PENAMBAHAN NITROGEN PADA PRODUKSI BIOETANOL DENGAN METODE SIMULTANEOUS SACCHARIFICATION AND FERMENTATION (SSF) EFFECT of NITROGEN ADDITION IN BIOETHANOL PRODUCTION BY USING A SIMULTANEOUS SACCHARIFICATION and FERMENTATION (SSF) METHOD Muhammad Naufal, Warmadewanthi Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya Email: [email protected] Abstrak Molase adalah limbah tebu yang memiliki kandungan gula tinggi dan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai bahan bakar seperti bioetanol. Pemanfaatan molase menjadi energi merupakan salah satu bentuk mewujudkan konsep bio-energyuntu mewujudkan sistem lingkungan yang berkelanjutan. Pembuatan bioetanol dilakukan melalui teknik fermentasi.Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan pengaruh penambahan nitrogen dan tanpa nitrogen pada media selama proses fermentasi molase tebu secara Simultaneous Sacharification and Fermentation (SSF). Proses hidrolisis molase tebu dilakukan secara biologis menggunakan Aspergillus niger.Sedangkan Poses fermentasi menggunakan isolat Saccharomyces cerevisiae. Dengan menggunakan metoda gas kromatografi didapatkan kadar bioetanol tertinggi pada pelakuan penambahan nitrogen dengan nilai 6,8% v/v sedangkan untuk perlakuan tanpa nitrogen memiliki kadar etanol tertinggi sebesar 4,5% v/v pada jam ke 72. Hal ini disebabkan karena nitrogen membantu meningkatkan aktivitas enzimatik mikroorganisme dalam proses konversi gula menjadi bioetanol. Kata kunci : Bioetanol, Fermentasi, Molasses, Nitrogen, Gula. Abstract Molasses is a waste of sugarcane which has a high sugar content and has the potency to be utilized as bioethanol. Utilization of molasses into energy is one of realizing the concept of bio-energy and realizing sustainable environmental system. Production of bioethanol was done by using fermentation technique. This study was conducted to compare the effect of nitrogen and without nitrogen in the fermentation medium during fermentation Simultaneous Sacarification and Fermentation (SSF). Hydrolysis process of sugarcane molasses using Aspergillus niger. While fermentation process using Sacharomyces cerevisiae. Method of gas chromatography was usedto obtain the highest levels of ethanol. Treatment of addition of nitrogen was 6.8% v/v of bioethanol whereas for treatment without nitrogen has the highest ethanol content of 4.5% v/v of bioethanol on 72 hour. Nitrogen helps to enhance the enzymatic activity of microorganisms in the process of conversion of sugar into bioethanol. Keywords: Bioethanol, Fermentation, Molasses, Nitrogen, Sugar. 42 Jurnal Purifikasi, Vol. 15, No. 1, Juli 2015 1. PENDAHULUAN Limbah molase adalah substrat sisa pengolahan tebu menjadi gula yang dapat digunakan kembali. Apabila molase diolah akan memiliki nilai ekonomi tinggi. Kebanyakan masyarakat memanfaatkan molase sebagai bahan baku pembuatan sirup, namun kandungan kotorankotoran bukan gula sangat membahayakan bagi kesehatan. Molase merupakan bahan yang cocok digunakan sebagai bahan pembuatan bioetanol karena substrat ini bukan merupakan bahan konsumsi secara langsung bagi masyarakat. Pembuatan etanol dari molase akan menggantikan singkong yang selama ini banyak digunakan sebagai bahan pembuatan etanol karena singkong merupakan bahan makanan dengan nilai ekonomi yang tinggi. Penelitian oleh Muruaga (2015) menunjukkan bahwa substrat molase yang diujikan dengan S. cerevisiae memiliki hasil yang baik untuk dilakukan pemanfaatan secara industri. Prinsip 3R atau Reuse, Reduce, dan Recycle sampai sekarang masih menjadi cara terbaik dalam mengelola dan menangani sampah atau limbah dengan berbagai permasalahannya termasuk untuk pemanfaatan limbah molase menjadi bahan baku bioetanol. Bioetanol merupakan biofuel ramah lingkungan dengan kandungan 35% oksigen yang mampu menyebabkan proses pembakaran lebih sempurna sehingga emisi hidrokarbon hasil pembakaran lebih rendah (Ganguly dkk., 2012). Penelitian menunjukkan bahwa kombinasi bensin dan etanol dapat dengan baik digunakan sebagai bahan bakar sebagai pengganti bensin murni dengan perbandingan 80:20 untuk bensin dan etanol (Kumar, 2014). Kandungan sukrosa yang tinggi pada molase tebu menyebabkan proses fermentasi molase oleh yeast sulit terjadi sehingga diperlukan pemecahan molekul sukrosa menjadi monomer glukosa. Konversi sukrosa menjadi glukosa secara biologis merupakan salah-satu alternatif dalam proses hidrolisis. Proses hidrolisis molase dilakukan menggunakan A. niger karena mikroba ini mampu menghasilkan enzim invertase yang diperlukan dalam hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa aktivitas invertase dari A. niger mencapai mencapai 2677 u/L. Fermentasi glukosa mengunakan S. cerevisiae. Kelebihan proses fermentasi mengunakan S. Cerevisiae adalah mampu memproduksi bioetanol dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi terhadapalkohol yang tinggi.Untuk menaikkan yield etanol yang dihasilkan, perlu