Materi Bahruddin, S.Sos, M.Sc - Departemen Pembangunan Sosial

advertisement
Mengarusutamakan isu sosial dalam bisnis;
Refleksi Advokasi melalui Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan(Proper)1
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Oleh
Bahruddin2
Pendahuluan
Praktik Corporate Social Responsibility (CSR) telah jamak dilakukan
oleh berbagai perusahaan. Sementara ini, CSR disepakati menjadi salah satu
bentuk perwujudan relasi antara perusahaan, masyarakat dan negara.
Meminjam istilah Savitz (2006), fenomena CSR merupakan titik perjumpaan
yang manis (sweet spot) antara tiga pihak tersebut. Melalui CSR, perusahaan
berkomitmen untuk meningkatkan nilai positif kehadirannya di masyarakat.
Perusahaan menyadari bahwa eksistensinya tidak hanya ditentukan atas ijin
dari pemerintah, melainkan juga ijin masyarakat (social license to operate).
Signifikansi social license to operate semakin meningkat seiring dengan
suburnya kebebasan berpendapat dan berekspresi yang terbingkai dalam
suasana politik demokrasi.
Ada berbagai macam wujud ekspresi kehadiran CSR di masyarakat
seperti program pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, pelestarian
lingkungan dan kepedulian terhadap bancana alam. Perusahaan senantiasa
memberi tanda partisipasinya dalam program melalui situs-situs yang
dibangunnya. Penegasan kontribusi perusahaan dalam pengembangan
masyarakat juga melampaui batas-batas wilayah implementasi program.
Terlalu sempit apabila peran baik ini hanya diketahui oleh masyarakat yang
terlibat dalam program. Oleh sebab itu, berbagai perusahaan mulai
menggunakan program-program CSR sebagai konten iklan untuk menjadi
pemenang di pasar yang kian kompetitif. Fenomena iklan baru ini
Disampaikan dalam seminar Dies Natalis Jurusan PSDK ke 57 tahun, Jogjakarta 13
September 2014
2 Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL, UGM
- Koordinator Program Penilaian Peringkat Perusahaan (Proper) Kementrian Lingkungan
Hidup, Aspek Pengembangan Masyarakat (Comdev) 2011-2014
1
1
menandakan bahwa perusahaan sedang merespon perubahan trend pasar
dunia dari World Consumer menuju Global Citizen (Elkington,1997:151).
Munculnya iklan-iklan bertema CSR di berbagai media merupakan
penanda perubahan paradigma tata kelola perusahaan dari single bottom
yang berporos pada keuntungan menuju triple bottom yang mengakomodir
isu lingkungan dan masyarakat (sosial). Namun demikian, asumsi baik ini
mulai terusik karena ada berbagai fenomena yang membuktikan bahwa iklan
berkonten CSR tidak representatif menjadi teropong hubungan perusahaan
dan masyarakat. Di balik iklan-iklan yang sungguh humanis ini tersimpan
rapat praktik-praktik dehumanisasi dan degradasi lingkungan yang
dilakukan secara sistematis oleh perusahaan.
Perbedaan yang tajam antara realitas dalam iklan dengan realitas di
sekeliling perusahaan inilah yang memunculkan keraguan-keraguan besar
terhadap komitmen CSR. Tawaran-tawaran konsep ideal yang terkandung
dalam CSR menjadi “hipokrit”. Bahkan tidak sedikit kalangan yang sudah
mengambil posisi bahwa CSR tidak akan menciptakan perubahan yang
signifikan untuk kesejahteraan umum. CSR hanya sebatas alat “pencitraan”
yang bertujuan hanya untuk memperkuat pundi-pundi keuntungan
perusahaan. Oleh sebab itu, penganut teori fundamentalis menyebut bahwa
fenomena CSR tidak lebih dari upaya membangun propaganda yang akan
merusak sendi-sendi tatanan masyarakat layaknya benalu pada tanaman
(from proganda to parasite) (Fleming dan Jones,2013:80).
Kontestasi kedua fenomena inilah yang menginspirasi Jurusan
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK) untuk turut aktif membentuk
wajah tata kelola CSR di Indonesia. Masing-masing kontestan memiliki
argumentasi yang dibangun atas kajian empiriknya. Dalam posisi inilah,
Jurusan PSDK tidak ingin terjebak dalam pemihakan salah satu kontestan.
