KANDUNGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM

advertisement
KANDUNGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM SERAT WULANG REH
Oleh: Muchson AR
Prodi PKn-FISE UNY
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dalam sistem persekolahan selama ini lebih menekankan
pengembangan kemampuan intelektual akademis dan kurang memberi
perhatian pada aspek yang sangat fundamental, yakni pengembangan
karakter (watak). Sedangkan karakter itu merupakan aspek yang sangat
penting dalam penilaian kualitas sumber daya manusia. Seseorang
dengan kemampuan intelektual yang tinggi dapat saja menjadi orang
yang tidak berguna atau bahkan membahayakan masyarakat jika
karakternya rendah. Oleh sebab itu pendidikan karakter
seharusnya
ditempatkan sebagai bagian penting dalam sistem pendidikan nasional.
Pasal 3
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional telah merumuskan : ”Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Akan
tetapi dalam hal pembentukan watak (karakter), rumusan yang bersifat
normatif
tersebut
tidak
secara
nyata
diimplementasikan
dalam
kurikulum maupun kebijakan pendidikan nasional kita.
1
Berbagai kasus yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, yang hal
itu sekaligus menunjukkan rendahnya karakter, telah sedemikian
marak dalam masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi, perbuatan itu
tidak sedikit melibatkan orang-orang yang terdidik. Ini menunjukkan
bahwa pendidikan kurang berhasil dalam membentuk watak (karakter)
yang terpuji. Dalam kondisi yang demikian, kiranya cukup relevan
untuk diungkapkan kembali “paradigma lama” tentang pendidikan,
yakni pendidikan sebagai pewarisan nilai-nilai. Warisan nilai-nilai
budaya masa lalu itu tidak sedikit yang merupakan nilai-nilai moral.
Paradigma pendidikan seperti itu sering dianggap kuno, konservatif, dan
tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Namun hal itu tidak berarti bahwa
nilai-nilai warisan masa lalu, lebih-lebih nilai-nilai moral dan sopan
santun, adalah sesuatu yang usang dan harus dibuang.
Serat
Wulang
Reh,
sebuah
buku
kumpulan
tembang
karya
Susuhunan Paku Buwana IV [1768-1820, naik tahta 1788] adalah
warisan budaya yang di dalamnya terkandung
nilai-nilai moral yang
sangat berharga. Kandungan nilai-nilai moral itu sangat relevan untuk
diteliti dan diungkapkan kembali dalam situasi masyarakat yang
moralitasnya carut marut seperti sekarang ini. Nilai-nilai moral dalam
Surat Wulang Reh itu sangat berguna untuk pengembangan pendidikan
karakter yang saat ini sering diwacanakan. Serat Wulang Reh dapat
memberikan sumbangan dan menjadi tawaran alternatif bagi upaya
perbaikan moralitas bangsa.
B. Identifikasi Masalah
Terdapat banyak masalah yang dapat diidentifikasi dalam kajian
tentang kandungan nilai-nilai pendidikan karakter Serat Wulang Reh.
Berbagai masalah yang dapat diidentikasi di sini adalah :
1. Masih kurang dikenalnya Serat Wulang Reh serta sosok pribadi Paku
Buwana IV sebagai pengarangnya.
2
2. Masih kurangnya pengungkapan nilai-nilai moral yang terkandung
di dalam Serat Wulang Reh.
3. Masih belum jelasnya makna nilai-nilai moral
yang terkandung di
dalam Serat Wulang Reh.
4. Masih belum adanya pengklasifikasian nilai-nilai moral yang bersifat
universal dan yang bersifat kultural dari kandungan Serat Wulang
Reh.
5. Masih belum diungkapkannya kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi munculnya Serat Wulang Reh.
6. Masih belum diungkapkannya kondisi politik di sekitar karaton
Surakarta yang melatarbelakangi munculnya Serat Wulang Reh.
C. Pertanyaan Penelitian
Dari beberapa masalah yang diidentifikasi tersebut, pertanyaan
penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah buku Serat Wulang Reh itu dan siapakah sosok pribadi Paku
Buwana IV, pengarang buku tersebut?
2. Apa saja nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang
Reh?
3. Apa makna nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang
Reh?
D. Tujuan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analisis isi (content analysis).
Sebagaimana dikemukakan Carney (1972) yang dikutip oleh Darmiyati
Zuchdi (1993: 12), tujuan penelitian analisis isi dibedakan menjadi dua,
yaitu : deskriptif dan inferensial. Sejalan dengan pendapat tersebut,
tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengenal buku Serat Wulang Reh dan sosok pribadi Paku Buwana
IV, pengarang buku tersebut.
3
2. Mendeskripsikan nilai-nilai moral
yang terkandung di dalam Serat
Wulang Reh.
3. Mengungkapkan makna nilai-nilai moral yang terkandung di dalam
Serat Wulang Reh.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Secara teoritis bermanfaat bagi uapaya pengembangan konsep isi
pendidikan karakter yang memuat ajaran-ajaran moral, yang antara
lain bersumber pada sosio kultural bangsa.
2. Secara praktis bermanfaat bagi para guru, pemuka masyarakat,
pemimpin formal maupun warga masyarakat pada umumnya yang
memerlukan
acuan
dalam
internalisasi
nilai-nilai
moral
guna
pembentukan karakter.
4
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Pemahaman tentang Nilai
Sejak zaman Yunani Kuno, nilai sudah dibicarakan dalam kerangka
filsafati. Nilai sudah ditempatkan dalam hierarki ide atau gagasan
pemikiran. Hakikat kebenaran, kebaikan, dan keindahan sudah menjadi
objek pemikiran secara mendalam (radikal). Pada akhir abad ke-19
kajian tentang nilai semakin mantap menjadi salah satu bidang filsafat
yang disebut aksiologi (filsafat nilai). Persoalan aksiologi meliputi nilai
logis (benar-salah), nilai etis (baik-buruk), dan nilai estetis (indah-tidak
indah). Namun beberapa ahli, termasuk Fraenkel (1977: 6), mengatakan
bahwa the study of values ussually is divided into the areas of aesthetics
and ethics. Jadi, persoalan aksiologi hanya meliputi estetika dan etika.
Dalam pembagian cabang-cabang filsafat, etika merupakan salah satu
cabang filsafat yang membicarakan persoalan moral atau tingkah laku
yang baik.
Nilai (value) adalah harga atau penghargaan yang melekat pada
suatu objek. Fraenkel (1977: 6) mengatakan tentang nilai sebagai
berikut.
a value is an idea –a concept- about what someone thinks is
important in life. When a person values something, he or she
deems it worthwhile –worth having, worth doing, or worth trying
to obtain.
5
Seorang antropolog melihat nilai sebagai ‘harga’ yang melekat pada
pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan,
keyakinan dan lain-lain. Menurut Kuperman (1983), seorang sosiolog,
nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya. Menurut Gordon Allport (1964), ahli psikologi
kepribadian, nilai adalah keyakinan yang mendorong tindakan dan
pilihan seseorang. Dalam psikologi, keyakinan ditempatkan pada
hierarki tertinggi di atas hasrat, motif, sikap, keinginan, dan kebutuhan
(Rohmat Mulyana, 2004: 7-9).
Selain pengertian, pemahaman yang lebih pelik tentang nilai
menyangkut kompleksitas nilai, baik mengenai macam-macam nilai,
konflik nilai, hierarki nilai dan lain-lain. Adanya bermacam-macam nilai
dapat menimbulkan dilema nilai atau bahkan konflik nilai. Konflik nilai
dapat terjadi dalam hubungan antar individu dan dapat juga hanya
terjadi dalam diri seorang individu. Fraenkel (1977: 9) mengatakan :
’value conflict may not only be interpersonal (between individuals), but
also intra personal- within one person’. Dengan memahami hierarki nilai,
maka ketika seeorang dihadapkan pada konflik nilai, yang kadangkadang memaksanya untuk melakukan pilihan nilai, ia akan tahu nilai
mana yang lebih tinggi tingkatannya.
Menurut Max Scheler, sebagaimana dikutip oleh Rohmat Mulyana
(2004: 38-39), hierarki nilai dapat dikelompokkan ke dalam empat
tingkatan, yaitu :
1. Nilai kenikmatan. Pada tingkatan ini terdapat sederetan nilai yang
menyenangkan atau sebaliknya, yang kemudian orang merasa
bahagia atau menderita.
2. Niliai kehidupan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang penting
bagi
kehidupan,
misalnya
kesehatan,
kesegaran
badan,
kesejahteraan umum dan seterusnya.
3. Nilai kejiwaan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang
sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani atau lingkungan.
6
Nilai-nilai
semacam
ini
adalah
keindahan,
kebenaran,
dan
pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat.
4. Nilai kerohanian. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang suci,
yang sumber utamanya dari nilai ketuhanan sebagai nilai tertinggi.
Hierarkhi nilai itu ditetapkan urutannya oleh Scheler dengan
menggunakan empat kriteria, yaitu : semakin bertahan lama, semakin
tinggi tingkatannya; semakin dapat dibagikan dengan tanpa mengurangi
maknanya, semakin tinggi nilainya; semakin tidak tergantung pada
nilai-nilai lain, semakin tinggi esensinya; semakin membahagiakan,
semakin tinggi fungsinya.
Tentang
macam-macam
nilai,
ada
beberapa
penggolongan,
klasifikasi, atau kategori nilai, yang kadang-kadang tidak jelas dasar
penggolongannnya. Notonagoro mengemukakan tiga macam nilai, yaitu
(1) nilai material, (2) nilai vital, dan (3) nilai kerohanian yang meliputi (a)
nilai kebenaran, (b) nilai keindahan, (c) nilai kebaikan, dan (c) nilai
relegius, yang merupakan nilai tertinggi dan bersifat mutlak (Roestandi,
1988: 38-39). Ada yang menyebut klasifikasi nilai
itu meliputi : nilai
terminal dan nilai instrumental; nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik; nilai
personal (pribadi) dan nilai sosial. Selain itu ada yang menyebut kategori
nilai itu meliputi nilai teoritis, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial,
nilai politik, dan nilai agama (Rohmat Mulyana, 2004: 25-35).
Jika mengacu pada term klasifikasi nilai, ada pula yang menyebut
nilai fundamental, nilai instrumental, dan nilai praksis. Jika mengacu
pada term kategori nilai, masih banyak macam yang belum disebut,
antara lain nilai moral (etis), nilai historis, nilai sosiologis, nilai
psikologis, nilai kultural dan sebagainya. Di antara bermacam-macam
nilai tersebut, nilai moral menempati posisi yang sangat tinggi dalam
hierakhi nilai.
B. Pendidikan Moral Sebagai Inti Pendidikan Karakter
7
Kata ’moral’ sering disinonimkan dengan kata-kata : akhlak, budi
pekerti, atau susila (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1989: 592).
Poespoprodjo (1986: 102) menyatakan bahwa moralitas adalah kualitas
dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata bahwa
perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup
pengertian baik-buruknya perbuatan manusia. Widjaja (1985: 154)
mengatakan bawa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang
perbuatan atau kelakuan. Persoalan moral dalam pembahasan etika
meliputi tata susila dan tata sopan santun. Tata susila mendorong orang
untuk berbuat baik, karena hati nuraninya mengatakan baik. Dengan
demikian nilai-nilai kesusilaan itu bersumber dari hati nurani manusia
yang sifatnya universal. Adapun tata sopan santun mendorong untuk
berbuat, terutama yang bersifat lahiriah, tidak bersumber dari hati
nurani, melainkan untuk sekedar menghargai orang lain dalam
pergaulan.
Dengan
demikian
nilai-nilai
kesopanan
bersumber
lingkungan sosial yang sifatnya kultural-kontekstual.
Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah moral sering dikacaukan
dengan etika. Secara akademis, etika adalah filsafat moral atau setidaktidaknya ilmu tentang moral. Dengan demikian etika itu berada pada
wilayah teoritis, bukan berada pada wilayah praksis. Moral pun dapat
berada pada wilayah teoritis, jika yang dimaksud adalah filsafat moral,
ajaran moral, atau konsep moral, bukan perilaku atau sikap moral.
Berbicara tentang etika, Musa Asya’ari (2002: 117-129) mengemukakan
macam-macam etika yang meliputi : etika hubungan manusia dengan
Tuhan, etika hubungan manusia dengan sesamanya, etika hubungan
manusia
dengan
alam,
dan
etika
hubungan
manusia
dengan
ciptaannya.
Konsep moral yang bersumber dari berbagai literatur Barat perlu
dikritisi, agar tidak menyesatkan. Pandangan Barat tentang moral
berkembang seiring dengan sejarah perkembangan intelektual mereka.
Lahirnya abad modern yang diawali dengan zaman renaisans dan
8
disusul dengan zaman afklarung membawa perubahan besar dalam
pemikiran manusia, bukan saja dalam pemikiran intelektual, namun
juga
dalam
pemikiran
moral.
Pemikiran
intelektual
Barat
yang
membawa kemajuan luar biasa di bidang sain berbasis pada pandangan
yang bersifat naturalistik-sekularistik, rasionalistik, empiris, relativistik,
dan probabelistik. Basis pandangan tersebut juga mendasari pemikiran
mereka tentang moral. Dalam pandangan modern, baik dan buruk itu
merupakan persoalan duniawi, naturalistik, dan sekularistik semata.
Baik dan buruknya suatu perbuatan didasarkan atas pertimbangan
rasional dan kenyataan empirisnya. Jika secara rasional dianggap baik
dan secara empiris terbukti baik, maka baik lah tindakan itu. Dengan
demikian sifatnya relatif, tidak absolut, dan probabelistik, sehingga tidak
ada kepastian moral. Anggapan yang bersifat relatif itu juga mempunyai
konotasi bahwa moral itu bersifat kultural, kontekstual, bahkan
kondisional dan individual. Dalam tradisi Timur, jika persoalan etis yang
direlatifkan itu sebatas persoalan kesopanan, hal itu dapat diterima.
Akan tetapi jika persoalan etis yang direlatifkan itu juga menyangkut
kesusilaan, hal itu tentu harus ditolak (Muchson AR, 2000: 13-15).
Berbicara tentang pendidikan moral pada dasarnya menyangkut
proses internalisasi nilai-nilai moral. Jika nilai-nilai moral itu berhasil
diinternalisasikan dalam diri seseorang, maka nilai-nilai itu akan
menjadi norma atau acuan hidup yang menuntun sikap dan tindakan
seseorang. Pendidikan moral ini lah yang merupakan inti dan wajah
utama
pendidikan
pada
masa
awal
perkembangannya.
Dengan
demikian, jika orang berbicara tentang pendidikan, pendidik, orang yang
terdidik, maka gambaran yang paling menonjol adalah aspek moralitas,
kepribadian, karakter dan sebagainya. Pendidik dan orang yang terdidik
dianggap identik dengan orang yang moralitasnya tinggi. Bahwa
pendidikan moral merupakan inti pendidikan dikemukakan oleh Downey
& Kelly (1978: 8) sebagai berikut.
9
From earleist times in educational theory and practice moral
education has been seen as the very core of the educational
process, and moral upbringing has been regarded, almost
without question, as the central feature of education itself”.
Pandangan semacam itu sering dianggap tidak sejalan dengan
paradigma pendidikan modern, yakni pendidikan untuk perubahan.
Menurut pandangan modern, pendidikan yang fungsional adalah
pendidikan yang mampu menjawab tantangan masa kini dan tantangan
masa depan. Memang, paradigma pendidikan di masa lalu bukanlah
pendidikan untuk perubahan, bahkan sebaliknya, yakni pendidikan
untuk pewarisan dan pelestarian nilai-nilai. Durkheim, seorang ahli
sosiologi moralitas menyebutnya sebagai the conservation of a culture
inherited from the past (Bourdieu dalam Karabel and Halsey, 1977: 488).
Meskipun paradigma pendidikan sebagai pewarisan dan pelestarian
nilai-nilai itu dianggap kuno atau konservatif, namun pendidikan seperti
itu sangat relevan untuk solusi perbaikan moralitas bangsa.
Di
Amerika
Serikat
sendiri,
sebagaimana
dikemukakan
oleh
Kirschenbaum yang dikutip oleh Darmiyati Zuchdi (2001: 1-2), sejak
sebelum tahun 1990 telah dikembangkan pendidikan moral yang bagus,
untuk mengajarkan nilai-nilai tradisional, dengan dukungan para orang
tua, pemuka agama, guru, dan politisi. Usaha itu guna
mengatasai
masalah minuman keras, kriminilitas, kekerasan, disintegrasi keluarga,
meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri dan remaja putri yang
mengandung, menurunnya tanggung jawab masyarakat, tumbuhnya
pertentangan rasial dan etnis, serta tidak terkendalinya jumlah skandal
pada tahun 1980-an.
Pendidikan moral atau internalisasi nilai-nilai moral inilah yang
menjadi esensi dari pendidikan karakter (watak). Hakikat pendidikan
karakter tidak lain adalah penanaman nilai-nilai moral, baik moral
kesusilaan maupun kesopanan. Parkay and Stanford (1998: 280)
10
mengemukakan kaitan antara pembelajaran nilai, (penalaran) moral,
dan pendidikan karakter sebagi berikut.
One approach to teaching values and moral reasoning is
known as character education, a movement that stresses a
development of students “good character”.
