tinjauan makna dan bahasa visual iklan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Penelitian
Guba dan Lincoln mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian
keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan
dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma in menggambarkan suatu pandangan
dunia (worldview) yang menentukan, bagi penganutnya sifat dari “dunia” sebagai
tempat individu dan kemungkinan hubungan dengan dunia tersebut beserta
bagian-bagiannya. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam penegertian
harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja
disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukakn suatu kebenaran akhir
(Sunarto, 2011:4).
Macam paradigma itu sendiri ternyata bervariasi. Guba dan Lincoln
menyebutkan empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post positivism,
konstruktivisme dan kritis. Neuman menegaskan tiga paradigma dalam ilmu
pengetahuan sosial: positivisme, interpretif dan kritis. Sedangkan Cresswel
membedakan dua macam paradima, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto,
2011:9)
Paradigma kritis yang sering menjadi landasan berpikir dalam analisis
semiotika berupaya mempertautkan hubungan antara media massa dan keberadaan
struktur sosial. Ragam analisis kritis umumnya menguji kandungan-kandungan
makna ideologis media melalui pembongkaran terhadap isi media atau teks.
Paradigma kritis mendasarkan penelitian pada penafsiran teks yang menjadi objek
penelitian ini yaitu foto-foto pada rubrik Exposure majalah Popular edisi Oktober
2011. Dengan penafsiran tersebut, peneliti menyelami teks dan menyingkap
makna yang ada dibaliknya. Ketika menafsirkan teks, pengalaman, latar belakang,
keberpihakan bahkan perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.
Penelitian paradigma kritis mempunyai beberapa karakteristik, yaitu:
meyakini bahwa refleksi dan kritik metode untuk menghasilkan pengetahuan
bukan melalui observasi, lebih dari sekedar data kuantitatif dan kualitatif, ideologi
Universitas Sumatera Utara
dan kekuasaan ada dalam pengalaman sosial dan tujuan penelitian untuk
perubahan sosial (Sunarto, 2011:9).
Dikategorikan ke dalam penelitian kualitatif kritis karena sangat
mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan teks ataupun tanda yang
dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi dan historis. Selain itu teori
pendukung dalam penelitian ini seperti feminisme eksistensialis merupakan
bagian dari aliran pemikiran kritis.
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1 Komunikasi Massa
Salah
menyampaikan
satu
bentuk
komunikasi
adalah
komunikasi
massa
yang
informasi, ide, gagasan kepada komunikan yang jumlahnya
banyak dan menggunakan media. Aneka pesan melalui sejumlah media massa
dengan menyajikan beragam
peristiwa baik itu yang sifatnya sederhana
menunjukkan bahwa komunikasi massa telah menjadi bagian kehidupan manusia.
Komunikasi massa dapat didefinisikan
sebagai proses komunikasi yang
berlangsung di mana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada
khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti
radio, televisi dan film (Cangara, 2006: 36).
Komunikasi massa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
komunikasi manusia. Hampir semua kegiatan manusia berhubungan erat dengan
komuniaksi massa. Salah satu diantaranya yaitu media massa. Media massa kini
telah menjadi salah satu alat yang penting sebagai media penyampai pesan atau
informasi kepada masyarakat. Masyarakat membutuhkan media massa untuk
menunjang kegiatannya seperti ketika akan berpergian keluar rumah , mereka
melihat berita ramalan cuaca terlebih untuk mengetahui apakah cuaca cerah,
mendung atau sedang hujan. Contoh lainnya adalah info lalu lintas. Di kota-kota
besar, info lalu lintas adalah info yang paling banyak dicari masyarakat. Dan
semua itu didapatkan melalui media massa seperti koran, radio dan televisi.
Joseph A. Devito mengemukakan definisi komunikasi massa dalam dua
pengertian (Wiryanto, 2004: 3):
Universitas Sumatera Utara
1. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa,
kepada khalayak yang luar biasa banyaknya.
2. Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancarpemancar audio atau visual, seperti televisi, radio, surat kabar,
majalah, film atau buku.
Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan
inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan
atau sumber daya lainnya. Media massa seringkali berperan sebagai wahana
pengembangan budaya, bukan saja dalam pengertian bentuk seni dan simbol.
Dalam banyak hal, proses komunikasi massa dan jenis komunikasi lain bentuknya
sama yaitu seseorang menyusun sebuah pesan, pada dasarnya itu merupakan
tindakan interpersonal. Pesan tersebut kemudian disandikan (encoding) ke dalam
kode umum misalnya bahasa. Bahasa tersebut ditransmisikan dan orang lain akan
menerima pesan tersebut, menguraikan sandinya (decoding) lalu mendalaminya.
Proses pendalaman pesan tersebut juga merupakan tindakan intrapersonal. Namun
sifat komunikasi massa lebih khusus. Untuk dapat menyampaikan pesan dengan
efektif kepada ribuan orang dengan latar belakang dan ketertarikan yang berbeda
membutuhkan keahlian yang tersendiri dibandingkan hanya bicara dengan teman
di seberang meja. Menyandi pesan jauh lebih kompleks karena selalu
menggunakan alat, contohnya kamera, alat perekam atau media cetak (Vivian,
2008: 368).
Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna
yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling
melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik
komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 7)
1. Komunikator Terlembagakan
Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Kita sudah
memahami bahwa komunikasi massa itu menggunakan media massa, baik media
cetak maupun elektronik.
Universitas Sumatera Utara
2. Pesan Bersifat Umum
Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu
ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu.
Oleh karenanya, pesan komunikasi massa bersifat umum.
3. Komunikannya Anonim dan Heterogen
Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim),
karena komunikasinya menggunakan media dan tidak berlangsung tatap muka. Di
samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari
berbagai lapisan masyarakat yang berbeda.
4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan
Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya,
adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan
tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang
bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.
5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan
Pada komunikasi massa, yang penting adalah unsur isi. Dalam komunikasi
massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan
disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.
6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah
Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui
media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya
tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan,
dan komunikan aktif menerima pesan, namun di antara keduanya tidak dapat
melakukan dialog. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah.
7. Stimulasi Alat Indra Terbatas
Pada komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media
massa yang digunakan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada
radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media
Universitas Sumatera Utara
televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.
8. Umpan Balik Tertunda
Komponen umpan balik atau feedback merupakan faktor penting dalam
bentuk komunikasi apa pun. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari
feedback yang disampaikan oleh komunikan. Umpan balik dalam komunikasi massa
tidak terjadi secara langsung karena komunikator tidak dapat melihat reaksi atau
tanggapan dari komunikan secara langsung.
Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Joseph R. Dominick
terdiri atas (Effendy, 2006: 29-31):
1. Pengawasan peringatan (surveillance)
Pengawasan mengacu kepada yang kita kenal sebagai peranan berita dan
informasi dari media massa. Media mengambil tempat para pengawal yang
mempekerjakan pengawasan.
2. Interpretasi (Interpretation)
Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi
beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu. Contoh yang paling nyata
dari fungsi ini adalah tajuk rencana surat kabar dan komentar radio atau televisi
siaran.
