Catatan Akhir Pekan ke-277

advertisement
Catatan Akhir Pekan ke-278
Radio Dakta dan www.hidayatullah.com
Oleh: Dr. Adian Husaini
MASALAH KATA ”ALLAH”
DI MALAYSIA DAN INDONESIA (2)
(Keragaman Konsep dan Nama Tuhan)
Sebagaimana konsep Islamic worldview (pandangan-alam Islam) yang ditandai
dengan karakteristiknya yang otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan,
menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, juga bersifat otentik dan final. Itu
disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam al-Quran
yang juga bersifat otentik dan final. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas
yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain. Konsep Tuhan dalam
Islam tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan
konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern atau pun dalam tradisi mistik Barat dan
Timur.
Bagi orang Barat modern, Tuhan tidak lagi dianggap penting kedudukannya
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bahkan, sebagian filosof Barat menganggap
”kehadiran Tuhan” dapat mengganggu kebebasan mereka. Karen Armstrong, dalam
bukunya, History of God, mengutip pendapat Jean-Paul Sartre (1905-1980), yang
menyatakan: “… even if God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of
God negates our freedom.”
Karena itulah, manusia modern merasa diri mereka bisa mengatur Tuhan dan
berani mereka-reka Tuhan. Bukan Tuhan yang mengatur kehidupan mereka.
Prof.
Frans Magnis Suseno, tokoh Katolik, merangkum pandangan modernitas terhadap Tuhan:
"Modernitas sebagaimana menjadi kenyataan di Eropa sejak abad ke-17 mulai
meragukan ketuhanan. Reformasi Protestan abad ke-16 sudah menolak banyak
klaim Gereja. Dalam abad ke-17 empirisisme menuntut agar segala pengetahuan
mendasarkan diri pada pengalaman inderawi. Pada akhir abad ke-18 muncul
filosof-filosof materialis pertama yang mengembalikan keanekaan bentuk
kehidupan, termasuk manusia, pada materi dan menolak alam adi-duniawi. Dalam
abad ke-19 dasar-dasar ateisme filosofis dirumuskan oleh Feurbach, Marx,
Nietzsce, dan dari sudut psikologi, Freud. Pada saat yang sama ilmu-ilmu
pengetahuan mencapai kemajuan demi kemajuan. Pengetahuan ilmiah dianggap
harus menggantikan kepercayaan akan Tuhan. Akhirnya, di abad ke-20, filsafat
untuk sebagian besar menyangkal kemungkinan mengetahui sesuatu tentang hal
ketuhanan, sedangkan dalam masyarakat sendiri ketuhanan semakin tersingkir
oleh keasyikan budaya konsumistik. Sebagai akibat, manusia modern menjadi
skeptis tentang ketuhanan kalau ia tidak menyangkalnya sama sekali. Maka
apabila seseorang, atau sekelompok orang, tetap yakin akan adanya Tuhan,
mereka mau tak mau harus menghadapi tantangan skeptisisme modernitas itu."
(Lihat, Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006)).
Sekedar perbandingan, dalam konsep agama Budha, misalnya, seorang Buddhis
tidak menyebutkan nama Tuhannya. Dalam sebuah buku berjudul Be Buddhist Be Happy,
1
misalnya, ditulis: "Seorang umat Buddha meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang
dikenal dengan sebutan: "Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkatam", yang artinya:
Sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, Yang Mutlak. Tuhan
Yang Maha Esa di dalam agama Buddha adalah Anatman (Tanpa Aku), suatu yang tidak
berpribadi, suatu yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. (Lihat, Jo
Priastana, Be Buddhist Be Happy, (Jakarta: Yasodhara Puteri Jakarta, 2005)).
Dalam sebuah buku berjudul Kumpulan Ceramah Bhikkhu Uttamo Thera (Buku
5), Buddha Dhamma dalam Kehidupan Sehari-Hari, dijelaskan mengapa para dewa tidak
mau turun dari sorga dan menemui manusia: ”Sang Buddha yang telah wafat hampir
3000 tahun lamanya itu sebenarnya baru sekejap saja untuk alam dewa. Hanya saja,
diceritakan dalam Dhamma, alam manusia ini sungguh kotor dan busuk bagi para dewa.
