BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Alasan Pemilihan Teori
Teori yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah teori
Resiliensi yang berdasarkan (Benard, Bonnie 2004) dalam buku Resiliency : What
We Have Learned dan Fostering Resilience in Kids : Protective Factors in the
Family, School, and Community. Portland, OR : Northwest Regional Educational
Laboratory.
Teori resiliensi menurut Benard (2004), adalah kemampuan untuk dapat
beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi secara baik ditengah situasi yang
menekan dan banyak halangan dan rintangan. Resiliensi memiliki empat aspek
yang dapat diukur dalam Personal Strenght yaitu Social Competence, Problem
Solving Skills, Autonomy, dan Sense of Purpose and Bright Future. Personal
Strength adalah karakteristik individual, yang berhubungan dengan perkembangan
yang sehat dan keberhasilan dalam hidup.
Alasan peneliti menggunakan teori ini yaitu peneliti melihat dari fenomena
yang terjadi di SLB Daruh Hidayah, para ibu yang memiliki anak tunagrahita
terlihat memiliki upaya dan respon dalam menghadapi persoalan dalam mendidik,
merawat, serta memberikan arahan kepada anaknya yang tunagrahita untuk
memaksimalkan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya.
Berbagai hal yang dihadapi ibu untuk menjalani kehidupannya. Peneliti
melihat dari teori resiliensi yang memiliki empat aspek yaitu Social Competence,
Problem Solving Skills, Autonomy, dan Sense of Purpose and Bright Future.
16
repository.unisba.ac.id
17
Berdasarkan keempat aspek ini, para ibu yang memiliki anak tunagrahita terlihat
dapat menggambarkan upaya-upaya serta respon apa saja yang ditampilkan ibu
dalam menjaga dan merawat anak-anaknya.
2.2
Resiliensi
2.2.1 Pengertian Resiliensi
Menurut Benard (2004), resiliensi adalah kemampuan untuk dapat
beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi secara baik ditengah situasi yang
menekan dan banyak halangan dan rintangan.
Benard (2004) mengungkapkan bahwa resiliensi mengubah individu
menjadi Survivor dan mampu berkembang. Individu yang memiliki resiliensi
mengalami penderitaan, namun mampu mengendalikan perilakunya sehingga
yang keluar adalah Outcomes yang positif.
Penelitian beberapa tahun yang lalu mengenai identifikasi “Stress
Resilient” dan “Stress Affected” pada anak-anak membuktikan bahwa resiliensi
bukanlah sesuatu yang diwariskan secara genetik (seperti warna kulit, warna
mata), melainkan kemampuan yang dimiliki setiap orang sejak lahir dan
perkembangannya tergantung dari pengalaman-pengalaman yang dialami di
lingkungan tempat tinggalnya.
Teori resiliensi dari Benard, Bonnie melalui penelitian Desmita yaitu
Mengembangkan Resiliensi Remaja dalam Upaya Mengatasi Stres Sekolah
menjelaskan bahwa resiliensi pada prinsipnya adalah sebuah konsep yang relatif
baru dalam khasanah psikologi. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan
kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi, dan sosiologi tentang
repository.unisba.ac.id
18
bagaimana anak, remaja, dan orang dewasa dapat bangkit kembali dan bertahan
dari kondisi stres, trauma, dan resiko dalam kehidupan mereka.
Saat ini teori resiliensi telah diterima secara luas sebagai konsep psikologi
yang sangat berguna, terutama bagi upaya membantu perkembangan anak dan
remaja yang lebih baik serta dapat mengatasi stres sekolah yang banyak anak dan
remaja alami.
Sejumlah ilmuan, peneliti, dan praktisi di bidang sosial dan perilaku
memandang pentingnya untuk membangun resiliensi. Resiliensi dianggap sebagai
kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam
membangun kekuatan emosional dan psikologis seseorang. Tanpa adanya
resiliensi, tidak akan ada keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas, dan tidak
ada Insight pada diri seseorang. Bahkan resiliensi diakui sangat menentukan gaya
berpikir dan keberhasilan seseorang dalam hidupnya.
Resiliensi umumnya didefinisikan sebagai kapasitas individu untuk
menghadapi berbagai tantangan dalam hidup, untuk pulih kembali (Bouncing
Back) dari pengalaman tersebut, dan meneruskan hidup dengan normal (Gilgun,
1996, Bautista, Roldan & Garces-Bascal, dalam Benard : 2004).
Penelitian mengenai resiliensi berkembang dari penelitian-penelitian yang
berparadigma Risk-Focused, yaitu penelitian yang menekan pada penentuan faktor
resiko yang memprediksikan psikopatologi. Paradigma ini memprediksikan
bahwa individu dalam kelompok resiko rendah akan berkembang secara positif,
dan individu dalam kelompok resiko tinggi akan mengalami penyimpangan dalam
perkembangannya.
repository.unisba.ac.id
19
Faktor-faktor yang mendorong penyimpangan dalam perkembangan
individu tersebut sebagai faktor resiko. Kemiskinan, pengalaman penganiayaan,
cacat fisik, ataupun hidup dalam keluarga yang tidak harmonis adalah beberapa
contoh dari faktor resiko atau kondisi yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan individu.
Resiliensi dikaitkan dengan proses meningkatnya daya tahan individu
terhadap tekanan hidup (Steeling Process), karena telah melalui pengalamanpengalaman sulit sebelumnya (Garmezy & Rutter, 1983). Resiliensi tidak dapat
diartikan sebagai bagian dari kepribadian seseorang yang bersifat statik dan
dimiliki oleh sekelompok orang tertentu saja. Resiliensi terbentuk sesuai dengan
pengalaman-pengalaman individu dalam konteks lingkungannya (Masten, dalam
Benard : 2004).
