SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) DI PERAIRAN SELATAN SULAWESI TENGGARA SEA SURFACE TEMPERATURE AND ITS RELATION WITH YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacores) CATCH AT SOUTHEAST SULAWESI SOUTHERN WATERS ABSTRACT The objective of this study was to find out the relation of Sea Surface Temperature (SST) and Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) Catch Per Unit Effort (CPUE) especially in Southeast Sulawesi Southern Waters. Study was conducted from February to June 2004. SST and CPUE relation determined by descriptive analysis to dominant SST and monthly catch graphic. Degrees of relation measured by Correlation Analysis (r). The result of this study indicates that big yellowfin tuna (> 10 kg/individu) has no obvious relation with SST, but small tuna (< 10 kg/individu) has significant relation with SST. Maximum CPUE obtain in dominant SST of 27,11°C. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara Suhu Permukaan Laut (SPL) dan hasil tangkapan per unit usaha madidihang (Thunnus albacores) khususnya di perairan selatan Sulawesi Tenggara. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2004. Hubungan SPL dan CPUE ditentukan melalui analisis deskriptif terhadap grafik SPL dominan dan hasil tangkapan bulanan. Derajat hubungan dihitung dengan menggunakan Analisis Korelasi (r). Berdasarkan hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa hubungan SPL dan CPUE bulanan madidihang besar (ukuran lebih dari 10 kg per ekor) tidak memiliki pola yang jelas, sedangkan madidihang kecil (ukuran kurang dari 10 kg per ekor) mempunyai hubungan yang signifikan dengan SPL. Penurunan SPL akan diikuti oleh peningkatan CPUE bulanan madidihang kecil, di mana CPUE tertinggi diperoleh pada SPL dominan 27,11°C. PENDAHULUAN Tuna adalah jenis ikan pelagis besar yang penyebarannya hampir meliputi seluruh perairan Indonesia. Pada umumnya ada empat jenis tuna yang terpenting di Indonesia yaitu madidihang, tuna mata besar, albakor dan tatihu/tuna sirip biru selatan. Dari keempat jenis tersebut madidihang pada umumnya merupakan jenis yang dominan di daerah tropis termasuk Indonesia. Madidihang (Thunnus albacares), merupakan salah satu sumberdaya ikan unggulan di Sulawesi Tenggara dengan daerah penangkapan di bagian selatan Kabupaten Buton. Sebagai jenis ikan pelagis besar, madidihang melakukan ruaya untuk melengkapi daur hidupnya. Banyak faktor yang mempengaruhi ruaya dan keberadaan tuna dalam suatu perairan, di antaranya adalah suhu dan kesuburan perairan. Distribusi ikan pelagis seperti madidihang dapat diprediksi melalui analisis suhu optimum yang diketahui dan perubahan-perubahan suhu permukaan laut secara bulanan (Laevastu dan Hela 1970). Demikian pula suhu dan perubahan- perubahannya sering merupakan indikator bagi kondisi dan perubahan-perubahan lingkungan yang dapat mempengaruhi distribusi ikan secara langsung. Penelitian tentang berbagai karakter oseanografi dan hubungannya dengan sebaran maupun hasil tangkapan madidihang telah banyak dilakukan. Penelitian tersebut kebanyakan di luar wilayah perairan Indonesia atau di wilayah lintang sedang antara lain penelitian tentang suhu permukaan laut serta hubungannya dengan hasil tangkapan oleh Saito (1973) diacu dalam Burhanuddin (1984) di Pasifik Utara, Power dan May (1991) di Teluk Meksiko Bagian Barat dan lain-lain. Di Indonesia penelitian tentang karakter oseanografi dan hubungannya dengan hasil tangkapan tuna masih terbatas dan utamanya berlokasi di Samudera Hindia (Lumban Gaol 2003; Halim 2005) atau