PENGARUH PEMBERIAN FORMALIN TERHADAP AKTIFITAS ENZIM TRIPSIN PADA FESES SAPI MELALUI UJI GELATIN SKRIPSI UNTORO WIBOWO B04101049 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 RINGKASAN UNTORO WIBOWO. Pengaruh Pemberian Formalin Terhadap Aktifitas Enzim Tripsin Pada Feses Sapi melalui Uji Gelatin. Dibawah bimbingan ENDANG RACHMAN S. Fungsi utama pankreas adalah menghasilkan enzim pencernaan diantaranya tripsin dalam bentuk tripsinogen. Enzim tripsin berfungsi sebagai enzim pencernaan protein di dalam usus. Dalam keadaan normal sebagaian besar enzim disalurkan ke usus dan sebagian kecil masuk kedalam sirkulasi (plasma darah atau serum). Untuk mengetahui keadaan fungsi pankreas kita dapat melakukan beberapa macam uji fungsi antara lain uji gelatin untuk mengetahui enzim tripsin. Dalam penelitian ini digunakan sampel feses sapi PO, betina dewasa. Sampel feses yang positif mengandung enzim tripsin dibagi atas beberapa perlakuan penyimpanan pada suhu ruang yaitu penyimpanan dengan formalin 10%, 9%, 8%, 7%, 6%, 5%, 4%, 3%, 2%, 1%, 0,5%, dan 0,1%. Sampel feses diawetkan menggunakan formalin dengan perbandingan 50% feses dengan 50% formalin. Setiap hari dilakukan pemeriksaan dengan metode uji gelatin terhadap sampel feses tersebut guna melihat aktifitas enzim tripsin sampai aktifitas enzim tripsin tidak ada lagi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sampel feses yang disimpan pada suhu ruang dengan berbagai konsentrasi formalin maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi formalin 4-10% menyebabkan enzim tripsin inaktif atau mati. Hal ini disebabkan terjadinya koagulasi dan denaturasi enzim tripsin oleh formalin. Faktor pendukung lain adalah formalin akan menghambat bahkan mematikan pertumbuhan bakteri penghasil enzim proteolitik. Pada konsentrasi formalin 3% terlihat aktifitas enzim tripsin masih ada namun dalam jumlah yang sangat kecil. Semakin menurunnya konsentrasi formalin maka aktifitas enzim tripsin akan mampu bertahan lebih lama. Konsentrasi terbaik untuk menyimpan sampel feses adalah 0,5-1% karena kandungan formalin yang rendah tidak menyebabkan koagulasi dan denaturasi enzim tripsin tetapi masih menghambat pertumbuhan bakteri. Sedangan pada konsentrasi 0,1% aktifitas enzim tripsin semakin menurun. Hal ini disebabkan kandungan formalin yang sangat kecil dan sifat formalin yang mudah menguap sehingga bakteri dan jamur pengganggu dapat hadir. PENGARUH PEMBERIAN FOMALIN TERHADAP AKTIFITAS ENZIM TRIPSIN PADA FESES SAPI MELALUI UJI GELATIN UNTORO WIBOWO B04101049 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 Judul : Pengaruh Pemberian Formalin Terhadap Aktifitas Enzim Tripsin Pada Feses Sapi melalui Uji Gelatin. Nama : Untoro Wibowo NRP : B04101049 Menyetujui, Drh. Endang Rachman S., MS Pembimbing Mengetahui, Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Tanggal Kelulusan : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 17 April 1982 di Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Wagimanto dan Ibu Sumini. Pada tahun 1989 penulis memulai pendidikannya dari bangku sekolah dasar. Pada tahun 1995, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Muktijaya OKI. Ditahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke pendidikan SMPN 02 Air Sugihan, OKI dan lulus tahun 1998. Kemudian ditahun yang sama melanjutkan pendidikan ke SMUN 11 Palembang. Pada tahun 2001 penulis lulus SMU, dan ditahun yang sama penulis masuk ke perguruan tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur USMI. Selama menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor penulis aktif pada organisasi Ikatan Mahasiswa Bangka di Bogor dan sebagai ketua Asrama Mahasiswa IPB Ekasari Periode 2006-2007. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah melihat pengaruh formalin dengan berbagai konsentrasi terhadap aktifitas enzim tripsin pada feses sapi melalui uji gelatin. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh. Endang Rachman S., MS, selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Djajat Sudradjat, SSi selaku staf Laboratorium Patologi Klinik Veteriner, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian. Teman-teman GASTRO angkatan 38, keluarga besar ASRAMA IPB EKASARI. Terakhir terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Orang tua, kakak, adik dan seluruh keluarga, terimakasih atas semangat dan do’anya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2006 Penulis DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ………………………………………………………….....………i RIWAYAT HIDUP ………………………………………………...........………v KATA PENGANTAR ……………………………………………........………..vi DAFTAR ISI ………………………………………………………......………..vii DAFTAR TABEL …………………………………………………….....……...ix PENDAHULUAN Latar Belakang …………………………………………………........……1 Tujuan ……………………………………………………….........………2 Manfaat .......................................................................................................2 TINJAUAN PUSTAKA Pencernaan pada Ruminansia ………………………………..........………3 Pankreas …………………………………………………..........…………4 Enzim Tripsin …………………………………………………..........……6 Uji Gelatin …………………………………………………….....………10 Formalin ……………………………………………………...……….....10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………......