Arahan Pemanfaatan Lahan .................................................................................................................................................... (Pramita dkk.) ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN UNTUK UPAYA MENGURANGI BAHAYA LONGSOR DI KABUPATEN AGAM DAN KABUPATEN PADANG PARIAMAN, SUMATERA BARAT (Land Use Directions for Reducing the Dangers of Landslide in Agam and Padang Pariaman Districts, West Sumatra) Viona Pramita1, Komarsa Gandasasmita2, dan Khursatul Munibah2 1Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 2Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 E-mail : [email protected] Diterima (received): 18 Oktober 2014; Direvisi (revised): 3 November 2014; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 13 November 2014 ABSTRAK Sumatera Barat merupakan salah satu dari deretan daerah aktif tektonik dan vulkanik yang terletak pada pertemuan Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia, pergerakan lempeng tersebut memicu banyaknya bencana alam, salah satunya adalah longsor. Kabupaten Agam dan Padang Pariaman merupakan wilayah di Sumatera yang sering mengalami longsor. Kabupaten Agam dan Kabupten Padang Pariaman sering mengalami beberapa kejadian bencana tanah longsor yang mengakibatkan korban jiwa, kerugian, dan kerusakan fasilitas. Metode analisis yang digunakan meliputi analisis spasial, analisis atribut, dan analisis deskriptif, memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang menggunakan metode pendugaan Puslittanak yang dikeluarkan pada tahun 2004, skor dan bobot untuk setiap parameter selanjutnya diklasifikasikan ke dalam 5 kelas, yaitu kelas sangat rendah sampai sangat tinggi. Semakin tinggi skor dan bobot, maka pengaruhnya akan semakin tinggi terhadap longsor, dan sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan Kabupaten Agam dan Padang Pariaman memiliki kelas bahaya longsor cukup variatif, mulai dari kelas bahaya longsor rendah sampai dengan sangat tinggi, dengan persentase terbesar berada pada kelas bahaya sedang ±114.387,58 ha atau 31,85% dari luas keseluruhan wilayahnya (±359.036,35 ha). Kata Kunci: longsor, SIG, Agam, Padang Pariaman, skor ABSTRACT West Sumatra is amongst tectonically and volcanically active area, located at the interface of Indo-Australia and Eurasia plates. The movement of plates triggers many natural disasters, one of them is landslides. The regency of Agam and Padang Pariaman are amongst the area susceptible to landslides in Sumatra, causing the loss of lives, the loss of material and facility damages. The method used includes spatial analysis, attribute analysis and descriptive analysis using Geographic Information System (GIS) with the data from Puslittanak in which the scores and weights for each parameter were classified into 5 classes indicating the lowest until the highest values. The highest scores and weights indicated the greater impact of landslide, and vice versa. The results showed that the regency of Agam and Padang Pariaman had: (1) varying hazard classes, starting from the lowest until the highest class, with greater percentage on the intermediate class, that is ±114,387.58 ha or 31.85% from the total area (±359,036.35 ha); Keywords: landslide, GIS, Agam,Padang Pariaman, score PENDAHULUAN Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia dan umumnya terjadi di wilayah pegunungan serta pada musim hujan. Bencana ini berkaitan erat dengan kondisi alam seperti jenis tanah, jenis batuan, curah hujan, kemiringan lahan serta penutupan lahan. Selain itu faktor manusia juga sangat menentukan terjadinya bencana longsor seperti alih fungsi lahan yang tidak bijak, penggundulan hutan, pembangunan permukiman pada wilayah dengan topografi yang curam. