neraca hara dan karbon dalam sistem agroforestri

advertisement
Bahan Ajar 6
NERACA HARA DAN KARBON
DALAM SISTEM AGROFORESTRI
Kurniatun Hairiah, Sri Rahayu Utami, Betha Lusiana dan Meine van Noordwijk
TUJUAN
•
Mempelajari proses-proses yang terlibat dalam perbaikan ketersediaan bahan
organik dan hara tanah akibat penanaman pohon pada sistem agroforestri.
1. Konsep dasar siklus hara dalam sistem agroforestri
1.1 Siklus hara
Di dalam ekosistem, hubungan tanah, tanaman, hara dan air merupakan bagian yang paling
dinamis. Tanaman menyerap hara dan air dari dalam tanah untuk dipergunakan dalam
proses-proses metabolisme dalam tubuhnya. Sebaliknya tanaman memberikan masukan
bahan organik melalui serasah yang tertimbun di permukaan tanah berupa daun dan ranting
serta cabang yang rontok. Bagian akar tanaman memberikan masukan bahan organik
melalui akar-akar dan tudung akar yang mati serta dari eksudasi akar. Di dalam sistem
agroforestri sederhana, misalnya sistem budidaya pagar, pemangkasan cabang dan ranting
tanaman pagar memberikan masukan bahan organik tambahan. Bahan organik yang ada di
permukaan tanah ini dan bahan organik yang telah ada di dalam tanah selanjutnya akan
mengalami dekomposisi dan mineralisasi dan melepaskan hara tersedia ke dalam tanah.
Istilah siklus hara ini di dalam sistem agroforestri sering diartikan sebagai penyediaan hara
secara terus menerus (kontinyu) bila ditinjau dari konteks hubungan tanaman-tanah. Dalam
konteks yang lebih luas, penyediaan hara secara kontinyu ini melibatkan juga masukan dari
hasil pelapukan mineral tanah, aktivitas biota, dan transformasi lain yang ada di biosfir,
lithosfir dan hidrosfir. Konsep model siklus hara dalam sistem agroforestri secara umum
disajikan pada Gambar 1.
Hara hasil mineralisasi dari bahan organik tanah (BOT), mineral tanah dan dari pemupukan
memasuki pool hara tersedia dalam tanah. Hara tersedia selanjutnya dapat diserap oleh
tanaman, atau mengalami imobilisasi karena adanya khelat oleh bahan organik tanah atau
mineral tanah. Hara tersedia yang berada di dalam larutan tanah dapat terangkut oleh
pergerakan air tanah keluar dari jangkauan perakaran tanaman sehingga menjadi tidak
tersedia bagi tanaman. Dengan kata lain hara tersebut telah mengalami pencucian (leaching).
Beberapa hara terutama dalam bentuk anion sangat lemah diikat oleh partikel liat dan
memiliki tingkat mobilitas tinggi (misalnya nitrat), sehingga hara ini mudah mengalami
pencucian. Di lain pihak hara dalam bentuk kation (misalnya kalium), gerakannya sangat
ditentukan oleh kapasitas pertukaran tanah.
Di dalam ekosistem hutan alami tercipta “siklus hara tertutup” yaitu suatu sistem yang
memiliki jumlah kehilangan hara lebih rendah dibandingkan dengan jumlah masukan hara
yang diperoleh dari penguraian seresah atau dari serap ulang (recycle) hara pada lapisan tanah
dalam. Atau dengan kata lain sistem hutan tersebut memiliki daya serap ulang yang tinggi
(efisiensi penggunaan hara tinggi), sedang sistem pertanian memiliki siklus hara yang
‘terbuka’ atau ‘bocor’ karena memiliki jumlah kehilangan hara yang besar. Sistem
agroforestri berada diantara ke dua sistem tersebut di atas.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan akhir-akhir ini pada sistem agroforestri, ada 3
proses utama yang terlibat dalam siklus hara : (1) Fiksasi N dari udara: peningkatan jumlah
N hasil penambatan dari udara bila tanaman legume yang ditanam, (2) Mineralisasi bahan
organik: peningkatan jumlah hara dari hasil mineralisasi serasah dan dari pohon yang telah
mati, (3) ‘Serap ulang’ hara: peningkatan jumlah serapan hara dari lapisan bawah oleh akar
pepohonan yang menyebar cukup dalam. Akar pepohonan juga mengurangi jumlah
kehilangan hara melalui erosi dengan jalan memperlambat laju aliran permukaan dan
meningkatkan air infiltrasi karena adanya perbaikan porositas tanah.
panen
panen
sisa panen
panen
sisa panen
pupuk
seresah
litter
biota
akar
seresah
litter
akar mati
Hara
tersedia
imobilisasi
mineralisasi
Desorpsi,
pelapukan
sorpsi
leaching
pencucian
akar
biomas
bio
ta
biota
BOT
aktif
lambat
pasif
a
biot
biota
biota
akar mati
biomas
pohon
Tan. semusim
Tan. tahunan
Mineral
Gambar 1. Konsep model siklus hara dalam sistem agroforestri.
1.2 Siklus karbon (C)
Kebanyakan CO 2 di udara dipergunakan oleh tanaman selama fotosintesis dan memasuki
ekosistem melalui serasah tanaman yang jatuh dan akumulasi C dalam biomasa (tajuk)
tanaman. Separuh dari jumlah C yang diserap dari udara bebas tersebut diangkut ke bagian
akar berupa karbohidrat dan masuk ke dalam tanah melaui akar-akar yang mati (Gambar 2).
Ada 3 pool utama pemasok C ke dalam tanah adalah: (a) tajuk tanaman pohon dan tanaman
semusim yang masuk sebagai serasah dan sisa panen; (b) akar tanaman, melalui akar-akar
– 110 –
yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar dan respirasi akar; (c) biota. Serasah dan akarakar mati yang masuk ke dalam tanah akan segera dirombak oleh biota heterotrop, dan
selanjutnya memasuki pool bahan organik tanah. Sedangkan kehilangan C dari dalam tanah
dapat melalui (a) respirasi tanah, (b) respirasi tanaman, (c) terangkut panen, (d)
dipergunakan oleh biota, (e) erosi.
CO2
CO2
panen
panen
sisa panen
panen
sisa panen
seresah
litter
CO2
seresah
litter
CO2
akar
biota
biota
akar mati
CO2
akar mati
CO2
a
biot
BOT
aktif
lambat
pasif
biomas
pohon
akar
biomas
erosi
Tan. semusim
Tan. tahunan
Gambar 2. Siklus karbon di dalam ekosistem
2. Ketersediaan BOT dan hara di daerah tropis
2.1 Fungsi BOT
Bahan organik merupakan salah satu komponen penyusun tanah yang sangat penting bagi
ekosistem tanah, yaitu sebagai sumber ('source') dan pengikat ('sink') hara dan sebagai
substrat bagi mikroba tanah. Macam BOT dapat diklasifikasikan ke dalam fraksi-fraksi
berdasarkan ukuran, berat jenis, dan sifat-sifat kimianya. Peranan BOT terhadap perbaikan
lingkungan pertumbuhan tanaman disajikan secara skematis dalam Gambar 3. Aktivitas
mikroorganisma dan fauna tanah dapat membantu terjadinya agregasi tanah sehingga dapat
meningkatkan ketersediaan air tanah dan mengurangi terjadinya erosi dalam skala luas.