Para dewa tidak berminat mendekati manusia. Dari jarak jauh pun mereka sudah
terganggu dengan bau manusia.” (hal. 21).
Agama Hindu juga mempunyai konsep Tuhan sendiri. Alain Danielou, menulis
dalam bukunya, Gods of India: Hindu Polytheism, (New York: Inner Traditions
International, 1985): "Hinduism, or rather the "eternal religion" (sanata dharma), as it
calls irself, recognizes for each age and each country a new form of revelation and for
each man, according to his stage of development, a different path of realization, a
different of worship, a different morality, different rituals, different gods." (hal. x).
Dalam sebuah buku berjudul Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia
(Penerbit: Paramita, Surabaya), disebutkan bahwa:
“Agama Hindu berkembang pertama kali di lembah sungai suci Sindhu di
Bhratawarsa (India). Di lembah sungai suci Sindhu inilah para maharsi menerima
wahyu Brahman, Sang Hyang Widhi Wasa, dan kemudian diabadikan dalam
bentuk pustaka suci Weda. Weda adalah kitab suci agama Hindu yang
mengandung pengetahuan suci maha sempurna kekal abadi, mengenai Brahman,
Sang Hyang Widhi. Gerakan keagamaan Arya Samaj yang didirikan di India pada
tahun 1875 oleh Swammi Dayananda Saraswati (a824-1884), mengemukakan tiga
inti ajarannya tentang Weda, yaitu: 1. Weda adalah wahyu Tuhan. Hal ini
terbukti dari persesuaiannya dengan alam semesta. 2. Weda adalah satu-satunya
wahyu Tuhan, sebab tiada kitab lain yang sepadan dengan Weda. 3. Weda adalah
sumber pokok bagi ilmu agama segala manusia.” (hal. 1).
Hindu juga memiliki konsep Tuhan yang khas, yang berbeda dengan agamaagama lain. Misalnya, disebutkan dalam buku berjudul Hindu Agama terbesar di Dunia
(Medi Hindu, 2006, cetakan ke-6), adanya perbedaan konsep Tuhan Hindu dan Kristen:
”Tradisi Jahudi/Kristen memandang Tuhan sebagai Tuhan cemburu (”sebab Aku
Tuan Tuhanmu adalah Tuhan yang cemburu ”for I the Lord thay God am a
jealous God”, Keluaran/Exodus 20:5), dan pendendam dan ingin membalas
dendam ... Secara kontras, dalam tradisi Veda Tuhan dipandang sebagai karunasindhu (lautan pengampunan dan kasih); patita-pavana (Sahabat yang berduka).”
(hal. 88-89).
Jadi, masing-masing agama memang memiliki konsep Tuhan dan juga nama
Tuhan sendiri-sendiri. Karena melihat fenomena agama-agama semacam itu, kaum
Pluralis agama, lalu dengan sederhana menyimpulkan, bahwa Tuhan memang punya
2
banyak nama. Tuhan itu satu. Tetapi, cara memanggilnya tergantung persepsi dan tradisi
masing-masing agama. Semuanya benar. Semua agama adalah jalan menuju kebenaran.
Tokoh Pluralis John Hick dalam bukunya, God Has Many Names, mengatakan bahwa
Tuhan adalah The Eternal One. Bagi Hick, The Eternal One, menjadi dasar bersama dari
semua tradisi agama besar. Lebih lanjut Hick mengungkapkan, bahwa Tuhan boleh
dikenali dengan identitas apa saja oleh semua penganut agama. Brahma dan Allah adalah
Tuhan yang sama. Cuma dilihat dan diucap dengan cara berlainan antara Hindu dan
Islam. Nama Tuhan boleh berbeda menurut bahasa-bahasa manusia.
