TIMPANOPLASTI PADA KASUS TRAUMA IATROGENIK TELINGA TENGAH Wresty Arief ABSTRAK Gangguan pendengaran karena trauma terjadi pada 22.5% kasus dari trauma tulang temporal dan 16-30% terjadi gangguan pendengaran konduksi. Kelainan tersering pada rantai tulang pendengaran ialah dislokasi. Dislokasi tulang pendengaran dapat disebabkan oleh trauma langsung, seperti memasukan alat kait pembersih telinga atau tak langsung karena cedera kepala. Timpanoplasti ialah prosedur memperbaiki hantaran suara, yang terdiri dari miringoplasti dan osikuloplasti. Osikuloplasti ialah prosedur dalam memperbaiki rantai tulang pendengaran, dilakukan pada berbagai kelainan tulang pendengaran. Pendekatan preoperasi sangat diperlukan dalam diagnosis untuk optimalisasi hasil operasi. Makalah ini melaporkan anak laki-laki 7 tahun dengan keluhan gangguan pendengran telinga kiri pasca ekstraksi benda asing. Pada tomografi komputer didapatkan gambaran dislokasi sendi maleus-incus dengan pergeseran tulang maleus. Telah dilakukan timpanoplasti dan osikuloplasti sebagai tatalaksana pasien. Kata kunci : dislokasi tulang pendengaran, osikuloplasti. ABSTRACT Hearing loss from trauma occurs in 22.5% of cases of temporal bone trauma and of these cases 16-30% have conductive hearing impairment. The most common traumatic injury of the auditory ossicles occurs as a dislocation. Ossicular chain dislocation results from either direct trauma, such as with ear pick insertion, or an indirect force with a blow to the head. Tympanoplasty is a procedure to transmitting sound conduction, which is dividing into ossiculoplasty and myringoplasty. Ossiculoplasty may be defined as restoring the hearing mechanism between the tympanic membrane and the oval windowby reestablishing a functioning ossicular chain, indicated with ossicular discontinuity or ossicular fixation. Preopperative planning is considered for diagnostic and optimalization outcome. This paper report patient, boy 7 years old with hearing impairenment of the left ear after foreign body extraction. Expertise of Computed Tomography scan show malleoincudal dislocation with melleal displacement. Patient had reconstruction surgery with ossiculoplasty and tympanoplasty. Keywords: ossicular chain dislocation, ossiculoplasty Pendahuluan Trauma pada telinga dapat disebabkan karena trauma langsung yang merupakan trauma mekanik oleh insersi benda asing, barotrauma pada liang telinga atau melalui tuba eusthasius, dan trauma tak langsung pada cedera kepala dengan atau tanpa fraktur dari tulang kranium yang menyebabkan trauma pada telinga. Trauma oleh insersi benda asing paling banyak Universitas Indonesia 1 terjadi karena kait pembersih telinga. Trauma dari tulang temporal berhubungan dengan kelainan konduksi, sensorineural, atau tuli campur. Kelainan tersebut dapat terjadi karena adanya kelainan pada rantai tulang pendengaran ataupun kelainan labirin, dan kerusakan dari tingkap bulat atau tingkap oval.1,2 Trauma pada tulang pendengaran sangat jarang dan paling banyak disebabkan karena trauma tumpul pada cedera kepala. Penyebab tersering lainnya ialah karena trauma langsung pada trauma penetrasi telinga tengah. Pada kelaianan tulang pendengaran didapatkan gangguan pendengaran konduksi. Kelainan ini juga dapat terjadi karena pengumpulan darah (hemotimpanum) yang terjadi dalam beberapa hari sampai beberapa minggu setelah trauma. 1, 3 sekitarnya, seperti ligamen, otot, sendi, dan saraf.5 Tulang pendengaran Rantai tulang pendengaran terdiri dari tiga tulang yang bebas bergerak, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Ketiga tulang ini akan menghantarkan suara dari membran timpani ke tingkap oval. Maleus melekat pada membran timpani, sedangkan basis dari stapes (footplate) melekat pada tingkap oval. Inkus berada diantaranya dan membentuk artikulasi dengan kedua tulang pendengaran lainnya (gambar 1).6,7 Terapi pada dislokasi ialah timpanoplasti. Timpanoplasti ialah prosedur yang terdiri dari perbaikan membran rimpani (miringoplasti) dan perbaikan rantai tulang pendengaran (osikuloplasti). Osikuloplasti pada pengertiannya ialah suatu tindakan dalam memperbaiki mekanisme pendengaran antara membran timpani dan tingkap oval dengan memperbaiki rantai tulang pendengaran. Osikuloplasti diindikasikan pada diskontinuitas karena erosi, trauma, ataupun fiksasi pada timpanosklerosis, adhesi, dan kelaian rantai tulang pendengaran lainnya. 4 Anatomi Telinga tengah ialah kavitas berisi udara seluas 1-2cm2 pada tulang termporal yang berisi tulang pendengaran dan struktur Gambar 1. Gambaran tulang pendengaran 6 Universitas Indonesia 2 Maleus ialah tulang pendengaran terbesar, memiliki panjang 8-9mm dan terdiri dari kepala (kapitulum), leher, manubrium (handle), prosesus lateral, dan prosesus anterior. Kapitulum maleus berada di rongga epitimpani dan bersendi dengan inkus. Kapitulum maleus diikat ke atap epitimpani oleh ligamen maleus superior. Manubrium maleus sering disebut dengan prosesus longus maleus, merupakan bagian yang melekat pada membran timpani. Hubungan maleus dengan membran timpani hampir pada seluruh permukaan dibatasi oleh lapisan tipis tulang rawan sehingga bisa dipisahkan dari membran timpani tanpa menyebabkan perforasi. Perforasi membran timpani karena lepasnya perlekatan maleus dapat terjadi di bagian umbo karena terdapat serabut jaringan ikat membran timpani yang membungkus ujung maleus. Prosesus anterior maleus merupakan tempat perlekatan anterior yang mengikatnya ke fisura timpanoskuamosa, sedangkan prosesus lateral merupakan tempat perlekatan ligamenum maleus lateralis yang mengikat maleus ke celah rinivus di atap epitimpanum.6,7 Tulang inkus terdiri atas badan, manubrium (prosesus longus) dan prosesus brevis. Badan inkus pada bagian anterior cekung, tempat persendiannya dengan maleus. Sebagian besar badan inkus terletak di epitimpanum, manubrium inkus berjalan kearah inferior anterior paralel dengan manubrium maleus. Pada ujung manubrium terdapat prosesus lentikulatis inkus yang berhubungan dengan tulang stapes pada artikulasi inkudo-stapedius. Inkus dihubungkan ke tulang temporal oleh 3 ligamen, ligamen posterior yang mengikat badan ikus ke resesus epitimpanum, serta ligamen-ligamen lateral dan medial yang mengikat inkus ke maleus. Prosesus longus inkus merupakan bagian yang relatif paling sedikit perdarahannya sehingga merupakan bagian yang paling sering mengalami nekrosis akibat peradangan di telinga tengah.7,7 Tulang stapes terdiri atas kapitulum stapes, basis stapes (footplate) dan krura. Kapitulum stapes berhubungan dengan prosesus lentikularis inkus membentuk sendi inkudo-stapedius. Krura stapes terdiri atas krura anterior dan posterior. Krura anterior lebih pendek dan lebih lurus dari pada krura posterior. Kaki stapes