Yudi Latif menyatakan bahwa karakter mencerminkan kepribadian
seseorang atau sekelompok orang yang terkait dengan basis moralitas,
kekhasan kualitas, serta ketegaran dalam krisis. Ia merupakan jangkar
jati diri karena merupakan aspek evaluatif yang menentukan sikap
dasar manusia terhadap diri dan dunianya (Kompas, Selasa 9 Juni
2009). Karakter memang mencerminkan kepribadian yang berkaitan
dengan moralitas, namun kualitas moralnya itu sedemikian khas,
sehingga berbeda kualitas dengan orang lain atau kelompok masyarakat
yang lain. Dengan kekhasan kualitas moralnya itu, misalnya sangat
kuat atau di atas rata-rata, seseorang atau suatu kelompok masyarakat
akan mampu tegar dalam menghadapi krisis. Sementara itu Edgar F
Puryear Jr, sebagaimana dikutip oleh Kiki Syahnakri, menyatakan
dalam American Generalship bahwa character is everything bagi seorang
pemimpin. Pentingnya karakter dinyatakan dalam adagium klasik, “If
the wealth is lost, nothing lost. If the health is lost, something is lost. If the
character is lost, everything is lost” (Kompas, Selasa 2 Juni 2009).
Pendidikan karakter yang esensinya adalah internalisasi nilai-nilai
moral termasuk dalam pengembangan domain afektif. Domain afektif
berkaitan dengan aspek batiniah (the internal side) yang tidak dapat
diamati, maka dalam pemahamannya sering ditemukan konsep yang
tumpang-tindih. Domain afektif berhubungan dengan perasaan, emosi,
rasa senang-tidak senang, apresiasi, sikap, nilai-nilai, moral, karakter
dan lain-lain. Adanya tumpang-tindih konsep terlihat dalam pendapat
Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai berikut.
The affective domain includes all behavior connected with
feelings and emotions. Thus, as was earlier stated, emotions,
11
tastes and preferences, appreciations, attitudes and values,
morals and character, and aspects of personality adjustment
or mental health are included.
Proses internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif
meliputi beberapa jenjang dan jenjang afeksi yang paling dalam adalah
karakterisasi
(pembentukan
karakter).
Krathwohl
dkk
(1964)
mengemukakan Taksonomi Domain Afektif yang cakupannya secara
hirarkhis meliputi (1) Receiving, (2) Responding, (3) Valuing, (4)
Organization, and (5) Characterization (Bloom, et al, 1981: 301-302;
Ringness, 1975: 21). Dengan demikian, karakterisasi adalah proses
internalisasi nilai yang telah mencapai tingkatan paling tinggi atau
paling dalam. Penghayatan terhadap suatu nilai jika telah sampai pada
tingkatan yang sangat dalam, maka nilai itu telah mengkarakter atau
menjadi penanda khas kepribadian orang yang bersangkutan.
Internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif siswa melalui
jalur pendidikan formal bukan merupakan persoalan yang mudah.
Persoalannya bukan semata-mata terletak pada persoalan pedagogis
yang prosesnya memang rumit, tetapi lebih terkait dengan persoalan
kebijakan
dan
kemampuan
implementasinya.
kognitif,
afektif,
dan
Secara
formal
psikomotor
pengembangan
sudah
kerap
kali
dirumuskan dalam kebijakan pendidikan di Indonesia, setidak-tidaknya
dalam kebijakan yang bersifat umum. Wacana tentang pengembangan
kemampuan afektif juga sering disinggung dalam
berbagai forum
pendidikan. Namun kemudian, semua itu tidak jelas implementasinya.
Dalam kenyataannya, kuatnya penekanan pada pengembangan kognitif
dan lemahnya pengembangan afektif sangat mewarnai praktik-praktik
pendidikan kita selama ini.
Kenyataan ini sesuai dengan persoalan
yang diangkat oleh Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai
berikut.
One finds affective behavior in any school situation –indeed, in
any situation- but compared to cognitive learning, relatively little
12
affective learning has been deliberately introduced into the
curriculum.
Keseimbangan antara ketiga aspek tersebut sangat penting, setidaktidaknya aspek kognitif dan afektif, guna membangun kepribadian yang
lebih utuh. Berbagai ketimpangan sosial yang muncul selama ini, jika
dirunut akar permasalahannya, sangat mungkin disebabkan karena
ketidakseimbangan itu. William Chang dalam artikelnya yang berjudul
Normalisasi Sosial menyatakan bahwa sebuah proses normalisasi sangat
diperlukan karena seluruh globus sedang sakit dan mengalami great
warning. Asas normalisasi sosial itu ditemukan dalam hati (heart) dan
pikiran
(head)
setiap
manusia
yang
berkehendak
baik
untuk
mereformasi tatanan sosial yang menderita sakit melalui usaha terkecil
dalam lingkup hidup masing-masing (Kompas, 22 Desember 2008).
13
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Langkah-Langkah Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian analisis isi (content analysis),
yakni penelitian yang berusaha mengungkapkan isi buku, naskah,
dokumen dan lain-lain. Krippendorff (1980: 22) mengatakan bahwa
analisis isi dapat dikarekterisasikan sebagai metode penelitian yang
berusaha menangkap makna simbolik pesan-pesan. Makna simbolik
pesan-pesan itu diungkapkan dari data yang ditemukan dalam buku,
naskah, atau dokumen yang diteliti. Dalam penelitian ini, analisis isi
dilakukan terhadap Serat Wulang Reh, yang direproduksi dalam :
1. Buku Serat Wulang Reh, tanpa nama penulis, terbitan Toko Buku
Indah Jaya Surakarta, tahun 1977.
2. Buku Serat Wulang Reh Anggitan Sri Paku Buwana IV, yang ditulis
oleh Darusuprapto, Penerbit Citra Jaya Surabaya, tahun 1982.
Langkah-langkah penelitian analisis isi yang dilakukan menurut
rancangan Krippendorff (1980: 61) meliputi :
1. Pengadaan data :
a. Unitisasi
b. Sampling
14
c. Pencatatan
2. Reduksi data
3. Penarikan inferensi
4. Analisis
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini pada
dasarnya
mengacu
pada
rancangan
tersebut,
dengan
sedikit
penyesuaian. Sampling tidak dilakukan dalam penelitian ini karena
setiap unit macam tembang (pupuh) tidak dapat mewakili populasi.
Demikian pula setiap bait (pada) tidak dapat mewakili macam tembang
(pupuh) tertentu. Dengan demikian, penelitian ini bukan merupakan
penelitian
sampel,
melainkan
penelitian
populasi.
Reduksi
data
dilakukan secara fleksibel pada setiap langkah penelitian, terutama
ketika deskripsi data berlangsung. Penarikan inferensi diintegrasikan
dalam langkah analisis, yakni ketika analisis inferensial. Langkah lain
yang perlu dilakukan adalah validitas data, yang meskipun tidak
dicantumkan dalam deskripsi langkah-langkah penelitian, namun oleh
Krippendorff juga ditekankan pentingnya langkah tersebut (1980: 159166). Langkah uji validitas data dilakukan mengiringi langkah analisis
data. Dengan demikian langkah-langkah penelitian ini meliputi :
pengadaan data, validitas data, dan analisis data.
B. Pengadaan Data
Darmiyati
Zuchdi
(1993:
14)
mengatakan
bahwa
kelebihan
penelitian analisis isi adalah telah tersedianya data yang akan dianalisis,
sehingga tidak terkontaminasi oleh kesalahan prosedur pengumpulan
data. Dalam penelitian ini data sudah tersedia di dalam kedua buku
Serat Wulang Reh tersebut. Data tersebut berupa kata-kata yang bernilai
pendidikan karakter, yang tersebar di setiap macam tembang (pupuh),
sehingga
merupakan
data
yang
tak
terstruktur.
Dalam
proses
15
pengadaan data, oleh karena datanya sudah tersedia, maka kegiatan
yang dilakukan adalah penentuan unit dan pencatatan.
1. Penentuan unit dalam penelitian ini meliputi unit referensi, unit
sintaksis, dan unit tematik.
a. Unit referensi diberi batasan menurut objek, kejadian, pribadi,
tindakan, negara, atau ide yang dirujuk oleh suatu ungkapan.
Unit ini untuk menemukan profil-profil kelompok individu, seperti
pahlawan, guru, atau suku (Krippendorff, 1980: 61). Dalam
penelitian ini unit referensi dibatasi pada Serat Wulang Reh
sebagai sebuah ide dan Paku Buwana IV sebagai pribadi
pengarangnya. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran profil
Serat Wulang Reh dan Paku Buwana IV.
b. Unit sintaksis berkaitan dengan tata bahasa dari suatu medium
komunikasi. Unit ini tidak menghendaki judgement makna. Unit
sintaksis yang paling kecil adalah kata (Krippendorff, 1980: 61).
Unit yang lebih besar adalah frasa, kalimat, paragraf, dan wacana
(Darmiyati
Zuchdi,
1993:
30).
Dalam
penelitian
ini,
unit
sintaksisnya adalah kata-kata yang bernilai pendidikan karakter
yang tersebar di semua macam tembang (pupuh).
c. Unit tematik diidentifikasi berdasar definisi struktural isi. Unit
tematik yang satu dengan yang lain dibedakan berdasarkan
landasan
konseptualnya
(Krippendorff,
1980:
62).
Dalam
penelitian ini, unit tematiknya didasarkan pada konsep yang
mengklasifikasikan nilai menjadi nilai pribadi dan nilai sosial
(Rohmat Mulyana 2004: 30) serta konsep tentang macam-macam
etika,
yang meliputi : etika hubungan manusia dengan Tuhan,
etika hubungan manusia dengan sesamanya, etika hubungan
manusia dengan alam, dan etika hubungan manusia dengan
ciptaannya (Musa Asya’ari, 2002: 117-129). Dengan mengadaptasi
kedua landasan konseptual itu dikembangkan empat unit tematik,
yaitu : tema etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang
16
Maha Kuasa, dan etika khas Jawa. Struktur isi nilai-nilai
pendidikan karakter dalam Serat Wulang Reh terdiri dari empat
unit tematik tersebut.
2. Pencatatan dilakukan terhadap semua kata yang bernilai pendidikan
karakter yang tersebar di semua macam tembang (pupuh). Kata-kata
yang bernilai pendidikan karakter tersebut tidak lain adalah katakata tentang moralitas atau budi pekerti. Semua kata itu dicatat
dalam catatan unit sintaksis. Selanjutnya semua kata dalam catatan
unit sintaksis itu dikelompokkan ke dalam unit-unit tematik yang
relevan, yaitu tema etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan
Yang Maha Kuasa, dan etika khas kultural Jawa.
C. Validitas
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas
semantik dan validitas prediktif. Validitas semantik dimaksudkan untuk
mengetahui ketepatan dalam mengartikan setiap kata yang telah dicatat
dalam unit sintaksis. Data yang berupa kata-kata dalam Bahasa Jawa
tersebut semua diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga dapat
lebih diketahui apakah kata-kata itu bernilai pendidikan karakter atau
tidak. Validitas prediktif dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan
dalam memaknai secara mendalam (prediksi makna) kata-kata yang
sudah dikelompokkan dalam unit tematik.
Untuk mendapatkan validitas semantik dan validitas prediktif
digunakan rujukan buku atau tulisan tentang Bahasa Jawa, moralitas
Jawa, dan falsafah Jawa. Selain itu juga dilakukan validasi dan
konsultasi dengan seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas
dalam bidang bahasa dan satra Jawa, yaitu Bapak H. Mitrasuwarno
B.A., 87 tahun, pensiunan penilik sekolah, mantan guru Bahasa Jawa di
salah satu SPG swasta, ahli kerawitan, yang mengenyam pendidikan
sekolah guru di masa Hindia Belanda (Kwick School).
17
D. Analisis
Sesuai dengan tujuan penelitian, analisis isi dalam penelitian ini
meliputi analisis deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif
dilakukan terhadap data kata-kata yang bernilai pendidikan karakter
yang sudah dicatat dalam unit sintaksis. Dalam deskripsi itu data
dideskripsikan menjadi dua kategori, yaitu karakter yang baik dan
karakter yang buruk. Analisis inferensial atau pemaknaan dilakukan
terhadap data kata-kata yang bernilai pendidikan karakter yang sudah
dikonstruk ke dalam unit tematik.
Menurut Darmiyati Zuchdi (1993: 15; 23; 53), tidak ada aturanaturan yang pasti untuk membuat inferensi. Namun yang perlu
diperhatikan dalam inferensi adalah : (1) tidak mengurangi makna
simboliknya,
dan
(2)
menggunakan
konstruk
analisis
yang
menggambarkan konteks data. Dikemukakan pula, logika inferensi itu
didasarkan pada suatu kerangka teoritis dan merupakan penuntun bagi
peneliti
dalam
membuat
kategori-kategori.
Logika
inferensi
dikonstruk menjadi kategori-kategori itu merupakan standar
yang
untuk
menganalisis data. Lebih lanjut ditegaskan bahwa inferensi dalam
analisis isi bersifat kontekstual, sehingga peneliti tidak mungkin
mengabaikan konteks, baik konteks tempat, waktu, dan situasi
berlakunya suatu peritiwa.
Dalam penelitian ini, logika inferensi didasarkan pada kategorikategori tema yang meliputi empat unit tematik, yaitu tema : etika
pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan etika
khas Jawa. Analisis inferensial dilakukan dengan memilah-milah nilainilai pendidikan karakter dalam Serat Wulang Reh
menjadi empat
kategori tersebut. Dalam analisis inferensial itu juga dikaitkan dengan
konteks ruang dan waktu, baik yang bersifat historis, sosiologis,
maupun kultural, agar diperoleh makna yang lebih mendalam.
18
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Serat Wulang Reh Sebagai Tembang Macapat
Pada bagian akhir Serat Wulang Reh dinyatakan bahwa buku
tersebut selesai ditulis pada hari Ahad Kliwon, 19 Besar Tahun Dal,
dengan candra sangkala yang berbunyi tata guna swareng nata. Candra
sangkala tersebut merupakan bahasa sandi, cara membacanya dari
belakang,
yang menunjukkan angka tahun Jawa 1735 bertepatan
dengan tahun Masehi 1808
(Harsono, 2005: 17). Serat Wulang Reh
ditulis dalam bentuk tembang, sebagaimana dinyatakan dalam pupuh
Girisa pada/bait 22, yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai
berikut.
Mulane sun muruk marang
kabehing hatmajaningwang
sun tulis sun wehi tembang
darapon padha rahapa
hanggone padha hamaca
sarta ngrasakken carita
haja bosen den hapalna
hing rina wengi helinga
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Maka saya menasehati pada
semua anakku
saya tulis, saya beri tembang
19
agar kalian lahap
dalam kalian membaca
serta merenungkan isi cerita (nasehat)
jangan bosan dan hafalkan
hendaknya kalian ingat siang dan malam
Naskah asli Serat Wulang Reh ditulis dengan tulisan tangan dalam
huruf Jawa, sehingga
sangat mungkin hanya ada satu buah naskah
dan tidak mudah didapatkan. Selain itu juga tidak mudah untuk
membacanya secara tuntas, kecuali oleh para ahli. Dengan demikian
buku-buku Serat Wulang Reh yang beredar hingga saat ini merupakan
hasil reproduksi. Menurut Darusuprapto (1982: 11-12), hanya ada enam
buku cap-capan (cetakan atau terbitan) yang ia ketahui, yaitu : (1) capcapan Tuan Vogel der Heyder ing Surakarta tahun 1900; (2) cap-capan Gr.
C.T. Van Dorp & Co Semarang-Surabaya tahun 1913; (3) cap-capan KolffBuning Jogja tahun 1937; (4) cap-capan Penerbit Sabubudi Sala; (5) capcapan Penerbit Tan Khoen Swie Kediri; (6) Wulang Reh Winardi cap-capan
Percetakan M.K. Sala. Adapun buku reproduksi Serat Wulang Reh yang
diteliti dalam penelitian ini, sebagaimana dikemukakan pada Bab III,
adalah : (1) Buku Serat Wulang Reh, tanpa nama penulis, terbitan Toko
Buku Indah Jaya Surakarta, tahun 1977; dan (2) Buku Serat Wulang
Reh Anggitan Sri Paku Buwana IV, yang ditulis oleh Darusuprapto,
terbitan Penerbit Citra Jaya Surabaya, tahun 1982.
20
Keterangan : Copy bagian paling depan naskah asli Serat Wulang Reh
(Darusuprapto, 1982: 94).
Meskipun hasil reproduksi, isi tembang dalam buku-buku itu
hampir sepenuhnya sama, karena sudah sangat baku. Oleh karena
sedemikian bakunya isi tembang itu, maka tidak sedikit pupuh yang
cukup populer telah dihafal liriknya di kalangan masyarakat. Sebagai
kumpulan tembang Jawa, keaslian lirik dalam Serat Wulang Reh relatif
terjaga, karena adanya paugeran (kaidah) yang ketat dalam penulisan
tembang.
Kaidah
itu
menetapkan
batasan
tentang
guru
gatra
(banyaknya baris kalimat/larik/gatra dalam setiap bait/pada); guru
wilangan (banyaknya suku kata/wanda pada setiap gatra); dan guru
lagu (bunyi vokal pada akhir setiap gatra ; dhong-dhing atau a-i-u nya).
Setiap macam tembang mempunyai kaidah sendiri-sendiri.
