Mengarusutamakan isu sosial dalam bisnis; Refleksi Advokasi melalui Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan(Proper)1 Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Oleh Bahruddin2 Pendahuluan Praktik Corporate Social Responsibility (CSR) telah jamak dilakukan oleh berbagai perusahaan. Sementara ini, CSR disepakati menjadi salah satu bentuk perwujudan relasi antara perusahaan, masyarakat dan negara. Meminjam istilah Savitz (2006), fenomena CSR merupakan titik perjumpaan yang manis (sweet spot) antara tiga pihak tersebut. Melalui CSR, perusahaan berkomitmen untuk meningkatkan nilai positif kehadirannya di masyarakat. Perusahaan menyadari bahwa eksistensinya tidak hanya ditentukan atas ijin dari pemerintah, melainkan juga ijin masyarakat (social license to operate). Signifikansi social license to operate semakin meningkat seiring dengan suburnya kebebasan berpendapat dan berekspresi yang terbingkai dalam suasana politik demokrasi. Ada berbagai macam wujud ekspresi kehadiran CSR di masyarakat seperti program pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, pelestarian lingkungan dan kepedulian terhadap bancana alam. Perusahaan senantiasa memberi tanda partisipasinya dalam program melalui situs-situs yang dibangunnya. Penegasan kontribusi perusahaan dalam pengembangan masyarakat juga melampaui batas-batas wilayah implementasi program. Terlalu sempit apabila peran baik ini hanya diketahui oleh masyarakat yang terlibat dalam program. Oleh sebab itu, berbagai perusahaan mulai menggunakan program-program CSR sebagai konten iklan untuk menjadi pemenang di pasar yang kian kompetitif. Fenomena iklan baru ini Disampaikan dalam seminar Dies Natalis Jurusan PSDK ke 57 tahun, Jogjakarta 13 September 2014 2 Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL, UGM - Koordinator Program Penilaian Peringkat Perusahaan (Proper) Kementrian Lingkungan Hidup, Aspek Pengembangan Masyarakat (Comdev) 2011-2014 1 1 menandakan bahwa perusahaan sedang merespon perubahan trend pasar dunia dari World Consumer menuju Global Citizen (Elkington,1997:151). Munculnya iklan-iklan bertema CSR di berbagai media merupakan penanda perubahan paradigma tata kelola perusahaan dari single bottom yang berporos pada keuntungan menuju triple bottom yang mengakomodir isu lingkungan dan masyarakat (sosial). Namun demikian, asumsi baik ini mulai terusik karena ada berbagai fenomena yang membuktikan bahwa iklan berkonten CSR tidak representatif menjadi teropong hubungan perusahaan dan masyarakat. Di balik iklan-iklan yang sungguh humanis ini tersimpan rapat praktik-praktik dehumanisasi dan degradasi lingkungan yang dilakukan secara sistematis oleh perusahaan. Perbedaan yang tajam antara realitas dalam iklan dengan realitas di sekeliling perusahaan inilah yang memunculkan keraguan-keraguan besar terhadap komitmen CSR. Tawaran-tawaran konsep ideal yang terkandung dalam CSR menjadi “hipokrit”. Bahkan tidak sedikit kalangan yang sudah mengambil posisi bahwa CSR tidak akan menciptakan perubahan yang signifikan untuk kesejahteraan umum. CSR hanya sebatas alat “pencitraan” yang bertujuan hanya untuk memperkuat pundi-pundi keuntungan perusahaan. Oleh sebab itu, penganut teori fundamentalis menyebut bahwa fenomena CSR tidak lebih dari upaya membangun propaganda yang akan merusak sendi-sendi tatanan masyarakat layaknya benalu pada tanaman (from proganda to parasite) (Fleming dan Jones,2013:80). Kontestasi kedua fenomena inilah yang menginspirasi Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSDK) untuk turut aktif membentuk wajah tata kelola CSR di Indonesia. Masing-masing kontestan memiliki argumentasi yang dibangun atas kajian empiriknya. Dalam posisi