KANDUNGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SERAT WULANG REH Oleh: Muchson AR Prodi PKn-FISE UNY BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dalam sistem persekolahan selama ini lebih menekankan pengembangan kemampuan intelektual akademis dan kurang memberi perhatian pada aspek yang sangat fundamental, yakni pengembangan karakter (watak). Sedangkan karakter itu merupakan aspek yang sangat penting dalam penilaian kualitas sumber daya manusia. Seseorang dengan kemampuan intelektual yang tinggi dapat saja menjadi orang yang tidak berguna atau bahkan membahayakan masyarakat jika karakternya rendah. Oleh sebab itu pendidikan karakter seharusnya ditempatkan sebagai bagian penting dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah merumuskan : ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Akan tetapi dalam hal pembentukan watak (karakter), rumusan yang bersifat normatif tersebut tidak secara nyata diimplementasikan dalam kurikulum maupun kebijakan pendidikan nasional kita. 1 Berbagai kasus yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, yang hal itu sekaligus menunjukkan rendahnya karakter, telah sedemikian marak dalam masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi, perbuatan itu tidak sedikit melibatkan orang-orang yang terdidik. Ini menunjukkan bahwa pendidikan kurang berhasil dalam membentuk watak (karakter) yang terpuji. Dalam kondisi yang demikian, kiranya cukup relevan untuk diungkapkan kembali “paradigma lama” tentang pendidikan, yakni pendidikan sebagai pewarisan nilai-nilai. Warisan nilai-nilai budaya masa lalu itu tidak sedikit yang merupakan nilai-nilai moral. Paradigma pendidikan seperti itu sering dianggap kuno, konservatif, dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Namun hal itu tidak berarti bahwa nilai-nilai warisan masa lalu, lebih-lebih nilai-nilai moral dan sopan santun, adalah sesuatu yang usang dan harus dibuang. Serat Wulang Reh, sebuah buku kumpulan tembang karya Susuhunan Paku Buwana IV [1768-1820, naik tahta 1788] adalah warisan budaya yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang sangat berharga. Kandungan nilai-nilai moral itu sangat relevan untuk diteliti dan diungkapkan kembali dalam situasi masyarakat yang moralitasnya carut marut seperti sekarang ini. Nilai-nilai moral dalam Surat Wulang Reh itu sangat berguna untuk pengembangan pendidikan karakter yang saat ini sering diwacanakan. Serat Wulang Reh dapat memberikan sumbangan dan menjadi tawaran alternatif bagi upaya perbaikan moralitas bangsa. B. Identifikasi Masalah Terdapat banyak masalah yang dapat diidentifikasi dalam kajian tentang kandungan nilai-nilai pendidikan karakter Serat Wulang Reh. Berbagai masalah yang dapat diidentikasi di sini adalah : 1. Masih kurang dikenalnya Serat Wulang Reh serta sosok pribadi Paku Buwana IV sebagai pengarangnya. 2 2. Masih kurangnya pengungkapan nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh. 3. Masih belum jelasnya makna nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh. 4. Masih belum adanya pengklasifikasian nilai-nilai moral yang bersifat universal dan yang bersifat kultural dari kandungan Serat Wulang Reh. 5. Masih belum diungkapkannya kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi munculnya Serat Wulang Reh. 6. Masih belum diungkapkannya kondisi politik di sekitar karaton Surakarta yang melatarbelakangi munculnya Serat Wulang Reh. C. Pertanyaan Penelitian Dari beberapa masalah yang diidentifikasi tersebut, pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah buku Serat Wulang Reh itu dan siapakah sosok pribadi Paku Buwana IV, pengarang buku tersebut? 2. Apa saja nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh? 3. Apa makna nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh? D. Tujuan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analisis isi (content analysis). Sebagaimana dikemukakan Carney (1972) yang dikutip oleh Darmiyati Zuchdi (1993: 12), tujuan penelitian analisis isi dibedakan menjadi dua, yaitu : deskriptif dan inferensial. Sejalan dengan pendapat tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengenal buku Serat Wulang Reh dan sosok pribadi Paku Buwana IV, pengarang buku tersebut. 3 2. Mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh. 3. Mengungkapkan makna nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Secara teoritis bermanfaat bagi uapaya pengembangan konsep isi pendidikan karakter yang memuat ajaran-ajaran moral, yang antara lain bersumber pada sosio kultural bangsa. 2. Secara praktis bermanfaat bagi para guru, pemuka masyarakat, pemimpin formal maupun warga masyarakat pada umumnya yang memerlukan acuan dalam internalisasi nilai-nilai moral guna pembentukan karakter. 4 BAB II KAJIAN TEORITIK A. Pemahaman tentang Nilai Sejak zaman Yunani Kuno, nilai sudah dibicarakan dalam kerangka filsafati. Nilai sudah ditempatkan dalam hierarki ide atau gagasan pemikiran. Hakikat kebenaran, kebaikan, dan keindahan sudah menjadi objek pemikiran secara mendalam (radikal). Pada akhir abad ke-19 kajian tentang nilai semakin mantap menjadi salah satu bidang filsafat yang disebut aksiologi (filsafat nilai). Persoalan aksiologi meliputi nilai logis (benar-salah), nilai etis (baik-buruk), dan nilai estetis (indah-tidak indah). Namun beberapa ahli, termasuk Fraenkel (1977: 6), mengatakan bahwa the study of values ussually is divided into the areas of aesthetics and ethics. Jadi, persoalan aksiologi hanya meliputi estetika dan etika. Dalam pembagian cabang-cabang filsafat, etika merupakan salah satu cabang filsafat yang membicarakan persoalan moral atau tingkah laku yang baik. Nilai (value) adalah harga atau penghargaan yang melekat pada suatu objek. Fraenkel (1977: 6) mengatakan tentang nilai sebagai berikut. a value is an idea –a concept- about what someone thinks is important in life. When a person values something, he or she deems it worthwhile –worth having, worth doing, or worth trying to obtain. 5 Seorang antropolog melihat nilai sebagai ‘harga’ yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan dan lain-lain. Menurut Kuperman (1983), seorang sosiolog, nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya. Menurut Gordon Allport (1964), ahli psikologi kepribadian, nilai adalah keyakinan yang mendorong tindakan dan pilihan seseorang. Dalam psikologi, keyakinan ditempatkan pada hierarki tertinggi di atas hasrat, motif, sikap, keinginan, dan kebutuhan (Rohmat Mulyana, 2004: 7-9). Selain pengertian, pemahaman yang lebih pelik tentang nilai menyangkut kompleksitas nilai, baik mengenai macam-macam nilai, konflik nilai, hierarki nilai dan lain-lain. Adanya bermacam-macam nilai dapat menimbulkan dilema nilai atau bahkan konflik nilai. Konflik nilai dapat terjadi dalam hubungan antar individu dan dapat juga hanya terjadi dalam diri seorang individu. Fraenkel (1977: 9) mengatakan : ’value conflict may not only be interpersonal (between individuals), but also intra personal- within one person’. Dengan memahami hierarki nilai, maka ketika seeorang dihadapkan pada konflik nilai, yang kadangkadang memaksanya untuk melakukan pilihan nilai, ia akan tahu nilai mana yang lebih tinggi tingkatannya. Menurut Max Scheler, sebagaimana dikutip oleh Rohmat Mulyana (2004: 38-39), hierarki nilai dapat dikelompokkan ke dalam empat tingkatan, yaitu : 1. Nilai kenikmatan. Pada tingkatan ini terdapat sederetan nilai yang menyenangkan atau sebaliknya, yang kemudian orang merasa bahagia atau menderita. 2. Niliai kehidupan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, misalnya kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum dan seterusnya. 3. Nilai kejiwaan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani atau lingkungan. 6 Nilai-nilai semacam ini adalah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat. 4. Nilai kerohanian. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang suci, yang sumber utamanya dari nilai ketuhanan sebagai nilai tertinggi. Hierarkhi nilai itu ditetapkan urutannya oleh Scheler dengan menggunakan empat kriteria, yaitu : semakin bertahan lama, semakin tinggi tingkatannya; semakin dapat dibagikan dengan tanpa mengurangi maknanya, semakin tinggi nilainya; semakin tidak tergantung pada nilai-nilai lain, semakin tinggi esensinya; semakin membahagiakan, semakin tinggi fungsinya. Tentang macam-macam nilai, ada beberapa penggolongan, klasifikasi, atau kategori nilai, yang kadang-kadang tidak jelas dasar penggolongannnya. Notonagoro mengemukakan tiga macam nilai, yaitu (1) nilai material, (2) nilai vital, dan (3) nilai kerohanian yang meliputi (a) nilai kebenaran, (b) nilai keindahan, (c) nilai kebaikan, dan (c) nilai relegius, yang merupakan nilai tertinggi dan bersifat mutlak (Roestandi, 1988: 38-39). Ada yang menyebut klasifikasi nilai itu meliputi : nilai terminal dan nilai instrumental; nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik; nilai personal (pribadi) dan nilai sosial. Selain itu ada yang menyebut kategori nilai itu meliputi nilai teoritis, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama (Rohmat Mulyana, 2004: 25-35). Jika mengacu pada term klasifikasi nilai, ada pula yang menyebut nilai fundamental, nilai instrumental, dan nilai praksis. Jika mengacu pada term kategori nilai, masih banyak macam yang belum disebut, antara lain nilai moral (etis), nilai historis, nilai sosiologis, nilai psikologis, nilai kultural dan sebagainya. Di antara bermacam-macam nilai tersebut, nilai moral menempati posisi yang sangat tinggi dalam hierakhi nilai. B. Pendidikan Moral Sebagai Inti Pendidikan Karakter 7 Kata ’moral’ sering disinonimkan dengan kata-kata : akhlak, budi pekerti, atau susila (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1989: 592). Poespoprodjo (1986: 102) menyatakan bahwa moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian baik-buruknya perbuatan manusia. Widjaja (1985: 154) mengatakan bawa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau kelakuan. Persoalan moral dalam pembahasan etika meliputi tata susila dan tata sopan santun. Tata susila mendorong orang untuk berbuat baik, karena hati nuraninya mengatakan baik. Dengan demikian nilai-nilai kesusilaan itu bersumber dari hati nurani manusia yang sifatnya universal. Adapun tata sopan santun mendorong untuk berbuat, terutama yang bersifat lahiriah, tidak bersumber dari hati nurani, melainkan untuk sekedar menghargai orang lain dalam pergaulan. Dengan demikian nilai-nilai kesopanan bersumber lingkungan sosial yang sifatnya kultural-kontekstual. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah moral sering dikacaukan dengan etika. Secara akademis, etika adalah filsafat moral atau setidaktidaknya ilmu tentang moral. Dengan demikian etika itu berada pada wilayah teoritis, bukan berada pada wilayah praksis. Moral pun dapat berada pada wilayah teoritis, jika yang dimaksud adalah filsafat moral, ajaran moral, atau konsep moral, bukan perilaku atau sikap moral. Berbicara tentang etika, Musa Asya’ari (2002: 117-129) mengemukakan macam-macam etika yang meliputi : etika hubungan manusia dengan Tuhan, etika hubungan manusia dengan sesamanya, etika hubungan manusia dengan alam, dan etika hubungan manusia dengan ciptaannya. Konsep moral yang bersumber dari berbagai literatur Barat perlu dikritisi, agar tidak menyesatkan. Pandangan Barat tentang moral berkembang seiring dengan sejarah perkembangan intelektual mereka. Lahirnya abad modern yang diawali dengan zaman renaisans dan 8 disusul dengan zaman afklarung membawa perubahan besar dalam pemikiran manusia, bukan saja dalam pemikiran intelektual, namun juga dalam pemikiran moral. Pemikiran intelektual Barat yang membawa kemajuan luar biasa di bidang sain berbasis pada pandangan yang bersifat naturalistik-sekularistik, rasionalistik, empiris, relativistik, dan probabelistik. Basis pandangan tersebut juga mendasari pemikiran mereka tentang moral. Dalam pandangan modern, baik dan buruk itu merupakan persoalan duniawi, naturalistik, dan sekularistik semata. Baik dan buruknya suatu perbuatan didasarkan atas pertimbangan rasional dan kenyataan empirisnya. Jika secara rasional dianggap baik dan secara empiris terbukti baik, maka baik lah tindakan itu. Dengan demikian sifatnya relatif, tidak absolut, dan probabelistik, sehingga tidak ada kepastian moral. Anggapan yang bersifat relatif itu juga mempunyai konotasi bahwa moral itu bersifat kultural, kontekstual, bahkan kondisional dan individual. Dalam tradisi Timur, jika persoalan etis yang direlatifkan itu sebatas persoalan kesopanan, hal itu dapat diterima. Akan tetapi jika persoalan etis yang direlatifkan itu juga menyangkut kesusilaan, hal itu tentu harus ditolak (Muchson AR, 2000: 13-15). Berbicara tentang pendidikan moral pada dasarnya menyangkut proses internalisasi nilai-nilai moral. Jika nilai-nilai moral itu berhasil diinternalisasikan dalam diri seseorang, maka nilai-nilai itu akan menjadi norma atau acuan hidup yang menuntun sikap dan tindakan seseorang. Pendidikan moral ini lah yang merupakan inti dan wajah utama pendidikan pada masa awal perkembangannya. Dengan demikian, jika orang berbicara tentang pendidikan, pendidik, orang yang terdidik, maka gambaran yang paling menonjol adalah aspek moralitas, kepribadian, karakter dan sebagainya. Pendidik dan orang yang terdidik dianggap identik dengan orang yang moralitasnya tinggi. Bahwa pendidikan moral merupakan inti pendidikan dikemukakan oleh Downey & Kelly (1978: 8) sebagai berikut. 