Sebagai entitas akademik, Jurusan PSDK menyediakan ruang apresiasi dan
kritisi terhadap fenomena CSR melalui kurikulum yang seimbang. Selain
kajian-kajian akademis, PSDK juga berperan aktif mengintervensi hadirnya
tata kelola CSR yang baik melalui keterlibatanya dalam penyusunan
2
indikator, edukasi perusahaan dan penilaian program pengembangan
masyarakat melalui sertifikasi Proper dari Kementrian Lingkungan Hidup.
Sekilas Proper
Program Penilaian Peringkat Perusahaan Terhadap Lingkungan Hidup
(Proper) merupakan evolusi dari program pengendalian pencemaran air
yang dilaksanakan pada tahun 1989. Kegiatan ini kemudian dikenal dengan
Program Kali Bersih (Prokasih). Lahirnya prokasih merupakan bentuk
keprihatinan terhadap kualitas air sungai di Indonesia. Entitas industri
menjadi salah satu penyumbang pencemaran air sungai. Data KLH
menunjukkan bahwa pada saat itu kurang dari 50 persen industri yang
benar-benar tidak turut mencemari air sungai di sekelilingnya (KLH,2014).
Menguatnya isu penataan tata kelola limbah perusahaan inilah yang
menginspirasi pembaharuan sistem Prokasih menjadi (Surat Pernyataan Kali
Bersih (Superkasih). Superkasih mulai efektif tahun 2003. Perusahaanperusahaan diminta membuat surat pernyataan kali bersih yang disaksikan
oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota setempat.
Pendekatan pengelolaan lingkungan hidup melalui Prokasih -yang
saat ini berevolusi menjadi Proper-mengubah pola relasi antara perusahaan
dan pemerintah dari bersifat command and control menjadi sistem pasar.
Pendekatan command and control system menempatkan relasi antara
pemerintah dan perusahaan hanya dalam konteks regulasi yang bersifat
memaksa. Pendekatan ini terbukti kurang efektif untuk mendorong status
penataan perusahaan terhadap lingkungan hidup. Keterbatasan sumberdaya
manusia dan juga pendanaan menjadikan pengawasan standar baku mutu
lingkungan tidak berjalan dengan baik.
Di sisi lain, sistem pasar melalui kerangka sertifikasi menawarkan
kelebihan-kelebihan
yang
memungkinkan
menjadi
solusi
berbagai
keterbatasan pemerintah. Sertifikasi yang terwujud dalam bahasa warna
hitam, merah, biru, hijau dan emas menjadikan semua pihak berkesempatan
untuk turut berpartisipasi dalam pengawasan lingkungan. Bagi perusahaanperusahaan yang dinyatakan sudah layak biru, hijau dan emas memiliki
tanggungjawab untuk senantiasa menjaga sistem produksinya karena
3
masyarakat juga turut mengawasi kesesuaian antara warna dan realitas.
Sedangkan perusahaan yang mendapat hitam atau merah akan dihukum oleh
pasar karena tidak mencerminkan sebagai perusahaan yang memperhatikan
kualitas lingkungan dalam sistem produksinya.
Saat ini, Proper merupakan salah satu program unggulan Kementrian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Pada periode penilaian 2012-2013,
Proper diikuti oleh 1812 perusahaan. Dimana 1792 perusahaan mendapat
sertifikasi yang terbagi dalam lima kategori yakni hitam sejumlah 17
perusahaan, merah sejumlah 611 perusahaan, biru sejumlah 1039
perusahaan, hijau sejumlah 113 perusahaan dan peringkat terbaik yakni
label emas sejumlah 12 perusahaan. Selain perusahaan-perusahaan yang
diumumkan tersebut, Proper periode 2012-2013 juga tidak mengumumkan
sejumlah 20 perusahaan dengan pertimbangan 12 penegakan hukum dan 8
tidak beroperasi kembali.
Tabel. 1. Deskripsi Kategori Peringkat Proper
No Kategori
Deskripsi
1
Emas
Emas adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah
secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan
dalam proses produksi atau jasa, melaksanakan bisnis yang
beretika dan bertanggung jawab terhadap masyarakat.