…….........12 Bahan dan Alat …………………………………………….....………….12 Metode Penelitian …………………………………………….....……….12 Pengambilan Sampel ……………………………….........………12 Penyimpanan Sampel ……………………………….......……….12 Persiapan Bahan ………………………………………......……..12 Metode Kerja ………………………………………….........……13 HASIL DAN PEMBAHASAN Penyimpanan Feses dengan Berbagai Konsentrasi Formalin ….........…. 14 Penyimpanan Feses tanpa Formalin pada Suhu Kamar ……..…..........…17 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ………………………………………………………….......…19 Saran ………………………………………………………….....………19 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….....…………20 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Enzim-enzim yang dihasilkan pankreas ………………………....………8 Tabel 2. Kriteria hasil pemeriksaan aktifitas enzim tripsin dari feses sapi melalui Uji Gelatin ……………………………………………....……13 Tabel 3. Rataan hasil pemeriksaan sampel feses yang dilakukan pada beberapa konsentrasi formalin ………………………………....………15 PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pertanian khususnya sub-sektor peternakan harus siap menghadapi persaingan pasar bebas. Untuk menghadapi persaingan tersebut, baik ditingkat nasional maupun internasional, maka produk hasil peternakan dimasa mendatang harus dihasilkan secara efisien, terjamin kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya. Salah satu komoditi yang sangat diharapkan perkembangannya dimasa yang akan datang adalah peternakan sapi dan produk hasil olahannya. Astuti et al. (1983) menyatakan bahwa produktifitas ternak potong di Indonesia masih tergolong rendah dibanding dengan produktifitas dari ternak sapi di negara-negara yang telah maju. Sehingga untuk meningkatkan produktifitas, kualitas, kuantitas, efisiensi, dan kontinuitas produk sapi maka harus dilakukan langkah-langkah strategis dan penunjang. Langkah-langkah strategis yang dimaksud antara lain sistem perkandangan, pakan, dan tata laksana peternakan haruslah baik. Sedangkan tindakan penunjang antara lain: menganalisa konversi pakan secara rutin, pemeriksaan kesehatan ternak secara berkala dan membuat laporan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan ternak dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pemeriksaan langsung dan pemeriksaan laboratories. Pemeriksaan laboratories merupakan pemeriksaan untuk menguatkan diagnosa. Sampel yang biasanya diambil dapat berupa darah, urin, feses, eksudat, bahkan biopsi jaringan pada kasus tertentu. Hal ini seharusnya dilakukan karena beberapa penyakit hanya menimbulkan gejala sub-klinis sehingga tidak terdeteksi dengan pengamatan secara langsung. Gejala yang kadang tidak terdeteksi tersebut antara lain menurunnya fungsi hati, ginjal ataupun pankreas. Penurunan fungsi pankreas adalah penyakit yang memberikan efek kronis pada hewan yaitu terganggunya penyerapan protein oleh tubuh. Salah satu indikator terjadinya penurunan fungsi pankreas adalah rendahnya aktifitas tripsin dalam feses. Demikian pentingnya tripsin dalam saluran pencernaan sehingga jika enzim ini terganggu maka mengakibatkan tidak efisiensinya konversi pakan. Salah satu teknik yang berkembang untuk mendeteksi tripsin adalah dengan menggunakan Uji Gelatin. Pengkajian dan pengembangan enzim tripsin ini perlu dicermati dengan serius, untuk peningkatan efisiensi terutama ternak sapi. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh formalin dengan berbagai konsentrasi terhadap aktifitas enzim tripsin melalui uji gelatin. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah salah satu cara yang mempermudah dalam pemeriksaan fungsi pankreas. TINJAUAN PUSTAKA Pencernaan pada Ruminansia Lambung sapi terdiri atas rumen yang mengisi 80%, retikulum 5%, omasum 8%, dan abomasum yang merupakan lambung kelenjar 8% dari total lambung (Arora, 1989). Makanan akan dicerna oleh sejumlah saliva. Jumlah saliva perhari ± 15 liter. Selama ruminasi makanan berada di ujung anterior rumen dan akan dikeluarkan kembali ke oesophagus dan mulut. Hal ini disebabkan rangsangan taktil pada epitel rumen anterior. Makanan yang telah lumat akan dikembalikan ke retikulum sedangkan yang kasar akan dikunyah terus-menerus sebelum dikembalikan ke retikulum. Motilitas retikulo rumen dikontrol oleh system syaraf pusat dan dipengaruhi oleh kondisi intra ruminal. Terdapat system saraf instrinsik yang ekstrensif mempengaruhi retikulorumen, tapi inervasi N. Vagus lebih berperan untuk koordinasi dalam keadaan normal secara kimiawi (Cunningham, 1997). Perombakan makanan secara kimiawi dalam retikulo-rumen dilakukan oleh enzim yang tidak disekresikan hewan itu sendiri tetapi berasal dari mikroorganisme yang terdapat dalam ruangan pencernaan itu. Makanan dan air akan masuk rumen dan difermentasikan secara parsial untuk menghasilkan terutama asam lemak, sel-sel mikroba, gas metan dan karbondioksida, kemudian akan dikeluarkan melalui eruktasi. Sel-sel mikroba dan zat-zat yang telah dirombak akan masuk ke omasum, abomasum dan usus halus. Ditempat ini makanan akan dicerna oleh enzim inang dan hasil pencernaan akan diserap (Manalu, 1999). Pencernaan ruminansia merupakan pencernaan makanan yang dilakukan dengan bantuan fermentasi oleh bakteri. Sekresi pankreas pada sapi berbeda dengan