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Fransiska (2014), topografi di bagian timur Kabupaten Agam terdiri atas pegunungan yang dikenal dengan nama Pegunungan Bukit Barisan. Pegunungan ini terbentuk dari hasil proses tektonik dan vulkanik, dimana proses vulkanik tampak lebih dominan. Proses-proses vulkanik menghasilkan morfologi pegunungan diantaranya berupa gunungapi aktif, seperti Gunungapi Marapi, Gunungapi Singgalang, Gunungapi Tandikat, dan Gunungapi Maninjau (nama sebelumnya adalah Gunung Sitinjau). Sebagian yang lainnya berupa pegunungan denudasional dan di lereng bawah merupakan dataran fluvio-vulkanik. Topografi 141 Majalah Ilmiah Globë Volume 16 No. 2 Desember 2014: 141-148 seperti inilah yang merupakan faktor penyebab terjadinya banyak bencana longsor, dari hasil pengamatan lapangan memperlihatkan bahwa longsor mulai terlihat pada kemiringan lereng 25% (curam) sampai dengan >40% (sangat curam), baik pada lereng-lereng alami atau lereng-lereng buatan (hasil kerja manusia) yang tidak terpetakan pada skala peta penelitian (1:50.000). Sepanjang tahun 1998-2006 tercatat berbagai bencana alam terjadi di Indonesia, antara lain tanah longsor, banjir, badai, gunung meletus, tsunami dan kebakaran hutan. Menurut Bakornas PB (2007) dari seluruh kejadian bencana alam yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu lima tahun (19982003) tercatat 85% adalah kejadian longsor dan banjir. Bencana longsor yang cukup besar pernah terjadi pada tahun 1980 yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Longsor pada tahun 2009 di Danau Maninjau, dipicu oleh gempa bumi dan curah hujan yang tinggi, yang menghancurkan lebih kurang empat dusun dengan korban jiwa 80 orang meninggal dunia, 90 orang luka berat dan 47 orang luka ringan (Martia & Taufik, 2012). Dampak dari meningkatnya kebutuhan lahan sebagai tempat tinggal, penurunan luas hutan dan peningkatan lahan terbuka juga memicu terjadinya longsor. Penelitian Jay et al. (2003), selama periode tahun 1998 sampai tahun 2003, luas hutan/vegetasi lebat di kawasan hutan produksi menurun seluas 1.502 ha yaitu dari 4.385 ha menjadi 2.883 ha, dan lahan terbuka meningkat cukup drastis yaitu dari 13.508 ha menjadi 23.748 ha, sedangkan luas tutupan hutan/vegetasi lebat menurun sekitar 1.357 ha yaitu dari 8.594 ha menjadi 7.237 ha. Dari latar belakang tersebut disusunlah arahan pemanfaatan lahan berdasarkan Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai teknologi yang mempunyai kemampuan untuk memasukkan, mengelola, manipulasi, dan melakukan analisis data spasial misalnya tanah, curah hujan, ataupun kemiringan lereng. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana memetakan dan membuat arahan pemanfaatan lahan di wilayah bahaya longsor dengan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Agam dan Padang Pariaman yang mempunyai potensi bencana longsor yang mengancam. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan dan membuat arahan pemanfaatan lahan di wilayah bahaya longsor di Kabupaten Agam dan Padang Pariaman, beserta informasi terkait agar bencana tanah longsor bisa diminimalisasikan. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah terwujudnya sistem informasi yang dapat menjadi sentra informasi bagi pengguna, sehingga nantinya dapat berperan dalam upaya mitigasi bencana di Kabupaten Agam dan Padang Pariaman. 142 METODE Penelitian ini secara global menggunakan alur penelitian seperti yang disajikan pada Gambar 1. Dari alur tersebut dilakukan penyiapan bahan dan alat serta dilakukan analisis awal hingga analisis lanjutan hingga dicapai upaya meminimalkan dampak akibat longsor. Peta Jenis Tanah SRTM 30 M Peta Curah Hujan Citra Landsat Komposit Peta Jenis Batuan Peta Lereng Titik Lokasi Tanah Longsor Image Processing Peta Penutup/ Penggunaan Lahan ValidasiM Peta Bahaya Longsor Peta RTRW Agam Gambaran konsistensi penggunaan lahan dan persepsi masyarakat dalam pemanfaatan lahan kawasan longsor Upaya meminimalisasikan dampak akibat longsor Gambar 1. Alur penelitian. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, peta tematik, peta Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:50.000, citra Landsat 8 komposit akuisisi Februari tahun 2014, Peta lereng diekstrak dari citra SRTM pada tahun yang sama, kuisioner, serta bahan-bahan lain yang menunjang penelitian. Alat-alat penelitian yang akan digunakan antara lain adalah perangkat keras dan lunak komputer. Perangkat lunak seperti Microsoft Office, ArcGIS, software ERDAS IMAGINE, Envi 4.5. Sedangkan Perangkat keras yang digunakan meliputi Global Positioning system (GPS), kamera digital, tape recorder, printer, dan alat tulis-menulis. Penelitian ini dilaksanakan di dua kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Barat yaitu Kabupaten Agam dan Kabupaten Padang Pariman yang merupakan lokasi rawan longsor. Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan, mulai dari Maret sampai Agustus 2014. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Arahan Pemanfaatan Lahan .................................................................................................................................................... (Pramita dkk.) Analisis Data Awal Dalam tahapan ini dilakukan kegiatan seperti interpretasi citra dan pembuatan peta kerja untuk kegiatan lapangan. Yang dimaksud dengan interpretasi citra adalah penafsiran suatu objek pada citra satelit atau foto udara tanpa sentuhan fisik terhadap obyek yang ditafsir (Mulders,1987; Lillesand & Kiefer, 1990; Schowengerdt, 2007). …………………………………..(1) dimana : W j = nilai bobot yang dinormalkan n = jumlah kriteria (1,2, 3 … n) rj = posisi urutan kriteria …(2) Skor dan Bobot Parameter Gambar 2. Lokasi penelitian. Metode Analisis Analisis data yang dilakukan meliputi analisis spasial, atribut, dan deskriptif. Analisis spasial dan atribut memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG), dengan memakai pembobotan dan pemberian skor pada setiap parameter yang ditentukan. Dalam hal ini semakin tinggi skor dan bobot dari parameter, maka pengaruhnya akan semakin besar terhadap bahaya atau risiko longsor, dan begitu juga sebaliknya. Klasifikasi untuk bahaya, kerentanan, kapasitas dan risiko dibagi ke dalam 5 kelas, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Adapun analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan kaitan antara penataan ruang dan risiko longsor yang digunakan untuk merumuskan arahan penataan ruang sebagai upaya menekan dampak dari bencana longsor. Analisis Bahaya (Hazard) Longsor Sesuai dengan tujuan pertama penelitian ini, model pendugaan untuk menentukan dan membandingkan daerah bahaya longsor digunakan dari model pendugaan yang dikembangkan oleh Puslittanak tahun 2004. Tingkat bahaya longsor dianalisis secara semi kuantitatif menggunakan kombinasi antara skoring dan pembobotan berdasarkan kontribusi relatif parameter terhadap bahaya tanah longsor. Pembobotan setiap parameter berdasarkan kontribusi relatif terhadap tanah longsor. Pembobotan parameter menggunakan formula pada Persamaan 1. Sedangkan kelas bahaya tanah longsor dibuat berdasarkan nilai interval bahaya longsor dengan menggunakan Persamaan 2. Pembuatan peta bahaya longsor dengan tumpang tindih (overlay) dari peta-peta parameter penyebab terjadinya longsor. Dalam proses tumpang tindih, parameter tersebut diberi skor dan pembobotan sesuai dengan potensinya dalam menyumbangkan terjadinya longsor. Semakin tinggi skor dan pembobotan, mencerminkan semakin besar potensinya dalam menyumbangkan terjadinya longsor, dan begitu juga sebaliknya. Penentuan bobot menggunakan beberapa parameter penyebab longsor meliputi curah hujan, lereng, geologi, jenis tanah, dan tutupan lahan. Penggunaan bobot dan skor parameter bahaya longsor ini mengacu pada skor parameter Puslittanak (2004). Besarnya bobot masing-masing parameter penyebab longsor beserta pemberian skor pada model pendugaan seperti disajikan pada Tabel 1. Dalam penentuan ckor total dari berbagai skor setiap parameter, digunakan Persamaan 3. Tabel-1.