prospek pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering

advertisement
PROSPEK PENGAIRAN PERTANIAN TANAMAN
SEMUSIM LAHAN KERING
Undang Kurnia
Balai Penelitian Tanah, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
ABSTRAK
Pengairan pertanian tanaman semusim lahan kering belum banyak dipraktekkan petani Indonesia. Petani umumnya
mengandalkan curah hujan dalam mengairi lahan usaha taninya. Akibatnya indeks pertanaman relatif rendah
karena pada bulan-bulan tidak ada hujan, lahan dibiarkan bera. Oleh karena itu, pengairan pertanian lahan kering
sangat diperlukan dan sudah saatnya diterapkan. Namun, ketersediaan air untuk keperluan tersebut sering kali
menjadi kendala. Di daerah beriklim basah, air hujan yang berlebihan tidak dapat dimanfaatkan secara optimal,
karena sebagian besar air mengalir sebagai aliran permukaan yang dapat menimbulkan erosi. Selain itu, di daerah
beriklim basah sering terjadi cekaman air, khususnya pada periode kritis pertumbuhan tanaman. Di daerah beriklim
kering, periode hujan sangat singkat dan distribusinya tidak merata, sehingga menjadi pembatas waktu tanam dan
pemilihan pola tanam. Penerapan teknik konservasi tanah dan air diperlukan untuk memanen hujan dan aliran
permukaan serta mengendalikan erosi. Untuk memperluas pilihan sumber air pengairan perlu dicari sumber-sumber
air pengairan baru, di samping sumber air yang berasal dari hujan atau aliran permukaan, yaitu dengan membuat dan
mengaktifkan sumur-sumur dalam yang pernah ada. Air didistribusikan ke lahan pertanian dengan sistem irigasi
permukaan, irigasi drip, sprinkler atau sifon kapiler. Untuk meningkatkan produktivitas lahan kering, penelitian
dan pengembangan teknologi pengairan pertanian lahan kering perlu mendapat perhatian. Dengan teknologi
tersebut diharapkan produktivitas lahan kering meningkat 2−3 kali dari sistem pertanian tadah hujan.
Kata kunci: Tanaman semusim, usaha tani lahan kering, pengairan
ABSTRACT
Prospect of irrigation on seasonal upland agriculture
Irrigation of seasonal crops in upland agriculture is not commonly practiced by Indonesian farmers. They mainly
depend upon rain water for irrigating their farms, caused low cropping index due to bare land during the dry months.
Therefore, the irrigation of upland agriculture is needed. However, water availability is limited. As in the wet
climate region, the surplus of rain water can not be utilized optimally and lost as run-off water which often caused
removal of topsoil (erosion). Apart from that, in the wet climate, lack of water often occurred during the critical
periods of crop growth. In dry climate region, especially in eastern part of Indonesia, the shortage of water limits
cropping time and cropping pattern. The soil and water conservation techniques can be applied to harvest rain
and run-off water and to control erosion. To enlarge the selection of source of irrigation water, the other sources
of irrigation water can be explored, including rain water or run-off water, the existing deep wells and their irrigation
network, and constructing new deep wells. Water is distributed through irrigation network, such as surface irrigation,
drip irrigation, sprinkler irrigation or capillary siphon. To increase upland productivity, research and development
of irrigation technology on upland should have a serious attention. With irrigation technology, we expect the
productivity of upland agriculture can be increased 2−3 times higher than that of rainfed agriculture.
Keywords: Seasonal crops, dry farming, irrigation
A
ir merupakan salah satu sumber
daya alam yang sangat esensial bagi
sistem produksi pertanian. Air bagi
pertanian tidak hanya berkaitan dengan
aspek produksi, melainkan juga sangat
menentukan potensi perluasan areal
tanam (ekstensifikasi), luas areal tanam,
intensitas pertanaman (IP), serta kualitas
hasil.
130
Pemberian air pada lahan sawah
telah menjadi prioritas pembangunan pertanian selama beberapa Pelita, namun
pengairan pada lahan kering belum
banyak diadopsi petani Indonesia atau
mendapat perhatian dari pemerintah.
Petani lahan kering biasanya mengandalkan curah hujan untuk mengairi lahan
usaha taninya, karena untuk keperluan itu
hampir tidak memerlukan biaya. Pada
bulan-bulan tidak ada hujan atau kemarau,
lahan pertanian sering kali diberakan.
Akibatnya indeks pertanaman lahan
kering relatif rendah, baru mencapai
0,50−1 (Talkulputra dan Amien 1998).
Dalam proses metabolisme pertumbuhan, tanaman membutuhkan air
dalam jumlah yang berbeda, bergantung
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
pada jenis tanaman, umur dan fase pertumbuhan, waktu tanam dan pola tanam,
serta jenis tanah (Doorenbos dan Pruitt
1977). Dibandingkan dengan padi sawah,
kebutuhan air untuk tanaman semusim
lahan kering lebih rendah, yaitu 500−900
mm/musim untuk padi sawah (Kurnia
1973) dan 350−800 mm/musim untuk tanaman pangan (Doorenbos dan Kassam
1979).
Curah hujan di Indonesia tergolong
tinggi, berkisar 700−3.000 mm/tahun,
bahkan di beberapa daerah curah hujan
lebih dari 4.000 mm/tahun seperti di
sekitar Gunung Slamet, Jawa Tengah.
Namun, penyebaran curah hujan hariannya tidak merata, sehingga dapat berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan
tanaman. Kurnia et al. (1997) melaporkan hasil jagung pada Ultisol lahan kering
Jasinga berkurang 50−60% bila hujan
tidak turun selama 7−10 hari. Di kawasan
timur Indonesia, total curah hujan tahunan yang rendah dengan periode hujan
relatif pendek merupakan pembatas
pola tanam dan waktu tanam, serta pemilihan komoditas yang akan diusahakan.
Sebagian besar curah hujan yang
jatuh di atas permukaan tanah akan
mengalir sebagai aliran permukaan,
kemudian masuk ke dalam sungai dan
mengalir ke laut, atau masuk ke dalam
badan air lain seperti waduk, danau, check
dam, dan embung. Aliran permukaan yang
berlebihan dapat menyebabkan banjir,
genangan dan kerusakan lahan pertanian.
