Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Fluida Fluida adalah zat-zat yang mampu mengalir dan menyesuaikan diri dengan bentuk wadahnya. Bila berada dalam keseimbangan, fluida tidak dapat menahan gaya tangensial atau gaya geser. Semua fluida memiliki derajat kompresibilitas dan memberikan tahanan kecil terhadap perubahan bentuk (Giles, 1984). Fluida dapat digolongkan ke dalam cairan atau gas. Perbedaan utama antara cairan dan gas adalah cairan praktis tak kompresibel, sedangkan gas kompresibel dan sering kali harus diperlakukan demikian; dan cairan mengisi volume tertentu dan mempunyai permukaan-permukaan bebas sedangkan gas dengan massa tertentu mengembang sampai mengisi seluruh bagian wadah tempatnya (Giles, 1984). Sifat-sifat fluida yang terutama dijadikan pertimbangan dalam simulasi distribusi air adalah berat spesifik, viskositas cairan, dan kompresibilitas. II.1.1 Densitas dan Berat Spesifik Densitas atau rapat massa ( ρ ) suatu fluida didefinisikan sebagai massa fluida per volume satuan. Densitas air pada tekanan standar 1 atm (1.013 bar) dan temperatur standar 32.0°F (0.0°C) adalah 1.94 slugs/ft3 (1000 kg/m3). Perubahan pada temperatur dan tekanan akan mempengaruhi densitas, walaupun dalam pemodelan sistem distribusi air hal tersebut dapat diabaikan karena perubahannya sangat kecil, terutama untuk daerah beriklim tropis. Berat spesifik atau berat jenis ( γ ) suatu zat adalah berat zat per volume satuan. γ = ρ .g dimana: (II.1) γ = berat spesifik fluida (M/L2/T2) ρ = densitas fluida (M/L3) g = percepatan gravitasi (L/T2) Berat jenis air pada tekanan dan temperatur standar yaitu 62.4 lb/ft3 (9,806 N/m3). 6 II.1.2 Viskositas Viskositas fluida merupakan kemampuan suatu fluida untuk bertahan terhadap perubahan bentuk yang diakibatkan oleh adanya tegangan geser. Hukum viskositas Newton menyatakan bahwa untuk laju perubahan bentuk sudut fluida yang tertentu maka tegangan geser berbanding lurus dengan viskositas. Fluida yang memperlihatkan sifat sesuai dengan Hukum viskositas Newton disebut sebagai fluida Newton. Dalam fluida Newton terdapat hubungan linear antara besarnya tegangan geser yang diterapkan dan laju perubahan bentuk yang diakibatkan. Contoh fluida Newton adalah air dan gas. Karena sebagian besar model distribusi yang dikembangkan untuk mensimulasi air, maka persamaan yang digunakan hanya mempertimbangkan fluida Newton (Walski et al, 2002). Viskositas merupakan fungsi dari temperatur, tetapi hubungannya berbeda antara cairan dan gas. Viskositas gas meningkat dengan suhu, tetapi viskositas cairan berkurang dengan naiknya suhu. Variasi temperatur dalam sistem distribusi air biasanya kecil sehingga perubahan dalam viskositas air dapat diabaikan. Umumnya pada pemodelan sistem distribusi air, viskositas dianggap konstan (Walski et al, 2002). Pada hidrolika perpipaan juga terjadi tegangan geser antara dinding pipa dan fluida yang bergerak di dalam pipa. Semakin besar viskositas fluida, semakin besar kehilangan energi akibat friksi sepanjang pipa tersebut. Pada beberapa perangkat lunak pemodelan sistem distribusi air, viskositas merupakan parameter penting untuk menentukan koefisien friksi sepanjang pipa (Walski et al, 2002). II.1.3 Kompresibilitas Fluida Untuk kebanyakan keperluan praktis maka cairan dapat dianggap tak kompresibel, tetapi dalam situasi yang menyangkut perubahan tekanan yang mendadak atau perubahan tekanan yang besar maka kompresibilitasnya menjadi sangat penting. Pada dasarnya, semua fluida, termasuk air, kompresibel atau mampu mampat. Guna memperoleh gambaran mengenai kompresibilitas air, pemberian tekanan 0,1 7 MPa (± 1 atm) untuk satu meter kubik air pada 20°C ( Ev =2,2 GPa) akan menyebabkan pengurangan volume ± 45,5 cm3(Streeter & Wylie, 1999). Efek pemampatan dalam sistem distribusi air minum sangat kecil. Oleh karena itu, persamaan yang digunakan dalam simulasi hidrolis didasarkan pada asumsi bahwa cairannya bersifat tak kompresibel (Walski et al, 2002). II.1.4 Tekanan Statis Fluida Tekanan adalah suatu gaya normal, tegak lurus terhadap bidang, yang bekerja pada suatu bidang. Satuan tekanan dalam Sistem Internasional (SI) adalah N/m2 atau Pascal, sedangkan dalam sistem satuan Inggris adalah pounds per square foot (lb/ft2) dan pounds per square inch (lb/in2),disingkat psi (Walski et al, 2002). Tekanan hidrostatis pada suatu datum disebabkan oleh berat fluida di atas datum tersebut. Berat atmosfer bumi juga menghasilkan suatu tekanan yang disebut tekanan atmosfer. Tekanan atmosfer standar adalah tekanan rata-rata pada permukaan laut, besarnya 1 atm (14.7 psi atau 101 kPa atau 760 mmHg). Dua jenis tekanan yang biasa digunakan dalam hidrolika adalah tekanan absolut dan tekanan relatif. Tekanan absolut adalah tekanan terukur dengan nol absolut (vakum sempurna) sebagai datum. Sedangkan, tekanan relatif adalah tekanan terukur dengan tekanan atmosfer sebagai datum. Hubungan antara keduanya dapat dilihat dari persamaan berikut: Pabs = Prelatif + Patm dimana: Pabs (II.2) = tekanan absolut (M/L/T2) Prelatif = tekanan relatif (M/L/T2) Patm = tekanan atmosfer (M/L/T2) Dalam kebanyakan aplikasi hidrolika, termasuk analisis sistem distribusi air, tekanan relatif lebih sering digunakan karena lebih mudah diukur. Jika tekanan relatif diukur pada permukaan bumi yang terbuka dengan atmosfer maka dalam pengukuran menunjukkan bahwa tekanannya bernilai nol. Tekanan relatif yang 8 bernilai negatif (tekanannya di bawah tekanan atmosfer lokal) disebut sebagai negative pressure atau vakum (Walski et al, 2002). II.1.5 Kecepatan dan Rezim Aliran Profil kecepatan suatu aliran fluida melalui pipa tidak konstan sepanjang diameternya. Melainkan, kecepatan partikel fluida tersebut tergantung pada lokasi partikel tersebut berada dari dinding pipa. Gambar II.1 memperlihatkan variasi kecepatan fluida di dalam pipa. Dalam banyak kasus, model-model hidrolik menggunakan kecepatan rata-rata, yang dirumuskan: V= dimana: Q A (II.3) V = kecepatan rata-rata fluida (L/T) 3 Q = laju alir atau debit (L /T) A = luas penampang pipa (L2) Untuk pipa berbentuk lingkaran dengan luas penampang, A = ¼πD2, persamaan II.3 dapat ditulis menjadi: V= dimana: 4Q πD 2 (II.4) D = diameter pipa (L) Gambar II.1 Profil kecepatan pada berbagai aliran Sumber: Walski et al, 2002 Dari Gambar II.1, suatu aliran dengan kecepatan yang seragam memiliki profil kecepatan yang sama sepanjang diameternya. Pada aliran laminer, partikel fluida bergerak di sepanjang lintasan lurus dan sejajar dalam lapisan atau lamina, 9 menghasilkan tegangan geser yang sangat besar di antara lapisan yang berdekatan. Secara matematis, profil kecepatan aliran laminer berbentuk seperti parabola. Pada aliran laminer, faktor utama yang menyebabkan headloss pada sebuah segmen pipa adalah viskositas fluida tersebut, bukan kekasaran pipa. Dalam aliran turbulen, partikel fluida bergerak dalam lintasan-lintasan yang sangat tidak teratur sehingga mengakibatkan pertukaran momentum dari satu bagian fluida ke bagian lainnya. Bentuk profil kecepatan dari aliran turbulen lebih tidak teratur dibandingkan dengan profil kecepatan aliran laminer. Bilangan Reynolds merupakan suatu bilangan tak berdimensi yang digunakan untuk mengkarakterisasi rezim suatu aliran. Bilangan Reynolds didefinisikan sebagai rasio antara gaya inersi terhadap viskositas. Bilangan Reynolds untuk pipa berbentuk lingkaran dapat dihitung dengan rumus: Re = dimana: VDρ (II.5) μ Re = Bilangan Reynolds D = diameter pipa (L) ρ = densitas fluida (M/L3) μ = viskositas absolut (M/L/T) υ = viskositas kinematik (L2/T) Rentang bilangan Reynolds yang menunjukkan jenis-jenis rezim aliran dapat dilihat pada Tabel II.1. Aliran air dalam suatu sistem distribusi air minum biasanya selalu turbulen, kecuali pada kondisi permintaan airnya