-Skor dan longsor. bobot parameter Parameter Curah Hujan (mm/thn) a. >3000 b. 2501-3000 c. 2001-2500 d. 1501-2000 e. <1500 Jenis Batuan a. Bt. Vulkanik b. Bt. Sedimen c. Bt. Aluvial Jenis Tanah a. Regosol, litosol, organosol b. Andosol, Laterit, Grumosol c. Brown Forest soil, mediteran d. Latosol e. Aluvial, Planosol, Hidromoft Kemiringan Lereng a. >45% b. 30-45% c. 15-30% d. 8-15% e. <8% Tutupan Lahan a. Tegalan, Sawah b. Semak-Belukar c. Hutan dan Perkebunan d. Pemukiman,bandara e. Tambak, waduk, perairan Bobot penyebab Skor 30% 5 4 3 2 1 20% 3 2 1 10% 5 4 3 2 1 20% 5 4 3 2 1 20% 5 4 3 2 1 143 Majalah Ilmiah Globë Volume 16 No. 2 Desember 2014: 141-148 Skor Total = 0.3FCH + 0.2FKL + 0.2FPL+ 0.1FJT .........................................................................(3) dimana: FCH FBD FKL FPL FJT 0.3;0.2;0.1 = Faktor Curah Hujan = Faktor Jenis Batuan = Faktor Kemiringan Lereng = Faktor Penutupan Lahan = Faktor Jenis Tanah = Bobot nilai Satuan Lahan Berdasarkan peta satuan lahan Lembar Padang dari Puslittanak (1990), terlihat bahwa satuan lahan daerah ini yang dominan terjadi longsor yakni: a. Satuan lahan Vd 232 dan Vd 233 yaitu dataran volkan dan plato dari bahan tuff masam pada daerah bergelombang (lereng 8-16 %), cukup tertoreh sampai sangat tertoreh, terletak pada ketinggian 40-700 m dpl. Jenis tanah dominan adalah Dystropept yang tersebar di daerah hulu Batang Ampalu. b. Satuan lahan Vd 2.7.2 dan Vd 2.7.3 yaitu dataran volkan dari bahan tuff intermedier dan lava dengan bentuk lahan perbukitan kecil (lereng >16%), cukup tertoreh sampai sangat tertoreh yang teerdapat pada ketinggian 50-495 meter dari permukaan laut. Jenis tanah Dystrandept yang tersebar di daerah Kecamatan Sungai Geringging yang rawan longsor. Satuan lahan Vd 272 terdapat di palao koto, lubuk cumanah, padang laweh yang merupakan daerah yang terjadi longsor di Tandikek yang dipicu oleh gempa 7,9 SR. c. Satuan lahan Vab 2.10.2. yaitu berupa perbukitan volkan dari bahan tuff intermedier dan lava pada daerah berbukit (lereng >16%) cukup tertoreh, terdapat pada ketinggian 1002300 m dpl. Jenis tanahnya adalah Dystropept. Lahan ini berupa berntuk lahan berbukit dan bergunung yang berada mulai pada kaki gunung Tandikek dan Singgalang. d. Satuan lahan Vd 2.10.2. yaitu berupa yaitu berupa perbukitan volkan dari bahan tuff masam pada daerah berbukit (lereng >16%), cukup tertoreh, terdapat pada ketinggian 100-300 m dpl. Jenis tanahnya adalah Humitropept yang meliputi luas 1.021 ha atau 0,18% dari luas wilayahnya. Peta geologi Lembar Padang (Kastowo, dkk., 1996) menyatakan umur formasi geologi wilayah Agam digolongkan dalam era kuarter, tersier, mesozoikum, dan paleozoikum yang terdiri atas endapan permukaan, batuan gunung api, batuan sedimen, batuan metamorf, tektonit dan batuan terobosan. Berdasarkan peta geologi tersebut sebagian dari wilayah Kabupaten Pariaman ini terdiri dari bahan vulkanik hasil erupsi kaldera Maninjau yaitu berupa tufa batuapung hornblenda hiperstin (Qhpt) (warna ungu) yang seluruhnya berupa lapilli batuapung berukuran 2-10 cm yang mengandung horblenda dan hiperstin atau biotit, 144 agak kompak berwarna putih atau kuning keabuan bagi bahan segar dan berwarna coklat dari bahan yang sudah melapuk dan tufa batuapung dan andesit (Qpt) (warna merah muda) yang berupa serabut gelas 5-80% fragmen batuapung putih berukuran 1-20 cm, agak kompak. Areal dengan kemiringan lereng 0-8% atau sekitar 