berhubungan dengan pinggir tingkap lonjong melalui ligamentum anulare, sehingga stapes dapat bergerak sewaktu menerima energi suara. Gerakan tersebut lebih bebas pada bagian anterior dan inferior dibanding posterior. Tendon m.stapedius melekat pada krura posterior. Saat stapes menerima energi suara yang keras, gerakan piston pada kaki stapes tersebut berubah menjadi gerakan guncangan (rocking movement).7 Ligamen tulang pendengaran Tulang pendengaran terhubung ke membran timpani oleh ligamen, terdapat 3 ligament pada maleus dan masing-masing 1 ligamen melekat pada inkus dan stapes (gambar 2). Beberapa lipatan mukosa membawa pembuluh darah dan saraf dari tulang pendengaran dan artikulasinya, selain itu juga terdapat serat kolagen yang cukup kuat sebagai persambunganya.6 Universitas Indonesia 3 Ligamen anterior dari maleus berawal dari leher maleus, diatas dari prosesus anterior ke anterior membran timpani dekat fisura petrotimpani. Beberapa serat kolagen melewati fisura ini menuju spina sphenoid, dan beberapa berlanjut menjadi ligamen spenomandibulaar. Ligamen malelur anterior terdiri dari serat otot, disebut timpani laxator atau m. maleus eksternus. Ligamen lateral dari maleus berbentuk triangular yang memanjang dari kepala maleus bagian posterior dari incisura timpanum. Ligamen superior dari maleus menghubungkan kepala maleus ke atap resesus epitimpani.6 Permukaan vestibular dan basis stapes dilingkupi oleh kartilago hialin. Kartilago yang mengelilingi basis dari batas fenestra vestibuli ialah serat cincin elastik, ligamen anulare dari basis stapes. Ligamen posterior lebih sempit dari anterior, berfungsi ketika basis stapes berkontraksi dan selama osikulasi akustik.6 Artikulasi tulang pendengaran Artikulasi dari tulang pendengaran ialah sendi sinovial. Sendi incudomaleus berbentuk seperti tapal kuda dan sendi incudostapes seperti bola dan keranjang. Permukaan sendi dilingkupi oleh kartilago, dan masing-masing sendi dibungkus oleh kapsul yang kaya akan jaringan elastin dan dibatasi oleh membran sinovial.6 Otot dalam kavum timpani Gambar 2. Gambaran tulang pendengaran dan ligament.6 Ligamen posterior inkus menghubungkan ujung dari prosesus brevis ke fossa inkudis. Ligamen superior inkus berjalan dari badan inkus ke atap dari resesus epitimpani.6 Otot dalam kavum timpani terdiri dar muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius. Muskulus tensor timpani. Tensor timpani ialah otot panjang yang berasal dari atas bagian tulang dari tuba pharingotimpani, yang dipisahkan oleh tulang septum tipis. Otot ini berasal dari bagian tulang rawan tuba paringofaring dan regio greater wing sphenoid. Otot ini berjalan kebelakang dalam kanalis dan berakhir sebagai tendon tipis yang terikat ke lateral prosesus kokleariforms dan terhubung dengan handle maleus. Muskulus tensor timpani membawa manubrium maleus ke medial, sehingga terjadi tegangan dari membran timpani. Hal ini membantu meredam vibrasi suara. Gerakan ini mendorong dari basis stapes lebih lekat ke fenestra vertibuli. 6 Universitas Indonesia 4 Muskulus stapedius berasal dari eminensia piramidalis dari dinding posterior kavitas timpani, dan berlanjut ke anterior ke bagian desenden saraf fasialis pars kanalis. Muskulus stapedius membantu meredam vibrasi suara yang berlebihan. Gerakan m. stapedius berlawanan dengan gerakan m.tensor timpani, yang mendorong stapes lebih lekat ke vestibuli. Paralisis dari m.stapedius akan menyebabkan hiperakusis.6 Mekanisme peredam suara melibatkan lengkung reflex saraf yang terdiri dari jalur aferen dan eferen. Jalur aferen akan menuju ke komponen cranial dari n.VIII dan pusat yang lebih tinggi. Jalur eferen akan mencapai n.faisalis (stapedius) dan n.mandibularis (m. tensor timpani).6 Peranan telinga pendengaran tengah dalan Torres AI dan Backous DD,8 mengutip Helmholrz yang membagi konsep dari impendans telinga tengah menjadi 3 pengungkit dalam mekanisme tekanan gelombang suara. Membran timpani yang merupakan membran yang kaku yang terfiksir pada perifer dan mudah bergerak pada area tengah seperti pengungkit berbentuk parabola. Maleus yang melekat erat pada membran timpani, jika terdapat gelombang suara maleus akan meneruskan daya ke stapes sehingga terjadi peningkatan suara ke tingkap oval. Efek pengungkit gelombang suara pada membran timpani akan memberikan peningkatan tekanan sebesar 2 kali lipat.8,9 Mekanisme pengungkit lainnya ialah tulang pendengaran. Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit yang meluas dari ligamen maleus anterior ke ligamen inkus. Getaran pada membran timpani akan menghasilkan gerakan rotasi pada tulang pendengaran dari anterior ke posterior. Mekanisme tersebut akan mentransmisikan energi suaran dari tulang pendengaran terbesar (maleus) ke tulang pendengaran yang lebih kecil (inkus dan stapes). Efek pengungkit tulang pendengaran dihasilkan oleh perbedaan panjang lengan maleus dan inkus. Perbedaan tersebut akan memberi efek pengungkit sebesar 1.15. Kombinasi dari efek pengungkit membran timpani dan tulang pendengaran akan memberikan daya 2.3. 8,9 Mekanisme lain penguatan suara terjadi melalui mekanisme hidrolik. Efek hidrolik dihasilkan oleh perbedaan penampang membran timpani dan permukaan stapes. Stapes akan bergerak seperti piston. Torres AI dan Backous DD,8 mengutip pernyataan Guinan dan Pake yaitu area pada membran timpani seluas 85 mm2, dengan stapes 3.2 mm2. Torres AI dan Backous DD,8 menutip Saunders pada penelitianya pada 43 tulang temporal manusia menyimpulkan bahwa rasio area ialah komponen terpenting pada sistem impendansi. Rasio area bervariasi, tetapi memiliki rata-rata 20.8:1. Hendy P dan Letowski TR,9 berpendapat bahwa rasio antara membran timpani dan tingkap oval ialah 55 mm2: 3.2 mm2 sehingga memberikan hasil 17:1. Mekanisme area rasio memungkinkan untuk amplifikasi suara sebesar 24 dB.8,9 Membran timpani yang perforasi menyebabkan penurunan pendengaran. Penurunan pendengaran sebanding dengan Universitas Indonesia 5 besarnya perforasi dan tergantung dari frekuensi bunyi yang datang, dengan paling besar penurunan pendengaran terjadi pada frekuensi rendah. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa gangguan pendengaran terbesar didapatkan pada perforasi membran timpani posteroinferior karena terdapat fase penundaan dari tingkap bundar.8 Torres AI dan Backous DD,8 mengutip pernyataan Austin pada tahun 1978 yang membagia kelainan anatomi telinga tengah dan hasil gangguan pendengaran yang dihasilkan (Tabel 1).8 Tabel 1. Lesi spesifik pada mekanisme konduksi dan hubunganya dengan gangguan pendengaran. 