2
Hijau
Hijau usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan
pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan
peraturan (beyond compliance) melalui pelaksanaan sistem
pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumberdaya secara
efisien dan melakukan upaya tanggungjawab sosial dengan
baik.
3
Biru
Biru adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah
melakukan
upaya
pengelolaan
lingkungan
yang
dipersyaratkan
sesuai
dengan
ketentuan
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4
Merah
Merah adalah upaya pengelolaan lingkungan belum sesuai
dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
5
Hitam
Hitam adalah usaha dan/atau kegiatan yang sengaja
melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang
mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan
serta pelanggaran peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau tidak melaksanakan sanksi administrasi.
Sumber: KLH, 2013.
4
Sistem penilaian Proper yang saat ini berlaku sesuai dengan Permen
LH Nomor 3 tahun 2014. Peraturan ini memperbaharui Permen LH nomor 5
tahun 2011 dan Permen LH nomor 6 tahun 2013. Dalam ketentuan tersebut,
penilaian proper berdasarkan prinsip ketaatan (compliance) terhadap baku
mutu lingkungan hidup dan beyond compliance yang mencakup tiga aspek
yakni
sistem
pengelolaan
lingkungan
hidup,
efisiensi
pemanfaatan
sumberdaya dan pengembangan masyarakat (community development).
Sertifikasi proper melihat bahwa aspek lingkungan dan masyarakat
merupakan satu kesatuan. “Tidak ada masyarakat yang sehat di lingkungan
yang sakit, atau sebaliknya”. Atas pemikiran inilah, Proper mengintegrasikan
aspek lingkungan dan masyarakat untuk mengukur kinerja perusahaan.
Proper memberi jaminan bahwa penilaian masyarakat menjadi bagian dari
pengukuran kinerja perusahaan.
Keluar dari Pendekatan “Command and Control”
Sebagai fenomena empirik, hampir sebagian besar perusahaan dari
multinational corporation hingga usaha kecil menengah (UMKM) telah
melaksanakan kegiatan CSR sesuai minat dan kapasitasnya. Secara umum, isu
pendidikan, kesehatan, peningkatan ekonomi, lingkungan dan sosial budaya
menjadi sektor yang disasar oleh perusahaan.
Di balik maraknya partisipasi perusahaan dalam pengembangan
masyarakat memunculkan pertanyaan kedudukan CSR dalam relasi antara
perusahaan masyarakat dan negara? Apakah CSR merupakan sebuah
komitmen yang bersifat kesukarelaan atau kewajiban yang diatur dalam
regulasi-regulasi negara? Dalam perspektif akademis, debat pertanyaan ini
masih tersisa sampai saat ini sehingga membelah pandangan pada dua kutub
yakni penganut volunterism (kesukarelaan) dan pendukung kewajiban. Bagi
pendukung pandangan kewajiban melihat bahwa perusahaan merupakan
makhluk hukum yang berorientasi pada profit. Dengan demikian, hanya
kekuatan hukum yang memungkinkan memaksa perusahaan melakukan
kegiatan yang bersifat sosial (Shaw, 2009).
5
Di Indonesia kedudukan CSR dalam relasi tiga pihak (masyarakat,
bisnis dan Negara) sudah diputuskan melalui serangkaian regulasi
pemerintah. Pemerintah telah memilih opsi yang akomodatif. Pemerintah
tidak ingin menjadi partisan salah satu pihak. Pemerintah memutuskan
bahwa kedudukan CSR menjadi suatu kewajiban atau kesukarelaan yang
ditentukan oleh jenis produksi dan status kepemilikan industri. Berikut
beberapa regulasi yang menempatkan CSR sebagai kewajiban bagi Industri di
Indonesia.
Pertama, Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan
gas bumi. Undang-undang ini mengatur kegiatan badan usaha yang
mengelola kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi. Pada pasal 40 ayat 5
ditegaskan bahwa ;
“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan
kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan
lingkungan dan masyarakat setempat”
Dalam pasal tersebut disampaikan dengan jelas bahwa Kontraktor Kontrak
Kerjasama (KKKS) wajib berkontribusi dalam pengembangan masyarakat.
Kewajiban tersebut juga diperkuat dalam ketentuan kontrak antara
perusahaan dan pemerintah. Pasal 11 yang mengatur mekanisme kontrak
mewajibkan adanya klausul pengembangan masyarakat dan jaminan hak-hak
masyarakat adat. Pasal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengakuan
hak-hak masyarakat adat dan komitmen pengembangan masyarakat sudah
ada sejak proses kesepakatan kontrak.