rendah atau intermitten maka bisa saja alirannya laminer (Walski et al, 2002). Tabel II.1 Bilangan Reynolds untuk Berbagai Rezim Aliran Rezim Aliran Bilangan Reynolds Laminer < 2000 Transisi 2000 – 4000 Turbulen > 4000 Sumber: Walski et al, 2002 10 II.2 Hidrolika Jaringan Pipa Hidrolika adalah studi mengenai liquid yang bergerak atau liquid yang diberi tekanan. Pemahaman akan hidrolika sangat diperlukan untuk mengeksplorasi sistem distribusi air (AWWA, 1976). II.2.1 Persamaan Kontinuitas Persamaan kontinuitas pada dasarnya sama dengan konsep kekekalan massa dimana massa yang masuk dikurangi massa yang keluar sama dengan massa yang tertinggal. Persamaannya dapat ditulis (Walski, 1984): min − mout = mstorage dimana: min = massa yang masuk (M) mout = massa yang keluar (M) m storage = massa yang tersimpan (M) (II.6) Dengan menganggap air sebagai fluida yang tak mampu mampat, maka jika persamaan di atas dibagi dengan densitas ( ρ ) dan waktu (t), diperoleh persamaan: Qin − Qout = ΔS Δt dimana: Qin = debit yang masuk (M) Qout = debit yang keluar (M) ΔS = perubahan volume (L3) Δt = periode waktu (T) (II.7) II.2.2 Persamaan Energi Fluida memiliki energi dalam tiga bentuk. Besarnya energi tergantung dari pergerakan fluida (energi kinetik), elevasi (energi potensial), dan tekanan (energi tekanan). Energi dari suatu fluida per berat satuan fluida tersebut dinyatakan sebagai head. Energi kinetik disebut sebagai head kecepatan (V2/2g), energi potensial disebut sebagai head elevasi (Z), dan energi tekanan internal disebut sebagai head tekanan (P/ γ ). Satuan yang umum digunakan untuk energi adalah 11 foot-pounds (Joule), sedangkan satuan dari head adalah feet (meter). H =Z+ dimana: P γ + V2 2g (II.8) H = Head total (L) Z = elevasi di atas datum (L) P = tekanan (M/L/T2) γ = berat spesifik fluida (M/L2/T2) V = kecepatan (L/T) g = percepatan gravitasi (L/T2) Gambar II.2 EGL dan HGL Sumber: Walski et al, 2002 Gambar II.2 menunjukkan EGL dan HGL untuk saluran pipa sederhana. Setiap titik di dalam sistem hidrolika memiliki nilai head tertentu. Di dalam sistem hidrolika dikenal juga istilah lain yaitu EGL (energy grade line) dan HGL (hydraulic grade line). EGL atau garis energi adalah pernyataan grafis dari energi di tiap bagian. Sedangkan jumlah dari head elevasi dan head tekanan menghasilkan suatu nilai HGL, yang menunjukkan ketinggian air yang naik di dalam suatu tabung kecil yang melekat pada suatu pipa dan terbuka terhadap atmosfer (Walski et al, 2002). 12 Persamaan energi yang dirangkai dengan persamaan headloss akan membantu engineer untuk menentukan ke arah mana air mengalir secara hidrolis dan seberapa cepat air tersebut mengalir di dalam saluran tertutup. Sebuah persamaaan energi dapat dideskripsikan sebagai berikut: v12 − v 22 P − P2 + z1 − z 2 + 1 = −w + h 2g γ dimana: (II.9) w = Usaha/energi luar (pemompaan), (L) h = kehilangan energi, (L) Semua variabel pada persamaan II.9 dapat bernilai positif ataupun negatif kecuali variabel h, yang hanya bernilai positif. Energi yang hilang (headloss) tidak dapat dikembalikan sehingga bentuk ini hanya akan menentukan arah aliran saja. Jika aliran bergerak dari titik 1 ke 2 maka harga h akan positif. Namun jika harga h bernilai negatif maka aliran tersebut sebenarnya bergerak sebaliknya, yaitu dari titik 2 ke 1 (Walski, 1984). II.2.3 Kehilangan Energi Headloss atau kehilangan energi biasanya disebabkan oleh dua jenis mekanisme (Walski et al, 2002), yaitu: • Friksi atau gesekan sepanjang pipa, sering disebut sebagai friction losses atau mayor losses • Turbulensi yang diakibatkan oleh perubahan garis alir ketika aliran melalui suatu sambungan pipa dan perlengkapan lainnya, sering disebut sebagai minor losses II.2.3.1 Mayor Losses Dalam cairan yang mengalir melalui sebuah pipa terdapat tegangan geser di antara cairan dan dinding pipa. Tegangan geser ini merupakan hasil dari gaya gesekan, yang besarnya tergantung pada sifat fluida yang melalui pipa, kecepatan aliran, kekasaran pipa, panjang dan diameter pipa (Walski et al, 2002). Terdapat beberapa formula yang digunakan dalam menghitung headloss mayor, yaitu formula Darcy-Weisbach, Hagen-Poiseuille, dan Hazen-Williams. 13 Formula Darcy-Weisbach Formula Darcy-Weisbach dikembangkan dari hasil analisis dimensional. Formula ini merupakan dasar untuk menghitung headloss untuk aliran fluida dalam pipa dan saluran. Formula ini diturunkan dari pengembangan persamaan Hukum Kedua Newton dan banyak digunakan dalam pemodelan sistem distribusi air minum, terutama di Eropa. Persamaannya adalah: hL = f dimana: LV 2 D2 g (II.10) f = faktor gesekan Darcy-Weisbach g = konstanta percepatan gravitasi (L/T2) 3 Q = debit fluida (L /T) Parameter diameter , panjang pipa , dan kecepatan dapat ditentukan dengan mudah pada berbagai situasi. Namun, tidak demikian halnya dengan , faktor friksi, tidak dapat diukur dan tidak constant bahkan pada pipa yang telah ditentukan sekalipun. Faktor gesekan Darcy-Weisbach tergantung dari kecepatan, densitas, dan viskositas fluida; ukuran pipa; dan kekasaran pipa. Kecepatan fluida, densitas, dan viskositas diekspresikan oleh bilangan Reynolds; sedangkan kekasaran pipa diekspresikan oleh kekasaran relatif, yaitu kekasaran pipa (ε ) dibagi dengan diameter pipa (D) (Walski et al, 2002). Persamaan Hagen-Poiseuille Penurunan head untuk aliran laminer dinyatakan oleh Persamaan HagenPoiseuille, yaitu: hL = dimana: υ L V 2 64 L V 2 32υLV = = 64 gD2 VD D 2 g Re D 2 g (II.11) hL = headloss (L) υ = viskositas kinematik (L2/T) L = jarak antara titik 1 ke titik 2 (L) V = kecepatan rata-rata fluida (L/T) g = konstanta percepatan gravitasi (L/T2) D = diameter (L) 14 Formula Hazen-Williams Formula headloss yang sering digunakan adalah formula Hazen-Williams. Formula Hazen-Williams dikembangkan atas dasar empiris dan umumnya hanya digunakan pada kondisi aliran turbulen. Formula ini banyak digunakan dalam pemodelan distribusi air minum terutama di Amerika Serikat. Dalam JICA, 1974 dijelaskan bahwa formula Hazen-Williams umumnya digunakan untuk ukuran diameter pipa ≥ 50 mm. Formula Hazen-Williams dapat dituliskan sebagai berikut: hL = dimana: C L C f 1.852 D 4.87 Q1.852 (II.12) hL = headloss karena faktor gesekan (ft, m) L = jarak antara titik 1 ke titik 2 (ft, m) C = faktor kekasaran relatif Hazen Williams D = diameter (ft, m) 3 Q = debit fluida (cfs, m /s) C f = faktor konversi satuan (4.73 English, 10.7 SI) Pada formula Hazen-Williams juga digunakan variabel yang sama dengan yang digunakan pada formula Darcy-Weisbach. Namun, pada formula Hazen-Williams faktor/koefisien (C) yang digunakan tergantung dari kekasaran relatif pipa. Faktor C yang semakin besar menunjukkan pipa semakin mulus, sedangkan faktor C yang semakin rendah menunjukkan pipa semakin kasar (Walski et al, 2002). Harga koefisien Hazen-Williams pada beberapa jenis pipa dapat dilihat pada Tabel II.2. Persamaan Hazen-Williams sangat sering digunakan dalam desain maupun analisis tekanan dari suatu sistem perpipaan. Persamaan ini dikembangkan secara eksperimental. Oleh karena itu, terdapat keterbatasan yaitu tidak dapat digunakan untuk fluida selain air dan hanya dalam temperatur yang biasanya dialami sistem air minum (Haestad Methods, 2002). 