inilah, Jurusan PSDK tidak ingin terjebak dalam pemihakan salah satu kontestan. Sebagai entitas akademik, Jurusan PSDK menyediakan ruang apresiasi dan kritisi terhadap fenomena CSR melalui kurikulum yang seimbang. Selain kajian-kajian akademis, PSDK juga berperan aktif mengintervensi hadirnya tata kelola CSR yang baik melalui keterlibatanya dalam penyusunan 2 indikator, edukasi perusahaan dan penilaian program pengembangan masyarakat melalui sertifikasi Proper dari Kementrian Lingkungan Hidup. Sekilas Proper Program Penilaian Peringkat Perusahaan Terhadap Lingkungan Hidup (Proper) merupakan evolusi dari program pengendalian pencemaran air yang dilaksanakan pada tahun 1989. Kegiatan ini kemudian dikenal dengan Program Kali Bersih (Prokasih). Lahirnya prokasih merupakan bentuk keprihatinan terhadap kualitas air sungai di Indonesia. Entitas industri menjadi salah satu penyumbang pencemaran air sungai. Data KLH menunjukkan bahwa pada saat itu kurang dari 50 persen industri yang benar-benar tidak turut mencemari air sungai di sekelilingnya (KLH,2014). Menguatnya isu penataan tata kelola limbah perusahaan inilah yang menginspirasi pembaharuan sistem Prokasih menjadi (Surat Pernyataan Kali Bersih (Superkasih). Superkasih mulai efektif tahun 2003. Perusahaanperusahaan diminta membuat surat pernyataan kali bersih yang disaksikan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota setempat. Pendekatan pengelolaan lingkungan hidup melalui Prokasih -yang saat ini berevolusi menjadi Proper-mengubah pola relasi antara perusahaan dan pemerintah dari bersifat command and control menjadi sistem pasar. Pendekatan command and control system menempatkan relasi antara pemerintah dan perusahaan hanya dalam konteks regulasi yang bersifat memaksa. Pendekatan ini terbukti kurang efektif untuk mendorong status penataan perusahaan terhadap lingkungan hidup. Keterbatasan sumberdaya manusia dan juga pendanaan menjadikan pengawasan standar baku mutu lingkungan tidak berjalan dengan baik. Di sisi lain, sistem pasar melalui kerangka sertifikasi menawarkan kelebihan-kelebihan yang memungkinkan menjadi solusi berbagai keterbatasan pemerintah. Sertifikasi yang terwujud dalam bahasa warna hitam, merah, biru, hijau dan emas menjadikan semua pihak berkesempatan untuk turut berpartisipasi dalam pengawasan lingkungan. Bagi perusahaanperusahaan yang dinyatakan sudah layak biru, hijau dan emas memiliki tanggungjawab untuk senantiasa menjaga sistem produksinya karena 3 masyarakat juga turut mengawasi kesesuaian antara warna dan realitas. Sedangkan perusahaan yang mendapat hitam atau merah akan dihukum oleh pasar karena tidak mencerminkan sebagai perusahaan yang memperhatikan kualitas lingkungan dalam sistem produksinya. Saat ini, Proper merupakan salah satu program unggulan Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Pada periode penilaian 2012-2013, Proper diikuti oleh 1812 perusahaan. Dimana 1792 perusahaan mendapat sertifikasi yang terbagi dalam lima kategori yakni hitam sejumlah 17 perusahaan, merah sejumlah 611 perusahaan, biru sejumlah 1039 perusahaan, hijau sejumlah 113 perusahaan dan peringkat terbaik yakni label emas sejumlah 12 perusahaan. Selain perusahaan-perusahaan yang diumumkan tersebut, Proper periode 2012-2013 juga tidak mengumumkan sejumlah 20 perusahaan dengan pertimbangan 12 penegakan hukum dan 8 tidak beroperasi kembali. Tabel. 1. Deskripsi Kategori Peringkat Proper No Kategori Deskripsi 1 Emas Emas adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan dalam proses produksi atau jasa, melaksanakan bisnis yang beretika dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. 