9 From earleist times in educational theory and practice moral education has been seen as the very core of the educational process, and moral upbringing has been regarded, almost without question, as the central feature of education itself”. Pandangan semacam itu sering dianggap tidak sejalan dengan paradigma pendidikan modern, yakni pendidikan untuk perubahan. Menurut pandangan modern, pendidikan yang fungsional adalah pendidikan yang mampu menjawab tantangan masa kini dan tantangan masa depan. Memang, paradigma pendidikan di masa lalu bukanlah pendidikan untuk perubahan, bahkan sebaliknya, yakni pendidikan untuk pewarisan dan pelestarian nilai-nilai. Durkheim, seorang ahli sosiologi moralitas menyebutnya sebagai the conservation of a culture inherited from the past (Bourdieu dalam Karabel and Halsey, 1977: 488). Meskipun paradigma pendidikan sebagai pewarisan dan pelestarian nilai-nilai itu dianggap kuno atau konservatif, namun pendidikan seperti itu sangat relevan untuk solusi perbaikan moralitas bangsa. Di Amerika Serikat sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Kirschenbaum yang dikutip oleh Darmiyati Zuchdi (2001: 1-2), sejak sebelum tahun 1990 telah dikembangkan pendidikan moral yang bagus, untuk mengajarkan nilai-nilai tradisional, dengan dukungan para orang tua, pemuka agama, guru, dan politisi. Usaha itu guna mengatasai masalah minuman keras, kriminilitas, kekerasan, disintegrasi keluarga, meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri dan remaja putri yang mengandung, menurunnya tanggung jawab masyarakat, tumbuhnya pertentangan rasial dan etnis, serta tidak terkendalinya jumlah skandal pada tahun 1980-an. Pendidikan moral atau internalisasi nilai-nilai moral inilah yang menjadi esensi dari pendidikan karakter (watak). Hakikat pendidikan karakter tidak lain adalah penanaman nilai-nilai moral, baik moral kesusilaan maupun kesopanan. Parkay and Stanford (1998: 280) 10 mengemukakan kaitan antara pembelajaran nilai, (penalaran) moral, dan pendidikan karakter sebagi berikut. One approach to teaching values and moral reasoning is known as character education, a movement that stresses a development of students “good character”. Yudi Latif menyatakan bahwa karakter mencerminkan kepribadian seseorang atau sekelompok orang yang terkait dengan basis moralitas, kekhasan kualitas, serta ketegaran dalam krisis. Ia merupakan jangkar jati diri karena merupakan aspek evaluatif yang menentukan sikap dasar manusia terhadap diri dan dunianya (Kompas, Selasa 9 Juni 2009). Karakter memang mencerminkan kepribadian yang berkaitan dengan moralitas, namun kualitas moralnya itu sedemikian khas, sehingga berbeda kualitas dengan orang lain atau kelompok masyarakat yang lain. Dengan kekhasan kualitas moralnya itu, misalnya sangat kuat atau di atas rata-rata, seseorang atau suatu kelompok masyarakat akan mampu tegar dalam menghadapi krisis. Sementara itu Edgar F Puryear Jr, sebagaimana dikutip oleh Kiki Syahnakri, menyatakan dalam American Generalship bahwa character is everything bagi seorang pemimpin. Pentingnya karakter dinyatakan dalam adagium klasik, “If the wealth is lost, nothing lost. If the health is lost, something is lost. If the character is lost, everything is lost” (Kompas, Selasa 2 Juni 2009). Pendidikan karakter yang esensinya adalah internalisasi nilai-nilai moral termasuk dalam pengembangan domain afektif. Domain afektif berkaitan dengan aspek batiniah (the internal side) yang tidak dapat diamati, maka dalam pemahamannya sering ditemukan konsep yang tumpang-tindih. Domain afektif berhubungan dengan perasaan, emosi, rasa senang-tidak senang, apresiasi, sikap, nilai-nilai, moral, karakter dan lain-lain. Adanya tumpang-tindih konsep terlihat dalam pendapat Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai berikut. The affective domain includes all behavior connected with feelings and emotions. Thus, as was earlier stated, emotions, 11 tastes and preferences, appreciations, attitudes and values, morals and character, and aspects of personality adjustment or mental health are included. Proses internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif meliputi beberapa jenjang dan jenjang afeksi yang paling dalam adalah karakterisasi (pembentukan karakter). Krathwohl dkk (1964) mengemukakan Taksonomi Domain Afektif yang cakupannya secara hirarkhis meliputi (1) Receiving, (2) Responding, (3) Valuing, (4) Organization, and (5) Characterization (Bloom, et al, 1981: 301-302; Ringness, 1975: 21). Dengan demikian, karakterisasi adalah proses internalisasi nilai yang telah mencapai tingkatan paling tinggi atau paling dalam. Penghayatan terhadap suatu nilai jika telah sampai pada tingkatan yang sangat dalam, maka nilai itu telah mengkarakter atau menjadi penanda khas kepribadian orang yang bersangkutan. Internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif siswa melalui jalur pendidikan formal bukan merupakan persoalan yang mudah. Persoalannya bukan semata-mata terletak pada persoalan pedagogis yang prosesnya memang rumit, tetapi lebih terkait dengan persoalan kebijakan dan kemampuan implementasinya. kognitif, afektif, dan Secara formal psikomotor pengembangan sudah kerap kali dirumuskan dalam kebijakan pendidikan di Indonesia, setidak-tidaknya dalam kebijakan yang bersifat umum. Wacana tentang pengembangan kemampuan afektif juga sering disinggung dalam berbagai forum pendidikan. Namun kemudian, semua itu tidak jelas implementasinya. Dalam kenyataannya, kuatnya penekanan pada pengembangan kognitif dan lemahnya pengembangan afektif sangat mewarnai praktik-praktik pendidikan kita selama ini. Kenyataan ini sesuai dengan persoalan yang diangkat oleh Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai berikut. One finds affective behavior in any school situation –indeed, in any situation- but compared to cognitive learning, relatively little 12 affective learning has been deliberately introduced into the curriculum. Keseimbangan antara ketiga aspek tersebut sangat penting, setidaktidaknya aspek kognitif dan afektif, guna membangun kepribadian yang lebih utuh. Berbagai ketimpangan sosial yang muncul selama ini, jika dirunut akar permasalahannya, sangat mungkin disebabkan karena ketidakseimbangan itu. William Chang dalam artikelnya yang berjudul Normalisasi Sosial menyatakan bahwa sebuah proses normalisasi sangat diperlukan karena seluruh globus sedang sakit dan mengalami great warning. Asas normalisasi sosial itu ditemukan dalam hati (heart) dan pikiran (head) setiap manusia yang berkehendak baik untuk mereformasi tatanan sosial yang menderita sakit melalui usaha terkecil dalam lingkup hidup masing-masing (Kompas, 22 Desember 2008). 13 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian dan Langkah-Langkah Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analisis isi (content analysis), yakni penelitian yang berusaha mengungkapkan isi buku, naskah, dokumen dan lain-lain. Krippendorff (1980: 22) mengatakan bahwa analisis isi dapat dikarekterisasikan sebagai metode penelitian yang berusaha menangkap makna simbolik pesan-pesan. Makna simbolik pesan-pesan itu diungkapkan dari data yang ditemukan dalam buku, naskah, atau dokumen yang diteliti. Dalam penelitian ini, analisis isi dilakukan terhadap Serat Wulang Reh, yang direproduksi dalam : 1. Buku Serat Wulang Reh, tanpa nama penulis, terbitan Toko Buku Indah Jaya Surakarta, tahun 1977. 2. Buku Serat Wulang Reh Anggitan Sri Paku Buwana IV, yang ditulis oleh Darusuprapto, Penerbit Citra Jaya Surabaya, tahun 1982. Langkah-langkah penelitian analisis isi yang dilakukan menurut rancangan Krippendorff (1980: 61) meliputi : 1. Pengadaan data : a. Unitisasi b. Sampling 14 c. Pencatatan 2. Reduksi data 3. Penarikan inferensi 4. Analisis Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada rancangan tersebut, dengan sedikit penyesuaian. Sampling tidak dilakukan dalam penelitian ini karena setiap unit macam tembang (pupuh) tidak dapat mewakili populasi. Demikian pula setiap bait (pada) tidak dapat mewakili macam tembang (pupuh) tertentu. Dengan demikian, penelitian ini bukan merupakan penelitian sampel, melainkan penelitian populasi. Reduksi data dilakukan secara fleksibel pada setiap langkah penelitian, terutama ketika deskripsi data berlangsung. Penarikan inferensi diintegrasikan dalam langkah analisis, yakni ketika analisis inferensial. Langkah lain yang perlu dilakukan adalah validitas data, yang meskipun tidak dicantumkan dalam deskripsi langkah-langkah penelitian, namun oleh Krippendorff juga ditekankan pentingnya langkah tersebut (1980: 159166). Langkah uji validitas data dilakukan mengiringi langkah analisis data. Dengan demikian langkah-langkah penelitian ini meliputi : pengadaan data, validitas data, dan analisis data. B. Pengadaan Data Darmiyati Zuchdi (1993: 14) mengatakan bahwa kelebihan penelitian analisis isi adalah telah tersedianya data yang akan dianalisis, sehingga tidak terkontaminasi oleh kesalahan prosedur pengumpulan data. Dalam penelitian ini data sudah tersedia di dalam kedua buku Serat Wulang Reh tersebut. Data tersebut berupa kata-kata yang bernilai pendidikan karakter, yang tersebar di setiap macam tembang (pupuh), sehingga merupakan data yang tak terstruktur. Dalam proses 15 pengadaan data, oleh karena datanya sudah tersedia, maka kegiatan yang dilakukan adalah penentuan unit dan pencatatan. 1. Penentuan unit dalam penelitian ini meliputi unit referensi, unit sintaksis, dan unit tematik. a. Unit referensi diberi batasan menurut objek, kejadian, pribadi, tindakan, negara, atau ide yang dirujuk oleh suatu ungkapan. Unit ini untuk menemukan profil-profil kelompok individu, seperti pahlawan, guru, atau suku (Krippendorff, 1980: 61). Dalam penelitian ini unit referensi dibatasi pada Serat Wulang Reh sebagai sebuah ide dan Paku Buwana IV sebagai pribadi pengarangnya. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran profil Serat Wulang Reh dan Paku Buwana IV. b. Unit sintaksis berkaitan dengan tata bahasa dari suatu medium komunikasi. Unit ini tidak menghendaki judgement makna. Unit sintaksis yang paling kecil adalah kata (Krippendorff, 1980: 61). Unit yang lebih besar adalah frasa, kalimat, paragraf, dan wacana (Darmiyati Zuchdi, 1993: 30). Dalam penelitian ini, unit sintaksisnya adalah kata-kata yang bernilai pendidikan karakter yang tersebar di semua macam tembang (pupuh). c. Unit tematik diidentifikasi berdasar definisi struktural isi. Unit tematik yang satu dengan yang lain dibedakan berdasarkan landasan konseptualnya (Krippendorff, 1980: 62). Dalam penelitian ini, unit tematiknya didasarkan pada konsep yang mengklasifikasikan nilai menjadi nilai pribadi dan nilai sosial (Rohmat Mulyana 2004: 30) serta konsep tentang macam-macam etika, yang meliputi : etika hubungan manusia dengan Tuhan, etika hubungan manusia dengan sesamanya, etika hubungan manusia dengan alam, dan etika hubungan manusia dengan ciptaannya (Musa Asya’ari, 2002: 117-129). Dengan mengadaptasi kedua landasan konseptual itu dikembangkan empat unit tematik, yaitu : tema etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang 16 Maha Kuasa, dan etika khas Jawa. Struktur isi nilai-nilai pendidikan karakter dalam Serat Wulang Reh terdiri dari empat unit tematik tersebut. 2. Pencatatan dilakukan terhadap semua kata yang bernilai pendidikan karakter yang tersebar di semua macam tembang (pupuh). Kata-kata yang bernilai pendidikan karakter tersebut tidak lain adalah katakata tentang moralitas atau budi pekerti. Semua kata itu dicatat dalam catatan unit sintaksis. Selanjutnya semua kata dalam catatan unit sintaksis itu dikelompokkan ke dalam unit-unit tematik yang relevan, yaitu tema etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan etika khas kultural Jawa. C. Validitas Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas semantik dan validitas prediktif. Validitas semantik dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan dalam mengartikan setiap kata yang telah dicatat dalam unit sintaksis. Data yang berupa kata-kata dalam Bahasa Jawa tersebut semua diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga dapat lebih diketahui apakah kata-kata itu bernilai pendidikan karakter atau tidak. Validitas prediktif dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan dalam memaknai secara mendalam (prediksi makna) kata-kata yang sudah dikelompokkan dalam unit tematik. Untuk mendapatkan validitas semantik dan validitas prediktif digunakan rujukan buku atau tulisan tentang Bahasa Jawa, moralitas Jawa, dan falsafah Jawa. Selain itu juga dilakukan validasi dan konsultasi dengan seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang bahasa dan satra Jawa, yaitu Bapak H. Mitrasuwarno B.A., 87 tahun, pensiunan penilik sekolah, mantan guru Bahasa Jawa di salah satu SPG swasta, ahli kerawitan, yang mengenyam pendidikan sekolah guru di masa Hindia Belanda (Kwick School). 17 D. Analisis Sesuai dengan tujuan penelitian, analisis isi dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif dilakukan terhadap data kata-kata yang bernilai pendidikan karakter yang sudah dicatat dalam unit sintaksis. Dalam deskripsi itu data dideskripsikan menjadi dua kategori, yaitu karakter yang baik dan karakter yang buruk. Analisis inferensial atau pemaknaan dilakukan terhadap data kata-kata yang bernilai pendidikan karakter yang sudah dikonstruk ke dalam unit tematik. Menurut Darmiyati Zuchdi (1993: 15; 23; 53), tidak ada aturanaturan yang pasti untuk membuat inferensi. Namun yang perlu diperhatikan dalam inferensi adalah : (1) tidak mengurangi makna simboliknya, dan (2) menggunakan konstruk analisis yang menggambarkan konteks data. Dikemukakan pula, logika inferensi itu didasarkan pada suatu kerangka teoritis dan merupakan penuntun bagi peneliti dalam membuat kategori-kategori. Logika inferensi dikonstruk menjadi kategori-kategori itu merupakan standar yang untuk menganalisis data. Lebih lanjut ditegaskan bahwa inferensi dalam analisis isi bersifat kontekstual, sehingga peneliti tidak mungkin mengabaikan konteks, baik konteks tempat, waktu, dan situasi berlakunya suatu peritiwa. Dalam penelitian ini, logika inferensi didasarkan pada kategorikategori tema yang meliputi empat unit tematik, yaitu tema : etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan etika khas Jawa. Analisis inferensial dilakukan dengan memilah-milah nilainilai pendidikan karakter dalam Serat Wulang Reh menjadi empat kategori tersebut. Dalam analisis inferensial itu juga dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu, baik yang bersifat historis, sosiologis, maupun kultural, agar diperoleh makna yang lebih mendalam. 18 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Serat Wulang Reh Sebagai Tembang Macapat Pada bagian akhir Serat Wulang Reh dinyatakan bahwa buku tersebut selesai ditulis pada hari Ahad Kliwon, 19 Besar Tahun Dal, dengan candra sangkala yang berbunyi tata guna swareng nata. Candra sangkala tersebut merupakan bahasa sandi, cara membacanya dari belakang, yang menunjukkan angka tahun Jawa 1735 bertepatan dengan tahun Masehi 1808 (Harsono, 2005: 17). Serat Wulang Reh ditulis dalam bentuk tembang, sebagaimana dinyatakan dalam pupuh Girisa pada/bait 22, yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Mulane sun muruk marang kabehing hatmajaningwang sun tulis sun wehi tembang darapon padha rahapa hanggone padha hamaca sarta ngrasakken carita haja bosen den hapalna hing rina wengi helinga Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Maka saya menasehati pada semua anakku saya tulis, saya beri tembang 19 agar kalian lahap dalam kalian membaca serta merenungkan isi cerita (nasehat) jangan bosan dan hafalkan hendaknya kalian ingat siang dan malam Naskah asli Serat Wulang Reh ditulis dengan tulisan tangan dalam huruf Jawa, sehingga sangat mungkin hanya ada satu buah naskah dan tidak mudah didapatkan. Selain itu juga tidak mudah untuk membacanya secara tuntas, kecuali oleh para ahli. Dengan demikian buku-buku Serat Wulang Reh yang beredar hingga saat ini merupakan hasil reproduksi. Menurut Darusuprapto (1982: 11-12), hanya ada enam buku cap-capan (cetakan atau terbitan) yang ia ketahui, yaitu : (1) capcapan Tuan Vogel der Heyder ing Surakarta tahun 1900; (2) cap-capan Gr. C.T. Van Dorp & Co Semarang-Surabaya tahun 1913; (3) cap-capan KolffBuning Jogja tahun 1937; (4) cap-capan Penerbit Sabubudi Sala; (5) capcapan Penerbit Tan Khoen Swie Kediri; (6) Wulang Reh Winardi cap-capan Percetakan M.K. Sala. Adapun buku reproduksi Serat Wulang Reh yang diteliti dalam penelitian ini, sebagaimana dikemukakan pada Bab III, adalah : (1) Buku Serat Wulang Reh, tanpa nama penulis, terbitan Toko Buku Indah Jaya Surakarta, tahun 1977; dan (2) Buku Serat Wulang Reh Anggitan Sri Paku Buwana IV, yang ditulis oleh Darusuprapto, terbitan Penerbit Citra Jaya Surabaya, tahun 1982. 