Kondisi tanah dan vegetasi penutupnya
yang kurang baik menyebabkan air hujan
yang meresap ke dalam tanah sangat
sedikit, sehingga volume aliran permukaan meningkat dan mengikis permukaan
tanah atau menyebabkan erosi. Kelebihan
air aliran permukaan tersebut dapat
ditampung atau dipanen untuk mengairi
lahan pertanian pada musim kemarau atau
pada saat-saat diperlukan.
POTENSI DAN KENDALA
PERTANIAN LAHAN KERING
Lahan kering yang potensial untuk
pengembangan pertanian mencapai sekitar 76,20 juta ha, 70,70 juta ha terletak di dataran rendah dan 5,50 juta ha
di dataran tinggi (Tabel 1). Sebagian besar
dari lahan tersebut telah dimanfaatkan
untuk pertanian, dan yang berpotensi
untuk perluasan adalah 35,50 juta ha di
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
dataran rendah dan 0,70 juta ha di dataran
tinggi (Kurnia dan Hidayat 2001). Secara
umum, tingkat kesesuaian lahan untuk
pengembangan pertanian tergolong marginal, karena adanya berbagai kendala,
seperti kesuburan tanah rendah, pH
rendah, kandungan aluminium tinggi,
lapisan tanah atas (topsoil) tipis, sifatsifat fisik tanah kurang baik, topografi
lahan umumnya berlereng, dan tidak
cukup air hujan untuk mendukung proses
produksi pertanian. Erosi yang terjadi
dapat menyebabkan produktivitas tanah
semakin berkurang, karena kesuburan
tanahnya terus merosot.
Pengairan lahan kering perlu memperhatikan sifat-sifat tanah di samping
iklim, ketersediaan dan sumber air, serta
kebutuhan air tanaman. Sifat-sifat fisik
tanah, khususnya struktur dan tekstur
tanah mempunyai peran yang sangat
penting dalam menyediakan air di dalam
tanah. Lahan dengan tanah bertekstur
halus sampai sangat halus dan struktur
tanah remah mempunyai efisiensi
pemakaian air lebih tinggi dibandingkan
dengan tanah yang bertekstur kasar
(Tabel 2).
Untuk mencapai ketersediaan air
maksimal di dalam tanah dan proses
metabolisme tanaman, tanah dengan
tekstur kasar dan porous membutuhkan
air lebih banyak dibandingkan dengan
tanah bertekstur halus. Pada tanah
dengan tekstur kasar, air lebih banyak
bergerak atau hilang ke lapisan tanah
lebih dalam sebagai air perkolasi, atau
hilang melalui evaporasi. Sebaliknya,
pada tanah dengan tekstur halus namun
struktur tanahnya gumpal atau padat,
mungkin tanaman tidak atau kurang
mampu menyerap air dengan baik karena
penyerapan air oleh tanaman terhambat.
Selain itu, pada tanah tersebut, infiltrasi
air ke dalam tanah umumnya sangat
lambat, sehingga air hujan yang jatuh di
atas permukaan tanah banyak mengalir
sebagai aliran permukaan. Kondisi
tersebut pada akhirnya dapat mengakibatkan pemakaian air oleh tanaman
tidak efisien.
Pada sistem pengairan pertanian
lahan kering, kondisi topografi memegang peranan cukup penting dalam
penyediaan air, serta menentukan cara
dan fasilitas pengairan. Sumber-sumber
air biasanya berada pada bagian yang
paling rendah, sehingga air perlu dinaikkan terlebih dahulu agar pendistribusiannya merata dan baik. Oleh karena
itu, pengairan pada lahan kering dapat
berhasil dan efektif pada wilayah yang
datar sampai berombak. Kurnia dan
Hidayat (2001) memperkirakan lahan pertanian yang mempunyai peluang untuk
mendapatkan pengairan mencapai sekitar
32 juta ha (Tabel 3). Namun demikian,
luas lahan kering tersebut masih perlu
dikoreksi dan diteliti lebih cermat, mengingat penggunaan lahannya (present land
use) sangat beragam. Mungkin hanya
sebagian kecil dari lahan tersebut yang
digunakan untuk tanaman pangan. Lahan
dengan topografi lebih curam memerlukan
fasilitas pengairan lebih besar dan mahal
sehingga tidak ekonomis.
KEBUTUHAN AIR
PERTANIAN LAHAN
KERING
Pengairan atau irigasi merupakan proses
pemberian air pada tanah untuk memenuhi
kebutuhan tanaman. Kegiatan pengairan
meliputi penampungan dan pengambilan
air dari sumbernya, mengalirkannya
melalui saluran-saluran ke tanah atau
lahan pertanian, dan membuang kelebihan air ke saluran pembuangan. Pengairan
bertujuan untuk memberikan tambahan
air pada air hujan dalam jumlah yang
cukup dan pada waktu diperlukan tanaman. Secara umum, pengairan berguna
untuk mempermudah pengolahan tanah,
mengatur suhu tanah dan iklim mikro,
membersihkan atau mencuci tanah dari
garam-garam yang larut atau asam-asam
tinggi, membersihkan kotoran atau
sampah dalam saluran air, dan menggenangi tanah untuk memberantas tanaman pengganggu dan hama penyakit.
Dalam pengairan dikenal istilah
pemakaian air konsumptif dan kebutuhan
air tanaman. Pemakaian air konsumptif
(consumptive water use) adalah jumlah
air pada suatu areal pertanaman yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan
transpirasi, pembentukan jaringan tanaman dan diuapkan dari permukaan
tanah dan air (evaporasi), serta diintersepsi tanaman (Arsyad 1971). Kebutuhan
air tanaman adalah pemakaian air konsumptif ditambah jumlah air untuk
mencapai kapasitas lapang dan perkolasi. Perkolasi adalah bergeraknya air
di dalam penampang tanah setelah tanah
mencapai kapasitas lapang atau jenuh.
Jumlah air perkolasi bergantung pada
131
Tabel 1. Luas lahan potensial untuk pengembangan pertanian di dataran rendah dan dataran tinggi.