2 Hijau Hijau usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan peraturan (beyond compliance) melalui pelaksanaan sistem pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumberdaya secara efisien dan melakukan upaya tanggungjawab sosial dengan baik. 3 Biru Biru adalah untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4 Merah Merah adalah upaya pengelolaan lingkungan belum sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. 5 Hitam Hitam adalah usaha dan/atau kegiatan yang sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak melaksanakan sanksi administrasi. Sumber: KLH, 2013. 4 Sistem penilaian Proper yang saat ini berlaku sesuai dengan Permen LH Nomor 3 tahun 2014. Peraturan ini memperbaharui Permen LH nomor 5 tahun 2011 dan Permen LH nomor 6 tahun 2013. Dalam ketentuan tersebut, penilaian proper berdasarkan prinsip ketaatan (compliance) terhadap baku mutu lingkungan hidup dan beyond compliance yang mencakup tiga aspek yakni sistem pengelolaan lingkungan hidup, efisiensi pemanfaatan sumberdaya dan pengembangan masyarakat (community development). Sertifikasi proper melihat bahwa aspek lingkungan dan masyarakat merupakan satu kesatuan. “Tidak ada masyarakat yang sehat di lingkungan yang sakit, atau sebaliknya”. Atas pemikiran inilah, Proper mengintegrasikan aspek lingkungan dan masyarakat untuk mengukur kinerja perusahaan. Proper memberi jaminan bahwa penilaian masyarakat menjadi bagian dari pengukuran kinerja perusahaan. Keluar dari Pendekatan “Command and Control” Sebagai fenomena empirik, hampir sebagian besar perusahaan dari multinational corporation hingga usaha kecil menengah (UMKM) telah melaksanakan kegiatan CSR sesuai minat dan kapasitasnya. Secara umum, isu pendidikan, kesehatan, peningkatan ekonomi, lingkungan dan sosial budaya menjadi sektor yang disasar oleh perusahaan. Di balik maraknya partisipasi perusahaan dalam pengembangan masyarakat memunculkan pertanyaan kedudukan CSR dalam relasi antara perusahaan masyarakat dan negara? Apakah CSR merupakan sebuah komitmen yang bersifat kesukarelaan atau kewajiban yang diatur dalam regulasi-regulasi negara? Dalam perspektif akademis, debat pertanyaan ini masih tersisa sampai saat ini sehingga membelah pandangan pada dua kutub yakni penganut volunterism (kesukarelaan) dan pendukung kewajiban. Bagi pendukung pandangan kewajiban melihat bahwa perusahaan merupakan makhluk hukum yang berorientasi pada profit. Dengan demikian, hanya kekuatan hukum yang memungkinkan memaksa perusahaan melakukan kegiatan yang bersifat sosial (Shaw, 2009). 5 Di Indonesia kedudukan CSR dalam relasi tiga pihak (masyarakat, bisnis dan Negara) sudah diputuskan melalui serangkaian regulasi pemerintah. Pemerintah telah memilih opsi yang akomodatif. Pemerintah tidak ingin menjadi partisan salah satu pihak. Pemerintah memutuskan bahwa kedudukan CSR menjadi suatu kewajiban atau kesukarelaan yang ditentukan oleh jenis produksi dan status kepemilikan industri. Berikut beberapa regulasi yang menempatkan CSR sebagai kewajiban bagi Industri di Indonesia. Pertama, Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Undang-undang ini mengatur kegiatan badan usaha yang mengelola kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi. Pada pasal 40 ayat 5 ditegaskan bahwa ; “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat” Dalam pasal tersebut disampaikan dengan jelas bahwa Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) wajib berkontribusi dalam pengembangan masyarakat. Kewajiban tersebut juga diperkuat dalam ketentuan kontrak antara perusahaan dan pemerintah. Pasal 11 yang mengatur mekanisme kontrak mewajibkan adanya klausul pengembangan masyarakat dan jaminan hak-hak masyarakat adat. Pasal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengakuan hak-hak masyarakat adat dan komitmen pengembangan masyarakat sudah ada sejak proses kesepakatan kontrak. Kedua, Undang–Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. Dalam regulasi tersebut, perusahaan yang kepemilikannya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh asing wajib melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan. Kewajiban tersebut termuat pada pasal 15 huruf b. Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Terlihat 6 jelas bahwa tujuan dari regulasi ini masih sebatas membangun social lisence to operate dari masyarakat setempat. Kontribusi perusahaan asing dalam pengembangan masyarakat di Indonesia penting di tengah keterbatasan keuangan negara. Pada tahun 2014, dunia internasional masih menempatkan Indonesia sebagai wilayah yang diminati untuk investasi. Lembaga pemeringkat dunia Standard and Poor’s tetap menetapkan Indonesia sebagai lokasi strategis untuk investasi jangka panjang. Ketiga, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Pasal 74 ayat 1 memandatkan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dimaksud adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Dalam pasal tersebut, secara jelas bahwa hanya perseroan yang berkaitan dengan lingkungan yang wajib melaksanakan tanggung jawab sosial. Keempat, Peraturan Menteri BUMN tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Generasi terakhir peraturan ini tertuang dalam per 08/MBU/2013. Regulasi ini hanya berlaku bagi perusahan yang statusnya badan usaha milik Negara. Dibandingkan dengan regulasi-regulasi lainnya, peraturan yang diterbitkan Kementrian BUMN ini memiliki substansi lebih detail yakni mencakup program dan sistem pendanaanya. Adanya berbagai regulasi CSR di atas menunjukkan bahwa paradigma pemerintah dalam membangun hubungan dengan bisnis masih bersifat “command and control” sistem. Paradigma ini menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya institusi yang berwenang untuk mengatur dan mengawasi kinerja perusahaan. Regulasi merupakan representasi hadirnya negara dalam pelayanan dan pembatasan (mengatur). Berbagai regulasi di atas berkontribusi dalam akselerasi partisipasi sektor bisnis dalam kegiatan pengembangan masyarakat. Tentunya dengan 7 bentuk dan tingkat partisipasi yang berbeda-beda. Ada perusahaan yang mengelola isu-isu sosial dengan sangat sistematis. Ada pula perusahaan yang terlalu dini mengklaim telah berkomitmen melaksanakan program CSR. Dengan demikian, potret implementasi CSR terbelah di antara kutub yakni penuh kebermanfaatan kepada masyarakat, di sisi lain kutub klaim sepihak yang sebatas alat pencitraan diri. Fenomena dualistik CSR ini terjadi karena ada beberapa persoalan menyangkut regulasi CSR. Pertama, regulasi hanya mewajibkan perusahaan untuk berperan aktif dalam pengembangan masyarakat sekitar tanpa aturan penjelasan lebih lanjut. Kekosongan acuan ini memberi peluang perusahaan untuk mendefinisikan CSR sesuai dengan versinya sendiri. Kedua, ketidakjelasan peran dan fungsi negara dalam program CSR perusahaan. Apa institusi negara yang berkewenangan untuk melakukan pengawasan ketaatan perusahaan dalam melaksanakan CSR? Apa substansi yang menjadi objek pengawasan? Bagaimana metode pengawasan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut belum terjawab jelas hingga saat ini sehingga sinergi pemerintah dan perusahaan masih menemui banyak hambatan. Problema di atas tidak hanya terjadi dalam isu CSR, melainkan sudah jamak terjadi dalam regulasi lainnya yang bersifat command and control system. Bangunan relasi antara negara dan bisnis dalam bentuk command and control ini tidak sejalan lagi dengan konteks kekinian (Tiettenberg, 1998). Negara perlu menyadari