komunikasi antarpribadi perawat terhadap pasien skizofrenia dalam

advertisement
KOMUNIKASI ANTARPRIBADI PERAWAT
TERHADAP PASIEN SKIZOFRENIA DALAM PROSES
PENINGKATAN KESADARAN DI RUMAH SAKIT
JIWA DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)
Oleh:
DWI ASRIANI NUGRAHA
NIM: 1111051000088
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ABSTRAK
“Komunikasi Antarpribadi Perawat Terhadap Pasien Skizofrenia dalam Proses
Peningkatan Kesadaran di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor”.
Komunikasi merupakan kebutuhan seluruh makhluk sosial tak terkecuali orang
yang sedang mengalami gangguan jiwa, namun pada realitas yang ada mereka seringkali
diasingkan oleh keluarga dan lingkungan sekitar, sebenarnya hal tersebutlah yang menjadi
salah satu penyebab kondisi psikologisnya semakin tertekan. Terdapat perbedaan kondisi
antara komunikator dan komunikan, yang mana komunikator memiliki kesehatan
emosional yang stabil sedangkan komunikan memiliki gangguan emosional. Namun hal
tersebut justru tidak menyurutkan semangat para perawat untuk dapat menyembuhkan
penyakit pasien. Salah satu metode penyembuhan yang digunakan ialah metode interaksi
langsung. Kondisi inilah yang membuat penulis tertarik tentang bagaimana jika kita selaku
manusia sehat jika dihadapkan dengan mereka yang sedang sakit.
Ada beberapa pertanyaan yang semoga dapat terpecahan ketika penelitian selesai.
Adapun pertanyaan yang dimaksud meliputi: bagaimana komunikasi antarpribadi yang
dilakukan para perawat terhadap pasien skizofrenia di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor? dan apa hambatan-hambatan yang ditemui perawat saat berkomunikasi dengan
pasien skizofrenia?
Agar penelitian ini dapat terarah dan reliable maka teori yang menjadi acuan
penelitian ini ialah teori Penetrasi Sosial teori ini dikembangkan oleh Altman dan Taylor
dan teori ini berupaya mengidentifikasi proses peningkatan keterbukaan dan keintiman
seseorang dalam menjalani hubungan dengan orang lain yang artinya seseorang mengenal
orang lain secara gradual melalui komunikasi yang semakin meningkat.
Adapun pendekatan penelitian yang digunakan ialah pendekatan penelitian
kualitatif, dengan paradigma klasik, jenis metode penelitian field research (studi lapangan)
dan menggunakan descriptive qualitatif case study methode. Dan data didapat dengan
menggunakan teknik wawancara, observasi, studi kepustakaan, dan studi rekaman arsip.
Teknik komunikasi antarpribadi yang dilaksanakan oleh perawat ketika
menghadapi pasien ditandai dengan jalinan komunikasi yang bersifat nonformal sehingga
pasien merasa nyaman akan proses yang sedang dijalani dan proses komunikasi selalu
dilaksanakan dalam jarak yang dekat sehingga umpan baliknyapun dapat dilihat secara
langsung. Hambatan yang ditemui pasien meliputi halusinasi, keadaan jiwa yang belum
stabil, belum terjalinnya rasa percaya pasien terhadap perawat, keengganan pasien untuk
berkomunikasi, pembicaraan pasien yang inkoheren, perawat tidak mengerti apa yang
diucapkan oleh pasien, dan tingkat kesabaran perawat masih minim.
Dengan demikian proses komunikasi merupakan proses yang sangat penting untuk
dijalin antara perawat dan pasien karena jika proses ini tidak dijalin dengan baik maka
perawatpun akan sulit untuk mengarahkan kesembuhan pasien. dan proses komunikasi ini
juga penting diterapkan agar rasa percaya diri pasien semakin meningkat sehingga ia
termotivasi untuk sembuh dan hidup normal seperti sedia kala.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim
“Aku sesuai dengan prasangkaan hambaKu terhadap-Ku dan Aku selalu
bersamanya ketika dia mengingatKu. Apabila dia mengingatKu dalam dirinya,
maka Akupun akan mengingatnya dalam diriKu, apabila dia mengingatKu dalam
suatu jemaah manusia, maka Akupun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan
makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekatiKu sejengkal, maka
Aku akan mendekatinya sehasta, apabila dia mendekatiKu sehasta, maka Aku
akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepadaKu dengan berjalan,
maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari. (HR. Muslim)
Segala puja dan puji kepada Zat yang maha dahsyat, Zat yang
mengenggam segala unsur duniawi dan ukhrawi, Zat yang meliputi apa yang
terfikir dan apa yang tidak terfikir. Maha besar Allah SWT atas segala nikmat dan
karuniaNya. Shalawat yang bertangkaikan salam semoga selalu tercurahkan
kepada junjungan agung kita nabi Muhammad SAW yang senantiasa
membimbing hambanya dari zaman primitif hingga zaman modern saat ini.
Alhamdulillahirabbal‘alamin, penulis tak henti mengucapkan rasa syukur
kepada Allah atas segala rahmat dan petunjuknya, sehingga karya ilmiah ini dapat
terselesaikan. Karena tanpa pertolongan dari yang Maha Agung mustahil karya ini
dapat selesai.
Dengan penuh dengan kesadaran penulis merasa bahwa tanpa bantuan dan
dukungan baik moril maupun materil peneliti tidak akan dapat menyelesaikan
tanggung jawab ini, semuanya terselesaikan berkat arahan, bantuan, petunjuk,
ii
motivasi serta doa dari semua pihak, seperti Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam,
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan kali ini, peneliti mengucapkan amat banyak terima kasih
kepada beberapa pihak, diantaranya:
1.
Bapak Dr. Arief Subhan M.A sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta
jajarannya.
2.
Bapak Rachmat Baihaky, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam beserta Ibu Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekretaris Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam, terima kasih atas segala dukungan dan
motivasinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3.
Ibu Kalsum Minangsih selaku Dosen Pembimbing Akademik KPI C 2011
yang telah membantu mengarahkan penulis untuk mengikuti proses kegiatan
akademik.
4.
Prof. Dr. H.M. Yunan Yusuf. MA, Selaku dosen pembimbing yang senantiasa
meluangkan waktunya untuk membantu, mengarahkan dan mendukung
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5.
Seluruh dosesn Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman
yang sangat bermanfaat bagi penulis.
6.
Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dan juga Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iii
yang telah memberikan kemudahan penulis untuk mendapatkan berbagai
referensi dalam penyelesaian skripsi ini.
7.
Segenap pihak Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian dan wawancara serta banyak
membantu dalam penulisan skripsi ini khususnya Ibu Marni selaku
pendukung dari DIKLIT, dan kepada seluruh perawat di ruang Yudistira
khususnya Bapak Ahmad Rivai, Bapak Mamat Sutedi, Ibu Ernawati, Ibu Siti
Rohmah, Ibu Nurmilah, dan Ibu Fujiati yang berkenan memberikan banyak
informasi tentang pola komunikasi perawat terhadap pasien skizofrenia.
8.
Kepada ayahanda tercinta Juaeni, dan ibunda tersayang Siti Hasanah. Terima
kasih karena selalu memberikan kepercayaan anakmu ini untuk memilih.
Hampir setiap nafas yang kau hembuskan hanya untuk berdoa agar semua
putra-putrimu kelak bahagia, dan ini persembahan awalku bahwa memenuhi
harapanmu adalah tujuan utamaku, semoga pintu rahmah dan rahimnya
senantiasa menemani setiap derap langkahmu. Amin.
9.
Kakakku tercinta Agung Cahya Nugraha, SE. Terima kasih atas dukungan
dan motivasinya yang kerap diberikan kepada penulis.
10. Adikku tercinta Sayyid Fajrin Nugraha. Terima kasih atas dukungan dan
doanya yang senantiasa diberikan kepada penulis.
11. Teman-teman seperjuangan KPI angkatan 2011, khususnya KPI C yang
saling membantu dan memberikan dukungan agar kita bisa sukses bersama.
12. Kakak-kakak dan kawan-kawan semua di UKM Bahasa-FLAT terima kasih
atas dukungan, motivasi dan doanya yang selalu diberikan kepada penulis
hingga akhinya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
iv
13. Sahabat-sahabat La-Flamme terima kasih untuk tetap terus berkembang
bersama, terima kasih atas dukungan, motivasi serta doanya, semoga
persahabatankitaakantetapterusberlangsungselaludanselamanya.
14. Sahabatku Siti Khafidoh, Faramudita Dwi Iriyani, Siti Roudhotul Fushiah,
terima kasih karena telah banyak meramaikan sepinya duniaku. Semoga
persahabatan kita tidak berhenti sampai disini. Dan terima kasih pula atas
dukungan, motivasi dan doanya hingga akhirnya penulis terpacu untuk
menyelesaikan karya ilmiah ini.
15. Sahabat-sahabat KKN KITA Desa Karya Mekar, Kecamatan Cariu, Bogor
2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah mendukung serta
memotivasi penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
semua pihak yang telah membantu, mendukung dan mendoakan kepada peneliti.
Semoga Allah SWT semakin memberikan karunianya kepada kita semua. Terima
kasih atas segalanya dan mohon maaf atas segala kekhilafan. Semoga skripsi ini
dapat selalu bermanfaat bagi pembaca, dan khusunya bagi peneliti. Amin Yaa
Robbal Alamiiin.
Jakarta, 19 Juni 2013
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................................ I
KATA PENGANTAR ...................................................................................................11
DAFTAR ISI ................................................................................................................VII
BAB I
PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
BAB II
Latar Belakang Masalah .............................................................................1
Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................8
Tujuan Penelitian .......................................................................................8
Signifikansi Penelitian ...............................................................................9
Metodologi Penelitian ..............................................................................10
Tinjauan Pustaka ......................................................................................18
Sistematika Penulisan ..............................................................................20
KAJIAN TEORI TENTANG KOMUNIKASI ANTARPRIBADI,
KOMUNIKASI TERAPEUTIK DAN KONSEP SKIZOFRENIA
A. Kajian Ilmiah Mengenai Komunikasi Antarpribadi .................................21
1. Pengertian Komunikasi Antarpribadi ................................................21
2. Komponen-Komponen dalam Komunikasi Antarpribadi ..................21
3. Proses Komunikasi Antarpribadi .......................................................28
4. Ciri-Ciri Komunikasi Antarpribadi ....................................................29
5. Tujuan Komunikasi Antarpribadi ......................................................31
B. Teori Penetrasi Sosial ...............................................................................34
1. Pengertian Penetrasi Sosial .................................................................34
2. Tahapan Proses Penetrasi Sosial .........................................................35
C. Komunikasi Terapeutik ............................................................................38
1. Pengertian Komunikasi Terapeutik ....................................................38
2. Relevansi Komunikasi Terapeutik ......................................................38
3. Tujuan Komunikasi Terapeutik ..........................................................39
4. Komponen Esensial Komunikasi Terapeutik .....................................39
5. Metode-Metode Komunikasi Terapeutik ............................................41
6. Teknik Komunikasi Terapeutik ..........................................................45
D. Skizofrenia ................................................................................................48
1. Pengertian Skizofrenia ........................................................................46
2. Ciri-Ciri Utama Skizofrenia ................................................................48
3. Faktor-Faktor Pemicu Skizofrenia ......................................................50
4. Aneka Ragam Skizofrenia...................................................................51
vi
BAB III GAMBARAN UMUM RUMAH SAKIT JIWA DR. H. MARZOEKI
MAHDI BOGOR
A. Profil Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ..................54
B. Visi, Misi dan Tujuan .........................................................................58
1. Visi................................................................................................57
2. Misi ...............................................................................................57
3. Tujuan ...........................................................................................57
C. Fasilitas Pelayanan Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ......62
D. Ketenagakerjaan .................................................................................66
E. Grafik Kinerja Pelayanan ...................................................................67
F. Data Riwayat Penyakit Gangguan Jiwa Pasien Tahun 2013-2014.....69
1. 10 Besar Diagnosa Rawat Darurat Kasus Psikiatri ......................69
2. 10 Besar Diagnosa Rawat Jalan Kasus Psikiatri ..........................72
3. 10 Besar Diagnosa Rawat Inap Kasus Psikiatri ...........................76
BAB IV ANALISIS POLA KOMUNIKASI ANTARA PERAWAT TERHADAP
PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI
MAHDI BOGOR
A. Identifikasi Informan ...........................................................................80
1. Identifikasi Perawat Kejiwaan Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Marzoeki
Mahdi Bogor ...................................................................................80
2. Identifikasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. H..
Marzoeki Mahdi Bogor ..................................................................84
B. Komunikasi antarpribadi Perawat Terhadap Pasien Skizofrenia di
Rumah sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ...............................86
1. Analisis Pengembangan Hubungan antara Perawat terhadap Pasien
Skizofrenia ......................................................................................87
2. Analisis Komunikasi Terapeutik dalam Pengembangan Hubungan
Perawat terhadap Pasien Skizofrenia ............................................111
3. Peran Dakwah dalam Peningkatan Kesadaran Pasien di Rumah
Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ...................................117
C. Hambatan-Hambatan Yang Ditemuia Perawat Saat Berkomunikasi
dengan Pasien Skizofrenia ..................................................................119
1. Hambatan yang Terdapat Dalam Diri Pasien ...............................120
2. Hambatan yang Terdapat Dalam Diri Perawat ............................123
BAB V PENUTUP .......................................................................................................125
A. Kesimpulan ...................................................................................125
B. Saran .............................................................................................126
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................129
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian
Proses komunikasi merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat
dipungkiri oleh kita sebagai makhluk sosial. Komunikasi akan semakin efektif
jika didasari dengan rasa pengertian, keterbukaan, empati dan kepercayaan antara
sesama peserta komunikasi. Dan jika setiap individu memahami betul unsur-unsur
yang terkandung didalamnya.
Unsur-unsur yang dimaksud ialah sumber (source), pesan (message),
saluran (channel), penerima ( receiver, audience), pengaruh (effect) dan umpan
balik (feed back). Dalam proses komunikasi perubahan sikap dalam diri penerima
(receiver) penting adanya karena hal itu sebagai pembuktian bahwa komunikasi
telah berjalan secara efektif meski prosesnya berjalan secara tatap muka atau
tidak.
Komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi adalah komunikasi
antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya
menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non
verbal.1 Adapun komunikasi ini dapat dilaksanakan antara orang tua dan anak,
guru dan murid dan juga hubungan antara perawat dan pasien.
Perawat merupakan seseorang yang memiliki tugas dan amanah untuk
dapat merawat pasien yang sedang sakit, baik sakit fisik maupun sakit karena
1
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal (Jogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 3.
1
2
gangguan emosional/mental. Gangguan emosional/mental meliputi ketidakpuasan
dengan karakteristik, kemampuan, dan prestasi diri; hubungan yang tidak efektif
atau tidak memuaskan; tidak puas hidup didunia atau koping yang tidak efektif
terhadap peristiwa kehidupan dan tidak terjadi pertumbuhan personal.2 Gangguan
mental ini juga kerap disebut dengan psikosis dan psikosis ini biasanya di
klasifikasikan menjadi dua kelompok utama yaitu psikosis organik dan psikosis
fungsional. Psikosis fungsional ialah gangguan mental yang berat dan sangat
melibatkan seluruh kepribadian tanpa ada kerusakan jaringan saraf.
Kategori psikosis fungsional terbagi lagi menjadi tiga kelompok yaitu,
skizofrenia, gangguan Bipolar, dan gangguan-gangguan psikotik lain. Konsep
skizofrenia ini merupakan suatu gangguan mental yang berat dengan ciri-ciri
khasnya adalah tingkah laku aneh (bizar), pikiran-pikiran aneh, dan halusinasihalusinasi pendengaran dan penglihatan (yakni “mendengar suara-suara atau
melihat hal-hal yang tidak ada”).3
Faktor yang menyebabkan gangguan jiwa berat (Skizofrenia) ialah faktor
individual meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawatiran dan ketakutan,
ketidakharmonisan dalam hidup, kehilangan arti hidup. Dan juga faktor
interpersonal seperti komunikasi yang tidak efektif dan lain-lain.4
Melihat kondisi pasien maka timbulah sebuah pertanyaan tentang
bagaimana sebenarnya para perawat melakukan pendekatan komunikatif terhadap
pasien yang memiliki kondisi emosional yang tidak stabil, psikologis yang tidak
kondusif dan pola pikir yang dipenuhi dengan halusinasi agar pasien mau
2
Sheila L. Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Jakarta: Keperawatan: 2008), h. 4.
Yustinus Semiun, OFM, Kesehatan Mental 3 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 20.
4
Sheila L. Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 4.
3
3
mengikuti bujukan perawat. Contohnya, bagaimana cara perawat mengajak pasien
skizofrenia yang tengah sibuk dengan dunianya sendiri agar pasien mau
mengalihkan dunianya dengan berinteraksi dengan orang lain/perawat. Atau
bagaimana cara perawat membujuk pasien untuk mengikuti terapi dan menjaga
kesehatan pasien seperti mejaga kebersihan diri dan lain-lain.
Kondisi pasien yang memiliki banyak kekurangan ini menyebabkan
banyaknya hambatan dan rintangan yang akan dihadapi oleh petugas kesehatan
namun tetap saja ia dituntut untuk bisa menghadapi kesulitan tersebut. dan berkat
kegigihannya hingga akhirnya ia mampu membuat iklim interaksi yang baik
dengan pasien skizofrenia. Sebenarnya yang memiliki kewajiban untuk ikut
menyembuhkan pasien skizofrenia tidak hanya pihak rumah sakit saja namun
juga masyarakat luas. Karena, penderita penyakit ini juga merupakan bagian dari
masyarakat itu sendiri namun akibat kurangnya informasi tentang penyakit
skizofrenia dan bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien ini menyebabkan
stigma negatif menjamur dalam pikiran masyarakat. Masyarakat menganggap
mereka sangat berbahaya, bodoh, aneh, dan tidak bisa disembuhkan, padahal
sudah banyak bukti yang berbicara sebaliknya. Pendapat ini juga selaras dengan
hadist nabi Muhammad SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim
danAhmad (dari jabir bin Abdullah r.a), sabdanya:
)‫لِ ِكلِِ ِداِءِِ ِدِوِاءِِفِإِِ ِذاأصيْبِدواءال َّداءبرأبإ ْذنِهللاِع َّزوجلِ(اخرجهِمسلم‬
Likulli daain dawaun faidzaa ushiiba dawaaud daai baria bi idznil
laahi’azza wa jalla.
4
Artinya: “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu tepat mengenai
sasarannya, maka dengan izin Allah penyakit itu akan sembuh”.5
Namun stigma tersebut terus saja melekat dalam diri penderita skizofrenia
sehingga sulit dihilangkan. Stigma dan diskriminasi terhadap penderita penyakit
ini akan membuat penderita semakin merasa terkucilkan dan tidak diperdulikan,
bahkan akibatnya banyak sekali penderita skizofrenia dipasung oleh keluarganya
sendiri agar penderita tidak membuat kegaduhan. Padahal hal itu justru akan
membuat kondisi mental penderita penyakit ini semakin menurun karena mereka
juga seorang manusia yang sudah sepantasnya diberi perlakuan yang sama dengan
manusia lainnya atau justru seharusnya mereka diberi perlakuan yang spesial agar
gangguan mental cepat kembali pulih. Bukan malah dibiarkan berkeliaran di
jalan-jalan tanpa perawatan yang khusus. Bahkan kebanyakan individu yakin
bahwa penderita penyakit ini perlu diasingkan dari masyarakat dan dikirim ke
institusi/rumah sakit jiwa.6
Indonesia memiliki banyak rumah sakit namun tak semua rumah sakit
menyediakan tempat penyembuhan penderita gangguan mental. Para pakar
kesehatan jiwa menyatakan bahwa semakin modern dan industrial suatu
masyarakat semakin besar pula stresor psikososialnya, yang pada gilirannya
menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak mampu mengatasinya. 7 Oleh karena
itu berdirinya rumah sakit ini bertujuan agar masalah-masalah dalam masyarakat
tersebut dapat terpecahkan dan para penderita gangguan mental dapat
5
Dadang Hawari, Psikiater, Al-qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa
(Yogyakarta: Pt. Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), h. 13.
6
Sheila L. Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 348.
7
Hawari, Psikiater, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan jiwa, h. 288.
5
disembuhkan. Inilah beberapa contoh dari lembaga rumah sakit jiwa yang ada di
mayarakat:
1. RSJ Soeharto Herdjan, Grogol. Rumah sakit ini beralamatkan di Jl. Prof. Dr.
Latumenten 1 dan memiliki visi untuk menjadi pusat unggulan kesehatan jiwa
perkotaan dan memiliki misi:
a. Melaksanakan pelayanan jiwa sesuai pedoman pelayanan rumah sakit tipe
A.
b. Melaksanakan pendidikan kesehatan jiwa sesuai dengan pedoman rumah
sakit pendidikan.
c. Melaksanakan penelitian kesehatan jiwa sesuai pedoman bioetika
kedokteran.
2. Sanatorium
Dharmawangsa,
rumah
sakit
ini
beralamatkan
di
Jl.
Dharmawangsa Raya No. 13 Blok P II Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
12610, Indonesia. Adapun visi yang dimiliki yaitu:
a.
Menyelenggarakan
fasilitas/pelayanan
dalam
atmosfir
saling
menghormati dan semangat inovatif progresif untuk penanggulangan
stress, depresi, skizofrenia dan gangguan zat.
b.
Memberikan kontribusi ilmiah melalui peningkatan cara-cara pelayanan
kepada pasien dan masyarakat luas.
Adapun misi yang dimiliki yaitu sebagai fasilitas secara komprehensif
dan profesional seluruh variasi kondisi patologik. Dengan aspirasi ke arah
pertumbuhan dan perkembangan, mengutamakan pelayanan yang bersahabat,
memuaskan bagi pasien dan keluarga di seluruh dunia.
6
3. RSJ Marzuki Mahdi Bogor, rumah sakit ini beralamatkan di Jl. Dr. Sumeru
No. 114, Bogor. Adapun visi yang dimiliki ialah ingin menjadikan rumah sakit
ini sebagai Rumah sakit jiwa rujukan nasional dengan unggulan layanan
rehabilitasi psikososial pada tahun 2019, Sedangkan misi yang dimiliki yaitu:
a.
Mewujudkan layanan kesehatan jiwa dengan unggulan rehabilitasi
psikososial
b.
Meningkatkan penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan riset unggulan
dalam bidang kesehatan jiwa
c.
Meningkatkan peran strategis dalam program kesehatan jiwa nasional:
bebas pasung, pengampunan/pembinaan layanan kesehatan jiwa di
layanan primer dan rumah sakit umum.
d.
Meningkatkan kolaborasi dan pemberdayaan stakeholder.
e.
Meningkatkan komitmen dan kinerja pegawai untuk mencapai
kesejahteraan.
4. RSJ Menur Surabaya, alamat dari rumah sakit ini ialah di jalan Menur No.
120, Menur Prumpung, Sukolali Surabaya, Jawa Timur. Adapun visi yang
dimiliki ialah memberikan pelayanan kesehatan jiwa secara optimal dan
profesional. Dan misi yang dimiliki yaitu:
a. Memberikan pelayanan kesehatan jiwa dibidang promotif, preventif,
rehabilitatif bagi masyarakat.
b. Memberikan pelayanan kesehatan jiwa sub spesialistik seiring dengan
kemajuan IPTEK.
c. Mengembangkan kesehaatan jiwa dibidang neuropsikiatri.
7
d. Mengembangkan dan menyempurnakan pendidikana, pelatihan di bidang
administrasi rumah sakit.
e. Mengembangkan budaya organisasi yang mengutamakan pemeliharaan
perbaikan mutu secara terus menerus.
Akibat visi dan misi yang berbeda di setiap rumah sakit yang ada
menyebabkan proses implementasi penyembuhan pasien sangat beragam.
Berdasarkan asumsi yang ada semakin lama instansi tersebut berdiri maka
semakin banyak pengalaman dan pelajaran yang diambil. Sehingga telah banyak
proses perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh instansi mapan tersebut.
Melihat dari pengalaman yang telah dilalui beberapa contoh rumah sakit di
atas maka rumah sakit jiwa Marzuki Mahdi Bogor telah memenuhi kualifikasi
yang ada sebagai rumah sakit jiwa terbesar setelah rumah sakit Lawang di Jawa
Timur dan juga merupakan rumah sakit jiwa pertama di Indonesia.
Rumah sakit jiwa Marzuki Mahdi Bogor merupakan rumah sakit pertama
yang didirikan pada masa Hindia Belanda pada tanggal 1 Juli 1882, proses
perbaikan kualitas pelayanan terus dilakukan oleh rumah sakit ini. sebagai contoh
kini RSJ Marzuki Mahdi Bogor bukan hanya ada pelayanan kesehatan gangguan
jiwa saja namun juga ada perawatan bagi seorang pecandu narkoba, psikotropika,
dan zat adiktif (NAPZA).8
Dari permasalahan diatas maka peneliti tertarik untuk menuangkan
permasalahan ini ke dalam sebuah skripsi yang berjudul “Komunikasi
Antarpribadi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia dalam Proses Peningkatan
8
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 13
8
Kesadaran di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Dalam
Meningkatkan Kesadaran”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.
Pembatasan Masalah
Upaya peneliti agar proses dan hasil penelitian dapat dipahami secara
komprehensif maka penelitian ini dibatasi pada pokok permasalahan tentang
komunikasi antarpribadi perawat terhadap pasien Skizofrenia tipe hebefrenik
dan tipe paranoid isolasi sosial (ISOS) di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor pada bulan Februari-Maret 2015.
2.
Perumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah peneliti tertarik untuk
mengambil garis merah dari sebuah permasalahan yang terjadi, sebagai
berikut:
a.
Bagaimana komunikasi antarpribadi yang dilakukan para perawat
terhadap pasien penderita Skizofrenia di rumah sakit jiwa Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor?”
b.
Apa hambatan-hambatan yang ditemui perawat saat berkomunikasi
dengan pasien skizofrenia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti ialah untuk mengetahui dan
memahami bagaimana teknis komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh
perawat rumah sakit jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ketika menghadapi
pasien Skizofrenia hingga akhirnya pasien tersebut dapat mengikuti instruksi dari
perawat bahkan terciptanya proses komunikasi/interaksi yang kondusif.
9
D. Signifikansi Penelitian
Adapun signifikansi penelitian ini untuk:
1.
Manfaat Akademis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber
informasi dan dokumentasi serta dapat turut serta mengembangkan bidang
ilmu komunikasi. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi sumber referensi
bagi peneliti lainnya yang hendak melakukan penelitian di bidang yang sama,
serta dapat pula dijadikan buku pegangan bagi masyarakat yang memiliki
permasalahan yang serupa dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi
ini.
2.
Manfaat Praktis
Setelah penelitian ini selesai dan akhirnya didapatkan sebuah penemuan
tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien skizofrenia yang baik,
maka peneliti mengharapkan agar seluruh masyarakat dapat menerapkan
cara-cara tersebut jika memang terdapat sanak saudara atau masyarakat
sekitar yang mengalami gangguan jiwa jenis ini, sehingga baik perawat
maupun masyarakat umum dapat memperlakukan penderita skizofrenia
dengan santun dan baik.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian ialah sebagai “basic belief system or world
view that guides the investigator, not only in choices of methode but in
ontologically and epistemololically fundamental ways” yang artinya bahwa
paradigma ialah sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang
10
membimbing peneliti, tidak hanya dalam pemilihan metode, tetapi juga caracara fundamental yang bersifat ontologis dan epistemologis.9
Adapun paradigma yang digunakan dalam penelitian ini ialah
paradigma klasik. Paradigma ini bersifat objektif dimana data hasil
pengamatan sesuai dengan apa yang terjadi dilapangan. Jadi, hasil penelitian
hanya tinggal dideskripsikan se-natural mungkin sesuai dengan realitas yang
ada.
2.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan kualitatif menurut Creswell didalam bukunya bahwa
“Qualitatif research is an inquiry process of understanding based on distinct
methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem.
The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports
detailed views of informant, and conduct the study in a natural setting.10
Yang artinya Penelitian kualitatif adalah proses penyelidikan pemahaman
berdasarkan tradisi metodologi penyelidikan yang berbeda yaitu dengan
mengeksplorasi masalah sosial atau manusia. Peneliti membangun kompleks,
menggambarkan secara holistik (menyeluruh), menganalisis kata-kata,
melaporkan pandangan informan secara detail, dan melakukan penelitian
dengan pengaturan yang alami atau sesuai dengan kondisi lapangan yang ada.
Instrumen dalam penelitian ialah hasil wawancara, angket dan juga
observasi dimana saat itu peneliti akan mengumpulkan informasi, foto-foto
lalu setelah data tersebut terkumpul maka akan di analisa sesuai dengan sudut
9
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik (Jakarta: Bumi Aksara,
2003), h. 26.
10
John W. Creswell, Qualitatif Inquiry and Research Design: Choosing among five
traditions (California: Sage Publications, 1997), h. 15.
11
pandang dari objek penelitian dan menggambarkan proses tersebut secara
ekspresif dan menarik.
Alasan mengapa peneliti menggunakan pendekatan ini karena hasil
penelitian ingin diketahui secara menyeluruh, mendalam, faktual, sistematis,
dan akurat agar tujuan dapat tercapai dan rumusan masalah dapat
terpecahkan.
3. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian lapangan (field
research). Dan peneliti berupaya untuk menggunakan descriptive qualitatif
case study methode. Adapun kasus yang diangkat ialah satu kasus saja (single
case). Metode ini dinilai cocok karena dapat dilihat dari rumusan masalah
yang telah disusun yang mengangkat unsur bagaimana sebuah kasus itu
terjadi di dunia sosial. Dan juga meski masalah utama ialah mengenai
gangguan jiwa pasien skizofrenia namun yang menjadi fokus penelitian ialah
orang-orang yang ada di sekitar pasien tersebut seperti para perawat.
Study kasus lebih dikehendaki untuk melacak peristiwa-peristiwa
kontemporer, bila peristiwa yang bersangkutan tak dapat dimanipulasi.
Kekuatan yang unik dalam study kasus adalah kemampuannya untuk
berhubungan
sepenuhnya
dengan
berbagai
jenis
bukti-dokumentasi,
peralatan, wawancara, dan observasi. Lebih dari itu, dalam beberapa situasi
seperti observasi partisipan, manipulasi informal juga dapat terjadi.11
11
Robert K. Yin, Studi Kasus Desain & Metode (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2012) h. 12.
12
4. Subjek dan Objek Penelitian
a. Subjek Penelitian
Adapun subjek penelitian dalam skripsi ialah perawat dan pasien
penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
b. Objek Penelitian
Objek penelitian ini ialah cara berkomunikasi perawat terhadap
pasien penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor.
5.
Tempat dan Waktu Penelitian
Terkait dengan subjek penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor adapun waktu penelitian terhitung mulai tanggal 13 Februari 2015
hingga tanggal 30 Mei 2015.
6.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data ini ialah dengan menggunakan beberapa teknik yaitu:
a. Studi Kepustakaan/dokumentasi
Dalam studi kasus, urgensitas dari penggunaan teknik dokumen
ialah untuk mendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain.
