ketahanan enzim tripsin pada feses sapi yang diawetkan

advertisement
PENGARUH PEMBERIAN FORMALIN
TERHADAP AKTIFITAS ENZIM TRIPSIN PADA FESES SAPI
MELALUI UJI GELATIN
SKRIPSI
UNTORO WIBOWO
B04101049
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
RINGKASAN
UNTORO WIBOWO. Pengaruh Pemberian Formalin Terhadap Aktifitas Enzim
Tripsin Pada Feses Sapi melalui Uji Gelatin. Dibawah bimbingan ENDANG
RACHMAN S.
Fungsi
utama
pankreas
adalah
menghasilkan
enzim
pencernaan
diantaranya tripsin dalam bentuk tripsinogen. Enzim tripsin berfungsi sebagai
enzim pencernaan protein di dalam usus. Dalam keadaan normal sebagaian besar
enzim disalurkan ke usus dan sebagian kecil masuk kedalam sirkulasi (plasma
darah atau serum). Untuk mengetahui keadaan fungsi pankreas kita dapat
melakukan beberapa macam uji fungsi antara lain uji gelatin untuk mengetahui
enzim tripsin.
Dalam penelitian ini digunakan sampel feses sapi PO, betina dewasa.
Sampel feses yang positif mengandung
enzim tripsin dibagi atas beberapa
perlakuan penyimpanan pada suhu ruang yaitu penyimpanan dengan formalin
10%, 9%, 8%, 7%, 6%, 5%, 4%, 3%, 2%, 1%, 0,5%, dan 0,1%. Sampel feses
diawetkan menggunakan formalin dengan perbandingan 50% feses dengan 50%
formalin. Setiap hari dilakukan pemeriksaan dengan metode uji gelatin terhadap
sampel feses tersebut guna melihat aktifitas enzim tripsin sampai aktifitas enzim
tripsin tidak ada lagi.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sampel feses yang disimpan
pada suhu ruang dengan berbagai konsentrasi formalin maka dapat disimpulkan
bahwa konsentrasi formalin 4-10% menyebabkan enzim tripsin inaktif atau mati.
Hal ini disebabkan
terjadinya koagulasi dan denaturasi enzim tripsin oleh
formalin. Faktor pendukung lain adalah formalin akan menghambat bahkan
mematikan pertumbuhan bakteri penghasil enzim proteolitik. Pada konsentrasi
formalin 3% terlihat aktifitas enzim tripsin masih ada namun dalam jumlah yang
sangat kecil. Semakin menurunnya konsentrasi formalin maka aktifitas enzim
tripsin akan mampu bertahan lebih lama.
Konsentrasi terbaik untuk menyimpan sampel feses adalah 0,5-1% karena
kandungan formalin yang rendah tidak menyebabkan koagulasi dan denaturasi
enzim tripsin tetapi masih menghambat pertumbuhan bakteri. Sedangan pada
konsentrasi 0,1% aktifitas enzim tripsin semakin menurun. Hal ini disebabkan
kandungan formalin yang sangat kecil dan sifat formalin yang mudah menguap
sehingga bakteri dan jamur pengganggu dapat hadir.
PENGARUH PEMBERIAN FOMALIN
TERHADAP AKTIFITAS ENZIM TRIPSIN PADA FESES SAPI
MELALUI UJI GELATIN
UNTORO WIBOWO
B04101049
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul
: Pengaruh Pemberian Formalin Terhadap Aktifitas Enzim
Tripsin Pada Feses Sapi melalui Uji Gelatin.
Nama
: Untoro Wibowo
NRP
: B04101049
Menyetujui,
Drh. Endang Rachman S., MS
Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan
Tanggal Kelulusan :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 17 April 1982 di Ogan Komering Ilir,
Sumatra Selatan sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak
Wagimanto dan Ibu Sumini.
Pada tahun 1989 penulis memulai pendidikannya dari bangku sekolah
dasar. Pada tahun 1995, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN
Muktijaya OKI. Ditahun yang sama
penulis melanjutkan pendidikan ke
pendidikan SMPN 02 Air Sugihan, OKI dan lulus tahun 1998. Kemudian ditahun
yang sama melanjutkan pendidikan ke SMUN 11 Palembang. Pada tahun 2001
penulis lulus SMU, dan ditahun yang sama penulis masuk ke perguruan tinggi di
Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur USMI.
Selama menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor penulis aktif pada organisasi Ikatan Mahasiswa Bangka di Bogor dan
sebagai ketua Asrama Mahasiswa IPB Ekasari Periode 2006-2007.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian ini adalah melihat pengaruh formalin dengan
berbagai konsentrasi terhadap aktifitas enzim tripsin pada feses sapi melalui uji
gelatin.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh. Endang Rachman S.,
MS, selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik. Penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Djajat Sudradjat, SSi selaku staf Laboratorium
Patologi Klinik Veteriner, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya selama
penelitian. Teman-teman GASTRO angkatan 38, keluarga besar ASRAMA IPB
EKASARI. Terakhir terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Orang tua, kakak,
adik dan seluruh keluarga, terimakasih atas semangat dan do’anya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2006
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ………………………………………………………….....………i
RIWAYAT HIDUP ………………………………………………...........………v
KATA PENGANTAR ……………………………………………........………..vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………......………..vii
DAFTAR TABEL …………………………………………………….....……...ix
PENDAHULUAN
Latar Belakang …………………………………………………........……1
Tujuan ……………………………………………………….........………2
Manfaat .......................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA
Pencernaan pada Ruminansia ………………………………..........………3
Pankreas …………………………………………………..........…………4
Enzim Tripsin …………………………………………………..........……6
Uji Gelatin …………………………………………………….....………10
Formalin ……………………………………………………...……….....10
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………......…….........12
Bahan dan Alat …………………………………………….....………….12
Metode Penelitian …………………………………………….....……….12
Pengambilan Sampel ……………………………….........………12
Penyimpanan Sampel ……………………………….......……….12
Persiapan Bahan ………………………………………......……..12
Metode Kerja ………………………………………….........……13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyimpanan Feses dengan Berbagai Konsentrasi Formalin ….........…. 14
Penyimpanan Feses tanpa Formalin pada Suhu Kamar ……..…..........…17
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ………………………………………………………….......…19
Saran ………………………………………………………….....………19
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….....…………20
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Enzim-enzim yang dihasilkan pankreas ………………………....………8
Tabel 2. Kriteria hasil pemeriksaan aktifitas enzim tripsin dari feses sapi
melalui Uji Gelatin ……………………………………………....……13
Tabel 3. Rataan hasil pemeriksaan sampel feses yang dilakukan pada
beberapa konsentrasi formalin ………………………………....………15
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian khususnya sub-sektor peternakan harus siap menghadapi
persaingan pasar bebas. Untuk menghadapi persaingan tersebut, baik ditingkat
nasional maupun internasional, maka produk hasil peternakan dimasa mendatang
harus dihasilkan secara efisien, terjamin kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya.