15 Tabel II.2 Harga Koefisien Hazen-Williams untuk Beberapa Jenis Pipa C-factor Values for Discrete Pipe Diameters 1.0 in (2.5 cm) 3.0 in (7.6 cm) 6.0 in (15.2 cm) 12 in (30 cm) 24 in (61 cm) 48 in (122 cm) Uncoated cast iron - smooth and new 121 125 130 132 134 Coated cast iron - smooth and new 129 133 138 140 141 Type of Pipe 30 years old Trend 1 - slight attack 100 106 112 117 120 Trend 2 - moderate attack 83 90 97 102 107 Trend 3 - appreciable attack 59 70 78 83 89 Trend 4 - severe attack 41 50 58 66 73 Trend 1 - slight attack 90 97 102 107 112 Trend 2 - moderate attack 69 79 85 92 96 Trend 3 - appreciable attack 49 58 66 72 78 Trend 4 - severe attack 30 39 48 56 62 60 years old 100 years old Trend 1 - slight attack 81 89 95 100 104 Trend 2 - moderate attack 61 70 78 83 89 Trend 3 - appreciable attack 40 49 57 64 71 Trend 4 - severe attack 21 30 39 46 54 Newly scraped mains 109 116 121 125 127 Newly brushed mains 97 104 108 112 115 137 142 145 148 148 Miscellaneous Coated spun iron - smooth and new Old - take as coated cast iron of same age Galvanized iron - smooth and new 120 129 133 Wrought iron - smooth and new 129 137 142 Coated steel - smooth and new 129 137 142 145 148 148 Uncoated steel - smooth and new 134 142 145 147 150 150 Coated asbestos cement - clean 147 149 150 152 Uncoated asbestos cement - clean 142 145 147 150 Spun cement-lined and spun bitumen- lined - clean 147 149 150 152 153 Smooth pipe (including lead, brass, copper, polyethylene, and PVC)-clean 140 147 149 150 152 153 PVC wavy - clean 134 142 145 147 150 150 69 79 84 90 95 Concrete - Scobey Class 1 - Cs = 0.27; clean Class 2 - Cs = 0.31; clean 95 102 106 110 113 Class 3 - Cs = 0.345; clean 109 116 121 125 127 Class 4 - Cs = 0.37; clean 121 125 130 132 134 Best - Cs = 0.4; clean 129 133 138 140 141 Tate relined pipes - clean 109 116 121 125 127 147 150 150 Prestressed concrete pipes - clean Sumber: Lamount, 1981 dalam Walski et al, 2002 16 II.2.3.2 Minor Losses Headloss juga terjadi pada aksesoris atau perlengkapan perpipaan, seperti valve, tee, bend, reducer, dan sebagainya. Headloss ini disebut sebagai minor losses atau headloss minor. Headloss minor terjadi dikarenakan adanya turbulensi aliran fluida ketika melewati aksesoris pipa tersebut. Headloss minor dihitung dengan mengalikan koefisien headloss minor dengan head kecepatan, seperti dapat dilihat pada persamaan berikut: V2 Q2 hm = K L = KL 2g 2 gA2 dimana: (II.13) hm = headloss minor (L) K L = koefisien headloss minor V = kecepatan (L/T) g = konstanta percepatan gravitasi (L/T2) A = luas penampang pipa (L2) 3 Q = debit fluida (L /T) Koefisien headloss minor diperoleh dari hasil percobaan dan datanya dapat dilihat pada Tabel II.3. Untuk sistem distribusi air, headloss minor umumnya lebih kecil dibandingkan dengan headloss akibat gesekan (headloss mayor). Oleh karena itu, dalam pemodelan seringkali headloss minor ini diabaikan. Hanya untuk kondisi tertentu saja, seperti pada rumah pompa yang banyak terdapat asesoris pipa, headloss minor diperhitungkan. Sama halnya dengan koefisien kekasaran, koefisien headloss minor berubah terhadap kecepatan. Namun dalam prakteknya, nilai tersebut dianggap konstan (Walski et al, 2002). Pada sistem perpipaan yang relatif terdiri dari banyak aksesoris dibandingkan dengan panjang pipa, seperti pada sistem pemanas dan pendingin, minor losses memiliki dampak yang signifikan terhadap kehilangan energi (Haestad Methods, 2002). 17 Tabel II.3 Harga Koefisien Headloss Minor Fitting KL Pipe entrance Fitting KL 90˚ smooth bend Bellmouth 0.03-0.05 Rounded 0.12-0.25 Bend radius/D = 2 0.19-0.25 Sharp-edged 0.50 Bend radius/D = 1 0.35-0.40 Projecting 0.78 Contraction - sudden Bend radius/D = 4 0.16-0.18 Mitered bend θ = 15˚ 0.05 D2/D1 = 0.80 0.18 θ = 30˚ 0.10 D2/D1 = 0.50 0.37 θ = 45˚ 0.20 D2/D1 = 0.20 0.49 θ = 60˚ 0.35 θ = 90˚ 0.80 Contraction - conical D2/D1 = 0.80 0.05 D2/D1 = 0.50 0.07 D2/D1 = 0.20 0.08 Expansion - sudden Tee Line flow 0.30-0.40 Branch flow 0.75-1.80 Tapping T Branch D2/D1 = 0.80 0.16 d = tapping hole diameter D2/D1 = 0.50 0.57 D = main line diameter D2/D1 = 0.20 0.92 Expansion - conical D2/D1 = 0.80 0.03 D2/D1 = 0.50 0.08 D2/D1 = 0.20 0.13 Gate valve - open 3/4 open 1.1 1.97(d/D)4 Cross Line flow 0.50 Branch flow 0.75 45˚ Wye Line flow 0.30 Branch flow 0.50 Check valve - conventional 4.0 1/2 open 4.8 Check valve - clearway 1.5 1/4 open 27 Check valve - ball 4.5 Globe valve - open 10 Cock - straight through 0.5 Angle valve - open 4.3 Foot valve - hinged 2.2 Butterfly valve - open 1.2 Foot valve - poppet 12.5 Sumber: Walski, 1984 dalam Walski et al, 2002 II.3 Sistem Distribusi Air Sistem penyediaan air minum umumnya terdiri dari sumber air baku dan intake; instalasi pengolahan; serta sistem distribusi dan pelayanan. Prinsip mendasar sistem distribusi air adalah mengantarkan air yang telah diolah ke seluruh daerah pelayanan sistem penyediaan air minum. Persyaratan yang harus terpenuhi dalam distribusi tersebut yaitu terpenuhinya tekanan dan kuantitas air, menjaga kualitas air dan kontinuitas penyediaan air (JICA,1974). 18 Pendistribusian air dilakukan dengan saluran tertutup atau dengan perpipaan dengan maksud supaya tidak terjadi kontaminasi terhadap air yang mengalir di dalamnya. Disamping itu, dengan sistem perpipaan, air lebih mudah untuk dialirkan karena adanya tekanan air (Darmasetiawan, 2004). Komponen dari sistem distribusi adalah: 1. Reservoir, yaitu suatu bangunan yang menampung air sementara sebelum didistribusikan ke pemakai air. 2. Sistem perpipaan, merupakan rangkaian pipa yang menghubungkan antara reservoir dengan perpipaan. Sistem perpipaan secara hierarki terdiri dari pipa induk, pipa sekunder, dan pipa service. 3. Sistem sambungan pelanggan, merupakan ujung dari pipa service dilengkapi dengan meter air, check valve, box meter, dan lain-lain. Dalam sistem distribusi air, konsumen membutuhkan air keran dengan tekanan yang mencukupi, atau dengan kata lain konsumen disuplai dengan kuantitas air yang diinginkan dengan waktu yang tepat pula. Di Jepang, tekanan air di pipa terakhir besarnya sekitar 15 m, atau minimum 10 m. Biasanya, head tersebut cukup untuk keperluan praktis di rumah-rumah (JICA,1974). Sistem distribusi air pada kenyataannya tidaklah terdiri dari satu pipa melainkan kombinasi yang rumit antara pipa, valve, pompa, tangki, reservoir, dan perlengkapan lainnya, yang kemudian dalam satu kesatuan dinamakan sebagai jaringan pipa (Walski, 1984). Secara umum, permasalahan dalam sistem jaringan distribusi air dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok (Walski, 1984), yaitu: 1. Cara analisis dengan pertimbangan waktu (steady, gradually, transient), 2. Topologi sistem (seri, cabang, cabang dengan multi tangki, loop), 3. Cara membangun persamaan sistem (persamaan debit, persamaaan head, persamaan loop, optimalisasi), dan 4. Metoda yang digunakan untuk menyelesaikan persamaan-persamaan tersebut (analitis, grafis, Hardy-Cross, Teori Linear, Newton-Raphson, dan lain-lain). 19 Pemecahan permasalahan aliran air dalam jaringan pipa akan mengkombinasikan persamaan-persamaan kontinuitas, energi, dan momentum sedemikian rupa sehingga dapat menurunkan tingkat kerumitan masalah dan akhirnya dapat diselesaikan dengan bantuan komputer ataupun dilakukan secara manual. Pada persamaan head loss terdapat lima variabel yaitu panjang pipa (L), diameter pipa (D), debit (Q), headloss dan kekasaran. Pada dasarnya, panjang pipa dan kekasaran harus ditentukan sebelumnya sehingga engineer akan menyelesaikan tiga variabel tersisa. Penyelesaian variabel headloss dan debit termasuk dalam permasalahan hidrolika sepenuhnya, sedangkan pemilihan diameter pipa memerlukan pendekatan hidrolika dan ekonomi sekaligus. Pada kebanyakan permasalahan jaringan pipa, debit di masing-masing pipa tidak diketahui. Akan tetapi, debit yang keluar dari jaringan (demand/water consumption) dan head pada ketinggian tertentu nilainya diketahui sehingga penyelesaian masalah akan terdiri dari penentuan debit di masing-masing pipa dan ketinggian head di tiap node dalam sistem jaringan pipa tersebut. Problem tersebut dikenal dengan istilah network flow analysis. Dalam analisis jaringan perpipaan terdapat dua macam analisis atau simulasi (Haestad Methods, 2002; Walski et al, 2002), yaitu: 1. Steady-State Network Hydraulics, digunakan untuk memperlihatkan perilaku operasional sistem jaringan pada suatu waktu tertentu atau pada kondisi tunak. Steady-State Simulation sangat berguna untuk memberikan informasi kepada desainer mengenai kondisi sistem distribusi pada saat peak hour ataupun pada saat petugas pemadam kebakaran menggunakan air dalam jumlah yang sangat besar dalam waktu yang sangat singkat. 