di sekitar Laut Sulawesi dan daerah kepala burung Irian Jaya (Waas 2004). Sedangkan penelitian di laut pedalaman seperti Laut Flores bagian timur masih sangat terbatas, padahal secara ekologis perairan ini memiliki arti yang sangat penting karena menurut Suda (1971) diacu dalam Burhanuddin (1984) perairan pedalaman Indonesia, di sekitar Laut Flores dan Laut Banda (Nontji 1993), kemungkinan merupakan tempat berbaur madidihang dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik atau tempat melintasnya madidihang. Saat ini pengukuran suhu permukaan laut telah dipermudah oleh adanya teknologi penginderaan jauh yang dapat menyiam areal permukaaan laut secara sinoptik untuk mendeteksi perubahan-perubahan fisik permukaan laut yang sangat dinamis. Citra satelit sebagai salah satu pengembangan teknologi deteksi suhu permukaan laut (SPL) telah digunakan sebagai acuan dalam pendeteksian daerah penangkapan ikan. Namun dalam kasus daerah penangkapan madidihang, perlu adanya kehati-hatian dalam penggunaan citra. Hal ini penting untuk diperhatikan karena nilai SPL yang diperoleh dari citra satelit hanya mengukur suhu pada bagian permukaan laut sampai kedalaman 0,1 milimeter saja, sedangkan madidihang merupakan spesies pelagis yang tidak menetap tepat di bawah permukaan laut tetapi menyebar ke dalam kolom air sampai di bagian atas termoklin. Kenyataan tersebut mendasari perlunya penelitian tentang hubungan antara SPL dengan keberadaan ikan yang dinyatakan dengan hasil tangkapan madidihang. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di perairan bagian selatan Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara di sekitar 5o00’-6o30’ LS dan 122o00’-124o00’ BT pada bulan Februari Juni 2004. Analisis citra SPL dilaksanakan di Laboratorium Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Laboratorium Penginderaan Jauh SEAMEO Biotrop Ciawi. Data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 yaitu data pendaratan ikan setiap bulan yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan pengumpul dan pengolah tuna di Kabupaten Buton dan data SPL dari citra satelit NOAA-16/AVHRR yang berorbit sekitar jam 12.00-15.00, diperoleh dari LAPAN Jakarta. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : (1) Citra LAC satelit NOAA-16/AVHRR bulan Januari 2002- April 2004. (2) Data hasil tangkapan pancing tonda bulan Januari 2002-April 2004 (3) Software Ermapper versi 5.5 untuk pengolahan citra (4) Software Mapinfo Professional versi 7.0 untuk aplikasi SIG (5) Software SPSS versi 11 untuk analisis statistik (6) Software Microsoft Excel untuk input data dan pembuatan grafik (7) Global Positioning System (GPS) tipe Garmin 2000 untuk penentuan posisi daerah penangkapan. Hubungan antara SPL dan hasil tangkapan madidihang dikaji melalui analisis deskriptif terhadap grafik SPL dominan dan hasil tangkapan bulanan. Bentuk persamaan regresi Y atas X yang paling cocok dengan keadaan data ditentukan berdasarkan pola titik-titik dalam diagram pencar (Sudjana 2002). Untuk menentukan derajat hubungan antara variabel-variabel maka dilakukan Analisis Korelasi. Derajat hubungan dinyatakan dengan nilai Koefisien Korelasi (r). Koefisien Korelasi (r) merupakan akar dari Koefisien Determinasi (R2). 2 ∑ (Yi – Y)2 - ∑ (Yi – Ŷ)2 R = ………………………………………….