Pada kenyataannya fungsi interpretasi ini tidak selalu berbentuk tulisan,
adakalanya juga berbentuk kartun atau gambar lucu yang bersifat sindiran.
3. Hubungan (Linkage)
Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di
dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara
langsung
oleh
saluran
perseorangan. Misalnya kegiatan periklanan yang menghubungkan kebutuhan
dengan produk-produk penjual.
4. Sosialisasi
Sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values) yang
mengacu kepada cara-cara dimana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai
dari suatu kelompok. Mediamassa menyajikan penggambaran masyarakat, dan
dengan membaca, mendengarkan dan menonton maka seseorang mempelajari
bagaimana khalayak berperilaku dan nilai-nilai apa yang penting.
Universitas Sumatera Utara
5. Hiburan (Entertainment)
Fungsi ini jelas tampak pada televisi dan radio, dimana sebahagian
besar programnya bersifat menghibur (to entertain).
2.2.2 Iklan
Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai tiap bentuk komunikasi
nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh
satu sponsor yang diketahui. Yang dimaksud ‘dibayar’ disini menunjukkan fakta
bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli,
sedangkan maksud kata ‘nonpersonal’ berarti suatu iklan melibatkan media massa
(Morrisan, 2010: 17).
Iklan berasal dari bahasa Arab iqlama, yang dalam bahasa Indonesia
artinya pemberitahuan, dalam bahasa Inggris advertising berasal dari kata Latin
abad
pertengahan advertere yang berarti “mengarahkan perhatian kepada”,
sedangkan reklame berasal dari bahasa Perancis “re-klame” yang berarti berulangulang (Danesi, 2010: 362). Sebenarnya semua
istilah di atas
mempunyai
pengertian yang sama yaitu memberi informasi tentang suatu barang/jasa kepada
khalayak.
Iklan dikategorisasikan sebagai iklan non komersial dan iklan komersial.
Iklan non komersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat. Iklan
komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan
pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu
sendiri sehingga terbentuk image semakin tinggi estetika dan citra objek iklan,
maka semakin komersial objek tersebut (Bungin, 2011: 65).
Sejatinya tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi
sebuah citra. Apapun pencitraannya yang digunakan dalam sebuah iklan, baik itu
citra kelas sosial, citra seksualitas dan sebagainya, yang terpenting pencitraan itu
memiliki efek terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya (Bungin,
2011: 126).
Jib Fowles mengatakan, iklan tidak sekedar media komunikasi, namun
terpenting adalah muatan konsep komunikasi yang terkandung di dalamnya,
Universitas Sumatera Utara
terlebih lagi konsep itu harus mampu mewakili maksud produsen untuk
mempublikasikan produk-produknya, serta konsep tersebut harus dipahami oleh
pemirsa sebagaimana yang dimaksud oleh si pencipta iklan ( Bungin, 2011: 81).
Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan
terhadap keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John
Fiske (1991) mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali
makna-makna tersembunyi dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”,
meliputi tampilan visual semacam penampilan, pakaian, make up, perilaku,
pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain. Level yang bersifat
permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua adalah
“representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musik dan
suara. Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang
dibangun seperti konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah
“ideologi”. Sebagai level terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana
ideologi yang dibangun dalam sebuah tayangan iklan (Hermawan, 2011: 248).
Salah satu bagian dari industri periklanan selain pengiklan dan agen
periklanan, adalah media massa. Media berperan sebagai penghubung antara
perusahaan dengan konsumennya. Media untuk pengiklan antara lain adalah radio,
televisi, koran, majalah, internet, direct mail, billboard dan sebagainya. Dari
seluruh media massa yang memungkinkan untuk menjadi media massa
periklanan, televisi seringkali difavoritkan menjadi media periklanan yang utama
karena efektivitas dan efisiensi dalam penyampaian pesan dan
pembentukan
citra di dalamnya (V Tarigan, 2011: 21). Televisi menjadi pilihan utama oleh
banyak pemasar karena karakteristiknya yang unik dan mampu menampilkan
imajinasi nyata dari iklan tersebut dalam bentuk gambar dan suara. Iklan televisi
lahir dari proses panjang penggarapan sebuah iklan. Banyak kalangan tidak
mengetahui kalau iklan televisi umumnya berdurasi beberapa detik, membutuhkan
proses kerja yang sangat rumit dan panjang.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3 Tanda
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha
mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk
sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara
siaran radio (Danesi, 2010:27).
Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar-dasar teori penandaan
yang sampai sekarang masih menjadi dasar. Ia mendefinisikan tanda sebagai yang
tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang
membentuk kata seperti “komputer”); (2) referen yang dipakai untuk menarik
perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan
oleh referen baik secara psikologis maupun sosial. Sebagaimana dalam konteks
semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3)
‘signifikasi’ (Danesi, 2010:34).
Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, yakni
pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang
dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan
wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda,
sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau gambar, disebut sebagai
petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep
sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda
juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur,
2004:32).
Mengapa
suatu
objek
diberi
nama
‘komputer’
untuk
mengidentifikasikan sebuah benda mirip televisi yang memiliki kemampuan
mengolah data, hal ini dapat disebut sebagai sebuah sifat arbitraris.
Danesi (2010:36) menyebutkan bahwa Saussure juga menyatakan bahwa
telaah tanda dapat dibagi menjadi dua–sinkronik dan diakronik. Sinkronik terkait
dengan tanda pada suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaaimana
perubahan makna dan bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure juga
melihat tanda sebagai sebuah ‘gejala biner’, yaitu bentuk yang tersusun atas dua
bagian yang saling terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna
untuk menjelaskan ‘bentuk’ dan ‘ekspresi’ dan petanda (signified) yang berguna
Universitas Sumatera Utara
untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Hubungan antara keberadaan fisik
tanda dan konsep atau makna tersebut dinamakan dengan signification. Dalam
mencermati hubungan pertandaan ini, Saussure menegaskan bahwa diperlukan
semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.
Pendekatan yang kedua, yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce,
bermakna kurang lebih sama dimana ia mengartikan tanda sebagai yang terdiri
atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi) yang merujuk ke objek
(yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut
sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu)
(Danesi, 2010:36). Hubungan antara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu
menyarankan yang lain dalam pola siklis.
Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya ,
keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena
ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut.
Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada
pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan
mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon.
Kedua,
menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika
kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti
bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu
kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004:35).
Tanda terdapat di mana-mana, kata, demikian pula gerak isyarat tubuh,
lampu lalu lintas, bendera, warna, dan sebagainya dapat pula menjadi tanda.
Semua hal dapat menjadi tanda, sejauh seseorang menafsirkannya sebagai sesuatu
yang menandai suatu objek yang merujuk pada atau mewakili sesuatu yang lain di
luarnya. Kita menafsirkan sesuatu sebagai tanda umumnya secara tidak sadar
dengan menghubungkannya dengan suatu sistem yang kita kenal hasil konvensi
sosial di sekitar kita. Tidak semua suara, gerakan, kata, isyarat bisa menjadi tanda,
namun hal tersebut bisa menjadi tanda ketika ia diberi makna tertentu.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ‘tanda’ atau
seme yang berarti ‘penafsir tanda’. Semiotika berakar dari studi klasik dan
skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. ‘Tanda’ pada masa itu masih
bermakna pada suatu hal yang menunjukkan pada adanya hal lain. Jika diterapkan
pada bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri.
Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (signifiant) dalam kaitannya dengan
pembaca. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang
ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang
bersangkutan (Sobur, 2004: 17).
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala
yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tandatanda
lain,
pengirimannya
dan
penerimaannya
oleh
mereka
yang
menggunakannnya. Menurut Preminger (dalam Kriyantono, 2006: 261), ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu
merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Analisis semiotik berupaya menemukan tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi
di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Karena sistem tanda sifatnya amat
kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna
tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna
tanda tersebut berada.
Dapat dikatakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda,
tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda,
melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait dengan pikiran manusia–
seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan
bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem
tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal
seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial
konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari
Universitas Sumatera Utara
tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur,
2004:13).
Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling
orisinal dan multimensional. Menurut Paul Cobley dan Litza Jansz (1999: 20),
Peirce adalah seorang pemikir yang argumentatif. Peirce mengidentisikasi, dari
ilmu logika ke ilmu intelektual, yaitu tindakan komunikatif yang telah
menunjukkan bagaimana ia menggarisbawahi kepentingan teknis ilmu (Sobur,
2004: 40-41).
Pierce menandaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan medium
tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam
kehidupan manusia bisa berarti gerakan ataupun isyarat. Anggukan ataupun
gelengan dapat berati sebagai setuju dan tidak setuju, tanda peluit, genderang,
suara manusia bahkan bunyi telepon merupakan suatu tanda. Tanda dapat berupa
tulisan, angka dan bisa juga berbentuk rambu lalu lintas contohnya merah berati
berhenti (berbahaya jika melewatinya) dan masih banyak ragamnya.
Pierce dalam lingkungan semiotik melihat sebuah tanda, acuan dan
penggunanya sebagai tiga titik dalam segitiga Peirce, yang biasanya dipandang
sebagai pendiri tradisi semiotika Amerika, menjelaskan modelnya secara
sederhana yaitu tanda sebagai sesuatu yang dikaitkan kepada seseorang untuk
sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas dan seringkali mengulang-ulang
pernyataan bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi
seseorang.
Tanda menunjuk pada seseorang, yakni menciptakan di benak seseorang
tersebut suatu tanda yang setara atau barangkali suatu tanda yang lebih
berkembang. Tanda tersebut disebut interpretant dari tanda-tanda pertama.
Perumusan yang terlalu sederhana dari Pierce ini menyalahi kenyataan tentang
adanya suatu fungsi tanda: tanda A menunjukkan suatu fakta (dari objek B),
kepada penafsirnya yaitu C. Oleh karena itu, suatu tanda itu tidak pernah berupa
suatu entitas yang sendirian, tetapi yang memiliki ketiga aspek tersebut (A, B dan
C). Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari
Universitas Sumatera Utara
kepertamaan, objeknya adalah keduaan dan penafsirnya adalah sebagai unsur
pengantara yang berperan sebagai ketigaan.
Ketiga tanda yang ada dalam konteks pembentukkan tanda juga
membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang
membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu
makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya. Penafsir ini adalah
unsur yang harus ada untuk mengaitkan tanda dengan objeknya (induksi, deduksi
dan penangkapan (hipotesis) membentuk tiga jenis penafsir yang penting). Agar
bisa ada sebagai suatu tanda maka tanda tersebut harus ditafsirkan (dan berarti
harus memiliki penafsir).
Charles Sanders Peirce mengemukakan gagasannya mengenai model tanda
dan taksonominya. Peirce mengemukakan model triadic tanda, yang terdiri atas
elemen-elemen sebagai berikut:
a. Representamen, adalah bentuk yang diambil sebagai tanda (tidak
senantiasa bersifat material).
b. Interpretant, cenderung bermakna gagasan yang dimunculkan oleh
tanda.
c. Object, adalah hal kemana tanda terkait mengacu.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1
Segitiga Makna Charles S.Peirce
Sense
B
A
C
Sign Vehicle
Referent
(Sumber : Morissan, 2009: 28)
Hubungan antara ketiga elemen tersebut disebut ‘semiosis’. Untuk lebih
memahaminya, kita bisa ilustrasikan dengan lampu lalu lintas. Dalam model tanda
yang dikemukakan oleh Peirce, lampu tanda berhenti akan diwakili oleh lampu
merah yang ada di persimpangan jalan (sebagai representamen), kendaraan
berhenti (sebagai objek) dan gagasan bahwa lampu merah mengindikasikan
kendaraan harus berhenti (sebagai interpretant) (Morissan, 2009:28).
Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan
mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula
terbuahkan referensi yaitu hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan
simbolik. Dengan demikian referensi merupakan gambaran hubungan antara tanda
kebahasaan berupa kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang
membuahkan satu pengertian tertentu. Simbol berbeda dengan tanda, simbol
mempunyai arti yang lebih mendalam, simbol merupakan sebuah tanda yang
berdasarkan pada konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama.
Simbol baru dapat dipahami seseorang jika seseorang sudah mengerti arti yang
telah disepakati sebelumnya. Burung Dara adalah simbol perdamaian, angka
adalah simbol, kita tidak tahu mengapa bentuk 2 mengacu pada sepasang objek;
hanya karena konvensi atau peraturan dalam kebudayaanlah yang membuatnya
begitu. Dalam hal ini Peirce justru memberikan penekanan pada gagasan tifologi
Universitas Sumatera Utara
tanda yang disebutnya dengan istilah ‘the most fundamental divisions of signs’.
Pembagian tanda Peirce ini kemudian menjadi rujukan bagi banyak ahli semiotika
di dunia sampai saat ini. Namun demikian, para ahli cenderung tetap
menggunakan istilah signifier dan signified sebagai pengganti istilah sign vehicle
dan object-nya Peirce.
Bagi Pierce, tanda “is something whichstands to somebody for something
in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi,
oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen)
selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object, dan interpretant.
Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang
dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisign, sinsign dan lesign. Qualisign
adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, lemah, lembut,
merdu. Sinsign adalah eksitensi aktual atau benda atau peristiwa yang ada pada
tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh
yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang
dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan halhal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004: 41).
Ferdinand De Saussure (1857-1913), secara umum diakui sebagai tokoh
yang meletakkan dasar ilmu bahasa modern. Dalam Cours de Linguistque
General yang diterbitkan oleh murid-muridnya (1916) setelah De Saussure
meninggal, diuraikan dengan panjang-lebar bahwa bahasa adalah sistem tanda dan
tanda merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama
lain: signifiant (penanda) dan signifie (petanda).
Ferdinand Saussure yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk
menganalisis sejumlah besar “sistem tanda” dan bahwa tak ada alasan tidak bisa
diterapkan pada bentuk media atau bentuk kultural apa pun. Semiotika adalah
sebentuk hermeneutika–yaitu nama klasik untuk studi mengenai penafsiran sastra.
Ia termasuk salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks
dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar pada
seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Danesi,
2010: 76).