Kedua, Undang–Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman
Modal Asing. Dalam regulasi tersebut, perusahaan yang kepemilikannya
sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh asing wajib melaksanakan
tanggungjawab sosial perusahaan. Kewajiban tersebut termuat pada pasal 15
huruf b. Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan
adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman
modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai
dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Terlihat
6
jelas bahwa tujuan dari regulasi ini masih sebatas membangun social lisence
to operate dari masyarakat setempat.
Kontribusi perusahaan asing dalam pengembangan masyarakat di
Indonesia penting di tengah keterbatasan keuangan negara. Pada tahun
2014, dunia internasional masih menempatkan Indonesia sebagai wilayah
yang diminati untuk investasi. Lembaga pemeringkat dunia Standard and
Poor’s tetap menetapkan Indonesia sebagai lokasi strategis untuk investasi
jangka panjang.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan
terbatas. Pasal 74 ayat 1 memandatkan bahwa Perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam
wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Tanggung
jawab sosial dan lingkungan yang dimaksud adalah komitmen Perseroan
untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Dalam pasal tersebut, secara jelas bahwa hanya perseroan yang berkaitan
dengan lingkungan yang wajib melaksanakan tanggung jawab sosial.
Keempat, Peraturan Menteri BUMN tentang Program Kemitraan dan
Bina Lingkungan. Generasi terakhir peraturan ini tertuang dalam per
08/MBU/2013. Regulasi ini hanya berlaku bagi perusahan yang statusnya
badan usaha milik Negara. Dibandingkan dengan regulasi-regulasi lainnya,
peraturan yang diterbitkan Kementrian BUMN ini memiliki substansi lebih
detail yakni mencakup program dan sistem pendanaanya.
Adanya berbagai regulasi CSR di atas menunjukkan bahwa paradigma
pemerintah dalam membangun hubungan dengan bisnis masih bersifat
“command and control” sistem. Paradigma ini menempatkan pemerintah
sebagai satu-satunya institusi yang berwenang untuk mengatur dan
mengawasi kinerja perusahaan. Regulasi merupakan representasi hadirnya
negara dalam pelayanan dan pembatasan (mengatur).
Berbagai regulasi di atas berkontribusi dalam akselerasi partisipasi
sektor bisnis dalam kegiatan pengembangan masyarakat. Tentunya dengan
7
bentuk dan tingkat partisipasi yang berbeda-beda. Ada perusahaan yang
mengelola isu-isu sosial dengan sangat sistematis. Ada pula perusahaan yang
terlalu dini mengklaim telah berkomitmen melaksanakan program CSR.
Dengan demikian, potret implementasi CSR terbelah di antara kutub yakni
penuh kebermanfaatan kepada masyarakat, di sisi lain kutub klaim sepihak
yang sebatas alat pencitraan diri.
Fenomena dualistik CSR ini terjadi karena ada beberapa persoalan
menyangkut regulasi CSR. Pertama, regulasi hanya mewajibkan perusahaan
untuk berperan aktif dalam pengembangan masyarakat sekitar tanpa aturan
penjelasan lebih lanjut. Kekosongan acuan ini memberi peluang perusahaan
untuk mendefinisikan CSR sesuai dengan versinya sendiri. Kedua,
ketidakjelasan peran dan fungsi negara dalam program CSR perusahaan. Apa
institusi negara yang berkewenangan untuk melakukan pengawasan
ketaatan perusahaan dalam melaksanakan CSR? Apa substansi yang menjadi
objek pengawasan? Bagaimana metode pengawasan? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut belum terjawab jelas hingga saat ini sehingga sinergi pemerintah
dan perusahaan masih menemui banyak hambatan.
Problema di atas tidak hanya terjadi dalam isu CSR, melainkan sudah
jamak terjadi dalam regulasi lainnya yang bersifat command and control
system. Bangunan relasi antara negara dan bisnis dalam bentuk command
and control ini tidak sejalan lagi dengan konteks kekinian (Tiettenberg,
1998).