ditambahkan sumber nitrogen menggunakan (NH4)2SO4 bagi mikroorganisme dalam proses fermentasi perlu dilakukan untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme dalam melakukan metabolisme dan konversi glukosa menjadi bioetanol. Ketersediaan sumber nitrogen pada media fermentasi akan meningkatkan yield etanol yang dihasilkan oleh S. cerevisiae. Pembuatan bioetanol harus dilakukan secara ekonomis dan optimum, sehingga harus dilakukan dengan menggunakan metode yang efisien dalam proses fermentasi. Proses pembuatan etanol dengan menggunakan bahan baku molase dapat dilakukan dengan metode Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF), dimana proses hidrolisis dan fermentasi berlangsung secara bersamaan sehingga waktu yang diperlukan dalam proses ini relatif singkat dan mengurangi kontaminasi yang mungkin terjadi. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan nitrogen dalam produksi bioetanol pada substrat molase tebu dengan menggunakan metode (SSF). 2. BAHAN DAN METODA Pretreatment Molase Tebu Molase tebu didapatkan dari pabrik gula Sidoarjo. Molase tebu yang didapatkan diukur kadar abu menggunakan metode kadar abu SNI (Standar Nasional Indonesia). Pengukuran kadar abu untuk menentukan kemampuan pertumbuhan mikroorganisma. Untuk proses pretreatment, material molase tebu ditimbang sebanyak 333 g dilarutkan dalam 1 L aquades (Silva dkk., 2012) dan disterilisasi pada suhu 1200C selama 30 menit. Hasil molase setelah sterilisasi didinginkan untuk dilanjutkan ke proses hidrolisis dan fermentasi. Naufal, Penambahan Nitrogen pada Produksi Bioetanol dengan Metode SSF Persiapan Kapang A. niger dan S. cerevisiae Persiapan biakan A. niger dan S. cerevisiae dengan menggunakan media PDA (Potato Dextrose Agar) pada tabung reaksi. Konsentrasi PDA 1,95 g ditambahkan akuades 50 mL dan dipanaskan pada penangas hingga mendidih. PDA yang sudah dibuat dimasukkan dalam tabung rekasi sebanyak 5 mL dan diautoklaf pada suhu 1210C selama 2 jam. Selanjutnya mengambil sampel satu ohse menggunakan jarum ohse untuk ditanamkan ke media PDA dan diinkubasi dalam inkubator. Proses Hidrolisis Molase Hidrolisis molase tebu menggunakan isolat kapang A. niger sebanyak 9,5 g/L berat basah. Penumbuhan A. niger dilakukan mengunakan media PDB (Potato Dextros Broth). Penyiapan inokulum dilakukan dengan proses sterilisasi panas lembab menggunakan autoklaf (1210C selama 30 menit) dan menggunakan Erlenmeyer ukuran 250 mL. Stok inokulan yang sudah ditumbuhkan pada media PDA diambil 1 ose dan disuspensikan pada 10 mL akuades. 43 menggunakan isolat yeast S. cerevisiae dengan OD 1 atau setara dengan 3,3 x 107. Fermentasi SSF Proses fermentasi menggunakan metode SSF dengan menggunakan reaktor berukuran 2 L. Substrat molase yang telah diendapkan dan ditimbang kemudian disterilisasi (1200C) selama 30 menit. Proses fermentasi berlangsung selama 96 jam dengan pengukuran kadar gula reduksi dan bioetanol setiap 24 jam dan pengkondisian pH 5. Pengaruh Penambahan (NH4)2SO4 Terhadap Kadar Bioetanol Perlakuan penambahan sumber nitrogen menggunakan (NH4)2SO4 sebanyak 2 g/L dan tanpa penambahan sumber nitrogen (NH4)2SO4 diujikan untuk melihat perbandingan bioetanol yang dihasilkan. Pemberian nitrogen dilakukan saat proses fermentasi berlangsung. Metode analisis Suspensi spora diambil sebanyak 1 mL dan diinokulasikan pada media PDB yang sudah disiapkan. Media PDB dibuat dengan konsentrasi 2,4 g PDB untuk 100 mL PDB. Suspensi tersebut dihomogenasi menggunakan shaker selama 3 hari dengan kecepatan 180 rpm. Sebelum dimasukkan dalam media fermentasi, terlebih dahulu dilakukan pengukuran pH ± optimum. Pengkondisian pH dilakukan dengan menambahkan buffer asetat yang terdiri atas asam asetat dan NaOH. Analisis gula reduksi menggunakan metode Nelson-Somogyi (Sudarmadji dkk., 1984). Pengukuran menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm. Nilai absorbansi yang diperoleh dikurangi nilai absorbansi blanko sehingga diperoleh nilai absorbansi sampel. Nilai absorbansi sampel dikonversi berdasar persamaan regresi larutan standar. Pengukuran kadar bioetanol mengunakan prinsip Gas Kromatografi dengan menginjeksikan sampel sebanyak 0,2 ml ke dalam kolom kromatografi. Analisis kadar etanol menggunakan softwere (IRIS 32). Proses Penyiapan S. cerevisiae 3. HASIL DAN PEMBAHASAN S. cerevisiae diinokulasikan pada media YMB (Yeast Malt Broth) dengan perlakuan yang sama seperti pada kapang A. niger. Untuk membuat YMB meggunakan 11,2 g dan dilarutkan dalam 500 mL akuades. Suspensi dihomogenasi menggunakan shaker selama 1 hari dengan kecepatan 180 rpm. Sebelum dimasukkan ke dalam substrat, yeast dalam media diukur pH nya dan dikondisikan pH ±5 yang merupakan pH optimum S. cerevisiae dengan menambahkan buffer asetat 0,2 M. Pada penelitian ini Kualitas Molase Karakteristik molase merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembuatan bioetanol menggunakan molase tebu. Molase pada