20 Keterangan : Copy bagian paling depan naskah asli Serat Wulang Reh (Darusuprapto, 1982: 94). Meskipun hasil reproduksi, isi tembang dalam buku-buku itu hampir sepenuhnya sama, karena sudah sangat baku. Oleh karena sedemikian bakunya isi tembang itu, maka tidak sedikit pupuh yang cukup populer telah dihafal liriknya di kalangan masyarakat. Sebagai kumpulan tembang Jawa, keaslian lirik dalam Serat Wulang Reh relatif terjaga, karena adanya paugeran (kaidah) yang ketat dalam penulisan tembang. Kaidah itu menetapkan batasan tentang guru gatra (banyaknya baris kalimat/larik/gatra dalam setiap bait/pada); guru wilangan (banyaknya suku kata/wanda pada setiap gatra); dan guru lagu (bunyi vokal pada akhir setiap gatra ; dhong-dhing atau a-i-u nya). Setiap macam tembang mempunyai kaidah sendiri-sendiri. Tembang-tembang dalam Serat Wulang Reh dikategorikan dalam jenis tembang macapat. Menurut Suwarno (2008: 4-7) dan Suwardi Endraswara (2006: 87), ada beberapa pendapat tentang pengertian tembang macapat. Pertama, tembang macapat dibaca per empat wanda (suku kata) untuk setiap penggalan. Penggalan terakhir jika tidak genap 21 empat wanda dibaca sisa wanda yang ada. Contoh : bapak pocung/dudu watu/dudu gunung/ asal saka/ Plembang/; Ngon- ingone/sang bupati/yen lumampah/si pocung lem-/beyan grana. Dalam Serat Wulang Reh juga demikian, misalnya pada pupuh Pocung pada/bait 7 yang berbunyi : lamun bener/lan pinter pa-/momongipun/kang ginawe/ tuwa/haja nganggo/habot sisih/ dipun padha/ pamengkune/mring santana. Kedua, tembang macapat itu berasal dari kata maca cepet (cara membacanya dengan cepat). Akronimnya adalah macapet, namun dalam perkembangannya agar enak didengar menjadi macapat. Ketiga, tembang macapat termasuk jenis sekar (tembang) klasisifikasi empat. Klasifikasi satu adalah sekar ageng sapadaswara. Klasifikasi dua adalah sekar ageng sapadadirga. Klasifikasi tiga adalah sekar tengahan. Menurut Suwarno (2008: 8-9), sebagian besar pendapat mengatakan bahwa tembang macapat terdiri dari 11 macam tembang. Sebagian ada yang mengatakan hanya 9 macam tembang, namun malah ada juga yang mengatakan 15 macam tembang. Macam-macam tembang menurut pendapat yang mengatakan 15 macam adalah : (1) Mijil; (2) Kinanthi; (3) Sinom; (4) Asmaradana; (5) Dhandanggula; (6) Maskumambang; (7) Durma; (8) Pangkur; (9) Pocung; (10) Gambuh; (11) Megatruh; (12) Balabak; (13) Wirangrong; (14) Jurudemung; (15) Girisa. Pendapat yang mengatakan 11 macam tembang menyebut tembangtembang nomor (1) sampai dengan (11). Sedangkan pendapat yang mengatakan hanya 9 macam tembang menyebut tembang nomor (1) sampai (9). Penamaan tembang-tembang tersebut menggambarkan tahap-tahap perkembangan hidup manusia. Kehidupan manusia dimulai dari lahir (mijil) dan dilanjutkan masa kanak-kanak yang masih dibimbing atau digandeng (kinanthi) orang tua. Selanjutnya tahapan masa muda (sinom) dan mengenal asmara (asmaradana). Pada tahapan selanjutnya orang merancang kehidupan yang baik, manis, indah, sejahtera 22 (dandanggula). Pada perkembangan selanjutnya orang sudah memikirkan kebaikan atau keutamaan, namun belum mengendap (maskumambang). Perkembangan selanjutnya, orang memasuki masa tua, yang seharusnya sudah mundur dari ‘ma lima’ (durma). Tahapan selanjutnya ditandai dengan sikap yang menghindari (nyimpang) dan mengesampingkan atau membelakangi (mungkur) berbagai urusan duniawi (pangkur). Kehidupan manusia akan berakhir dengan kematian dan kemudian dikafani (pocung). Tembang macapat dalam buku Serat Wulang Reh, baik yang diterbitkan oleh Penerbit Indah Jaya Surakarta, 1977 (tanpa nama penulis) maupun Penerbit Citra Jaya Surabaya, 1982 (ditulis oleh Darusuprapto) terdiri dari 13 macam tembang (pupuh). Susunan tembang kedua buku tersebut tidak diurutkan sesuai dengan tahaptahap perkembangan hidup manusia. Jumlah pada/bait setiap macam tembang pada kedua buku tersebut tidak ada perbedaan, sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini. Tabel : Perbandingan Jumlah pada/bait Antara Dua Buku Yang Diteliti Jumlah pada/bait No Nama Tembang 1 Dandanggula Pnbt Indah Jaya Surakarta 8 2 Kinanthi 16 16 3 Gambuh 17 17 4 Pangkur 17 17 5 Maskumambang 34 34 6 Megatruh 17 17 7 Durma 12 12 8 Wirangrong 27 27 Pnbt Citra Jaya Surabaya 8 23 9 Pocung 23 23 10 Mijil 26 26 11 Asmaradana 28 28 12 Sinom 33 33 13 Girisa 25 25 B. Latar Belakang Pengarang Serat Wulang Reh adalah kumpulan tembang karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV, raja Surakarta. Hal itu dapat dibaca dalam pupuh Girisa pada/bait 24 yang syairnya sebagai berikut. Titi tamat kang carita serat wawaler mring putra kang yasa serat punika nenggih Kanjeng Susuhunan Pakubuwana ping pat hing galih panedyanira kang hamaca kang miyarsa yen lali muga helinga Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Telah tamat apa yang diceritakan tulisan pantangan (aturan) kepada para putera yang membuat tulisan ini adalah Kanjeng Susuhunan Paku Buwana keempat dalam hati diharapkan bagi yang membaca dan mendengar jika lupa semoga menjadi ingat Paku Buwana IV yang pada masa kecilnya bernama R.M. Subadya, lahir pada 2 September 1768. Beliau dikenal dengan sebutan Sinuhun Bagus, yang selain tampan secara lahiriah, juga ‘bagus’ secara batiniah. Dalam buku karya Daru Suprapto (1982: 23) figur Paku Buwana IV digambarkan sebagai brikut. Pujangganipun priyayi luhur hingkang pantes pinundhi-pundhi, hingkang mberkahi lan nyawabi hing jagading bebrayan Jawi, hinggih punika Sri Paku Buwana IV hingkang kasuwur luruh 24 bagus hing budi, wimbuh bagus hing rupi, ngantos katelah pinaraban ‘Sinuhun Bagus’. Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Pujangganya priyayi luhur (klas teratas dalam strata sosial masyarakat Jawa) yang pantas dihormati, yang memberi berkah kebaikan dalam kehidupan masyarakat Jawa, yakni Sri Paku Buawana IV yang terkenal mulia budinya, ditambah tampan rupanya, hingga populer dengan panggilan ‘Sinuhun Bagus’. Paku Buwana IV bertahta sejak 29 November 1788 hingga akhir hayatnya pada 1 Oktober 1820. Beliau adalah raja Surakarta kedua, setelah kerajaan Mataram dibagi dua (palihan nagari) menjadi Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang sekaligus menandai berakhirnya Perang Suksesi Ketiga. Paku Buwana IV dikenal sebagai raja yang berputera tiga orang raja (peputra tri narendra). Mereka adalah Paku Buwana V (R.M. Sugandi, bertahta 1820-1823), Paku Buwana VII (Pangeran Purubaya, bertahta 1830-1858), dan Paku Buwana VIII (Pangeran Hangabehi, bertahta 1858-1861) (Nurhajarini dkk, 1999: 106; Setiadi dkk, 2001: 200-206). Peristiwa yang kasuistik itu terjadi karena ketika Paku Buwana VI (cucu Paku Buwa IV yang nama kecilnya adalah R.M. Supardan) diasingkan ke Ambon, karena mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, ia belum mempunyai putra makhota. Setelah melalui proses yang rumit dan atas campur tangan residen Belanda ditetapkanlah Pangeran Purubaya sebagai pengganti raja yang kemudian bergelar Paku Buwana VII. Ketika Paku Buwana VII meninggal juga timbul persoalan, karena ia tidak mempunyai putra laki-laki. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Hangabehi, kakak tiri Paku Buwana VII, yang kemudian bergelar Paku Buwana VIII (Darsiti Soeratman, 1989: 62-65). Sehubungan dengan peristiwa yang unik tersebut terungkap cerita yang bersifat mitologis bahwa suatu ketika di bulan Ramadhan, Susuhunan didatangi seorang sayid dari Arab yang membawakan tiga 25 biji kurma. Hal itu dianggap sebagai firasat bahwa tiga orang putranya kelak akan menjadi raja. Konon, raja menjadi murung memikirkan firasat tersebut, sebab beliau mengira akan terjadi perebutan tahta di antara putra-putranya (Poespaningrat, 2008: 93). Cerita ini juga diungkapkan oleh Wasesowinoto (2006: 94), bahkan karena kemurungannya itu Susuhanan sempat berniat untuk lengser dan masanggrah di Cemani. Tetapi niat itu tidak sempat terlaksana, karena raja kemudian jatuh sakit yang menyebabkan kemangkatannya. Dengan karyanya yang diberi nama Serat Wulang Reh itu, Paku Buwana IV menjadi sosok pribadi yang menarik untuk dibahas. Seorang raja telah menghasilkan sebuah karya sastra, apalagi berisi nilai-nilai pendidikan karakter yang tidak lain adalah tuntunan moral atau budi pekerti. Bahkan beliau juga menghasilkan banyak karya sastra lainnya, yaitu Serat Cipta Waskita, Serat Wulungsunu, Serat Wulang Dalem, Serat Serat Brata Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tatakrama, Serat Panji Raras, Serat Panji Sekar, Serat Panji Dhadhap, dan Serat Panji Blitar. Namun di antara karya-karya sastranya itu yang paling populer hingga kini adalah Serat Wulang Reh. Di dalamnya ditemukan ungkapan-ungkapan pesan moral, antara lain tentang pentingnya marsudeng budi (mengutamakan budi); jatmika hing budi (bagus budi pekertinya); tindak tanduk kang hutama (perilaku yang mulia); lelabetan kang hutama (pengorbanan yang mulia); patrap tata krama (perilaku sopan). Di sisi lain, dalam perannya yang utama, ia adalah seorang raja yang menjalankan kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan, baik dalam tataran teoritik dan lebih-lebih dalam tataran praktik, pada umumnya jauh dari sentuhan-sentuhan moral. Penganjur pesan moral dan pelaku kekuasaan pemeritahan seakan dua peran yang sulit dijalankan oleh sosok pribadi yang sama dalam kurun waktu yang bersamaan. Ini peran ganda yang kontradiktif, yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang raja yang dalam terminologi 26 Jawa disebut raja pinandhita (raja yang berwatak pendeta). Dalam dunia pewayangan, yang tidak lain merupakan dunia ide, sosok seperti itu ditemukan pada diri Begawan Abiyasa. Setelah lengser dari kedudukannya sebagai raja Hastina, ia kemudian menjadi seorang begawan di Pertapan Wukiratawu atau Pertapan Sapta Arga. Presiden Soeharto, tampaknya dalam kesadaran spiritualnya, pernah mengobsesikan dirinya seperti itu, bahwa setelah lengser keprabon, ingin madeg pandhita. Model kerajaan di Jawa sebagaimana kerajaan-kerajaan pada umumnya sebetulnya merupakan penerapan teori kedaulatan raja (theokrasi). Secara teoritik, kekuasaan raja bersifat absolut dan dalam implementasinya tidak jarang disertai kesewenang-wenangan. Sepanjang sejarah Mataram, sifat itu secara ekstrim hanya ditemukan pada sosok raja Mataram keempat, Sunan Amangkurat I (1619-1677, naik tahta 1646) (baca buku De Graaf, 1987: Disintegrasi Mataram di bawah Mangkurat I ). Dalam kasus karaton Surakarta, termasuk pada masa Paku Buwana IV, kekuasaan yang absolut itu tidak mungkin dijalankan. Hal itu selain karena alasan ideal-normatif, juga alasan faktual-empiris. Secara ideal-normatif, sosok seorang raja dalam perspektif Jawa diformulasikan dalam ungkapan ratu gung binathara mbaudhendha nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta. Artinya, raja besar laksana dewa yang memiliki kekuatan sebagai penguasa dunia, penuh kebaikan budi dan memegang teguh ucapannya, bersifat adil dan bermurah hati (Moedjanto, 1994: 27; Soeratman, 1989: 5; Darban, 1998: 89). Secara faktual-empiris, Paku Buwana IV mewarisi kerajaan yang kekuasaannya sedang melemah, sejak palihan nagari tersebut. Pembagian kerajaan itu berlangsung pada masa pemerintahan ayahnya, yakni Paku Buwana III, berdasar Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Dua tahun kemudian, berdasar Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757, wilayah Surakarta dikurangi lagi untuk diserahkan kepada R.M. 27 Said (dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa), yang kemudian bergelar Mangku Nagara I. Sesudah palihan nagari, kondisi karaton relatif aman dan tenteram, dalam arti sudah tidak adanya lagi pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh beberapa pangeran yang berpengaruh, terutama Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwana I) dan R.M. Said (Mangku Nagara I). Namun demikian, intrik-intrik di kalangan mereka tetap masih ada. Paku Buwana IV sendiri bahkan pernah menginginkan penyatuan kembali Mataram, namun keinginan itu tidak pernah terlaksana. Kebetulan, raja yang bertahta di Kasultanan Ngayogyakarta pada saat itu adalah Hamengku Buwana I (1717-1792, naik tahta 1755) dan Hamengku Buwana II (1750-1828, naik tahta 1792). Di antara raja-raja dinasti Mataram, keduanya termasuk raja yang kuat dan berani, setelah Sultan Agung. Sementara itu di Surakarta, posisi raja di depan VOCBelanda semakin lemah, sebab sejak Paku Buwana III, untuk pengangkatan raja harus mendapat persetujuan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kondisi karaton yang aman dan tenteram namun memprihatinkan itu memungkinkan penerus tahta untuk melakukan refleksi dan kontempelasi atas berbagai benturan peristiwa di masa lalu. Kondisi seperti itu dapat menjadi faktor eksternal yang mendorong Paku Buwana IV menjadi orang yang lebih spiritualis. Sebagaimana dikemukakan Ilham Khoiri, bahwa konflik, kekerasan, teror, dan rutinitas hidup membuat orang galau, terasing, dan gersang. Sebagian orang lantas berusaha menekuni laku spiritual, yang dianggap bisa membantu menemukan jati diri serta menjalani hidup lebih harmonis (Kompas, Minggu 10 Mei 2009). Selain faktor eksternal, yang tidak kalah berpengaruh tentu faktor internal Paku Buwana IV sendiri, yaitu kepribadian atau karakternya yang memiliki kecenderungan ke arah moralis-spiritualis. Faktor internalnya itu tentu saja tidak sepenuhnya murni, artinya ada juga 28 faktor eksternal yang mempengaruhinya. Konon, Paku Buwana IV dikelilingi oleh penasehat-penasehat dan beberapa orang santri yang fanatik paham keislamannya. Darsiti Soeratman (1989: 99) yang disertasinya berjudul Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, Dwi Ratna Nurhajarini dkk (1999: 134), dan Andi Harsono (2005: 8) menyebut penasehat Pabu Buwana IV itu bernama Haji Makali, dengan santri-santri utamanya adalah Kyai Bahman, R. Wiradigda, P. Panengah, Kyai Nursaleh, R. Santri, dan R. Kanduruhan. Mereka mempengaruhi Susuhunan agar melawan kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Dalam pengamatan orang-orang Belanda, kata Poespaningrat (2008: 87), Paku Buwana IV menjadi ‘kacau’ dan menunjukkan secara demonstratif suatu ketaatan yang luar biasa dalam masalah-masalah agama setelah kematian dua orang isterinya secara berturut-turut. Sesudah berakhirnya palihan nagari dan sekaligus berakhirnya perang suksesi itu merupakan zaman renaisans, yang melahirkan pujangga-pujangga besar. Mereka adalah Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Karya-karya sastra yang yang dihasilkan oleh Yasadipura I dan Yasadipura II antara lain adalah Serat Darmasunya, Serat Wicara Keras, Serat Sasana Sunu, Serat Panitisastra Jarwa, Serat Arjuna Sasra, Serat Ambiya, Serat Dewaruci, Serat Babad Prayut, dan Serat Babad Pakepung. Karya Yasadipura II yang terkenal adalah Serat Centhini (Suluk Tambangraras). Adapun karya Ranggawarsita (cucu Yasadipura II) antara lain adalah Suluk Saloka Jiwa, Suluk Supanalaya, Suluk Sukma Lelana, Wirid Hidayat Jati, Serat Cemporet serta yang sangat dikenal adalah Serat Kalatida (Poespaningrat, 2008: 93; Darsiti Soeratman, 1989: 112-113). Masa kepujanggaan Surakarta itu berlangsung selama kurang lebih 120 tahun, dihitung sejak Perjanjian Salatiga 1757 hingga wafatnya Ranggawarsita pada 1873 atau mangkatnya Mangku Nagara IV pada 1881 (Hasanu Simon, 2004: 515). 