Negara perlu menyadari berbagai keterbatasan yang dimilikinya
dalam menegakkan regulasi. Negara juga perlu membuka kesempatan pihakpihak lain untuk turut berpartisipasi untuk mencapai tujuan regulasi.
Inclusivitas kebijakan ini penting karena aktor lain, salah satunya “pasar”
memiliki kekuatan untuk turut menegakkan regulasi. Tentunya dengan
mekanisme yang sesuai dengan sistem pasar. Mekanisme inilah yang dikenal
dengan sistem sertifikasi.
Saat ini, kekuatan pasar yang terwujud dalam sistem sertifikasi sangat
efektif memaksa perusahaan. Lembaga-lembaga sertifikasi berskala dunia
seperti International Organization for Standarization (ISO) sangat dipercaya
oleh perusahaan dan konsumen. Sampai akhir Desember 2013, ISO telah
8
menerbitkan 19.977 standardisasi internasional (ISO,2014). Sertifikasi
menjadi “standaruang pertemuan” antara produsen dengan konsumen. Bagi
produsen, sertifikasi merupakan “etalase” yang mengkomunikasikan
bagaimana proses produksi dilakukan. Sedangkan bagi konsumen, sertifikasi
menjadi sumber informasi yang menjamin bahwa produk yang dibeli
berkualitas, aman serta merupakan bagian dari kontribusi positif terhadap
pembangunan berkelanjutan.
Sistem sertifikasi lahir sebagai respon atas pergeseran trend “pasar”
dunia. Trend pasar telah bergeser dari “world consumer” menuju “global
citizen”. Dalam era global citizen, mengkonsumsi barang atau jasa tidak
sebatas sebagai upaya pemenuhan kebutuhan, melainkan juga bentuk
partisipasi dalam mewujudkan nilai-nilai tertentu, salah satunya adalah nilai
pembangunan berkelanjutan.
Tabel. Tujuh nilai dalam revolusi pembangunan berkelanjutan.
Focus
Old Paradigm
New Paradigm
Compliance
Competition
Hard
Soft
Transparency
Closed
Open
Lifecycle technology
Product
Function
Subversion
Symbiosis
Wider
Longer
Exclusive
Inclusive
Market
Value
Partnership
Time
Corporate Governance
Sumber : Elkington, 1997:3
Tujuh revolusi nilai inilah yang terinternalisasi dalam sistem pasar
modern. Ekspektasi pasar yang tercermin dalam nilai pembangunan
berkelanjutan ini “memaksa” perusahaan untuk melakukan perubahan
paradigma
pengelolaan
bisnis.
Orientasi
perusahaan
yang
hanya
menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan tidak relevan. Produk
yang dihasilkan harus memiliki nilai lebih selain fungsi dasar yang
ditawarkan. Salah satu nilai lebih dari sebuah produk adalah ruang
9
partisipasi konsumen dalam menjaga lingkungan dan membantu sesama
manusia.
Kementrian Lingkungan Hidup melihat bahwa kekuatan pasar
modern ini sebagai peluang untuk mendorong tingkat ketaatan perusahaan
terhadap ketentuan lingkungan hidup intervensi tata kelola CSR. Oleh sebab
itu, mekanisme penilaian Proper menggunakan sistem kombinasi antara
compliance and beyond compliance.
Sistem compliance dilakukan pada
tingkat penilaian hitam, merah dan biru. Perusahaan yang mendapat
sertifikat biru bermakna telah memenuhi regulasi baku mutu lingkungan
hidup. Sedangkan sistem penilaian beyond compliance digunakan untuk
menentukan peringkat perusahaan hijau dan emas.
Aspek pengembangan masyarakat (comdev) menjadi salah satu
indikator penilaian dalam peringkat hijau. Aspek comdev menyumbang
12,5% dari keseluruhan nilai peringkat hijau. Namun demikian, kontribusi
comdev semakin meningkat pada penilaian emas. Aspek Comdev menjadi
indikator dominan untuk menentukan perusahaan yang layak mendapatkan
emas.
Salah satu contoh program yang menghantarkan perusahaan
mendapat sertifikat emas tiga kali berturut-turut adalah pengembangan
sistem pertanian organik. Program ini memiliki roh pelestarian lingkungan
yang kuat. Pertanian organik menjadi gerakan untuk menolak pengerusakan
tanah secara sistematis melalui pupuk-pupuk kimia. Sistem pertanian
organik mengajarkan petani untuk mandiri dengan pupuk dan pestisida
secara alami. Selain untuk kepentingan lingkungan, sistem organik juga
bertujuan memutus ketergantungan dengan pupuk sehingga pendapatan
petani semakin meningkat.