penelitian ini memiliki kualitas yang baik karena berwarna coklat gelap dan berbentuk kental seperti sirup serta memiliki aroma yang harum. Molase yang baik memiliki warna coklat gelap atau coklat kemerahan, berbau khas, serta tidak terkontaminasi mikroorganisme. Pada penelitian 44 Jurnal Purifikasi, Vol. 15, No. 1, Juli 2015 ini tidak dilakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap adanya mikroorganisme kontaminan pada molase, hal inidisebabkan karena sebelum proses hidrolisis dan fermentasi, dilakukan sterilisasi menggunakan kondisi panas lembab (autoklaf). Kondisi panas lembab memberikan keuntungan antara lain mempermudah proses denaturasi protein sel kontaminan serta membantu hidrolisis sukrosa pada molase menjadi glukosa dan fruktosa. Molase yang memiliki kadar abu tinggi memiliki kualitas yang buruk serta mengurangi aktivitas enzimatis mikroorganisme dalam proses fermentasi. Pada penelitian ini dilakukan dua ulangan dan dihasilkan kadar abu 7,6% dan 7,2% yang menandakan bahwa kualitas abu molase masih aman untuk pertumbuhan mikroorganisme selama proses fermentasi. Kadar abu yang terdapat pada molase menunjukkan adanya senyawa bukan gula (anorganik), sehingga semakin tinggi kadar abu molase maka kualitas molase semakin menurun. Menurut (Crueger and Grueger, 1984) kadar abu molase yang berkualitas baik berada pada presentase 7-11%. Kadar Gula Reduksi SSF Proses SSF yang menggabungkan proses hidrolisis dan fermentasi memberikan pengaruh terhadap gula reduksi yang dihasilkan. Satu diantara beberapa keuntungan dari proses SSF adalah hidrolisis dan fermentasi dilakukan dalam satu wadah atau reaktor sehingga dapat berlangsung secara efisien. Hidrolisis bertujuan untuk memecah polisakarida menjadi monosakarida sehingga dapat langsung difermentasi oleh yeast. Molase memiliki kandungan gula yang besar dalam bentuk sukrosa dan gula reduksi. Molase juga berfungsi sebagai substrat sekaligus nutrisi pertumbuhan mikroorganisme karena kandungan karbonnya (Sarris dkk., 2014). Sukrosa tidak dapat dengan mudah dikonversi menjadi bioetanol oleh mikroorganisme sehingga diperlukan hidrolisis. Sukrosa yang tinggi pada molase harus dihidrolisis menjadi gula reduksi berupa glukosa dan fruktosa, agar memudahkan proses konversi menjadi bioetanol.Hidrolisis secara enzimatik memanfaatkan enzim penghidrolisis sukrosa, yaitu invertase atau bisa juga langsung menggunakan mikroba penghasil invertase, misalnya A. Niger (Ghorbani dkk., 2011). Kadar Gula Reduksi (mg/g) 4 3.5 3 N1 2.5 N2 (-N1) 2 (-N2) 1.5 (Kontrol N) 1 (Kontrol -N) 0.5 0 0 24 jam 48 jam 72 jam Gambar 1. Kadar Gula Reduksi Molase Tebu 96 jam Naufal, Penambahan Nitrogen pada Produksi Bioetanol dengan Metode SSF Keuntungan hidrolisis secara enzimatik adalah efisisensi reaksi tinggi karena enzim bersifat selektif sehingga pembentukan produk samping bisa diminimalisasi, kondisi reaksi temperatur dan tekanan tidak tinggi, bahkan bisa dilakukan pada temperatur ruang dan tekanan atmosfer sehingga tidak membutuhkan peralatan khusus untuk reaksi.Berdasarkan Gambar 1 didapatkan nilai gula reduksi untuk metode SSF. Pada perlakuan SSF dengan konsentrasi S. cerevisiae 6% terjadi peningkatan gula reduksi dari jam ke 0 hingga ke jam 24 pada semua perlakuan,namun setelahnya mengalami penurunan. Peningkatan gula reduksi pada jam ke 0 sampai jam ke 24 diakibatkan oleh hidrolisis sukrosa pada molase menjadi glukosa. Hidrolisis sukrosa menjadi glukosa merupakan efek dari penggunan A. niger dimana enzim invertase yang dihasilkannya berfungsi sebagai enzim yang mengkonversi sukrosa menjadi glukosa. Selama proses fermentasi berlangsung terjadi kenaikan kadar gula rata-rata sebesar 2,32 mg/g dan 2,35 mg/g untuk perlakuan pemberian nitrogen (N) dan tanpa pemberian nitrogen (-N) pada jam ke 24. Invertase yang dihasilkan kapang A. Niger adalah enzim yang yang melakukan proses hidrolisis dari sukrosa pada molase menjadi glukosa dan fruktosa. Invertase dapat dimanfaatkan secara industri (Indriani, dkk., 2014). Invertase termasuk ke dalam kelompok enzim hidrolase. Enzim hidrolase adalah kelompok enzim yang dapat memecah dan membelokkan ikatan hidrogen pada waktu yang bersamaan. Proses ini mengakibatkan jenis gula mengalami perubahan konfigurasi dari alpha menjadi beta. Penurunan gula reduksi terjadi pada semua perlakuan pada jam ke 48 sampai jam ke 96. Penurunan gula reduksi sebanding dengan jumlah etanol yang dihasilkan dimana semakin lama proses fermentasi, maka etanol yang dihasilkan juga semakin besar (Hemamalini dkk., 2012). Dalam metode fermentasi secara simultan memberikanpengaruh terhadap penurunan jumlah gula reduksi pada semua perlakuan sampel. Pada jam ke 24 dimana perlakuan tanpa penambahan nitrogen (-N2) memiliki nilai gula reduksi tertinggi mencapai 45 2,63 mg/g. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas mikroorganisme pada perlakuan tanpa penambahan nitrogen (-N) tersebut selama fermentasi berlangsung lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan penambahan nitrogen (N) pada metode SSF. Proses hidrolisis dan fermentasi yang berlangsung secara bersamaan menyebabkan jumlah gula pada penelitian ini mengalami penurunan terus-menerus. Gula adalah senyawa yang dibutuhkan oleh mikroba dalam melakukan fermentasi. Perlakuan tanpa penambahan nitrogen (-N) memiliki gula reduksi akhir lebih besar dibandingkan dengan perlakuan penambahan nitrogen yakni sebesar 1,52 mg/g dan 1,48 mg/g. Hasil ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kadar gula reduksi akhir padaperlakuan penambahan nitrogen (N) mencapai 1,22 dan 0,96 mg/g. Nitrogen mempengaruhi aktivitas metabolisme mikroorganisme. Penambahan sumber nitrogen menggunakan (NH4)2SO4 bagi mikroorganisme dalam proses fermentasi diperlukan untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme (Joshi, 2014). Rendahnya kadar gula reduksi berbanding lurus dengan aktivitas mikroorganisme yang semakin tinggi. Penambahan nitrogen akan meningkatkan aktivitas mikroorganiseme dan meningkatkan laju konversi glukosa menjadi bioetanol sehingga jumlah gula reduksi di akhir fermentasi juga semakin rendah (Joshi, 2014). Dalam proses fermentasi perlakuan kontrol (tanpa hidrolisis) menghasilkan gula reduksi yang naik pada jam ke 0 sampai jam ke 24 dan cenderung mengalami penurunan pada semua perlakuan pada jam ke 24-96. Peningkatan kadar gula reduksi pada kontrol disebabkan oleh aktivitas invertase oleh S. cerevisiae yang memecah molekul sukrosa menjadi glukosa. Sedangkan penurunan gula reduksi diakibatkan oleh aktivitas yeast S. Cerevisiae yang memanfaatkan gula sebagai substrat dalam pembentukan etanol. Yeast S. cerevisiae menghasilkan enzim zymase yang mampu mengubah glukosa menjadi etanol. Secara umum data gula reduksi hasil penelitian ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan gula reduksi yang dihasilkan oleh Suzuki dkk., (1972). 46 Jurnal Purifikasi, Vol. 15, No. 1, Juli 2015 Yang mencapai konsentrasi 330 mg gula reduksi dalam hidrolisis molase. Perbedaan jumlah gula reduksi yang dicapai diakibatkan oleh perbedaan perlakuan dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Suzuki dkk., (1972) mengunakan enzim secara langsung sebagai agen hidrolisis. Perbedaan jumlah gula reduksi yang dihasilkan juga diakibatkan oleh perbedaan mikroorganisme yang digunakan, dimana pada penelitian tersebut menggunakan Mortierella vinacea sebagai mikroorganisme penghasil enzim dalam proses hidrolisis beet molase. Dalam penelitian ini gula reduksi yang dihasilkan relatif rendah namun hal ini mengindikasikan terjadinya konversi gula menjadi etanol. Penurunan kadar gula reduksi pada proses fermentasi identik dengan peningkatan kadar etanol. Namun besarnya konsentrasi etanol yang akan didapatkan dari proses fermentasi tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan konsentrasi gula reduksi awal karena proses fermentasi dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi adalah kultur inokulum yang digunakan, lama fermentasi, suhu, pH medium, jumlah makro dan mikro nutrien yang ada dalam media fermentasi, konsentrasi media fermentasi, gula reduksi dan sebagainya. Nitrogen yang diberikan pada saat fermentasi meningkatkan aktivitas mikroorganisme dalam degradasi gula menjadi etanol. Hal ini ditandai dengan kadar gula reduksi pada akhir fermentasi dengan perlakuan penambahan nitrogen (N) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan nitrogen. Hasil gula reduksi pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2009) yang menyebutkan bahwa gula reduksi di akhir fermentasi berkisar antara 0,5 mg dalam fermentasi molase. Penurunan ini sebanding dengan terbentuknya bioetanol selama proses fermentasi. Pertumbuhan khamir merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pengubahan gula menjadi etanol. Pertumbuhan khamir dipengaruhi oleh faktor nutrisi yakni nitrogen (NH4)2SO4. Kadar Etanol SSF 6% Penambahan Nitrogen yeast dengan Hasil bioetanol melalui proses SSF dengan penambahan nitrogen (N) lebih besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan nitrogen (N) maupun dengan perlakuan kontrol (tanpa hidrolisis oleh A. niger) dimana masing-masing perlakuan tanpa hidrolisis menghasilkan kadar etanol terendah dibandingkan perlakuan lainnya pada metode SSF. Yeast sebagai mikroba yang berperan penting dalam fermentasi etanol memerlukan gula untuk proses metabolisme, asam amino, vitamin dan mineral untuk menghasilkan enzim. Penggunaan yeast S. cerevisiae dalam penelitian ini disebabkan karena daya toleransinya yang tinggi terhadap kadar etanol yang tinggi (Tahammasittirong dkk., 2013). Masing-masing yeast juga memerlukan nutrisi yang berbeda dalam proses fermentasi, tergantung dari spesiesnya. Mineral yang biasanya dibutuhkan oleh yeast adalah potasium (K), calcium (Ca), magnesium (Mg), dan Zinc (Zn). Tanpa adanya magnesium maka yeast tidak akan