Telah banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa pelapukan BO dapat mengikat
/mengkhelat Al dan Mn oleh asam-asam organik, sehingga dapat memperbaiki lingkungan
pertumbuhan perakaran tanaman terutama pada tanah-tanah masam. Hasil mineralisasi BO
dapat meningkatkan ketersediaan hara tanah dan nilai kapasitas tukar kation tanah (KTK),
sehingga kehilangan hara melalui proses pencucian dapat dikurangi.
– 111 –
Proses/kesuburan
Seresah
Akar
Pool organik
Pembatas
pertumbuhan
Dekomposisi
Mikroba
Fauna
Bahan Organik Tanah
Transport
Labil/aktif
Pertukaran ion
Lambat
Struktur tanah
Stabil/pasif
Ketersediaan
hara
Ketersedia
an air
Khelat
Detoksifikasi
Toksisitas
Erosi
Gambar 3. Skematis peranan bahan organik tanah dalam perbaikan kesuburan tanah
(Woomer dan Swift, 1994)
2.2 Ketersediaan BOT di daerah tropik
Tanah-tanah pertanian di daerah tropik basah umumnya memiliki kandungan bahan
organik yang sangat rendah di lapisan atas. Pada tanah yang masih tertutup vegetasi
permanen (hutan), umumnya kadar bahan organik di lapisan atas masih sangat tinggi.
Perubahan hutan menjadi lahan pertanian mengakibatkan kadar BOT menurun dengan
cepat. Hal ini antara lain disebabkan oleh beberapa alasan:
• Pelapukan (dekomposisi) bahan organik berlangsung sangat cepat, sebagai akibat
tingginya suhu udara dan tanah serta curah hujan yang tinggi.
• Pengangkutan bahan organik keluar tanah bersama panen secara besar-besaran tanpa
diimbangi dengan pengembalian sisa-sisa panen dan pemasukan dari luar, sehingga
tanah kehilangan potensi masukan bahan organik.
Menurunnya kandungan BOT ini sangat mudah dikenali di lapangan antara lain tanah
berwarna pucat dan padat (lihat contoh kasus 1).
– 112 –
Contoh kasus 1.
Pemahaman petani: Tanah dingin – tanah kaya bahan organik
Dalam mengenali tingkat kesuburan tanah, banyak sekali indikator-indikator yang digunakan oleh
peneliti, tetapi tidak dapat langsung dipahami oleh petani. Petani lokal memiliki istilah yang berbedabeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Misalnya petani transmigrasi di Lampung
mengamati bahwa tanah yang warnanya hitam pada umumnya adalah tanah yang kandungan bahan
organiknya tinggi. Di kalangan petani, istilah bahan organik ini di lapangan lebih dikenal sebagai
'humus' atau 'kompos'. Tanah hitam itu disebut juga sebagai tanah ‘dingin’, yang sifatnya sangat
berbeda dengan tanah ‘panas’ yang terlalu terbuka terhadap sinar matahari dan tidak subur. Tanah
‘dingin’ adalah tanah yang subur, mudah diolah (gembur), selalu lembab, dan sangat sesuai untuk
pertumbuhan tanaman. Ada pula petani yang mengukur tingkat kesuburan tanahnya berdasarkan
tingkat ketersediaan 'humus' yang ditunjukan oleh tingkat ke’gembur’an, dan ke’bongkor’an. Tanah
bongkor menurut petani adalah tanah-tanah yang ditelantarkan karena tanah telah keras, tidak bisa
ditanami lagi sehingga ditumbuhi alang-alang atau gulma lainnya sehingga produksi tanaman terus
menurun, dan akhirnya ditelantarkan. Oleh karena itu istilah tanah bongkor yang digunakan oleh
petani seringkali diterjemahkan sebagai tanah tidak subur, walaupun hal tersebut tidak selalu benar
(beberapa petani mengatakan tanahnya ‘bongkor’ karena ketersediaan tenaga kerja terbatas).
Petani menyadari bahwa tanah dingin itu perlu dipertahankan. Supaya tanah tetap ‘dingin’, lapisan
serasah di permukaan tanah harus dipertahankan, seperti yang terdapat di hutan. Kenyataannya,
sangatlah sulit mempertahankan kondisi tersebut pada lahan yang diusahakan untuk pertanian,
terutama jika dilakukan pengolahan tanah secara intensif untuk pemberantasan gulma atau untuk
persemaian. Usaha menggemburkan tanah melalui pengolahan tanah tersebut akan mempercepat
hilangnya lapisan organik tanah, bila tidak diimbangi dengan masukan bahan organik secara terus
menerus.
3. Pengukuran kandungan BOT
Indikasi penurunan BOT biasanya diukur dari kadar C-total dan N-total sehingga diperoleh
nilai nisbah C/N, yang selanjutnya oleh model simulasi dapat dipakai untuk menaksir
ketersedian hara dari mineralisasi bahan organik. Namun penelitian terakhir membuktikan
bahwa kadar C-total bukan merupakan tolok ukur yang akurat, karena hasil dari pengukuran
tersebut diperoleh berbagai macam BOT. Menurut Woomer et al. (1994) BOT dibagi dalam
beberapa kelompok menurut umur paruh dan komposisinya (Tabel 2). Umur paruh BOT
tersebut ditaksir melalui simulasi model CENTURY (Parton et al.,1987). Dari Tabel 2 dapat
dilihat bahwa BOT lambat lapuk dan pasif (stabil) berada dalam tanah sejak puluhan bahkan
mungkin ratusan tahun yang lalu. Kelompok ini meliputi asam-asam organik dan bahan organik
yang terjerap kuat oleh liat yang tidak tersedia bagi tanaman dan biota. Penetapan kandungan
C-total berdasarkan oksidasi basah dengan metoda Walkey & Black adalah mengukur semua
kelompok BOT baik yang masih baru maupun yang sudah lama. Hasil penetapan itu tidak
dapat dipergunakan untuk studi dinamika BOT pada berbagai sistem pengelolaan lahan karena
hasilnya tidak akan menunjukkan perbedaan yang jelas. Untuk itu diperlukan penetapan
kandungan fraksi-fraksi BOT sebagai tolok ukur.
– 113 –
Tabel 2. Pengelompokan BOT berdasarkan umur paruh yang ditaksir melalui simulasi model CENTURY
(Parton et al.,1987) dan komposisi kimianya (Woomer et al.,1994).
Kelompok Bahan
Organik Tanah
Umur Paruh
(tahun)
Komposisi
Nama lain
Bahan organik metabolis (Metabolic litter)
0.1 - 0.5
Isi sel, selulosa
Sisa hewan,
tanaman & manusia
Bahan organik struktural (Structural litter)
0.3 - 2.1
Lignin, polyfenol
Sisa tanaman
Bahan organik aktif
(Active pool)
0.2 - 1.4
Biomasa mikrobia, Karbohidrat
mudah larut, enzym exocellular
Fraksi labil
8 – 50
Bahan organik ukuran partikel (50
µm -2.0 mm)
Fraksi labil
400 – 2200
Asam-asam humik dan fulvik,
kompleks organo-mineral (bahan
organik yang terjerap kuat oleh
mineral liat)
Substansi humus
atau Fraksi stabil
Bahan organik lambat
lapuk (Slow pool)
Bahan organik pasif
(Passive pool)
Pada prinsipnya (berdasarkan fungsinya) bahan organik tersusun dari komponen labil dan
stabil. Komponen labil terdiri dari bahan yang sangat cepat didekomposisi pada awal proses
mineralisasi dan akumulasi dari recalcitrant residue (residu yang tahan terhadap pelapukan)
yang merupakan sisa dari proses mineralisasi yang terdahulu. Umur paruh (turnover: adalah
waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan organik sampai habis) dari fraksi
labil dan stabil ini bervariasi dari beberapa bulan saja sampai ribuan tahun. Hasil percobaan
isotop menunjukkan bahwa fraksi BOT dapat sangat stabil dalam tanah sampai lebih dari
9.000 tahun. Sekitar 60-80 % BOT dalam tanah-tanah pada umumnya terdiri dari substansi
humus.