Salah satu komoditi yang sangat diharapkan perkembangannya dimasa yang akan
datang adalah peternakan sapi dan produk hasil olahannya.
Astuti et al. (1983) menyatakan bahwa produktifitas ternak potong di
Indonesia masih tergolong rendah dibanding dengan produktifitas dari ternak sapi
di negara-negara yang telah maju. Sehingga untuk meningkatkan produktifitas,
kualitas, kuantitas, efisiensi, dan kontinuitas produk sapi maka harus dilakukan
langkah-langkah strategis dan penunjang. Langkah-langkah strategis yang
dimaksud antara lain sistem perkandangan, pakan, dan tata laksana peternakan
haruslah baik. Sedangkan tindakan penunjang antara lain: menganalisa konversi
pakan secara rutin, pemeriksaan kesehatan ternak secara berkala dan membuat
laporan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan ternak dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu pemeriksaan langsung dan pemeriksaan laboratories.
Pemeriksaan laboratories merupakan pemeriksaan untuk menguatkan
diagnosa. Sampel yang biasanya diambil dapat berupa darah, urin, feses, eksudat,
bahkan biopsi jaringan pada kasus tertentu. Hal ini seharusnya dilakukan karena
beberapa penyakit hanya menimbulkan gejala sub-klinis sehingga tidak terdeteksi
dengan pengamatan secara langsung. Gejala yang kadang tidak terdeteksi tersebut
antara lain menurunnya fungsi hati, ginjal ataupun pankreas.
Penurunan fungsi pankreas adalah penyakit yang memberikan efek kronis
pada hewan yaitu terganggunya penyerapan protein oleh tubuh. Salah satu
indikator terjadinya penurunan fungsi pankreas adalah rendahnya aktifitas tripsin
dalam feses. Demikian pentingnya tripsin dalam saluran pencernaan sehingga jika
enzim ini terganggu maka mengakibatkan tidak efisiensinya konversi pakan.
Salah satu teknik yang berkembang untuk mendeteksi tripsin adalah dengan
menggunakan Uji Gelatin.
Pengkajian dan pengembangan enzim tripsin ini perlu dicermati dengan
serius, untuk peningkatan efisiensi terutama ternak sapi.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh formalin dengan
berbagai konsentrasi terhadap aktifitas enzim tripsin melalui uji gelatin.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah salah satu cara yang mempermudah
dalam pemeriksaan fungsi pankreas.
TINJAUAN PUSTAKA
Pencernaan pada Ruminansia
Lambung sapi terdiri atas rumen yang mengisi 80%, retikulum 5%,
omasum 8%, dan abomasum yang merupakan lambung kelenjar 8% dari total
lambung (Arora, 1989).
Makanan akan dicerna oleh sejumlah saliva. Jumlah saliva perhari ± 15
liter. Selama ruminasi makanan berada di ujung anterior rumen dan akan
dikeluarkan kembali ke oesophagus dan mulut. Hal ini disebabkan rangsangan
taktil pada epitel rumen anterior. Makanan yang telah lumat akan dikembalikan ke
retikulum sedangkan yang kasar akan dikunyah terus-menerus sebelum
dikembalikan ke retikulum.
Motilitas retikulo rumen dikontrol oleh system syaraf pusat dan
dipengaruhi oleh kondisi intra ruminal. Terdapat system saraf instrinsik yang
ekstrensif mempengaruhi retikulorumen, tapi inervasi N. Vagus lebih berperan
untuk koordinasi dalam keadaan normal secara kimiawi (Cunningham, 1997).
Perombakan makanan secara kimiawi dalam retikulo-rumen dilakukan
oleh enzim yang tidak disekresikan hewan itu sendiri tetapi berasal dari
mikroorganisme yang terdapat dalam ruangan pencernaan itu. Makanan dan air
akan masuk rumen dan difermentasikan secara parsial untuk menghasilkan
terutama asam lemak, sel-sel mikroba, gas metan dan karbondioksida, kemudian
akan dikeluarkan melalui eruktasi. Sel-sel mikroba dan zat-zat yang telah
dirombak akan masuk ke omasum, abomasum dan usus halus. Ditempat ini
makanan akan dicerna oleh enzim inang dan hasil pencernaan akan diserap
(Manalu, 1999).
Pencernaan ruminansia merupakan pencernaan makanan yang dilakukan
dengan bantuan fermentasi oleh bakteri. Sekresi pankreas pada sapi berbeda
dengan hewan monogastrik. Analisa kromatografi sekresi pankreas sapi
menunjukkan bahwa dalam usus halus, bahan amilase lebih sedikit dari lipase.
Cairan yang keluar dari pankreas sapi mengandung bicarbonate, amilase, protease,
dan lipase lebih rendah bila dibanding anjing (Kaneko, 1970).
Dalam proses fermentasi, substrat molekuler diurai oleh kegiatan dari
bakteri atau mikroorganisme lainnya. Hidrolisa enzim dari molekul besar
merupakan bagian esensial dalam proses fermentasi. Enzim pada ruminansia
(sapi) berasal dari hasil metabolisme mikroba dan dari host itu sendiri. Perbedaan
antara fermentasi dan sistem kelenjar adalah kecepatan reaksi dan perubahan
besar molekul substrat. Pada umumnya kecepatan reaksi dari pencernaan
fermentasi lebih lambat dari sistem kelenjar dan substrat (Cunningham, 1997).
