2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Laut Jawa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perairan Laut Jawa, Laut Flores terutama selatan Selat Makassar
merupakan wilayah perairan bagian dalam Indonesia yang memiliki peranan
penting dalam lintasan massa air antar Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Perairan-perairan ini memiliki karakteristik yang unik karena dialiri dua sistem
arus utama, yaitu Arus Lintas Indonesia (Arlindo) dan Arus Monsun Indonesia
(Armondo) (Ilahude dan Nontji 1999) sehingga pembentukan sifat massa airnya
sangat dipengaruhi oleh kedua sistem arus tersebut. Terbentuknya aliran Arus
Monsun tidak terlepas dari pengaruh hembusan angin musim yang sangat kuat di
wilayah perairan ini, sebagai akibat dari perbedaan tekanan antara Asia Tenggara
dan Australia.
Pada Musim Barat banyak massa air yang diangkut Armondo dari Laut
Jawa ke Laut Banda hingga terjadi penumpukan massa air. Menurut Ilahude dan
Nontji (1999), untuk menimbali surplus massa air tersebut terjadilah downwelling
di Laut Banda. Pada Musim Timur Armondo banyak mengangkut massa air dari
Laut Banda dan laut Flores ke Laut Jawa hingga terjadilah defisit massa air.
Untuk menimbali defisit tersebut naiklah massa air dari lapisan bawah ke
permukaan atau yang disebut upwelling (Ilahude dan Nontji 1999). Proses ini
akan menurunkan suhu, menaikkan nilai salinitas, oksigen, dan berbagai zat-zat
hara di daerah sekitarnya (Wyrtki 1961) yang diikuti pula oleh kelimpahan
biomassa plankton dan ikan-ikan. Hal inilah yang menjadikan upwelling sebagai
salah satu fenomena oseanografi yang sering digunakan untuk indikator adanya
konsentrasi ikan di suatu perairan. Prediksi daerah upwelling yang akurat dapat
digunakan sebagai alat bantu untuk melihat keterkaitan dengan produksi
perikanan dan menentukan daerah penangkapan potensial yang merupakan suatu
kebutuhan yang mendesak.
Wilayah Perairan Laut Jawa, selatan Selat Makassar, dan Laut Flores
sendiri berfungsi sebagai Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia
(WPP-RI) Nomor 712 dan 713 (Lampiran 7) yang cukup penting berkontribusi
2
2
kepada produktivitas perikanan tangkap nasional. Salah satu sumberdaya
perikanan tangkap yang memiliki potensi besar di wilayah Perairan Laut Jawa,
selatan Selat Makassar, dan Laut Flores adalah ikan pelagis kecil. Sumberdaya
ikan pelagis sendiri adalah jenis-jenis ikan yang hidup di kolom perairan mulai
dari lapisan permukaan sampai lapisan tengah (mid layer) (Amri 2002). Komoditi
utama hasil perikanan tangkap di wilayah perairan ini adalah dari jenis ikan
Layang (Decapterus spp).
Keberadaan sumberdaya ikan Layang tergantung pada faktor-faktor
lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan.
Perubahan suhu perairan yang sangat kecil (± 0,02oC) dapat menyebabkan
perubahan densitas populasi ikan di perairan tersebut (Laevastu dan Hayes 1981).
Parameter suhu sangat berguna dalam mempelajari proses-proses fisika, kimia,
dan biologi yang terjadi di laut. Pola distribusi suhu permukaan laut, suhu
vertikal, dan fluktuasi lapisan termoklin dapat digunakan untuk mengidentifikasi
fenomena laut seperti upwelling dan downelling.
