadah bin Shamit di
Ash-Shahihain: Kitab Al-Imarah, Shahih
Muslim hadis no. 4877; Shahih Bukhari
Kitab Al-Fitan, hadis no. 7056. Disebutkan,
‘Kecuali kalian melihat kekafiran yang
nyata, kalian memiliki alasan dari Allah di
dalamnya.’ Hadits ini diterapkan kepada
penguasa kaum muslimin yang jahat
dan zalim, namun dengan kejahatan dan
kezalimannya, mereka tetap berhukum
dengan syariat Allah.”
Maka, kata Dr As-Sibai lebih lanjut,
pembicaraan ini tidak berlaku untuk para
penguasa di zaman kita yang menggantikan
hukum Allah; mereka mengubah ketentuan
agama kita yang Hanif dengan berwala’
kepada musuh-musuh Allah; memerangi
wali-wali Allah, membuat makar terhadap
bangsanya sendiri. Mereka melindungi
konstitusi dan hukum yang menentang
otoritas hukum Allah di muka bumi. Para
penguasa itu memerintahkan rakyat dengan
hukum selain yang diturunkan Allah, di
samping tidak berhukum dengan yang
kiblat
muharram 1436 h
42
dan setelah itu tidak ada iman lagi walau
diturunkan Allah!! Jika apa yang mereka
sebesar biji sawi.”
terapkan dalam kekuasaannya tidaklah
kekafiran yang nyata, lantas seperti apa
Catatan lain yang perlu diperhatikan dari
kekafiran nyata itu?
penjelasan ulama yang telah disebutkan
Selain itu, jihad melawan penguasa dengan bahwa perintah Nabi n ketika terjadi
kekuatan telah disebutkan dalam kitab fitnah, termasuk kemunculan penguasa
Shahih. Muslim di Shahih-nya kitab Al- berhati setan, adalah komitmen kepada
Iman hadis no. 188 meriwayatkan dengan jamaah kaum muslimin dan imam mereka.
Sand dari Abu Rafi’ dari Abdullah bin [Agus Abdullah]
Mas’ud bahwa Rasulullah bersabda, “
   
         
    

  
   
  
   
      
  
                 
  
 
             
              
      
                     
      
 
         
 
 
  
“Tiada seorang Nabi pun yang diutus
sebelumku, kecuali mempunyai beberapa hawari (pengikut setia) dan sahabat
dari umatnya yang selalu memegang
sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian setelah mereka muncul
beberapa generasi pengganti, mereka
mengatakan sesuatu yang tidak diamalkan dan mengamalkan apa yang tidak
diperintahkan. Maka barang siapa berjihad melawan mereka dengan tangannya
ia beriman, barang siapa yang berjihad
melawan mereka dengan lisannya ia beriman dan barang siapa berjihad melawan mereka dengan hatinya ia beriman,
kiblat
muharram 1436 h
43
INDONESIA BUKAN
NEGARA ISLAM
I
slam memiliki konsep
yang agung tentang
negeri
dan
tujuan
yang sangat mulia
dalam syariat kewajiban
mengangkat
pemimpin
atau
imam.
Pemimpin
kaum muslimin yang dalam
Islam dikenal dengan istilah
khilafah didefinisikan oleh
ulama sebagai posisi yang
menggantikan
kenabian
dalam menjaga dien dan
mengatur dunia dengan
dien itu. (Al-Ahkam AsSulthaniyah, 3).
tersebut. Yaitu menjaga
dien
dan
mengatur
dunia
dengannya.
Maksud
menjaga
dien
adalah
menjaga
Islam
dan
menerapkannya.
Makna menjaga adalah
mengupayakan
agar
tetap utuh dan murni,
menyebarkannya
kepada
manusia seperti dilakukan
oleh Rasulullah saw dan
diteruskan oleh generasi
sahabat dan seterusnya.
berhak mengganti agama
Allah. Abu Ya’la Al-Hambali
mengatakan, “Imam wajib
menjaga dien agar tetap
seperti yang disepakati
salaful ummah. Bila ada
orang yang ragu dan
menyimpang
darinya,
ia
harus
menegakkan
hujjah
kepadanya
dan
menjelaskan yang benar.
Ia juga harus memberikan
hak dan sanksi yang
semestinya agar dien tetap
terjaga dari penyimpangan
Sisi lain tugas penguasa dan umat terjaga dari
dalam hal ini adalah penyelewengan.” (Abu Ya’la
Ada dua unsur penting mencegah segala bentuk Al-Hanbali, 11).
dari tujuan mamah yang penyimpangan
dan
tertuang dalam definisi penyelewengan. Ia tidak
kiblat
muharram 1436 h
44
Sedangkan mengatur dunia dengan dien adalah secara
ringkas adalah mengelola urusan negara dan rakyat dalam
bentuk yang merealisasikan maslahat dan mencegah
kerusakan. Ini akan terwujud bila manajemen urusan hidup
sesuai dengan kaidah dan prinsip-prinsip syariat.
Hakikatnya mencegah musuh dari negeri Islam diperlukan
untuk menyelamatkan agama dan kelangsungannya. Karena
pengambilalihan kekuasaan negeri Islam oleh orang kafir
akan melenyapkan Islam, mengaburkan hakikatnya, dan
fitnah besar bagi kaum muslimin. Hal ini merupakan tugas
penguasa seperti disebutkan oleh Al-Mawardi, “Tugas
keenam adalah memerangi orang yang memusuhi Islam
setelah mendapatkan dakwah sampai bersedia masuk
Islam atau menjadi ahli dzimmah, untuk menegakkan hak
Allah dalam memenangkan dien di atas semua agama.”
(Al-Ahkam As-Sulthaniyah, 14).
Penjelasan tentang tujuan imamah tersebut menggambarkan
secara jelas tentang negeri Islam yang dipimpin oleh imam
yang menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Hal ini
selaras dengan definisi negeri Islam yang dikemukakan
oleh para ulama. Imam Ibnul Qayyim menjelaskan tentang
negeri Islam, “Mayoritas ulama mengatakan bahwa negeri
Islam adalah negeri yang dikuasai oleh umat Islam dan
hukum-hukum Islam diberlakukan di negeri tersebut.”
(Ahkamu Ahli Dzimmah 1/366).
.
Kelompok
penentang (bughat)
saja diperangi,
meskipun mereka
muslim sampai
mereka kembali.
Lantas bagaimana
bila kelompok
penentang itu zalim
dan kafir seperti
keadaan penguasa
Irak?
Maka ketika tujuan imamah tidak terwujud, penguasa tidak
menjalankan tugasnya, negerinya bisa berubah menjadi
negeri kafir. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Qayyim lebih
lanjut, “Bila hukum-hukum Islam tidak diberlakukan, negeri
tersebut bukanlah negeri Islam, sekalipun negeri tersebut
berdampingan dengan sebuah negeri Islam. Contohnya
adalah Thaif, sekalipun letaknya sangat dekat dengan
Makkah, namun dengan terjadinya fathu Makkah; Thaif
tidak langsung berubah menjadi negeri Islam.” (Ahkamu
Ahli Dzimmah 1/366).
Sebagian ulama mengatakan bahwa sebuah negeri cukup
disebut negeri Islam dengan hidupnya syiar-syiar Islam,
seperti azan. Namun, pendapat Ibnu Qayyim tersebut lebih
mendekati kebenaran bila dihubungkan dengan fakta
kiblat
muharram 1436 h
45
sejarah. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di juga
mengatakan hal yang sama, “Negeri Islam
adalah negeri yang diperintah oleh kaum
muslimin, hukum Islam berlangsung di
dalamnya dan diterapkan oleh orang-orang
Islam, walaupun mayoritas penduduknya
adalah orang kafir.” (Fatawa Sa’diyah hal 92)
Sebaliknya bila suatu negeri dikuasai oleh
hukum kafir, maka ia menjadi negeri kafir.
Al-Kasani berkata, “Sebuah negeri akan
menjadi negeri kafir apabila hukum kafir
mendominasi di dalamnya.” (Bada’iush
Shanai’ fi Tartiibisy Syarai’ 7/131 )
Demikian pula negeri yang menerapkan
sistem
hukum
positif,
meskipun
penduduknya kebanyakan muslim, ia
termasuk negara kafir. Syaikh Al-Fauzan
mengatakan, “Tidak diragukan bahwa
yang diyakini oleh para ulama dakwah
bahwa parameternya adalah hukum (yang
berlaku). Bila hukum yang berlaku adalah
syariat Islam maka itu adalah negeri Islam.
Namun bila hukum yang berlaku bukan
syariat, maka itu bukanlah negeri Islam
meskipun penduduknya muslim.”
Lajnah Daimah Arab Saudi juga menguatkan
hal tersebut, “Semua negeri atau wilayah
yang penguasa dan pemegang otoritasnya
menegakkan
hukum-hukum
Allah,
memerintah rakyatnya dengan syariat
Islam, rakyat bisa menegakkan syariat
Islam yang diwajibkan kepada mereka di
dalamnya maka negeri ini disebut darul
Islam.... Contohnya adalah Madinah setelah
hijrah Nabi saw dan beliau menegakkan
negara Islam di sana. Demikian pula Mekkah
setelah fathu Mekkah, maka dengan fathu
Mekkah itu dan urusannya dikuasai oleh
kaum muslimin, negeri ini menjadi negeri
Islam. Sebelumnya Mekkah merupakan
negeri kafir, yang dalam hal ini kaum
muslimin yang mampu diwajibkan hijrah
darinya.” (Fatawa Lajnah Daimah, XII/52)
Bila semua penjelasan ulama tersebut
diterapkan kepada negeri Indonesia,
apakah Indonesia masuk negeri Islam
dengan penguasanya yang menegakkan
syariat Islam, sehingga mendapatkan
hak ketaatan? Yang tampak, Indonesia
tidak menggambarkan sedikit pun
penjelasan ulama tersebut. Bukan
hanya teori, bahkan pemerintah sendiri
menyatakan hal ini. Mei 2010 lalu,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) telah menyatakan bahwa Indonesia
bukan negara Islam. SBY berbicara
menentang upaya penegakan negara
Islam. Gagasan mendirikan negara Islam
di Indonesia, menurutnya, bertentangan
dengan semangat pluralisme Pancasila.
.
kiblat
muharram 1436 h
46
Sebuah gerakan untuk menghapuskan
pemerintahan sekuler Indonesia dan
memberlakukan hukum syariah secara
nasional bertentangan dengan UUD.
“Indonesia adalah negara sekuler dan itu
merupakan warisan kita yang penting dari
Soekarno dan para bapak pendiri Indonesia
lainnya,” kata Yudhoyono dalam pidato di
Soekarno Centre Mei 2014 lalu.
Negara sekuler adalah salah satu konsep
sekularisme, di mana sebuah negara
menjadi netral dalam permasalahan agama,
dan tidak mendukung orang beragama
maupun orang yang tidak beragama.
Negara sekuler juga dideskripsikan sebagai
negara yang mencegah agama ikut
campur dalam masalah pemerintahan, dan
mencegah agama menguasai pemerintahan
atau kekuatan politik.
Bila pemerintah sendiri menyatakan
demikian, mengapa sebagian umat yang
ingin mengembalikan Islam sesuai manhaj
salaf justru melabeli penguasa negeri ini
dengan ulil amri? Bila seorang penjual
sate anjing telah mengumumkan dirinya
menjual sate anjing, mengapa Anda malah
mengumumkan kepada publik bahwa ia
menjual sate kambing yang enak dan halal?
Ini adalah penyesatan yang nyata. [Agus
Abdullah]
kiblat
ki
k
iblat
blat
bl
at
muharram
muh
mu
ar am
arr
m 1436
143 h
47
syaikh bin bazz
Mengafirkan penguasa
meskipun shalat
B
anyak
sekali
perkataan
dan
fatwa
ulama
dahulu
dan
sekarang
tentang
menasihati
sampai
melawan penguasa, baik
yang zalim maupun yang
telah kafir. Namun kondisi
suatu zaman bisa membuat
fatwa berubah. Kita akan
melihat satu contoh nyata
dalam hal ini.
Syaikh bin Baz berpendapat,
menyebut kesesatan para
penguasa thaghut tidaklah
dibolehkan. Beliau pernah
berfatwa:

“Kita menaatinya dalam
kebaikan, bukan dalam
 maksiat, sampai Allah
mendatangkan pengganti.”
“Mengumbar aib penguasa (Al-Fatawa, VII/117)
dan
menyebutnya
di
Beliau juga berpendapat
mimbar-mimbar bukanlah
bahwa melawan penguasa
manhaj salaf.” (Al-Fatawa
kafir tidak boleh bila
juz VIII)
umat
belum
memiliki
Ketika ditanya tentang kekuatan, tetapi beliau
warga
Irak
hubungan
dengan meminta
penguasa murtad, beliau melawan penguasa mereka.
Padahal beliau tahu bahwa
menjawab:
mereka
tidak
memiliki
     persenjataan yang mampu
menggulingkan penguasa.
 Sebelumnya beliau telah

kiblat
muharram 1436 h
48
berfatwa bahwa pasukan Islam seluruhnya tidak mampu
menghadapi Saddam dan tentaranya. Artinya, kekhawatiran
“iraqatu dima’ al-muslimin (menumpahkan darah kaum
muslimin, tidak menjadi pertimbangan lagi dalam kasus
ini. Beliau berfatwa:



“Tidak diragukan bahwa membaiat (baca: mendengar
dan taat) kepada kepada thaghut seperti ini (Saddam)
dan mendukungnya merupakan kejahatan terbesar. Itu
termasuk pelanggaran terbesar terhadap kaum muslimin,
dan membahayakan mereka. Karena di antara syarat
baiat, orang yang dibaiat adalah seorang muslim, yang
menguntungkan, bukan membahayakan kaum muslimin.”
(Fatwa-Fatwa Syaikh Bin Baz, VII/389).
Beliau juga mengatakan dalam fatwanya:
.
Saddam Husein
 


Kelompok
penentang (bughat)
saja diperangi,
meskipun mereka
muslim sampai
mereka kembali.
Lantas bagaimana
bila kelompok
penentang itu zalim
dan kafir seperti
keadaan penguasa
Irak?
“Kelompok penentang (bughat) saja diperangi, meskipun
mereka muslim sampai mereka kembali. Lantas bagaimana
bila kelompok penentang itu zalim dan kafir seperti
keadaan penguasa Irak? Ia adalah penganut partai Ba’ats
yang ateis, penganutnya bukanlah mukmin.” (http://www.
binbaz.org.sa/mat/8342/print)
Bahkan beliau memfatwakan jihad melawan Saddam adalah
jihad terbesar:
        


kiblat
muharram 1436 h
49
“Jihad yang paling agung adalah jihad
melawan penguasa Irak (Saddam). Karena
ia telah melampaui batas, menyerang,
dan
menginvasi
negara
Kuwait,
menumpahkan darah, menjarah harta,
menodai kehormatan, dan mengancam
negara-negara Teluk yang bertetanggaan
dengannya.” (Fatwa-Fatwa Syaikh Bin Baz
Juz VII).
Kemungkinan Penguasa Kafir Meskipun
Shalat
Banyak orang bertanya-tanya tentang
melaknat Saddam Husein. Sebagian
orang mengatakan, selama Saddam
mengucapkan syahadatain, kita menahan
diri dari melaknatnya. Maka ketika
ditanyakan kepada Syaikh Bin Baz apakah
Saddam telah kafir, beliau menjawab:
diperjuangkannya. Hal itu karena Ba’ats
adalah kekafiran dan kesesatan. Siapa
yang tidak menyatakan ini maka ia telah
kafir, seperti Abdullah bin Ubai yang
kafir, meskipun ia shalat bersama Nabi
saw dan mengucapkan las illaha illallah,
dan bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah. Ia adalah orang yang
paling kafir.” (http://www.binbaz.org.sa/
mat/259)
Syaikh Bin Baz bersama sejumlah ulama
senior Arab Saudi juga mengkafirkan
penguasa Libya Muammar Qaddafi.
Alasannya
karena
Qaddafi
telah
menghujat penguasa dan ulama kerajaan
Saudi. (Lihat Fatwa Lembaga Ulama
Senior Arab Saudi, yang ditandatangani
oleh 16 ulama pada 22 Jumadil Ula 1402
http://www.muslm.org/vb/archive/index.
php/t-423212.html).



        