2.2.2 Faktor Resiliensi
a.
Risk Factor
Merupakan faktor-faktor yang hadir dalam kehidupan individu yang
meningkatkan kemungkinan adanya negative outcome (Richman and Fraster,
2003). Hal-hal yang termasuk Risk Factor adalah ketidakmampuan, budaya,
ekonomi, atau kondisi medis yang meminimalkan kesempatan dan sumber data
bagi individu dan menempatkannya dalam kondisi berbahaya karena gagal
menjadi anggota yang bernilai di rumah, sekolah, dan lingkungan.
b.
Protective Factor
Merupakan aspek penting dari lingkungan yang mendukung berkembangnya
resiliensi pada individu disebut sebagai faktor protektif. Semakin banyak faktor
repository.unisba.ac.id
20
protektif yang bekerja, semakin tinggi kemungkinan bagi individu untuk bertahan
terhadap tekanan-tekanan yang dialaminya.
Diperlukan sebagai kekuatan untuk meningkatkan perkembangan positif dan
keluaran yang berhasil. Lingkungan (Family, Inwork, Community) memiliki peran
besar dalam perkembangan Resiliency, yang dilakukan melalui sikap yang
mendukung perkembangan resiliensi disebut sebagai Protective Factor.
1) Environmental Protective Factors
Lingkungan yang memiliki peran penting dalam perkembangan Resiliency
dari individu. Lingkungan yang dibutuhkan bagi kapasitas pengembangan
kompetensi diri untuk menghasilkan perkembangan yang baik adalah lingkungan
yang mendukung kebutuhan dasar dari bakat seseorang, dan terpenuhinya
kebutuhan psikologis untuk saling memiliki yaitu afeksi, rasa kompetensi, rasa
untuk mandiri, serta perasaan aman.
Menurut Benard, ada tiga hal yang diberikan oleh lingkungan untuk
meningkatkan resiliensi seseorang. Ketiga hal ini adalah relasi saling peduli atau
saling menyayangi (Caring Relationship), lingkungan yang memiliki harapan
yang besar (High Expectations), dan kesempatan yang diberikan lingkungan untuk
berpartisipasi
dan
berkontribusi
(Opportunities
for
Participation
and
Contribution) yang masing-masing terdapat di lingkungan keluarga, sekolah atau
tempat kerja (Inwork), dan masyarakat atau komunitas.
a) Caring Relationships
Caring Relationships adalah menyampaikan dukungan dengan penuh cinta,
sebuah pesan yang mengandung makna kepercayaan, dan cinta yang tidak
bersyarat. (Higgins 1994, dalam Benard 2004).
repository.unisba.ac.id
21
b) High Expectations
Inti dari Caring Relationships adalah High Expectations yang diartikan secara
jelas, positif, dan berpusat pada harapan individu tersebut High Expectations,
didasarkan pada kekuatan, minat, harapan, mimpi dari individu yang tidak
berkaitan dengan apa yang lingkungan inginkan terhadap individu.
c)
Opportunities for Participation and Contribution
Menciptakan kesempatan bagi individu untuk berpartisipasi dan berkontribusi,
merupakan perkembangan hubungan berdasarkan Caring and High Expectation.
2) Family Protective Factors
a)
Caring Relationships in Families
Gambaran tentang orang tua yang peduli seperti dukungan secara emosional
dan responsif, mengasuh, kehangatan, empati, penerimaan, dan tanpa syarat dalam
melakukan sesuatu.
b)
High Expectations in Families
High Expectations dalam keluarga dapat dilakukan dengan menyediakan
petunjuk yang berkontribusi untuk rasa aman remaja, dapat mengkomunikasikan
sikap percaya mereka akan harga diri dan kompetensi, dan bisa sebagai katalisator
untuk menolong individu dalam menemukan kekuatan mereka atau kelebihan
mereka.
c)
Opportunities for Participation and Contribution in Families
Dalam keluarga, partisipasi dan kontribusi tergantung pada kemampuan
orang tua untuk dapat menyediakan tanggung jawab dan kemandirian bagi anakanaknya.
repository.unisba.ac.id
22
3) Community Protective Factors
a)
Caring Relationships in the Community
Salah satu temuan utama dari Resiliency adalah kekuatan mentor informal,
seperti tetangga, teman dari orang tua, guru atau siapapun yang memiliki waktu
untuk peduli dengan orang lain merupakan Protective Factor dalam kehidupan
seseorang.
b)
High Expectation in the Community
High Expectation dalam komunitas berlangsung dalam beberapa tingkatan :
komunitas secara umum, komunitas yang bergerak dalam pelayanan remaja dan
komunitas yang diprakasai. High Expectation dalam komunitas, seperti kapasitas
keyakinan remaja dan orang dewasa, harapan yang jelas dan panduan dalam
tingkah laku, kegiatan serta pesan yang berorientasi pada kekuatan atau kelebihan
yang ada pada seseorang tersebut.
c)
Opportunities for Participant and Contribution in the Community
Dalam hal menyediakan kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi
bagi remaja, komunitas berhasil mengorganisir tawaran kesempatan yang
berkelanjutan untuk remaja dalam, (1) membangun kompetensi dan keterampilan
mereka, melalui keterlibatan, tantangan, dan aktivitas yang menarik, termasuk Job
Training dan magang untuk remaja yang lebih tua; (2) membangun kesetaraan
melalui partisipasi yang aktif dalam kelompok dan dengan teman sebaya dalam
kelompok kecil yang memiliki kesamaan minat; (3) membangun kekuatan dan
rasa hormat melalui pemecahan masalah dan pengambilan keputusan;
repository.unisba.ac.id
23
(4) mencari Sense of Meaning melalui aktivitas yang menyertakan dialog dan
refleksi disamping menyediakan layanan komunitas dan berkontribusi bagi orang
lain, termasuk teman sebaya.