berbagai keterbatasan yang dimilikinya dalam menegakkan regulasi. Negara juga perlu membuka kesempatan pihakpihak lain untuk turut berpartisipasi untuk mencapai tujuan regulasi. Inclusivitas kebijakan ini penting karena aktor lain, salah satunya “pasar” memiliki kekuatan untuk turut menegakkan regulasi. Tentunya dengan mekanisme yang sesuai dengan sistem pasar. Mekanisme inilah yang dikenal dengan sistem sertifikasi. Saat ini, kekuatan pasar yang terwujud dalam sistem sertifikasi sangat efektif memaksa perusahaan. Lembaga-lembaga sertifikasi berskala dunia seperti International Organization for Standarization (ISO) sangat dipercaya oleh perusahaan dan konsumen. Sampai akhir Desember 2013, ISO telah 8 menerbitkan 19.977 standardisasi internasional (ISO,2014). Sertifikasi menjadi “standaruang pertemuan” antara produsen dengan konsumen. Bagi produsen, sertifikasi merupakan “etalase” yang mengkomunikasikan bagaimana proses produksi dilakukan. Sedangkan bagi konsumen, sertifikasi menjadi sumber informasi yang menjamin bahwa produk yang dibeli berkualitas, aman serta merupakan bagian dari kontribusi positif terhadap pembangunan berkelanjutan. Sistem sertifikasi lahir sebagai respon atas pergeseran trend “pasar” dunia. Trend pasar telah bergeser dari “world consumer” menuju “global citizen”. Dalam era global citizen, mengkonsumsi barang atau jasa tidak sebatas sebagai upaya pemenuhan kebutuhan, melainkan juga bentuk partisipasi dalam mewujudkan nilai-nilai tertentu, salah satunya adalah nilai pembangunan berkelanjutan. Tabel. Tujuh nilai dalam revolusi pembangunan berkelanjutan. Focus Old Paradigm New Paradigm Compliance Competition Hard Soft Transparency Closed Open Lifecycle technology Product Function Subversion Symbiosis Wider Longer Exclusive Inclusive Market Value Partnership Time Corporate Governance Sumber : Elkington, 1997:3 Tujuh revolusi nilai inilah yang terinternalisasi dalam sistem pasar modern. Ekspektasi pasar yang tercermin dalam nilai pembangunan berkelanjutan ini “memaksa” perusahaan untuk melakukan perubahan paradigma pengelolaan bisnis. Orientasi perusahaan yang hanya menghasilkan produk untuk memenuhi kebutuhan tidak relevan. Produk yang dihasilkan harus memiliki nilai lebih selain fungsi dasar yang ditawarkan. Salah satu nilai lebih dari sebuah produk adalah ruang 9 partisipasi konsumen dalam menjaga lingkungan dan membantu sesama manusia. Kementrian Lingkungan Hidup melihat bahwa kekuatan pasar modern ini sebagai peluang untuk mendorong tingkat ketaatan perusahaan terhadap ketentuan lingkungan hidup intervensi tata kelola CSR. Oleh sebab itu, mekanisme penilaian Proper menggunakan sistem kombinasi antara compliance and beyond compliance. Sistem compliance dilakukan pada tingkat penilaian hitam, merah dan biru. Perusahaan yang mendapat sertifikat biru bermakna telah memenuhi regulasi baku mutu lingkungan hidup. Sedangkan sistem penilaian beyond compliance digunakan untuk menentukan peringkat perusahaan hijau dan emas. Aspek pengembangan masyarakat (comdev) menjadi salah satu indikator penilaian dalam peringkat hijau. Aspek comdev menyumbang 12,5% dari keseluruhan nilai peringkat hijau. Namun demikian, kontribusi comdev semakin meningkat pada penilaian emas. Aspek Comdev menjadi indikator dominan untuk menentukan perusahaan yang layak mendapatkan emas. Salah satu contoh program yang menghantarkan perusahaan mendapat sertifikat emas tiga kali berturut-turut adalah pengembangan sistem pertanian organik. Program ini memiliki roh pelestarian lingkungan yang kuat. Pertanian organik menjadi gerakan untuk menolak pengerusakan tanah secara sistematis melalui pupuk-pupuk kimia. Sistem pertanian organik mengajarkan petani untuk mandiri dengan pupuk dan pestisida secara alami. Selain untuk kepentingan lingkungan, sistem organik juga bertujuan memutus ketergantungan dengan pupuk sehingga pendapatan petani semakin meningkat. Memasukkan aspek comdev dalam ketentuan penilaian beyond compliance merupakan bentuk advokasi mengarusutamakan isu sosial dalam bisnis. Untuk menjadi perusahaan yang terbaik (kategori emas) tidak hanya berdasarkan kinerja ekonomi dan lingkungan, melainkan juga kinerja program pengembangan masyarakat. 