Fraksi Labil
Fraksi labil terdiri dari bahan yang mudah didekomposisi, dengan umur berkisar dari
beberapa hari sampai beberapa tahun. Komponen BOT labil terdiri dari 3 kelompok :
• Bahan yang paling labil adalah bagian seluler tanaman seperti karbohidrat, asam amino,
peptida, gula-amino, dan lipida.
• Bahan yang agak lambat didekomposisi seperti malam (waxes), lemak, resin, lignin dan
hemiselulosa.
• Biomass dan bahan metabolis dari mikrobia (microbial biomass ) dan bahan residu
recalcitrant lainnya.
Fraksi labil berperanan sangat penting dalam mempertahankan kesuburan tanah yaitu
sebagai sumber hara tanaman karena komposisi kimia bahan asalnya dan tingkat
dekomposisinya yang cepat. Biomasa mikrobia sangat penting dalam mempertahankan
status BOT yang berperanan sebagai source dan sink bagi ketersediaan hara karena daur
hidupnya relatif singkat.
Faktor iklim makro yang menentukan kecepatan dekomposisi fraksi adalah temperatur dan
kelembaban tanah serta keseimbangan biomasa mikrobia. Di daerah tropika basah yang
memiliki resim temperatur isothermik atau isohiperthermik dan ketersediaan air tanah yang
beragam sangat menentukan perkembangan populasi mikrobia tanah sehingga
berpengaruh besar tehadap kecepatan dekomposisi komponen labil BO.
– 114 –
Substansi Humik: Fraksi Stabil
Komponen BOT yang paling sulit dilapuk adalah asam-asam humik. Asam-asam ini
merupakan hasil pelapukan seresah (substansi organik menyerupai lignin) atau kondensasi
substansi organik terlarut yang dibebaskan melalui dekomposisi gula, asam amino,
polifenol dan lignin. Jadi bisa dikatakan bahwa substansi humik adalah produk akhir
dekomposisi BOT oleh mikrobia.
Ketahanan susbstansi humik terhadap proses dekomposisi disebabkan konfigurasi fisik
maupun struktur kimia yang sulit dipecahkan oleh mikrobia. Substansi ini secara fisik
terikat kuat dengan liat dan koloidal tanah lainnya, atau dapat juga karena letaknya didalam
agregat-mikro (Hassink, 1995 ; Matus, 1994) dan ditambah lagi dengan adanya hyphae
ataupun akar-akar halus.
Kontribusi substansi humik terhadap ketersediaan hara masih belum banyak diketahui,
karena waktu turnover-nya yang terlalu panjang. Namun demikian pool stabil dari bahan
organik ini tetap memegang peranan penting sebagai biological ameliorant terhadap unsurberacun bagi tanaman, juga sangat berperanan dalam pembentukan agregat tanah dan
pengikatan kation dalam tanah. Peranan sebagai pengikat kation lebih diutamakan karena
pada tanah-tanah masam BOT merupakan satu-satunya fraksi tanah bermuatan positif.
3.1 Mempertahankan Kandungan BOT
Bahan organik tanah memberikan pengaruh yang menguntungkan bukan hanya pada sifat
kimia, tetapi juga sifat fisik dan biologi tanah. Untuk mendapatkan kondisi tanah yang
optimal bagi pertumbuhan tanaman, diperlukan adanya BOT (C-total) di lapisan atas paling
sedikit 2 % (Young, 1989). Jumlah ini didasarkan pada taksiran kasar saja, karena
kandungan bahan organik tanah yang optimal berhubungan erat sekali dengan kandungan
liat dan pH tanah.
Kandungan bahan organik tanah yang optimal harus dikoreksi dengan kandungan liat dan
pH tanahnya (Cref). Perhitungan sederhana telah dikembangkan oleh Van Noordwijk et al.
(1997) adalah sebagai berikut:
Cref = (Zcontoh/ 7.5)0.42 exp(1.333 + 0.00994* %liat + 0.00699* %debu – 0.156*pHKCl + 0.000427 *
ketinggian tempat)
Persamaan 2.
di mana: Zcontoh = kedalaman pengambilan contoh tanah, cm
Ketinggian tempat = m di atas permukaan laut.
Persamaan ini berlaku untuk semua lahan kering dan tanah volkanik muda. Dengan
demikian dapat ditetapkan kejenuhan bahan organik tanah (Ctotal/Cref ) yaitu nisbah
antara kandungan total bahan organik tanah (Ctotal atau Corg) pada kondisi sekarang
dengan kandungan bahan organik tanah yang dikoreksi (Cref).
Hubungan antara kondisi BOT yang telah dikoreksi dengan kandungan liat tanah (Ctot /
Cref) dengan kandungan liat pada tanah hutan (pH 4.0) di Sumatra (Van Noordwijk,
personal com.) disajikan pada Gambar 4.. Dari gambar tersebut dapat dipelajari bahwa
BOT sejumlah 2 % adalah merupakan jumlah maksimum yang dapat diperoleh pada tanah
pasir. Untuk tanah liat, jumlah kandungan BOT sekitar 2 % berarti tanah tersebut telah
kehilangan C-organik sekitar 50% dari jumlah maksimum. Maka jumlah BOT 2 % yang
– 115 –
dikemukakan oleh Young (1989) tersebut di atas menjadi terlalu tinggi untuk tanah pasir
dan terlalu rendah untuk tanah liat. Oleh karena itu target rata-rata untuk berbagai jenis
tanah sebaiknya sekitar 2.5- 4 %. Untuk mempertahankan kondisi, tanah pertanian harus
selalu ditambah bahan organik minimal sebanyak 8 - 9 ton ha -1 setiap tahunnya (Young,
1989).
6
Kandungan lempung:
25 %
15 %
5%
Gambar 4.
Referensi
kandungan
C tanah
hutan pada
berbagai
jumlah
kandungan
liat (%) di
Sumatra.
C-total/C-ref, %
5
4
3
2
1
0
0
10
20
30
Pasir, 100 %
40
50
60
70
80
90
100
Kandungan liat, %
4. Peranan agroforestri dalam mempertahankan kandungan BOT
dan ketersediaan hara dalam tanah
Pertanyaan
•
•
Bagaimana cara anda mengenali bahwa pohon memperbaiki kesuburan tanah?
Bagaimana mekanismenya?
