KOMUNIKASI VERBAL DALAM ELONG UGI ONGKONA BONE

advertisement
KOMUNIKASI VERBAL DALAM ELONG UGI
ONGKONA BONE (MATE COLLI) DAN LABUNI ESSOE
(VERBAL COMMUNICATION IN ELONG ONGKONA BONE
AND LABUNI ESSOE)
Oleh: Johar Amir
Universitas Negeri Makassar
Abstract
Elong Ongkona Bone and elong Labuni Essoe come from district Bone that expressed by the
speakers to verbally communicate their by the speakers to verbally communicate their feelings to
loved ones. This paper aims to reveal the forms of verbal communication through the lyrics of
Elong Ongkona Bone and Labu’ni Essoe.
Technique of data collecting is done through technical documentation, hearing, and
observation. The results of Elong Ongkona Bone’s research expressed the sad feeling of the wife
seeking her husband on the battlefield. Elong Labu’ni Essoe expressed of longing of the wife
awaiting the arrival of the husband who did not come.
Kata Kunci: Komunikasi verbal, elong, Mate Colli, Labukni Essoe, dan perasaan cinta.
1.
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk sosial saling memerlukan antara yang satu dengan yang lain.
Jalinan itu dibina melalui saluran penting yaitu proses komunikasi. Salah satu alat komunikasi
yang digunakan untuk menjalin komunikasi antara kelompok masyarakat adalah bahasa.
Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan yang terampil dari
manusia. Manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial apabila tidak berkomunikasi dengan
cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud, serta emosi yang dinyatakan
dalam simbol-simbol dengan orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, Pauley (dalam Liliweri 2007) mengemukakan definisi khusus
atas komunikasi, setelah membandingkan tiga komponen yang harus ada dalam sebuah peristiwa
komunikasi, yaitu (1) transmisi informasi, (2) transmisi pengertian, (3) menggunakan simbolsimbol yang sama. Selanjutnya dirumuskan bahwa komunikasi merupakan suatu proses
penyampaian pesan yang melibatkan pembicara dan penerima yang berbeda bergantung pada jenis
dan konteks komuniaksi. Dengan kata lain, unsur-unsur komuniksi berperan menempati
kedudukan masing-masing selama berlangsungnya proses komunikasi.
Bahasa sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi sosial ada yang berbentuk verbal dan
nonverbal. Kedua bentuk ini saling terkait dalam proses pertukaran pesan seperti yang
dikemukakan oleh Barnett (dalam Gudykunst, 2003), bahwa komunikasi dapat didefinisikan
sebagai suatu proses yang informasinya berubah-ubah antara dua atau lebih sistem sosialnya.
Selanjutnya, Pearson dan Nelson (2000) melihat kepentingan bahasa ini berfungsi selama proses
komunikasi bahasa yang dimaksud yaitu bahasa adalah suatu kode dari simbol-simbol tulisantulisan atau kata-kata yang bermakna arbitrer yang ditata sebagai aturan dari sintaksis dan
digunakan untuk berkomunikasi.
Sehubungan dengan hal tersebut elong ugi sebagai karya sastra merupakan sarana komunikasi
verbal yang digunakan oleh masyarakat Bugis pada zaman dahulu dan hingga sekarang. Pikiran
dan perasaan tidak disampaikan secara langsung melalui makna harafiah, tetapi dikomunikasikan
secara verbal melalui lirik lagu. Hal itu sekaligus berfungsi sebagai hiburan baik bagi
pendengarnya maupun bagi pelantunnya. Elong Ugi hingga sekarang tetap dihargai dan dikagumi
keindahan liriknya oleh masyarakat Bugis. Sayangnya, akibat modernisasi dan era globalisasi
elong ugi kurang dimasyarakatkan sehingga generasi muda hampir-hampir tidak mengenal
keindahan lantunan elong ugi.
Oleh karena itu, penulis merasa perlu mengungkap bentuk-bentuk komunikasi verbal yang
terdapat dalam elong Mate Colli (Ongkona Bone) dan elong Labuni Essoe. Pemilihan kedua elong
tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa keduanya diciptakan di Kabupaten Bone yang
masyarakat penuturnya dikenal sebagai penutur dialek Bugis baku yaitu dialek Palakka.