Tembang-tembang dalam
Serat Wulang Reh dikategorikan dalam
jenis tembang macapat. Menurut Suwarno (2008: 4-7) dan Suwardi
Endraswara (2006: 87), ada beberapa pendapat tentang pengertian
tembang macapat. Pertama, tembang macapat dibaca per empat wanda
(suku kata) untuk setiap penggalan. Penggalan terakhir jika tidak genap
21
empat wanda dibaca sisa wanda yang ada. Contoh : bapak pocung/dudu
watu/dudu
gunung/
asal
saka/
Plembang/;
Ngon-
ingone/sang
bupati/yen lumampah/si pocung lem-/beyan grana. Dalam Serat Wulang
Reh juga demikian, misalnya pada pupuh Pocung pada/bait 7 yang
berbunyi : lamun bener/lan pinter pa-/momongipun/kang ginawe/
tuwa/haja nganggo/habot sisih/ dipun padha/ pamengkune/mring
santana. Kedua, tembang macapat
itu berasal dari kata maca cepet
(cara membacanya dengan cepat). Akronimnya adalah macapet, namun
dalam perkembangannya agar enak didengar menjadi macapat. Ketiga,
tembang macapat termasuk jenis sekar (tembang) klasisifikasi empat.
Klasifikasi satu adalah sekar ageng sapadaswara. Klasifikasi dua adalah
sekar ageng sapadadirga. Klasifikasi tiga adalah sekar tengahan.
Menurut
Suwarno
(2008:
8-9),
sebagian
besar
pendapat
mengatakan bahwa tembang macapat terdiri dari 11 macam tembang.
Sebagian ada yang mengatakan hanya 9 macam tembang, namun malah
ada juga yang mengatakan 15 macam tembang. Macam-macam tembang
menurut pendapat yang mengatakan 15 macam adalah : (1) Mijil; (2)
Kinanthi;
(3)
Sinom;
(4)
Asmaradana;
(5)
Dhandanggula;
(6)
Maskumambang; (7) Durma; (8) Pangkur; (9) Pocung; (10) Gambuh; (11)
Megatruh; (12) Balabak; (13) Wirangrong; (14) Jurudemung; (15) Girisa.
Pendapat yang mengatakan 11 macam tembang menyebut tembangtembang nomor (1) sampai dengan (11). Sedangkan pendapat yang
mengatakan hanya 9 macam tembang menyebut tembang nomor (1)
sampai (9).
Penamaan tembang-tembang tersebut menggambarkan tahap-tahap
perkembangan hidup manusia. Kehidupan manusia dimulai dari lahir
(mijil) dan dilanjutkan masa kanak-kanak yang masih dibimbing atau
digandeng (kinanthi) orang tua.
Selanjutnya tahapan
masa muda
(sinom) dan mengenal asmara (asmaradana). Pada tahapan selanjutnya
orang merancang kehidupan yang baik, manis, indah, sejahtera
22
(dandanggula).
Pada
perkembangan
selanjutnya
orang
sudah
memikirkan kebaikan atau keutamaan, namun belum mengendap
(maskumambang). Perkembangan selanjutnya, orang memasuki masa
tua, yang seharusnya sudah mundur dari ‘ma lima’ (durma). Tahapan
selanjutnya ditandai dengan sikap yang menghindari (nyimpang) dan
mengesampingkan atau membelakangi (mungkur) berbagai urusan
duniawi (pangkur). Kehidupan manusia akan berakhir dengan kematian
dan kemudian dikafani (pocung).
Tembang macapat dalam buku Serat Wulang Reh, baik yang
diterbitkan oleh Penerbit Indah Jaya Surakarta, 1977 (tanpa nama
penulis) maupun Penerbit Citra Jaya Surabaya, 1982 (ditulis oleh
Darusuprapto)
terdiri dari 13 macam tembang (pupuh). Susunan
tembang kedua buku tersebut tidak diurutkan sesuai dengan tahaptahap perkembangan hidup manusia. Jumlah pada/bait setiap macam
tembang pada kedua buku tersebut tidak ada perbedaan, sebagaimana
terlihat pada tabel berikut ini.
Tabel : Perbandingan Jumlah pada/bait
Antara Dua Buku Yang Diteliti
Jumlah pada/bait
No
Nama Tembang
1
Dandanggula
Pnbt Indah Jaya
Surakarta
8
2
Kinanthi
16
16
3
Gambuh
17
17
4
Pangkur
17
17
5
Maskumambang
34
34
6
Megatruh
17
17
7
Durma
12
12
8
Wirangrong
27
27
Pnbt Citra Jaya
Surabaya
8
23
9
Pocung
23
23
10
Mijil
26
26
11
Asmaradana
28
28
12
Sinom
33
33
13
Girisa
25
25
B. Latar Belakang Pengarang
Serat Wulang Reh adalah kumpulan tembang karya Sri Susuhunan
Paku Buwana IV, raja Surakarta. Hal itu dapat dibaca dalam pupuh
Girisa pada/bait 24 yang syairnya sebagai berikut.
Titi tamat kang carita
serat wawaler mring putra
kang yasa serat punika
nenggih Kanjeng Susuhunan
Pakubuwana ping pat
hing galih panedyanira
kang hamaca kang miyarsa
yen lali muga helinga
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Telah tamat apa yang diceritakan
tulisan pantangan (aturan) kepada para putera
yang membuat tulisan ini
adalah Kanjeng Susuhunan
Paku Buwana keempat
dalam hati diharapkan
bagi yang membaca dan mendengar
jika lupa semoga menjadi ingat
Paku Buwana IV yang pada masa kecilnya bernama R.M. Subadya,
lahir pada 2 September 1768. Beliau dikenal dengan sebutan Sinuhun
Bagus, yang selain tampan secara lahiriah, juga ‘bagus’ secara batiniah.
Dalam buku karya Daru Suprapto (1982: 23) figur Paku Buwana IV
digambarkan sebagai brikut.
Pujangganipun priyayi luhur hingkang pantes pinundhi-pundhi,
hingkang mberkahi lan nyawabi hing jagading bebrayan Jawi,
hinggih punika Sri Paku Buwana IV hingkang kasuwur luruh
24
bagus hing budi, wimbuh bagus hing rupi, ngantos katelah
pinaraban ‘Sinuhun Bagus’.
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Pujangganya priyayi luhur (klas teratas dalam strata sosial
masyarakat Jawa) yang pantas dihormati, yang memberi
berkah kebaikan dalam kehidupan masyarakat Jawa, yakni Sri
Paku Buawana IV yang terkenal mulia budinya, ditambah
tampan rupanya, hingga populer dengan panggilan ‘Sinuhun
Bagus’.
Paku Buwana IV bertahta sejak 29 November 1788 hingga akhir
hayatnya pada 1 Oktober 1820. Beliau adalah raja Surakarta kedua,
setelah kerajaan Mataram dibagi dua (palihan nagari) menjadi Surakarta
Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang sekaligus menandai
berakhirnya Perang Suksesi Ketiga.
Paku Buwana IV dikenal sebagai raja yang berputera tiga orang raja
(peputra tri narendra). Mereka adalah Paku Buwana V (R.M. Sugandi,
bertahta 1820-1823), Paku Buwana VII (Pangeran Purubaya, bertahta
1830-1858), dan Paku Buwana VIII (Pangeran Hangabehi, bertahta
1858-1861) (Nurhajarini dkk, 1999: 106; Setiadi dkk, 2001: 200-206).
Peristiwa yang kasuistik itu terjadi karena ketika Paku Buwana VI (cucu
Paku Buwa IV yang nama kecilnya adalah R.M. Supardan) diasingkan ke
Ambon, karena mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, ia belum
mempunyai putra makhota. Setelah melalui proses yang rumit dan atas
campur tangan residen Belanda ditetapkanlah Pangeran Purubaya
sebagai pengganti raja yang kemudian bergelar Paku Buwana VII. Ketika
Paku Buwana VII meninggal juga timbul persoalan, karena ia tidak
mempunyai putra laki-laki. Sebagai penggantinya adalah Pangeran
Hangabehi, kakak tiri Paku Buwana VII, yang kemudian bergelar Paku
Buwana VIII (Darsiti Soeratman, 1989: 62-65).
Sehubungan dengan peristiwa yang unik tersebut terungkap cerita
yang bersifat mitologis bahwa suatu ketika di bulan Ramadhan,
Susuhunan didatangi seorang sayid dari Arab yang membawakan tiga
25
biji kurma. Hal itu dianggap sebagai firasat bahwa tiga orang putranya
kelak akan menjadi raja. Konon, raja menjadi murung memikirkan
firasat tersebut, sebab beliau mengira akan terjadi perebutan tahta di
antara putra-putranya (Poespaningrat, 2008: 93). Cerita ini juga
diungkapkan
oleh
Wasesowinoto
(2006:
94),
bahkan
karena
kemurungannya itu Susuhanan sempat berniat untuk lengser dan
masanggrah di Cemani. Tetapi niat itu tidak sempat terlaksana, karena
raja kemudian jatuh sakit yang menyebabkan kemangkatannya.
Dengan karyanya yang diberi nama Serat Wulang Reh itu, Paku
Buwana IV menjadi sosok pribadi yang menarik untuk dibahas. Seorang
raja telah menghasilkan sebuah karya sastra, apalagi berisi nilai-nilai
pendidikan karakter yang tidak lain adalah tuntunan moral atau budi
pekerti. Bahkan beliau juga menghasilkan banyak karya sastra lainnya,
yaitu Serat Cipta Waskita, Serat Wulungsunu, Serat Wulang Dalem, Serat
Serat Brata Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tatakrama, Serat
Panji Raras, Serat Panji Sekar, Serat Panji Dhadhap, dan Serat Panji
Blitar. Namun di antara karya-karya sastranya itu yang paling populer
hingga kini adalah
Serat Wulang Reh.
Di dalamnya ditemukan
ungkapan-ungkapan pesan moral, antara lain tentang pentingnya
marsudeng budi (mengutamakan budi); jatmika hing budi (bagus budi
pekertinya); tindak tanduk kang hutama (perilaku yang mulia); lelabetan
kang hutama (pengorbanan yang mulia); patrap tata krama (perilaku
sopan). Di sisi lain, dalam perannya yang utama, ia adalah seorang raja
yang menjalankan kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan,
baik dalam tataran teoritik dan lebih-lebih dalam tataran praktik, pada
umumnya jauh dari sentuhan-sentuhan moral.
Penganjur pesan moral dan pelaku kekuasaan pemeritahan seakan
dua peran yang sulit dijalankan oleh sosok pribadi yang sama dalam
kurun waktu yang bersamaan. Ini peran ganda yang kontradiktif, yang
hanya mungkin dilakukan oleh seorang raja yang dalam terminologi
26
Jawa disebut raja pinandhita (raja yang berwatak pendeta). Dalam dunia
pewayangan, yang tidak lain merupakan dunia ide, sosok seperti itu
ditemukan
pada
diri
Begawan
Abiyasa.
Setelah
lengser
dari
kedudukannya sebagai raja Hastina, ia kemudian menjadi seorang
begawan di Pertapan Wukiratawu atau Pertapan Sapta Arga. Presiden
Soeharto,
tampaknya
dalam
kesadaran
spiritualnya,
pernah
mengobsesikan dirinya seperti itu, bahwa setelah lengser keprabon, ingin
madeg pandhita.
Model kerajaan di Jawa sebagaimana kerajaan-kerajaan pada
umumnya sebetulnya merupakan penerapan teori kedaulatan raja
(theokrasi). Secara teoritik, kekuasaan raja bersifat absolut dan dalam
implementasinya tidak jarang disertai kesewenang-wenangan. Sepanjang
sejarah Mataram, sifat itu secara ekstrim hanya ditemukan pada sosok
raja Mataram keempat, Sunan Amangkurat I (1619-1677, naik tahta
1646) (baca buku De Graaf, 1987: Disintegrasi Mataram di bawah
Mangkurat I ). Dalam kasus karaton Surakarta, termasuk pada masa
Paku Buwana IV, kekuasaan yang absolut itu tidak mungkin dijalankan.
Hal itu selain karena alasan ideal-normatif, juga alasan faktual-empiris.
Secara ideal-normatif, sosok seorang raja dalam perspektif Jawa
diformulasikan dalam ungkapan ratu gung binathara mbaudhendha
nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta. Artinya, raja
besar laksana dewa yang memiliki kekuatan sebagai penguasa dunia,
penuh kebaikan budi dan memegang teguh ucapannya, bersifat adil dan
bermurah hati (Moedjanto, 1994: 27; Soeratman, 1989: 5; Darban, 1998:
89). Secara faktual-empiris, Paku Buwana IV mewarisi kerajaan yang
kekuasaannya
sedang
melemah,
sejak
palihan
nagari
tersebut.
Pembagian kerajaan itu berlangsung pada masa pemerintahan ayahnya,
yakni Paku Buwana III, berdasar Perjanjian Giyanti pada 13 Februari
1755. Dua tahun kemudian, berdasar Perjanjian Salatiga 17 Maret
1757, wilayah Surakarta dikurangi lagi untuk diserahkan kepada R.M.
27
Said (dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa), yang kemudian
bergelar Mangku Nagara I.
Sesudah palihan nagari, kondisi karaton relatif aman dan tenteram,
dalam arti sudah tidak adanya lagi pemberontakan-pemberontakan yang
dipimpin oleh beberapa pangeran yang berpengaruh, terutama Pangeran
Mangkubumi (Hamengku Buwana I) dan R.M. Said (Mangku Nagara I).
Namun demikian, intrik-intrik di kalangan mereka tetap masih ada.
Paku Buwana IV sendiri bahkan pernah menginginkan penyatuan
kembali Mataram, namun keinginan itu tidak pernah terlaksana.
Kebetulan, raja yang bertahta di Kasultanan Ngayogyakarta pada saat
itu adalah Hamengku Buwana I (1717-1792, naik tahta 1755) dan
Hamengku Buwana II (1750-1828, naik tahta 1792). Di antara raja-raja
dinasti Mataram, keduanya termasuk raja yang kuat dan berani, setelah
Sultan Agung. Sementara itu di Surakarta, posisi raja di depan VOCBelanda
semakin
lemah,
sebab
sejak
Paku
Buwana
III,
untuk
pengangkatan raja harus mendapat persetujuan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda.
Kondisi karaton yang aman dan tenteram namun memprihatinkan
itu memungkinkan penerus tahta untuk melakukan refleksi dan
kontempelasi
atas berbagai benturan peristiwa di masa lalu. Kondisi
seperti itu dapat menjadi faktor eksternal yang mendorong Paku
Buwana
IV
menjadi
orang
yang
lebih
spiritualis.
Sebagaimana
dikemukakan Ilham Khoiri, bahwa konflik, kekerasan, teror, dan
rutinitas hidup membuat orang galau, terasing, dan gersang. Sebagian
orang lantas berusaha menekuni laku spiritual, yang dianggap bisa
membantu menemukan jati diri serta menjalani hidup lebih harmonis
(Kompas, Minggu 10 Mei 2009).
Selain faktor eksternal, yang tidak kalah berpengaruh tentu faktor
internal Paku Buwana IV sendiri, yaitu kepribadian atau karakternya
yang memiliki kecenderungan ke arah moralis-spiritualis. Faktor
internalnya itu tentu saja tidak sepenuhnya murni, artinya ada juga
28
faktor eksternal yang mempengaruhinya. Konon, Paku Buwana IV
dikelilingi oleh penasehat-penasehat dan beberapa orang santri yang
fanatik paham keislamannya. Darsiti Soeratman (1989: 99) yang
disertasinya berjudul Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, Dwi
Ratna Nurhajarini dkk (1999: 134), dan Andi Harsono (2005: 8)
menyebut penasehat Pabu Buwana IV itu bernama Haji Makali, dengan
santri-santri utamanya adalah Kyai Bahman, R. Wiradigda, P. Panengah,
Kyai Nursaleh, R. Santri, dan R. Kanduruhan. Mereka mempengaruhi
Susuhunan agar melawan kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda.
Dalam pengamatan orang-orang Belanda, kata Poespaningrat (2008: 87),
Paku Buwana IV menjadi ‘kacau’ dan menunjukkan secara demonstratif
suatu ketaatan yang luar biasa dalam masalah-masalah agama setelah
kematian dua orang isterinya secara berturut-turut.
Sesudah berakhirnya palihan nagari dan sekaligus berakhirnya
perang suksesi itu merupakan zaman renaisans, yang melahirkan
pujangga-pujangga besar. Mereka adalah Yasadipura I, Yasadipura II,
dan Ranggawarsita. Karya-karya sastra yang yang dihasilkan oleh
Yasadipura I dan Yasadipura II antara lain adalah Serat Darmasunya,
Serat Wicara Keras, Serat Sasana Sunu, Serat Panitisastra Jarwa, Serat
Arjuna Sasra, Serat Ambiya, Serat Dewaruci, Serat Babad Prayut, dan
Serat Babad Pakepung. Karya Yasadipura II yang terkenal adalah Serat
Centhini (Suluk Tambangraras). Adapun karya Ranggawarsita (cucu
Yasadipura II) antara lain adalah Suluk Saloka Jiwa, Suluk Supanalaya,
Suluk Sukma Lelana, Wirid Hidayat Jati, Serat Cemporet serta yang
sangat dikenal adalah Serat Kalatida (Poespaningrat, 2008: 93; Darsiti
Soeratman,
1989:
112-113).
Masa
kepujanggaan
Surakarta
itu
berlangsung selama kurang lebih 120 tahun, dihitung sejak Perjanjian
Salatiga
1757
hingga
wafatnya
Ranggawarsita
pada
1873
atau
mangkatnya Mangku Nagara IV pada 1881 (Hasanu Simon, 2004: 515).