Pankreas
Pankreas berada dibelakang lambung, menghasilkan getah pankreas yang
mengandung enzim-enzim penting untuk pencernaan. Bagian pankreas yang
menghasilkan getah pankreas adalah kelenjar alveolus gabungan yang didalamnya
terdapat granul-granul yang berisi enzim pencernaan (granula zimogen) yang
dikeluarkan dari apeks sel lumen duktus pankreatikus. Cabang-cabang halus
duktus bergabung menjadi sebuah duktus (ductus pancreatikus wirsungi) yang
biasanya bersatu dengan duktus koledokus untuk membentuk Ampula Valeri.
Pada beberapa makhluk hidup terdapat duktus pankreatikus assesorius (duktus
Sartorini) yang masuk ke dalam duodenum dibagian yang lebih proksimal
(Ganong, 1998).
Pankreas terdiri atas dua tipe kelenjar yaitu kelenjar endokrin dan kelenjar
eksokrin. Kelenjar endokrin memiliki fungsi tersendiri karena mensekresikan
hormon pada aliran darah. Sebagian besar dari pankreas diliputi oleh sekresi
digesti yang dikenal dengan klenjar eksokrin karena sekresi tersebut dikeluarkan
ke dalam lumen usus (Cuningham, 1997). Enzim-enzim yang disekresikan
pankreas akan meneruskan pencernaan protein, lemak, maupun karbohidrat
(anonimous, 2000).
Menurut Guyton (1994), sekresi pankreas diatur oleh:
1. Mekanisme syaraf
Mekanisme pada nervus Vagus yang mengakibatkan lepasnya asetilkolin
yang diikuti sekresi dalam jumlah sedang ataupun dalam jumlah banyak
enzim ke dalam sel asini pankreas.
2. Pengaturan secara hormonal
Keberadaan kimus (“chyme”) dalam usus halus merangsang sekresi
pankreas
sebagai
tanggapan
dari
hormon
sekretin
dan
hormon
kolisistokinin akan menyebabkan bertambahnya sekresi enzim.
Karakteristik cairan pankreas ditentukan sampai batas tertentu oleh tipe
makanan pada kimus. Secara umum getah pankreas mengandung enzim-enzim
untuk mencerna ketiga tipe makanan utama yaitu: protein, karbohidrat dan lemak.
Cairan ini juga mengandung sejumlah besar ion karbonat yang memegang
peranan penting menetralkan asam dari kimus yang dikeluarkan oleh lambung ke
duodenum. Berdasarkan fungsinya dalam proses pencernaan gatah pankreas dapat
digolongkan menjadi tiga yaitu: enzim untuk protein (proteolitik), enzim untuk
karbohidrat (amilolitik), dan enzim untuk lemak (lipolitik).
Penyebab gangguan pencernaan yang paling berat adalah kegagalan
pankreas untuk mensekresikan cairannya kedalam usus halus. Tidak adanya
sekresi pankreas sering terjadi pada (1) pankreatitis, (2) penyumbatan duktus
pankreatikus oleh batu empedu oleh papilla Valeri, atau (3) setelah pengangkatan
kapul pancreas akibat keganasan dari suatu radang. Pankreatitis dapat terjadi baik
dalam bentuk pankreatitis akut maupun pankreatitis kronis.
Penyakit secara khusus dibagi dalam dua sindrom, yaitu:
I. Pankreatitis Akut
Penyebab dari pankreatitis akut tidak jelas namun diperkirakan dari
pengaruh infeksi atau trauma dianggap sebagai pemicu pengeluaran enzim
pankreas itu sendiri serta jaringan yang berdekatan. Terjadinya pankreatitis akut
ditandai dengan adanya pankreas yang sudah rusak atau jika duktus tersumbat,
sejumlah besar sekresi pankreas akan bertumpuk pada daerah pankreas yang
rusak. Pada kondisi ini, efek penghambat tripsin sangat kuat. Tanda klinis seperti
adanya kesakitan abdominal, immobilitas, melengkungkan punggungnya,
abdomen mengeras, muntah, diare, dehidrasi dan shock.
II. Pankreatitis Kronis
Kejadian pankreatitis kronis termasuk perluasan dari lokasi pankreatitis
akut, obstruksi dari saluran pankreas, faktor turunan dari Juvenile Pankreatic
Atrophy. Tanda klinis hanya terjadi jika 90% dari kapasitas sekresi hilang.
Penyakit ini sering terjadi pada anjing dan kucing, ditandai peningkatan nafsu
makan dan rasa haus, tetapi terjadi kehilangan berat badan yang berakibat
kekurusan. Gejala lainnya adalah peningkatan jaringan lemak pada feses.
Pankreatitis merupakan efek yang timbul setelah hewan mengalami pankreatitis
akut.
Kerusakan sel asini mengakibatkan kekurangan tripsin dan kimotripsin
yang lebih lanjut akan menyebabkan defisiensi enzim pencernaan, ditandai adanya
serabut daging (creatorrhea) dan kehilangan nitrogen (azotorrhea). Bentuk
kelainan pankreas antara lain:
1. Atropi Pankreas
Pada atropi primer tidak ditemukan proses inflamasi dan tidak
menyebabkan diabetes melitus. Hal ini yang membedakan dengan pankreatitis
kronis. Namun, dari kedua kejadian tersebut dapat menyebabkan kegagalan
pencernaan.
Atropi sel asinar dapat menyebabkan atropi sekunder menjadi pankreatitis fibrosa
serta obstruksi duktus. Bentuk pankreas yang mengalami atropi sekunder sering
tidak sesuai dengan normal antara lain nodul kasar, terdapat jaringan ikat dan
lebih kecil dari normal.
2.Hipoplasia
Hipoplasia dari jaringan asinar ditemukan pada anjing dan anak sapi.
Hewan ini menunjukkan gejala defisiensi fungsi pankreas yang sulit dibedakan
dengan atropi pankreas.