Selanjutnya, elong Mate Colli dilantunkan ketika dilaksanakan upacara pada tingkat daerah
Kabupaten Bone, sedangkan elong labuni essoe sebagai lagu pelipur lara seorang isteri yang
ditinggal oleh sang suami dan sebaliknya, anak yang ditinggal oleh orang tuanya, dan orang yang
ditinggal oleh orang-orang yang disayanginya, serta orang yang rindu akan kampung halamannya.
2.
KOMUNIKASI VERBAL
Secara umum komunikasi dapat dibagi ke dalam dua aspek yaitu aspek verbal (lisan) dan
aspek nonverbal (bukan lisan), serta ada yang menggunakan kode (simbol) bahasa, ada pula yang
tidak menggunakan simbol bahasa. Komunikasi verbal diwakili oleh lambang-lambang tuturan,
sedangkan aspek nonverbal meliputi kinesik, paralinguistik, dan gambar. Berikut ini dikemukakan
tabel yang menunjukkan komunikasi verbal dan nonverbal.
Tabel
Saluran dan Kode Komunikasi
Saluran
Lisan
Kod
Bukan Lisan
Bahasa
Bahasa lisan
Bahasa tulisan, bahasa isyarat, bahasa
wisel/dram, Kod Morse
Tanpa Bahasa
Fitur-fitur paralinguistik
dan prosodi
Kinesik, proksemik, gerakan mata,
gambar kartun
(Sumber: Daud, 2010)
Sehubungan dengan hal tersebut, Sapir (dalam Neulip, 2003) memperlihatkan hubungan
yang erat antara bahasa dan budaya, yaitu jaringan dari bentuk-bentuk budaya yang telah
diekspresikan ke dalam peradaban dalam suatu bahasa. Bahasa merupakan penuntun menuju pada
kenyataan sosial. Manusia sebagai mahluk sosial tentu tidak dapat berdiri sendiri di dunia ini,
tetapi bahasa merupakan anugrah bagi manusia karena dapat menjadi alat ungkapan dalam
kehidupan sosialnya.
Lebih lanjut Levi-Strauss mengatakan bahwa bahasa merupakan suatu kondisi budaya, dan
ini berlaku dalam dua hal. Bahasa adalah kondisi budaya secara diakronis, karena melalui
bahasalah manusia mengenal budayanya sendiri, manusia mendidik anak-anaknya, diberi ucapan
selamat juga melalui bahasa. Akan tetapi dari titik pandang yang jauh lebih teoretis bahasa dapat
pula dikatakan sebagai kondisi budaya karena bahan pembentuknya berasal dari jenis yang sama
dengan bahaan pembentuk budaya sebagai suatu keseluruhan.
Oleh karena itu, bahasa dan budaya mencerminkan masyarakat penuturnya. Masyarakat
Indonesia yang dikenal dengan adat ketimurannya dikategorikan sebagai masyarakat yang
mengamalkan budaya konteks tinggi, yaitu masyarakat yang menggunakan bahasa dengan makna
tersirat (nonliteral). Berdasarkan hal itu, ada enam kriteria yang perlu diperhatikan sebagai tanda
terwujudnya kategori budaya tersebut.
(1) Budaya dibentuk berasaskan keperluan dan matlamat kumpulan
(2) Tindakan dikawal oleh norma kumpulan
(3) Identiti kumpulan yang tinggi
(4) Cara berkomunikasi tidak terus, ada unsur-unsur berslindung atau cakap bealas
(5) Mementingkan empati, yaitu cobaan untuk memahami perasaan orang lain.
(6) Makna komunikasi bergantung pada keadaan atau situasi (Daud, 2010).
3.
METODE
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif kualitatif, di samping itu, penelitian ini
merupakan penelitan kepustakaan, sehingga dalam pelaksanaannya dilakukan dengan
menggunakan teknik pengumpulan data yaitu teknik baca, simak dan pencatatan. Adapun analisis
data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menata secara sistematis data yang berhubungan
dengan variabel yang diteliti.
4.
