Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 YESUS SEBAGAI ANAK ALLAH DALAM INJIL YOHANES Pdt. Decky K. Lolowang, M.Th. PENDAHULUAN Pengakuan iman kepada Yesus sebagai Anak Allah merupakan kredo yang sangat penting dalam kehidupan Gereja. Namun, sebagaimana St.Darmawijaya mencatat, Yesus sebagai Anak Allah mungkin merupakan gelar yang paling sering diucapkan, namun yang paling kabur artinya dalam pikiran kita. Padahal sejak awal kehidupan Gereja, gelar Anak Allah merupakan ide dasar dan sentral kristologi Kristen1. Tentu agak mengejutkan bila keyakinan kepada Yesus sebagai Anak Allah yang menjadi kredo dasar dalam Gereja sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pelbagai ibadah gereja tidak cukup jelas pengertiannya dan atau tetap menjadi yang kabur dalam benak kekristenan. Karena itu, diperlukan penelusuran terhadap asal usul kredo dimaksud. Kekristenan muncul sebagai akibat langsung dari kehadiran tokoh sentral Perjanjian Baru yakni Yesus. Kemunculannya dalam pentas sejarah dunia sebagai gerakan dengan berita utama yakni keselamatan yang berakar di dalam hidup dan pelayanan Yesus dari Nazareth, Pembawa dan pewarta injil sebagai kabar sukacita tetang Kerajaan Allah. Kedatangan-Nya dicatat sebagai momentum pengkinian Kerajaan Allah. Sebagaimana kesaksian penginjil Markus: waktunya sudah genap, Kerajaan Allah sudah dekat, tepat sudah datang (Mark.1:15)2. Ricahard A. Norris mencatat, dari sejak awal kekristenan ada dua hal yang harus dikatakan tentang Yesus yakni, pertama; Dia adalah pewarta keselamatan Allah bagi dunia; kedua, Dialah membawa perintah Allah, mediator dari Penyelamatan Allah. Dialah Mesias, Kristus, Anak Allah3. Hanya sesudah kebangkitan, gereja mulai memproklamirkan Yesus sebagai Kristus dan Tuhan. Dengan Paskah St.Darmawijaya, Pr: Gelar-gelar Yesus, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), h.45. LAI menerjemahkan kalimat dalam teks Yunani: waktunya sudah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Kata sudah dekat dalam terjemahan NKJ = the kingdom of God is at hand. Artinya, sudah di tangan dalam arti telah ada. Kehadiran Kerajaan Allah oleh karena Yesuslah yang mewujudkannya. 3 Richard A. Norris, Jr.: The Christological Controversy,(Philadelphia: Forthress Press, 1980), h.2. 1 2 1 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 itulah, Yesus dari Nazareth yang memberitakan tentang Kerajaan Allah telah datang, mulai menjadi obyek proklamasi Gereja. Ia yang mendorong orang untuk beriman kepada Allah, kini menjadi pusat iman. John Reumann berpendapat, di sekitar tahun 30-an Masehi, pasca kebangkitan-Nya, Yesus mulai diyakini sebagai Mesias di kalangan orang-orang Yahudi berbahasa Aram di sekitar Palestina. Lalu, keyakinan baru itu menyebar ke dunia Yahudi Helenis di Palestina dan diaspora. Akhirnya, agama baru tentang Yesus muncul di dunia Helenis4. Kepercayaan kepada Yesus sebagai Kristus Tuhan, Anak Allah, di kemudian hari menimbulkan kontroversi yang telah turut menghadirkan kekisruhan dalam kekristenan sendiri. Sejarah mencatat sejumlah pertikaian kristologis yang hadir di pelataran dunia misi gereja ketika kekristenan bertumbuh dari dataran Palestina, menyebar memasuki dunia Yunani-Romawi. Kontroversi terkait kredo tentang Yesus sebagai Anak Allah yang dipahami dalam kaitan dengan keilahiannya, makin menjadi bahan diskusi dan pertikaian teologis, sehingga memaksa kaisar Konstantin Agung (280-337) turut campur tangan dengan memaksa terselenggaranya Konsili Nicea di tahun 3255. Usaha pada konsili Nicea belum cukup berhasil sehingga diadakan lagi Konsili Konstantinopel tahun 381. Dari dua konsili inilah menghasilkan Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel yang hingga kini masih dipakai menjadi salah satu bagian integral dalam sejumlah liturgi gereja Protestan6. Inti pertikaian yang ditegaskan dalam Kredo Nicea- 4 John Reuman, mencatat dalam pendahuluannya pada buku Willi Marxsen, The Beginnings of Christology, together with The Lord’s Supper as a Christological Problem, terj.(Philadelphia: Fortress Press, 1979),h. 9. 