29
C. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Serat Wulang Reh
Secara harfiah, Serat Wulang Reh berasal dari kata-kata : serat yang
berarti tulisan; wulang yang berarti pelajaran atau pendidikan; dan reh
yang berarti perintah. Maksudnya adalah tulisan mengenai pendidikan
yang berisi pesan-pesan moral atau budi pekerti, yang menuntun ke
arah sikap dan perilaku yang baik. Hal itu diungkapkan dalam berbagai
ungkapan, seperti marsudeng budi (mengutamakan budi); jatmika hing
budi (bagus budi pekertinya); patrap tata krama (perilaku sopan); tindak
tanduk kang hutama (perilaku yang mulia); lelabetan kang hutama
(pengorbanan yang mulia). Kebalikan dari itu adalah tindak tanduk kang
nistha (perilaku yang hina). Dengan demikian kandungan buku tembang
Serat Wulang Reh adalah nilai-nilai atau pesan-pesan moral, yang
merupakan esensi dari pendidikan karakter (watak).
Dalam tradisi sastra Jawa, buku-buku tembang pada umumnya
berisi ajaran moral atau tuntunan budi pekerti yang luhur. Hal itu
berbeda dengan gendhing-gending dolanan yang isinya lebih bersifat
hiburan. Dalam konteks masa kini, keinginan untuk menjadikan
nyanyian atau lagu-lagu agar berfungsi sebagai media pendidikan nilai
masih sering mengemuka, tidak hanya dari kalangan pemikir dan
praktisi pendidikan, namun juga dari sebagian artis penyanyi itu
sendiri. Dalam majalah Kognisia; Media Aspiratif Kritis & Humanis,
Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi UII, yang bertajuk
“Mimpi Indah Masyarakat Etis” (No. 02 Tahun II, September 2000),
Franky Sahilatua, pelantun lagu Bis Kota, Kereta Malam, Orang
Pinggiran, dan Perahu Retak itu mengatakan bahwa ia lebih suka
berbicara tentang nilai-nilai dan realitas sosial. Ketika ditanya pesannya
untuk generasi muda yang bergelut di bidang seni musik, ia mengatakan
: “Pesan saya hanya satu. Kita harus mampu mengangkat tema-tema
lagu kita menjadi sarat dengan nilai-nilai. Pemahaman terhadap realitas
sosial pun harus kita tingkatkan”.
30
Persoalan nilai dan realiatas sosial yang timpang juga mengganggu
pikiran Bimbo, kelompok musikus yang melegenda, yang oleh Kompas
diangkat dalam rubrik Tokoh Pilihan (Jumat, 11 Sepember 2009). Ia
mengemukakan kegelisahannya dalam melihat karut-marut negeri ini. Ia
merasakan bangsa Indonesia hari ini sudah kehilangan rasa (roh)
Indonesianya. Ada perubahan nilai, perubahan karakter pada bangsa
ini. Rasanya ini bukan bangsa Indonesia. Kita kehilangan akhlak
santun, budi pekerti, kehilangan nuansa-nuansa filosofis, spiritual.
Bangsa ini yang sudah kehilangan rasa saling menghargai, kehilangan
rasa kebersamaan dan harmoni, kehilangan rujukan, kehilangan
kecerdasan dan kecendekiwanan, dan kehilangan cita-cita besarnya.
Terlalu banyak yang hilang dari bangsa ini. Yang tampak ke permukaan
adalah individualis, egois, sektarian, maling-maling bergentayangan/
koruptor, kasar dan beringas, kehilangan sense of belonging, sense of
responsibility, semangat profit dan percaloan, criminal creative, etos kerja
yang rendah, pintar menuntut, pintar menyalahkan. Antar komponen
masyarakat seolah-olah ada sekat, bahkan kesenjangan yang tajam.
Adapun Serat Wulang Reh, di dalamnya terdapat kandungan nilainilai moral atau budi pekerti yang tersebar di 13 pupuh tembang yang
ada. Nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing tembang dapat
diungkapkan sebagai berikut.
1.
Dandanggula
Pupuh Dandanggula terdiri dari 8 pada/bait yang berisi pesanpesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Pentingnya
setiap
orang
memahami
pesan,
isyarat,
atau
pelajaran dalam hidupnya, agar manusia mampu menjalankan
peran kemanusiaannya.
o Al Quran adalah sumber spirit yang benar, yang tidak semua
orang mampu memahaminya kecuali atas petunjuk-Nya. Untuk
31
memahami kandungan Al Quran, orang tidak boleh ngawur,
melainkan harus berguru.
o Seorang guru harus mempunyai karakter khusus, yaitu baik
budi pekertinya, mematuhi hukum (aturan agama), beribadah,
dan suka menolong. Lebih baik lagi jia ia seorang pertapa, yang
sifatnya amungkul (tidak melihat ke atas dalam urusan duniawi;
tidak sombong), dan tidak memikirkan pemberian orang lain.
o Seseorang yang mengajarkan ngelmu (pengetahuan, wawasan,
kebijaksanaan) harus bersumber pada dalil (Al Quran), Al Hadits,
Ijma’, dan Qiyas.
o Sindiran terhadap kecenderungan yang sudah terjadi pada saat
itu, yaitu guru mencari murid, sedangkan seharusnya murid
mencari guru.
o Sindiran terhadap orang yang belum matang ruhaninya, namun
telah menganggap dirinya setara pujangga. Omongannya tidak
karuan, namun ia tak sadar bahwa orang lain mencibirnya.
Terhadap orang seperti itu perlu dinasehati dengan halus, agar
dapat menangkap pelajaran.
Dari 8 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait kelima, berisi tentang karakter ideal seorang guru, yang
hingga kini masih sering dijadikan rujukan dalam wacana etika
guru. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Lamun sira hanggeguru kaki
hamiliha manungsa kang nyata
hingkang becik martabate
sarta kang wruh hing kukum
kang ngibadah lan kang wirangi
sukur oleh wong tapa
hingkang wus hamungkul
tan mikir pawehing liyan
iku pantes sira guranana kaki
sartane kawruhana
32
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Jika kalian berguru, ananda
pilihlah manusia yang sunguh-sungguh
(yang) baik martabatnya
serta yang tahu hukum (aturan agama)
yang taat beribadah dan suka menolong
akan lebih baik jika mendapati seorang pertapa
yang sudah menunduk (tidak melihat ke atas, tidak sombong)
tidak mengharap pemberian orang lain
itulah orang yang pantas kau jadikan guru
maka hendaknya kalian ketahui
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
becik martabate
(baik budi pekertinya); wruh ing kukum
(mematuhi hukum/perintah agama); ngibadah (beribadah);
wirangi (suka menolong); hamungkul (tidak melihat ke atas
dalam urusan duniawi; tidak sombong); tan mikir pawehing
liyan (tidak mengharap pemberian orang lain)
b. Karakter yang buruk :
cumanthaka (lancang);
basa kang kalantur (pembicaraan
yang tidak terkontrol).
2.
Kinanthi
Pupuh Kinanthi terdiri dari 16 pada/bait yang berisi pesan-pesan
atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Pentingnya melatih ketajaman hati (kecerdasan emosional dan
spiritual)
agar
mampu
menerima
petunjuk,
pesan,
atau
pelajaran.
o Ketajaman hati itu dicapai melalui kebiasaan tidak terlalu
banyak makan dan tidur, tidak menuruti segala kesenangan,
hidup
sederhana/
sesuai
kebutuhan,
menumbuhkan
jiwa
kesatria, dan mampu mengendalikan diri.
33
o Seorang pemimpin tidak boleh tinggi hati dan tidak berdekatdekat dengan orang yang mentalnya buruk. Sementara itu,
meskipun terhadap orang yang rendah kedudukannya, jika
kelakuannya terpuji dan banyak wawasan, maka ia perlu
didekati.
o Lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang besar terhadap
perkembangan kepribadian atau karakter anak-anak muda.
Pengaruh yang buruk disebut sebagai panuntuning iblis.
o Anak-anak muda hendaknya suka jejagongan (bertukar fikiran)
dengan orang-orang yang lebih tua, serta mendengarkan petuah
atau cerita mereka.
o Kritik untuk anak-anak muda yang pada saat itu gejalanya
telah mengabaikan sikap rendah hati (handap hasor), bahkan
lebih menunjukkan sifat congkak, sombong, dan arogan.
Dari 16 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait pertama dan kedua
tentang petuah untuk menahan
(membatasi) makan dan tidur, yang diulang hingga tiga kali dalam
dua pada/bait. Kebiasaan ’menahan makan dan tidur’ merupakan
laku
(perilaku
yang
baik,
ritual,
sikap
hidup)
yang
sangat
diutamakan dalam kehidupan orang Jawa. Adapun cakepan (bunyi
lirik tembangnya) sebagai berikut.
Padha gulangen hing kalbu
hing sasmita hamrih lantip
haja pijer mangan nendra
kaprawiran den kaesthi
pesunen sariranira
sudanen dahar lan guling.
Dadiya lakunireku
cegah dhahar lawan guling
lan haja hasukan-sukan
hanganggoa sawetawis
ala wateke wong suka
34
nyuda prayitnaning batin
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Hendaklah kalian melatih hati
agar tajam dalam menangkap pesan/pelajaran
jangan terlalu banyak makan dan tidur
pegang-teguhlah sifat kesatria
tekanlah dirimu
kurangi makan dan tidur
Jadikan kebiasaan hidupmu
cegah (tahan; batasi) makan dan tidur
dan jangan menuruti kesenangan secara berlebihan
lakukan menurut kepantasan
orang yang menuruti kesenangan secara berlebihan itu tidak baik
mengurangi kewaspadaan batin
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
gegulang ing kalbu (melatih hati); haja pijer mangan nendra
(jangan banyak makan dan tidur); kaprawiran (perwira,
kesatria); pesunen sariranira (tekanlah dirimu); haja asukansukan
(jangan
sawetawis
mengumbar
kesenangan);
hanganggoa
(hiduplah secara tidak berlebihan); haja raket
lan wong ala (jangan berdekat-dekat dengan orang yang
buruk budi pekertinya); handhap hasor (rendah hati); bekti
mring wong tuwa (berbakti pada orang tua).
b. Karakter yang buruk :
aras-arasen (bermalas-malas); gunggung diri (mengagungkan
diri sendiri; merasa klas tinggi); humuk (pamer); kumenthus
klawan kumaki (merasa
bisa
tanpa
memperhitungkan
kemampuan); sapa sira sapa ingsun (merasa lebih tinggi
derajatnya dibanding orang lain); panasten (berhati panas;
35
dengki); dahwen hopen (gemar memberi komentar negatif
pada hal-hal yang tidak penting).
3.
Gambuh
Pupuh Gambuh terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan
atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Perilaku yang tidak terkontrol (polah kang kalantur), termasuk
perilaku tidak jujur, akan berakibat buruk bagi dirinya.
o Nasehat yang baik itu wajib diikiuti, meskipun berasal dari orang
yang rendah status sosialnya (sudra papeki).
o Jangan memiliki sifat hadigang, hadigung, hadiguna. Sifat
hadigang itu artinya memamerkan keberanian atau kekuatan
phisiknya. Sifat hadigung itu artinya memamerkan kedudukannya yang tinggi. Sifat hadiguna itu artinya memamerkan
kepandaian atau ketangkasannya.
o Hendaknya dibiasakan sikap tidak grusa-grusu, berhati-hati,
bertindak dengan perhitungan, dan waspada.
o Jangan suka mengharap pujian, yang akibatnya justru dapat
membuat diri sendiri terjatuh. Bahkan perlu waspada terhadap
orang yang suka memuji-muji diri kita dengan motif-motif
pribadi.
o Jangan mudah menyanggupi suatu tanggung jawab, sementara
kemampuannya belum pernah teruji.
Dari 17 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/
bait keenam, berisi tentang sifat hadigung yang cakepan (bunyi lirik
tembangnya) sebagai berikut.
Hiku hupaminipun
hangendelaken sira hiku
suteng nata hiya sapa hingkang wani
hiku hambege wong digung
hing wusana dadi asor
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
36
Itu (maksudnya : bait-bait sebelumnya) suatu perumpamaan
kalian menyombongkan diri
(sebagai) keluarga raja, siapa yang akan berani
itu watak orang hadigung
yang akhirnya akan menjatuhkan (diri sendiri)
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
rereh-ririh
(bersikap tenang; tidak gusar); ngati-ati (hati-
hati); waskitha (tahu sebelumnya; waspada).
b. Karakter yang buruk :
polah
kang
kalantur
(perilaku
yang
tidak
terkontrol);
hadigang (merasa lebih kuat secara phisik); hadigung
(merasa lebih tinggi klasnya); hadiguna (merasa lebih
pandai).
4.
Pangkur
Pupuh Pangkur terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan
atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Dalam menjalani hidup (pengabdian), orang harus mampu
membedakan baik dan buruk, memahami adat dan norma
(aturan), serta mematuhi tata karma.
o Dalam bertindak hendaknya senantiasa disertai perhitungan dan
pertimbangan kepantasan (deduga klawan prayoga).
o Watak seseorang itu dapat dilihat dari perilaku (solah bawa) dan
ucapannya (muna-muni).
o Kritik
tentang
semakin
sedikitnya
orang
yang
ucapannya
membawa kesalamatan. Sebaliknya yang (kadang kala) dijumpai
adalah
ucapan
yang
berisi
kebencian,
kebohongan,
dan
membuka kejelekan orang lain.
Dari 17 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/
bait kesepuluh, berisi tentang sifat yang cenderung suka membuka
37
kejelekan orang lain dan memamerkan kebaikan diri sendiri. Adapun
cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Halaning liyan den handhar
hing beciking liyan dipun simpeni
becike dhewe ginuggung
kinarya pasamuwan
nora krasa halane katon ngendhukur
wong kang mangkono wateknya
nora pantes den cedhaki
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Kejelekan orang lain diobral
adapun kebaikannya didimpan
kebaikannya sendiri yang ditonjolkan
sebagai pameran
tidak merasa bahwa kejelekannya setumpuk
orang yang demikian itu wataknya
tidak pantas didekati
Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh
tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
wruh hing adat waton (mengetahui adat dan norma); deduga
klawan prayoga (memperhitungkan kepantasan); sumendhe
karsane
Hyang Agung (berserah diri pada Tuhan); basa
kang basuki (pembicaraan yang membawa kesalamatan/
kebaikan; qaalu salaama).
b. Karakter yang buruk :
drengki, drehi (dengki, benci); dora (bohong); murka (rakus,
tamak); nora hana mareme (tidak pernah puas, merasa
kurang); lawamah (merasa kurang); amarah (pemarah);
sungkan kasosor (pantang dibantah); lumuh kahungkulan
(tidak mau ada orang lain yang melebihi dirinya); sujanma
pangrasane (merasa sebagai manusia yang melebihi orang
38
lain); hangrasa luhur (merasa tinggi derajatnya); lonyo
(mudah berubah pendirian); lemer (mudah tertarik).
5.
Maskumambang
Pupuh Maskumambang terdiri dari 34 pada/bait yang berisi pesanpesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Anak yang tidak mematuhi petuah atau berani pada orang tua
adalah anak durhaka, yang akan terlunta-lunta di dunia dan
akhirat.
o Konsep tentang sembah lima (sembah di sini tidak selalu
diartikan sebagai penghambaan seorang hamba terhadap Tuhan,
melainkan dapat diartikan berbakti; kepada lima yang wajib
‘disembah’), yaitu : orang tua (bapak dan ibu), mertua, saudara
tua, guru, dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
o Dalam hidupnya di dunia, manusia hendaknya taat kepada
Tuhan, meskipun telah mempunyai kedudukan terhormat. Tidak
ada bedanya antara keluarga raja dengan wong cilik, jika berdosa
hukumannya sama.
o Dalam
mengabdi
kepada
raja
hendaknya
patuh
pada
perintahnya, rajin seba (menghadap ke karaton), rajin bekerja,
setia lahir-batin, menjaga harta karaton, tidak boleh menentang
dan tidak boleh membuka rahasia raja.
Dalam pupuh Dandanggula di muka telah diungkapkan karakter
ideal seorang guru.
Sedangkan dalam tembang Maskumambang
yang terdiri dari 34 pada/bait itu digambarkan kedudukan dan
peranan guru dalam perspektif filosofi Jawa pada pada 16-17.
Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Hing sawarah wuruke hingkang prayogi
sembah kaping pat
ya marang guru sayekti
marmane guru sinembah
39
Kang hatuduh marang sampurnaning urip
tumekeng hantaka
madhangken pepeteng ati
hambeberken marga mulya
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Dalam segala petuahnya yang baik
sembah keempat
terhadap guru (sebenarnya)
maka guru disembah
Yang menunjukkan pada hidup yang sempurna
hingga akhir hayat
menerangi hati yang gelap
mengajarkan jalan kemliaan
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
ngestokken (memenuhi kesanggupan); prayitna (waspada,
hati-hati); haja dupeh wus hawirya (jangan berubah sikap
karena sudah berpangkat); gemi nastiti (hemat cermat).
b. Karakter yang buruk :
duraka (bohong); kumawani mring bapa-biyung (berani pada
ayah-ibu);
ngungasaken
(memamerkan);
mengeng
hing
parentah (tidak segera menjalankan perintah); sungkan
(pemalas); mlincur ing kardi (malas dalam pekerjaan);
ngepluk
(terlambat
bangun
tidur);
hangediraken
(membanggakan kelebihan).