Universitas Sumatera Utara
Ferdinand de Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi
manusia dengan melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda)
dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau
dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental
dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau
selembar kertas.
Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna,
sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier.
Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan
signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna
terhadap dunia (Fiske dalam Sobur, 2004: 125).
Penerima pesan ataupun pembaca memainkan peranan yang lebih aktif
dalam model teori semiotika dibandingkan model proses lainnya. Semiotika lebih
suka memilih arti ”pembaca” mewakili pernyataan penerima pesan bahkan untuk
sebuah foto ataupun gambar. Karena hal tersebut secara tidak langsung
menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan
sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya; karena itu pembacaan tersebut
ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya.
Pembaca membantu menciptakan makna teks dengan membawa
pengalaman, sikap dan emosinya terhadap teks tersebut. Hubungan
antara
signifier dan signified dibagi tiga, yaitu
1. Ikon, yaitu tanda yang memunculkan kembali benda atau
realitas yang ditandainya. Dapat pula dikatakan, ikon adalah tanda
yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan.
Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja
Keraton
Ngayogyakarta
Yogyakarta
adalah
ikon
Hadiningrat adalah ikon Sultan. Peta
dari
wilayah
Yogyakarta
yang
digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Sultan adalah ikon
dari ibu jari Sultan.
2. Indeks, yaitu tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya
Universitas Sumatera Utara
hubungan dengan yang ditandai. Dapat pula dikatakan, indeks
merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat dengan apa
yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya:
asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di
tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu.
Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang
yang menorehkan tanda tangan itu.
3. Simbol, yaitu sebuah tanda di mana hubungan antara signifier
dan signified semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan
atau peraturan. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah
mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda
Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki
perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki
latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda
Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa (Aart Van
Zoest dalam Sobur, 2004: 126).
2.2.5 Makna
Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah
yang membingungkan (Sobur, 2004:255). Orang-orang sering menggunakan istiah
pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat
dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ –
pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu
makna.
Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda.
Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke
penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa
ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya
dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi
dan pemahaman (Danesi, 2010:22)
Ada beberapa pandangan mengenai teori dan konsep makna. Seperti yang
diungkapkan oleh Wendell Johnson (Sobur, 2004:258):
Universitas Sumatera Utara
1) Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata. Kita
menggunakan
kata-kata
untuk
mendekati
makna
yang
ingin
kita
komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk
mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi
ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.
2) Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita
gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-kta tersebut
mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari
makna. Seperti kata-kata hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan
perkawinan (Di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada
saat ini dan di masa-masa yang lalu).
3) Makna membutuhkan acuan. komunikasi hanya masuk akal bilamana ia
mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang
paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna
yang tidak mempunyai acuan yang memadai.
4) Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan
gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang
timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan
yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta,
persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang
serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan
bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Mengatakan kepada seorang anak
untuk “manis” dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan perlu
dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: “Berlaku
manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak.” Bila Anda telah
membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda
maksudkan dan tidak.
5) Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam
suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan
kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah
kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.
Universitas Sumatera Utara
Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi;
ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing
pihak diketahui.
6) Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu
kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya
sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan.
Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya,
pemahaman yang sebenarnya–pertukaran makna secara sempurna–barangkali
merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut
signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut,
disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara gambaran mental atau
konsep tersebut dinamakan dengan signification atau pemaknaan.
2.2.6 Semiotika Komunikasi Visual
Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul,
subjudul dan teks) dan tanda visual (ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual)
desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis
semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda
verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori
semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan
berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko,
2010: 9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen
komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan
tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan
elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal.
Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep
komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media
komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri dari gambar
(ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi dan layout. Semua itu dilakukan
guna menyampaikan pesan secara visual, audio atau audio visual kepada target
Universitas Sumatera Utara
sasaran. Jagad desain komunikasi visual senantiasa dinamis, penuh gerak dan
perubahan karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan
lahirnya industrialisasi. Sebagai industri fotografi yang terkait dalam sistem
ekonomi dan sosial, desain komunikasi visual juga berhadapan dengan
konsekuensi sebagai produk massa dan konsumsi massa. Terkait dengan fakta
tersebut, desain komunikasi visual senantiasa berhubungan dengan penampilan
rupa yang dapat dikecap orang banyak dengan pikiran maupun perasaan. Rupa
yang mengandung pengertian makna, karakter, serta suasana yang mampu
dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas.
Sementara itu, pesan yang dikemukakan dalam pesan karya desain
komunikasi, pesan disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara
garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual.
Tanda verbal akan didekati pada aspek ragam bahasa, tema dan pengertian yang
didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya,
apakah
secara
ikonis,
indeksikal
atau
simbolis
dan
bagaimana
cara
mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari
dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara
yang satu dengan yang lainnya.
Untuk mewujudkan suatu tampilan visual, ada beberapa unsur perlu
diperhatikan. Hal tersebut antara lain: garis (line), bentuk (form), ruang (space),
tekstur, keseimbangan, proposisi, keserasian, warna, irama, ukuran serta durasi
(http://dc355.4shared.com).
1.
Garis (Line)
Sebuah garis adalah unsur desain yang menghubungkan antara satu titik
poin dengan titik poin yang lain sehingga bisa berbentuk gambar, garis lengkung
(curve) atau garis lurus (straight). Garis adalah unsur dasar untuk membangun
bentuk atau konstruksi desain.
2.
Bentuk (Form)
Istilah bentuk (form) digunakan untuk menyatakan suatu bangun atau
shape yang tampak dari suatu benda. Bentuk adalah segala sesuatu hal yang
Universitas Sumatera Utara
memiliki diameter, tinggi dan lebar. Bentuk (form) adalah tubuh atau massa yang
berisi garis-garis. Sedangkan garis adalah bagian tepi atau garis pinggir bentuk
suatu benda atau biasa disebut “kontur benda”. Kontur memperlihatkan bangun
atau gerakan itu sendiri. Garis lurus dan garis lengkung termasuk elemen
benda; tanpa bentuk, tetapi garis-garis tersebut dapat menjelaskan suatu bentuk;
dengan menyusun garis horizontal dan vertikal yang sama panjang akan terjadi
suatu bentuk bangun bujur sangkar. Semua bangun seperti bujur sangkar,
lingkaran dan segitiga sama sisi merupakan sebagian dari bentuk dasar yang
dipergunakan untuk mendesain. Bentuk suatu benda bisa bersifat dua dimensional
(lonjong, oval, polygon, persegi panjang dan heksagon), yaitu datar tanpa
ketebalan atau bersifat tiga dimensional (kerucut, kubus, silinder, prisma,
piramida dan bola) yang mempunyai ketebalan atau padat.