hewan monogastrik. Analisa kromatografi sekresi pankreas sapi menunjukkan bahwa dalam usus halus, bahan amilase lebih sedikit dari lipase. Cairan yang keluar dari pankreas sapi mengandung bicarbonate, amilase, protease, dan lipase lebih rendah bila dibanding anjing (Kaneko, 1970). Dalam proses fermentasi, substrat molekuler diurai oleh kegiatan dari bakteri atau mikroorganisme lainnya. Hidrolisa enzim dari molekul besar merupakan bagian esensial dalam proses fermentasi. Enzim pada ruminansia (sapi) berasal dari hasil metabolisme mikroba dan dari host itu sendiri. Perbedaan antara fermentasi dan sistem kelenjar adalah kecepatan reaksi dan perubahan besar molekul substrat. Pada umumnya kecepatan reaksi dari pencernaan fermentasi lebih lambat dari sistem kelenjar dan substrat (Cunningham, 1997). Pankreas Pankreas berada dibelakang lambung, menghasilkan getah pankreas yang mengandung enzim-enzim penting untuk pencernaan. Bagian pankreas yang menghasilkan getah pankreas adalah kelenjar alveolus gabungan yang didalamnya terdapat granul-granul yang berisi enzim pencernaan (granula zimogen) yang dikeluarkan dari apeks sel lumen duktus pankreatikus. Cabang-cabang halus duktus bergabung menjadi sebuah duktus (ductus pancreatikus wirsungi) yang biasanya bersatu dengan duktus koledokus untuk membentuk Ampula Valeri. Pada beberapa makhluk hidup terdapat duktus pankreatikus assesorius (duktus Sartorini) yang masuk ke dalam duodenum dibagian yang lebih proksimal (Ganong, 1998). Pankreas terdiri atas dua tipe kelenjar yaitu kelenjar endokrin dan kelenjar eksokrin. Kelenjar endokrin memiliki fungsi tersendiri karena mensekresikan hormon pada aliran darah. Sebagian besar dari pankreas diliputi oleh sekresi digesti yang dikenal dengan klenjar eksokrin karena sekresi tersebut dikeluarkan ke dalam lumen usus (Cuningham, 1997). Enzim-enzim yang disekresikan pankreas akan meneruskan pencernaan protein, lemak, maupun karbohidrat (anonimous, 2000). Menurut Guyton (1994), sekresi pankreas diatur oleh: 1. Mekanisme syaraf Mekanisme pada nervus Vagus yang mengakibatkan lepasnya asetilkolin yang diikuti sekresi dalam jumlah sedang ataupun dalam jumlah banyak enzim ke dalam sel asini pankreas. 2. Pengaturan secara hormonal Keberadaan kimus (“chyme”) dalam usus halus merangsang sekresi pankreas sebagai tanggapan dari hormon sekretin dan hormon kolisistokinin akan menyebabkan bertambahnya sekresi enzim. Karakteristik cairan pankreas ditentukan sampai batas tertentu oleh tipe makanan pada kimus. Secara umum getah pankreas mengandung enzim-enzim untuk mencerna ketiga tipe makanan utama yaitu: protein, karbohidrat dan lemak. Cairan ini juga mengandung sejumlah besar ion karbonat yang memegang peranan penting menetralkan asam dari kimus yang dikeluarkan oleh lambung ke duodenum. Berdasarkan fungsinya dalam proses pencernaan gatah pankreas dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: enzim untuk protein (proteolitik), enzim untuk karbohidrat (amilolitik), dan enzim untuk lemak (lipolitik). Penyebab gangguan pencernaan yang paling berat adalah kegagalan pankreas untuk mensekresikan cairannya kedalam usus halus. Tidak adanya sekresi pankreas sering terjadi pada (1) pankreatitis, (2) penyumbatan duktus pankreatikus oleh batu empedu oleh papilla Valeri, atau (3) setelah pengangkatan kapul pancreas akibat keganasan dari suatu radang. Pankreatitis dapat terjadi baik dalam bentuk pankreatitis akut maupun pankreatitis kronis. Penyakit secara khusus dibagi dalam dua sindrom, yaitu: I. Pankreatitis Akut Penyebab dari pankreatitis akut tidak jelas namun diperkirakan dari pengaruh infeksi atau trauma dianggap sebagai pemicu pengeluaran enzim pankreas itu sendiri serta jaringan yang berdekatan. Terjadinya pankreatitis akut ditandai dengan adanya pankreas yang sudah rusak atau jika duktus tersumbat, sejumlah besar sekresi pankreas akan bertumpuk pada daerah pankreas yang rusak. Pada kondisi ini, efek penghambat tripsin sangat kuat. Tanda klinis seperti adanya kesakitan abdominal, immobilitas, melengkungkan punggungnya, abdomen mengeras, muntah, diare, dehidrasi dan shock. II. Pankreatitis Kronis Kejadian pankreatitis kronis termasuk perluasan dari lokasi pankreatitis akut, obstruksi dari saluran pankreas, faktor turunan dari Juvenile Pankreatic Atrophy. Tanda klinis hanya terjadi jika 90% dari kapasitas sekresi hilang. Penyakit ini sering terjadi pada anjing dan kucing, ditandai peningkatan nafsu makan dan rasa haus, tetapi terjadi kehilangan berat badan yang berakibat kekurusan. Gejala lainnya adalah peningkatan jaringan lemak pada feses. Pankreatitis merupakan efek yang timbul setelah hewan mengalami pankreatitis akut. Kerusakan sel asini mengakibatkan kekurangan tripsin dan kimotripsin yang lebih lanjut akan menyebabkan defisiensi enzim pencernaan, ditandai adanya serabut daging (creatorrhea) dan kehilangan nitrogen (azotorrhea). Bentuk kelainan pankreas antara lain: 1. Atropi Pankreas Pada atropi primer tidak ditemukan proses inflamasi dan tidak menyebabkan diabetes melitus. Hal ini yang membedakan dengan pankreatitis kronis. Namun, dari kedua kejadian tersebut dapat menyebabkan kegagalan pencernaan. Atropi sel asinar dapat menyebabkan atropi sekunder menjadi pankreatitis fibrosa serta obstruksi duktus. Bentuk pankreas yang mengalami atropi sekunder sering tidak sesuai dengan normal antara lain nodul kasar, terdapat jaringan ikat dan lebih kecil dari normal. 