“Ia telah kafir, meskipun mengucapkan
las illah illallah. Bahkan meskipun ia
shalat dan puasa, (ia telah kafir) selama
tidak meninggalkan prinsip-prinsip partai
Ba’ats ateis, dan menyatakan bahwa ia
bertobat kepada Allah dan apa yang
.
Muammar Qadddafi
kiblat
muharram 1436 h
50
Hal ini menunjukkan bahwa penguasa yang
shalat bisa saja kafir. Shalat tidak menjadi
satu-satunya parameter untuk melabeli
setiap pemenang pemilu sebagai ulil amri.
Sebagaimana telah disebutkan dalam kitabkitab akidah dan fikih, banyak pembatal
keislaman seseorang selain meninggalkan
shalat.
Bila dua hal tersebut tidak diperhatikan,
maka ulama atau dai yang berfatwa akan
menyesatkan umat. Banyak pendapat ulama
tentang kewajiban taat kepada penguasa,
tetapi apakah itu tepat diterapkan untuk
penguasa sekuler hari ini? Demikian pula
nasihat secara diam-diam, apakah memang
untuk mereka? Demikian pula persoalan
takfir penguasa.
Perlu disebutkan bahwa fatwa kafir
terhadap Presiden Irak Saddam Husein Semoga salam dan salawat dilimpahkan
keluar setelah ia menyerang Kuwait pada kepada Nabi kita Muhammad saw. (Agus
1991 dan mengancam Saudi. Ketika Irak Abdullah)
perang melawan Iran pada 1988, Saddam
Husein mendapatkan semua dukungan dan
pertolongan negara-negara Arab di Teluk.
Bahkan ia mendapatkan julukan Penjaga
Gerbang Timur.
Dapat disimpulkan bahwa fatwa sangat
berkaitan dengan kondisi dan peristiwa
pada aktual saat dikeluarkan. Dengan
demikian menerapkan pendapat dan fatwa
ulama untuk realitas kekinian memerlukan
penelitian yang mendalam. Ibnu Qayyim
rahimahullah berkata, “Seorang mufti
dan penguasa tidak akan bisa berfatwa
dan memutuskan perkara dengan benar,
kecuali bila memadukan dua pemahaman
(fikih). Pertama : memahami dan mengerti
waqi’ (realita), serta menyimpulkan ilmu
tentang hakikat realita yang ada dengan
qarinah, amarah dan’alamat (bukti-bukti
dan data-data) sehingga ilmunya meliputi
realita. Kedua:
memahami apa yang
wajib (kewajiban syariat) atas realita, yaitu
memahami hukum Allah yang ditetapkan
dalam kitab-Nya atau melalui lisan RasulNya atas realita tersebut. Baru kemudian
menerapkan yang satu (hukum syariat)
atas yang lain (realita).” (I’ilamul Muwaqi’in
I/81).
kiblat
ki
k
iblat
bl
b
la
at
t
muharram
mu
muh
m
uhar
uh
ar
arr
rr
ram
am 1436
114
43
366 h
51
5
1
SEJARAH
HITAM
MURJIAH
Menjual Agama
Demi Penguasa
T
idak seperti khawarij, istilah
Murji’ah kuranglah populer.
Bila akhir-akhir ini kajian,
perbincangan, tuduhan terkait
khawarij begitu akrab di telinga, terutama
setelah Amerika mengumumkan perang
melawan terorisme global, masalah
Murji’ah tidaklah demikian. Namun
jangan salah, bahaya dan virus Murji’ah
tidak lebih mematikan dan menyesatkan
umat daripada khawarij. Mari kita
lihat bagaimana sejarah Murji’ah dan
ancamannya bagi umat. Kita akan
memulainya dari definisi!
Murji’ah berasal dari kata al-irja’, yang
bermakna mengakhirkan perbuatan dan
keimanan. Secara bahasa, kata al-irja’
mem
miiliki
liki d
li
dua makkna, ya
ang per
e ta
tama
ma
be
era
rarrt
r ti mengakh
hirkan
hi
rkkan
an, se
sepe
p rti
pe
r t pa
rt
ad
da
a
firma
fi
an Allah: “((Pe
Pemu
m ka
a-p
-pem
em
mukka))
itu menjawab
b, ‘T
Tah
hanla
anlah
h ((u
unt
ntuk
u
uk
sementara)
me
dia
a dan
an sauda
auda
ara
rany
nya’
a’.”
a’
(Al(A
l-A
-A’raf: 111).
)..
Makna
k yang kkedua
d adalah
d l h memberi
b i
apa yang diharapkan.
Imam
Ahmad
mendefinisikan
Murji’ah sebagai “orang-orang yang
meyakini bahwa iman itu hanya
dengan ucapan lisan saja. Menurut
mereka tidak ada seorang pun yang
melebihi orang lain dalam keimanan,
keimanan mereka sama saja dengan
keimanan para nabi ataupun para
malaikat. Iman tidak bertambah
dan tidak juga berkurang. Iman itu
tidak ada pengecualian. Orang yang
telah mengucapkan keimanannya
dengan lisan telah dianggap sebagai
mukmin sejati walaupun tidak
mengamalkan keimanan tersebut
dengan perbuatan.”
Kelompok Murji’ah sejati adalah
mereka yang mengatakan bahwa
kiblat
muharram 1436 h
52
Pada awalnya pemikiran Murji’ah
hanyalah gerakan politik yang tidak
menyangkut perkara iman; hanya
berkaitan dengan penangguhan
hukum para mujahid dari kalangan
sahabat kepada Allah.
dosa tidak akan memadaratkan
keimanan, sebagaimana ketaatan
tidak akan memberi manfaat pada
kekufuran. Pendapat ini disampaikan
oleh Jahm dan para pengikutnya.
Kemunculan
Murji’ah
sangat
berkaitan erat dengan lahirnya
Khawarij dan Syiah. Murji’ah adalah
buntut dari kemunculan kedua
golongan ini. Jika kita menilik
sejarah, Murji’ah muncul untuk
menghadang paham Khawarij yang
mengafirkan Hakamain (dua orang
yang memutuskan perkara dalam
masalah Ali dan Muawiyah).
Pada awalnya pemikiran Murji’ah
hanyalah gerakan politik yang
tidak menyangkut perkara iman,
tetapi hanya berkaitan dengan
penangguhan perkara para mujahid
dari kalangan sahabat kepada
Allah. Gerakan yang awalnya hanya
bernuansa politik ini pertama kali
dipelopori oleh cucu Ali bin Abi
Thalib, Al-Hasan bin Muhammad AlHanafiyah, sekitar tahun 695 H..
Ibnu Sa’ad berkata bahwa AlHasan adalah orang yang pertama
kali mengatakan tentang Murji’ah.
Dikisahkan bahwa Zadzan dan
Maisarah datang kepadanya dan
langsung
mencelanya,
lantaran
sebuah buku yang ia tulis tentang
Irja’, Al-Hasan berkata pada Zadzan,
“Wahai Abu Umar, sungguh aku lebih
suka mati dan aku dalam keadaan
tidak menulis buku tersebut.”
Buku yang ditulis oleh Al-Hasan ini
hanyalah Irja’ tentang sahabat yang
ikut serta dalam perselisihan yang
terjadi setelah wafatnya Syaikhani
(Abu Bakar dan Umar).
Sebenarnya Al-Hasan mencoba
menanggulangi
perpecahan
umat
Islam.
Ia
kemudian
mengelak berdampingan dengan
kelompok pemberontak Syiah
yang terlampau mengagumkan
Ali dan para pengikutnya,
serta menjauhkan diri dari
Khawarij yang menolak
mengakui
kiblat
muharram 1436 h
53
kekhalifahan Muawiyah dengan alasan
bahwa ia adalah keturunan Utsman.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menegaskan bahwa
yang dimaksud Irja’ yang dibawa oleh AlHasan adalah Irja’ yang tidak dicela oleh
Ahlus Sunnah--Irja’ yang tidak berkaitan
dengan iman--. Penegasan Ibnu Hajar ini
dilandaskan dengan apa yang tertulis di
dalam kitab Al-Hasan bin Muhammad.
Di akhir kitab Al-Iman, karya Ibnu Abi
Umar, dikatakan, “Telah diceritakan oleh
Ibrahim bin Uyainah dari Abdul Wahid bin
Ayman bahwa Al-Hasan bin Muhammad
menyuruhku
untuk
membicarakan
kitabnya kepada khalayak, yang bunyinya
sebagai berikut:
“Amma ba’du. Kami wasiatkan kepada
Anda sekalian agar bertakwa pada Allah,
kemudian dia berwasiat tentang Kitab Allah
dan agar mengikutinya serta menyebutkan
keyakinannya lalu dia berkata pada akhir
wasiatnya, ‘Kami telah mengangkat Abu
Bakar dan Umar sebagai khalifah dan kami
berjihad di masa mereka berdua, karena
keduanya belum pernah dibunuh oleh
umatnya bahkan umatnya tidak merasa
ragu terhadap urusan-urusan mereka.
Sedangkan orang-orang setelahnya yang
berselisih maka kami akhirkan (posisi)
mereka dan kami serahkan urusannya
kepada Allah...”
Inilah Irja’ yang telah dikatakan oleh
Al-Hasan bin Muhammad yang tidak
menyangkut masalah keimanan sedikit
pun, bahkan permasalahan ini dikuatkan
pula oleh Ibnu Hajar.
Akan tetapi, suasana pertentangan
semakin memanas setelah wafatnya Ali.
Aliran Murji’ah berkembang sangat subur pada
masa pemerintahan
Bani Umayyah, karena
bersifat netral dan tidak
memusuhi pemerintahan yang sah. Dalam
perkembangan berikutnya, lambat laun
Murji’ah mulai merambah permasalahan iman.
Gagasan Irja’ yang diprakarsai oleh Al-Hasan
mulai menyimpang dari
ranah politik ke dalam
masalah iman hingga
muncul para tokoh
Murji’ah dengan
pemikiran nyeleneh.
Dari persoalan politik mereka tidak dapat
melepaskan diri dari persoalan teologis
yang muncul di zamannya. Waktu itu
terjadi perdebatan mengenai hukum
orang yang berdosa besar. Persoalan
dosa besar yang ditimbulkan kaum
Khawarij mau tidak mau menjadi bahan
perhatian dan pembahasan bagi mereka.
Terhadap orang yang berbuat dosa besar,
kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir
sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan
hukum mukmin.
Argumentasi yang mereka ajukan dalam
hal ini bahwa orang Islam yang berdosa
besar itu tetap mengakui bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad
kiblat
muharram 1436 h
54
adalah Rasul-nya. Dengan kata lain,
orang yang mengucapkan kedua
kalimat syahadat menjadi dasar utama
dari iman. Oleh karena itu, orang
berdosa besar menurut pendapat
golongan ini tetap mukmin dan bukan
kafir.
Aliran Murji’ah berkembang sangat
subur pada masa pemerintahan Dinasti
bani Umayyah, karena bersifat netral
dan tidak memusuhi pemerintahan
yang sah. Dalam perkembangan
berikutnya, lambat laun Murji’ah
mulai merambah permasalahan iman.
Gagasan Irja’ yang digadangi oleh AlHasan mulai menyimpang dari ranah
politik ke dalam masalah iman. Hingga
muncul para tokoh Murji’ah dengan
beberapa pemikiran nyelenehnya,
seperti:
1. Kelompok Jahmiyah yang dipelopori oleh Jahm bin Shafwan. Ia
berpendapat bahwa iman adalah
mempercayai Allah l, rasul-rasulNya, dan segala sesuatu yang
datang dari Allah l. Sebaliknya,
kafir adalah tidak mempercayai
hal-hal
tersebut
di
atas.
Apabila
seseorang
sudah
mempercayai Allah l, rasul-rasulNya, dan segala sesuatu yang
datang dari Allah l, berarti ia
mukmin meskipun perbuatannya
membuktikan
hal-hal
yang
bertentangan dengan imannya,
seperti
berbuat
dosa
besar,
menyembah berhala, dan minum
minuman keras. Golongan ini juga
meyakini bahwa surga dan neraka
itu tidak abadi, karena keabadian
hanya bagi Allah l semata.
2. Kelompok Al-Salihiyah dengan
tokohnya Abu Hasan As-Sahili.
Sama dengan pendapat Jahmiyah,
kelompok ini berkeyakinan bahwa
iman adalah semata-mata makrifat
(mengetahui) Allah l, sedangkan
kufur (kafir) adalah sebaliknya yakni
tidak mengetahui Allah l. Iman
dan kufur itu tidak bertambah dan
tidak berkurang. Menurut mereka,
shalat itu tidak merupakan ibadah
kepada Allah, karena yang disebut
ibadah itu adalah beriman kepada
Allah dalam arti mengetahui Allah.
3. Kelompok
Yunusiah,
pengikut
Yunus bin An-Namiri. Berpendapat
bahwa iman adalah totalitas
dari pengetahuan tentang Allah,
kerendahan hati, dan tidak takabur.
Kufur adalah kebalikan dari itu. Iblis
dikatakan kafir bukan karena tidak
percaya kepada Allah, melainkan
karena kesombongannya. Mereka
juga percaya bahwa perbuatan
jahat dan maksiat sama sekali tidak
merusak iman.
4. Kelompok Al-Ubaidiyah, dipelopori oleh Ubaid Al-Maktaib.
Pendapatnya pada dasarnya sama
dengan
kelompok
Yunusiah.
Sekte ini berpendapat bahwa
jika seseorang meninggal dunia
dalam keadaan beriman, semua
dosa dan perbuatan jahatnya tidak
akan merugikannya. Perbuatan
jahat, banyak atau sedikit tidak
kiblat
muharram 1436 h
55
merusak iman. Sebaliknya, perbuatan
baik, banyak atau sedikit tidak akan
memperbaiki posisi orang kafir.
5. Kelompok Gailaniyah dipelopori oleh
Gailan Ad-Dimasyqi. Berpendapat
bahwa
iman
adalah
makrifat
(mengetahui)
kepada
Allah
l
melalui nalar dan menunjukkan sikap
mahabbah (cinta) dan tunduk kepadaNya.
6. Kelompok Saubaniyah dipimpin oleh
Abu Sauban. Prinsip ajarannya sama
dengan sekte Gailaniyah, namun
mereka menambahkan bahwa yang
termasuk iman adalah mengetahui dan
mengakui sesuatu yang menurut akal
wajib dikerjakan. Dengan demikian,
sekte ini mengakui adanya kewajibankewajiban yang dapat diketahui akal
sebelum datangnya syariat.
7. Kelompok Marisiyah dipelopori oleh
Bisyar Al-Marisi. Berpendapat bahwa
iman di samping meyakini dalam
hati bahwa tiada Tuhan selain Allah
l dan Muhammad n itu rasul-nya,
juga harus diucapkan secara lisan.
Jika tidak diyakini dalam hati dan
diucapkan dengan lisan, maka bukan
iman namanya. Sementara itu, kufur
merupakan kebalikan dari iman.
8. Kelompok Karamiyah dipelopori oleh
Muhammad bin Karram. Berpendapat
bahwa iman adalah pengakuan secara
lisan dan kufur adalah pengingkaran
secara lisan. Mukmin dan kafirnya
seseorang dapat diketahui melalui
pengakuannya secara lisan.
9. Kelompok
Khassaniyah,
yang
berpendapat
jika
seseorang
mengatakan, “Saya tahu bahwa
Allah melarang makan babi, tetapi
saya tak tahu apakah babi yang
diharamkan itu adalah kambing
ini,” orang yang demikian tetap
mukmin dan bukan kafir. Jika
seseorang mengatakan, “Saya
tahu Allah mewajibkan naik haji ke
Ka’bah tetapi saya tak tahu apakah
Ka’bah di India atau di tempat
lain”, orang demikian juga tetap
mukmin.
Beginilah awal mula perkembangan
paham Irja’ yang awal mulanya
dipelopori Al-Hasan sebagai solusi
politik dan berakhir dengan munculnya
paham yang sesat.
Sa’id bin Jabir berkata
kepada Ayub AsSakhtiyani, “Jangan
duduk bersama Thalaq
bin Khubaib karena ia
seorang Murji’ah.”
Sa’id berkata lagi
karena melihat Ayub
duduk bersama
Thalaq, “Apa kamu
pernah melihatku
duduk bersamanya?
Ayub menjawab,
“Tidak”
Sa’id berkata lagi,
“Karena ia berpaham
Irja.”
kiblat
muharram 1436 h
56
“Pedih hati Sang kayu bukan
karena dipotong, melainkan
sebagian dari kapak adalah
bagian tubuhnya.” [Hikmah]
Th
hab
bar
ari) berkata
ta, ’W
Wah
ahai
aii Abu
b Abdullah,
h,,
me
eng
gap
apa
a en
e gkau tid
idak
ak men
nam
amak
akkan
annya
deng
de
gan sel
ellai
ain
n Islam
m saja
sa
aja
a?’
? Ia me
enj
n aw
wab,
’Y
Ya,
a say
aya
a ju
uga
a me
en
nam
mak
a an
nny
nya
a se
ela
ain
i
Isla
la
am.
m”
Para Ulama Mengecam Murji’ah
Berikut beberapa komentar para ulama
tentang paham Murji’ah:
Al-Auza’i berkata, “Yahya dan Qatadah
berkata:
   