Sementara pada kategori sifatnya, bentuk dapat dikategori menjadi tiga,
yaitu:
a. Huruf (character) yang direpresentasikan dalam bentuk visual
yang dapat digunakan untuk membentuk tulisan sebagai
wakil
dari
bahasa
verbal dengan bentuk visual langsung
seperti A, B, C dan sebagainya.
b. Simbol (symbol) yang direpresentasikan dalam bentuk visual
yang mewakili bentuk benda secara sederhana dan dapat
dipahami secara umum sebagai simbol atau lambang untuk
menggambarkan suatu bentuk nyata, misalnya gambar orang,
bintang, matahari dalam bentuk sederhana (simbol), bukan
dalam bentuk nyata (dengan detail).
c. Bentuk nyata (form), bentuk ini betul-betul mencerminkan
kondisi fisik dari suatu objek. Seperti gambar manusia secara
detail, hewan secara detail atau benda lainnya.
3. Ruang (space)
Ruang terjadi karena adanya persepsi mengenai kedalaman sehingga
terasa jauh dan dekat, tinggi dan rendah, yang tampak melalui indera
penglihatan. Ruang merupakan jarak antara suatu bentuk dengan bentuk
Universitas Sumatera Utara
lainnya yang pada praktek desain dapat dijadikan unsur untuk memberi efek
estetika desain. Sebagai contoh, tanpa ruang kita tidak akan tahu yang mana
kata dan mana kalimat atau paragraf. Tanpa ruang kita tidak tahu mana yang
harus dilihat terlebih dahulu, kapan harus membaca dan kapan harus berhenti
sebentar.
Dalam bentuk fisiknya pengidentifikasian, ruang digolongkan menjadi
dua unsur, yaitu objek (figure) dan latar belakang (background). Hubungan
antar ruang merupakan bagian dari perencanaan desain, apakah itu berupa
jarak antar huruf atau huruf dengan gambar yang terletak pada sebidang kertas.
Ruang sebagai latar belakang dari suatu objek juga perlu diolah, umpamanya
dengan memberi warna, tekstur dan lain-lain.
4. Tekstur
Tekstur adalah sifat dan kualitas fisik dari permukaan suatu
bahan, seperti kasar,
mengkilap,
pudar
atau
kusam
yang
dapat
diaplikasikan secara kontras, serasi atau berupa pengulangan-pengulangan
untuk suatu desain. Pada umumnya desain berkaitan dengan indera peraba dan
juga indera penglihatan. Tekstur akan tampak jelas tergantung pada cahaya
serta bayangannya yang disebabkan oleh ilusi optis. Dalam penggunaan
tekstur disusun secara serasi atau kontras hasilnya, tetapi secara kontras
hasilnya akan lebih menarik daripada kombinasi dengan tekstur yang
serupa.
5. Keseimbangan (balance)
Prinsip dasar dari komposisi yaitu keseimbangan paling mudah dikenal
atau dilihat. Bilamana ada dua benda dengan berat sama diletakkan pada jarak
yang sama terhadap sumbu khayal (maya), maka objek yang ada pada kedua
belah sisi dari garis maya tampak seolah-olah berbobot sama. Keseimbangan
bisa terjadi secara fisik maupun secara optis. Untuk menghayatinya hanya
diperlukan satu titik atau sumbu khayal (maya). Prinsip ini merupakan
prinsip utama yang menghasilkan kesan beraturan sehingga tampak dinamis.
6. Keseimbangan simetris dan asimetris serta keseimbangan horizontal
Universitas Sumatera Utara
Simetris berarti sama dalam ukuran, bentuk, bangun dan letak dari
bagian- bagian atau objek-objek yang akan disusun di sebelah kiri dan kanan
garis sumbu khayal. Asimetris terjadi apabila garis, bentuk, bangun atau massa
yang tidak sama dalam ukuran, isi atau volume yang diletakkan sedemikian rupa
sehingga tidak mengikuti aturan keseimbangan asimetris yang banyak digunakan
dalam desain modern atau kontemporer. Ada pada lukisan atau karya fotografi,
keseimbangan antara bidang bagian atas dan bidang bagian bawah diperoleh
dengan penggunaan keseimbangan horizontal.
7. Keserasian (harmony)
Keserasian adalah prinsip desain yang diartikan sebagai keteraturan di
antara bagian-bagian suatu karya. Keserasian adalah suatu usaha menyusun
berbagai bentuk, bangun, warna, tekstur dan elemen-elemen lain yang disusun
secara seimbang dalam suatu susunan komposisi yang utuh agar indah untuk
dipandang. Keseimbangan dapat dicapai dengan mengkombinasikan berbagai
elemen yang sifatnya sama, misalnya kesamaan dalam skala dan bentuk; dan
apabila skala dan bentuk tersebut berbeda, maka kemungkinan yang juga bisa
dicapai adalah dengan warna yang sama. Walaupun keserasian merupakan upaya
mencapai suatu kesatuan dalam penampilan tetapi juga diperlukan variasi-variasi
agar tidak berkesan monoton dan membosankan.
8. Irama (rhythm)
Suatu gerak yang dijadikan sebagai dasar suatu irama dan ciri khasnya
terletak pada pengulangan-pengulangan yang dilakukan secara teratur dengan
diberi tekanan atau aksen. Semua cabang seni menggunakan unsur irama seperti
musik, sajak, puisi, lukisan dan lain-lain. Dapat dikatakan irama berfungsi
mengarahkan perhatian dari suatu tempat atau bidang ke bidang yang lain
sehingga terkesan suatu kesan gerak. Bentuk irama yang paling sederhana adalah
pengulangan yang seragam dari objek yang sama. Komposisi irama yang lebih
kompleks atau rumit dibuat dengan mengurangi atau menambah ukuran elemen.
Sedangkan gradasi merupakan jenis irama yang penting di mana ukuran warna
Universitas Sumatera Utara
atau nilai dari elemen-elemen desain secara bertahap bersamaan dengan
pengulangan yang terjadi.
9. Warna
Warna sebagai unsur visual yang
berkaitan
dengan
bahan
yang
mendukung keberadaannya ditentukan oleh jenis pigmennya. Kesan yang
diterima oleh mata lebih ditentukan cahaya. Permasalahan mendasar dari
warna di antaranya adalah hue (spektrum warna), saturation (nilai kepekatan)
dan lightness (nilai cahaya dari gelap ke terang). Warna juga merupakan
pelengkap gambar serta mewakili suasana kejiwaan pelukisnya dalam
berkomunikasi. Warna juga merupakan unsur yang sangat tajam untuk
menyentuh kepekaan penglihatan sehingga mampu merangsang munculnya rasa
haru, sedih, gembira, mood atau semangat.
Molly E. Holzschlag, seorang pakar tentang warna, dalam tulisannya
“Creating Colour Scheme” (Kusrianto, 2007: 47) membuat daftar mengenai
kemampuan masing-masing warna ketika memberikan respon secara psikologis:
a. Merah bermakna kekuatan, bertenaga, kehangatan, nafsu, cinta,
agresivitas dan bahaya.
b. Biru bermakna kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi,
kebersihan dan perintah.
c.
Hijau bermakna alami, kesehatan, pandangan yang enak,
kecemburuan dan pembaruan.
d.
Kuning
bermakna
optimis,
harapan,
filosofi,
ketidakjujuran/kecurangan, pengecut dan penghianatan.
e. Ungu bermakna spiritual, misteri, keagungan, perubahan bentuk,
galak dan arogan.
f. Orange bermakna energi, keseimbangan dan kehangatan.
g. Coklat bermakna bumi, dapat dipercaya, nyaman dan bertahan.
h. Abu-abu bermakna intelek, futuristik, modis, kesenduan dan
merusak.
i.