Pohon memberikan pengaruh positif terhadap kesuburan tanah, antara lain melalui: (a)
peningkatan masukan bahan organik (b) peningkatan ketersediaan N dalam tanah bila
pohon yang ditanam dari keluarga leguminose, (c) mengurangi kehilangan bahan organik
tanah dan hara melalui perannya dalam mengurangi erosi, limpasan permukaan dan
pencucian, (d) memperbaiki sifat fisik tanah seperti perbaikan struktur tanah, kemampuan
menyimpan air (water holding capacity), (e) dan perbaikan kehidupan biota. Beberapa proses
yang terlibat dalam perbaikan kesuburan tanah oleh pohon dalam sistem agroforestri antara
lain disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hipotesis Pengelolaan Tanah secara Biologi untuk Penggunaan Lahan yang Berkelanjutan
(misalnya agroforestri) (Huxley, 1999).
A
Lewat proses-proses dalam tanah
1
2
3
4
5
Mengurangi erosi tanah.
Mempertahankan kandungan bahan organik tanah
Memperbaiki dan mempertahankan sifat fisik tanah (lebih baik dibanding tanaman semusim).
Menambah jumlah kandungan N tanah melalui fiksasi N dari udara oleh tanaman legume
Sebagai jaring penyelamat hara yang tercuci di lapisan tanah bawah, dan menciptakan daur ulang ke lapisan
tanah atas melalui mineralisasi seresah yang jatuh di permukaan tanah.
– 116 –
6
10
11
B
Membentuk kurang lebih sistem ekologi yang tertutup (yaitu menahan semua, atau hampir semua, atau
sebagian besar unsur hara di dalam sistem)
Mengurangi kemasaman tanah (melalui pelepasan kation dari hasil mineralisasi seresah)
Mereklamasi tanah yang terdegradasi
Memperbaiki kesuburan tanah lewat masukan biomass dari sistem perakaran pohon dan kontribusi dari
bagian atas pohon
Memperbaiki aktivitas biologi tanah dan mineralisasi N lewat naungan pohon
Memperbaiki asosiasi mikoriza lewat interaksi tanaman dan pohon
Lewat interaksi biofisik
12
13
14
C
Memperbaiki penyerapan hujan, cahaya dan nutrisi mineral, sehingga meningkatkan produksi biomass.
Memperbaiki efisiensi penyerapan hujan, cahaya dan nutrisi mineral yang dipakai.
Terhindar dari penyebaran dan kerusakan yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit
Keuntungan lingkungan yang lain dari pohon atau semak
15
Meningkatkan fiksasi N pohon legume melalui peningkatan jumlah bintil akar bila akar pohon legume
tersebut tumbuh berdekatan atau kontak langsung dengan akar tanaman bukan pemfiksasi N (mungkin
dikarenakan adanya perpindahan langsung dari unsur N atau rendahnya ketersediaan N dalam tanah yang
meningkatkan efektifitas bintil akar)
Tajuk pohon dapat melindungi tanah dari bahaya erosi
Pepohonan memberikan peneduh bagi tanaman yang membutuhkan naungan (misalnya kopi) dan menekan
populasi rerumputan yang tumbuh dibawahnya.
7
8
9
16
17
4.1 Sumbangan bahan organik dalam sistem agroforestri
Masukan bahan organik melalui hasil pangkasan pohon
Pepohonan dalam sistem agroforestri memberikan masukan bahan organik melalui daun,
ranting dan cabang yang telah gugur di atas permukaan tanah. Di bagian bawah (dalam
tanah), pepohonan memberikan masukan bahan organik melalui akar-akar yang telah mati,
tudung akar yang mati, eksudasi akar dan respirasi akar.
Dari Tabel 3 dapat diketahui banyaknya masukan bahan organik dalam sistem budidaya
pagar = hedgerow intercropping di Lampung Utara. Pohon ditanam berbaris sebagai pagar.
Lorong yang terbentuk di antara baris pohon ditanami tanaman semusim. Tajuk tanaman
pagar dipangkas secara rutin bila telah mulai menaungi tanaman semusim. Semua hasil
pangkasan dikembalikan ke dalam petak lahan sebagai mulsa, namun cabang yang garistengahnya lebih dari 5 cm diangkut keluar lahan. Beberapa jenis tanaman pagar dari
keluarga leguminosa yang ditanam yaitu Calliandra yang dapat memberikan hasil biomasa
tertinggi dibanding jenis pohon lainnya yang diuji (Tabel 3), dadap minyak (Erythrina)
memberikan hasil terendah. Gamal (Gliricidia) dan petaian (Peltophorum) atau kombinasi
keduanya dapat memenuhi target masukan bahan organik ke dalam tanah dengan jumlah
produksi rata-rata 8 ton ha -1 setiap tahunnya. Masukan N yang berasal dari bahan organik
ini ke dalam tanah berkisar antara 100 - 270 kg N ha -1. Bila ditinjau dari besarnya masukan
bahan organik asal pangkasan ini, nampaknya sistem budidaya pagar dapat memberikan
harapan baru bagi petani dalam mengelola kesuburan tanah di lahannya. Tetapi sistem ini
tampaknya kurang diminati atau disukai petani.
– 117 –
Masukan seresah dari daun yang gugur
Tanaman memberikan masukan bahan organik melalui daun-daun, cabang dan rantingnya
yang gugur, dan juga melalui akar-akarnya yang telah mati. Contoh dari tanah masam di
Lampung pohon petaian (Peltophorum) monokultur memberikan masukan serasah (daun,
batang, ranting yang jatuh) sekitar 12 ton ha -1 th-1; gamal (Gliricidia) monokultur sekitar 5
ton ha -1 th-1. Sedang hutan sekunder memberikan masukan sekitar 8-9 ton ha -1 th-1.
Serasah yang jatuh di permukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan air
hujan dan mengurangi penguapan. Tinggi rendahnya peranan serasah ini ditentukan oleh
kualitas bahan oraganik tersebut. Semakin rendah kualitas bahan, semakin lama bahan
tersebut dilapuk, sehingga terjadi akumulasi serasah yang cukup tebal pada permukaan
tanah hutan. Wasrin et al. (1997) melaporkan akumulasi bahan organik pada berbagai
sistem berbasis pohon (Tabel 4).
Tabel 3. Total masukan biomas tajuk rata-rata per tahun yang merupakan hasil pangkasan rata-rata tiga
kali setahun, kandungan N daun dan total masukan N ke dalam tanah.
Jenis tanaman
Dadap (Erythrina)
Lamtoro (Leucaena)
Gamal (Gliricidia)
Petaian (Peltophorum)
Gamal/petaian
Calliandra
Berat Kering
Tajuk (ton ha -1)
4.5
6.0
8.0
8.0
8.0
10.0
N
(%)
2.4
3.0
2.9
1.7
2.7
2.7
N-total
(kg ha -1)
108
180
232
136
216
270
Tabel 4. Biomasa serasah pada permukaan tanah berbagai sistem penggunaan lahan berbasis pohon di
Jambi (Wasrin et al, 1997).
Sistem Penggunaan Lahan
Hutan Primer di Pasir Mayang
Hutan Primer di Rantau Pandan
Hutan Bekas tebangan (logged over forest)
HTI monokultur (sengon)
Agroforest Karet (20 th)
Agroforest Karet
Kebun durian
Kebun karet muda (5 th)
Hutan alami sekunder
Berat kering Serasah, ton ha -1
Kayu
Non kayu
1.72
0.98
2.88
3.09
0.74
0.93
2.25
1.56
2.96
2.23
1.80
3.06
4.14
1.80
1.35
3.16
2.38
3.07
Total
ton ha -1
3.95
2.78
5.94
7.23
2.54
2.28
5.41
3.94
6.03
Penebangan hutan meningkatkan jumlah akumulasi serasah terutama dalam bentuk kayu
(cabang dan ranting). Pada sistem berbasis pohon ini akumulasi serasah pada permukaan
tanah bervariasi berkisar antara 3-7 ton ha -1. Bila kandungan C dalam biomas sekitar 45 %,
maka masukan C ke dalam tanah sekitar 1.5 – 3 ton ha -1.