   
           
 

  
  
’Tidak ada kelompok budak hawa nafsu
yang lebih kami takutkan keberadaan
mereka di tengah umat selain murji’ah’.”
At-Thabari meriwayatkan dari Umar bin
Marrah dan dia berkata, “Saya melihat
pemahaman orang khawarij, mereka
adalah sejelek-jelek kaum. Saya juga
melihat pemahaman orang Syiah, mereka
juga sejelek-jelek kaum. Begitu pula
ketika saya melihat pemahaman orang
Murji’ah, mereka sama saja, seandainya
ada kebaikan di dalam Murji’ah maka
saya adalah seorang Murji’ah. Saya (Ath
Ibnu Mujahid berkata, ”Ketika itu saya
bersama Atha’ bin Abi Rabah, kemudian
datang anaknya Ya’kub dan berkata pada
ayahnya, ’Ayahku, sahabat-sahabatku
menyangka bahwa keimanannya seperti
keimanan Jibril.’ Atha’ menjawab,
’Anakku, keimanan seseorang yang taat
kepada Allah berbeda dengan iman
seseorang yang bermaksiat pada-Nya.”
“Seperti Yahudi, Nashara, Shabiah.”
Perkataan Sa’id bin Jabir tentang
Murji’ah yang diriwayatkan Ahmad
bin Sa’id. Dia menambahkan, “Mereka
adalah pengekor Yahudi.”
Para salaf melarang untuk menyalami
dan duduk dengan mereka.
Ayub As-Sakhtiyani berkata, ”Sa’id bin
Jabir berkata padaku, ’Jangan duduk
bersama Thalaq--Thalaq bin Khubaib-karena dia seorang Murji’ah. Sa’id
berkata lagi karena melihatku duduk
bersama Thalaq bin Khubaib, dia
berkata, ”Apa kamu pernah melihatku
kiblat
muharram 1436 h
57
duduk bersamanya? Aku menjawab, yang sangat gamblang.”
’Tidak’ Sa’id berkata lagi, ’Karena dia
Politik Murji’ah Menyenangkan
berpaham Irja’.”
Penguasa
Lajnah Daimah juga mengeluarkan
fatwanya no. 21436 tanggal 8/4/1421
H tentang bahaya pemikiran Irja’.
Fatwa ini dikeluarkan berangkat dari
beberapa pertanyaan serupa mengenai
Murji’ah. Para penanya mengeluhkan
ulah kaum Murji’ah yang memotongmotong perkataan Ibnu Taimiyah untuk
melegitimasi pemahamannya. Komite
yang diketuai Abdul Aziz bin ‘Abdillah
bin Muhammad Alu Syaikh ini dengan
tegas mengatakan,
“Dampak negatif dari kesesatan paham
ini antara lain: membatasi kekufuran
hanya pada kufur at-takdzib (kufur
karena mendustakan) dan istihlal alqalb (adanya penghalalan dalam hati).
Tiada keraguan lagi bahwa ini adalah
perkataan yang bathil dan kesesatan
nyata yang jelas menyelisihi al-Qur’an
dan as-Sunnah serta menyelisihi Ahlus
Sunnah, baik dari generasi salaf maupun
khalafnya. Paham ini juga membuka
jalan bagi para pelaku kejahatan dan
kerusakan untuk berpaling dari dien dan
untuk meniadakan keterikatan dengan
perintah dan larangan Allah, serta takut
dan khasyyah kepada Allah.”
Lajnah Daimah juga memperingatkan
bagi kaum muslimin terhadap kaum
Murji’ah yang menguatkan paham
sesatnya dengan nukilan-nukilan dari
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan para
ulama lainnya dengan nukilan yang tidak
teratur (semrawut), hanya dicari yang
mirip dengan paham mereka dan tidak
mendasarkan kepada nukilan mereka
Seperti dikatakan Ibnu Taimiyyah dalam
Al-Inhirafat Al-‘Aqdiyah wal Amaliyah
halaman 119-120 bahwa orang-orang
Murji’ah telah melakukan kesalahan
yang nyata. Mereka mengira bahwa iman
cukup dengan pembenaran, penguatan
hati serta pernyataan dengan lisan saja.
Akibat
dari
pemahaman
seperti
ini sangatlah fatal. Orang Murji’ah
menyangka bahwa seseorang akan
menjadi sempurna imannya hanya dengan
hati saja, di sisi lain dia mencela Allah,
Rasul-Nya dan melaksanakan segala hal
yang membatalkan keislamannya. Tak
ayal jika pemahaman seperti ini akan
merusak Islam dari dalam dan ternyata
An-Nadhar
bin Syumail
berkembang
di era ini.
berkata, “Saya masuk ke
tempat Al-Ma’mun, lalu
ia bertanya, ‘Bagaimana
kabarmu pagi ini, wahai
Nadhar?’
Saya menjawab, ‘Baikbaik saja, wahai Amirul
Mukminin.’
Ia bertanya lagi, ‘Apakah
Murji’ah itu?’
Saya menjawab, ‘Murji’ah
adalah agama yang
menyesuaikan para raja.
Mereka mendapatkan
kekayaan dunia dengan
agama dan mengurangi
agama mereka.’
Al-Makmun berkata, ‘Kamu
benar.’”
kiblat
muharram 1436 h
58
pendahulunya sesumbar, ‘Dan Fir’aun
berseru kepada kaumnya (seraya)
berkata, ‘Hai kaumku, bukankah
kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan
(bukankah) sungai-sungai ini mengalir
di bawahku; maka apakah kamu tidak
melihat(nya)?’ (Az-Zukhruf: 51)
Penguasa-penguasa negara di era ini
kebanyakan atau bahkan seluruhnya
menggunakan sistem dan hukum positif
(buatan
manusia).
Hukum-hukum
Allah yang telah final dan memang
diperuntukkan manusia dibuang dan
diganti
dengan
hukum
gagasan manusia sendiri.
Dengan doktrin
Seolah manusia lupa bahwa
politik neohanya Allah Maha Tahu apa
Murji’ah, mereka
yang terbaik buat mereka.
Syaikh Abu Mus’ab As-Suri
mengatakan, “Akan tetapi,
terang-benderangnya
hal
ini—penggunaan
hukum
positif—ternyata
ada
kelompok yang membelanya
dan tetap menjadikannya
ulil amri. Kelompok ini
berpendapat
bahwa
penguasa adalah pemimpin
yang sah dan wajib ditaati.
Para penguasa tetaplah
muslim, mereka ulil amri yang
berhak ditaati, walaupun
mereka merampas harta dan
mencambuk punggung kita.
Umat ini tetap harus berkata,
‘Kami ridha.’ Ya, mereka
tetap muslim, walaupun
mengambil harta rakyat dan
mencambuk punggung.
bersabar untuk
menangguhkan
dan memaafkan
perlakuan jahat
para penguasa.
Akan tetapi,
mereka tidak
bersabar untuk
menangguhkan
aksi para
mujahid, lalu
dituding sebagai
anjing-anjing
neraka, yang
tidak akan
mencium bau
surga, boleh
dibunuh, disalib,
dipotong
silang tangan
dan kakinya
dan diusir
dari tempat
kediamannya di
dunia ini
Kelompok
ini
lebih
melonggarkan lagi kepada
mereka dengan tambahan;
walaupun para penguasa melecehkan
harga diri dan menumpahkan darah
kita; walau mereka berteriak dengan
kata dan perbuatan seperti para
Walaupun,
para
penguasa
tersebut
terang-terangan
mengatakan
ketidakcocokan hukum syariah
untuk zaman sekarang.
Walaupun
mereka
mengangkat pelindung
dari musuh-musuh Allah.
Walau mereka berperang
dan memberangkatkan
tentara untuk berperang
di bawah panji-panji
Yahudi
dan
Nasrani
untuk
membunuh
muslimin. Dan walau…
walau… yang lain.
Dapat kita bahasakan
dengan mudah dan
gamblang
bahwa
Murji’ah adalah paham
yang
menganut
politik menyenangkan
penguasa. Ibnu Asakir
meriwayatkan
melalui
jalur An-Nadhar bin
Syumail, berkata, “Saya
masuk ke tempat AlMa’mun,
lalu
dia
bertanya,
‘Bagaimana
kabarmu pagi ini, wahai Nadhar?’ Saya
menjawab, ‘Baik-baik saja, wahai Amirul
Mukminin.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah
Murji’ah itu?’ Saya menjawab, ‘Murji’ah
kiblat
muharram 1436 h
59
adalah agama yang menyesuaikan para
raja. Mereka mendapatkan kekayaan
dunia dengan agama dan mengurangi
agama mereka.’ Al-Makmun berkata,
‘Kamu benar.’’
Bukankah penguasa tersebut menunaikan
shalat idul Fitri dan idul Adha? Bukankah
dia merayakan hari kelahiran nabi?
Bukankah dia berzina dengan dalih nikah
mut’ah yang dikatakan sebagian dari
penguasa tersebut? Bukankah ketika
penguasa
menelanjangi
kebebasan
dan pakaian kaum Muslim di berbagai
penjara
dan
penyiksaan
terhadap
mereka, dia beralasan dengan perkataan
Ali a kepada utusan Hatib bin Abu
Balta’ah, ‘Keluarkan suratmu, atau
kami akan menelanjangimu!’ Bukanlah
penguasa dianjurkan untuk membunuh
sepertiga rakyatnya untuk menerima dua
pertiga? Alasan-alasan seperti itu telah
ditunjukkan oleh para ulama penipu hari
ini yang berperilaku seperti Dajjal.
Mufti Agung di Pakistan, Rafi’ Utsmani,
mengatakan bahwa orang-orang yang
terbunuh karena membela jiwa mereka
melawan berbagai serbuan tentara
Pakistan, bukanlah syuhada. Rafi’ Utsmani
membantah hukum hadits Rasulullah n.
bahwa barang siapa mati membela harta,
jiwa, atau kezaliman terhadap dirinya,
atau agamanya, dia mati syahid.
yang serupa dengan mereka aman
dan terlindungi. Tidak diperbolehkan
bermusuhan
dengan
mereka
di
negara kita atau di negara mereka. Dia
menarik kembali pernyataan kebolehan
praktek-praktek istisyhad (bom syahid)
sebelumnya dari Darul Fatwa dan berkata,
“Kami tidak mewajibkan jihad kecuali bila
pemerintah, Musharraf, mewajibkannya,
seperti kasus beberapa hari ketika Dhiyaul
Haq menuntut jihad melawan Rusia.” Dia
menambahkan bahwa (a) barang siapa
bertempur bersama Amerika melawan
kaum muslimin, dia hanya berdosa saja
dan tidak kafir dan (b) berhukum dengan
selain hukum Allah berdosa, namun
tidak mengeluarkan dari Islam, yaitu
kemungkinan yang paling keras hanya
kafir kecil (kufur ashghar).
Bila kita memperhatikan doktrin politik
neo-Murji’ah, mereka bersabar untuk
menangguhkan
dan
memaafkan
perlakuan dan aksi para raja dan
penguasa. Akan tetapi, mereka tidak
bersabar untuk menangguhkan aksi para
mujahid, sehingga menghukumi bahwa
mereka adalah anjing-anjing penghuni
neraka, yang tidak akan mencium
bau surga dan boleh dibunuh, disalib,
dipotong silang tangan dan kakinya serta
diusir dari tempat kediamannya di dunia
ini.” Na’udzu billah![Dhany]
Rafi’ Utsmani juga menyatakan bahwa
orang-orang Amerika dan orang-orang
kiblat
muharram 1436 h
60
kiblat
muharram 1436 h
61
hubungan
rakyat
dan
penguasa
Sebuah negeri
akan menjadi
Darul Islam
dengan dominasi hukum
Islam di dalamnya.
B
agi umat Islam, memahami status sebuah negeri
sangatlah penting. Dari pemahaman inilah
hubungan antara mereka dengan negeri dan
penduduknya dibangun. Dalam terminologi
Islam negeri atau wilayah kekuasaan hanya dibagi
menjadi dua. Yaitu negeri Islam (darul Islam) dan negeri
kafir (darul kufr). Untuk mengetahui lebih jauh apa yang
dimaksud dengan darul Islam dan darul kufr mari kita
simak perkataan para ulama’ berikut ini tentang negeri
Islam.
•
Imam Ibnul Qayyim berkata,” Mayoritas ulama
mengatakan bahwa Daarul Islam adalah negeri yang
dikuasai oleh umat Islam dan hukum-hukum Islam
diberlakukan di negeri tersebut. Bila hukum-hukum
Islam tidak diberlakukan, negeri tersebut bukanlah
Daarul Islam, sekalipun negeri tersebut berdampingan
dengan sebuah Darul Islam. Contohnya adalah Thaif,
sekalipun letaknya sangat dekat dengan Makkah,
namun dengan terjadinya fathu Mekkah; Thaif tidak
kiblat
muharram 1436 h
62
Mengantre pencairan dana Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS). [Foto: Kabar24]
berubah menjadi Darul Islam.” (Ahkamu
Ahli Dzimmah 1/366, Ibnu Qayyim).
•
Alaudin Al-Kasani Al-Hanafi berkata,
“Sebuah negeri akan menjadi negeri
Islam ( darul Islam ) dengan dominasi
hukum Islam di dalamnya.” (Bada’iush
Shanai’ fi Tariibisy Syarai’ 7/130).
•
Abu Zahrah berkata,
“Negeri Islam
adalah negeri yang diatur dengan
kekuasaan
kaum
muslimin
yang
kekuatan dan dominasi dipegang oleh
kaum muslimin, negeri yang seperti ini
wajib dibela oleh kaum muslimin, dan
berjihad mempertahankannya adalah
fardu kifayah.” (Al-‘Ilaqat ad dauliyah fil
Islam, 53)
•
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata,
“Negeri Islam adalah negeri yang
diperintah oleh kaum muslimin, hukum
Islam berlangsung di dalamnya dan
diterapkan oleh orang-orang islam,
walaupun
mayoritas
penduduknya
adalah orang kafir.” (Fatawa Sa’diyah, 92)
Dari pengertian di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa sebuah negeri dikatakan
negeri Islam jika hukum yang berlaku di
dalamnya adalah hukum Islam. Lantas
bagaimana dengan sebuah negeri yang
tidak berhukum dengan hukum Islam akan
tetapi mayoritas penduduknya adalah umat
Islam? Maka jika syarat mutlak sebuah negeri
bisa disebut negeri Islam adalah berlakunya
hukum Islam, maka negeri jenis ini belum
layak disebut negeri Islam walaupun salah
satu komponennya yaitu rakyatnya adalah
mayoritas umat Islam.
Sebaliknya jika sebuah negeri menerapkan
sistem hukum Islam, sedanggkan mayoritas
rakyatnya
adalah
non-Muslim
maka
negeri tersebut layak disebut negeri Islam,
karena hukum Islam berlaku di dalamnya.
negeri jenis ini pernah terjadi pada zaman
Rasulullah n. Yaitu Khabar. Ketika Rasulullah
n menaklukkannya pada tahun 7 H, beliau
menyetujui kaum Yahudi tetap tinggal di
Khaibar dan menggarap lahan pertaniannya
kiblat
muharram 1436 h
63
(hadits Bukhari no. 4248). Rasulullah n lalu
mengutus seorang shahabat Anshar sebagai
amir (penguasa) Khaibar {hadits Bukhari no.
4246). Jadi, sebagian besar warga negeri
Khaibar adalah kaum Yahudi, sampai mereka
diusir oleh Umar bin Khaththab pada masa
kekhilafahannya. Meski demikian hal ini
tidak menghalangi status Khaibar sebagai
sebuah negeri Islam, karena Khaibar berada
di bawah kekuasaan kaum muslimin dan
hukum-hukum Islam diberlakukan di Khaibar.
Abul Qasim Ar Rafi’i Asy Syafi’i mengatakan,
“Untuk disebut sebagai negeri Islam, suatu
negeri tidak berlaku syarat di dalamnya
harus ada kaum muslimin, tetapi cukup
dengan keberadaan negeri tersebut berada
di bawah pemerintahan seorang penguasa
muslim.” (Fathul Aziz Syarhu Al Wajiz 8/14).
Adapun tentang pengertian negeri Kafir
(Darul Kufr) sudah dapat disimpulkan dari
pengertian negeri Islam sebelumnya. Jika
negeri Islam adalah negeri yang menjadikan
syariat Islam sebagai landasan hukum, maka
negeri Kafir adalah sebaliknya. Berikut kami
nukilkan definisi negeri Kafir yang disebutkan
oleh para ulama.
Al-Kasani berkata, “Sebuah negeri akan
menjadi negeri kafir apabila hukum kafir
mendominasi di dalamnya.” (Bada’iush
Shanai’ fi Tartiibisy Syarai’ 7/131).
Abu Yusuf dan Muhammad Asy-Syaibani
berkata, “Jika mereka menampakkan hukum
syirik di dalam sebuah negeri, maka negeri
tersebut telah jadi negeri kafir, karena
penisbatan kekafiran atau keislaman sebuah
daerah dilihat dari kekuatan dan dominasi.
Maka setiap tempat yang didominasi hukum
syirik, itu adalah tempat orang-orang
musyrik dan tempat tersebut menjadi negeri
harb (boleh diperangi)." (Al Mabsut 10/114)
Al-Qadhi Abu Ya’la Al-Hanbali mengatakan,
“Setiap negeri di mana hukum yang dominan
(superioritas hukum) adalah hukum-hukum
kafir dan bukannya hukum-hukum Islam,
adalah Darul kufri.” (Al Mu’tamadu fi Ushuli
Dien, 276).
Hukum Tinggal di Negeri Kafir
Seorang muslim diharuskan
melaksanakan agamanya secara
Sebagaimana firman Allah :
untuk
kaffah.
  