Putih
bermakna
kemurnian/suci,
bersih,
kecermatan,
innocent (tanpa dosa), steril dan kematian.
Universitas Sumatera Utara
j.
Hitam
bermakna
kekuatan,
seksualitas,
kemewahan,
kematian, misteri, ketakutan, ketidakbahagiaan dan keanggunan.
Tipografi dalam konteks desain komunikasi visual mencakup pemilihan
bentuk huruf, besar huruf, cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau
kalimat sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin
disampaikan. Tipografi dalam konteks komunikasi visual mencakup pemilihan
bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau
kalimat yang sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin
disampaikan (Tinarbuko, 2010:25).
Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna
menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan
orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian
pesan dari komunikator kepada komunikan atau target sasaran. Dalam
hubungannya dengan desain komunikasi visual, huruf dan tipografi adalah elemen
penting yang sangat diperlukan guna mendukung proses penyampaian pesan
verbal maupun visual. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi
oleh kemajuan teknologi digital. Dalam perkembangannya, ada lebih dari seribu
macam huruf romawi atau latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi
huruf-huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang dari lima jenis
huruf berikut ini:
1.
Huruf (Romein)
Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal tipis dan
mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.
2.
Huruf Egyptian
Garis hurufnya memliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki
atau kaitnya berbentuk lurus dan kaku.
3.
Huruf Sans Serif
Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait.
4.
Huruf Miscellaneous
Jenis huruf ini mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya.
Bentuk senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.
Universitas Sumatera Utara
5.
Huruf Script
Jenis huruf yang menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan.
Media gambar atau visual mampu mengkomunikasikan pesan dengan
cepat dan berkesan. Sebuah gambar bila tepat memilihnya, bisa memiliki
nilai yang sama dengan ribuan kata, secara individual juga mampu untuk
memikat perhatian. Gambar merupakan bagian yang terpenting untuk membentuk
suatu tayangan berdurasi. Ada banyak elemen dalam membuat gambar yang baik,
teknik pengambilan suatu gambar akan sangat menentukan hasil suatu gambar
yang baik (http://dc355.4shared.com)
Teknik pengambilan suatu gambar dapat memiliki kode-kode yang
mempunyai makna tersendiri. Kode-kode tersebut
menginformasikan hampir
seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat
bagi analisis seni popular dan media. Berbagai elemen terdapat dalam kode,
terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang biasa dilihat secara
lebih detail. Jelasnya dapat diperlihatkan melalui tabel berikut:
Tabel 1
Teknik Dalam Pengambilan dan Penyuntingan Gambar
Penanda (Signifier)
Petanda (Signified)
Pengambilan Gambar
Extreme Long Shot
Kesan luas dan keluarbiasaan
Full Shot
Hubungan sosial
Big Close Up
Emosi, dramatik, momen penting
Close Up
Intim atau dekat
Medium Shot
Hubungan personal dengan subjek
Long Shot
Konteks perbedaan dengan publik
Sudut Pandang (angle) pengambilan gambar
High
Dominasi, kekuasaan dan otoritas
Eye Level
Kesejajaran, kesamaan dan sederajat
Low
Didominasi, dikuasai dan kurang
Universitas Sumatera Utara
otoritas
Tipe Lensa
Wide angle
Dramatis
Normal
Normalitas dan keseharian
Telephoto
Tidak personal, voyeuristik
Fokus
Meminta perhatian (tertuju pada satu
Selective focus
objek)
Soft focus
Romantis serta nostalgia
Deep focus
Semua
unsur
adalah
penting
(melihat secara keseluruhan objek)
Pencahayaan
High key
Riang dan cerah
Low key
Suram dan muram
High contrast
Dramatikal dan teatrikal
Low contrast
Realistik
serta
terkesan
seperti
dokumenter
Pewarnaan
Warm (kuning, oranye,
Optimisme, harapan, hasrat dan
merah dan abu-abu)
agitasi
Cool (biru dan hijau)
Pesimisme, tidak ada harapan
Black and white (hitam
Realisme, aktualisme dan faktual
dan putih)
(Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, 2000: 33)
Pengambilan gambar yang dapat menandakan sesuatu merupakan salah
satu elemen penting. Pengambilan gambar akan menentukan bagaimana akhirnya
gambar (foto maupun film) dihasilkan. Teknik pengambilan gambar terdiri atas:
1.
Pengambilan
gambar
secara
extreme
long
shot
dapat
menggambarkan wilayah yang luas yang diambil dari jarak yang
Universitas Sumatera Utara
sangat jauh. Pengambilan gambar secara long shot membuat subjek
hanya sebagai bagian kecil saja dari objek yang ditampilkan
dalam gambar. Kesan yang muncul adalah mengesampingkan subjek.
Penonjolan dari subjek atau orang tersebut tidak ada apabila
long shot yang dipilih. Kecuali jika ada sebuah kejadian atau suatu
peristiwa yang nampak dari gambar tersebut.
2. Pengambilan gambar secara medium shot, bentuk subjek yang
ditampilkan sama ukurannya dengan objek yang menjadi latar.
Ukuran gambar subjeknya sama ukurannya dengan ukuran latar.
Kesan yang nampak dari gambar seperti ini adalah kesan personal
3. Pengambilan gambar dalam bentuk close up, ukuran subjek lebih
besar daripada setting atau latar subjek. Kesan yang muncul dalam
gambar seperti ini adalah kesan intim dan dekat dengan subjek.
Pembaca atau orang yang melihat diajak untuk lebih memperhatikan.
4. Pengambilan gambar dalam bentuk big close up, subjek bukan hanya
ditampilkan dalam ukuran besar tetapi juga detail ditonjolkan dalam
gambar.
Selain pengambilan gambar, bagian penting dalam memaknai suatu
gambar adalah sudut pandang pengambilan gambar (angle). Apakah gambar yang
diambil sejajar dengan camera person, diambil dari atas atau diambil dari
bawah. Sudut pengambilan gambar bukan hanya persoalan teknis tetapi teknik ini
akan memberi makna pada gambar dan menghadirkan penafsiran berbeda dari
khalayak yang melihatnya. Sudut pengambilan gambar (angle) dibagi menjadi:
1. Gambar yang diambil dari atas (high angle shot), memposisikan
khalayak atau orang berada di atas subjek. Posisi semacam ini secara
tidak langsung memposisikan
orang
yang ada
di atas
lebih
powerfull (kekuasaan) dan lebih mempunyai otoritas.
2. Subjek yang diambil dari bawah (low angle shot), sebaliknya
membuat
subjek lebih besar dan memposisikan subjek yang
ditampilkan dalam gambar mempunyai posisi lebih tinggi dari mata
pemandang. Kesan yang muncul dalam angle seperti ini subjeklah
Universitas Sumatera Utara
yang lebih terkesan lebih powerfull, lebih otoritatif dibandingkan
dengan posisi khalayak atau pemandang.