4.2 Kualitas bahan organik
Pemberian bahan organik ke dalam tanah seringkali memberikan hasil yang kurang
memuaskan, sehingga banyak petani tidak tertarik untuk melakukannya. Hal ini disebabkan
kurangnya dasar pengetahuan dalam memilih jenis bahan organik yang tepat. Pemilihan
– 118 –
jenis bahan organik sangat ditentukan oleh tujuan pemberian bahan organik tersebut.
Tujuan pemberian bahan organik bisa untuk penambahan hara atau perbaikan sifat fisik
seperti mempertahankan kelembaban tanah yaitu sebagai mulsa. Pertimbangan pemilihan
jenis bahan organik didasarkan pada kecepatan dekomposisi atau melapuknya. Bila bahan
organik akan dipergunakan sebagai mulsa, maka jenis bahan organik yang dipilih adalah dari
jenis yang lambat lapuk. Apabila digunakan untuk tujuan pemupukan bisa dari jenis yang
lambat maupun yang cepat lapuk.
Kecepatan pelapukan suatu jenis bahan organik ditentukan oleh kualitas bahan organik
tersebut. Penetapan kualitas dilakukan dengan menggunakan seperangkat tolok ukur, yang
berbeda-beda.untuk setiap jenis unsur hara.
• Kualitas bahan organik berkaitan dengan penyediaan unsur N, yang ditentukan oleh
besarnya kandungan N, lignin dan polifenol. Bahan organik dikatakan berkualitas tinggi
bila kandungan N tinggi, konsentrasi lignin dan polifenol rendah. Nilai kritis
konsentrasi N adalah 1.9 % ; lignin > 15 % dan polifenol > 2 %. Tolok ukur lain yang
juga penting adalah tingginya sinkronisasi saat ketersediaan hara dengan saat tanaman
membutuhkannya.
• Kualitas bahan organik berkaitan dengan penyediaan unsur P ditentukan oleh
konsentrasi P dalam bahan organik. Nilai kritis kadar P dalam bahan organik adalah
0.25 %.
Pertanyaan
•
•
Bila ditinjau dari peranan Agroforestri dalam mempertahankan air tanah dan
hara , kualitas serasah yang bagaimana yang seharusnya dipilih untuk mencapai
tujuan tersebut.
Apakah kualitas bahan organik juga perlu dipertimbangkan dalam menekan
limpasan permukaan pada lahan berlereng? Jelaskan
Hasil analisis beberapa variabel yang dipakai sebagai tolok ukur kualitas bahan organik akan
sangat membantu petani dalam memilih jenis bahan organik yang sesuai dengan
kebutuhannya. Beberapa hasil pengukuran kualitas bahan organik dapat dilihat dalam
contoh kasus 2.
– 119 –
Contoh Kasus 2.
Hasil Penelitian: Komposisi Bahan Organik
Hasil pengukuran kandungan lignin, polifenolik dan total kation (Ca+Mg+K) pada beberapa jenis
tanaman pepohonan di Lampung disajikan pada Tabel 5. Bahan organik asal pangkasan gamal
(Gliricidia) merupakan bahan yang paling cepat melepaskan unsur hara bila dibandingkan dengan
seresah asal daun jambu karena kandungan ligninnya lebih tinggi. Seresah gamal akan cepat habis
terdekomposisi dalam waktu 4 minggu (Handayanto, 1997). Petaian memiliki kualitas lebih rendah
dibanding gamal, bukan karena kandungan ligninnya, melainkan karena kandungan polifenoliknya
yang lebih tinggi. Dalam waktu 4 minggu petaian baru melepaskan sekitar sepertiga dari N yang
dikandungnya.
Tabel 5. Konsentrasi total kation, nisbah C/N, Lignin : N (Lg/N), Polyphenolic : N (Pp/N) dari biomas
yang dipakai dalam percobaan inkubasi.
1
Kaliandra/Calliandra
13.1
L
%
12
3.29
1.17
2
Petaian/Peltophorum
2.47
13.6
19
4.76
7.69
1.93
9.62
58.4
3
Gamal/Gliricidia
4.57
10.2
11
1.80
2.41
0.39
2.80
52.9
4
Lamtoro/Leucaena
3.28
14.8
12
2.30
3.66
0.70
4.36
42.1
5
Flemingia
3.22
17.6
9
2.59
2.80
0.80
3.60
36
6
Jambu air/Syzigium
2.81
8.7
32
0.32
11.4
0.11
11.5
88.9
7
Bulangan/Gmelina
6.11
6.7
28
1.10
4.58
0.18
4.76
126.2
8
Sungkai/Perunema
5.85
9.0
37
1.56
6.33
0.27
6.59
72.5
9
Krinyu/Chromolaena
1.88
27.7
32
2.33
17
1.24
18.3
100
0.78
74
11
0.65
14
0.83
14.9
19.45
10 Alang-alang/ Imperata
C: N
P
%
4.26
(Lg+Pp) Σ kation
/N
cmol kg-1
4.45
58.8
N
%
3.65
Spesies
Lg :N
Pp:N
Informasi hasil analisis beberapa jenis bahan ini dapat dipakai sebagai dasar menentukan kualitas
bahan organik, sehingga dapat menaksir kecepatan mineralisasinya dalam model simulasi
WaNuLCAS . Lebih jauh hal ini dapat dipakai untuk memilih jenis pepohonan yang memiliki
sinkronisasi cukup tinggi dengan tanaman semusim yang ada.
4.3 Efisiensi penggunaan hara
Penambahan bahan organik ke dalam tanah baik melalui pengembalian sisa panen, kompos,
pangkasan tanaman penutup tanah dan sebagainya dapat memperbaiki cadangan total BOT
(capital store C). Praktek pertanian secara terus-menerus akan mengurangi cadangan total C
dan N dalam tanah. Apabila ada pemberaan maka secara bertahap kondisi tersebut akan
pulih kembali. Dari semua unsur hara, unsur N dibutuhkan dalam jumlah paling banyak
tetapi ketersediaannya selalu rendah, karena mobilitasnya dalam tanah sangat tinggi.
Kemampuan tanah dalam menyediakan hara N sangat ditentukan oleh kondisi dan jumlah
bahan organik tanah.
Tiga sumber utama N tanah berasal dari (1) bahan organik tanah, (2) N tertambat dari
udara bebas oleh tanaman kacang-kacangan (legume) yang bersimbiosis dengan bakteri
rhizobium dan (3) dari pupuk anorganik. Pelapukan bahan organik di daerah tropik sangat
cepat mengakibatkan N juga cepat dilepas dalam bentuk N-anorganik yang mudah tersedia
bagi tanaman. Unsur N yang tersedia dalam jumlah besar ini tidak menjamin tercapainya
produksi tanaman yang optimum ! Hasil-hasil penelitian di Lampung Utara menunjukkan
– 120 –
bahwa penambahan bahan organik asal famili kacang-kacangan (legume) dapat melepaskan
hara N sekitar 20 - 45 % dari jumlah total N yang terkandung di dalamnya (Handayanto et
al., 1994) selama satu siklus tanaman semusim. Dari jumlah yang dilepaskan ternyata hanya
sekitar 30 % nya yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman semusim.
