Variabilitas suhu permukaan laut dan konsentrasi

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan Umum Perairan Selat Makassar
Secara geografis Selat Makassar berbatasan dan berhubungan dengan
perairan Samudera Pasifik di bagian utara melalui Laut Sulawesi dan di bagian
selatan dengan Laut Jawa dan Laut Flores, sedangkan bagian barat berbatasan
dengan Pulau Kalimantan dan dibagian timur dengan Pulau Sulawesi. Masuknya
massa air yang berasal dari sungai Pulau Kalimantan dan Sulawesi, pertukaran
massa air dengan Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi, Laut Flores, dan Laut
Jawa akan mempengaruhi kandungan korofil-a dan produktivitas primer di
perairan Selat Makassar (Afdal dan Riyono, 2004).
Selat Makassar merupakan salah satu jalur lintasan arus laut global dari
Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang melalui perairan kawasan timur
Indonesia, arus lintas ini biasa disebut dengan Arus Lintas Indonesia
(ARLINDO). ARLINDO cenderung membawa massa air yang lebih dingin dari
Samudera Pasifik yang mempengaruhi kondisi perairan Indonesia bagian timur
termasuk Selat Makassar sehingga sumberdaya hayati laut sangat ditentukan oleh
kuat lemahnya arus ini (Wyrtki, 1961). ARLINDO yang berasal dari Pasifik tidak
dipengaruhi adanya perubahan angin Muson, yang terjadi justru sebaliknya. Arus
lintas ke arah selatan yang melalui Selat Makassar paling kuat terjadi kira-kira
pada musim panas bagi belahan bumi bagian utara, yang pada saat itu angin
Muson berasal dari arah tenggara (Hasanudin, 1998).
Menurut Wyrtki (1961), pada umumnya pola arus laut Indonesia
dipengaruhi oleh perubahan angin Muson, terutama pada lapisan permukaan. Pada
waktu Muson timur yang terjadi dari bulan Juni hingga Agsutus, massa air dari
4
5
Laut Banda didorong ke arah Laut Flores, kemudian ke Laut Jawa dan Selat
Makassar didorong oleh angin yang datang dari barat menyebrangi Laut Flores
menuju Laut Banda.
Adanya variabilitas ARLINDO terhadap ruang dan waktu, sangat
berpengaruh terhadap estimasi transport, fluks bahang, dan air tawar dai
ARLINDO. Waktu terjadinya puncak transpor maksimum ARLINDO pada pintu
masuk dan pintu keluar, diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda, sehingga
diduga terjadi penyimpanan massa air di perairan Indonesia (Ffield dan Gordon,
1992).
Akibat dinamika regional di Samudera Pasifik, Samudera Hindia, dan
perairan Indonesia, maka aliran ARLINDO mengalami variasi dari skala waktu
dalam semusim (30-60 hari), antar musiman sampai antar tahuan. Bagian barat
daerah tropis Samudera Pasifik sangat dipengaruhi fenomena iklim El Nino
Southern Oscillation (ENSO), sementara Samudera Hindia berasosiasi dengan
sistem Muson dan fenomena dipole mode (Saji et al., 1999).