3. Gambar yang diambil dengan eye level shot, memposisikan subjek
dan pemandang sama. Kesan yang muncul baik dari subjek
maupun pemandang mempunyai tingkat yang sejajar dan setara.
Gambar yang diambil dari atas (high angle shot), memposisikan
khalayak atau orang berada
di atas subjek. Posisi
semacam ini
secara tidak langsung memposisikan orang yang ada diatas lebih
powerfull (kekuasaan) dan lebih mempunyai otoritas.
Fokus dari pengambilan gambar merupakan elemen lain yang perlu
diperhatikan dalam menganalisis foto. Fokus berhubungan dengan tipe lensa yang
dipakai ketika objek diambil gambarnya, yaitu: tele, standart dan wide focus.
Dalam standar pengambilan fokus suatu gambar jika memakai lensa standar
akan menghasilkan suasana yang natural. Hal ini karena gambar diambil dari
fokus yang tidak jauh dan tidak dekat (normal), sehingga komposisi dan
perbandingan antara objek menjadi merata. Hal ini berbeda dengan gambar yang
diambil dengan menggunakan lensa tele ataupun wide karena objek akan nampak
lebih besar dibandingkan dengan ojek yang lain. Pencahayaan gambar juga akan
menciptakan suasana dan mood yang berbeda. Dengan pencahayaan yang cerah
dan riang tidak akan menampilkan suasana atau mood yang sedih dan misterius.
Selain cara pengambilan gambar ada hal lain yang perlu diperhatikan
dalam membuat iklan televisi (berdurasi) yaitu teknik dalam penyuntingan suatu
gambar. Kerja kamera dan teknik penyuntingan gambar akan menunjukkan
semacam “tata bahasa” televisi. Teknik tersebut juga memiliki arti tersendiri
sebagai penanda dan petanda dalam semiotika, hal ini dapat dijelaskan dengan
bagan dibawah ini
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2
Kerja kamera dan teknik penyuntingan
Pan down
Kamera mengarah ke bawah
Kekuasaan dan kewenangan
Pan up
Kamera mengarah ke atas
Kelemahan, pengecilan
Dolly in
Kamera bergerak ke dalam
Observasi dan fokus
Fade in
Gambar kelihatan pada layar kosong
Permulaan gambar
Fade out
Gambar di layar menjadi hilang
Penutupan
Cut
Pindah dari gambar satu ke gambar lain Kebersambungan, menarik
Wipe
Gambar terhapus dari layar
“penentuan” dan kesimpulan
((Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques,
2000: 34)
Dalam teknik penyuntingan terdapat efek gambar yang blank (hilang) yang
disebut efek deep to black (gambar yang tercipta dari teknik fade in dan fade out).
Teknik pencahayaan, penggunaan warna, efek suara dan musik juga merupakan
hal lainyang
juga
menarik.Semua
penanda
tersebut
menolong
kita
menterjemahkan apa yang kita lihat di televisi. Televisi merupakan media yang
kompleks yang menggunakan bahasa verbal, bahasa gambar dan suara untuk
menghasilkan impresi dan ide-ide penting pada orang.
2.2.7 Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Dalam konsep
Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini
merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan
semiologi Saussure, yang terhenti pada penandaan dalam tataran denotatif (Sobur,
2004:69).
Universitas Sumatera Utara
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli
tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara
panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran
kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem
kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya
secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama
(Sobur,2004:69).
Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua
tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan
hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini
menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam
tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini
mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek) dan signifikasi tahap
kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi).
Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk
menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos dan simbol)
dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan
interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi
penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam
konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Ronald Barthes.
Tradisi semiotika pada awal kemunculannya cenderung berhenti sebatas
pada makna-makna denotatif alias semiotika denotasi. Sementara bagi Barthes,
terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni
pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure
dikembangkan oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di tingkat
konotasi tanda. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia
nyatakan sebagai mitos dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi
tertentu. Skema pemaknaan mitos itu oleh Barthes digambarkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2
Gambar peta tanda Roland Barthes
1.
signifier 2.
(penanda)
signified
(petanda)
3. denotative sign (tanda
denotatif)
4.CONNOTATIVE
SIGNIFIER
KONOTATIF)
5.
CONNOTATIVE
(PENANDA SIGNIFIED (PETANDA
KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN ( TANDA KONOTATIF)
(Sumber: Cobley and Jansz dalam Sobur, 2004:69)
Dari peta Barthes di atas, akan terlihat tanda denotative (3) yang terdiri dari
penanda (1) dan petanda (2). Pada saat bersamaan juga, denotatif adalah penanda
konotatif (4). Jadi menurut konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaanya. Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami
sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial
yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap sebagai sebuah
lingkaran linguistik.
Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator, terbentuk
dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan.
Beberapa tanda boleh jadi secara berkelompok membentuk sebuah konotator
tunggal. Dalam iklan televisi, susunan tanda-tanda verbal dan non verbal dapat
menutupi pesan yang ditunjukkan. Citra yang terbangun di dalamnya
meninggalkan ‘pesan lain’, yakni sesuatu yang berada di bawah citra kasar alias
penanda konotasinya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum,
global dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis.
Universitas Sumatera Utara
Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun
mengandung kedua bagian tanda
denotatif
juga
yang melandasi keberadaannya
(Budiman, dalam Christomy, 2004: 255). Dibukanya medan pemaknaan konotatif
dalam kajian semiotika memungkinkan “pembaca” iklan memaknai bahasa
metaforik yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif. Dalam
mitos, hubungan antara penanda dan petanda terjadi secara termotivasi. Berbeda
dengan level denotasi yang tidak menampilkan makna (petanda) yang termotivasi
level konotasi menyediakan ruang bagi berlangsungnya motivasi makna ideologis.
Dapat dikatakan bahwa ideologi adalah suatu form
penanda-penanda
konotasi, sementara tampilan iklan melalui ungkapan atau gaya verbal, nonverbal
dan visualisasinya merupakan elemen bentuk (form) dari konotator-konotator.
Singkatnya, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos
adalah muatannya. Secara semiotis, ideologi merupakan penggunaan maknamakna konotasi tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga.
Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini
menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara
tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini
sebagai denotasi, hal ini mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang
tanda. Sebuah foto tentang tanda keadaan jalan mendenotasi jalan tertentu; kata
“jalan” mendenotasi jalan perkotaan yang membentang di antara bangunan.
Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus.
Sebagai contoh, di dalam kamus, kata melati berarti ‘sejenis bunga’.
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada
sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam ujaran. Makna
denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda
dan pada intinya dapat
disebut
sebagai
gambaran
sebuah
petanda.
Harimurti Kridalaksana (2001: 40) (dalam Sobur, 2003: 263) mendefinisikan
denotasi (denotations) sebagai “makna kata atau kelompok
kata yang
didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang
didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif.
Makna denotatif merupakan makna objektif (makna sesungguhnya dari
Universitas Sumatera Utara
kata tersebut). Makna denotatif (denotatif meaning) disebut juga dengan beberapa
istilah lain seperti; makna denotasial, makna kognitif, makna konseptual, makna
ideasional, makna referensial atau makna proposional. Disebut makna denotasial,
referensial, konseptual atau ideasional, karena makna itu menunjuk (denote)
kepada suatu referen, konsep atau ide tertentu dari referen. Disebut makna
kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus
(dari pihak pembicara) dan respon (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal
yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan rasio manusia. Disebut makna
proporsional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataanpernyataan yang bersifat faktual.