29 C. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Serat Wulang Reh Secara harfiah, Serat Wulang Reh berasal dari kata-kata : serat yang berarti tulisan; wulang yang berarti pelajaran atau pendidikan; dan reh yang berarti perintah. Maksudnya adalah tulisan mengenai pendidikan yang berisi pesan-pesan moral atau budi pekerti, yang menuntun ke arah sikap dan perilaku yang baik. Hal itu diungkapkan dalam berbagai ungkapan, seperti marsudeng budi (mengutamakan budi); jatmika hing budi (bagus budi pekertinya); patrap tata krama (perilaku sopan); tindak tanduk kang hutama (perilaku yang mulia); lelabetan kang hutama (pengorbanan yang mulia). Kebalikan dari itu adalah tindak tanduk kang nistha (perilaku yang hina). Dengan demikian kandungan buku tembang Serat Wulang Reh adalah nilai-nilai atau pesan-pesan moral, yang merupakan esensi dari pendidikan karakter (watak). Dalam tradisi sastra Jawa, buku-buku tembang pada umumnya berisi ajaran moral atau tuntunan budi pekerti yang luhur. Hal itu berbeda dengan gendhing-gending dolanan yang isinya lebih bersifat hiburan. Dalam konteks masa kini, keinginan untuk menjadikan nyanyian atau lagu-lagu agar berfungsi sebagai media pendidikan nilai masih sering mengemuka, tidak hanya dari kalangan pemikir dan praktisi pendidikan, namun juga dari sebagian artis penyanyi itu sendiri. Dalam majalah Kognisia; Media Aspiratif Kritis & Humanis, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi UII, yang bertajuk “Mimpi Indah Masyarakat Etis” (No. 02 Tahun II, September 2000), Franky Sahilatua, pelantun lagu Bis Kota, Kereta Malam, Orang Pinggiran, dan Perahu Retak itu mengatakan bahwa ia lebih suka berbicara tentang nilai-nilai dan realitas sosial. Ketika ditanya pesannya untuk generasi muda yang bergelut di bidang seni musik, ia mengatakan : “Pesan saya hanya satu. Kita harus mampu mengangkat tema-tema lagu kita menjadi sarat dengan nilai-nilai. Pemahaman terhadap realitas sosial pun harus kita tingkatkan”. 30 Persoalan nilai dan realiatas sosial yang timpang juga mengganggu pikiran Bimbo, kelompok musikus yang melegenda, yang oleh Kompas diangkat dalam rubrik Tokoh Pilihan (Jumat, 11 Sepember 2009). Ia mengemukakan kegelisahannya dalam melihat karut-marut negeri ini. Ia merasakan bangsa Indonesia hari ini sudah kehilangan rasa (roh) Indonesianya. Ada perubahan nilai, perubahan karakter pada bangsa ini. Rasanya ini bukan bangsa Indonesia. Kita kehilangan akhlak santun, budi pekerti, kehilangan nuansa-nuansa filosofis, spiritual. Bangsa ini yang sudah kehilangan rasa saling menghargai, kehilangan rasa kebersamaan dan harmoni, kehilangan rujukan, kehilangan kecerdasan dan kecendekiwanan, dan kehilangan cita-cita besarnya. Terlalu banyak yang hilang dari bangsa ini. Yang tampak ke permukaan adalah individualis, egois, sektarian, maling-maling bergentayangan/ koruptor, kasar dan beringas, kehilangan sense of belonging, sense of responsibility, semangat profit dan percaloan, criminal creative, etos kerja yang rendah, pintar menuntut, pintar menyalahkan. Antar komponen masyarakat seolah-olah ada sekat, bahkan kesenjangan yang tajam. Adapun Serat Wulang Reh, di dalamnya terdapat kandungan nilainilai moral atau budi pekerti yang tersebar di 13 pupuh tembang yang ada. Nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing tembang dapat diungkapkan sebagai berikut. 1. Dandanggula Pupuh Dandanggula terdiri dari 8 pada/bait yang berisi pesanpesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Pentingnya setiap orang memahami pesan, isyarat, atau pelajaran dalam hidupnya, agar manusia mampu menjalankan peran kemanusiaannya. o Al Quran adalah sumber spirit yang benar, yang tidak semua orang mampu memahaminya kecuali atas petunjuk-Nya. Untuk 31 memahami kandungan Al Quran, orang tidak boleh ngawur, melainkan harus berguru. o Seorang guru harus mempunyai karakter khusus, yaitu baik budi pekertinya, mematuhi hukum (aturan agama), beribadah, dan suka menolong. Lebih baik lagi jia ia seorang pertapa, yang sifatnya amungkul (tidak melihat ke atas dalam urusan duniawi; tidak sombong), dan tidak memikirkan pemberian orang lain. o Seseorang yang mengajarkan ngelmu (pengetahuan, wawasan, kebijaksanaan) harus bersumber pada dalil (Al Quran), Al Hadits, Ijma’, dan Qiyas. o Sindiran terhadap kecenderungan yang sudah terjadi pada saat itu, yaitu guru mencari murid, sedangkan seharusnya murid mencari guru. o Sindiran terhadap orang yang belum matang ruhaninya, namun telah menganggap dirinya setara pujangga. Omongannya tidak karuan, namun ia tak sadar bahwa orang lain mencibirnya. Terhadap orang seperti itu perlu dinasehati dengan halus, agar dapat menangkap pelajaran. Dari 8 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/bait kelima, berisi tentang karakter ideal seorang guru, yang hingga kini masih sering dijadikan rujukan dalam wacana etika guru. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Lamun sira hanggeguru kaki hamiliha manungsa kang nyata hingkang becik martabate sarta kang wruh hing kukum kang ngibadah lan kang wirangi sukur oleh wong tapa hingkang wus hamungkul tan mikir pawehing liyan iku pantes sira guranana kaki sartane kawruhana 32 Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Jika kalian berguru, ananda pilihlah manusia yang sunguh-sungguh (yang) baik martabatnya serta yang tahu hukum (aturan agama) yang taat beribadah dan suka menolong akan lebih baik jika mendapati seorang pertapa yang sudah menunduk (tidak melihat ke atas, tidak sombong) tidak mengharap pemberian orang lain itulah orang yang pantas kau jadikan guru maka hendaknya kalian ketahui Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : becik martabate (baik budi pekertinya); wruh ing kukum (mematuhi hukum/perintah agama); ngibadah (beribadah); wirangi (suka menolong); hamungkul (tidak melihat ke atas dalam urusan duniawi; tidak sombong); tan mikir pawehing liyan (tidak mengharap pemberian orang lain) b. Karakter yang buruk : cumanthaka (lancang); basa kang kalantur (pembicaraan yang tidak terkontrol). 2. Kinanthi Pupuh Kinanthi terdiri dari 16 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Pentingnya melatih ketajaman hati (kecerdasan emosional dan spiritual) agar mampu menerima petunjuk, pesan, atau pelajaran. o Ketajaman hati itu dicapai melalui kebiasaan tidak terlalu banyak makan dan tidur, tidak menuruti segala kesenangan, hidup sederhana/ sesuai kebutuhan, menumbuhkan jiwa kesatria, dan mampu mengendalikan diri. 33 o Seorang pemimpin tidak boleh tinggi hati dan tidak berdekatdekat dengan orang yang mentalnya buruk. Sementara itu, meskipun terhadap orang yang rendah kedudukannya, jika kelakuannya terpuji dan banyak wawasan, maka ia perlu didekati. o Lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan kepribadian atau karakter anak-anak muda. Pengaruh yang buruk disebut sebagai panuntuning iblis. o Anak-anak muda hendaknya suka jejagongan (bertukar fikiran) dengan orang-orang yang lebih tua, serta mendengarkan petuah atau cerita mereka. o Kritik untuk anak-anak muda yang pada saat itu gejalanya telah mengabaikan sikap rendah hati (handap hasor), bahkan lebih menunjukkan sifat congkak, sombong, dan arogan. Dari 16 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/bait pertama dan kedua tentang petuah untuk menahan (membatasi) makan dan tidur, yang diulang hingga tiga kali dalam dua pada/bait. Kebiasaan ’menahan makan dan tidur’ merupakan laku (perilaku yang baik, ritual, sikap hidup) yang sangat diutamakan dalam kehidupan orang Jawa. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Padha gulangen hing kalbu hing sasmita hamrih lantip haja pijer mangan nendra kaprawiran den kaesthi pesunen sariranira sudanen dahar lan guling. Dadiya lakunireku cegah dhahar lawan guling lan haja hasukan-sukan hanganggoa sawetawis ala wateke wong suka 34 nyuda prayitnaning batin Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Hendaklah kalian melatih hati agar tajam dalam menangkap pesan/pelajaran jangan terlalu banyak makan dan tidur pegang-teguhlah sifat kesatria tekanlah dirimu kurangi makan dan tidur Jadikan kebiasaan hidupmu cegah (tahan; batasi) makan dan tidur dan jangan menuruti kesenangan secara berlebihan lakukan menurut kepantasan orang yang menuruti kesenangan secara berlebihan itu tidak baik mengurangi kewaspadaan batin Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : gegulang ing kalbu (melatih hati); haja pijer mangan nendra (jangan banyak makan dan tidur); kaprawiran (perwira, kesatria); pesunen sariranira (tekanlah dirimu); haja asukansukan (jangan sawetawis mengumbar kesenangan); hanganggoa (hiduplah secara tidak berlebihan); haja raket lan wong ala (jangan berdekat-dekat dengan orang yang buruk budi pekertinya); handhap hasor (rendah hati); bekti mring wong tuwa (berbakti pada orang tua). b. Karakter yang buruk : aras-arasen (bermalas-malas); gunggung diri (mengagungkan diri sendiri; merasa klas tinggi); humuk (pamer); kumenthus klawan kumaki (merasa bisa tanpa memperhitungkan kemampuan); sapa sira sapa ingsun (merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain); panasten (berhati panas; 35 dengki); dahwen hopen (gemar memberi komentar negatif pada hal-hal yang tidak penting). 3. Gambuh Pupuh Gambuh terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Perilaku yang tidak terkontrol (polah kang kalantur), termasuk perilaku tidak jujur, akan berakibat buruk bagi dirinya. o Nasehat yang baik itu wajib diikiuti, meskipun berasal dari orang yang rendah status sosialnya (sudra papeki). o Jangan memiliki sifat hadigang, hadigung, hadiguna. Sifat hadigang itu artinya memamerkan keberanian atau kekuatan phisiknya. Sifat hadigung itu artinya memamerkan kedudukannya yang tinggi. Sifat hadiguna itu artinya memamerkan kepandaian atau ketangkasannya. o Hendaknya dibiasakan sikap tidak grusa-grusu, berhati-hati, bertindak dengan perhitungan, dan waspada. o Jangan suka mengharap pujian, yang akibatnya justru dapat membuat diri sendiri terjatuh. Bahkan perlu waspada terhadap orang yang suka memuji-muji diri kita dengan motif-motif pribadi. o Jangan mudah menyanggupi suatu tanggung jawab, sementara kemampuannya belum pernah teruji. Dari 17 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/ bait keenam, berisi tentang sifat hadigung yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Hiku hupaminipun hangendelaken sira hiku suteng nata hiya sapa hingkang wani hiku hambege wong digung hing wusana dadi asor Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : 36 Itu (maksudnya : bait-bait sebelumnya) suatu perumpamaan kalian menyombongkan diri (sebagai) keluarga raja, siapa yang akan berani itu watak orang hadigung yang akhirnya akan menjatuhkan (diri sendiri) Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : rereh-ririh (bersikap tenang; tidak gusar); ngati-ati (hati- hati); waskitha (tahu sebelumnya; waspada). b. Karakter yang buruk : polah kang kalantur (perilaku yang tidak terkontrol); hadigang (merasa lebih kuat secara phisik); hadigung (merasa lebih tinggi klasnya); hadiguna (merasa lebih pandai). 4. Pangkur Pupuh Pangkur terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Dalam menjalani hidup (pengabdian), orang harus mampu membedakan baik dan buruk, memahami adat dan norma (aturan), serta mematuhi tata karma. o Dalam bertindak hendaknya senantiasa disertai perhitungan dan pertimbangan kepantasan (deduga klawan prayoga). o Watak seseorang itu dapat dilihat dari perilaku (solah bawa) dan ucapannya (muna-muni). o Kritik tentang semakin sedikitnya orang yang ucapannya membawa kesalamatan. Sebaliknya yang (kadang kala) dijumpai adalah ucapan yang berisi kebencian, kebohongan, dan membuka kejelekan orang lain. Dari 17 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/ bait kesepuluh, berisi tentang sifat yang cenderung suka membuka 37 kejelekan orang lain dan memamerkan kebaikan diri sendiri. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Halaning liyan den handhar hing beciking liyan dipun simpeni becike dhewe ginuggung kinarya pasamuwan nora krasa halane katon ngendhukur wong kang mangkono wateknya nora pantes den cedhaki Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Kejelekan orang lain diobral adapun kebaikannya didimpan kebaikannya sendiri yang ditonjolkan sebagai pameran tidak merasa bahwa kejelekannya setumpuk orang yang demikian itu wataknya tidak pantas didekati Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : wruh hing adat waton (mengetahui adat dan norma); deduga klawan prayoga (memperhitungkan kepantasan); sumendhe karsane Hyang Agung (berserah diri pada Tuhan); basa kang basuki (pembicaraan yang membawa kesalamatan/ kebaikan; qaalu salaama). b. Karakter yang buruk : drengki, drehi (dengki, benci); dora (bohong); murka (rakus, tamak); nora hana mareme (tidak pernah puas, merasa kurang); lawamah (merasa kurang); amarah (pemarah); sungkan kasosor (pantang dibantah); lumuh kahungkulan (tidak mau ada orang lain yang melebihi dirinya); sujanma pangrasane (merasa sebagai manusia yang melebihi orang 38 lain); hangrasa luhur (merasa tinggi derajatnya); lonyo (mudah berubah pendirian); lemer (mudah tertarik). 5. Maskumambang Pupuh Maskumambang terdiri dari 34 pada/bait yang berisi pesanpesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Anak yang tidak mematuhi petuah atau berani pada orang tua adalah anak durhaka, yang akan terlunta-lunta di dunia dan akhirat. o Konsep tentang sembah lima (sembah di sini tidak selalu diartikan sebagai penghambaan seorang hamba terhadap Tuhan, melainkan dapat diartikan berbakti; kepada lima yang wajib ‘disembah’), yaitu : orang tua (bapak dan ibu), mertua, saudara tua, guru, dan Tuhan Yang Maha Kuasa. o Dalam hidupnya di dunia, manusia hendaknya taat kepada Tuhan, meskipun telah mempunyai kedudukan terhormat. Tidak ada bedanya antara keluarga raja dengan wong cilik, jika berdosa hukumannya sama. o Dalam mengabdi kepada raja hendaknya patuh pada perintahnya, rajin seba (menghadap ke karaton), rajin bekerja, setia lahir-batin, menjaga harta karaton, tidak boleh menentang dan tidak boleh membuka rahasia raja. Dalam pupuh Dandanggula di muka telah diungkapkan karakter ideal seorang guru. Sedangkan dalam tembang Maskumambang yang terdiri dari 34 pada/bait itu digambarkan kedudukan dan peranan guru dalam perspektif filosofi Jawa pada pada 16-17. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Hing sawarah wuruke hingkang prayogi sembah kaping pat ya marang guru sayekti marmane guru sinembah 39 Kang hatuduh marang sampurnaning urip tumekeng hantaka madhangken pepeteng ati hambeberken marga mulya Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Dalam segala petuahnya yang baik sembah keempat terhadap guru (sebenarnya) maka guru disembah Yang menunjukkan pada hidup yang sempurna hingga akhir hayat menerangi hati yang gelap mengajarkan jalan kemliaan Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : ngestokken (memenuhi kesanggupan); prayitna (waspada, hati-hati); haja dupeh wus hawirya (jangan berubah sikap karena sudah berpangkat); gemi nastiti (hemat cermat). b. Karakter yang buruk : duraka (bohong); kumawani mring bapa-biyung (berani pada ayah-ibu); ngungasaken (memamerkan); mengeng hing parentah (tidak segera menjalankan perintah); sungkan (pemalas); mlincur ing kardi (malas dalam pekerjaan); ngepluk (terlambat bangun tidur); hangediraken (membanggakan kelebihan). 6. Megatruh Pupuh Megatruh terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Dalam mengabdi kepada raja hendaknya tidak setengah-hati, tetapi harus mantap, ikhlas lahir-batin, setia, dan patuh segala 40 perintahnya. Sikap melawan perintah raja ibarat melawan perintah Yang Maha Agung. o Bagi mereka yang belum siap mengabdi dengan sepenuh hati, lebih baik membaca kidung lebih dulu. Mereka tidak wajib seba (menghadap ke karaton) dan tungguk kemit (caos, bertugas jaga di karaton). Semua pupuh Megatruh yang terdiri dari 17 pada/bait tersebut berisi tentang etika pengabdian pada seorang raja. Di sini perlu disajikan kutipan pada 2-3 yang menggambarkan kedudukan raja dalam perspektif filosofi Jawa. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung marentahken kukum hadil pramila wajib den henut kang sapa tan manut hugi mring prentahe sang Katong Haprasasat mbadal hing karsa Hyang Agung mulane babo wong hurip saparsa ngawuleng ratu kudu heklas lahir batin haja nganti nemu hewoh Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Berhubung ratu sebagai wakil dari Yang Agung memerintahkan hukum adil maka wajib diikuti barang siapa tidak mematuhi terhadap perintah sang Raja Sama halnya membangkang terhadap kehendak Yang Agung maka hai semua orang siapapun yang ingin menghamba ratu harus ikhlas lahir batin jangan sampai dalam kebimbangan 41 Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : mantep (mantap, tidak ragu); setya tuhu (setia sepenuh hati); tuwajuh (tekun); hangabdi (mengabdi); heklas (ikhlas). b. Karakter yang buruk : minggrang-minggring (ragu-ragu); mutung (tidak mau meneruskan suatu pekerjaan/kewajiban). 7. Durma Pupuh Durma terdiri dari 12 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut o Pentingnya perilaku hambanting sarira (melatih diri untuk merasakan penderitaan, kebalikan dari memanjakan diri), membatasi makan dan tidur. o Kebahahagiaan maupun kesengsaraan seseorang tergantung pada diri sendiri, sehingga perlu hati-hati dan heling (tidak lupa diri). o Hendaknya ditumbuhkan semangat yang mantap dalam menambah pengetahuan lahir dan batin. o Hendaknya tidak dimiliki sifat gunggung diri (tinggi hati), nacat (mencela), dan mahoni (mencela, menyalahkan, tidak mau menerima). Dalam pupuh Kinanthi telah diungkapkan pesan moral untuk menahan (membatasi) makan dan tidur, yang diulang hingga tiga kali dalam dua pada/bait. Dalam pupuh Durma, pesan itu dulangi lagi, yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Dipun sami hambanting sariranira cecegah dhahar guling darapon sudaha napsu kang ngambra-hambra rerema hing tyasireki 42 dadi sabarang karsanira lestari Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Hendaklah kalian membanting diri mengurangi makan dan tidur agar berkurang nafsu yang tidak karuan tenteramkan hati kalian jadi segalanya agar lestari Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : hambanting sarira (melatih diri untuk merasakan penderitaan, kebalikan dari memanjakan diri); cegah dahar lawan guling (mengurangi makan dan tidur); heling (ingat, tidak lupa diri). b. Karakter yang buruk : gunggung diri (mengagungkan diri sendiri; merasa klas tinggi); nacat kapati-pati (mencela habis-habisan); mamahoni (mencela, menyalahkan, tidak mau menerima); nora prasaja (tidak apa adanya); hangrasani (membicarakan kejelekan orang lain); mada (mencela); ngrasa bener pribadi (merasa hanya dirinya yang benar). 8. Wirangrong Pupuh Wirangrong terdiri dari 27 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Pentingnya budi pekerti yang halus, jangan ‘asal bisa bicara’ meskipun hanya sekecap (satu kali ucap). o Hendaknya difikirkan segala ucapan yang akan keluar, sebab kalau sudah terucap tidak dapat ditarik lagi. 43 o Hendaknya hemat dalam ucapan, jangan mudah memarahi bawahan dan jika memarahinya harus diingat kesalahannya. o Jika hendak berbicara atau menasehati orang lain hendaklah mempertimbangkan waktu dan tempat. o Jangan mudah bersumpah, apalagi menjadikan sumpah sebagai ucapan sehari-hari. o Hendaknya dihindari empat kebiasaan, yaitu madat (menghisap candu), ngabotohan (berjudi), durjana (penjahat, pencuri), dan hati sudagar (bermental dagang dalam segala urusan). Dari 27 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/bait 18-19 tentang madat dan nyeret (mengisap candu), yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Dene ta wong kang madati kesede kamoran lumoh hamung hingkang dadi senenganipun ngadhep diyan sarwi linggih ngamben jejegang sarwi kleyangan bedudan Yen leren nyeret hadh dhis netrane pan merem karo yen wus ndadi hawake hakuru cahya biru putih njalebut wedi toya lambe biru huntu pethak Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Adapun orang yang mengisap candu malasnya bercampur enggan yang menjadi kesenangannya hanyalah di depannya ada lampu sambil duduk jegang di amben mengisap sambil terasa melayang Jika berhenti mengisap candu kedua matanya terpejam jika sudah kecanduan, badannya kurus 44 raut mukanya biru putih lusuh dan takut air (malas mandi) bibir biru, gigi putih Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : marsudeng budi (mengutamakan budi); gemi ing lathi (hemat dalam berbicara); haja ngakehken supaos (jangan banyak bersumpah). b. Karakter yang buruk : madat (mengisap candu ); ngabotohan (berjudi); durjana (kejahatan); hanggegampang (mengampangkan sesuatu); hati sudagar (bermental dagang); 9. Pocung Pupuh Pocung terdiri dari 23 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Pentingya komunikasi dan kerukunan dalam suatu keluarga, baik orang tua dengan anak maupun antar saudara kandung. o Orang tua atau saudara tua hendaknya mampu momong (mengasuh), dengan perlakuan yang sama, tidak pilih-kasih. o Anak-anak muda hendaknya mengetahui hal-hal yang baik dan yang buruk dan mematuhi nasehat saudara tua o Hendaknya memiliki hati yang berwatak hajembar (luas), hamot (menampung), dan hamengku (melindungi, mengasuh). Dari 23 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/bait 13 tentang interaksi pendidikan dalam keluarga, yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Pan sadulur tuwa kang wajib pitutur marang kang taruna kang hanom wajibe wedi 45 sarta manut wuruke sedulur tuwa Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Adapun saudara tua yang berkewajiban memberi nasehat terhadap yang muda yang muda wajib takut serta mematuhi nasehat saudara tua Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : rukun (rukun); ngawula (menghamba); saregep (rajin); hamomong (mengasuh); b. Karakter yang buruk : habot sisih (tidak adil, pilih kasih); hugungan (biasa dituruti kemauannya); mlincur (malas bekerja); gegampang (mengampangkan sesuatu); 10. Mijil Pupuh Mijil terdiri dari 26 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Para satriya hendaknya mempunyai watak hanteng jatmika, ruruh, wasis, prawira hing batin, kendel, wiweka hing hati, den samar den semu. o Hendaknya memiliki sifat narima, menerima apa yang diberikan Tuhan kepada dirinya, namun bukan tidak mau berusaha. Dicontohkan, orang yang bodoh namun tidak mau bertanya bukan termasuk dalam pengertian narima; sedangkan seorang yang mengabdi kepada raja dan menerima kedudukan yang diberikan kepadanya termasuk dalam pengertian narima. o Kekuasaan raja merupakan pemberian Tuhan, maka tidak boleh dibantah perintahnya (nora kena den wahoni parentahing katong). 46 o Bagi orang yang mempunyai kedudukan agar tidak lupa pada saat-saat akan memperoleh kedudukan itu. Dari 26 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/bait 8 yang isinya agar seseorang yang sudah menduduki jabatan tidak lupa pada asal mulanya. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Nanging harang hing jaman samangkin kang kaya mangkono kang wus kaprah hiya salawase yen wus hana lungguhe sethithik hapan nuli lali hing wiwitanipun Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Namun jarang di masa sekarang yang seperti itu (bait sebelumnya) yang sudah lumrah selamanya jika sudah mempunyai sedikit kedudukan kemudian menjadi lupa pada awal mulanya Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : jatmika hing budi (bagus budi pekertinya); haja hisin ngakoni bodhone (jangan malu mengkui ketidaktahuannya); wasis (pandai, trampil); prawira hing batin (kuat batinnya); males sih (membalas budi); narima hing Widhi (ikhlas pada takdir Tuhan); den samar, den semu (hendaknya tidak vulgar); tanggon (dapat diandalkan); ruruh (tenang); ririh (sabar, tidak tergesa-gesa); branta hing ngelmu (mencintai ilmu). b. Karakter yang buruk : 47 sakarsa pribadi (‘semau gue’); nora heling mula-mulane (lupa akan awal-mulanya); sabar lan ririh (sabar dan tidak tergesa-gesa); kurang hing panrima (kurang bersyukur). 11. Asmaradana Pupuh Asmaradana terdiri dari 28 pada/bait yang berisi pesan- pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Hendaknya dipatuhi perintah agama (parentahing sarak), menjalankan rukun Islam, tidak meninggalkan shalat wajib (salat limang wektu tan kena tininggala). o Hendaknya dihayati perintah Tuhan di dalam dalil (Al Quran) dan perintah Nabi di dalam Al Hadits yang akan menerangi hati (padhanging tyasira). o Hendaknya tidak terlena pada keindahan dunia dan hendaknya ingat akan kematian. o Hendaknya dihindari sifat angkuh, bengis, mudah tersinggung, lancang, ladak, tidak semena-mena. o Bagi para atasan hendaknya memiliki sifat tepa sarira dalam menggunakan kekuasaan, melindungi, disegani, dan mampu mendorong semangat anak buah. o Bagi para pejabat hendaknya tidak bermental pedagang yang menghitung untung-rugi (patrape kaya wong dagang), jangan mengharap punjungan/setoran dari bawahan (haja pamrih sarama). Dari 28 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/bait 20 yang berisi pesan tentang gambaran orang yang menduduki jabatan dengan cara membeli. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Pikire gelisa pulih rurubane duk ing dadya hing rina wengi ciptane kapriye lamun bisaha 48 males sihing bandara linggihe lawan tinuku tan wurung hangrusak desa Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Yang dipikirkan segera pulih beaya untuk meraih (kedudukan) siang-malam yang difikirkan bagaimana agar bisa membalas kebaikan atasan kedudukannya karena dibeli tak pelak lagi, merusak desa Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : tepa salira (diandaikan dirinya sendiri, tidak semena-mena); hasih (kasih, sayang); sukur lan rila (syukur dan ikhlas); narima hing sapancene (menerima dengan ikhlas terhadap apa yang menjadi bagiannya). b. Karakter yang buruk : sembrana (kurang hati-hati); lena (lengah); hangkuh (angkuh); wengis (bengis); lengus (mudah tersinggung); lancang (lancang); ladak (sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia); sumalonong (menyelonong, tanpa permisi); tan wruh hing tata (tidak tahu sopan santun); siyasiya (sewenang-wenang); jahil (jahat, tindakan yang bodoh); padu (bertengkar); wadulan (suka mengadu, menyampaikan berita yang kurang menyenangkan). 12. Sinom Pupuh Sinom terdiri dari 33 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Hendaknya dimiki watak yang mulia, yaitu tidak meremehkan kemampuan orang lain, saling bertukar pengetahuan dan 49 pengalaman, setiap langkahnya bermanfaat, tidak memamerkan kelebihannya, mengakui kekurangannya, dan tidak bersedih ketika diremehkan orang lain. o Kritik terhadap diri pengarang sendiri (self critic), yang masih suka menutupi kedodohannya, merasa pintar, khawatir dianggap bodoh walaupun sebetulnya memang bodoh (cubluk), sehingga sering kali tidak ragu untuk membual. o Hendaknya senantiasa berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam setiap langkah untuk mencapai tujuan. o Hendaknya suka meneladani Panembahan Senopati, sebatas kemampuan masing-masing, dalam membanting raga dan mengurangi makan. o Hendaknya tidak larut dalam berbagai keadaan yang sedang dialami, sehingga mampu menjalani lara sajrononing kepenak (sakit dalam keadaan menyenangkan), suka sajroning prihatin (gembira dalam situasi prihatin), dan mati sajroning hurip (mati dalam hidup). o Untuk mengetahui cahaya kawula-gusti, jiwa harus bersih lahirbatin, tidak boleh tercemari nafsu lawamah dan amarah. Dari 33 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/bait 9 yang berisi pesan untuk meniru perilaku para leluhur. Dengan demikian, keteladanan para leluhur menjadi sumber pendidikan karakter. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Mring luhur hing kuna-kuna hanggone hambanting dhiri hiya sakuwasanira sakuwate hanglakoni nyegah turu sethitik sarta nyuda dhaharipun pira-pira bisaha 50 kaya hingkang dhingin-dhingin hanirua sapratelon saprapatan Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Terhadap leluhur di zaman kuna (tirulah) dalam hal membanting diri ya semampunya seberapa kuat menjalani menahan tidur sedikit serta mengurangi makannya alangkah baiknya jika bisa seperti orang yang dulu-dulu tirulah sepertiga atau seperempatnya Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : tan ngendak gunaning janmi (tidak meremehkan kemampuan orang lain); pintere den halingi (kepandaiannya ditutupi); bodhone dinekek ngayun (kebodohannya tidak ditutupi); hangurangi dahar guling (mengurangi makan dan tidur); hambanting diri (melatih diri untuk merasakan penderitaan, kebalikan dari memanjakan diri); hamasuh sarira (menyucikan diri); handap hasor (rendah hati); talaten (tekun); mantep jroning ngati (mantap dalam hati); ngimanken tuduhing guru (mempercayai petunjuk guru); lara sajrononing kepenak (menghayati rasa sakit ketika sedang sehat); suka sajroning prihatin (menumbuhkan rasa senang ketika sedang prihatin); mati sajroning hurip (menghayati kematian dalam hidup). b. Karakter yang buruk : bosenan (mudah bosan); mangan hapyun (mengisap candu); riya lan kibir (pamer dan sombong); luamah (nafsu lawwamah, tidak ada puasnya); amarah (nafsu amarah). 