(4) 2 ∑ (Yi – Y) di mana : Y = rata-rata variabel Y Ŷ = nilai Y dari Persamaan Regresi (Persamaan 3) R2 = Koefisien Determinasi Kisaran nilai Koefisien Korelasi -1 ≤ r ≤ +1 dan Koefisien Determinasi 0 ≤ R2 ≤ 1. HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan SPL dan Hasil Tangkapan Madidihang Penangkapan tuna di perairan selatan Sulawesi Tenggara utamanya menggunakan alat tangkap huhate dan pancing tonda. Penelitian ini difokuskan pada hasil tangkapan tuna dengan menggunakan pancing tonda. Perikanan pancing tonda di Kabupaten Buton yang berbatasan langsung dengan daerah penelitian memberikan kontribusi rata-rata 44,32% dalam produksi tuna di daerah ini. Unit penangkapan pancing tonda di Kabupaten Buton dari tahun 1999 sampai tahun 2002 mengalami perkembangan yang cukup signifikan rata-rata sebesar 46,85% per tahun. madidihang tidak Di lain pihak, produksi tuna yang didominasi oleh jenis menunjukkan peningkatan yang berarti seiring dengan pertambahan armada pancing tonda tersebut (Tabel 1). Tabel 1 Hasil Tangkapan (Ton), CPUE (Kg/Unit Alat) dan Jumlah Alat Tangkap (Unit) Pancing Tonda, 1997-2002 TAHUN 1997 1998 1999 2000 2001 2002 ALAT TANGKAP (Unit) * * 430 670 927 1357 HASIL TANGKAPAN (Ton) 279,9 287,7 292,3 280,0 289,9 333,1 CPUE (Kg/Unit Alat) 679,77 417,91 312,73 245,47 * Tidak ada Data. Sumber : Data Diolah dari Dinas Perikanan Kabupaten Buton, 2004. Data hasil tangkapan madidihang untuk keperluan analisis hubungan SPL dan hasil tangkapan diperoleh dari perusahaan-perusahaan pengumpul dan pengolah yang beroperasi di daerah penelitian. Perusahaan ini membeli hasil tangkapan nelayan yang beroperasi di daerah penangkapan sekitar lintang 5o30’-7o00’ Selatan dan bujur 121o00’-124o00’ Timur di antara Laut Flores dan Laut Banda yang merupakan daerah penangkapan tuna bagi nelayan dari Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Penangkapan tuna di Laut Flores bagian selatan Sulawesi Tenggara ini dapat dilakukan sepanjang tahun. Namun demikian hasil tangkapan yang didaratkan mengalami fluktuasi sepanjang tahun. Total produksi bulanan yang dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan pengumpul dan pengolah hasil perikanan di Kabupaten Buton disajikan pada Gambar 1. 25000.0 HASIL TANGKAPAN (KG) 20000.0 15000.0 10000.0 5000.0 Ja nFe 02 bM 02 ar Ap 02 r-0 M 2 ei Ju 02 n0 Ju 2 lAg 02 s Se -02 pO 02 kt N -02 ov D -02 es Ja 02 nFe 03 bM 03 ar Ap 03 r-0 M 3 ei Ju 03 n0 Ju 3 lAg 03 s Se -02 pO 03 kt N -03 ov D -03 es Ja 03 nFe 04 bM 04 ar Ap 04 r-0 4 0.0 BULAN >10 KG <10 KG Gambar 1 Grafik Total Produksi Bulanan Madidihang (Kg) dengan Berat Lebih dari 10 Kg/Ekor dan Kurang dari 10 Kg/Ekor Total produksi bulanan madidihang di perairan selatan Sulawesi Tenggara ini berfluktuasi sepanjang tahun baik untuk madidihang dengan ukuran di atas 10 kg/ekor (madidihang besar) maupun madidihang dengan ukuran di bawah 10kg/ekor (madidihang kecil). Pembedaan ukuran madidihang ini berdasarkan kondisi permintaan pasar. Dalam proses pembelian, madidihang besar dihitung berdasarkan jumlah individu sedangkan madidihang kecil dihitung berdasarkan jumlah kilogram secara keseluruhan. Dari pengukuran panjang ikan yang dilakukan, berdasarkan tabel umur ikan oleh Sivasubramaniam (1965) dan Junichi (1981) diduga bahwa ikan dengan berat di bawah 10 kg/ekor umumnya berumur di bawah satu tahun atau termasuk ikan yang belum dewasa atau dewasa awal. Sedangkan yang madidihang dengan berat lebih dari 10 kg/ekor adalah madidihang yang telah dewasa. Berdasarkan grafik pada Gambar 4, nampak bahwa musim puncak madidihang ukuran lebih dari 10 kg/ekor umumnya terjadi dua kali setahun yaitu pada bulanbulan Maret sampai awal Mei dan sekitar bulan Agustus sampai November. Sedangkan musim paceklik terjadi antara bulan Januari dan Februari serta pada awal Juni sampai bulan Juli. Musim