8 Klasifikasi Perforasi membran timpani Perforasi membran timpanmi dan gangguan tulang pendengaran Hilang total membran timpani dan tulang pendengaran Gangguan tulang pendengaran dengan membran timpani intak Gangguan tulang pendengaran dengan membran timpani dan penutupan tingkap oval Komponen yang terkena Hilang efek catenary lever, hilang atik Taksiran Tergantung area perforasi Hilang caternary lever dan hidraullik 38.3dB Hilang caternary lever dan hidraullik, fase kanselasi 50 dB Hilang caternary lever dan hidraullik,fase kanselasi, dan hilangnya energi suara dari telinga tengah pada membran timpani Hilang caternary lever dan hidraullik, fase kanselasi, dan hilangnya energi suara dari telinga tengah pada membran timpani 55-60 dB Kelainan kanalis akustikus eksternus Stenosis jaringan lunak dari kanallis akustikus eksternus (KAE) dapat terjadi akibat inflamasi dari berbagai penyakit sistemik ataupun trauma. Inflamasi dari penyakit sistemik ditatalaksana terlebih dahulu. Hipertrofi jaringan lunak dapat ditatalaksana dengan infiltrasi steroid lokal, jika hasil tidak memuaskan, maka dapat dilakukan reseksi pada kulit yang fibrosis untuk melebarkan diameter KAE. Insisi dapat dikerjakan endural secara sirkumferensial. Insisi dilakukan dibawah periosteum, lateral dari bagian yang stenosis, kemudian dilakukan elevasi dari kulit yang menebal sepertiuntuk timpanoplasti, sehingga jaringan parut dan epitel KAE dapat disingkapkan.8 Benda asing pada KAE memerlukan ekstraksi komplit, jika diperlukan anak harus di ikat kuat, sedasi ataupun dalam anaestesi umum. 8 Trauma tulang pendengaran 55-60 dB Kelainan tulang pendengaran oleh trauma dapat dibagi menjadi; (1). Terpisahnya sambungan inkudostapes atau inkudomaleus; (2). Dislokasi dari inkus; (3). Dislokasi komplek maleoinkus; (4). Dislokasi stapediovestibular; (5). Patahnya tulang pendengaran.1 Kelainan tulang pendengaran yang sering terjadi ialah terpisahnya sendi inkudostapes. Penyebab kedua kelainan tulang pendengaran ialah dislokasi. Fraktur tulang pendengaran jarang terjadi, Fraktur maupun dislokasi sering terjadi pada inkus. Universitas Indonesia 6 Hal in terjadi karena maleus terfiksasi oleh membran timpani dan tendon tensor timpani, dan stapes yang terfiksasi dengan ligamen anulare dan tendon stapedius. Tak ada stuktur inkus pada pasien dengan membran timpani yang perforasi sering terjadi. Yetiser S,1 mengutip perndapat Saito bahwa inkus sering berotasi ke posterior sepanjang prosesus longus dan terdorong ke kanalis akustikus eksternus, dan memungkinkan didapatkan menonjol lewat garis fraktur pada dinding posterior kanalis. Tatalaksana pembedahan harus harus dibuka cukup lebar untuk kasus dislokasi. Daya implosif seringkali menyebabkan kepala maleus terfiksasi pada atik. Fraktur atau dislokasi pada maleus jarang terjadi. Trauma maleus yang terisolasi berhubungan dengan gangguan pendengaran konduksi. Kelainan pada stapes biasanya disertai dengan gangguan keseimbangan. Penelitian Yetiser S,1 menyebutkan berbagai penemuan kelainan pada trauma tulang pendengaran saat pembedahan (Tabel 2). Pembedahan dapat ditunda pada pasien dengan gangguan keseimbangan, juga pada pasien dengan penurunan kesadaran, atau trauma yang mengancam nyawa. 1 Tabel 2.Kelainan tulang pendengaran yang ditemukan pada pembedahan.1 Kelainan tulang pendengaran Persenta se Dislokasi sendi incudostapes 25% dan rotasi inkus dengan intaknya sambungan inkudomeatal Fraktur dari prosesus longus 15 % inkus Erosi dari prosesus longus 12.5 % inkus 7.5 % Dislokasi inkus 7.5 % Hilangnya inkus Fraktur pada krus anterior 5 % stapes 2.5 % Fraktur footplate stapes 2.5 % Erosi dari krus anterior stapes 2.5 % Erosi stapes 2.5 % Fraktur prosesis brevis inkus 2.5 % Fiksasi inkus 2.5 % Dislokasi sendi incudomalear 2.5 % Fiksasi maleus 2.5 % Fraktur maleus 2.5 % Tindakan pembedahan koreksi tulang pendengaran perlu direncanakan terlebih dahulu. Penurunan pendengaran terkadang disangkal atau tak disadari oleh pasien terutama pada pasien anak. Yatiser S,1 mengutip Wennmo dan Spandow yang melaporkan dalam penelitiannya rentang waktu dari awal trauma sampai dilakukan tindakan pembedahan berkisar 9 hari sampai 27 tahun, dan rata-rata penundaan pembedahan 5.7 tahun. Kelainan trauma tulang pendengaran berhubungan dengan fraktur longitudinal tulang temporal yang meluas dari telinga tengah sampai tegmen Universitas Indonesia 7 timpani dan terjadi 20% terkait cedera kepala. 1 derajat gangguan pendengaran konduksi dan fungsi koklea.8 Diagnosis gangguan pendengaran pasca trauma Pasien dengan membran timpani yang intak, tidak ada penyakit kronis, tapi disertai dengan gangguan pendengaran yang progresif didapatkan pada penyakit otosklerosis. Fiksasi dari rantai tulang pendengaran lateral jarang ditemukan, penyebab sering didapatkan kongenital. Fiksasi rantai tulang pendengaran lateral yang datang terlambat seringkali disebabkan oleh inflamasi kronik dari telinga tengah. Pada gangguan pendengaran konduksi oleh karena kelainan pada telinga tengah sering tidak didapatkan refleks akustik.15 Gangguan pendengaran paska trauma dapat berupa gangguan pendengaran konduksi, sensorineural, dan campuran. Gangguan pendengaran konduktif dapat terjadi gangguan hantaran suara yang disebabkan oleh kelainan telinga luar atau telinga tengah. Gangguan pendengaran sensorineural ialah kelainan terdapat di koklea, nervus VIII, atau pusat pendengaran. Gangguan pendengaran campuran merupakan kombinasi antara konduktif dan sensorineural. Pemeriksaan fisik dari dari telinga dimulai dari pemeriksaan otoskopi dan menilai kanalis akustikus eksternus dan membran timpani. Otoskopi pnumatik dapat digunakan untuk konfirmasi perforasi membran timpani yang kecil dengaan melihat pergerakannya. Miringosklerosis dapat mengurangi pergerakan dari membran timpani. Hipermobilitas membran timpani terjadi pada membran yang lentur atau jika manubrium maleus hilang. 1,10, 8 Inflamasi primer dari kulit telinga luar atau inflamasi sekunder dari penyakit telinga tengah membutuhkan tatalaksana terlebih dahulu agar penyembuhan post operasi optimal. Penyembuhan inflamasi dapat dibantu dengan pemberian antibiotik topikal ataupun sistemik. Pemeriksaan garpu tala dengan frekuensi 256, 512 dan 1024 Hz untuk menilai tipe gangguan pendengaran. Frekuensi yang paling sering digunakan ialah 512 Hz. Pemeriksaan audiometri diperlukan dalam menilai Pemeriksaan audiometri nada murni dan audiometri tutur sebagai tatalaksana dan evaluasi. Gangguan pendengaran konduksi ditegakan jika terdapat air-bone gap (ABG) pada hasil audiometri.8 Tes akustik imitans dapat digunakan dalam membedakan antara konduksi dan sensorineural. Timpanogram tipe A menunjukan telinga normal; tipe Ad terdapat pada diskontinuitas tulang pendengaran; tipe B menunjukan terdapat otitis media efusi, serumen, atau perforasi membran timpani; tipe As menunjukan fiksasi tulang pendengaran.8,10 Refleks akustik ialah pemeriksaan yang menghubungka koklea, saraf