10 Pendekatan berbasis sistem Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa CSR merupakan “ruang perjumpaan” antara perusahaan dan masyarakat. Indikator-indikator untuk menilai keberhasilan program juga kebermanfaatan untuk kedua belah pihak. dilihat berdasarkan Berdasarkan indikator kebermanfaatan ini, peta kegiatan CSR dapat dikategorisasikan dalam empat kuadran yakni pathologies, public good, corporate social irresponsibility dan enlightened self interest (Fleming and Jones, 2013:100). Kuadran pathologies terjadi ketika program CSR memberi kebermanfaatan yang kecil kepada masyarakat dan perusahaan. Sedangkan kuadran public good terjadi ketika perusahaan berperan menggantikan peran pemerintah untuk memenuhi segala kebutuhan. Bahkan kebutuhan yang mungkin tidak relevan dengan sistem produksi perusahaan. Kuadran public good ini berkebalikan dengan kuadran corporate social irresponsibilty. Kuadran corporate social irresponsibilty berisikan program-program yang menggunakan isu sosial sebagai bagian dari strategi peningkatan keuntungan. Salah satu contohnya adalah program bantuan beasiswa anak yatim sebesar 100 juta sedangkan biaya lounching program tersebut membutuhkan dana 400 juta. Kuadran yang ideal dalam CSR adalah enlightened self interest. Kuadran ini berisikan program CSR yang memberikan kebermanfaatan yang tinggi untuk perusahaan dan masyarakat. (-) Impact on Society (+) Kuadran tipologi CSR ii. Public goods i. Pathologies iv. enlightened self interest iii. corporate social irresponsibility (-) Impact on firm (+) Sumber :Fleming and Jones, 2013:100. 11 Mewujudkan CSR untuk memberikan kebermanfaatan yang optimal bagi perusahaan dan masyarakat tidak mungkin dilakukan ketika paradigma pengelolaan CSR masih bersifat insendental. CSR dilihat sebagai bentuk kedermawanan semata. Mekanisme dan prosedur tata kelola tidak dibangun sesuai dengan prinsip-prinsip managemen modern. Pelaksana program ditentukan atas dasar prinsip “siapa yang mau” bukan sebagai tanggungjawab yang melekat pada jabatan. Fenomena tata kelola CSR yang bersifat insendental terkuak dalam riset yang dilakukan oleh lembaga penelitian PIRAC. Studi PIRAC terhadap 226 perusahaan menunjukkan bahwa 60 persen perusahaan masih melakukan kegiatan CSR secata insendental, 31 persen secara berkala dan insendental, dan hanya 9 persen perusahaan yang melakukan secara terencana (Ibrahim, 2005). Data tersebut merupakan gambaran implementasi CSR di perusahaan- perusahaan di bagaimana organisasi Indonesia. Dominasi perusahaan-perusahaan di Indonesia melaksanakan program-program CSR secara insendental. Implementasi secara insendental dapat menjadi indikator bahwa CSR tidak ada perencanaan dalam pengelolaan program CSR. Dalam konteks pengembangan masyarakat (community development), pengelolaan CSR yang tidak disertai perencanaan yang baik akan menimbulkan persoalan di kemudian hari. Atas dasar fenomena-fenomena inilah, Jurusan Pembangunan Sosial memilih jalur pengembangan sistem untuk membangun CSR di Indonesia melalui sertifikasi Proper. Proper memberi ruang bagi jurusan Pembangunan Sosial untuk membangun sistem tata kelola pengembangan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip pemberdayaan. Sistem tata kelola pengembangan masyarakat ini tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 tahun 2014. Adapun aspek-aspek yang disyaratkan dalam proper mencakup ; 1. Komitmen top level management dan panduan tata kelola Komitmen pimpinan perusahaan menjadi titik yang krusial dalam upaya pengarusutamaan isu sosial dalam bisnis (Swanson, 2008:227). Sebagian 12 besar pimpinan perusahaan berasal dari luar disiplin ilmu-ilmu sosial. Oleh sebab itu sering terjadi perbedaan pemahaman dasar-dasar pengelolaan program sosial. Perbedaan inilah yang menyebabkan staf tidak mampu mewujudkan gagasan-gagasan ideal karena terbentur kewenangan pimpinan perusahaan. Untuk memastikan adanya komitmen pimpinan perusahaan, Proper mewajibkan adanya kebijakan tertulis mengenai CSR yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan. Selain itu, kebijakan juga dituangkan dalam dokumen yang menjadi panduan tata kelola pengembangan masyarakat perusahaan. 2. Struktur Organisasi pengembangan masyarakat Struktur organisasi merupakan “etalase” komitmen pengembangan masyarakat di perusahaan. Perusahaan yang berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat tentunya memiliki perangkat organisasi yang memadai. Proper mensyaratkan perusahaan memiliki struktur organisasi khusus untuk pengembangan masyarakat. Penataan struktur organisasi dapat berbasis geografi, sektoral maupun kombinasi keduanya. 3. Sistem pendanaan program pengembangan masyarakat Proper melihat daya dukung pendanaan program pengembangan masyarakat tidak hanya berbasis jumlah, melainkan juga tata alokasi program. Proper berdasarkan jenis mensyaratkan program pelaporan yakni; keuangan donasi/charity, dilakukan infrastruktur, pengembangan kapasitas dan pemberdayaan. 4. Basis data (social mapping) Perencanaan yang baik merupakan salah satu syarat menghasilkan kinerja yang baik. Kualitas perencanaan ditentukan oleh data-data yang digunakan. Proper mewajibkan perusahaan memiliki basis perencanaan pengembangan masyarakat yang terwujud dalam dokumen social mapping atau social based line study. Pemetaan sosial merupakan kegiatan untuk memahami secara lebih mendalam kondisi masyarakat di sekitar perusahaan. Aspek-aspek yang penting ada dalam pemetaan 13 sosial mencakup isu aktor-aktor strategis, potensi penghidupan berkelanjutan, masalah sosial, institusi sosial, dan rekomendasi program. 5. Perencanaan Proper mendefinisikan perencanaan dalam dua tahap yakni perencanaan jangka menengah dan jangka pendek. Perencanaan jangka menengah terwujud dalam dokumen rencana strategis lima tahun. Dokumen renstra ini memuat visi, misi, tujuan dan program yang akan dilaksanakan dalam lima tahun. Sedangkan perencanaan jangka pendek diwujudkan dalam bentuk rencana kerja tahunan. Proper mensyaratkan rencana kerja tahunan mencakup aspek nama program, indikator, anggaran, jadwal dan penerima program. 6. Implementasi Proper mendorong implementasi program pengembangan masyarakat dilakukan dengan prinsip kemitraan. Perusahaan diminta untuk berkolaborasi dengan pemerintah dan LSM dalam melaksanakan program. Ketentuan ini diharapkan merubah relasi perusahaan dengan LSM yang cenderung bersifat konflik menuju kolaboratif (Yaziji, 2009). Kolaborasi antar pihak ini penting untuk memastikan keberlanjutan program pengembangan masyarakat. 