Kaum Pluralis, seperti John Hick, melihat agama-agama dari sudut fenomena
saja. Dalam memandang agama – termasuk konsep Tuhan masing-masing agama – Hick
berdiri pada posisi netral agama. Ia tidak berdiri pasa posisi Islam, Kristen, Hindu,
Yahudi, dan sebagainya. Ia berdiri pada posisi di luar semua agama. Posisi inilah yang
kini dibangga-banggakan oleh kaum Pluralis. Padahal, posisi netral agama dalam melihat
Tuhan, ini jelas mengabaikan ajaran eksklusif tiap agama tentang Tuhan.
Konsepsi Hick tentang Tuhan berpijak pada asumsi bahwa Tuhan tidak
memberitahu manusia tentang diri-Nya melalui wahyu. Namun, ia mengandaikan bahwa
manusia merumuskan sendiri pandangannya tentang Tuhan. Karena manusia mempunyai
keterbatasan, juga keragaman pikiran, pandangan manusia pun tentang Tuhan juga
beragam. Karena itulah, dia menganggap semua pikiran tentang Tuhan adalah relatif,
karena merupakan produk akal. Maka, jalan apa pun untuk menuju Tuhan, adalah
dianggap sah. Hick sering menggambarkan teorinya ini dengan menukil perkataan
Jalaluddin Rumi, “The lamps are different, but the Light is the same.” (Walaupun lampulampunya berbeda tapi Cahayanya sama). Dalam Bhagavad Gita, Hick juga menemukan
kalimat “Whatever path men choose is mine” (Jalan apapun yang dipilih manusia adalah
milik-Ku).
Tentu saja, kutipan Hick itu tidak tepat. Sebab, jalan yang dimaksud dalam Islam
bukanlah bermakna “agama”. Begitu juga, kaum Hindu memaknai “jalan” dengan
“yoga”, yakni jalan-jalan dalam agama Hindu. Kaum Muslim jelas tidak dapat menerima
posisi netral agama seperti itu dalam memahami Tuhan. Sebab, dalam pandangan Islam,
konsep Tuhan dan nama Tuhan bukanlah merupakan hasil rekaan manusia. Tapi, konsep
dan nama Tuhan dipahami berdasarkan wahyu, yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' dibaca dengan bacaan
yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai
dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam
al-Quran.
Karena adanya sanad – yang sampai pada Rasulullah saw – maka kaum Muslimin
tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Sepanjang sejarahnya, umat
Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang
sebenarnya ialah Allah dan nama-nama lain (al-asmaul husna) yang juga disebutkan
melalui wahyu. Dengan demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan
final, karena menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada
Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama
Allah, karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT – melalui al-Quran,
dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw.
Spekulasi tentang nama Tuhan, misalnya, dilakukan oleh kaum Yahudi. Dalam
konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum
3
Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The
Concise Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan 'Yahweh' sebagai "The God
of Judaism as the‘ tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and
many other Jews, God’s name is never articulated ,least of all in the Jewish liturgy."
(Lihat, John Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, (Oxford
University Press, 2000). Yahweh memang Tuhan dugaan. Harold Bloom dalam bukunya,
Jesus and Yahweh, (New York: Berkley Publishing Groups, 2005), hal. 127, menulis
“How the name was pronaunced we never will know: Yahweh is merely surmise.”
Berbeda dengan tradisi Yahudi, konsep dan nama Tuhan dalam Islam tidak
bersifat spekulatif dan misterius. Nama Tuhan dalam Islam bersifat final dan universal.
Sedangkan nama Tuhan dalam tradisi Yahudi dan Kristen bisa berubah dan
menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi tertentu. Hingga kini, perdebatan soal nama
Tuhan di kalangan Yahudi dan Kristen masih merupakan perdebatan yang berkelanjutan.
Kaum Yahudi, hingga kini, masih belum menemukan dan berspekulasi tentang nama
Tuhan mereka. Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat
diketahui dengan pasti.