2.2. Fitoplankton dan Klorofil-a
Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu
melaksanakan reaksi fotosintesis di mana air dan karbon dioksidasi dengan
bantuan sinar surya dan unsur hara dapat menghasilkan senyawa organik seperti
karbohidrat. Dengan kemampuan membentuk zat organik dari zat anorganik,
fitoplankton disebut sebagai produsen primer. Fitoplankton yang subur umumnya
terdapat di perairan sekitar muara sungai, perairan pesisir atau diperairan lepas
pantai di mana terjadi proses naiknya massa air dalam (upwelling). Pada daerah
upwelling, zat hara yang kaya terangkat dari lapisan dalam ke arah permukaan
6
(Nontji, 2005). Tingginya kandungan klorofil-a pada lapisan permukaan diduga
disebabkan adanya pengaruh dari faktor cahaya dibanding lapisan bawahnya,
sehingga pada lapisan permukaan, laju fotosintesis dapat berlangsung lebih cepat
(Afdal dan Riyono, 2004)
Klorofil-a merupakan katalisator yang esensial dalam proses
berlangsungnya fotosintesis. Laju fotosintesis yang terjadi di dalam laut yang
mendapat penyinaran dengan intensitas cahaya tertentu adalah merupakan fungsi
dari klorofil-a diperairan tersebut, apabila faktor-faktor lain tidak merupakan
faktor pembatas (limiting factor). Selain sebagai katalisator klorofil-a juga
berfungsi menyerap energi cahaya (kinetic energy) yang dapat digunakan dalam
proses fotosintesi yakni cahaya dengan luas spektrum yang hampir sama dengan
cahaya tampak (visible light) dengan panjang gelombang 390-760 nm (Riyono,
2006).
Menurut Basmi (1995) klorofil-a merupakan jenis pigmen terbesar yang
terkandung dalam fitoplankton. Selain itu fitoplankton juga dilengkapi pigmenpigmen pelengkap sebagai alat tambahan bagi klorofil-a dalam mengabsorpsi
sinar.
Menurut Sunarto (2008) produktivitas primer perairan pada dasarnya
bergantung kepada aktivitas fotosintesis dari organisme autotrop yang mampu
mentransformasi CO2 menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari.
Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi tanaman.
Persamaan umum proses fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan hijau
(fitoplankton) adalah sebagai berikut:
6CO2 + 6H2O ↔ C6H12O6 + 6O2 ........................................................................(1)
7
Selain faktor utama klorofil-a, faktor yang lainya mempengaruhi proses
fotosintesis dan tentu saja produktivitas primernya adalah keberadaan cahaya dan
nutrien. Kedua faktor ini menentukan distribusi spasial maupun temporal
fitoplankton. Faktor-faktor ini harus berada pada tempat dan yang waktu secara
bersamaan. Nutrien yang tinggi yang menempati lapisan dimana cahaya tidak
dapat menembus (zona afotik) lagi, tidak bermanfaat bagi proses fotosintesis.
Sebaliknya pada lapisan permukaan dimana intensitas cahaya berlimpah,
fotosintesis tidak dapat berjalan sempurna tanpa adanya nutrien. Oleh karena itu
mekanisme alami telah mempertemukan kedua faktor itu antara lain melalui
proses upwelling (Sunarto, 2008).
2.3. Suhu Permukaan Laut (SPL)
Zona suhu permukaan laut tertinggi (thermal equator) letaknya tidak tepat
berhimpitan dengan khatulistiwa bumi, melainkan ke arah utara. Nilai SPL di
belahan bumi bagian Selatan pada umumnya lebih rendah dari pada SPL yang
berada di belahan bumi bagian Utara. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari
benua Antartika yang dingin pada Kutub Selatan Bumi. Selain itu apabila dilihat
dari keadaan masing-masing samudera, pada umumnya akan diperoleh bahwa
SPL di bumi bagian barat akan lebih tinggi daripada bagian timurnya. Hal ini
disebabkan adanya pengaruh arus-arus lautan yang membawa bahang dari daerah
khatulistiwa menuju ke arah kutub bumi (Ilahude, 1999).
Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, penyebaran suhu
di lapisan bawah paras laut (subsurface layer) menunjukkan bahwa adanya
pelapisan yang terdiri atas:
a) Lapisan homogen
8
Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50-100 m
dengan suhu berkisar 26-30°C dan gradien tidak lebih dari 0,03°C /m. Lapisan
ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada musim timur,
lapisan ini dapat mencapai 30-40 m dan bertambah dalam pada saat musim
barat, yaitu mencapai 70-90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari
perairan.