Dataran rendah (ha)
Dataran tinggi (ha)
Semusim
lahan basah
Semusim
lahan kering
Tanaman
tahunan
Semusim
lahan basah
NA Darussalam
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka-Belitung
Bengkulu
Lampung
Sumatera
540.474
923.510
472.264
784.958
560.894
1.404.536
106.639
145.964
675.517
5.614.756
163.049
340.003
311.673
373.471
811.645
1.820.489
−
166.509
912.637
4.899.476
1.173.253
2.010.853
1.125.844
4.557.023
1.855.378
2.458.662
1.204.705
710.237
752.248
15.848.203
61.535
164.046
129.690
−
31.447
11.437
−
30.648
5.878
434.681
17.775
844.485
45.705
−
93.726
54.711
−
31.795
14.979
1.103.176
319.854
183.914
81.557
−
59.549
134.463
−
43.313
169.405
992.055
2.275.940
4.466.811
2.166.733
5.715.452
3.412.639
5.884.298
1.311.344
1.128.466
2.530.664
28.892.347
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Jawa
11.267
955.625
211.476
1.363.727
101.410
1.511.018
4.154.523
7.401
205.072
27.679
157.310
8.286
519.664
925.412
30
1.102.016
365.558
1.104.465
75.568
1.334.371
3.982.008
−
233.419
2.720
139.464
−
56.801
432.404
−
183.494
−
10.051
−
7.142
200.687
−
146.942
17.397
121.326
−
199.295
484.960
18.698
2.826.568
624.830
2.896.343
185.264
3.628.291
10.179.994
117.218
153.879
167.354
438.451
28.783
335.123
727.972
1.091.878
67.035
257.613
1.010.821
1.335.469
11.805
−
31.848
43.653
−
−
58.826
58.826
−
12.240
189.521
201.761
224.841
758.855
2.186.342
3.170.038
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan
566.543
1.097.012
902.270
442.175
3.008.000
2.678.438
1.500.162
982.227
5.019.324
10.180.151
4.939.653
5.271.577
817.060
3.312.666
14.340.956
−
−
−
4.867
4.867
26.913
70.680
2.286
492.250
592.129
21.810
81.815
−
285.896
389.521
8.233.357
8.021.246
2.703.843
9.557.178
28.515.624
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi
102.538
82.227
503.829
1.159.017
370.100
2.217.711
−
98.105
80.391
1.134.688
488.693
1.801.877
704.281
210.965
951.838
933.415
863.541
3.664.040
24.654
842
109.736
22.582
10.153
167.967
32.032
−
38.735
13
−
70.780
55.481
15
395.515
675.451
7.858
1.134.320
918.986
392.154
2.080.044
3.925.166
1.740.345
9.056.695
7.212.347
292.762
317.599
7.822.708
23.256.149
4.141.909
74.446
143.963
4.360.318
23.259.112
5.616.860
1.195.858
1.470.091
8.282.809
47.453.485
198.060
19.560
6
217.626
1.301.198
42.964
119
11
43.094
2.068.692
141.620
62.373
29.988
233.981
3.436.598
17.353.760
1.645.118
1.961.658
20.960.536
100.775.234
Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Bali & Nusa Tenggara
Papua
Maluku
Maluku Utara
Maluku dan Papua
Indonesia
Semusim
lahan kering
Tanaman
tahunan
Jumlah
(ha)
Propinsi
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (2001).
Tabel 2. Efisiensi pengairan pada
lahan pertanian dengan beberapa tekstur tanah.
Bentuk
pengairan
Pengairan
petakan
Pengairan
usaha tani
Efisiensi pengairan (%)
Berpasir
Lempung
Liat
60
75
65
45
65
60
Sumber: Blaney dan Criddle (1962).
132
sifat-sifat fisik tanah, seperti tekstur,
struktur, dan permeabilitas tanah. Makin
kasar tekstur tanah, makin besar jumlah
air untuk perkolasi. Kehilangan air untuk
perkolasi pada tanah berpasir mencapai
35%, lempung 15%, dan liat 10%, sedangkan untuk aliran permukaan masingmasing adalah 5%, 10%, dan 25%.
Untuk mengetahui jumlah air yang
perlu disediakan untuk mengairi lahan
pertanian, diperlukan informasi atau data
kebutuhan air tanaman. Kebutuhan air
tanaman bergantung pada jenis dan umur
tanaman, waktu atau periode pertanaman,
sifat-sifat fisik tanah, teknik pemberian air,
jarak sumber air ke lahan pertanian, dan
luas areal pertanian yang akan diairi.
Kebutuhan air tanaman dapat diketahui
melalui hasil-hasil penelitian, seperti
menggunakan lisimeter, tensiometer atau
ditetapkan berdasarkan pendugaan antara lain dengan metode Thornthwaite
(1948), Penman (1956), serta Blaney dan
Criddle (1962). Parameter-parameter
penduga kebutuhan air yang digunakan
antara lain adalah iklim, tanah, dan faktor
tanaman (kc). Pada umumnya, faktor tanaman terutama untuk tanaman semusim
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Tabel 3. Penyebaran lahan kering berdasarkan bentuk wilayah.
Bentuk wilayah
Datar-berombak
Berombak-bergelombang
Berbukit
Luas (ha)
Dataran rendah
Dataran tinggi
Total
29.074.300
23.778.700
34.512.500
2.913.600
1.252.500
4.361.400
31.987.900
25.031.200
38.873.900
Sumber: Kurnia dan Hidayat (2001).
lahan kering masih sangat terbatas,
sehingga kebutuhan air secara tepat
belum banyak diketahui.
Kebutuhan air komoditas pertanian
lahan kering yang mempunyai nilai
ekonomi cukup baik, seperti tembakau,
cabai, dan bawang merah telah diketahui.
Penelitian Kurnia et al. (2002) dengan
sistem irigasi tetes (Gambar 1) pada
Alfisols lahan kering di perbukitan kritis
Imogiri, Daerah Istimewa Yogyakarta
memperoleh jumlah kebutuhan air tanaman bawang merah antara 200−275 mm/
musim, tembakau 230−305 mm/musim,
dan cabai 355−455 mm/musim. Jumlah
kebutuhan air untuk pertumbuhan tembakau dan bawang merah tersebut lebih
rendah dibandingkan dengan hasil
penelitian Doorenbos dan Kassam 1979
(Tabel 4).
Tala‘ohu et al. (2002) menyatakan
bahwa pemberian 300 mm air pada
pertanaman cabai musim kemarau di
lahan kering Desa Sinar Seputih, Lam-
Gambar 1.
Tabel 4. Kebutuhan air untuk evapotranspirasi beberapa
komoditas pertanian lahan
kering.
Jenis
tanaman
Jagung
Bawang
merah
Kentang
Kedelai
Tomat
Tembakau
Kebutuhan air
(mm/musim)
Umur tanaman (hari)
400−750
350−600
100−150
95−145
350−625
450−825
300−600
300−500
100−155
100−130
100−140
90−120
Sumber: Doorenbos dan Kassam (1979).