38.76% dari total luas wilayah Kabupaten Agam, mendominasi wilayah kabupaten ini terletak di bagian barat sejajar dengan garis pantai, sedangkan untuk kemiringan lereng 15-30% atau sekitar 19.74% dari total luasan wilayahnya. Sementara untuk Kabupaten Padang Pariaman bentuk permukaan berelief sedang dengan kemiringan lereng 15-30 %, yaitu seluas 31.348,98 ha atau sekitar 23,19% dari total luasan wilayahnya. Kondisi daerah penelitian ini secara spasial disajikan ke dalam berbagai peta seperti peta curah hujan, kemiringan lereng, jenis batuan dan peta tanah, seperti yang disajikan pada Gambar 3. Badan Geologi, Kementerian ESDM (2014) menyatakan ada beberapa struktur sesar di daerah penelitian, yaitu: a. Sesar Batang Anai Ciri-ciri sesar ini di lapangan antara lain kelurusan aliran sungai dan gawir-gawir yang dalam dan curam serta memanjang. b. Sesar Lembah Anai Ciri-ciri sesar inin di lapangan antara lain kelurusan aliran sungai, gawir-gawir yang dalam, curam dan memanjang, zone hancuran di sepanjang jalan raya Lembah Anai pada musim hujan. c. Sesar Batang Air Manggu Ciri-ciri sesar ini di lapangan antara lain kelurusan aliran sungai, gawir-gawir yang dalam, curam dan memanjang, adanya triangular facet yang terdapat pada dinding luar sebelah timur Kaldera Maninjau. (a) (b) (d) (c) Gambar-3.--Kondisi daerah penelitian (a) Peta curah hujan, (b) Peta kemiringan lereng, (c) Peta jenis batuan, dan (d) Peta tanah. Arahan Pemanfaatan Lahan .................................................................................................................................................... (Pramita dkk.) HASIL DAN PEMBAHASAN Pada model pendugaan Puslittanak (2004), curah hujan merupakan parameter penyebab longsor yang paling berpengaruh dibandingkan dengan parameter lainnya, seperti lereng, penggunaan lahan, geologi dan jenis tanah. Hasil analisis dengan menggunakan metode pendugaan Puslittanak disajikan pada Gambar 4. jumlah kelas bahaya yang terkelaskan lebih mencerminkan kondisi aktual di lapangan. Beberapa gambaran titik-titik kejadian longsor di lapangan dapat dilihat pada Gambar 6, pada 4 kecamatan contoh yaitu Kecamatan Patamuan, Kecamatan Palembayan, Kecamatan Tanjung Raya dan Kecamatan V Koto Timur. Tabel 2. Kecamatan Gambar-4.--Peta bahaya longsor dengan model pendugaan Puslittanak (2004). Berdasarkan peta bahaya longsor yang dihasilkan seperti pada Gambar 4, terlihat bahwa bahaya kelas tinggi tersebar sekeliling bukit dan pegunungan sekitar Danau Maninjau, sedangkan kelas sedang sampai sangat rendah menempati lereng-lereng bawah (lower slopes), atau dengan kata lain hampir berada pada lereng-lereng datar hingga agak miring yaitu bagian timur dan bagian barat Kabupaten Agam hingga bagian barat Kabupaten Padang Pariaman. Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan luasan bahaya longsor di Kabupaten Agam dan Kabupaten Padang Pariaman berdasarkan kelas bahaya longsor yang dibagi ke dalam wilayah kecamatan. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa luas wilayah tertinggi berada pada kelas bahaya longsor sedang, yaitu 67.993,28 ha atau 30,37% dari luas keseluruhan wilayahnya 359.036,4 ha, untuk Kabupaten Agam dan 46.394,3 ha atau 34, 32% untuk Kabupaten Padang Pariaman. Evaluasi Titik dengan Peta Bahaya Pengambilan titik bahaya longsor bertujuan untuk mewakili kondisi sebenarnya di lapangan, yaitu dengan cara menghitung jumlah titik kejadian longsor di lapangan yang diperoleh melalui cek lapangan/validasi lapangan. Titik-titik kejadian longsor di lapangan selanjutnya dipetakan dan ditumpangtindihkan (overlay) dengan peta-peta bahaya longsor yang dibuat, sehingga diperoleh peta persebaran titik-titik longsor di atas peta bahaya longsor seperti tersaji pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 dan hasil observasi di lapangan, tampak bahwa kelas bahaya longsor yang dihasilkan dari hasil analisis yaitu persebaran Luas wilayah berdasarkan kelas bahaya longsor menurut kecamatan di Kabupaten Agam. Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi 79,65 56,14 1.666,58 442,38 1.086,07 3.354,42 1.693,84 9.375,93 2.147,8 223,63 56,65 9.699,53 146,11 10.286,42 897,31 6.515,81 2.261,4 5.615,3 4.730,49 5.645,93 13.72 2.285,62 3.265,83 1.313,95 526,37 64,09 3.530,57 6.236,12 8.702,22 5.861,02 16,5 434,72 1.981,76 2.734,63 180,72 1.750,18 8.581,34 11.759,7 779,04 2.240,23 2.368,69 6.174,16 4.011,07 2.244,38 7.350,26 4.243,89 17.279,3 2.648,63 886,89 1.473,9 17.500,06 3.527,06 1.426,06 819,63 343,87 4.773,32 3.135,93 5.271,52 395,81 3.892,95 1.207,83 402,95 Banuhampu Baso Candung IV Angkat Candung IV Koto IV Nagari Kamang Magek Lubuk Basung Malalak Matur Palembayan Palupuh Sungai Pua Tanjung Mutiara Tanjung Raya Tilatang Kamang Sangat Tinggi 4.461,13 120,74 1.039,46 Jumlah (ha) 1.647,85 41.715,21 67.993,28 52.594,69 61.288,25 Jumlah (%) 0,73 18,63 30,37 23,49 27,37 Tabel 3. Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung 2 X 11 Kayu Tanam Batang Anai Batang Gasan Enam Lingkung IV Koto Aur Melintang Lubuk Alung Nan Sabaris Padang Sago Patamuan Sintuk Toboh Gadang Sungai Geringging Sungai Limau Ulakan Tapakis V Koto Kampung Dalam V Koto Timur VII Koto Sungai Sariak Luas wilayah berdasarkan kelas bahaya longsor menurut kecamatan di Kabupaten Padang Pariaman. Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi 248,93 593,13 1.028,3 1.415,18 373,61 49,17 1.592,86 7.075,49 11.735,38 3.786,8 567,48 5.603,42 2.018,26 2.093,98 3.532,81 1.636,3 127,5 37,16 538,49 1.907,72 835,1 1.050,8 15,1 1.694,78 9.444,04 457,29 6.339,34 2.172,67 42,79 4.614,4 57,96 2.270,95 2.260,66 3.715,02 422,01 1.177,79 5.604,65 92,42 374,18 1.792,64 136,4 279,83 1.146,65 35,93 1.083,94 7.188,91 1.515,16 161,17 1.481,96 3.026,67 1.205,02 727,91 3.296,09 627,91 3.165,04 3.016,97 Sangat Tinggi 352,46 2.668,58 4.049,63 409,4 2.436,94 2.477,59 1.401,62 139,4 Jumlah (ha) 8.276,77 31.493,2 46.394,3 33.448,4 12.815,1 Jumlah (%) 6,12 23,31 34,32 24,74 9,49 145 Majalah Ilmiah Globë Volume 16 No. 2 Desember 2014: 141-148 kebun campuran dengan luas tertinggi yang berada di kelas bahaya sangat tinggi seluas 10.416,54 ha adalah Kecamatan Palembayan. Peruntukan pertanian lahan basah berada di kelas bahaya tinggi tersebar di Kecamatan Palupuh, Lubuk Basung, IV Nagari, Palembayan, sedangkan kawasan pertanian lahan basah dengan luas tertinggi yang berada di kelas bahaya tinggi seluas 1.461,2 ha adalah Kecamatan Lubuk Basung. Tabel 4. Arahan peruntukkan berdasarkan daerah Kabupaten Agam. Gambar 5. Sebaran titik longsor pada peta bahaya longsor model pendugaan Puslittanak (2004). Peruntukan Lahan Sesuai RTRW Kabupaten Agam ruang (RTRW) bahaya longsor Tingkat Bahaya Longsor Rendah A B Tinggi dan Sangat Tinggi Sedang C A B C A B C Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Konsumsi Hutan Produksi Terpadu Kebun Kelapa Sawit ( a) Kecamatan Patamuan ( b) Kecamatan Palembayan Kebun Campuran Kawasan Hutan Lingdung Kawasan Suaka Alam Pertanian Holtikultura Pemukiman Perkebunan Komoditi ( c) Kecamatan Tanjung Raya ( d) Kecamatan V Koto Timur Gambar 6. Gambaran titik lokasi longsor di lokasi penelitian. Keterkaitan Penataan Ruang dengan Sebaran Daerah Bahaya Longsor Keterkaitan penataan ruang dengan sebaran daerah bahaya longsor berdasarkan hasil analisis SIG antara peta bahaya longsor dengan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Berdasarkan hasil tumpang tindih tersebut dapat diketahui bahwa peruntukan lahan yang dialokasikan dalam peta RTRW Kabupaten Agam dan Padang Pariaman 2010-2010 berada dalam kelas bahaya longsor sangat rendah sampai dengan sangat tinggi. Beberapa peruntukan lahan