auditorius, nc. Koklearis, trapezoid body, kompleks olvarius medialis superior, nukleus motorik n. VII, dan saraf fasialis. Hasil negatif pada reflex akustis pada gangguan pendengaran konduksi menunjukan adanya kelainan pada tulang pendengaran. Refleks akustif Universitas Indonesia 8 postitif pada gangguan pendengaran menunujukan adanya fiksasi sebagian tulang pendengaran.8 Tomografi komputer (TK) merupakan metode terpilih untuk evaluasi struktur telinga tengah. Sebagian besar kelainan telinga tengah dapat diavaluasi dengan TK dua dimensi. Dalam dekade terakhir dengan kemajuan teknologi TK, rekonstruksi tiga dimensi dan virtual endoskopi menjadi pilihan terutama dalam perencanaan operasi. Trauma pada rantai tulang pendengaran dapat dilihat dengan TK. Gambaran yang didapat seringkali dikaburkan dengan adanya hemotimpanim atau opasifikasi dari telinga tengah pada trauma akut. 1, 8, 15 Anatomi dari tulang tervisualisasi jelas pada TK potongan aksial dan koronal. Pada potongan aksial, kompleks maleus inkus terdapat didalam resesus epitimpani, posisi maleus inkus sedikit di lateral tetapi tidak pernah medial. Prosesis brevis inkus terpusat berada di fossa inkusdis. Kompleks maleus inkus terlihat pada potongan aksial seperti “ice-cream cone” . kepala maleus sebagai gambaran skup es krim, dan badan dan prosesus brevis inkus sebagai cone. Sendi inkudomalear yang tipis terlihat jelas pada potongan aksial, potongan koronal juga dapat membantu dalam melihat disrupsi sendi ini. Kepala stapes dan prosesus lentikularis dapat terlihat terpisah pada sendi inkudostapes. Kepala, krus, dan basis inkus, dilihat pada potogan aksial yang tipis dan overlapping. Potongan koronal memperlihatkan gambaran krus inkus didalam oval window niche. 11 Gambar 3. Gambaran normal tulang pendengaran pada tomografi komputer potongan aksial.11 Sendi inkudomalear ialah sendi diartrosis berbentuk pelana, terlindungi di resesus epitimpani. Maleus ialah tulang pendengaran yang paling erat pertautannya, karena difiksasi oleh membran timpani, ligamen maleus anterior dan lateral, m. tensor timpani dan tendon dari membran timpani. Pada kasus trauma,maleus biasanya bergerak sedikit. Inkus ialah tulang pendengaran terberat (25mg), tidak memiliki otot dan bertaut paling lemah dengan jaringan lunak. Inkus dapat bergeser sedang sampai berat.11 Disartikulasi sendi inkudomaleus tervisualisasi pada TK potongan aksial, menunjukan pergeseran dari kepala maleus (scoop ice cream) dari badan dan prosesus brevis inkus (cone). Tomografi computer potongan koronal memastikan posisi tulang pendengaran bergeser secara signifikan atau ketika inkus tergeser ke lateral. 11 Adanya tanda “Y” pada TK potongan koronal tulang temporal menunjukan Universitas Indonesia 9 pergeseran inkus. Selain itu perlu diperhatikan disrupsi dari sendi inkudomalear dan inkudostapes, dimana sering disebut subluksasi dari inkus sehingga terbentuk jembatan fibrotik yang menempel pada kedua permukaan tanpa adanya pergeseran yang berarti. Hal ini perlu dicurigai ketika terdapat jarak yang melebar antara permukaan inkus dan maleus.1, 12 Gambar 4. gambaran TK potongan koronal, memberikan gambaran tanda “Y”. 12 Seiring dengan perkembangan software teknologi, dapat dibentuk gambaran 3 dimensi secara cepat dari gambaran 2 dimensi. Gambaran 3 D memungkinkan untuk memotong pada segala aksis dan rotasi, sehingga terbentuk diskripsi yang jelas terutama pada gambaran rantai tulang pendengaran. Gambaran 3 D didapatkan dari menggabungkan hasil potongan koronal dan aksial, dan hasil dapat diperoleh dengan cepat.13 Timpanoplasti dan Osikuloplasti Timpanoplasti ialah prosedur pembedahan yang ditujukan untuk telinga tengah, untuk memperbaiki transmisi suara pada telinga tengah. Tujuan pada timpanoplasti ialah mengembalikan trasformasi tekanan suara pada tingkap oval dengan daya perkalian dari membran timpani dengan basis stapes yang mudah bergerak melalui rantai tulang pendengaran yang intak ataupun rekonstruksi. Timpanoplasti terdiri dari osikuloplasti dan miringoplasti. Upaya dalam memperbaiki hubungan tulang pendengaran agar terjadi mekanisme hantaran suara dari membran timpani sampai tingkap oval disebut juga dengan osikuloplasti. 4,14 Pencetus dalam konsep rekonstruksi telinga tengah diperkenalkan pertama kali oleh Zollner dan Wullstein. Hirsch BE,15 mengitup klasifikasi timpanoplasti oleh Wullstein yang berhubungan dengan rantai pendengaran. Masing-masing tipe timpanoplasti berdasarkan pada struktur intak pada bagian lateral yang menghubungkan dengan telinga dalam, dimana membran timpani merupakan tandur membran timpani atau disertai dengan rekonstruksi rantai tulang 15 pendengaran. Timpanoplasti tipe I ialah timpanoplasti tanpa disertai dengan kelainan ketiga tulang pendengaran, sehingga rekonstruksi rantai tulang pendengaran tidak dibutuhkan. Timpanoplasti tipe II ialah tsndur membran timpani berhubungan dengan inkus dan stapes yang intak, pada praktiknya, kebutuhan untuk tipe II timpanoplasti jarang ditemukan. Timpanoplasti tipe III dilakukan ketika stapes yang bebas bergerak, dan tandur membran timpani secara langsung berhubungan dengan struktur atas stapes. Timpanoplasti tipe IV dilakukan pada Universitas Indonesia 10 keadaan ketika struktur atas dari stapes hilang atau erosi, sehingga tandur membran timpani dihubungkan dengan basis stapes. Timpanoplasti tipe V dimana fenestrasi yang dibuat pada kanalis semisirkularis horizontal. 14 Pengumpulan darah pada membran timpani (hemotimpani) seringkali mengaburkan pemeriksaan. Hemotimpanum direabsorbsi dalam 4-6 minggu. Pada saat ini perlu dilakukan evaluasi untuk menentukan tipe timpanoplasti dan sisa pedengaran yang hilang setelah kembalinya aerasi dari telinga tengah. 14,15 Audiometri nada murni digunakan untuk menilai derajat gangguan pendengaran konduksi dan kualitas fungsi koklea. Gangguan pendengaran yang persisten merupakan tanda dari disrupsi rantai tulang pendengaran. Kelainan tulang pendengaran dapat diperbaiki secara elektif atau rehabilitasi dengan amplifikasi suara. Pasien dengan gangguan pendengaran campur sedang sampai berat mungkin disertai dengan toleransi yang buruk dalam penggunaan alat bantu dengar. Amplifikasi alat bantu dengar hingga ambang mendekati ABG merupakan prosedur yang rutin dilakukan.14 Osikuloplasti ialah tindakan memperbaiki mekanisme pendengaran atara membran timpani dan tingkap oval dengan membangun kembali rantai tulang pendengaran yang fungsional. Hal ini diindikasikan pada diskontinuitas tulang pendengaran karena erosi, trauma, ataupun fiksasi karena timpanosklerosis, adesi, dsb. Operasi pada satu telinga yang mendengar ialah kontraindikasi pada osikuloplasti. Operasi osikuloplasti yang kedua lebih tidak infasif dan dapat dilakukan dengan