Meskipun
demikian,
masih
terdapat
banyak
tantangan
dalam
pelaksanaannya. Menurut Atmaja dkk (2003), prospek dan tantangan perikanan
adalah fenomena alam yang tidak terdeteksi, data yang dibutuhkan tidak
memadai,
dan
fenomena
alam
terdeteksi
namun
kemampuan
tidak
memungkinkan. Untuk menjawab tantangan tersebut, salah satu alternatif yang
dapat diperhitungkan adalah dengan pemanfaatan pemodelan laut (model
numerik) yang dapat menggambarkan kondisi serta fenomena oseanografi yang
terjadi di laut. Melalui pemodelan, analisis indikator upwelling dengaan waktu
yang panjang (time series) dapat tersedia secara regular untuk digunakan oleh para
ilmuwan dan manajer perikanan untuk menentukan daerah yang sesuai dalam
melakukan penangkapan.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah
yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini yaitu bagaimana memprediksi
lokasi-lokasi upwelling melalui parameter suhu permukaan laut maupun suhu
vertikal, fluktuasi lapisan termoklin, dan pola pergerakan arus menggunakan data
hasil model SODA versi 2.1.6 sebagai dasar penentuan daerah penangkapan ikan
3
yang potensial di Perairan Timur laut Jawa, selatan Selat Makassar, dan Laut
Flores
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan identifikasi masalah yang diutarakan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah mengetahui daerah-daerah upwelling melalui parameter suhu
permukaan laut maupun suhu vertikal, fluktuasi lapisan termoklin dan pola
pergerakan arus menggunakan data hasil model SODA versi 2.1.6 sebagai dasar
penentuan daerah penangkapan ikan yang potensial di Perairan Timur laut Jawa,
selatan Selat Makassar, dan Laut Flores.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penelitian lanjutan
terkait dengan kajian upwelling/downwelling dalam upaya untuk mengidentifikasi
lebih lanjut dan spesifik perbedaan karakteristik wilayah penangkapan ikan di
perairan yang dipengaruhi fenomena upwelling dengan wilayah perairan yang
tidak dipengaruhi fenomena upwelling, serta dapat digunakan sebagai acuan untuk
pendugaan zona subur di perairan Timur Laut Jawa, Laut Flores, dan terutama di
selatan Selat Makassar.
1.5 Pendekatan Masalah
Sebagai negara penghasil ikan yang cukup besar, Indonesia masih
menghadapi tantangan dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Salah satu tantangan
pengelolaan sumberdaya ikan adalah fenomena alam yang tidak terdeteksi.
Upwelling sebagai salah satu fenomena oseanografi sering digunakan sebagai
indikator adanya konsentrasi ikan di suatu perairan. Sesuai dengan pernyataan
Nontji (2005), bahwa dalam lokasi penelitian ini terdapat satu lokasi yang
diketahui secara pasti sebagai lokasi upwelling yaitu di selatan Selat Makassar.
sedangkan satu lokasi lainnya merupakan daerah upwelling yang masih prediksi,
yaitu di mulut Teluk Bone (Sulawesi Tenggara). Prediksi upwelling yang akurat
dapat digunakan sebagai alat bantu untuk melihat keterkaitan dengan produksi
perikanan dan menentukan daerah penangkapan potensial yang merupakan suatu
kebutuhan yang mendesak.
4
Keberadaan daerah penangkapan ikan di perairan bersifat dinamis, selalu
berubah atau berpindah mengikuti pergerakan kondisi lingkungan, karena secara
alamiah ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai. Habitat tersebut sangat
dipengaruhi oleh kondisi atau parameter oseanografi perairan seperti suhu
permukaan laut, salinitas, fluktuasi lapisan termoklin, dan konsentrasi klorofil-a.
Hal tersebut berpengaruh pada dinamika atau pergerakan air laut baik secara
horisontal maupun vertikal, seperti peristiwa naiknya massa air dari lapisan bawah
ke permukaan sebagai gradien suhu yang mengindikasikan adanya upwelling.
Dampak dari upwelling ini akan menurunkan suhu, menaikkan nilai salinitas,
oksigen, dan berbagai zat-zat hara di daerah sekitarnya (Wyrtki 1961) yang diikuti
pula oleh kelimpahan biomassa plankton dan ikan-ikan. Adanya sirkulasi arus
memungkinkan terjadinya pola pergerakan massa air yang membawa massa air
yang kaya nutrien tersebut ke perairan sekitarnya (Nahib, dkk. 2010), sehingga
mempengaruhi distribusi dan migrasi ikan, terutama untuk mencari makanan.
Dari semua aktifitas dinamika massa air, upwelling diprediksi sebagai
faktor utama yang berperan terhadap tingginya konsentrasi klorofil-a di lapisan
permukaan perairan (Nahib, dkk. 2010). Nahib, dkk. (2010) juga menyatakan
bahwa umumnya sebaran nutrien di dalam perairan memperlihatkan konsentrasi
yang tinggi pada lapisan termoklin. Bila proses upwelling dapat terjadi dengan
baik dan didukung oleh dangkalnya lapisan termoklin, maka fenomena upwelling
sangat membantu dalam menyediakan nutrien dengan konsentrasi tinggi pada
lapisan permukaan tercampur.
Download