b) Lapisan termoklin
Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas
(main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada
lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan
termoklin bawah, yaitu 27°C pada 100 m menjadi 8°C pada kedalaman 300 m
atau rata-rata penurunan suhu dapat mencapai 9,5°C /100 m, sedangkan pada
termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8°C pada 300 m menjadi 4°C
pada kedalaman 600 m atau rata-rata penurunan mencapai 1,3°C /100 m.
c) Lapisan dalam
Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya
mencapai 0,05°C /100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada
daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2-4°C.
d) Lapisan dasar
Di lapisan ini suhu biasanya tak berubah lagi hingga ke dasar perairan. Pada
samudera-samudera lepas berarti dari kejelukan 3000 m sampai
5000 m.
9
Perairan Indonesia memiliki suhu permukaan laut berkisar 28°C sampai
dengan 31°C, sedangkan di daerah terjadinya upwelling bisa turun hingga 25°C
(Nontji, 2005).
2.4. Upwelling
Naikan massa air (upwelling) adalah istilah yang digunakan untuk
peristiwa timbulnya massa air dari lapisan bawah ke lapisan atas, bahkan ada yang
sampai ke lapisan paras (surface layer). Massa air yang naik ini berasal dari
lapisan 100 m - 200 m atau lebih, biasanya mempunyai suhu yang rendah dan zatzat hara yang tinggi. Itulah sebabnya daerah-daerah naikan massa air ini
umumnya merupakan perairan yang subur. Upwelling juga mampu meningkatkan
produktivitas biologi di lautan dan di sepanjang garis pantai. Beberapa daerah
perikanan terbesar di dunia sangat tergantung pada kejadian upwelling musiman
(Conway, 1997; Thurman and Trujillo, 2004; Nontji, 2005).
Upwelling di Selat Makassar bagian selatan terjadi sekitar bulan Juli
sampai September dan berkaitan erat dengan sistem arus. Pada musim timur,
massa air dari Selat Makassar bertemu dengan massa air dari Laut Flores di
daerah ini, keduanya kemudian bergabung dan mengalir ke barat menuju Laut
Jawa. Dalam kondisi ini dimungkinkan massa air permukaan di dekat pantai
Ujung Pandang secara cepat terseret oleh aliran tersebut, dan untuk
menggantikannya massa air dari lapisan bawah naik ke atas. Upwelling di daerah
ini berskala lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di Laut Banda.
Kecepatan naiknya massa air dalam kurang lebih sama sekitar 0,0005 cm/detik,
dan daerahnya cukup terbatas hingga volume air yang naik hanya sekitar 0,2 juta
m3/detik. Perubahan suhu permukaan pada lokasi upwelling ini, tidak sejelas
10
perubahan salinitas dan kandungan hara (Nontji, 2005). Menurut Conway (1997)
upwelling berlangsung selama berbulan-bulan, namun upwelling tidak selalu
terjadi pada seluruh musim.
Pada bagian selatan Selat Makassar terjadi fluktuasi Tinggi Paras Laut
(TPL) dengan periode tahunan, selain periode 2, 3, dan 4 bulanan. Anomali TPL
rendah tersebut terjadi bersamaan dengan bagian tengah Selat Makassar. Fluktuasi
tahunan diperkirakan berkaitan dengan anomali TPL yang terjadi pada musim
timur (meskipun pada bulan lain juga terjadi anomali TPL rendah) saat arus
permukaan di Laut Flores bergerak ke barat sehingga massa air tersedot (Purba
dan Atmadipoera, 2005).
Menurut Sunarto (2008) upwelling biasanya mengakibatkan konsentrasi
nutrien (nitrit, fospat, dan silikat) lebih tinggi dibandingkan air permukaan yang
nutriennya telah berkurang oleh pertumbuhan fitoplankton. Wilayah upwelling
biasanya memiliki produkktivitas biologi yang tinggi.
Terdapat tiga proses yang dapat menyebabkan terjadinya upwelling.