puncak untuk madidihang ukuran kurang dari 10 kg/ekor terjadi sekitar bulan Februari dan Maret serta akhir bulan Juli sampai Oktober dan musim paceklik terjadi pada bulan-bulan Desember dan Januari. Terdapat kecenderungan bahwa musim tuna ukuran lebih dari 10 Kg/ekor didahului oleh musim puncak madidihang dengan ukuran kurang dari 10 Kg/ekor. Selanjutnya seiring dengan berkurangnya madidihang di bawah 10 Kg/ekor, terjadi peningkatan produksi madidihang di atas 10 Kg/ekor. Kecenderungan ini terlihat jelas terutama pada periode bulan Maret 2003 dan Agustus 2003. Namun demikian, pola musim paceklik kedua ukuran tuna ini menunjukkan waktu yang hampir bersamaan sepanjang tahun. Pola musim kedua ukuran madidihang ini dapat dijadikan sebagai petunjuk dalam pengaturan musim penangkapan. Untuk hasil maksimum maka penangkapan yang terbaik dimulai pada bulan Maret sampai November. Hubungan SPL dan Hasil Tangkapan Madidihang Besar Suhu air memiliki pengaruh yang bervariasi di antara berbagai jenis ikan, bahkan dalam satu jenis ikan suhu dapat memiliki pengaruh yang berbeda terhadap Laju Metabolisme Standar (Standard Matebolic Rates/SMR) dari ikan. Dengan demikian madidihang akan memilih suhu yang sesuai dengan keperluan metabolismenya. Suhu yang terlalu ekstrim yang tidak dapat diadaptasi oleh madidihang pada tahap kehidupan tertentu dapat menyebabkan terjadinya reaksi penghindaran terhadap daerah tersebut. SPL bulanan di daerah penelitian berkisar antara 26,5-30,5°C. Nilai SPL ini masih berada dalam kisaran suhu yang disukai oleh madidihang yaitu 18-31°C (FAO 2003). Nilai SPL mengalami fluktuasi bulanan, demikian pula dengan hasil tangkapan bulanan madidihang besar sepanjang tahun (Gambar 2). Berdasarkan grafik fluktuasai SPL dominan dan hasil tangkapan, nampak adanya kecenderungan penurunan SPL akan diikuti oleh peningkatan hasil tangkapan, sebaliknya peningkatan SPL akan diikuti oleh penurunan hasil tangkapan. Namun demikian perhitungan statistik menunjukkan bahwa fluktuasi hasil tangkapan madidihang besar tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan SPL dominan 40.0 32.00 35.0 31.00 30.0 30.00 25.0 29.00 20.0 28.00 15.0 27.00 10.0 26.00 5.0 25.00 0.0 24.00 J Fe Ma A M J Jul- Ag Se O No De J Fe Ma A M J Jul- Ag Se O No De J Fe Ma A an- b- r- pr- ei- un- 02 s- p- kt- v- s- an- b- r- pr- ei- un- 03 s- p- kt- v- s- an- b- r- pr02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 03 03 03 03 03 03 02 03 03 03 03 04 04 04 04 BULAN CPUE SPL Gambar 2 Fluktuasi SPL Dominan dan CPUE Bulanan Madidihang Besar CPUE (EKOR/UNIT) 40.0 35.0 y = -1.1137x 2 + 62.741x - 871.61 R2 = 0.0583 r = 0.2414 n = 28 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 26.00 27.00 28.00 29.00 30.00 31.00 SPL (°C) Gambar 3 Grafik Hubungan SPL dan CPUE Madidihang Besar 32.00 SPL DOMINAN (°C) CPUE (EKOR/UNIT) (Gambar 3). Hubungan yang tidak signifikan antara SPL dan hasil tangkapan madidihang besar diduga disebabkan karena madidihang besar pada umumnya bukan penghuni perairan lapisan permukaan seperti madidihang kecil. Secara alami, pada saat siang hari madidihang besar menghabiskan sebagian besar waktunya (60-80%) pada lapisan homogen atau tepat berada di bawah lapisan homogen (Brill et al, 1999). Madidihang merupakan predator yang berorientasi pada penglihatan, karena untuk berburu madidihang cenderung muncul di perairan permukaan pada siang hari (Gradieff 2003). Penelitian tentang struktur otak madidihang (Kawamura et al. 1981) menemukan bahwa madidihang memiliki tectum optic yang berkembang dengan baik