Timbul pertanyaan: mengapa hanya sedikit hara yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman
semusim? Hal ini kemungkinan disebabkan saat tersedia N dalam tanah tidak bertepatan
dengan saat tanaman membutuhkannya. Kondisi ini disebut sebagai sinkronisasi antara
ketersediaan hara dan kebutuhan tanaman. Tingkat sinkronisasi ini ditentukan oleh
kecepatan dekomposisi (melapuk) dan mineralisasi (pelepasan unsur hara) bahan organik.
Kecepatan melapuk bahan organik ditentukan oleh berbagai faktor antara lain kelembaban,
suhu tanah dan kualitas bahan organik. Gambar 5. menyajikan secara skematis sinkronisasi
antara ketersediaan hara dan kebutuhan tanaman dari berbagai masukan kualitas masukan
bahan organik.
(a)
(b)
serapan
serapan
at
kah
mineralisasi
Kualitas tinggi
Kualitas rendah
(c)
Hara tersedia
Gambar 5. Skematis
sinkronisasi saat
ketersediaan hara dari hasil
mineralisasi dengan saat
tanaman membutuhkannya
pada berbagai macam
masukan bahan organik (a)
kualitas tinggi, (b) kualitas
rendah, (c) campuran
kualitas tinggi dan rendah
dan (d) tanpa masukan
bahan seresah (Myers et
al, 1995).
Hara tersedia
mineralisasi
(d)
mineralisasi
serapan
serapan
kahat
mineralisasi
Waktu
Kualitas tinggi+rendah
Waktu
Tanpa seresah
Bahan organik berkualitas tinggi akan cepat dilapuk dan akibatnya unsur hara (misalnya N)
dilepaskan dengan cepat menjadi bentuk tersedia. Jika yang ditanam adalah tanaman yang
lambat pertumbuhannya, maka pada saat bahan organik dilapuk dan unsur hara N
dilepaskan dalam jumlah maksimal, ternyata tanaman belum membutuhkan N dalam
jumlah banyak. Dengan kata lain terjadi kelebihan N tersedia tetapi tidak bisa dimanfaatkan
oleh tanaman, sehingga N yang berlebih ini dapat hilang melalui pencucian dan penguapan
(Gambar 5.a.). Sebaliknya pada saat tanaman tersebut membutuhkan N dalam jumlah
banyak (ketika mencapai fase pertumbuhan cepat), ternyata N tersedia dalam tanah sudah
tidak mencukupi lagi. Pengaruh yang berbeda akan dijumpai apabila bahan organik yang
berkualitas rendah diberikan pada tanaman yang pertumbuhannya cepat. Pada saat tanaman
membutuhkan unsur N dalam jumlah banyak, bahan organik belum termineralisasi,
sehingga N tersedia dalam tanah tidak cukup. Dalam hal ini terjadi tingkat sinkronisasi
rendah, di mana penyediaan hara lambat sementara tanaman telah membutuhkannya,
sehingga terjadi kekahatan hara (Gambar 5.b.).
– 121 –
Idealnya, tanaman pagar harus mampu menghasilkan serasah dengan kemampuan melapuk
cukup lambat untuk menekan kehilangan N yang dilepaskan, tetapi cukup cepat untuk
menjamin ketersediaan N pada saat dibutuhkan tanaman. Kenyataannya, sangat sulit
menemukan pohon yang memiliki sifat ideal seperti ini. Untuk mengatasi masalah ini,
biasanya pohon dengan serasah yang cepat melapuk ditanam bersama-sama dengan pohon
yang memiliki serasah lambat lapuk (Gambar 5.c.).
Bila tidak ada masukan bahan organik ke dalam tanah (Gambar 5.d.), akan terjadi masalah
pencucian dan sekaligus kelambatan penyediaan hara. Pada kondisi seperti ini penyediaan
hara hanya terjadi dari mineralisasi bahan organik yang masih terdapat dalam tanah,
sehingga mengakibatkan cadangan total C tanah semakin berkurang.
5. Neraca hara
Penyediaan lahan untuk pertanian kebanyakan dilakukan dengan cara menebang dan
membakar pepohonan atau alang-alang (sistem tebang-bakar). Pembakaran vegetasi
mengakibatkan hampir semua cadangan C dan N hilang, tetapi petani masih tetap memilih
cara ini karena mudah dan murah. Cara ini dapat menambah pupuk secara cuma-cuma dari
hasil pembakaran biomasa, dapat meningkatkan pH, P-tersedia dan kation basa dalam
jumlah besar. Setelah pembakaran, tanah menjadi lebih subur dan bebas gulma, hama dan
penyakit, sehingga biasanya langsung ditanami tanaman pangan (misalnya ubikayu, jagung
atau padi). Setelah beberapa tahun, produksi semakin rendah karena tanah semakin tidak
subur. Salah satu penyebab turunnya produksi tanaman semusim adalah penurunan
kesuburan tanah. Hal ini terjadi karena adanya pengangkutan hara keluar dari petak yang
terjadi terus-menerus dalam jumlah besar melalui panen, pencucian dan erosi. Sementara itu
jumlah hara yang kembali ke dalam tanah melalui daun yang gugur dan pengembalian sisa
panen lebih sedikit dibanding hara yang diangkut ke luar, sehingga setiap tahun terjadi
defisit hara. Akibatnya, tanaman pada musim berikutnya akan mengalami kahat hara,
sehingga perlu diberi pupuk. Petani sering mengakui bahwa karena kekurangan modal
untuk beli pupuk mengakibatkan produksi tanaman selalu menurun. Hal ini membuktikan
bahwa jumlah hara tersedia dalam tanah lebih sedikit dibanding jumlah yang dibutuhkan
tanaman (Lihat contoh Kasus 3 )
– 122 –
Contoh kasus 3. Neraca C pada berbagai pola tanam
Pengukuran neraca karbon (C) dilakukan pada beberapa macam pola tanam di Pakuan Ratu, yaitu
pola berbasis ubikayu, budidaya pagar dan tumpang gilir tanaman leguminosa (kacang-kacangan).
Hasilnya menunjukkan bahwa pola tanam berbasis ubi kayu memberikan neraca C negatif (artinya
jumlah C yang terangkut keluar > jumlah C yang kembali ke tanah), dengan jumlah yang terangkut
sebagai umbi dan batang sekitar 7 ton ha-1 th-1. Pola tanam budidaya pagar memberikan neraca C
positif, di mana jumlah keluaran C yang terangkut panen sekitar 1.5 ton ha-1 th-1, dan masukan C
sekitar 2.5 ton ha-1 th-1 sebagai biomas hasil pangkasan. Pola tanam tumpang gilir dengan tanaman
kacang-kacangan penutup tanah menghasilkan kelebihan (surplus) masukan C ke dalam tanah sekitar
1.5 ton ha -1 th-1.
Sedang pada neraca N, pola tanam berbasis ubikayu (Gambar 7: PT 1 dan 2) menghasilkan neraca
negatif. Pola tanam budidaya pagar (PT 3 dan 4) dan kacang-kacangan (PT 5) menghasilkan neraca
positif. Pola tanam budidaya pagar (PT 6) memberikan neraca netral karena adanya pengangkutan N
melalui biji kacang tunggak. Pada sistim budidaya pagar terjadi surplus N sekitar 15-50 kg ha-1; dan
untuk sistim rotasi sekitar 10-20 kg ha-1.