Manfaat yang pertama penggunaan dokumen sebagai proses verifikasi
akan ejaan dan judul yang benar dari organisasi-organisasi yang telah
disinggung pada proses wawancara. Kedua, dokumen dapat menambah
rincian spesifik lainnya guna mendukung informasi dari sumber-sumber
lain; jika bukti dokumenter bertentangan dan bukannya mendukung,
maka peneliti mempunyai alasan untuk meneliti lebih jauh topik yang
13
bersangkutan.12Teknik ini berguna saat peneliti ingin meneliti tentang
berkas-berkas yang berkaitan tentang lembaga penelitian seperti, berkas
jadwal kapan saat-saat perawat diperkenankan untuk menemui pasien,
lalu petunjuk-petunjuk pelaksaan dan teknis apa saja yang harus dipatuhi
oleh perawat ketika menghadapi pasien rawat inap, dan juga mengenai
informasi sejarah lembaga terkait.
Selain keteranga diatas teknik dokumentasi ini juga dapat berupa
kajian literatur seperti mengkaji beberapa jurnal, artikel ataupun buku
yang memiliki tema yang sama dengan objek penelitian sehingga hasil
penelitian tidak hanya dapat dibuktikan secara praktis saja namun juga
dapat dibuktikan secara akademis.
b. Rekaman Arsip
Rekaman arsip merupakan teknik pengumpulan data yang lebih
spesifik bisa merupakan hal-hal yang dibawah ini:
1)
Rekaman layanan, contohnya berapa jumlah klien/pasien jiwa yang
telah dilayani selama kurun waktu tertentu.
2)
Rekaman keroganisasian, seperti bagan struktur keorganisasian
dalam periode tertentu, dan ada berapa perawat yang dipekerjakan
untuk menghadapi pasien gangguan jiwa dalam kurun waktu
tertentu.
3)
Peta dan bagan karakteristik geografis suatu tempat;
4)
Rekaman pribadi, buku catatan harian, kalender, dan daftar no tlp.
12
Robert K. Yin, Studi Kasus Desain & Metode, h.105.
14
c. Wawancara
Wawancara ialah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu
masalah tertentu dan merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua
orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik.13
Metode ini digunakan untuk menganalisis data agar data atau
informasi yang didapatkan dapat sebanyak mungkin dan sejelas mungkin.
Tipe wawancara yang akan digunakan ialah tipe wawancara yang tidak
terstruktur agar sesi tanya jawab lebih bersifat luwes dan terbuka. Peneliti
akan langsung mewawancarai para perawat pasien di rumah sakit
Marzuki Mahdi.
Adapun informan yang akan di wawancarai ialah:
1) Ahmad Riva’I, Amd Kep
2) Mamat Sutedi, Amd Kep
3) Nurmilah, Amd Kep
4) Siti Rohmah Amd, Kep
5) Ernawati, Amd Kep
6) Fujiati, Amd Kep
d.
Dokumenter
Teknik ini merupakan teknik dengan mengambil foto-foto saat
wawancara berlangsung dan juga saat peneliti melakukan observasi.
Adapun dokumentasi berfungsi sebagai bukti yang dapat menegaskan
narasi yang tertulis di skripsi ini.
13
Robert K. Yin, Studi Kasus Desain & Metode, h. 160.
15
e.
Observasi
Istilah observasi berasal dari bahasa latin yang berarti melihat dan
memerhatikan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memerhatikan
secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan
hubungan antaraspek dalam fenomena tersebut.
Adapun menfaat dari observasi/mengamati ialah:
1)
Pengamatan merupakan proses dimana seorang peneliti mengalami
langsung, dan proses ini merupakan alat yang ampuh untuk melihat
sebuah realitas.
2)
Dengan mengamati, dimungkinkan melihat dan mengamati langsung
kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi
di lapangan.
3)
Pengamatan juga memungkinkan peneliti mencatat peristiwa yang
sesuai dengan pengetahuanyang relevan atau yang berdasarkan
dengan data.
4)
Data yang diperoleh dari teknik lain dikhawatirkan adanya bias oleh
karena itu proses observasi akan mereduksi sisi kebiasan tersebut.14
Seorang peneliti juga harus memperhatikan beberapa unsur penting, yaitu:
1)
Ruang dan tempat, setiap gejala (benda, peristiwa, orang dan hewan)
keseluruhan akan sebuah gejala yang ada dalam ruang observasi
yang akan mencipatakan suasana tertentu patut diperhatikan oleh
peneliti.
14
Robert K. Yin, Studi Kasus Desain & Metode, h. 143.
16
2)
Pelaku, pengamatan ini mencakup ciri-ciri pasien tertentu sehingga
bisa diketegorisasikan, dan ciri-ciri ini akan mempengaruhi
bagaimana perawat tersebut menghadapi pasien yang memiliki ciriciri tertentu.
3)
Benda-benda atau alat-alat, semua benda dan alat yang berada
dalam ruangan yang digunakan oleh subjek penelitian haruslah
diamati dan dicatat oleh peneliti.
4)
Kegiatan, dalam hal ini peneliti juga harus mengamati kegiatan apa
saja atau tahap-tahap komunikasi apa saja yang dilakukan oleh
perawat ketika berhadapan dengan pasien hingga akhirnya
terciptanya proses komunikasi yang kondusif dan timbulkan
keintiman diantara keduanya.
5)
Waktu, peneliti harus mengamati waktu saat kapan proses dilakukan
dan harus juga mengamati kapan waktu proses interaksi berkembang
atau bahkan menurun.
6)
Peristiwa, jika terjadi suatu peristiwa diluar dari rutinitas yang ada
maka seorang peneliti harus peka untuk mengamati secara seksama
dan tidak lupa pula untuk mencatat.
7)
Tujuan, semua tujuan dari setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh
subjek penelitian dan dapat dilihat dari ekspresi muka dan gerak
tubuh, atau ucapan dan gesture.
8)
Perasaan, setiap subjek peneliti pasti menunjukan apa yang
sebenarnya tersimpan dalam hati dan fikirannya dan hal ini dapat
terlihat jika peneliti mengamati komunikasi non verbal yang terjadi
17
saat proses observasi berlangsung seperti mengamati, ucapan,
gesture, ekspresi muka dan gerakan tubuh.15
Adapun tipe observasi yang akan digunakan oleh peneliti ialah tipe
observasi berperan serta/terlibat, yaitu studi yang disengaja dan dilakukan
secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan, dimana pengamat
atau peneliti terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari dari subjek
atau kelompok yang diteliti.16Adapun menurut penadapat Spindler
pedoman umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pengamatan
perperan serta ialah sebagai berikut:
1) Pengamatan yang dilakukan harusah kontekstual atau sesuai dengan
realitas yang ada.
2) Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus muncul sesuai dengan apa
yang diamati di lapangan baik dari setting tempat maupun proses yang
terjadi di lapangan.
3) Pengamatan membutuhkan waktu yang lama karena harus berulangulang agar mendapat data yang objektif dan detail.
4) Mengumpulkan pandangan dari lingkungan sekitar.17
7.
Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pencarian dan pengaturan secara
sistematik hasil wawancara, catatan-catatan, dan bahan-bahan yang
dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap semua hal yang
dikumpulkan dan memungkinkan meyajikan apa yang ditemukan.18
15
Imam Gunawan,Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, h. 149-150.
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, h.153.
17
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, h. 154.
18
Robert K. Yin, Studi Kasus Desain & Metode, h. 210.
16
18
Setelah data terkumpul maka data akan diolah dengan cara di reduksi
terlebih dahulu data-data yang relevan agar sinkron dengan tujuan penelitian
dan data yang didapat dilapangan yang masih dikatakan data mentah
diringkas, kemudian disusun secara sistematis lalu ditonjolkan berdasarkan
pokok-pokok yang penting sehingga data lebih mudah dikendalikan. Setelah
data dirangking maka data dianalisis atau diolah dengan wujud kata-kata
kedalam tulisan yang lebih luas dan mudah difahami dan bukan hanya itu
data juga diolah berdasarkan teori-teori komunikasi antarpribadi.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan proposal skripsi ini penulis belajar dari beberapa
proposal yang telah ada sebelumnya agar hasil tulisan lebih sistematis karena
pembahasan skripsi terdahulu memiliki grand pemikiran yang sama, yaitu:
1. Komunikasi Interpersonal Antara Perawat dan Pasien (Studi Deskriptif
Kualitatif Aktivitas Komunikasi Terapeutik Antara Perawat Terhadap Pasien
di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta) oleh Abraham
Wahyu Nugroho. Dalam skripsi ini peneliti ingin mengetahui tentang
bagaimana realisasi aktivitas komunikasi terapeutik antara perawat sebagai
komunikator dan pasien yang memiliki penyakit non psikiatri sebagai
komunikan dan untuk menguji apakah teknik komunikasi terapeutik tepat
digunakan atau tidak untuk penyembuhan pasien.19
2. Pola Komunikasi Dokter Terhadap Pasien Dalam Proses Penyembuhan Di
Klinik Makmur Jaya oleh Putri Rachmania. Dalam skripsi ini peneliti ingin
19
Abraham Wahyu Nugroho, Komunikasi Interpersonal Antara Perawat dan Pasien:
Studi Deskriptif Kualitatif Aktifitas Komunikasi Terapeutik Antara Perawat Terhadap Pasien di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta (Surakarta: FISIP Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 2009).
19
mengetahui pola komunikasi yang seperti apa yang digunakan oleh seorang
dokter non psikiatri terhadap pasien non psikiatri agar pesan kesehatan yang
lebih banyak menggunakan istilah asing bisa tersampaikan dengan baik
kepada pasien sehingga problem kesehatan pasien dapat terpecahkan dengan
baik.20
3. Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien Gangguan Jiwa (Studi
Kasus di Yayasan Dian Atma Jaya Lawang Kabupaten Lawang) oleh
Muhammad Salahuddin. Dalam skripsi ini peneliti ingin meneliti tentang
bagaimana peran keluarga untuk ikut serta mempertahankan ataupun
menyembuhkan pasien gangguan jiwa hal ini dilatar belakangin oleh
banyaknya pasien yang setelah kembali dipulangkan dari rumah sakit ke
rumah tinggal, penyakit kejiwaannya kambuh karena banyak keluarganya
yang menolak kehadiran pasien tersebut dan faktor penolakan inilah yang
membuat pasien kembali terpuruk dan akhirnya jiwanya terguncang
kembali.21
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah mengenai “Pola
Komunikasi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Marzuki
Mahdi Bogor” yang menitik beratkan pada bagaimana sebenarnya pola
komunikasi yang digunakan oleh perawat terhadap pasien psikiatri agar pesan
kesehatan tersampaikan dengan baik dan kesadaran pasien gangguan jiwapun
kembali pulih berkat adanya interaksi yang baik antara perawat dan pasien.
20
Putri Rachmania, Pola Komunikasi Dokter Terhadap Pasien Dalam Proses
Penyembuhan Di Klinik Makmur Jaya (Jakarta: FIDKOM UIN JAKARTA, 2011)
21
Muhammad Salahuddin, Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien
Gangguan Jiwa: Studi Kasus di Yayasan Dian Atma Jaya Lawang Kabupaten Lawang (Malang:
Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang), 2009
20
G. Sistematika Penulisan
Tekhnik dari penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan
pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertai) yang telah di susun oleh
tim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta press, 2011.
Bab I yaitu Pendahuluan merupakan penjelasan dari latar belakang
masalah penelitian skripsi ini. Didalamnya juga dijelaskan batasan dan rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan sistematika
penelitian.
Bab II berisi tentang Kajian Teori yang menguraikan tentang
polakomunikasi perawat terhadap pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Marzuki
Mahdi Bogor dalam proses penyembuhan.
Bab III membahas tentang profil dan gambaran umum Rumah Sakit Jiwa
Marzuki Mahdi Bogor.
Bab IV Pembahasan dan Analisis Data. Pada bab ini terdiri pembahasan
tentang analisis pola komunikasi antara perawat dan pasien skizofrenia di rumah
sakit jiwa marzuki mahdi Bogor dalam proses penyembuhan.
Bab V kesimpulan dan saran akan menjadi butir-butir pada bab kelima
sebagai penutup pada skripsi ini.
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG KOMUNIKASI ANTARPRIBADI,
KOMUNIKASI TERAPEUTIK DAN KONSEP SKIZOFRENIA
A. Kajian Ilmiah Mengenai Komunikasi Antarpribadi
1. Pengertian Komunikasi Antarpribadi
Menurut Joseph A. Devito yang telah dikutip oleh Effendy dari
bukunya “The Interpersonal Communicaton Book”. Bahwa komunikasi
antarpribadi ialah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua
orang, atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek
dan beberapa umpan balik seketika. 1 Pendapat senada juga dikemukakan
oleh Deddy Mulyana bahwa komunikasi antarpribadi ialah komunikasi
antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap
pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal
maupun non verbal. 2 Maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
komunikasi antarpribadi merupakan proses transaksi pesan dari komunikator
kepada komunikan yang dilakukan secara berhadap-hadapan, sehingga
komunikator dapat langsung menangkap reaksi dari komunikannya baik
reaksi tersebut berbentuk verbal maupun nonverbal.
2. Komponen-Komponen dalam Komunikasi Antarpribadi
Ada
beberapa
komponen
dalam
proses
komunikasi,
yaitu:
sumber/komunikator, proses encoding, pesan/informasi, media, komunikan,
proses decoding, umpan balik/feed back, dampak, dan gangguan (noise).
1
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), h. 60.
2
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal (Jogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 3.
21
22
Beberapa komponen tersebut memiliki keterikatan antara satu sama lain.
Adapun penjelasan mengenai komponen tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sumber/komunikator, yaitu orang atau sekelompok orang yang
sengaja dan bertujuan untuk berkomunikasi. Mereka inilah yang
berinisiatif untuk berkomunikasi. Beberapa model komunikasi,
menyamakan sumber ini dengan encoder, pengirim, sumber
informasi, atau komunikator.
disimpulkan
bahwa
3
Dari pendapat tersebut dapat
komunikator
merupakan
individu
yang
menciptakan, memformulasikan, dan menyampaikan pesan.
Ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh komunikator
agar
proses
komunikasi
dapat
berjalan
efektif.
Pertama,
komunikator diharapkan memiliki kredibilitas yang tinggi bagi
komunikasinya. Kedua, memiliki keterampilan berkomunikasi yang
baik. Ketiga,mempunyai pengetahuan yang luas. Keempat, memiliki
sikap yang baik. Kelima, memiliki daya tarik atau memiliki
kemampuan
untuk
melakukan
perubahan
sikap/menambah
pengetahuan pada diri sendiri.4
a. Encoding, merupakan aktifitas internal pada komunikator dalam
menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol verbal dan
simbol nonverbal, yang disusun berdasarkan aturan tata bahasa,
3
Djuara P. Lubis, Siti Suguah Megniesyah, Ninuk Purnaningsih, Sutisna Riyanto, Yatri I.
Kusumastuti, Hadiyanto, Amiruddin Shaleh, Sumardjo, Sarwiti S. Agung, Siti Amanah, dan Anna
Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi (Bogor: Sains KPM IPB Press, 2008), h. 7
4
H.A.W. Widjaja, Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat (Jakarta: Bumi
Aksara, 2008), h. 12
23
serta disesuaikan dengan karakteristik komunikan. kegiatan ini
merupakan tindakan memformulasikan isi fikiran kedalam simbol.5
b. Pesan adalah suatu informasi yang akan dikirim kepada si penerima
dan juga merupakan buah dari ide dan perasaan pengirim.6 Pesan
terbagi kedalam dua jenis yaitu pesan verbal dan pesan nonverbal.
Suara, mimik, dan gerak-gerik lazim digolongkan dalam pesan
nonverbal,
sedangkan
bahasa
lisan
dan
bahasa
tulisan
dikelompokkan dalam pesan verbal. 7 Penulis dapat memahami
bahwa jika pesan merupakan buah dari ide dan perasaan, maka
komunikator yang baik ialah komunikator yang selalu berfikir
ataupun menimbang-nimbang terlebih dahulu isi pesan yang akan ia
sampaikan sehingga apapun yang ia sampaikan selalu sinkron
dengan kondisi komunikan. Karena, bagaimanapun juga proses
komunikasi selalu memiliki tujuan akhir yaitu merubah perilaku
ataupun pendapat seseorang akan suatu hal.
Pesan yang disampaikan harus memenuhi beberapa syarat,
yaitu:
1) Umum
Berisikan hal-hal umum dan mudah dipahami oleh
komunikan/audience, bukan soal-soal yang hanya dipahami
oleh seseorang atau kelompok tertentu.
2) Jelas dan gamblang
Pesan yang disampaikan tidak samar-samar. Jika menggunakan
perumpamaan diusahakan contohnya senyata mungkin, agar
tidak ditafsirkan menyimpang dari yang dikehendaki.
3) Bahasa yang jelas
5
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 7.
Arni Muhammad, komunikasi Organisasi (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 17.
7
Nurani Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h.
6
62.
24
Sejauh mungkin menggunakan bahasa yang tidak mudah
dipahami oleh pendengar atau penerima. Sangat dianjurkan
menggunakan bahasa yang jelas dan sederhana yang cocok
dengan daerah dan kondisi komunikan.
4) Positif
Secara kodrati manusia tak ingin mendengarkan dan melihat
hal-hal yang tidak menyenangkan dari dirinya. Oleh karena itu,
setiap pesan agar diusahakan bermakna positif.
5) Seimbang
Pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan
dirumuskan sesuai dengan kemampuan komunikan untuk
menafsirkan pesan tersebut.
6) Penyesuaian dengan keinginan komunikan
Seorang komunikan selalu mempunyai keinginan tertentu.
Untuk itu komunikator haruslah mengenal situasi dan kondisi
sasaran/komunikan.8
Dan pesanpun harus bersifat: Informatif, persuasif, dan koersif.
1) Informatif
Komunikator memberikan beberapa keterangan dimana setelah
itu komunikanlah yang akan mengambil kesimpulan sendiri.
2) Persuasif
Bujukan, yakni membangkitkan pengertian dan kesadaran
seseorang bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan
rupa pendapat atau sikap sehingga ada perubahan. Tetapi
perubahan yang terjadi merupakan kehendak sendiri, misalkan
proses lobbying.
3) Koersif
Pesan yang disampaikan bersifat memaksa dengan
menggunakan sanksi-sanksi, seperti agitasi dengan penekanan
yang menumbuhkan tekanan batin dan ketakutan.Pesan yang
mengandung unsur koersi berbentuk perintah, instruksi untuk
penyampaian akan suatu target.9
Dari tiga kutipan diatas, penulis dapat memahami bahwa
bentuk pesan yang disampaikan dapat disesuaikan dengan kondisi
dan tujuan dari komunikasi itu sendiri. Jika tujuan dari komunikasi
tersebut hanya ingin memberikan informasi layaknya tayangantayangan di media massa yang secara masif disampaikan kepada
8
Effendy, Dinamika Komunikasi, h. 15-16.
9
Widjaja, Komunikasi dan Hubungan masyarakat, h. 15.
25
khalayak, maka pesan yang disampaikan cenderung bersifat
informatif. Akan tetapi, jika proses komunikasi bertujuan untuk
merubah sisi psikomotorik seseorang maka yang digunakan ialah
bentuk komunikasi persuasif, misalnya: proses penjualan suatu
produk, pada saat itu yang diinginkan oleh penjual bukan hanya
konsumen tahu akan informasi produk tetapi juga konsumen
diharapkan ikut membeli produk yang ditawarkan. Lain halnya
dengan pesan bersifat koersif, jika pesan bersifat informatif dan
persuasif lebih halus penyampaiannya maka pesan koersif ini lebih
mengandung unsur ancaman atau perintah. Misalnya: ketika
terdapat penjahat baru di kantor polisi tidak jujur akan apa yang
telah ia lakukan, maka pak Polisi akan memberikan pesan ancaman
kepada pelaku kriminal tersebut.
c. Saluran/media, saluran komunikasi lebih identik pada proses
berjalannya pesan sedangkan media komunikasi lebih identik
dengan alat (benda) untuk menyampaikan. Media juga berfungsi
sebagai perantara yang sengaja dipilih komunikator untuk
mengantarkan pesannya agar sampai ke komunikan. contoh, HP.10
d. Penerima/komunikan adalah orang atau sekelompok orang yang
pada sisi lain komunikasi. Ia atau mereka adalah sasaran
komunikasi. Penerima mendengar ketika sumber berbicara, atau
membaca apa yang ditulis oleh sumber.11
10
Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi, h. 62.
Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti, Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo,
Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi, h. 8.
11
26
e. Decoding, merupakan aktifitas internal dalam diri penerima.
Melalui indera, penerima mendapatkan macam-macam data dalam
bentuk “mentah”, berupa kata-kata dan simbol yang harus dirubah
kedalam pengalaman-pengalaman yang mengandung makna.12
f. Umpan Balik (feed back),merupakan tanggapan, umpan balik,
jawaban atau respon komunikan kepada komunikator, bahwa
komunikasinya dapat diterima dan berjalan.13
g. Dampak atau hasil, yakni respon penerima terhadap pesan yang
disampaikan oleh sumber. 14 Dampak yang ditimbulkan dapat
diklasifikasikan menurut kadarnya yaitu dampak kognitif, afektif
dan psikomotorik.
1)
Dampak kognitif
Berkat komunikasi, seseorang menjadi tahu tentang
sesuatu.Berarti, komunikasi berfungsi untuk memberikan
informasi.15
2)
Dampak afektif
Komunikasi
sudah
membuat
hati
dan
perasaan
komunikan tergerak sehingga sudah timbul perasaan iba,
terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.16
3)
12
Dampak behavioral/psikomotorik
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 8.
Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 46
14
Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti, Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo,
Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi, h. 8.
15
Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi,h. 65.
16
Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, h. 20.
13
27
Dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk
tindakan atau perilaku. Kini komunikan sudah benar-benar
mau melakukan apa yang komunikator bicarakan.17
h. Gangguan (noise), terdapat dua jenis gangguan yang akan
membuat proses komunikasi tidak berjalan dengan baik yaitu
gangguan mekanik dan juga gangguan semantik.
1) Gangguan Mekanik (mechanical channel noise)
Gangguan mekanik ialah gangguan yang disebabkan
saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Seperti
bunyi mengaung pada pengeras suara atau riuh hadirin atau
bunyi kendaraan lewat ketika seseorang berpidato dalam suatu
pertemuan.18
2) Gangguan Semantik (semantic noise)
Gangguan jenis ini bersangkutan dengan pesan komunikasi
yang pengertiannya menjadi rusak. Karena makna dari
semantik itu sendiri ialah pengetahuan mengenai pengertian
kata-kata yang sebenarnya atau perubahan pengertian katakata.19
Secara umum proses komunikasi dilaksanakan oleh tiga unsur saja
yaitu komunikator, pesan dan komunikan. Akan tetapi, pada praktiknya
proses ini didukung juga oleh usur-unsur yang lain, seperti media/saluran,
feed back dan unsur yang lainnya.
17
Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, h. 2
Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 46.
19
Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 46.
18
28
3. Proses komunikasi antarpribadi
Proses komunikasi adalah langkah-langkah yang selalu dilakukan oleh
seseorang saat berkomunikasi, adapun langkah-langkah yang dimaksud
ialah:
Langkah 1
keinginan
berkomuni
kasi
Langkah 2
Encoding oleh
komunikator
Langkah 3
pengiriman
pesan
Langkah 4
penerimaan
pesan
Langkah 5
Decoding
oleh
komunikan
Ilustrasi proses komunikasi antarpribadi.20
Dari ilustrasi diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa ketika
seseorang hendak berkomunikasi, maka ada beberapa tahap yang harus
dilewati, yaitu: pertama, tahap timbulnya sebuah keinginan komunikator
untuk berbagi informasi kepada orang lain. Kedua, tahap dimana
kemampuan internal diri komunikator mulai melaksanakan proses encoding
atau proses memformulasikan isi pikiran ataupun gagasan ke dalam simbol
agar dapat dengan mudah dipahami oleh komunikan. Ketiga, tahap dimana
komunikator menyampaikan pesannya kepada komunikan. Keempat, tahap
dimana komunikan menerima pesan melalui mata dan telinganya
(pancaindera). Kelima, merupakan tahap tentang proses komunikan
mencerna pesan tersebut menjadi sebuah informasi, proses pembentukan
informasi ini kerap disebut dengan decoding. Keenam, setelah informasi
tersebut sudah sepenuhnya difahami oleh komunikan maka tahap terakhir
adalah tahap dimana komunikan memberikan respon/feed back kepada
komunikator.
20
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 11
Langkah 6
Umpan
balik
29
4. Ciri-Ciri Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi
antarpribadi
merupakan
jenis
komunikasi
yang
berlangsung dengan frekuensi pertemuan yang relatif tinggi. Adapun ciri
dari komunikasi ini ialah arus pesan dua arah, suasana nonformal, umpan
balik segera, peserta komunikasi memiliki jarak yang dekat, dan proses
komunikasi dilakukan secara simultan.
a.
Komunikasi antarpribadi umumnya berlangsung secara tatap muka
maka setiap yang terlibat sama-sama mengirim dan menerima pesan.21
b.
Arus pesan dua arah, proses komunikasi dilaksanakan dengan cara
egaliter atau adanya kesetaraan antara komunikator dan komunikan
sehingga memicu terjadinya pola penyebaran pesan mengikuti arus
dua arah. 22 Atau bisa disebut juga bersifat transaksional, sehingga
dapat dilihat dari kenyataannya bahwa komunikasi bergerak
dinamis.23 Penulis memahami maksud dari dinamis ini ialah dimana
terjadi pertukaran pesan secara timbal balik dan berkelanjutan
sehingga iklim komunikasi lebih bersifat santai dan terbuka dan
komunikator dan komunikan dapat berganti peran secara cepat.
c.
Close proximity, artinya setiap orang yang terlibat dalam komunikasi
antarpribadi secara fisik akan berdekatan satu sama lain sehingga
memungkinkan pembicaraan yang bersifat pribadi dan rahasia.
Kedekatan ini sekaligus menunjukkan derajat hubungan antara dua
21
Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti, Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo,
Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi, h. 247.
22
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal h. 16.
23
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 16.
30
belah pihak.
24
Penulis dapat memahami bahwa dalam metode
komunikasi ini komunikan dan komunikator dituntut untuk memiliki
kedekatan ketika berkomunikasi, baik dekat jarak maupun dekat
psikologis.
d.
Suasana nonformal,
25
maksudnya adalah dikarenakan
proses
komunikasi ini dilaksanakan secara egaliter ataupun sejajar maka
proses komunikasi bersifat santai, tidak kaku dan tidak terpaku dengan
jabatan lawan bicara karena dalam komunikasi ini pendekatan secara
personal lebih diutamakan.
e.
Komunikasi antarpribadi dimulai dengan diri sendiri (self), artinya
segala bentuk proses penafsiran pesan maupun penilaian mengenai
orang lain berangkat dari dalam diri.26
f.
Peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan
dan spontan, baik secara verbal maupun non verbal, dalam metode
komunikasi ini kedua belah pihak saling meyakinkan dengan
mengoptimalkan pesan verbal dan kemampuan berkomunikasi.27
g.
Umpan balik segera, komunikator langsung mendapatkan dan
mengetahui respon dari lawan bicara meski respon tersebut negatif,
positif maupun netral. Contoh dari respon verbal yaitu dengan adanya
kata-kata setuju/tidak setuju. Sementara respon non verbal ialah
dengan adanya anggukan kepala, dan lain sebagainya.28
24
Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti, Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo,
Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi, h. 247
25
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 16.
26
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h.16
27
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 16.
28
Suranto AW, Komunikasi Interpersona, h. 16.
31
h.
Komunikasi
interpersonal
tidak
dapat
diubah
maupun
diulang, 29 artinya ketika seseorang sudah terlanjur mengucapkan
sesuatu kepada orang lain, maka ucapan itu sudah tidak dapat diubah
atau diulang.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa proses
komunikasi antarpribadi merupakan proses komunikasi yang cepat dan kaya
akan spontanitas, serta kesalahpahaman dapat dihindari karena prosesnya
dilakukan dengan cara tatap muka sehingga sekecil apapun kesalahan dalam
berkomunikasi dapat langsung diklarifikasi, dan dalam metode ini kedua
belah pihak dapat sama-sama aktif untuk menyampaikan gagasannya.
5. Tujuan Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi merupakan suatu action oriented atau suatu
kegiatan yang dilakukan untuk tujuan tertentu, adapun tujuan tersebut ialah:
a.
Mengungkapkan perhatian kepada orang lain
Maksudnya dalam tujuan ini proses yang dilakukan ialah dengan
cara menyapa, tersenyum, melambaikan tangan, membungkukkan
badan, menanyakan kabar kesehatan partner komunikasi dan lain-lain.30
b.
Mengenal diri sendiri dan orang lain
Melalui komunikasi antarpribadi kita belajar bagaimana dan
sejauhmana kita harus membuka diri pada orang lain. Selain itu,
komunikasi antarpribadi juga akan membuat kita mengetahui nilai,sikap
dan perilaku orang lain. Kita dapat menaggapi dan memprediksi
29
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 16.
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 19
30
32
tindakan orang lain.31 Penulis dapat memahami bahwa tujuan ini akan
tercapai jika peserta komunikasi memperhatikan dan mencoba
memahami atau peduli terhadap apa yang terjadi dilingkungan sekitar.
c.
Menemukan dunia luar
Dengan berkomunikasi maka kita akan mendapatkan wawasan
baru baik wawasan tersebut bersumber dari dunia internal ataupun
eksternal kita. 32 Berdasarkan poin diatas penulis memahami bahwa
dalam komunikasi antarpribadi kita diajarkan agar dapat menjadi
individu yang peduli dan terbuka terhadap orang-orang yang ada
disekitar kita karena berkat mereka kita bisa mendapatkan wawasan dan
pengalaman yang baru.
d. Menciptakan dan memelihara hubungan menjadi bermakna
Kita menggunakan banyak waktu berkomunikasi antarpribadi yang
bertujuan untuk menciptakan dan memelihara hubungan sosial dengan
orang lain. Hubungan membantu mengurangi kesepian dan ketegangan
serta membuat kita merasa lebih positif tentang diri kita sendiri.33
e.
Mempengaruhi sikap dan prilaku
Proses komunikasi ini dikatakan efektif jika komunikan mengikuti
apa yang diharapkan oleh komunikator sehingga proses ini dilakukan
agar dapat memberitahu, mengubah pendapat ataupun sikap baik secara
langsung maupun tidak langsung.34
31
Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek (Jakarta: Graha Ilmu: 2009), h. 78
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 20
33
Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek, h. 79
34
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 21
32
33
f.
Bermain dan mencari hiburan
Bermain mencakup semua kegiatan untuk memperoleh kesenangan
seringkali tujuan ini dianggap tidak penting, tetapi sebenarnya
komunikasi yang demikian perlu dilakukan, karena bisa memberi
suasana yang lepas.35
g.
Menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi
Komunikasi interpersonal ini dilaksanakan untuk menghilangkan
atau mengurangi tingkat kesalahfahaman karena dalam proses
komunikasi ini pendekatan yang dilakukan ialah pendekatan secara
langsung.36
h.