Jadi, ucapan “Yahweh” sebagaimana diucapkan sebagian kalangan Yahudi dan
sebagian kalangan Kristen saat ini adalah sebuah bacaan yang bersifat dugaan terhadap
empat huruf mati YHWH. Empat huruf konsonan itu bisa dibaca dengan berbagai
bacaan. Tetapi, diduga, dulunya nenek moyang kaum Yahudi membacanya Yahweh.
Tentu saja, kondisi seperti ini berbeda dengan umat Islam sedunia, yang dengan pasti
mengucapkan empat huruf mati, “ALLH” dengan bacaan Allah. Tidak mungkin empat
huruf mati ALLH itu dibaca Alilahu atau Alaluhu, dan sebagainya. Huruf ALLH pasti
dibaca umat Islam seluruh dunia sepanjang zaman dengan bacaan Allah, sebab bacaan
seperti itulah yang diajarkan Rasulullah saw kepada para sahabat, sampai turun-temurun,
dari generasi ke generasi umat Islam, hingga saat ini. Umat Islam tidak salah dan tidak
berselisih paham dalam membaca empat huruf mati tersebut. Hingga kini, para penghafal
al-Quran masih banyak yang memiliki sanad (rangkaian transmisi) sampai Rasululllah
saw. Inilah bedanya, soal nama Tuhan, antara Islam dengan Yahudi dan Kristen.
Harold Bloom, dalam buku terkenalnya, Jesus and Yahweh (New York:
Riverhead Books, 2005), menulis, bahwa YHWH adalah nama Tuhan Israel yang tidak
pernah bisa diketahui bagaimana mengucapkannya: “The four-letter YHWH is God’s
proper name in the Hebrew Bible, where it appears some six thousand times. How the
name was pronounced we never will know.” Dalam bukunya, The History of Allah,
(Yogyakarta: Andi, 205), tokoh Kristen Ortodoks Syria, Bambang Noorsena menulis bab
berjudul “Bolehkah Nama YHWH (TUHAN) diterjemahkan dalam Bahasa-bahasa
Lain?”. Ia menulis:
“Sejak Kitab Suci Perjanjian Baru ditulis oleh para rasul Kristus, tetragram
(keempat huruf suci YHWH, Yahwe) diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani,
Kyrios (TUHAN). Cara ini mengikuti kebiasaan Yahudi, yang juga diikuti oleh
Yesus dan para Rasul-Nya yang biasanya melafalkan Yahwe dengan Adonai
(TUHAN) atau ha Shem (Nama segala nama).”
I.J. Satyabudi, seorang penulis Kristen, dalam bukunya, Kontroversi nama Allah,
(Pamulang: Wacana Press, 2004), menulis:
4
”Tetragrammaton YHWH hanyalah terdiri dari empat konsonan (huruf mati) saja.
Tidak ada seorang Yahudi dan Kristen-pun di dunia saat ini yang sanggup
meyakinkan orang lain mengenai bagaimana pelafalan yang benar dari
Tetragrammaton.” (hal. 94).
Nama Tuhan: bukan prinsip
Karena tidak memiliki “tradisi sanad” dan adanya problem otentisitas dan
pembacaan Kitab Sucinya, maka kaum Yahudi tidak bisa memastikan bagaimana cara
melafazkan nama Tuhannya yang semuanya tertulis dalam empat huruf mati 'YHWH'.
Juga, karena dilarang mengucapkan nama Tuhan sembarangan, maka akhirnya mereka
menyatakan, bahwa “God’s name is never articulated” (nama Tuhan tidak pernah
diucapkan). Tradisi Yahudi ini kemudian diikuti oleh kaum Kristen, karena mereka
mewarisi Kitab Yahudi (Perjanjian Lama). Tradisi seperti ini jelas sangat berbeda
dengan Islam. Sebab, dalam Islam, nama Tuhan adalah sebuah kepastian berdasarkan
wahyu, yang sifatnya final dan universal.