pendekatan endural. Prinsip dalam rekonstruksi telinga tengah ialah : (1). Mobilitas foootplate stapes; (2). Integritas dari super struktur stapes; (3). Ada atau tidaknya manubrium malues.4 Mobilitas dari basis stapes dinilai dengan meneteskan beberapa tetes salin pada round window niche. Cairan normal salin diperhatikan dengan seksama ketika menyentuh kepala stapes. Mobilitas dari basis stapes di verifikasi ketika air bergerak ketika kepala stapes disentuh. Jika mobilitas stapes terhambat karena perlengketan jaringan atau jaringan granulasi, jaringan diambil dengan hari-hati sebelum menilai ulang mobilitas stapes.4 Hakuba, dkk,2 membagi klasifikasi rekonstruksi tulang pendengaran berdasarkan tipe dan lokasi trauma tulang pendengaan yaitu; (1). Dislokasi maleus atau inkus dengan mobilitas stapes yang baik, rekomendasi hanya dengan reposisi dengan menggunakan fibrin glue; (2). Pada kasus terpisahnya sendi tulang pendengaran atau osikel hilang sebagian, direkomendasikan insersi tandur tulang kortikal, atau kartilago autogenus; (3). Kasus dislokasi maleus atau inkus dengan ankilosis dan fiksasi rantai tulang pendengarran bagian atas, inkus sebaiknya dihilangkan dan rekonstruksi osikel dengan autogenus dan homogenus atau PROP; (4). Pada kasus fraktur arkus stapes, rekonstruksi total dengan menggunakan autogenus atau homogenus atau dengan TROP; (5). Pada kasus fraktur basis stapes tanpa kebocoran perilimfe, rekonstruksi Universitas Indonesia 11 total tulang pendengaran dan menutup basis stapes dengan fasia atau tandur jaringan lemak; (6). Kasus fraktur basis, kebocoran perilimfe, dan vertigo, stapes sebaiknya diihilangkan dari tingkap oval dan faisa atau tandur jaringan lemak menutupi tingkap oval.2 Osikuloplasti dengan Partial Ossicular Reconstruction Prothesis (PROP) dilakukan ketika super struktur stapes intak. Osikuloplasti dengan Total Ossicular Reconstruction Prothesis (TROP) dilakukan ketika super struktur stapes tidak ada dan foorplate bebas bergerak.4 Manubrium maleus ialah bagian penting dalam faktor prognostik pendengaran dalam osikuloplasti. Penempatan prostesis manubrium maleus membutuhkan stabilisasi sehingga dapat menurunkan ekstruksi. Penempatan sudut prostesis terhadap stapes memiliki peranan penting untuk mendapatkan hasil penddengaran yang baik, penempatan prostesis > 45o mengakibatkan transmisi akustik hilang dan risiko subluksasi terhadap promontorium sehingga terjadi hambatan total konduksi (A-B gap> 60 dB). Hasil pendengaran akan buruk jika penempatan manubrium maleus terlalu anterior terhadap stapes atau terlalu jauh jarak antara maleus dan stapes. Penempatan prostesis sebaiknya kontak langsung dengan membran timpani.4 Perencanaan pembedahan Osikuloplasti pada anak berbeda dengan pada dewasa. Perbedaan pertama ialah faktor etiologi, dimana pada anak lebih sering karena kolesteatoma atau kelainan kongenital, sedangkan pada dewasa sering karena infeksi kronik. Perbedaan kedua karena anak masih dalam pertumbuhan, anak lebih aktif dan berisiko cedera kepala, selain itu berisiko terjadinya infeksi rekuren, disfungsi tuba eustachius, terkadang operasi ditunda sampai pasien mencapai pubertas. Perbedaan ketiga ialah pada kasus kolesteatom anak lebih agresif dengan ruang anatomi yang lebih sempit dibandingkan dewasa. Faktor perkembangan bahasa selama periode kritis juga sebagai pertimbangan utama, agar tercapai optimalisasi pendengaran. 16 Perencanaan osikuloplasti jika terdapat trauma pada mukosa telinga tengah dan atau dengan fungsi tuba eustasius buruk, dapat dilakukan pemasangan silastic sheeting pada protimpanum telinga tengah sehingga terjadi penyembuhan dari mukosa dan mengurangi perlekatan antara mukosa telinga tengah dan membran timpani.15,4 Bahan osikuloplasti Tulang pendengaran autologus merupakan bahan baku standar untuk rekonstruksi tulang pendengaran. Kelebihan dari tulang autologus ialah mudah dibentuk sesuai dengan ukuran dan bentuk yang diinginkan menggunakan bor diamond. Kekurangannya ialah waktu operasi yang lama dan risiko terbentuknya kolesteatom.4 Tandur tulang autologus merupakan tandur dari tulang kortikal tuntuk rekonstruksi tulang pendengaran. Penggunaan tandur autologus kontroversial, beberapa literatur menyebutkan tandur tulang kortikal memiliki hasil yang sama dengan Universitas Indonesia 12 penggunaan tulang pendengaran itu sendiri, tetapi literatur lain memiliki hasil yang sebaliknya. Penyebab tersering kegagalan ialah atrofi dan fiksasi tulang.4 Bahan lain yang dapat digunakan ialah tandur tulang rawan. Penggunaan tandur tulang rawan memiliki hasil yang kontroversi. Beberapa penelitian menyebukan akan terjadi resorbsi pada jangka panjang. Pada penelitian sebelumnya penggunaan tandur tulang rawan jangka panjang tetap memiliki fungsi yang baik. Keuntungannya antara lain ialah mudah digunakan, lebih murah, mudah tersedia, dan memiliki hasil ekstruksi yang rendah. Kekurangannya ialah waktu operasi yang lebih panjang karena tulang rawan harus diambil dan dibentuk terlebih dahulu. Penggunaan tulang rawan tragus paling sering digunakan, tulang rawan konka dan kondral juga dapat dipergunakan sebagai pilihan lain.4 Pilihan lain dalam bahan osikuloplasti ialah dengnan menggunakan tulang pendengaran homologus. Beberapa tahun lalu pada departemen telinga-hidung-tenggorok memiliki “bank osikel”. Tulang pendengaran yang sehat dari pasien yang menjalani operasi telinga tengah dan mastoid atau dari kadaver disimpan dalam alkohol dan digunakan untuk osikuloplasti pasien lain. Penggunaan tulang pendengaran homologus masih terbatas, karena harus melewati seleksi donor dan proses lainnya. Bank osikel dapat digunakan di pusat pendidikan yang tidak menyediakan prostesis telinga tengah.4 Prostesis aloplastik dapat dan sering digunakan sebagai bahan osikuloplasti. Berbagai variasi dari bahan sintesis telah banyak diperkenalkan. Keuntungan dari prostesis ialah waktu operasi lebih pendek, mengurangi risiko kolestatom residu atau penularan penyakit. Kekurangannya ialah risiko dekstruksi lebih tinggi dan biaya yang tinggi.4 Tandur aloplastik dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan reaksi tubuh; (1). Bahan Bio inert, tubuh tidak bereaksi terhadap bahan bio inert, dan tidak terdegradasi oleh proses inflamasi. Contohnya antara lain besi baja, emas, platinum, dan titanium. Titanium merupakan bahan yang cukup baik, kecil namun kuat, memungkinkan untuk berbagai vasiasi bentuk, dengan kesuksesan jangka panjang. Tulang rawan perlu diinterposisikan antara prostesis titanium dan membran timpani untuk mencegah ekstruksi; (2). Bahan bioteoleran, bahan ini dikenali oleh tubuh sebagai benda asing, namun pada perkembanganya akan terbentuk pelindung kapsul yang cukup, yaitu protein endongen yang akan melekat diluarnya