KOMUNIKASI VERBAL DALAM ELONG UGI
Elong Mate Colli atau Ongkona Bone tersusun dari syair-syair/kalimat yang menggunakan
huruf lontara atau bahasa Bugis. Lagu tersebut telah disepakati sebagai lagu wajib bagi masyarakat
Kabupaten Bone baik di tingkat sekolah maupun masyarakat umum. Lagu tersebut biasanya
dinyanyikan dalam kegiatan seremonial seperti peringatan hari jadi Kabupaten Bone atau pada
kegiatan lomba yang diselenggarakan di sekolah-sekolah. Lagu ongkona Bone hingga saat ini
belum diketahui dengan pasti kapan diciptakan dan siapa penciptanya. Namun, jika dibedah
bahasanya serta dihubungkan dengan sejarah, maka kemungkinan besar lagu tersebut tercipta
sekitar tahun 1905 yaitu pada saat terjadinya perang antara kerajaan Bone melawan pasukan
Belanda. Ribuan laskar kerajaan Bone yang gugur dalam pertempuran itu. Sepanjang pantai Teluk
Bone di serang habis-habisan oleh tentara Belanda. Oleh karena persenjataan tidak seimbang,
tentara Belanda berhasil menguasai kerajaan Bone. Jatuhnya kerajaan Bone inilah yang dikenal
dengan peristiwa Rumpa’na Bone.
Elong Ongkona Arung Pone seperti yang telah diuraikan di atas, merupakan bentuk
komunikasi verbal masyarakat Bone waktu itu yang terjalin dari syair-syair yang mengandung
makna, nilai, dan nasihat yang sangat dalam. Syair lagu tersebut dikomunikasikan secara verbal
diuraikan seperti yang berikut ini.
a. Elong Ongkona Bone (Mate Colli)
O ... mate colli, mate colli ni wartue
(Pohon waru/kubba menjadi mati. Pohon kubba mempunyai ranting dan bergetah. Zaman
dahulu digunakan sebagai pengeriting rambut).
Ri toto baja-baja alla, ritoto baja-baja alla ...
(Setiap saat di pangkas)
O ... macilaka, macilaka kembongeng
(Celakalah penggulung rambut)
Nappai ri bola-bola alla, nappai ri bola-bola alla ...
(Baru di bentuk-bentuk)
Namate puangna
(Puangna bermakna simbolik artinya pohon kubba/waru mati karena setiaap saat dipangkas
dijadikan penggulung rambut)
O ... taroni mate, taroni mate puangna
(Biarlah mati, biarlah mati pohon kubba)
Iyapa upettu rennu alla iyapa upettu rennu alla
(Barulah putus harapan dan menyerah)
Kusapupi mesanna
(Bila kupegang batu nisannya)
Larik pertama o ... mate colli mate collini warue, larik ini diungkapkan kepada
khalayak dengan menggunakan simbol pohon waru (kubba). Pada zama dahulu ranting pohon
waru dijadikan sebagai penggulung rambut agar menjadi keriting. Pelantunnya bermaksud
mempercantik dirinya setelah sang suami kembali dari medan pertempuran. Selain itu, pohon
waru sangat lebat daunnya sehingga dapat dijadikan sebagai tempat berteduh dari hujan dan
teriknya panas matahari. Dengan demikian melalui simbol pohon waru secara tidak langsung
ingin dikomunikasikan bahwa pohon waru yang dijadikan sebagai pengeriting rambut rambut
untuk mempercantik diri serta sebagai tempat berteduh telah layu dan mati.
Selanjutnya pada larik kedua diungkapkan lagi ritoto baja-baja alla ritoto baja-baja
alla. Pelantunnya bermaksud menyampaikan bahwa pohon waru itu mati karena sering
dipangkas untuk dijadikan sebagai penggulung rambut. Larik tersebut diungkapkan dengan
bentuk berulang untuk lebih menegaskan maksud pelantunnya. Lalu dilanjutkan dengan
ungkapan pada larik ketiga o... macilaka, macilakani kembongeng. Dikatakan bahwa celaka,
celakalah, namun yang dikatakan celaka adalah penggulung rambut karena pohonnya sudah
mati. Larik ini juga menggunakan bentuk berulang. Sebenarnya yang dimaksud dengan celaka
di sini terkait dengan diri pelantun, karena tidak dapat menggulung rambutnya lagi.
Larik keempat nappai ri bola-bola, nappai ri bola-bola. Larik ini kembali diungkapkan
dengan bentuk berulang. Maksudnya, baru dibentuk. Secara tersirat sebenarnya yang ingin
dikomunikasikan bahwa pelantun lagu ini baru saja memulai untuk mempercantik diri pohon
warunya sudah mati melalui ungkapan pada larik kelima namate puangna. Sebenarnya matinya
pohon waru itu sebagai pertanda bahwa suaminya juga telah gugur di medan pertempuran,
sehinnga rumah tangga yang baru saja dibentuk sudah tidak dapat dilanjutkan lagi.
Selanjutnya larik keenam diungkapkan o ... taroni mate, taroni mate puangna.