tumbuh. Menurut Joshi (2014), nitrogen merupakan sumber makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan yeast dan dan meningkatkan kadar etanol. Nitrogen diperlukan yeast sebagai kofaktor dalam mengatur jumlah enzim yang terlibat dalam reaksi. Kadar etanol pada perlakuan 6% yeast tanpa penambahan nitrogen (-N) relatif rendah jika dibandingkan dengan perlakuan dengan penambahan nitrogen (N). Kadar etanol tertinggi mencapai 4,5% v/v untuk perlakuan tanpa penambahan nitrogen (-N) dan 6,8% v/v untuk perlakuan dengan pemberian nitrogen (N) pada perlakuan SSF di jam ke 72. Sedangkan untuk perlakuan kontrol pada jam yang sama hanya menghasilkan 2,29% v/v untuk perlakuan penambahan nitrogen (KN) dan 1,47 v/v untuk perlakuan tanpa penambahan nitrogen (K,-N). Rendahnya kadar bioetanol pada tahap SSF diantaranya disebabkan kinerja enzim yang tidak optimal akibat terjadinya hibisi enzim oleh akumulasi gula, meskipun kandungan enzim dalam sistem tinggi. Naufal, Penambahan Nitrogen pada Produksi Bioetanol dengan Metode SSF Jika enzim terinhibisi maka proses liquifikasi akan terhenti meskipun belum semua gula yang tersedia diubah menjadi gula sederhana. Inhibisi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi etanol yang dihasilkan. Pada umumnya cara kerja inhibitor adalah dengan menyerang sisi aktif enzim sehingga enzim tidak dapat berikatan dengan substrat sehingga fungsi katalitiknya terganggu. Kadar Bioethanol ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Kadar Etanol Substrat N1 N2 (- N ) 1 (- N ) 2 (K N ) (K,-N) Kadar Etanol pada Sacharomyces 6% (v/v) 24 jam 48 jam 72 jam 96 jam 5,24 5,68 6,80 3,25 5,57 5,62 5,83 3,16 3,98 3,92 4,50 1,78 2,69 3,26 3,55 1,85 2,19 1,86 2,29 3,10 1,34 1,35 1,47 1,43 Pada umumnya penambahan sumber nitrogen terhadap media fermentasi akan meningkatkan kadar etanol yang dihasilkan. Hal ini terlihat pada hasil etanol dengan perlakuan SSF dimana penambahan nitrogen pada konsentrasi 6% memiliki kadar etanol lebih tinggi 2,9% v/v bioetanol dibandingkan dengan tanpa penambahan nitrogen. Kadar etanol terendah dimiliki oleh perlakuan S. cerevisiae 6% tanpa penambahan nitrogen dengan hasil etanol ratarata sebesar 3,35% v/v. Namun hasil dari perlakuan S. cerevisiae 6% tanpa penambahan nitrogen (-N) jauh lebih besar dibandingkan perlakuan tanpa hidrolisis (kontrol) yang hanya memiliki etanol tertinggi 3,1% v/v pada jam ke 96.Fermentasi gula oleh ragi, misalnya S. cerevisiae dapat menghasilkan etil alkohol (etanol) dan CO2. Peningkatan produksi gas CO2 yang terjadi seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi menunjukkan hasil yang berbanding terbalik dengan kadar etanol. Gas yang dihasilkan pada proses fermentasi etanol oleh S. cerevisiae dapat menghambat aktivitas dari S. cerevisiae ataupun A. niger itu sendiri sehingga kadar gula reduksi juga mengalami perbedaan pada perlakuan dengan pemberian nitrogen maupun tanpa nitrogen. Nitrogen yang ditambahkan berperan dalam peningkatan kadar 47 bioetanol. Yield etanol meningkat seiring dengan penambahan nutrisi. Hasil etanol yang dihasilkan pada jam ke 24 pada penelitian ini lebih besar dari etanol yang dihasilkan oleh S. cerevisiae dalam sistem continous dengan kadar etanol sebesar 2,76% (Hemamalini dkk., 2012). Nitrogen berperan dalam meningkatkan kadar etanol karena nitrogen merupakan unsur makro yang diperlukan oleh mahluk hidup dan berperan dalam sumber protein bagi sel (Najafpour dkk., 2004). Hasil etanol maksimal pada penelitian ini terdapat pada waktu fermentasi pada jam ke 72 dengan nilai 6,8% v/v, waktu fermentasi optimum ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gasmalla dkk., (2012) dimana waktu 72 jam adalah waktu optimum dalam fermentasi molase.Pada penelitian ini gula reduksi cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kadar etanol. Hasil ini berbeda jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Thamilvanan dan Selvi (2013) dimana jumlah etanol meningkat seiring dengan meningkatnya kadar gula. Lama waktu fermentasi adalah bagian yang sangat penting dalam proses produksi bioetanol. Hashem dkk., (2013) juga menyebutkan bahwa jam ke 60-72 dan setelahnya mengalami penurunan. Sumber nitrogen yang digunakan adalah (NH4)2SO4. Etanol merupakan hasil samping pemecahan glukosa oleh S. cerevisiae sehingga pada waktu jumlah sel meningkat maka etanol yang dihasilkan juga meningkat. Khoja dkk., (2015) menyebutkan bahwa konversi molase oleh S. cerevisiae memiliki efisiensi sebesar 92,5%. Pada jalur ED, terbentuk suatu unit antara yaitu 2-keto-3-deoksi-6-fosfoglukonat (KDFG). Komponen ini akan dipecah oleh aldolase menjadi gliseraldehid-3P dan piruvat Pada keadaan anaerob, gliseraldehid-3P akan diubah menjadi piruvat, sehingga pada jalur ED akan dihasilkan 2 mol piruvat dan 1 mol ATP. 2 mol piruvat yang dihasilkan akan diubah menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Hasil bioetanol maksimal pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kadar bioetanol pada molase tebu yang dilakukan oleh Zuko dkk., (2012) dimana kadar etanol tertinggi mencapai 8,7% v/v. Perbedaan jumlah bioetanol yang dihasilkan meskipun dengan menggunakan 48 Jurnal Purifikasi, Vol. 15, No. 1, Juli 2015 substrat yang sama disebabkan oleh perbedaaan perlakuan penambahan nutrien. Pada penelitian Zuko dkk., (2012) menambahkan urea sebagai sumber nitrogennya. Sedangkan pada penelitian ini menggunakan sumber nitrogen berupa (NH4)2SO4.. Sebagian besar mikroba yang dipakai dalam industri fermentasi dapat menggunakan senyawa nitrogen organik maupun anorganik. Hasil etanol pada penelitian ini juga tidak lebih tinggi dari penelitian oleh Fadel dkk., (2013) dimana dihasilkan etanol maksimal sebesar 9,8% v/v. Hal tersebut disebabkan karena jumlah sel S. cerevisiae yang digunakan lebih besar yakni sebesar 20% v/v. Semakin banyak yeast maka proses degradasi gula menjadi etanol juga semakin tinggi. Molase juga memiliki kandungan karbon yang baik untuk pertumbuhan yeast (Sharlin dan Philip, 2013) jenis senyawa ini akan mempengaruhi proses fermentasi, misalnya produksi antibiotik dapat dihambat oleh sumber nitrogen yang cepat dicerna. Proses pembentukan etanol juga dipengaruhi oleh adanya inhibitor. Pada umumnya cara kerja inhibitor adalah dengan menyerang sisi aktif enzim sehingga enzim tidak dapat berikatan dengan substrat yang menyebabkan fungsi katalitiknya terganggu. Kadar etanol yangdihasilkan pada penelitian ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Abubakar dkk., (2012) yang menghasilkan 3,8% v/v etanol dengan penambahan 0,15% urea. Hal ini disebabkan oleh proses SSF yang digunakan memiliki waktu proses yang relatif singkat sehingga mengurangi kontaminasi yang mungkin terjadi. Selain itu dari proses ini terjadi peristiwa dimana polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi polisakarida karena monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol, sehingga etanol yang dihasilkan juga lebih besar. Pengaruh Faktor Lingkungan Faktor lingkungan adalah faktor yang berperan penting dalam proses fermentasi. Proses hidrolisis dan fermentasi yang dilakukan secara biologis mengharuskan kondisi optimum dalam setiap perlakuan. Pengaturan pH dilakukan untuk menjaga kondisi substrat dan mikroorganisme agar mampu bekerja secara maksimal. Derajat keasaman optimum untuk proses fermentasi adalah antara 4-5. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan penstabilan pH menggunakan buffer asetat dan NaOH 10 N pada pH 5. Fakhruddin dkk., (2013) menyebutkan bahwa pH optimum untuk S. cerevisiae adalah 5. Perubahan pH selama proses fermentasi ditunjukkan pada Gambar 2. Gambar 2. Perubahan pH selama proses fermentasi Naufal, Penambahan Nitrogen pada Produksi Bioetanol dengan Metode SSF Pada penelitian terjadi penurunan pH disetiap waktu pengamatan. Nilai pH ditentukan oleh besarnya konsentrasi H+ yang disumbangkan oleh asam-asam lemah di dalam substrat.Dalam hal ini adalah asam sitrat, asam laktat dan asam asetat yang merupakan hasil samping perombakan gula oleh yeast. Perlakuan dengan yeast 6% baik dengan penambahan nitrogen ataupun tidak menunjukkan penurunan pH hingga 4,7. Namun setiap hari dilakukan penyamaan pH 5 untuk menjaga kondisi optimum terjadinya fermentasi oleh yeast S. cerevisiae dengan penambahan NaOH. Proses fermentasi tergantung pada banyak sedikitnya penambahan khamir dalam bahan. Semakin banyak jumlah ragi yang diberikan berarti semakin banyak jumlah khamir yang terlibat, sehingga kadar alkohol meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilkukan oleh Fadel dkk., (2013) yang menghasilkan etanol tinggi sebesar 9,8%v/v menggunakan 20% yeast. Kondisi ini juga berbanding lurus dengan besarnya asam organik yang terbentuk saat fermentasi. Jika tumbuh dalam keadaan anaerobik, kebanyakan khamir lebih cenderung memfermentasi subtrat karbohidrat untuk menghasilkan etanol bersama sedikit produk akhir sesuai jalur glikolisis.Nilai pH untuk pertumbuhan mikroba mempunyai hubungan dengan suhu pertumbuhannya. Jika suhu pertumbuhan naik, maka pH optimum untuk untuk pertumbuhan juga naik. Jika sumber karbon yang lebih besar didalam kultur medium adalah suatu karbohidrat maka pH akan turun selama pertumbuhan eksponensial di bawah kondisi aerob. Beberapa organisme menghasilkan senyawa metabolisme seperti asam asetat dan piruvat dengan adanya gula yang berlebih. Asam organik jika berdisosiasi dalam air akan menghasilkan H+ yang dapat menurunkan pH cairan kultivasi. Pembentukan asam-asam organik ini merupakan salah-satu penyebab turunnya pH media selama fermentasi. Pada penelitian ini tidak terjadi perubahan pH 49 yang terlalu ekstrem. Data pada Gambar 2 menunjukkan penurunan pH yang relatif kecil. Hal ini menunjukkan tren yang bagus sebabperubahan pH yang ekstrim (terlalu rendah atau terlalu tinggi) akan menyebabkan enzim mengalami denaturasi (Sarris dkk., 2013). Selama proses fermentasi secara simultan terjadi penurunan pH. Kondisi pH saat reaksi enzimatis mempengaruhi kemampuan enzim dalam menghidrolisis substrat sehingga dilakukan penyeragaman pH menggunakan buffer untuk menjaga kondisi pH reaksi. Kisaran suhu untuk pertumbuhan kebanyakan khamir pada umumnya hampir sama dengan kapang yaitu dengan suhu optimum 25-30ºC dan suhu maksimum 35-47ºC. Pada proses fermentasi SSF dilakukan dengan pengukuran suhu setiap hari dan menghasilkan data bahwa terjadi peningkatan suhu dari 31-33oC hampir pada semua perlakuan. Peningkatan suhu pada proses penelitian ini tidak terlalu signifikan, namun kenaikan suhu diakibatkan oleh proses fermentasi yang berlangsung. Suhu sangat mempengaruhi pertumbuhan maksimum suatu kapang dan aktivitas enzim yang dihasilkan. Perubahan suhu selama proses fermentasi ditampilkan pada Gambar 3. Suhu media fermentasi pada penelitian ini berkisar 31-33oC dan masih dalam suhu mesofilik dalam berlangsungnya fermentasi. Rath dkk., (2014) menyebutkan suhu optimum S. cerevisiae dalam melakukan fermentasi adalah 30oC. Suhu ini sesuai dengan kondisi dimana S. cerevisiae merupakan kelompok yeast mesofilik. Akibat terjadinya fermentasi sebagian atau seluruhnya akan menyebabkan gula berubah menjadi alkohol setelah beberapa waktu lamanya. Proses inilah yang menyebabkan meningkatnya suhu selama fermentasi. Peningkatan suhu terjadi pada semua perlakuan. Hal ini sesuai dengan teori dimana fermentasi biasanya diikuti dengan peningkatan suhu substrat dan juga kenaikan jumlah etanol. Meningkatnya suhu menyebabkan 50 Jurnal Purifikasi, Vol. 15, No. 1, Juli 2015 aktivitas enzim meningkat. Hal ini disebabkan karena ketika suhu naik, energi kinetik juga meningkat sehingga menambah intensitas tumbukan antara substrat dan enzim. Tumbukan yang sering terjadi akan mempermudah pembentukan kompleks enzim- substrat, sehingga produk yang terbentuk makin banyak. Sedangkan suhu yang terlalu tinggi akan mempengaruhi perubahan konformasi substrat sehingga sisi reaktif substrat mengalami hambatan untuk memasuki sisi aktif enzim dan hal ini menyebabkan aktivitas enzim akan rendah Gambar 3. Perubahan Suhu Selama Proses Fermentasi Kondisi anaerob pada waktu fermentasi menghasilkan etanol yang lebih cepat. Hal ini disebabkan oleh pengurangan luas area transfer panas dan pertukaran gas di lingkungan sekitar media fermentasi.Selain itu, tingginya suhu akan menyebabkan rusaknya interaksi nonkovalen (ikatan hidrogen, vander waals, hidrofobik dan elektrostatik) yang menjaga struktur tiga dimensi enzim sehingga enzim akan terdenaturasi (Sarris dkk., 2013). Reaksi dalam proses ini terjadi secara eksoterm sehingga semakin lama suhu media fermentasi semakin tinggi seiring dengan meningkatnya aktivitas khamir memfermentasi glukosa. Suhu media terus meningkat sampai hari hari ke-4. Kenaikan suhu ini berpengaruh baik terhadap proses fermentasi karena aktivitas khamir memfermentasi substrat meningkat seiring dengan peningkatan suhu sampai batas tertentu. Kenaikan suhu sampai batas tertentu juga akan mempercepat laju reaksi dan laju kerja enzim. Terdapat dua fase penting selama fermentasi molase yaitu: pertama, aktivitas yeast yang mengubah gula menjadi etanol selama fermentasi anaerobik di awal fermentasi dan kedua adalah aktivitas yeast asam asetat mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat dan selanjutnya menjadi CO2 dan H2O. Secara umum proses fermentasi pada penelitian ini memiliki keuntungan antara lain memiliki waktu yang lebih singkat dalam mengubah biomassa menjadi bioethanol. Proses ini memerlukan enzim yang lebih sedikit daripada proses hidrolisis seperti umumnya, karena pada proses Simultaneous Saccharification and Fermentation (SSF) tahapan hidrolisis dan fermentasi berlangsung bersamaan. Waktu yang diperlukan dalam proses ini relatif singkat sehingga mengurangi kontaminasi yang mungkin terjadi. Keuntungan lain dari proses ini adalah polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi polisakarida karena monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol. Selain itu dengan menggunakan satu reaktor dalam prosesnya akan Naufal, Penambahan Nitrogen pada Produksi Bioetanol dengan Metode SSF mengurangi biaya peralatan yang digunakan. Molase merupakan bahan yang layak untuk dijadikan sebagai bioetanol karena bukan merupakan sumber makanan yang digunakan secara langsung. Molase adalah substrat yang layak secara ekonomi untuk dijadikan bioetanol (Gunatilake dan Abeygunawardena, 2014). Semua sumber tanaman yang mengandung karbohidrat dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan biofuel (Aydogan dkk., 2014). 