3.Neoplasia pankreas
Neoplasia pankreas biasanya secara tidak langsung berasal dari jaringan
kelenjar eksokrin atau duktus ekskretori.
Enzim Tripsin
Enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan berperan
sebagai katalisator pada reaksi kimia yang berlangsung dalam mikroorganisme.
Katalisator adalah substansi yang mempercepat reaksi tetapi pada akhir reaksi,
substansi tersebut tidak berubah. Semua sel menghasilkan sejumlah besar enzim
yang berbeda-beda dan fungsi sel ditentukan oleh enzim yang terdapat
didalamnya. Beberapa sel melepaskan enzim yang berperan diluar sel, sebagai
contoh sel-sel dibagian permukaaan saluran pencernaan menghasilkan enzim yang
mencerna makanan.
Tripsin sendiri menurut Word Net Dictionary (2003) merupakan enzim
dari pankreas yang mengkatalis hidrolisa protein kedalam unit peptida lebih kecil.
Sedangkan menurut Webster Dictionary (1913), tripsin menyebabkan protein
pecah menjadi bagian kecil. Menurut Biology Dictionary (2003), tripsin
merupakan enzim proteolitik yang menghidrolisa ikatan peptida pada gugus
carboxyl menjadi asam amino.
Menurut Harow (1958), tripsin termasuk enzim proteolitik golongan
endopeptidase yang berfungsi dalam proses hidrolisis (memutuskan ikatan
kovalen sambil mengikat air). Sedangkan menurut girindra (1982), tripsin
merupakan bentuk aktif dari tripsinogen. Tripsinogen termasuk golongan enzim
monomerik yaitu enzim yang hanya terdiri dari satu rantai polipeptida dan
mengandung bagian aktif dari enzim tersebut. Kelompok ini memiliki berat
molekul 13.000 sampai 35.000 dan tidak dapat berdisosiasi menjadi bagian yang
lebih aktif, misalnya protease yang sangat aktif dan bisa berbahaya bagi sel dan
jaringan sekitarnya.
Komposisi enzim dari sekresi pankreas tergantung dari diet hewan
tersebut. Penyesuaian spesifik dari enzim pankreas bergantung pada diet. Amilase
dari kimotripsinogen secara signifikan akan meningkat ketika mencernakan
karbohidrat dan protein dalam jumlah besar. Sedangkan pepsinogen memiliki
porsi yang tetap terhadap semua diet.
Enzim proteolitik meliputi tripsin, kimotripsin, karboksipolipeptidase,
ribonuklease dan deoksiribonuklease. Tripsin dan kimotripsin menguraikan
seluruh atau sebagian protein yang dicerna menjadi peptida dalam berbagai
ukuran. Sebaliknya karboksipeptidase akan memecah masing-masing asam amino
dari ujung karboksipeptidase, jadi untuk menguraikan sebagian besar protein
menjadi asam amino. Enzim pencernaan untuk memecah karbohidrat adalah
amilase pankreas yang akan menghidrolisa glikogen dan sebagian besar
karbohidrat selain selulosa yang berfungsi membentuk disakarida. Sedangkan
enzim utama yang mencerna lemak yaitu lipase pankreas yang mampu
menghidrolisa lemak netral menjadi asam lemak dan monogliserida. Kerja-kerja
enzim pankreas dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Enzim-enzim yang dihasilkan pankreas ( Harper, 1979):
Cara pengaktifan
Enzim
dan keadaan
Substrat
optimal untuk
Hasil akhir
atau kerja
aktifitas
Tripsin
Tripsinogen
diubah Protein
menjadi tripsin aktif Protease
oleh enterokinase
Kimotripsin
Disekresi
Dipeptida
Pepton
sebagai Protein
Sama seperti
kimotripsinogen dan Protease
tripsin, daya
diubah
koagulasi
bentuk
menjadi Pepton
kimotripsin
lebih
aktif oleh tripsin
Karboksipeptidase Disekresi
besar
untuk susu
sebagai Polipeptida
Peptida yang
prokarboksipeptidase,
lebih rendah,
diaktifkan
asam amino
oleh
tripsin
Amilase pankreas
Polipeptida
pH 7,1
bebas
Pati
Maltosa
Glikogen
Oligo
sakarida
Lipase
Diaktifkan
garam empedu
oleh Ikatan ester primer
Asam lemak
Lemak
Gliserol
Ribonuklease
Asam ribonukleat
Nukleatida
Deoksiribonukle
Asam
Nukleatida
ase
deoksiribonuklease
Kolesteril
ester Diaktifkan
hidrolase
Fosfolipase A2
oleh Ester kolesteril
garam empedu
Kolesterol
bebas
Fosfolipid
Asam lemak
Enzim yang disintesis oleh sel-sel pankreas proteolitik adalah enzimenzim yang terdapat dalam bentuk tidak aktif berupa tripsinogen dan
prokarboksipolipeptinogen yang semuanya secara enzimatik tidak aktif. Semua
enzim ini akan aktif setelah disekresikan ke dalam traktus intestinalis. Tripsinogen
diaktifkan oleh enzim yang disebut enterokinase, yang disekresi oleh mukosa usus
ketika kimus berkontak dengan mukosa. Kimotripsinogen diaktifkan oleh tripsin
untuk membentuk kimotripsin dan prokarboksipolipeptinogen diaktifkan dengan
jalan yang sama. Zat yang tersimpan di dalam sitoplasma sel kelenjar yang
mengelilingi granula enzim dan mencegah pengaktifan tripsin baik didalam sel
sekretoris maupun didalam sel asini dan duktus pankreatikus dinamakan dari
kelenjar pankreas, ion bikarbonat dan air dari getah pankreas juga disekresikan
dalam jumlah besar oleh sel-sel epitel dari duktus yang keluar dari sel asini.
Gambaran perubahan dari proenzim menjadi enzim (Ganong, 1998):
PROENZIM
Tripsinogen
ENZIM
Endopeptidase
Tripsin
Kimotripsinogen
Kimotripsin
Tripsin
Proelastase
Tripsin
Prokarboksipolipeptidase
Elastase
Karboksipolipeptidase
Tripsin
Uji Gelatin
Menurut Dorland (1998), gelatin adalah substansi yang didapat dari
hidrolisa parsial kolagen yang berasal dari kulit, jaringan ikat putih dan tulang
rawan, digunakan sebagai agen suspensi serta dalam pembuatan kapsul dan
suposituria, juga dapat digunakan sebagai pengganti plasma dan telah digunakan
sebagai adjuvant makanan protein, sediaan seng oksida, gliserin dan air murni.