Memasukkan aspek comdev dalam ketentuan penilaian beyond
compliance merupakan bentuk advokasi mengarusutamakan isu sosial dalam
bisnis. Untuk menjadi perusahaan yang terbaik (kategori emas) tidak hanya
berdasarkan kinerja ekonomi dan lingkungan, melainkan juga kinerja
program pengembangan masyarakat.
10
Pendekatan berbasis sistem
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa CSR merupakan
“ruang perjumpaan” antara perusahaan dan masyarakat. Indikator-indikator
untuk
menilai
keberhasilan
program
juga
kebermanfaatan untuk kedua belah pihak.
dilihat
berdasarkan
Berdasarkan indikator
kebermanfaatan ini, peta kegiatan CSR dapat dikategorisasikan dalam empat
kuadran yakni pathologies, public good, corporate social irresponsibility dan
enlightened self interest (Fleming and Jones, 2013:100).
Kuadran
pathologies
terjadi
ketika
program
CSR
memberi
kebermanfaatan yang kecil kepada masyarakat dan perusahaan. Sedangkan
kuadran public good terjadi ketika perusahaan berperan menggantikan peran
pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan. Bahkan kebutuhan yang
mungkin tidak relevan dengan sistem produksi perusahaan. Kuadran public
good ini berkebalikan dengan kuadran corporate social irresponsibilty.
Kuadran corporate social irresponsibilty berisikan program-program yang
menggunakan isu sosial sebagai bagian dari strategi peningkatan
keuntungan. Salah satu contohnya adalah program bantuan beasiswa anak
yatim sebesar 100 juta sedangkan biaya lounching program tersebut
membutuhkan dana 400 juta. Kuadran yang ideal dalam CSR adalah
enlightened self interest. Kuadran ini berisikan program CSR yang
memberikan kebermanfaatan yang tinggi untuk perusahaan dan masyarakat.
(-) Impact on Society (+)
Kuadran tipologi CSR
ii. Public goods
i. Pathologies
iv. enlightened self interest
iii. corporate social
irresponsibility
(-) Impact on firm (+)
Sumber :Fleming and Jones, 2013:100.
11
Mewujudkan CSR untuk memberikan kebermanfaatan yang optimal
bagi perusahaan dan masyarakat tidak mungkin dilakukan ketika paradigma
pengelolaan CSR masih bersifat insendental. CSR dilihat sebagai bentuk
kedermawanan semata. Mekanisme dan prosedur tata kelola tidak dibangun
sesuai dengan prinsip-prinsip managemen modern. Pelaksana program
ditentukan
atas
dasar
prinsip
“siapa
yang
mau”
bukan
sebagai
tanggungjawab yang melekat pada jabatan.
Fenomena tata kelola CSR yang bersifat insendental terkuak dalam
riset yang dilakukan oleh lembaga penelitian PIRAC. Studi PIRAC terhadap
226 perusahaan menunjukkan bahwa 60 persen perusahaan masih
melakukan kegiatan CSR secata insendental, 31 persen secara berkala dan
insendental, dan hanya 9 persen perusahaan yang melakukan secara
terencana (Ibrahim, 2005).
Data
tersebut
merupakan
gambaran
implementasi CSR di perusahaan- perusahaan di
bagaimana
organisasi
Indonesia. Dominasi
perusahaan-perusahaan di Indonesia melaksanakan program-program CSR
secara insendental. Implementasi secara insendental dapat menjadi indikator
bahwa CSR tidak ada perencanaan dalam pengelolaan program CSR. Dalam
konteks pengembangan masyarakat (community development), pengelolaan
CSR yang tidak disertai perencanaan yang baik akan menimbulkan persoalan
di kemudian hari.
Atas dasar fenomena-fenomena inilah, Jurusan Pembangunan Sosial
memilih jalur pengembangan sistem untuk membangun CSR di Indonesia
melalui sertifikasi Proper. Proper memberi ruang bagi jurusan Pembangunan
Sosial untuk membangun sistem tata kelola pengembangan masyarakat
sesuai
dengan
prinsip-prinsip
pemberdayaan.