2. Extended-Period Simulation, digunakan untuk memperlihatkan perilaku sistem sepanjang waktu. Pada analisis ini juga dimodelkan kasus-kasus seperti pengisian dan pengeluaran air dari tangki; buka dan tutup valve; dan operasional pompa. Simulasi ini sangat membantu engineer untuk memahami bagaimana sistem distribusi bekerja selama rentang periode simulasi berjalan. 20 Program mengenai analisis sistem distribusi air cukup banyak tersedia. Aplikasi komputer dalam pemodelan matematis sistem distribusi air membuka wawasan baru dalam hal manajemen penggunaan air dan mendukung peningkatan sistem operasi distribusi air. Beberapa penggunaan model matematis dalam kaitannya dengan sistem penyediaan air, yaitu (Walker, 1978): 1. Menganalisis permasalahan tekanan atau gangguan pompa dan reservoir untuk memberikan aliran yang diinginkan. 2. Mengembangkan prosedur operasi untuk keadaan darurat, seperti kebakaran, kerusakan pipa, pompa dan reservoir. 3. Mengindikasikan pengembangan jaringan sistem penyediaan air. 4. Menentukan prioritas dalam pengembangan kapasitas sistem. 5. Mengevaluasi kemampuan sistem penyediaan air eksisting untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan air. 6. Membandingkan alternatif-alternatif dalam sistem penyediaan air. 7. Mengestimasi efek adanya industri baru terhadap kondisi eksisting sistem. 8. Keuntungan yang dicapai jika beberapa sistem air digabungkan. 9. Mengevaluasi dampak adanya perubahan atau penambahan ke dalam sistem. II.3.1 Model Matematis Jaringan Pipa Dalam problem network flow analysis, secara matematis dengan mengetahui Q (debit yang keluar dari masing-masing node) maka dapat dihitung penyebaran aliran di setiap pipa di jaringan dengan tentunya memperhatikan karakteristik hidrolis dari pipa (dimana selalu ada hubungan antara debit dan headloss). Pada prinsipnya, dengan terhitungnya headloss maka H atau tekanan di setiap node dapat dicari. Masalahnya adalah dari arah manapun headloss dihitung maka tekanan di suatu node harus mempunyai hasil perhitungan yang sama (Darmasetiawan, 2004). Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk membangun model matematis jaringan pipa, yaitu dengan membangun persamaan debit (Q), persamaan node (H), dan persamaan loop (∆Q). 21 II.3.1.1 Persamaan Debit (Q) Pada persamaan ini pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan debit pada setiap pipa sebagai variabel yang tidak diketahui dan menyusun sejumlah P persamaan (dimana P adalah banyaknya pipa): satu persamaan energi untuk masing-masing loop dan satu persamaan kontinuitas untuk masing-masing node (Walski, 1984). Persamaan debit untuk suatu sistem dengan L loop dan N node adalah: ml pl i =1 k =1 ∑ hil − ∑ h pkl = dhl nq ∑Q i =1 dimana: iq = Uq (l = 1,2,..., L ) (q = 1,2,..., L) (II.14) (II.15) hil = headloss pipa i pada loop l h pkl = head dari pompa k pada loop l dhl = perubahan head dalam loop l ml = jumlah pipa pada loop l Pl = jumlah pompa pada loop l Qiq = debit masuk ke node q dari pipa I yang terhubung dengan node U q = debit yang digunakan pada node q n q = jumlah pipa masuk ke node q Untuk menyelesaikan persamaan di atas perlu dilakukan subtitusi persamaan headloss (Contoh Hazen-Williams atau Darcy Weisbach) untuk variabel h ; dan kurva head pompa untuk varibel h p . Membangun model matematis dengan persamaan Q akan menghasilkan jumlah persamaan yang lebih banyak dibandingkan dengan membangun model menggunakan persamaan H dan ∆Q. Akan tetapi, persamaan kontinuitas adalah linear dan persamaan energi dapat dilinearisasi sehingga hal ini memungkinkan dapat memberikan keuntungan dalam penyelesaiannya yang menggunakan metode solusi numerik tertentu (Walski, 1984). 22 II.3.1.2 Persamaan Node (H) Jumlah persamaan menggabungkan yang akan diselesaikan dikurangi dengan persamaan energi tiap pipa dengan persamaan kontinuitas. , dapat juga ditulis: Persamaan headloss untuk sebuah pipa, H i − H j = K ij Qij dimana: dapat nij (II.16) sgn Qij = head pada node ke-i (L) = koefisien head loss untuk pipa dari node i ke node j = debit dari node i ke node j, L3/T = eksponen pada persamaan head loss untuk pipa dari i ke j Karena head loss bernilai positif untuk menunjukkan arah aliran, maka *), dan persamaan II.16 menjadi: – ( Qij = sgn (H i − H j ) H i − H j K ij ) 1 nij (II.17) Dan persamaan kontinuitas di node i dapat ditulis : mi ∑Q k =t dimana: ki = Ui (II.18) = debit menuju node i dari node k (L3/T) = konsumsi air pada node i (L3/T) = pipa yang terhubung dengan node i Dengan menggabungkan persamaan II.17 dan II.18 maka diperoleh persamaan sebagai berikut, ⎛ Hi − H j sgn (H i − H j )⎜ ∑ ⎜ K ij k =t ⎝ mi 1 ⎞ nij ⎟ =U i ⎟ ⎠ (II.19) Untuk setiap node akan diperoleh satu persamaan H. Persamaan ini adalah persamaan tak linear sehingga teknik penyelesaiannya berbeda dengan teknik yang digunakan dalam penyelesaian persamaan Q (Walski, 1984). ⎧+ 1 bila x > 0 *) sgn (x ) = ⎨− 1 bila x < 0 ⎩ 23 II.3.1.3 Persamaan Loop (∆Q) Pendekatan persamaan loop diawali dengan menuliskan persamaan energi, sebagai solusi awal, untuk terpenuhinya persamaan kontinuitas. Selanjutnya, ini menjadi masalah pengkoreksian terhadap debit yang diperoleh di setiap loop. Hal ini dapat dilakukan dengan menambahkan faktor koreksi debit di setiap pipa di dalam loop. Persamaaan loop dapat dituliskan sebagai berikut: mi F (ΔQ ) = ∑ K i [sgn (Qii + ΔQl )]Qii + ΔQl n i =1 = dhl (II.20) (l = 1,2,..., L ) dimana: = estimasi debit awal pada pipa ke-i ∆ = koreksi debit pada loop ke-i = jumlah pipa pada loop ke-i = jumlah loop Jumlah persamaan loop tergantung pada jumlah loop. Dengan kata lain, sebanyak L loop akan menghasilkan persamaan loop sebanyak L (Walski, 1984). II.3.2 Teknik Solusi Numerik Sistem persamaan pada jaringan distribusi yang telah dibangun membutuhkan teknik numerik untuk menyelesaikannya. Sebagian besar persamaan yang dibangun merupakan persamaan tak linear, sehingga teknik yang dapat digunakan relatif terbatas. Teknik numerik yang biasa digunakan adalah: (1) metode Teori Linear; digunakan dengan melinearisasi persamaan tak linear kemudian menyelesaikan persamaan linear tersebut sehingga dapat disubtitusikan kembali ke persamaan tak linear untuk mengetahui tingkat konvergensinya, (2) metode Newton-Rhapson; mengkonvergensi persamaan-persamaan tersebut menggunakan turunannya, (3) metode Hardy-Cross; dengan melakukan iterasi menggunakan satu persamaan pada satu waktu. Umumnya, metode teori linear diaplikasikan untuk menyelesaikan persamaan debit (Q). Metode Newton-Rhapson dan Hardy Cross biasanya digunakan untuk menyelesaikan persamaan node dan loop (Walski, 1984). Selain ketiga metode tersebut, terdapat metode lain yang telah diaplikasikan dalam suatu software simulasi distribusi air, EPANET 2.0, yaitu 24 Metode Gradien, dikembangkan oleh Todini dan Pilati (1987) yang dibangun dengan pendekatan hibridisasi persamaan Node-Loop. II.3.2.1 Metode Teori Linear Metode ini umumnya digunakan untuk menyelesaikan persamaan Q, yang berorientasi pada variabel debit. Persamaan kontinuitas merupakan persamaan linear, sedangkan persamaan energi adalah tak linear. Persamaan energi dibuat dalam bentuk linear, yaitu dalam bentuk: N ∑a Q i =1 dimana: i i = dh (II.21) a i = K i Qin −1 Hasil dari persamaan kontinuitas dan energi tersebut merupakan suatu sistem persamaan linear maka sistem persamaan tersebut dapat diselesaikan dengan menggunakan teknik