7. Monitoring dan evaluasi Program pengembangan masyarakat merupakan kegiatan yang dapat diukur sesuai dengan kaidah-kaidah metode penelitian. Pemahaman inilah yang ingin disampaikan melalui kriteria monitoring dan evaluasi Proper. Proper mewajibkan setiap perusahaan untuk melakukan monitoring dan evaluasi program tidak hanya pada aspek pendanaan, melainkan juga aspek indikator, ketepatan sasaran dan jadwal implementasi. Selain aspek-aspek di atas, Proper juga mendorong perusahaan melaksanakan pemantauan pasca program “care after program”. Pemantauan ini mencakup implementasi pengetahuan dan atau ketrampilan yang sudah diberikan melalui program comdev. Pemantauan ini diharapkan menemukan “local hero” yang sukses 14 menerapkan pengetahuan dan atau ketrampilan oleh dirinya sendiri serta mampu mengajarkan ke orang lain. 8. Publikasi dan penghargaan Banyak kisah sukses kolaborasi perusahaan dan masyarakat berlalu sebatas pengalaman saja. Padahal kisah-kisah sukses ini potensial menginspirasi orang-orang untuk menciptakan perubahan bagi lingkunganya. Dalam konteks inilah, Proper mendorong perusahaan untuk menerbitkan buku-buku terkait dengan program pengembangan masyarakat. Buku merupakan jendela inspirasi dunia. Semakin banyak buku yang diterbitkan semakin memperluas inspirasi-inspirasi untuk pengembangan masyarakat. Selain buku, proper juga menghargai perusahaan-perusahaan yang memperoleh penghargaan atas kinerja program pengembangan masyarakat dari institusi pemerintah dan non pemerintah. Penutup Corporate Social Responsibility (CSR) telah menjadi bagian penting dalam relasi perusahaan, masyarakat dan negara. Pemerintah Indonesia memilih menggunakan pendekatan command and control dalam mengelola CSR. Konsekuensinya adalah lahirnya beberapa regulasi yang menjadikan CSR sebagai bentuk kewajiban terhadap perusahaan-perusahaan tertentu. Regulasi yang bersifat memaksa ini sukses untuk menghadirkan programprogram CSR di tengah masyarakat. Namun belum optimal untuk membangun sistem CSR yang sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dan sejalan dengan nilai-nilai pemberdayaan. Hal ini terjadi karena regulasi-regulasi yang ada tidak cukup menjadi acuan bagi perusahaanperusahaan untuk membangun sistem CSR. Kekosongan acuan inilah yang menginspirasi Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan untuk turut mewarnai pengembangan sistem CSR di Indonesia. Upaya pengembangan sistem CSR tidak cukup hanya dilakukan melalui kajian-kajian akademis di kampus, melainkan juga dibutuhkan strategi advokasi kebijakan. Program penilaian peringkat kinerja perusahaan 15 (Proper) yang dikeluarkan Kementrian Lingkungan Hidup menjadi sarana yang strategis untuk membangun sistem CSR di Indonesia. Pada tahun 2013, sistem CSR yang dibangun PSDK diikuti oleh 1812 perusahaan yang mengikuti sertifikasi proper. Pengembangan sistem ini merupakan salah satu bentuk advokasi pengembangan sistem CSR di Indonesia. Tentunya sistem CSR yang memberi kebermanfaatan optimal bagi masyarakat, perusahaan dan negara. Daftar Pustaka. Fleming Peter and Marc T Jones. (2013). The end of Corporate Social Responsibility; Crisis and Critique. London. Sage Publication. Ibrahim, Rustam. 2005. Bukan Sekedar Berbisnis; Keterlibatan Perusahaan dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal PIRAC edisi Juli 2005. Peraturan Menteri LIngkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2014 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Terhadap Lingkungan Hidup. Savitz, Andrew, W (2006). The Triple Bottom Line. New Jersey: John Wiley & Sons. Inc. Shaw, William. (2009). Marxism, Business Ethics, and Corporate Social Responsibility. Journal of Business Ethics. Swanson, Diane. (2008). Top Managers as Drivers for Corporate Social Responsibility. Dalam Andrew (eds). The Oxford Handbook of Corporate Social Responsibility. Oxford. Oxford University Press. Yaziji, M and Jonathan. (2009). NGOs and Corporations; Conflict and Collaboration. Cambridge. Cambridge University Press. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 16