KOMUNIKASI ANTARPRIBADI PERAWAT TERHADAP PASIEN SKIZOFRENIA DALAM PROSES PENINGKATAN KESADARAN DI RUMAH SAKIT JIWA DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I) Oleh: DWI ASRIANI NUGRAHA NIM: 1111051000088 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M ABSTRAK “Komunikasi Antarpribadi Perawat Terhadap Pasien Skizofrenia dalam Proses Peningkatan Kesadaran di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor”. Komunikasi merupakan kebutuhan seluruh makhluk sosial tak terkecuali orang yang sedang mengalami gangguan jiwa, namun pada realitas yang ada mereka seringkali diasingkan oleh keluarga dan lingkungan sekitar, sebenarnya hal tersebutlah yang menjadi salah satu penyebab kondisi psikologisnya semakin tertekan. Terdapat perbedaan kondisi antara komunikator dan komunikan, yang mana komunikator memiliki kesehatan emosional yang stabil sedangkan komunikan memiliki gangguan emosional. Namun hal tersebut justru tidak menyurutkan semangat para perawat untuk dapat menyembuhkan penyakit pasien. Salah satu metode penyembuhan yang digunakan ialah metode interaksi langsung. Kondisi inilah yang membuat penulis tertarik tentang bagaimana jika kita selaku manusia sehat jika dihadapkan dengan mereka yang sedang sakit. Ada beberapa pertanyaan yang semoga dapat terpecahan ketika penelitian selesai. Adapun pertanyaan yang dimaksud meliputi: bagaimana komunikasi antarpribadi yang dilakukan para perawat terhadap pasien skizofrenia di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor? dan apa hambatan-hambatan yang ditemui perawat saat berkomunikasi dengan pasien skizofrenia? Agar penelitian ini dapat terarah dan reliable maka teori yang menjadi acuan penelitian ini ialah teori Penetrasi Sosial teori ini dikembangkan oleh Altman dan Taylor dan teori ini berupaya mengidentifikasi proses peningkatan keterbukaan dan keintiman seseorang dalam menjalani hubungan dengan orang lain yang artinya seseorang mengenal orang lain secara gradual melalui komunikasi yang semakin meningkat. Adapun pendekatan penelitian yang digunakan ialah pendekatan penelitian kualitatif, dengan paradigma klasik, jenis metode penelitian field research (studi lapangan) dan menggunakan descriptive qualitatif case study methode. Dan data didapat dengan menggunakan teknik wawancara, observasi, studi kepustakaan, dan studi rekaman arsip. Teknik komunikasi antarpribadi yang dilaksanakan oleh perawat ketika menghadapi pasien ditandai dengan jalinan komunikasi yang bersifat nonformal sehingga pasien merasa nyaman akan proses yang sedang dijalani dan proses komunikasi selalu dilaksanakan dalam jarak yang dekat sehingga umpan baliknyapun dapat dilihat secara langsung. Hambatan yang ditemui pasien meliputi halusinasi, keadaan jiwa yang belum stabil, belum terjalinnya rasa percaya pasien terhadap perawat, keengganan pasien untuk berkomunikasi, pembicaraan pasien yang inkoheren, perawat tidak mengerti apa yang diucapkan oleh pasien, dan tingkat kesabaran perawat masih minim. Dengan demikian proses komunikasi merupakan proses yang sangat penting untuk dijalin antara perawat dan pasien karena jika proses ini tidak dijalin dengan baik maka perawatpun akan sulit untuk mengarahkan kesembuhan pasien. dan proses komunikasi ini juga penting diterapkan agar rasa percaya diri pasien semakin meningkat sehingga ia termotivasi untuk sembuh dan hidup normal seperti sedia kala. i KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrahim “Aku sesuai dengan prasangkaan hambaKu terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingatKu. Apabila dia mengingatKu dalam dirinya, maka Akupun akan mengingatnya dalam diriKu, apabila dia mengingatKu dalam suatu jemaah manusia, maka Akupun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekatiKu sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta, apabila dia mendekatiKu sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepadaKu dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari. (HR. Muslim) Segala puja dan puji kepada Zat yang maha dahsyat, Zat yang mengenggam segala unsur duniawi dan ukhrawi, Zat yang meliputi apa yang terfikir dan apa yang tidak terfikir. Maha besar Allah SWT atas segala nikmat dan karuniaNya. Shalawat yang bertangkaikan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan agung kita nabi Muhammad SAW yang senantiasa membimbing hambanya dari zaman primitif hingga zaman modern saat ini. Alhamdulillahirabbal‘alamin, penulis tak henti mengucapkan rasa syukur kepada Allah atas segala rahmat dan petunjuknya, sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Karena tanpa pertolongan dari yang Maha Agung mustahil karya ini dapat selesai. Dengan penuh dengan kesadaran penulis merasa bahwa tanpa bantuan dan dukungan baik moril maupun materil peneliti tidak akan dapat menyelesaikan tanggung jawab ini, semuanya terselesaikan berkat arahan, bantuan, petunjuk, ii motivasi serta doa dari semua pihak, seperti Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan kali ini, peneliti mengucapkan amat banyak terima kasih kepada beberapa pihak, diantaranya: 1. Bapak Dr. Arief Subhan M.A sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya. 2. Bapak Rachmat Baihaky, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam beserta Ibu Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, terima kasih atas segala dukungan dan motivasinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 3. Ibu Kalsum Minangsih selaku Dosen Pembimbing Akademik KPI C 2011 yang telah membantu mengarahkan penulis untuk mengikuti proses kegiatan akademik. 4. Prof. Dr. H.M. Yunan Yusuf. MA, Selaku dosen pembimbing yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membantu, mengarahkan dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Seluruh dosesn Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang sangat bermanfaat bagi penulis. 6. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan juga Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta iii yang telah memberikan kemudahan penulis untuk mendapatkan berbagai referensi dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Segenap pihak Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian dan wawancara serta banyak membantu dalam penulisan skripsi ini khususnya Ibu Marni selaku pendukung dari DIKLIT, dan kepada seluruh perawat di ruang Yudistira khususnya Bapak Ahmad Rivai, Bapak Mamat Sutedi, Ibu Ernawati, Ibu Siti Rohmah, Ibu Nurmilah, dan Ibu Fujiati yang berkenan memberikan banyak informasi tentang pola komunikasi perawat terhadap pasien skizofrenia. 8. Kepada ayahanda tercinta Juaeni, dan ibunda tersayang Siti Hasanah. Terima kasih karena selalu memberikan kepercayaan anakmu ini untuk memilih. Hampir setiap nafas yang kau hembuskan hanya untuk berdoa agar semua putra-putrimu kelak bahagia, dan ini persembahan awalku bahwa memenuhi harapanmu adalah tujuan utamaku, semoga pintu rahmah dan rahimnya senantiasa menemani setiap derap langkahmu. Amin. 9. Kakakku tercinta Agung Cahya Nugraha, SE. Terima kasih atas dukungan dan motivasinya yang kerap diberikan kepada penulis. 10. Adikku tercinta Sayyid Fajrin Nugraha. Terima kasih atas dukungan dan doanya yang senantiasa diberikan kepada penulis. 11. Teman-teman seperjuangan KPI angkatan 2011, khususnya KPI C yang saling membantu dan memberikan dukungan agar kita bisa sukses bersama. 12. Kakak-kakak dan kawan-kawan semua di UKM Bahasa-FLAT terima kasih atas dukungan, motivasi dan doanya yang selalu diberikan kepada penulis hingga akhinya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. iv 13. Sahabat-sahabat La-Flamme terima kasih untuk tetap terus berkembang bersama, terima kasih atas dukungan, motivasi serta doanya, semoga persahabatankitaakantetapterusberlangsungselaludanselamanya. 14. Sahabatku Siti Khafidoh, Faramudita Dwi Iriyani, Siti Roudhotul Fushiah, terima kasih karena telah banyak meramaikan sepinya duniaku. Semoga persahabatan kita tidak berhenti sampai disini. Dan terima kasih pula atas dukungan, motivasi dan doanya hingga akhirnya penulis terpacu untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. 15. Sahabat-sahabat KKN KITA Desa Karya Mekar, Kecamatan Cariu, Bogor 2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah mendukung serta memotivasi penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah membantu, mendukung dan mendoakan kepada peneliti. Semoga Allah SWT semakin memberikan karunianya kepada kita semua. Terima kasih atas segalanya dan mohon maaf atas segala kekhilafan. Semoga skripsi ini dapat selalu bermanfaat bagi pembaca, dan khusunya bagi peneliti. Amin Yaa Robbal Alamiiin. Jakarta, 19 Juni 2013 Penulis v DAFTAR ISI ABSTRAK ........................................................................................................................ I KATA PENGANTAR ...................................................................................................11 DAFTAR ISI ................................................................................................................VII BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F. G. BAB II Latar Belakang Masalah .............................................................................1 Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................8 Tujuan Penelitian .......................................................................................8 Signifikansi Penelitian ...............................................................................9 Metodologi Penelitian ..............................................................................10 Tinjauan Pustaka ......................................................................................18 Sistematika Penulisan ..............................................................................20 KAJIAN TEORI TENTANG KOMUNIKASI ANTARPRIBADI, KOMUNIKASI TERAPEUTIK DAN KONSEP SKIZOFRENIA A. Kajian Ilmiah Mengenai Komunikasi Antarpribadi .................................21 1. Pengertian Komunikasi Antarpribadi ................................................21 2. Komponen-Komponen dalam Komunikasi Antarpribadi ..................21 3. Proses Komunikasi Antarpribadi .......................................................28 4. Ciri-Ciri Komunikasi Antarpribadi ....................................................29 5. Tujuan Komunikasi Antarpribadi ......................................................31 B. Teori Penetrasi Sosial ...............................................................................34 1. Pengertian Penetrasi Sosial .................................................................34 2. Tahapan Proses Penetrasi Sosial .........................................................35 C. Komunikasi Terapeutik ............................................................................38 1. Pengertian Komunikasi Terapeutik ....................................................38 2. Relevansi Komunikasi Terapeutik ......................................................38 3. Tujuan Komunikasi Terapeutik ..........................................................39 4. Komponen Esensial Komunikasi Terapeutik .....................................39 5. Metode-Metode Komunikasi Terapeutik ............................................41 6. Teknik Komunikasi Terapeutik ..........................................................45 D. Skizofrenia ................................................................................................48 1. Pengertian Skizofrenia ........................................................................46 2. Ciri-Ciri Utama Skizofrenia ................................................................48 3. Faktor-Faktor Pemicu Skizofrenia ......................................................50 4. Aneka Ragam Skizofrenia...................................................................51 vi BAB III GAMBARAN UMUM RUMAH SAKIT JIWA DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR A. Profil Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ..................54 B. Visi, Misi dan Tujuan .........................................................................58 1. Visi................................................................................................57 2. Misi ...............................................................................................57 3. Tujuan ...........................................................................................57 C. Fasilitas Pelayanan Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ......62 D. Ketenagakerjaan .................................................................................66 E. Grafik Kinerja Pelayanan ...................................................................67 F. Data Riwayat Penyakit Gangguan Jiwa Pasien Tahun 2013-2014.....69 1. 