yang banyak dihuni atau untuk aktivitas manusia berada pada kelas bahaya longsor terbanyak di kelas bahaya tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pola ruang RTRW Kabupaten Agam 2010-2030 belum mempertimbangkan sebaran daerah bahaya longsor. Peruntukan kawasan kebun campuran berada di kelas sedang sampai sangat tinggi, kawasan kebun campuran yang berada di kelas bahaya sedang tersebar di Kecamatan Palembayan, Palupuh, IV Nagari dan Matur. Sedangkan kawasan 146 Pertanian Lahan Basah Pertanian Lahan Kering Diizinkan untuk membangun Diizinkan untuk membangun dengan syarat Tidak diizinkan untuk membangun Sumber : Hasil Analisis Peruntukan pertanian lahan kering di wilayah Kabupaten Padang Pariaman berada pada kelas bahaya sedang sampai sangat tinggi. Kawasan bentang alam yang berada di kelas bahaya sedang hampir tersebar merata di seluruh kecamatan. Adapun kawasan pertanian lahan kering dengan luas tertinggi yang berada di kelas bahaya sangat tinggi yaitu di kecamatan 2x11 kayu tanam, seluas 96.538 ha. Dari hasil analisis yang telah dilakukan di Kabupaten Agam dan Padang Pariaman tersebut, maka arahan peruntukan ruang (pola ruang) yang dapat diusulkan kepada Pemerintah Daerah dengan memperhitungkan sebaran daerah bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Dengan keterangan daerah tipe A merupakan daerah lereng bukit/lereng perbukitan, lereng gunung/lereng pegunungan/tebing sungai dengan kemiringan di atas 45%, curah hujan tinggi >3.000 mm/tahun dan lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat, misalnya ditanami tanaman berakar serabut, dimanfaatkan sebagai sawah/ ladang. Arahan Pemanfaatan Lahan .................................................................................................................................................... (Pramita dkk.) Daerah Tipe B merupakan daerah kaki bukit/kaki perbukitan, kaki gunung/kaki pegunungan, tebing sungai dengan kemiringan 15%-45%, curah hujan 2.500 mm/tahun, lereng ditanami dengan pola tanam yang tidak tepat, misalnya ditanami tanaman berakar serabut, dimanfaatkan sebagai sawah/ladang. Sedangkan daerah tipe C merupakan daerah dataran tinggi, dataran rendah, dataran, tebing sungai, atau lembah sungai dengan kemiringan 0%-15%, curah hujan <2.500 mm/tahun. Tabel 5. Arahan peruntukan ruang (RTRW) berdasarkan daerah bahaya longsor Kabupaten Padang Pariaman. Tingkat Bahaya Longsor Peruntukan Lahan Sesuai RTRW Kabupaten Padang Pariaman Rendah A B Tinggi dan Sangat Tinggi Sedang C A B C A B C Hutan Lindung Hutan Rakyat Kawasan Bandara Kawasan Industri Pertanian Holtikultura Tingkat bahaya sedang peruntukan ruang diutamakan adalah kawasan hutan, dimana kawasan hutan sudah mulai berfungsi sebagai penahan terjadi longsor. Kegiatan budidaya (perkebunan dan pertanian) pada tingkat bahaya sedang yang sifatnya juga memberikan dampak signifikan pada fungsi lindungnya tidak diperbolehkan berada pada zona dengan kemiringan lereng >45%, sedangkan pada zona dengan kemiringan lereng <45% dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan daya dukung lahannya. Kerja sama multipihak antara masyarakat, pemerintah, LSM, dan pihak luar sangat diperlukan karena semua pihak tersebut memiliki kepentingan yang sama sehingga diharapkan mereka dapat menjalankan perannya masing-masing untuk mitigasi bencana tanah longsor. Kegiatan mitigasi berupa pemetaan, penyelidikan, pemeriksaan, pemantauan, sosialisasi, perlu melibatkan partisipasi masyarkat sehingga masyarakat akan merasa program tersebut adalah milik mereka sehingga akan turut menjaga dan berpartisipasi aktif dalam melakukan mitigasi bencana longsor. KESIMPULAN Pertanian Lahan Basah Pertanian Lahan Kering Perkebunan Permukiman Suaka Alam Diizinkan untuk membangun Diizinkan untuk membangun dengan syarat Tidak diizinkan