Gelatin dipakai topical sebagai pelindung.
Traktus digestivus merupakan alat yang berfungsi untuk mencerna
makanan dan penyerapan sari-sari makanan. Uji gelatin merupakan salah satu uji
yang dilakukan pada feses hewan dimana secara khusus untuk mendeteksi reaksi
enzim tripsin dalam feses (Anonimous, 2003).
Formalin
Formalin merupakan campuran formaldehid yang berbentuk gas dan air,
bentuk dasar formaldehid adalah gas. Biasanya konsentrasi formalin 37% yaitu 37
gram gas formaldehid dalam 100 ml larutan (Mc Lean, 2004). Formalin umumnya
juga mengandung alkohol (methanol) 10-15% yang berfungsi sebagai stabilisator
agar formalin tidak mengalami polimerisasi. Di pasaran, formalin dapat diperoleh
dalam bentuk yang diencerkan yaitu dengan kadar 30%, 20% dan 10%. Selain itu,
formalin dapat diperoleh dalam bentuk tablet dengan berat 5 gram (Winarno,
1997).
Formalin merupakan golongan dari aldehid alifatik yang unik. Formalin
yang murni adalah monomer dan berbentuk gas, di pasaran berbentuk larutan 3750% HCHO. Secara komersil formalin dalam larutan methanol, propanol dan
butanol, juga dijual dalam bentuk padat, serbuk, polimer linier, paraformaldehid,
HO (CH2O)3H, siklik trimer dan a-trioxane (Kirk-Othmer, 1966). Formalin tidak
berwarna, bentuk gas dengan bau yang tajam. Formalin larut dalam air, aseton,
benzene, diethyleter, chloroform dan ethanol. Formalin sangat reaktif dan
berembun dengan beberapa campuran untuk menghasilkan methylol atau derivate
methylene (Anonimous, 2003).
Formalin merupakan salah satu famili campuran bahan kimia berupa
larutan organik yang mudah menguap atau berubah bentuk yaitu pada suhu kamar
normal akan berubah menjadi gas (CPSC, 1997). Formalin dapat membunuh
bakteri dan sporanya, fungi serta beberapa virus, tetapi daya sporisidalnya lebih
lambat dibanding glutaraldehida. Formalin dapat berikatan dengan protein dan
efikasinya agak berkurang didalam bahan organik. Formalin melepaskan bahan
seperti noxythiolin dan taurolin yang digunakan sebagai larutan irigasi dalam
pengobatan peritonitis (Linton, 1987). Formalin mempunyai sifat antimikrobial
yang sangat tinggi, sangat efektif membunuh mikroba dan merupakan salah satu
jenis alkil. Selanjutnya dikatakan bahwa sifat antimikrobial formalin melalui
beberapa cara seperti merusak asam dioksiribonukleat (DNA), denaturasi protein,
mengganggu selaput dalam dinding sel, menghilangkan gugus sulfidril dan
antagonisme kimiawi (Susianingsih, 2003). Larutan formalin sangat mudah
bereaksi dengan makromolekul seperti protein dan asam nukleat (Clary dan
Sulivan, 1992).
Formalin dapat mereduksi bahan kimia dengan kuat kususnya dalam
kondisi yang bersifat alkalis. Daya kerja formalin berlawanan dengan ammonia,
alkalis, tanin, bisulfida, preparat ferrum, garam cuprum, garam ferrum, garam
perak, iodine dan kalium permanganat. Secara langsung dapat bersenyawa dengan
albumin, kasein, gelatin, agar dan zat tepung untuk membentuk larutan tidak
jenuh. Jika formalin bereaksi dengan nitrogen oksida, asam performik,
nitrimethane, mangan karbonat dan hydrogen peroksida akan berwarna violet.
Formalin dapat berbentuk kabut, khususnya pada temperatur dingin, oksidasi
secara perlahan dalam udara dan sensitive terhadap cahaya (Anonimous, 2003).
Formalin termasuk kelompok senyawa desinfektan kuat, dapat membasmi
berbagai jenis bakteri pembusuk, cendawan, dan kapang. Disamping itu, formalin
dapat mengeraskan jaringan tubuh, oleh karenanya formalin 37% digunakan untuk
mengawetkan mayat, bahan biologi dan preparat patologi (Winarno, 1997).
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006. Pengambilan sampel dilakukan
di Kandang sapi URR FKH-IPB dan pemeriksaan feses bertempat di
Laboratorium Patologi Klinik, Departemen Klinik Reproduksi Dan Patologi
Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Dalam penelitian ini, bahan yang digunakan adalah sampel feses segar
yang diambil dari 4 ekor sapi yang positif mengandung enzim tripsin, gelatin
7,5%, formalin 10%, Na2CO3 dan akuades. Alat yang digunakan adalah
sentrifuge, bunsen, tabung reaksi, gelas ukur 250 ml, refrigerator, kantong plastik,
pipet, penggerus dan water bath.
Metode Penelitian :
Pengambilan Sampel
Sampel feses diambil sesaat setelah feses keluar dari anus 4 ekor sapi.
Feses segar langsung diambil dan dimasukkan kedalam plastik. Sampel feses
kemudian dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik untuk dibuat ekstrak feses dan
yang positif mengandung enzim tripsin terbaik (+4) disimpan pada suhu ruang
untuk pemeriksaan hari berikutnya.
Penyimpanan Sampel
Feses disimpan pada suhu ruang. Masing-masing dibagi dalam tiga belas
bagian, yaitu: feses dengan formalin 10%, 9%, 8%, 7%, 6%, 5%, 4%, 3%, 2%,
1%, 0,5%, dan feses tanpa formalin sebagai kontrol.