sehingga akan terlindungi dari sistem imun. Contoh dari bahan biotoleran ialah Plastipore (densitas tinggi polytetrafluroetilen) dan Teflon (polytetrafluorethylene). Teflon telah lama dan paling sering digunakan. Hasil audiologi jangka panjang yang baik sering dilaporan terutapa pada operasi stapes; (3). Bahan bio-aktif memiliki biokompabilitas yang baik namun tingkat degradasi juga tinggi. Risiko resorbsi meningkat sejalan dengan proses inflamasi. Contoh dari bahan bioaktif ialah glass ceramics dan Universitas Indonesia 13 hydroxiapatite (HA) . bahan dari HA memungkinkan untuk kontak langsung dengan membran timpani.4 Prognosis Perbaikan status pendengaran paska pembedahan osikuloplasti bervariasi, terkait dengan keadaan telinga tengah terutama faktor aerasi telinga tengah. Gangguan pendenran yang menetap paska operasi dapat terjadi karena berkurangnya hubungan antara membran timpani dan basis stapes. Ateletaksis membran timpani paska operasi akan meningkatkan tekanan kontak sehingga menimbulkan keluhan keseimbangan. Prostesis dapat terlepas, sering berpindah ke lateral dan bergeser dari tingkap oval sehingga terjadi penurunan pendengaran. Penyebab tersering dari kegagalan ialah infeksi dengan perforasi berulang dan adanya residu koletatoma sehingga terjadi nekrosis osikel, dislokasi prostesis, dan 17 perlengketan mukosa. Chusing SL dan Papsin BC, 16 menyimpulkan terdapat 10 hal yang perlu diperhatikan pada keberhasilan osikuloplasti pada anak yaitu; (1). Keadaan telinga tengah yang bersih dan stabil; (2). Membrane timpani yang intak; (3). Penggunaan prostesis autologus; (4). Inkus diletakan dibawah kulit atau dalam kavitas mastoid; (5). Keadaan stapes yang intak; (6). Tandur kartilago untuk proteksi membran timpani dari prostesis; (7).penggunaan bahan titanium sebagai prostesis; (8). Penggunaan tandur kartilago untuk stabilisasi tandur pada tingkap oval; (9). Kelainan yang disebabkan oleh trauma memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan penyakit telinga tengah; (10). Basis stapes yang intak. 16 Faktor keberhasilan osikuloplasti diungkapkan oleh Nevoux J dkk,17 membagi menjadi faktor pre operasi, intra operasi dan paska operasi. Faktor preoperasi antara lain ABG pre-operasi, usia pasien, penampakan otoskopi kontralateral, indikasi operasi (termasuk ada atau tidaknya perencanaan operasi), riwayat operasi sebelumnya. Faktor intra operasi meliputi status basis stapes, keadaan maleus (intak atau erosi), keabsahan operator, inflamasi telinga tengah (termasuk perdarahan intraoperasi), luasnya perforasi membrane timpani, protesis yang digunakan. Factor paska operasi antara lain ABG paska operasi, otitis media efusi, dan TK paska operasi.17 Ilustrasi Kasus Melaporkan pasien laki-laki berusia tujuh tahun datang ke klinik THT kencana rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tanggal 14 Desember 2013 dengan keluhan utama gangguan pendengaran. Pasien memiliki riwayat memasukkan biji ke liang telinga kiri pada 22 November 2013 yang tidak dapat dikeluarkan lagi. Pasien pergi ke rumah sakit luar untuk dilakukan ekstraksi tanpa narkose. Setelah dua kali percobaan, benda asing tersebut gagal untuk dikeluarkan. Pasien menjalani ekstraksi dalam narkose pada tanggal 23 November 2013. Benda asing pada akhirnya dapat dikeluarkan dan dilakukan pemeriksaan tomografi komputer mastoid di rumah sakit luar tanggal 24 November 2013 untuk mengkonfirmasi benda asing yang tertinggal. Hasil pemeriksaan Tomografi Komputer menyatakan tidak tampak kelainan pada mastoid khususnya benda asing yang tertinggal. Pasien kemudian merasa pendengarannya berkurang, tetapi diduga sebagai efek narkose dan pasien dipulangkan. Tanggal 14 Desember 2013 pasien datang ke poli THT kencana RSCM karena mengalami penurunan pendengaran telinga Universitas Indonesia 14 kiri pasca ekstraksi yang terus menetap. Tidak dirasakan semakin memberat, dan tak ada keluhan telinga denging atau dengung. Tak terdapat gangguan keseimbangan. Pasien tampak kompos mentis, dengan tanda-tanda vital normal. Pada pemeriksaan otoskopi tampak stenosis ringan 2/3 liang telinga dalam dan tampak perforasi subtotal gendang telinga kiri, tidak tampak sekret ataupun granulasi. Pemeriksaan otoskopi telinga kanan dalam batas normal. Gambar 6. Hasil pemeriksaan ASSR tanggal 24 Desember 2013 (pre operasi). Gambar 5. Hasil pemeriksaan Otoskopi telinga kanan dan kiri tanggal 14 Desember 2013 Pada tanggal 19 Desember 2013 dilakukan pemeriksaan foto thorax dan tidak ditemukan kelainan pada jantung dan paru. Dilakukan pula pemeriksaan Auditory Steady State Response Report (ASSR) dan didapatkan pasien dengan gangguan tuli konduktif berat, dengan ABG 52.5 dB. Pada tanggal 19 Desember 2013 dilakukan pemeriksaan TK mastoid di departemen radiologi RSCM dengan hasil iregularitas dinding dengan penyempitan liang telinga kiri. Terdapat dislokasi kompleks maleus inkus; yaitu rotasi manubrium maleus ke anterior, dan kaput maleus ke posterior; dan posisi maleus secara keseluruhan bergeser ke posterior terhadap inkus. Tidak tampak fraktur tulang pendengaran, tulang pendengaran kanan tidak tampak kelainan. Tidak tampak fraktur mastoid. Universitas Indonesia 15 Telah dilakukan operasi timpanoplasti transmastoid pada tanggal 24 Desember 2013, pada evaluasi operasi pasca spooling NaCl pada liang telinga, tampak membran timpani perforasi subtotal dan penyempitan liang telinga. Insisi dilakukan 5 mm retroaurikula dan dilanjutkan infiltrasi pada daerah insisi dan liang telinga jam 3,6,9,12, dilanjutkan insisi tegak lurus menembus kutis dan subkutis. Dilakukan pengambilan graf fasia temporalis superfisialis, dilanjutkan insisi T pada lapisan mukoperiosteal sehingga terbentuk anterior base flap, dilakukan elevasi pada kulit tiang telinga ke arah medial, insisi pada kulit liang telinga pada bagian inferior dan dilanjutkan pada klit liang telinga bagian posterior. Membran timpani dapat dievaluasi, annulus timpani diangkat dari sulkus timpani sehingga tampak telinga tengah, tampak jaringan fibrosis pada kulit liang tinga bagian posterior, jaringan fibrosis diangkat. Identifikasi pada tulang pendengaran, tak tampak maleus, mukosa telinga tengah diangkat, tampak maleus. Dilakukan pengeboran pada planum mastoid, tampak pneumatisasi mastoid baik, pengeboran dilanjutkan dengan atikotomi, tampak inkus dan kepala maleus. Pengeboran dilanjutkan sampai teridentifikasi n. fasialis dan resesus fasialis, dilakukan timpanostomi posterior untuk evaluasi inkudostapes Gambar 7. Gambaran Tomografi Komputer tanggal 19 Desember 2014. Dilakukan osikuloplasti. Prosesus lateralis maleus dikembalikan, pemasangan tandur dilakukan overlay, dan tandur difiksasi dengan spongostan dan sofratule 1 buah. Dilakukan pengambilan tandur baru retroaurikula dan