yang powerful untuk menyelesaikan persamaan linear, contohnya Eliminasi Gauss ataupun Iterasi Jacobi. Dengan menggunakan persamaan II.21 maka akan diperoleh 1 persamaan linear, dapat ditulis menjadi: a11Q1 + a12 Q2 + ... + a1k Qk = dh1 ⎫ ⎪ M ⎬ L persamaan a L1Q1 + a L 2 Q2 + ... + a Lk Qk = dhk ⎪⎭ b11Q1 + b12 Q2 + ... + b1k Qk = U 1 ⎫ ⎪ M ⎬ N - 1 persamaan bN −1,1Q1 + b N −1, 2 Q2 + ... + b N −1,3 Qk = U N −1 ⎪⎭ (II.22) dimana: ⎧⎪ K Q aij = ⎨ j j ⎪⎩0 ⎧+ 1 ⎪ bij = ⎨- 1 ⎪0 ⎩ n −1 , jika pipa j terdapat dalam loop i , jika pipa j tidak terdapat dalam loop i , jika aliran dalam pipa j positif menuju node i , jika aliran dalam pipa j negatif menuju node i , jika pipa j tidak terhubung dengan node i 25 Untuk menyelesaikan suatu masalah jaringan distribusi maka perlu menyelesaikan sistem persamaan linear yang dibangun, yaitu dengan menghitung ulang konstanta dan menyelesaikan kembali persamaan linear-nya dengan berulang-ulang sampai solusi tercapai (konvergen). Keuntungan metode teori linear adalah tidak membutuhkan suatu solusi awal. Oleh karena itu, seluruh nilai dapat diatur dengan nilai acak dan metode ini akan tetap konvergen. Tentu saja, solusi awal yang baik akan mempercepat konvergensi (Walski, 1984). Metode Teori Linear (Wood and Charles, 1972 dalam Todini & Pilati, 1988) dapat dianggap sebagai penerapan teknik Newton-Raphson pada model yang dibangun dari persamaan loop. Metode ini membutuhkan solusi sistem persamaan yang lebih besar (sejumlah loop + sejumlah node), meskipun dapat mengurangi resiko kegagalan/tidak tercapainya konvergen. II.3.2.2 Metode Newton-Raphson Penyelesaian metode Newton-Raphson, baik untuk model yang dibangun dari persamaan loop maupun persamaan node, bisa dipandang sebagai perluasan teknik koreksi Hardy Cross dengan menggunakan algoritma koreksi multidimensi secara simultan. Metode ini meskipun lebih konvergen dibandingkan dengan teknik gradien lokal (Hardy Cross), masih menunjukkan beberapa kekurangan yang tergantung pada kompleksitas jaringan dan pilihan nilai awal untuk memulai teknik ini (Todini & Pilati, 1988). Metode Newton-Raphson adalah metode numerik yang powerful untuk menyelesaikan sistem persamaan tak linear. Metode ini cocok untuk menyelesaikan persamaan yang diekspresikan dengan fungsi solusi merupakan nilai 0, dimana yang menyebabkan F mendekati 0. Metode ini selalu konvergen jika tebakan awal cukup mendekati solusi namun kerugian dari metode ini adalah diperlukannaya turunan pertama dari fungsi fungsi mudah untuk ditentukan turunannya. Turunan fungsi dF F (x + Δx ) − F ( x ) = dx Δx dimana tidak semua dapat dituliskan: (II.23) 26 Dengan memberikan estimasi nilai awal , penyelesaian masalah ini adalah nilai yang memaksa penyelesaian ∆ mendekati 0. Menyusun menjadi 0 dan menjadi: Δx = − F ( x ) / F ' ( x ) (II.24) menjadi dan diperoleh nilai baru berlangsung sampai untuk iterasi berikutnya. Proses ini cukup dekat dengan nol. Persamaan II.23 hanya berlaku untuk satu persamaan dan satu variabel yang tidak diketahui. Akan tetapi, dalam permasalahan jaringan pipa terdapat banyak persamaan dengan banyak variabel yang tidak diketahui. Metode NewtonRaphson dapat diaplikasikan dalam penyelesaian model matematis yang diturunkan dari persamaan H dan persamaan ∆Q. Persamaan head untuk tiap node pada jaringan pipa dapat ditulis: N F (H i ) = ∑ i =1 ⎛ H j − Hi sgn (H j − H i ) ⎜ ⎜ K ji ⎝ [ ] (i = 1,2,..., K ) dimana: 1 / mi −Ui (II.25) = jumlah pipa terhubung dengan node i = konsumsi pada node i, Jika nilai ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ pada iterasi ke- adalah / maka perbedaan iterasi ke- dengan 1 dapat ditulis: dF = F (i + 1) − F (i ) (II.26) Dapat kita tulis dengan bentuk lain dF = dimana ∂F ∂F ∂F ΔH 1 + ΔH 2 + ... + ΔH k ∂H 1 ∂H 2 ∂H k adalah perubahan head antara iterasi ke (II.27) dan Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan mencari nilai 1 1 pada loop L. sehingga 0. Prosedur penyelesaiannya adalah dengan menetapkan nilai awal kemudian memasukkannya ke persamaan turunan parsial menyelesaikan persamaan linear dan seterusnya sehingga nilai kemudian mendekati 0. 27 Yang perlu diingat adalah nilai dari turunan dari persamaan II.26 adalah: ⎛ H j − Hi d sgn (H i − H j ) ⎜ ⎜ K ji dH j ⎝ [ ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ ] 1 / mi −1 = (n )(K ) 1 / mi ij (H −Hj) (1 / mi −1) i ij dan ⎛ H j − Hi d sgn (H i − H j ) ⎜ ⎜ K ji dH i ⎝ [ ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ ] 1 / mi = 1 (H i − H j )(1 / mi −1) 1 / mi (nij )(K ij ) (II.28) II.3.2.3 Metode Hardy-Cross Metode Hardy Cross atau metode gradien lokal ini dikembangkan oleh Hardy Cross pada tahun 1936. Metode ini biasanya digunakan untuk menyelesaikan persamaan loop ∆ , walaupun dapat juga digunakan untuk menyelesaikan persamaan debit dan head . Konvergensi merupakan masalah yang dijumpai pada metode ini, terutama pada sistem yang menggunakan pompa dan valve. Metode ini juga membutuhkan solusi awal yang memenuhi persamaan kontinuitas. Meskipun demikian, metode ini masih banyak digunakan terutama untuk pengerjaan secara manual dan komputer sederhana atau kalkulator, serta hasil yang diperoleh juga cukup baik. Untuk loop l suatu pada jaringan pipa, persamaaan ∆ dapat dituliskan dengan persamaan : F (Δ Q1 ) = ml ∑ K [sgn (Qi i =1 i i + Δ Ql ) Qi i + Δ Ql ] n − dhl = 0 (II.29) dimana: ΔQl = koreksi loop l untuk mencapai konvergen, L3/T Qii = estimasi debit awal pada pipa i, L3/T ml = jumlah pipa dalam loop l Dengan menggunakan metode Newton, diperoleh : mi ΔQ(k + 1) = ΔQ − ∑ K (Qi + ΔQ ) Qi + ΔQ i =1 i i l i ml ∑ K n Qi + ΔQ i =1 i i i n −1 l (II.30) n −1 l 28 dimana 1 merujuk pada nilai ∆ pada iterasi ke 1 . Persamaan II.30 harus ekivalen dengan: ΔQ(k + 1) = ΔQ(k ) − F (k ) F ' (k ) Perlu diingat bahwa tanda (II.31) tergantung dari bagaimana keadaan pipa dalam loop. Pipa yang sama mungkin saja memiliki tanda yang berbeda dalam loop yang berbeda pula. Dalam metode Hardy Cross, aliran di dalam tiap-tiap pipa dianggap sedemikian rupa sehingga prinsip kontinuitas dipenuhi pada tiap node. Suatu koreksi terhadap besar aliran yang dimisalkan haruslah dihitung berturut-turut untuk setiap putaran pipa di dalam jaringan yang bersangkutan,sehingga koreksinya berkurang hingga suatu besaran yang dapat diterima (Linsley & Franzini, 1979). Tahapan penyelesaian metode Hardy Cross (JICA, 1974), adalah sebagai berikut: 1. Menentukan tanda arah aliran, biasanya searah jarum jam adalah positif (+). 2. Proses perhitungan, dengan skema: ΔQ = − ∑h h 1.85∑ Q Gambar II.3 Skema Penyelesaian Metode Hardy Cross 3. Jika sebuah pipa terkait dengan dua loop, koreksi ∆Q pada pipa harus dilakukan dari kedua loop tersebut. CaO, 1963 dalam Todini & Pilati, 1988, membuktikan bahwa dengan memilih independent loops (loop-loop bebas) yang tidak unik menyebabkan metode Hardy Cross dapat divergen. Sementara itu untuk persamaan yang dibangun dari persamaan node, metode Hardy Cross memiliki laju kekonvergenan yang lambat dan suatu waktu tidak konvergen. 