2.2.3 A Perspective on Strengths
The Dynamic Quality of Strengths
Resiliensi adalah sesuatu yang dinamik, kualitas adaptasi dari Resilience
Strength menyadari bahwa mereka tidak memperbaiki sifat dan tingkah laku
seseorang atau bahkan lebih banyak lebih baik. Faktanya, teori resiliensi melihat
bahwa resiliensi tidak memperbaiki tingkah laku, tetapi sebagai sesuatu yang
dinamik dan kontekstual, bahkan internal “aset”. Hal ini bisa berkurang apabila
mengalami ketidakseimbangan. Personal strength juga berbeda-beda pada tiap
budaya.
The roll of psychological needs and intrinsic motivation
Sesuatu yang muncul dan mengendalikan proses perkembangan manusia,
resiliensi dan adaptasi adalah Internal Force. Manusia secara intrinsik termotivasi
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis, termasuk di dalamnya
adalah needs for belonging and affiliation, a sense of competence, feelings of
autonomy, safety, dan meaning (Benard, 2004).
Karena kebutuhan psikologis yaitu untuk adanya rasa dimiliki, individu
akan mencari dan menjalin relasi dengan orang lain dan yang nantinya akan
mengembangkan kemampuan Social Competence. Psikolog melihat hal ini
sebagai dorongan atas affiliation atau belongingness system adaptation (Benard,
2004).
repository.unisba.ac.id
24
Kebutuhan psikologis individu untuk merasa kompeten mendorong
individu untuk mengembangkan kemampuan Problem Solving Skills (Benard,
2004). Kebutuhan untuk merasa kompeten, digabung dengan kebutuhan untuk
merasa Autonomous, membawa individu untuk mencari kesempatan bagi
merasakan sensasi dari kekuatan dan pencapaian. Psikolog melihat ini sebagai
mastery motivational system (Benard, 2004).
Sistem
motivasi
keamanan
individu
memiliki
kebutuhan
untuk
menghindari rasa sakit dan meningkatkan ketahanan fisik yang akan mendorong
individu tidak hanya mengembangkan Problem Solving Skills, tetapi Social
Competence, Autonomy, dan Purpose. Kebutuhan individu untuk mencari arti dari
kehidupan memotivasi individu untuk mencari orang lain, tempat baru, dan
Tranformational Experiences yang akan membuat individu merasakan bahwa
memiliki Sense of Purpose, masa depan dan keterkaitan dengan kehidupan
(Benard, 2004).
2.2.4 Personal Strengths
Personal Strengths adalah karakteristik individual, yang disebut “aset”
internal atau kompetensi personal, yang terkait dengan perkembangan yang sehat
dan keberhasilan dalam hidup. Personal Strengths merupakan outcomes positif
dari Resiliency yang dapat dilihat, diukur, dan diobservasi, serta memiliki empat
aspek, menurut Benard (2004) terdapat empat kategori resiliensi antara lain (1).
Social competence, (2). Problem solving skills, (3). Autonomy, dan (4). Sense of
Purpose and Bright Future. Aspek-aspek tersebut adalah :
repository.unisba.ac.id
25
1.
Social Competence
Social Competence mencakup karakteristik, kemampuan, dan sikap yang
diperlukan oleh individu untuk membangun suatu relasi dan kedekatan yang
positif dengan orang lain. Social Competence meliputi empat sub aspek, yaitu :
1. Responsiveness
Responsiveness merupakan aspek yang mempengaruhi Social Ability
dengan memberikan respon yang positif kepada orang lain dan
menyesuaikan perilakunya agar mendapatkan respons positif dari orang
lain. (Wermer & Smith, dalam Benard : 2004) menemukan bahwa
seseorang yang memiliki temperamen yang mudah dikontrol dan mood
yang positif akan membuatnya bersikap responsive terhadap orang lain
dan dapat memunculkan suatu adaptasi yang baik terhadap berbagai hal.
2. Communication
Communication adalah kemampuan sosial menunjukkan semua proses
yang berkaitan dengan hubungan interpersonal dan relasi sosial yang
dibangun.
Kemampuan
berkomunikasi
sosial
dapat
memudahkan
hubungan interpersonal dan membangun hubungan dengan orang lain.
Kemampuan ini merupakan kemampuan untuk menyatakan dirinya
tanpa menyakiti orang lain. Komunikasi sosial banyak membawa dampak
positif dalam mengurangi konflik interpersonal.
3. Empathy and Caring
Empati adalah kemampuan individu untuk memahami perasaan dan
sudut pandang orang lain (Benard, 2004). Empati tidak hanya membantu
repository.unisba.ac.id
26
memudahkan perkembangan dalam hubungan dengan orang, namun juga
dalam bentuk moral dan pengorbanan serta perhatian kepada orang lain.
4. Compassion, Altruism, and Forgiveness
Compassion merupakan keinginan dan kemauan untuk memperhatikan
dan menolong orang yang kesulitan. Altruism seringkali dianggap sebagai
tindakan berempati. Altruism tidak berarti menolong, namun lebih tepat
untuk melakukan sesuatu bagi orang lain. Altruism adalah suatu kemurnian
tanpa keegoisan dalam menolong dan tidak mencari keuntungan sebagai
penolong dan pertimbangan yang tinggi dari kompetensi social
(Higgins,1994 ; Oliner & Oliner, dalam Benard : 2004).