KUALITAS AIR PENGAIRAN
DAN CARA PEMBERIAN
pung Tengah memberikan hasil lebih
tinggi dibandingkan dengan pemberian
air dengan jumlah lebih rendah (235 mm)
atau lebih tinggi (400 mm). Curah hujan
selama periode pertanaman cabai adalah
250 mm, sehingga total kebutuhan air
tanaman cabai adalah 550 mm, lebih
Kualitas Air
Pertanaman tembakau pada lahan yang mendapat pengairan dengan
irigasi tetes, Dusun Nawungan, Imogiri, DI Yogyakarta.
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
tinggi dari hasil penelitian Kurnia et al.
2002 (Tabel 5).
Kebutuhan air setiap jenis tanaman
berbeda, baik total maupun untuk setiap
fase pertumbuhannya (Tabel 5), seperti
juga diperlihatkan oleh nilai koefisien
tanaman (Tabel 6). Nilai koefisien tanaman
(kc) pada awal pertumbuhan paling rendah dan mencapai maksimal pada saat
pembungaan atau pembuahan, kemudian
berkurang menjelang fase pemasakan.
Pada fase pertumbuhan tanaman maksimal dibutuhkan air dalam jumlah yang
cukup banyak. Oleh karena itu, fase-fase
pertumbuhan tanaman, lamanya setiap
fase pertumbuhan, dan fase kritis pertumbuhan perlu diketahui agar perencanaan pemberian air, baik jumlah maupun waktunya lebih tepat. Fase kritis
pertumbuhan tanaman jagung dan kedelai
adalah pada saat pembungaan dan
pengisian biji, tomat pada fase pembungaan, bawang merah dan kentang
pada saat pembentukan umbi, dan
tembakau pada fase vegetatif sampai
menjelang berbunga.
Schwab et al. (1981) membagi sumber air
pengairan ke dalam air permukaan (surface
water) dan air bawah tanah (ground
water). Air permukaan meliputi air danau
alami, air sungai, dan waduk. Ketersediaan air permukaan dapat ditingkatkan
melalui pemanenan air hujan/aliran
permukaan, sedangkan sumber air bawah
tanah biasanya dimanfaatkan dengan
membuat sumur dalam atau artesis (deep
wells), mata air (springs) atau menggali/
membuat kolam.
Kualitas air pengairan harus memenuhi syarat kualitas agar tidak
berbahaya bagi tanaman yang akan diairi,
karena dalam jangka panjang dapat
mempengaruhi kualitas hasil. Schwab et
al. (1981) menyatakan kualitas air pengairan sangat bergantung pada kandungan
sedimen atau lumpur dan unsur-unsur
kimia dalam air tersebut. Sedimen atau
lumpur akan berpengaruh terhadap
tekstur tanah. Pada tanah bertekstur
sedang sampai kasar, sedimen akan
menghambat permeabilitas penampang
tanah akibat pori-pori tanah tersumbat
133
Tabel 5. Kebutuhan air beberapa jenis tanaman menurut fase pertumbuhan.
Tanaman
Jagung
Kentang
Kedelai
Tomat
Tembakau
Kebutuhan air (mm)
Awal
Vegetatif
Pembungaan
Pembuahan
Pemasakan
56
70
30
78
16
167
160
165
82
96
115
220
292
185
132
250
150
47
93
160
62
50
41
62
96
Total
650
650
575
500
500
Sumber: Agus et al. (2002).
Tabel 6. Koefisien tanaman (kc) beberapa jenis tanaman pada setiap fase
pertumbuhan.
Tanaman
Cabai
Bawang merah
Semangka
Tembakau
Fase pertumbuhan
Awal
Vegetatif Pembungaan Pembuahan Pemasakan
Rata-rata
0,30−0,40
0,40−0,60
0,60−0,75
0,70−0,80
0,95−1,10
0,95−1,10
0,85−1
0,85−0,90
0,80−0,90 0,70−0,80
0,75−0,85 0,80−0,90
0,40−0,50
0,30−0,40
0,70−0,80
0,70−0,80
0,95−1,05
1−1,20
0,80−0,90
0,90−1
0,65−0,75 0,75−0,85
0,75−0,85 0,85−0,95
juga overhead irrigation karena air
diberikan atau disiramkan dari atas
seperti air hujan. Pemberian air dengan
penyiraman sangat efisien. Pada tanah
bertekstur kasar, efisiensi pemakaian air
dengan penyiraman dua kali lebih tinggi
dari pemberian air permukaan.
Pada irigasi tetes, air diberikan dalam
kecepatan yang rendah di sekitar tanaman
menggunakan emitter. Pada pemberian air
dengan penyiraman dan irigasi tetes, ke
dalam air pengairan dapat ditambahkan
pestisida atau pupuk.
Apabila kebutuhan air suatu tanaman, cara pemberian, dan efisiensi
pemakaian air telah diketahui, dalam
kondisi ketersediaan air terbatas dapat
diketahui luas areal tanam yang mungkin
dapat diairi. Atau sebaliknya, bila jumlah
air diketahui, maka luas areal pertanian
yang dapat diairi bertambah luas. Prinsip
pemberian air pada pertanian lahan kering
khususnya tanaman pangan semusim
adalah pemakaian air yang efisien dan
efektif, serta memberikan hasil maksimal.
Sumber: Doorenbos dan Kassam (1979).
PENGARUH PENGAIRAN
TERHADAP TANAH DAN
HASIL TANAMAN
oleh sedimen tersebut, serta menurunkan
kesuburan tanah. Sedimen atau lumpur
yang mengendap di dalam saluran irigasi
akan mengurangi kapasitas pengaliran air
dan memerlukan biaya tinggi untuk
membersihkannya.
Sifat-sifat kimia air pengairan yang
penting diketahui dalam kaitannya dengan
kegiatan pertanian antara lain adalah: 1)
konsentrasi garam total yang terlarut, 2)
proporsi garam (Na) terhadap kation
lainnya (sodium adsorption ratio = SAR),
3) konsentrasi unsur-unsur racun
potensial yang dapat mencemari atau
merusak tanah, 4) konsentrasi bikarbonat,
yang berkaitan erat dengan Ca dan Mg,
dan 5) kandungan logam berat dan bahan
beracun berbahaya. Bila konsentrasi
tersebut melebihi yang diijinkan, maka
pertumbuhan tanaman akan terhambat
dan hasil menurun, serta kemungkinan
akan terjadi akumulasi logam berat dalam
jaringan tanaman atau produk pertanian.