29 II.3.2.4 Metode Gradien Metode yang dipakai pada software EPANET 2.0 ini menyelesaikan persamaan kontinuitas dan headloss dengan menggunakan pendekatan hibridisasi node dan loop (hybrid node-loop approach). Todini dan Pilati (1987) dan Salgado et al. (1988) menyebut metode ini sebagai “Metode Gradien”. Pendekatan yang sama juga dibuat oleh Hamam dan Brameller (1971) (“the Hybrid Method”) dan Osiadacz (1987) (“the Newton Loop-Node Method”). Perbedaan di antara metode-metode tersebut adalah cara dalam meng-update aliran pipa setelah diperoleh nilai head node dari iterasi. Pendekatan yang digunakan Todini lebih sederhana sehingga dipilih untuk digunakan dalam EPANET (Roosman, 2000). Suatu jaringan pipa yang memiliki N node dan NF node tetap (tangki dan reservoir). Persamaan dibangun dari persamaan head dan persamaan kontinuitas. Persamaan headnya dapat ditulis: untuk pipa, H i − H j = hij = rQ ijn + mQ ij2 dimana: (II.32) = head node = headloss = koefisien resistansi (tergantung pers. headloss yang digunakan) = debit = eksponen = koefisien headloss minor untuk pompa, ( hij = −ω 2 h0 − r (Qij / ω ) dimana: n ) (II.33) = shutoff head pompa = kecepatan relatif dan = koefisien kurva pompa Sedabgkan persamaan kontinuitasnya, ∑Q ij − Di = 0 untuk i = 1, 2, 3, …, N (II.34) j dimana: = flow demand pada node i (aliran masuk bertanda +) 30 Metode gradien dimulai dengan memberikan debit awal pada setiap pipa. Pada tiap iterasinya, setiap head di tiap node akan diperoleh dengan menyelesaikan matriks berikut: AH F (II.35) A = matriks Jacobi NxN dimana: H = vektor head yang tidak diketahui (Nx1) F = vektor sisi kanan (Nx1) Elemen diagonal dari matriks Jacobi: Aii = ∑ p ij (II.36) j sedangkan, selain elemen diagonal: Aij = − p ij dimana (II.37) adalah kebalikan dari turunan persamaan head pada link antara node i dan node j. Untuk pipa, pij = 1 nr Qij n −1 (II.38) + 2m Qij Sedangkan untuk pompa, pij = 1 (II.39) nω r (Qij ω ) n −1 2 Pada vektor sisi kanan, F dirumuskan: ⎛ ⎞ Fi = ⎜⎜ ∑ Qij − Di ⎟⎟ + ∑ y ij + ∑ p ij H f f ⎝ j ⎠ j dimana ∑p ij (II.40) H f berlaku unutuk setiap link yang menghubungkan node i dengan f node tetap (tangki dan reservoir). Faktor koreksi aliran, Untuk pipa, ( y ij = p ij r Qij Untuk pompa, ( n + m Qij 2 dilukiskan sebagai: )sgn (Q ) (II.41) ) (II.42) ij y ij = − p ij ω 2 h0 − r (Qij ω ) n dimana sgn(x) adalah 1 jika x > 0 dan -1 jika sebaliknya. Untuk pompa, nilai selalu positif. 31 Setelah nilai head yang baru ditemukan dengan menyelesaikan matriks AH F maka nilai debit yang baru dapat dicari dari persamaan, ( ) Qij = Qij − y ij − p ij (H i − H j ) (II.43) Dari persamaan di atas, proses iterasi kembali dilakukan jika perbedaan dari nilai sisi kiri dan kanan masih lebih besar dari nilai toleransi yang ditetapkan (misal 0,001). Iterasi dilakukan kembali dengan meyelesaikan kembali II.35 dan II.43. EPANET 2.0 mengimplementasikan metode Gradien dengan melakukan proses perhitungan menggunakan satuan feet (untuk head) dan cfs (untuk debit). Selain itu dalam pertama kali proses iterasi, nilai awal yang dipilih untuk aliran dalam pipa adalah nilai yang sama dengan nilai debit ketika nilai kecepatan alirannya sebesar 1 ft/sec. Sedangkan, nilai awal aliran yang melalui pompa besarnya sama dengan debit desain pompa (Roosman, 2000). II.4 Algoritma Genetika Algoritma Genetika (AG) pertama kali dikembangkan oleh John Holland dalam bukunya “Adaptation in Natural and Artificial System” pada tahun 1975. Algoritma Genetika dapat dipandang sebagai suatu teknik pencarian (searching method) secara stokastik yang idenya diperoleh dari proses evolusi di alam. Algoritma ini meniru mekanisme kerja seleksi alam dan genetika dalam menyelesaikan masalah. Dengan kata lain, Algoritma Genetika merupakan suatu proses evolusi buatan terhadap sekumpulan titik (individu) yang merupakan kandidat solusi dari suatu masalah, yang terjadi di dalam komputer dan berlangsung secara iteratif (dalam beberapa generasi). Teknik konvensional untuk optimasi problem kompleks biasanya tidak efisien secara komputasional, berbeda dengan Algortima Genetika yang relatif lebih efisien. Oleh karena itu, Algoritma Genetika biasanya digunakan sebagai alternatif untuk memecahkan problem optimasi yang kompleks dan memiliki derajat non linearitas yang tinggi. Algoritma Genetika menggunakan prosedur pencarian secara acak seperti halnya pada evolusi biologi, prosedur crossover, dan hanya ‘keturunan’ yang paling cocok saja yang akan bertahan untuk terus berkembang biak (Goldberg, 1989). 32 Algoritma Genetika sama sekali berbeda dari algoritma optimisasi lainnya. Sebagai contoh, Algoritma Genetika tidak menggunakan gradient maupun Hessian. Oleh karenanya, Algoritma Genetika dapat digunakan pada permasalahan optimisasi yang lebih luas (Chong & Zak, 2001). Berbeda dengan teknik pencarian konvensional, Algoritma Genetika bekerja dalam sekumpulan calon solusi yang disebut sebagai populasi. Sedangkan masing-masing calon solusi disebut sebagai individu atau string. Individu terdiri dari sekumpulan gen atau bit yang merepresentasikan sifat dan karakter dalam satu iterasi atau generasi. Untuk setiap generasi, individu akan mengalami proses evolusi (seleksi alam) dan proses genetika (persilangan dan mutasi) yang nantinya akan menghasilkan generasi populasi baru. Dalam Algoritma Genetika dikenal adanya fungsi fitness. Nilai fungsi fitness merupakan ukuran seberapa adaptif suatu individu terhadap lingkungannya. Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah yang akan diselesaikan. Tidak semua masalah dapat secara langsung diselesaikan dengan Algoritma Genetika, melainkan harus dimodifikasi sedemikian rupa menjadi suatu fungsi fitness sehingga dapat diselesaikan oleh Algoritma Genetika. Individu dengan nilai fungsi fitness tinggi menunjukkan bahwa individu tersebut merupakan kandidat solusi masalah. Algoritma Genetika bertujuan untuk mencari individu dengan nilai fungsi fitness yang tinggi. Ada empat perbedaan dasar mekanisme kerja antara Algoritma Genetika dengan metode konvensional (Goldberg, 1989), yaitu: 1. Algoritma Genetika bekerja pada suatu kode dari himpunan parameter, bukan parameter itu sendiri. 2. Algoritma Genetika bekerja pada sekumpulan titik (populasi), bukan hanya sebuah titik. Oleh karena itu, peluang Algoritma Genetika untuk terjebak dalam optimum lokal dapat dikurangi. 3. Algoritma Genetika bekerja hanya menggunakan informasi fungsi fitness. Tidak membutuhkan turunan ataupun informasi bantuan lainnya. 4. Algoritma Genetika menggunakan aturan probabilistik, bukan aturan deterministik. 33 Keberhasilan dan unjuk kerja Algoritma Genetika tergantung pada berbagai parameter: ukuran populasi, jumlah generasi, serta probabilitas crossover dan mutasi. Unjuk kerja yang baik dari Algoritma Genetika membutuhkan nilai probabilitas crossover yang tinggi dan nilai probabilitas mutasi yang rendah (Goldberg, 1989; Linfield & Penny, 1995; dalam Fauzan, 2002) Secara umum, terdapat enam langkah dasar dalam Algoritma Genetika (Goldberg, 1989 dalam Saiman, 2003), yaitu: 1. Membangun Populasi Awal Pada tahap awal, algoritma secara acak akan membangun populasi dengan jumlah individu N. Setiap individu terdiri dari sekumpulan gen atau bit yang pada umumnya merupakan string biner. Jumlah gen dalam tiap individu atau yang disebut panjang individu biasanya berhubungan dengan berapa ketelitian nilai yang diinginkan. Hubungan ini dirumuskan sebagai berikut: 2 dimana: p j −1 p −1 ≤ (b j − a j )⋅10d ≤ 2 j = 1,2,...,m (II.44) dengan m = banyak variabel = ketelitian nilai [a , b ] = interval j j p j = panjang bit variabel ke-j 2. Evaluasi Setelah terbentuk populasi awal, selanjutnya Algoritma Genetika akan mengevaluasi setiap individu ke dalam populasi. Pertama, tiap individu akan dikonversi terlebih dahulu dari kode biner ke nilai riil. Adapun rumus konversinya adalah: ⎛ b − aj ⎞ ⎟ x j = a j + bil _ des⎜ j ⎜ p j −1 ⎟ ⎝2 ⎠ dimana: _ (II.45) = bilangan desimal tiap string biner variabel Setelah semua individu dikonversi ke nilai riilnya, selanjutnya akan dihitung fitness tiap individu berdasarkan fungsi fitness. 