2.Hipoplasia Hipoplasia dari jaringan asinar ditemukan pada anjing dan anak sapi. Hewan ini menunjukkan gejala defisiensi fungsi pankreas yang sulit dibedakan dengan atropi pankreas. 3.Neoplasia pankreas Neoplasia pankreas biasanya secara tidak langsung berasal dari jaringan kelenjar eksokrin atau duktus ekskretori. Enzim Tripsin Enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan berperan sebagai katalisator pada reaksi kimia yang berlangsung dalam mikroorganisme. Katalisator adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi pada akhir reaksi, substansi tersebut tidak berubah. Semua sel menghasilkan sejumlah besar enzim yang berbeda-beda dan fungsi sel ditentukan oleh enzim yang terdapat didalamnya. Beberapa sel melepaskan enzim yang berperan diluar sel, sebagai contoh sel-sel dibagian permukaaan saluran pencernaan menghasilkan enzim yang mencerna makanan. Tripsin sendiri menurut Word Net Dictionary (2003) merupakan enzim dari pankreas yang mengkatalis hidrolisa protein kedalam unit peptida lebih kecil. Sedangkan menurut Webster Dictionary (1913), tripsin menyebabkan protein pecah menjadi bagian kecil. Menurut Biology Dictionary (2003), tripsin merupakan enzim proteolitik yang menghidrolisa ikatan peptida pada gugus carboxyl menjadi asam amino. Menurut Harow (1958), tripsin termasuk enzim proteolitik golongan endopeptidase yang berfungsi dalam proses hidrolisis (memutuskan ikatan kovalen sambil mengikat air). Sedangkan menurut girindra (1982), tripsin merupakan bentuk aktif dari tripsinogen. Tripsinogen termasuk golongan enzim monomerik yaitu enzim yang hanya terdiri dari satu rantai polipeptida dan mengandung bagian aktif dari enzim tersebut. Kelompok ini memiliki berat molekul 13.000 sampai 35.000 dan tidak dapat berdisosiasi menjadi bagian yang lebih aktif, misalnya protease yang sangat aktif dan bisa berbahaya bagi sel dan jaringan sekitarnya. Komposisi enzim dari sekresi pankreas tergantung dari diet hewan tersebut. Penyesuaian spesifik dari enzim pankreas bergantung pada diet. Amilase dari kimotripsinogen secara signifikan akan meningkat ketika mencernakan karbohidrat dan protein dalam jumlah besar. Sedangkan pepsinogen memiliki porsi yang tetap terhadap semua diet. Enzim proteolitik meliputi tripsin, kimotripsin, karboksipolipeptidase, ribonuklease dan deoksiribonuklease. Tripsin dan kimotripsin menguraikan seluruh atau sebagian protein yang dicerna menjadi peptida dalam berbagai ukuran. Sebaliknya karboksipeptidase akan memecah masing-masing asam amino dari ujung karboksipeptidase, jadi untuk menguraikan sebagian besar protein menjadi asam amino. Enzim pencernaan untuk memecah karbohidrat adalah amilase pankreas yang akan menghidrolisa glikogen dan sebagian besar karbohidrat selain selulosa yang berfungsi membentuk disakarida. Sedangkan enzim utama yang mencerna lemak yaitu lipase pankreas yang mampu menghidrolisa lemak netral menjadi asam lemak dan monogliserida. Kerja-kerja enzim pankreas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Enzim-enzim yang dihasilkan pankreas ( Harper, 1979): Cara pengaktifan Enzim dan keadaan Substrat optimal untuk Hasil akhir atau kerja aktifitas Tripsin Tripsinogen diubah Protein menjadi tripsin aktif Protease oleh enterokinase Kimotripsin Disekresi Dipeptida Pepton sebagai Protein Sama seperti kimotripsinogen dan Protease tripsin, daya diubah koagulasi bentuk menjadi Pepton kimotripsin lebih aktif oleh tripsin Karboksipeptidase Disekresi besar untuk susu sebagai Polipeptida Peptida yang prokarboksipeptidase, lebih rendah, diaktifkan asam amino oleh tripsin Amilase pankreas Polipeptida pH 7,1 bebas Pati Maltosa Glikogen Oligo sakarida Lipase Diaktifkan garam empedu oleh Ikatan ester primer Asam lemak Lemak Gliserol Ribonuklease Asam ribonukleat Nukleatida Deoksiribonukle Asam Nukleatida ase deoksiribonuklease Kolesteril ester Diaktifkan hidrolase Fosfolipase A2 oleh Ester kolesteril garam empedu Kolesterol bebas Fosfolipid Asam lemak Enzim yang disintesis oleh sel-sel pankreas proteolitik adalah enzimenzim yang terdapat dalam bentuk tidak aktif berupa tripsinogen dan prokarboksipolipeptinogen yang semuanya secara enzimatik tidak aktif. Semua enzim ini akan aktif setelah disekresikan ke dalam traktus intestinalis. Tripsinogen diaktifkan oleh enzim yang disebut enterokinase, yang disekresi oleh mukosa usus ketika kimus berkontak dengan mukosa. Kimotripsinogen diaktifkan oleh tripsin untuk membentuk kimotripsin dan prokarboksipolipeptinogen diaktifkan dengan jalan yang sama. Zat yang tersimpan di dalam sitoplasma sel kelenjar yang mengelilingi granula enzim dan mencegah pengaktifan tripsin baik didalam sel sekretoris maupun didalam sel asini dan duktus pankreatikus dinamakan dari kelenjar pankreas, ion bikarbonat dan air dari getah pankreas juga disekresikan dalam jumlah besar oleh sel-sel epitel dari duktus yang keluar dari sel asini. Gambaran perubahan dari proenzim menjadi enzim (Ganong, 1998): PROENZIM Tripsinogen ENZIM Endopeptidase Tripsin Kimotripsinogen Kimotripsin