5 Tom B. Jones; “Constantine I”, dalam Encyclopaedia Americana, Jilid 7, (Connecticut: Americana Corporation, 1980), h.649. Dari catatan historis Tom B. Jones, Konstantinus Agung adalah kaisar pertama yang menjadi Kristen, sekalipun ia nanti dibaptis menjelang ajal tiba. Namun keluarganya sebagian besar telah menjadi Kristen, apalagi ibundanya Helena, merupakan sosok Kristen yang setia, sehingga Helena sempat mengadakan perjalanan siarah ke tanah suci, memperkenalkan dan membela kekristenan baik di daerah kekaisaran Konstantinopel bahkan sampai di Roma. Konstantine Agung berperan besar ketika Konsili Nicea dilaksanakan di tahun 325. Ia berusaha mendamaikan pertikaian teologi yang dimunculkan Arius yang memandang bahwa Yesus Kristus hanyalah ciptaan Allah paling pertama dan utama. 6 Dalam lingkungan Gereja Protestan di Indonesia, mencantumkan Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel dalam Tata Gereja dan Tata Ibadahnya(perhatikan Tata Gereja GPI, Bab II, Pasal 6 sebagaimana tercantum dalam buku: GPI – Sola Fide, Sola Gratia, Sola Scriptura, hlm.16). GMIM sebagai Gereja Bagian Mandiri GPI 2 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 Konstantinopel terkait paham Arius yang menganggap Yesus bukanlah Anak Allah yang ilahi. Dia hanyalah ciptaan pertama dan tertinggi derajatnya. Ia tidak kekal, dan hanyalah makhluk Tuhan yang ada batas hidupnya sebagaimana makhluk lainnya7. Doktrin gereja tentang Yesus sebagai Anak Allah lebih banyak bersumber dari apa yang diwartakan penginjil Yohanes. Hingga kini Gereja tetap menghadapi pergumulan menyangkut kredo ini, apalagi sejak konsili Nicea dan Konstantinopel, kepercayaan kepada Yesus Kristus sebagai Anak Allah, ditarik lebih jauh pada pemahaman tentang hakekat bahwa Yesus sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari ke-Tritunggal-an Allah (Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus), yang memberi penegasan bahwa Ia adalah Anak Allah, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, diperanakkan bukan dibuat, sehakekat dengan Bapa. Rumusan kredo ini, di kalangan kekristenan sendiri mengalami kesulitan memahaminya. Apalagi bagi kaum beragama lain yang memandang kekristenan bukanlah agama monoteis. Perhatikan rumusan kredo Nicea – Konstantinopel menyangkut Yesus sebagaimana dicatatkan James D.G.Dunn8: We believe … ini one Lord Jesus Christ, the Son of God Begotten from the Father, only begotten, that is, from the substance of the Father, God from God, light from light, true God from true God, Begotten not made, of one substance with the Father,Through whom all things came into being, things in heaven and things on earth, Who because of us men and because of our salvation became incarnate, became man Persoalan yang patut diapungkan lagi, apa yang sebenarnya menjadi latar belakang penekanan penginjil Yohanes tentang Yesus sebagai Anak Allah? Mengapa ia dengan sengaja mengemukakan tujuan penulisan dan pemaparannya tentang segala tanda ajaib yang dilakukan Yesus untuk memberi kesaksian bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah mencantumkannya dalam Tata Gereja GMIM 2007, Tata Dasar, Bab II, Pasal 3:2; juga dicantumkan dalam Tata Ibadah GMIM Minggu Bentuk III, dan bahkan menjadi bahan ajar pada katekisasi bagi calon sidi jemaat (lihat, buku: Bertumbuh Dalam Kristus Jilid I/2 = Katekisasi Sidi, diterbitkan oleh BPS GMIM, 2002), h.81. 7 H. Berkhof & I.H.Enklaar: Sejarah Gereja, edisi ke-11 (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2011), h.53-56; juga disinggung Richard A. Norris, Jr., op.cit., h.17-18. 8 James D.G.Dunn: Christology in the Making, An Inquiry into the Origins of the Doctrine of the Incarnation, (London: SCM Press, 1980), h.12. 3 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 yang pantas diimani. Dijamin bahwa orang yang percaya kepada-Nya sebagai Mesias, Anak Allah, akan hidup di dalam nama-Nya. Untuk alasan inilah, dirasa perlu menggali lagi makna yang terkandung dari gelar Anak Allah yang ditekankan penginjil Yohanes. I. Latar belakang pemakaian Gelar Anak Allah. I.1. Perjanjian Lama. Sebagaimana umum diketahui, Alkitab (PL dan PB) merupakan koleksi tulisan perenungan iman umat percaya tentang segala sesuatu yang mereka alami dan yang kemudian diimani tentang kehadiran dan peran dari Tuhan yang Mahakuasa, yang mulanya dikenal sebagai Allah nenek moyang Abraham, Ishak dan Yakub. Allah yang dulunya memperkenalkan dirinya; “Akulah Yahweh”(Kej.17:1; Kel.6:2; juga Kej.45:3) Yahweh yang Mahakuasa, Yahweh yang menjamin masa depan (Yes.43:10; 45:6 dst). Allah yang berbicara, memberi perintah dan manusia patut mendengarkan dan mematuhinya (Kel.3:6)9. Dalam Perjanjian Lama, gelar Anak Allah dipakai dalam tiga cara yakni: menunjuk pada bangsa Israel, raja Israel dan seseorang dengan penugasan