34 3. Seleksi Setelah mengevaluasi tiap individu, pada tahap ini akan dilakukan seleksi calon orang tua berdasarkan fitness yang dimiliki. Individu yang lebih baik, yakni yang mempunyai fitness yang lebih tinggi, mempunyai peluang yang lebih besar dan lebih sering untuk terseleksi ke dalam himpunan calon orang tua. Ada beberapa metode seleksi dalam AG salah satunya metode Roulette Wheel Selection. Metode ini meniru mekanisme permainan roda rolet. Setiap individu mendapat bagian dalam roda rolet proporsional dengan nilai fitness mereka. Individu yang memiliki fitness tinggi akan mendapat porsi roda yang lebih besar. Selanjutnya seleksi individu ke dalam himpunan calon orang tua dilakukan dengan melakukan pemutaran roda rolet secara acak sebanyak jumlah individu N. Individu yang memiliki bagian roda rolet yang lebar, yakni mewakili fitness yang tinggi, akan mempunyai peluang yang lebih besar dan lebih sering untuk terseleksi. Langkah-langkah dalam Roulette Wheel Selection: • Hitung fitness F(xi) untuk tiap individu xi • n Hitung total fitness dari populasi : ∑ F x i i =1 • Hitung peluang terseleksi pi untuk tiap individu xi ( ) ( ) ( ) Fx i p = i n ∑ F xi i =1 • (II.46) (II.47) Hitung peluang kumulatif qi untuk tiap individu xi i q = ∑ p i j j =1 (II.48) • Pilih bilangan acak • Jika r ≤ qi , maka pilih individu pertama xi , jika tidak, pilih individu ke - i, antara 0,1 2 ≤ i ≤ n sedemikian hingga qr −1 ≤ r ≤ qi 35 4. Persilangan Operator genetika ini bekerja pada dua individu yang dipilih secara acak dari himpunan calon orang tua. Untuk setiap dua individu yang terpilih akan dilakukan rekombinasi untuk menghasilkan individu baru (keturunan). Peluang persilangan atau Pc biasanya tinggi. Ada beberapa jenis metode persilangan, diantaranya adalah: • Persilangan 1 titik (one-point crossover) • Persilangan 2 titik (two-point crossover) • Persilangan bergantian (cycle crossover) One-point crossover Proses kerjanya adalah dengan memilih sepasang-sepasang individu dari himpunan calon orang tua kemudian menyilangkan mereka dengan memilih titik persilangan acak. Tujuan dari proses persilangan adalah mengeksplorasi daerah solusi sekitar orang tua. Atau dengan kata lain, proses persilangan bertujuan menghasilkan keturunan (individu baru) yang tidak jauh berbeda dari orang tua. Karena orang tua berasal dari individu dengan fitness tinggi, maka diharapkan keturunan yang dihasilkan juga mempunyai fitness yang tinggi. Skema metode one-point crossover orang tua 1 orang tua 2 101Ξ110 keterangan 1 keterangan 2 111Ξ000 Æ 101000 111110 Prosedur persilangan: • Semua individu dalam populasi dipasangkan dua-dua sehingga terbentuk /2 pasangan dengan /2 : bilangan bulat terbesar yang lebih kecil atau sama dengan /2 • Pilih bilangan acak rk antara 0,1 , 1,2, . . . , /2 Jika rk ≤ Pc maka pasangan ke-k mengalami persilangan, lakukan persilangan one-point crossover. Jika tidak, pasangan ke-k tidak mengalami persilangan dan langsung terpilih ke populasi baru. 36 5. Mutasi Setelah melakukan proses persilangan, maka akan dihasilkan individu-individu baru. Selanjutnya, pada individu-individu ini akan dilakukan proses mutasi. Operator genetika ini memodifikasi setiap gen/bit pada inidividu dengan peluang Pm , mutasi jarang terjadi sehingga Pm << 1 . Pada individu dengan string biner, jika bit mengalami mutasi maka nilai ‘0’ akan berubah menjadi ‘1’ dan nilai ‘1’ berubah menjadi ‘0’. Prosedur mutasi: • Tentukan bilangan acak rk antara 0,1 , 1,2, . . . , B merupakan jumlah keseluruhan bit dalam populasi • Jika rk ≤ Pm maka ubah nilai bit ke-k dari ‘0’ menjadi ‘1’ atau sebaliknya dari ‘1’ menjadi ‘0’. Proses mutasi dalam Algoritma Genetika mempunyai peranan penting dalam mengeksploitasi daerah solusi global untuk mencari individu terbaik. Dengan mutasi diharapkan peluang Algoritma Genetika untuk terjebak di optimum lokal dapat direduksi. 6. Uji Terminasi Setelah melewati proses evaluasi, persilangan dan mutasi, maka Algoritma Genetika akan menghasilkan populasi baru. Selanjutnya, populasi baru ini akan diuji apakah sudah memenuhi kriteria penghentian. Secara umum, ada dua kriteria penghentian, yaitu: a. Uji kekonvergenan Iterasi akan berhenti jika terjadi kestabilan populasi yang ditandai dengan keseragaman hampir semua gen dalam populasi. Definisi : (Offermans, 1995 dari Saiman 2003) Misalkan : : populasi dari n individu dengan 1 gen Xk = Xk(1) Xk(2) ... Xk(l) kromosom pada individu ke-k dalam P, k=1,2,...,n 37 Gen Xk(p) stabil ⇔ terdapat > 90% individu dalam P dengan Xk(p) = c, c Є {0,1}, p : posisi bit P dikatakan stabil apabila semua gen pada P stabil b. Uji iterasi Iterasi akan berhenti jika sudah mencapai iterasi atau generasi maksimum yang ditetapkan. Algoritma Genetika dengan enam langkah utama tersebut disebut Algoritma Genetika Sederhana. Diagram alir yang mengilustrasikan tahapan proses dalam Algoritma Genetika dapat dilihat pada Gambar II.4. Gambar II.4 Diagram Alir Algoritma Genetika Sumber: Chong & Zak, 2001 38 II.5 Metode Newton Masalah penentuan akar suatu persamaan (linear maupun tidak linear) atau dapat juga disebut masalah penentuan pembuat nol fungsi adalah masalah yang penting dan sering dijumpai dalam aplikasi matematika dalam bidang teknik dan sains. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, terdapat dua metode yang dapat digunakan, yaitu: 1. Metode Analitik Metode analitik merupakan metode yang memberikan nilai solusi sejati (exact solution), yaitu solusi yang memiliki galat (error) sama dengan nol. 2. Metode Numerik Metode numerik merupakan suatu metode yang memformulasikan persoalan matematik sedemikian rupa sehingga dapat dipecahkan dengan menggunakan operasi aritmatika biasa. Namun seringkali dalam prakteknya, penyelesaian secara analitik sulit didapat bahkan tak jarang tidak mungkin didapat. Penyelesaiaan secara numerik merupakan alternatif yang dapat digunakan. Penyelesaian tersebut merupakan suatu hampiran penyelesaian yang didapat setelah melakukan sejumlah berhingga perhitungan matematis hingga kesalahan (perbedaan dengan nilai sebenarnya) memenuhi kriteria tertentu. Dalam banyak permasalahan teknik, penyelesaian numerik jauh lebih berguna, selain karena relatif lebih mudah didapat, penyelesaian ini lebih mungkin direalisasikan. Untuk menghampiri akar suatu persamaan telah dikenal beberapa metode (Nasution dan Zakaria, 2001; Hoffman, 1992; Kaw, 2003), seperti: 1. Interval halving 2. Fixed-point iteration 3. Metode Newton 4. Metode Secant 39 Metode bisection dan metode regula falsi termasuk kedalam metode interval halving. Kedua metode tersebut dalam proses pencarian akar persamaan tak linear, 0, membutuhkan pengurungan akar persamaan yang akan dicari dengan memberikan dua buah tebakan awal. Metode ini juga dikenal sebagai metode pengurungan (bracketing methods). Keuntungan metode ini adalah error dari solusinya terikat, maksudnya berada pada rentang nilai intervalnya. Sedangkan, kelemahannya adalah kekonvergenannya yang lambat. Dalam metode fixed-point iteration atau metode iterasi tunggal, penentuan akar persamaan dilakukan dengan cara pendekatan berurutan. Metode ini kadangkadang bekerja dengan baik, namun kadang-kadang mengalami kegagalan. Berdasarkan hal itu, metode fixed-point iteration ini tidak direkomendasikan digunakan untuk menyelesaikan persamaan tak linear. Metode Newton merupakan metode yang powerful dalam analasis numerik. Pada metode ini, akar persamaan tidak dikurung. Hanya sebuah tebakan awal yang dibutuhkan untuk memulai proses iterasinya. Oleh karena itu, metode ini termasuk jenis metode terbuka (open methods). Metode ini selalu konvergen jika perkiraan awal cukup dekat dengan nilai solusi yang dicari dan konvergensinya kuadratis. Kekurangan metode ini adalah dibutuhkannya turunan dari fungsi Jika fungsi turunan ’ . tidak didapatkan, maka dibutuhkan alternatif lain, yaitu menggunakan metode Secant. Namun, dari hasil analisis Jeeves, 1958 diketahui bahwa laju kekonvergenan metode Secant lebih lambat dibandingkan dengan kekonvergenan metode Newton (Hoffman, 1992). II.5.1 Penurunan Metode Newton Metode Newton adalah suatu metode yang didasarkan pada prinsip iterasi Newton-Raphson, yaitu pendekatan fungsi tak linear f(x) dengan