Tripsin Proelastase Tripsin Prokarboksipolipeptidase Elastase Karboksipolipeptidase Tripsin Uji Gelatin Menurut Dorland (1998), gelatin adalah substansi yang didapat dari hidrolisa parsial kolagen yang berasal dari kulit, jaringan ikat putih dan tulang rawan, digunakan sebagai agen suspensi serta dalam pembuatan kapsul dan suposituria, juga dapat digunakan sebagai pengganti plasma dan telah digunakan sebagai adjuvant makanan protein, sediaan seng oksida, gliserin dan air murni. Gelatin dipakai topical sebagai pelindung. Traktus digestivus merupakan alat yang berfungsi untuk mencerna makanan dan penyerapan sari-sari makanan. Uji gelatin merupakan salah satu uji yang dilakukan pada feses hewan dimana secara khusus untuk mendeteksi reaksi enzim tripsin dalam feses (Anonimous, 2003). Formalin Formalin merupakan campuran formaldehid yang berbentuk gas dan air, bentuk dasar formaldehid adalah gas. Biasanya konsentrasi formalin 37% yaitu 37 gram gas formaldehid dalam 100 ml larutan (Mc Lean, 2004). Formalin umumnya juga mengandung alkohol (methanol) 10-15% yang berfungsi sebagai stabilisator agar formalin tidak mengalami polimerisasi. Di pasaran, formalin dapat diperoleh dalam bentuk yang diencerkan yaitu dengan kadar 30%, 20% dan 10%. Selain itu, formalin dapat diperoleh dalam bentuk tablet dengan berat 5 gram (Winarno, 1997). Formalin merupakan golongan dari aldehid alifatik yang unik. Formalin yang murni adalah monomer dan berbentuk gas, di pasaran berbentuk larutan 3750% HCHO. Secara komersil formalin dalam larutan methanol, propanol dan butanol, juga dijual dalam bentuk padat, serbuk, polimer linier, paraformaldehid, HO (CH2O)3H, siklik trimer dan a-trioxane (Kirk-Othmer, 1966). Formalin tidak berwarna, bentuk gas dengan bau yang tajam. Formalin larut dalam air, aseton, benzene, diethyleter, chloroform dan ethanol. Formalin sangat reaktif dan berembun dengan beberapa campuran untuk menghasilkan methylol atau derivate methylene (Anonimous, 2003). Formalin merupakan salah satu famili campuran bahan kimia berupa larutan organik yang mudah menguap atau berubah bentuk yaitu pada suhu kamar normal akan berubah menjadi gas (CPSC, 1997). Formalin dapat membunuh bakteri dan sporanya, fungi serta beberapa virus, tetapi daya sporisidalnya lebih lambat dibanding glutaraldehida. Formalin dapat berikatan dengan protein dan efikasinya agak berkurang didalam bahan organik. Formalin melepaskan bahan seperti noxythiolin dan taurolin yang digunakan sebagai larutan irigasi dalam pengobatan peritonitis (Linton, 1987). Formalin mempunyai sifat antimikrobial yang sangat tinggi, sangat efektif membunuh mikroba dan merupakan salah satu jenis alkil. Selanjutnya dikatakan bahwa sifat antimikrobial formalin melalui beberapa cara seperti merusak asam dioksiribonukleat (DNA), denaturasi protein, mengganggu selaput dalam dinding sel, menghilangkan gugus sulfidril dan antagonisme kimiawi (Susianingsih, 2003). Larutan formalin sangat mudah bereaksi dengan makromolekul seperti protein dan asam nukleat (Clary dan Sulivan, 1992). Formalin dapat mereduksi bahan kimia dengan kuat kususnya dalam kondisi yang bersifat alkalis. Daya kerja formalin berlawanan dengan ammonia, alkalis, tanin, bisulfida, preparat ferrum, garam cuprum, garam ferrum, garam perak, iodine dan kalium permanganat. Secara langsung dapat bersenyawa dengan albumin, kasein, gelatin, agar dan zat tepung untuk membentuk larutan tidak jenuh. Jika formalin bereaksi dengan nitrogen oksida, asam performik, nitrimethane, mangan karbonat dan hydrogen peroksida akan berwarna violet. Formalin dapat berbentuk kabut, khususnya pada temperatur dingin, oksidasi secara perlahan dalam udara dan sensitive terhadap cahaya (Anonimous, 2003). Formalin termasuk kelompok senyawa desinfektan kuat, dapat membasmi berbagai jenis bakteri pembusuk, cendawan, dan kapang. Disamping itu, formalin dapat mengeraskan jaringan tubuh, oleh karenanya formalin 37% digunakan untuk mengawetkan mayat, bahan biologi dan preparat patologi (Winarno, 1997). MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006. Pengambilan sampel dilakukan di Kandang sapi URR FKH-IPB dan pemeriksaan feses bertempat di Laboratorium Patologi Klinik, Departemen Klinik Reproduksi Dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Dalam penelitian ini, bahan yang digunakan adalah sampel feses segar yang diambil dari 4 ekor sapi yang positif mengandung enzim tripsin, gelatin 7,5%, formalin 10%, Na2CO3 dan akuades. Alat yang digunakan adalah sentrifuge, bunsen, tabung reaksi, gelas ukur 250 ml, refrigerator, kantong plastik, pipet, penggerus dan water bath. Metode Penelitian : Pengambilan Sampel Sampel feses diambil sesaat setelah feses keluar dari anus 4 ekor sapi. Feses segar langsung diambil dan dimasukkan kedalam plastik. Sampel feses kemudian dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik untuk dibuat ekstrak feses dan yang positif mengandung enzim tripsin terbaik (+4) disimpan pada suhu ruang untuk pemeriksaan hari berikutnya. Penyimpanan Sampel Feses disimpan pada suhu ruang. Masing-masing dibagi dalam tiga belas bagian, yaitu: feses dengan formalin 10%, 9%, 8%, 7%, 6%, 5%, 4%, 3%, 2%, 1%, 0,5%, dan feses tanpa formalin sebagai kontrol. Persiapan Bahan Masing-masing sampel feses dibuat ekstrak yang dilakukan dengan cara mencampurkan 9 ml air dengan feses hingga volumenya mencapai 10 ml (konsentrasi 10%), kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit (supernatan akan digunakan sebagai sampel). Pembuatan gelatin 7,5% dengan cara menimbang 7,5 gram per 100 ml air dengan gelas ukur 250 ml, panaskan bunsen hingga gelatin dalam air larut. Setelah lerut, kemudian diangkat dan diamkan hingga suhu mencapai 370C. Metode Kerja Masing-masing sampel diperlakukan pemeriksaan dengan uji gelatin. Untuk membedakan adanya aktifitas tripsin positif dan negatif dilakukan pembuatan kontrol. 