10 Besar Diagnosa Rawat Darurat Kasus Psikiatri ......................69 2. 10 Besar Diagnosa Rawat Jalan Kasus Psikiatri ..........................72 3. 10 Besar Diagnosa Rawat Inap Kasus Psikiatri ...........................76 BAB IV ANALISIS POLA KOMUNIKASI ANTARA PERAWAT TERHADAP PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR A. Identifikasi Informan ...........................................................................80 1. Identifikasi Perawat Kejiwaan Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Marzoeki Mahdi Bogor ...................................................................................80 2. Identifikasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. H.. Marzoeki Mahdi Bogor ..................................................................84 B. Komunikasi antarpribadi Perawat Terhadap Pasien Skizofrenia di Rumah sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ...............................86 1. Analisis Pengembangan Hubungan antara Perawat terhadap Pasien Skizofrenia ......................................................................................87 2. Analisis Komunikasi Terapeutik dalam Pengembangan Hubungan Perawat terhadap Pasien Skizofrenia ............................................111 3. Peran Dakwah dalam Peningkatan Kesadaran Pasien di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ...................................117 C. Hambatan-Hambatan Yang Ditemuia Perawat Saat Berkomunikasi dengan Pasien Skizofrenia ..................................................................119 1. Hambatan yang Terdapat Dalam Diri Pasien ...............................120 2. Hambatan yang Terdapat Dalam Diri Perawat ............................123 BAB V PENUTUP .......................................................................................................125 A. Kesimpulan ...................................................................................125 B. Saran .............................................................................................126 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................129 LAMPIRAN-LAMPIRAN vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Proses komunikasi merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat dipungkiri oleh kita sebagai makhluk sosial. Komunikasi akan semakin efektif jika didasari dengan rasa pengertian, keterbukaan, empati dan kepercayaan antara sesama peserta komunikasi. Dan jika setiap individu memahami betul unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Unsur-unsur yang dimaksud ialah sumber (source), pesan (message), saluran (channel), penerima ( receiver, audience), pengaruh (effect) dan umpan balik (feed back). Dalam proses komunikasi perubahan sikap dalam diri penerima (receiver) penting adanya karena hal itu sebagai pembuktian bahwa komunikasi telah berjalan secara efektif meski prosesnya berjalan secara tatap muka atau tidak. Komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non verbal.1 Adapun komunikasi ini dapat dilaksanakan antara orang tua dan anak, guru dan murid dan juga hubungan antara perawat dan pasien. Perawat merupakan seseorang yang memiliki tugas dan amanah untuk dapat merawat pasien yang sedang sakit, baik sakit fisik maupun sakit karena 1 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal (Jogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 3. 1 2 gangguan emosional/mental. Gangguan emosional/mental meliputi ketidakpuasan dengan karakteristik, kemampuan, dan prestasi diri; hubungan yang tidak efektif atau tidak memuaskan; tidak puas hidup didunia atau koping yang tidak efektif terhadap peristiwa kehidupan dan tidak terjadi pertumbuhan personal.2 Gangguan mental ini juga kerap disebut dengan psikosis dan psikosis ini biasanya di klasifikasikan menjadi dua kelompok utama yaitu psikosis organik dan psikosis fungsional. Psikosis fungsional ialah gangguan mental yang berat dan sangat melibatkan seluruh kepribadian tanpa ada kerusakan jaringan saraf. Kategori psikosis fungsional terbagi lagi menjadi tiga kelompok yaitu, skizofrenia, gangguan Bipolar, dan gangguan-gangguan psikotik lain. Konsep skizofrenia ini merupakan suatu gangguan mental yang berat dengan ciri-ciri khasnya adalah tingkah laku aneh (bizar), pikiran-pikiran aneh, dan halusinasihalusinasi pendengaran dan penglihatan (yakni “mendengar suara-suara atau melihat hal-hal yang tidak ada”).3 Faktor yang menyebabkan gangguan jiwa berat (Skizofrenia) ialah faktor individual meliputi struktur biologis, ansietas, kekhawatiran dan ketakutan, ketidakharmonisan dalam hidup, kehilangan arti hidup. Dan juga faktor interpersonal seperti komunikasi yang tidak efektif dan lain-lain.4 Melihat kondisi pasien maka timbulah sebuah pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya para perawat melakukan pendekatan komunikatif terhadap pasien yang memiliki kondisi emosional yang tidak stabil, psikologis yang tidak kondusif dan pola pikir yang dipenuhi dengan halusinasi agar pasien mau 2 Sheila L. Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa (Jakarta: Keperawatan: 2008), h. 4. Yustinus Semiun, OFM, Kesehatan Mental 3 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 20. 4 Sheila L. Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 4. 3 3 mengikuti bujukan perawat. Contohnya, bagaimana cara perawat mengajak pasien skizofrenia yang tengah sibuk dengan dunianya sendiri agar pasien mau mengalihkan dunianya dengan berinteraksi dengan orang lain/perawat. Atau bagaimana cara perawat membujuk pasien untuk mengikuti terapi dan menjaga kesehatan pasien seperti mejaga kebersihan diri dan lain-lain. Kondisi pasien yang memiliki banyak kekurangan ini menyebabkan banyaknya hambatan dan rintangan yang akan dihadapi oleh petugas kesehatan namun tetap saja ia dituntut untuk bisa menghadapi kesulitan tersebut. dan berkat kegigihannya hingga akhirnya ia mampu membuat iklim interaksi yang baik dengan pasien skizofrenia. Sebenarnya yang memiliki kewajiban untuk ikut menyembuhkan pasien skizofrenia tidak hanya pihak rumah sakit saja namun juga masyarakat luas. Karena, penderita penyakit ini juga merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri namun akibat kurangnya informasi tentang penyakit skizofrenia dan bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien ini menyebabkan stigma negatif menjamur dalam pikiran masyarakat. Masyarakat menganggap mereka sangat berbahaya, bodoh, aneh, dan tidak bisa disembuhkan, padahal sudah banyak bukti yang berbicara sebaliknya. Pendapat ini juga selaras dengan hadist nabi Muhammad SAW sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim danAhmad (dari jabir bin Abdullah r.a), sabdanya: )لِ ِكلِِ ِداِءِِ ِدِوِاءِِفِإِِ ِذاأصيْبِدواءال َّداءبرأبإ ْذنِهللاِع َّزوجلِ(اخرجهِمسلم Likulli daain dawaun faidzaa ushiiba dawaaud daai baria bi idznil laahi’azza wa jalla. 4 Artinya: “Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat itu tepat mengenai sasarannya, maka dengan izin Allah penyakit itu akan sembuh”.5 Namun stigma tersebut terus saja melekat dalam diri penderita skizofrenia sehingga sulit dihilangkan. Stigma dan diskriminasi terhadap penderita penyakit ini akan membuat penderita semakin merasa terkucilkan dan tidak diperdulikan, bahkan akibatnya banyak sekali penderita skizofrenia dipasung oleh keluarganya sendiri agar penderita tidak membuat kegaduhan. Padahal hal itu justru akan membuat kondisi mental penderita penyakit ini semakin menurun karena mereka juga seorang manusia yang sudah sepantasnya diberi perlakuan yang sama dengan manusia lainnya atau justru seharusnya mereka diberi perlakuan yang spesial agar gangguan mental cepat kembali pulih. Bukan malah dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan tanpa perawatan yang khusus. Bahkan kebanyakan individu yakin bahwa penderita penyakit ini perlu diasingkan dari masyarakat dan dikirim ke institusi/rumah sakit jiwa.6 Indonesia memiliki banyak rumah sakit namun tak semua rumah sakit menyediakan tempat penyembuhan penderita gangguan mental. Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa semakin modern dan industrial suatu masyarakat semakin besar pula stresor psikososialnya, yang pada gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak mampu mengatasinya. 7 Oleh karena itu berdirinya rumah sakit ini bertujuan agar masalah-masalah dalam masyarakat tersebut dapat terpecahkan dan para penderita gangguan mental dapat 5 Dadang Hawari, Psikiater, Al-qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Yogyakarta: Pt. Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), h. 13. 6 Sheila L. Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 348. 7 Hawari, Psikiater, Al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan jiwa, h. 288. 5 disembuhkan. Inilah beberapa contoh dari lembaga rumah sakit jiwa yang ada di mayarakat: 1. RSJ Soeharto Herdjan, Grogol. Rumah sakit ini beralamatkan di Jl. Prof. Dr. Latumenten 1 dan memiliki visi untuk menjadi pusat unggulan kesehatan jiwa perkotaan dan memiliki misi: a. Melaksanakan pelayanan jiwa sesuai pedoman pelayanan rumah sakit tipe A. b. Melaksanakan pendidikan kesehatan jiwa sesuai dengan pedoman rumah sakit pendidikan. c. Melaksanakan penelitian kesehatan jiwa sesuai pedoman bioetika kedokteran. 2. Sanatorium Dharmawangsa, rumah sakit ini beralamatkan di Jl. Dharmawangsa Raya No. 13 Blok P II Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12610, Indonesia. Adapun visi yang dimiliki yaitu: a. Menyelenggarakan fasilitas/pelayanan dalam atmosfir saling menghormati dan semangat inovatif progresif untuk penanggulangan stress, depresi, skizofrenia dan gangguan zat. b. Memberikan kontribusi ilmiah melalui peningkatan cara-cara pelayanan kepada pasien dan masyarakat luas. Adapun misi yang dimiliki yaitu sebagai fasilitas secara komprehensif dan profesional seluruh variasi kondisi patologik. Dengan aspirasi ke arah pertumbuhan dan perkembangan, mengutamakan pelayanan yang bersahabat, memuaskan bagi pasien dan keluarga di seluruh dunia. 6 3. RSJ Marzuki Mahdi Bogor, rumah sakit ini beralamatkan di Jl. Dr. Sumeru No. 114, Bogor. Adapun visi yang dimiliki ialah ingin menjadikan rumah sakit ini sebagai Rumah sakit jiwa rujukan nasional dengan unggulan layanan rehabilitasi psikososial pada tahun 2019, Sedangkan misi yang dimiliki yaitu: a. Mewujudkan layanan kesehatan jiwa dengan unggulan rehabilitasi psikososial b. Meningkatkan penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan riset unggulan dalam bidang kesehatan jiwa c. Meningkatkan peran strategis dalam program kesehatan jiwa nasional: bebas pasung, pengampunan/pembinaan layanan kesehatan jiwa di layanan primer dan rumah sakit umum. d. Meningkatkan kolaborasi dan pemberdayaan stakeholder. e. Meningkatkan komitmen dan kinerja pegawai untuk mencapai kesejahteraan. 