Sistem
tata
kelola
pengembangan masyarakat ini tercantum dalam Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 3 tahun 2014. Adapun aspek-aspek yang
disyaratkan dalam proper mencakup ;
1. Komitmen top level management dan panduan tata kelola
Komitmen pimpinan perusahaan menjadi titik yang krusial dalam upaya
pengarusutamaan isu sosial dalam bisnis (Swanson, 2008:227). Sebagian
12
besar pimpinan perusahaan berasal dari luar disiplin ilmu-ilmu sosial.
Oleh sebab itu sering terjadi perbedaan pemahaman dasar-dasar
pengelolaan program sosial. Perbedaan inilah yang menyebabkan staf
tidak mampu mewujudkan gagasan-gagasan ideal karena terbentur
kewenangan pimpinan perusahaan.
Untuk memastikan adanya komitmen pimpinan perusahaan, Proper
mewajibkan
adanya
kebijakan
tertulis
mengenai
CSR
yang
ditandatangani oleh pimpinan perusahaan. Selain itu, kebijakan juga
dituangkan dalam dokumen yang menjadi panduan tata kelola
pengembangan masyarakat perusahaan.
2. Struktur Organisasi pengembangan masyarakat
Struktur organisasi merupakan “etalase” komitmen pengembangan
masyarakat di perusahaan. Perusahaan yang berkomitmen terhadap
pengembangan masyarakat tentunya memiliki perangkat organisasi yang
memadai.
Proper
mensyaratkan
perusahaan
memiliki
struktur
organisasi khusus untuk pengembangan masyarakat. Penataan struktur
organisasi dapat berbasis geografi, sektoral maupun kombinasi
keduanya.
3. Sistem pendanaan program pengembangan masyarakat
Proper melihat daya dukung pendanaan program pengembangan
masyarakat tidak hanya berbasis jumlah, melainkan juga tata alokasi
program.
Proper
berdasarkan
jenis
mensyaratkan
program
pelaporan
yakni;
keuangan
donasi/charity,
dilakukan
infrastruktur,
pengembangan kapasitas dan pemberdayaan.
4. Basis data (social mapping)
Perencanaan yang baik merupakan salah satu syarat menghasilkan
kinerja yang baik. Kualitas perencanaan ditentukan oleh data-data yang
digunakan. Proper mewajibkan perusahaan memiliki basis perencanaan
pengembangan masyarakat yang terwujud dalam dokumen social
mapping atau social based line study.
Pemetaan sosial merupakan
kegiatan untuk memahami secara lebih mendalam kondisi masyarakat di
sekitar perusahaan. Aspek-aspek yang penting ada dalam pemetaan
13
sosial mencakup isu aktor-aktor strategis, potensi penghidupan
berkelanjutan, masalah sosial, institusi sosial, dan rekomendasi program.
5. Perencanaan
Proper mendefinisikan perencanaan dalam dua tahap yakni perencanaan
jangka menengah dan jangka pendek. Perencanaan jangka menengah
terwujud dalam dokumen rencana strategis lima tahun. Dokumen
renstra ini memuat visi, misi, tujuan dan program yang akan
dilaksanakan dalam lima tahun. Sedangkan perencanaan jangka pendek
diwujudkan dalam bentuk rencana kerja tahunan. Proper mensyaratkan
rencana kerja tahunan mencakup aspek nama program, indikator,
anggaran, jadwal dan penerima program.
6. Implementasi
Proper mendorong implementasi program pengembangan masyarakat
dilakukan dengan prinsip kemitraan. Perusahaan diminta untuk
berkolaborasi dengan pemerintah dan LSM dalam melaksanakan
program. Ketentuan ini diharapkan merubah relasi perusahaan dengan
LSM yang cenderung bersifat konflik menuju kolaboratif (Yaziji, 2009).
Kolaborasi antar pihak ini penting untuk memastikan keberlanjutan
program pengembangan masyarakat.
7. Monitoring dan evaluasi
Program pengembangan masyarakat merupakan kegiatan yang dapat
diukur sesuai dengan kaidah-kaidah metode penelitian. Pemahaman
inilah yang ingin disampaikan melalui kriteria monitoring dan evaluasi
Proper. Proper mewajibkan setiap perusahaan untuk melakukan
monitoring dan evaluasi program tidak hanya pada aspek pendanaan,
melainkan juga aspek indikator, ketepatan sasaran dan jadwal
implementasi.