Memberikan bantuan atau konseling
Psikiater, psikolog klinik dan ahli terapi adalah contoh profesi yang
mempunyai fungsi menolong orang lain. Tugas-tugas tersebut sebagian
besar dilakukan melalui komunikasi antarpribadi. 37 Tanpa disadari
setiap orang ternyata sering bertindak sebagai konselor maupun konseli
dalam interaksi interpersonal sehari-hari.38
Dalam komunikasi antarpribadi terdapat beberapa teori yang dapat
dijadikan landasan dasar bagi proses pembelajaran atau penelitian seperti
teori atribusi, teori penetrasi sosial, teori pertukaran sosial, teori
pengungkapan diri, teori pengurangan ketidakpatian, teori nilai hasil
terprediksi, teori Jauhari Window dan masih banyak yang lainnya. Namun
35
Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek, h. 80
Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 21
37
Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek, h. 80
38
Suranto Aw, Komunikasi Interpersonal, h. 21.
36
34
dari beberapa teori tersebut peneliti berasumsi bahwa teori yang paling tepat
untuk dijadikan acuan penelitian ilmiah ini ialah:
B. Teori Penetrasi Sosial
Pengertian Teori Penetrasi Sosial
1.
Teori penetrasi sosial merupakan bagian dari teori pengembangan
hubungan atau relationship development theory. Altman & Taylor
mengusulkan model ini sebagai suatu proses bagaimana orang saling
mengenal satu sama lain. Model ini juga melibatkan self-disclosure tetapi
dalam perspektif waktu, yaitu ketika berlangsungnya pengembangan suatu
hubungan. Artinya seseorang mengenal orang lain secara gradual melalui
komunikasi yang semakin meningkat.39
Teori
penetrasi
sosial
(social
penetration
theory)
berupaya
mengidentifikasi proses peningkatan keterbukaan dan keintiman seseorang
dalam menjalani hubungan dengan orang lain.40 Maksudnya adalah teori ini
mengupas
tentang
bagaimana
seseorang
meningkatkan
kualitas
hubungannya, bermula dari rasa sungkan untuk berbicara hingga akhirnya
mencapai tahap terbuka antara satu sama lain.
Terdapat beberapa asumsi yang mengarahkan pada social penetration
theory, yaitu:
a.
Hubungan-hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi
intim. Hubungan komunikasi antara orang dimulai pada tahapan
39
Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti, Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo,
Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi, h. 265.
37
Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa (Jakarta: Kencana Prenada Group,
2013), h. 296.
35
suferfisial dan bergerak pada sebuah kontinum menuju tahapan yang
lebih intim.41
b.
Perkembangan hubungan mencakup depenetrasi (penarikan diri) dan
disolusi.
42
Hal ini dapat dipahami jika pada proses komunikasi
sebelumnya terdapat banyak konflik yang cenderung destruktif atau
konflik yang tidak berkesudahan maka hubungan ini akan semakin
jauh. Karena, baik komunikator maupun komunikan merasa kurang
nyaman antara satu sama lain. Akibatnya, masing-masing dari mereka
semakin menjauhkan diri.
c.
Asumsi yang terakhir ialah pembukaan diri (self disclosure), hubungan
yang tidak intim bergerak menuju hubungan yang intim karena adanya
keterbukaan diri.43Penulis memahami bahwa inti dalam hubungan ialah
keterbukaan diri, karena keterbukaan diri ini ibarat sebuah jembatan
yang dapat menghubungkan dua kubu. Ketika kedua belah pihak baik
komunikator maupun komunikan sudah saling terbuka,
maka
memungkinkan untuk saling mengenal dan saling memahami satu sama
lain. Sehingga akan timbul rasa nyaman dan rasa saling ingin
mempertahankan kedekatan/hubungan.
2. Tahapan Proses Penetrasi Sosial
Penetrasi sosial merupakan proses bertahap, dimulai dari komunikasi
basa-basi yang tidak akrab hingga berbagi informasi menyangkut topik
pembicaraan yang lebih pribadi/akrab, seiring dengan berkembangnya
41
Richard West& Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan
Aplikasi(Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2012), h. 197.
42
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi,h. 199.
43
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi,h. 199.
36
hubungan disini orang akan membiarkan orang lain untuk mengenal dirinya
secara bertahap.44
Altman dan Taylor menggunakan bawang merah (union) sebagai
analogi untuk menjelaskan bagaimana orang melalui interaksi saling
mengelupas lapisan informasi mengenai diri masing-masing. Lapisan luar
berisi informasi superfisial seperti nama, alamat atau umur. Ketika lapisan
ini sudah terkelupas kita semakin mendekati lapisan terdalam yaitu lapisan
informasi tentang kepribadian.45 Dapat dipahami bahwa semakin dalam dan
semakin pribadi informasi yang disampaikan kepada lawan bicara berarti
hubungan yang terjalin semakin akrab. Adapun keakraban terbentuk karena
ada rasa nyaman dan rasa saling percaya.
Orientasi
Pertukaran
penjajakan afektif
Membuka sedikit
informasi tentang
diri kita kepada
orang
lain/pembentukan
kepercayaan
Munculnya
kepribadian
seseorang
Pertukaran
afektif
komunikasi
yang spontan;
Pertukaran stabil
Komunikasi yang
efisien;
dibangunnya
sebuah sistem
komunikasi
personal
Ilustrasi tahapan penetrasi sosial46
a. Tahap orientasi: membuka sedikit demi sedikit
Hanya sedikit proses perkenalan secara terbuka pada tahap ini
karena selama tahapan ini pernyataan-pernyataan yang dibuat biasanya
hanya hal-hal yang klise dan merefleksikan aspek superfisial dari
44
S. Djuarsa Sendjaja, Ph.D., dkk. Teori Komunikasi (Jakarta: Universitas Terbuka:
1994), h.80
45
Sendjaja, dkk. Teori Komunikasi, h. 80.
46
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi, h. 205.
37
seorang individu. 47 Dapat disimpulkan bahwa pada tahap ini baik
komunikator maupun komunikan masih sangat berhati-hati untuk
menyampaikan sesuatu sehingga yang dibicarakanpun hanyalah hal
yang bersifat umum saja, sehingga konflik dapat dihindari dan
kesempatan yang lebih besar untuk melanjutkan komunikasi ke tahap
selanjutnya.
a.
Pertukaran penjajakan afektif: munculnya diri
Tahap ini merupakan area dimana aspek-aspek pribadi mulai
muncul. Terdapat sedikit spontanitas dalam komunikasi karena
individu-individu sudah sama-sama merasa nyaman, dan mereka sudah
tidak terlalu hati-hati jika apa yang akan ia sampaikan salah
sehinggaakhirnya akan menimbulkan penyesalan, perilaku menyentuh
dan tampilan afeksipun ditampilkan.48
b.
Pertukaran afektif: komitmen dan kenyamanan
Tahap ini merupakan tahap interaksi tanpa beban dan santai,
dimana komunikasi sering kali berjalan spontan hal ini karena peserta
komunikasi sudah saling nyaman satu sama lain. Pesan yang
disampaikan juga sudah lebih banyak bahasa nonverbal.Seperti dengan
tersenyum menggantikan kata “saya mengerti”. 49 Kesimpulan yang
dipahami penulis ialah proses komunikasi yang intensif dapat
menimbulkan rasa percaya dan rasa nyaman hingga akhirnya dapat
saling terbuka. Oleh sebab itu, pada tahap ini kedua belah pihak tak
hanya saling mendengar dan menanggapi saja namun kini mereka sudah
47
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi, h. 205.
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi,h. 206.
49
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi, h. 207
48
38
saling mengevaluasi dan mengkritik satu sama lain. Dan hal ini akan
terjadi jika ketika kedua belah pihak sudah mendapatkan kedekatan
pada proses interaksi sebelumnya.
c.
Pertukaran stabil: kejujuran total dan keintiman
Tahap ini merupakan tahap dimana pengungkapan pemikiran,
perasaan dan prilaku secara terbuka.Dalam tahap ini peserta komunikasi
dalam tingkat keintiman tinggi; maksudnya kadangkala salah satu dari
mereka mampu untuk menilai dan menduga perilaku pasangannya
dengan cukup akurat.50
C. Komunikasi Terapeutik
1. Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi Terapeutik ialah suatu konsep interaksi antarpribadi
antara perawat dan pasien, yang selama interaksi berlangsung, perawat
berfokus pada kebutuhan khusus pasien untuk meningkatkan pertukaran
informasi
yang
efektif
antara
perawat
dan
pasien,
keterampilan
menggunakan teknik komunikasi terapeutik membantu perawat memahami
dan berempati terhadap pengalaman pasien. 51 Dari kutipan diatas penulis
dapat mengambil kesimpulan bahwa setiap perawat sangat dianjurkan untuk
dapat menguasai teknik-teknik komunikasi terapeutik dalam proses
keperawatnya untuk memenuhi standar asuhan pasien.
2. Relevansi Komunikasi Terapeutik
Relevansi komunikasi dan praktik keperawatan jiwa tampak nyata.
Pertama, komunikasi merupakan alat untuk membina hubungan terapeutik
50
West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi, h. 209
Sheila L. Videbeck, PhD, Rn, Buku Ajar Keperawatan Jiwa: Psychiatric Mental
Health Nursing (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2008), h. 123.
51
39
karena komunikasi mencakup penyampaian informasi dan pertukaran
pikiran dan perasaan. Kedua, komunikasi adalah cara untuk mempengaruhi
perilaku orang lain. Ketiga, komunikasi adalah hubungan itu sendiri; tanpa
komunikasi, hubungan terapeutik perawat pasien tidak mungkin tercapai.52
Dapat dipahami bahwa komunikasi digunakan oleh insan kesehatan
untuk mengintervensi pasien, agar pasien dapat mencapai perubahan sesuai
dengan apa yang dibutuhkan oleh kesehatan pasien itu sendiri.
3. Tujuan Komunikasi Terapeutik
a. Meningkatkan kesadaran diri, penerimaan diri dan penghargaan diri
pasien
b. Identitas diri jelas, peningkatan intergritas diri.
c. Membina hubungan antarpribadi yang intim, interdependent, memberi
dan menerima dengan kasih sayang.
d. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang
realistik.53
4. Komponen Esensial Komunikasi Terapeutik
Untuk membangun dan mempertahankan hubungan terapeutik maka
perawat dan pasien sebaiknya saling berkomunikasi karena komunikasi
merupakan strategi pertama untuk memulai, mempertahankan, dan
mengakhiri, hubungan terapeutik. Ada beberapa komponen yang penting
dalam sebuah proses hubungan komunikasi terapeutik, yaitu: kerahasiaan,
keterbukaan
diri,
sentuhan,
mendengar
dan
observasi
aktif,
dan
menempatkan diri sebagai pasien.
a. Kerahasiaan, berarti menghormati hak klien untuk menjaga rahasia setiap
informasi tentang kesehatan fisik dan jiwanya serta perawatan yang
52
Gail Wiscarz Stuart dan Sandra J. Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa:Pocket
Guide to Psychiatric Nursing (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1998), h. 16
53
Kholid Rosyidi MN, S.Kep, Ns, Prosedur Praktik Keperawatan Jilid 2 (Jakarta:
Penerbit Buku Kesehatan, 2013), h. 77
40
terkait. Kerahasiaan berarti hanya mengizinkan individu yang terlibat
dalam perawatan klien untuk memiliki akses-akses ke informasi yang
diungkapkan klien.54
b. Keterbukaan diri, menurut Deering yang telah dikutip oleh Videbeck
didalam buku ajar keperawatan jiwa bahwaketerbukaan diri ialah perawat
yang membuka diri dengan memberikan informasi mengenai diri perawat
itu sendiri seperti informasi tentang biografi, ide, pikiran serta perasaan
pribadi. 55 Adapun keterbukaan diri ini diperlukan karena penyakit dan
hospitalisasi menimbulkan stress, seringkali merupakan
pengalaman yang sangat menakutkan bagi pasien. Perawat berada
disamping pasien untuk membantu pasien melalui pengalaman ini.56
c. Sentuhan, menyentuh pasien dapat meningkatkan rasa nyaman dan aman
bila tersebut diizinkan atau diinginkan. Contohnya ialah menyentuh
seorang ibu yang menangis terisak karena kehilangan anaknya.57
d. Mendengardan observasi aktif. Mendengar aktif yang dimaksud ialah
memperhatikan pesan yang disampaikan, mengatur duduk yang sesuai
(berhadapan, jarak yang sesuai dan lain-lain), menghindari terjadinya
interupsi, menyimak setiap perkataan pasien dengan penuh empati, dan
secara ekslusif berkonsentrasi pada apa yang klien katakan.58Sedangkan
54
Sheila L. Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa,h. 125
Sheila L. Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa ,h. 126.
56
Monica Ester, S.Kep, Pedoman Perawatan Pasien (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC), h. 6
57
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 127.
58
Nursalam, Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktek (Jakarta:
Salemba Medika, 2009), h. 35.
55
41
observasi aktif berarti mengobservasi tindakan nonverbal pembicara
ketika ia berkomunikasi.59
e. Menempatkan diri sebagai pasien. Peraturan yang paling penting dalam
teknik komunikasi ini ialah membayangkan diri anda berada dalam posisi
pasien. Hingga akhirnya dapat memahami perasaan mereka dan
menanggapi mereka secara emosional pada kebutuhan atau distres
mereka.60
Dari beberapa penjabaran diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa
komponen-komponen diatas urgen untuk diterapkan didalam praktik
komunikasi terapeutik agar pasien merasa nyaman hingga akhirnya bina
trust dapat terlaksana, terlebih terhadap pasien gangguan jiwa yang kerap
sangat sulit untuk membangun rasa nyaman dengan orang lain.
5. Metode-metode Komunikasi Terapeutik
a. Keterampilan Komunikasi Verbal
1) Menggunakan pesan konkret
Dalam
praktek
komunikasi
terapeutik
janganlah
menggunakan kata-kata sulit (medis) untuk menggambarkan
masalah, jangan menggunakan kata-kata yang tidak dipahami
masyarakat diluar rumah sakit, namun sangat dianjurkan untuk
menggunakan bahasa sehari-hari seperti kata berjalan, bukan
ambulasi.
61
Gunakanlah kata-kata sejelas mungkin ketika
berbicara dengan pasien, sehingga pesan dapat dengan mudah
dipahami Karena individu yang cemas semakin berkurang
59
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan, h. 128.
Ester, Pedoman Perawatan Pasien, h. 7.
61
Ester, Pedoman Perawatan Pasien, h. 9
60
42
kemampuan untuk memproses konsep sehingga pesan konkret
penting untuk dipertukarkan.62
Dari poin diatas penulis dapat memahami bahwa pesan
yang jelas sangat berguna demi apapun yang disampaikan oleh
perawat kepada pasien dapat difahami secara langsung dan tidak
membutuhkan proses interpretasi lebih dulu, sehingga respon
yang didapatpun akan besifat jelas, maka dalam komunikasi ini
bahasa-bahasa kiasan, bahasa istilah tidak lagi diperlukan.
2) Menginterpretasi Sinyal atau Isyarat
Untuk memahami maksud pasien, perawat memahami dan
mendengarkan isyarat dengan cermat. Adapun isyarat ialah pesan
verbal atau nonverbal yang menandakan kata kunci atau isu untuk
pasien. Isyarat dapat terselubung dalam ucapan pasien atau dapat
ditunjukan dalam proses komunikasi. 63 Memahami isyarat ini
sangat penting dalam proses komunikasi karena dengan
memahami isyarat yang diucapkan pasien dapat membantu
perawat mengetahui apa yang perlu ditanyakan selanjutnya atau
bagaimana merespon pasien.64 Namun jika ternyata perawat sulit
mengikuti interaksi yang telah diciptakan oleh komunikan/pasien
karena sulit memahami isyarat dari pasien maka cukup
mendengarkan dengan cermat untuk mengetahui tema atau suatu
topik yang mendasari kata-kata pasien.65 Contohnya ialah:
62
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan, h. 130
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 130
64
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 130
65
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan jiwa, h. 131
63
43
Pasien: “oh, hallo, suster. (wajah gembira, tersenyum dan mata
berbinar-binar ; suara riang)
Perawat: “anda tampak gembira hari ini, Ny. Venezia.
Penjabaran tersebut membuahkan sebuah pemahaman
bahwa dalam pesan yang disampaikan oleh pasien banyak
memiliki isyarat ataupun sinyal yang tersirat sehingga tidak
semua orang dapat mengetahui apa yang sebenarnya ada di
pikiran dan perasaan pasien. Oleh karena itu, penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa kunci sukses memahami isyarat
dan sinyal verbal tersebut ialah dengan mendengarkan secara
cermat apa yang disampaikan lewat pesan verbal dan apa yang
ditunjukan oleh pesan nonverbal, dan juga perawat perlu memiliki
banyak wawasan tentang psikologis seseorang agar sensitifitas
perawat semakin terasah.
b. Keterampilan Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal meliputi ekspresi wajah, kontak mata,
suara pengingat seperti “uh huh”, ruang, waktu, batasan, dan gerakan
tubuh. Adapun komunikasi ini juga meliputi pikiran bawah sadar yang
memperlihatkan emosi yang berhubungan dengan isi verbal, situasi,
lingkungan, dan hubungan antara pembicara dan pendengar.66
1) Mengintrepretasi ekspresi wajah dan sikap tubuh
66
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 138.
44
Perhatikan ekspresi pada wajah, sikap tubuh serta gerakan
tubuh pasien. Karena wajah pasien atau tekanan suara, atau cara
bicara dapat mengatakan lebih banyak daripada kata-kata.67
2) Menginterpretasi Isyarat Vokal
Isyarat vokal adalah suara nonverbal yang disampaikan
bersama isi pembicaraan. Volume suara, nada suara, tinggi rendah
nada (pitch) intensitas, penekanan, kecepatan, dan jeda mendukung
pesan pengirim. 68 Volume merupakan tingkat kekerasan suara
seseorang dan volume ini merupakan representasi dari rasa marah,
takut, senang, atau bahkan tuli. 69 Sedangkan nada suara dapat
mengartikan apakah seseorang sedang merasa tertekan, rileks,
agitasi atau bosan. 70 Sedangkan tinggi rendah nada ini bervariasi
dari yang melengking sampai dengan rendah dan mengancam.
Sedangkan intensitas menunjukan seberapa pentingnya pesan yang
disampaikan. 71
3) Menginterpretasi kontak mata
Mata disebut sebagai cerminan jiwa karena mata sering
merefleksikan emosi kita.Pesan yang diberikan oleh mata meliputi
humor, nafsu, penolakan, rasa tertarik, kebingungan, kebencian,
kebahagiaan, keedihan, ketakutan, peringatan, dan pembelaan.72
4) Memahami tingkat makna
67
Ester, S.Kep, Pedoman Perawatan Pasien, h. 7.
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 141.
69
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 141.
70
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 141
71
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 141
72
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h.141
68
45
Menurut penulis perawat dituntut untuk tidak hanya
mendengar kata-kata yang diucapkan oleh pasien tetapi harus juga
mampu menginterpretasi makna apa yang tersirat dari kata-kata
pasien. Kemampuan melakukan hal ini memerlukan teknik
mendengar secara dangkal yaitu dengan mendengar pesan konkret
dan juga mendengar secara mendalam yaitu memerlukan beberapa
interpretasi pesan kemudian mengumpulkan informasi yang rinci
untuk memvalidasi setiap asumsi atau tidak memvalidasi.73
Dari semua penjabaran tentang keterampilan komunikasi
nonverbal diatas, penulis dapat mengambil garis merah bahwa
segala sesuatu yang dilakukan oleh pasien itu selalu memiliki
makna yang tersirat, hal ini terjadi karena ketidakcakapan pasien
untuk mengungkapkan isi hati dan pikirannya melalui kata-kata
sehingga makna akan lebih banyak terkandung dalam pesan
nonverbalnya. Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa
perawat harus mengamati dengan cermat semua gerak-gerik
pasien. Dan memiliki banyak referensi ilmu agar kesalahan
prediksi makna tidak terjadi.
6. Teknik Komunikasi Terapeutik
Ada beberapa teknik komunikasi yang harus dikuasai oleh perawat
ketika menghadapi pasien agar tidak ada tingkah laku atau bahkan
perkataan yang akhirnya hanya akan memperburuk kondisi kesehatan
pasien, adapun teknik yang dimaksud adalah sebagai berikut:
73
Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 142
46
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
Listening, yaitu menerima informasi secara aktif dan memperhatikan
respon pasien.
Broad opening (pertanyaan terbuka), yaitu suatu teknik untuk
membuka pembicaraan. Misalnya, “bagaimana perasaan anda hari
ini?”
Restating (mengulang), misalnya, “kamu mengatakan bahwa ibumu
meninggal saat usiamu 5 tahun?”
Clarification, yaitu dilakukan jika perawat ragu, tidak jelas, tidak
mendengar.Misalnya, “dapatkah anda jelaskan kembali tentang…”
Identifikasi tema, yaitu mengidentifikasi pokok yang mendasari
persoalan/masalah yang sering muncul.Misalnya, “saya lihat dari
semua keterangan yang anda jelaskan anda telah disakiti, apakah
ini latar belakang masalahnya?”
Silence (diam), hal ini biasanya dilakukan setelah mengajukan
pertanyaan, dan bertujuan memberi kesempatan pasien berfikir dan
memotovasi pasien untuk berbicara.
Reflection,yaitu upaya mengembalikan kepada pasien segala ide
pasien, perasaan, pertanyaan dan isinya agar pasien menyadari dan
dapat mengambil keputusan.
Focusing (memfokuskan), yaitu Membantu pasien bicara sesuai
dengan topik yang dipilih, sesuai tujuan spesifik, lebih jelas,
berfokus pada realitas.
Membagi persepsi, yaitu Menanyakan kepada pasien untuk menguji
pengertian perawat tentang yang ia fikir dan rasakan.
Informing, yaitu memberi informasi dan fakta untuk pendidikan
kesehatan.
Sugesting, yaitu memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah
Humor,yaitu bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, menyegarkan
suasana, dan menurunkan agresi.74
D. Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Menurut Mark Durand dan David H. Barlow yang dikutip oleh Herri,
Bethsaida dan Marti bahwa Istilah gangguan skizofrenia ini terdiri dari dua
kata, yakni skhizein = split = pecah, dan phrenia = mind = pikiran.
Skizofrenia ialah gangguan psikotik yang bersifat merusak yang melibatkan
74
Rosyidi, Prosedur Praktik Keperawatan Jilid 2, h. 77-78.
47
gangguan berfikir (delusi), persepsi (halusinasi), pembicaraan, emosi, dan
perilaku.75
Begitupun pendapat yang senada dari Yustinus didalam bukunya
kesehatan mental 3 bahwa skizofrenia merupakan suatu gangguan mental
yang berat dengan ciri-ciri khasnya adalah tingkah laku aneh (bizar),
pikiran-pikiran aneh, dan halusinasi-halusinasi pendengaran dan penglihatan
(yakni “mendengar suara-suara atau melihat hal-hal yang tidak ada”).76
Dan pendapat senadapun datang dari Richad dan Susan didalam
bukunya Abnormal Psycholgy bahwa Schizophrenia is a disorder with a
range of symtoms involving disturbances in content of thought, form of
thought, perception, affect, sense of self, motivation, behavior, and
interpersonal fungtioning. 77 Yang artinya skizofrenia merupakan sebuah
penyakit yang gejalanya berkaitan dengan gangguan isi fikiran, bentuk
pikiran/halusinasi, gangguan persepsi/delusi, rasa kepedulian akan diri
sendiri, motivasi, tingkah laku, dan gangguan akan fungsi hubungan
antarpribadi.
Dari dua pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang menyerang pikiran seseorang,
karenanya berdampak timbulnya gangguan akan persepsi, adanya halusinasi,
tingkah laku yang tidak koheren serta pola hubungan antarpribadi yang
kurang kondusif.
75
Herri Zan Pieter, Bethsaida Janiwarti, Ns. Marti Saragih, Pengantar Psikopatologi
untuk Keperawatan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 329.
76
Yustinus Semiun, OFM, Kesehatan Mental 3 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 20.
77
Richad P. Halgin & Susan Krauss Whitbourne, Abnormal Psychology : Clinical
Perspectives on Psychology Disorder (New York: Mc Graw Hill, 2007), h. 278.
48
2. Ciri-ciri Utama Skizofrenia
Terdapat beberapa ciri-ciri skizofrenia yang harus kita fahami
yaitu, adanya waham/delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak koheren,
perilaku tidak terorganisasi atau katatonik dan ciri-ciri negatif lainnya
(alogia, avolisi, anhedonia) dan juga penarikan diri dari kehidupan sosial.
Jika ciri-ciri ini terjadi pada pasien skizofrenia secara terus menerus selama
enam bulan maka pasien sudah benar-benar positif menderita gangguan jiwa
tipe skizofrenia.78
a. Delusi
Delusi pada penderita skizofrenia yang ditandai gangguan pikiran,
adanya keyakinan yang persisten dan berlawanan dengan kenyataan
tetapi tidak disertai dengan keberadaan sebenarnya, dan juga terisolasi
secara sosial dan besikap curiga pada orang lain.79 Contohnya ia selalu
beranggapan bahwa orang lain selalu menggunjingkan dirinya dan selalu
menuduhnya bahwa ia telah melakukan hal yang tidak bermoral atau
menertawakannya.
b. Halusinasi
Halusinasi yaitu gangguan yang ditandai dengan gangguan
persepsi pada berbagai hal yang dianggap dapat dilihat, didengar ataupun
adanya perasaan dihina meskipun sebenarnya tidak realitas.80
c. Pembicaraan yang tidak koheren
78
Jeffrey S. Nevid, Spencer A Rathus, Beverly Greene, Psikologi Abnormal (Jakarta:
Erlangga, 2003), h. 105.
79
Herry Zan Pieter & Namora Lumongga Lubis, Pengantar Psikologi Dalam
Keperawatan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 112.
80
Pieter&Lubis, Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan, h. 113.
49
Pembicaraan yang tidak koheren maksudnya ialah seperti topik
pembicaraan yang melompat-lompat, pembicaraan yang serampangan
dan kehilangan asosiasi, neologisme,
81
pembicaraan yang tidak
berhubungan dengan topik.82 Dan juga pemikiran dan kata-kata mereka
yang terbalik-balik.83
d. Perilaku tidak terorganisasi atau katatonik
Yaitu tindakan tanpa tujuan dan berulang-ulang seperti bergerak
dengan kegaduhan, agitasi liar dan tidak melakukan apapun dalam waktu
yang sangat lama (katatonik), cara berpakaian yang tak jelas dan tak pas
pada situasinya.84
e. Avolisi (ketidakmampuan mempertahankan aktifitas)
Adanya ketidakpedulian dan disorganisasi dalam menyelesaikan
tugas dan tidak memiliki motivasi hidup. Contohnya ia dapat duduk
sepanjang hari yanpa melakukan apapun.85
f. Anhedonia
Yaitu hilangnya perasaan senang (bahagia) ditandai dengan
hilangnya ketertarikan untuk makan.86
g. Penarikan diri dari kehidupann sosial
They have trouble and tumultuous interactions with relatives,
acquaintances, and even strangers, particularly during the actives phase
81
Menciptakan kata atau kalimat yang aneh-aneh, tidak menjawab pertanyaan dan
memberikan jawaban yang menyimpang dari pertanyaan
82
Pieter, Janiwarti & Saragih, Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan, h.333.
83
Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Psiokologi Abnormal (Bandung:
Reflika Aditama, 2005), h. 34
84
Pieter, Janiwarti & Saragih, Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan, h.333.
85
Wiramihardja, Pengantar Psiokologi Abnormal, h. 137.
86
Pieter, Janiwarti & Saragih, Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan, h.334
50
of symptoms. 87 Yang artinya adalah mereka memiliki kesulitan dan
kekacauan interaksi dengan sanak keluarga, kenalan dan bahkan orang
yang tak ia kenal/lingkungan sekitar, terutama saat aktivitas pertemuan
pertama.
3. Faktor-Faktor Pemicu Skizofrenia
Ada beberapa faktor yang disinyalir menjadi penyebab gangguan ini
mucul diantaranya faktor genetis, faktos psikologis, faktor lingkungan dan
faktor biokimia.
a. Faktor genetis, menurut beberapa penelitian di beberapa negara
seperti Swedia, Irlandia dan sebagainya bahwa semakin dekat
hubungan genetis antara orang yang didiagnosis skizofrenia maka
iamemiliki sepuluh kali lipat resiko yang lebih besar untuk
mengalami skizofrenia dibandingkan anggota populasi umum.88
b. Faktor psikologis, Yaitu faktor yang berhubungan dengan gangguan
fikiran, keyakinan, opini yang salah, ketidakmampuan membina,
mempertahankan hubungan sosial.89
c. Faktor lingkungan/sosial, pola asuh yang tidak tepat yang tidak
sesuai dengan tumbuh kembang anak, dan tuntutan hidup yang
tinggi.90
d. Faktor biokimia, anggapan bahwa skizofrenia melibatkan terlalu
aktifnya reseptor dopamin di otak.91
87
Richard P. Halgin & Susan Krauss Whitbourne, Abnormal Psychology: Clinical
Perspectives on Psychological Disorders (New York: McGraw Hill, 2007), h. 282.
88
Nevid, Rathus & Greene, Psikologi Abnormal, h. 121.
89
Pieter&Lubis, Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan, h. 112
90
Pieter&Lubis, Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan, h. 112
91
Nevid, Rathus&Greene, Psikologi Abnormal, h. 123.
51
4. Aneka Ragam Skizofrenia
Berdasarkan gangguan skizofrenia terdapat lima tipe utama dan
klasik akan gangguan tersebut, diantaranya ialah: skizofrenia tidak teratur
(hebefrenik), skizofrenia katatonik,skizofreniaparanoid,skizofrenia resedual,
dan skizofrenia yang tidak terperinci. Adapun yang akan menjadi objek
penelitian dalam penelitian ini ialah tipe skizofrenia tidak teratur
(hebefrenik) dan tipe skizofrenia paranoid berikut penjelasan terperinci
tentang dua tipe skizofrenia tersebut:
a. Skizofrenia Tidak Teratur (Hebefrenik)
Pasien dengan gangguan ini senderung menunjukkan kedunguan
dan mood yang gamang, cekikikan, berbicara yang tidak-tidak,
ketidakpaduan antara pikiran, dan
sifat kekanak-kanakan. 92 Adapun
biasanya tipe skizofrenia ini diderita oleh kalangan remaja dan tipe ini
merupakan tipe skizofrenia yang paling berat dibanding dengan tipe
skizofrenia yang lain.
Orang yang menderita gangguan ini akan menarik diri secara
ekstrem. Ia tidak lagi tertarik pada lingkungannya, sehingga ia hampir
sepenuhnya hidup dalam dirinya sendiri. Ledakan-ledakan emosi, seperti
menangis dan tertawa, yang menimpanya bukan akibat stimulus-stimulus
dari luar, tetapi stimulus-stimulus yang berasal dari dunia khayalan
tempat ia hidup. Penderita hebefrenik tertawa terkikih-kikih seperti anak
kecil. Tertawanya tidak pada tempatnya yang dangkal; dan disamping itu,
ia menyeringai. Ciri tingkah lakunya aneh, ia berbicara dan membuat
gerak-gerik isyarat terhadap dirinya sendiri, berselang-seling antara
menangis dan tertawa serta mengoceh.93
Penulis dapat memahami bahwa tipe skizofrenia ini lebih parah
dengan tipe yang lain karena pasien sudah benar-benar hidup dengan
dunianya
92
sendiri.