Pertama, ketika air bergerak menjauh dari garis pantai oleh pergerakkan angin
sehingga terjadi kekosongan yang kemudian diisi upwelling. Kedua, ketika arus
dalam bertemu dengan rintangan (mid ocean ridge) maka akan dibelokan ke atas
dan memencar keluar permukaan air. Ketiga, terdapat tikungan yang tajam di
garis pantai yang mengakibatkan arus bergerak menjauhi pantai, sehingga terjadi
kekosongan massa air di dekat pantai yang kemudian massa air dalam akan naik
mengisi kekosongan tersebut (Gambar 1; Thurman and Trujillo, 2004).
Upwelling pesisir adalah tipe upwelling yang paling umum diamati. Hal
ini disebabkan oleh gesekan angin (kekuatan angin mendorong di permukaan air)
11
dalam kombinasi dengan efek rotasi bumi (efek Coriolis). Kedua kekuatan
menghasilkan transportasi air permukaan di arah lepas pantai. Penyimpangan air
permukaan jauh bentuk pantai menyebabkan air permukaan lebih dingin daripada
air bawah permukaan. Kekuatan upwelling tergantung pada karakteristik seperti
kecepatan angin, durasi, fetch, dan arah. Arah angin sangat penting dalam
menentukan apakah upwelling pesisir akan terjadi (Conway, 1997)
Gambar 1. Mekanisme terjadinya upwelling : (a) offshore wind (b) suatu
pegunungan bawah air; (c) tikungan tajam garis pantai (Thurman and
Trujillo, 2004).
Menurut Wyrtki (1961) Upwelling dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis, yaitu :
1. Jenis tetap (stationary type), yang terjadi sepanjang tahun meskipun
intensitasnya dapat berubah-ubah. Tipe ini terjadi merupakan tipe upwelling
yang terjadi di lepas pantai Peru.
2. Jenis berkala (periodic type) yang terjadi hanya selama satu musim saja.
Selama air naik, massa air lapisan permukaan meninggalkan lokasi air naik,
12
dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas mencapai
permukaan, seperti yang terjadi di Selatan Jawa.
3. Jenis silih berganti (alternating type) yang terjadi secara bergantian dengan
penenggelaman massa air (sinking). Dalam satu musim, air yang ringan di
lapisan permukaan bergerak keluar dari lokasi terjadinya air naik dan air lebih
berat di lapisan bawah bergerak ke atas kemudian tenggelam, seperti yang
terjadi di laut Banda dan Arafura.
2.5. Penginderaan Jauh Satelit
Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk
memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan
objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat
pengindera yang biasa disebut sensor. Berbagai sensor pengumpul data dari jarak
jauh, umumnya dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang,
balon, satelit, atau wahana lainnya. Objek yang diindera adalah objek yang
terletak di permukaan bumi, di atmosfer, dan di antariksa. Pengumpulan data dari
jarak jauh tersebut dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan tenaga
yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat berupa variasi distribusi daya,
distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi elektromagnetik. Data
penginderaan jauh dapat berupa citra, grafik, dan data numerik (Gambar 2;
Purwadhi, 2001).
13
Gambar 2. Sistem penginderaan jauh (Purwadhi, 2001)
2.6. SeaWiFS dan NOAA AVHRR
Instrumen SeaWiFS diluncurkan pada tanggal 1 Augustus 1997 dengan
kendaraan peluncur Pegasus. Instrumen SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field of
view Sensor) telah dimodifikasi untuk menghasilkan respon bilinear, sensitivitas
asli dipertahankan sampai sekitar 80% dari rentang output digital, dan kemudian
berubah kontinyu untuk memperpanjang rentang dinamis substansial, hasil bersih
tidak jenuh diharapkan atas awan (atau terang pasir, es, dll) (NASA, 2010).
Dalam aplikasinya sensor SeaWiFS mampu memberikan informasi
tentang warna permukaan laut yang berkaitan dengan distribusi klorofil-a.