1. Pembuatan Kontrol 2 ml gelatin 7,5% dimasukkan kedalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 1ml Na2CO3 5% dan 1ml akuades. Masukkan kedalam water bath dengan suhu 37oC selama 1 jam dan dimasukkan dalam refrigerator dengan suhu 4oC sampai menjadi gel atau membeku. 2. Penetapan Tripsin dalam Feses 2ml gelatin 7,5% dimasukkan kedalam tabung reaksi yang telah disiapkan. Kemudian ditambahkan kedalamnya 1ml Na2CO3 5% dan 1ml supernatan. Masukkan kedalam water bath dengan suhu 37oC selama 1 jam dan masukkan dalam refrigerator dengan suhu 4oC serta dibaca hasilnya setelah kontrol menjadi gel. Tabel 2. Kriteria Penilaian Aktifitas Enzim: Hasil +4 Kriteria Tetap cair (encer) semua dalam 4ml, jika tabung dimiringkan mengikuti pergerakan tabung +3 Membeku (menjadi gel) ¼ bagian dalam 4ml +2 Membeku (menjadi gel) ½ bagian dalam 4ml +1 Membeku (menjadi gel) ¾ bagian dalam 4ml - Beku semua, jika tabung dimiringkan cairan tegak lurus HASIL DAN PEMBAHASAN Penyimpanan Feses dengan Berbagai Konsentrasi Formalin Hari ke-0 merupakan pemeriksaan feses yang baru diambil untuk menentukan status sampel dari hewan tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa pada tabung reaksi tidak terjadi pembentukan gel seperti yang terjadi pada tabung blanko dan terlihat konsistensinya cair atau encer (+4) yang berarti aktifitas tripsin tinggi. Sampel yang memberikan hasil yang positif pada uji gelatin akan disimpan untuk keesokan harinya dengan pemeriksaan yang sama. Pada hari ke-1 didapatkan hasil yang negatif (-) untuk konsentrasi 4-10%, dimana seluruh cairan yang ada di dalam tabung menggumpal. Hal ini menunjukkan aktifitas enzim tripsin tidak ada lagi. Untuk memastikan bahwa tidak ada lagi aktifitas enzim tripsin, maka sampel dengan formalin 10% tetap disimpan untuk pemeriksaan berikutnya. Hasilnya didapatkan cairan yang ada didalam tabung reaksi menggumpal semua. Pemeriksaan dilakukan sampai penelitian selesai hasilnya menunjukkan yang sama dengan hari pertama. Formalin dengan konsentrasi 4-10% merupakan konsentrasi yang cukup besar sehingga dapat mematikan aktifitas enzim tripsin. Pernyataan ini didukung oleh Olson (1999) bahwa formaldehid/formalin menyebabkan koagulasi protein dan akan menyebabkan nekrosis koagulasi jaringan terpapar. Menurut Girindra (1993), enzim dikatakan sebagai suatu kelompok protein yang berperan sangat penting dalam proses aktifitas biologis. Enzim ini berfungsi sebagai katalisator dalam sel dan sifatnya sangat khas. Dalam jumlah yang sangat kecil, enzim dapat mengatur reaksi tertentu sehingga dalam keadaan normal tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan hasil akhir reaksinya. Enzim ini akan kehilangan aktifitasnya akibat panas, asam atau basa kuat, pelarut organik, atau apa saja yang dapat menyebabkan denaturasi protein. Apabila dilihat dari sifat kelarutannya, maka formalin merupakan pelarut organik. Pernyataan ini didukung oleh CPSC (1997) bahwa formalin merupakan salah satu famili campuran bahan kimia yang berupa larutan organik yang mudah menguap atau berubah bentuk yaitu pada suhu kamar normal akan berubah menjadi gas. Hasil pengamatan aktifitas enzim tripsin dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3. Rataan hasil pemeriksaan sampel feses yang dilakukan pada beberapa konsentrasi formalin : [F]* 10% 9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0,5% Kontrol Hari 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 +4 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ +4 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ +4 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ +4 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ +4 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ +4 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ +4 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ +4 +1 +1 +1 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ +4 +2 +2 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 +1 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Keterangan : [F]* = Konsentrasi Formalin ( % ) Kontrol = Sampel Feses tanpa formalin +4 = Cair (encer) semua dalam 4ml larutan +3 = Membeku (menjadi gel) ¼ bagian dalam 4ml larutan +2 = Membeku (menjadi gel) ½ bagian dalam 4ml larutan +1 = Membeku (menjadi gel) ¾ bagian dalam 4ml larutan = Membeku semua (menjadi gel) dalam 4 ml larutan +4 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +2 +2 +2 +2 +2 +2 +2 +1 +1 +1 +1 +1 +1 _ _ _ +4 +4 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +1 +1 +1 _ +4 +4 