Selain aspek-aspek di atas, Proper juga mendorong perusahaan
melaksanakan pemantauan pasca program “care after program”.
Pemantauan ini mencakup implementasi pengetahuan dan atau
ketrampilan
yang
sudah
diberikan
melalui
program
comdev.
Pemantauan ini diharapkan menemukan “local hero” yang sukses
14
menerapkan pengetahuan dan atau ketrampilan oleh dirinya sendiri
serta mampu mengajarkan ke orang lain.
8. Publikasi dan penghargaan
Banyak kisah sukses kolaborasi perusahaan dan masyarakat berlalu
sebatas pengalaman saja. Padahal kisah-kisah sukses ini potensial
menginspirasi
orang-orang
untuk
menciptakan
perubahan
bagi
lingkunganya. Dalam konteks inilah, Proper mendorong perusahaan
untuk menerbitkan buku-buku terkait dengan program pengembangan
masyarakat. Buku merupakan jendela inspirasi dunia. Semakin banyak
buku yang diterbitkan semakin memperluas inspirasi-inspirasi untuk
pengembangan masyarakat.
Selain buku, proper juga menghargai perusahaan-perusahaan yang
memperoleh
penghargaan
atas
kinerja
program
pengembangan
masyarakat dari institusi pemerintah dan non pemerintah.
Penutup
Corporate Social Responsibility (CSR) telah menjadi bagian penting
dalam relasi perusahaan, masyarakat dan negara. Pemerintah Indonesia
memilih menggunakan pendekatan command and control dalam mengelola
CSR. Konsekuensinya adalah lahirnya beberapa regulasi yang menjadikan
CSR sebagai bentuk kewajiban terhadap perusahaan-perusahaan tertentu.
Regulasi yang bersifat memaksa ini sukses untuk menghadirkan programprogram CSR di tengah masyarakat. Namun belum optimal untuk
membangun sistem CSR yang sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang
baik dan sejalan dengan nilai-nilai pemberdayaan. Hal ini terjadi karena
regulasi-regulasi yang ada tidak cukup menjadi acuan bagi perusahaanperusahaan untuk membangun sistem CSR.
Kekosongan acuan inilah yang menginspirasi Jurusan Pembangunan
Sosial dan Kesejahteraan untuk turut mewarnai pengembangan sistem CSR
di Indonesia. Upaya pengembangan sistem CSR tidak cukup hanya dilakukan
melalui kajian-kajian akademis di kampus, melainkan juga dibutuhkan
strategi advokasi kebijakan. Program penilaian peringkat kinerja perusahaan
15
(Proper) yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup menjadi sarana
yang strategis untuk membangun sistem CSR di Indonesia. Pada tahun 2013,
sistem CSR yang dibangun PSDK diikuti oleh 1812 perusahaan yang
mengikuti sertifikasi proper.
Pengembangan sistem ini merupakan salah satu bentuk advokasi
pengembangan sistem CSR di Indonesia. Tentunya sistem CSR yang memberi
kebermanfaatan optimal bagi masyarakat, perusahaan dan negara.
Daftar Pustaka.
Fleming Peter and Marc T Jones. (2013). The end of Corporate Social
Responsibility; Crisis and Critique. London. Sage Publication.
Ibrahim, Rustam. 2005. Bukan Sekedar Berbisnis; Keterlibatan Perusahaan
dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal PIRAC edisi Juli 2005.
Peraturan Menteri LIngkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2014 tentang Program
Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Terhadap Lingkungan Hidup.
Savitz, Andrew, W (2006). The Triple Bottom Line. New Jersey: John Wiley &
Sons. Inc.
Shaw, William. (2009). Marxism, Business Ethics, and Corporate Social
Responsibility. Journal of Business Ethics.
Swanson, Diane. (2008). Top Managers as Drivers for Corporate Social
Responsibility. Dalam Andrew (eds).
The Oxford Handbook of
Corporate Social Responsibility. Oxford. Oxford University Press.
Yaziji, M and Jonathan. (2009). NGOs and Corporations; Conflict and
Collaboration. Cambridge. Cambridge University Press.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
16
Download