51 13. Girisa Pupuh Sinom terdiri dari 25 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut. o Hendaknya mematuhi nasehat orang tua dan menerima dengan ikhlas takdir Tuhan tentang kedudukan yang tinggi atau rendah, sehat atau sakit, nasib mujur atau malang. o Hendaknya berguru pada para ulama, untuk memahami syari’at, serta hal-hal yang batal dan haram. o Hendaknya memahami tata krama, baik dalam ucapan maupun perbuatan. o Hendaknya belajar olah sastra dan ceritera, untuk ditularkan kepada yang lebih muda. Dari 25 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/bait 2 yang berisi pesan agar menerima dengan ikhlas takdir Tuhan. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Haja na kurang panrima hing papasthening sarira yen saking Hyang Maha Mulya nitahken hing badanira lawan dipun hawas huga hasor luhur waras lara tanapi begja cilaka hurip tanapi hantaka Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Jangan ada yang kurang ikhlas atas takdir dirinya jika berasal dari Yang Maha Mulia (yang) menciptakan dirimu serta hendaknya dipahami juga (kedudukan) rendah atau tinggi, sehat atau sakit keberuntungan atau kemalangan hidup maupun kematian 52 Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut. a. Karakter yang baik : haja bosen jagongan myang para ngulama (jangan bosan berbincang dengan para ulama); patrap tata krama (perilaku sopan); tindak tanduk kang hutama (perilaku yang mulia); lelabetan kang hutama (pengorbanan yang mulia); kerepa maca (keraplah membaca); kinalulutan hing bala (diikuti dengan setia oleh bawahan); pratitis (tepat mengena sasaran); waskitha hing nala (tajam perasaan); betah hatapa (tahan bertapa). b. Karakter yang buruk : tindak tanduk kang nistha (perilaku yang hina); kethul (tumpul pikiran/perasaan); mamang (ragu); sumelang hing nala (waswas dalam hati); katungkul mangan hanendra (terlena makan dan tidur); kapegatan tresna (terputus perasaan cintanya terhadap sesama). D. Makna Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Serat Wulang Reh Sesuai dengan metode penelitian, inferensi atau pemaknaan akan dilakukan terhadap data yang sudah dikelompokkan ke dalam unit tematik, yang dikonstruk menjadi tema-tema : etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan etika khas kultural Jawa. Di sini, etika khas kultural Jawa yang meliputi laku prihatin, handhap hasor (sikap rendah hati), dan pengendalian diri akan disajikan lebih dahulu. Sebelum itu akan disajikan pula makna yang lebih hakiki tentang pendidikan dan ilmu dalam perspektif Serat Wulang Reh. Dalam inferensi atau pemaknaan ini juga dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu, baik yang bersifat historis, sosiologis, maupun kultural. 53 1. Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual Dalam pupuh Kinanthi bait 1 terdapat pesan yang berbunyi padha gulangen hing kalbu, hing sasmita hamrih lantip. Penggalan bait tersebut perlu diangkat dalam bagian tersendiri, sebab selain cukup populer dalam tembang macapat, juga merupakan karakteristik pendidikan khas Jawa. Maksud padha gulangen hing kalbu adalah pesan untuk melatih, mengasah, atau mempertajam hati. Pesan tersebut menekankan bahwa aspek utama dalam proses pendidikan adalah gegulang hing kalbu, suatu aktivitas batin yang dalam term Jawa disebut olah rasa. Tujuan dari olah rasa tersebut adalah hing sasmita hamrih lantip, artinya agar cerdas dalam menangkap pesan atau pelajaran. Manusia yang lantip hing sasmita akan mampu memahami makna hakiki di balik fakta, peristiwa, atau hal-hal yang bersifat lahiriah (kasat mata, fisikal) dalam kehidupan alam semesta. Kemampuan memaknai fakta atau peristiwa itu tidak lain adalah kemampuan berfilsafat. Dengan pesan untuk melatih hati, Serat Wulang Reh berisi pendidikan yang lebih menekankan pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual. Hal itu menunjukkan bahwa pemikiran Serat Wulang Reh dalam bidang itu telah mendahului pemikiran para ahli dari Barat, ratusan tahun sebelumnya. Istilah ‘kecerdasan emosional’ baru dikemukakan pertama kali pada tahun 1992 oleh psikolog asal Universitas Yale, Peter Salovey serta psikolog asal Universitas New Hampshire, John Mayer. Istilah itu semakin populer setelah Daniel Golemen, psikolog yang juga pengajar di Universitas Harvard, menulis buku Emotional Intellegence pada tahun 1995. Konsep-konsep kuno tentang pendidikan yang menekankan pelatihan hati ternyata masih memperoleh dukungan dari berbagai kalangan. Iwan Triyuwono, Guru Besar Akuntansi Syariah 54 Universitas Brawijaya Malang, dalam tulisannya yang berjudul Pendidikan Berbasis pendidikan kita Hati hanya Nurani menyatakan menciptakan bahwa noda-noda sistem hitam pada manusia Indonesia. Hal itu terjadi karena terlalu mengedepankan pikiran (mind) praktis ketimbang rasa dan batin. Pendidikan yang demikian itulah yang menyebabkan keterpurukan kehidupan kita saat ini. Kita mengira bahwa pikiran bisa mengatasi segala-galanya. Padahal pikiran memiliki kekuatan yang sangat terbatas, tetapi digunakan untuk mengatasi masalah yang begitu kompleks. Kelemahannya terletak terutama pada ketidakmampuannya untuk memahami realitas secara utuh. Sebagaimana kata Derrida, pikiran hanya menciptakan kesenjangan (gap) antara realitas dengan apa yang dipersepsikan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk simbol, berupa kata, kalimat, atau teori. Celakanya telah salah kaprah menganggap bahwa kebenaran pikiran itu mutlak (Jawa Pos, Sabtu 3 Mei 2008). Kritik tersebut perlu mendapat apresiasi karena justru dikemukakan kepakarannya kurang (emosionaitas). Hal oleh bersangkutan senada juga seseorang, yang dengan persoalan dikatakan beberapa bidang rasa tahun sebelumnya oleh Achmad Charris Zubair, yang mengritik bahwa kelemahan terbesar pendidikan formal masih terbatas pada pendidikan kognisi yang membangun rasionalitas. Tidak ada pendidikan hati nurani yang mengembangkan semua potensi kemanusiaan anak didik. Akibatnya, semua keputusan yang diambil selalu berdasar rasionalitas semata (Jawa Pos-Radar Jogya, 2 Desember 2003). 2. Sumber ilmu (ngelmu rasa) Jika isi pendidikan senantiasa dipersepsikan sebagai ilmu, maka pengertian ‘ilmu’ dalam perspektif falsafah Jawa lebih pada ngelmu rasa (Suwardi Endraswara, 2006: 132). Dalam pandangan 55 Serat Wulang Reh, apa yang disebut ngelmu rasa itu sangat penting guna mencapai kesempurnaan kualitas kemanusiaan seseorang. Hal itu diungkapkan dalam pupuh Dandanggula bait 2, ‘… rasaning rasa punika, hupayanen darapon sampurna hugi; hing kahuripanira’ (…rasa yang dalam itu capailah demi kesempurnaan hidup kalian). Ngelmu rasa yang diajarkan dalam Serat Wulang Reh, yang isinya adalah ajaran-ajaran moral itu, lebih banyak bersumber dari kitab suci Al Quran. Hal itu dinyatakan dalam pupuh Dandanggula pada/bait 3, ‘Jroning Kur’an nggoning rasa yekti’ (Di dalam Al Quran ditemukan rasa yang hakiki). Bahkan pada pada/bait 4 secara eksplisit disebutkan empat sumber ngelmu, yang ternyata diidentikkan dengan sumber hukum Islam, yaitu Al Quran, Al Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut. Lamun ana wong micareng ngelmi tan mupakat hing patang prakara haja sira hage-hage hanganggep nyatanipun saringana hingkang baresih limbangen kang satimbang patang prakareku dalil kadis lan ijemak lan kiyase papat hiku salah siji hanaa kang mupakat Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Jika ada orang yang mengajarkan ilmu tidak sesuai dengan empat perkara jangan tergesa-gesa mengakui kebenarannya saringlah dengan bersih bandingkan yang setimbang (dengan) empat perkara tadi Quran, hadits, dan ijma’ dan qiyas-nya, salah satu dari empat itu hendaknya ada yang sesuai 56 Isi pupuh tersebut menunjukkan bahwa paham Islam yang dianut oleh Paku Buwana IV relatif murni, sesuai dengan Al Quran dan Al Hadits. Temuan ini cukup menarik, sebab paham tersebut tidak sejalan dengan paham keislaman yang dianut oleh raja-raja Mataram sebelumnya dan orang-orang Jawa pada umumnya pada saat itu. Sebagaimana sudah banyak diketahui, paham keislaman Jawa adalah sinkretisme (Djuretno A. Imam Muhni, 1999: 4). Paham Islam yang dianut oleh Paku Buwana IV itu oleh Belanda tidak disenangi dan dianggap sebagai akibat dari pengaruh ‘kelompok baru’ atau penasehat-penasehat raja yang fanatik, sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini. Berbagai perubahan yang dilakukan oleh raja antara lain : pakaian prajurit bergaya Belanda diganti dengan pakaian Jawa; tiap Jumat Sunan melaksanakan shalat Jumat di Masjid Besar; semua abdi dalem diwajibkan berpakaian santri ketika diadakan latihan watangan (perang-perangan) pada hari Sabtu (acara Seton); abdi dalem yang tidak mematuhi syariat agama dipecat atau digeser; abdi dalem dilarang mengisap candu (Nurhajarini, 1999: 133; Poespaningrat, 2008: 87; Harsono, 2005: 8). Selain sumber-sumber tersebut, sebagaimana budaya Jawa pada umumnya, tuntunan moral atau budi pekerti di dalam Serat Wulang Reh bersumber dari ajaran atau tauladan para leluhur. Ajaran tersebut diwariskan dari generasi ke generasi melalui tradisi tutur maupun tulis. Paradigma pendidikan seperti itu oleh Bourdieu dalam Karabel and Halsey (1977: 488) dikatakan sebagai berikut. By tradisionally defining the educational system as the group of institutional or routine mechanism by means of which is operated what Durkheim calls “the conservation of a culture inherited from the past”. 57 3. Laku Prihatin Pesan penting yang diulang beberapa kali dalam Serat Wulang Reh adalah haja pijer mangan nendra (jangan banyak makan dan tidur); cegah dahar lawan guling (mengurangi makan dan tidur); haja asukan-sukan (jangan mengumbar kesenangan); hanganggoa sawetawis (hiduplah secara tidak berlebihan). Hal itu menunjukkan bahwa Serat Wulang Reh mengajarkan laku prihatin, suatu gaya hidup khas Jawa yang dijalani dengan menempa diri lahir dan batin, antara lain dengan mengurangi makan dan tidur. Kualitas prihatin sebagaimana pesan-pesan tersebut merupakan kualitas biasa (standar). Adapun prihatin dalam kualitas yang tinggi (berat) diungkapkan dalam pesan untuk hambanting sarira (melatih diri untuk merasakan penderitaan, kebalikan dari memanjakan diri) atau lebih berat lagi betah hatapa (tahan bertapa). Laku prihatin sangat kental dalam tradisi masyarakat Jawa di masa lalu, sebagai suatu ritual yang sebaiknya dijalani dalam siklus kehidupan manusia. Ritual ini menjadi tuntunan etis bagi orangorang yang sedang menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup, juga dianjurkan bagi anak-anak muda yang cita-citanya masih banyak. Laku prihatin bukan suatu penderitaan, bahkan jika dijalani dengan penuh kesadaran justru akan menimbulkan kepuasan batin. Suwardi Endraswara (2006: 76) mengemukakan bahwa laku prihatin bertujuan untuk melatih ruhani, agar jiwa menjadi tenang dalam menghadapi segala persoalan. Laku prihatin lebih terkait dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Pesan untuk mengurangi tidur juga cukup dikenal dalam moralitas Jawa. Berangkat tidur yang baik justru lebih malam, sambil mengisi waktunya dengan berbagai penenangan batin. Dalam sebuah tembang Asmaradana yang cukup populer dipesankan sebagai berikut. 58 Haja turu sore kaki hana dewa nganglang jagad nyangking bokor kencanane Iisine donga tetulak sandang kalawan pangan yaiku bageyanipun wong melek sabar narima Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Jangan tidur terlalu sore nak ada dewa mengitari jagad membawa bokor emas berisi doa penolak bala sandang dan pangan itu menjadi hak yang diberikan kepada orang yang terjaga, sabar, dan ikhlas Defri Werdiono mengutip penggalan syair tembang yang berbunyi : Ana kidung rumeksa hing wengi / teguh hayu luputa hing lara / luputa bilahi kabeh ... (Ada lagu yang berjaga di malam hari / yang menjadikan kuat selamat terbebas dari segala penyakit / terbebas dari semua petaka ...). Sepenggal syair Dandanggula karya Sunan Kalijaga tersebut dikutip oleh Sultan Hamengku Buwana X dalam sambutan yang dibacakan oleh GBPH Joyokusumo pada prosesi lampah madya ratri (ritual berjalan tengah malam, pen.) yang bertema ‘Ngesti Budaya Mrih Manunggaling Bangsa’. Prosesi simbolik tersebut laksana mantra tolak balak, dengan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan agar terhindar dari segala kutukan dan malapetaka (Kompas, Jumat 22 Mei 2009). Dalam kultur Jawa, ‘malam’ mempunyai makna khusus, suatu misteri yang perlu diungkap. Ada beberapa ritual yang selalu berlangsung pada malam hari, tidak pernah dilakukan pada siang hari, misalnya jagong bayi, midodareni, tirakatan dan lain-lain. Pagelaran wayang, yang idealnya tidak sekedar tontonan, melainkan juga tuntunan, juga digelar terutama pada malam hari. 59 Pertunjukannya bahkan berlangsung semalam suntuk, sesuatu yang jarang ada dalam pertunjukan apapun. Logika berfikir modern agak sulit memahami ajaran ini, karena tidak rasional. Kebiasaan hidup dengan mengurangi makan dan tidur lebih mudah dipahami sebagai kebiasaan yang mengganggu kesehatan dan daya tahan tubuh. Namun ternyata, meskipun tidak bisa disamakan, beberapa agama mengajarkan ritual yang demikian. Dalam Islam misalnya, ada ajaran berpuasa wajib dan sunat, yang dijalani dengan mencegah makan dan minum. Ada juga ajaran shalat malam (shalat lail) yang disebut secara khusus dalam Al Quran (Al Israa’ : 79), yang di balik itu tentu terkandung makna atau hikmah tertentu. 4. Rendah hati Serat Wulang Reh mengajarkan sifat handhap hasor (rendah hati), yang hingga ini masih populer dalam sosiologi masyarakat Jawa. Sifat rendah hati tidak semata-mata diajarkan bagi orangorang yang status sosialnya rendah atau orang-orang yang dalam posisi lemah. Orang-orang yang status sosialnya tinggi atau memiliki kelebihan pun diajarkan demikian. Terhadap orang yang berkedudukan tinggi diingatkan haja dupeh wus hawirya (jangan tinggi hati karena sudah berpangkat). Sifat-sifat tidak terpuji yang wajib dihindari adalah gunggung diri (mengagungkan diri sendiri; merasa klas tinggi); hangrasa luhur (merasa tinggi derajatnya); sujanma pangrasane (merasa sebagai manusia yang melebihi orang lain); lumuh kahungkulan (tidak mau ada orang lain yang melebihi dirinya), serta sapa sira sapa ingsun (diskriminatif, merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain). Karakter negatif yang sangat populer, yang juga dicela dalam buku 60 tersebut, adalah sifat hadigang (merasa kuat secara phisik); hadigung (merasa tinggi klasnya); hadiguna (merasa lebih pandai). Orang yang pandai namun rendah hati digambarkan dalam ungkapan pintere den halingi (menutupi kepandaiannya); bodhone dinekek ngayun (pura-pura bodoh); tan ngendak gunaning janmi (tidak meremehkan kemampuan orang lain). Oleh karena itu, sifat ngrasa bener pribadi (merasa hanya dirinya yang benar), apalagi kumenthus klawan kumaki (merasa mampu, tapi diragukan kemampuannya) merupakan sifat yang tercela. Dalam kultur masyarakat sekarang mungkin sulit dipahami kebaikan (baca : keuntungan) sikap rendah hati. Lebih-lebih dalam kultur persaingan atau situasi konflik. Pesan dalam moralitas Jawa yang berbunyi sapa ngalah luhur wekasane, sekarang sering diplesetkan menjadi sapa ngalah kojur wekasane. Jika pesan plesetan ini menjadi pegangan, maka tidak aneh jika kemudian muncul mekanisme pertahanan diri yang aneh juga dalam interaksi sosial. Misalnya, orang memaksa diri menunjukkan sikap garang sanadyan garing; kerot tanpa untu; atau sikap ‘jaga gengsi’. Keuntungan dari penipuan terhadap diri sendiri ini hanya bersifat psikologis, agar tidak diremehkan orang lain. 5. Pengendalian diri Serat Wulang Reh mengajarkan untuk senantiasa heling (ingat, sadar, tidak lupa diri) di mana saja dan kapan saja. Pada masa Orde Baru, kata heling menjadi tema sentral siaran kelompok penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tema heling tersebut lebih dimaknai sebagai ingat pada Tuhan Yang Maha Esa. Pesan heling juga ditujukan kepada orang yang lupa daratan, lupa masa lalu, melupakan sejarah dan lain-lain. Mereka dikatakan nora heling mula-mulane (lupa akan awal-mulanya). 