Ramadhi (2002) melaporkan hasil gabah
di persawahan Rancaekek, Kabupaten
Bandung, berkurang 60−70% dari produksi normal akibat air mengandung Na
dengan konsentrasi tinggi (560−1.680
ppm Na). Dengan memberikan air yang
134
berkualitas, hasil gabah kembali normal
mencapai 8−10 t/ha (Kurnia et al. 2004).
Cara Pengairan
Secara garis besar, Schwab et al. (1981)
membagi pengairan ke dalam empat cara,
yaitu: 1) pemberian air di permukaan
tanah (surface irrigation), 2) pemberian
air di bawah permukaan tanah (subsurface
irrigation), 3) penyiraman (sprinkle
irrigation), dan 4) irigasi tetes (drip or
trickle irrigation). Pemberian air di
permukaan tanah meliputi penggenangan
(flooding), biasanya di persawahan, dan
pemberian air melalui saluran-saluran
(furrow irrigation) dan dalam barisan
tanaman (corrugation irrigation). Pemberian air di bawah permukaan tanah
dilakukan dengan menggunakan pipa
(tiles) yang dibenamkan ke dalam tanah.
Pemberian air di permukaan dan di bawah
permukaan tanah disebut juga pengairan
gravitasi, karena air dialirkan berdasarkan
gaya berat air.
Pemberian air dengan cara penyiraman mancakup oscillating sprinkler
dan rotary sprinkler, semuanya disebut
Kelembapan Tanah
Hasil penelitian Vadari et al. (1998) pada
Vertisols Lombok (NTB) di rumah kaca
menunjukkan bahwa pemberian air
dengan irigasi tetes dapat meningkatkan
ketersediaan air tanah dan memperpanjang masa tanam. Pemberian air sampai
500 mm/musim yang dikombinasikan
dengan penggunaan mulsa jerami padi
mampu meningkatkan kelembapan tanah
cukup signifikan (Tabel 7). Kelembapan
tanah meningkat 15% dan 37% volume
bila jumlah air yang diberikan berturutturut ditingkatkan menjadi 400 dan 500
mm/musim.
Petani di daerah perbukitan kritis
Dusun Nawungan, Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Bantul, umumnya memberikan 30 l air untuk setiap 10 rumpun
tanaman semusim lahan kering di musim
kemarau. Pemberian air tersebut dianggap boros, karena selain tidak
mempertimbangkan jumlah air yang
diberikan, juga pemberiannya terlalu
sering. Pemberian air 50−75% kebutuhan
air tanaman yang dilakukan dengan cara
tetes mampu meningkatkan dan memJurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
sama baiknya dengan cara petani.
Pemberian air dengan cara tersebut
mampu meningkatkan hasil tembakau
menjadi 4,10−6,30 t/ha dan cabai 0,40−0,70
t/ha. Pola tanam yang biasa diterapkan
petani di daerah tersebut pada musim
hujan adalah padi pada lahan kering yang
disawahkan, selanjutnya pada akhir
musim hujan dilanjutkan dengan tanaman
semusim (cabai, jagung) atau tembakau.
Bawang merah yang ditanam lebih
dulu dari tembakau (pola tanam A) pada
akhir musim hujan masih cukup baik
sampai interval pemberian air 5 hari
Tabel 7. Kelembapan tanah pada berbagai pemberian air irigasi tetes dan
mulsa pada Vertisols Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Mulsa jerami padi
(t/ha)
Jumlah air
(mm/musim)
300
400
500
Kelembapan tanah
rata-rata
(% volume)
0
5
10
16,60
16,90
20,80
16,40
18,20
26,60
14,90
19,70
18,40
15,90
18,30 (15,10)
21,90 (37,70)
Angka di dalam kurung menunjukkan persentase peningkatan kelembapan tanah.
Sumber: Vadari et al. (1998).
pertahankan kandungan air tanah, yaitu
39−43% volume untuk tembakau dan 39−
41% volume untuk cabai (Kurnia et al.
2001).
Interval pemberian air sangat berpengaruh terhadap kelembapan tanah,
baik untuk setiap jenis tanaman maupun fase pertumbuhannya (Kurnia et al.
2002). Apabila air diberikan setiap hari,
kelembapan tanah masih di atas 30%
volume, sehingga pemberian air tersebut
tidak efisien (Tabel 8). Pemberian air
dengan interval 2−4 hari masih memungkinkan tanaman tumbuh dengan
baik, karena kelembapan tanah masih
cukup tinggi (19,50−24,80% volume).
Namun, pemberian air setiap 4 hari
menurunkan hasil tanaman cukup signifikan (Tabel 9).
Berbeda dengan fase inisiasi, pemberian air setiap 3 hari pada fase
vegetatif dan setiap 5 hari pada fase
generatif menyebabkan perbedaan
kelembapan tanah. Semakin bertambah
umur tanaman, kebutuhan air tanaman
untuk evapotranspirasi dan perkolasi
juga bertambah, sehingga kelembapan
tanah pada fase generatif semakin rendah, karena air yang ada di dalam tanah
digunakan untuk pembungaan dan
pembentukan buah/biji. Hal ini juga
ditunjukkan oleh nilai koefisien tanaman
(kc) pada fase pembungaan dan fase
pembuahan yang terbesar (Tabel 8).
Hasil Panen
Kurnia et al. (2001) melaporkan bahwa
pemberian air dengan irigasi tetes sebesar
50−75% dari jumlah air yang biasa
diberikan petani lahan kering di perbukitan kritis Imogiri, Kabupaten Bantul,
DI Yogyakarta memberikan hasil yang
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Tabel 8. Kelembapan tanah pada setiap interval pemberian air untuk setiap
jenis tanaman dan fase pertumbuhan Dusun Nawungan, Imogiri,
Bantul.
Fase pertumbuhan
dan jenis tanaman
Interval pemberian air (% volume)
Setiap hari
2 hari
3 hari
4 hari
5 hari
Fase inisiasi (0−10 hari)
Tembakau
Bawang merah
Cabai
31,30
32,30
32,20
26,50
22,50
23,10
25,10
22,20
22,40
24,50
20,80
21,40
24
19,30
20,10
Fase vegetatif (11−45 hari)
Tembakau
Bawang merah
Cabai
35,90
30,80
32,20
23,90
26,70
23,10
22,10
25
21,40
20
24,80
19,50
19
23,30
18,60
Fase generatif (45−60 hari)
Tembakau
Bawang merah
Cabai
31,80
30,80
32,20
23,50
26,70
23,10
22,50
25
22,40
20
24,80
21,40
19
23,80
20
Catatan: Pori air tersedia untuk tanah di Dusun Nawungan, Imogiri berkisar antara 20,80−
21,80% volume.