Persiapan Bahan
Masing-masing sampel feses dibuat ekstrak yang dilakukan dengan cara
mencampurkan 9 ml air dengan feses hingga volumenya mencapai 10 ml
(konsentrasi 10%), kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 1
menit (supernatan akan digunakan sebagai sampel).
Pembuatan gelatin 7,5% dengan cara menimbang 7,5 gram per 100 ml air
dengan gelas ukur 250 ml, panaskan bunsen hingga gelatin dalam air larut.
Setelah lerut, kemudian diangkat dan diamkan hingga suhu mencapai 370C.
Metode Kerja
Masing-masing sampel diperlakukan pemeriksaan dengan uji gelatin. Untuk
membedakan adanya aktifitas tripsin positif dan negatif dilakukan pembuatan
kontrol.
1. Pembuatan Kontrol
2 ml gelatin 7,5% dimasukkan kedalam tabung reaksi, kemudian
ditambahkan 1ml Na2CO3 5% dan 1ml akuades. Masukkan kedalam water
bath dengan suhu 37oC selama 1 jam dan dimasukkan dalam refrigerator
dengan suhu 4oC sampai menjadi gel atau membeku.
2. Penetapan Tripsin dalam Feses
2ml gelatin 7,5% dimasukkan kedalam tabung reaksi yang telah disiapkan.
Kemudian ditambahkan kedalamnya 1ml Na2CO3 5% dan 1ml supernatan.
Masukkan kedalam water bath dengan suhu 37oC selama 1 jam dan
masukkan dalam refrigerator dengan suhu 4oC serta dibaca hasilnya
setelah kontrol menjadi gel.
Tabel 2. Kriteria Penilaian Aktifitas Enzim:
Hasil
+4
Kriteria
Tetap cair (encer) semua dalam 4ml, jika tabung dimiringkan mengikuti
pergerakan tabung
+3
Membeku (menjadi gel) ¼ bagian dalam 4ml
+2
Membeku (menjadi gel) ½ bagian dalam 4ml
+1
Membeku (menjadi gel) ¾ bagian dalam 4ml
-
Beku semua, jika tabung dimiringkan cairan tegak lurus
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyimpanan Feses dengan Berbagai Konsentrasi Formalin
Hari ke-0 merupakan pemeriksaan feses yang baru diambil untuk
menentukan status sampel dari hewan tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa
pada tabung reaksi tidak terjadi pembentukan gel seperti yang terjadi pada tabung
blanko dan terlihat konsistensinya cair atau encer (+4) yang berarti aktifitas
tripsin tinggi. Sampel yang memberikan hasil yang positif pada uji gelatin akan
disimpan untuk keesokan harinya dengan pemeriksaan yang sama.
Pada hari ke-1 didapatkan hasil yang negatif (-) untuk konsentrasi 4-10%,
dimana seluruh cairan yang ada di dalam tabung menggumpal. Hal ini
menunjukkan aktifitas enzim tripsin tidak ada lagi. Untuk memastikan bahwa
tidak ada lagi aktifitas enzim tripsin, maka sampel dengan formalin 10% tetap
disimpan untuk pemeriksaan berikutnya. Hasilnya didapatkan cairan yang ada
didalam tabung reaksi menggumpal semua. Pemeriksaan dilakukan sampai
penelitian selesai hasilnya menunjukkan yang sama dengan hari pertama.
Formalin dengan konsentrasi 4-10% merupakan konsentrasi yang cukup
besar sehingga dapat mematikan aktifitas enzim tripsin. Pernyataan ini didukung
oleh Olson (1999) bahwa formaldehid/formalin menyebabkan koagulasi protein
dan akan menyebabkan nekrosis koagulasi jaringan terpapar.
Menurut Girindra (1993), enzim dikatakan sebagai suatu kelompok protein
yang berperan sangat penting dalam proses aktifitas biologis. Enzim ini berfungsi
sebagai katalisator dalam sel dan sifatnya sangat khas. Dalam jumlah yang sangat
kecil, enzim dapat mengatur reaksi tertentu sehingga dalam keadaan normal tidak
terjadi penyimpangan-penyimpangan hasil akhir reaksinya. Enzim ini akan
kehilangan aktifitasnya akibat panas, asam atau basa kuat, pelarut organik, atau
apa saja yang dapat menyebabkan denaturasi protein.
Apabila dilihat dari sifat kelarutannya, maka formalin merupakan pelarut
organik. Pernyataan ini didukung oleh CPSC (1997) bahwa formalin merupakan
salah satu famili campuran bahan kimia yang berupa larutan organik yang mudah
menguap atau berubah bentuk yaitu pada suhu kamar normal akan berubah
menjadi gas. Hasil pengamatan aktifitas enzim tripsin dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 3. Rataan hasil pemeriksaan sampel feses yang dilakukan pada
beberapa konsentrasi formalin :
[F]*
10% 9% 8% 7% 6% 5% 4% 3% 2% 1% 0,5% Kontrol
Hari
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
+4
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
+4
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
+4
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
+4
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
+4
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
+4
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
+4
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
+4
+1
+1
+1
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
+4
+2
+2
+1
+1
+1
+1
+1
+1
+1
+1
+1
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
Keterangan :
[F]* = Konsentrasi Formalin ( % )
Kontrol = Sampel Feses tanpa formalin
+4
= Cair (encer) semua dalam 4ml larutan
+3
= Membeku (menjadi gel) ¼ bagian dalam 4ml larutan
+2
= Membeku (menjadi gel) ½ bagian dalam 4ml larutan
+1
= Membeku (menjadi gel) ¾ bagian dalam 4ml larutan
= Membeku semua (menjadi gel) dalam 4 ml larutan
+4
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+2
+2
+2
+2
+2
+2
+2
+1
+1
+1
+1
+1
+1
_
_
_
+4
+4
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+1
+1
+1
_
+4
+4
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+3
+2
+1
+1
_
_
_
_
_
_
_
_
_
_
Selain formalin sebagai pelarut organik, formalin juga dapat menyebabkan
denaturasi protein. Hal ini disebabkan formalin selain mengandung formaldehid
formalin juga mengandung metanol. Formalin adalah zat kimia yang mengandung
unsur karbon, hidrogen, dan oksigen, dan mempunyai nama lain formaldehid.