untuk membangun Sumber : Hasil Analisis Berdasarkan RTRW tahun 2010-2030 Kabupaten Agam dan Kabupaten Padang Pariaman, pencegahan timbulnya longsor akibat struktur dan komposisi tanah dilakukan dengan cara menstabilkan dengan penanaman tanaman keras dan penghijauan di pinggiran lereng bukit. Pencegahan ini dilakukan dengan “menghindar (avoidance)” yaitu dengan cara tidak membangun atau menempatkan bangunan di tempat-tempat yang berpotensi terkena longsor atau gerakan tanah. Bahaya tanah longsor yang tergolong tinggi sampai sangat tinggi menjadi perhatian khusus bagi masyarakat maupun pemerintah daerah dalam melakukan tindakan pengurangan risiko longsor yang dapat mengancam keselamatan nyawa dan harta benda, dimana pada tingkat bahaya tinggi sampai sangat tinggi, hasil ini disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Peruntukan ruang yang diutamakan adalah kawasan hutan produksi terbatas, hutan produksi konsumsi, hutan produksi terpadu, hutan lindung, hutan produksi terpadu, dan hutan rakyat. untuk kegiatan budidaya pada kemiringan >45% dan 15-45% seperti, perkebunan, pertanian, dan pembangunan permukiman tidak diperbolehkan dilakukan pada zona ini. Bahaya longsor di Kabupaten Agam dan Kabupaten Padang Pariaman cukup variatif, meliputi Persentase terbesar berada pada kelas bahaya sedang, yaitu ±60.237,18 ha atau 26,91%, untuk Kabupaten Padang Pariaman juga bahaya sedang dengan luas tertinggi (±47.796,93 ha) atau sekitar 35,36%. Kemiringan lereng yang curam, penggunaan lahan sawah, ladang/tegalan, kebun, dan hutan merupakan faktor yang menentukan secara dominan kelas bahaya longsor yang ada. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Agam dan Padang Pariaman yang telah membantu dalam perolehan data dan selama survei di lapangan. Juga diucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor beserta staf, yang telah memberikan dukungan dan bimbingan selama pelaksanaan penelitian di laboratorium dan berbagai masukan yang telah diberikan. DAFTAR PUSTAKA Badan Geologi, Kementerian ESDM. (2014). G. Tandikat, Sumatera Barat. Diakses dari: http://www.vsi.esdm. go.id/index.php/gunungapi/data-dasar-gunungapi/ 497-g-tandikat. [5 September 2015]. Bakornas PB. (2007). Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Edisi II. Direktorat Mitigasi Lakhar. Bakornas PB. Jakarta. Fransiska, L. (2014). Studi Geomorfologi dan Analisis Bahaya Longsor di Kabupaten Agam, Sumatera Barat Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 147 Majalah Ilmiah Globë Volume 16 No. 2 Desember 2014: 141-148 Jay, M., Morad, M. & Bell, A. (2003). Biosecurity, a policy dilemma for New Zealand. Land Use Policy. 20:121129. Kastowo, Gerhard, W., Leo, S., Gafoer, & Amin, T. C. (1996). Peta Geologi Lembar Padang, Sumatra, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung. Lillesand, T. M. & Kiefer, R. W. (1990). Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan Dulbahri, dkk. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Martia, N. & Taufik, M. (2012). Studi Kawasan Kerentanan Longsor Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Tesis. Program Studi Teknik Geomatika ITS. Surabaya. 148 Mulders, M. A. (1987). Remote Sensing in Soil Science. Developments in Soil Science 15. Elsevier. Amsterdam. 379 pp. Puslittanak. (1990). Peta Satuan Lahan Sumatera skala 1:250.000. LREP I. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Puslittanak. (2004). Laporan Akhir Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir dan Longsor di Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung, Jawa Barat Bagian Barat Berbasis Sistem Informasi Geografis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Schowengerdt, R. A. (2007). Remote Sensing. Third Edition. Models and Methods for Image Processing. Academic Press, Inc., Elsevier. Orlando.