Tingkah
lakunya
yang
Nevid, Rathus&Greene, Psikologi Abnormal, h. 118.
Semiun, Kesehatan Mental 3, h. 28.
93
sering
tertawa-tawa,
52
menyeringai, menangis sendiri itu mengindikasi bahwa halusinasi yang
ada dalam pikiran pasien amatlah tinggi.
Jika penyakit ini semakin parah maka pasien akan bertingkah laku
seperti anak-anak bahkan seperti bayi misalnya bermain dengan
kotorannya sendiri. Penderita gangguan ini biasanya disebabkan oleh
stress yang berlebihan sehingga ia mundur pada tahap seperti kanakkanak. Saat tahap ini telah terjadi maka tidak ada yang bisa dilakukan.94
b. Skizofrenia Paranoid
Pada gangguan ini reaksi-reaksi yang ditimbulkan lebih sedikit
dibanding dengan gejala skizofrenia yang lainnya, adapun ciri khas dari
penderita ini ialah murung, mudah tersinggung dan selalu curiga.
Sehingga ia berpotensi berperilaku agresif pada diri sendiri atau orang
lain.95
Orang yang memiliki kecenderungan akan gangguan ini biasanya
adalah orang yang sangat ambisius sehingga saat ia tidak dapat
mendapatkan apa yang ia harapkan ia akan frustasi dan menyalahkan
orang lain sebagai penyebab dari kegagalannya. Dan jika perspektif ini
terus dipertahankan maka hidupnya akan tidak teratur.96
People with this type are preoccupied with one or more bizzare
delusions or have auditory hallucinations related to a theme of being
persecuted or harassed, but without disorganized speech or distrubed
behaviour. The hallucination are usually related to the content of the
dellucions; however, cognitive functioning and effect are reasonable
normal. People with the paranoid type of schizophrenia have tremendous
interpersonal problems, because of their suspicious and argumentative
style.97
94
Semiun, Kesehatan Mental 3, h. 29.
Pieter&Lubis, Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan, h. 116.
96
Semiun, Kesehatan Mental 3, h. 32.
97
Halgin & Whitbourne, Abnormal Psychology: Clinical Perspectives on Psychological
Disorders, h. 283.
95
53
Artinya adalah Orang-orang yang berada pada tipe ini terkadang
asyik dengan satu atau lebih delusi-delusi yang aneh/ganjil atau mereka
memiliki
halusinasi-halusinasi
pendengaran
yang menyiksa
atau
menggangu, tetapi tanpa pola berbicara yang baik dan mereka bertingkah
laku yang mengganggu. Halusinasinya berhubungan dengan isi dari
delusi-delusi pasien; bagaimanapun juga fungsi dari kognitif mereka
normal adanya. Orang yang menderita gangguan skizofrenia tipe
paranoid memiliki masalah pribadi yang parah, karena kecurigaan dan
gaya berfikir mereka.
BAB III
Gambaran Umum Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
A. Profil Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Rumah sakit jiwa ini bernama Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Pemilihan nama tersebut sebagai bentuk apresiasi atas jasa-jasa beliau sebagai
pemimpin pribumi pertama di rumah sakit jiwa bogor ini sejak 17 Agustus
1945 hingga desember 1950. Nama tersebut diresmikan pada tahun 2002.1 Hal
ini sesuai dengan perkataan dari ibu Sumarni, S.Skm, bahwa:
“Pada hari kemerdekaan RI yaitu pada masa pengeboman HirosimaNagasaki dan pada saat itu juga Belandakan ikut menyerah dan saat itu
dipimpin oleh pribumi. Sebenarnya ada dua kandidat. Karena pada masa
Hindia Belanda terdapat dua dokter yang membantu yaitu Dr. Sumeru
dan Dr. H. Marzoeki Mahdi, namun yang terpilih adalah Dr. Marzoeki.
Nah, ketika tahun 1945 diangkatlah Dr. H. Marzoeki sebagai direktur”.2
Rumah sakit Marzoeki Mahdi ini merupakan rumah sakit jiwa pertama di
Indonesia yang sebelumnya bernama Hetkrankzinigengestithte Buitenzorg.
Lembaga ini resmi beroperasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda sejak
tanggal 1 Juli tahun 1882, berdasarkan SK Kerajaan Belanda no 10, th 1885.
Rumah sakit ini dibangun dengan tujuan untuk memperbaiki sistem perawatan
pasien gangguan jiwa karena sebelumnya pasien tersebut dirawat di RS Umum,
RS Tentara, Penjara dan kantor polisi dengan sistem perawatan yang kurang
1
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 14
Wawancara pribadi dengan Ibu Sumarni S., SKM. Bogor, Rabu 25 Maret 2015.
2
54
55
pantas seperti pasien selalu dikurung dan diasingkan, pengasingan tersebut
terjadi karena pasien ini dianggap berbahaya untuk masyarakat dan diri pasien
sendiri.3 Dan hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan Ibu Sumarni, S,
SKM.
“Pada saat itu masyarakat yang terkena gangguan jwa dirawat di RSU,
Kantor polisi di tempat tentara sehingga penangannyapun dengan
kekerasan jadi akhirnya bangsa belanda punya keinginan dan niat yang
baik. Akhirnya dibuatlah rumah sakit khusus gangguan jiwa”.4
Berdasarkan kutipan diatas penulis dapat memahami bahwa sebenarnya
niat yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu sangat baik karena
meski mereka menjajah bangsa Indonesia tetapi ternyata mereka juga
memperhatikan infrastruktur kesehatan masyarakat.
Penanggung jawab pembangunan rumah sakit ini diserahkan kepada Dr.
F.H. Bauer, psikiater RSJ di Belanda dan Dr. W.M. Smit dokter angkatan laut
Belanda. Dengan beberapa persyaratan lokasi, diantaranya:
1.
Terletak dekat dengan pusat pemerintahan di Jakarta
2.
Dekat dengan jalan pos
3.
Harus dapat mampu dan cocok untuk merawat 400 pasien jiwa5
Setelah survei ke beberapa tempat maka bogorlah yang dianggap paling
cocok dengan persyaratan diatas, karena letaknya yang dekat dengan pusat
pemerintahan dan memiliki udara yang sejuk sehingga dianggap cocok untuk
proses penyembuhan pasien gangguan jiwa. Rumah sakit ini terletak di jalan
3
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 13
Wawancara pribadi dengan Ibu Sumarni S., SKM. Bogor, Rabu 25 Maret 2015.
5
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 13
4
56
Dr.Sumeru, no.144, kota Bogor, kode pos 16111, telepon (0251) 8324025 dan
fax 8324026, dengan luas tanahnya yaitu 113,5601 hektar dan memiliki batas
alamiah yang terbentuk oleh anak sungai cisadane dan cikema. Pada tanggal 4
maret 1866,
Bogor resmi menjadi tempat pembangunan rumah sakit jiwa
pertama di Indonesia.
Tenaga kerja pertama terdiri dari 35 orang Eropa dan 95 pegawai
Indonesia dan keturunan Cina. Diantara personil tersebut terdapat 3 orang
dokter yaitu 2 dokter Eropa dan 1 dokter jawa yaitu Dr. Sumeru.
Namun, terdapat beberapa kendala yaitu pada tahun 1942-1945, rumah
sakit ini justru dijadikan sebagai tempat penampungan dan karantina tentara
jepang dan masyarakat yang terserang wabah kolera. Hal ini sesuai dengan
perkataan ibu Sumarni bahwa:
“ Pada masa penjajahan Jepang. Jadi, yang dirawat di RS ini bukan
hanya pasien gangguan jiwa saja yang dirawat. Karena pada saat itu
terjadi wabah Kolera. Dan banyak sekali orang-orang yang terkena
wabah tersebut ditampung di RS ini hampir 2000 orang lebih yang
terkena wabah tersebut. Karena saking banyaknya masyarakat yang
terkena wabah ini maka dirawat disini. Terlebih ketika itu rumah sakit
tidak banyak”.6
Dari hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa alasan
mengapa rumah sakit jiwa ini menjadi tempat perawatan pasien wabah kolera
karena tidak memadainya fasilitas kesehatan di Indonesia saat itu, sehingga
seluruh fasilitas umum khususnya fasilitas kesehatan digunakan sebagai tempat
penyembuhan bagi pasien wabah kolera.
6
Wawancara pribadi dengan Ibu Sumarni S., SKM. Bogor, Rabu 25 Maret 2015.
57
B. Visi, Misi dan Tujuan
1. Visi
Rumah sakit jiwa rujukan nasional dengan unggulan layanan rehabilitasi
psikososial pada tahun 2019
2. Misi
a.
Mewujudkan layanan kesehatan jiwa dengan unggulan rehabilitasi
psikososial
b.
Meningkatkan
penyelenggaraan
pendidikan,
pelatihan
dan
riset
unggulan dalam bidang kesehatan jiwa
c.
Meningkatkan peran strategis dalam program kesehatan jiwa nasional:
bebas pasung, pengampunan/pembinaan layanan kesehatan jiwa di
layanan primer dan rumah sakit umum.
d.
Meningkatkan kolaborasi dan pemberdayaan stakeholder.
e.
Meningkatkan komitmen dan kinerja pegawai untuk mencapai
kesejahteraan.7
3. Tujuan
Tujuan dari RS. Dr. H Marzoeki Mahdi Bogor adalah untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat demi memajukan tingkat
kesejahteraan umum dan juga demi mencerdaskan kehidupan bangsa melalui
fleksibelitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan
produktivitas dan juga penerapan praktek bisnis yang sehat demi:
a.
7
Tercapainya jasa layanan kesehatan jiwa dengan kualitas prima
Wawancara pribadi dengan Ibu Sumarni S., SKM. Bogor, Rabu 25 Maret 2015.
58
b.
Terciptanya produk unggulan dalam bidang kesehatan jiwa
c.
Tersedianya sumber daya manusia bidang kesehatan jiwa yang
profesional dan berkomiten kegiatan rumah sakit Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor menyelenggarakan kegiatan:
1) Pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya kesehatan jiwa
melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif serta
pelayanan penunjangnya secara paripurna
2) Pengembangan pelayanan, pendidikan dan penelitian di bidang
kesehatan jiwa, NAPZA dan pelayanan umum pendukung
pelayanan kesehatan jiwa
3) Pendidikan, penelitian dan usaha lain di bidang kesehatan8
Agar tujuan rumah sakit dapat tercapai maka ada beberapa harapan
ataupun prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman bagi seluruh civitas rumah
sakit seperti motto dan makna filosofis logo rumah sakit.
a. Motto Rumah Sakit Marzuki Mahdi Bogor
Motto merupakan kalimat, frasa, atau kata yang digunakan sebagai
pemicu semangat, pedoman atau prinsip. sebagai lembaga pelayanan
kesehatan yang mementingkan nilai-nilai humanisme motto yang
tertanam, ialah: Pertama, sigap, penulis memahami bahwa seluruh civitas
rumah sakit diharapkan selalu sigap saat merawat dan menyembuhkan
pasien. Kedua, empati, empati adalah faktor yang dapat menumbuhkan
rasa percaya, dan empati juga dianggap sebagai memahami orang lain
8
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 11
59
yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita. Dan juga memiliki arti
membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain. Dengan
berempati kita berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan
seperti orang lain merasakannya.9Ketiga, harmonis, penulis dapat
memahami bahwa semua civitas rumah sakit diharapkan untuk saling
mendukung agar kenyamanan dan keakraban dapat terus. Keempat,
antusias. Kelima, tertib.
b.
Makna Logo
Logo rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yaitu berupa
gambar empat ikan lumba-lumba yang sedang mengelilingi RSMM, logo
ini telah ditetapkan sejak tahun 2004.
1) Makna ikan lumba-lumba
a) Lumba-lumba
memiliki
sifat
hidup
berkelompok,
yang
menggambarkan tentang team work
b) Hewan yang suka belajar, sebuah harapan agar organisasi RS. Dr.
H. Marzoeki Mahdi Bogor untuk terus selalu belajar.
9
Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, Psikologi Komunikasi (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya,
2012), h. 131
60
c) Dapat
hidup
di
laut
dalam
maupun
di
laut
dangkal,
menggambarkan bahwa rumah sakit ini mampu menyesuaikan diri
dalam segala kondisi, dan hal ini telah terbukti dengan tetap
eksisnya lembaga ini selama 128 tahun
d) Hewan yang suka menolong, menggambarkan pengabdian RS. Dr.
H. Marzoeki Mahdi Bogor selalu melayani masyarakat
2) Makna jumlah 4 ekor ikan lumba-lumba
Hal ini menggambarkan 4 (empat) pilar pelayanan yang ada di
RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yaitu, pelayanan jiwa/psikiatri,
pelayanan NAPZA, pelayanan nonpsikiatri/umum dan pendidikan
dan penelitian.
a) Pelayanan Jiwa/Psikiatri, pelayanan ini diberikan kepada pasien
yang menderita gangguan jiwa.10
b) Pelayanan NAPZA, pelayanan diberikan kepada pasien yang
addicted akan obat-obatan terlarang yaitu narkotika, psikotropika
dan zat adiktif lainnya dan juga pasien yang terkena penyakit
HIV/AIDS.11
c) Pelayanan nonpsikiatri/umum, pelayanan yang diberikan pada
pasien nonpsikiatri yang memiliki jenis penyakit seperti penyakit
10
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 20
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 20
11
61
dalam, penyakit mata, kulit, telinga, gigi, kesehatan ibu dan anak
dan lain sebagainya.12
d) Pendidikan dan penelitian, bagian ini merupakan bagian yang
mengadakan perjanjian kerja sama dengan beberapa institusi
seperti beberapa universitas di Indonesia, dan juga mengadakan
beberapa pelatihan dan seminar, dan menjadi lahan penelitian
bagi para karyawan maupun mahasiswa.13
Dari penjabaran diatas, jika empat pelayanan tersebut
dianalogikan seperti empat lumba-lumba yang saling kejarkejaran dalam bentuk melingkar, maka dapat dipahami bahwa
empat pelayanan tersebut diharapkan dapat terus bergerak
bersama-sama tanpa henti dan tanpa terputus sesuai dengan
makna filosofi bentuk lingkaran.
3) Makna warna logo
Warna yang terdapat dalam logo ialah warna biru, kuning, dan
hijau. Hal ini menggambarkan Tri Upaya Bina Jiwa, yang berarti
pelayanan kesehatan jiwa mencakup 3 (tiga) bidang pelayanan, yaitu:
a) Usaha prevensi dan promosi
b) Usaha kuratif
c) Usaha rehabilitatif14
12
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 25
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 26
14
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 12
13
62
Pendapat inipun senada dengan apa yang dikatakan oleh ibu Sumarni,
yaitu:
“Alasan logo lumba-lumba yang dipilih menjadi icon logo RSJ ini
karena lumba-lumba merupakan binatang yang penyayang/penolong,
suka tantangan terus kalo misalnya kalau ketengah laut selalu
bersama-sama itulah yang mendasari kita mengambil lumba-lumba
sebagai logo lalu mengapa 4, hal ini sesuai dengan 4 pilar RSJ yang
pertama pelayanan kesehatan jiwa, pelayanan kesehatan umum,
pelayanan NAPZA dan yang terakhir DIKLIT dan jika semuanya
maju maka akan bergerak bersama. Dan warnanya biru itu kuratif,
bentuknya bulat agar terus berputar dan tidak berhenti.”
Dapat disimpulkan bahwa makna logo dan tujuan rumah sakit RS.
Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor memiliki titik poin yang sama yaitu agar
semua aspek pelayanan dapat diberikan secara prima dan berkualitas.
C.
Fasilitas Pelayanan Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Pelayan yang diberikan oleh lembaga ini, ialah: pelayanan selama 24
jam bagi pasien psikiatri maupun non psikiatri, apotik, laboratorium, ruang
radiologi dan jenis pelayanan lainnya. dengan berbagai jenis pelayanan
medis dan fasilitas yang memadai, seperti:
1.
Pelayanan kesehatan Jiwa
a.
Pelayanan gawat darurat psikiatri, Pelayanan ini merupakan
pelayanan kegawatdaruratan yang diberikan kepada pasien
gangguan jiwa akut, over dosis/intoksinasi Napza dan beroperasi
selama 24 jam, serta dilayani oleh tim kesehatan jiwa yang
profesional dan terlatih.15
15
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 18
63
b.
Pelayanan rawat jalan psikiatri, pelayanan ini diberikan oleh
dokter
ahli
kejiwaan/psikiater.
Dengan
fasilitas
meliputi
konsultasi, farmakoterapi, psikoterapi, psikoedukasi, pemeriksaan
MMPI dan surat keterangan sehat jiwa dan bebas narkotika.16
c.
Pelayanan rawat inap psikiatri, pelayanan ini terdiri dari 13
ruangan, dengan kapasitas 484 tempat tidur, yang terdiri dari:
1) Ruang PHCU (psychiatric high care unit), ruang ini tersedia
hanya untuk pasien gangguan jiwa yang sangat akut (gaduh
gelisah), dengan dua ruang didalamnya yaitu ruangan Kresna
Pria dan Kresna Wanita.17
2) Ruang Intermediate, merupakan ruang peralihan dari ruang
PHCU ke ruang pemulihan, dengan tuga ruangan didalamnya
yaitu Ruang Utari, Ruang Gatot Kaca, Ruang Subadra.18
Dapat disimpulkan bahwa jika keadaan pasien sudah
mulai membaik maka pasien akan dialihkan dari ruang jiwa
akut PHCU menuju ruang yang agak tenang yaitu ruang
intermediate.
3) Ruang Tenang, merupakan ruang peralihan dari ruang
intermediate, ruangan yang tersedia berjumlah 9 ruangan
16
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 18
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 18
18
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 18
17
64
yaitu: Ruang Srikandi, Ruang Sadewa, Antareja, Bratasena,
Dewi Amba, Arimbi, Saraswati, Abimanyu, Drupadi.
Kesimpulannya
ialah
bahwa
ruang
tenang
ini
merupakan ruangan yang disediakan bagi pasien yang sudah
mulai tenang sehingga sudah dapat banyak berinteraksi
dengan sesama pasien maupun perawat, sehingga jika kondisi
pasien sudah benar-benar membaik pasien sudah boleh
dipulangkan.
4) Ruang Psiko Geriatri, ruang perawatan ini hanya tersedia bagi
pasien gangguan jiwa dalam usia lanjut (LANSIA).
5) Ruang Perawatan Komorbiditas Fisik, merupakan tempat
perawatan khusus untuk pasien gangguan jiwa yang disertai
dengan penyakit fisik.
6) CLP : Consultation Liason Psychiatry (Paviliun Basudewa)
Kegiatan rutin yang dilaksanakan di ruang rawat inap
psikiatri ini meliputi: pemeriksaan rutin oleh dokter ruangan dan
psikiater, evaluasi psikologi, psikoterapi dan psikoedukasi, terapi
aktivitas kelompok, kegiatan rehabilitasi dan konseling dan
penyuluhan keluarga.
2. Pelayanan NAPZA, pelayanan ini merupakan pelayanan yang
diberikan bagi pasien yang terkena obat-obatan terlarang yaitu
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Pelayanan ini
tersedia sejak tahun 2001 dan menjadi pusat rujukan pasien
65
NAPZA di Bogor, dengan jenis pelayanan meliputi: poliklinik
VCT/CST HIV, ruang rehabilitasi, ruang detoksifikasi, ruang
relaps, one stop service pelayanan HIV/AIDS, Ruang rawat (total
care, biasa dan semi intensif).19
3. Pelayanan umum, menurut penulis pelayanan ini diberikan kepada
pasien yang mengidap penyakit nonpsikiatri seperti penyakit
dalam, mata, telinga dan lain sebagainya. Pelayanan jenis ini mulai
dibangun sejak tahun 2002, Yang dilengkapi dengan fasilitas
penunjang, yaitu: instalasi gawat darurat nonpsikiatri yang
beroperasi selama 24 jam penuh, instalasi rawat jalan non psikiatri,
pelayanan instalasi rawat jalan nonpsikiatri, instalasi rawat inap
umum/non psikiatri dan kamar bedah.20
4. Pelayanan penunjang, menurut penulis pelayanan ini merupakan
pelayanan penunjang demi mengoptimalkan pelayanan lainnya.
dengan ragam pelayanan, yaitu:
Instalasi Rehabilitasi Medik,
Laboratorium, Radiologi, EEG, Farmasi, Ambulance RS, Fasilitas
Taman, Binatu RS Pemulsaran Jenazah Satuan Pengamanan,
Hemodialisa, dan Penunjang Spesialistik (endoscopy).21
5. Pelayanan pendidikan dan penelitian,22 pelayanan yang diberikan
meliputi, fasilitasi kerjasama antara rumah sakit dengan berbagai
19
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 20
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 21-23
21
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 24
22
Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 26
20
66
institusi, seperti institusi pendidikan dan institusi sosial, pengadaan
seminar-seminar ataupun pelatihan, baik pelatihan kedokteran
(psikiatri dan nonpsikiatri), keperawatan dan psikologi, serta
memfasilitasi para karyawan dan mahasiswa yang hendak
melakukan penelitian.
D. Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan di rumah sakit ini meliputi tenaga kedokteran,
farmasi/apoteker, psikolog, keperawatan, paramedis non keperawatan, dan
S2 manajemen dan administrasi.
1.
Tenaga kedokteran
Terdapat beberapa tenaga kedokteran di rumah sakit ini,
diantaranya: pertama, Dokter Spesialis Psikiatri anak dan Psikiatri
remaja maupun dewasa yang berjumlah 13 orang. Kedua, Dokter
Spesialis Gigi yang berjumlah 6 orang dan nonspesialis gigi berjumlah
3 orang. Ketiga,Dokter Umum yang berjumlah 24 orang.23
2.
Tenaga fasmasi/apoteker
Terdapat total 7 orang Apoteker baik spesialis maupun nonspesialis.24
3.
Psikolog
Psikolog yang terdapat di rumah sakit ini, merupakan sarjana
S1/S2 bidang psikologi dari berbagai universitas, adapun jumlahnya
yaitu 12 orang.25
23
Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
24
67
4.
Tenaga Keperawatan
Tenaga keperawatan yang terdapat di rumah sakit ini
merupakan para sarjana yang telah menempuh masa pendidikan
jenjang D3, S1, S2 keperawatan yang berjumlah 481 orang.26
5.
Paramedis non keperawatan, manajemen dan administrasi
Tenaga kerja jenis paramedis nonkeperawatan ini berjumlah 87
orang, S2 manajemen (MARS, Mkes, MM, Msi) berjumlah 16 orang,
tenaga administrasi 374 orang, sedangkan tenaga lainnya berjumlah 34
orang.
Jadi dapat disimpulkan bahwa total jumlah tenaga kerja di
rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ini sebanyak 1072 orang.27
E. Grafik Kinerja Pelayanan
Kunjungan Rawat Jalan Tahun 2005-2014
Chart Title
200.000
150.000
147579
100.000
91301 81.452 79.419 87.942
103.932 115.520
134.516 136.298
50.000
48.333
0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Grafik 3.1 kinerja pelayanan di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor28
25
Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
27
Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
28
Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
26
2014
68
Dari grafik diatas dapat dipahami bahwa kunjungan rawat jalan pasien
sejak tahun 2005 hingga tahun 2014 bersifat fluktuatif.
1. Kunjungan pasien pada tahun 2005 lebih sedikit dibanding tahun-tahun
setelahnya karena hanya berjumlah 48.333 pasien.
2. Kunjungan pasien pada tahun 2006 berjumlah 91.301 pasien.
3. Kunjungan pasien pada tahun 2007 mengalami penurunan hingga
mencapai 81.452.
4. Kunjungan pasien pada tahun 2008 masih menurun hingga mancapai
79.419 pasien.
5. Kunjungan pasien pada tahun 2009 meningkat hingga mencapai 87.942.
6. Kunjungan pasien pada tahun 2010 meningkat tajam hingga mencapai
147.579 pasien, pencapaian tahun 2010 ini merupakan pencapaian
tertinggi dari periode 2005 hingga tahun 2014
7. Kunjungan pasien pada tahun 2011 kembali menurun hingga 103.932.
8. Kunjungan pasien pada tahun 2012 kembali meningkat hingga 115.520.
9. Kunjungan pasien pada tahun 2013 terus meningkat hingga 134.516.
10. Kunjungan pasien pada tahun 2014 mencapai angka 136. 298.
Kesimpulannya ialah bahwa total angka kunjungan pasien sejak tahun
2005-2014 berjumlah 1.026.292 pasien. Data diatas menunjukkan bahwa
kunjungan pasien di Rs. Dr. H. Marzuki Mahdi Bogor tidak menentu, karena
penurunan maupun peningkatan kunjungan kerap terjadi, dengan kunjungan
paling sedikit ada pada tahun 2005 dengan jumlah 48.333 pasien dan
terbanyak pada tahun 2010 dengan jumlah 147.579.
69
F. Data riwayat penyakit gangguan jiwa pasien tahun 2013-2014
1. 10 Besar Diagnosa Rawat Darurat Kasus Psikiatri
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Diagnosa
Paranoid Schizofrenia
Acute and transient psychotic disorder
unspecified
Unspecified nonorganic psychosis
Deppresive episode unspecified
HIV desease resulting in unspecified
infectious or parasitic
Imbalance of constituents of food intake
Epilepsy, unspecified
unspecified organic or symtomatic mental
disorder
Bipolar affective disorder unspecified
Schizopernia unspecified
Jumlah
Kasus Baru
L
P Total
389
239 628
90
47 137
Kasus Lama
L
P
Total
703
311 1014
7
6
13
1642
150
21
15
1
12
12
0
33
27
1
1
2
15
1
4
5
2
6
20
35
33
21
11
4
10
6
0
0
17
4
10
2
7
2
1
4
1
3
11
3
13
15
13
7
6
554
2
9
3
9
321 874
1
2
742
3
4
0
2
336 1078
Tabel 3.2 10 diagnosa rawat darurat kasus psikiatri29
Terdapat 10 jenis diagnosa gangguan jiwa di ruangan ini untuk periode
2013-2014, yaitu:paranoid schizoprenia, acute and transient psychotic disorder
unspecified, unspecified nonorganic psychosis, deppresive episode unspecified,
HIV desease resulting in unspecified infectious or parasitic, Imbalance of
constituents of food intake, Epilepsy unspecified, unspecified organic or
symtomatic
mental
disorder,
Bipolar
affective
disorder
unspecified,
Schizopernia unspecified, dengan rincian data sebagai berikut:
a. Paranoid schizoprenia, total pasien baru berjumlah 628 orang, dengan lakilaki berjumlah 389 orang, perempuan 239 orang. Sedangkan total pasien
29
Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Total
13
11
1953
70
lama berjumlah 1014 orang dengan laki-laki 703 orang, perempuan 311
orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 1642 orang.
b. Acute and transient psychotic disorder unspecified, total pasien baru
berjumlah 137 orang, dengan laki- laki berjumlah 90 orang, perempuan 47
orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 13 orang dengan laki-laki 7
orang, perempuan 6 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini
mencapai 150 orang.
c. Unspecified nonorganic psychosis, total pasien baru berjumlah 33 orang,
dengan laki- laki berjumlah 21 orang, perempuan 12 orang. Sedangkan total
pasien lama berjumlah 2 orang dengan laki-laki 1 orang, perempuan 1 orang.
Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 35 orang.
d. Deppresive episode unspecified, total pasien baru berjumlah
27 orang,
dengan laki- laki berjumlah 15 orang, perempuan 12 orang. Sedangkan total
pasien lama berjumlah 6 orang dengan laki-laki 2 orang, perempuan 4 orang.
Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 33 orang.
e. HIV desease resulting in unspecified infectious or parasitic, total pasien baru
berjumlah 1 orang, dengan laki- laki berjumlah 1 orang, perempuan tidak
ada. Sedangkan total pasien lama berjumlah 20 orang dengan laki-laki 15
orang, perempuan 5 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini
mencapai 21 orang.
f. Imbalance of constituents of food intake, total pasien baru berjumlah 17
orang, dengan laki- laki berjumlah 11 orang, perempuan 6 orang. Sedangkan
71
total pasien lama berjumlah 3 orang dengan laki-laki 2 orang, perempuan 1
orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 20 orang.
g. Epilepsy unspecified, total pasien baru berjumlah 4 orang, dengan laki- laki
berjumlah 4 orang, perempuan tidak ada. Sedangkan total pasien lama
berjumlah 11 orang dengan laki-laki 7 orang, perempuan 4 orang. Sehingga
total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 15 orang.
h. unspecified organic or symtomatic mental disorder, total pasien baru
berjumlah 10 orang, dengan laki- laki berjumlah 10 orang, perempuan tidak
ada. Sedangkan total pasien lama berjumlah 3 orang dengan laki-laki 2
orang, perempuan 1 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini
mencapai 13 orang.
i. Bipolar affective disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 9 orang,
dengan laki- laki berjumlah 7 orang, perempuan 2 orang. Sedangkan total
pasien lama berjumlah 4 orang dengan laki-laki 1 orang, perempuan 3 orang.
Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 13 orang.
j. Schizopernia unspecified, total pasien baru berjumlah 9 orang, dengan lakilaki berjumlah 6 orang, perempuan 3 orang. Sedangkan total pasien lama
berjumlah 2 orang dengan laki-laki 2 orang, perempuan tidak ada. Sehingga
total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 11 orang.
Dari tabel dan penjabaran diatas penulis dapat mengambil beberapa
kesimpulan. Kesimpulan pertama, jika kita membandingkan antara total jumlah
pasien rawat darurat psikiatri dengan kasus baru berjumlah 874 sedangkan total
pada kasus lama total berjumlah 1078. Dari total jumlah tersebut dapat
72
disimpulkan bahwa pasien yang kerapkali mengunjungi ruang gawat darurat
psikiatri merupakan pasien lama yang belum sembuh sepenuhnya sehingga ia
harus datang kembali ke ruangan tersebut untuk berobat. Kesimpulan kedua,
jika dibandingkan antara total pasien psikiatri laki-laki yang berjumlah 1296
dan total pasien psikiatri perempuan hanya berjumlah 657. Dari total tersebut
dapat dilihat bahwa ternyata pasien yang selama ini mendatangi ruang gawat
darurat tersebut dominan kaum laki-laki. Kesimpulan ketiga, jika dilihat dari
total pasien di setiap diagnosa penyakit kejiwaan diatas paling banyak pada
kasus skizofrenia paranoid karena total jumlah pasiennya hingga mencapai
1642 sedangkan total pasien di kasus lain jauh dibawah itu, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa masyarakat lebih rentan terkena gangguan skizofrenia
paranoid.