Seacaara fisik terdapat dalam bentuk larutan tidak berwarna dengan kadar antara
37-40%. Formalin biasanya mengandung alkohol atau metanol 10-15% yang
berfungsi sebagai stabilisator untuk mencegah polimerisasi formaldehid menjadi
paraformaldehid yang bersifat sangat beracun (Anonimous, 2006). Alkohol atau
metanol inilah yang dapat menyebabkan denaturasi protein.
Penurunan konsentrasi formalin akan semakin menurunkan efeknya
terhadap aktifitas enzim tripsin. Hal ini terlihat pada konsentrasi formalin 3%,
dimana aktifitas enzim tripsin masih mampu bertahan sampai hari ke-3 walaupun
sangat kecil. Begitu juga dengan konsentrasi 2% aktifitas enzim tripsin mampu
bertahan sampai hari ke-11.
Pada konsentrasi formalin 1% terlihat aktifitas enzim tripsin mampu
bertahan sampai hari ke-22. Dan dengan penurunan yang lebih kecil lagi sampai
0,5% terlihat aktifitas enzim tripsin mampu bertahan sampai hari ke-24. Tetapi
semakin diperkecil lagi konsentrasinya sampai 0,1% aktifitas enzim tripsin
semakin menurun dan hanya mampu bertahan sampai hari ke-18.
Larutan formalin merupakan desinfektan yang efektif melawan bakteri
fegetatif, jamur, dan beberapa virus, tetapi hanya bekerja efektif secara perlahan
terhadap spora bakteri dan bakteri tahan asam. Formalin bereaksi terhadap protein
yang kemudian dapat mengurangi kemampuannya melawan mikroorganisme.
Efektifitas gas formalin bergantung pada kemampuan kelarutannya dalam air
sebelum bereaksi pada mikroorganisme (Anonimous, 2006).
Dari pernyataan diatas bahwa semakin kecil konsentrasinya efek formalin
akan semakin menurun. Sehingga kehadiran bakteri kemungkinan besar masih
dapat bertahan hidup. Substrat dari bakteri juga dapat berfungsi sebagai enzim
proteolitik sehingga memberikan hasil yang positif dalam uji gelatin. Pernyataan
ini didukung oleh Deflin (1993) bahwa enzim protease yang dihasilkan bakteri
seperti Streptomices griceus dan Mycobacter 450 menunjukkan kesamaan
struktural dan fungsi yang homolog dengan enzim tripsin.
Karakteristik dari formalin adalah mudah larut dalam air, mudah menguap,
mempunyai bau yang tajam dan iritatif walaupun ambang penguapannya hanya
0
/00
(Anonimous, 2006).Sifat yang mudah menguap inilah yang dapat
menyebabkan hilangnya formalin sehingga tidak mampu memberikan efek
terhadap enzim tripsin maupun mikroorganisme. Hal ini terlihat pada konsentrasi
formalin 0,1% yang hanya mampu bertahan sampai hari ke-18.
Hilangnya atau kecilnya konsentrasi formalin akan mampu membuat
mikroorganisme mampu bertahan sampai nutrisi pada media habis. Kehadiran
bakteri ini akan menimbulkan kerancuan terhadap hasil pemeriksaan enzim trpsin
yang dihasilkan pankreas itu sendiri.
Penyimpanan Feses tanpa Formalin pada Suhu Kamar
Pada hari ke-0 merupakan pemeriksaan feses yang baru diambil untuk
menentukan status pankreas dari hewan tersebut. Dan sampel yang memberikan
hasil yang positif pada uji gelatin akan disimpan untuk keesokan harinya dengan
pemeriksaan yang sama.
Pada hari ke-1 didapatkan hasil yang sama dengan hari ke-0 dimana
hasilnya adalah positif (+4) dengan konsistensi sampel cair. Hal ini menandakan
keberadaan aktifitas enzim tripsin yang baik untuk membuat gelatin tidak
membeku setelah diinkubasikan pada suhu kamar.
Pemeriksaan pada hari ke-2 terjadi penurunan dari hari sebelumnya.
Dimana konsistensinya agak kental dibandingkan hari sebelumnya. Namun
kemampuan dan aktifitas enzim tripsin dalam sampel masih cukup untuk
mempertahankan gelatin tetap mencair. Pemeriksaan hari ke-3 sampai hari ke-12
menunjukkan hasil yang sama positif (+3).
Uji gelatin harus diinterpretasikan secara hati-hati dimana bakteri
penghasil enzim yang dapat mencernakan protein dapat hadir dalam jumlah yang
cukup untuk memberikan hasil yang positif dari tripsin. Pernyataan ini juga
didukung oleh Kaneko (1970) bahwa substrat gelatin tidak spesifik hanya untuk
enzim tripsin dimana gelatin juga dapat dihidrolisa oleh enzim proteolitik yang
dihasilkan oleh bakteri pencernaan atau enzim proteolitik dari sekresi pencernaan
(succus entericus).
Dimana tidak menutup kemungkinan bakteri yang ada didalam sekum
akan keluar dari tubuh bersama feses sehingga di dalam feses hewan mengandung
bahan organik yang akan diuraikan dan dapat melepaskan gas CH4 atau gas bio
(Anonimous, 2000).
Selain pernyataan diatas hal yang dapat mempengaruhi hasil pada
penyimpanan suhu kamar adalah adanya kontaminasi dari luar atau lingkungan.
Substrat dari bakteri juga dapat berfungsi sebagai enzim proteolitik sehingga
memberikan hasil yang positif dalam uji gelatin.
Menurut Devlin (1993), enzim protease yang dihasilkan bakteri
Streptomyces griceus dan Myxobacter 450 menunjukkan kesamaan struktural dan
fungsi yang homolog dengan enzim tripsin. Selain itu serine protease subtilin
dapat diisolasi dari Bacillus subtilis yang dapat menghidrolisa peptida. Bacillus
subtilis diklasifikasikan kedalam enzim proteolitik yang basa seperti tipe enzim
tripsin.