Sumber: Kurnia et al. (2002).
Tabel 9.
Hasil umbi bawang merah, tembakau, dan cabai pada berbagai
interval pemberian air dan pola tanam, Dusun Nawungan, Imogiri,
Bantul.
Pola tanam1
A: Bawang merah-tembakau
- bawang merah (kg/12 m2)
- tembakau (kg/12 m2)
B: Tembakau-bawang merah
- tembakau (kg/12 m2)
- bawang merah (kg/12 m2)
C: Cabai
- cabai (kg/12 m2)
Interval pemberian air (hari)
2
3
4
5
13,80
5,10
13,60
8
12,50
2,90
11,70
2,80
5,10
14,30
8,10
12,70
3,10
11,40
3
6,40
15,60
13
7
6
Tanaman pertama pada setiap pola tanam ditanam akhir musim hujan (bulan Mei).
Sumber: Kurnia et al. (2002).
1
135
(Tabel 9). Namun bila ditanam setelah
tembakau (pola tanam B), hasil bawang
merah masih cukup baik sampai interval
pemberian air 4 hari. Perbedaan hasil
tersebut karena pada pola A terjadi hujan
sebesar 79 mm (Kurnia et al. 2002),
sehingga kelembapan tanah lebih baik
dibandingkan pola B. Hasil cabai masih
cukup baik sampai interval pemberian
air setiap 3 hari, namun bila interval
pemberian air lebih dari 3 hari, hasilnya
menurun drastis. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut secara umum dapat
dinyatakan bahwa interval pemberian air
setiap 2 hari memberikan hasil paling
tinggi. Semakin sering air diberikan,
semakin cepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Namun, bila jumlah
air yang diberikan semakin banyak,
kelebihan air menjadi tidak bermanfaat
atau tidak efisien.
Penelitian di luar negeri menunjukkan
hasil yang sama, bahwa tambahan air
pengairan sangat diperlukan bila jumlah
air yang ada tidak mencukupi kebutuhan
tanaman. Penelitian Yongqiang et al.
(2003) di Luancheng, dataran Cina Utara
menunjukkan bahwa untuk mencapai hasil
jagung maksimal diperlukan tambahan
air 77 mm meskipun terjadi hujan 212
mm, sehingga total kebutuhan air sekitar
290 mm. Tanpa tambahan air, hasil jagung
hanya mencapai 3,53 t/ha, sedangkan bila
memperoleh tambahan air pengairan
hasilnya 6,17 t/ha. Pada kondisi air
terbatas, Panda dan Behera (2003)
melaporkan bahwa air harus diberikan
pada 45% maksimal kadar air yang masih
dibolehkan agar dicapai hasil gandum
tertinggi.
Dalam kondisi kekurangan air,
pemberian air sangat diperlukan untuk
mencapai kuantitas dan kualitas hasil
yang maksimal. Penelitian Sweeney et
al. (2003) di Negara bagian Kansas,
Amerika Serikat menunjukkan bahwa
pemberian air pada berbagai fase pertumbuhan reproduktif kedelai meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil. Hasil
kedelai meningkat 20% dibandingkan
dengan tanaman yang tidak memperoleh
air irigasi. Pengairan meningkatkan
jumlah biji setiap tanaman, bobot biji,
dan kadar protein biji.
Penelitian Tala’ohu et al. (2002) di
lahan kering Lampung Tengah menunjukkan bahwa hasil cabai musim kemarau
dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan air embung yang ada dengan menggunakan pompa air berkekuatan 6 PK.
136
Pemberian air 20 mm atau 200 m3/ha pada
tanaman cabai musim kemarau (curah
hujan 250 mm) mampu memberikan hasil
2,50 t/ha atau senilai Rp3,70 juta dengan
nilai R/C 1,38.
Dari hasil-hasil penelitian tersebut
dapat disimpulkan bahwa jumlah kebutuhan air tanaman semusim lahan
kering belum banyak diketahui, demikian
juga cara dan waktu pemberian air. Oleh
karena itu, penelitian kebutuhan air
tanaman semusim lahan kering, serta cara
dan waktu pemberiannya masih diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil,
terutama pada musim kemarau.
PROSPEK PENGAIRAN
LAHAN KERING
Di Indonesia, pengairan pertanian lahan
kering belum populer, meskipun beberapa
pengusaha swasta dan petani dalam
skala terbatas telah menerapkannya.
Pengairan dengan pompa yang memanfaatkan air tanah (sumur dalam) dan
mengalirkannya secara gravitasi pernah
dilakukan Departemen Pekerjaan Umum di
beberapa daerah di Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Lampung. Di daerah Jember
dan Malang (Jawa Timur) pernah ada
sistem pengairan sprinkler pada perkebunan kopi, kakao, dan apel. Namun,
pelaksanaannya menghadapi berbagai
kendala, baik ekonomi, pengelolaan
maupun teknis operasional.
Prospek pengairan pertanian lahan
kering cukup baik, khususnya untuk
komoditas bernilai ekonomis tinggi.
Penelitian Tala’ohu et al. (2002) di
Lampung Tengah menunjukkan peng-
airan lahan kering pada musim kemarau
dengan pompa berkekuatan 6 PK mampu
meningkatkan IP dari 1 menjadi 3. Dengan
demikian pengairan pada lahan kering
mempunyai prospek yang baik dalam
intensifikasi pertanian. Namun, sejauh ini
data hasil penelitian untuk mendukung
penerapan teknologi tersebut, baik aspek
teknis maupun sosial ekonomis masih
terbatas.
Ketersediaan air pada lahan kering
sering kali menjadi faktor pembatas akibat
rusaknya daerah aliran sungai (DAS),
sehingga air hujan yang jatuh di atas
permukaan tanah tidak lagi mampu
mengisi cadangan air (reservoir) di dalam
tanah, sungai-sungai meluap saat hujan
besar, dan kekurangan air/kekeringan
pada musim kemarau. Untuk mengurangi
limpasan aliran permukaan yang besar
serta memperbesar kapasitas tanah dalam
meresapkan air, diperlukan penerapan
teknik konservasi tanah secara terpadu
dalam sistem pengelolaan DAS.