Jika kita mengucapkan sebuah kata yang mendenotasikan suatu hal
tertentu maka itu berarti kata tersebut ingin menunjukkan, mengemukakan
dan menunjuk pada hal itu sendiri. Dengan pengertian tersebut kita dapat
mengatakan bahwa kata ayam mendenotasikan atau merupakan sejenis unggas
tertentu yang memiliki ukuran tertentu, berbulu, berkotek dan menghasilkan
telur untuk sarapan. Kamus umum berisikan daftar aturan yang mengaitkan katakata dengan arti denotatifnya, dan kita dapat membaca, menulis dan mengerti
berbagai kamus karena kita sama-sama memakai pengertian yang sama tentang
kata-kata yang terdapat dalam kamus tersebut.
Sedangkan konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan sebagai
aspek makna atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran
yang timbul atau yang ditimbulkan pada penulis dan pembaca. Misalnya kata
amplop, kata amplop bermakna sampul yang berfungsi tempat mengisi surat yang
akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, jawatan lain.
Makna ini adalah makna denotasinya. Tetapi kalimat “Berilah ia
amplop agar urusanmu segera beres,” maka kata amplop dan uang masih ada
hubungan, karena amplop dapat saja diisi uang. Dengan kata lain, kata amplop
mengacu kepada uang, dan lebih khusus lagi uang pelancar, uang pelicin, uang
semir atau uang gosok.
Konotasi
mempunyai
makna
yang
subjektif
atau
paling
tidak
intersubjektif. Dengan kata lain, konotasi bekerja dalam tingkat intersubjektif
Universitas Sumatera Utara
sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna
konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika
adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi
terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu
tanda (Wibowo, 2011: 174).
Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada
pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa
dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak
orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya
relatif lebih sedikit (kecil). Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif
apabila kata itu mempunyai “nilai rasa’, baik positif maupun negatif. Jika tidak
mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi tetapi dapat
juga disebut berkonotasi negatif (netral) (Sobur, 2003: 264).
Barthes menggunakan konsep connotation-nya untuk menyingkap makna
makna tersembunyi. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna
konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Konsep ini menetapkan dua
cara pemunculan makna yang bersifat promotif, yakni denotatif dan konotatif.
Pada tingkatan denotatif, tanda-tanda itu mencuat terutama sebagai makna primer
yang “alamiah”. Namun pada tingkat konotatif, tahap sekunder, munculah makna
yang ideologis.
Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos
dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes
memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Bagi Barthes, mitos
adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang diperluas oleh
Barthes dapat berbentuk verbal (lisan dan tulis) atau non verbal: n’importe quelle
matière peut être dotée arbitrairement de signification, materi apa pun dapat
dimaknai secara arbitrer‟. Seperti kita ketahui, parole adalah realisasi dari langue
(Barthes, 2007:16).
Betapa pun dominannya suatu mitos, ia selalu akan didampingi oleh suatu
mitos lain, yang merupakan kontramitos. Ini barangkali dapat dikatakan sifat yang
biasanya terdapat pada sebuah masyarakat yang telah terbuka (kepada dunia lain).
Universitas Sumatera Utara
Hanya dalam masyarakat yang benar-benar tertutup akan ditemui kemutlakan
suatu mitos. Dengan begitu, mitos-mitos tadi akan ditentang oleh mitos-mitos lain
pula, ketika itu, yang merupakan kontramitos (Junus dalam Sobur, 2004: 131).
Pada dasarnya, analisis semiotika memang sebuah ikhtiar untuk merasakan
sesuatu yang “aneh”, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca
atau mendengar suatu narasi atau naskah. Analisisnya bersifat paradigmatik,
dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi
di balik sebuah teks (Berger dalam Sobur, 2004: 117). Teks yang dimaksud tidak
hanya berarti berkaitan dengan aspek linguistik.
Eriyanto (2001:146) menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam
analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini menurutnya, karena teks, percakapan
dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi
tertentu. Secara etimologis ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata
idea dan logos, Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat, sedangkan kata
logia berasal dari kata logos yang berarti kata-kata dan arti kata logia berarti
science (pengetahuan) atau teori.
Salah satu kultivasi ideologi dalam iklan televisi berlangsung melalui
representasi mitos. Dalam tayangan iklan, akan terlihat bahwa tanda linguistik,
visual dan jenis tanda lain tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal,
tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Untuk
mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem
tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang,
baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan
indeks, terutama dalam iklan radio, televisi dan film (Sobur, 2004:116).
Makna yang dihasilkan oleh penanda konotasi seringkali menghadirkan
mitos. Mitos bekerja
menaturalisasikan segala sesuatu
yang
ada dalam
kehidupan manusia, sehingga imaji yang muncul terasa biasa saja dan tidak
mengandung
persoalan.
Pada
tingkat
ini,
mitos
sesungguhnya
mulai
meninggalkan jejak ideologis, karena belum tentu ”sesuatu” yang tampil alamiah
lantas bisa diterima begitu saja tanpa perlu dipertanyakan kembali derajat
kebenarannya.
Universitas Sumatera Utara
Dalam mengkaji mitos di dunia media dan budaya populer, perspektif
semiotika struktural tidak akan pernah menampilkan gagasan-gagasan yang
dikeluarkan Roland Barthes. Dari sudut pandang semiotik-sentris, tujuan utama
”membaca” iklan televisi adalah menemukan makna terselubung (latent meaning)
yang terkait dengan mitos dan muatan ideologi tertentu. Persoalannya, relativitas
kebenaran makna dalam semiotika menyebabkan sebuah tanda dapat dimaknai
beragam (http://www.scribd.com).
Setiap tanda, dalam bahasa Barthes, memiliki sifat polisemi alias
berpotensi multitafsir. Hal tersebut disebabkan oleh sifat ambigu dari penanda dan
kemungkinan yang diberikan oleh penanda tersebut untuk diinterpretasikan. Oleh
karenanya, kendati tidak ada prosedur teknis baku dalam kajian semiotika,
seorang ”pembaca”, bukan sekadar penonton tetapi perlu menstrukturkan iklan
secara rapi dan konsisten. Rambu-rambu ini penting mengingat tidak terbatasnya
tanda yang ada di dalamnya dapat menyebabkan seorang pembaca iklan tersesat
dalam rimba tanda, yang menyebabkan proses penafsiran larut dalam problem
unlimited semiosis (http://abunavis.wordpress.com).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Model Teoritik
Gambar 3
Bagan Model Teoritik Penelitian Makna dan Bahasa Visual Iklan
Objek Penelitian
Foto (gambar) pada iklan Axis
“Internet Untuk Rakyat”
Suara pada iklan Axis “Internet
Untuk Rakyat”
-
-
Semiotika Roland Barthes
Denotasi dan Konotasi
Mitos
Makna dan Bahasa Visual Iklan
Mitos
Universitas Sumatera Utara
Download