2. 10 Besar Diagnosa Rawat Jalan Kasus Psikiatri Tahun 2014
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Diagnosa
Paranoid Schizofrenia
Acute and transient psychotic disorder
unspecified
Deppresive episode unspecified
Anxiety disorder unspecified
Bipolar affective disorder unspecified
Schizoaffective disorder unspecified
Unspecified nonorganic psychosis
Severa depressive episode with
psychotic symptoms
Conduct disorder unspecified
Schizopernia unspecified
Jumlah
Kasus Baru
L
P
Total
990 621 1611
185
144
110
64
46
60
145
144
123
89
42
54
330
288
233
153
88
114
34
49
23
10
35
63
1691 1340
83
33
98
3031
Kasus Lama
L
P
Total
11932 6048 17980
270
113
187
127
97
58
190
218
172
158
92
38
460
331
359
285
189
96
53
67
120
86
51
137
21
25
46
12944 7059 20003
Total
19591
790
619
592
438
277
210
203
170
144
23034
73
Tabel 3.3 10 diagnosa rawat jalan kasus psikiatri tahun 201430
Terdapat 10 jenis diagnosa gangguan jiwa di ruang rawat jalan kasus
psikiatri ini untuk periode 2013-2014, yaitu:Paranoid schizopernia, Acute and
transient psychotic disorder unspecified, Deppresive episode unspecified,
Anxiety
disorder
unspecified,
Bipolar
affective
disorder
unspecified,
Schizoaffective disorder unspecified, Unspecified nonorganic psychosis, Severa
depressive episode with psychotic symptoms, Conduct disorder unspecified,
Unspecified dementia, adapun rinciannya sebagai berikut:
a. Paranoid schizopernia, total pasien baru berjumlah 1611 orang, dengan lakilaki berjumlah 990 orang, perempuan 621 orang. Sedangkan total pasien
lama berjumlah 17980 orang dengan laki-laki 11932 orang, perempuan 6048
orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 19591 orang.
b. Acute and transient psychotic disorder unspecified, total pasien baru
berjumlah 330 orang, dengan laki- laki berjumlah 185 orang, perempuan 145
orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 460 orang dengan laki-laki
270 orang, perempuan 190 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis
ini mencapai 790 orang.
c. Deppresive episode unspecified, total pasien baru berjumlah 288 orang,
dengan laki- laki berjumlah 144 orang, perempuan 144 orang. Sedangkan
total pasien lama berjumlah 331 orang dengan laki-laki 113 orang,
perempuan 218 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini
mencapai 619 orang.
30
Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
74
d. Anxiety disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 233 orang, dengan
laki- laki berjumlah 110 orang, perempuan 123 orang. Sedangkan total
pasien lama berjumlah 359 orang dengan laki-laki 187 orang, perempuan
172 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 592
orang.
e. Bipolar affective disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 153
orang, dengan laki- laki berjumlah 64 orang, perempuan 89 orang.
Sedangkan total pasien lama berjumlah 285 orang dengan laki-laki 127
orang, perempuan 158 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini
mencapai 438 orang.
f. Schizoaffective disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 88 orang,
dengan laki- laki berjumlah 46 orang, perempuan 42 orang. Sedangkan total
pasien lama berjumlah 189 orang dengan laki-laki 97 orang, perempuan 92
orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 277 orang.
g. Unspecified nonorganic psychosis, total pasien baru berjumlah 114 orang,
dengan laki- laki berjumlah 60 orang, perempuan 54 orang. Sedangkan total
pasien lama berjumlah 96 orang dengan laki-laki 58 orang, perempuan 38
orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 210 orang.
h. Severa depressive episode with psychotic symptoms, total pasien baru
berjumlah 83 orang, dengan laki- laki berjumlah 34 orang, perempuan 49
orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 120 orang dengan laki-laki 53
orang, perempuan 67 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini
mencapai 203 orang.
75
i. Conduct disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 33 orang, dengan
laki- laki berjumlah 23 orang, perempuan 10 orang. Sedangkan total pasien
lama berjumlah 137 orang dengan laki-laki 86 orang, perempuan 51 orang.
Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 170 orang.
j. Unspecified dementia, total pasien baru berjumlah 98 orang, dengan lakilaki berjumlah 35 orang, perempuan 63 orang. Sedangkan total pasien lama
berjumlah 46 orang dengan laki-laki 21 orang, perempuan 25 orang.
Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 144 orang.
Dari penjabaran diatas penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan.
Kesimpulan pertama, bahwa total pasien pada rawat jalan kasus psikiatri untuk
kasus baru berjumlah 3031, sedangkan kasus lama mencapai angka 20.003, hal
ini membuktikan bahwa pasien yang telah dirawat dirumah sakit jiwa
sebelumnya tidak sepenuhnya sembuh sehingga ia kembali terdaftar menjadi
pasien gangguan jiwa. Kesimpulan kedua, total pasien perempuan baik kasus
baru maupun lama berjumlah 8399 pasien, sedangkan untuk total pasien lakilaki mencapai angka 14.635 pasien. Dari total hitungan tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa kasus psikiatri ini lebih banyak dialami oleh kaum laki-laki.
Kesimpulan ketiga, dari penjabaran diatas jika kita bandingkan total jumlah
pasien dari setiap diagnosa kasus psikiatri untuk rawat jalan yang ada maka
dapat disimpulkan bahwa jenis gangguan kejiwaan yang kerapkali melanda
masyarakat Indonesia di tahun 2014 ialah gangguan paranoid schicoprenia.
76
3. 10 Besar Diagnosa Rawat Inap Kasus Psikiatri Tahun 2013-
2014
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Diagnosa
Paranoid Schizofrenia
Acute and transient psychotic disorder
unspecified
Unspecified nonorganic psychosis
Deppresive episode unspecified
HIV desease resulting in unspecified
infectious or parasitic
Imbalance of constituents of food intake
Epilepsy, unspecified
unspecified organic or symtomatic mental
disorder
Bipolar affective disorder unspecified
Schizopernia unspecified
Jumlah
Kasus Baru
L
P Total
245 98
343
Kasus Lama
L
P
Total
513 233 746
262
76
49
88
71
28
350
147
77
52
15
4
5
42
5
57
57
9
407
204
86
21
29
35
34
25
20
55
54
55
13
5
5
18
4
2
31
9
7
86
63
62
26
18
20
781
12
29
24
429
38
47
44
1,21
12
0
0
619
11
2
2
324
23
2
2
943
61
49
46
2,153
Tabel 3.4 10 besar diagnosa rawat inap kasus psikiatri tahun 2013-201431
Terdapat 10 jenis diagnosa gangguan jiwa di ruang rawat inap kasus
psikiatri ini untuk periode 2013-2014, seperti paranoid schizoprenia, acute and
transient psychotic disorder unspecified, unspecified nonorganic psychosis,
deppresive episode unspecified, HIV desease resulting in unspecified infectious
or parasitic, Imbalance of constituents of food intake, Epilepsy unspecified,
unspecified organic or symtomatic mental disorder, Bipolar affective disorder
unspecified, Schizopernia unspecified, adapun rinciannya sebagai berikut:
a.
Paranoid Schizofrenia, total pasien baru berjumlah 343 orang, dengan lakilaki berjumlah 245 orang, perempuan 98 orang. Sedangkan total pasien
31
Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Total
1,089
77
lama berjumlah 746 orang dengan laki-laki 513 orang, perempuan 98
orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 1089 orang.
b.
Acute and transient psychotic disorder unspecified, total pasien baru
berjumlah 350 orang, dengan laki- laki berjumlah 262 orang, perempuan 88
orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 57 orang dengan laki-laki 52
orang, perempuan 5 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini
mencapai 407 orang.
c.
Unspecified nonorganic psychosis, total pasien baru berjumlah 147 orang,
dengan laki- laki berjumlah 76 orang, perempuan 71 orang. Sedangkan
total pasien lama berjumlah 57 orang dengan laki-laki 15 orang, perempuan
41 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 204
orang.
d.
Deppresive episode unspecified, total pasien baru berjumlah 77 orang,
dengan laki- laki berjumlah 49 orang, perempuan 28 orang. Sedangkan
total pasien lama berjumlah 9 orang dengan laki-laki 4 orang, perempuan 5
orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 86 orang.
e.
HIV desease resulting in unspecified infectious or parasitic, total pasien
baru berjumlah 55 orang, dengan laki- laki berjumlah 21 orang, perempuan
34 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 31 orang dengan laki-laki
13 orang, perempuan 18 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis
ini mencapai 86 orang.
f.
Imbalance of constituents of food intake, total pasien baru berjumlah 54
orang, dengan laki- laki berjumlah 29 orang, perempuan 25 orang.
78
Sedangkan total pasien lama berjumlah 9 orang dengan laki-laki 5 orang,
perempuan 4 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini
mencapai 63 orang.
g.
Epilepsy unspecified, total pasien baru berjumlah 55 orang, dengan lakilaki berjumlah 35 orang, perempuan 20 orang. Sedangkan total pasien lama
berjumlah 7 orang dengan laki-laki 5 orang, perempuan 2 orang. Sehingga
total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 62 orang.
h.
unspecified organic or symtomatic mental disorder, total pasien baru
berjumlah 38 orang, dengan laki- laki berjumlah 26 orang, perempuan 12
orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 23 orang dengan laki-laki 12
orang, perempuan 11 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini
mencapai 61 orang.
i.
Bipolar affective disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 47
orang, dengan laki- laki berjumlah 18 orang, perempuan 29 orang.
Sedangkan total pasien lama berjumlah 2 orang dengan laki-laki tidak ada,
perempuan 2 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini
mencapai 49 orang.
j.
Schizopernia unspecified, total pasien baru berjumlah 44 orang, dengan
laki- laki berjumlah 20 orang, perempuan 24 orang. Sedangkan total pasien
lama berjumlah 2 orang dengan laki-laki tidak ada, perempuan 2 orang.
Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 46 orang.
Dari beberapa penjabaran maka dapat diambil beberapa kesimpulan,
yaitu: kesimpulan pertama, total jumlah pasien baru yang jumlahnya mencapai
79
1210, sedangkan pasien lama mencapai 943. Dari total jumlah tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa penghuni rawat inap kasus psikiatri lebih banyak
pasien baru. Kesimpulan kedua, jika kita bandingkan total pasien perempuan
yang mencapai 753, sedangkan laki-laki mencapai 1400. Dari total perolehan
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasien yang menghuni ruangan di
rumah sakit jiwa ini lebih banyak laki-laki dibanding perempuan. Kesimpulan
ketiga, jika kita melihat pada total jumlah pasien di setiap jenis penyakit
gangguan kejiwaannya, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit gangguan
skizofrenia paranoid lebih rentan menjangkit masyarakat dibanding jenis
gangguan kejiwaan lainnya pendapat ini dilandasi oleh data pasien yang
mencapai 1.089 pasien.
Dari kesimpulan tiga tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada
tahun 2014 ini pasien yang seringkali mengunjungi ruang gawat darurat, ruang
rawat jalan maupun ruang rawat inap pikiatri dominan pasien lama, dan
berjenis kelamin laki-laki, adapun jenis kasus psikiatri yang melanda ialah jenis
kasus skizofrenia paranoid.
BAB IV
ANALISIS POLA KOMUNIKASI ANTARA PERAWAT TERHADAP
PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI
BOGOR
A. Identifikasi Informan
1. Identifikasi Perawat Kejiwaan Di Rumah Sakit Jiwa Marzuki Mahdi
Bogor
Agar hasil penelitian dapat mendapatkan hasil yang optimal, maka
peneliti melibatkan 6 perawat dalam proses penelitian ini yaitu pak
Ahmad Riva’I, pak Mamat Sutedi, ibu ernawati, ibu Nurmilah, ibu Siti
Rohmah, dan ibu Fujiati.
a. Ahmad Rivai, Amd Kep. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Pak
Riva’I dan merupakan kepala ruangan di bangsal Yudistira. Ia telah
menjadi perawat di rumah sakit ini sejak tahun 1990 hingga sekarang.
Menurutnya hambatan/kesulitan yang kerapkali ditemukan saat
berinteraksi dengan pasien ialah saat menghadapi pasien yang tidak
kooperatif untuk berkomunikasi/beriteraksi, saat pasien masih
dominan dikuasai oleh halusinasi visual maupun auditori dan ketika
pasien yang seringkali menunjukan perilaku kekerasan. Sedangkan
pengalamannya ialah disaat pasien menunjukkan perkembangan
positif yang signifikan, halusinasinya hilang atau berkurang,
emosinya stabil, perilakunya baik, aktifitasnya terarah, dan cara
pasien berkomunikasi dengan sesama terarah/koheren. Adapun
pendekatan yang dilakukan oleh pak Riva’I saat berinteraksi dengan
80
81
pasien ialah dengan membina hubungan saling percaya terlebih
dahulu sebelum menjalin hubungan komunikasi yang lebih jauh,
menyapa pasien dengan ramah, memperkenalkan diri dengan sopan,
menanyakan nama lengkap pasien dan nama panggilan, memperjelas
tujuan, jujur dan menepati janji terhadap pasien, menunjukkan sikap
empati, memberikan perhatian yang penuh, memberikan intonasi yang
sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien serta mengajarkannya
bagaimana cara untuk mengatasi halusinasi dan rasa marah.1
b. Mamat Sutedi, Amd kep. Biasa dipanggil dengan sebutan Pak Mamat,
beliau telah bekerja disini sejak tahun 1991. Menurutnya yang
menjadi hambatan/kesulitan saat berinteraksi dengan pasien ialah saat
pasien berbicara menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh
perawat, saat pasien tidak mau berkomunikasi dengannya. Dan halhal yang menurutnya menarik ialah saat pasien mudah untuk diajak
berkomunikasi (kooperatif). Saat menghadapi pasien ia menggunakan
teknik komunikasi yang asertif dan setiap memulai interaksi ia
menerapkan prinsip BHSP (bina hubungan saling percaya) barulah
setelah kepercayaan tersebut terbangun ia menggunakan teknik TAK
atau terapi aktifitas kelompok.2
c. Ernawati, Amd Kep. Ia telah mengabdi selama 11 tahun sejak tahun
2004 lalu. Menurutnya yang menjadi kesulitan saat bertugas ialah saat
pasien hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa daerahnya, sehingga
1
Wawancara pribadi dengan bapak Ahmad Riva’I , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor, Bogor 18 Mei 2015
2
Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor, Bogor 18 Mei 2015
82
ia sulit untuk memahami maksud dari pasien dan begitupun
sebaliknya. Sedangkan hal yang menurutnya menarik saat bertugas
ialah saat ia dapat mengetahui berbagai macam penyebab masalah
yang dihadapi oleh pasien sehingga dari masalah tersebut bu Erna
dapat mengambil pelajaran hidup.3
d. Nurmilah, Amd Kep. Biasa dipanggil Ibu Milah, ia telah mengabdi di
rumah sakit ini sejak 11 tahun yang lalu atau sejak tahun 2004.
Menurtnya hal yang menjadi hambatan ataupun kesulitan saat ia
bertugas ialah saat pasien berbicara tidak nyambung/inkoheren
dengan apa yang sedang dibicarakan, menunjukan ekspresi tegang
karena marah, masih sangat gelisah sehingga tiba-tiba memukul
perawat. sedangkan hal yang menurutnya menarik saat pasien
menunjukan kondisi yang tenang sehingga dapat dengan mudah
bekerjasama dengan perawat, pasien mau mengikuti kegiatan
penyembuhan dengan baik dan antusias. Selama ini ia menggunakan
teknik komunikasi yang mengedepankan kontrak terlebih dahulu saat
hendak berkomunikasi sehingga di proses selanjutnya pasien dapat
lebih terbuka terhadap perawat.4
e. Siti Rohmah, Amd Kep. Biasa dipanggil dengan nama ibu Siti. Ia
telah mengabdi di rumah sakit ini sejak tahun 2003 yang lalu.
Kesulitan yang seringkali ia temukan saat menghadapi pasien ialah
3
Wawancara pribadi dengan Ibu Ernawati , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor, Bogor 18 Mei 2015
4
Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor, Bogor 18 Mei 2015
83
saat pasien hanya bisa berbicara dan mengerti bahasa daerahnya saja.
Yang berdampak sulitnya berkomunikasi karena kedua belah pihak
sama-sama tidak mengerti bahasa yang dimaksud, saat pasien
menunjukan perilaku yang tidak kooperatif sehingga seringkali
perawat hilang kesabaran dengan membentak pasien, dan saat kondisi
pasien yang masih gelisah dan menutup diri sehingga perawat sulit
untuk menjalin hubungan dengan pasien. Menurutnya hal menarik
saat ia bertugas ialah saat pengobatan pasien berhasil ditandai dengan
pasien dapat kembali melakukan kegiatan/aktifitas di rumah dengan
mandiri. Teknik komunikasi andalan yang ia lakukan saat
menghadapi pasien ini ialah dengan cara pendekatan langsung secara
terapeutik
dan
melaksanakan
proses
TAK
(terapi
aktifitas
kelompok).5
f. Fujiati, Amd Kep. Biasa dipanggil dengan ibu Fuji dan telah bekerja
di rumah sakit ini sejak tahun 1985. Yang menurutnya menjadi
hambatan saat bertugas saat terapi yang diberikan oleh pihak rumah
sakit belum sesuai dengan keluhan pasien sehingga kesembuhan tidak
optimal, dan saat dimana pasien suka keluyuran sendiri. Adapun hal
menurutnya menarik ialah saat terapi yang diberikan sesuai dengan
kondisi pasien sehingga pasien cepat menjadi tenang dan sembuh.
Pendekatan komunikasi yang ia lakukan ialah dengan teknik
komunikasi yang tegas, asertif, membimbing dan komunikatif.6
5
Wawancara pribadi dengan Ibu Siti Rohmah , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H. Marzoeki
Mahdi Bogor, Bogor 18 Mei 2015
6
Wawancara pribadi dengan Ibu Fujiati , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor, Bogor 18 Mei 2015
84
2. Identifikasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Marzuki Mahdi Bogor
Terdapat dua pasien yang terlibat dalam proses penelitian ini yang
pertama namanya berinisial K dengan gangguan skizofrenia hebefrenik
dan yang kedua namanya berinisial S dengan gangguan skizofrenia tipe
paranoid ISOS (isolasi sosial)
a.
Pasien yang berinisial K (nama disamarkan karena berkaitan dengan
dokumen rahasia rumah sakit), ia merupakan seorang laki-laki dan
telah didiagnosis skizofrenia tipe hebefrenik sejak ia duduk di kelas II
SMA. Umur 51 tahun, status belum menikah, ia berasal dari
Jakarta.telah di rawat di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
sejak tahun 2012 yang sebelumnya hanya dirawat di sebuah yayasan
kejiwaan. Sikap sangat introvertlah yang menjadi penyebab utama
penyakitnya. Awal mulanya sejak SMA ia menyukai seorang
perempuan yang berinisial A namun akibat rasa kurang percaya diri ia
tidak dapat mengungkapkan perasaan yang ia punya, akibatnya ia
hanya memendam perasaannya sendiri selama bertahun-tahun, suatu
hari perempuan yang dimaksud mengetahui perasaan pasien, namun
respon yang diberikan A kepada K cenderung antipati. Sehingga
akhirnya ia frustasi. Hal ini berdampak buruk bagi dirinya karena
setelah kejadian tersebut ia menjadi malas dan tidak mau sekolah.
Penyebab kedua ialah minimnya kemampuan mencerna pelajaran,
sehingga ia merasa tidak percaya diri dan karena sifatnya yang
cenderung sangat tertutup ia tidak bisa berbagi apa yang ia rasakan
85
terhadap orang lain. Rasa marah, rasa kesal, rasa tidak percaya diri ia
pendam sendiri.7 Gejala awal yang ia tunjukan ialah tingkah laku
yang uring-uringan namun beberapa tahun kemudian tingkahnya
semakin aneh, Dan pada tahun 2014 tanggal 20 desember keluhan
utama saat di RSJ ialah sering berbicara inkoheren dan pikirannya
dipenuhi dengan halusinasi auditori. Pada tahun 2015 bulan februari
keluhan utamanya yaitu ia sering berbicara dan tertawa sendiri kedua
hal ini dipicu oleh halusinasi auditori dan visualnya yang kuat.
Keluhan terakhir di tahun yang sama yaitu 2015 bulan mei ia
memiliki keluhan sering marah-marah, dengan menggedor-gedor
pintu.8
b.
Pasien kedua yang menjadi informan peneliti berinisial S (nama
disamarkan karena berkaitan dengan dokumen rahasia rumah sakit), ia
merupakan pasien yang didiagnosis mengidap gangguan skizofrenia
tipe paranoid ISOS (isolasi sosial) sejak awal bulan januari 2015, ia
adalah seorang lelaki yang berasal dari daerah Bogor dan dirawat
dirumah sakit jiwa Dr. H. Marzuki Mahdi Bogor sejak tanggal 30
Januari 2015 dan dijadwalkan keluar tanggal 08 maret 2015. Ia
berumur 35 tahun dengan status belum menikah. Ia merupakan pasien
yang memiliki keluhan utama selalu diam dan sangat amat sulit untuk
berkomunikasi dengan orang lain dan hal ini dipicu oleh sifat
pendiamnya, adapun penyebab yang melatarbelakangi gangguannya
7
Hasil wawancara pribadi dengan salah satu keluarga pasien yaitu bapak Suhendra, Bogor
18 Mei 2015
8
Data dari rekam medis pasien kejiwaan RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor pada tanggal
18 Mei 2015
86
ialah rasa kurang percaya akan dirinya sendiri karena ia memiliki
bentuk tubuh yang besar dan terdapat banyak bercak putih di wajah
dan tubuhnya sehingga ia akhirnya frustasi dan memilih untuk selalu
berdiam diri. Menurut perawat diamnya dipicu oleh halusinasi yang ia
lihat dan ia dengar yang selalu membisiki pikirannya untuk selalu
diam tidak bicara. Meski pada masa penyembuhannya ia telah di
terapi ECT yaitu nama terapi agar memori dalam pikirannya terbuka
dan akhirnya ia mau berbicara dengan orang lain, namun karena
memang pada dasarnya ia pendiam dan memiliki keluhan harga diri
rendah terapi tersebut tidak efektif dengan bukti setelah terapi
dilaksanakan respon yang ia berikan tetap saja diam. Dan faktor diam
inilah yang melatarbelakangi pihak keluarga membawanya ke rumah
sakit ini.9
Jika ditarik benang merah dari kedua kasus tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa hal yang paling menjadi pondasi masalah keduanya
ialah rasa rendah diri dan sifat introvertnya yang berlebihan yang
karenanya ia selalu memendam rasanya sendiri selama kurun waktu yang
cukup lama dan akibat konsep dirinya yang kurang baik mereka larut oleh
perasaannya sendiri dan hal ini menyebabkan mereka frustasi hingga
akhirnya jiwanya tergoncang.
B. Komunikasi antarpribadi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dalam Proses Meningkatkan
Kesadaran
9
Hasil wawancara dengan Perawat ruangan Yudistira Ibu Nurmilah pada tanggal 18 mei
2015
87
1. Analisis Pengembangan Hubungan antara Perawat terhadap Pasien
Skizofrenia
a. Komponen-Komponen Pengembangan Hubungan antara Perawat
terhadap Pasien Skizofrenia
Berdasarkan hasil observasi lapangan, peneliti menemukan bahwa
pola komunikasi yang terjalin antara perawat terhadap pasien skizofrenia
di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor ialah pola komunikasi antarpribadi.
Komponen dalam proses komunikasi yang memiliki keterikatan
antara satu sama lain, yaitu: sumber/komunikator, proses encoding,
pesan/informasi, media, komunikan, proses decoding, umpan balik/feed
back, dampak, dan gangguan (noise). Begitupun dalam proses
pengembangan hubungan yang terjalin antara perawat dan pasien ini,
dimana perawat berperan sebagai komunikator, pasien penderita
skizofrenia berperan sebagai komunikan, terdapat proses encoding yang
dilakukan dalam diri komunikator, pesan yang disampaikan oleh
komunikator kepada komunikan, adanya proses decoding sehingga
menghasilkan
umpan
balik/feed
back
dari
komunikan
kepada
komunikator, serta ada dampak yang dihasilkan, Meski tingkat kontribusi
dalam proses komunikasi ini lebih dominan terjadi di pihak komunikator
(perawat) dibanding komunikan (pasien) hal ini disinyalir oleh kondisi
mental pasien yang proses interaksinya akan lebih berjalan jika terdapat
stimulus yang signifikan.
Dalam proses komunikasi hal
komunikator,
yaitu.
Pertama,
yang harus dimiliki oleh
komunikator
diharapkan
memiliki
88
kredibilitas
yang
tinggi
bagi
komunikasinya.
Kedua,
memiliki
keterampilan berkomunikasi yang baik. Ketiga,mempunyai pengetahuan
yang luas. Keempat, memiliki sikap yang baik. Kelima, memiliki daya
tarik
atau
memiliki
kemampuan
untuk
melakukan
perubahan
sikap/menambah pengetahuan pada diri sendiri. Teori tersebutpun
terbukti ketika memang perawat memang memiliki kredibilitas dan skill
komunikasi yang baik karena terlihat dari background komunikator yang
telah berprofesi sebagai perawat sejak lama dan telah menyelesaikan
program pendidikan keperawatan selama kurang lebih 4 tahun bagi
jenjang S1 keperawatan dan 3 tahun untuk jenjang D3 keperawatan.
Komunikator inipun memiliki pengetahuan yang mapan tentang pasien
yang diasuhnya karena setiap awal masa perawatan, pasien akan didata
dan dianalisis berdasarkan informasi yang didapat dari keluarga maupun
dari pasien itu sendiri.
“Latar belakang penyakit pasien misalnya kenapa pasien akhirnya
dibawa kemari, riwayat hal yang telah ia lakukan, misalnya
memukul ibu atau bapaknya, misalnya keluarga tidak sanggup
menghadapi pasien, lalu dimasukan ke IGD dan kita berkolaborsi
dengan dokter.”10
Dampak dari proses komunikasi dapat diklasifikasikan menurut
kadarnya yaitu dampak kognitif, yaitu berkat komunikasi seseorang
menjadi tahu tentang sesuatu, afektif dan psikomotorik yang merupakan
dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk tindakan atau
perilaku. Begitupun dampak yang dihasilkan dari proses interaksi
10
Wawancara pribadi dengan bapak Riva’i, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi
Bogor, ruang yudistira, Bogor 18 Februari 2015
89
terhadap
diri
pasien
psikomotorik/behavioral.
ialah
Dampak
dampak
kognitif
kognitif
misalnya
dan
kini
dampak
pasien
mengetahui tentang cara menghardik halusinasi dengan cara meyakinkan
diri sendiri bahwa bisikan halusinasi tersebut tidaklah nyata. Sedangkan
dampak psikomotorik/behavioral, ketika pasien sudah benar-benar
mampu mempraktikan pengetahuan kognitifnya dalam kehidupan sehariharinya, misalnya pasien kini sadar akan menjaga kebersihan dirinya
sendiri dengan mandi sendiri, mengangganti baju dan melakukan
tindakan menjaga kebersihan lainnya secara mandiri.
b. Ciri-ciri Pengembangan Komunikasi yang Terjalin antara Perawat
terhadap Pasien Skizofrenia
Ciri-ciri dalam komunikasi antarpribadi ialah harus pesan dua arah,
suasana nonformal, umpan balik segera, peserta komunikasi memiliki
jarak yang dekat, dan proses komunikasi dilakukan secara simultan.
Begitupun ciri yang terdapat dalam onjek penelitian ini, yaitu: prosesnya
terjalin secara dua arah, suasana nonformal, umpan balik segera, peserta
komunikasi berada dalam jarak yang dekat.
1) Suasana nonformal
Ciri-ciri dalam komunikasi antarpribadi yang telah dibahas pada
bab sebelumnya bahwa proses komunikasi ini dilaksanakan secara
egaliter ataupun sejajar maka proses komunikasi bersifat santai, tidak
kaku dan tidak terpaku dengan jabatan lawan bicara karena dalam
komunikasi ini pendekatan secara personal lebih ditingkatkan.
Begitupun yang terjadi dalam proses komunikasi ini dimana meski
90
komunikan mengalami masalah dalam dirinya, namun tetap saja ia
berhak diperlakukan layaknya manusia secara umum. Terlebih jika
proses interaksi yang terjalin adalah komunikasi yang sifatnya
personal.
”saat berkomunikasi meski ada teori tapi kita tidak terlalu
berpacu pada teori tersebut, artinya proses komunikasi bersifat
natural saja dan sangat disesuaikan dengan keadaan pasien, agar
pasien nyaman.”11
Penulis
dapat
memahami
bahwa
meski
dalam
dunia
keperawatan telah ada ilmu ataupun acuan yang digunakan saat
berinteraksi dengan pasien seperti komunikasi terapeutik, namun pada
prakteknya komunikasi dilaksanakan sesantai mungkin agar iklim
komunikasi nonformal dapat terjalin sehingga pasien tidak merasa di
justifikasi oleh perawat dan berkat hal tersebut proses komunikasipun
dapat terjalin secara dua arah.
2)
Peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat
Dalam komunikasi antarpribadi secara fisik akan berdekatan
satu sama lain sehingga memungkinkan pembicaraan yang bersifat
pribadi dan rahasia. Kedekatan ini sekaligus menunjukkan derajat
hubungan antara dua belah pihak.
Berdasarkan hasil observasi, terdapat sinkronisasi antara teori
tersebut dengan hasil lapangan karena proses interaksi perawat dan
pasien selalu dilaksanakan secara tatap muka sehingga baik pesan
verbal maupun pesan nonverbal dapat diketahui secara spontan dan
hubungan yang terjalin terkesan lebih personal dan rahasia. Dan
11
Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati , Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor,
ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
91
komunikasi/interaksi antara perawat terhadap pasien merupakan salah
satu metode penyembuhan yang diberikan rumah sakit kepada pasien.
Oleh sebab itu, prosesnya selalu dilaksanakan secara berdekatan. dan
lazimnya dilaksanakan di sekitar ruang asuh pasien. Hanya saja pada
poin ini kerahasiaan tidak diutamakan karena meski komunikasi
dilaksanakan secara berdekatan namun bukan berarti proses ini
dilaksanakan
benar-benar
diruang
tertutup
karena
disekitar
komunikator dan komunikan terdapat pasien dan perawat-perawat
lain.
3) Umpan balik segera
Umpan Balik (feed back) merupakan tanggapan, jawaban atau
respon komunikan kepada komunikator, bahwa komunikasinya dapat
diterima dan berjalan. Dalam proses komunikasi antara perawat dan
pasien umpan balik merupakan indikator apakah jalinan komunikasi
terjalin efektif atau tidak. Umpan balik pasien disesuaikan dengan
kemampuan sosialisasi mereka, seperti pasien yang memiliki riwayat
ISOS (isolasi sosial), feedback atau umpan balik yang diberikan
cenderung negatif karena ia lebih suka berdiam diri dan sukar untuk
berbicara banyak.