Pelantun lagu ini mengungkapkan kepasrahannya menerima kenyataan bahwa pohon waru
yang sangat bermanfaat bagi dirinya telah mati dan juga merupakan pertanda bahwa suaminya
juga telah tiada. Pertanda gugurnya suaminya di medan pertempuran tidak membuat dia
berputus asa dan putus harapan. Hal tersebut diungkapkan pada larik ketujuh iyapa upettu
rennu alla iyapa upettu rennu artinya barulah ia berputus asa dan menyerah bila ia telah
mengusap batu nisan suaminya. Sesuai dengan yang diungkapan pada larik kedelapan
(terakhir) kusapupi mesanna.
Elong Ongkona Bone (Mate Colli) terdiri atas tiga bagian, yaitu bait pertama dan
kedua bermakna simbolis sedangkan bait ketiga mengandung makna semangat. Lagu ini
menggambarkan kemampuan seseorang berekspresi dalam mengomunikasikan buah pikiran
dan perasaannya.
Pada dasarnya nasihat yang terkandung dalam syair elong Ongkona Bone,
meliputi (1) jangan mudah mempercayai informasi yang kurang jelas dan tidak bertanggung
jawab, (2) setiap pekerjaan harus dilandasi dengan semangat, (3) syair lagu merupakan
ungkapan cipta, rasa, dan karsa.
b. Labuni Essoe
Labuni essoe turunni uddanie
Wettunnani massenge' ri tau mabelae
Telah rembang petang telah datang kenangan
Saatnya kukenang tentang angkau di kejauhan
Mabelani laona tengnginana taddewe'
Tekkarebanna pole, teppasenna pole
Sungguh jauh engkau pergi melupakan pulang
Tak ada kabar datang, tak ada pesan datang
Waseng magi muonro ri dolangeng
Temmulettutona temmurewetona
Gerangan mengapa engkau tinggal di angan-angan
Sampai tak sampai, kembali tak kembali
Iyami ripuada idi tea iyya tea
Idi temmadampe iyya temmasenge
Idi temmadampe iyya temmasenge
Begini saja kita katakan: engkau tak ingin, aku tak ingin
Engkau tak menyebut namaku, aku melupakan namamu
Engkau tak menyebut namaku, aku melupakan namamu
Ajamua mupakkua menreppa ri cempae
Uanrei buana na mecci elo'mu
Uanrei buana na mecci elo'mu
Tetapi janganlah engkau lakukan, jika kupanjat pohon asam
Dan aku cicipi buahnya akan mengalir air liur dari bibirmu
Dan aku cicipi buahnya akan mengalir air liur dari bibirmu
Mecci elo manre cempa
Waena kalukue mappasau-sau dekka
Waena kalukue mappasau-sau dekka
Jika kering liurmu ingin mencicipi buah asam
Segelas air kelapa menghapus seluruh haus
Segelas air kelapa menghapus seluruh haus
Artinya:
Telah Rembang Petang
Bait pertama pada elong tersebut diungkapkan, labuni essoe, turunni uddanie berarti
mata hari telah terbenam, dan mulai masuk waktu petang. Saat seperti itu biasanya kenangan
datang menghampiri orang-orang yang terpisah dengan orang yang dikasihinya. Hal itu
tampak pada ungkapan Wettunnani massenge, ri tau mabelae” : ‘saatnya kukenang tentang
engkau dari kejauhan’.
Selanjutnya bait kedua dingkapkan lagi, mabelani laona tengnginana taddewe,
berarti: sungguh jauh ia telah pergi, tak mau kembali lagi’; Hal itu dibuktikan dengan
ungkapan Tekkarebanna pole, teppasenna pole, artinya: ‘ kabarnya tak ada, pesan pun tak
ada’. Maksud pelantunnya, seseorang yang dikasihinya telah pergi jauh, tak akan pernah
kembali lagi, baik berupa kabar, maupun pesan tak pernah ada.
Lebih lanjut pada bait ketiga:, waseng magi muonro ri dolangeng, artinya:’ mengapa
gerangan engkau tinggal di angan-angan’; temmulettutona temmurewetona”, artinya: ‘engkau
tak sampai, juga tak kembali’. Maksudnya: mengapa gerangan engkau tinggal dalam anganangan, engkau tak pernah sampai, begitu pula tak pernah kembali.