Forgiveness berarti individu dapat menerima kesalahan orang lain
yang dilakukan terhadapnya dan memaafkannya.
2.
Problem Solving
Problem solving merupakan kemampuan individu untuk dapat membuat
rencana dan tindakan yang akan dilakukan saat menghadapi masalah, dapat
berpikir fleksibel untuk mencari solusi alternatif terhadap suatu masalah, dapat
berpikir kritis dan analitis dalam mengerti suatu kejadian atau situasi.
Problem solving dibangun oleh beberapa kemampuan yaitu kemampuan
merencanakan, fleksibilitas, pemikiran kritis, dan Insight yang juga termasuk
dalam empat sub aspek dari Problem Solving.
1.
Planning
Planning sebagai bentuk dari Problem Solving yang menghubungkan
kemungkinan mengontrol dan merencanakan harapan masa depan.
repository.unisba.ac.id
27
Individu yang memiliki kemampuan merencanakan, berkaitan dengan
keinginan untuk mengontrol dan memiliki harapan akan masa depannya.
2.
Fexibility
Fexibility merupakan kemampuan untuk melihat dan usaha untuk
mencari jalan keluar, baik untuk masalah kognitif maupun sosial.
Termasuk di dalamnya kemampuan untuk mencari jalan lain dan tidak
terpaku pada satu jalan ketika menghadapi masalah.
3.
Resourcefulness
Resourcefulness merupakan kemampuan untuk bertahan, termasuk di
dalamnya adalah melibatkan sumber eksternal dan sekumpulan sumber
dukungan. Kemampuan ini termasuk kemampuan mencari bantuan,
berbagai sumber bantuan, dan `street smarts`. Istilah yang seringkali
digunakan adalah `street smarts`. Istilah street smarts sendiri lahir dari
studi mengenai resiliensi. Street Smarts dapat diartikan sebagai
kemampuan individu untuk menggunakan berbagai strategi guna bertahan
hidup ditengah berbagai tekanan yang harus dihadapinya, (Banaag, dalam
Benard : 2004).
Pada dasarnya, kemampuan untuk memecahkan masalah di dasarkan
pada kemampuan individu untuk berpikir secara kritis dan kreatif. Berpikir
kritis di definisikan sebagai pola berpikir secara reflektif dan mendalam
mengenai permasalahan yang sedang dihadapi, (Benard : 2004).
4.
Critical Thinking and Insight
Pemikiran kritis mengacu pada kemampuan berpikir tingkat tinggi,
kebiasaan menganalisis pemikiran yang terselubung, berusaha mengerti
repository.unisba.ac.id
28
arti dari suatu kejadian, dan pernyataan atau situasi. Insight adalah bentuk
pemecahan masalah yang paling dalam, mencakup kesadaran atau intuisi
akan tanda-tanda di lingkungam terutama pada bahaya.
Insight membantu individu menginterpretasikan dan mempersepsikan
kesulitan atau kesukarannya bahwa dapat diatasi dan dapat menjalani
kehidupan yang lebih baik.
3.
Autonomy
Autonomy adalah kemampuan individu untuk bertindak dengan bebas dan
kemampuan untuk dapat kontrol terhadap lingkungannya. Sub aspek dibawah ini
dapat membantu menjelaskan lebih rinci mengenai aspek Autonomy, yaitu :
1.
Positive Identity
Merupakan identitas tentang diri sendiri yang positif dan kuat yang
sering di sinonimkan dengan Self Esteem yang positif. Individu dengan
tingkat Self Esteem yang tinggi menilai dirinya secara positif, memiliki
pandangan yang positif mengenai lingkungannya maupun kemampuannya
untuk menghadapi dan mengatasi masalah tantangan hidup.
2.
Internal Locus of Control and Initiative
Locus of control di definisikan sebagai persepsi seseorang mengenai
kendali yang dimilikinya terhadap hasil dari tindakan-tindakannya.
Individu dengan Internal Locus of Control meyakini bahwa ia dapat
mengendalikan apa yang terjadi pada dirinya.
Para peneliti Garmezy, Peng et al. Werner & Smith (Benard: 2004)
mengidentifikasikan Internal Locus of Control sebagai karakteristik pada
individu yang resilien. Inisiatif suatu konsep yang hampir bersinonim
repository.unisba.ac.id
29
dengan Locus of control, merupakan kemampuan untuk memotivasi diri
dengan perhatian dan usaha langsung kearah tujuan, (Larson, dalam
Benard : 2004).
3.
Self-Efficacy and Mastery
Self-Efficacy adalah keyakinan pada individu bahwa ia memiliki
kemampuan untuk mengatasi situasi secara positif. Hal yang berhubungan
erat dengan Self-Efficacy adalah Mastery, yang merupakan salah satu dari
pengembangan sense of efficacy yang paling efektif. Mastery merupakan
suatu perasaan berkompeten dalam mencoba atau melakukan sesuatu.
4.
Adaptive Distancing and Resistance
Adaptive distancing meliputi kemampuan secara emosional untuk
melepaskan dirinya dari orang tua, sekolah, atau komunitas yang buruk
dan menyadari bahwa masa depannya tidak ditentukan oleh orang lain
(Beardslee, 1997 ; Breadslee & Podorefsky, 1998 ; Chess, 1989 ; Rubin,
1996, dalam Benard : 2004).
Resistance adalah salah satu bentuk dari Adaptive Distancing.