61 Kata heling mempunyai konotasi pengendalian diri, suatu idiom yang kerap digunakan pada masa-masa penataran P4 dahulu. Pengendalian diri merupakan etika sosial, agar orang tidak bertindak sakarsa pribadi (‘semau gue’). Dalam etika Jawa, orang perlu mengendalikan diri ketika berbicara maupun bertindak. Sehubungan dengan hal itu, pesan Serat Wulang Reh adalah deduga klawan prayoga (memperhitungkan kepantasan) dalam ucapan dan perbuatan. Dengan demikian perlu dihindari basa kang kalantur (omongan yang tidak terkontrol) dan polah kang kalantur (perilaku yang tidak terkontrol). Pengendalian diri juga menjadi pesan bagi seseorang pada saat sebelum maupun sedang bertindak, sehingga terhindar dari sikap lancang (lancang); cumanthaka (lancang); sumalonong (tanpa permisi); mamang (ragu), sembrana (kurang hati-hati); lena (lengah). Adapun sikap yang baik adalah ruruh (tenang); ririh (sabar, tidak gusar); ngati-ati (hati-hati); prayitna (waspada, hati-hati). Pengendalian diri menjadi sangat spiritualistik ketika dimaknai sebagai pengendalian nafsu, yang akan menciptakan ballancing (keseimbangan) suasana batin. Logikanya, pengendalian diri dimaksudkan agar tercipta keseimbangan atau agar tidak oleng. Dengan pengendalian diri, seseorang tidak larut dalam kenyataan lahiriah yang sedang dialami. Bahkan, ia mampu menciptakan suasana batin yang sangat bertolak belakang dengan kenyataan lahiriah itu. Ilustrasi pengendalian diri pada tataran ini adalah kemampuan merasakan suka sajroning prihatin (menumbuhkan rasa senang ketika sedang prihatin); lara sajrononing kepenak (menghayati rasa sakit ketika sedang sehat); dan mati sajroning hurip (menghayati kematian dalam hidup). Pada taraf tertentu, ajaran pengendalian diri kurang sejalan dengan tuntutan masa kini yang lebih menekankan aktualisasi diri. 62 Pada taraf tertentu, pengendalian diri dapat menghambat keberanian seseorang untuk mengaktualisasikan potensi atau bakat yang dimilikinya. Pengendalian diri yang berlebihan dapat mengakibatkan seseorang takut salah, kurang berani bertindak, apalagi keberanian mengambil resiko. 6. Etika Pribadi Serat Wulang Reh mengajarkan banyak sekali tuntunan moral yang dapat diklasifikasikan sebagai etika pribadi. Maksudnya, etika itu lebih ditujukan terhadap dirinya sendiri, sehingga menjadi integritas kepribadian seseorang. Tuntunan moral itu antara lain kaprawiran (sikap perwira, kesatria); prawira hing batin (kuat batinnya); tan mikir pawehing liyan (tidak mengharap pemberian orang lain. Perilaku yang perlu dihindari adalah madat (mengisap candu ); mangan hapyun (mengisap candu); ngabotohan (berjudi); dan durjana (tindak kejahatan). Tuntunan moral tersebut hingga sekarang tetap relevan guna mengontrol kepribadian setiap orang. Sifat perwira sangat penting , lebih-lebih bagi para pemimpin, agar orang tidak bermental pengecut, cuci tangan, atau lari dari tanggung jawab. Kekuatan batin sangat penting lebih-lebih dalam situasi yang diliputi tekanan, ketegangan, dan berbagai persoalan. Sifat tidak mengharap pemberian orang lain atau bahkan sepi hing pamrih masih sering menjadi pesan moral hingga saat ini. Serat Wulang Reh memberi perhatian pula terhadap persoalan madat, nyeret, mangan hapyun (mengisap candu). Candu pada saat itu, yang peredarannya melalui gerbang-gerbang tol dan dikuasai orang-orang Cina, ternyata telah banyak dikonsumsi oleh para pangeran karaton dan sebagian masyarakat, bahkan para buruh pemikul barang (gladag) (baca buku Pater Carrey, 1986: Orang 63 Jawa dan Masyarakat Cina-1755-1825). Persoalan candu relevan dengan persoalan ganja dan narkoba, yang kini menjadi persoalan sosial yang sangat serius. Terhadap pekerjaan atau bidang pengabdian, tuntunan moral yang diajarkan adalah saregep (rajin); talaten (tekun); tuwajuh (tekun). Sifat tidak baik yang wajib dihindari adalah aras-arasen (bermalas-malas); mlincur (malas bekerja); sungkan (pemalas); mlincur ing kardi (malas dalam pekerjaan); mengeng hing parentah (enggan sesuatu); menjalankan perintah); gegampang (mengampangkan bosenan (mudah bosan); dan mutungan (tidak mau meneruskan suatu pekerjaan/kewajiban). Tuntunan tersebut lebih bernuansa mental-psikologis dari pada moral-etis. Tuntunan ini tetap relevan hingga sekarang untuk diterapkan dalam sektor pekerjaan apapun, baik di institusi pemerintah maupun swasta, di sektor formal maupun informal. Terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan, tuntunan moral yang diajarkan adalah gemi nastiti (hemat cermat); amungkul (tidak melihat ke atas dalam urusan duniawi); dan narima hing sapancene (menerima dengan ikhlas terhadap rezeki yang menjadi bagiannya). Sedangkan sifat yang kurang baik adalah murka (rakus, tamak); hati sudagar (bermental dagang); nora hana mareme (tidak pernah puas, merasa kurang); dan lawamah (merasa kurang). Makna narima dalam perpektif Jawa perlu dipahami secara benar, sebab term tersebut sering dipahami secara salah. Sikap narima biasanya lebih dikaitkan dengan persoalan rezeki atau materi kebendaan. Dalam pembicaraan sehari-hari sering terdengar ungkapan narima ing pandum (menerima terhadap pembagian rezeki). Sikap narima sering dimaknai sebagai sikap pasif yang tidak mau berusaha. Sikap narima sesungguhnya merupakan sikap religius, sebagaimana ungkapan narima hing Widhi (ikhlas pada 64 takdir Tuhan). Dalam perspektif Jawa, rezeki merupakan porsi, ‘jatah’ seseorang yang sudah digariskan oleh Tuhan. Dalam tembang ini ditemukan pesan moral untuk narima hing sapancene (menerima dengan ikhlas terhadap rezeki yang menjadi bagiannya). Sikap orang Jawa dalam menerima takdir Tuhan kadang-kadang terkesan lebih total dibanding orang–orang Islam pada umumnya, sedangkan term takdir itu berasal dari Islam. Hal itu diungkapkan dalam ungkapan kodrat iku ora bisa diwiradat; wis garise sing Kuwasa; wis dadi pepesthen; dan sebagainya. Terhadap ilmu pengetahuan, tuntunan moral yang diajarkan adalah branta hing ngelmu (mencintai ilmu); wasis (pandai, trampil); kerepa maca (keraplah membaca); haja hisin ngakoni bodhone (jangan malu mengakui ketidaktahuannya). Dengan demikian, orang akan pratitis (tepat wawasan atau perkiraan); waskitha hing nala (tajam perasaan); dan tidak kethul (tumpul pikiran/perasaan). Pengertian ngelmu menurut Serat Wulang Reh, atau menurut perpektif Jawa pada umumnya, lebih dimaksudkan pada ngelmu rasa sebagaimana telah dikemukakan, ajaran agama, adat istiadat, atau kawruh (pengetahuan pratis) lainnya. Tegasnya, sesuai dengan zamannya, pengertian ngelmu tidak dimaksudkan sebagai sain atau ilmu-ilmu yang sifatnya ilmiah seperti sekarang ini. 7. Etika Sosial Serat Wulang Reh mengajarkan banyak sekali tuntunan moral yang dapat diklasifikasikan sebagai etika sosial. Maksudnya, etika itu lebih ditujukan terhadap orang lain dalam interaksi sosial. Tuntunan moral itu antara lain sifat rukun (rukun); hamomong (mengasuh); males sih (membalas budi); wirangi (suka menolong); tepa salira (diandaikan dirinya sendiri, tidak semena-mena); dan hasih hing sasama (kasih sayang kepada sesama). 65 Dalam interaksi sosial hendaknya dihindari sifat panasten (berhati panas; dengki); dahwen hopen (gemar memberi komentar negatif pada hal-hal yang tidak penting); drengki, drehi (dengki, benci); jahil (jahat, tindakan yang bodoh); lengus (mudah tersinggung); dora (bohong); mada (mencela); mamahoni (mencela, menyalahkan, tidak mau menerima); nacat kapati-pati (mencela habis-habisan); hangrasani (membicarakan kejelekan orang lain); wadulan (suka mengadu, menyampaikan berita yang kurang menyenangkan); padu (bertengkar). Sifat yang bertentangan dengan kemanusiaan adalah kapegatan tresna (terputus perasaan cintanya terhadap sesama); wengis (bengis); siya-siya (sewenang-wenang). Dalam interaksinya dengan orang tua dikenal tuntunan yang sangat populer, yaitu bekti mring wong tuwa (berbakti pada orang tua). Sebagaimana tuntunan moral pada umumnya, dalam Serat Wulang Reh terdapat pantangan untuk berlaku duraka (durhaka) dan kumawani mring bapa-biyung (berani pada ayah-ibu). Dalam pengabdiannya terhadap raja, tuntunan moral yang diajarkan adalah mantep jroning ngati (mantap dalam hati); setya tuhu (setia sepenuh hati); hangabdi (mengabdi); heklas ngawula (ikhlas menghamba). Sebaliknya jika seseorang menjadi pimpinan, ia hendaknya kinalulutan hing bala (diikuti dengan setia oleh bawahan) dan menghindari sifat habot sisih (tidak adil, pilih kasih). Kesetiaan yang total kepada raja pada masa sekarang masih terasa nuansanya di karaton Yogyakarta. Di sana masih terdapat para abdi dalem yang begitu setia mengabdi pada karaton meskipun dengan imbalan gaji yang sangat kecil. Kesetiaan semacam ini sulit dipahami oleh logika masyarakat sekarang, yang pada umumnya didasari motif-motif finansial. 8. Etika terhadap Tuhan 66 Sebagaimana telah dikemukakan nahwa nilai-nilai pendidikan yang diajarkan dalam Serat Wulang Reh bersumber pada kitab suci Al Quran. Bahkan secara eksplisit disebutkan empat sumber ngelmu, yang identik dengan sumber-sumber hukum Islam, yaitu Al Quran, Al Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Hal itu menunjukkan bahwa paham Islam yang dianut oleh Paku Buwana IV relatif murni, sesuai dengan Al Quran dan Al Hadits, bukan Islam sinkretis. Berdasar temuan itu dapat dikatakan bahwa religiusitas Serat Wulang Reh cukup kuat atau dengan kata lain cukup Islami. Adapun sifat-sifat relegius yang diajarkan adalah wruh ing khukum (mematuhi hukum/perintah agama); ngibadah (beribadah); sukur lan rila (syukur dan ikhlas); haja ngakehken supaos (jangan banyak bersumpah); sumendhe karsane Hyang Agung (berserah diri pada Tuhan); narima hing Widhi (ikhlas pada takdir Tuhan). Makna narima perlu dipahami secara benar, sebab dalam wacana sehari-hari term tersebut sering dipahami secara salah. Sikap narima sesungguhnya merupakan sikap religius, sebagaimana ungkapan narima hing Widhi (ikhlas pada takdir Tuhan). Memang, sikap narima lebih sering dikaitkan dengan persoalan rezeki atau materi kebendaan. Dalam perspektif Jawa, rezeki merupakan porsi, ‘jatah’ seseorang yang sudah digariskan oleh Tuhan, meskipun diterimanya melalui tangan-tangan manusia. Dalam tembang ini ditemukan pesan moral untuk narima hing sapancene (menerima dengan ikhlas terhadap rezeki yang menjadi bagiannya). Dalam pembicaraan sehari-hari sering terdengar ungkapan narima ing pandum (menerima dengan ikhlas terhadap pemberian rezeki dari Yang Maha Kuasa). 9. Pengaruh Lingkungan 67 Sebagaimana biasa dikemukakan oleh para ahli psikologi maupun eksternal sosiologi yang pendidikan, sangat lingkungan berpengaruh merupakan terhadap faktor perkembangan kepribadian seseorang. Idealnya lingkungan menjadi salah satu dari tri pusat pendidikan. Namun kenyataan sosial sering kali justru lebih bersifat destruktif dalam membentuk kepribadian seseorang. Paku Buwana IV dalam Serat Wulang Reh juga mempunyai wawasan seperti itu. Ia berpesan agar menjauhi lingkungan yang buruk dengan lirik tembang yang berbunyi haja raket lan wong ala (jangan berdekat-dekat dengan orang yang buruk budi pekertinya). Pengaruh negatif dari lingkungan yang buruk itu disebut dalam lirik tembang sebagai panuntuning iblis. Sebaliknya agar menyukai lingkungan yang baik, yang bersifat mendidik, dengan lirik tembang yang berbunyi haja bosen jagongan myang para ngulama (jangan bosan berbincang dengan para ulama). 68 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasar uraian yang telah disajikan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Serat Wulang Reh merupakan karya sastra yang ditulis dalam bentuk tembang, yang dikategorikan dalam jenis tembang macapat. Isinya terdiri dari 13 macam tembang (pupuh), dengan jumlah pada/bait yang berbeda, yaitu : (1) Dandanggula, terdiri 8 pada/bait; (2) Kinanthi terdiri 16 pada/bait; (3) Gambuh terdiri 17 pada/bait; (4) Pangkur terdiri 17 pada/bait; (5) Maskumambang terdiri 34 pada/bait; (6) Megatruh terdiri 17 pada/bait; (7) Durma terdiri 12 pada/bait; (8) Wirangrong terdiri 27 pada/bait; (9) Pocung terdiri 23 pada/bait; (10) Mijil terdiri 26 pada/bait; (11) Asmaradana terdiri 28 pada/bait; (12) Sinom terdiri 33 pada/bait; (13) Girisa terdiri 25 pada/bait. 2. Serat Wulang Reh adalah karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV, raja Surakarta, yang lahir pada 2 September 1768. Beliau bertahta sejak 29 November 1788 hingga akhir hayatnya pada 1 Oktober 1820. 3. Serat Wulang Reh berisi nilai-nilai pendidikan karakter yang tidak lain adalah ajaran moral atau budi pekerti 69 4. Serat Wulang Reh merupakan buku pendidikan yang lebih menekankan pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual. 5. Sumber ilmu (ngelmu rasa) yang diajarkan dalam Serat Wulang Reh adalah kitab suci Al Quran. Bahkan lebih eksplisit disebutkan empat sumber ngelmu, yaitu Al Quran, Al Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Selain sumber-sumber tersebut, tuntunan moral atau budi pekerti di dalam Serat Wulang Reh bersumber dari ajaran atau tauladan para leluhur. 6. Serat Wulang Reh mengajarkan laku prihatin, terutama pesan haja pijer mangan nendra (jangan banyak makan dan tidur), suatu gaya hidup yang dijalani dengan menempa diri lahir dan batin 7. Serat Wulang Reh mengajarkan watak handhap hasor (rendah hati), terutama pesan tidak gunggung diri (mengagungkan diri sendiri; merasa klas tinggi) serta tidak berwatak hadigang, hadigung, hadiguna (merasa kuat secara phisik, merasa tinggi klasnya, dan merasa lebih pandai). 8. Serat Wulang Reh mengajarkan tentang pengendalian diri, terutama pesan agar senantiasa heling (ingat, sadar, tidak lupa diri), serta deduga klawan prayoga (memperhitungkan kepantasan dalam ucapan dan perbuatan). Sebaliknya agar dihindari basa kang kalantur (omongan yang tidak terkontrol); polah kang kalantur (perilaku yang tidak terkontrol); lancang dan cumanthaka (lancang). 