khusus dari Allah. Dalam Keluaran 4:22 dst, Musa diperintahkan untuk mengatakan kepada Firaun bahwa umat Israel adalah “Anakku yang sulung”. Ungkapan-ungkapan yang berkaitan dijumpai dalam Yesaya 1:2; 30:1; 45:11; Hosea 11:1; Yer.31:20, juga Maz.82:6; Mal.1:6, baik berupa ide tentang Allah sendiri yang memilih umat-Nya sebagai Anak-Nya untuk sebuah misi khusus maupun sebagai ungkapan ketaatan iman umat sebagai Anak yang pantas menyapa Allah sebagai Bapa10. Raja juga disebut Anak Allah mewakili umat yang olehnya Allah menyapa dan menetapkannya sebagai anak(2 Sam.7:14). Di saat seorang raja diurapi, ia tetapkan sebagai Anak oleh Allah untuk melaksanakan segala perintah-Nya dalam segala aktifitas pemerintahnya (Maz.2:7). Demikian pula para malaekat juga disebut anak-anak Allah (Kej.6:2; Ayub 1:6)11 9 Werner H. Schmidt: The Faith of the Old Testament, terj. (Oxford: Basil Backwell, 1983), h. 53-54. 10 Oscar Culmann, Christology of the New Testament, terj., (London: SCM Press, 1959), h.272-275. 11 St.Darmawijaya, Pr., op.cit., h.48-49. 4 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 I.2. Dunia Helenis Kekristenan lahir dalam dunia yang sangat dipengaruhi Helenisme. Bahasa Yunani telah menjadi bahasa internasional di masa itu. Tulisan-tulisan PB pun dipersembahkan dalam bahasa Yunani, belum terhitung pengaruh tradisi budaya, filsafat dan seni. PB sendiri menjadi dokumen yang memberi kesaksian tentang kuatnya pengaruh Helenisme, termasuk melalui Yahudi Helenis12. Umum dalam dunia Helenisme, Anak Allah (anak dewa) menunjuk pada para pahlawan Yunani, misalnya Dionysius dan Herkules. Di Mesir, para pejabat pemerintah disebut Anak Allah. Sebut saja Ptolemeus menganggap dirinya Anak Allah (dewa).13 Seseorang yang percaya memiliki sesuatu kuasa ilahi dapat disebut Anak Allah oleh orang lain dan atau dirinya sendiri. Semua yang mengerjakan hal-hal ajaib adalah anak-anak dewa14. Rudolf Bultmann, sebagaimana disitir Oscar Cullmann, berpandangan bahwa gelar Anak Allah tidak berasal dari Yesus sendiri atau dari jemaat Palestina, melainkan hanya dari Kekristenan Helenis yang menerima makna konsep ini dari pengaruh dunia Helenis. Gereja mula-mula dengan merujuk pada Mazmur 2 tentang pengurapan raja, mengenakan gelar Anak Allah kepada Kristus yang bangkit. Bultmann sangat menekankan ada kesamaan antara gagasan tentang orang-orang yang memiliki kuasa ilahi sehingga dapat melakukan pelbagai hal yang ajaib sebagai anak-anak dewa dengan Yesus sebagai Anak Allah.15 Namun, sebagaimana Cullmann menyanggahnya, patut diingat, gagasan tentang orang-orang yang memiliki kuasa ilahi semata-mata karena Eduard Lohse, op.cit., , h.13. James D.G.Dunn, Christology in the Making, An Inquiry into the Origin of the Doctrine of the Incarnation, (London: SCM Press, 1980), h.14 14 Oscar Cullmann, op.cit., h.272. Hal yang sama disinggung pula oleh Reginald F. H. Fuller dalam bukunya: The Foundations of New Testament Christoloy, (London: Lutterworth Press, 1965, h.68-72). Fuller menunjuk pandangan Bultmann dan para muridnya, yang memandang konsepsi tentang Anak Allah dalam Yohanes tidak bisa lepas kaitannya dengan pengaruh Helenis (F.H.Fuller., op.cit., h.69). 15 Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1982), h.128. Karena itu, penginjil Yohanes sejak awal tulisannya memberi penegasan dengan antara lain memakai Yohanes Pembaptis sebagai pemberi kesaksian bahwa Yesus sungguh-sungguh Mesias dan ia tidak berdusta untuk itu(Yoh.1:19-20). Dengan tegas Yohanes Pembaptis berseru: Inilah Dia – ecce homo (Yoh.1:15). Allah Bapa sendiri memberi kesaksian tentang Anak-Nya itu(Yoh.5:32, 37; 8:8), bahkan segala pekerjaan Bapa diserahkan kepada Anak-Nya itu(5:36; 10:25). 12 13 5 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 mereka memiliki kuasa ilahi. Apalagi konsepsi Helenis berakar kuat pada pemikiran politeistik sehingga dengan demikian tidak serta merta dapat dialihkan kepada pola monoteis sebagaimana yang dinyatakan dalam injil Yohanes. II. Titik sentral tulisan injil Yohanes Dari kesaksian para penginjil sinoptik, Yesus sendiri tidak pernah menyebut diri-Nya sebagai Anak Allah, walaupun para penginjil sinoptik melihat di dalam diri Yesus, sebagai Anak Allah, seperti yang diungkapkan dalam bentuk pengakuan Allah ketika Yesus dibaptis (Mark.1:11; Mat.3:17; Luk.3:22)16. Pengakuan itu, ditegaskan lagi pada peristiwa pemuliaan Yesus di atas gunung, di mana proklamasi Allah dinyatakan