6.
Megatruh
Pupuh Megatruh terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan
atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Dalam mengabdi kepada raja hendaknya tidak setengah-hati,
tetapi harus mantap, ikhlas lahir-batin, setia, dan patuh segala
40
perintahnya. Sikap melawan perintah raja ibarat melawan
perintah Yang Maha Agung.
o Bagi mereka yang belum siap mengabdi dengan sepenuh hati,
lebih baik membaca kidung lebih dulu. Mereka tidak wajib seba
(menghadap ke karaton) dan tungguk kemit (caos, bertugas jaga
di karaton).
Semua pupuh Megatruh yang terdiri dari 17 pada/bait tersebut
berisi tentang etika pengabdian pada seorang raja. Di sini perlu
disajikan kutipan pada 2-3 yang menggambarkan kedudukan raja
dalam perspektif filosofi Jawa. Adapun cakepan (bunyi lirik
tembangnya) sebagai berikut.
Mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung
marentahken kukum hadil
pramila wajib den henut
kang sapa tan manut hugi
mring prentahe sang Katong
Haprasasat mbadal hing karsa Hyang Agung
mulane babo wong hurip
saparsa ngawuleng ratu
kudu heklas lahir batin
haja nganti nemu hewoh
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Berhubung ratu sebagai wakil dari Yang Agung
memerintahkan hukum adil
maka wajib diikuti
barang siapa tidak mematuhi
terhadap perintah sang Raja
Sama halnya membangkang terhadap kehendak Yang Agung
maka hai semua orang
siapapun yang ingin menghamba ratu
harus ikhlas lahir batin
jangan sampai dalam kebimbangan
41
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
mantep (mantap, tidak ragu); setya tuhu (setia sepenuh hati);
tuwajuh (tekun); hangabdi (mengabdi); heklas (ikhlas).
b. Karakter yang buruk :
minggrang-minggring
(ragu-ragu);
mutung
(tidak
mau
meneruskan suatu pekerjaan/kewajiban).
7.
Durma
Pupuh Durma terdiri dari 12 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau
ajaran-ajaran sebagai berikut
o Pentingnya perilaku hambanting sarira (melatih diri untuk
merasakan
penderitaan,
kebalikan
dari
memanjakan
diri),
membatasi makan dan tidur.
o Kebahahagiaan maupun kesengsaraan seseorang tergantung
pada diri sendiri, sehingga perlu hati-hati dan heling (tidak lupa
diri).
o Hendaknya
ditumbuhkan
semangat
yang
mantap
dalam
menambah pengetahuan lahir dan batin.
o Hendaknya tidak dimiliki sifat gunggung diri (tinggi hati), nacat
(mencela), dan mahoni (mencela, menyalahkan, tidak mau
menerima).
Dalam pupuh Kinanthi telah diungkapkan pesan moral untuk
menahan (membatasi) makan dan tidur, yang diulang hingga tiga
kali dalam dua pada/bait. Dalam pupuh Durma, pesan itu dulangi
lagi, yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Dipun sami hambanting sariranira
cecegah dhahar guling
darapon sudaha
napsu kang ngambra-hambra
rerema hing tyasireki
42
dadi sabarang
karsanira lestari
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Hendaklah kalian membanting diri
mengurangi makan dan tidur
agar berkurang
nafsu yang tidak karuan
tenteramkan hati kalian
jadi segalanya
agar lestari
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
hambanting
sarira
(melatih
diri
untuk
merasakan
penderitaan, kebalikan dari memanjakan diri); cegah dahar
lawan guling (mengurangi makan dan tidur); heling (ingat,
tidak lupa diri).
b. Karakter yang buruk :
gunggung diri (mengagungkan diri sendiri; merasa klas
tinggi); nacat kapati-pati (mencela habis-habisan); mamahoni
(mencela, menyalahkan, tidak mau menerima); nora prasaja
(tidak apa adanya); hangrasani (membicarakan kejelekan
orang lain); mada (mencela); ngrasa bener pribadi (merasa
hanya dirinya yang benar).
8.
Wirangrong
Pupuh Wirangrong terdiri dari 27 pada/bait yang berisi pesan-pesan
atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Pentingnya budi pekerti yang halus, jangan ‘asal bisa bicara’
meskipun hanya sekecap (satu kali ucap).
o Hendaknya difikirkan segala ucapan yang akan keluar, sebab
kalau sudah terucap tidak dapat ditarik lagi.
43
o Hendaknya
hemat dalam ucapan, jangan mudah memarahi
bawahan dan jika memarahinya harus diingat kesalahannya.
o Jika hendak berbicara atau menasehati orang lain hendaklah
mempertimbangkan waktu dan tempat.
o Jangan mudah bersumpah, apalagi menjadikan sumpah sebagai
ucapan sehari-hari.
o Hendaknya dihindari empat kebiasaan, yaitu madat (menghisap
candu), ngabotohan (berjudi), durjana (penjahat, pencuri), dan
hati sudagar (bermental dagang dalam segala urusan).
Dari 27 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait 18-19 tentang madat dan nyeret (mengisap candu), yang
cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Dene ta wong kang madati
kesede kamoran lumoh
hamung hingkang dadi senenganipun
ngadhep diyan sarwi
linggih ngamben jejegang
sarwi kleyangan bedudan
Yen leren nyeret hadh dhis
netrane pan merem karo
yen wus ndadi hawake hakuru
cahya biru putih
njalebut wedi toya
lambe biru huntu pethak
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Adapun orang yang mengisap candu
malasnya bercampur enggan
yang menjadi kesenangannya hanyalah
di depannya ada lampu sambil
duduk jegang di amben
mengisap sambil terasa melayang
Jika berhenti mengisap candu
kedua matanya terpejam
jika sudah kecanduan, badannya kurus
44
raut mukanya biru putih
lusuh dan takut air (malas mandi)
bibir biru, gigi putih
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
marsudeng budi (mengutamakan budi); gemi ing lathi (hemat
dalam berbicara); haja ngakehken supaos (jangan banyak
bersumpah).
b. Karakter yang buruk :
madat (mengisap candu ); ngabotohan (berjudi); durjana
(kejahatan); hanggegampang
(mengampangkan
sesuatu);
hati sudagar (bermental dagang);
9.
Pocung
Pupuh Pocung terdiri dari 23 pada/bait yang berisi pesan-pesan
atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Pentingya komunikasi dan kerukunan dalam suatu keluarga,
baik orang tua dengan anak maupun antar saudara kandung.
o Orang tua atau saudara tua hendaknya mampu momong
(mengasuh), dengan perlakuan yang sama, tidak pilih-kasih.
o Anak-anak muda hendaknya mengetahui hal-hal yang baik dan
yang buruk dan mematuhi nasehat saudara tua
o Hendaknya memiliki hati yang berwatak hajembar (luas), hamot
(menampung), dan hamengku (melindungi, mengasuh).
Dari 23 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait 13 tentang interaksi pendidikan dalam keluarga, yang
cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Pan sadulur tuwa kang wajib pitutur
marang kang taruna
kang hanom wajibe wedi
45
sarta manut wuruke sedulur tuwa
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Adapun saudara tua yang berkewajiban memberi nasehat
terhadap yang muda
yang muda wajib takut
serta mematuhi nasehat saudara tua
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
rukun
(rukun); ngawula
(menghamba); saregep
(rajin);
hamomong (mengasuh);
b. Karakter yang buruk :
habot sisih (tidak adil, pilih kasih); hugungan (biasa dituruti
kemauannya);
mlincur
(malas
bekerja);
gegampang
(mengampangkan sesuatu);
10. Mijil
Pupuh Mijil terdiri dari 26 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau
ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Para satriya hendaknya mempunyai watak hanteng jatmika,
ruruh, wasis, prawira hing batin, kendel, wiweka hing hati, den
samar den semu.
o Hendaknya memiliki sifat narima, menerima apa yang diberikan
Tuhan kepada dirinya, namun bukan tidak mau berusaha.
Dicontohkan,
orang yang bodoh namun tidak mau bertanya
bukan termasuk dalam pengertian narima; sedangkan seorang
yang mengabdi kepada raja dan menerima kedudukan yang
diberikan kepadanya termasuk dalam pengertian narima.
o Kekuasaan raja merupakan pemberian Tuhan, maka tidak boleh
dibantah perintahnya (nora kena den wahoni parentahing
katong).
46
o Bagi orang yang mempunyai kedudukan agar tidak lupa pada
saat-saat akan memperoleh kedudukan itu.
Dari 26 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait 8 yang isinya agar seseorang yang sudah menduduki
jabatan tidak lupa pada asal mulanya. Adapun cakepan (bunyi lirik
tembangnya) sebagai berikut.
Nanging harang hing jaman samangkin
kang kaya mangkono
kang wus kaprah hiya salawase
yen wus hana lungguhe sethithik
hapan nuli lali
hing wiwitanipun
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Namun jarang di masa sekarang
yang seperti itu (bait sebelumnya)
yang sudah lumrah selamanya
jika sudah mempunyai sedikit kedudukan
kemudian menjadi lupa
pada awal mulanya
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
jatmika hing budi (bagus budi pekertinya); haja hisin
ngakoni bodhone (jangan malu mengkui ketidaktahuannya);
wasis (pandai, trampil); prawira hing batin (kuat batinnya);
males sih (membalas budi); narima hing Widhi (ikhlas pada
takdir Tuhan); den samar, den semu (hendaknya tidak
vulgar); tanggon (dapat diandalkan); ruruh (tenang); ririh
(sabar, tidak tergesa-gesa); branta hing ngelmu (mencintai
ilmu).
b. Karakter yang buruk :
47
sakarsa pribadi (‘semau gue’); nora heling mula-mulane (lupa
akan awal-mulanya); sabar lan ririh (sabar dan tidak
tergesa-gesa); kurang hing panrima (kurang bersyukur).
11. Asmaradana
Pupuh Asmaradana
terdiri dari 28 pada/bait yang berisi pesan-
pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Hendaknya
dipatuhi
perintah
agama
(parentahing
sarak),
menjalankan rukun Islam, tidak meninggalkan shalat wajib
(salat limang wektu tan kena tininggala).
o Hendaknya dihayati perintah Tuhan di dalam dalil (Al Quran)
dan perintah Nabi di dalam Al Hadits yang akan menerangi hati
(padhanging tyasira).
o Hendaknya tidak terlena pada keindahan dunia dan hendaknya
ingat akan kematian.
o Hendaknya dihindari sifat angkuh, bengis, mudah tersinggung,
lancang, ladak, tidak semena-mena.
o Bagi para atasan hendaknya memiliki sifat tepa sarira dalam
menggunakan kekuasaan, melindungi,
disegani, dan mampu
mendorong semangat anak buah.
o Bagi para pejabat hendaknya tidak bermental pedagang yang
menghitung untung-rugi (patrape kaya wong dagang), jangan
mengharap punjungan/setoran dari bawahan (haja pamrih
sarama).
Dari 28 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait 20 yang berisi pesan tentang gambaran orang yang
menduduki jabatan dengan cara membeli. Adapun cakepan (bunyi
lirik tembangnya) sebagai berikut.
Pikire gelisa pulih
rurubane duk ing dadya
hing rina wengi ciptane
kapriye lamun bisaha
48
males sihing bandara
linggihe lawan tinuku
tan wurung hangrusak desa
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Yang dipikirkan segera pulih
beaya untuk meraih (kedudukan)
siang-malam yang difikirkan
bagaimana agar bisa
membalas kebaikan atasan
kedudukannya karena dibeli
tak pelak lagi, merusak desa
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
tepa salira (diandaikan dirinya sendiri, tidak semena-mena);
hasih (kasih, sayang); sukur lan rila (syukur dan ikhlas);
narima hing sapancene (menerima dengan ikhlas terhadap
apa yang menjadi bagiannya).
b. Karakter yang buruk :
sembrana
(kurang
hati-hati);
lena
(lengah);
hangkuh
(angkuh); wengis (bengis); lengus (mudah tersinggung);
lancang (lancang); ladak (sulit diterjemahkan ke dalam
Bahasa
Indonesia);
sumalonong
(menyelonong,
tanpa
permisi); tan wruh hing tata (tidak tahu sopan santun); siyasiya (sewenang-wenang); jahil (jahat, tindakan yang bodoh);
padu (bertengkar); wadulan (suka mengadu, menyampaikan
berita yang kurang menyenangkan).
12. Sinom
Pupuh Sinom terdiri dari 33 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau
ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Hendaknya dimiki watak yang mulia, yaitu tidak meremehkan
kemampuan orang lain, saling bertukar pengetahuan dan
49
pengalaman, setiap langkahnya bermanfaat, tidak memamerkan
kelebihannya, mengakui kekurangannya, dan tidak bersedih
ketika diremehkan orang lain.
o Kritik terhadap diri pengarang sendiri (self critic), yang masih
suka
menutupi
kedodohannya,
merasa
pintar,
khawatir
dianggap bodoh walaupun sebetulnya memang bodoh (cubluk),
sehingga sering kali tidak ragu untuk membual.
o Hendaknya senantiasa berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
dalam setiap langkah untuk mencapai tujuan.
o Hendaknya suka meneladani Panembahan Senopati, sebatas
kemampuan
masing-masing,
dalam
membanting
raga
dan
mengurangi makan.
o Hendaknya tidak larut dalam berbagai keadaan yang sedang
dialami, sehingga mampu menjalani lara sajrononing kepenak
(sakit dalam keadaan menyenangkan), suka sajroning prihatin
(gembira dalam situasi prihatin), dan mati sajroning hurip (mati
dalam hidup).
o Untuk mengetahui cahaya kawula-gusti, jiwa harus bersih lahirbatin, tidak boleh tercemari nafsu lawamah dan amarah.
Dari 33 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait 9 yang berisi pesan untuk meniru perilaku para leluhur.
Dengan demikian, keteladanan para leluhur menjadi sumber
pendidikan karakter.
Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya)
sebagai berikut.
Mring luhur hing kuna-kuna
hanggone hambanting dhiri
hiya sakuwasanira
sakuwate hanglakoni
nyegah turu sethitik
sarta nyuda dhaharipun
pira-pira bisaha
50
kaya hingkang dhingin-dhingin
hanirua sapratelon saprapatan
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Terhadap leluhur di zaman kuna
(tirulah) dalam hal membanting diri
ya semampunya
seberapa kuat menjalani
menahan tidur sedikit
serta mengurangi makannya
alangkah baiknya jika bisa
seperti orang yang dulu-dulu
tirulah sepertiga atau seperempatnya
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
tan
ngendak
gunaning
janmi
(tidak
meremehkan
kemampuan orang lain); pintere den halingi (kepandaiannya
ditutupi); bodhone dinekek ngayun (kebodohannya tidak
ditutupi); hangurangi dahar guling (mengurangi makan dan
tidur); hambanting diri (melatih diri untuk merasakan
penderitaan, kebalikan dari memanjakan diri); hamasuh
sarira (menyucikan diri); handap hasor (rendah hati); talaten
(tekun);
mantep
jroning
ngati
(mantap
dalam
hati);
ngimanken tuduhing guru (mempercayai petunjuk guru); lara
sajrononing kepenak (menghayati rasa sakit ketika sedang
sehat); suka sajroning prihatin (menumbuhkan rasa senang
ketika sedang prihatin); mati sajroning hurip (menghayati
kematian dalam hidup).
b. Karakter yang buruk :
bosenan (mudah bosan); mangan hapyun (mengisap candu);
riya
lan
kibir
(pamer
dan
sombong);
luamah
(nafsu
lawwamah, tidak ada puasnya); amarah (nafsu amarah).
51
13. Girisa
Pupuh Sinom terdiri dari 25 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau
ajaran-ajaran sebagai berikut.
o Hendaknya mematuhi nasehat orang tua dan menerima dengan
ikhlas takdir Tuhan tentang kedudukan yang tinggi atau rendah,
sehat atau sakit, nasib mujur atau malang.
o Hendaknya berguru pada para ulama, untuk memahami syari’at,
serta hal-hal yang batal dan haram.
o Hendaknya memahami tata krama, baik dalam ucapan maupun
perbuatan.
o Hendaknya belajar olah sastra dan ceritera, untuk ditularkan
kepada yang lebih muda.
Dari 25 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan
pada/bait 2 yang berisi pesan agar menerima dengan ikhlas takdir
Tuhan. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.
Haja na kurang panrima
hing papasthening sarira
yen saking Hyang Maha Mulya
nitahken hing badanira
lawan dipun hawas huga
hasor luhur waras lara
tanapi begja cilaka
hurip tanapi hantaka
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Jangan ada yang kurang ikhlas
atas takdir dirinya
jika berasal dari Yang Maha Mulia
(yang) menciptakan dirimu
serta hendaknya dipahami juga
(kedudukan) rendah atau tinggi, sehat atau sakit
keberuntungan atau kemalangan
hidup maupun kematian
52
Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam
pupuh tersebut adalah sebagai berikut.
a. Karakter yang baik :
haja bosen jagongan myang para ngulama (jangan bosan
berbincang dengan para ulama); patrap tata krama (perilaku
sopan); tindak tanduk kang hutama (perilaku yang mulia);
lelabetan kang hutama (pengorbanan yang mulia); kerepa
maca (keraplah membaca); kinalulutan hing bala (diikuti
dengan
setia
oleh
bawahan);
pratitis
(tepat
mengena
sasaran); waskitha hing nala (tajam perasaan); betah hatapa
(tahan bertapa).
b. Karakter yang buruk :
tindak tanduk kang nistha (perilaku yang hina); kethul
(tumpul pikiran/perasaan); mamang (ragu); sumelang hing
nala (waswas dalam hati); katungkul mangan hanendra
(terlena makan dan tidur); kapegatan tresna (terputus
perasaan cintanya terhadap sesama).