Penolakan untuk menerima perkataan negatif tentang seseorang, gender,
ras atau budaya merupakan pelindung yang kuat dalam Autonomy.
5.
Self Awareness and Mindfulness
Self Awareness and Mindfulness adalah individu mampu mengamati
apa yang orang lain pikirkan, memperhatikan mood, kekuatan, dan
kebutuhan yang tampak tanpa melibatkan emosi.
repository.unisba.ac.id
30
6.
Humor
Humor membantu seseorang mengubah kemarahan dan kesedihan
menjadi kegembiraan dan membantu seseorang untuk menjauhkan diri dari
hal-hal yang menyedihkan dan kurang baik (Lefcourt, dalam Benard :
2004).
Humor sebagai bentuk penyesuaian atau pertahanan yang kritis dari
resilien individu sepanjang hidupnya.
4.
Sense of Purpose and Bright Future
Sense of Purpose diartikan sebagai keyakinan pada individu bahwa
hidupnya memiliki makna dan tujuan, Benard (2004). Sense of Purpose
merupakan kekuatan untuk mengarahkan tujuan secara optimis dan kreatif untuk
mengerti dan berkaitan dengan kepercayaan yang mendalam tentang arti hidup
dan keberadaan dirinya.
Untuk melihat Sense of Purpose tersebut, terdapat beberapa sub aspek
yang diungkapkan oleh Benard (2004), yaitu :
1.
Goal Direction, Achievement Motivation, and Educational Aspirations
Arah goal sama dengan kemampuan berencana. Motivasi berprestasi
adalah salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku dan tampilannya,
yang juga berarti motivasi dalam menyikapi situasi dimana individu
mampu menanggapi permasalahan yang ada, (Wigfield & Eccles, dalam
Benard, 2004).
2.
Special Interest, Creativity, and Imagination
(Werner and Smith, dalam Benard, 2004), berpendapat bahwa
individu yang memiliki ketertarikan khusus dan hobi akan memberikan
repository.unisba.ac.id
31
sebuah saluran kearah yang lebih positif bagi individu yang hidup di
lingkungan yang penuh tekanan, membuat mereka memperhatikan, dan
memahami untuk menguasai tugas mereka sebagai hasil dari resilientnya.
Minat khusus ini sering muncul dalam beberapa wujud seni-seni
kreatif. Memiliki minat khusus dan mampu menggunakan salah satu
kreativitas atau imajinasi dapat menghasilkan aktualisasi diri dan
pengalaman-pengalaman yang optimal.
3.
Optimism and Hope
Optimisme terkait dengan bagaimana individu mempersepsikan
penyebab dari kejadian yang dialaminya. Optimis yang berhubungan
dengan kepercayaan, pemikiran positif dan harapan yang di asosiasikan
dengan emosi dan perasaan positif, (Benard, 2004).
4.
Faith, Spirituality, and Sense of meaning
Individu yang memiliki resiliensi menggambarkan kekuatannya dari
agama, serta manfaat lain dari keyakinan atau spiritualitas yang lebih
umum, dan mencapai rasa akan stabilitas dengan menemukan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan mengenai tujuan dan nilai diri mereka.
2.2.5 Perkembangan Resiliensi
Kekuatan dari Protective Factor secara langsung berhubungan dengan
kebutuhan dasar manusia. Kapasitas dari perkembangan yang sehat dan
keberhasilan dalam belajar dibawa sejak lahir pada setiap manusia. Ini merupakan
perkembangan yang lahir secara alami memotivasi individu untuk memenuhi
repository.unisba.ac.id
32
kebutuhan dasar manusia akan rasa aman, di cintai, di hormati, mandiri, unggul,
dan berarti.
Ketika individu mendapatkan pengalaman di rumah, di sekolah dan
komunitas yang memberikan Caring Relationship, High Expetation, dan
Opportunities for Participation and Contribution maka kebutuhan dasar akan
bertemu. Pada gilirannya, setelah kebutuhan tersebut terpenuhi secara alami
meningkatkan resiliensi individu akan Social Competence, Problem Solving Skills,
Autonomy, dan Sense of Purpose and Bright Future.
Kekuatan individu ini menghasilkan peningkatan sosial, kesehatan, dan
hasil akademik serta melindungi mereka dari keterlibatan dari perilaku yang
beresiko terhadap kesehatan, seperti alkohol, tembakau, penyalah gunaan obat,
kehamilan remaja, dan kekerasan, (Benard, 2004).
2.3 Tunagrahita
2.3.1 Pengertian Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah anak-anak yang kecerdasannya berada dibawah
rata-rata dengan ditandai adanya keterbatasan intelegensi dan ketidakmampuan
dalam berinteraksi sosial dengan orang lain. Keterbatasan dalam kecerdasan ini
mengakibatkan anak-anak tunagrahita sulit dalam mengikuti program pendidikan
di sekolah biasa secara klasikal. Hal inilah yang menyebabkan anak tunagrahita
membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yang disesuaikan dengan
kemampuan pada anak.
Menurut American Association on Mental Deficiency atau AAMD (Moh.
Amin, 2005 : 22), mendefinisikan bahwa tunagrahita sebagai kelainan yang
repository.unisba.ac.id
33
meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata, yaitu IQ 84 ke bawah
berdasarkan tes dan muncul sebelum usia 16 tahun.