lagi bahwa Yesus sungguh Anak-Nya yang terkasih(Mark.9:7; Mat.17:5, band.Mat.12:18; Luk.9:35). Hanyalah dalam injil Yohanes, Yesus sering menyebut diri-Nya sendiri sebagai Anak Allah. Sesuai dengan apa yang dicatatnya pada bagian akhir injilnya, tujuan dari tulisan injil Yohanes adalah; “supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup di dalam nama-Nya”(Yoh.20:31).17 Menurut penginjil Yohanes, Anak Allah adalah Allah sendiri yang menyatakan diri-Nya.18 Selain diperkenalkan oleh Yohanes Pembabtis (1:7,8,15,32,34), Yohanes mencatat bahwa Allah Bapa sendiri yang memperkenalkan menyatakan Yesus sebagai Anak-Nya(5:32,37; 8:18). Kesaksian yang diberikan Allah Bapa berlangsung terus selama sejarah keselamatan bahkan dalam tulisan surat Yohanes (1 Yoh.1:2; 4:14)19 16 Wener Georg Kummel, The Theology of the New Testament, terj.(Nashville: The Abingdon Press, 1973), h.74-75. Benar bahwa Yesus dalam doanya menyapa Allah sebagai Abba, Bapa (Mark.14:36 par.), tetapi tidak dengan sendirinya membenarkan pernyataan bahwa Diri-Nya adalah Anak Allah. Formula Abba, ya Bapa lebih menunjukkan sapaan relasional yang akrab antara Yesus yang berdoa kepada Allah. 17 Tom Jacobs, S.J; op.cit., h.125. Tom Jacobs menganggap hal yang menyolok adanya kesamaan antara Yohanes 20:31 dengan Markus 1:1: “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah. Namun yang membedakannya adalah, Markus menganggap karangannya suatu kabar baik, sedangkan Yohanes berbicara tentang kitab. Memang dalam seluruh tulisan sastra Yohanes, penginjil Yohanes tidak pernah memakai kata injil atau menginjil. 18 Oscar Cullmann, op.cit., h. 305. 19 Tom Jacobs S.Y; op.cit., h.128. 6 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 Dalam injil Yohanes ditonjolkan bahwa Yesus sendiri yang menyebut diri-Nya, Anak Allah(5:31; 8:13-14,18). Puncak kesaksian Yesus di saat saat peradilan Pilatus(18:37).20 Apa sebetulnya maksud utama penginjil Yohanes ketika ia menonjolkan Yesus adalah MesiasKristus, Anak Allah? Tom Jacobs menganggap, penginjil Yohanes tidak bertujuan mewartakan lagi Yesus dari Nazaret adalah Kristus dan Anak Allah (band.Mark.6:1-6,14-15), bahkan tidak bermaksud membuktikannya (band.Kisah 9:20,22), tetapi memberi kesaksian iman: apa sebenarnya arti Kristus dan Anak Allah bagi seorang beriman21. Karena itu, penginjil Yohanes menekankan betapa pentingnya soal percaya dan mengenal Dia, sebab dengan cara itu, manusia dapat mengimani Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Anak-Nya Yesus Kristus. Untuk menjelaskan maksud tersebut, dua kata kerja menjadi istilah favorit Yohanes yakni percaya (pisteuein) dipakainya 96 kali, dan mengenal (ginwskein), dipakai 56 kali. Percaya berarti, menerima Dia sebagai Kristus, Anak Allah (perhatikan antara lain 6:69; 8:24; 11:27; 16:27; 20:31) dan berkomitmen kepada Yesus ini(antara lain: 1:12; 3:16; 6:29; 11:25-26; 17:20) 22. Percaya kepada Dia, Mesias Anak Allah itulah yang menuntun kepada kehidupan. Karena itu, Dunn menunjuk pula salah satu karakteristik penting injil ini adalah dengan memakai hingga 67 kali kata kerja dan benda tentang hidup23. Kata kerja ginoskein= mengenal, tidak sekedar tahu melainkan pada dasarnya percaya kepada-Nya. Mengenali kehendak Bapa yang dinyatakan oleh dan melalui Anak-Nya24. Menjadi orang percaya yang memahami dengan benar maksud dan kehendak Allah yang menyatakan kasih dan perhatiannya yang sangat spesial kepada manusia sehingga Ia menempuh cara yang paling dramatis, mengutus anak-Nya yang tunggal, menjadi sama dengan manusia (Yoh.1:14) dan berkorban hingga mati tersalib bagi kepentingan penyelamatan dunia. Pemuliaan-Nya bukan pada takhta terhormat melainkan justru melalui jalan salib (Yoh.3:14-17). Yohanes mencatatkan momentum pemuliaan pada salib itu tergambar Tom Jacobs, SJ., up.cit., h.128-129. Tom Jacobs, op.cit., h.128. 22 James D.G.Dunn, Unity and Diversity, An Inquiry Into the Character of Earliest Christianity, (Philadelphia: The Westminster Press, tt), h.26-27. 23 James D.G. Dunn, Ibid, h. 28-29. 24 James D.G.Dunn, op.cit., 27. 