D. Makna Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Serat Wulang Reh
Sesuai dengan metode penelitian, inferensi atau pemaknaan akan
dilakukan terhadap data yang sudah dikelompokkan ke dalam unit
tematik, yang dikonstruk menjadi tema-tema : etika pribadi, etika sosial,
etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan etika khas kultural Jawa.
Di sini, etika khas kultural Jawa yang meliputi laku prihatin, handhap
hasor (sikap rendah hati), dan pengendalian diri akan disajikan lebih
dahulu. Sebelum itu akan disajikan pula makna yang lebih hakiki
tentang pendidikan dan ilmu dalam perspektif Serat Wulang Reh. Dalam
inferensi atau pemaknaan ini juga dikaitkan dengan konteks ruang dan
waktu, baik yang bersifat historis, sosiologis, maupun kultural.
53
1.
Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual
Dalam pupuh Kinanthi bait 1 terdapat pesan yang berbunyi
padha gulangen hing kalbu, hing sasmita hamrih lantip. Penggalan
bait tersebut perlu diangkat dalam bagian tersendiri, sebab selain
cukup
populer
dalam
tembang
macapat,
juga
merupakan
karakteristik pendidikan khas Jawa. Maksud padha gulangen hing
kalbu adalah pesan untuk melatih, mengasah, atau mempertajam
hati. Pesan tersebut menekankan bahwa aspek utama dalam proses
pendidikan adalah gegulang hing kalbu, suatu aktivitas batin yang
dalam term Jawa disebut olah rasa. Tujuan dari olah rasa tersebut
adalah hing sasmita hamrih lantip, artinya agar cerdas dalam
menangkap pesan atau pelajaran. Manusia yang lantip hing sasmita
akan mampu memahami makna hakiki di balik fakta, peristiwa,
atau hal-hal yang bersifat lahiriah (kasat mata, fisikal) dalam
kehidupan alam semesta. Kemampuan memaknai fakta atau
peristiwa itu tidak lain adalah kemampuan berfilsafat.
Dengan pesan untuk melatih hati, Serat Wulang Reh berisi
pendidikan yang lebih menekankan pengembangan kecerdasan
emosional dan spiritual. Hal itu menunjukkan bahwa pemikiran
Serat Wulang Reh dalam bidang itu telah mendahului pemikiran
para ahli dari Barat, ratusan tahun sebelumnya. Istilah ‘kecerdasan
emosional’ baru dikemukakan pertama kali pada tahun 1992 oleh
psikolog asal Universitas Yale, Peter Salovey serta psikolog asal
Universitas New Hampshire, John Mayer. Istilah itu semakin
populer setelah Daniel Golemen, psikolog yang juga pengajar di
Universitas Harvard, menulis buku Emotional Intellegence pada
tahun 1995.
Konsep-konsep kuno tentang pendidikan yang menekankan
pelatihan hati ternyata masih memperoleh dukungan dari berbagai
kalangan.
Iwan
Triyuwono,
Guru
Besar
Akuntansi
Syariah
54
Universitas Brawijaya Malang, dalam tulisannya yang berjudul
Pendidikan
Berbasis
pendidikan
kita
Hati
hanya
Nurani
menyatakan
menciptakan
bahwa
noda-noda
sistem
hitam
pada
manusia Indonesia. Hal itu terjadi karena terlalu mengedepankan
pikiran (mind) praktis ketimbang rasa dan batin. Pendidikan yang
demikian itulah yang menyebabkan keterpurukan kehidupan kita
saat ini. Kita mengira bahwa pikiran bisa mengatasi segala-galanya.
Padahal pikiran memiliki kekuatan yang sangat terbatas, tetapi
digunakan untuk mengatasi masalah yang begitu kompleks.
Kelemahannya terletak terutama pada ketidakmampuannya untuk
memahami realitas secara utuh. Sebagaimana kata Derrida, pikiran
hanya menciptakan kesenjangan (gap) antara realitas dengan apa
yang dipersepsikan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
simbol, berupa kata, kalimat, atau teori. Celakanya telah salah
kaprah menganggap bahwa kebenaran pikiran itu mutlak (Jawa
Pos, Sabtu 3 Mei 2008). Kritik tersebut perlu mendapat apresiasi
karena
justru
dikemukakan
kepakarannya
kurang
(emosionaitas).
Hal
oleh
bersangkutan
senada
juga
seseorang,
yang
dengan
persoalan
dikatakan
beberapa
bidang
rasa
tahun
sebelumnya oleh Achmad Charris Zubair, yang mengritik bahwa
kelemahan
terbesar
pendidikan
formal
masih
terbatas
pada
pendidikan kognisi yang membangun rasionalitas. Tidak ada
pendidikan hati nurani yang mengembangkan semua potensi
kemanusiaan anak didik. Akibatnya, semua keputusan yang
diambil selalu berdasar rasionalitas semata (Jawa Pos-Radar Jogya,
2 Desember 2003).
2.
Sumber ilmu (ngelmu rasa)
Jika isi pendidikan senantiasa dipersepsikan sebagai ilmu,
maka pengertian ‘ilmu’ dalam perspektif falsafah Jawa lebih pada
ngelmu rasa (Suwardi Endraswara, 2006: 132). Dalam pandangan
55
Serat Wulang Reh, apa yang disebut ngelmu rasa itu sangat penting
guna mencapai kesempurnaan kualitas kemanusiaan seseorang.
Hal itu diungkapkan dalam pupuh Dandanggula bait 2, ‘… rasaning
rasa punika, hupayanen darapon sampurna hugi; hing kahuripanira’
(…rasa yang dalam itu capailah demi kesempurnaan hidup kalian).
Ngelmu rasa yang diajarkan dalam Serat Wulang Reh, yang
isinya adalah ajaran-ajaran moral itu, lebih banyak bersumber dari
kitab suci Al Quran. Hal itu dinyatakan dalam pupuh Dandanggula
pada/bait 3, ‘Jroning Kur’an nggoning rasa yekti’
(Di dalam Al
Quran ditemukan rasa yang hakiki). Bahkan pada pada/bait 4
secara eksplisit disebutkan empat sumber ngelmu, yang ternyata
diidentikkan dengan sumber hukum Islam, yaitu Al Quran, Al
Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya)
sebagai berikut.
Lamun ana wong micareng ngelmi
tan mupakat hing patang prakara
haja sira hage-hage
hanganggep nyatanipun
saringana hingkang baresih
limbangen kang satimbang
patang prakareku
dalil kadis lan ijemak
lan kiyase papat hiku salah siji
hanaa kang mupakat
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Jika ada orang yang mengajarkan ilmu
tidak sesuai dengan empat perkara
jangan tergesa-gesa
mengakui kebenarannya
saringlah dengan bersih
bandingkan yang setimbang (dengan)
empat perkara tadi
Quran, hadits, dan ijma’
dan qiyas-nya, salah satu dari empat itu
hendaknya ada yang sesuai
56
Isi pupuh tersebut menunjukkan bahwa paham Islam yang
dianut oleh Paku Buwana IV relatif murni, sesuai dengan Al Quran
dan Al Hadits. Temuan ini cukup menarik, sebab paham tersebut
tidak sejalan dengan paham keislaman yang dianut oleh raja-raja
Mataram sebelumnya dan orang-orang Jawa pada umumnya pada
saat itu. Sebagaimana sudah banyak diketahui, paham keislaman
Jawa adalah sinkretisme (Djuretno A. Imam Muhni, 1999: 4).
Paham Islam yang dianut oleh Paku Buwana IV itu oleh
Belanda tidak disenangi dan dianggap sebagai akibat dari pengaruh
‘kelompok baru’ atau penasehat-penasehat raja yang fanatik,
sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini. Berbagai perubahan
yang dilakukan oleh raja antara lain : pakaian prajurit bergaya
Belanda
diganti
dengan
pakaian
Jawa;
tiap
Jumat
Sunan
melaksanakan shalat Jumat di Masjid Besar; semua abdi dalem
diwajibkan berpakaian santri ketika diadakan latihan watangan
(perang-perangan) pada hari Sabtu (acara Seton); abdi dalem yang
tidak mematuhi syariat agama dipecat atau digeser; abdi dalem
dilarang mengisap candu (Nurhajarini, 1999: 133; Poespaningrat,
2008: 87; Harsono, 2005: 8).
Selain sumber-sumber tersebut, sebagaimana budaya Jawa
pada umumnya, tuntunan moral atau budi pekerti di dalam Serat
Wulang Reh
bersumber dari ajaran atau tauladan para leluhur.
Ajaran tersebut diwariskan dari generasi ke generasi melalui tradisi
tutur maupun tulis. Paradigma pendidikan seperti itu oleh Bourdieu
dalam Karabel and Halsey (1977: 488) dikatakan sebagai berikut.
By tradisionally defining the educational system as
the group of institutional or routine mechanism by
means of which is operated what Durkheim calls
“the conservation of a culture inherited from the past”.
57
3.
Laku Prihatin
Pesan penting yang diulang beberapa kali dalam Serat Wulang
Reh adalah haja pijer mangan nendra (jangan banyak makan dan
tidur); cegah dahar lawan guling (mengurangi makan dan tidur);
haja asukan-sukan (jangan mengumbar kesenangan); hanganggoa
sawetawis (hiduplah secara tidak berlebihan). Hal itu menunjukkan
bahwa Serat Wulang Reh mengajarkan laku prihatin, suatu gaya
hidup khas Jawa yang dijalani dengan menempa diri lahir dan
batin, antara lain dengan mengurangi makan dan tidur. Kualitas
prihatin sebagaimana pesan-pesan tersebut merupakan kualitas
biasa (standar). Adapun prihatin dalam kualitas yang tinggi (berat)
diungkapkan dalam pesan untuk
hambanting sarira (melatih diri
untuk merasakan penderitaan, kebalikan dari memanjakan diri)
atau lebih berat lagi betah hatapa (tahan bertapa).
Laku prihatin sangat kental dalam tradisi masyarakat Jawa di
masa lalu, sebagai suatu ritual yang sebaiknya dijalani dalam siklus
kehidupan manusia. Ritual ini menjadi tuntunan etis bagi orangorang yang sedang menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan
hidup, juga dianjurkan bagi anak-anak muda yang cita-citanya
masih banyak. Laku prihatin bukan suatu penderitaan, bahkan jika
dijalani dengan penuh kesadaran justru akan menimbulkan
kepuasan batin. Suwardi Endraswara (2006: 76) mengemukakan
bahwa laku prihatin bertujuan untuk melatih ruhani, agar jiwa
menjadi tenang dalam menghadapi segala persoalan. Laku prihatin
lebih terkait dalam hubungan manusia dengan Tuhan.
Pesan untuk mengurangi tidur juga cukup dikenal dalam
moralitas Jawa. Berangkat tidur yang baik justru lebih malam,
sambil mengisi waktunya dengan berbagai penenangan batin.
Dalam
sebuah
tembang
Asmaradana
yang
cukup
populer
dipesankan sebagai berikut.
58
Haja turu sore kaki
hana dewa nganglang jagad
nyangking bokor kencanane
Iisine donga tetulak
sandang kalawan pangan
yaiku bageyanipun
wong melek sabar narima
Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :
Jangan tidur terlalu sore nak
ada dewa mengitari jagad
membawa bokor emas
berisi doa penolak bala
sandang dan pangan
itu menjadi hak yang diberikan kepada
orang yang terjaga, sabar, dan ikhlas
Defri Werdiono mengutip penggalan syair tembang yang
berbunyi : Ana kidung rumeksa hing wengi / teguh hayu luputa hing
lara / luputa bilahi kabeh ... (Ada lagu yang berjaga di malam hari /
yang menjadikan kuat selamat terbebas dari segala penyakit /
terbebas dari semua petaka ...). Sepenggal syair Dandanggula karya
Sunan Kalijaga tersebut dikutip oleh Sultan Hamengku Buwana X
dalam sambutan yang dibacakan oleh GBPH Joyokusumo pada
prosesi lampah madya ratri (ritual berjalan tengah malam, pen.)
yang bertema ‘Ngesti Budaya Mrih Manunggaling Bangsa’. Prosesi
simbolik tersebut laksana mantra tolak balak, dengan semakin
mendekatkan diri kepada Tuhan agar terhindar dari segala kutukan
dan malapetaka (Kompas, Jumat 22 Mei 2009).
Dalam kultur Jawa, ‘malam’ mempunyai makna khusus, suatu
misteri yang perlu diungkap. Ada beberapa ritual yang selalu
berlangsung pada malam hari, tidak pernah dilakukan pada siang
hari, misalnya jagong bayi, midodareni, tirakatan dan lain-lain.
Pagelaran
wayang,
yang
idealnya
tidak
sekedar
tontonan,
melainkan juga tuntunan, juga digelar terutama pada malam hari.
59
Pertunjukannya bahkan berlangsung semalam suntuk, sesuatu
yang jarang ada dalam pertunjukan apapun.
Logika berfikir modern agak sulit memahami ajaran ini, karena
tidak rasional. Kebiasaan hidup dengan mengurangi makan dan
tidur lebih mudah dipahami sebagai kebiasaan yang mengganggu
kesehatan dan daya tahan tubuh. Namun ternyata, meskipun tidak
bisa
disamakan,
beberapa
agama
mengajarkan
ritual
yang
demikian. Dalam Islam misalnya, ada ajaran berpuasa wajib dan
sunat, yang dijalani dengan mencegah makan dan minum. Ada juga
ajaran shalat malam (shalat lail) yang disebut secara khusus dalam
Al Quran (Al Israa’ : 79), yang di balik itu tentu terkandung makna
atau hikmah tertentu.
4.
Rendah hati
Serat Wulang Reh mengajarkan sifat handhap hasor (rendah
hati), yang hingga ini masih populer dalam sosiologi masyarakat
Jawa. Sifat rendah hati tidak semata-mata diajarkan bagi orangorang yang status sosialnya rendah atau orang-orang yang dalam
posisi lemah. Orang-orang yang status sosialnya tinggi atau
memiliki kelebihan pun diajarkan demikian.
Terhadap orang yang berkedudukan tinggi diingatkan haja
dupeh wus hawirya (jangan tinggi hati karena sudah berpangkat).
Sifat-sifat tidak terpuji yang wajib dihindari adalah gunggung diri
(mengagungkan diri sendiri; merasa klas tinggi); hangrasa luhur
(merasa tinggi derajatnya);
sujanma pangrasane (merasa sebagai
manusia yang melebihi orang lain); lumuh kahungkulan (tidak mau
ada orang lain yang melebihi dirinya), serta sapa sira sapa ingsun
(diskriminatif, merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain).
Karakter negatif yang sangat populer, yang juga dicela dalam buku
60
tersebut, adalah sifat hadigang (merasa kuat secara phisik);
hadigung (merasa tinggi klasnya); hadiguna (merasa lebih pandai).
Orang yang pandai namun rendah hati digambarkan dalam
ungkapan pintere den halingi (menutupi kepandaiannya); bodhone
dinekek ngayun (pura-pura bodoh); tan ngendak gunaning janmi
(tidak meremehkan kemampuan orang lain). Oleh karena itu, sifat
ngrasa bener pribadi (merasa hanya dirinya yang benar), apalagi
kumenthus
klawan
kumaki
(merasa
mampu,
tapi
diragukan
kemampuannya) merupakan sifat yang tercela.
Dalam kultur masyarakat sekarang mungkin sulit dipahami
kebaikan (baca : keuntungan) sikap rendah hati. Lebih-lebih dalam
kultur persaingan atau situasi konflik. Pesan dalam moralitas Jawa
yang berbunyi sapa ngalah luhur wekasane, sekarang sering
diplesetkan menjadi
sapa ngalah kojur wekasane.
Jika pesan
plesetan ini menjadi pegangan, maka tidak aneh jika kemudian
muncul mekanisme pertahanan diri yang aneh juga dalam interaksi
sosial. Misalnya, orang memaksa diri menunjukkan sikap garang
sanadyan garing;
kerot tanpa untu; atau sikap ‘jaga gengsi’.
Keuntungan dari penipuan terhadap diri sendiri ini hanya bersifat
psikologis, agar tidak diremehkan orang lain.
5.
Pengendalian diri
Serat Wulang Reh mengajarkan untuk senantiasa heling (ingat,
sadar, tidak lupa diri) di mana saja dan kapan saja. Pada masa
Orde Baru, kata heling menjadi tema sentral siaran kelompok
penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tema
heling tersebut lebih dimaknai sebagai ingat pada Tuhan Yang Maha
Esa. Pesan heling juga ditujukan kepada orang yang lupa daratan,
lupa masa lalu, melupakan sejarah dan lain-lain. Mereka dikatakan
nora heling mula-mulane (lupa akan awal-mulanya).
61
Kata heling mempunyai konotasi pengendalian diri, suatu idiom
yang kerap digunakan pada masa-masa penataran P4 dahulu.