9. Serat Wulang Reh mengajarkan banyak sekali tuntunan moral yang dapat diklasifikasikan sebagai etika pribadi. Etika itu lebih ditujukan terhadap dirinya sendiri, sehingga menjadi integritas kepribadian seseorang. Pesan moral yang penting adalah kaprawiran (sikap perwira, kesatria); prawira hing batin (kuat batinnya); tan mikir pawehing liyan (tidak mengharap pemberian orang lain. Perilaku yang perlu dihindari adalah madat atau 70 mangan hapyun (mengisap candu); ngabotohan (berjudi); dan durjana (tindak kejahatan). Terhadap pekerjaan atau bidang pengabdian, tuntunan moral (lebih bernuansa mental-psikologis) yang diajarkan adalah saregep (rajin); talaten (tekun); tuwajuh (tekun), serta menghindari sifat aras-arasen (bermalas-malas); mlincur (malas bekerja); sungkan (pemalas); mlincur ing kardi (malas dalam pekerjaan); mengeng hing parentah (enggan menjalankan perintah); gegampang (mengampangkan sesuatu); bosenan (mudah bosan); dan mutungan (tidak mau meneruskan suatu pekerjaan/kewajiban). Terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan diajarkan agar gemi nastiti (hemat cermat); amungkul (tidak melihat ke atas dalam urusan duniawi); dan narima hing sapancene (menerima dengan ikhlas terhadap rezeki yang menjadi bagiannya), tidak murka (rakus, tamak) dan lawamah (merasa kurang). Terhadap ilmu pengetahuan diajarkan agar branta hing ngelmu (mencintai ilmu); kerep maca (kerap membaca); haja hisin ngakoni bodhone (jangan malu mengakui ketidaktahuannya), agar selanjutnya menjadi orang yang wasis (pandai, trampil); pratitis (tepat wawasan atau perkiraan); waskitha hing nala (tajam perasaan); dan tidak kethul (tumpul pikiran/perasaan). 10. moral Serat Wulang Reh mengajarkan banyak sekali tuntunan yang dapat diklasifikasikan sebagai etika sosial. Maksudnya, etika itu lebih ditujukan terhadap orang lain dalam interaksi sosial. Pesan moral yang penting adalah agar rukun (rukun); hamomong (mengasuh); males sih (membalas budi); wirangi (suka menolong); tepa salira (diandaikan dirinya sendiri, tidak semena-mena); dan hasih hing sasama (kasih sayang kepada sesama). Sebaliknya agar dihindari sifat panasten (berhati panas; dengki); dahwen hopen (gemar memberi komentar negatif pada hal-hal yang tidak penting); drengki, drehi (dengki, benci); 71 jahil (jahat, tindakan yang bodoh); lengus (mudah tersinggung); dora (bohong); mada (mencela); mamahoni (mencela, menyalahkan, tidak mau menerima); nacat kapati-pati (mencela habis-habisan); hangrasani (membicarakan kejelekan orang lain); wadulan (suka mengadu, menyampaikan berita yang kurang menyenangkan); padu (bertengkar). Sifat yang bertentangan dengan kemanusiaan adalah kapegatan tresna (terputus perasaan cintanya terhadap sesama); wengis (bengis); siya-siya (sewenang-wenang). Terhadap orang tua wajib bekti mring wong tuwa (berbakti pada orang tua) dan pantangan untuk berlaku duraka, biyung (durhaka dan berani kumawani mring bapa- pada ayah-ibu). Dalam pengabdiannya terhadap raja, tuntunan moral yang diajarkan adalah mantep jroning ngati (mantap dalam hati); setya tuhu (setia sepenuh hati); hangabdi (mengabdi); heklas ngawula (ikhlas menghamba). 11. Serat Wulang Reh mengajarkan sifat-sifat religius yang cukup kuat. Pesan moral yang penting adalah agar wruh ing khukum ngibadah (mematuhi hukum/perintah agama); (beribadah); sukur lan rila (syukur dan ikhlas); haja ngakehken supaos (jangan banyak bersumpah); sumendhe karsane Hyang Agung (berserah diri pada Tuhan); dan narima hing Widhi (ikhlas pada takdir Tuhan). 12. Serat Wulang Reh mengingatkan besarnya pengaruh lingkungan terhadap pembinaan karakter (watak). Pesan moral yang penting adalah haja raket lan wong ala (jangan berdekatdekat dengan orang yang buruk budi pekertinya) dan haja bosen jagongan myang para ngulama (jangan bosan berbincang dengan para ulama). B. Implikasi 72 Serat Wulang Reh yang telah berusia lebih dari 200 tahun menunjukkan bahwa karya sastra tersebut mempunyai kemampuan bertahan yang cukup kuat. Dalam masa lebih dari 200 tahun tersebut Bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, telah mengalami beberapa kali perubahan zaman. Dari perspektif sejarah telah dilalui zaman penjajahan Belanda, zaman kebangkitan nasional, zaman pendudukan Jepang, zaman kemerdekaan dengan beberapa kali pergantian rezimnya. Dari perspektif sosiologi telah dilalui kehidupan masyarakat agraris-tradisional yang panjang hingga kehidupan masyarakat yang menuju ke arah industri-modern. Semua bentuk perubahan tersebut tentu membawa dampak budaya yang cukup besar, namun ternyata Serat Wulang Reh masih bertahan hidup. Serat Wulang Reh merupakan warisan budaya yang hingga kini masih cukup dikenal di kalangan sebagian masyarakat Jawa. Proses pewarisan nilai-nilai budaya tersebut tidak melalui jalur struktural, termasuk sistem pendidikan formal, melainkan melalui jalur kultural. Kenyataan ini dapat menjadi prediksi bahwa ke depan Serat Wulang Reh sebagai bagian dari budaya Jawa akan tetap bertahan, meskipun menghadapi gempuran budaya kontemporer. Dengan demikian benturan budaya tersebut akan tetap berlangsung dalam waktu yang panjang. Benturan budaya tersebut pada tingkatan yang ekstrim dapat menimbulkan benturan antar pendukung kebudayaan, yang kadang-kadang menimbulkan ketegangan dalam masyarakat. Dalam globalisasi budaya, yang ditandai dengan benturan antar budaya, hampir dipastikan bahwa budaya Jawa tidak akan memenangkan pertarungan, meskipun di ‘kandang sendiri’. Namun dalam situasi krisis, budaya Jawa akan sangat mungkin menjadi budaya alternatif bagi masyarakatnya sendiri. Adalah sesuatu yang lazim terjadi, ketika nilai-nilai baru tidak memberikan sesuatu yang 73 diharapkan, maka orang akan kembali menoleh pada nilai-nilai lama yang sudah ditinggalkan. C. Saran Budaya tradisional tidak identik dengan budaya primitif yang menunjukkan keterbelakangan, ketidakberadaban dan sebagainya. Dalam budaya tradisional tidak jarang terdapat nilai-nilai moral yang tinggi, baik nilai-nilai yang bersifat universal maupun lokal-kultural. Oleh karena itu sebaiknya nilai-nilai moral yang terkandung dalam Serat Wulang Reh tetap dipertahankan dalam dinamika kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam kaitannya dengan gagasan pendidikan karakter, nilai-nilai moral yang terkandung dalam Serat Wulang Reh sebaiknya dijadikan salah satu rujukan atau orientasi nilai. Dengan demikian, sosok manusia Indonesia adalah manusia yang memiliki karakter yang baik, yang di antara nilai-nilai karakternya itu berakar pada budayanya sendiri. 74 DAFTAR PUSTAKA Buku yang diteliti : Anonim. (1977). Serat Wulang Reh. Surakarta : Toko Buku Indah Jaya. Darusuprapto. (1982). Serat Wulang Reh Anggitan Sri Paku Buwana IV. Surabaya: Penerbit Citra Jaya. Buku referensi : Agustian, Ary Ginanjar. (2005). Emotional-Spiritual Quotient (ESQ). Jakarta: Penerbit Arga. Asy’arie, Musa. (2002). Filsafat Islam; Sunnah Nabi Dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI. Barcalow, Emmet. (1998). Moral Philosophy; Theories and Issues. Belmont, CA-Washington: Wadsworth Publishing Company. Bertens, K. (1993). Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bloom, Benjamin S., et al. (1981).Evaluation to Improve Learning. New York: McGraw Hill Book Company. Chang, William. (2008). “Normalisasi Sosial”. Artikel. Jakarta: Harian Kompas, 22 Desember. Darban dkk, Ahmad Adaby. (1998). Biografi Pahlawan Nasional Hamengku Buwana IX. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Dit Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud. 75 Downey, Merial & A.V. Kelly. (1978). Moral Education. London-Sydney: Harper & Row Publisher. Duska, Ronald dan Mariellen Whelan. (1984). Perkembangan Moral; Perkenalan dengan Piaget dan Kohlberg. (Terjemahan Dwija Atmaka). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Endraswara, Suwardi. Cakrawala. (2006). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values. LondonWellington: Prentice-Hall International. Frondizi, Risieri. (2001). Pengantar Filsafat Nilai (Cuk Ananta Wijaya, penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hadiwardoyo, Purwa Al. (2000). Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Haricahyono, Cheppy. (1995). Dimensi-Dimensi Semarang: IKIP Semarang Press. Pendidikan Moral. Harsono, Andi. (2005). Tafsir Ajaran Serat Wulang Reh. Yogyakarta: Pura Pustaka. Held, Virginia. (1984). Etika Moral; Pembenaran Tindakan Sosial (alih bahasa Y. Ardy Handoko). Jakarta: Erlangga. Holmes, Robert L. (1998). Basic Moral Philosophy. Belmont, CAWashington: Wadsworth Publishing Company. Imam Muhni, Djuretno A. (1999). Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Karabel and Halsey, editors. (1977). Power and Ideology in Education. New York: Oxford University Press. Kohlberg, Lawrence. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Moral (Terjemahan John de Santo dan Agus Cremes SVD). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Krippendorff, Klaus. (1980). Content Analysis ; An Introduction to Its Methodology. Baverly Hills-London: Sage Publications. 76 Kurtiness, William M. dan Jacob L. Gerwitz. (1992). Moralitas, Perilaku Moral dan Perkembangan Moral, alih bahasa M.I. Soelaeman. Jakarta: UI Pres. Latif, Yudi. (2009). “Prasyarat Karakter Kepresidenan”. Artikel. Jakarta: Harian Kompas, 9 Juni Lickona, Thomas., editor. (1976). Moral Development and Behavior: Theory; Research and Social Issues. New York: copyright by Holt, Rinehart, and Winston. Maarif, Ahmad Syafii. (2004). “Pendidikan dan Peningkatan Kualitas Moral Bangsa”, Pidato Ilmiah Pada Dies Natalis XXXIX FIS Universitas Negeri Yogyakarta, 14 September 2004. Magnis Suseno, Franz. (1987). Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. May, Larry., et al. (1998). Applied Ethics; A Multicultural Approach. London-Rio de Janairo: Prentice Hall. Miles, Matthew B. and Michael Huberman. (1985). Qualitative Data Analysis. London-New Delhi : Sage Publications Beverly Hills. Moedjanto, G. (1994). Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman; Tinjauan Historis Dua Praja Kejawen, Antara 17551992. Yogyakarta: Kanisius Moleong, Lexy J. (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muchson AR. (2000). Dasar-Dasar Pendidikan Moral (Diktat Kuliah). Yogyakarta: Jurusan PKn FIS UNY. Mulder, Niels. (1984). Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: PT Gramedia. _____________. (2009). Yogyakarta: LKiS Mistisisme Jawa; Ideologi di Indonesia. Mulyana, Deddy. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Rohmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Penerbit Alfabeta. 77 Muslich KS. (2005). Moral Islam dalam Serat Piwulang Paku Buwana IV. Yogyakarta: Global Pustaka Utama. ___________. (2007). Pendamping Kalbu dalam Islam dan Pesan Moral Budaya Jawa. Yogyakarta: Global Pustaka Utama. Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitiatif. Bandung: Penerbit Tarsito. Nurhajarini, Dwi Ratna., dkk. (1999). Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Dit Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan, Depdikbud. Reimer, Joseph., et al. (1989). Promoting Moral Growth From Piaget to Kohlberg. New York & London: Longman. Parkay, Forrest W. and Beverly Hardcastle Stanford. (1998). Becoming A Teacher. Boston-Singapore: Allen and Bacon. Poespaningrat, Pranoedjoe. (2008). Kisah Para Leluhur dan Yang Diluhurkan; Dari Mataram Kuno Sampai Mataram Baru. Yogyakarta: BP Kedaulatan Rakyat. Poespoprodjo. (1986). Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Remadja Karya. Purwadi. (2001). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Penerbit Alif. Ranggawarsita, R. Ng. (1987). Serat Cemporet. (Terjemahan Sudibyo Z. Hadisutjipto). Jakarta: Balai Pustaka. Ringness, Thomas A. (1975). The Affective Domain in Education. BostonToronto: copyright by Little, Brown, and Company. Roestandi dkk, Achmad. (1988). Pendidikan Pancasila. Bandung : CV. Armico. Roger F & Daniel S. (2008). Keajaiban Emosi Manusia (Quantum Emotion for Smart Life) (alih bahasa Agus CH). Yogyakarta: Penerbit Think. Syahnakri, Kiki (2009). “Harapan kepada Anggota Baru DPR”. Artikel. Jakarta: Harian Kompas, 2 Juni. 78 Soeratman, Darsiti. (1989). Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 18301939. Yogyakarta: Penerbit Tamansiswa. Soetarno. (1989). Mardi Jawi. Surakarta: Penerbit Widya Duta. Simon, Hasanu. (2004). Misteri Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Subagya, Ki Sugeng. (2009). ”Revitalisasi Pendidikan Watak”. Artikel. Jakarta: Harian Kompas, 23 Mei. Suwarno. (2008). Sekar Yogyakarta: UNY. Macapat (Bahan Diklat Profesi Guru). Tjahjadi, Lili. (2001). Hukum Moral; Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris. Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung MuliaPenerbit Kanisius. Triyuwono, Iwan. (2008). ”Pendidikan Berbasis Hati Nurani”. Artikel. Surabaya: Harian Jawa Pos, 3 Mei. Wasesowinoto, KRT. (2006). Karaton Mataram; Mataram Hindu dumugi Majapahit. (Tutuge : Karaton Surakarta HSKS Paku Buwana II,III,IV,V) (Diktat). Yogyakarta : Tanpa penerbit. Widjaja, A.W. (1985). Pedoman Pokok-Pokok dan Materi Perkuliahan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo. Wintolo, Joko. (2001). ”Kecerdasan Spiritual”. Artikel. Yogyakarta: Harian Kedaulatan Rakyat, 14 November. Zuhdi, Darmiyati. (1993). Panduan Penelitian Analisis Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP YOGYAKARTA. Konten. ___________________. (2001). “Pendekatan Pendidikan Nilai Secara Komprehensif Sebagai Suatu Alternatif Pembentukan Akhlak Bangsa”. Makalah Seminar. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY, 11 Juni 2001. Harian Jawa Pos-Radar Jogja, 2 Desember 2003; 3 Mei 2008. Harian Kompas, 10 Mei 2009; 22 Mei 2009; 2 Juni 2009; 11 September 2009. Majalah Kognisia, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi UII, No. 02 Tahun II/September 2000. 79 Ekstra 1 : KOMPAS KAMIS, 24 AGUSTUS 2009 PENELITIAN ILMIAH Serat Kalatidha Raih Medali Emas YOGYAKARTA, KOMPAS. Mengangkat Serat Kalatidha karya Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito, murid SMA Negeri 1 Yogyakarta, Yan Restu Freski, berhasil meraih medali emas dalam Lomba Penelitian Ilmiah Remaja Tingkat Nasional 2009. Selain dari sisi sastra, penelitian karya sastra Jawa abad ke-19 itu juga mengkaji relevansinya dengan kondisi masyarakat di zaman ini. ‘Orang bilang Serat Kalatidha adalah ramalan. Tapi sebenarnya, karya ini merupakan gambaran keadaan di zaman saat serat itu ditulis”, tutur Restu (17), Rabu (2/8) di SMAN 1 Yogyakarta. Karya sastra itu ditulis dalam masa hidup Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito, yaitu antara tahun 1802-1873. Salah satu baitnya yang paling terkenal menyebutkan tentang datangnya zaman kacau atau zaman edan di mana kondisi negara morat-marit, moral masyarakat merosot, korupsi merajalela, dan orang lupa akan petuah kebijaksanaan leluhur. Pelajar kelas XII Internasional II itu menerangkan, meskpun telah ratusan tahun lalu ditulis, karya tersebut masih relevan untuk zaman ini. Kumpulan puisi Jawa tersebut mengandung petuah moral agar orang bisa tetap ingat pada nilai-nilai kebenaran dan waspada sehingga tidak terseret oleh arus zaman. Selain medali emas di Lomba Penelitian Ilmiah Remaja 2009 ..... dst. (IRE). 80 Ekstra 2 : Buku Baru * Judul Buku : PENDIDIKAN KARAKTER – Di Zaman Keblinger; Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidikan Karakter, *Penulis : Doni Koesoema A, *Penerbit : Grasindo, *Cetakan I : 2009, *Tebal : XVI + 216 halaman. 81