 
   
 
  
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam agama Islam secara
kaffah.” (Al-Baqarah: 208)
Untuk melaksanakan Islam secara kaffah maka
seorang muslim membutuhkan naungan
sebuah institusi berupa negeri. Hal ini dapat
dilihat dari sejarah Nabi n. Bagaimana
beliau membangun sebuah kekuatan yang
akhirnya menjadi kekuatan yang disegani
kawan maupun lawan. Titik tolaknya adalah
saat Nabi Muhammad n hijrah ke Madinah.
Di sana Rasulullah dan kaum muslimin bisa
dengan leluasa menjalankan syariat Islam
dengan aman dan nyaman tanpa khawatir
gangguan dari musuh-musuh Islam.
Dari peristiwa sejarah ini dan tuntutan untuk
menjalankan Islam secara kaffah maka
seorang muslim haruslah hidup di bawah
naungan negeri Islam. Lantas bagaimana
dengan umat Islam yang tidak tinggal di
negeri Islam? Dalam hal ini Ibnu Qudamah
dalam kitab beliau yang cukup fenomenal
yaitu Al-Mughni menyebutkan ada beberapa
kondisi seorang muslim yang tinggal di
negeri kafir.
1. Kondisi pertama adalah seorang muskiblat
muharram 1436 h
64
lim yang tidak bisa menampakkan syiar
agamanya di negeri kafir, dan mampu
untuk hijrah, maka dalam kondisi seperti
ini wajib baginya hijrah. Haram baginya
untuk tinggal di negeri kafir. Hal ini didasarkan kepada firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya
diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu
ini.’ Mereka menjawab, ‘Adalah kami orangorang yang tertindas di negeri (Mekkah).’
Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah
di bumi itu. Bagi mereka adalah Jahannam
dan ia adalah seburuk-buruk tempat kembali.’” (An Nisa’: 97).
Dalam tafsir Fathul Qadir dijelaskan bahwa ayat ini berbicara tentang orangorang yang mengaku muslim tapi tidak
mau berhijrah, sehingga mereka dipaksa oleh orang Quraisy untuk keluar berperang melawan pasukan umat Islam
saat perang Badar.
Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman :
 
      
  
    
  

  
  
“Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak
ada kewajiban atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah.” (Al-Anfal: 72).
Ayat ini menjelaskan bahwa orang muslim yang tidak mau berhijrah maka
mereka tidak mendapatkan perlindungan Nabi n. Rasulullah n bersabda :

   
    
          
  
 

    
 