2.3.2 Klasifikasi Anak Tunagrahita
Klasifikasi menurut AAMD (Moh. Amin, 1995: 22-24), yaitu :
a. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik)
Tingkat kecerdasannya IQ mereka berkisar 50-70 mempunyai kemampuan
untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial dan
kemampuan bekerja, mampu menyesuaikan lingkungan yang lebih luas, dapat
mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan semi trampil, dan
pekerjaan sederhana.
b. Tunagrahita Sedang (Mampu Latih)
Tingkat kecerdasan IQ berkisar 30-50 dapat belajar keterampilan sekolah
untuk tujuan fungsional, mampu melakukan keterampilan mengurus dirinya
sendiri (Self-Help), mampu mengadakan adaptasi sosial dilingkungan terdekat,
dan mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan.
c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat)
Tingkat kecerdasan IQ mereka kurang dari 30 hampir tidak memiliki
kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri. Ada yang masih mampu dilatih
mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana, dan dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungan sangat terbatas. Sedangkan klasifikasi yang digunakan di
Indonesia saat ini (PP No 72/1999) adalah :
a. Tunagrahita ringan IQ nya 50-70.
b. Tunagrahita sedang IQ nya 30-50.
c. Tunagrahita berat dan sangat berat IQ nya kurang dari 30.
repository.unisba.ac.id
34
Tabel 1
Klasifikasi Anak Tunagrahita
Pendidikan
Mampu Didik
(Educabel)
Mampu Latih
(Friable)
Perlu Rawat
Sosial
Ringan
(mild morant)
Sedang
(moderate)
Berat/sangat berat
Media
Debil
Embical
Idiot
Berdasarkan hal ini, dapat di jelaskan bahwa klasifikasi anak tunagrahita,
yaitu :

Anak tunagrahita (mampu didik) IQ 50/55 -70/75 (debil), yaitu dapat di didik
dalam bidang akademik, mampu menyesuaikan sosial dalam lingkungan yang
lebih luas, dapat mandiri, dan mampu melakukan pekerjaan sosial sederhana.

Anak tunagrahita sedang (mampu latih) IQ 20/25 – 50/55 (Embicil), yaitu dapat
mengurus dirinya sendiri, mampu melakukan pekerjaan yang perlu pengawasan
ditempat terlindungi, dapat berkomunikasi, dan beradaptasi di lingkungan
terdekat.

Anak tunagrahita berat (mampu rawat) IQ 0 – 20/25 (Idiot), yaitu sepanjang
hidupnya tergantung pada bantuan yang perawatan orang lain.
2.4
Kerangka Pemikiran
Setiap orang tua memiliki keinginan serta harapan yang terbaik untuk anak-
anaknya. Pendidikan yang terbaik dan tumbuh kembang yang sehat untuk
anaknya. Namun, pada kenyataannya segala sesuatunya tidak dapat di prediksi
bahkan harus sesuai dengan yang diharapkan.
Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan untuk anak-anak yang
memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata dan ketidakmampuan dalam
repository.unisba.ac.id
35
berinteraksi sosial dengan orang lain. Anak tunagrahita juga dikenal dengan
istilah keterbelakangan mental. Hal ini dikarenakan keterbatasan kecerdasan yang
mengakibatkan anak sulit untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa
secara klasikal. Keterbelakangan mental membutuhkan layanan pendidikan secara
khusus yang disesuaikan dengan kemampuan pada anak.
Ibu yang memiliki anak tunagrahita memiliki upaya yang cukup besar
dibandingkan ibu yang memiliki anak yang normal. Hal ini dikarenakan, anak
tunagrahita membutuhkan perhatian serta penanganan yang khusus dalam
membantu aktivitas kesehariannya. Dengan pendidikan serta penanganan yang
tepat, dapat membantu mengarahkan anak-anak tunagrahita untuk menjadi lebih
mandiri dan dapat mengurus segala sesuatunya sendiri.
Ibu yang memiliki anak tunagrahita pada awalnya, mengalami gangguan
psikologis seperti, terkejut mengetahui anaknya berbeda dengan anak-anak pada
umumnya, merasa tidak percaya dengan hasil diagnosis, tidak dapat menerima
kondisi anaknya, bahkan putus asa dalam menangani anaknya. Sedangkan
gangguan fisiologis yang terjadi pada ibu yaitu ibu merasa tidak bernafsu makan,
perut serta pencernaan ibu merasa tidak enak, dan ibu sering merasakan sakit
kepala.
Ketika di lingkungan masyarakat, ibu terkadang merasa tidak nyaman. Ibu
merasakan perilaku serta ekspresi orang lain ketika melihat kondisi anaknnya
yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Bahkan ada beberapa individu
yang merasakan bahwa anak tunagrahita dapat menular ke anak mereka. Sehingga
mereka terlihat berusaha menjauhinya. Beberapa ibu yang memiliki anak
tunagrahita merasa tidak nyaman mengajak anaknya keluar rumah untuk jalan-
repository.unisba.ac.id
36
jalan, terkadang ibu merasa malu dengan kondisi anak yang seperti ini, ibu
merasakan hal ini tidak adil baginya karena berdasarkan silsilah keluarganya hal
ini tidak pernah terjadi.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, ibu-ibu yang menyekolahkan
anaknya di SLB Darul Hidayah terlihat berusaha untuk beradaptasi dengan baik
dan mampu berusaha di situasi yang sulit bahkan menekan serta adanya halangan
dan rintangan dalam menjalani kehidupannya. Hal ini terlihat dari upaya-upaya
yang telah dilakukan ibu untuk anaknya yaitu, berusaha mencari tahu tentang
keadaan anaknya, berusaha mencari solusi dari permasalahan yang terjadi pada
anaknya dengan mencari informasi tentang karakteristik tunagrahita, dan ketika
ibu merasa tidak nyaman serta merasa hal ini kenapa bisa menimpa dirinya
terlihat bahwa ibu mencoba berusaha untuk berinteraksi serta menjalin relasi
dengan orang lain. Walaupun terkadang ibu merasakan ada beberapa individu
serta lingkungan yang terlihat menolak kondisi beliau yang memiliki anak
tunagrahita.