Pola tanam berbasis ubikayu memberikan neraca N minus sekitar 60 kg ha-1 (Gambar 7.B.). Hasil
perhitungan ini belum memperhitungkan adanya kehilangan N melalui pencucian, erosi atau
penguapan maupun besarnya masukan N dari hasil penambatan N dari udara oleh tanaman kacangkacangan. Perhitungan neraca C dan N ini dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa selalu terjadi
penurunan produksi ubikayu setelah hutan dikonversi menjadi lahan pertanian. Dengan sistem budi
daya pagar, produksi jagung dapat meningkat sekitar 1.5 ton ha-1 (Van Noordwijk et al., 1995).
8
Kembali ke tanah
Terangkut panen
Neraca C, ton ha-1 th-1
6
4
2
A)
0
-2
-4
-6
-8
Mengingat produksi tanaman yang
diperoleh per satuan tenaga kerja
masih lebih rendah bila dibandingkan
dengan produksi dari pembukaan
lahan baru, maka petani akan memilih
membuka lahan baru dan
meninggalkan lahan yang lama. Lahan
pertanian yang telah terlantar tersebut
akhirnya ditumbuhi gulma alang-alang
(Imperata cylindrica).
Neraca N, ton ha-1 th-1
150
100
50
0
-50
-100
PT 1 PT 2
PT3
PT4
PT5
PT6
Gambar 7. Neraca C dan N dari
berbagai sistim pola tanam di
Lampung Utara(Hairiah et al,
2000).
-150
Ubikayu
PT
Budidaya pagar Tumpang gilir
Uraian Pola Tanam
1
2
Ubikayu monokultur
Ubikayu + jagung + padi /kacang tanah
Budidaya pagar; tanaman pagar yang ditanam petaian dicampur dengan gamal tumpang
3
sari dengan jagung + padi / kacang tanah/kc. tunggak
Budidaya pagar; tanaman pagar yang ditanam Flemingia tumpang sari dengan jagung +
4
padi / kacang tanah/kc.tunggak
5
Tumpang gilir: Jagung + padi /kacang tanah/ kacang tunggak
6
Tumpang gilir: Jagung + padi /kacang tanah/koro benguk
+ berarti tumpang sari; / berarti dikuti oleh tanaman berikutnya atau tumpang gilir
– 123 –
6. Neraca C dalam WaNuLCAS
Pada prinsipnya parameter-parameter yang digunakan dalam model simulasi WaNuLCAS
untuk mempelajari dinamika C sama dengan yang digunakan dalam model CENTURY
(Parton et al, 1997). Di dalam model simulasi WaNuLCAS, bahan organik terdiri dari pool
‘struktural’, ‘aktif’ dan ‘pasif’. Terminologi yang dipergunakan sama dengan yang telah
diuraikan dalam bahan ajar ini.
Pada agro-ecosistem tanpa olah tanah, di atas permukaan tanah terbentuk lapisan
organik yang akan mengalami dekomposisi walaupun tidak ada kontak langsung dengan
tanah mineral. Dinamika C dan N dalam lapisan organik tersebut berbeda dengan lapisan
tanah mineral pada setiap kedalaman, dikarenakan adanya ‘perlindungan fisik’ BOT
terhadap serangan biota. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan kandungan liat, suhu
dan ketersediaan air pada setiap kedalaman dalam profil tanah. Pembenaman bahan
organik ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam dapat disebabkan oleh adanya aktivitas
biota atau adanya pengolahan tanah.
7. Latihan: Model Penyediaan Unsur Hara menggunakan model
WaNuLCAS
Contoh simulasi ini dilakukan pada Ultisols di Karta, Pakuan Ratu. Data kesuburan tanah
dan iklim yang digunakan diperoleh dari proyek BMSF (4 o 30’S, 104 o98’E). Tanah ini
diklasifikasikan sebagai Grossarenic Kandiudult (Van der Heide et al., 1992), yang dicirikan
oleh nilai KTK yang rendah, miskin hara dan bahan organik, pH rendah, tekstur agak
berpasir tetapi liat meningkat di lapisan bawah, kejenuhan Al yang tinggi di lapisan bawah
. Data iklim yang digunakan adalah data yang diperoleh pada musim tanam September
1997- September 1998. Lokasi ini termasuk daerah tropik basah, masalah pencucian hara
dan penurunan kandungan bahan organik merupakan hal yang umum terjadi di lahan
pertanian di daerah ini.
Salah satu teknik alternatif pengelolaan tanah di daerah ini adalah sistim tumpangsari
pepohonan yang berperakaran dalam dengan tanaman semusim yang umumnya
berperakaran lebih dangkal. Pepohonan ditanam berbaris, dan lorong antar baris pohon
ditanami tanaman semusim (jagung). Tanaman pagar yang ditanam adalah petaian dengan
jarak tanam 4 x 0.5 m. Untuk menguji manfaat penyisipan pepohonan diantara tanaman
jagung, budidaya pagar ini perlu dibandingkan dengan pola tanam monokultur. Pada
kedua pola tanam ini, diperlakukan dengan dan tanpa pemupukan N. Pupuk N sebanyak
30 kg ha-1 diberikan pada saat jagung berumur 7 hari, dan 60 kg ha-1 diberikan pada saat
jagung berumur satu bulan. Simulasi dilakukan selama 9 tahun pada kedalaman tanah 0.8
m. Skenario pola tanam yang diuji dapat diringkaskan dalam Tabel 9:
– 124 –
Tabel 9. Skenario pola tanam yang diuji dalam simulasi WaNuLCAS
Pola Tanam
Keterangan
1
Monokultur jagung - jagung
Tanpa pemupukan
2
Monokultur jagung - jagung
Dipupuk N dosis 90 kg ha-1 pada setiap
musim tanam jagung
3
Budi daya pagar :
Petaian + Jagung - jagung
Tanpa pemupukan
4
Budi daya pagar :
Petaian + Jagung - jagung
Dipupuk N dosis 90 kg ha-1 pada setiap
musim tanam jagung
Keterangan: (+) Tumpang sari; (-) diikuti
Pada musim tanam pertama (MT1) jagung ditanam pada tanggal 14-12-97, dan pada musim
tanam kedua (MT2) ditanam pada tanggal 27-03-1998.
Keluaran simulasi
Pendugaan neraca karbon (C)
Penambahan bahan organik secara terus menerus dapat mempertahankan kandungan bahan
organik dalam tanah: lebih banyak bahan organik yang ditambahkan, lebih ‘dingin’ tanah
tersebut. Hasil simulasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan bahan organik tanah (C dan
N tanah, Gambar 8A dan B) dari tahun ke tahun. Sistem budidaya pagar dapat
memperlambat dan memperkecil penurunan tersebut, terutama jika dikombinasikan dengan
pemupukan N. Namun, sistem ini tetap tidak dapat mempertahankan kandungan bahan
organik kembali ke kondisi seperti hutan.
A.
32
N dalam BOT, ton ha-1
30
C-total, ton ha-1
B.
3.0
28
26
24
22
2.8
2.6
2.4
2.2
2.0
20
1.8
0
2
4
6
8
10
Tahun simulasi
0
2
4
6
8
10
Tahun simulasi
Gambar 8.Trend kandungan C-total (A) dan N-organik (B) dalam tanah pada sistem pola tanam (l)
sistem monokultur dan (n) sistem budidaya pagar; perlakuan (__) tanpa dan (…) dengan pemupukan N
90 kg ha-1.