Penerapan teknik konservasi tanah
harus dikaitkan dengan upaya mengisi
dan memfungsikan waduk, embung,
check dam, dan reservoir lainnya untuk
mengantisipasi kekeringan pada musim
kemarau dan cekaman air pada fase-fase
kritis pertumbuhan tanaman di musim
hujan. Petani lahan kering di perbukitan
kritis Imogiri, Yogyakarta, telah lama
memanfaatkan embung mikro atau kedung
pada musim kemarau untuk mengairi
tembakau, bawang merah, cabai, dan
jagung (Kurnia et al. 2001). Ukuran
embung atau kedung disesuaikan dengan
luas lahan yang mereka miliki. Manfaat
embung cukup besar, yaitu memperbaiki
pola tanam dan meningkatkan produktivitas lahan (Tabel 10).
Tabel 10. Manfaat embung dalam memperbaiki pola tanam dan meningkatkan hasil tanaman.
Penggunaan lahan
Lahan kering (upland)
Pola tanam
Hasil (setara gabah)
Tegalan (rainfed)
Pola tanam
Hasil (setara gabah)
Tanpa embung
Dengan embung
Kacang tanah + ubi kayu bera
3,50 t/ha/musim
Kacang tanah - jagung + ubi
kayu atau kacang tanah jagung + sayuran
4,30−6,30 t/ha/musim
Padi - bera
4,20 t/ha/musim
Padi - tembakau - jagung
11,70 t gabah/ha/musim
Sumber: Irawan et al. (1999).
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Di wilayah iklim basah dengan
curah hujan cukup tinggi sering terjadi
periode atau bulan kering yang dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman.
Pembuatan kolam, embung atau reservoir
lain untuk menampung dan menyimpan
kelebihan air hujan atau aliran permukaan
pada bagian terendah dari suatu areal
pertanian, diharapkan dapat menyediakan
air pada musim kemarau atau periode kritis
pertumbuhan tanaman.
Di kawasan timur Indonesia, pemanenan hujan dan aliran permukaan
untuk mengisi embung, waduk, atau
check dam sebagai sumber air pengairan
(disebut juga konservasi air) perlu dilakukan. Penerapan teknik konservasi air
bertujuan untuk mengendalikan erosi.
Walaupun periode hujan singkat, intensitas hujan di wilayah ini cukup tinggi,
sehingga dapat menimbulkan erosi dan
kerusakan tanah yang cukup serius.
Untuk memperluas pilihan sumber air
pengairan, perlu dicari sumber-sumber air
pengairan baru di samping sungai, air
hujan atau aliran permukaan, antara lain
pemanfaatan air tanah, air sungai, dan
waduk. Dengan mempertimbangkan
kondisi wilayah dan jenis tanah, terutama
tanah-tanah bertekstur halus, maka
pengairan pertanian lahan kering yang
dapat dilakukan adalah dengan irigasi
pompa. Air tanah dinaikkan ke tempat
penampungan dengan menggunakan
pompa, kemudian didistribusikan ke
lahan pertanian secara gravitasi melalui
saluran air atau jaringan irigasi permukaan,
irigasi drip, sprinkler atau penggunaan
siphon kapiler. Pada tanah bertekstur
kasar, pengairan sprinkler lebih memungkinkan karena dapat menghemat
pemakaian air.
STRATEGI PENGAIRAN PERTANIAN LAHAN KERING
Prinsip dasar pengairan pertanian lahan
kering adalah menambah kekurangan air
(beberapa peneliti menyebutnya sup-
lemen) bagi pertumbuhan tanaman
terutama pada saat dibutuhkan, baik
yang bersumber dari air hujan maupun
sumber pengairan lainnya. Penggunaan
air harus hemat, efisien dan efektif, namun
produktivitas pertanian tetap tinggi dan
berkelanjutan.
Air pengairan diberikan dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan evapotranspirasi, perkolasi,
dan kehilangan pada saluran. Artinya, air
yang diberikan berada pada kisaran air
tersedia atau mendekati kapasitas lapang,
bergantung pada sifat-sifat fisik tanahnya.
Kecukupan air dan teknologi pengairan
yang tepat mampu menjamin pola tanam
dalam setahun dan pengaturan waktu
tanam, sehingga efisiensi penggunaan air
meningkat, yang pada akhirnya mampu
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui diversifikasi
tanaman.
Komoditas pertanian yang diusahakan harus memiliki nilai ekonomi tinggi
dan berskala agribisnis, karena investasi
untuk pengairan lahan kering cukup besar
untuk konstruksi bangunan penampung
air, pembuatan sumur dalam, pengadaan
pompa air dan jaringan irigasi, serta biaya
operasional. Teknologi pengairan yang
tepat, efisien dan efektif akan meningkatkan produktivitas tanaman 2−3 kali
lipat dari sistem pertanian tadah hujan.
Namun, penerapan teknologi pengairan
pertanian lahan kering perlu dilakukan
secara bertahap dan didukung oleh
penelitian terpadu dengan mempertimbangkan kebutuhan petani. Penelitian
pengairan lahan kering bersifat spesifik
lokasi, karena harus mempertimbangkan:
1) sifat-sifat tanah yang berkaitan dengan
teknik pengairan, 2) sumber air pengairan
yang tersedia, layak secara sosialekonomis dan aman bagi lingkungan, 3)
nilai ekonomi komoditas yang dibudidayakan, 4) jumlah dan distribusi hujan,
kebutuhan air tanaman untuk setiap fase
pertumbuhan, dan jumlah air yang harus
disediakan, 5) teknik pengairan yang
tepat, efektif dan efisien, frekuensi
pemberian, biaya dan dampaknya terhadap produksi, serta biaya dan keuntungan, serta 6) dampak negatif sistem
pengairan dalam jangka panjang seperti
salinisasi dan pencucian hara.
Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Blaney, H.F. and W.D. Criddle. 1962. Determining consumptive use and irrigation water
requirements. ARS-USDA Tech. Bull. No.
1275.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pengairan pertanian tanaman semusim
lahan kering sangat diperlukan dan sudah
saatnya dilakukan, karena selain untuk mengantisipasi cekaman air, juga
berpeluang dikembangkan khususnya
untuk komoditas pertanian bernilai
ekonomi tinggi dan untuk perluasan areal
tanam, sehingga produktivitas lahan
meningkat. Pengairan pertanian lahan
kering ditujukan hanya untuk memberi
air pada tanaman terutama pada saat-saat
dibutuhkan.