  
“Saya berlepas diri dari setiap muslim
yang tinggal di tengah-tengah kaum
musyrik, supaya api keduanya tidak bertemu.” (HR. Abu Daud dengan sanad
mursal shahih).
2. Kondisi kedua adalah seorang muslim
yang tidak mampu menampakkan agamanya dan juga dalam keadaan lemah,
sehingga tidak bisa berhijrah. Kelompok
ini tidak wajib berhijrah karena kelemahan mereka. Ketidakmampuan mereka
untuk hijrah bisa disebabkan paksaan
dan intimidasi, kelemahan orang tua,
anak-anak dan orang-orang yang seperti mereka. Orang-orang dengan kondisi
ini dibolehkan tetap tinggal di negeri kafir. Hal ini didasarkan pada firman Allah
l:
“Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak
yang tidak berdaya dan tidak mengetahui
jalan (untuk berhijrah)." (An-Nisa’: 97).
3. Kondisi ketiga adalah seorang muslim mampu menampakkan agamanya
di negeri kafir dan juga mampu untuk
berhijrah. Hukum hijrah ke negeri Islam
bagi kelompok dengan kondisi seperti
ini adalah sunnah. Mereka boleh untuk
tinggal di negeri kafir. Kondisi inilah yang
dialami oleh paman Nabi n Abbas bin
Abdul Muthalib saat berada di kota Mekkah.
Untuk kelompok ketiga, Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin
dalam Majmu’
Fatawanya, fatwa nomor 288, beliau
memberikan dua syarat agar seorang bisa
tinggal di negeri kafir.
kiblat
muharram 1436 h
65
• Orang yang tinggal di negeri kafir bisa terjaga agamanya yaitu dengan mempunyai
ilmu, iman dan tekad yang membuatnya
bisa bertahan dengan agamanya. Ia juga
hendaknya selalu waspada terhadap kesesatan, memendam permusuhan kepada
orang kafir, membenci mereka, dan menghindari berwala’ dan cinta kepada orang
kafir Karena sesungguhnya berwala kepada orang kafir menafikan keimanan.
• Hendaknya orang yang akan tinggal di
negeri kafir mampu menampakkan agamanya dengan melakukan syiar-syiar agama tanpa adanya yang melarang. Tidak
dilarang untuk mengerjakan shalat fardu
berjamaah, shalat Jum’at jika memang ada
orang yang melakukan Jum’at dan jamaah.
Ia juga tidak dilarang untuk membayar
zakat, menunaikan puasa dan naik haji.
Apabila ia tidak mampu melakukan hal
tersebut, ia dilarang tinggal di negeri kafir.
Ia wajib hijrah.
Realita Hari Ini
Dapat disimpulkan bahwa hari ini kita akan
mendapati negeri Islam yang sesuai dengan
definisi yang disebutkan para ulama. Karena
tidak ada negeri yang menjadikan syariat
Islam sebagai alat untuk mengatur negeri.
Bila dihubungkan dengan kondisi kaum
muslimin, kita tentu akan menemukan
orang-orang yang wajib berhijrah, tetapi ke
mana tujuannya? Solusinya, kita bisa melihat
kemampuan menampakkan Islam di tempat
kita saat ini. Jika kita dihalang-halangi untuk
beribadah dan melakukan syiar-syiar Islam,
kita harus mencari tempat yang lebih baik
untuk melakukan ibadah dan syiar-syiar
Islam, walaupun negeri itu tidak berhukum
dengan hukum Allah.
Seorang yang muslim
mampu menampakkan
agamanya di negeri kafir
dan juga mampu untuk
berhijrah. Hukum hijrah ke negeri Islam bagi
kelompok dengan kondisi
seperti ini adalah sunnah. Mereka boleh untuk
tinggal di negeri kafir.
Kondisi inilah yang dialami oleh paman Nabi n
Abbas bin Abdul Muthalib saat berada di kota
Mekkah.
Upaya mencari tempat untuk menyelamatkan
agama pernah dilakukan oleh orang-orang
lemah (mustadh’afin) dari kalangan sahabat,
saat gangguan musyrikin Quraisy semakin
menjadi-jadi. Istri Nabi n Ummu Salamah
x berkata, “Saat Mekkah menjadi sempit
bagi kami (karena gangguan kuffar Quraisy),
dan sebagian sahabat nabi diganggu dan
mendapat cobaan dan mereka melihat
cobaan yang diberikan kepada mereka
dan ujian yang menimpa agama mereka
sementara Rasulullah tidak bisa mencegah
hal tersebut karena saat itu rasulullah dan
pamannya sedang diembargo kaumnya,
sehingga tidak sampai kepada beliau kabar
tentang apa yang diterima ( ujian ) oleh para
kiblat
muharram 1436 h
66
sahabatnya. Rasulullah n berkata kepada
mereka, ‘Sesungguhnya di negeri Habasyah
ada seorang raja yang tidak menzalimi siapa
pun. Pergilah ke negerinya sampai Allah
memberikan kepada kalian jalan keluar.” ( HR
Baihaqi dengan sanad hasan ).
Dalam kaidah fiqih disebutkan “Ma laa
yudraku kulluh la yutraku julluh”, yaitu
sesuatu yang tidak bisa dicapai seluruhnya,
tidak harus ditinggalkan sama sekali.
Misalnya, hari ini kita tidak bisa hidup di
bawah negeri yang menjadikan syariat
Islam sebagai dasar hukum, akan tetapi
hal tersebut tidak lantas menjadi alasan
untuk tidak menjalankan syariat Islam. Di
negeri mana kita berada, tugas kita adalah
melaksanakan Islam semampunya, dengan
tetap berupaya mewujudkan cita-cita umat
Islam, yaitu berada di bawah naungan
sebuah negeri yang menjadikan syariat
Islam sebagai penguasa.
Lantas, bagaimana cara kita berinteraksi
dengan negeri yang tidak berhukum dengan
hukum Allah?
Untuk mengetahui cara berinteraksi dengan
sebuah negeri yang tidak berhukum dengan
hukum salah, setidaknya kita harus membagi
interaksi dengan sebuah negeri yang tidak
berhukum dengan hukum Islam dengan dua
bagian.
1. Interaksi yang berkaitan dengan masalah hukum dan perundang-undangan.
Sebagai seorang muslim yang taat seharusnya menghindari interaksi jenis
ini, entah itu dengan bekerja di instansi
yang membuat hukum, atau menjalankan dan menjaga keberlangsungannya,
karena berhukum dengan hukum Allah
adalah sesuatu yang dapat membatalkan keislaman seorang muslim. Allah l
berfirman :
   
 
   
    
  
    
“Dan putuskanlah perkara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah,
dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka.” (Al Maidah : 49)
Ayat di atas adalah perintah untuk
memutuskan perkara dengan hukum
Allah, berarti larangan atas sebaliknya
yaitu tidak memutuskan perkara dengan
hukum Allah.
     
            

      
 
“Apakah hukum jahiliah yang mereka inginkan? Dan (hukum) siapa yang lebih baik Allah dari hukum Allah bagi orang-orang yang
yakin.” (Al Maidah : 50)
Ayat ini adalah perintah untuk memutuskan/ berhukum dengan hukum Allah,
berarti larangan atas sebaliknya yaitu
tidak berhukum dengan hukum Allah.
         
  
 
   
  
“Barang siapa yang berhukum dengan selain
apa yang diturunkan Allah maka dia adalah
orang-orang yang kafir.” (Al Maidah : 44)
    
   
 

    
  
  
    
   
    
  
  