hampiran linear: l ( x) = f ( xk ) + f ' ( xk )( x − xk ) (II.49) Dengan menyelesaikan persamaan l ( xk +1 ) = 0 akan didapat: 40 x k +1 = x k − f ( xk ) f ' ( xk ) (II.50) Ada dua masalah dalam menghampiri akar sebenarnya dari suatu persamaan dengan menggunakan metode iteratif Newton, yaitu: 1. Apakah tebakan awal yang dipilih akan mengakibatkan {xk} konvergen ke akar yang dikehendaki, dan 2. Seberapa cepat dan bagaimana mengukur kecepatan kekonvergenan dari suatu skema iterasi. Metode Newton dapat diturunkan berdasarkan tafsiran geometris (Chapra and Canale, 1985). Perhatikan Gambar II.5. Gambar II.5 Pelukisan grafis metode Newton Sumber: Chapra and Canale, 1985 Dari Gambar II.5, turunan pertama di xi setara dengan kemiringan : f ' ( xi ) = f ( xi ) − 0 x i − x i +1 (II.51) yang dapat disusun ulang kembali untuk menghasilkan x i +1 = x i − f ( xi ) f ' ( xi ) (II.52) yang dinamakan rumus Newton. Selain dengan penurunan geometri, metode Newton juga dapat diturunkan dari deret Taylor. Deret Taylor dapat dituliskan sebagai berikut: 41 f ( xi +1 ) = f ( xi ) + f ' ( xi )( xi +1 − xi ) + f " (ξ ) ( xi +1 − xi ) 2 2 (II.53) dimana ξ terletak sembarang dalam selang xi sampai xi+1. Dengan memotong deret setelah suku turunan pertama: f ( xi +1 ) = f ( xi ) + f ' ( xi )( xi +1 − xi ) (II.54) Pada perpotongan dengan sumbu x, f ( xi +1 ) akan sama dengan nol, atau: 0 = f ( xi ) + f ' ( xi )( xi +1 − xi ) (II.55) yang dapat diselesaikan untuk x i +1 = x i − f ( xi ) f ' ( xi ) (II.56) Persamaan II.56 identik dengan Persamaan II.52 yang diturunkan dari metode geometri. II.5.2 Analisis Galat Metode Newton Jika digunakan deret Taylor yang lengkap, maka akan diperoleh hasil yang eksak. Pada kondisi ini, xi+1 = xr, dimana xr adalah nilai sejati dari akar. Dengan mensubstitusi nilai ini bersama dengan f(xr) = 0 ke dalam Persamaan (II.53) akan menghasilkan: 0 = f ( xi ) + f ' ( xi )( xr − xi ) + f " (ξ ) ( x r − xi ) 2 2 (II.57) dimana suku orde ketiga dan yang lebih tinggi tetap dihilangkan. Persamaan (II.57) dikurangi dengan Persamaan (II.55) akan memperoleh: 0 = f ' ( xi )( xr − xi +1 ) + f " (ξ ) ( xr − xi )2 2 (II.58) Galat merupakan ketidaksesuaian antara xi +1 dan nilai sejati xr , dapat ditulis E t ,i +1 = x r − xi +1 (II.59) sehingga Persamaan (II.58) dapat ditulis ulang menjadi: 0 = f ' ( xi ) Et ,i +1 + f " (ξ ) 2 E t ,i 2 (II.60) Dengan asumsi kekonvergenan xi dan ξ pada akhirnya harus dihampiri oleh akar xr , dan Persamaan (II.60) dapat disusun kembali agar menghasilkan: 42 E t ,i +1 = − f " ( xr ) 2 E t ,i 2 f ' ( xr ) (II.61) Berdasarkan Persamaan (II.61), secara kasar galat sebanding dengan kuadrat galat sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa banyaknya posisi desimal yang benar kirakira akan berlipat dua pada tiap iterasi. Hal ini membuktikan bahwa metode Newton memiliki sifat kekonvergenan yang kuadratis (Chapra and Canale, 1985). II.5.3 Kendala Metode Newton Walaupun metode Newton biasanya sangat efisien, terdapat situasi di mana metode ini tidak berjalan dengan baik (kekonvergenan yang buruk). Selain kasus khusus berupa akar ganda, metode ini kadangkala mengalami kendala dalam menangani akar-akar yang sederhana, seperti dalam contoh berikut. Selain terjadinya kekonvergenan yang lambat karena sifat alami dari fungsi tersebut, kesulitan lain juga dapat timbul (Chapra and Canale, 1985), seperti diilustrasikan dalam Gambar II.6. 1. Gambar II.6a memperlihatkan suatu kasus di mana suatu inflection point, yaitu ” 0, terjadi di sekitar suatu akar. Pada kasus tersebut, dengan memulai iterasi pada x0 maka pada iterasi selanjutnya diperoleh nilai yang semakin lama semakin menjauhi akar. 2. Gambar II.6b memperlihatkan adanya kecenderungan ayunan (oscillations) pada metode Newton, yang memutari suatu maksimum atau minimum lokal. 3. Gambar II.6c memperlihatkan bagaimana suatu tebakan awal yang dekat ke salah satu akar dapat meloncat ke suatu tempat beberapa akar yang lebih jauh. Kecenderungan terjadinya hal tersebut disebabkan dijumpainya kemiringankemiringan yang hampir nol. Suatu kemiringan nol [ f ' ( x ) = 0] merupakan masalah yang penting karena menyebabkan adanya pembagian dengan nol dalam rumus Newton. 4. Secara grafis, Gambar II.6d memperlihatkan bahwa penyelesaiannya melesat secara mendatar dan tidak pernah mengenai sumbu x. Satu-satunya solusi untuk mengatasi kendala-kendala yang terdapat pada Metode Newton adalah dengan mempunyai tebakan awal (initial guess) yang baik, yaitu yang dekat dengan akar. 43 Gambar II.6 Ilustrasi Kendala Metode Newton Sumber: Chapra and Canale, 1985 II.5.4 Penyelesaian Sistem Persamaan Tak Linear dengan Metode Newton Metode Newton yang dijelaskan di atas merupakan metode yang digunakan untuk menentukan akar-akar satu persamaan tunggal. Suatu masalah yang berkaitan adalah melokalisasikan akar-akar himpunan persamaan tak linear (Linfield & Penny, 1995), f 1 ( x 1 , x 2 ,..., x n ) = 0 f 2 ( x 1 , x 2 ,..., x n ) = 0 . . . . . . (II.62) 44 f n ( x 1 , x 2 ,..., x n ) = 0 Penyelesaian sistem ini terdiri dari himpunan nilai-nilai yang secara simultan memberikan semua persamaan tersebut nilai yang sama dengan nol. Metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sistem persamaan II.62 didasarkan pada metode Newton untuk satu persamaan tunggal. Untuk mengilustrasikan prosedur penyelesaiannya, awalnya kita meninjau suatu sistem dua persamaan dengan dua variabel: f 1 (x1 , x 2 ) = 0 (II.63) f 2 (x1 , x 2 ) = 0 Dengan diberikan suatu nilai tebakan awal x10 dan x 20 untuk x1 dan x2 , dapat dicari nilai perkiraan baru x11 dan x 12 sebagai berikut: x11 = x10 + Δx10 x12 = x20 + Δx20 (II.64) Nilai perkiraan/aproksimasi tersebut akan membawa nilai dari fungsi yang ada mendekat ke nilai nol, ( (x ) )≈ 0 f 1 x 11 , x 12 ≈ 0 f2 1 1 ,x 1 2 atau (II.65) ( (x ) )≈ 0 f 1 x 10 + Δ x 10 , x 20 + Δ x 20 ≈ 0 f2 0 1 + Δx , x + Δx 0 1 0 2 0 2 Dengan menggunakan Deret Taylor, persamaan II.65 dapat ditulis menjadi: ( 0 ) 0 ∂f ⎫ Δ x 0 + ⎧ ∂ f1 ⎫ Δ x 0 + ... = 0 f 1 x 10 , x 20 + ⎧⎨ 1 ⎬ ⎨ 1 2 ∂ x ∂ x 2 ⎬⎭ 1⎭ ⎩ ⎩ ( 0 1 f2 x , x 0 2 ) 0 0 ∂f ⎫ Δ x 0 + ⎧∂f 2 ⎫ Δ x 0 + ... = 0 + ⎧⎨ 2 ⎨ 1 2 ∂ x 1 ⎬⎭ ∂ x 2 ⎬⎭ ⎩ ⎩ (II.66) Dari persamaan II.66, dengan memberikan suatu nilai awal maka dapat dihitung hampiran berikutnya dan proses ini terus berjalan sampai diperoleh konvergensi dengan akurasi yang hendak dicapai. Kriteria konvergensi yang lazim digunakan, yaitu: (Δx ) + (Δx ) r 2 1 r 2 2 <ε (II.67) dimana r menyatakan banyak iterasi dan ε adalah nilai error yang ingin dicapai. 45 Untuk sistem persamaan yang terdiri dari beberapa variabel dan persamaan, secara umum sistem persamaannya dapat ditulis sebagai: f(x) = 0 (II.68) di mana f menyatakan kolom vektor dari n komponen (f1, f2, …, fn)T dan x adalah suatu kolom vektor dari n komponen (x1, x2, …, xn)T. Misalkan xr+1 menyatakan nilai x pada iterasi ke r + 1, maka dapat ditulis x r +1 = x r + Δx r untuk r = 0, 1, 2, ... (II.69) Jika xr+1 merupakan hampiran terhadap nilai x, maka f(xr+1 ) ≈ 0 atau f(x r + Δx) ≈ 0 (II.70) Persamaan II.70 jika diperluas dengan menggunakan Deret Taylor n-dimensi, diperoleh: f(x r + Δx) = f(x r ) + ∇f(x r )Δx r + ... (II.71) dimana ∇ adalah operator vektor dari turunan parsial. Jika suku orde kedua (Δx ) r 2 dan yang lebih tinggi diabaikan maka dapat ditulis menjadi: f(xr ) + JΔx r ≈ 0 (II.72) dimana J = ∇f(x r ) . J disebut sebagai matriks Jacobi. r menyatakan bahwa matriks dievaluasi pada tiap titik x r dan dapat ditulis dalam bentuk: [ J = ∂f i (x r ) ∂x j ] (II.73) untuk i = 1, 2, 3,…, n dan j = 1, 2, 3,…, n Dalam menyelesaikan Persamaan (II.69), nilai hampiran yang diperoleh adalah x r +1 = x r − J −1f(x r ) untuk r = 0, 1, 2, ... (II.74) Matriks J bisa saja singular dan pada kasus ini invers-nya, J −1 , tidak dapat dihitung. 46