Sumber air pengairan pertanian
lahan kering adalah hujan dan aliran
permukaan. Cadangan air diperoleh
dengan memanen hujan atau aliran
permukaan melalui penerapan teknik
konservasi air, dan mengaktifkan sumursumur dalam yang pernah ada termasuk
mencari sumber-sumber pengairan baru
(air tanah, air sungai). Untuk memperbesar kapasitas tanah menampung air
dan mencegah kerusakan tanah yang
disebabkan oleh erosi, diperlukan penerapan teknik konservasi tanah dalam
satu sistem pengelolaan DAS terpadu.
Air pengairan yang digunakan harus
memenuhi syarat kualitas agar tidak
mencemari tanah, tanaman, dan lingkungan. Sistem pengairan yang dapat
diterapkan pada kondisi Indonesia
adalah irigasi permukaan, irigasi drip,
irigasi sprinkle atau sifon kapiler. Air
didistribusikan ke lahan pertanian
dengan bantuan pompa. Penelitian dan
pengembangan teknologi pengairan
pertanian lahan kering perlu mendapat
perhatian yang serius untuk mengejar
ketertinggalan di bidang produksi, kualitas
hasil dan indeks pertanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2002.
Teknologi hemat air dan irigasi suplemen.
hlm. 239−264. Dalam Teknologi Pengelolaan
Lahan Kering: Menuju pertanian produktif
dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Arsyad, S. 1971. Pengawetan Tanah dan Air.
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
137
Doorenbos, J. and W.O. Pruitt. 1977. Crop water
requirement. FAO Irrigation and Drainage
Paper. No. 24 (revised). FAO-UN, Rome.
Doorenbos, J. and Kassam. 1979. Yield response
to water. FAO Irrigation and Drainage Paper
No. 33. FAO-UN, Rome.
Irawan, B. Hafif, dan H. Suwardjo. 1999. Prospek
pengembangan kedung (embung mikro)
dalam peningkatan produksi pangan dan
pendapatan petani: Studi kasus di Desa
Selopamioro, Bantul, DI. Yogyakarta. hlm.
21−38. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan, Cisarua-Bogor, 9−11 Februari
1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Kurnia, U. 1973. Penetapan Pemakaian Air
Konsumptif dan Kebutuhan Air Irigasi pada
Beberapa Varietas Tanaman Padi Sawah. Tesis
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Kurnia, U., N. Sinukaban, F.G. Suratmo, H.
Pawitan, dan H. Suwardjo. 1997. Pengaruh
teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas tanah dan kehilangan hara. Jurnal
Tanah dan Iklim No. 15: 10−18.
Kurnia, U. dan A. Hidayat. 2001. Potensi,
peluang dan pemanfaatan lahan kering
untuk peningkatan produksi pangan.
Makalah disampaikan dalam Pertemuan
Konsultatif Sumberdaya Lahan dan Air.
Direktorat Perluasan Areal, Ditjen Bina
Produksi Tanaman Pangan, Jakarta 11 Juni
2001.
Kurnia, U., M.S. Djunaedi, dan T. Vadari. 2001.
Efisiensi penggunaan air embung dengan
irigasi tetes untuk mengantisipasi kekeringan
air pada lahan kering di musim kemarau.
Prosiding Kongres dan Seminar KNI-ICID.
Bogor, 16−17 November 2000.
Kurnia, U., M.S. Djunaedi, dan G. Irianto. 2002.
Irigasi hemat air pada lahan kering di daerah
138
perbukitan kritis Imogiri, DI. Yogyakarta.
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Sumberdaya Lahan, Cisarua-Bogor 6−7
Agustus 2002. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Kurnia, U., D. Erfandi, dan H. Kusnadi. 2004.
Rehabilitasi dan reklamasi tanah sawah
tercemar limbah industri tekstil di Kabupaten
Bandung. Makalah disampaikan dalam Expose Hasil-hasil Penelitian di Kantor Dinas
Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, 24
Maret 2004.
Panda, R.K. and S.K. Behera. 2003. Effective
management of irrigation water for wheat
crop under deficit condition. p. 438−443
Proceedings of the 1 st International
Conference on Hydrology and Water
Resources in Asia Pasific Region. APHW
2003 Vol. 1. Kyoto, Japan. 13−15 March
2003.
Penman, H.L. 1956. Estimating evaporation.
Trans. Amer. Geophys. Union 37: 43−46.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang
Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Edisi
1. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Ramadhi, T. 2002. Identifikasi Pencemaran
Lahan Sawah Akibat Limbah Industri Tekstil:
Studi kasus di Kecamatan Rancaekek,
Kabupaten Bandung. Program Studi Analisis
Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Schwab, G.O., R.K. Frevert, T.W. Edminster,
and K.K. Barnes. 1981. Soil and Water
Conservation Engineering. 3 rd ed. John
Wiley & Sons, New York.
Sweeney, D.W., J.H. Long, and M.B. Kirkham.
2003. A single irrigation to improve early
maturing soybean yield and quality. Soil
Sci. Soc. Am. J. 67: 235−240.
Tala’ohu, S.H., Sutono, Y. Sulaeman, dan S.
Wiganda. 2002. Penelitian Teknologi Pengairan Pertanian Lahan Kering. Laporan
Akhir Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kesuburan Tanah dan Iklim.
Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Talkulputra, N.D. dan I. Amien. 1998. Alokasi
penggunaan tanah dalam pembangunan
pertanian di Indonesia. hlm. 1−12. Dalam
Prosiding Pertemuan Pembahasan dan
Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Makalah Utama. Bogor, 10−
12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat.
Thornthwaite, C.W. 1948. An approach toward
a rational classification of climate. Geograph.
Rev. 38: 55−94.
Vadari, T., Haryono, dan N. Sutrisno. 1998.
Aplikasi irigasi tetes untuk budi daya
semangka pada tanah Vertisol di rumah kaca.
hlm. 43−55. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bidang Fisika dan
Konservasi Tanah dan Air serta Agroklimat
dan Hidrologi, Bogor, 10−12 Februari 1998.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Bogor.
Yongqiang, Z., Yu Qiang, Shen Yanjun, and Liu
Changning. 2003. Impact of irrigation
schedules on crop production and water use
efficiency in the North China Plain. p. 427−
431. Proceedings of the 1 st International
Conference on Hydrology and Water
Resources in Asia Pasific Region. APHW
2003 Vol. 1. Kyoto, Japan. 13−15 March
2003.
Jurnal Litbang Pertanian, 23(4), 2004
Download