tandur dipasang di liang telinga bagian medial hingga posterior, tandur difiksasi dengan spongostan dan sofratule. Dilakukan penjahitan lapisan mukoperiosteal dengan vicryl 3.0 dan subkutis dengan monocryl. Luka bekas insisi kulit direkatkan dengan steristrip. Universitas Indonesia 16 Pasien dipulangkan tanggal 26 Desember 2013, dan terus melakukan kontrol ke klinik THT RSCM. Pada kontrol tanggal 1 Februari 2014, tampak fungsi pendengaran telinga kiri pasien membaik. Tak tampak tanda-tanda infeksi ataupun komplikasi pasca operasi lainnya. Pasien kontrol setelah 1 minggu, 2 minggu, 4 minggu, dan 8 minggu paska operasi didapat keluhan pendengaran membaik secara subjektif. Pada otoskopi, gambaran liang telinga lebar dengan bagian stenosis melebar, membran timpani utuh dan terlihat tebal. Pada kntrol tanggal 13 Maret 2014 (10 minggu paska operasi) didapatkan stenosis ringan pasca timpanoplasti pada dinding superior, membran timpani utuh mulai menipis. Gambar 8. Otoskopi telinga kiri 2 minggu paska operasi Gambar 9. Otoskopi telinga kiri 4 minggu paska operasi Gambar 10. Otoskopi telinga kiri 10 minggu paska operasi Pembahasan kasus Pasien anak laki-laki 7 tahun datang dengan keluhan gangguan pendengaran telinga kiri. Gangguan pendengaran dapat dibagi menjadi gangguan pendengaran konduksi, sensorineural, dan campuran. Gangguan pendengaran ditegakan dengan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan otoskopi, garpu tala, dan pemeriksaan audiometri.8,10 pada anamnesis didapatkan keluhan timbul menetap setelah dilakukan pembedahan atas indikasi ekstrasi benda asing (biji) dalam anastesi umum pada telinga kiri 1 bulan lalu. Insidensi trauma pada tulang mendengaran sangat jarang, trauma dapat disebabkan salah satunya oleh insersi benda asing, paling banyak karena insersi alat kait pembersih telinga.1,2, Pemeriksaan TK merupakan pemeriksaan pilihan dalam diagnosis kelainan telinga tengah. Sebagian besar kelainan telinga tengah dapat dievaluasi dengan tomografi computer dua dimensi.2,13 Pada hasil ekspertise pertama pada TK tidak menunjukan kelainan, hal ini bisa terjadi karena ukuran tulang pendengaran yang sangat tipis. Penelitian oleh Guo Y,13 yang membandingkan antara gambaran TK 2D dan 3D dibandingkan dengan penemuan saat operasi, bahwa TK 2D memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dibanding gambaran 3D. pada kelainan sendi inkudomaleal, nilai sensitivitas dan sepsifisitas pada 2D dan 3D masing-masing ialah 100% dan 86.67% dibandingkan 98.4% dan 93.3%.13 Dilakukan pembacaan ulang TK dengan hasil iregularitas dinding dengan penyempitan liang telinga kiri. Terdapat Universitas Indonesia 17 dislokasi kompleks males inkus; yaitu rotasi manubrium malleus ke anterior, dan kaput maleus ke posterior; dan posisi maleus secara keseluruhan bergeser ke posterior terhadap inkus. Sesuai dengan literatur yang diungkapkan oleh Meriot P,11 Ketika sendi inkudomaleus menahan daya oleh trauma, komplek maleus inkus akan bergerak ke bagian bawah dari membran timpani. Arah pergerakan komplek maleus inkus dapat ke arah luar, dalam, atau kebawah, sehingga terjadi terpisahnya sendi inkudostapes.11 Pemeriksaan TK dinilai pada potongan aksial dan koronal, dimana pergeseran inkus lebih banyak terlihat pada potongan aksial, tetapi jika hanya bergeser ringan, maka perlu dikonfirmasi dengan potongan koronal.12 Pemeriksaan ASSR pada pasien dengan hasil gangguan konduksi derajat berat. Pada pemeriksaan diatas dapat disimpulkan pasien mengalami tuli konduksi. Torres AI dan Backous DD,8 mengutip kategori Austin, dimana pada pasien termasuk dalam kategori III yaituterdapat gangguan tulang pendengaran dan perforasi membran timpani dengan estimasi gangguan pendengaran sebesar 50 dB.8 Diagnosis pasti dari kelainan telinga ditegakan saat tindakan pembedahan dalam anestesi umum, dimana ditemukan liang telinga stenosis, membran timpani perforasi subtotal, setelah dilakukan atikotomi tampak dislokasi pada inkus dan kepala maleus. 12 Pembedahan dilakukan dalam waktu 3 minggu setelah trauma dengan menggunakan teknik timpanoplasti dan osikuloplasti. Timpanoplasti dilakukan dengan pemasangan tandur fasia temporalis superfisialis. Tulang maleus, inkus dan stapes masih intak, hanya berubah posisi, sehingga hanya perlu dilakukan reposisi tulang pendengaran dan difiksasi tulang pendengaran dengan menggunakan spogostan. Berbagai referensi menyatakan, tak ada batasan waktu dilakukannya operasi setelah trauma. Pada penyebab kelainan karena trauma yang disertai dengan fraktur tulang temporal, pembedahan dilakukan setelah peradangan akut mereda. Hakuba, dkk2 menyatakan rekonstruksi tulang pendengaran pada kasus dislokasi dari maleus atau inkus dengan mobilitas stapes yang baik, direkomendasikan reposisi dengan menggunakan fibrin glue. Yetiser S dkk,1 menyatakan fiksasi dapat dengan fibrin glue atau lemak.1,2 Teknik pemasangan tandur pada timpanoplasti dikenal dengan underlay (medial) dan overlay (lateral). Teknik underlay digunakan untuk perforasi posterior. Teknik overlay lebih sering digunakan pada perforasi total membran timpani, perforasi anterior, atau gagal dengan teknik underlay. Pada perforasi subtotal dan anterior, timpanoplasti menjadi lebih sulit dikarenakan vaskularisasi yang minimal pada daerah anterior dan posterior membran timpani, sehingga risiko nekrosis dan reabsorbsi tandur terjadi lebih besar. 18 Sesuai dengan literatur pada perforasi subtotal, teknik Universitas Indonesia 18 pemasangan tandur pada pasien ini dengan teknik overlay. Teknik ini memiliki angka kesuksesan yang besar, tetapi kekurangannya ialah risiko tandur mengalami lateralisasi, anterior blunting, penyembuhan yang lambat, terbentuknya kolesteatom, stenosis kanal dan teknik yang lebih sulit.18 Parameter keberhasilan osikuloplasti tergantung dari banyak faktor, faktor preoperasi, operasi, dan paska operasi. Dikutip dari penelitian Dornhoffer JL dan Gardner E,19 keberhasilan hasil dari osikuloplasti dihitung dengan Ossiculoplasty Outcome Parameter 19 Staging (OOPS). Faktor keberhasilan osikuloplasti yang diebutkan oleh Cushing SL dan Papson BC,16 faktor positif yang terdapat pada pasien antara lain keadaan stapes yang intak, dan indikasi osikuloplasti oleh trauma. Status pendengaran yang tidak meningkat 6 bulan paska operasi merupakan indikasi untuk menilai ulang keadaan telinga tengah.16 Faktor preoperasi yang dapat ditelaah pada pasien meliputi besarnya ABG, pada pasien tidak diketahui karena pemeriksaan status pendengaran diperiksa dengan ASSR.usia pasien 7 tahun dengan tak ada hambatan komunikasi, dan diharapkan sudah dapat kooperatif. Otoskopi pada telinga kontralateral yang baik, tanpa adanya riwayat operasi sebelumnya sebagai faktor yang mendukung dalam keberhasilan osikuloplasti. 