Bait keempat:, diungkapkan lagi iyami ripuada idi tea iyya tea, artinya: ‘begini saja
kita katakan; engkau tak ingin, aku juga tak ingin’.“ Rupanya pelantun elong ini sudah mulai
tidak menunjukkan kesabarannya, lalu dikatakan, kalau engkau tidak mau saya juga tidak mau.
Lebih lanjut dikatakan lagi, idi temmadampe iyya temmasenge, artinya: ’engkau tak menyebut
namaku, aku melupakan namamu’. Maksudnya, bila engkau tak menyebut namaku, aku juga
akan melupakanmu. Larik ini menunjukkan ciri khas masyarakat Bugis masing-masing ingin
menunjukkan jati dirinya. Larik ini diulang dua kali agar lebih jelas maksudnya.
Selanjutnya, dalam bait kelima diungkapkan, ajamua mupakkua menreppa ri cempae
artinya: janganlah engkau berbuat seperti itu, jika kupanjat pohon asam; uanrei buana na
mecci elo'mu, ‘artinya: aku cicipi buahnya akan mengalir air liur dari bibirmu’; uanrei buana
na mecci elo'mu . Bait ini memiliki makna simbolik. Pohon asam itu tinggi dan besar. Hal ini
diibaratkan pada seseorang yang memiliki kedudukan yang tinggi, banyak orang yang tergiur
melihatnya. Maksud bait ini adalah manusia tidak boleh bebuat seenaknya terhadap
sesamanya, apalagi terhadap orang yang pernah dikasihinya. Tidak menutup kemungkinan
orang yang tersakiti menjadi orang yang hebat dan berkedudukan tinggi sehingga menjadi
terpandang di masyarakat.
Bait keenam, diungkapkan mecci elo manre cempa, jika meleleh air liurmu ingin
mencicipi buah asam, dilanjutkan dengan ungkapan waena kalukue mappasau-sau dekka,
‘segelas air kelapa akan menghapus seluruh dahaga, waena kalukue mappasau-sau dekka
Larik ini diulang dua kali dengan maksud lebih mempertegas maksudnya. Ungkapan ini juga
memiliki makna simbolik. Maksud sebenarnya adalah, suatu ketika orang yang ditinggal itu
berhasil menjadi orang terpandang pasti engkau akan tergiur melihatnya. Penawar
ketergiurannya itu adalah mencari sesuatu yang dapat menyenangkan hati juga.
5.
PENUTUP
Komunikasi verbal tidak selamanya disampaikan melalui ujaran yang bermakna
leksikal. Akan tetapi, maksud seseorang dapat pula diungkapkan melalui lagu. Seperti halnya
yang terjadi dalam masyarakat Bugis menggunakan Elong Ongko’na Bone dan Labuni Essoe
sebagai sarana menyampaikan buah pikiran dan perasaan. Dalam lagu itu diungkapkan
perasaan rindu terhadap orang yang dikasihi dengan menggunakan simbol-simbol alam.
Manusia memang tidak dapat dipisahkan dengan sifat ingin dikasihi, disayangi, maupun
dicintai. Hal tersebut lumrah dalam kehidupan dan fitrah kejadian manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Budhi Santoso, S. 1990. Wasiat-wasiat dalam Lontarak Bugis. Jakarta: Direktorat Jenderal
Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Daud, Noriza. 2010. “Komunikasi Verbal dalam Pantun Kasih Sayang.” Proceedings Internasional
Seminar. Thailand.
Gudykunst, William B. (ed.). 2003. Cross-Cultural and Intercultural Communication. London:
Sage Publications Ltd.
Liliweri, Alo. 2007. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mattalitti, M. Arief. 1998. Pappaseng To Riolota (Wasiat orang dulu). Jakarta: Depdikbud.
Mattulada. 1985. Latoa (Suatu Lukisan Analisis Antropologi Politik Orang Bugis). Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
M.G. Andi Muin. 1994. Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis Makassar dan Sirik na Pacce. Ujung
Pandang: Makassar Press.
Mursalim. 2002. Seni Budaya Teluk Bone. Makassar: PT. Cinta Ilmu.
Neuliep, James W. 2003, Intercultural Communications: A Contextual Approach. Bostan:
Houghton Mifflin.
Pearson, Judy C., & Nelson, Paul E. 2000. An Introduction to Human Communication:
Understanding and Sharing. USA: McGraw Hill.
Rahim, A. Rahman. 1992. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin
University
Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial. Surabaya: Pustaka Eureka.
Sikki, Muhammad dkk. 1998. Nilai dan Manfaat Pappaseng dalam Sastra Bugis. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Download