     
“Demi Rabbmu sungguh mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu atas
segala perselisihan yang terjadi di antara
mereka, kemudian tidak ada dalam hati
kiblat
muharram 1436 h
67
mereka rasa tidak senang atas apa yang
engkau putuskan, dan mereka menerimanya
dengan penuh penerimaan.” (An-Nisa’ : 65).
Dan ayat-ayat lainnya yang senada dengan ayat di atas.
2. Interaksi yang berkaitan dengan hubungan muamalah.
Interaksi dengan negeri yang tidak
berhukum dengan hukum Allah yang
kaitannya dengan muamalah banyak
ragamnya. Akan tetapi perlu dipahami
bahwa interaksi dengan sebuah negeri
yang tidak berhukum dengan hukum
Allah bisa dianalogikan dengan berinteraksi dengan orang kafir, karena sama-sama interaksi dan sama-sama kafir, hanya
yang berbeda adalah obyeknya, yang
satu negeri sementara yang satu lagi
adalah personal. Sebagaimana bermuamalah dengan orang kafir diperbolehkan, maka berhubungan muamalah dengan negeri yang tidak berhukum dengan
hukum Allah juga diperbolehkan. Hal ini
didasarkan kepada kaidah “Al-Ashlu fil
mu’amalah al-ibahah.” Hukum asal muamalah adalah mubah. Kaidah ini hanya kerangka besar dalam berhubungan
dengan negeri yang tidak berhukum
dengan hukum Allah, akan tetapi bukan
berarti setiap muamalah diperbolehkan,
tentunya perlu dikaji kasus per kasus.
Sebagai contoh kasus adalah pelayanan
yang diberikan oleh pemerintah, baik
itu berupa perbaikan jalan, sekolah dan
berobat gratis.
Menjadi sebuah dilema bagi seorang
muslim yang tinggal di sebuah negeri
yang tidak berhukum dengan hukum Islam jika ada fasilitas atau layanan yang
diberikan negeri kepada rakyatnya. Baik
itu berupa pelayanan kesehatan, perbaikan jalan, dan sekolah gratis. Apakah
bisa dimanfaatkan atau tidak?
Untuk mengetahui hal tersebut kita harus mengonversikan pelayanan yang
diberikan oleh negeri yang tidak berhukum dengan hukum Allah kepada istilah
fiqih, atau dalam Bahasa fikih disebut
“takyiiful fiqhy”.
• Pelayanan merupakan sebuah pemberian cuma-cuma yang diberikan
sebuah negeri kepada rakyatnya. Dalam hal ini secara istilah fikih
pemberian cuma-cuma bisa disebut
hadiah atau hibah.
• Pihak penyedia layanan atau pemberi layanan adalah negeri yang
tidak berhukum dengan hukum Allah, maka sesuai teori pembagian
negeri yang sudah dijelaskan di atas,
maka negeri seperti ini disebut negeri kafir.
3. Pihak penerimanya adalah seorang muslim.
Takyiifu fiqhinya adalah “seorang muslim menerima hadiah dari orang kafir”. Untuk melihat boleh atau tidaknya,
mari kita lihat dalil-dalil yang ada. Berdasarkan hadits-hadits yang ada maka
seorang muslim menerima hadiah atau
hibah dari orang kafir adalah boleh. Di
antaranya adalah :
• Hadits dari Abu Hurairah, dari Nabi
Muhammad n bahwa Ibrahim q
hijrah bersama Sarah, kemudian
beliau memasuki sebuah perkampungan yang dipimpin oleh raja
atau seorang yang raja yang kejam
Kemudian raja tadi berkata, “Berikanlah kepadanya Hajar.” (HR Bukari, Bab Menerima Hadiah dari Orang
Musyik). Dalam hadits ini diterangkan bagaimana Ibrahim q menerima
hadiah dari seorang raja yang kejam,
yaitu Hajar yang kemudian menjadi
istrinya.
kiblat
muharram 1436 h
68
• Hadits Anas bin Malik a bahwa
seorang wanita Yahudi memberikan
kambing yang sudah diberi racun
kepada Nabi n dan beliau memakannya (HR. Bukhari no. 2617)
• Anas a berkata, “Nabi mendapatkan hadiah sebuah jubbah dari
sutera, padahal beliau melarangnya.
Orang-orang pun menjadi heran.
Kemudian Nabi berkata, ‘Demi Dzat
yang jiwa Muhammad berada di tangannya sapu tangan Sa’d bin Muadz
yang berada di surga lebih baik dari
ini.” (HR. Muslim no. 2615)
Hadits-hadits
di
atas
menerangkan
kebolehan menerima hadiah dari orang
kafir. Adapun hadits yang menyatakan Nabi
n tidak mau menerima hadiah dari orang
kafir, menurut Ibnu Hajar hadits tersebut
derajatnya Mursal, sehingga tidak cukup
kuat untuk membantah hadits-hadits di
Shahih Al-Bukhari. Maka dengan kajian di
atas dapat itu simpulkan bahwa menerima
dan memanfaatkan fasilitas dan pelayanan
yang diselenggarakan oleh negeri yang tidak
berhukum dengan hukum Allah merupakan
sesuatu yang diperbolehkan. Karena hal
tersebut sama halnya dengan menerima
hadiah dari orang kafir. Wallahu a’lam.
[Miftahul Ihsan].
Nabi mendapatkan
hadiah sebuah jubbah
dari sutera, padahal
beliau melarangnya.
Orang-orang pun
menjadi heran.
Kemudian Nabi
berkata, 'Demi Dzat
yang jiwa Muhammad
berada di tangannya
sapu tangan Sa’d bin
Muadz yang berada di
surga lebih baik dari
iini'.
ni'..
kiblat
muharram 1436 h
69
penguasa
saleh
rakyat pun
saleh
A
langkah
indahnya
bila
penguasa yang menaungi
kehidupan umat Islam adalah
imam yang adil. Rasulullah n
bersabda, “Makhluk yang paling dicintai
Allah adalah imam yang adil, sedangkan
yang paling dimurkai adalah imam yang
jahat.” Tidak ada umat yang benci bila
hadis seperti ini benar-benar ada dalam
kehidupan nyata.
Penguasa yang adil adalah orang
yang adil di tengah rakyatnya adalah
yang menegakkan syariat Islam secara
menyeluruh. Syaikh Ibnu Utsaimin dalam
Syarh Riyadhus Shalihin mengatakan,
“Penguasa yang adil adalah orang
yang adil di tengah rakyatnya. Tidak
ada keadilan yang lebih lurus dan wajib
daripada berhukum dengan syariat Allah
di tengah-tengah mereka. Inilah pokok
keadilan. Karena Allah mengatakan,
‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (AnNahl: 90). Maka siapa yang memerintah
rakyatnya dengan selain syariat Allah, ia
bukanlah penguasa yang adil.”
Tetapi bila faktanya penguasa tidak adil
dan tidak menegakkan syariat Islam;
penguasa justru mencampakkan Islam dan
menggantinya dengan undang-undang
positif, siapa yang salah? Pemimpin buruk
itu salah rakyat atau rakyat buruk karena
pemimpinnya buruk?
Ulama telah menjelaskan secara lengkap
persoalan ini. Pemimpin dan rakyat adalah
sama-sama manusia yang bisa salah. Tidak
ada yang menganggap maksum kecuali
keyakinan Syiah terhadap para imam
mereka. Oleh karena itu, kedua pihak
berada dalam lingkup saling menasihati,
seperti digambarkan dalam hadis Nabi n
“Dien ini adalah nasihat.” Salah satunya
adalah nasihat untuk para pemimpin
kaum muslimin. Inilah hakikat kehidupan
kiblat
muharram 1436 h
70
dan hubungan antara pemimpin dan hikmah-Nya tatkala Dia menjadikan
rakyat dalam konsep Islam.
para raja, penguasa dan pemegang
tampuk pemerintahan sesuai dengan
Rakyat Buruk, Pemimpin Buruk
amalan yang dilakukan oleh para rakyat
Satu sisi yang harus berusaha menjadi di dalam negeri tersebut. Bahkan,
salah adalah rakyat. Bila keburukan amalan dari para rakyat akan tercermin
telah menyebar luas dalam masyarakat, dari tingkah laku para penguasanya.
Allah bisa kapan saja murka dan — Apabila rakyat di dalam negeri tersebut
naudzubillah— memberikan musibah komitmen dalam menjalankan syariat,
kepada mereka dengan berkuasanya maka tentu penguasanya pun demikian.
pemimpin yang zalim. Dalam hal ini Apabila mereka berlaku adil, maka para
penguasa akan berlaku adil kepada
Allah berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan mereka. Apabila mereka suka berbuat
sebahagian orang-orang yang zal- kemaksiatan, maka para penguasa
im itu menjadi teman bagi sebagi- juga akan senantiasa berbuat maksiat.
an yang lain disebabkan apa yang Apabila rakyat senantiasa berbuat makar
mereka usahakan.” (Al-An’am: dan tipu daya, maka tentulah penguasa
129)
demikian pula keadaannya. Apabila para
rakyat tidak menunaikan hak-hak Allah
Al-Alusi menjelaskan ayat ini dengan
serta mengabaikannya, maka penguasa
ungkapan, “Bila rakyat zalim, Allah akan
mereka pun juga akan berbuat hal yang
menguasakan orang zalim pula kepada
sama, mereka akan melanggar dan
mereka.”
tidak menunaikan hak-hak para
Hal yang sama juga disebutkan
rakyatnya.
oleh Al-Qurtubi, “Bila
Apabila rakyat sering
Allah ridha kepada suatu
melanggar hak kaum yang
kaum, Dia menguasakan
lemah dalam berbagai
urusan kepada orang
interaksi mereka, maka
yang terbaik di antara
para
penguasa
akan
mereka.
Bila
Allah
melanggar
hak
para
murka kepada suatu
rakyatnya secara paksa,
kaum, Dia menguasakan
menetapkan
berbagai
urusan mereka kepada
pajak dan pungutan liar
orang yang terburuk.
kepada mereka. Setiap
Nabi
n
bersabda,
mereka (yakni rakyat)
‘Siapa yang menolong
mengambil hak kaum
orang zalim, Allah akan
yang lemah, maka hak mereka pun
menguasakan kepadanya.”
akan diambil secara paksa oleh para
Ibnul Qayyim juga melihat hal yang penguasa. Sehingga para penguasa
sama dalam menafsirkan ayat tersebut. merupakan cerminan amal dari para
Beliau mengatakan, "Perhatikanlah rakyatnya."
Bila rakyat
zalim,
Allah akan
menguasakan
orang zalim
pula kepada
mereka.
kiblat
muharram 1436 h
71
Artinya sebagai otokritik pada sisi ini,
rakyat harus memperbaiki diri agar Allah
tidak menimpakan pemimpin yang zalim
kepada mereka. Adalah kezaliman bila
menuntut orang lain adil, sedangkan
diri sendiri tidak adil. Maka wajar ketika
Abdul Malik bin Marwan berkata kepada
rakyatnya, “Kalian tidak adil terhadap
kami wahai seluruh rakyat! Kalian
menginginkan kami seperti Abu Bakar
dan Umar, namun kalian tidak berlaku
seperti kami dan juga pada diri kalian.”
Demikian pula Ubaidah bin As-Salmani
ketika bertanya kepada Ali a, “Wahai
Amir Mukminin, mengapa manusia taat
kepada Abu Bakar dan Umar. Kekayaan
dunia pada waktu itu lebih sempit
daripada sejengkal, lalu menjadi luas
pada masa keduanya. Ketika engkau dan
Utsman menjadi khilafah, dunia terbuka
luas pada awalnya namun kemudian
menjadi lebih sempit daripada sejengkal.”
Ali menjawab, “Karena rakyat Abu Bakar
dan Umar seperti aku dan Utsman,
sedangkan rakyatku sekarang adalah
kamu dan orang-orang seperti dirimu.”
(Sirajul Muluk, Imam Ath-Thurthursyi,
94).
Kesalehan Penguasa Kesalehan
Rakyat
Sisi lain dan inilah yang utama adalah
kesalehan pemimpin. Rakyat akan
menjadi saleh bila pemimpinnya saleh.
Ibnu Taimiyyah dalam kitab As-Siyasah
As-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa ArRa’iyyah, I/37 mengatakan, “Ketika rakyat
berubah (menjadi rusak), sedangkan
penguasa sebaliknya, semua urusan pun
saling bertentangan. Apabila penguasa
mengambil langkah untuk memperbaiki
agama dan urusan dunia mereka sesuai
kemampuannya, maka ia termasuk
orang yang paling utama pada masanya.
Ia adalah mujahid paling afdhal di jalan
Allah. Telah diriwayatkan bahwa ‘Satu
hari dengan imam yang adil itu lebih baik
daripada ibadah selama 60 tahun’.”
Di tempat lain, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah mengatakan, “Ulil amri terdiri
atas dua kelompok manusia: ulama dan
umara. Bila mereka baik, manusia pun
baik. Bila mereka buruk, manusia pun
buruk. Hal ini seperti jawaban Abu Bakar
Ash-Shiddiq kepada wanita dari bani
Ahmas saat bertanya kepadanya, ‘Apa
hal yang menjamin kami akan senantiasa
berada di atas perkara (yang baik yang
Allah datangkan setelah masa jahiliah)
ini?’ Abu Bakar Ash-Shiddiq menjawab,
‘Kalian akan senantiasa di atas kebaikan
(Islam) tersebut selama para pemimpin
kalian bertindak lurus.” (HR Al-Bukhari)
(Majmu’ Al-Fatawa, 28/170)
Satu hari
dengan imam
yang adil itu
lebih baik
daripada
ibadah selama
60
6
0 ttahun.
ahun.
kiblat
muharram 1436 h
72
Syaikh Utsaimin ketika menafsirkan
hadis ad-dien nasihah mengatakan,
"Nabi mendahulukan nasihat untuk
para pemimpin sebelum nasihat untuk
rakyat, karena para pemimpin itu bila
baik, maka baik pula rakyatnya."
Persepsi Keliru dari Hadits Dhaif
Penguasa Muslim dan rakyatnya adalah
satu tubuh dalam persaudaraan Islam.
Sebagai haknya, ia tidak boleh dibiarkan
ketika melanggar aturan. Inilah yang
ditunjukkan oleh sejarah para salaf. Ada
Sufyan
Ats-Tsauri
secara
tegas hubungan yang baik.
menyatakan hal ini di depan pemimpin; Dengan demikian, tidaklah benar
Abu Ja’far Al-Manshur, “Sungguh aku menyalahkan rakyat setiap hidup di
tahu tentang seseorang yang bila ia bawah penguasa yang jahat. Persepsi
baik maka umat pun menjadi baik. Bila keliru ini secara umum dibangun dari
ia buruk, umat pun buruk.” Al-Manshur hadis lemah riwayat Ad-Dailami dan
berkata, “Siapa?” Ats-Tsauri menjawab, Al-Baihaqi:
“Engkau!” (Sirajul Muluk, I/35).
Pemimpin yang baik juga menjadi
harapan dalam doa ulama agar rakyat
menjadi baik karenanya. Hasan Bashri
mengatakan, “Bila saya memiliki doa
yang dikabulkan, saya akan mendoakan
untuk kebaikan penguasa. Sebab
dengan baiknya penguasa, rakyat pun
menjadi baik. Bila penguasa baik, rakyat
dan negeri pun aman.” (Imamatul
‘Udhma Ad-Dumaiji, I/370
Nabi n
mendahulukan
nasihat untuk para
pemimpin sebelum
nasihat untuk
rakyat, karena para
pemimpin itu bila
baik, maka baik
pula
pula rrakyatnya.
akyatnya.
      