4. RSJ Menur Surabaya, alamat dari rumah sakit ini ialah di jalan Menur No. 120, Menur Prumpung, Sukolali Surabaya, Jawa Timur. Adapun visi yang dimiliki ialah memberikan pelayanan kesehatan jiwa secara optimal dan profesional. Dan misi yang dimiliki yaitu: a. Memberikan pelayanan kesehatan jiwa dibidang promotif, preventif, rehabilitatif bagi masyarakat. b. Memberikan pelayanan kesehatan jiwa sub spesialistik seiring dengan kemajuan IPTEK. c. Mengembangkan kesehaatan jiwa dibidang neuropsikiatri. 7 d. Mengembangkan dan menyempurnakan pendidikana, pelatihan di bidang administrasi rumah sakit. e. Mengembangkan budaya organisasi yang mengutamakan pemeliharaan perbaikan mutu secara terus menerus. Akibat visi dan misi yang berbeda di setiap rumah sakit yang ada menyebabkan proses implementasi penyembuhan pasien sangat beragam. Berdasarkan asumsi yang ada semakin lama instansi tersebut berdiri maka semakin banyak pengalaman dan pelajaran yang diambil. Sehingga telah banyak proses perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh instansi mapan tersebut. Melihat dari pengalaman yang telah dilalui beberapa contoh rumah sakit di atas maka rumah sakit jiwa Marzuki Mahdi Bogor telah memenuhi kualifikasi yang ada sebagai rumah sakit jiwa terbesar setelah rumah sakit Lawang di Jawa Timur dan juga merupakan rumah sakit jiwa pertama di Indonesia. Rumah sakit jiwa Marzuki Mahdi Bogor merupakan rumah sakit pertama yang didirikan pada masa Hindia Belanda pada tanggal 1 Juli 1882, proses perbaikan kualitas pelayanan terus dilakukan oleh rumah sakit ini. sebagai contoh kini RSJ Marzuki Mahdi Bogor bukan hanya ada pelayanan kesehatan gangguan jiwa saja namun juga ada perawatan bagi seorang pecandu narkoba, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA).8 Dari permasalahan diatas maka peneliti tertarik untuk menuangkan permasalahan ini ke dalam sebuah skripsi yang berjudul “Komunikasi Antarpribadi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia dalam Proses Peningkatan 8 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 13 8 Kesadaran di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Dalam Meningkatkan Kesadaran”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Upaya peneliti agar proses dan hasil penelitian dapat dipahami secara komprehensif maka penelitian ini dibatasi pada pokok permasalahan tentang komunikasi antarpribadi perawat terhadap pasien Skizofrenia tipe hebefrenik dan tipe paranoid isolasi sosial (ISOS) di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor pada bulan Februari-Maret 2015. 2. Perumusan Masalah Mengacu pada latar belakang masalah peneliti tertarik untuk mengambil garis merah dari sebuah permasalahan yang terjadi, sebagai berikut: a. Bagaimana komunikasi antarpribadi yang dilakukan para perawat terhadap pasien penderita Skizofrenia di rumah sakit jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor?” b. Apa hambatan-hambatan yang ditemui perawat saat berkomunikasi dengan pasien skizofrenia? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti ialah untuk mengetahui dan memahami bagaimana teknis komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh perawat rumah sakit jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ketika menghadapi pasien Skizofrenia hingga akhirnya pasien tersebut dapat mengikuti instruksi dari perawat bahkan terciptanya proses komunikasi/interaksi yang kondusif. 9 D. Signifikansi Penelitian Adapun signifikansi penelitian ini untuk: 1. Manfaat Akademis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi dan dokumentasi serta dapat turut serta mengembangkan bidang ilmu komunikasi. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi sumber referensi bagi peneliti lainnya yang hendak melakukan penelitian di bidang yang sama, serta dapat pula dijadikan buku pegangan bagi masyarakat yang memiliki permasalahan yang serupa dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini. 2. Manfaat Praktis Setelah penelitian ini selesai dan akhirnya didapatkan sebuah penemuan tentang bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien skizofrenia yang baik, maka peneliti mengharapkan agar seluruh masyarakat dapat menerapkan cara-cara tersebut jika memang terdapat sanak saudara atau masyarakat sekitar yang mengalami gangguan jiwa jenis ini, sehingga baik perawat maupun masyarakat umum dapat memperlakukan penderita skizofrenia dengan santun dan baik. E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Paradigma penelitian ialah sebagai “basic belief system or world view that guides the investigator, not only in choices of methode but in ontologically and epistemololically fundamental ways” yang artinya bahwa paradigma ialah sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang 10 membimbing peneliti, tidak hanya dalam pemilihan metode, tetapi juga caracara fundamental yang bersifat ontologis dan epistemologis.9 Adapun paradigma yang digunakan dalam penelitian ini ialah paradigma klasik. Paradigma ini bersifat objektif dimana data hasil pengamatan sesuai dengan apa yang terjadi dilapangan. Jadi, hasil penelitian hanya tinggal dideskripsikan se-natural mungkin sesuai dengan realitas yang ada. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan kualitatif menurut Creswell didalam bukunya bahwa “Qualitatif research is an inquiry process of understanding based on distinct methodological traditions of inquiry that explore a social or human problem. The researcher builds a complex, holistic picture, analyzes words, reports detailed views of informant, and conduct the study in a natural setting.10 Yang artinya Penelitian kualitatif adalah proses penyelidikan pemahaman berdasarkan tradisi metodologi penyelidikan yang berbeda yaitu dengan mengeksplorasi masalah sosial atau manusia. Peneliti membangun kompleks, menggambarkan secara holistik (menyeluruh), menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan informan secara detail, dan melakukan penelitian dengan pengaturan yang alami atau sesuai dengan kondisi lapangan yang ada. Instrumen dalam penelitian ialah hasil wawancara, angket dan juga observasi dimana saat itu peneliti akan mengumpulkan informasi, foto-foto lalu setelah data tersebut terkumpul maka akan di analisa sesuai dengan sudut 9 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 26. 10 John W. Creswell, Qualitatif Inquiry and Research Design: Choosing among five traditions (California: Sage Publications, 1997), h. 15. 11 pandang dari objek penelitian dan menggambarkan proses tersebut secara ekspresif dan menarik. Alasan mengapa peneliti menggunakan pendekatan ini karena hasil penelitian ingin diketahui secara menyeluruh, mendalam, faktual, sistematis, dan akurat agar tujuan dapat tercapai dan rumusan masalah dapat terpecahkan. 3. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian lapangan (field research). Dan peneliti berupaya untuk menggunakan descriptive qualitatif case study methode. Adapun kasus yang diangkat ialah satu kasus saja (single case). Metode ini dinilai cocok karena dapat dilihat dari rumusan masalah yang telah disusun yang mengangkat unsur bagaimana sebuah kasus itu terjadi di dunia sosial. Dan juga meski masalah utama ialah mengenai gangguan jiwa pasien skizofrenia namun yang menjadi fokus penelitian ialah orang-orang yang ada di sekitar pasien tersebut seperti para perawat. Study kasus lebih dikehendaki untuk melacak peristiwa-peristiwa kontemporer, bila peristiwa yang bersangkutan tak dapat dimanipulasi. Kekuatan yang unik dalam study kasus adalah kemampuannya untuk berhubungan sepenuhnya dengan berbagai jenis bukti-dokumentasi, peralatan, wawancara, dan observasi. Lebih dari itu, dalam beberapa situasi seperti observasi partisipan, manipulasi informal juga dapat terjadi.11 11 Robert K. Yin, Studi Kasus Desain & Metode (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012) h. 12. 12 4. Subjek dan Objek Penelitian a. Subjek Penelitian Adapun subjek penelitian dalam skripsi ialah perawat dan pasien penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. b. Objek Penelitian Objek penelitian ini ialah cara berkomunikasi perawat terhadap pasien penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. 5. Tempat dan Waktu Penelitian Terkait dengan subjek penelitian diatas maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor adapun waktu penelitian terhitung mulai tanggal 13 Februari 2015 hingga tanggal 30 Mei 2015. 6. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data ini ialah dengan menggunakan beberapa teknik yaitu: a. Studi Kepustakaan/dokumentasi Dalam studi kasus, urgensitas dari penggunaan teknik dokumen ialah untuk mendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain. Manfaat yang pertama penggunaan dokumen sebagai proses verifikasi akan ejaan dan judul yang benar dari organisasi-organisasi yang telah disinggung pada proses wawancara. Kedua, dokumen dapat menambah rincian spesifik lainnya guna mendukung informasi dari sumber-sumber lain; jika bukti dokumenter bertentangan dan bukannya mendukung, maka peneliti mempunyai alasan untuk meneliti lebih jauh topik yang 13 bersangkutan.12Teknik ini berguna saat peneliti ingin meneliti tentang berkas-berkas yang berkaitan tentang lembaga penelitian seperti, berkas jadwal kapan saat-saat perawat diperkenankan untuk menemui pasien, lalu petunjuk-petunjuk pelaksaan dan teknis apa saja yang harus dipatuhi oleh perawat ketika menghadapi pasien rawat inap, dan juga mengenai informasi sejarah lembaga terkait. Selain keteranga diatas teknik dokumentasi ini juga dapat berupa kajian literatur seperti mengkaji beberapa jurnal, artikel ataupun buku yang memiliki tema yang sama dengan objek penelitian sehingga hasil penelitian tidak hanya dapat dibuktikan secara praktis saja namun juga dapat dibuktikan secara akademis. b. Rekaman Arsip Rekaman arsip merupakan teknik pengumpulan data yang lebih spesifik bisa merupakan hal-hal yang dibawah ini: 1) Rekaman layanan, contohnya berapa jumlah klien/pasien jiwa yang telah dilayani selama kurun waktu tertentu. 2) Rekaman keroganisasian, seperti bagan struktur keorganisasian dalam periode tertentu, dan ada berapa perawat yang dipekerjakan untuk menghadapi pasien gangguan jiwa dalam kurun waktu tertentu. 3) Peta dan bagan karakteristik geografis suatu tempat; 4) Rekaman pribadi, buku catatan harian, kalender, dan daftar no tlp. 12 Robert K. Yin, Studi Kasus Desain & Metode, h.105. 14 c. Wawancara Wawancara ialah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu dan merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik.13 Metode ini digunakan untuk menganalisis data agar data atau informasi yang didapatkan dapat sebanyak mungkin dan sejelas mungkin. Tipe wawancara yang akan digunakan ialah tipe wawancara yang tidak terstruktur agar sesi tanya jawab lebih bersifat luwes dan terbuka. Peneliti akan langsung mewawancarai para perawat pasien di rumah sakit Marzuki Mahdi. Adapun informan yang akan di wawancarai ialah: 1) Ahmad Riva’I, Amd Kep 2) Mamat Sutedi, Amd Kep 3) Nurmilah, Amd Kep 4) Siti Rohmah Amd, Kep 5) Ernawati, Amd Kep 6) Fujiati, Amd Kep d. Dokumenter Teknik ini merupakan teknik dengan mengambil foto-foto saat wawancara berlangsung dan juga saat peneliti melakukan observasi. Adapun dokumentasi berfungsi sebagai bukti yang dapat menegaskan narasi yang tertulis di skripsi ini. 13 Robert K. Yin, Studi Kasus Desain & Metode, h. 160. 15 e. Observasi Istilah observasi berasal dari bahasa latin yang berarti melihat dan memerhatikan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memerhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antaraspek dalam fenomena tersebut. Adapun menfaat dari observasi/mengamati ialah: 1) Pengamatan merupakan proses dimana seorang peneliti mengalami langsung, dan proses ini merupakan alat yang ampuh untuk melihat sebuah realitas. 