SeaWiFS juga menyediakan data kuantitatif tentang global ocean bio-optical
properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang variasi warna
perairan (ocean color) sebagai implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi
organisme mikroskopik fitoplankton dalam perairan (NASA, 2010).
SeaWiFS memiliki 8 kanal yang terdiri dari 6 kanal pada panjang
gelombang sinar tampak dan 2 kanal pada panjang gelombang infra merah. Kanal
1 sampai dengan6 memiliki lebar kanal 20 nm sedangkan kanal 7 dan 8 memiliki
14
lebar kanal 40 nm (NASA, 2010). Karateristik SeaWiFS dan panjang gelombang
SeaWiFS disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Karakteristik SeaWiFS (NASA, 2010)
Orbit Type
Sun Synchronous at 705 km
Equator Crossing
Noon +20 min, desending
Orbital Period
99 minutes
Swath Width
2,801 km LAC/HRPT (58.3 degrees)
Swath Width
1,502 km GAC (45 degrees)
Spatial Resolution
1.1 km LAC, 4.5 km GAC
Real Time Data Rate
665 kbps
Revisit Time
1 day
Digitization
10 bits
Tabel 2. Panjang Gelombang SeaWiFS (NASA, 2010)
Kanal
Panjang Gelombang
1
402 – 422 nm
2
433 – 453 nm
3
480 – 500 nm
4
500 – 520 nm
5
545 – 565 nm
6
660 – 680 nm
7
745 – 785 nm
8
845 – 885 nm
Pada tahun 1960 sampai 1965 , telah diluncurkan 10 satelit TIROS untuk
tujuan penelitian dan pengembangan. Kemajuan TIROS N menjadi prototipe
ditingkatkan untuk satelit NOAA yang digunakan saat ini. Satelit NOAA
(National Oceanic and Atmospheric Administration) merupakan satelit cuaca
yang berfungsi mengamati lingkungan dan cuaca. NOAA membawa sensor
15
AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer). Data dari satelit NOAA
polar yang mengorbit ditransmisikan terus dan dapat diterima oleh setiap stasiun
bumi dalam jangkauan radio. Jenis layanan yang dikenal sebagai direct readout.
Untuk menerima data dari AVHRR terdapat dua kategori layanan antara lain High
Resolution Picture Transmissin (HRPT) dan Automatic Picture Transmissin
(APT) (Conway, 1997).
Sensor AVHRR memberikan informasi spektral yang sangat akurat, dan
memiliki resolusi spasial 1,1 km x 1,1 km dan tiap scene mencakup area yang
besar sekitar 1000 km E-W dan antara 3000 sampai 4000 km N-S. Sensor ini
memiliki 5 band spektral mulai dari merah sampai inframerah termal dan cocok
untuk aplikasi seperti pemantauan lingkungan (NOAA, 2010). AVHRR yang
pertama mempunyai 4 channel radiometer yang diluncurkan bersama satelit
TIROS-N pada bulan Oktober 1978. Kemudian ditingkatkan menjadi 5 channel
instrument (AVHRR/2) yang diluncurkan bersama NOAA 7 pada bulan Juni
1981. Versi terbaru adalah AVHRR/3 dengan 6 channel, pertama dilakukan pada
NOAA 15 yang diluncurkan pada bulan Mei 1998 (NOAA, 2010). Karakteristik
AVHRR/3 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik AVHRR/3 (NOAA, 2010)
AVHRR/3 Channel
Wavelenth (um) Typical Use
Channel
Number
1
2
3A
3B
Resolution
at Nadir
1.09 km
1.09 km
1.09 km
1.09 km
0.58 – 0.68
0.725 – 1.00
1.58 – 1.64
3.55 – 3.93
4
1.09 km
10.30 – 11.30
5
1.09 km
11.50 – 12.50
Daytime cloud and surface mapping
Land-water boundaries
Snow and ice detection
Night cloud mapping, sea surface
temperature
Night cloud mapping, sea surface
temperature
Sea surface temperature
Download