Setelah membahas secara mendalam problematika nama Tuhan dalam Yahudi,
Kristen, dan Islam, I.J. Satyabudi, dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah,
menyimpulkan:
”Oleh sebab itu, saya susah sekali untuk mengerti bahwa Dia Yang Penuh Misteri
ini membutuhkan sebuah Nama layaknya kita manusia membutuhkan sebuah
nama! Saya juga susah sekali untuk dapat mengerti bahwa nama Tuhan Yahudi
adalah YHWH, dan nama Tuhan Kristen adalah Yesus, dan nama Tuhan Islam
adalah Allah. Saya sepenuhnya percaya bahwa YHWH adalah Nama Diri Ilahi
suku bangsa Israel, tetapi saya tidak percaya bahwa YHWH adalah memang nama
Diri Ilahi dari Pribadi Dia Yang Mahatinggi itu. Saya harus memastikan bahwa
Nama YHWH adalah bukan Nama Diri Dia Yang Mahatinggi, tetapi hanyalah
sebuah refleksi dari Musa saja terhadap makna dan arti dari EHYEH ASYER
AHYEH. Begitu juga, nama Yesus bukanlah Nama Diri dari Pribadi Dia Yang
Mahatinggi, tetapi Nama Yesus adalah Nama Kemanusiaan yang dikenalkan oleh
Sang Logos yang menjadi Manusia.” (hal. 198).
Kesimpulan I.J. Satyabudi ini tentu saja keluar dari visi seorang Kristen yang
berangkat dari problema internal agamanya. Jadi, sebenarnya, bagi kaum Kristen,
masalah nama Tuhan, bukanlah suatu hal yang mendasar. Kaum Kristen di mana pun
menyebut nama Tuhannya dengan cara yang berbeda. Sebab, bagi sebagian besar mereka,
nama Tuhan bukan secara tegas tercantum dalam Kitab mereka. Mereka diperbolehkan
menyebut Tuhan mereka dengan berbagai sebutan. Dalam buku kecil yang berjudul
Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh, Pdt. A.H. Parhusip, menulis
tentang masalah ini:
”Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah
kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau
panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa! Silahkan! Mau panggil: Debata!
Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau God
atau Lowalangi atau Tetemanis...! Silakan! Mau memanggil bagaimana saja
boleh, asalkan tujuannya memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan
5
bumi... Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang
ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing.
Lihat Roma 2:14-15.” (Lihat, Parhusip, Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte
Pengagung Yahweh (2003), hal. 40-41. Buku kecil Pdt. Parhusip ini tidak
mencantumkan penerbit, tetapi hanya tahun dan alamat penulisnya di GSJA
”PEMENANG” jalan Tanah Lapang 19 Patane III – PORSEA 22384 Sumbagut.)
Jadi, berbeda dengan Islam yang memandang nama Tuhan sebagai sesuatu yang
prinsip, kaum Kristen tidak memandang nama Tuhan sebagai hal yang final. Karena
itulah, jika kaum Kristen mempertahankan sebutan tertentu untuk Tuhan mereka – seperti
sebutan ”Allah”, sebagaimana yang terjadi di Malaysia -- sejatinya itu bukan untuk
mempertahankan nama Allah. Sebab, bagi mereka, ”Allah” bukanlah nama Tuhan yang
diakui oleh semua orang Kristen. Sikap kaum Kristen di Malaysia yang tetap menolak
mengganti nama Allah dengan yang lain, tentu dilakukan karena tujuan lain, terutama
untuk tujuan misi Kristen. Sebab, andaikan kaum Krisren tidak menggunakan kata Allah
bagi menyebut Tuhan mereka, itu pun tidak menjadi masalah bagi mereka, sebagaimana
yang kini terjadi di berbagai beladan dunia lain.
Kontroversi yang hebat di kalangan Kristen dan motivasi penggunaan kata
”Allah” oleh kaum Kristen di wilayah Melayu-Indonesia sebagai bagian dari strategi
Misi Kristen dapat disimak pada paparan berikutnya. (Bersambung).
NB. Penulis, Dr. Adian Husaini, adalah Wakil Ketua Komisi Kerukunan Umat
Beragama—Majelis Ulama Indonesia.
6
Download