Pendugaan neraca N
Bila tidak ada usaha pemupukan, serapan N tanaman jagung pada sistem budidaya pagar
lebih tinggi dari pada sistem monokultur. Namun bila ada usaha pemupukan, jagung
– 125 –
menyerap unsur N lebih banyak pada sistem monokultur dibandingkan pada sistem
budidaya pagar (Gambar 9A). Kesimpulan yang menarik dari contoh ini adalah
pemupukan N pada sistem budidaya pagar justru merugikan tanaman jagung.
Pencucian N terbesar terjadi pada sistem monokultur dengan usaha pemupukan (Gambar
9B). Sistem budidaya pagar mampu menurunkan pencucian N sebesar 40% dari jumlah N
tercuci pada sistem monokultur, baik dengan maupun tanpa pemupukan N. Pengaruh
seperti inilah yang dinamakan ‘fungsi jaring penyelamat hara’, seperti yang didiskusikan
sebelumnya.
Jika kita membandingkan jumlah N yang dapat diserap tanaman dengan jumlah N yang
tersedia selama musim tanam (Gambar 9C), maka dapat dilihat bahwa pada sistem
monokultur jagung hanya dapat menyerap sekitar 43 % N tersedia jika tanpa pemupukan,
dan 36% saja jika diberi pupuk N.
Pada sistem budidaya pagar, jagung dapat menyerap sekitar 38% N tersedia jika tanpa
pemupukan, dan sekitar 32% jika diberi pupuk N. Tanaman pagar menyerap 33% N
tersedia, baik dengan maupun tanpa pemupukan. Dengan demikian, jumlah total yang
dapat diserap tanaman meningkat dari 36% (dengan pupuk) dan 43% (tanpa pupuk) pada
sistem monokultur menjadi 65% (dengan pupuk) dan 70% (tanpa pupuk) pada sistem
budidaya pagar. Kehilangan unsur hara N melalui pencucian yang dapat diturunkan dengan
sistem budidaya pagar adalah 30-57% jika tanpa pemupukan, dan 35-64% jika diberi pupuk.
120
A.
250
Pencucian N, kg ha
Serapan N, kg ha
-1
-1
100
80
60
40
200
150
100
50
20
0
0
2
4
6
8
10
2
4
6
8
10
C.
Serapan N Jagung
Serapan N petaian
80
Gambar 9. Dampak budidaya pagar
terhadap serapan N oleh tanaman (A),
pencucian N (B) dan efisiensi jaring
penyelamat hara (C), pada sistem pola
tanam (l) sistem monokultur dan (n)
sistem budidaya pagar; dengan perlakuan
(__) tanpa dan (…) dengan pemupukan N
90 kg ha-1.
70
60
50
40
+ pupuk
10
- pupuk
20
+ pupuk
30
- pupuk
Nisbah serapan N:N tot. tersedia, %
90
0
Tahun simulasi
Tahun simulasi
100
B.
300
0
Monokultur Budidaya pagar
Pola tanam
– 126 –
Penutup
Dalam sistem agroforestri, siklus hara dan karbon lebih bersifat tertutup dibandingkan sistem
pertanian tanaman semusim secara monokultur. Penambahan bahan organik oleh pohon dapat
berasal dari bagian tajuk di atas tanah maupun bagian akar di bawah tanah. Memasukkan
komponen pohon ke dalam sistem pertanian monokultur akan menambah unsur hara dan
karbon dalam sistem tersebut. Peningkatan kandungan karbon dan unsur lain selain merupakan
hasil dekomposisi serasah dan akar pohon, juga terkait dengan fungsi pohon sebagai jarring
penyelamat dan pemompa hara, sehingga mengurangi jumlah hara yang hilang.
Bahan Bacaan
Hairiah K, Widianto, S R Utami, D Suprayogo, Sunaryo, SM Sitompul, B. Lusiana, R Mulia, M van
Noordwijk dan G Cadisch, 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi: Refleksi
Pengalaman dari Lampung Utara. ICRAF SE Asia, Bogor, 182 p.
Hairiah, K., Van Noordwijk, M., Santoso, B. and Syekhfani, MS., 1992. Biomass production and root
distribution of eight trees and their potential for hedgerow intercropping on an ultisol in Lampung.
AGRIVITA 15: 54-68.
Hairiah K, Van Noordwijk M and Cadisch G, 2000. Carbon and Nitrogen balance of three cropping
systems in N. Lampung. Neth.J. Agric. Sci. 48(2000): 3-17.
Handayanto E, 1994. Nitrogen mineralization from legume tree prunings of different quality. PhD
thesis University of London, 230 p.
Nair P K R, Buresh R J, Mugendi D N and Latt C R, 1999. Nutrient cycling in tropical agroforestry
systems: Myths and Science. In: Buck L E, Lassoie J P, Fernandez ECM (eds.) Agroforestry in
sustainable agricultural ssystems. Lewis Publisher. pp 1-31.
Mayers R J K, Palm C A, Cuevas E, Gunatilleke I U N and Brossard M, 1994. In: Woomer P L and
Swift M J, 1994. The Biological Management of Tropical Soil Fertility. TSBF. pp 81-116.
Rowe E, Hairiah K, Giller K E, Van Noordwijk M and Cadisch G, 1999. Testing the "safety-net" role
of hedgerow tree roots by 15N placement at different soil depths. Agroforestry Systems.
Agroforestry Systems 43(1-3):81-93. Kluwer Academic Publisher and ICRAF.
Suprayogo D, Hairiah K, Van Noordwijk M, Giller K and Cadisch G, 1999. The effectiveness of
hedgerow cropping system in reducing mineral N-leaching in Ultisol. In: C Ginting, A Gafur, FX
Susilo, AK Salam, A Karyanto, S D Utomo, M Kamal, J Lumbanraja and Z Abidin (eds.). Proc.
Int. Seminar toward Sustainable Agriculture in the Humid Tropics Facing 21st Century UNILA,
Lampung. p. 96 - 106.
Van der Heide, J., Setijono, S., Syekhfani, MS., Flach E.N., Hairiah, K., Ismunandar, S., Sitompul,
S.M. and Van Noordwijk, M., 1992. Can low external input cropping systems on acid upland
soils in the humid tropics be sustainable? Backgrounds of the UniBraw/IB Nitrogen
management project in Bunga Mayang (Sungkai Selatan, Kotabumi, N. Lampung, S. Sumatera,
Indonesia). AGRIVITA 15: 1-10
Van Noordwijk M, Hairiah K, Lusiana B and Cadisch G, 1998. Tree-soil-crop interactions in
sequential and simultaneous agroforestry systems. In: Bergstrom L and Kirchmann H (eds.).
Carbon and nutrient dynamics in natural and agricultural tropical ecosystems. CAB
International, Wallingford, UK. pp 173-191.
Van Noordwijk M and Lusiana B, 1999. WANULCAS 1.2. Backgrounds of a model of water,
nutrient and light capture in agroforestry systems. ICRAF SE. Asia, Bogor.
Wasrin U R, Setiabudhi, dan A E Putera, 1997. Analisis vegetasi dan sistem pengelolaan pangkalan
data di Lampung dan Jambi. ASB II.
– 127 –
Download