2) Dengan mengamati, dimungkinkan melihat dan mengamati langsung kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi di lapangan. 3) Pengamatan juga memungkinkan peneliti mencatat peristiwa yang sesuai dengan pengetahuanyang relevan atau yang berdasarkan dengan data. 4) Data yang diperoleh dari teknik lain dikhawatirkan adanya bias oleh karena itu proses observasi akan mereduksi sisi kebiasan tersebut.14 Seorang peneliti juga harus memperhatikan beberapa unsur penting, yaitu: 1) Ruang dan tempat, setiap gejala (benda, peristiwa, orang dan hewan) keseluruhan akan sebuah gejala yang ada dalam ruang observasi yang akan mencipatakan suasana tertentu patut diperhatikan oleh peneliti. 14 Robert K. Yin, Studi Kasus Desain & Metode, h. 143. 16 2) Pelaku, pengamatan ini mencakup ciri-ciri pasien tertentu sehingga bisa diketegorisasikan, dan ciri-ciri ini akan mempengaruhi bagaimana perawat tersebut menghadapi pasien yang memiliki ciriciri tertentu. 3) Benda-benda atau alat-alat, semua benda dan alat yang berada dalam ruangan yang digunakan oleh subjek penelitian haruslah diamati dan dicatat oleh peneliti. 4) Kegiatan, dalam hal ini peneliti juga harus mengamati kegiatan apa saja atau tahap-tahap komunikasi apa saja yang dilakukan oleh perawat ketika berhadapan dengan pasien hingga akhirnya terciptanya proses komunikasi yang kondusif dan timbulkan keintiman diantara keduanya. 5) Waktu, peneliti harus mengamati waktu saat kapan proses dilakukan dan harus juga mengamati kapan waktu proses interaksi berkembang atau bahkan menurun. 6) Peristiwa, jika terjadi suatu peristiwa diluar dari rutinitas yang ada maka seorang peneliti harus peka untuk mengamati secara seksama dan tidak lupa pula untuk mencatat. 7) Tujuan, semua tujuan dari setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh subjek penelitian dan dapat dilihat dari ekspresi muka dan gerak tubuh, atau ucapan dan gesture. 8) Perasaan, setiap subjek peneliti pasti menunjukan apa yang sebenarnya tersimpan dalam hati dan fikirannya dan hal ini dapat terlihat jika peneliti mengamati komunikasi non verbal yang terjadi 17 saat proses observasi berlangsung seperti mengamati, ucapan, gesture, ekspresi muka dan gerakan tubuh.15 Adapun tipe observasi yang akan digunakan oleh peneliti ialah tipe observasi berperan serta/terlibat, yaitu studi yang disengaja dan dilakukan secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan, dimana pengamat atau peneliti terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari dari subjek atau kelompok yang diteliti.16Adapun menurut penadapat Spindler pedoman umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan pengamatan perperan serta ialah sebagai berikut: 1) Pengamatan yang dilakukan harusah kontekstual atau sesuai dengan realitas yang ada. 2) Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus muncul sesuai dengan apa yang diamati di lapangan baik dari setting tempat maupun proses yang terjadi di lapangan. 3) Pengamatan membutuhkan waktu yang lama karena harus berulangulang agar mendapat data yang objektif dan detail. 4) Mengumpulkan pandangan dari lingkungan sekitar.17 7. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses pencarian dan pengaturan secara sistematik hasil wawancara, catatan-catatan, dan bahan-bahan yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap semua hal yang dikumpulkan dan memungkinkan meyajikan apa yang ditemukan.18 15 Imam Gunawan,Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, h. 149-150. Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, h.153. 17 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik, h. 154. 18 Robert K. Yin, Studi Kasus Desain & Metode, h. 210. 16 18 Setelah data terkumpul maka data akan diolah dengan cara di reduksi terlebih dahulu data-data yang relevan agar sinkron dengan tujuan penelitian dan data yang didapat dilapangan yang masih dikatakan data mentah diringkas, kemudian disusun secara sistematis lalu ditonjolkan berdasarkan pokok-pokok yang penting sehingga data lebih mudah dikendalikan. Setelah data dirangking maka data dianalisis atau diolah dengan wujud kata-kata kedalam tulisan yang lebih luas dan mudah difahami dan bukan hanya itu data juga diolah berdasarkan teori-teori komunikasi antarpribadi. F. Tinjauan Pustaka Dalam penyusunan proposal skripsi ini penulis belajar dari beberapa proposal yang telah ada sebelumnya agar hasil tulisan lebih sistematis karena pembahasan skripsi terdahulu memiliki grand pemikiran yang sama, yaitu: 1. Komunikasi Interpersonal Antara Perawat dan Pasien (Studi Deskriptif Kualitatif Aktivitas Komunikasi Terapeutik Antara Perawat Terhadap Pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta) oleh Abraham Wahyu Nugroho. Dalam skripsi ini peneliti ingin mengetahui tentang bagaimana realisasi aktivitas komunikasi terapeutik antara perawat sebagai komunikator dan pasien yang memiliki penyakit non psikiatri sebagai komunikan dan untuk menguji apakah teknik komunikasi terapeutik tepat digunakan atau tidak untuk penyembuhan pasien.19 2. Pola Komunikasi Dokter Terhadap Pasien Dalam Proses Penyembuhan Di Klinik Makmur Jaya oleh Putri Rachmania. Dalam skripsi ini peneliti ingin 19 Abraham Wahyu Nugroho, Komunikasi Interpersonal Antara Perawat dan Pasien: Studi Deskriptif Kualitatif Aktifitas Komunikasi Terapeutik Antara Perawat Terhadap Pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta (Surakarta: FISIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009). 19 mengetahui pola komunikasi yang seperti apa yang digunakan oleh seorang dokter non psikiatri terhadap pasien non psikiatri agar pesan kesehatan yang lebih banyak menggunakan istilah asing bisa tersampaikan dengan baik kepada pasien sehingga problem kesehatan pasien dapat terpecahkan dengan baik.20 3. Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien Gangguan Jiwa (Studi Kasus di Yayasan Dian Atma Jaya Lawang Kabupaten Lawang) oleh Muhammad Salahuddin. Dalam skripsi ini peneliti ingin meneliti tentang bagaimana peran keluarga untuk ikut serta mempertahankan ataupun menyembuhkan pasien gangguan jiwa hal ini dilatar belakangin oleh banyaknya pasien yang setelah kembali dipulangkan dari rumah sakit ke rumah tinggal, penyakit kejiwaannya kambuh karena banyak keluarganya yang menolak kehadiran pasien tersebut dan faktor penolakan inilah yang membuat pasien kembali terpuruk dan akhirnya jiwanya terguncang kembali.21 Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis ialah mengenai “Pola Komunikasi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Marzuki Mahdi Bogor” yang menitik beratkan pada bagaimana sebenarnya pola komunikasi yang digunakan oleh perawat terhadap pasien psikiatri agar pesan kesehatan tersampaikan dengan baik dan kesadaran pasien gangguan jiwapun kembali pulih berkat adanya interaksi yang baik antara perawat dan pasien. 20 Putri Rachmania, Pola Komunikasi Dokter Terhadap Pasien Dalam Proses Penyembuhan Di Klinik Makmur Jaya (Jakarta: FIDKOM UIN JAKARTA, 2011) 21 Muhammad Salahuddin, Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien Gangguan Jiwa: Studi Kasus di Yayasan Dian Atma Jaya Lawang Kabupaten Lawang (Malang: Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang), 2009 20 G. Sistematika Penulisan Tekhnik dari penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertai) yang telah di susun oleh tim UIN Syarif Hidayatullah Jakarta press, 2011. Bab I yaitu Pendahuluan merupakan penjelasan dari latar belakang masalah penelitian skripsi ini. Didalamnya juga dijelaskan batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan sistematika penelitian. Bab II berisi tentang Kajian Teori yang menguraikan tentang polakomunikasi perawat terhadap pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Marzuki Mahdi Bogor dalam proses penyembuhan. Bab III membahas tentang profil dan gambaran umum Rumah Sakit Jiwa Marzuki Mahdi Bogor. Bab IV Pembahasan dan Analisis Data. Pada bab ini terdiri pembahasan tentang analisis pola komunikasi antara perawat dan pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa marzuki mahdi Bogor dalam proses penyembuhan. Bab V kesimpulan dan saran akan menjadi butir-butir pada bab kelima sebagai penutup pada skripsi ini. BAB II KAJIAN TEORI TENTANG KOMUNIKASI ANTARPRIBADI, KOMUNIKASI TERAPEUTIK DAN KONSEP SKIZOFRENIA A. Kajian Ilmiah Mengenai Komunikasi Antarpribadi 1. Pengertian Komunikasi Antarpribadi Menurut Joseph A. Devito yang telah dikutip oleh Effendy dari bukunya “The Interpersonal Communicaton Book”. Bahwa komunikasi antarpribadi ialah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. 1 Pendapat senada juga dikemukakan oleh Deddy Mulyana bahwa komunikasi antarpribadi ialah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non verbal. 2 Maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa komunikasi antarpribadi merupakan proses transaksi pesan dari komunikator kepada komunikan yang dilakukan secara berhadap-hadapan, sehingga komunikator dapat langsung menangkap reaksi dari komunikannya baik reaksi tersebut berbentuk verbal maupun nonverbal. 2. Komponen-Komponen dalam Komunikasi Antarpribadi Ada beberapa komponen dalam proses komunikasi, yaitu: sumber/komunikator, proses encoding, pesan/informasi, media, komunikan, proses decoding, umpan balik/feed back, dampak, dan gangguan (noise). 1 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 60. 2 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal (Jogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 3. 21 22 Beberapa komponen tersebut memiliki keterikatan antara satu sama lain. Adapun penjelasan mengenai komponen tersebut adalah sebagai berikut: a. Sumber/komunikator, yaitu orang atau sekelompok orang yang sengaja dan bertujuan untuk berkomunikasi. Mereka inilah yang berinisiatif untuk berkomunikasi. Beberapa model komunikasi, menyamakan sumber ini dengan encoder, pengirim, sumber informasi, atau komunikator. disimpulkan bahwa 3 Dari pendapat tersebut dapat komunikator merupakan individu yang menciptakan, memformulasikan, dan menyampaikan pesan. Ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh komunikator agar proses komunikasi dapat berjalan efektif. Pertama, komunikator diharapkan memiliki kredibilitas yang tinggi bagi komunikasinya. Kedua, memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik. Ketiga,mempunyai pengetahuan yang luas. Keempat, memiliki sikap yang baik. Kelima, memiliki daya tarik atau memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan sikap/menambah pengetahuan pada diri sendiri.4 a. Encoding, merupakan aktifitas internal pada komunikator dalam menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol verbal dan simbol nonverbal, yang disusun berdasarkan aturan tata bahasa, 3 Djuara P. Lubis, Siti Suguah Megniesyah, Ninuk Purnaningsih, Sutisna Riyanto, Yatri I. Kusumastuti, Hadiyanto, Amiruddin Shaleh, Sumardjo, Sarwiti S. Agung, Siti Amanah, dan Anna Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi (Bogor: Sains KPM IPB Press, 2008), h. 7 4 H.A.W. Widjaja, Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 12 23 serta disesuaikan dengan karakteristik komunikan. kegiatan ini merupakan tindakan memformulasikan isi fikiran kedalam simbol.5 b. Pesan adalah suatu informasi yang akan dikirim kepada si penerima dan juga merupakan buah dari ide dan perasaan pengirim.6 Pesan terbagi kedalam dua jenis yaitu pesan verbal dan pesan nonverbal. Suara, mimik, dan gerak-gerik lazim digolongkan dalam pesan nonverbal, sedangkan bahasa lisan dan bahasa tulisan dikelompokkan dalam pesan verbal. 7 Penulis dapat memahami bahwa jika pesan merupakan buah dari ide dan perasaan, maka komunikator yang baik ialah komunikator yang selalu berfikir ataupun menimbang-nimbang terlebih dahulu isi pesan yang akan ia sampaikan sehingga apapun yang ia sampaikan selalu sinkron dengan kondisi komunikan. Karena, bagaimanapun juga proses komunikasi selalu memiliki tujuan akhir yaitu merubah perilaku ataupun pendapat seseorang akan suatu hal. Pesan yang disampaikan harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: 1) Umum Berisikan hal-hal umum dan mudah dipahami oleh komunikan/audience, bukan soal-soal yang hanya dipahami oleh seseorang atau kelompok tertentu. 