yang mengindikasikan bahwa penglihatan merupakan faktor penting bagi madidihang. Mata ikan madidihang dapat beradaptasi pada level cahaya tinggi pada lapisan permukaan sampai level cahaya rendah pada ambang bawah distribusi vertikalnya. Dengan demikian madidihang dewasa tidak mengalami hambatan dalam mendeteksi mangsa pada lapisan permukaan sampai lapisan batas bawah distribusi vertikalnya. Faktor lain yang diduga berkaitan dengan kecilnya pengaruh SPL terhadap hasil tangkapan adalah pola adaptasi yang berkembang pada madidihang besar. Adaptasi yang berkembang pada jenis tuna adalah adanya mekanisme ‘penukar panas vascular counter-current’ yang memungkinkan tuna untuk mengembangkan inersia termal yang lebih efektif dibandingkan ikan pada ukuran yang sama (Neill et al. 1976; Stevens & Neill 1978, diacu dalam Brill et al. 1999). Karena individu yang lebih besar memiliki inersia termal yang lebih berkembang maka laju penurunan suhu otot lebih lambat bila dibandingkan tuna yang lebih kecil. Dengan demikian tuna dewasa yang lebih besar mampu melakukan pergerakan vertikal yang lebih intensif dibandingkan tuna juvenil. Selanjutnya tuna dewasa memiliki kemampuan untuk berada lebih lama di dalam lapisan termoklin dan mampu mengeksploitasi sumber-sumber makanan di lapisan yang lebih dalam. Kemampuan individu yang lebih besar untuk mengeksploitasi makanan pada lapisan yang lebih dalam ini diduga merupakan salah satu faktor yang berperan sehingga secara alami lapisan renang madidihang besar berada pada kolom air sampai pada bagian atas lapisan termoklin. Dengan demikian SPL tidak memiliki kaitan dengan keberadaan dan selanjutnya dengan hasil tangkapan madidihang besar. Keberadaan madidihang besar pada lapisan permukaan kemungkinan lebih dipengaruhi oleh keberadaan mangsa pada lapisan permukaan atau faktor-faktor lainnya. Keberadaan madidihang besar pada lapisan permukaan dipengaruhi pula oleh pola asosiasinya dengan lumba-lumba (Stenella sp). Asosiasi madidihang dengan lumba-lumba ini sering digunakan sebagai indikator daerah penangkapan oleh nelayan. Sebagai hewan yang bernafas dengan udara bebas, lumba-lumba lebih mudah untuk diamati sehubungan dengan aktivitas mereka di permukaan. Model komposisi school madidihang yang berasosiasi dengan lumba-lumba menunjukkan bahwa madidihang dengan ukuran relatif besarlah yang ditemukan berasosiasi dengan lumba-lumba yaitu umur II dan III dengan panjang total 55 – 125 cm (Edwards 1992). Selanjutnya berdasarkan model bioenergetik komparatif dari madidihang dan lumba-lumba terdapat kecenderungan madidihang berenang mengikuti lumba-lumba. Kekuatan asosiasi ini kemungkinan berkaitan pula dengan kondisi oseanografis yang mempengaruhi distribusi dan kelimpahan ikan mangsa. Hubungan SPL dan Hasil Tangkapan Madidihang Kecil Hasil tangkapan madidihang kecil menunjukkan pola fluktuatif bulanan seperti pada madidihang besar (Gambar 4) di mana penurunan SPL hampir secara sertamerta diikuti oleh peningkatan hasil tangkapan. Ditemukan bahwa preferensi SPL madidihang kecil berada kisaran 27-29°C. Pada kisaran ini hasil tangkapan menunjukkan peningkatan yang berarti, ini terlihat jelas terutama pada data bulan 1400.00 32.00 1200.00 31.00 1000.00 30.00 800.00 29.00 600.00 28.00 400.00 27.00 200.00 26.00 0.00 25.00 Jan- F M Apr- Mei- Jun- Jul- A S Okt- N D Jan- F M Apr- Mei- Jun- Jul- A S Okt- N D Jan- F M Apr02 eb- ar- 02 02 02 02 gs- ep- 02 ov- es- 03 eb- ar- 03 03 03 03 gs- ep- 03 ov- es- 04 eb- ar- 04 02 02 02 02 02 02 03 03 02 03 03 03 04 04 BULAN CPUE SPL (°C) SPL DOMINAN (°C) CPUE (KG/UNIT) Agustus - September 2002 dan Juni 2003. Gambar 4 Fluktuasi SPL Dominan Bulanan dan CPUE Bulanan Madidihang Kecil (Lebih Kecil dari 10 Kg/Ekor) CPUE madidihang dengan berat kurang dari 10 Kg/ekor memiliki hubungan yang signifikan dengan SPL dominan bulanan dalam bentuk negatif yang berarti bahwa sejalan dengan penurunan SPL, maka terjadi peningkatan hasil tangkapan (Gambar 5). 