Apabila dilihat dari suhu penyimpanannya itu sendiri bahwa suhu kamar
merupakan suhu yang sangat mendukung untuk pertumbuhan dan berkembangnya
bakteri mesofilik seperti Bacillus subtilis. Bakteri ini memiliki karakter dimana
suhu pertumbuhan yang optimum adalah pada suhu 30oC dan dalam waktu 24 jam
sudah mengalami tingkat pertumbuhan yang tinggi (Poernomo et al, 2004).
Oleh karena itu penyimpanan pada suhu kamar akan memberikan suasana
yang baik untuk pertumbuhan dari bakteri tersebut. Hal ini akan menimbulkan
kerancuan terhadap hasil pemeriksaan keberadaan enzim tripsin yang dihasilkan
oleh pankreas itu sendiri.
Pada hari ke-12 terjadi penurunan sampai hari ke-16 dari konsistensinya
yang semakin membeku total. Hasil ini menunjukkan bahwa aktifitas enzim
tripsin berkurang sampai tidak ada aktifitasnya lagi untuk membuat gelatin tetap
mencair.
Pertumbuhan populasi bakteri secara normal terbatas baik karena
kekurangan zat gizi yang tersedia atau adanya akumulasi hasil metabolisme
beracun. Kecepatan reaksi kimia ditentukan oleh konsentrasi pereaksi tetapi
seperti diketahui kecepatan tumbuh bakteri tetap sama sampai mediumnya hampir
kehabisan zat gizi pembatas (Stanie et al, 1992).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian terhadap sampel feses sapi yang diawetkan dengan
berbagai konsentrasi formalin pada suhu ruang maka dapat disimpulkan bahwa
formalin dengan konsentrasi diatas 4% akan mematikan aktifitas enzim tripsin.
Formalin dengan konsentrasi dibawah 3% masih dapat memperlihatkan adanya
aktifitas enzim tripsin. Konsentrasi penyimpanan terbaik pada suhu ruang adalah
konsentrasi 0,5-1%.
Saran
Perlu
dilakukan
penelitian
lebih
lanjut
untuk
melihat
apakah
mikroorganisme pada feses dapat menghasilkan anti tripsin sehingga tripsin
mudah rusak. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk melihat kondisi telur
cacing dengan konsentrasi formalin 0,5-1% yang merupakan konsentrasi
penyimpanan terbaik untuk pemeriksaan enzim tripsin.
Dalam penentuan kriteria penilaian sebaiknya sempel ditimbang agar
hasilnya lebih akurat. Untuk menghindari hasil yang positif palsu, sebaiknya di
teliti terlebih dahulu hadir atau tidaknya bakteri penghasil enzim proteolitik.
DAFTAR PUSTAKA
A n o n i mo u s 2 0 0 0 . S i s t e m P e n c e r n a a n P a d a H e w a n M e ma m a h b i a k .
http://bebas.vism.org / V12 (sponsor pendamping) / praweda / biologi /
0066% 20 Bio % 202 sd htm. [24 Juli 2005]
Anonimous 2003. Penuntun Patologi Klinik. Laboratorium Klinik. FKH-IPB
Bogor.
Arora S.P. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia diterjemahkan
oleh
Retno Muwarni. UGM Press. Indonesia.
Astuti M, W. Hardjosubroto dan S. Lebdosoekajo. 1983. Analisis Jarak Beranak
Sapi PO Cangkringan DIY. Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia
Besar. Pusat Penenlitian dan Pengembangan Peternakan BP3. Departemen
Pertanian Bogor.
Biology Dictionary 2003. Hyperdictionary. http:// www.hiperdictionary.com /
dictionary.
[CPSC] Consumer Product Safety Commission, 1997. Formaldehyde.
Consumer Information Center Dept. http//.cpsc.gov.
Cunningham, James.G. 1997. Textbook of Veterinary Physiology. 2nd edition.
W.B. Sounders Company. Philadelpia.
Devlin, Thomas. M. 1993. Texbook of Biochemistry With Clinical Corelations.
Edisi ke-13. Wiley-Liss A Jhon Wiley And Sons, Inc Publications. New
York, Toronto.
Dorland 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Ganong William F. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 17th Ed. EGC. Jakarta.
Girindra Aisjah. 1982. Biokimia 1. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Girindra Aisjah. 1993. Biokimia 1. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Guyton Arthur.C. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 7th Ed. EGC. Jakarta.
Harrow Bejamin. Mazue, Abraham. 1958. Textbook of Biochemistry. Edisi ke-7.
W.B Sounder Company. Philadelpia, London.
Kaneko J.J.et al. 1970. Clinical Biochemistry of Domestic Animals Edisi ke-2,
vol 1.Academic Press. New York, London.
Kirk-Othmer, 1966. Encyclopedia of Chemical Tecnology. Second edition,
Volume 10.
Linton, A.H; W.B. Hugo and A.D. Russel, 1987. Desinfection in Veterinary and
Farm Animal Service. Blackwell Scientific Publications, Oxford. London
Edinburgh, Bonton, Palo Alto. Melbournne.
Manalu Wasmen. 1999. Pengantar Ilmu Nutrisi. Bagian Fisiologi dan
Farmakologi FKH-IPB. Bogor.
Mc Lean V.A, 2004. Formalin. The Formaldehyde Council inc. East California
University Environmen Healt and Safety Greenville-Safety @.ecu.edu
Olson, K.R. Poisoning & Drug Overdose. 1999. Prentice Hall Internacional Inc,
Connecticut, USA.
Poernomo, A. T, et al. 2003. Karakteristik Enzim Proteolitik Bacillus subtilis.
http://www.geocities.com/persampahan/kompas.com. [12 Januari 2005]
Stanie, R. Y, et al. 1992. Dunia Mikroba 2. Proyek Perawatan Fasilitas IPB.
Bogor.
Webster Dictionary 1913. Hiperdictionary. http:// www.hiperdictionary.com /
dictionary. [28 Desember 2004]
Winarno F.G, 1997. Keamanan Pangan. Naskah Akademik.
Word net dictionary, 2003. Hyperdictionary. http:// www.hiperdictionary.com/
dictionary. [28 Desember 2004].
Download