2) Jelas dan gamblang Pesan yang disampaikan tidak samar-samar. Jika menggunakan perumpamaan diusahakan contohnya senyata mungkin, agar tidak ditafsirkan menyimpang dari yang dikehendaki. 3) Bahasa yang jelas 5 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 7. Arni Muhammad, komunikasi Organisasi (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 17. 7 Nurani Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 6 62. 24 Sejauh mungkin menggunakan bahasa yang tidak mudah dipahami oleh pendengar atau penerima. Sangat dianjurkan menggunakan bahasa yang jelas dan sederhana yang cocok dengan daerah dan kondisi komunikan. 4) Positif Secara kodrati manusia tak ingin mendengarkan dan melihat hal-hal yang tidak menyenangkan dari dirinya. Oleh karena itu, setiap pesan agar diusahakan bermakna positif. 5) Seimbang Pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan dirumuskan sesuai dengan kemampuan komunikan untuk menafsirkan pesan tersebut. 6) Penyesuaian dengan keinginan komunikan Seorang komunikan selalu mempunyai keinginan tertentu. Untuk itu komunikator haruslah mengenal situasi dan kondisi sasaran/komunikan.8 Dan pesanpun harus bersifat: Informatif, persuasif, dan koersif. 1) Informatif Komunikator memberikan beberapa keterangan dimana setelah itu komunikanlah yang akan mengambil kesimpulan sendiri. 2) Persuasif Bujukan, yakni membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan rupa pendapat atau sikap sehingga ada perubahan. Tetapi perubahan yang terjadi merupakan kehendak sendiri, misalkan proses lobbying. 3) Koersif Pesan yang disampaikan bersifat memaksa dengan menggunakan sanksi-sanksi, seperti agitasi dengan penekanan yang menumbuhkan tekanan batin dan ketakutan.Pesan yang mengandung unsur koersi berbentuk perintah, instruksi untuk penyampaian akan suatu target.9 Dari tiga kutipan diatas, penulis dapat memahami bahwa bentuk pesan yang disampaikan dapat disesuaikan dengan kondisi dan tujuan dari komunikasi itu sendiri. Jika tujuan dari komunikasi tersebut hanya ingin memberikan informasi layaknya tayangantayangan di media massa yang secara masif disampaikan kepada 8 Effendy, Dinamika Komunikasi, h. 15-16. 9 Widjaja, Komunikasi dan Hubungan masyarakat, h. 15. 25 khalayak, maka pesan yang disampaikan cenderung bersifat informatif. Akan tetapi, jika proses komunikasi bertujuan untuk merubah sisi psikomotorik seseorang maka yang digunakan ialah bentuk komunikasi persuasif, misalnya: proses penjualan suatu produk, pada saat itu yang diinginkan oleh penjual bukan hanya konsumen tahu akan informasi produk tetapi juga konsumen diharapkan ikut membeli produk yang ditawarkan. Lain halnya dengan pesan bersifat koersif, jika pesan bersifat informatif dan persuasif lebih halus penyampaiannya maka pesan koersif ini lebih mengandung unsur ancaman atau perintah. Misalnya: ketika terdapat penjahat baru di kantor polisi tidak jujur akan apa yang telah ia lakukan, maka pak Polisi akan memberikan pesan ancaman kepada pelaku kriminal tersebut. c. Saluran/media, saluran komunikasi lebih identik pada proses berjalannya pesan sedangkan media komunikasi lebih identik dengan alat (benda) untuk menyampaikan. Media juga berfungsi sebagai perantara yang sengaja dipilih komunikator untuk mengantarkan pesannya agar sampai ke komunikan. contoh, HP.10 d. Penerima/komunikan adalah orang atau sekelompok orang yang pada sisi lain komunikasi. Ia atau mereka adalah sasaran komunikasi. Penerima mendengar ketika sumber berbicara, atau membaca apa yang ditulis oleh sumber.11 10 Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi, h. 62. Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti, Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo, Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi, h. 8. 11 26 e. Decoding, merupakan aktifitas internal dalam diri penerima. Melalui indera, penerima mendapatkan macam-macam data dalam bentuk “mentah”, berupa kata-kata dan simbol yang harus dirubah kedalam pengalaman-pengalaman yang mengandung makna.12 f. Umpan Balik (feed back),merupakan tanggapan, umpan balik, jawaban atau respon komunikan kepada komunikator, bahwa komunikasinya dapat diterima dan berjalan.13 g. Dampak atau hasil, yakni respon penerima terhadap pesan yang disampaikan oleh sumber. 14 Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya yaitu dampak kognitif, afektif dan psikomotorik. 1) Dampak kognitif Berkat komunikasi, seseorang menjadi tahu tentang sesuatu.Berarti, komunikasi berfungsi untuk memberikan informasi.15 2) Dampak afektif Komunikasi sudah membuat hati dan perasaan komunikan tergerak sehingga sudah timbul perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah, dan sebagainya.16 3) 12 Dampak behavioral/psikomotorik Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 8. Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 46 14 Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti, Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo, Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi, h. 8. 15 Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi,h. 65. 16 Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, h. 20. 13 27 Dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk tindakan atau perilaku. Kini komunikan sudah benar-benar mau melakukan apa yang komunikator bicarakan.17 h. Gangguan (noise), terdapat dua jenis gangguan yang akan membuat proses komunikasi tidak berjalan dengan baik yaitu gangguan mekanik dan juga gangguan semantik. 1) Gangguan Mekanik (mechanical channel noise) Gangguan mekanik ialah gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Seperti bunyi mengaung pada pengeras suara atau riuh hadirin atau bunyi kendaraan lewat ketika seseorang berpidato dalam suatu pertemuan.18 2) Gangguan Semantik (semantic noise) Gangguan jenis ini bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak. Karena makna dari semantik itu sendiri ialah pengetahuan mengenai pengertian kata-kata yang sebenarnya atau perubahan pengertian katakata.19 Secara umum proses komunikasi dilaksanakan oleh tiga unsur saja yaitu komunikator, pesan dan komunikan. Akan tetapi, pada praktiknya proses ini didukung juga oleh usur-unsur yang lain, seperti media/saluran, feed back dan unsur yang lainnya. 17 Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, h. 2 Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 46. 19 Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 46. 18 28 3. Proses komunikasi antarpribadi Proses komunikasi adalah langkah-langkah yang selalu dilakukan oleh seseorang saat berkomunikasi, adapun langkah-langkah yang dimaksud ialah: Langkah 1 keinginan berkomuni kasi Langkah 2 Encoding oleh komunikator Langkah 3 pengiriman pesan Langkah 4 penerimaan pesan Langkah 5 Decoding oleh komunikan Ilustrasi proses komunikasi antarpribadi.20 Dari ilustrasi diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa ketika seseorang hendak berkomunikasi, maka ada beberapa tahap yang harus dilewati, yaitu: pertama, tahap timbulnya sebuah keinginan komunikator untuk berbagi informasi kepada orang lain. Kedua, tahap dimana kemampuan internal diri komunikator mulai melaksanakan proses encoding atau proses memformulasikan isi pikiran ataupun gagasan ke dalam simbol agar dapat dengan mudah dipahami oleh komunikan. Ketiga, tahap dimana komunikator menyampaikan pesannya kepada komunikan. Keempat, tahap dimana komunikan menerima pesan melalui mata dan telinganya (pancaindera). Kelima, merupakan tahap tentang proses komunikan mencerna pesan tersebut menjadi sebuah informasi, proses pembentukan informasi ini kerap disebut dengan decoding. Keenam, setelah informasi tersebut sudah sepenuhnya difahami oleh komunikan maka tahap terakhir adalah tahap dimana komunikan memberikan respon/feed back kepada komunikator. 20 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 11 Langkah 6 Umpan balik 29 4. Ciri-Ciri Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi merupakan jenis komunikasi yang berlangsung dengan frekuensi pertemuan yang relatif tinggi. Adapun ciri dari komunikasi ini ialah arus pesan dua arah, suasana nonformal, umpan balik segera, peserta komunikasi memiliki jarak yang dekat, dan proses komunikasi dilakukan secara simultan. a. Komunikasi antarpribadi umumnya berlangsung secara tatap muka maka setiap yang terlibat sama-sama mengirim dan menerima pesan.21 b. Arus pesan dua arah, proses komunikasi dilaksanakan dengan cara egaliter atau adanya kesetaraan antara komunikator dan komunikan sehingga memicu terjadinya pola penyebaran pesan mengikuti arus dua arah. 22 Atau bisa disebut juga bersifat transaksional, sehingga dapat dilihat dari kenyataannya bahwa komunikasi bergerak dinamis.23 Penulis memahami maksud dari dinamis ini ialah dimana terjadi pertukaran pesan secara timbal balik dan berkelanjutan sehingga iklim komunikasi lebih bersifat santai dan terbuka dan komunikator dan komunikan dapat berganti peran secara cepat. c. Close proximity, artinya setiap orang yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi secara fisik akan berdekatan satu sama lain sehingga memungkinkan pembicaraan yang bersifat pribadi dan rahasia. Kedekatan ini sekaligus menunjukkan derajat hubungan antara dua 21 Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti, Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo, Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi, h. 247. 22 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal h. 16. 23 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 16. 30 belah pihak. 24 Penulis dapat memahami bahwa dalam metode komunikasi ini komunikan dan komunikator dituntut untuk memiliki kedekatan ketika berkomunikasi, baik dekat jarak maupun dekat psikologis. d. Suasana nonformal, 25 maksudnya adalah dikarenakan proses komunikasi ini dilaksanakan secara egaliter ataupun sejajar maka proses komunikasi bersifat santai, tidak kaku dan tidak terpaku dengan jabatan lawan bicara karena dalam komunikasi ini pendekatan secara personal lebih diutamakan. e. Komunikasi antarpribadi dimulai dengan diri sendiri (self), artinya segala bentuk proses penafsiran pesan maupun penilaian mengenai orang lain berangkat dari dalam diri.26 f. Peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan spontan, baik secara verbal maupun non verbal, dalam metode komunikasi ini kedua belah pihak saling meyakinkan dengan mengoptimalkan pesan verbal dan kemampuan berkomunikasi.27 g. Umpan balik segera, komunikator langsung mendapatkan dan mengetahui respon dari lawan bicara meski respon tersebut negatif, positif maupun netral. Contoh dari respon verbal yaitu dengan adanya kata-kata setuju/tidak setuju. Sementara respon non verbal ialah dengan adanya anggukan kepala, dan lain sebagainya.28 24 Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti, Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo, Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi, h. 247 25 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 16. 26 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h.16 27 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 16. 28 Suranto AW, Komunikasi Interpersona, h. 16. 31 h. Komunikasi interpersonal tidak dapat diubah maupun diulang, 29 artinya ketika seseorang sudah terlanjur mengucapkan sesuatu kepada orang lain, maka ucapan itu sudah tidak dapat diubah atau diulang. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa proses komunikasi antarpribadi merupakan proses komunikasi yang cepat dan kaya akan spontanitas, serta kesalahpahaman dapat dihindari karena prosesnya dilakukan dengan cara tatap muka sehingga sekecil apapun kesalahan dalam berkomunikasi dapat langsung diklarifikasi, dan dalam metode ini kedua belah pihak dapat sama-sama aktif untuk menyampaikan gagasannya. 5. Tujuan Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi merupakan suatu action oriented atau suatu kegiatan yang dilakukan untuk tujuan tertentu, adapun tujuan tersebut ialah: a. Mengungkapkan perhatian kepada orang lain Maksudnya dalam tujuan ini proses yang dilakukan ialah dengan cara menyapa, tersenyum, melambaikan tangan, membungkukkan badan, menanyakan kabar kesehatan partner komunikasi dan lain-lain.30 b. Mengenal diri sendiri dan orang lain Melalui komunikasi antarpribadi kita belajar bagaimana dan sejauhmana kita harus membuka diri pada orang lain. Selain itu, komunikasi antarpribadi juga akan membuat kita mengetahui nilai,sikap dan perilaku orang lain. Kita dapat menaggapi dan memprediksi 29 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 16. Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 19 30 32 tindakan orang lain.31 Penulis dapat memahami bahwa tujuan ini akan tercapai jika peserta komunikasi memperhatikan dan mencoba memahami atau peduli terhadap apa yang terjadi dilingkungan sekitar. c. Menemukan dunia luar Dengan berkomunikasi maka kita akan mendapatkan wawasan baru baik wawasan tersebut bersumber dari dunia internal ataupun eksternal kita. 32 Berdasarkan poin diatas penulis memahami bahwa dalam komunikasi antarpribadi kita diajarkan agar dapat menjadi individu yang peduli dan terbuka terhadap orang-orang yang ada disekitar kita karena berkat mereka kita bisa mendapatkan wawasan dan pengalaman yang baru. d. Menciptakan dan memelihara hubungan menjadi bermakna Kita menggunakan banyak waktu berkomunikasi antarpribadi yang bertujuan untuk menciptakan dan memelihara hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan membantu mengurangi kesepian dan ketegangan serta membuat kita merasa lebih positif tentang diri kita sendiri.33 e. Mempengaruhi sikap dan prilaku Proses komunikasi ini dikatakan efektif jika komunikan mengikuti apa yang diharapkan oleh komunikator sehingga proses ini dilakukan agar dapat memberitahu, mengubah pendapat ataupun sikap baik secara langsung maupun tidak langsung.34 31 Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek (Jakarta: Graha Ilmu: 2009), h. 78 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 20 33 Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek, h. 79 34 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 21 32 33 f. Bermain dan mencari hiburan Bermain mencakup semua kegiatan untuk memperoleh kesenangan seringkali tujuan ini dianggap tidak penting, tetapi sebenarnya komunikasi yang demikian perlu dilakukan, karena bisa memberi suasana yang lepas.35 g. Menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi Komunikasi interpersonal ini dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi tingkat kesalahfahaman karena dalam proses komunikasi ini pendekatan yang dilakukan ialah pendekatan secara langsung.36 h. Memberikan bantuan atau konseling Psikiater, psikolog klinik dan ahli terapi adalah contoh profesi yang mempunyai fungsi menolong orang lain. Tugas-tugas tersebut sebagian besar dilakukan melalui komunikasi antarpribadi. 37 Tanpa disadari setiap orang ternyata sering bertindak sebagai konselor maupun konseli dalam interaksi interpersonal sehari-hari.38 Dalam komunikasi antarpribadi terdapat beberapa teori yang dapat dijadikan landasan dasar bagi proses pembelajaran atau penelitian seperti teori atribusi, teori penetrasi sosial, teori pertukaran sosial, teori pengungkapan diri, teori pengurangan ketidakpatian, teori nilai hasil terprediksi, teori Jauhari Window dan masih banyak yang lainnya. Namun 35 Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek, h. 80 Suranto AW, Komunikasi Interpersonal, h. 21 37 Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek, h. 80 38 Suranto Aw, Komunikasi Interpersonal, h. 21. 36 34 dari beberapa teori tersebut peneliti berasumsi bahwa teori yang paling tepat untuk dijadikan acuan penelitian ilmiah ini ialah: B. Teori Penetrasi Sosial Pengertian Teori Penetrasi Sosial 1. Teori penetrasi sosial merupakan bagian dari teori pengembangan hubungan atau relationship development theory. Altman & Taylor mengusulkan model ini sebagai suatu proses bagaimana orang saling mengenal satu sama lain. Model ini juga melibatkan self-disclosure tetapi dalam perspektif waktu, yaitu ketika berlangsungnya pengembangan suatu hubungan. Artinya seseorang mengenal orang lain secara gradual melalui komunikasi yang semakin meningkat.39 Teori penetrasi sosial (social penetration theory) berupaya mengidentifikasi proses peningkatan keterbukaan dan keintiman seseorang dalam menjalani hubungan dengan orang lain.40 Maksudnya adalah teori ini mengupas tentang bagaimana seseorang meningkatkan kualitas hubungannya, bermula dari rasa sungkan untuk berbicara hingga akhirnya mencapai tahap terbuka antara satu sama lain. Terdapat beberapa asumsi yang mengarahkan pada social penetration theory, yaitu: a. Hubungan-hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi intim. Hubungan komunikasi antara orang dimulai pada tahapan 39 Lubis, Megniesyah, Purnaningsih, Riyanto, Kusumastuti, Hadiyanto, Shaleh, Sumardjo, Agung, Amanah, dan Fatchiya, Dasar-Dasar Komunikasi, h. 265. 37 Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2013), h. 296. 35 suferfisial dan bergerak pada sebuah kontinum menuju tahapan yang lebih intim.41 b. Perkembangan hubungan mencakup depenetrasi (penarikan diri) dan disolusi. 42 Hal ini dapat dipahami jika pada proses komunikasi sebelumnya terdapat banyak konflik yang cenderung destruktif atau konflik yang tidak berkesudahan maka hubungan ini akan semakin jauh. Karena, baik komunikator maupun komunikan merasa kurang nyaman antara satu sama lain. Akibatnya, masing-masing dari mereka semakin menjauhkan diri. c. Asumsi yang terakhir ialah pembukaan diri (self disclosure), hubungan yang tidak intim bergerak menuju hubungan yang intim karena adanya keterbukaan diri.43Penulis memahami bahwa inti dalam hubungan ialah keterbukaan diri, karena keterbukaan diri ini ibarat sebuah jembatan yang dapat menghubungkan dua kubu. Ketika kedua belah pihak baik komunikator maupun komunikan sudah saling terbuka, maka memungkinkan untuk saling mengenal dan saling memahami satu sama lain. Sehingga akan timbul rasa nyaman dan rasa saling ingin mempertahankan kedekatan/hubungan. 2. Tahapan Proses Penetrasi Sosial Penetrasi sosial merupakan proses bertahap, dimulai dari komunikasi basa-basi yang tidak akrab hingga berbagi informasi menyangkut topik pembicaraan yang lebih pribadi/akrab, seiring dengan berkembangnya 41 Richard West& Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi(Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2012), h. 197. 42 West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi,h. 199. 43 West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi,h. 199. 36 hubungan disini orang akan membiarkan orang lain untuk mengenal dirinya secara bertahap.44 Altman dan Taylor menggunakan bawang merah (union) sebagai analogi untuk menjelaskan bagaimana orang melalui interaksi saling mengelupas lapisan informasi mengenai diri masing-masing. Lapisan luar berisi informasi superfisial seperti nama, alamat atau umur. Ketika lapisan ini sudah terkelupas kita semakin mendekati lapisan terdalam yaitu lapisan informasi tentang kepribadian.45 Dapat dipahami bahwa semakin dalam dan semakin pribadi informasi yang disampaikan kepada lawan bicara berarti hubungan yang terjalin semakin akrab. Adapun keakraban terbentuk karena ada rasa nyaman dan rasa saling percaya. Orientasi Pertukaran penjajakan afektif Membuka sedikit informasi tentang diri kita kepada orang lain/pembentukan kepercayaan Munculnya kepribadian seseorang Pertukaran afektif komunikasi yang spontan; Pertukaran stabil Komunikasi yang efisien; dibangunnya sebuah sistem komunikasi personal Ilustrasi tahapan penetrasi sosial46 a. Tahap orientasi: membuka sedikit demi sedikit Hanya sedikit proses perkenalan secara terbuka pada tahap ini karena selama tahapan ini pernyataan-pernyataan yang dibuat biasanya hanya hal-hal yang klise dan merefleksikan aspek superfisial dari 44 S. Djuarsa Sendjaja, Ph.D., dkk. Teori Komunikasi (Jakarta: Universitas Terbuka: 1994), h.80 45 Sendjaja, dkk. Teori Komunikasi, h. 80. 46 West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi, h. 205. 37 seorang individu. 47 Dapat disimpulkan bahwa pada tahap ini baik komunikator maupun komunikan masih sangat berhati-hati untuk menyampaikan sesuatu sehingga yang dibicarakanpun hanyalah hal yang bersifat umum saja, sehingga konflik dapat dihindari dan kesempatan yang lebih besar untuk melanjutkan komunikasi ke tahap selanjutnya. a. Pertukaran penjajakan afektif: munculnya diri Tahap ini merupakan area dimana aspek-aspek pribadi mulai muncul. Terdapat sedikit spontanitas dalam komunikasi karena individu-individu sudah sama-sama merasa nyaman, dan mereka sudah tidak terlalu hati-hati jika apa yang akan ia sampaikan salah sehinggaakhirnya akan menimbulkan penyesalan, perilaku menyentuh dan tampilan afeksipun ditampilkan.48 b. Pertukaran afektif: komitmen dan kenyamanan Tahap ini merupakan tahap interaksi tanpa beban dan santai, dimana komunikasi sering kali berjalan spontan hal ini karena peserta komunikasi sudah saling nyaman satu sama lain. Pesan yang disampaikan juga sudah lebih banyak bahasa nonverbal.Seperti dengan tersenyum menggantikan kata “saya mengerti”. 49 Kesimpulan yang dipahami penulis ialah proses komunikasi yang intensif dapat menimbulkan rasa percaya dan rasa nyaman hingga akhirnya dapat saling terbuka. Oleh sebab itu, pada tahap ini kedua belah pihak tak hanya saling mendengar dan menanggapi saja namun kini mereka sudah 47 West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi, h. 205. West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi,h. 206. 49 West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi, h. 207 48 38 saling mengevaluasi dan mengkritik satu sama lain. Dan hal ini akan terjadi jika ketika kedua belah pihak sudah mendapatkan kedekatan pada proses interaksi sebelumnya. c. Pertukaran stabil: kejujuran total dan keintiman Tahap ini merupakan tahap dimana pengungkapan pemikiran, perasaan dan prilaku secara terbuka.Dalam tahap ini peserta komunikasi dalam tingkat keintiman tinggi; maksudnya kadangkala salah satu dari mereka mampu untuk menilai dan menduga perilaku pasangannya dengan cukup akurat.50 C. Komunikasi Terapeutik 1. Pengertian Komunikasi Terapeutik Komunikasi Terapeutik ialah suatu konsep interaksi antarpribadi antara perawat dan pasien, yang selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan khusus pasien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan pasien, keterampilan menggunakan teknik komunikasi terapeutik membantu perawat memahami dan berempati terhadap pengalaman pasien. 51 Dari kutipan diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa setiap perawat sangat dianjurkan untuk dapat menguasai teknik-teknik komunikasi terapeutik dalam proses keperawatnya untuk memenuhi standar asuhan pasien. 2. Relevansi Komunikasi Terapeutik Relevansi komunikasi dan praktik keperawatan jiwa tampak nyata. Pertama, komunikasi merupakan alat untuk membina hubungan terapeutik 50 West & Turner, Pengantar Teori Komunikasi : Analisis dan Aplikasi, h. 209 Sheila L. Videbeck, PhD, Rn, Buku Ajar Keperawatan Jiwa: Psychiatric Mental Health Nursing (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2008), h. 123. 