1400.00 y = 122.02x 2 - 7286.3x + 108841 R2 = 0.497 r = 0.7050 n = 28 CPUE (KG/UNIT) 1200.00 1000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 0.00 26 27 28 29 30 31 32 SPL (°C) Gambar 5 Grafik Hubungan SPL dan CPUE Tuna Kecil Kemampuan inersia termal yang belum berkembang sempurna seperti pada tuna dewasa yang lebih besar berimplikasi pada keterbatasan daya jangkau individu madidihang yang lebih kecil terhadap lapisan vertikal yang lebih dalam. Hal ini disebabkan oleh laju penurunan suhu otot yang berjalan lebih cepat dibandingkan madidihang dengan ukuran yang lebih besar. Dengan demikian kemampuan madidihang kecil untuk melakukan ekspansi pada lapisan perairan yang lebih dalam dengan suhu yang lebih dingin menjadi terbatas. Ini menyebabkan distribusi vertikal madidihang yang lebih kecil cenderung terbatas sampai kedalaman tertentu pada lapisan permukaan perairan atau dengan kata lain madidihang kecil cenderung menghuni lapisan permukaan dibandingkan madidihang dengan ukuran yang lebih besar. Keberadaan madidihang kecil pada lapisan permukaan didukung oleh SMR yang lebih rendah dibandingkan dengan individu yang lebih besar (Brill 1987). SMR adalah energi minimal yang dibutuhkan oleh oleh ikan (McKeown 1984). Nilai SMR berbeda menurut berat ikan, semakin besar ikan semakin besar nilai SMR yang berarti semakin besar energi minimal yang dibutuhkan oleh ikan. Dengan demikian individu yang lebih kecil memiliki kemampuan yang lebih baik untuk menghuni atau tinggal lebih lama pada perairan lapisan permukaan yang relatif lebih hangat. Nilai SMR dipengaruhi pula oleh suhu perairan. Makin tinggi suhu maka semakin tinggi pula nilai SMR (Brill 1987), yang berarti bahwa makin tinggi energi minimal yang dibutuhkan oleh ikan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Ini menjelaskan mengapa terjadi hubungan yang negatif antara SPL dan hasil tangkapan madidihang kecil. Kemampuan adaptasi yang dipengaruhi oleh berat individu maupun suhu lingkungan ini berada dalam suatu nilai kesetimbangan yang berarti bahwa bila terjadi peningkatan suhu yang sangat tinggi pada lapisan permukaan, maka madidihang kecil kemungkinan mencari daerah lain yang suhunya lebih sesuai. Dalam hal ini tuna kecil dapat melakukan migrasi baik secara vertikal maupun horizontal yang menyebabkan terjadinya fluktuasi hasil tangkapan pada daerah penangkapan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa hubungan SPL dan CPUE bulanan madidihang besar tidak memiliki pola yang jelas, sedangkan madidihang kecil mempunyai hubungan yang signifikan dengan SPL. Penurunan SPL akan diikuti oleh peningkatan CPUE bulanan madidihang kecil, di mana CPUE tertinggi diperoleh pada SPL dominan 27,11°C. DAFTAR PUSTAKA Batubara P. 1981. Suatu Studi tentang Prospek Perikanan Tuna di Perairan Indonesia. Karya Ilmiah. Bogor: IPB hlm 12. Brill RW. 1987. On the Standard Metabolic Rates of Tropical Tunas, Including the Effect of Body Size and Acute Temperature Change. Fish Bull 85: 25 – 35. Brill RW, Block BA, Boggs CH, Bigelow KA, Freud EV, Marcinek DJ. 1999. Horizontal Movements and Depth Distribution of Large Adult Yellowfin Tuna (Thunnus albacares) Near the Hawaiian Islands, Recorded Using Ultrasonic Telemetry: Implication for the Physiological Ecology of Pelagic Fishes. Marine Biology 133 : 395-408. Burhanuddin, Moeljanto R, Martosewojo S, Djamali A. 1984. Suku Scombridae : Tinjauan Mengenai Ikan Tuna, Cakalang dan Tongkol. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional LIPI hlm: 11-13. Dagorn L, Bertrand A, Bach P, Petit M, Josse E. 2001. Improving Our Understanding of Tropical Tuna Movement from Small to Large Scales. Di dalam Sibert JR, Nielsen JL, editor. Electronic Tagging and Tracking in Marine Fisheries. Netherlands: Kluwer Academic Publ hlm : 385-405. [DISKOP SULTRA] Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Penanaman Modal Daerah Sulawesi Tenggara. 2002. Identifikasi Sumberdaya Ikan Unggulan di Sulawesi Tenggara. Kendari: Dinas Koperasi, UKM dan PMD Propinsi Sulawesi Tenggara dan Jurusan Perikanan Faperta UNHALU. hlm 18-59. Edwards EF. 1992. Energetics of Associated Tunas and Dolphins in the Eastern Tropical Pasific Ocean : A Basis For the Bond. Fish Bull 90: 678-690. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2003. Thunnus albacares (Bonaterre, 1788)-Scombridae. http://www.fao.org/figis/servlet/ Ferd?ds=species&fid=2497 [September 2003]. Gardieff S. 2003. Yellowfin Tuna. http://www.flmnh.ufl.edu. [September 2003]. Gunarso W. 1985. Tingkah Laku Ikan Hubungannya dengan Alat Metoda dan Taktik Penangkapan. Bogor: Fakultas Perikanan IPB. Hal : 1-97. Gunarso W. 1998. Tingkah Laku Ikan dan Perikanan Pancing. Bogor: Fakultas Perikanan IPB. Halim A. 2005. Distribusi parameter oseanografi dan kaitannya dengan hasil tangkapan ikan cakalang dan madidihang di perairan Sumatera Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor 107 hlm. Holland KM, Kleiber P, Kajiura SM. 1999. Different Residence Times of Yellowfin Tuna, Thunnus albacares, and Big Eye Tuna, Thunnus obesus, Found in Mixed Aggregations Over a Seamount. Fish Bull 97:392-395. Ilahude AG. 1999. Pengantar ke Oseanologi Fisika. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI 235 hlm. Kawamura G. Waichiro N, Soichi U, Tooru N. 1981. Vision in tunas and marlins. Mem. Kagoshima Univ. Res. Center S. Pac. 1 : 3-47. Laevastu T, Hela I. 1970. Fisheries Oceanography. London: Fishing News hlm. 238 Laevastu T, Hayes ML. 1982. Fisheries Oceanography and Ecology. England : Fishing News. 119 hlm. Laevastu T. 1993. Marine Climate, Weather and Fisheries. Halsted Press hlm. 204 Lalli CM, Parsons TR. 1995. Biological Oceanography an Introduction. Butterworth Heinemann. 301 hlm. Lumban Gaol J. 2003. Kajian Karakter Oseanografi Samudera Hindia Bagian Timur dengan Menggunakan Multi Sensor Citra Satelit dan Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus). Disertasi. Bogor: IPB. 231 hlm. McKeown BA. 1984. Fish Migration. USA: Timber Press. hlm: 293-298. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. 368 hal. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. 368 hlm. Power JH, May LNJr. 1991. Satellite Observed Sea-Surface Temperatures and Yellowfin Tuna Catch and Effort in the Gulf of Mexico. Fish Bull 89 : 429439. Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. 508 hlm. Waas HJD. 2004. Analisis Daerah Potensial Penangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Madidihang (Thunnus albacares) di Perairan Utara Papua, Pasifik Barat. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. hlm 40-66. Wyrtki. 1961. Physical Oceanography and Southeast Asian Water. Naga Report Vol. 2. California: The University of California. 195 hlm.