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +3 +2 +1 +1 _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Selain formalin sebagai pelarut organik, formalin juga dapat menyebabkan denaturasi protein. Hal ini disebabkan formalin selain mengandung formaldehid formalin juga mengandung metanol. Formalin adalah zat kimia yang mengandung unsur karbon, hidrogen, dan oksigen, dan mempunyai nama lain formaldehid. Seacaara fisik terdapat dalam bentuk larutan tidak berwarna dengan kadar antara 37-40%. Formalin biasanya mengandung alkohol atau metanol 10-15% yang berfungsi sebagai stabilisator untuk mencegah polimerisasi formaldehid menjadi paraformaldehid yang bersifat sangat beracun (Anonimous, 2006). Alkohol atau metanol inilah yang dapat menyebabkan denaturasi protein. Penurunan konsentrasi formalin akan semakin menurunkan efeknya terhadap aktifitas enzim tripsin. Hal ini terlihat pada konsentrasi formalin 3%, dimana aktifitas enzim tripsin masih mampu bertahan sampai hari ke-3 walaupun sangat kecil. Begitu juga dengan konsentrasi 2% aktifitas enzim tripsin mampu bertahan sampai hari ke-11. Pada konsentrasi formalin 1% terlihat aktifitas enzim tripsin mampu bertahan sampai hari ke-22. Dan dengan penurunan yang lebih kecil lagi sampai 0,5% terlihat aktifitas enzim tripsin mampu bertahan sampai hari ke-24. Tetapi semakin diperkecil lagi konsentrasinya sampai 0,1% aktifitas enzim tripsin semakin menurun dan hanya mampu bertahan sampai hari ke-18. Larutan formalin merupakan desinfektan yang efektif melawan bakteri fegetatif, jamur, dan beberapa virus, tetapi hanya bekerja efektif secara perlahan terhadap spora bakteri dan bakteri tahan asam. Formalin bereaksi terhadap protein yang kemudian dapat mengurangi kemampuannya melawan mikroorganisme. Efektifitas gas formalin bergantung pada kemampuan kelarutannya dalam air sebelum bereaksi pada mikroorganisme (Anonimous, 2006). Dari pernyataan diatas bahwa semakin kecil konsentrasinya efek formalin akan semakin menurun. Sehingga kehadiran bakteri kemungkinan besar masih dapat bertahan hidup. Substrat dari bakteri juga dapat berfungsi sebagai enzim proteolitik sehingga memberikan hasil yang positif dalam uji gelatin. Pernyataan ini didukung oleh Deflin (1993) bahwa enzim protease yang dihasilkan bakteri seperti Streptomices griceus dan Mycobacter 450 menunjukkan kesamaan struktural dan fungsi yang homolog dengan enzim tripsin. Karakteristik dari formalin adalah mudah larut dalam air, mudah menguap, mempunyai bau yang tajam dan iritatif walaupun ambang penguapannya hanya 0 /00 (Anonimous, 2006).Sifat yang mudah menguap inilah yang dapat menyebabkan hilangnya formalin sehingga tidak mampu memberikan efek terhadap enzim tripsin maupun mikroorganisme. Hal ini terlihat pada konsentrasi formalin 0,1% yang hanya mampu bertahan sampai hari ke-18. Hilangnya atau kecilnya konsentrasi formalin akan mampu membuat mikroorganisme mampu bertahan sampai nutrisi pada media habis. Kehadiran bakteri ini akan menimbulkan kerancuan terhadap hasil pemeriksaan enzim trpsin yang dihasilkan pankreas itu sendiri. Penyimpanan Feses tanpa Formalin pada Suhu Kamar Pada hari ke-0 merupakan pemeriksaan feses yang baru diambil untuk menentukan status pankreas dari hewan tersebut. Dan sampel yang memberikan hasil yang positif pada uji gelatin akan disimpan untuk keesokan harinya dengan pemeriksaan yang sama. Pada hari ke-1 didapatkan hasil yang sama dengan hari ke-0 dimana hasilnya adalah positif (+4) dengan konsistensi sampel cair. Hal ini menandakan keberadaan aktifitas enzim tripsin yang baik untuk membuat gelatin tidak membeku setelah diinkubasikan pada suhu kamar. Pemeriksaan pada hari ke-2 terjadi penurunan dari hari sebelumnya. Dimana konsistensinya agak kental dibandingkan hari sebelumnya. Namun kemampuan dan aktifitas enzim tripsin dalam sampel masih cukup untuk mempertahankan gelatin tetap mencair. Pemeriksaan hari ke-3 sampai hari ke-12 menunjukkan hasil yang sama positif (+3). Uji gelatin harus diinterpretasikan secara hati-hati dimana bakteri penghasil enzim yang dapat mencernakan protein dapat hadir dalam jumlah yang cukup untuk memberikan hasil yang positif dari tripsin. Pernyataan ini juga didukung oleh Kaneko (1970) bahwa substrat gelatin tidak spesifik hanya untuk enzim tripsin dimana gelatin juga dapat dihidrolisa oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh bakteri pencernaan atau enzim proteolitik dari sekresi pencernaan (succus entericus). Dimana tidak menutup kemungkinan bakteri yang ada didalam sekum akan keluar dari tubuh bersama feses sehingga di dalam feses hewan mengandung bahan organik yang akan diuraikan dan dapat melepaskan gas CH4 atau gas bio (Anonimous, 2000). Selain pernyataan diatas hal yang dapat mempengaruhi hasil pada penyimpanan suhu kamar adalah adanya kontaminasi dari luar atau lingkungan. Substrat dari bakteri juga dapat berfungsi sebagai enzim proteolitik sehingga memberikan hasil yang positif dalam uji gelatin. Menurut Devlin (1993), enzim protease yang dihasilkan bakteri Streptomyces griceus dan Myxobacter 450 menunjukkan kesamaan struktural dan fungsi yang homolog dengan enzim tripsin. Selain itu serine protease subtilin dapat diisolasi dari Bacillus subtilis yang dapat menghidrolisa