20 21 7 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 jelas dalam doa syafaat Yesus (Yoh.17:1-26). Momentum telah tiba saatnya, yaitu saat Sang Anak dimuliakan pada salib itu. Seringnya Yesus disebutkan dengan gelar Anak, Anak Allah, bahkan Anak Tunggal Allah, disamping hendak menunjukkan keintiman relasi antara Anak dan Allah sebagai Bapa tetapi terutama terkait dengan tugas, pekerjaan yang diamanatkan Bapa, dan karena itu Ia diutus ke dalam dunia. Pendengar berita-Nya haruslah memilih hidup atau mati sebagaimana juga diperhadapkan kepada bangsa Israel di padang belantara. Bila memilih hidup, maka ia melewati momentum kematian kepada kehidupan dan dengan demikian menghindarkannya dari penghukuman dibalik momentum kematian itu (perhatikan 3:36; 5:24; 11:25-26). Tidak ada tempat untuk kompromi. Harus ada pilihan. Bagi James D.G.Dunn, kemungkinan bahwa bahasa Yesus sebagai Anak Allah dari kekristenan awal berakar dari dalam pelayanan Yesus sendiri, walaupun kekristenan mula-mula belum memakai gelar itu sebagai konfesi. Nanti pada jemaat Kristen Helenis maka konfesi Yesus sebagai Anak Allah mengalir penuh.25 Yang jelas, penginjil Yohanes menempatkan iman kepada Anak Allah sebagai titik sentral injilNya. Hal itu dimunculkannya mulai pada prolog (1:1-18) yang berisikan himne tentang Yesus sebagai logos. Konsepsi ini kemungkinan besar mengambil alih paham hikmat dalam PL (Amsal 8:22-36), suatu konsepsi yang mempersonifikasi hikmat yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, bahkan yang turut mengambil bagian dalam proses penciptaan alam semesta. Dengan mengadopsi gagasan dalam PL yang kemudian dikenakan kepada Yesus sebagai logos, pada dasarnya penginjil bermaksud menanamkan keyakinan yang kuat bahwa Yesus datang dari Allah dan satu dengan Bapa. Kesatuan Anak - Bapa digambarkan berulang kali dalam Yoh.5:19-26, suatu kesatuan fungsional yang olehnya Anak mengerjakan apa yang dikerjakan Bapa, bahkan menunaikan apa yang ditugaskan Bapa kepadanya. Dalam doa syafaatnya, Yesus sang Anak meminta agar kesatuan antara Bapa dan Anak kiranya juga menginspirasi kesatuan umat percaya, sehingga sama seperti Bapa di dalam Anak dan Anak di dalam Bapa, demikian juga kiranya umat-Nya memiliki kesatuan yang 25 James D.G.Dunn; Unity and Diversity, h.45-49. Bagi Dunn, pengakuan tentang Yesus sebagai Anak Allah menjadi kunci deskripsi tentang Yesus dalam kredo-kredo klasik. 8 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 intim di antara umat itu sendiri dan dengan sendirinya mereka pun dapat menikmati kesatuan yang intim dengan Bapa dan Anak (Yoh.17). Kesatuan yang begitu intim, digambarkan lebih jelas dalam bahasa anak tunggal Allah, istilah yang hanya muncul 4 kali dalam Injil Yohanes dari seluruh tulisan PB (Yoh.1:14, 18; 3:16,18)26. Pengungkapan keintiman relasi Anak-Bapa ditegaskan dalam dalam Yoh.1:18, bahwa Anak Tunggal itu yang menyatakan Allah Bapa itu, duduk di pangkuan Bapa. Anak yang begitu intim dengan Bapa, setia dan patuh melaksanakan kehendak Bapa-Nya yang begitu mendalam mengasihi dunia milik-Nya (Yoh.3:16). Allah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal itu kepada dunia, karena kasih-Nya supaya siapa pun yang percaya, dijamin memiliki kehidupan. Karena untuk itulah Bapa mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia demi tujuan penyelamatan(Yoh.3:17; band.1Yoh.4:9,14).27 Dengan sering pula memakai kata mengutus anak-Nya, maka penginjil Yohanes hendak mempertegas bahwa Yesus Anak Allah, sungguh-sungguh berasal dari Allah. Malahan Ia ada dalam satu kesatuan yang utuh dengan Bapa. Di kemudian hari, dari pengungkapan pengutusan itu gereja memberi penafsiran terhadap keilahian Yesus Kristus yang sungguh-sungguh Allah yang sejati tetapi juga manusia yang sejati. III. Persoalan historisitas Injil Yohanes Sebagaimana dikemukakan Norman Perin dan Dennis Duling, ciri khusus dari injil Yohanes adalah bahwa injil ini merupakan kesaksian dalam bentuk meditasi atas sosok Yesus. Dari awal hingga akhir, setiap sudut kisah yang kebanyakan dipersembahkan dalam bentuk narasi, bernafaskan meditasi itu. Karena itu, alangkah sulitnya menemukan jawaban atas persoalan keaslian peristiwa historis di dalamnya.28 Sumbersumber tulisannya pun tidak ada kaitannya dengan injil-injil sinoptik, padahal injil Yohanes ditulis sesudah ketiga injil sinoptik. Namun dari penelusuran terhadap isi, sejumlah pendapat muncul dari para ahli yang menganggap bahwa sumber utama injil ini berasal dari koleksi sumber tanda-tanda (sign source) dan kisah penderitaan (passion story). Oscar Cullmann, op.cit., h.298. Tom Jacobs, op.cit., h.136-139. 28 Norman Perrin & Dennis Duling, The New Testament, An Introduction, Edisi ke2(New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc, 1982), h.329-330. 