17 Faktor intraoperatif yang ditemukan saat pembedahan antara lain status basis stapes yang intak, tanpa adanya erosi maleus, operator yang mengerjakan professional, tanpa adanya inflamasi telinga tengah sebagai factor positif. Faktor yang kurang mendukung pada pasien antara lain membran timpani perforasi subtotal.17 Faktor paska operasi yang dapat ditelaah pada pasien ialah setelah 1 bulan ialah tandur membran timpani intak, tanpa adanya otitis media efusi. Pemeriksaan status audiometric dilakukan secara berkala, 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun paska operasi. Penemuan TK paska operasi untuk menilai efusi, kolesteatom, dan posisi prostesis. Waktu rekomendasi tidak disebutkan dalam literatur.17 Penelitian Nevoux dkk,17 pada 116 telinga dengan metode retrospektif, pergeseran prostesis terjadi 2 kasus pada 1 tahun paska operasi, 5 kasus pada 2 tahun, dan setelah 5 tahun pada 1 kasus. Pemeriksaan ABG pre operasi didaptkan rata-rata 41 dB, pada 1 tahun paska operasi didapatkan 22.4 dB, dan kemudian menetap. Pada kesimpulan, didapatkan factor yang berpengarauh antara lain ABG pre operasi, status basis stapes, dan otoskopi post operasi.17 Pemeriksaan pendengaran paska pembedahan dilakukan pada 6 bulan setelah operasi. Tak ada waktu yang tepat yang direkomendasikan dalam evaluasi pendengaran. Hasil audiogram terbaik paska operasi didapatkan pada bulan ke-6 atau 1 tahun, karena paska operasi dapat disertai dengan efusi permanen, jika efusi ini menetap lebih dari 3 bulan, maka perlu diberikan steroid intranasal dan autoinsuflasi, atau penggunaan pipa Universitas Indonesia 19 ventilasi.19 Penelitian Vishwakarma R,20 pada 42 pasien dengan diskontinuitas sendi inkudostapes paska pembedahan terdapat pendekatan ABG kurang dari 10 dB pada 14 pasien (33.3%), antara 11 - 15 dB pada 22 pasien (52.3%), dan dalam 16 - 20 dB pada 6 pasien (14.2%). Penelitian Yetiser dkk,1 memberikan hasil tak jauh berbeda, yaitu ABG 10 dB ditemukan pada 36.7%, dan 20 dB dalam 71.9%. 1,20 Pasien terdapat stenosis liang telinga, dimana hal ini sering disebabkan oleh prosedur timpanoplasti sebelumnya. Stenosis liang telinga dapat kongenital maupun didapat. Stenosis liang telinga merupakan kelainan yang jarang, dimana terbentuk jaringan yang tebal dan menyatu pada bagian medial ataupun lateral dari liang telinga. Hal ini dapat disebabkan oleh proses inflamasi, dan dapat meliputi sebagian KAE atau obliterasi komplit KAE. Tatalaksana stenosis KAE ialah prosedur pembedahan, dimana jaringan fibrosis dibuang dengan metode kanaloplasti, meatoplasti ataupun tandur kulit. Komplikasi tersering ialah restenosis.21 Pada pasien telah dilakukan kanaloplasti, dimana pada 10 minggu pasca operasi didapatkan re-stenosis.21 Penelitian Spronsen dkk,22 pada 174 pasien dengan 193 prosedur kanaloplasti pada tahun 2001 sampai 2010, dapat disimpulkan bahwa re-epitelisasi terjadi komplit pada 6.7 minggu paska operasi. Komplikasi terjadi pada 28% kasus, dan dapat berupa komplikasi mayor dan minor. Salah satu komplikasi mayor yang terjadi ialah re-stenosis liang telinga terjadi pada 10% dari seluruh kasus komplikasi.22 Daftar Pustaka 1. Yetiser S, Hidir Y, Birkent H, Satar B, Durmaz A. Traumatic ossicular dislocations: etiology and management. American Journal of Otolaryngology-Head and Neck Medicine and Surgery; 2008. 29: 31-6. 2. Hakuba N, et al. Ear-pick injury as a traumatic ossicular damage in Japan. Arch Otolaryngol;2010. 267: 1035-1039. 3. Hollinger A, Christie A, Thali MJ, Kneubuehl BP, Oesterhelweg L, Ross S, Spendlove D, Bolliger AS. Incidence of auditory ossicle luxation and petrous bone fractures detected in post-mortem multislice computed tomography (MSCT). Forensic Science International; 2009. 183: 60-6. 4. Harris T, Linder T. Open access atlas of otolaryngology, head & neck operative surgery. Ossiculoplasy; 2008. 1-10 5. Volandri G, Puccio F, Forte P, Manetti S. Model-oriented review and multi-body stimulation of the ossicular chain of the human middle ear. Medical Engineering & Physics;2012. 34: 1339-55. 6. Standring S, et all. Auditory Ossicles. Gray’s Anatomy 14th edition; 2008. 36: 615-631. 7. Prof Helmi. Dalam: Otitis Media Supuratif Kronis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. Hal 19-23. 8. Torres AI, Backous DD. Clinical Assessment and Surgical Treatment of Conductive Hearing loss; 2008. 143: 1017-2027 9. Henry P, Letowski TR. Bone Conduction: Anatomy, Physiology and Cpmmunication. Army Research Laboratory; 2007. 15-20 Universitas Indonesia 20 10. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli). Dalam: Buku ajar ilmu kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala Leher. Balai penerbit FKUI; 2007. Edisi keenam: 10-22 11. Meriot P, et al. CT appearances of ossicular injuries. Scientific exhibit; 1997. 17: 1445-1454. 12. Laurenco MTC, Yeakley JW, Ghorayeh BY. The “Y” Sign of Lateral Dislocation of The Incus. American Journal of Otology; 1995.16: 387-392. 13. Gou Y, e t al. CT Two-Dimensional Reformation versus Three Dimensional Volume Rendering with Regars to Surgical Finding in The Operative Assessment of The Ossicular Chain Chronic Supurative Otitis Media. European Journal of Radiology; 2013. 82: 1519– 1524 14. Merchsn SN, Rosowski JJ, McKenna MJ. Timpanoplasti. Opperative techniques in Otolaryngology. Head and Neck Surgery; 2003. Vol 14: 224-236 15. Hirsch . BE. Ossicular chain Reconstruction. In: Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery; 2010. Chapter 114: 11471162 16. Cushing SL, PapsinBC. The top 10 considerations in pediatric ossiculoplasty. Otolaryngology Head and Neck Surgery: 2011. 144: 486-490 17. Nevoux J, Moya-Plana A, Chauvin P, Denoyella F, Garabedian EN. Total ossiculoplasty in children, predictive factores and long term follow up. Arch Otolaryngology Head and Neck Surgery; 2011. 137(12): 1240-1246 18. Lee HY, Auo HJ, Kang JM. Loop overlay tymoanoplasty for anterior or subtotal perforations. Auris Nasus Larynx; 2010. 37: 162-166 19. Dornhoffer JL, Gardner E. Prognostic factors in Ossiculoplasty: A statistical Staging System. Otology & Neurotology; 2001. 22:229-304. 20. Vishwakarma R, Indrasen Y, Joseph ST, Patel KB, Ramani MK, et al. Incudostapediall Joint Arthoplasty using Temporalis Fasia/Pericondrium Ties. American Journal of Otolaryngology Head and Neck Surgery; 2009. 30: 171175 21. Hermandes VG, Gutierrez PJF. Atresia or acquired stenosis of external ear canal. A report of four cases. Anales de Otorrinolaringologia Mexicana; 2009. 54 (4): 183-187 22. Spronsen EV, Ebbens FA, Mirck PGB, Van Ettum CHM, Van der Baan S. Canalplasty: The Technique and The Analysis of its Results. American Journal of Otolaryngology-Head and Neck Medicine and Surgery; 2013. 34: 493-444 Universitas Indonesia 21