“Jika perawat banyak bertanya atau banyak mengajaknya
berinteraksi ia akan lebih banyak diam.”12
“Respon mah ada aja, walaupun jawabnya singkat-singkat
aja.”13
12
Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor,
ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
13
Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi
Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
92
“Yang ngasih respon sih ada beberapa, Cuma kalo pasiennya
ISOS ia akan jawabnya ia tidak, ia tidak aja, tapi kalo memang
pasiennya yang kooperatif baru ia akan tanya balik.”14
Sedangkan pasien hebefrenik, feed back yang diberikannya akan
selalu sama seperti dengan proses komunikasi sebelumnya karena apa
yang ingin ia dengar dan apa yang ingin ia bicarakan hanyalah seputar
keinginannya saja.
“Respon ada, cuman hampir rata-rata yang dia omongin hampir
sama, kalo hari ini yang obrolin itu yah besok juga yang
diobrolin akan sama juga. Kenapa sama, karena yang ingin ia
dengar, yang ingin ia bicarakan seputar itu-itu saja.”15
Berdasarkan hasil observasi pasien yang memiliki masalah
komunikasi cenderung pada pasien ISOS dan Hebefrenik saja karena
pasien-pasien lain, seperti pasien riwayat RPK (riwayat perilaku
kekerasan), Waham, RBD (riwayat bunuh diri) menunjukan geliat
komunikasi yang baik. Berikut percakapan yang dilakukan antara
perawat dengan pasien skizofrenia tipe paranoid waham.
“Perawat: iwan kenapa iwan dibawa kesini iwan?
Pasien: dibawa kesini, karena pingin motor,
Perawat: wah pingin motor, suster pingin pesawat.
Perawat: emang udah kerja?
Pasien: udah
Perawat: kerja apa iwan?
14
Wawancara pribadi dengan ibu Ernawati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi
Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
15
Wawancara pribadi dengan ibu Ernawati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi
Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
93
Pasien: kerja biasa, cangkul.”16
Berdasarkan penyelidikan, perbedaan kondisi umpan balik/feed
back antara pasien ISOS, Hebefrenik dengan pasien RPK, Waham,
HDR ini dilatar belakangi oleh penyebab penyakitnya dan juga
karakter asli pasien karena jika memang pasien memiliki karakter
yang pendiam maka saat gangguan jiwanya terganggupun ia akan
tetap saja menjadi pribadi yang diam.
c. Bentuk Pesan yang Digunakan Perawat Saat Berkomunikasi Dengan
Pasien
Pesan yang digunakan dalam komunikasi antarpribadi yaitu pesan
bersifat umum, jelas dan gamblang, bahasa yang jelas, positif, seimbang,
dan penyesuaian dengan keinginan komunikator. Begitupun dalam proses
ini pesan/bahasa yang digunakan bersifat jelas dan umum. Hal ini
bertujuan agar pasien dapat dengan mudah memahami maksud dari
perawat sehingga pasien dapat responsif mengimplementasikan apa yang
dibicarakan oleh perawat.
“Kalo kata-katanya, kita cari kata-kata yang mudah yah, kata-kata
yang mudah difahami mereka, bahasa yang sehari yang engga sulit
mereka fahami, bahasan yang dasar-dasar aja misalkan tadi udah
makan belum? Makannya pakai apa?, jangan ditanya yang anehaneh kan susah juga yah buat mereka tar jawabnya. Misalnya udah
nikah belum, gimana tadi tidurnya?.”17
Selain penggunaan bahasa yang jelas, mudah dan gamblang
perawat juga kadang menggunakan bahasa daerah, seperti bahasa sunda,
16
Percakapan antara perawat ruangan Yudistira dengan pasien skizofrenia tipe paranoid
wahambernama Iwan pada tanggal 20 Februari 2015
17
Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015
94
jawa dan bahasa daerah lainnya sesuai dengan latar belakang pasien. hal
ini bertujuan agar pasien merasa nyaman dan merasa akrab dengan
perawat sehingga hubungan emosional dapat dengan mudah terjalin.
“Kalau dari segi bahasa paling pakai bahasa indonesia, kalo yang
dari sunda ya pake bahasa sunda.”18
Pasien hebefrenik adalah pasien yang hanya akan membicarakan
dan mendengarkan topik yang ia inginkan saja sehingga pesan yang
disampaikan perawatpun harus sesuai dengan keinginan tersebut.
“Perawat: kalo yang hebefrenik sih susah yah, kadang kalo kita
ngomong engga di denger, dia kan udah sibuk yah dengan
dunianya.
Peneliti: lalu, saat keadaan yang seperti itu, maka bagaimana cara
berkomunikasi dengan mereka agar mereka mau mendengarkan
perawat?
Perawat: yah, kita ngikutin mereka dulu”.19
Dari beberapa poin diatas dapat disimpulkan bahwa pesan yang
digunakan bersifat positif, disesuaikan dengan kondisi pasien, sehingga
apa yang disampaikan tidak ada yang menganggu ketenangan pasien,
karena secara kodrati manusia tak ingin mendengarkan dan melihat halhal yang tidak menyenangkan dari dirinya. Oleh karena itu, setiap pesan
agar diusahakan bermakna positif.
Bentuk pesan dapat bersifat informatif, persuasif dan koersif.
Begitupun dalam kasus ini bentuk pesan yang digunakan dalam proses
penetrasi ini lebih berbentuk persuasif atau ajakan. Karena bujukan
18
Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
19
Percakapan antara peneliti dengan perawat ibu Nurmilah di ruang Yudistira pada
tanggal 17 Februari 2015
95
ialah proses membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa
apa yang kita sampaikan akan memberikan rupa pendapat atau sikap
sehingga ada perubahan. Hal ini dapat diidentifikasi dari cara perawat
berkomunikasi dengan pasien dengan intonasi yang lembut, pelanpelan, dan ada upaya pembangkitan kemampuan kognitif karena apapun
yang disampaikan ialah demi merangsang kembali kesadaran pasien.
“Kita tanya baik-baik dan selidiki dengan bahasa yang baik, Berarti
kita bujuk/persuasi.”
d. Tujuan Proses Komunikasi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia
Komunikasi antarpribadi merupakan suatu action oriented atau
suatu
kegiatan
yang
dilakukan
untuk
tujuan
tertentu,
seperti
mengungkapkan perhatian kepada orang lain, mengenal diri sendiri dan
orang lain, menemukan dunia luar, menciptakan dan memelihara
hubungan menjadi bermakna, mempengaruhi sikap dan perilaku, bermain
dan mencari hiburan, menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi
dan memberikan bantuan atau konseling. Jika diselidiki, maka tujuan
pada praktek komunikasi ini lebih cenderung pada poin memberikan
bantuan dan konseling kepada pasien yang sedang mengalami gangguan
jiwa agar kembali sadar dan sembuh.
1) Membantu menghilangkan perilaku abnormal pasien
Pada intinya segala hal yang diberikan oleh pihak rumah sakit
kepada pasien dilakukan semata-mata untuk mengembalikan kesadaran
pasien agar pasien semakin sadar akan keberadaan dirinya dan
lingkungan sekitar sehingga kelak ia mampu kembali beraktifitas
seperti biasanya. Misalnya yang pada awalnya ia bekerja sebagai
96
petani maka setelah keluar rumah sakit perawat berharap agar pasien
kembali mampu melakukan kegiatannya secara normal, segala bentuk
tindak abnormal bisa hilang seutuhnya dan kondisi lingkungan kembali
kondusif saat ada pasien di lingkungan sekitar.
“Tujuannya yah, untuk kesembuhan dia, saat pulang nanti
seperti marah-marah, ngomong sendiri, g mau mandi, ngamukngamuk g jelas, nah, sepuluh item itu ya paling tidak beberapa
item itu hilang.”
2) Membantu menghilangkan halusinasi pasien
Tujuan
lainnya
ialah
membantu
pasien
dalam
menghilangkan/mengalihkan halusinasi ataupun delusi yang timbul
dalam pikiran pasien, karena jika ia tidak dibiasakan berinteraksi
dengan perawat ataupun sesama pasien dikhawatirkan akan semakin
merasa sendiri, dan berdampak memburuknya kondisi pasien.
“Bercakap-cakap dengan perawat atau pasien lainnya
merupakan suatu aktifitas yang penting untuk bisa mendistraksi
halusinasi pasien. Dan kegiatan-kegiatan lain seperti
mengarahkan minat/bakat pasien.”
3) Membantu membiasakan aktifitas pasien
Proses komunikasi yang terjalin antara perawat dan pasien
merupakan salah satu trick agar perawat dengan mudah mengarahkan
pasien menuju arah kesembuhan. Oleh karena itu, sesederhana apapun
bentuk komunikasi dan konten yang disampaikan tetap saja selalu ada
pesan penyembuhan disana. Oleh karena itu, proses ini bertujuan untuk
menstimulasi pasien agar selalu ingat akan kewajibannya sebagai
pasien, seperti menjalankan terapi yang telah disediakan oleh pihak
97
rehabilitasi, meminum obat secara teratur, dan tindakan-tindakan
penunjang kesembuhan lainnya.
“Berkomunikasi itu cara buat terus mengingatkan pasien, agar
pasien terbiasa.”20
4) Membantu membentuk kembali jati diri/semangat pasien
Hal terpenting dalam proses komunikasi yang terjalin antar
perawat dan pasien ialah demi terbentuknya kembali jati diri, mengisi
kekosongan jiwa, dan membangkitkan kembali semangat hidup
pasien. Sehingga sakit dalam jiwanya dapat disembuhkan.
“Kuncinya berkomunikasi karena yang sakitkan jiwanya yah jadi
yang harus dibangkitkan semangat kejiwaannya, spiritnya.”
e. Proses
Pengembangan
Hubungan
Perawat
terhadap
Pasien
Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Teori Altman dan Dalmas membuktikan bahwa hubunganhubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi intim.
Hubungan komunikasi antara orang dimulai pada tahapan suferfisial dan
bergerak pada sebuah kontinum menuju tahapan yang lebih intim.
Terdapat keterkaitan antara prinsip hubungan mengalami kemajuan
dari tidak intim menuju hubungan yang intim dengan praktek komunikasi
antarpribadi ini, terlebih bagi pasien kategori hebefrenik dan ISOS
(isolasi sosial), karena ia tidak akan mau berbicara dengan perawat jika
tidak ada proses pendekatan seperti saling keterbukaan sebelumnya,
indikasi keterbukaan ini dapat dilihat ketika pasien sudah terbuka akan
20
Wawancara pribadi dengan bapak Ahmad Riva’I, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
98
latar belakang penyebab gangguan dalam dirinya, Dan sudah bersedia
memberikan respon positif kepada komunikator (perawat). Agar
keterbukaan dapat terjalin maka harus ada rasa percaya pasien terhadap
perawat. Sisi kepercayaan ini sangat terlihat pada pasien ISOS karena ia
tidak akan memberikan respon apapun pada orang yang baru ia temui.
Contoh, pada saat itu peneliti mencoba langsung berkomunikasi
dengan pasien kategori ISOS tanpa melewati tahap pembangkitan
kepercayaan terlebih dahulu, dan hal ini menyebabkan pasien hanya diam
dan tidak memberikan respon apapun kepada komunikator. Kejadian ini
sangat kontras ketika yang berkomunikasi dengannya adalah perawat
yang memang telah lama menjalin interaksi sebelumnya, dan benar saja
respon yang diberikan bersifat positif karena pada saat itu pasien sudi
untuk memberikan respon kepada perawat.
Dari contoh diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa hal
terpenting yang harus dilalui untuk mengembangkan hubungan antara
perawat dan pasien ialah pengambilan kepercayaan (bina trust) pasien.
Karena jika kepercayaan tidak ada, pasien tidak akan terbuka kepada
perawat, dan begitupun sebaliknya. Perihal kepercayaan merupakan
pondasi utama dalam pengembangan hubungan perawat dan pasien, hal
ini dibuktikan oleh beberapa kutipan yang dilontarkan oleh beberapa
narasumber dari pihak rumah sakit, yaitu:
99
“Kalau awal iya pasti ada basa-basi dulu untuk bina trust, tapi
setelah bina trust terjalin maka kita langsung difokuskan tentang
apa yang akan kita ketahui tentang dia.”21
“Respon pastinya ada kalo emang udah ada rasa percaya.Yah
intinya gimana trustnya sih yah.”22
“Intinya adalah trust atau percaya karena ketika pasien sudah trust
maka ia akan mencari kita (perawat). Dan untuk membangun trust
itu maka perawat harus punya kesabaran yang tinggi karena bukan
hanya orang sakit saja kadang orang yang normal saja kalau
melakukan pendekatan kalau orang itu benci kadang kita enggan
untuk berkomunikasi jadi yang penting harus bersabar ekstra.”23
“Seiring dengan seringnya kita berinteraksi dengan pasien dan
tergantung dengan pandai tidaknya perawat berinteraksi dengan
pasien maka pasien akan sedikit-demi sedikit terbuka. Terlebih jika
sudah ada bina trust.”24
Proses pembentukan kepercayaan pasien tidak dapat ditentukan
berdasarkan waktu karena kadang prosesnya membutuhkan waktu
sampai sebulan atau bahkan lebih. Hal ini ditentukan oleh kecakapan
perawat melakukan persuasi terhadap pasien karena semakin sering
perawat mendekati pasien untuk berkomunikasi, maka semakin besar
kemungkinan kepercayaan terjalin hingga akhirnya keterbukaan antara
pasien terhadap perawat dapat terjadi.
“Kita tidak bisa pastikan waktu, kalo untuk bina trust pasienpasien, Mungkin bisa seminggu, mungkin bisa dua minggu,
tergantung pasiennya dan tergantung pendekatan si petugasnya.
Semakin sering berinteraksi maka pasiennya mungkin bisa,”25
21
Wawancara pribadi dengan ibu Ernawati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
22
Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
23
Wawancara pribadi dengan bapak Ahmad Riva’i, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015
24
Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
25
Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor,
ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
100
1) Proses Pengembangan Hubungan antara Perawat Terhadap
Pasien Skizofrenia Tipe Paranoid ISOS (Isolasi Sosial)
a) Keadaan Pasien ISOS Saat Berkomunikasi Dengan Perawat
Ciri khas dari penderita ini ialah murung, mudah tersinggung
dan selalu curiga. Sehingga ia berpotensi berperilaku agresif pada
dirinya
sendiri atau orang lain. Namun, berdasarkan hasil
observasi, respon yang diberikan tidaklah berperilaku agresif
namun cenderung sangat pasif karena ia hanya suka berdiam diri,
ekspresi wajah yang murung/tidak ceria, selalu menundukan
wajahnya, dan fokus pada apa yang ia lakukan, seperti melihat jarijarinya sehingga fokus terhadap perawat teralihkan.
Menurut Dokter Pras ada dua hal yang menyebabkan pasien
bertingkah laku seperti itu, diantaranya: karena halusinasi visual
dan halusinasi auditori yang kuat yang membisikinya agar ia terus
terdiam dan tidak berbicara apapun terhadap semua orang, dan
yang kedua ialah karena terdapat gangguan organik dalam
tubuhnya, seperti terdapat kerusakan pada pita suara sehingga ia
tidak dapat berbicara apapun terhadap orang lain.
b) Teknik Komunikasi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia Tipe
Paranoid ISOS (isolasi sosial)
Tipe skizofrenia jenis ini sangat anti sosial karena ia sangat
menyukai kesendirian dan tidak cakap untuk berkomunikasi
dengan lawan bicaranya. Adapun teknik yang dapat digunakan oleh
seseorang saat menghadapi pasien skizofrenia tipe ISOS ini, ialah:
101
memancing pasien dengan pertanyaan-pertanyaan yang spesifik,
frekuensi bertanya ataupun mengajak yang tinggi, selalu diberi
contoh setiap kali ada instruksi, mengajaknya dengan pelan-pelan
(artikulasi yang jelas, volume suara yang standar, sifat pesan
persuasif), harus slalu diberi pengertian. Menurut perawat ruangan
Yudistira, ada beberapa cara yang dapat ditempuh saat menghadapi
pasien jenis ini, yaitu:
(1) Menggunakan komunikasi nonverbal
Saat pasien fokus dengan dirinya ia hanya akan terus
berdiam diri. Oleh karena itu, ia perlu untuk disadarkan dengan
cara disentuh, diajak untuk memandang lawan bicara saat
berkomunikasi, dan menggunakan intonasi yang agak tinggi
agar pasien sepenuhnya sadar bahwa ada seseorang yang
sedang memperhatikannya.
“Kalo kita nanya engga dijawab kita sentuh kan yah, di
tepak itu namanya untuk yang tumpul. Karna orang yang
seperti itu kalau diajak ngobrol nunduk aja, responnya
lambat misalkan kita sentuh sambil nanya “rif namanya
siapa?”, kalo disentuh begitukan akhirnya dia nengokkan
dan akhirnya dia mau jawab. Kalau dia nunduk lagi kita
sentuh lagi sambil nanya. Kalo pasien yang tumpul/ISOS
begitu kita sentuhatau intonasinya agak kenceng.”26
(2) Menjalin kepercayaan dengan pasien
Kepercayaan adalah pondasi bagi pasien ISOS (Isolasi
sosial), ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar
kepercayaan dapat terjalin dengan baik diantaranya:
26
Wawancara pribadi dengan Bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015
102
(a) Membuka diri
Perawat harus membuka diri terhadap pasien, seperti
memperkenalkan diri sebelum memulai interaksi.
“Kita kenalkan dulu diri kita siapa misalnya, “saya
namanya pa ini, saya yang akan merawat bapak
disini, itukan tujuannya pasien engga takut, pasien
percaya pada kita,, itu langkah awalnya untuk
membangun rasa percaya.”27
(b) Hilangkan kecurigaan pasien
Pasien ISOS merupakan pasien yang memiliki
tingkat kecurigaan yang tinggi dibanding dengan pasien
lain maka lakukanlah interaksi dengan keadaan yang
terlihat senatural dan senyaman mungkin, dan hindari halhal yang membuat ia curiga, misalnya berinteraksi dengan
membawa kertas dan media lainnya yang membuat proses
interaksi tidak terkesan natural karena kecurigaan akan
mengikis kepercayaan pasien.
“Dan jika pasien dalam keadaan ISOS ketika mau
berhubungan/interaksi dengan mereka jangan
banyak berhubungan dengan kertas. Jadi proses
bertanyapun jangan memegang kertas, karena itu
akan membuat curiga pasien.”
(c) Melaksanakan proses komunikasi dengan frekuensi yang
tinggi
Perawat harus sering membuat janji dengan pasien
untuk berkomunikasi, namun pertanyaan ataupun topik
yang dibicarakan tidaklah banyak. Maksudnya ialah
27
Wawancara pribadi dengan Bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015
103
karena frekuensi tinggi maka bobot pertanyaannya cukup
sedikit-sedikit saja. Hal ini bertujuan agar pasien tidak
jenuh.
“Pendekatannya sedikit tapi sering soalnya pasien
yang isolasi sosial, jika perawat banyak bertanya
atau banyak mengajaknya berinteraksi ia akan lebih
banyak diam, makanya frekuensinya lebih sering
tetapi dengan sedikit pertanyaan. Jika nanti bertemu
lagi nanya lagi.”28
“Kalo ISOS, paling kita dicoba berkali-kali,
misalnya kalo engga mau ngobrol hari ini bisa
dideketin besok, yah intinya yang sering-sering
aja.”29
Metode tersebut perlu dilakukan karena tipe pasien
ini merupakan tipe pasien yang sangat pasif sehingga
perawatpun harus memiliki kesabaran yang ekstra untuk
menghadapinya.
“Jadi solusinya perawat harus intens dan sabar
menggali informasi dan berinteraksi dengan pasien
ISOS”30
Contohnya saja untuk satu pertanyaan, perawat perlu
bertanya hingga 3 kali atau lebih agar pasien dapat
menjawab.
“Jika dari tiga pertanyaan dia dapat menjawab 1
pertanyaan sebenarnya itu sudah bagus.”31
28
Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
29
Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
30
Wawancara pribadi dengan ibu Ernawati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
31
Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
104
Proses intensitas komunikasi yang tinggi
ini
bertujuan agar pasien semakin sadar dan percaya bahwa
orang yang sering kali mengajaknya berinteraksi memiliki
maksud yang baik terhadap dirinya.
(d) Memberikan
pengertian
tentang
manfaat-manfaat
berinteraksi dengan sesama
Perawat
harus
memberikan
kesadaran
kepada
mereka bahwa memiliki kawan itu menguntungkan dan
tidak memiliki kawan itu merugikan, dan teknik
komunikasi
yang
dilakukan
ialah
dengan
cara
menasihatinya secara lembut dan penuh pengertian.
Contoh topik yang diajarkan perawat terhadap pasien
ISOS seperti cara berkenalan dengan orang lain,
mengajarkan bagaimana manyebutkan nama lengkap,
nama panggilan, dan cara tersenyum.
“Pendekatan dengan pasien ISOS ialah dengan cara
identifikasi dulu alasan kenapa mereka tidak mau
mengobrol dengan orang lain, menjelaskan
keuntungan dan kerugiannya tidak punya teman, dan
mengajarkan berkenalan pertama dengan 1 orang
kedua dengan 2 orang seperti dengan cara sebutkan
nama, nama panggilan. Dengan cara lebih banyak
menasihati.”32
“Kasih pengertian keuntungan bergaul misalnya ko
ga mau punya temen sih, kalau kamu engga punya
temen tar kamu sedih loh. Jadi dijelasin dulu
keuntungan dan kerugiannya. Kita jelasin dulu jadi
32
Wawancara pribadi dengan Bapak Ahmad Ri’vai, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
105
kalau kognitifnya udah tau nanti perlahan dia mau
lakuin itu.”33
(e) Jangan memaksakan kehendak
Perawat harus benar-benar peka terhadap kondisi
pasien, jika memang dari gesture tubuh, intonasi suara,
ekspresi wajah sudah menandakan kebosanan dan
keengganan
pasien
untuk
berkomunikasi
maka
perawat/komunikator dianjurkan untuk meninggalkan
pasien sejenak hingga mood-nya kembali baik. Dan
membuat janji lagi di lain waktu.
“Yah, kalo misalkan dia engga mau berinteraksi kita
engga bisa maksa, kita tinggalin dulu aja. Sampai
nanti kondisinya dia sudah makan, kita bisa tanya
lagi. Kalau dia tidak mau bicara dengan kita berarti
dia memang lagi benar-benar marah, emang benerbener belum percaya, jadi g usah setiap ngobrol
selalu bisa interaksi engga apa-apa nunggu dulu.
Kita harus ngikutin kondisi pasien.”34
“Jika dari ekspresi muka, gesture dan dia sudah tidak
dapat diajak berinteraksi maka akhiri komunikasi
dan buat kontrak lagi untuk bisa bercakap-cakap di
kemudian hari.”35
(3) Mengikuti semua aktifitas pasien dan menjawab sendiri
pertanyaan perawat yang hendak diajukan kepada pasien
Menurut Dokter Pras bahwa ada beberapa kategori pasien
ISOS yang benar-benar tidak mau berkomunikasi sama sekali
dengan perawat dan respon yang diberikan benar-benar pasif,
33
Wawancara pribadi dengan Bapak Mamat Sutedi, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
34
Wawancara pribadi dengan ibu Siti Rohmah, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi
Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
35
Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
106
seperti tidak pernah mau berbicara sama sekali. Adapun teknik
yang
dapat
digunakan
ialah
dengan
tidak
bosan
bertanya/berinteraksi dan menjawab sendiri pertanyaan yang
diajukan, seperti perawat mengatakan, “gimana makannya tadi,
enak?” maka perawat menjawab sendiri pertanyaannya,
“owalah enak yah, kan kamu sudah sembuh yah, jadi besok
makannya bisa lebih banyak lagi yah.”Adapun tujuan dari
metode ini dilaksanakan ialah agar pasien terbiasa dan pola
pikirnya terkonstruk oleh pola komunikasi yang dipraktekan
oleh perawat.
“Kalo ada tuh pasien yang cuma diem aja engga mau
ngomong sama sekali yah kita nanya sama jawab sendiri
aja pertanyaan kita entar juga dia terbiasa sama apa yang
kita cohtohin”.36
Cara lainnya ialah dengan mengikuti seluruh aktifitas
pasien, hal ini bertujuan agar pasien sadar bahwa ada seseorang
yang sedang memperhatikannya karena menurut pengalaman
Dokter Pras bahwa saat ia melaksanakan praktek kedokteran ia
bertugas untuk bisa mendekati dan berkomunikasi dengan
pasien yang mengalami riwayat ISOS parah dan salah satu hal
yang ia lakukan ialah dengan terus mengikuti apa yang pasien
lakukan dan di suatu hari disaat ia hendak mengikuti pasien
yang akan pergi suatu tempat pasien tersebut akhirnya berbicara,
“Jangan ikuti saya, saya mau ke toilet”. Kata-kata itulah yang
36
Wawancara bersama dengan dokter Pras di rumah sakit Dr. H. Marzuki Mahdi Bogor,
Bogor 19 Mei 2015
107
pertama kali keluar dari mulut pasien saat ia mengamatinya
selama berminggu-minggu.
2) Proses Pengembangan Hubungan antara Perawat Terhadap
Pasien Skizofrenia Tipe Hebefrenik
a) Keadaan Pasien Hebefrenik Saat Berkomunikasi Dengan
Perawat
Pasien ini cenderung menunjukkan kedunguan dan mood
yang gamang, cekikikan, berbicara yang tidak-tidak, ketidakpaduan
antara pikiran, dan sifat kekanak-kanakan. Begitupun pada pasien
yang berinisial K, ia menunjukan tingkah laku kanak-kanak, seperti
tertawa-tawa sendiri, jalan-jalan sendiri seperti orang yang tak
punya tujuan, dan kadang berbicara sendiri. Dan respon interaksi
yang ditunjukan hanya menggunakan respon nonverbal saja,
contohnya pada saat itu pasien menginginkan perawat untuk
memberi rokok kepadanya namun cara ia menyampaikan
keinginannya hanya dengan menengadahkan tangannya dan
berbicara sangat pelan nyaris tidak terdengar sama sekali oleh
orang lain. Dan berkali-kali perawat memintanya untuk berbicara
lantang namun tetap saja yang ia lakukan hanyalah menengadahkan
tangannya, sampai akhirnya perawat memfokuskan pasien terlebih
dahulu, setelah itu barulah ia memberi respon dengan berbicara
keras
dan
disebabkan
menyampaikan
karena
keinginannya.
fokusnya
dia
Keadaan
terhadap
tersebut
dunianya
108
sendiri/halusinasi
yang
kuat
dalam
pendengaran
dan
penglihatannya.
“Kalo yang hebefrenik sih susah yah, kadang kalo kita
ngomong engga di denger, dia kan udah sibuk yah dengan
dunianya.”37
b) Teknik
Komunikasi
terhadap
Pasien
Skizofrenia
Tipe
Hebefrenik
Orang yang menderita gangguan ini akan menarik diri secara
ekstrem. Ia tidak lagi tertarik pada lingkungannya, sehingga ia
hampir sepenuhnya hidup dalam dirinya sendiri. Ledakan-ledakan
emosi, seperti menangis dan tertawa, yang menimpanya bukan
akibat stimulus-stimulus dari luar, tetapi stimulus-stimulus yang
berasal dari dunia khayalan tempat ia hidup. Karena ia menarik
dirinya secara ekstrem dari lingkungan, itu menyebabkan proses
komunikasi tidak dapat dilaksanakan dengan mudah. Adapun
teknik yang dapat digunakan saat menghadapi pasien jenis ini ialah
dengan teknik focusing. Teknik ini merupakan teknik yang
digunakan oleh perawat ketika pasien tidak dapat fokus dengan
lawan bicara, seperti bicara melantur, tertawa-tawa sendiri, ataupun
melamun.
“Kita ada teknik focusing, apa yang ingin kita dengar itu di
fokuskan. Jadi kalau dia muter-muter kemana-mana maka
diarahkan kesitu. Misalnya kita akan membicarakan tentang
37
Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
109
halusinasi dia ya udah kita bicara terkait halusinasi dia saja,
jadi engga ngelantur kemana-mana.”38
“Iya kalo dia lagi sibuk dengan fikirannya, kita fokusin dulu
ke kita, difokusin pasiennya misalnya sini ngobrol sama
suster dulu, dan langsung ikutin instruksi kok, asalkan
bicaranya pelan-pelan, yah kaya ngajak aja. Intinya yah harus
sabar, terus harus difokusin juga, kaya sini dengerin dulu
suster bicara.”39
Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa kedua tipe ini merupakan tipe yang memang sulit untuk
bersosialisasi dengan lingkungan karena baik pasien ISOS maupun
Hebefrenik telah asyik dengan dunianya sendiri, namun jika
dibandingkan antara keduanya maka pasien tipe hebefrenik ia lebih
sulit dibanding jenis skizofrenia lainnya.
“Yah susahan yang hebefrenik yah, kadang suka engga
nyambung. Kalo yang ISOS masih mending yah karena ada
timbal baliknya. Walaupun jawabnya singkat-singkat.”40
Karena banyak hambatan dalam diri pasien ini maka perawat
dituntut untuk dapat lebih aktif berbicara dibanding pasien, dan
perawat dituntut cakap berkomunikasi saat berhadapan dengan
mereka.
“Hanya saja buat pasien yang ISOS dan hebefrenik yah kita
yang aktif buat bicara. Karena kadang dia hanya jawabnya
ya, tidak, udah, belum. Gitu aja, mending kalo ada verbalnya.
Malah kadang dia Cuma diem. Makanya tergantung
kemampuan perawatnya sih mancing kemampuan
pasiennya.”41
38
Wawancara pribadi dengan Ibu Ernawati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
39
Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
40
Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
41
Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
110
3) Proses Pengembangan Hubungan Perawat Terhadap Pasien
Gangguan Jiwa yang Tidak Kooperatif
Gangguan yang terjadi pada pasien ini merupakan gangguan
psikotik yang bersifat merusak yang melibatkan gangguan berfikir
(delusi), persepsi (halusinasi), pembicaraan, emosi, dan perilaku
pasien. Akibatnya menyebabkan emosi pasien tak stabil dan saat tidak
stabil tersebut hal yang dapat dilakukan ialah:
a) Mengandalkan injeksi obat, Jika kondisi pasien masih sangat
gelisah, maka proses interaksi tidak dapat dilakukan sehingga hal
yang bisa dilakukan hanyalah mengoptimalkan injeksi obat,
sehingga enzim-enzim berlebih yang membuat kondisi pasien
meledak-ledak dapat dinetralisir terlebih dahulu. Barulah ketika
kondisi pasien mulai tenang proses interaksi dapat dilaksanakan.
Hal ini sesuai dengan perkataan dari ibu Siti Rohmah, yaitu:
“Jika kondisi pasien masih sangat gelisah, maka kita
minimalkan untuk banyak interaksi, paling Cuma langsung
tindakan aja misalkan suntikan penenang soalnya di kasih
obatnya juga lewat injeksi kadang-kadang kalo makin parah
kita isolasi, kalo masih bisa pake injeksi, kita injeksi dulu dan
engga digabung sama pasien lain sampe dia bener-bener
tenang. Ciri-ciri engga tenangnya misalnya gedor-gedor,
teriak-teriak yah kita fiksasi dia.paling delapan jam kemudian
ada evaluasi kalo seandainya keadaan pasien udah mulai
tenang baru di ajak interaksi dengan cara baik-baik, ya
nanyanya paling sekitar, inget g dibawa kesini kenapa?”42
b) Membuat kontrak terlebih dahulu sehingga kita tidak terjebak
dalam kondisi pasien yang sedang kurang baik.