51 39 karena komunikasi mencakup penyampaian informasi dan pertukaran pikiran dan perasaan. Kedua, komunikasi adalah cara untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Ketiga, komunikasi adalah hubungan itu sendiri; tanpa komunikasi, hubungan terapeutik perawat pasien tidak mungkin tercapai.52 Dapat dipahami bahwa komunikasi digunakan oleh insan kesehatan untuk mengintervensi pasien, agar pasien dapat mencapai perubahan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh kesehatan pasien itu sendiri. 3. Tujuan Komunikasi Terapeutik a. Meningkatkan kesadaran diri, penerimaan diri dan penghargaan diri pasien b. Identitas diri jelas, peningkatan intergritas diri. c. Membina hubungan antarpribadi yang intim, interdependent, memberi dan menerima dengan kasih sayang. d. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang realistik.53 4. Komponen Esensial Komunikasi Terapeutik Untuk membangun dan mempertahankan hubungan terapeutik maka perawat dan pasien sebaiknya saling berkomunikasi karena komunikasi merupakan strategi pertama untuk memulai, mempertahankan, dan mengakhiri, hubungan terapeutik. Ada beberapa komponen yang penting dalam sebuah proses hubungan komunikasi terapeutik, yaitu: kerahasiaan, keterbukaan diri, sentuhan, mendengar dan observasi aktif, dan menempatkan diri sebagai pasien. a. Kerahasiaan, berarti menghormati hak klien untuk menjaga rahasia setiap informasi tentang kesehatan fisik dan jiwanya serta perawatan yang 52 Gail Wiscarz Stuart dan Sandra J. Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa:Pocket Guide to Psychiatric Nursing (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1998), h. 16 53 Kholid Rosyidi MN, S.Kep, Ns, Prosedur Praktik Keperawatan Jilid 2 (Jakarta: Penerbit Buku Kesehatan, 2013), h. 77 40 terkait. Kerahasiaan berarti hanya mengizinkan individu yang terlibat dalam perawatan klien untuk memiliki akses-akses ke informasi yang diungkapkan klien.54 b. Keterbukaan diri, menurut Deering yang telah dikutip oleh Videbeck didalam buku ajar keperawatan jiwa bahwaketerbukaan diri ialah perawat yang membuka diri dengan memberikan informasi mengenai diri perawat itu sendiri seperti informasi tentang biografi, ide, pikiran serta perasaan pribadi. 55 Adapun keterbukaan diri ini diperlukan karena penyakit dan hospitalisasi menimbulkan stress, seringkali merupakan pengalaman yang sangat menakutkan bagi pasien. Perawat berada disamping pasien untuk membantu pasien melalui pengalaman ini.56 c. Sentuhan, menyentuh pasien dapat meningkatkan rasa nyaman dan aman bila tersebut diizinkan atau diinginkan. Contohnya ialah menyentuh seorang ibu yang menangis terisak karena kehilangan anaknya.57 d. Mendengardan observasi aktif. Mendengar aktif yang dimaksud ialah memperhatikan pesan yang disampaikan, mengatur duduk yang sesuai (berhadapan, jarak yang sesuai dan lain-lain), menghindari terjadinya interupsi, menyimak setiap perkataan pasien dengan penuh empati, dan secara ekslusif berkonsentrasi pada apa yang klien katakan.58Sedangkan 54 Sheila L. Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa,h. 125 Sheila L. Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa ,h. 126. 56 Monica Ester, S.Kep, Pedoman Perawatan Pasien (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC), h. 6 57 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 127. 58 Nursalam, Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktek (Jakarta: Salemba Medika, 2009), h. 35. 55 41 observasi aktif berarti mengobservasi tindakan nonverbal pembicara ketika ia berkomunikasi.59 e. Menempatkan diri sebagai pasien. Peraturan yang paling penting dalam teknik komunikasi ini ialah membayangkan diri anda berada dalam posisi pasien. Hingga akhirnya dapat memahami perasaan mereka dan menanggapi mereka secara emosional pada kebutuhan atau distres mereka.60 Dari beberapa penjabaran diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa komponen-komponen diatas urgen untuk diterapkan didalam praktik komunikasi terapeutik agar pasien merasa nyaman hingga akhirnya bina trust dapat terlaksana, terlebih terhadap pasien gangguan jiwa yang kerap sangat sulit untuk membangun rasa nyaman dengan orang lain. 5. Metode-metode Komunikasi Terapeutik a. Keterampilan Komunikasi Verbal 1) Menggunakan pesan konkret Dalam praktek komunikasi terapeutik janganlah menggunakan kata-kata sulit (medis) untuk menggambarkan masalah, jangan menggunakan kata-kata yang tidak dipahami masyarakat diluar rumah sakit, namun sangat dianjurkan untuk menggunakan bahasa sehari-hari seperti kata berjalan, bukan ambulasi. 61 Gunakanlah kata-kata sejelas mungkin ketika berbicara dengan pasien, sehingga pesan dapat dengan mudah dipahami Karena individu yang cemas semakin berkurang 59 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan, h. 128. Ester, Pedoman Perawatan Pasien, h. 7. 61 Ester, Pedoman Perawatan Pasien, h. 9 60 42 kemampuan untuk memproses konsep sehingga pesan konkret penting untuk dipertukarkan.62 Dari poin diatas penulis dapat memahami bahwa pesan yang jelas sangat berguna demi apapun yang disampaikan oleh perawat kepada pasien dapat difahami secara langsung dan tidak membutuhkan proses interpretasi lebih dulu, sehingga respon yang didapatpun akan besifat jelas, maka dalam komunikasi ini bahasa-bahasa kiasan, bahasa istilah tidak lagi diperlukan. 2) Menginterpretasi Sinyal atau Isyarat Untuk memahami maksud pasien, perawat memahami dan mendengarkan isyarat dengan cermat. Adapun isyarat ialah pesan verbal atau nonverbal yang menandakan kata kunci atau isu untuk pasien. Isyarat dapat terselubung dalam ucapan pasien atau dapat ditunjukan dalam proses komunikasi. 63 Memahami isyarat ini sangat penting dalam proses komunikasi karena dengan memahami isyarat yang diucapkan pasien dapat membantu perawat mengetahui apa yang perlu ditanyakan selanjutnya atau bagaimana merespon pasien.64 Namun jika ternyata perawat sulit mengikuti interaksi yang telah diciptakan oleh komunikan/pasien karena sulit memahami isyarat dari pasien maka cukup mendengarkan dengan cermat untuk mengetahui tema atau suatu topik yang mendasari kata-kata pasien.65 Contohnya ialah: 62 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan, h. 130 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 130 64 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 130 65 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan jiwa, h. 131 63 43 Pasien: “oh, hallo, suster. (wajah gembira, tersenyum dan mata berbinar-binar ; suara riang) Perawat: “anda tampak gembira hari ini, Ny. Venezia. Penjabaran tersebut membuahkan sebuah pemahaman bahwa dalam pesan yang disampaikan oleh pasien banyak memiliki isyarat ataupun sinyal yang tersirat sehingga tidak semua orang dapat mengetahui apa yang sebenarnya ada di pikiran dan perasaan pasien. Oleh karena itu, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa kunci sukses memahami isyarat dan sinyal verbal tersebut ialah dengan mendengarkan secara cermat apa yang disampaikan lewat pesan verbal dan apa yang ditunjukan oleh pesan nonverbal, dan juga perawat perlu memiliki banyak wawasan tentang psikologis seseorang agar sensitifitas perawat semakin terasah. b. Keterampilan Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal meliputi ekspresi wajah, kontak mata, suara pengingat seperti “uh huh”, ruang, waktu, batasan, dan gerakan tubuh. Adapun komunikasi ini juga meliputi pikiran bawah sadar yang memperlihatkan emosi yang berhubungan dengan isi verbal, situasi, lingkungan, dan hubungan antara pembicara dan pendengar.66 1) Mengintrepretasi ekspresi wajah dan sikap tubuh 66 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 138. 44 Perhatikan ekspresi pada wajah, sikap tubuh serta gerakan tubuh pasien. Karena wajah pasien atau tekanan suara, atau cara bicara dapat mengatakan lebih banyak daripada kata-kata.67 2) Menginterpretasi Isyarat Vokal Isyarat vokal adalah suara nonverbal yang disampaikan bersama isi pembicaraan. Volume suara, nada suara, tinggi rendah nada (pitch) intensitas, penekanan, kecepatan, dan jeda mendukung pesan pengirim. 68 Volume merupakan tingkat kekerasan suara seseorang dan volume ini merupakan representasi dari rasa marah, takut, senang, atau bahkan tuli. 69 Sedangkan nada suara dapat mengartikan apakah seseorang sedang merasa tertekan, rileks, agitasi atau bosan. 70 Sedangkan tinggi rendah nada ini bervariasi dari yang melengking sampai dengan rendah dan mengancam. Sedangkan intensitas menunjukan seberapa pentingnya pesan yang disampaikan. 71 3) Menginterpretasi kontak mata Mata disebut sebagai cerminan jiwa karena mata sering merefleksikan emosi kita.Pesan yang diberikan oleh mata meliputi humor, nafsu, penolakan, rasa tertarik, kebingungan, kebencian, kebahagiaan, keedihan, ketakutan, peringatan, dan pembelaan.72 4) Memahami tingkat makna 67 Ester, S.Kep, Pedoman Perawatan Pasien, h. 7. Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 141. 69 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 141. 70 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 141 71 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 141 72 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h.141 68 45 Menurut penulis perawat dituntut untuk tidak hanya mendengar kata-kata yang diucapkan oleh pasien tetapi harus juga mampu menginterpretasi makna apa yang tersirat dari kata-kata pasien. Kemampuan melakukan hal ini memerlukan teknik mendengar secara dangkal yaitu dengan mendengar pesan konkret dan juga mendengar secara mendalam yaitu memerlukan beberapa interpretasi pesan kemudian mengumpulkan informasi yang rinci untuk memvalidasi setiap asumsi atau tidak memvalidasi.73 Dari semua penjabaran tentang keterampilan komunikasi nonverbal diatas, penulis dapat mengambil garis merah bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh pasien itu selalu memiliki makna yang tersirat, hal ini terjadi karena ketidakcakapan pasien untuk mengungkapkan isi hati dan pikirannya melalui kata-kata sehingga makna akan lebih banyak terkandung dalam pesan nonverbalnya. Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa perawat harus mengamati dengan cermat semua gerak-gerik pasien. Dan memiliki banyak referensi ilmu agar kesalahan prediksi makna tidak terjadi. 6. Teknik Komunikasi Terapeutik Ada beberapa teknik komunikasi yang harus dikuasai oleh perawat ketika menghadapi pasien agar tidak ada tingkah laku atau bahkan perkataan yang akhirnya hanya akan memperburuk kondisi kesehatan pasien, adapun teknik yang dimaksud adalah sebagai berikut: 73 Videbeck, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, h. 142 46 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. Listening, yaitu menerima informasi secara aktif dan memperhatikan respon pasien. Broad opening (pertanyaan terbuka), yaitu suatu teknik untuk membuka pembicaraan. Misalnya, “bagaimana perasaan anda hari ini?” Restating (mengulang), misalnya, “kamu mengatakan bahwa ibumu meninggal saat usiamu 5 tahun?” Clarification, yaitu dilakukan jika perawat ragu, tidak jelas, tidak mendengar.Misalnya, “dapatkah anda jelaskan kembali tentang…” Identifikasi tema, yaitu mengidentifikasi pokok yang mendasari persoalan/masalah yang sering muncul.Misalnya, “saya lihat dari semua keterangan yang anda jelaskan anda telah disakiti, apakah ini latar belakang masalahnya?” Silence (diam), hal ini biasanya dilakukan setelah mengajukan pertanyaan, dan bertujuan memberi kesempatan pasien berfikir dan memotovasi pasien untuk berbicara. Reflection,yaitu upaya mengembalikan kepada pasien segala ide pasien, perasaan, pertanyaan dan isinya agar pasien menyadari dan dapat mengambil keputusan. Focusing (memfokuskan), yaitu Membantu pasien bicara sesuai dengan topik yang dipilih, sesuai tujuan spesifik, lebih jelas, berfokus pada realitas. Membagi persepsi, yaitu Menanyakan kepada pasien untuk menguji pengertian perawat tentang yang ia fikir dan rasakan. Informing, yaitu memberi informasi dan fakta untuk pendidikan kesehatan. Sugesting, yaitu memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah Humor,yaitu bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, menyegarkan suasana, dan menurunkan agresi.74 D. Skizofrenia 1. Pengertian Skizofrenia Menurut Mark Durand dan David H. Barlow yang dikutip oleh Herri, Bethsaida dan Marti bahwa Istilah gangguan skizofrenia ini terdiri dari dua kata, yakni skhizein = split = pecah, dan phrenia = mind = pikiran. Skizofrenia ialah gangguan psikotik yang bersifat merusak yang melibatkan 74 Rosyidi, Prosedur Praktik Keperawatan Jilid 2, h. 77-78. 