“Seperti apa kalian, seperti itu pula
pemimpin kalian.”
Hadits ini telah dinyatakan dhaif oleh
ulama masa lalu seperti Al-Hafidz Ibnu
Hajar dan juga ulama masa akhir seperti
Syaikh Al-Albani.
Syaikh Al-Albani telah mengumpulkan
matannya di Silsilah Adh-Dhaifah
(1/490). Setelah menjelaskan takhrij
hadis ini, beliau mengatakan, “Selain
dhaif, hadis ini maknanya tidak shahih
sama sekali menurut saya. Sebab sejarah
telah menunjukkan kepada kita, adanya
seorang yang saleh menjadi pemimpin
setelah pemimpin sebelumnya yang
tidak saleh, sedangkan rakyatnya tetap
saja (tidak saleh).”
Ungkapan Syaikh Al-Albani benar.
Kenyataannya bahwa di tengah-tengah
masyarakat yang tidak saleh bisa
muncul pemimpin yang saleh. Demikian
pula sebaliknya.
Jawaban Ali bin Abi Thalib yang telah
disebutkan sebelumnya membuktikan
kiblat
muharram 1436 h
73
perkara Syaikh Al-Albani. Ali berkata,
“Karena rakyat Abu Bakar dan Umar
seperti aku dan Utsman, sedangkan
rakyatku sekarang adalah kamu dan
orang-orang seperti dirimu.” (Sirajul
Muluk, Imam Ath-Thurthursyi, 94).
Rakyat itu Bagaimana Pemimpinnya
Khalifah Al-Walid
adalah orang yang
suka kuliner dan
berlibur. Maka
obrolan rakyat di
warung-warung tidak
lepas dari pertanyaan
tentang makan dan
menu
makanan.
m
enu m
akanan.
Sisi ini disebut lebih utama karena
kesalehan pemimpin lebih mudah
membentuk kesalehan rakyat, bukan
sebaliknya. Apa yang dikatakan oleh
Ibnu Qayyim dan lainnya—yang telah
kami sebutkan sebelumnya— adalah
penafsiran ayat yang menunjukkan
ancaman Allah bagi orang-orang zalim,
bukan sebab langsung, yang kemudian
menj
jadi anggapan
angg
ggap
pan b
ahw
wa p
e im
em
mpin
menjadi
bahwa
pemimpin
za
alilim
m adalah
adal
ad
alah
al
ah kkesalahan
esal
es
alah
al
ahan
ah
an rrakyat.
akkya
a
yat.
t. LLalu
t.
alu
al
u
zalim
p
pe
ng
gua
u sa
a zal
a im ““dikultuskan”,
dikulttus
u kan”
n”,
”, rrakyat
akyyat
penguasa
zalim
(ba
(b
acca: a
a
kttiv
ktiv
ivis
is IIslam)
slam) yya
sl
ang d
isal
is
alla
ah
hka
kan
n.
n.
(baca:
aktivis
yang
disalahkan.
Ada ungkapan Arab, rakyat itu
mengikuti
pemimpin;
masyarakat
umum itu tergantung agama rajanya.
Sejarawan Islam telah mencatat contoh
nyata dalam hal ini. Masa kekhilafahan
Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai
masa yang di dalamnya rakyat sangat
giat dalam ibadah dan ketaatan kepada
Allah.
Umar bin Abdul Aziz dalam sebuah
riwayat terlihat salat tahajud di
mihrabnya dalam kondisi menangis.
Ia biasa meneteskan air mata dalam
ibadahnya. Beliau dikenal sebagai ahli
ibadah dan suka membaca Al-Qur’an.
Maka kebiasaan pemimpin ini pun ditiru
oleh rakyatnya. Bahkan perbincangan
sehari-hari mereka adalah tentang
ibadah. Ketika mereka saling bertemu,
pertanyaan yang dilontarkan tidak lepas
dari berapakah Anda menghafal AlQur’an, berapa rakaat engkau qiyamul
lail tadi malam dan tentang kesalehan
lainnya.
Hal itu berbeda dengan masa dua
khalifah sebelumnya. Masa Al-Walid
bin Abdul Malik dikenal sebagai masa
harta berlimpah dan makmur. AlWalid dikenal pemimpin yang suka
bangunan dan infrastruktur mewah. Ia
rela mengeluarkan biaya yang sangat
mahal untuk proyek-proyek bangunan.
Ia membangun masjid Jami’, gedung,
dan pabrik-pabrik. Kesukaannya ini
pun
pu
n me
menu
nula
larr ke
kepa
pada
da rrakyatnya,
akya
ak
kyatn
tnya
tn
ya, hi
hing
ngga
ng
ga
menular
kepada
hingga
pe
erbi
rb
binca
inca
cang
ng
gan
an d
ant
tara
tara
a m
errekka ti
e
tida
idak
dak
perbincangan
dii an
antara
mereka
tidak
lepa
le
pass dari
pa
dari b
angu
an
guna
an da
dan
n ge
g
du
ung
g
lepas
bangunan
gedung
me
mew
ewa
wah.
mewah.
P
sikol
sik
ollogi
o
gi
manu
ma
nusi
nu
sia
si
a
cend
ce
end
nde
errun
ung
g Su
Psikologi
manusia
cenderung
S
laim
la
im
man bin
bin Abdul
Abd
bdul Malik
Mal
alik
lik saudara
sau
udara
darra
da
a A
lSulaiman
Almeng
me
n ik
ng
ikut
u i dan
dan me
m
eni
niru
ru p
e im
em
mpi
p nn
nya
y . Wa
mengikuti
meniru
pemimpinnya.
W
lid berbeda
berbed
eda la
eda
ed
agi
g g
ayya h
id
du
up
pn
nyya
a.
Walid
lagi
gaya
hidupnya.
kiblat
muharram 1436 h
74
Ia a
Ia
adalah
dalah
dal
lah or
oran
orang
ang
g ya
yyang
ng
g ssuka
uka
uk
ka ku
kuli
kuliner
liline
ine
nerr
dan
da
n be
rlib
libur. Maka obrolan rakyat
berlibur.
di warung-warung tidak lepas dari
pertanyaan tentang makan dan apa
menu makanan hari ini. (Al-Kamil Fi
At-Tarikh, Asy-Syaibani, IV/292. Tarikh
Ath-Thabari, IV/29).
d la
di
laku
lak
kuka
kuk
kan, d
kan
enga
en
ga
gan
an ka
kkaidah
aid
idah
h amar makruf
dilakukan,
dengan
nahi mungkar yang benar. Membiarkan
penguasa muslim dalam kemaksiatan
kezaliman
adalah
bentuk
dan
kezaliman dari saudaranya. Rasulullah
n bersabda, “Tolonglah saudaramu
yang zalim dan yang dizalimi.” Wujud
Besarnya
pengaruh
pemimpin menolong orang yang zalim adalah
yang saleh terhadap rakyat adalah mencegah dari perbuatan zalimnya.
salah satu hikmah dari syarat-syarat Nabi n bersabda:
kepemimpinan Islam yang ketat, di

     
  
  
antaranya adil dan berilmu. Selain itu
   
Islam juga tidak memberikan jabatan
      
     
 


kepemimpinan bagi orang yang
memintanya. Bisa jadi orang yang
“Tidak ada seorang pemimpin yang
menangani urusan kaum muslimin,
berambisi tidak akan amanah dalam
tidakk b
bersungguh-sungkkemudian
di
tid
h
i i
l i sampaii pada
d
memimpin.
Apalagi
guh dan melaksanakannya dengan
politik uang demi jabatan, bisa saja
baik, kecuali ia tidak akan masuk
selama menjabat ia akan menzalimi
surga bersama mereka.” (HR Musuang rakyat untuk mengembalikan
lim)
modalnya. Diriwayatkan dari Abu Musa
Al-Asy’ari r.a, ia berkata, “Aku dan dua
orang dari kaumku datang menghadap
Nabi
n. Salah seorang mereka
berkata, ‘Ya Rasululloh n angkatlah
kami sebagai pejabatmu.’ Satu orang
lagi juga mengatakan perkataan yang
sama. Lalu Rasululloh n bersabda,
‘Kami tidak akan memberikan jabatan
pemerintahan ini kepada orang
yang meminta dan berambisi untuk
mendapatkannya’.” (HR Bukhari dan
Muslim).
“Tiada seorang pemimpin yang diamanahi oleh Allah untuk rakyatnya,
suatu saat mati dalam kondisi menzalimi (hak mereka) kecuali Allah
mengharamkan wangi surga baginya.” (Muslim).
Dua hadis tersebut bentuk ancaman
bagi penguasa zalim di akhirat,
sedangkan di dunia, Allah bisa kapan
saja sesuai kehendaknya telah memiliki
alasan untuk menimpakan musibah
yang tidak hanya menimpa orang
jahat, tetapi orang saleh juga kena
Komunikasi antara Rakyat dan Pen- getahnya. Ancaman ini berlaku—dan
guasa
kita berlindung kepada Allah darinya—
Dengan dua sisi yang harus diperbaiki bila kemaksiatan telah merajalela tanpa
tersebut, maka menyampaikan peringa- ada proses amar makruf nahi mungkar.
tan kepada pemimpin jelas harus Allah berfirman:
kiblat
muharram 1436 h
75
“Telah dilaknati orang-orang kafir
dari Bani Israil dengan lisan Daud
dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka
dan selalu melampaui batas. Mereka
satu sama lain selalu tidak melarang
tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah
apa yang selalu mereka perbuat itu.”
(Al-Ma’idah: 78-79).
Dalam kaitan yang sama, Rasulullah
bersabda, “Hendaklah kalian beramar
makruf (menyuruh berbuat baik) dan
bernahi mungkar (melarang berbuat
jahat). Kalau tidak, maka Allah akan
menguasakan atas kalian orang-orang
yang paling jahat di antara kalian,
kemudian orang-orang yang baik-baik di
antara kalian berdoa dan tidak dikabulkan
(doa mereka).” (HR. Al-Bazzar dari Abu
Hurairah. Dinyatakan Hasan oleh AsSuyuthi dalam Jami’ush Shaghir, namun
Syaikh Al-Albani menyatakan dhaif).
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, hendaknya kalian beramar makruf
dan nahi munkar atau jika tidak niscaya
Allah akan mengirimkan siksa-Nya
kepada kalian, kemudian kalian memohon
kepada-Nya namun doa kalian tidak lagi
dikabulkan.” (HR. Tirmidzi no. 2169. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan).
Hendaklah kalian
beramar makruf
(menyuruh
berbuat baik)
dan bernahi
mungkar
(melarang
berbuat jahat).
Kalau tidak,
maka Allah akan
menguasakan
atas kalian orangorang yang paling
jahat di antara
kalian, kemudian
orang-orang
yang baik-baik
di antara kalian
berdoa dan tidak
dikabulkan (doa
mereka).
Semoga salam dan salawat dilimpahkan
kepada nabi Muhammad, beserta keluarga
dan sahabat beliau. [Agus Abdullah].
kiblat
muharram 1436 h
76
kiblat
muharram 1436 h
77
Download