Dari segala situasi serta hambatan yang dialami ibu yang memiliki anak
tunagrahita, ibu perlahan-lahan berusaha mengatasi hal ini dan mencoba
menjalani kehidupannya serta mencoba untuk tidak larut dalam kesedihannya
yang memiliki anak tunagrahita.
Peran ibu yang memiliki anak tunagrahita sangat besar, yaitu dalam
kehidupan sehari-hari anak tunagrahita yang memiliki hambatan dalam
perkembangan fisik, kognitif, bahasa, emosi serta dalam penyesuaian sosial. Ibu
mempunyai peranan yang sangat penting dalam merawat anak, seperti membantu
anak dalam berpakaian, mandi, makan, minum, dan sebagainya. Disamping itu,
repository.unisba.ac.id
37
anak yang memiliki keterbatasan intelektual, ibu diharapkan bersikap sabar baik
dalam mengajari anak tentang aktivitas sehari-hari serta dalam merawat anaknya.
Ibu yang memiliki anak tunagrahita terkadang mengalami penolakan sosial
di lingkungannya, bahkan permasalahan ekonomi karena harus menyediakan
biaya yang lebih untuk perawatan serta pendidikan pada anaknya.
Perasaan ibu yang sedih, kecewa, putus asa karena memiliki anak yang tidak
sesuai dengan harapannya. Hal ini yang diperlukan oleh ibu yaitu kekuatan untuk
bangkit dalam mengatasi permasalahan yang terjadi pada hidupnya. Kemampuan
untuk menyesuaikan diri secara positif yang berfungsi secara baik sebagai ibu
yang berada dalam kondisi memiliki anak tunagrahita. Mampu serta berusaha
untuk beradaptasi ditengah situasi yang menekan serta banyak halangan dan
rintangan.
Menurut Benard, (2004) resiliensi adalah kemampuan untuk dapat
beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi secara baik ditengah situasi yang
menekan dan banyak halangan dan rintangan. Dengan adanya resiliensi pada diri
ibu, maka ibu akan dapat beradaptasi dengan keadaannya yang berubah semenjak
adanya anak tunagrahita di kehidupannya. Ibu mampu beradaptasi dengan baik
akan bisa merawat dan memberikan hal yang terbaik bagi anaknya, seperti
memberikan pendidikan dan pelatihan kepada anaknya. Ibu juga sebagai seorang
istri dan makhluk sosial harus tetap mampu menjalankan perannya tersebut
meskipun waktunya banyak tersita untuk merawat anaknya.
Seorang ibu pasti memiliki sifat-sifat keibuannya, yaitu bersangkutan
dengan relasi ibu dan anaknya yang merupakan sebagai kesatuan fisiologis, psikis,
dan sosial. Menurut Kartini Kartono (2007), relasi tersebut dimulai sejak janin ada
repository.unisba.ac.id
38
dalam kandungan ibunya, dan dilanjutkan dengan proses-proses fisiologis berupa
masa kehamilan, kelahiran, periode menyusui, dan memelihara anaknya. Semua
fungsi fisiologis memiliki komponen-komponen psikologis yang pada setiap
individu memiliki khas dan sifat yang sama. Namun, secara individual,
menunjukkan perbedaan karena sifat-sifat kepribadian setiap perempuan berbedabeda.
Derajat resiliensi pada setiap ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB
Darul Hidayah kota Bandung berbeda-beda, hal ini dapat dilihat melalui empat
aspek resiliensi yang dapat diukur dalam Personal Strength, yaitu Social
Competence, Problem Solving Skills, Autonomy, dan Sense of Purpose and Bright
Future. Personal Strength adalah karakteristik individual, yang berhubungan
dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan dalam hidup.
Ibu yang memiliki beberapa aspek dari resiliensi yang tinggi, akan dapat
menjalin relasi yang baik dengan semua orang, serta dapat merencanakan apa saja
yang dibutuhkan anaknya agar dapat mandiri dan memiliki keahlian tertentu. Ibu
juga peka pada keadaan anaknya dan mampu memutuskan secara mandiri hal apa
yang terbaik untuk anaknya serta mampu memfokuskan diri pada masa depan
dirinya dan anaknya secara positif dan yakin akan kemampuannya dalam
menghadapi anaknya. Ibu juga akan memiliki motivasi untuk membuat anaknya
dapat mandiri dan memiliki masa depan. Ibu yang dapat bertahan akan memiliki
kemungkinan untuk mencapai kondisi yang lebih baik, tenang, dan bijaksana
dalam menghadapi tekanan dalam hidupnya.
Ibu yang memiliki resiliensi rendah, akan kurang dapat menjalin relasi
sosial, seperti ibu tidak perduli dengan lingkungan disekitarnya, ibu juga tidak
repository.unisba.ac.id
39
berusaha mencari tahu mengenai hal-hal yang dapat membantu anaknya, ibu
hanya pasrah dengan keadaan yang menimpa anaknya, terdapat ketidakmampuan
dalam mengambil keputusan dalam melakukan tindakannya. Selain itu ibu juga
merasa kurang memiliki kesejahteraan hidup karena ibu malah larut dalam rasa
malu dan penyesalan karena memiliki anak tunagrahita.