26 27 9 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 Bultmann sendiri berpendapat, selain dari sumber-sumber tersebut, juga dari sumber gnostik, walaupun acuannya pada gnostik Mandean yang muncul di sekitar abad II-III Masehi, sehingga tidak banyak dipakai menjadi acuan dalam studi belakangan ini29. Hal yang jelas tergambar dalam Injil Yohanes menunjukkan adanya ketegangan antara komunitas Yohanes dengan Yudaisme dan temanya yakni iman kepada Yesus sebagai Anak Allah. Agaknya jemaat Yohanes telah diusir keluar dari sinagoge (9:22; 16:1-3), dan di mata Yohanes, orang Yahudi tidak dapat lagi dipandang sebagai orang saleh, tetapi semata-mata sebagai mewakili dunia yang menolak menjawab Yesus dengan iman.30 Khusus menyangkut tentang Firman yang menjadi daging merupakan reaksi keras Yohanes terhadap gagasan tentang Gnostik yang menonjolkan tentang Penebus yang turun dari atas. Jadi, firman menjadi daging merupakan antithesis terhadap gagasan Penebus gnostik doketis, yang menganggap bahwa Yesus sungguh-sungguh Anak Allah yang ilahi, bukan manusia, berasal dari dunia atas dan tak mungkin menderita apalagi mati.31 Siapa sesungguhnya alamat tulisan injil Yohanes, atau juga penghasil injil ini? Sebab diduga tulisan reflektif/kontemplatif ini 29 Ibid, h.335. Rudolf Bultmann dalam uraiannya khusus menyangkut injil Yohanes, berpendapat, selain dua sumber tersebut, sumber ketiga adalah kisah wahyu Gnostik. Bagi Bultmann, kristologi Yohanes dibentuk dari pola mitos Penebus Gnostik , yakni Penebus yang diutus membawa pengetahuan tentang asal usul manusia (R.Bultmann; Theology of the New Testament II, The Theology of John, The Development of Church Order and Doctrine, The Problems of Christian Living, London: SCM Cheap Edition, 1967, h.6-7, ). C.H.Dodd, sebagaimana disinggung George Aldon Ladd, menganggap bahwa Injil Yohanes memiliki kemiripan idiom dan gagasan seperti pada Hermetica, kumpulan tulisan keagamaan di Mesir. Hanya saja, bagi George Aldon Ladd, pandangan C.H.Dodd ini sulit dipegang karena sejumlah gagasan dalam Hermetica tidak ada dalam Yohanes. Bagi Ladd, latar belakang injil Yohanes harus dicari dari PL Septuaginta (Geoge Aldon Ladd, A Theology of the New Testament,New York: Wm.B.Eerdmans Publishing Company, 1979, h.217-218). 30 Rudolf Bultmann; op.cit., h.5. Bagi Bultmann, Yohanes menonjolkan Yesus bukan sebagai rabi yang bergumentasi berkaitan dengan Hukum Torat, atau sebagai nabi yang memproklamasikan tentang pemerintahan Allah, melainkan hanya tentang Pribadi Yesus sebagai Pewujudnyata kehendak dan maksud Allah yang mengutus Dia ke dunia ini. Pengutusan Yesus ke dunia oleh Allah Bapa, adalah peristiwa eskatologis dan merupakan titik balik zaman, atau kegenapan waktu (3:19; 9:39). 31 James D.G.Dunn, op.cit., h. 299-300. 10 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 merupakan suatu karya yang tidak hanya dihasilkan oleh tangan seorang melainkan oleh suatu kelompok, suatu komunitas gereja yang telah mengalami perkembangan dan mungkin juga konflik hebat sebagaimana tergambar dalam injil ini. Raymond E. Brown melukiskan bahwa injil dan surat-surat Yohanes dihasilkan oleh suatu komunitas yang ditandai sebagai Paguyuban murid yang terkasih. Suatu komunitas yang berasal dari berbagai latar belakang (Kristen Yahudi Palestina, komunitas Yohanes Pembaptis, kelompok Samaria, dan juga Yunani) yang datang dengan segala latar belakang pemikiran dan gagasan kristologi sebagaimana yang dapat ditelusuri dari sastra Yohanes itu. Oleh latar belakang yang beraneka itulah menyebabkan adanya perkembangan kristologi tinggi hingga membawa kepada perpecahan, sebagiannya di kemudian hari dikenal melalui kelompok gnostik doketis. Bagi Brown, apa yang tergambar dalam injil ini cukup jelas memberi informasi adanya faksi-faksi dalam paguyuban Yohanes yang dengan segala latar belakang pemikiran kristologinya. Kristologi tinggi yang kemudian menjadi acuan kepada doktrin tentang keilahian dan kemanusiaan Yesus, tidak bisa dilepaskan dari apa yang dipaparkan dalam injil Yohanes. Raymond Brown menjelaskan, paguyuban Yohanes harus ditelusuri mulai dari sejak mulanya dan membaginya dalam 4 fase32; Fase I, kelompok awal yakni orang Kristen dekat Palestina, termasuk pengikut Yohanes Pembaptis di sekitar decade 50-80 M. Dalam kelompok ini kemungkinan muncul sosok yang kemudian diidentifikasi sebagai murid yang terkasih. Dalam fase itu, bergabung pula kelompok kedua baik orang yang anti Bait Allah dan juga