Pengendalian diri merupakan etika sosial, agar orang tidak
bertindak sakarsa pribadi (‘semau gue’). Dalam etika Jawa, orang
perlu mengendalikan diri ketika berbicara maupun bertindak.
Sehubungan dengan hal itu, pesan Serat Wulang Reh adalah
deduga klawan prayoga (memperhitungkan kepantasan) dalam
ucapan dan perbuatan. Dengan demikian perlu dihindari basa kang
kalantur (omongan yang tidak terkontrol) dan polah kang kalantur
(perilaku yang tidak terkontrol).
Pengendalian diri juga menjadi pesan bagi seseorang pada saat
sebelum maupun sedang bertindak, sehingga terhindar dari sikap
lancang
(lancang);
cumanthaka
(lancang);
sumalonong
(tanpa
permisi); mamang (ragu), sembrana (kurang hati-hati); lena (lengah).
Adapun sikap yang baik adalah ruruh (tenang); ririh (sabar, tidak
gusar); ngati-ati (hati-hati); prayitna (waspada, hati-hati).
Pengendalian diri menjadi sangat spiritualistik ketika dimaknai
sebagai pengendalian nafsu, yang akan menciptakan ballancing
(keseimbangan)
suasana
batin.
Logikanya,
pengendalian
diri
dimaksudkan agar tercipta keseimbangan atau agar tidak oleng.
Dengan pengendalian diri, seseorang tidak larut dalam kenyataan
lahiriah yang sedang dialami. Bahkan, ia mampu menciptakan
suasana batin yang sangat bertolak belakang dengan kenyataan
lahiriah itu. Ilustrasi pengendalian diri pada tataran ini adalah
kemampuan merasakan
suka sajroning prihatin (menumbuhkan
rasa senang ketika sedang prihatin); lara sajrononing kepenak
(menghayati rasa sakit ketika sedang sehat); dan mati sajroning
hurip (menghayati kematian dalam hidup).
Pada taraf tertentu, ajaran pengendalian diri kurang sejalan
dengan tuntutan masa kini yang lebih menekankan aktualisasi diri.
62
Pada
taraf
tertentu,
pengendalian
diri
dapat
menghambat
keberanian seseorang untuk mengaktualisasikan potensi atau bakat
yang
dimilikinya.
Pengendalian
diri
yang
berlebihan
dapat
mengakibatkan seseorang takut salah, kurang berani bertindak,
apalagi keberanian mengambil resiko.
6.
Etika Pribadi
Serat Wulang Reh mengajarkan banyak sekali tuntunan moral
yang dapat diklasifikasikan sebagai etika pribadi. Maksudnya, etika
itu lebih ditujukan terhadap dirinya sendiri, sehingga menjadi
integritas kepribadian seseorang. Tuntunan moral itu antara lain
kaprawiran (sikap perwira, kesatria); prawira hing batin (kuat
batinnya); tan mikir pawehing liyan (tidak mengharap pemberian
orang lain. Perilaku yang perlu dihindari adalah madat (mengisap
candu ); mangan hapyun (mengisap candu); ngabotohan (berjudi);
dan durjana (tindak kejahatan).
Tuntunan moral tersebut hingga sekarang tetap relevan guna
mengontrol kepribadian setiap orang. Sifat perwira sangat penting ,
lebih-lebih bagi para pemimpin, agar orang tidak bermental
pengecut, cuci tangan, atau lari dari tanggung jawab. Kekuatan
batin sangat penting lebih-lebih dalam situasi yang diliputi tekanan,
ketegangan,
dan
berbagai
persoalan.
Sifat
tidak
mengharap
pemberian orang lain atau bahkan sepi hing pamrih masih sering
menjadi pesan moral hingga saat ini.
Serat Wulang Reh memberi perhatian pula terhadap persoalan
madat, nyeret, mangan hapyun (mengisap candu). Candu pada saat
itu, yang peredarannya melalui gerbang-gerbang tol dan dikuasai
orang-orang Cina,
ternyata telah banyak dikonsumsi oleh para
pangeran karaton dan sebagian masyarakat, bahkan para buruh
pemikul barang (gladag) (baca buku Pater Carrey, 1986: Orang
63
Jawa dan Masyarakat Cina-1755-1825). Persoalan candu relevan
dengan persoalan ganja dan narkoba, yang kini menjadi persoalan
sosial yang sangat serius.
Terhadap pekerjaan atau bidang pengabdian, tuntunan moral
yang diajarkan adalah saregep (rajin); talaten (tekun); tuwajuh
(tekun). Sifat tidak baik yang wajib dihindari adalah aras-arasen
(bermalas-malas); mlincur (malas bekerja); sungkan (pemalas);
mlincur ing kardi (malas dalam pekerjaan); mengeng hing parentah
(enggan
sesuatu);
menjalankan
perintah);
gegampang
(mengampangkan
bosenan (mudah bosan); dan mutungan (tidak mau
meneruskan suatu pekerjaan/kewajiban). Tuntunan tersebut lebih
bernuansa mental-psikologis dari pada moral-etis. Tuntunan ini
tetap relevan hingga sekarang untuk diterapkan dalam sektor
pekerjaan apapun, baik di institusi pemerintah maupun swasta, di
sektor formal maupun informal.
Terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan, tuntunan moral
yang diajarkan adalah gemi nastiti (hemat cermat); amungkul (tidak
melihat ke atas dalam urusan duniawi); dan narima hing sapancene
(menerima dengan ikhlas terhadap rezeki yang menjadi bagiannya).
Sedangkan sifat yang kurang baik adalah murka (rakus, tamak);
hati sudagar (bermental dagang); nora hana mareme (tidak pernah
puas, merasa kurang); dan lawamah (merasa kurang).
Makna narima dalam perpektif Jawa perlu dipahami secara
benar, sebab term tersebut sering dipahami secara salah. Sikap
narima biasanya lebih dikaitkan dengan persoalan rezeki atau
materi kebendaan. Dalam pembicaraan sehari-hari sering terdengar
ungkapan narima ing pandum (menerima terhadap pembagian
rezeki).
Sikap narima sering dimaknai sebagai sikap pasif yang
tidak mau berusaha. Sikap narima sesungguhnya merupakan sikap
religius, sebagaimana ungkapan narima hing Widhi (ikhlas pada
64
takdir Tuhan). Dalam perspektif Jawa, rezeki merupakan porsi,
‘jatah’ seseorang yang sudah digariskan oleh Tuhan. Dalam
tembang ini ditemukan pesan moral untuk narima hing sapancene
(menerima dengan ikhlas terhadap rezeki yang menjadi bagiannya).
Sikap orang Jawa dalam menerima takdir Tuhan kadang-kadang
terkesan lebih total dibanding orang–orang Islam pada umumnya,
sedangkan term takdir itu berasal dari Islam. Hal itu diungkapkan
dalam ungkapan kodrat iku ora bisa diwiradat; wis garise sing
Kuwasa; wis dadi pepesthen; dan sebagainya.
Terhadap ilmu pengetahuan, tuntunan moral yang diajarkan
adalah branta hing ngelmu (mencintai ilmu); wasis (pandai, trampil);
kerepa maca (keraplah membaca); haja hisin ngakoni bodhone
(jangan malu mengakui ketidaktahuannya). Dengan demikian,
orang akan pratitis (tepat wawasan atau perkiraan); waskitha hing
nala (tajam perasaan); dan tidak kethul (tumpul pikiran/perasaan).
Pengertian ngelmu menurut Serat Wulang Reh, atau menurut
perpektif Jawa pada umumnya,
lebih dimaksudkan pada ngelmu
rasa sebagaimana telah dikemukakan, ajaran agama, adat istiadat,
atau kawruh (pengetahuan pratis) lainnya. Tegasnya, sesuai dengan
zamannya, pengertian ngelmu tidak dimaksudkan sebagai sain atau
ilmu-ilmu yang sifatnya ilmiah seperti sekarang ini.
7.
Etika Sosial
Serat Wulang Reh mengajarkan banyak sekali tuntunan moral
yang dapat diklasifikasikan sebagai etika sosial. Maksudnya, etika
itu lebih ditujukan terhadap orang lain dalam interaksi sosial.
Tuntunan moral itu antara lain sifat rukun (rukun); hamomong
(mengasuh); males sih (membalas budi); wirangi (suka menolong);
tepa salira (diandaikan dirinya sendiri, tidak semena-mena); dan
hasih hing sasama (kasih sayang kepada sesama).
65
Dalam interaksi sosial hendaknya dihindari sifat panasten
(berhati panas; dengki); dahwen hopen (gemar memberi komentar
negatif pada hal-hal yang tidak penting); drengki, drehi (dengki,
benci);
jahil
(jahat,
tindakan
yang
bodoh);
lengus
(mudah
tersinggung); dora (bohong); mada (mencela); mamahoni (mencela,
menyalahkan, tidak mau menerima); nacat kapati-pati (mencela
habis-habisan); hangrasani (membicarakan kejelekan orang lain);
wadulan (suka mengadu, menyampaikan berita yang kurang
menyenangkan); padu (bertengkar). Sifat yang bertentangan dengan
kemanusiaan adalah kapegatan tresna (terputus perasaan cintanya
terhadap sesama); wengis (bengis); siya-siya (sewenang-wenang).
Dalam interaksinya dengan orang tua dikenal tuntunan yang
sangat populer, yaitu bekti mring wong tuwa (berbakti pada orang
tua). Sebagaimana tuntunan moral pada umumnya, dalam Serat
Wulang Reh terdapat pantangan untuk berlaku duraka (durhaka)
dan kumawani mring bapa-biyung (berani pada ayah-ibu).
Dalam pengabdiannya terhadap raja, tuntunan moral yang
diajarkan adalah mantep jroning ngati (mantap dalam hati); setya
tuhu (setia sepenuh hati); hangabdi (mengabdi); heklas ngawula
(ikhlas menghamba). Sebaliknya jika seseorang menjadi pimpinan,
ia hendaknya kinalulutan hing bala (diikuti dengan setia oleh
bawahan) dan menghindari sifat habot sisih (tidak adil, pilih kasih).
Kesetiaan yang total kepada raja pada masa sekarang masih terasa
nuansanya di karaton Yogyakarta. Di sana masih terdapat para
abdi dalem yang begitu setia mengabdi pada karaton meskipun
dengan imbalan gaji yang sangat kecil. Kesetiaan semacam ini sulit
dipahami oleh logika masyarakat sekarang, yang pada umumnya
didasari motif-motif finansial.
8.
Etika terhadap Tuhan
66
Sebagaimana telah dikemukakan nahwa nilai-nilai pendidikan
yang diajarkan dalam Serat Wulang Reh bersumber pada kitab suci
Al Quran. Bahkan secara eksplisit disebutkan empat sumber
ngelmu, yang identik dengan sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al
Quran, Al Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Hal itu menunjukkan bahwa
paham Islam yang dianut oleh Paku Buwana IV relatif murni, sesuai
dengan Al Quran dan Al Hadits, bukan Islam sinkretis.
Berdasar temuan itu dapat dikatakan bahwa religiusitas Serat
Wulang Reh cukup kuat atau dengan kata lain cukup Islami.
Adapun sifat-sifat relegius yang diajarkan adalah wruh ing khukum
(mematuhi hukum/perintah agama); ngibadah (beribadah); sukur
lan rila (syukur dan ikhlas); haja ngakehken supaos (jangan banyak
bersumpah); sumendhe karsane Hyang Agung (berserah diri pada
Tuhan); narima hing Widhi (ikhlas pada takdir Tuhan).
Makna narima perlu dipahami secara benar, sebab dalam
wacana sehari-hari term tersebut sering dipahami secara salah.
Sikap
narima
sesungguhnya
merupakan
sikap
religius,
sebagaimana ungkapan narima hing Widhi (ikhlas pada takdir
Tuhan). Memang, sikap narima lebih sering dikaitkan dengan
persoalan rezeki atau materi kebendaan. Dalam perspektif Jawa,
rezeki merupakan porsi, ‘jatah’ seseorang yang sudah digariskan
oleh Tuhan, meskipun diterimanya melalui tangan-tangan manusia.
Dalam tembang ini ditemukan pesan moral untuk narima hing
sapancene (menerima dengan ikhlas terhadap rezeki yang menjadi
bagiannya).
Dalam
pembicaraan
sehari-hari
sering
terdengar
ungkapan narima ing pandum (menerima dengan ikhlas terhadap
pemberian rezeki dari Yang Maha Kuasa).
9.
Pengaruh Lingkungan
67
Sebagaimana biasa dikemukakan oleh para ahli psikologi
maupun
eksternal
sosiologi
yang
pendidikan,
sangat
lingkungan
berpengaruh
merupakan
terhadap
faktor
perkembangan
kepribadian seseorang. Idealnya lingkungan menjadi salah satu dari
tri pusat pendidikan. Namun kenyataan sosial sering kali justru
lebih bersifat destruktif dalam membentuk kepribadian seseorang.
Paku Buwana IV dalam Serat Wulang Reh
juga mempunyai
wawasan seperti itu. Ia berpesan agar menjauhi lingkungan yang
buruk dengan lirik tembang yang berbunyi haja raket lan wong ala
(jangan berdekat-dekat dengan orang yang buruk budi pekertinya).
Pengaruh negatif dari lingkungan yang buruk itu disebut dalam lirik
tembang sebagai panuntuning iblis. Sebaliknya agar menyukai
lingkungan yang baik, yang bersifat mendidik, dengan lirik tembang
yang berbunyi haja bosen jagongan myang para ngulama (jangan
bosan berbincang dengan para ulama).
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar uraian yang telah disajikan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut.
1. Serat Wulang Reh merupakan karya sastra yang ditulis dalam
bentuk
tembang,
yang
dikategorikan
dalam
jenis
tembang
macapat. Isinya terdiri dari 13 macam tembang (pupuh), dengan
jumlah pada/bait yang berbeda, yaitu : (1) Dandanggula, terdiri 8
pada/bait; (2) Kinanthi terdiri 16 pada/bait; (3) Gambuh terdiri 17
pada/bait; (4) Pangkur terdiri 17 pada/bait; (5) Maskumambang
terdiri 34 pada/bait; (6) Megatruh terdiri 17 pada/bait; (7) Durma
terdiri 12 pada/bait; (8) Wirangrong terdiri 27 pada/bait; (9)
Pocung terdiri 23 pada/bait; (10) Mijil terdiri 26 pada/bait; (11)
Asmaradana terdiri 28 pada/bait; (12) Sinom terdiri 33 pada/bait;
(13) Girisa terdiri 25 pada/bait.
2. Serat Wulang Reh adalah karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV,
raja Surakarta, yang lahir pada 2 September 1768. Beliau bertahta
sejak 29 November 1788 hingga akhir hayatnya pada 1 Oktober
1820.
3. Serat Wulang Reh berisi nilai-nilai pendidikan karakter yang tidak
lain adalah ajaran moral atau budi pekerti
69
4. Serat Wulang Reh merupakan buku pendidikan yang lebih
menekankan pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual.
5. Sumber ilmu (ngelmu rasa) yang diajarkan dalam Serat Wulang
Reh
adalah kitab suci Al Quran. Bahkan lebih eksplisit
disebutkan empat sumber ngelmu, yaitu Al Quran, Al Hadits,
Ijma’, dan Qiyas. Selain sumber-sumber tersebut, tuntunan moral
atau budi pekerti di dalam Serat Wulang Reh
bersumber dari
ajaran atau tauladan para leluhur.
6. Serat Wulang Reh mengajarkan laku prihatin, terutama pesan haja
pijer mangan nendra (jangan banyak makan dan tidur), suatu gaya
hidup yang dijalani dengan menempa diri lahir dan batin
7. Serat Wulang Reh mengajarkan watak handhap hasor (rendah
hati), terutama pesan tidak gunggung diri (mengagungkan diri
sendiri; merasa klas tinggi) serta tidak berwatak hadigang,
hadigung, hadiguna (merasa kuat secara phisik, merasa tinggi
klasnya, dan merasa lebih pandai).
8. Serat
Wulang
Reh
mengajarkan
tentang
pengendalian
diri,
terutama pesan agar senantiasa heling (ingat, sadar, tidak lupa
diri), serta deduga klawan prayoga (memperhitungkan kepantasan
dalam ucapan dan perbuatan). Sebaliknya agar dihindari basa
kang kalantur (omongan yang tidak terkontrol); polah kang
kalantur (perilaku yang tidak terkontrol); lancang dan cumanthaka
(lancang).
9. Serat Wulang Reh mengajarkan banyak sekali tuntunan moral
yang dapat diklasifikasikan sebagai etika pribadi. Etika itu lebih
ditujukan terhadap dirinya sendiri, sehingga menjadi integritas
kepribadian
seseorang.