Keadaan ibu yang tidak berusaha mencari jalan keluar yang terbaik bagi
dirinya ataupun bagi anaknya yang membuat keadaan ibu menjadi semakin
memburuk. Selain kemampuan yang dimiliki ibu, ibu juga membutuhkan
dukungan dari lingkungannya baik dari keluarga terutama suami, teman, maupun
orang-orang disekitarnya. Dukungan yang diperoleh dari lingkungan disebut
Protective Factors. Dukungan-dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak
membuat ibu menjadi lebih dapat menghadapi kondisi-kondisi menekan dan
diharapkan ibu menjadi lebih dapat bertahan dan merawat anaknya tanpa
menghambat perannya sebagai makhluk sosial.
Ibu yang memiliki anak tunagrahita, dengan kemampuan Social
Competence akan mampu berhubungan atau berelasi dengan orang sekitarnya
seperti mampu memberikan respon positif terhadap orang lain dan menerima
masukan dari orang lain, mampu mengungkapkan hal-hal yang dirasakan tanpa
menyakiti orang lain dan mampu berkomunikasi dengan baik dalam berhubungan
dengan orang lain, mampu mengerti dan memahami perasaan orang lain sesuai
dengan hal yang telah dirasakan orang tersebut, dan mampu untuk memperhatikan
dan menolong orang lain, mampu untuk memaafkan diri sendiri dan mampu
memaafkan orang yang menyakiti hatinya.
repository.unisba.ac.id
40
Ibu yang memiliki Problem Solving Skills, pada saat menghadapi kenyataan
bahwa memiliki anak tunagrahita, ibu akan mampu untuk mencari jalan keluar
dari masalahnya, yaitu ibu mampu merencanakan langkah-langkah dalam
menjalankan kehidupannya dan menetapkan tujuan hidupnya, ibu mampu mencari
solusi atau alternatif terbaik dalam menghadapi tekanan hidupnya dan tidak
menyerah saat mendapatkan hambatan dalam menjalankan kehidupannya, dan ibu
mampu mengendalikan masalah sebagai tantangan, mampu mencari kesempatan
agar dapat bertahan dalam menjalankan kehidupannya sebagai ibu yang memiliki
anak tunagrahita, dan ibu mampu untuk mengambil pelajaran dari masalah yang
dihadapinya.
Ibu yang memiliki kemampuan Autonomy akan mampu mengembangkan
dirinya untuk dapat bertindak secara mandiri dalam mengontrol lingkungan, yaitu
ibu mampu untuk mengetahui identitas dirinya dan menghargai dirinya sendiri,
ibu mampu mengontrol dirinya untuk berperilaku sesuai norma yang berlaku di
masyarakat dan mampu memotivasi diri sendiri untuk mencapai tujuan dalam
hidupnya, ibu mampu dan yakin akan kemampuan dirinya dalam bidang tertentu,
ibu mampu untuk tidak terpengaruh pada pengaruh buruk di lingkungan sekitar
dan mampu untuk tidak tergantung orang lain, ibu mampu untuk mengontrol
emosi dan tidak mudah terpancing emosi, dan ibu mampu untuk menciptakan
suasana gembira dan mampu membangkitkan perasaan gembira.
Ibu yang memiliki kemampuan Sense of Purpose and Bright Future mampu
bertingkah laku menuju tujuan dengan rasa percaya diri, yaitu ibu mampu
merencanakan dan mengarahkan tindakan untuk mencapai tujuan, ibu mempunyai
ketertarikan terhadap minat atau hobi pada bidang tertentu, ibu yakin dan mampu
repository.unisba.ac.id
41
untuk mencapai harapan masa depan, dan ibu mampu untuk mendekatkan diri
pada tuhan.
Perkembangan resiliensi terbentuk dari pengaruh Protective Factor.
Resiliensi yang dimiliki oleh para ibu berbeda-beda, hal ini terkait dengan adanya
faktor yang mendukung dan memfasilitasi terbentuknya resiliensi yang disebut
dengan Protective Factor. Protective Factor meliputi Caring Relationship, High
Expectations, dan Opportunities for Participation and Contribution yang
diberikan oleh keluarga, Inwork, dan komunitas ibu yang mempunyai anak
tunagrahita.
Ibu yang mempunyai anak tunagrahita SLB Darul Hidayah di kota Bandung
dikatakan memiliki resiliensi apabila mampu berkomunikasi dan menjalin relasi
sosial dengan percaya diri terhadap orang disekitarnya. Mengetahui hal yang
harus dilakukan ketika terjadi suatu masalah. Ibu mampu bangkit kembali serta
memiliki perasaan bahwa mereka mampu untuk melaluinya dari kondisi yang
sulit. Ibu memiliki motivasi untuk memperbaiki permasalahan yang terjadi,
optimis, dan memiliki harapan akan masa yang akan datang.
repository.unisba.ac.id
42
Skema Berpikir
Ibu yang memiliki anak
tunagrahita di SLB
Darul Hidayah kota
Bandung.


Aspek Resiliensi :
1. Social Competence.
2. Problem Solving Skills.
3. Autonomy.
4.
Sense of Purpose and
Bright Future.
Resiliensi ibu yang memiliki
Perasaan ibu yang memiliki anak
tunagrahita :
1. Sedih.
2. Kecewa.
3. Marah.
4. Putus asa.
Mengalami kesulitan dalam mendidik dan
merawat anak tunagrahita.
Faktor Resiliensi :
1. Risk Factor : Ketidakmampuan,
budaya, ekonomi, dan kondisi
medis.
2. Protective Factor : Lingkungan yang
mendukung, yaitu Family,
Inwork, dan Community.
Tinggi
anak tunagrahita di SLB Darul
Hidayah kota Bandung
Rendah
repository.unisba.ac.id
Download