42
Wawancara pribadi dengan Ibu Siti Rohmah, Amd, Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
111
“Pendekatannya ya itu paling kita kontrak dulu, kalo misalkan
mau ngobrol dulu, kan kadang pasien suka moodnya suka g
bagus jadi paling bikin janji dulu.”
c) Menggunakan intonasi yang tinggi, jika perawat sudah berbicara
dengan cara baik-baik, namun tetap saja pasien tidak paham karena
memang kondisi dirinya sedang tidak baik, maka perawat berhak
menggunakan intonasi yang tinggi dalam berbicara.
“Jika dengan cara persuasif misalnya “ coba kamu diem dulu”.
seandainya dia tidak bisa diem, ya udah kamu masuk dulu deh,
ngbrolnya nanti (kita alihin) dan adakalanya butuh intonasi
tinggi kalau pasiennya di deketin secara halus engga bisa, agak
sedikit dibentak. Biasanya pasien takut misalnya, “diem kamu,
kamu masuk dulu deh” intonasinya di tinggikan dan biasanya
jika pasien melihat ekspresi kita begitu dia takut juga.
Biasanya dia nurut. Tetapi cara tersebut jika diperlukan saja
jika pasiennya susah.”43
2. Analisis Komunikasi Terapeutik Dalam Pengembangan Hubungan
Perawat Terhadap Pasien Skizofrenia
a. Komponen dalam komunikasi terapeutik yang terjadi antara
perawat terhadap pasien skizofrenia
Komponen yang penting dalam proses komunikasi terapeutik,
ialah: kerahasiaan, keterbukaan diri, sentuhan, mendengar dan observasi
aktif, dan menempatkan diri sebagai pasien.
1) Keterbukaan diri, perawat yang membuka diri dengan memberikan
informasi mengenai diri perawat seperti informasi tentang biografi,
ide, pikiran serta perasaan pribadi. Hal inipun terjadi dalam praktek
keperawatan jiwa karena pada awal pertemuan, perawat memberikan
informasi mengenai dirinya sendiri. Hal ini bertujuan agar memberi
43
Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
112
stimulus kepada pasien tentang keterbukaan diri dan awal mulanya
membangun kepercayaan.
“Kita kenalkan dulu diri kita siapa misalnya, “saya namanya pa
ini, saya yang akan merawat bapak disini, itukan tujuannya
pasien engga takut, pasien percaya pada kita, itu langkah
awalnya untuk membangun rasa percaya.”44
2) Privasi dan menghormati batasan, maksudnya perawat tidak
memaksakan
kehendak
tetapi
menghormati
keinginan
dan
kenyamanan pasien, seperti saat pasien enggan untuk bertemu maka
perawat tidak memaksa.
“Yah, kalo misalkan dia engga mau berinteraksi kita engga
bisa maksa, kita tinggalin dulu aja.”45
3) Sentuhan, menyentuh pasien dapat meningkatkan rasa nyaman dan
aman bila tersebut diizinkan atau diinginkan. dalam prakteknya
sentuhan ini berfungsi untuk meningkatkan kenyamanan dan tingkat
kepercayaan pasien seperti halnya saat menghadapi pasien ISOS
beberapa perawat menggunakan teknik ini agar pasien mau terbuka
dan terfokus kepada pasien.
“Kalo nanya teknik saya, sepertinya banyak cara yah, bisa
pendekatan dulu, bisa kita sambil sentuh dia.”46
4) Mendengar dan observasi aktif, mendengar aktif yang dimaksud
ialah memperhatikan pesan yang disampaikan, mengatur duduk yang
sesuai (berhadapan, jarak yang sesuai dan lain-lain), menghindari
terjadinya interupsi, menyimak setiap perkataan pasien dengan
44
Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015
45
Wawancara pribadi dengan Ibu Siti Rohmah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
46
Wawancara pribadi dengan Ibu Fujiati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
113
penuh empati, dan secara ekslusif berkonsentrasi pada apa yang
klien katakan. Begitupun antara perawat terhadap pasien karena
ketika pasien berbicara perawat terfokus pada gerak gerik dan pada
konten apa yang dibicarakan pasien, sehingga perawat dapat
mengimbangi arah pembicaraan pasien meskipun pembicaraannya
kadang out of the context. Sedangkan observasi aktif berarti
mengobservasi
tindakan
nonverbal
pembicara
ketika
ia
berkomunikasi. Begitupun yang dilakukan oleh perawat saat ada
salah satu pasien yang sedang marah dan memukul perawat dan pada
saat situasi tegang tersebut, perawat memperhatikan raut dan
ekspresi wajah dan sorot mata pasien.47
b. Keterampilan Komunikasi Yang Dimiliki Perawat Rumah Sakit Dr.
H. Marzuki Mahdi Bogor
1) Keterampilan komunikasi verbal
Dalam praktek komunikasi terapeutik janganlah menggunakan
kata-kata sulit (medis) untuk menggambarkan masalah, jangan
menggunakan kata-kata yang tidak dipahami masyarakat diluar rumah
sakit, namun sangat dianjurkan untuk menggunakan bahasa sehari-hari
seperti kata berjalan, bukan ambulasi. Begitupun yang terjadi di
lapangan
karena
pesan
yang
digunakan
ialah
pesan
yang
menggunakan kata-kata yang konkret/jelas dan umum hal ini
bertujuan agar pasien dapat dengan mudah memahami maksud dari
perawat secara langsung.
47
Hasil observasi yang dilakukan di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi, Bogor 19 Mei
2015.
114
“Kalo kata-katanya kita cari kata-kata yang mudah yah, katakata yang mudah difahami mereka, bahasa yang sehari yang
engga sulit mereka fahami bahasan yang dasar-dasar aja
misalkan tadi udah makan belum? Makannya pakai apa?.”48
2) Keterampilan komunikasi nonverbal
Pada tanggal 19 mei 2015 yang lalu terjadi pemukulan yang
terjadi terhadap perawat di ruang Yudistira, hal ini terjadi karena
ketidak nyamanannya akan kebisingan yang terjadi di luar ruangan
pasien dan dengan kondisi pintu yang terbuka maka memudahkan
pasien untuk keluar menghampiri perawat yang sedang duduk santai
membelakangi ruang pasien sambil memukul salah satu perawat yang
ada. Sebelum kejadian tersebut sebenarnya seorang dokter sudah
dapat memprediksi kejadian yang akan terjadi karena saat ia masih di
ruangannya ia terlihat seperti sedang mengintai dengan sorot mata
penuh amarah, melotot dan memerah, tulang rahangnyapun mengeras
dari beberapa sinyal tersebut dapat dipahami bahwa ia sedang marah,
namun kejadian tersebut sangatlah cepat sehingga tidak dapat
dihindari.
Dari pemaparan kejadian diatas peneliti dapat memahami bahwa
keterampilan komunikasi nonverbal sangat efektif digunakan disana
untuk dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dan juga untuk
mencari solusi atas masalah yang sedang terjadi.
48
Wawancara pribadi dengan Bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
115
a) Menginterpretasi ekspresi wajah
Dalam proses komunikasi ini kita harus memperhatikan
ekspresi pada wajah, sikap tubuh serta gerakan tubuh pasien.
Karena wajah pasien atau tekanan suara, atau cara bicara dapat
mengatakan lebih banyak daripada kata-kata. Pada saat pasien
marah perawat mencoba menginterpretasi ekspresi wajah sehingga
ia menyadari bahwa pasien sedang emosi. Hal ini terlihat dari rona
wajahnya merah dan mulutnya cemberut, hal ini menunjukan
bahwa emosinya sedang memuncak.
b) Menginterpretasi isyarat vokal
Isyarat vokal adalah suara nonverbal yang disampaikan
bersama isi pembicaraan. Volume suara, nada suara, tinggi rendah
nada (pitch) intensitas, penekanan, kecepatan, dan jeda mendukung
pesan pengirim. Pada saat kejadian tersebut terjadi, semua perawat
tahu bahwa ia sedang marah, pengetahuan tersebut muncul karena
perawat menginterpretasi isyarat vokal pasien tersebut karena pada
saat itu pasien memaki, “aing teu betah sia didie, sia awewe
perusak rumah tangga aing”.Yang artinya, “Saya tidak betah
disini, kamu wanita perusak rumah tangga saya”. Dengan
menggunakan intonasi yang tinggi.
c) Menginterpretasi kontak mata
Mata disebut sebagai cerminan jiwa karena mata sering
merefleksikan emosi kita.Pesan yang diberikan oleh mata meliputi
humor, nafsu, penolakan, rasa tertarik, kebingungan, kebencian,
116
kebahagiaan, keedihan, ketakutan, peringatan, dan pembelaan. Saat
kejadian
tersebut
mengobservasi
terjadi
mata
baik
pasien
peneliti
yang
maupun
melotot,
perawat
memerah
dan
memancarkan aura kemarahan. Berkat observasi tersebut perawat
dapat memastikan bahwa emosi pasien benar-benar sedang tidak
stabil.
d) Memahami tingkat makna
Kemampuan
melakukan
hal
ini
memerlukan
teknik
mendengar secara dangkal yaitu dengan mendengar pesan konkret
dan juga mendengar secara mendalam yaitu memerlukan beberapa
interpretasi pesan kemudian mengumpulkan informasi yang rinci
untuk memvalidasi setiap asumsi atau tidak memvalidasi.
Begitupun yang terjadi di lapangan perawat langsung tahu apa yang
terjadi dengan hanya mendengar ucapan pasien bahwa,“Aing teu
betah sia didie, sia awewe perusak rumah tangga aing”. Yang
artinya, “Saya tidak betah disini, kamu wanita perusak rumah
tangga saya”. Dari kata-kata “Saya tidak betah disini”. Perawat
langsung dapat memahami bahwa pasien sedang marah karena
terganggu akan keadaan yang tidak kondusif.
c. Relevansi Injeksi Obat dengan Interaksi Sosial
Obat dan interaksi sosial tidak dapat dipisahkan dalam proses
penyembuhan pasien gangguan jiwa karena penyebab gangguan inipun
bermacam-macam, seperti terdapat enzim dopamin yang berlebih dalam
117
tubuh sehingga obat dibutuhkan untuk menetralisis enzim berlebih
tersebut.
“Obat untuk mengurangi enzim-enzim yang berlebih yang ada
dalam diri pasien”.49
Penyebab lainnya ialah karena krisis akan kepercayaan diri,
kurangnya dukungan, rasa tertekan ataupun rasa kesepian. Hal inilah
yang menurut peneliti memiliki hubungan erat dengan proses interaksi
karena dengan proses interaksi pasien dapat merasa diakui oleh
lingkungan sekitar, ditingkatkan motivasinya, dan selalu ditemani
sehingga rasa sepi dalam diri pasien semakin terkikis.
“Sebenarnya untuk menghilangkan rasa gelisah lebih efektif obat
tapi kalau obat saja tidak ada interaksi sama aja, ya istilahnya
butuh perhatian, mungkin alasan mereka dirawatpun karena
memang kurang perhatian, dengan disini ia dianggap ada, dia
diperhatiian dia diajak ngobrol berarti fifty-fifty.”50
Dan hal ini sesuai dengan tujuan dari proses komunikasi yang telah
diulas diatas bahwa ujung pangkal sakit yang diderita pasien ini ialah
jiwa dan spiritnya. Oleh karena itu, dengan proses komunikasi yang
terjalin dengan baik, diharapkan ketidaksadaran dan spirit dalam jiwanya
dapat bangkit kembali.
3.
Peran Dakwah dalam Peningkatan Kesadaran Pasien di Rumah Sakit
Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Menurut beberapa perawat di ruang rehabilitasi rumah sakit pesan
dakwah dibutuhkan agar pasien dapat kembali mengingat akan keberadaan
49
Wawancara pribadi dengan bapak Ahmad Rivai, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015
50
Wawancara pribadi dengan ibu Siti Rohmah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
118
Allah SWT. Menurut Bpk. Suganda selaku Da’i di ruang rehabilitasi, hal
yang membedakan antara penyampaian pesan agama kepada masyarakat
umum dengan pasien gangguan jiwa ialah terletak pada materi yang
disampaikan. Karena
untuk
pasien gangguan jiwa materi
yang
disampaikan lebih bersifat aplikatif, sederhana, mudah dicerna, realistis,
dan hanya bersifat anjuran saja. Menurutnya, pasien yang dibolehkan
mengikuti kegiatan pengajian di ruang rehabilitasi hanyalah yang memang
sehat fisiknya, seorang muslim, mau mengikuti aturan yang ada di ruang
rehabilitasi, dan sudah mampu mengontrol kondisi jiwanya secara mandiri.
Cara penyampaiannyapun lebih bersifat persuasif sehingga pesan dua arah
dapat terlaksana. Acara pengajian ini terbagi menjadi dua sesi, sesi
pertama ialah sesi melafalkan doa/surat-surat pendek, dan sesi yang kedua
yaitu sesi tausiah. Pada sesi pertama pasien yang bersedia maju
dipersilahkan untuk menghafalkan surat-surat ataupun doa yang ia hafal
didepan forum. Adapun surat yang mereka hafal diantaranya surat alfatihah, an-nas, alkautsar, dan adapula yang membaca doa selamat. Pada
sesi ini antusias pasien cukup tinggi karena banyak pasien yang semangat
untuk maju ke depan untuk menghafal surat yang ia hafal. Sedangkan
pada sesi kedua ialah sesi penyampaian tausiah yang disampaikan oleh
ustadz Suganda. Pada tanggal 01 Juli 2015 pukul 10:00-11:00 pembahasan
yang diangkat mengenai pentingnya melakukan hal-hal yang baik
khususnya menjalankan ibadah puasa. Pada sesi ini metode yang beliau
gunakan ialah memberi ruang secara bebas kepada pasien yang hendak
bertanya dan setelah itu barulah ustad memberi jawaban yang berbentuk
119
arahan/nasihat tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk
dilakukan. Metode tersebut digunakan agar kondisi pengajian dapat lebih
interaktif sehingga dapat membangkitkan kembali kesadaran pasien untuk
berfikir tentang wawasan ilmu agamanya. Berikut beberapa pertanyaan
yang ditanyakan pasien kepada ustad, “Kenapa sebelum sholat itu cemas”,
“kenapa jumlah rakaat dalam sholat itu berbeda-beda”, “kenapa puasa
itu terasa lapar dan haus”. Pertanyaan-pertanyaan maupun hafalanhafalan surat-surat pendek serta doa inilah yang membuktikan bahwa ada
respon positif pasien mengenai kemampuan kognitif mengenai kesadaran
akan beragama. Adapun pada akhir sesi pengajian, pasien diajak untuk
bersholawat dan membaca doa bersama-sama, sebagian besar pasien hafal
akan sholawat serta doa yang sedang dilafalkan. Tingkat efektifitas
pengajian ini tidak dapat dibuktikan secara nyata oleh pasien karena meski
di pengajian pasien diajarkan untuk sholat, puasa dan jenis ibadah lainnya,
namun tetap saja tidak semua pasien melaksanakan apa yang dianjurkan di
ruang rehabilitasi karena kondisi pasien yang belum stabil sepenuhnya.
C. Hambatan-Hambatan Yang Ditemui Perawat Saat Berkomunikasi
Dengan Pasien Skizofrenia
Terdapat dua jenis gangguan yang akan membuat proses komunikasi
tidak berjalan dengan baik yaitu gangguan mekanik dan juga gangguan
semantik. Gangguan mekanik yaitu gangguan yang disebabkan saluran
komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Sedangkan gangguan semantik
yaitu gangguan yang berasal dari dalam diri komunikator maupun komunikan
seperti pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak karena makna
120
dari semantik itu sendiri ialah pengetahuan mengenai pengertian kata-kata
yang sebenarnya atau perubahan pengertian kata-kata. Adapun gangguan yang
terjadi pada proses komunikasi antarpribadi antara perawat dan pasien ini
lebih cenderung meliputi gangguan semantik.
1.
Hambatan yang terdapat dalam diri pasien
a. Halusinasi
Pasien ISOS maupun pasien hebefrenik memiliki hambatan yang
sama yaitu halusinasi pendengaran dan penglihatan, adapun halusinasi
yaitu jenis gangguan yang ditandai dengan gangguan persepsi pada
berbagai hal yang dianggap dapat dilihat, didengar ataupun adanya
perasaan dihina meskipun sebenarnya tidak realitas. Halusinasi
merupakan penyebab utama mengapa pasien hebefrenik ini bertingkah
laku aneh seperti tertawa, menangis, senyum-senyum dan berbicara
sendiri dan hal inilah yang menyebabkan ia sangat sulit untuk
berinteraksi dengan orang lain karena telah terlalu nyaman dengan
dunianya sendiri.
“Kalo yang hebefrenik sih susah yah, kadang kalo kita ngomong
engga di denger, dia kan udah sibuk yah dengan dunianya.”51
Selain halusinasi akan kesenangan sendiri, adapula halusinasi
bujukan agar tidak mendengarkan ajakan perawat. Jenis halusinasi
pendengaran inipun berlaku bagi pasien skizofrenia tipe paranoid ISOS
“Soalnya kan kenapa dia gak mau ngobrol karna emang ada
bisikan buat engga mau ngobrol.”52
51
Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
52
Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
121
b. Keadaan jiwa yang belum stabil
Pasien baru di rumah sakit biasanya masih memiliki kondisi
emosional yang tidak stabil. Oleh karena itu, pihak rumah sakit
memasukannya
ke
dalam
ruang
isolasi
sehingga
ia
tidak
mengganggu/menyakiti orang lain. Dan dalam keadaan seperti ini,
pasien tidak dapat berinteraksi sama sekali dan rasa gelisah yang masih
amat tinggi inilah yang menjadi penghambat perawat untuk mendekati
pasien karena jika dipaksakan bukan respon interaksi yang bagus yang
akan didapat namun cacian bahkan tindakan anarkis yang akan
diberikan pasien terhadap lawan komunikasinya, dan ini sangat
membahayakan.
“Kalo pasien yang baru dateng dimana kondisi pasien masih
sangat gelisah sehingga sulit untuk bina trust karena kita baru
pertama ketemu, ciri-ciri engga tenangnya misalnya gedorgedor, teriak-teriakmakanya di ruang ini kita minimalkan untuk
banyak interaksi.”53
c. Belum adanya rasa percaya (bina trust)
Seperti yang telah diulas di poin sebelumnya bahwa bina trust
merupakan pilar utama dalam proses interaksi perawat terhadap pasien
gangguan jiwa karena jika kepercayaan pasien belum didapat, proses ini
tidak akan bisa berjalan. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa proses
komunikasi pasien jenis ini sama seperti proses komunikasi yang terjadi
diantara orang sehat pada umumnya karena ia sama-sama akan terbuka
hanya pada orang yang dipercaya.
53
Wawancara pribadi dengan Ibu Siti Rohmah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit
Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
122
“Kalau dia tidak mau bicara dengan kita berarti dia emang benerbener belum percaya.”54
d. Kengganan Pasien Untuk Berkomunikasi
They have trouble and tumultuous interactions with relatives,
acquaintances, and even strangers, particularly during the actives
phase of symptoms. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa pasien ini
kesulitan untuk berinteraksi dengan keluarga, kenalan dan orang-orang
yang ada disekitar. Kesulitan inilah yang menyebabkan mereka enggan
untuk berinteraksi dengan sesama karena mood pasien yang tidak baik
sehingga menyebabkan ia mudah merasa jenuh, malas, dan capek saat
bertemu orang lain.
“Pada saat-saat tertentu kan manusia ada perasaan bosen, malas,
jenuh.”55
“Peneliti: hambatan yang
berkomunikasi apa sih pak?
mempengaruhi
pasien
susah
Perawat: waham, caranya mengembalikan ke dunia yang nyata.
Dan itu susah. Moodnya yang g bagus.”56
“Yah, kalo misalkan dia lagi engga mau berinteraksi kita engga
bisa maksa.”57
“Kan, kadang pasien moodnya suka g bagus, jadi engga mau
ngobrol.”58
e. Pembicaraan pasien yang inkoheren
Pembicaraan yang tidak koheren maksudnya ialah seperti topik
pembicaraan yang melompat-lompat, pembicaraan yang serampangan
54
Wawancara pribadi dengan Ibu Siti Rohmah , Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi
Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
55
Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015
56
Percakapan antara peneliti dengan bapak Rivai pada tanggal 18 februari 2015
57
Wawancara pribadi dengan ibu Siti Rohmah, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi
Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
58
Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, salah satu perawat di rumah sakit Marzuki
Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015
123
dan kehilangan asosiasi, neologisme59, beberapa hal tersebut kerapkali
terjadi pada pasien di rumah sakit ini sehingga berdasarkan hasil
observasi dan wawancara beberapa perawat beranggapan bahwa
inkoherensi dalam berbicara ini sebagai salah satu penghambat interaksi
antar sesama, karena jika perawat tidak cermat maka perawat akan
salah memahami makna atau kondisi pasien yang sebenarnya.
“Paling yah itu yang bikin interaksi agak sulit itu kalau pasien
ngomognya g jelas, ngelantur disitu kadang bingung yang dia
omongin itu maksudnya apa dan jadinya kadang kita suka salah
persepsi kalo engga bener-bener merhatiin mah.”60
1.
Hambatan yang Terdapat Dalam Diri Perawat
a. Tidak mengerti akan bahasa yang diucapkan pasien
Hambatan ini masih hambatan yang masuk dalam kategori
semantik karena berpusat pada diri komunikator maupun komunikan,
karena faktor keanekaragaman budaya dan bahasa menyebabkan
banyak bahasa yang dijadikan acuan dalam berkomunikasi. Dan hal ini
akan menjadi masalah ketika lawan bicara tidak memahami apa yang
dimaksud oleh komunikan. Seperti pasien hanya memahami dan
berbicara dengan menggunakan bahasa daerahnya saja sehingga
menyebabkan perawat seringkali tidak memahami apa yang dimaksud.
“Kalo ada pasien yang datang dari luar daerah tuh yang susah
banget buat diajak interaksi karena sering mereka pahamnya
cuma bahasa daerahnya aja kaya bahasa indonesia gitu g paham
dia, jadi kan kita g paham omongan dia, dan dia juga g paham
omongan kita.”61
59
Menciptakan kata atau kalimat yang aneh-aneh, tidak menjawab pertanyaan dan
memberikan jawaban yang menyimpang dari pertanyaan
60
Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi
Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Mei 2015
61
Wawancara pribadi dengan ibu Siti Rohmah, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi
Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Mei 2015
124
b. Tingkat kesabaran perawat
Seringkali pasien menunjukan perilaku tidak kooperatif dengan
perawat seperti teriak-teriak sehingga akan mengganggu pasien lain
dan pada kondisi seperti itu kadang pasien tidak mau mendengarkan
instruksi dari perawat untuk tetap tenang. Dan pada saat-saat seperti
itulah perawat hilang kesabaran, seperti perawat berteriak dan
membentak pasien sehingga bagi sebagian pasien ia akan merasa
terganggu dan saat kondisi seperti inilah pasien enggan untuk
berinteraksi dengan perawat yang bersangkutan karena merasa takut.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah diulas pada bab sebelumnya
maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, diantaranya:
1. Pola komunikasi perawat terhadap pasien skizofrenia di rumah sakit
jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ialah pola komunikasi
antarpribadi. Kesimpulan tersebut berasal dari ciri-cirinya yang sangat
identik dengan ciri-ciri yang ada dalam praktek komunikasi
antarpribadi
seperti,
(1)
suasana
komunikasi
yang
terasa
nonformal/natural sehingga pasien merasa nyaman dan iklim
komunikasi yang diciptakan oleh komunikator (pasien) terasa hangat,
(2) jarak antara komunikator (perawat) dan komunikan (pasien)
teramat dekat karena proses ini dilaksanakan secara tatap muka dan
dilaksanakan di ruangan Yudistira atau salah satu bangsal yang ada di
rumah sakit ini, (3) umpan balik dapat secara spontan dilihat dan di
observasi meski umpan balik ini ada yang bersifat positif maupun
negatif.
2. Hambatan-hambatan yang ditemui perawat saat berkomunikasi dengan
pasien skizofrenia, ialah: (1) Faktor halusinasi yang ada dalam diri
pasien
karena
halusinasi
merupakan
bisikan-bisikan
ataupun
penampakan-penampakan yang timbul dalam penglihatan maupun
pendengaran pasien, jika pasien belum bisa menguasai dirinya untuk
menghardik halusinasi tersebut maka intervensi dari pihak luar tidak
125
126
akan efektif, (2) Keadaan jiwa yang belum stabil diantaranya ia masih
sering marah-marah dan cenderung melakukan tindak kekerasan
kepada orang lain ataupun kepada dirinya sendiri, (3) Belum adanya
rasa percaya dari pasien terhadap perawat, hal ini menjadi hambatan
karena pada realitas yang ada jika perawat tidak dapat meraih
kepercayaan pasien maka pasien tidak akan mau terbuka kepada
perawat sehingga hal ini akan sangat menghambat perkembangan
komunikasi yang akan terjalin, (4) keengganan pasien untuk
berkomunikasi, mood ini menghambat berlangsungnya komunikasi
karena jika antusiasme hanya ada pada pihak komunikator (perawat)
maka proses komunikasi akan bersifat pasif dan sulit untuk
berkembang dan biasanya hal ini dilandasi oleh rasa malas, capek,
jenuh, halusinasi atau bahkan memang terdapat masalah organik dalam
diri pasien, (5) ketidakpahaman perawat akan bahasa yang diucapkan
oleh pasien dan begitupun sebaliknya, misalnya pasien menggunakan
bahasa medan sedangkan semua perawat berasal dari daerah sunda, (6)
kurang adanya kesabaran dari perawat sehingga tindakan yang
diberikan perawat terhadap pasien diluar batas, seperti membentak
pasien.
B. Saran
1. Kepada perawat yang merawat pasien gangguan jiwa disarankan agar
lebih banyak berinteraksi dengan pasien agar pasien lebih merasa
diperhatikan sehingga ia tidak merasa sendiri, dan disarankan pula agar
perawat lebih banyak lagi melatih diri agar tingkat kesabaran dan
127
teknik menghadapi pasien lebih cakap sehingga apa yang diberikan
kepada pasien selalu tepat sasaran.
2. Berdasarkan pengamatan penulis kegiatan penyembuhan yang
dilaksanakan di salah satu ruang perawatan pasien gangguan jiwa ini
hanya berkisar pada terapi aktifitas kelompok (TAK), terapi ngobrol
dengan perawat dan makan bersama, namun kegiatan ini cenderung
full hanya disaat pagi hingga siang saja. Dari beberapa kegiatan
tersebut, maka penulis menyarankan kepada pihak manajemen rumah
sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi agar di ruang asuh pasien diberikan
kegiatan yang sesuai dengan bakat pasien, seperti jika terdapat pasien
yang memiliki bakat bernyanyi maka ia diajarkan untuk bernyanyi,
jika terdapat pasien yang memiliki bakat untuk membuat kerajinan
tangan maka pasien dapat diajarkan untuk membuat sebuah karya
hingga akhirnya karya tersebut dapat diberdayakan sehingga dapat
menjadi motivasi bagi generasi muda agar tidak kalah aktif dengan
pasien gangguan jiwa. Saran kedua untuk pihak rumah sakit ialah agar
kegiatan pasien ditambah dan waktu pasien dihabiskan dengan
beraktifitas sehingga tidak ada waktu bagi pasien untuk melamun
sendiri karena ditakutkan kesadaran pasien akan kembali turun karena
lebih banyak berdiam diri.
3. Kepada pihak manajemen rumah sakit disarankan agar banyak
melakukan penyuluhan kepada masyarakat terutama pada para
keluarga pasien gangguan jiwa mengenai informasi peyakit yang
diderita keluarganya secara komprehensif dan memberikan penyuluhan
128
tentang bagaimana memperlakukan pasien agar tidak ada lagi seorang
penderita gangguan jiwa yang ditelantarkan oleh keluarganya sendiri
lantaran ketidakpahaman keluaga atas kondisi yang sedang dihadapi.
4. Kepada peneliti yang akan meneliti tema yang sama, disarankan agar
tidak hanya meneliti di ruang tenang pasien saja tetapi dapat meneliti
juga di ruang ICU pasien. Hal ini bertujuan agar wawasan peneliti
lebih kaya sehingga data yang diolahpun dapat bervariatif dan
perbandingan antara satu pasien dengan pasien lain lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
AW, Suranto. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
Budyatna, Muhammad dan
Gariem,
Leila Mons.
Teori Komunikasi
Antarpribadi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011.
Creswell, John. Qualitatif Inquiry and Research Design: Choosing among five
traditions. California: Sage Publications, 1997.
Effendy, Onong Ucjhana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2003.
_____________. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004.
Ester, Monica. Pedoman Perawatan Pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 2005).
Fajar, Marhaeni. Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek. Jakarta: Graha Ilmu, 2009.
Halgin, Richard P dan Whitbourne, Susan Kraus. Abnomal Psychology: Clinical
Perspective On Psychology Disorder. New York: McGraw Hill, 2007.
Hawari, Dadang. Al-qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa.
Yogyakarta: Pt. Dana Bhakti Prima Yasa, 1995.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik
Lubis, Djuara P. dkk. Dasar-Dasar Komunikasi. Bogor: Sains KPM IPB Press,
2008.
Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana Prenada
Group, 2013.
Muhammad, Arni. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara,1995.
Nevid, Jeffrey S. Dkk. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga, 2003.
Nursalam. Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktek. Jakarta:
Salemba Medika, 2009.
OFM, Yustinus Semiun. Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
129
130
Pieter, Herri Zan. Pengantar Psikopatologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011.
Pieter, Herry Zan dan Lubis, Namora Lumonga. Pengantar Psikologi Dalam
Keperawatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Rosyidi, Kholidi. Prosedur Praktik Keperawatan Jilid 2. Jakarta: Penerbut Buku
Kesehatan, 2013.
Roudonah. Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007.
Semiun, Yustinus. Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Sendjaja, S.Djuarsa. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka: 1994.
Soyomukti, Nurani. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Stuart, Gail Wiscarz dan Sundeen, Sandra J. Buku Saku Keperawatan Jiwa:
Pocket Guide to Psychiatric Nursing. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran,
1998.
Videbeck, Sheila L. Buku Ajar Keperawatan:Psychiatric Mental Health Nursing.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2008.
West, Richard danTurner, Lynn H. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan
Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2012.
Widjaja, H.A.W. Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta:
Bumi Aksara, 2008.
Wiramihardja, Sutardjo A. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Reflika
Aditama, 2005.
Yin, Robert K. Studi Kasus Desain & Metode. Jakarta: PT. Raja
Persada.