Pesan
moral
yang
penting
adalah
kaprawiran (sikap perwira, kesatria); prawira hing batin (kuat
batinnya); tan mikir pawehing liyan (tidak mengharap pemberian
orang lain. Perilaku yang perlu dihindari adalah madat atau
70
mangan hapyun (mengisap candu); ngabotohan (berjudi); dan
durjana (tindak kejahatan). Terhadap pekerjaan atau bidang
pengabdian, tuntunan moral (lebih bernuansa mental-psikologis)
yang diajarkan adalah saregep (rajin); talaten (tekun); tuwajuh
(tekun), serta menghindari sifat aras-arasen (bermalas-malas);
mlincur (malas bekerja); sungkan (pemalas); mlincur ing kardi
(malas
dalam
pekerjaan);
mengeng
hing
parentah
(enggan
menjalankan perintah); gegampang (mengampangkan sesuatu);
bosenan (mudah bosan); dan mutungan (tidak mau meneruskan
suatu pekerjaan/kewajiban). Terhadap hal-hal yang bersifat
kebendaan diajarkan agar gemi nastiti (hemat cermat); amungkul
(tidak melihat ke atas dalam urusan duniawi); dan narima hing
sapancene (menerima dengan ikhlas terhadap rezeki yang menjadi
bagiannya), tidak murka (rakus, tamak) dan lawamah (merasa
kurang). Terhadap ilmu pengetahuan diajarkan agar branta hing
ngelmu (mencintai ilmu); kerep maca (kerap membaca); haja hisin
ngakoni bodhone (jangan malu mengakui ketidaktahuannya), agar
selanjutnya menjadi orang yang wasis (pandai, trampil); pratitis
(tepat wawasan atau perkiraan); waskitha hing nala (tajam
perasaan); dan tidak kethul (tumpul pikiran/perasaan).
10.
moral
Serat Wulang Reh mengajarkan banyak sekali tuntunan
yang
dapat
diklasifikasikan
sebagai
etika
sosial.
Maksudnya, etika itu lebih ditujukan terhadap orang lain dalam
interaksi sosial. Pesan moral yang penting adalah agar rukun
(rukun); hamomong (mengasuh); males sih (membalas budi);
wirangi (suka menolong); tepa salira (diandaikan dirinya sendiri,
tidak semena-mena); dan hasih hing sasama
(kasih sayang
kepada sesama). Sebaliknya agar dihindari sifat panasten (berhati
panas; dengki); dahwen hopen (gemar memberi komentar negatif
pada hal-hal yang tidak penting); drengki, drehi (dengki, benci);
71
jahil (jahat, tindakan yang bodoh); lengus (mudah tersinggung);
dora (bohong); mada (mencela); mamahoni (mencela, menyalahkan,
tidak mau menerima); nacat kapati-pati (mencela habis-habisan);
hangrasani (membicarakan kejelekan orang lain); wadulan (suka
mengadu, menyampaikan berita yang kurang menyenangkan);
padu (bertengkar). Sifat yang bertentangan dengan kemanusiaan
adalah kapegatan tresna (terputus perasaan cintanya terhadap
sesama); wengis (bengis); siya-siya (sewenang-wenang). Terhadap
orang tua wajib bekti mring wong tuwa (berbakti pada orang tua)
dan pantangan untuk berlaku duraka,
biyung
(durhaka
dan
berani
kumawani mring bapa-
pada
ayah-ibu).
Dalam
pengabdiannya terhadap raja, tuntunan moral yang diajarkan
adalah mantep jroning ngati (mantap dalam hati); setya tuhu (setia
sepenuh hati); hangabdi (mengabdi); heklas ngawula (ikhlas
menghamba).
11.
Serat Wulang Reh mengajarkan sifat-sifat religius yang
cukup kuat. Pesan moral yang penting adalah agar
wruh ing
khukum
ngibadah
(mematuhi
hukum/perintah
agama);
(beribadah); sukur lan rila (syukur dan ikhlas); haja ngakehken
supaos (jangan banyak bersumpah); sumendhe karsane
Hyang
Agung (berserah diri pada Tuhan); dan narima hing Widhi (ikhlas
pada takdir Tuhan).
12.
Serat
Wulang
Reh
mengingatkan
besarnya
pengaruh
lingkungan terhadap pembinaan karakter (watak). Pesan moral
yang penting adalah haja raket lan wong ala (jangan berdekatdekat dengan orang yang buruk budi pekertinya) dan haja bosen
jagongan myang para ngulama (jangan bosan berbincang dengan
para ulama).
B. Implikasi
72
Serat Wulang Reh yang telah berusia lebih dari 200 tahun
menunjukkan bahwa karya sastra tersebut mempunyai kemampuan
bertahan yang cukup kuat. Dalam masa lebih dari 200 tahun
tersebut Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, telah
mengalami beberapa kali perubahan zaman. Dari perspektif sejarah
telah
dilalui
zaman
penjajahan
Belanda,
zaman
kebangkitan
nasional, zaman pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan dengan
beberapa kali pergantian rezimnya. Dari perspektif sosiologi telah
dilalui
kehidupan
masyarakat
agraris-tradisional
yang
panjang
hingga kehidupan masyarakat yang menuju ke arah industri-modern.
Semua bentuk perubahan tersebut tentu membawa dampak budaya
yang cukup besar, namun ternyata Serat Wulang Reh masih bertahan
hidup.
Serat Wulang Reh merupakan warisan budaya yang hingga kini
masih cukup dikenal di kalangan sebagian masyarakat Jawa. Proses
pewarisan nilai-nilai budaya tersebut tidak melalui jalur struktural,
termasuk sistem pendidikan formal, melainkan melalui jalur kultural.
Kenyataan ini dapat menjadi prediksi bahwa ke depan Serat Wulang
Reh sebagai bagian dari budaya Jawa akan tetap bertahan, meskipun
menghadapi gempuran budaya kontemporer. Dengan demikian
benturan budaya tersebut akan tetap berlangsung dalam waktu yang
panjang. Benturan budaya tersebut pada tingkatan yang ekstrim
dapat menimbulkan benturan antar pendukung kebudayaan, yang
kadang-kadang menimbulkan ketegangan dalam masyarakat.
Dalam globalisasi budaya, yang ditandai dengan benturan antar
budaya,
hampir
dipastikan
bahwa
budaya
Jawa
tidak
akan
memenangkan pertarungan, meskipun di ‘kandang sendiri’. Namun
dalam situasi krisis, budaya Jawa akan sangat mungkin menjadi
budaya alternatif bagi masyarakatnya sendiri. Adalah sesuatu yang
lazim terjadi, ketika nilai-nilai baru tidak memberikan sesuatu yang
73
diharapkan, maka orang akan kembali menoleh pada nilai-nilai lama
yang sudah ditinggalkan.
C. Saran
Budaya tradisional tidak identik dengan budaya primitif yang
menunjukkan keterbelakangan, ketidakberadaban dan sebagainya.
Dalam budaya tradisional tidak jarang terdapat nilai-nilai moral yang
tinggi, baik nilai-nilai yang bersifat universal maupun lokal-kultural.
Oleh karena itu sebaiknya nilai-nilai moral yang terkandung dalam
Serat Wulang Reh tetap dipertahankan dalam dinamika kehidupan
masyarakat Indonesia.
Dalam kaitannya dengan gagasan pendidikan karakter, nilai-nilai
moral yang terkandung dalam Serat Wulang Reh sebaiknya dijadikan
salah satu rujukan atau orientasi nilai. Dengan demikian, sosok
manusia Indonesia adalah manusia yang memiliki karakter yang
baik, yang di antara nilai-nilai karakternya itu berakar pada
budayanya sendiri.
74
DAFTAR PUSTAKA
Buku yang diteliti :
Anonim. (1977). Serat Wulang Reh. Surakarta : Toko Buku Indah Jaya.
Darusuprapto. (1982). Serat Wulang Reh Anggitan Sri Paku Buwana IV.
Surabaya: Penerbit Citra Jaya.
Buku referensi :
Agustian, Ary Ginanjar. (2005). Emotional-Spiritual Quotient (ESQ).
Jakarta: Penerbit Arga.
Asy’arie, Musa. (2002). Filsafat Islam; Sunnah Nabi Dalam Berpikir.
Yogyakarta: LESFI.
Barcalow, Emmet. (1998). Moral Philosophy; Theories and Issues.
Belmont, CA-Washington: Wadsworth Publishing Company.
Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Bloom, Benjamin S., et al. (1981).Evaluation to Improve Learning. New
York: McGraw Hill Book Company.
Chang, William. (2008). “Normalisasi Sosial”. Artikel. Jakarta: Harian
Kompas, 22 Desember.
Darban dkk, Ahmad Adaby. (1998). Biografi Pahlawan Nasional
Hamengku Buwana IX. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, Dit Sejarah dan Nilai Tradisional,
Ditjen Kebudayaan, Depdikbud.
75
Downey, Merial & A.V. Kelly. (1978). Moral Education. London-Sydney:
Harper & Row Publisher.
Duska, Ronald dan Mariellen Whelan. (1984). Perkembangan Moral;
Perkenalan dengan Piaget dan Kohlberg. (Terjemahan Dwija
Atmaka). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Endraswara, Suwardi.
Cakrawala.
(2006).
Falsafah Hidup Jawa.
Yogyakarta:
Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values. LondonWellington: Prentice-Hall International.
Frondizi, Risieri. (2001). Pengantar Filsafat Nilai (Cuk Ananta Wijaya,
penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadiwardoyo, Purwa Al. (2000). Moral dan Masalahnya. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Haricahyono, Cheppy. (1995). Dimensi-Dimensi
Semarang: IKIP Semarang Press.
Pendidikan
Moral.
Harsono, Andi. (2005). Tafsir Ajaran Serat Wulang Reh. Yogyakarta: Pura
Pustaka.
Held, Virginia. (1984). Etika Moral; Pembenaran Tindakan Sosial (alih
bahasa Y. Ardy Handoko). Jakarta: Erlangga.
Holmes, Robert L. (1998). Basic Moral Philosophy. Belmont, CAWashington: Wadsworth Publishing Company.
Imam Muhni, Djuretno A. (1999). Moral dan Religi Menurut Emile
Durkheim dan Henri Bergson. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Karabel and Halsey, editors. (1977). Power and Ideology in Education.
New York: Oxford University Press.
Kohlberg, Lawrence. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Moral
(Terjemahan John de Santo dan Agus Cremes SVD). Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Krippendorff, Klaus. (1980). Content Analysis ; An Introduction to Its
Methodology. Baverly Hills-London: Sage Publications.
76
Kurtiness, William M. dan Jacob L. Gerwitz. (1992). Moralitas, Perilaku
Moral dan Perkembangan Moral, alih bahasa M.I. Soelaeman.
Jakarta: UI Pres.
Latif, Yudi. (2009). “Prasyarat Karakter Kepresidenan”. Artikel. Jakarta:
Harian Kompas, 9 Juni
Lickona, Thomas., editor. (1976). Moral Development and Behavior:
Theory; Research and Social Issues. New York: copyright by Holt,
Rinehart, and Winston.
Maarif, Ahmad Syafii. (2004). “Pendidikan dan Peningkatan Kualitas
Moral Bangsa”, Pidato Ilmiah Pada Dies Natalis XXXIX FIS
Universitas Negeri Yogyakarta, 14 September 2004.
Magnis Suseno, Franz. (1987). Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok
Filsafat Moral. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
May, Larry., et al. (1998). Applied Ethics; A Multicultural Approach.
London-Rio de Janairo: Prentice Hall.
Miles, Matthew B. and Michael Huberman. (1985). Qualitative Data
Analysis. London-New Delhi : Sage Publications Beverly Hills.
Moedjanto, G. (1994). Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman; Tinjauan Historis Dua Praja Kejawen, Antara 17551992. Yogyakarta: Kanisius
Moleong, Lexy J. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Muchson AR. (2000). Dasar-Dasar Pendidikan Moral (Diktat Kuliah).
Yogyakarta: Jurusan PKn FIS UNY.
Mulder, Niels. (1984). Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa.
Jakarta: PT Gramedia.
_____________. (2009).
Yogyakarta: LKiS
Mistisisme
Jawa;
Ideologi
di
Indonesia.
Mulyana, Deddy. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:
Penerbit Alfabeta.
77
Muslich KS. (2005). Moral Islam dalam Serat Piwulang Paku Buwana IV.
Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
___________. (2007). Pendamping Kalbu dalam Islam dan Pesan Moral
Budaya Jawa. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitiatif. Bandung:
Penerbit Tarsito.
Nurhajarini, Dwi Ratna., dkk. (1999). Sejarah Kerajaan Tradisional
Surakarta. Jakarta: Dit Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen
Kebudayaan, Depdikbud.
Reimer, Joseph., et al. (1989). Promoting Moral Growth From Piaget to
Kohlberg. New York & London: Longman.
Parkay, Forrest W. and Beverly Hardcastle Stanford. (1998). Becoming A
Teacher. Boston-Singapore: Allen and Bacon.
Poespaningrat, Pranoedjoe. (2008). Kisah Para Leluhur dan Yang
Diluhurkan; Dari Mataram Kuno Sampai Mataram Baru.
Yogyakarta: BP Kedaulatan Rakyat.
Poespoprodjo. (1986). Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek.
Bandung: Remadja Karya.
Purwadi. (2001). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Penerbit Alif.
Ranggawarsita, R. Ng. (1987). Serat Cemporet. (Terjemahan Sudibyo Z.
Hadisutjipto). Jakarta: Balai Pustaka.
Ringness, Thomas A. (1975). The Affective Domain in Education. BostonToronto: copyright by Little, Brown, and Company.
Roestandi dkk, Achmad. (1988). Pendidikan Pancasila. Bandung : CV.
Armico.
Roger F & Daniel S. (2008). Keajaiban Emosi Manusia (Quantum Emotion
for Smart Life) (alih bahasa Agus CH). Yogyakarta: Penerbit Think.
Syahnakri, Kiki (2009). “Harapan kepada Anggota Baru DPR”. Artikel.
Jakarta: Harian Kompas, 2 Juni.
78
Soeratman, Darsiti. (1989). Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 18301939. Yogyakarta: Penerbit Tamansiswa.
Soetarno. (1989). Mardi Jawi. Surakarta: Penerbit Widya Duta.
Simon, Hasanu. (2004). Misteri Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Subagya, Ki Sugeng. (2009). ”Revitalisasi Pendidikan Watak”. Artikel.
Jakarta: Harian Kompas, 23 Mei.
Suwarno. (2008). Sekar
Yogyakarta: UNY.
Macapat
(Bahan
Diklat
Profesi
Guru).
Tjahjadi, Lili. (2001). Hukum Moral; Ajaran Immanuel Kant tentang Etika
dan Imperatif Kategoris. Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung MuliaPenerbit Kanisius.
Triyuwono, Iwan. (2008). ”Pendidikan Berbasis Hati Nurani”. Artikel.
Surabaya: Harian Jawa Pos, 3 Mei.
Wasesowinoto, KRT. (2006). Karaton Mataram; Mataram Hindu dumugi
Majapahit. (Tutuge : Karaton Surakarta HSKS Paku Buwana
II,III,IV,V) (Diktat). Yogyakarta : Tanpa penerbit.
Widjaja, A.W. (1985). Pedoman Pokok-Pokok dan Materi Perkuliahan
Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo.
Wintolo, Joko. (2001). ”Kecerdasan Spiritual”. Artikel. Yogyakarta: Harian
Kedaulatan Rakyat, 14 November.
Zuhdi, Darmiyati. (1993). Panduan Penelitian Analisis
Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP YOGYAKARTA.
Konten.
___________________.
(2001). “Pendekatan Pendidikan Nilai Secara
Komprehensif Sebagai Suatu Alternatif Pembentukan Akhlak
Bangsa”. Makalah Seminar. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY,
11 Juni 2001.
Harian Jawa Pos-Radar Jogja, 2 Desember 2003; 3 Mei 2008.
Harian Kompas, 10 Mei 2009; 22 Mei 2009; 2 Juni 2009; 11 September
2009.
Majalah Kognisia, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi UII,
No. 02 Tahun II/September 2000.
79
Ekstra 1 :
KOMPAS
KAMIS, 24 AGUSTUS 2009
PENELITIAN ILMIAH
Serat Kalatidha Raih Medali Emas
YOGYAKARTA, KOMPAS.
Mengangkat Serat Kalatidha karya Raden Mas Ngabehi
Ronggowarsito, murid SMA Negeri 1 Yogyakarta, Yan Restu Freski,
berhasil meraih medali emas dalam Lomba Penelitian Ilmiah Remaja
Tingkat Nasional 2009. Selain dari sisi sastra, penelitian karya sastra
Jawa abad ke-19 itu juga mengkaji relevansinya dengan kondisi
masyarakat di zaman ini.
‘Orang bilang Serat Kalatidha adalah ramalan. Tapi sebenarnya,
karya ini merupakan gambaran keadaan di zaman saat serat itu
ditulis”, tutur Restu (17), Rabu (2/8) di SMAN 1 Yogyakarta.
Karya sastra itu ditulis dalam masa hidup Raden Mas Ngabehi
Ronggowarsito, yaitu antara tahun 1802-1873. Salah satu baitnya yang
paling terkenal menyebutkan tentang datangnya zaman kacau atau
zaman edan di mana kondisi negara morat-marit, moral masyarakat
merosot, korupsi merajalela, dan orang lupa akan petuah
kebijaksanaan leluhur.
Pelajar kelas XII Internasional II itu menerangkan, meskpun telah
ratusan tahun lalu ditulis, karya tersebut masih relevan untuk zaman
ini. Kumpulan puisi Jawa tersebut mengandung petuah moral agar
orang bisa tetap ingat pada nilai-nilai kebenaran dan waspada sehingga
tidak terseret oleh arus zaman.
Selain medali emas di Lomba Penelitian Ilmiah Remaja 2009 ..... dst.
(IRE).
80
Ekstra 2 :
Buku Baru
* Judul Buku : PENDIDIKAN KARAKTER – Di Zaman Keblinger;
Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidikan
Karakter, *Penulis : Doni Koesoema A, *Penerbit : Grasindo, *Cetakan
I : 2009, *Tebal : XVI + 216 halaman.
81
Download