4. KESIMPULAN Proses fermentasi secara SSF menghasilkan gula reduksi akhir dengan rata-rata sebesar 1,09 mg/g untuk perlakuan penambahan nitrogen (N) dan 1,5 mg/g untuk perlakuan tanpa penambahan nitrogen (-N). Hasil bioetanol tertinggi pada masing-masing perlakuan dicapai pada fermentasi jam ke 72 sebesar 6,8 % v/v oleh perlakuan penambahan nitrogen (N) dan 4,5% v/v untuk perlakuan tanpa penambahan nitrogen (-N). Hal ini disebabkan oleh penambahan nitrogen akan meningkatkan aktivitas enzimatis mikroorganisme sehingga terjadi penguraian glukosa lebih banyak menjadi etanol dibandingkan dengan tanpa penambahan nitrogen. DAFTAR PUSTAKA Abubakar,O.H., Sulieman E.M.A.,dan Elamin, B.H. 2012. Utilization of Schizosaccaromyces pombe for Production of Ethanol from Cane Molasses. Journal of Microbiology Research. Vol (2), hal. 36-40. Aydogan, H., Hirz, M., dan Brunner, H. 2014. The Use and Future of Biofuels. International Journal of Social Sciences, 3(4). Crueger, W, dan A. Grueger. 1984. Biotechnology, A textbook of Industrial Microbiology. Science Tech Inc, Madison. Fadel, M., Keera. A.A., Mouafi. E.F., dan Kahil, T. 2013. High Level Ethanol 51 from Sugar Cane Molasses by a New Thermotolerant Saccharomyces cerevisiae Strain in Industrial Scale. Journal of Biotechnology research International. Fakhrudin, M., islam, M.A., Ahmed, M.M., dan Chowdhurry, N. 2013. Process optimization of bioethanol production by stress tolerant yeasts isolated from agro-industrial waste. International Journal of Renewable and Sustainable Energy, 2(4). Ganguly, A., Chatterjee, P.K., dan Dey, A. 2012. Studies on Ethanol Production from Water HyacinthA review. Renewable and Sustainable Energy Reviews. 16(1), hal. 966-972. Gasmalla M.A.A., Yang R., Nikoo M., dan Man S. 2012. Production of Ethanol from Sudanese Sugar Cane Molasses and Evaluation of Its Quality. Journal Food Process Technol, vol 3:163. Ghorbani, F., Younesi, H., Sari, E.A., dan Najafpour, G. 2011. Cane Molasses Fermentation for Continuous Ethanol Production in an Immobilized Cells reactor by Saccharomyces cerevisiae. Journal of Renewable Energy, vol 36, hal. 503-509. Gunatilake, H dan Abeygunawardena, P. 2014. Energy Security, Food Security and Economics of Sugarcane Bioethanolin India. Journal of Sustainable Development, 7(1). Hashem, M., Zohri, A.N.A., dan Ali, A.M. 2013. Optimization of the fermentation conditions for ethanol production by new thermotolerant yeast strains of Kluyveromyces sp. African Journal of Microbiology Research, 7(37), hal. 4550-4561. Hemamalini, V., Saraswati, S.G.E., Hema, C., dan Geetha, S. 2012. Comparativ Study of Continuous of Ethanol 52 Jurnal Purifikasi, Vol. 15, No. 1, Juli 2015 Fermentation from Molasses by Using Saccharomyces cerevisiae and Schizosaccharomycespombe. International Journal Science, hal. 219228. Joshi, J. 2014. Enhanced Production of Ethanol From Red Potatos Grown in Hilly Regions of Nepal using Various Nitrogen Source. International journal of Applied Science and Biotechnology, 2(1). Khoja. H.A., Ali, E., Zafar, K., Nawar, A., dan Qayyum, M. 2015. Comparative study of bioethanol production from sugarcane molasses by using Zymomonas mobilis and Saccharomyces cerevisiae. African Journal of Biotechnology, 14(31). Kumar, N.S. 2014. Influence of ethanolGasoline Blends on Performance Parameters and Combustion Characteristics of Copper Coated Two Stroke Spark Ignition Engine With Gasohol. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology, vol 3, issue 3, hal 10797-10794. Muruaga, L.M., Carvalho, G.K., Dominguez, M.J., Oliveira, S.D.P.R., dan Perroti, N. 2015. Isolation and characterization of Saccharomyces species for bioethanol production from sugarcane molasses: Studies of scale up in bioreactor. Journal of Renewable Energy, vol 85, hal. 649656. Rath, S., Singh, K.A., masih, H., Kumar, Y., peter, K.J., Singh, P., dan Mishra, K.S. 2014. Bioethanol production from waste potatoes as an environmental waste management and sustainable energy by using cocultures Aspergillus niger and Saccharomyces cerevisiae. International Journal of Advanced Research), vol 2, issue 4, 553-563. Silva, D.B.F., Romao, B.B., Cardoso, L.V., Filho, C.U., dan Ribeiro, J.E. 2012. Production of ethanol from enzymatically hydrolyzed molasses. Biochemical Engineering Journal, vol 69, hal. 61-68. Suzuki, H., ozawa, Y., dan Tanabe, O. 1972. Method of Reducing Raffinose Content of Beet Molasses. Industrial Science and Technology. Tokyo. Japan. Sarlin, J. P., dan Philip, R. 2013. A Molasses Based Fermentation Medium For Marine Yeast Biomass Production. International Journal of Research in Marine Sciences, 2(2), hal. 39-34. Simanjuntak, R. 2009. Studi Pembuatan Etanol Dari Limbah Gula (Molase). Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Thamilvanan, G, dan Selvi, R.S. 2013. Distillation of Ethanol from Sugar Molasses. International Journal of Medicine and Biosciences, (2)1, hal.33-35. Zuko, N.,Shukla, P., Trussler, A., Permaul, K., dan Singh, S. 2012. Improvement of ethanol Production From Sugarcane Molasses through Enhanced Nutrient Supplementation using Saccharomyces cerevisiae. Journal of Brewing and Distilling, 3(2), hal. 29-35.