orang-orang Samaria, yang membawa serta pemahaman tentang Yesus sebagai Juruselamat dunia, yang telah ada bersama Allah dan 32 Raymond E. Brown, The Community of the Beloved Disicple, The Life, Loves and Hates on an Individual Chruch in the New Testament Times, (New York: Paulist Press, 1979), h.165168. Menolong sekali memahami pandangan Raymond E. Brwon karena pada bagian akhir ia membuat ringkasan dalam bentuk skema perkembangan komunitas tersebut, juga dengan lampiran sejumlah pendapat para ahli lainnya seperti J. Louis Martin, Georg Richter, Oscar Cullmann, Marie-Emile Boismard, Wolfgang Langbrandtner. Khusus uraian tentang Paguyuban Yohanes berdasarkan pandangan Raymond Brown pada buku tersebut di atas, Pdt. Dr. Samuel B Hakh telah menguraikan secara ringkas dan lugas dalam bentuk materi kuliah Biblika PB pada program Pasca Sarjana UKIT, Juli 2013. 11 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 melihat Dia, dan membawa firman-Nya ke dalam dunia. Dengan penerimaan kelompok kedua itulah memunculkan pemahaman Kristologi pra eksis yang mengantar kepada perdebatan hebat dengan monoteisme Yahudi sehingga memaksa mereka mengeluarkan paguyuban itu dari sinagoge. Dari situlah terbuka kepada penerimaan orang-orang kafir menjadi anggota paguyuban itu. Fase II, sekitar dekade 90 Masehi. Sejak orang Yahudi dibutakan, maka masuknya orang Yahudi adalah pemenuhan rencana Allah. Oleh perkembangan itu, memunculkan konflik yang telah turut membawa kepada perpecahan internal. Fase III, sekitar tahun 100 Masehi saat surat-surat Yohanes ditulis. Pada fase ini terjadi pemisahan antara para pengikut penulis surat dan yang mengembangkan kristologi tinggi yang kemudian menjadi gnostik doketis. Fase IV, sesudah surat-surat Yohanes ditulis sekitar abad II Masehi. Pada fase ini, kelompok utama bergabung dengan gereja utama yang menerima Injil Yohanes yang telah disalah pahami oleh kelompok yang kemudian mengembangkan kristologi tinggi yang menuju kepada gnostik doketis. Sementara kelompok yang telah memisahkan diri menuju sepenuhnya kepada gnostik doketis yang mengembangkan pemahaman bahwa Yesus, Anak Allah sungguhsungguh ilahi dan tidak mungkin sama dengan manusia. Justru penerimaan atas Injil Yohanes yang memberi penegasan tentang logos yang berinkarnasi (Yoh.1:14), memberi penegasan tentang kebenaran pewartaan tentang kemanusiaan Yesus walau ia juga dilukiskan dalam konsepsi keilahiannya. Pandangan Raymond Brown ini saya pandang dapat dijadikan pedoman karena kerumitan yang mewarnai keanekaragaman pehamanan kristologi dalam injil Yohanes itu, mendapatkan jalan untuk memahaminya lebih baik. Dengan demikian, injil Yohanes yang bersifat uraian meditatif tentang Yesus sebagai Anak Allah dengan segala gelar yang melekat pada-Nya dapat lebih dimengerti. IV. Maknanya Bagi Gereja Masa Kini Bagaimana pun juga, kehidupan Gereja tidak dapat lepas dari kredo tentang Yesus Kristus adalah Anak Allah dalam ke-Tritunggalan dengan Bapa dan Roh Kudus. Kredo ini, walau tetap menjadi sesuatu yang sulit dipahami dan dijelaskan, namun tetap menjadi sesuatu yang 12 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 dipegang teguh sebagai keyakinan iman Kristiani yang telah mewarnai, menginspirasi dan yang menggerakkan pertumbuhan Gereja. C. Groenen memandang, doktrin tentang Yesus Kristus sebagai Anak Allah dan kaitannya pula dengan Allah Tritunggal diakui menimbulkan pergumulan teologis baik di kalangan Protestan maupun Katolik.33 Tetap diakui bahwa Yesus Kristus memang tetap sama, kemarin, hari ini dan untuk selamanya. Hanya saja manusia yang berubah, mau tidak mau harus memikirkan Dia secara lain. Untuk konteks Indonesia, C.Groenen sampai mengusulkan agar para teolog Indonesia sebagai pelayan umat, harus siap menyusun suatu kristologi yang sesuai dengan manusia Indonesia dewasa ini dan doktrin kristologi yang diwarisi dari dunia Barat kiranya tidak serta merta dipindahkan di Indonesia. Suatu upaya mengkontekstualisasikan kristologi ala Indonesia, kristologi otentik dengan memperhatikan pelbagai faktor. Suatu kristologi kontekstual sekaligus pastoral34. Pada dasarnya, Kristologi Yohanes adalah kristologi fungsional. Ketika menjelaskan tentang Kristus yang diimani sebagai Anak Allah, yang ditekankan adalah fungsinya sebagai pelaksana kehendak dan maksud mulia Bapa, mengerjakan pekerjaan Bapa. Pekerjaan Bapa adalah penyelamatan dunia ini. Sang Anak Allah tidak patut didiskusikan keberadaannya