Grafindo
STRUKTUR LEMBAGA
Direktur Utama: Dr. Erie Dharma Irawan
Dewan Pengawas
Komite Medik
Staff Medik Fungsional
Direktorat-direktorat
1. Direktorat medik& keperawatan
: Dr. Puji Triastuti
Bidang medik
: Dr. Siti Khalimah
a. Seksi pelayanan medik
: Drg. Desi Dwiriniah
b. Seksi pelayanan penunjang medik
: Andri Wulansari
Bidang keperawatan
: Wawan Hermawan
a. Seksi pelayanan keperawatan
b. Seksi pelayanan rawat inap
: Ns. Aep Sumarna
Instalasi
Kelompok jabatan fungsional
2. Direktorat SDM dan Pendidikan
: Drg.Rahmadayah Mansur
Bagian SDM
: Dra Fatimah
a. Sub bagian administrasi
: Landberto F
b. Sub bagian administrasi kepegawaian
: Caswa
Bagian Pendidikan dan Penelitian
: Dr. Erwanto W
a. Sub bagian pendidikan dan penelitian
: Dr. Irna Lidiawati
b. Sub bagian DIKLIT Tenaga Keperawatan: Akemat. SKp
Instalasi
Kelompok jabatan fungsional
3. Direktorat keuangan dan administrasi
: Syahnas Rasyid
Bagian Keuangan
: Juni Khair
a.
Sub bagian program dan anggaran
: Sri Nurhayati
b.
Sub bagian akuntansi
: Dwi Nurul Hayati
c.
Sub bagian mobilitas dana
: Ernin Surachman
Bagian administrasi umum
: Basari Sirait
a.
Sub bagian TU dan Pelaporan
: R. Moh Agus Barokah
b.
Sub bagian RT dan perlengkapan
: Nuryanto
c.
Sub bagian hukum organisasi
: Dr. Abdul Farid Patutie
Instalasi
Kelompok jabatan fungsional
HASIL WAWANCARA
Narasumber
: Ahmad Riva’i, Amd Kep
Jabatan
: Kepala ruangan Yudistira
Tanggal
: 18 Februari 2015
1.
Bagaimana cara bapak agar pasien mendengarkan apa yang bapak bicarakan?
Jawab: paling pertama melakukan pengkajian, latar belakang penyakit pasien
misalnya kenapa pasien akhirnya dibawa kemari, riwayat hal yang telah ia
lakukan, misalnya memukul ibu atau bapaknya, misalnya keluarga tidk
sanggup menghadapi pasien, lalu dimasukan ke IGD dan kita berkolaborsi
dengan dokter biasanya dokter akan memberikan obat. Cara komunikasi yang
digunakan ialah teknik komunikasi terapeutik seperti yang pertama berikan
salam lalu evaluasi tentang apa yang telah ia lakukan. Misalnya apa yang
telah ia dapatkan di ruangan sebelumnya misalnya bagaimana cara mengatasi
perilaku kekerasan. Kita evaluasi kembali jika pasien belum faham secara
kognitif dan psikomotorik lalu kita latih kembali. Sesuai dengan p yang dia
butuhkan. Bercakap-cakap dengan pasien lainnya merupakan suatu aktifitas
yang penting untuk bisa mendistraksi halusinasi pasien. Dan kegiatankegiatan lain seperti mengarahkan minat/bakat pasien dan juga obat untuk
mengurangi enzim-enzim yang berlebih yang ada dalam diri pasien. Untuk
mengatasi tindak prilaku kekerasan yaitu dengan cara tarik nafas dalam dan
hal ini bisa dilakukan beberapa kali sampai akhirnya pasien tenang karena
bisa mengalirkan oksgigen ke otak sehingga dapat menimbulkan rasa
relaksasi dan juga memukul bantal agar rasa marah pasien dapat teralirkan
tanpa harus melukai orang lain. Mengungkapkan rasa kesal dengan cara
terbuka seperti dengan minta maaf dan hal tersebut diharapkan agar rasa kesal
tersampaikan dan yang terakhir dengan cara spiritual sesuai dengan ajaran
yang dianut.
2.
Ketika pasien berhalusinasi baik halusinasi lihat ataupun dengar maka
bagaimana pola berkomunikasi perawat terhadap pasien?
Jawab: halusinasi ada tingkatannya fase pertama yaitu bengong-bengong lalu
fase keempat yaitu fase dimana pasien akan marah-marah terhadap orang lain.
Dengan cara terus mengingatkan terus agar pasien terbiasa. Dengan cara
langsung dipraktekan langsung misalnya: ayo praktekan misalkan seperti ini.
3.
Ketika memang pasien tidak mendengarkan perawat karena faktor
penyakitnya maka tindak komunikasi yang seperti apa yang dilakukan?
Jawab: intinya adalah trust atau percaya karena ketika pasien sudah trust
maka ia akan mencari kita (perawat). Dan untuk membangun trust itu maka
perawat harus kesabaran yang tinggi karena bukan hanya orang sakit saja
kadang orang yang normal saja kalau melakukan pendekatan kalau orang itu
benci kadang kita enggan untuk berkomunikasi jadi yang penting harus
bersabar ekstra.
4.
Saat kondisi seperti apa pasien tak mau berkomunikasi?
Jawab: saat fase halusinasi sudah mencapai tahap ke-4 dan juga saat efek
obat hilang maka tunggu mereka tenang. Pendekatan dengan pasien ISSOS
ialah dengan cara identifikasi dulu alasan kenapa mereka tidak mau
mengobrol dengan orang lain, menjelskan keuntungan dan kerugiannya tidak
punya teman, dan mengajarkan berkenalan pertama dengan 1 orang kedua
dengan 2 orang seperti dengan cara sebutkan nama, nama panggilan. Lalu
selanjutnya bertanya tentang keluarga dirumahnya dan sebenarnya lebih
banyak menasihati. Kuncinya berkomunikasi karena yang sakitkan jiwanya
yah jadi yang harus dibangkitkan semangat kejiwaannya, spiritnya.
5.
Jenis message/kata-kata yang seperti apa yang disampaikan kepada pasien?
Jawab: ada tekhnik-teknik tertentu tergantung personalnya ada dengan yang
to the point, ada yang membentak ada yang dengan cara baik-baik.
6.
Apakah pasien harus mengikuti kegiatan di rumah sakit atau dibebaskan saja?
Jawab: pada saat-saat tertentu kan manusia ada perasaan bosen, malas, jenuh,
mungkin kita akan melakukan pendekatan kenapa malesnya kenapa engga
mau ikut.
Mengetahui
Ahmad Rivai, Amd Kep
HASIL WAWANCARA
Narasumber
: Mamat Sutedi, Amd Kep
Jabatan
: Perawat di ruang Yudistira
Tanggal
: 18 Februari 2015
1.
Bagaimana cara bapak berkomunikasi dengan pasien?
Jawab: untuk berkomunikasi diawali dengan perkenalan diri dulu, lalu baru
ngobrol-ngobrol. Seperti Kenapa mereka dibawa kesini, ada masalah apa,
masih berhalusinasi atau tidak , udah punya temen belom, kalo belum nanti
diajarkan cara berkenalan, terus ditanya masih suka dengen suara-suara engga
kalo masih denger kita ajarin cara supaya mengalihkannya. Kalo masih suka
kesel yah diajarkan cara mengatasinya.
2.
Jika pasien menolak untuk berinterakasi maka pendekatan apa yang
dilakukan?
Jawab: kalo untuk sekali itu engga berhasil yah kita tinggal dulu aja, kontak
kan sering yah. siangkan ketemu lagi yah. Yang penting ketemu singkat tapi
sering, kalo memang engga berhasil ya udah kita tinggalkan dulu tar dateng
lagi nanti. Kalo yang kooperatif mah lebih mudah yah, diajak ngobrolnya
lebih nyambung yah. Kecuali yang isos itu dia agak lama. Kalo kita nanya
engga dijawab kita sentuh kan yah, di tepak itu namanya untuk yang tumpul
yah. Karna orang yang seperti itu kalau diajak ngobrol an nunduk yah,
responnya lambat misalkan kita sentuh sambil nanya “rif namanya siapa?”,
kalo disentuh begitukan akhirnya dia nengokkan dan akhirnya dia mau jawab.
Kalau dia nunduk lagi kita sentuh lagi sambil nanya. Kalo pasien yang
tumpul/ISOS begitu kita sentuh yah atau intonasinya agak kenceng. Terus
kalo semkin hari dia mau ikut beraktifitas yah. Walaupun ngobrolnye engga
banyak seperti pasien yang kooperatif yah.
3.
Apakah ada kemungkinan pasien akhirnya terbuka kepada perawat, seperti
pasien-pasien yang lain?
Jawab: kita liat dulu sebelum dia sakit. Kalo dia emang orangnya aktif bisa
dia jadi terbuka, tapi kalo yang awalnya emang pendiem yah mungkin sudah
maksimal jawab begitu.
4.
Jenis kata-kata/pesan apa yang bapak gunakan saat berkomunikasi dengan
pasien?
Jawab: kalo kata-katanya kita cari kata-kata yang mudah yah, kata-kata yang
mudah difahami mereka, bahasa yang sehari yang engga sulit mereka fahami
bahasan yang dasar-dasar aja misalkan tadi udah makan belum? Makannya
pakai apa?, jangan ditanya yang aneh-aneh kan susah juga yah buat mereka
tar jawabnya. Misalnya udah nikah belum,gimana tadi tidurnya? Terus tanya
kenapa sih diem aja. Nah itu kan berarti udah masuk yang ke permasalahan.
Misalnya dia jawab males ah, kalo senadinya dia udah jawab kasih pengertian
keuntungan bergaul misalnya ko ga mau punya temen sih, kalau kamu engga
punya temen tar kamu sedih loh. Jadi dijelasin dulu keuntungan dan
kerugiannya. Kita jelasin dulu jadi kalau kognitifnya udah tau nanti perlahan
dia mau lakuin itu.
5.
Butuh berapa lama agar pasien terbuka terhadap perawat?
Jawab: kalau untuk pasien yang memang sosialnya bagus butuh waktu yang
tidak cukup lama tetapi jika pasien tersebut ISSOS butuh waktu yang lama.
Misalnya berbulan-bulan dan intens. Misalnya setiap hari yah.
6.
Hambatan yang mempengaruhi pasien susah berkomunikasi apa sih pak?
Jawab: waham, caranya mengembalikan ke dunia yang nyata. Dan itu susah.
Moodnya yang g bagus.
7.
Ketika pasien yang paranoid bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka?
Jawab: kita tanya baik-baik dan selidiki dengan bahasa yang baik misalnya “
emang dikejar-kejar sama siapa?” terus tanya lagi ke temannya “ bener engga
dikejar-kejar?” jika temannya tidak merasa seperti itu tidak ada, maka kita
kasih pengertian bahwa pasien salah misalnya “berarti yang bapak dengarkan
salah pak, berarti itu bapak tidak ada apa-apa” kita deskripsikan dulu apa
yang dia lihat lalu kita bandingkan dengan apa yang dilihat temannya lalu kita
kasih pengertian bahwa apa yang dilihatnya tidak benar adanya. Berarti kita
bujuk/persuasi supaya mereka tidak memikirkan apa yang dia lihat.
8.
Jika pasien takut untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak mau
berbicara maka apa trick yang sebaiknya digunakan?
Jawab: makanya kita kenalkan dulu diri kita siapa misalnya “ saya namanya
pa ini, saya yang akan merawat bapak disini, itukan tujuannya pasien engga
takut, pasien percaya pada kita,, itu langkah awalnya untuk membangun rasa
percaya.
9.
Untuk menghadapi pasien ini kita sebagai komunikator harus sabar dan
tenang dan dua tips itu tips yang sama saat menghadapi anak-anak yah pa,
lalu apa bedanya pak menghadapi pasien gangguan jiwa ini dengan anakanak?
Jawab: harus sabar, tidak seperti menghadapi orang yang normal langsung
faham, tetapi harus berulang-ulang. Dan belum tentu dia ngerti yah karna
pasien yang kita ajak ngobrol diem, dengan cara persuasif misalnya, “Coba
kamu diem dulu”. Tapi kalau seandainya dia tidak bisa diem , ya udah kamu
masuk dulu deh, ngbrolnya nanti (kita alihin) dan adakalanya butuh intonasi
tinggi kalau pasiennya di deketin secara halus engga bisa, agak sedikit
dibentak. Biasanya pasien takut misalnya, “Diem kamu, kamu masuk dulu
deh” intonasinya di tinggikan dan pasien jika melihat ekspresi kita begitu dia
takut juga ya. Biasanya dia nurut. Tetapi cara tersebut jika diperlukan saja
jika pasiennya susah baru.
Mengetahui
Mamat Sutedi, Amd Kep
HASIL WAWANCARA
Narasumber
: Ernawati, Amd Kep
Jabatan
: Perawat di ruang Yudistira
Tanggal
: 17 Februari 2015
1.
Bedanya seperti apa bu pendekatan komunikasi dengan pasien skizofrenia
hebefrenik dengan yang paranoid?
Jawab: cara pada intinya sama, tapi cara penyerapan pasien yang berbeda,
kalo yang hebefrenik agak susah yah, dia mau diajarin yang gimana juga yah
begitu-begitu aja terus, kalo yang paranoid gampang sejalan dengan terapi
obat, terapi oral dari perawat jadi cepet, beda sama yang hebefrenik.
2.
Lalu bagaimana strategi yang dilakukan oleh perawat ketika memang sulit
menghadapi pasien hebefrenik?
Jawab: kalo yang hebefrenik yah kita lebih ke pemenuhan ADL dia
kebutuhan daily activity misalkan kebutuhan tidurnya, makannya, mandinya,
itu lebih kesitunya. Jadi kalo untuk penyembuhan kemampuan sosial/interaksi
itu agak susah.
3.
Lalu bagaimana cara perawat mengajak pasien agar dia mau ikut memenuhi
kebutuhan ADLnya?
Jawab: yah kita fasilitasi, klo mandi kita fasilitasi alatnya, kita motivasi, kita
ajak, kalo yang paranoid kan dengan berjalannya waktu dia bisa sendiri tapi
kalo yang hebefrenik harus selalu diajak, dimotivasi
4.
Salah satu hambatan pasien hebefrenik kan dia bertingkah laku seperti anakanak sama bicara melantur dan sibuk dengan dunianya, lalu bagaimana
strategi komunikasi perawat ketika menghadapi pasien yang seperti itu?
Jawab: macam-macam tipenya tapi yang tipenya seperti itu kita ada teknik
focusing, apa yang ingin kita dengar itu di fokuskan. Jadi kalau dia mutermuter
kemana-mana
maka
diarahkan
kesitu.
Misalnya
kita
akan
membicarakan tentang halusinasi dia ya udah kita bicara terkait halusinasi dia
saja, jadi engga ngelantur kemana-mana.
5.
Jadi message yang disampaikan langsung, jelas dan to the point tidak
memakai basa-basi terlebih dahulu yah bu?
Jawab: kalau awal iya pasti ada basa-basi dulu untuk bina trust, tapi setelah
bina trust terjalin maka kita langsung difokuskan tentang apa yang akan kita
ketahui tentang dia.
6.
Apakah ada feed back dari pasien saat perawat berinteraksi dengan pasien?
Jawab: ada cuman hampir rata-rata yang diomongin hampir sama, kalo hari
ini yang obrolin itu yah besok juga yang diobrolin akan sama juga. Kenapa
sama, karena yang ingin ia dengar, yang ingin ia bicarakan seputar itu-itu
saja. Tetapi paranoid lebih gampang kalo yang paranoid ditanya-tanya biasa
akan langsung nyambung.
7.
Apakah pasien bertanya kembali ke perawat/komunikan bertukar peran
menjadi komunikator?
Jawab: ada beberapa kalo pasiennya ISOS ia akan jawabnya ia tidak, ia tidak
aja tapi kalo memang pasiennya yang kooperetif ia akan tanya balik.
8.
Apa tujuan perawat berinteraksi dengan pasien?
Jawab: tujuannya yang untuk kesembuhan dia, saat pulang nanti seperti
marah-marah, ngomong sendiri, g mau mandi, ngamuk-ngamuk g jelas, nah,
sepuluh item itu ya paling tidak beberapa item itu hilang.
9.
Apakah pasien ISOS bisa dirubah menjadi orang yang bersosialisasi?
Jawab: tergantung jika memang awal mulanya dia memang orangnya mau
bergaul tapi kalo memang tidak yah balik lagi sama. Jadi kembali sesuai
dengan kegiatannya yang sebelumnya.
Mengetahui
Ernawati, Amd Kep
HASIL WAWANCARA
Narasumber
: Nurmilah, Amd Kep
Jabatan
: Perawat di ruang Yudistira
Tanggal
: 17 Februari 2015
1.
Pendekatan personal yang seperti apa yang digunakan jika pasien sedang
agresif?
Jawab: pendekatannya ya itu paling kita kontrak dulu, kalo misalkan mau
ngobrol dulu, kan kadang pasien suka moodnya suka g bagus jadi paling
bikin janji dulu. Engga langsung sih, paling kaya gini contohnya, nanti
misalkan jam 10 kita ngobrol yah trus perkenalan, ajak ngobrol tentang
ngontrol emosi. Pendekatannya juga sama kalo dari segi bahasa paling pakai
bahasa indonesia, kalo yang dari sunda ya pake bahasa sunda.
2.
Jika tipe pasien isolasi sosial (ISOS) yang karakternya susah untuk
berinteeraksi, maka pendekatan komunikasi yang seperti apa yang
digunakan?
Jawab: kalo ISOS, paling kita dicoba berkali-kali, misalnya kalo engga mau
ngobrol hari ini bisa dideketin besok, yah intinya yang sering-sering aja,
soalnya kan kenapa dia gak mau ngobrol karna emang ada bisikan buat engga
mau ngobrol. Dan cara ngilangin bisikannya diajak ngikutin kegiatan aja.
Misalnya, ayo kita nyapu, ayo kita ikut terapi. Yah gimana trustnya sih yah.
3.
lalu ketika ada pasien yang tidak percaya dengan susternya yang
menimbulkan susahnya berinteraksi, maka strategi komunikasi apa yang
digunakan agar dia percaya?
Jawab: ya, kita kontrak terus sih yah, misalnya jam segini yah kita ketemu,
terus ngenalin diri aja kalo dia udah mau bareng kita. Salam terapeutik paling
yah, kaya. Assalamualaikum, gimana kabarnya?
4.
Apakah terdapat
feed back dari komunikan saat berkomunikasi dengan
komunikator?
Jawab: feed back mah ada pastinya kalo emang udah ada rasa percaya.
5.
Saat masa akhir tindakan keperawatan bagaimana cara berkomunikasi dengan
pasien agar mereka tidak merasa sedih dan tambah tertekan saat berpisah
dengan perawat?
Jawab: kita kasih pengertian aja, kan disini tuh engga selamanya, kan disini
ada waktunya. Intinya trust sama kontrak aja yah.
6.
Bagaimana kondisi pasien yang menderita hebefrenik?
Jawab: kalo yang hebefrenik sih susah yah, kadang kalo kita ngomong engga
di denger, dia kan udah sibuk yah dengan dunianya.
7.
Lalu, dengan keadaan pasien yang seperti itu, pendekatan apa yang
digunakan agar mereka mau mendengarkan instruksi perawat?
Jawab: yah, kita ngikutin mereka dulu, iya kalo dia lagi sibuk dengan
fikirannya, kita fokusin dulu ke kita, difokusin pasiennya misalnya sini
ngobrol sama suster dulu, dan langsung ikutin instruksi kok, asalkan
bicaranya pelan-pelan, yah kaya ngajak aja. Intinya yah harus sabar, terus
harus difokusin juga, kaya sini dengerin dulu suster bicara. Gitu. Hanya saja
buat pasien yang ISOS dan hebefrenik yah kita yang aktif buat bicara. Karena
kadang dia hanya jawabnya ya, tidak, udah, belum. Gitu aja, mending kalo
ada verbalnya. Malah kadang dia Cuma diem. Makanya tergantung
kemampuan perawatnya sih mancing kemampuan pasiennya.
8.
Mana yang lebih sulit, lebih sulit berkomunikasi dengan tipe pasien ISOS
atau dengan pasien tipe hebefrenik?
Jawab: yah susahan yang hebefrenik yah, kadang suka engga nyambung.
Kalo yang ISOS masih mending yah karena ada timbal baliknya. Walaupun
jawabnya singkat-singkat. Yah kalo yang hebefrenik paling di fokusing dulu
aja. Paling yah kaya gitu-gitu aja yah kalo buat berkomunikasi paling kaya
bina rasa trust, sering dideketinnya, sama di fokusin.
Mengetahui
Nurmilah, Amd Kep
HASIL WAWANCARA
Narasumber
: Siti Rohmah, Amd Kep
Jabatan
: Perawat di ruang Yudistira
Tanggal
: 17 Februari 2015
1.
Ceritakan tentang pengalaman ibu, bagaimana cara ibu berinteraksi dengan
pasien gangguan jiwa?
Jawab: kalau di ruang krisna kalo pasien yang baru dateng dimana kondisi
pasien masih sangat gelisah sehingga sulit untuk bina trust karena kita baru
pertam ketemu trus kondisi pasien juga masih sangat gelisah trus juga terus
belum dikasih obat, makanya di ruang ini kita minimalkan untuk banyak
interaksi, paling Cuma langsung tindakan aja misalkan suntikan penenang
soalnya di kasih obatnya juga lewat injeksi kadang-kadang kalo makin parah
kita isolasi, paling delapan jam kemudian ada evaluasi kalo seandainya
keadaan pasien udah mulai tenang baru di ajak interaksi dengan cara baikbaik, ya nanyanya paling sekitar, inget g dibawa kesini kenapa?
2.
Lalu apakah pasien langsung memberikan feed back atas apa yang
ditanyakan?
Jawab: rata-rata pasien yang gelisah terus langsung di injeksi obat biasanya
masih pada bengong-bengong aja, soalnya efek dari obatnya belum
maksimal, rata-rata sih suntikan tiga hari, kalo udah lebih dari tiga hari baru
udah mulai bisa ditanya. Awalnya kita bina trust dulu aja jangan terlalu
menyinggung tentang masalah dia, jangan memvonis kalau dia itu salah yah,
misalnya, kamu udah ngerusak rumah yah kamu, ngerusak kaca yah kamu,
biasanya langsung marah, kondisina masih labil soalnya, pendekatannya
misalnya, kenapa sih di rumah?, ada apa sih emangnya? Kegiatanya lagi apa?,
inget engga waktu kesini karena apa?,
3.
Lalu apakah ada pasien yang langsung emosi setelah ditanya tentang hal
tersebut?
Jawab: ada pasti misalnya, udh deh engga usah nanya-nanya, ada juga yang
langsung pergi.
4.
Lalu bagaimana cara perawat berkomunikasi dengan pasien yang kondisinya
seperti itu?
Jawab: yah, kalo misalkan dia engga mau berinteraksi kita engga bisa maksa,
kita tinggalin dulu aja. Sampai nanti kondisinya dia sudah makan, kita bisa
tanya lagi. Kalau dia tdak mau bicara dnegan kita berarti dia memang lagi
benar-benar marah, emang bener-bener belum percaya, jadi g usah setiap
ngobrol selalu bisa interaksi engga apa-apa nunggu dulu. Kita harus ngikutin
kondisi pasien. Tar kalao dia udah mulai mau ngobrol nah baru kita mulai
masuk ke masalah dianya. Biasanya dia kan langsung cerita “ia nih di rumah
abisan saya g boleh ini, ya udah saya marahin aja saya pukul”. Gitu aja sih
kalo di ruang kresna (ICU Psikiatri) banyaknya tindakan sih yang. Soalnya
emosinya masih belom stabil, mereka masih agresif.
5.
Lalu bagaimana cara perawat mengontrol pasien yang sedang sangat agresif
seperti itu?
Jawab: ya kalo masih bisa pake injeksi, kita injeksi dulu dan engga digabung
sama pasien lain sampe dia bener-bener tenang. Ciri-ciri engga tenangnya
misalnya gedor-gedor, teriak-teriak yah kita fiksasi dia.
6.
Lebih efektif mana antara interaksi dan penyembuhan obat?
Jawab: sebenarnya untuk menghilangkan rasa gelisah lebih efektif obat tapi
kalau obat saja tidak ada interaksi sama aja, ya istilahnya butuh perhatian,
mungkin alasan mereka dirawatpun karena memang kurang perhatian, dengan
disini ia dianggap ada, dia diperhatiian dia diajak ngobrol berarti fifty-fifty.
Mengetahui
Siti Rohmah
HASIL WAWANCARA
Narasumber
: Fujiati, Amd Kep
Jabatan
: Perawat di ruang Yudistira
Tanggal
: 17 Februari 2015
1.
Bagaimana cara agar pasien isos mau untuk terbuka atau berbicara dengan
perawat sehingga masalah dapat diketahui?
Jawab: pendekatannya sedikit tapi sering soalnya pasien yang isolasi sosial,
jika perawat banyak bertanya atau banyak mengajaknya berinteraksi ia akan
lebih banyak diam, makanya frekuensinya lebih sering tetapi dengan sedikit
pertanyaan. Jika nanti bertemu lagi nanya lagi. Misalnya: kenapa kok, diam
saja tidak mau gabung dengan yang lain? Jika pasien tidak mau menjawab
maka beri pertanyaan yang lain. Misalnya, kalo di rumah kenapa sih dibawa
kesini sama keluarga? Misalnya dia menjawab. Jika dari tiga pertanyaan dia
dapat menjawab 1 pertanyaan sebenarnya itu sudah bagus. Jika dari ekspresi
muka, gesture dan dia sudah tidak dapat diajak berinteraksi maka akhiri
komunikasi dan buat kontrak lagi untuk bisa bercakap-cakap di kemudian
hari. Dan jika sudah bertemu lagi maka jangan langsung ke pertanyaan yang
sama tetapi dimulai dengan pertnyaan basa-basi yang lain dulu, nanti setelah
sekiranya pasien sudah terlihat nyaman baru kembali ke pertanyaan yang
dituju. Adapun pertanyaan yang dapat ditanyakan agar pasien mau terbuka
ialah bertanya mengenai mengapa ia dibawa kerumah sakit? Mengapa ia tidak
mau bergabung dengan yang lain? Mengapa interaksi ini penting agar pasien
setidaknya mau mengikut bujukan perawat untuk setidaknya mau menjaga
kebersihan dirinya.
2.
Sebenarnya data mengenai pasien didapat dari mana?
Jawab: jika memang pasien ISOS (isolasi sosial) maka data akan didapat dari
keluarga, tetapi seiring dengan seringnya kita berinteraksi dengan pasien dan
tergantung dengan pandai tidaknya perawat berinteraksi dengan pasien maka
pasien akan sedikit-demi sedikit terbuka. Terlebih jika sudah ada bina trust.
Jika pasien ISOS maka bagaimana perawat menggunakan, yah memang yah
setiap orang memiliki tekhniknya sendiri. Dan jika pasien dalam keadaan
ISOS ketika mau berhubungan/interaksi dengan mereka jangan banyak
berhubungan dengan kertas. Jadi proses bertanyapun jangan memegang
kertas, karena itu akan membuat curiga pasien. Udah dia ISOS kan? Terus
ditambah lagi dia curiga.
3.
Jadi proses interaksi harus dibuat senatural/se nonformal mungkin yah?
Jawab: maksudnya kita jangan, dari pertanyaan sepuluh, kita jangan 10 juga
dapat jawaban. Karena dengan dua pertanyaan aja dapat di jawab oleh pasien
ISOS itu udah sangat bagus.
4.
Butuh waktu berapa lama agar trust dapat terjalin antara perawat dengan
pasien ISOS?
Jawab: kita, tidak bisa pastikan waktu, kalo untuk bina trust pasien-pasien
ISOS karena kan masing-masing pasien belum tentu sekarang keteku
sekarang mau berinteraksi/kenalan. Iyakan? Mungkin bisa seminggu,
mungkin bisa dua minggu, tergantung pasiennya dan tergantung pendekatan
si petugasnya. Semakin sering berinteraksi maka pasiennya mungkin bisa,
tapi semakin sering juga pasiennya kadang-kadang bete.
5.
Bagaimana
strategi
perawat/ibu
ketika
pasien
tidak
mau
berinteraksi/berkomunikasi dengan perawat ketika sedang bad mood/tidak
mau berkomunikasi ?
Perawat: kalo nanya teknik saya, sepertinya banyak cara yah, bisa pendekatan
dulu, bisa kita sambil sentuh dia, bisa kasih pujian dia.
6.
Memang pasien gangguan jiwa dibolehkan untuk disentuh yah bu?
Jawab: sentuh dalam artian gini, saya kan suka menggandeng pasien tuh,
itukan secara tidak langsung kita bina trust juga, seperti yang tadi pasien baru
itu, dia kan memang pasien yang susah yah, akhirnya aku dengan sentuhan itu
kadang-kadang pasien suka mudah percaya.
7.
Jadi intinya bina trust dulu hingga akhirnya pasien mau terbuka untuk
berinteraksi?
Jawab: yah, tentu karena kalo pasien langsung ditanya begini-begini, yah
belum bisa.
8.
Apakah semua pasien gangguan jiwa dihadapi sengan cara yang serupa bu
agar mau diajak berkomunikasi?
Jawab: oh beda, hanya saja pasien ISOS itu agak sulit yah, karena untuk bina
trust aja susah. Tapi jika pasien yang dengn RPK (riwayat pelaku kekerasan)
tidak sesulit dengan pasien ISOS dan cara penanganannya juga beda, kalo
memang dia riwayat RPK ya, kita masih bisa komunikasnya bagus sama dia
terutama jika pasiennya udah agak lama yah. Misalnya kenapa sih kamu bisa
sampe sini? Kenapa sih kamu mecahin gelas? Jawaban pasien: saya marah,
perawat: kenapa kamu marah? Sekarang masih ada gak marahnya? Yah
seputar itulah.
Intinya pendekatannya itu harus heart to heart (hati ke hati) secara
baik-baik, lembut dan pengertian.
Saat berkomunikasi meski ada teori tapi kita tidak terlalu berpacu
pada teori tersebut, artinya proses komunikasi bersifat natural saja dan sangat
disesuaikan dengan keadaan pasien, agar pasien nyaman.
9.
Apa yang menyebabkan pasien tidak percaya pada perawat sehingga
komunikasi tak dapat terlaksana dengan baik?
Jawab: itu kembali kepada pasien dan kembali pada keluarga, bagaimana dia
teknik mendidik anak, karena balik-baliknya kesitu juga, misalnya awalnya
dia pendiam. Tetep keluarga itu berperan penuh dalam mendidik anak,
kenapa ia jadi ISOS kenapa ia RPK tetep kembalinya pada keluarga. Jadi,
solusinya perawat harus intens dan sabar menggali informasi dan berinteraksi
dengan pasien ISOS dan RPK.
10. Lalu dari segi pemilihan pesan atau redaksi, jenis redaksi yang seperti apa
yang digunakan untuk berkomunikasi dengan pasien?
Jawab: kita pake sistem family aja, jadi gini, seolah-olah kita sudah kenal
banget dengan lawan bicara kita itu. Kalo misalkan dia orang sunda ya
kitanya juga pake bahasa sunda, untuk mudah supaya lawan bicara lebih
terbuka kepada perawat. Kalo saya sih seperti itu, teknik-teknik seperti itu.
Tapi kan masing-masing person beda-beda yah.
Mengetahui
Fujiati, Amd Kep
A. FOTO-FOTO
1. Foto-foto ruang perawatan
2.
Foto-foto peneliti dan perawat
Download