peptida. Bacillus subtilis diklasifikasikan kedalam enzim proteolitik yang basa seperti tipe enzim tripsin. Apabila dilihat dari suhu penyimpanannya itu sendiri bahwa suhu kamar merupakan suhu yang sangat mendukung untuk pertumbuhan dan berkembangnya bakteri mesofilik seperti Bacillus subtilis. Bakteri ini memiliki karakter dimana suhu pertumbuhan yang optimum adalah pada suhu 30oC dan dalam waktu 24 jam sudah mengalami tingkat pertumbuhan yang tinggi (Poernomo et al, 2004). Oleh karena itu penyimpanan pada suhu kamar akan memberikan suasana yang baik untuk pertumbuhan dari bakteri tersebut. Hal ini akan menimbulkan kerancuan terhadap hasil pemeriksaan keberadaan enzim tripsin yang dihasilkan oleh pankreas itu sendiri. Pada hari ke-12 terjadi penurunan sampai hari ke-16 dari konsistensinya yang semakin membeku total. Hasil ini menunjukkan bahwa aktifitas enzim tripsin berkurang sampai tidak ada aktifitasnya lagi untuk membuat gelatin tetap mencair. Pertumbuhan populasi bakteri secara normal terbatas baik karena kekurangan zat gizi yang tersedia atau adanya akumulasi hasil metabolisme beracun. Kecepatan reaksi kimia ditentukan oleh konsentrasi pereaksi tetapi seperti diketahui kecepatan tumbuh bakteri tetap sama sampai mediumnya hampir kehabisan zat gizi pembatas (Stanie et al, 1992). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian terhadap sampel feses sapi yang diawetkan dengan berbagai konsentrasi formalin pada suhu ruang maka dapat disimpulkan bahwa formalin dengan konsentrasi diatas 4% akan mematikan aktifitas enzim tripsin. Formalin dengan konsentrasi dibawah 3% masih dapat memperlihatkan adanya aktifitas enzim tripsin. Konsentrasi penyimpanan terbaik pada suhu ruang adalah konsentrasi 0,5-1%. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat apakah mikroorganisme pada feses dapat menghasilkan anti tripsin sehingga tripsin mudah rusak. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk melihat kondisi telur cacing dengan konsentrasi formalin 0,5-1% yang merupakan konsentrasi penyimpanan terbaik untuk pemeriksaan enzim tripsin. Dalam penentuan kriteria penilaian sebaiknya sempel ditimbang agar hasilnya lebih akurat. Untuk menghindari hasil yang positif palsu, sebaiknya di teliti terlebih dahulu hadir atau tidaknya bakteri penghasil enzim proteolitik. DAFTAR PUSTAKA A n o n i mo u s 2 0 0 0 . S i s t e m P e n c e r n a a n P a d a H e w a n M e ma m a h b i a k . http://bebas.vism.org / V12 (sponsor pendamping) / praweda / biologi / 0066% 20 Bio % 202 sd htm. [24 Juli 2005] Anonimous 2003. Penuntun Patologi Klinik. Laboratorium Klinik. FKH-IPB Bogor. Arora S.P. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia diterjemahkan oleh Retno Muwarni. UGM Press. Indonesia. Astuti M, W. Hardjosubroto dan S. Lebdosoekajo. 1983. Analisis Jarak Beranak Sapi PO Cangkringan DIY. Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Pusat Penenlitian dan Pengembangan Peternakan BP3. Departemen Pertanian Bogor. Biology Dictionary 2003. Hyperdictionary. http:// www.hiperdictionary.com / dictionary. [CPSC] Consumer Product Safety Commission, 1997. Formaldehyde. Consumer Information Center Dept. http//.cpsc.gov. Cunningham, James.G. 1997. Textbook of Veterinary Physiology. 2nd edition. W.B. Sounders Company. Philadelpia. Devlin, Thomas. M. 1993. Texbook of Biochemistry With Clinical Corelations. Edisi ke-13. Wiley-Liss A Jhon Wiley And Sons, Inc Publications. New York, Toronto. Dorland 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Ganong William F. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 17th Ed. EGC. Jakarta. Girindra Aisjah. 1982. Biokimia 1. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Girindra Aisjah. 1993. Biokimia 1. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Guyton Arthur.C. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 7th Ed. EGC. Jakarta. Harrow Bejamin. Mazue, Abraham. 1958. Textbook of Biochemistry. Edisi ke-7. W.B Sounder Company. Philadelpia, London. Kaneko J.J.et al. 1970. Clinical Biochemistry of Domestic Animals Edisi ke-2, vol 1.Academic Press. New York, London. Kirk-Othmer, 1966. Encyclopedia of Chemical Tecnology. Second edition, Volume 10. Linton, A.H; W.B. Hugo and A.D. Russel, 1987. Desinfection in Veterinary and Farm Animal Service. Blackwell Scientific Publications, Oxford. London Edinburgh, Bonton, Palo Alto. Melbournne. Manalu Wasmen. 1999. Pengantar Ilmu Nutrisi. Bagian Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB. Bogor. Mc Lean V.A, 2004. Formalin. The Formaldehyde Council inc. East California University Environmen Healt and Safety Greenville-Safety @.ecu.edu Olson, K.R. Poisoning & Drug Overdose. 1999. Prentice Hall Internacional Inc, Connecticut, USA. Poernomo, A. T, et al. 2003. Karakteristik Enzim Proteolitik Bacillus subtilis. http://www.geocities.com/persampahan/kompas.com. [12 Januari 2005] Stanie, R. Y, et al. 1992. Dunia Mikroba 2. Proyek Perawatan Fasilitas IPB. Bogor. Webster Dictionary 1913. Hiperdictionary. http:// www.hiperdictionary.com / dictionary. [28 Desember 2004] Winarno F.G, 1997. Keamanan Pangan. Naskah Akademik. Word net dictionary, 2003. Hyperdictionary. http:// www.hiperdictionary.com/ dictionary. [28 Desember 2004].