tetapi bahwa kehadiran-Nya adalah mengerjakan pekerjaan Allah, bahkan dengan kesegeraan selama masih siang(Yoh.9:4). Pernyataan tersebut tentu tidak sekedar warta tetapi dibuktikan Yesus dalam kepelayanan dan juga atas segala tanda ajaib yang dilakukan-Nya, supaya dunia percaya bahwa Yesuslah Anak Allah. Dalam rangka kontekstualisasi teologi Kristen, maka dapatlah dipahami, dalam Dokumen Keesaan Gereja PGI, baik dalam rumusan PTPB, PBIK, yang ditonjolkan adalah bagaimana mewujudkan iman kepada Allah Bapa di dalam Yesus Kristus Anak Allah dan yang selalu hadir dalam sejarah hidup manusia melalui karya Roh Kudus, mengilhami terus gereja untuk mewujudkan injil tentang Yesus Anak 33 C. Groenen; Sejarah Dogma Kristologi, Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada umat Kristen, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988),h. 205-297. Dalam uraiannya pada Bab VI, C.Groenen menggali pelbagai pandangan kristologi baik dari kalangan Reformasi maupun Katolik sendiri. Tetap tergambar kegalauan atas kepelbagaian pandangan kristologis itu, bila dikaitkan dengan kondisi dunia dengan segala perkembangannya di masa kini. 34 C.Groenen, ibid., hl.287-294.. 13 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 Allah dalam pelayanan praksis umat, dan dengan demikian kristologi tidak boleh menjadi bahan debat teori belaka tetapi terutama kepada pelayanan diakonal-pastoral yang terarah kepada praksis kehidupan35. Rumusan tentang Yesus sebagai Anak Allah bahkan Anak Tunggal masih cukup mewarnai DKG itu tetapi lebih ditekankan pada apa yang harus dilakukan Gereja Tuhan yang percaya kepada Yesus Kristus, Anak Allah dalam konteks masyarakat Indonesia dan dunia sekarang ini. Itulah yang lebih mulia disaksikan Gereja, kini dan di sini. Semoga. KEPUSTAKAAN Berkhof, H. & Enklaar, I.H.; Sejarah Gereja, edisi ke-11 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011). BPS GMIM; Tata Gereja GMIM, Tomohon 2007; Tata Ibadah GMIM Minggu Bentuk III, Tomohon, 2010; Bertumbuh Dalam Kristus Jilid I/2, GMIM, 2002). Brown, R.E; The Community of the Beloved Disicple, The Life, Loves and Hates on an Individual Chruch in the New Testament Times, (New York: Paulist Press, 1979). Bultmann, R; Theology of the New Testament II, The Theology of John, The Development of Church Order and Doctrine, The Problems of Christian Living, (London: SCM Cheap Edition, 1967). Culmann, O.; Christology of the New Testament, terj., (London: SCM Press, 1959). St.Darmawijaya, Pr: Gelar-gelar Yesus, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986). Dunn, J.D.G.; Christology in the Making, An Inquiry into the Origins of the Doctrine of the Incarnation, (London: SCM Press, 1980). 35 MPH-PGI, Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia 2009 – 2014, Jakarta: PGI, 2010), h.104-111. Khusus dokumen II: PBIK, yang berusaha menjelaskan tentang Yesus Kristus lebih umum walau tetap menyiratkan kredo tentang Dia sebagai Anak Allah yang tunggal. Perhatikan pula C. Groenen, op.cit., h.295. 14 Educatio Christi Nomor : 23 Tahun XX Agustus 2015 _______ ; Unity and Diversity, An Inquiry Into the Character of Earliest Christianity, (Philadelphia: The Westminster Press, tt). C. Groenen; Sejarah Dogma Kristologi, Perkembangan Pemikiran tentang Yesus Kristus pada umat Kristen, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988) Jacobs, Tom; Siapa Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1982). Jones, T.B; “Constantine I”, dalam Encyclopaedia Americana, Jilid 7, (Connecticut: Americana Corporation, 1980). Kummel, W.G; The Theology of the New Testament, terj.(Nashville: The Abingdon Press, 1973). Ladd, G.A; A Theology of the New Testament,(New York: Wm.B.Eerdmans Publishing Company, 1979). Lohse, E.; The New Testament Environment,terj. (Nashville: Parthenon Press, 1976). Marxsen, W; The Beginnings of Christology, together with The Lord’s Supper as a Christological Problem, terj.(Philadelphia: Fortress Press, 1979). MPH GPI; GPI – Sola Fide, Sola Gratia, Sola Scriptura,tt. MPH-PGI; MPH-PGI, Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia 2009 – 2014, Jakarta: PGI, 2010) Norris, Jr.R.C; The Christological Controversy,(Philadelphia: Forthress Press, 1980). Perrin, N & Duling, D; The New Testament, An Introduction, Edisi ke2(New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc, 1982). Schmidt, W.H; The Faith of the Old Testament, terj. (Oxford: Basil Backwell, 1983). 15