47 gangguan berfikir (delusi), persepsi (halusinasi), pembicaraan, emosi, dan perilaku.75 Begitupun pendapat yang senada dari Yustinus didalam bukunya kesehatan mental 3 bahwa skizofrenia merupakan suatu gangguan mental yang berat dengan ciri-ciri khasnya adalah tingkah laku aneh (bizar), pikiran-pikiran aneh, dan halusinasi-halusinasi pendengaran dan penglihatan (yakni “mendengar suara-suara atau melihat hal-hal yang tidak ada”).76 Dan pendapat senadapun datang dari Richad dan Susan didalam bukunya Abnormal Psycholgy bahwa Schizophrenia is a disorder with a range of symtoms involving disturbances in content of thought, form of thought, perception, affect, sense of self, motivation, behavior, and interpersonal fungtioning. 77 Yang artinya skizofrenia merupakan sebuah penyakit yang gejalanya berkaitan dengan gangguan isi fikiran, bentuk pikiran/halusinasi, gangguan persepsi/delusi, rasa kepedulian akan diri sendiri, motivasi, tingkah laku, dan gangguan akan fungsi hubungan antarpribadi. Dari dua pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang menyerang pikiran seseorang, karenanya berdampak timbulnya gangguan akan persepsi, adanya halusinasi, tingkah laku yang tidak koheren serta pola hubungan antarpribadi yang kurang kondusif. 75 Herri Zan Pieter, Bethsaida Janiwarti, Ns. Marti Saragih, Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 329. 76 Yustinus Semiun, OFM, Kesehatan Mental 3 (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 20. 77 Richad P. Halgin & Susan Krauss Whitbourne, Abnormal Psychology : Clinical Perspectives on Psychology Disorder (New York: Mc Graw Hill, 2007), h. 278. 48 2. Ciri-ciri Utama Skizofrenia Terdapat beberapa ciri-ciri skizofrenia yang harus kita fahami yaitu, adanya waham/delusi, halusinasi, pembicaraan yang tidak koheren, perilaku tidak terorganisasi atau katatonik dan ciri-ciri negatif lainnya (alogia, avolisi, anhedonia) dan juga penarikan diri dari kehidupan sosial. Jika ciri-ciri ini terjadi pada pasien skizofrenia secara terus menerus selama enam bulan maka pasien sudah benar-benar positif menderita gangguan jiwa tipe skizofrenia.78 a. Delusi Delusi pada penderita skizofrenia yang ditandai gangguan pikiran, adanya keyakinan yang persisten dan berlawanan dengan kenyataan tetapi tidak disertai dengan keberadaan sebenarnya, dan juga terisolasi secara sosial dan besikap curiga pada orang lain.79 Contohnya ia selalu beranggapan bahwa orang lain selalu menggunjingkan dirinya dan selalu menuduhnya bahwa ia telah melakukan hal yang tidak bermoral atau menertawakannya. b. Halusinasi Halusinasi yaitu gangguan yang ditandai dengan gangguan persepsi pada berbagai hal yang dianggap dapat dilihat, didengar ataupun adanya perasaan dihina meskipun sebenarnya tidak realitas.80 c. Pembicaraan yang tidak koheren 78 Jeffrey S. Nevid, Spencer A Rathus, Beverly Greene, Psikologi Abnormal (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 105. 79 Herry Zan Pieter & Namora Lumongga Lubis, Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 112. 80 Pieter&Lubis, Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan, h. 113. 49 Pembicaraan yang tidak koheren maksudnya ialah seperti topik pembicaraan yang melompat-lompat, pembicaraan yang serampangan dan kehilangan asosiasi, neologisme, 81 pembicaraan yang tidak berhubungan dengan topik.82 Dan juga pemikiran dan kata-kata mereka yang terbalik-balik.83 d. Perilaku tidak terorganisasi atau katatonik Yaitu tindakan tanpa tujuan dan berulang-ulang seperti bergerak dengan kegaduhan, agitasi liar dan tidak melakukan apapun dalam waktu yang sangat lama (katatonik), cara berpakaian yang tak jelas dan tak pas pada situasinya.84 e. Avolisi (ketidakmampuan mempertahankan aktifitas) Adanya ketidakpedulian dan disorganisasi dalam menyelesaikan tugas dan tidak memiliki motivasi hidup. Contohnya ia dapat duduk sepanjang hari yanpa melakukan apapun.85 f. Anhedonia Yaitu hilangnya perasaan senang (bahagia) ditandai dengan hilangnya ketertarikan untuk makan.86 g. Penarikan diri dari kehidupann sosial They have trouble and tumultuous interactions with relatives, acquaintances, and even strangers, particularly during the actives phase 81 Menciptakan kata atau kalimat yang aneh-aneh, tidak menjawab pertanyaan dan memberikan jawaban yang menyimpang dari pertanyaan 82 Pieter, Janiwarti & Saragih, Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan, h.333. 83 Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi, Pengantar Psiokologi Abnormal (Bandung: Reflika Aditama, 2005), h. 34 84 Pieter, Janiwarti & Saragih, Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan, h.333. 85 Wiramihardja, Pengantar Psiokologi Abnormal, h. 137. 86 Pieter, Janiwarti & Saragih, Pengantar Psikopatologi untuk Keperawatan, h.334 50 of symptoms. 87 Yang artinya adalah mereka memiliki kesulitan dan kekacauan interaksi dengan sanak keluarga, kenalan dan bahkan orang yang tak ia kenal/lingkungan sekitar, terutama saat aktivitas pertemuan pertama. 3. Faktor-Faktor Pemicu Skizofrenia Ada beberapa faktor yang disinyalir menjadi penyebab gangguan ini mucul diantaranya faktor genetis, faktos psikologis, faktor lingkungan dan faktor biokimia. a. Faktor genetis, menurut beberapa penelitian di beberapa negara seperti Swedia, Irlandia dan sebagainya bahwa semakin dekat hubungan genetis antara orang yang didiagnosis skizofrenia maka iamemiliki sepuluh kali lipat resiko yang lebih besar untuk mengalami skizofrenia dibandingkan anggota populasi umum.88 b. Faktor psikologis, Yaitu faktor yang berhubungan dengan gangguan fikiran, keyakinan, opini yang salah, ketidakmampuan membina, mempertahankan hubungan sosial.89 c. Faktor lingkungan/sosial, pola asuh yang tidak tepat yang tidak sesuai dengan tumbuh kembang anak, dan tuntutan hidup yang tinggi.90 d. Faktor biokimia, anggapan bahwa skizofrenia melibatkan terlalu aktifnya reseptor dopamin di otak.91 87 Richard P. Halgin & Susan Krauss Whitbourne, Abnormal Psychology: Clinical Perspectives on Psychological Disorders (New York: McGraw Hill, 2007), h. 282. 88 Nevid, Rathus & Greene, Psikologi Abnormal, h. 121. 89 Pieter&Lubis, Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan, h. 112 90 Pieter&Lubis, Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan, h. 112 91 Nevid, Rathus&Greene, Psikologi Abnormal, h. 123. 51 4. Aneka Ragam Skizofrenia Berdasarkan gangguan skizofrenia terdapat lima tipe utama dan klasik akan gangguan tersebut, diantaranya ialah: skizofrenia tidak teratur (hebefrenik), skizofrenia katatonik,skizofreniaparanoid,skizofrenia resedual, dan skizofrenia yang tidak terperinci. Adapun yang akan menjadi objek penelitian dalam penelitian ini ialah tipe skizofrenia tidak teratur (hebefrenik) dan tipe skizofrenia paranoid berikut penjelasan terperinci tentang dua tipe skizofrenia tersebut: a. Skizofrenia Tidak Teratur (Hebefrenik) Pasien dengan gangguan ini senderung menunjukkan kedunguan dan mood yang gamang, cekikikan, berbicara yang tidak-tidak, ketidakpaduan antara pikiran, dan sifat kekanak-kanakan. 92 Adapun biasanya tipe skizofrenia ini diderita oleh kalangan remaja dan tipe ini merupakan tipe skizofrenia yang paling berat dibanding dengan tipe skizofrenia yang lain. Orang yang menderita gangguan ini akan menarik diri secara ekstrem. Ia tidak lagi tertarik pada lingkungannya, sehingga ia hampir sepenuhnya hidup dalam dirinya sendiri. Ledakan-ledakan emosi, seperti menangis dan tertawa, yang menimpanya bukan akibat stimulus-stimulus dari luar, tetapi stimulus-stimulus yang berasal dari dunia khayalan tempat ia hidup. Penderita hebefrenik tertawa terkikih-kikih seperti anak kecil. Tertawanya tidak pada tempatnya yang dangkal; dan disamping itu, ia menyeringai. Ciri tingkah lakunya aneh, ia berbicara dan membuat gerak-gerik isyarat terhadap dirinya sendiri, berselang-seling antara menangis dan tertawa serta mengoceh.93 Penulis dapat memahami bahwa tipe skizofrenia ini lebih parah dengan tipe yang lain karena pasien sudah benar-benar hidup dengan dunianya 92 sendiri. Tingkah lakunya yang Nevid, Rathus&Greene, Psikologi Abnormal, h. 118. Semiun, Kesehatan Mental 3, h. 28. 93 sering tertawa-tawa, 52 menyeringai, menangis sendiri itu mengindikasi bahwa halusinasi yang ada dalam pikiran pasien amatlah tinggi. Jika penyakit ini semakin parah maka pasien akan bertingkah laku seperti anak-anak bahkan seperti bayi misalnya bermain dengan kotorannya sendiri. Penderita gangguan ini biasanya disebabkan oleh stress yang berlebihan sehingga ia mundur pada tahap seperti kanakkanak. Saat tahap ini telah terjadi maka tidak ada yang bisa dilakukan.94 b. Skizofrenia Paranoid Pada gangguan ini reaksi-reaksi yang ditimbulkan lebih sedikit dibanding dengan gejala skizofrenia yang lainnya, adapun ciri khas dari penderita ini ialah murung, mudah tersinggung dan selalu curiga. Sehingga ia berpotensi berperilaku agresif pada diri sendiri atau orang lain.95 Orang yang memiliki kecenderungan akan gangguan ini biasanya adalah orang yang sangat ambisius sehingga saat ia tidak dapat mendapatkan apa yang ia harapkan ia akan frustasi dan menyalahkan orang lain sebagai penyebab dari kegagalannya. Dan jika perspektif ini terus dipertahankan maka hidupnya akan tidak teratur.96 People with this type are preoccupied with one or more bizzare delusions or have auditory hallucinations related to a theme of being persecuted or harassed, but without disorganized speech or distrubed behaviour. The hallucination are usually related to the content of the dellucions; however, cognitive functioning and effect are reasonable normal. People with the paranoid type of schizophrenia have tremendous interpersonal problems, because of their suspicious and argumentative style.97 94 Semiun, Kesehatan Mental 3, h. 29. Pieter&Lubis, Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan, h. 116. 96 Semiun, Kesehatan Mental 3, h. 32. 97 Halgin & Whitbourne, Abnormal Psychology: Clinical Perspectives on Psychological Disorders, h. 283. 95 53 Artinya adalah Orang-orang yang berada pada tipe ini terkadang asyik dengan satu atau lebih delusi-delusi yang aneh/ganjil atau mereka memiliki halusinasi-halusinasi pendengaran yang menyiksa atau menggangu, tetapi tanpa pola berbicara yang baik dan mereka bertingkah laku yang mengganggu. Halusinasinya berhubungan dengan isi dari delusi-delusi pasien; bagaimanapun juga fungsi dari kognitif mereka normal adanya. Orang yang menderita gangguan skizofrenia tipe paranoid memiliki masalah pribadi yang parah, karena kecurigaan dan gaya berfikir mereka. BAB III Gambaran Umum Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor A. Profil Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Rumah sakit jiwa ini bernama Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Pemilihan nama tersebut sebagai bentuk apresiasi atas jasa-jasa beliau sebagai pemimpin pribumi pertama di rumah sakit jiwa bogor ini sejak 17 Agustus 1945 hingga desember 1950. Nama tersebut diresmikan pada tahun 2002.1 Hal ini sesuai dengan perkataan dari ibu Sumarni, S.Skm, bahwa: “Pada hari kemerdekaan RI yaitu pada masa pengeboman HirosimaNagasaki dan pada saat itu juga Belandakan ikut menyerah dan saat itu dipimpin oleh pribumi. Sebenarnya ada dua kandidat. Karena pada masa Hindia Belanda terdapat dua dokter yang membantu yaitu Dr. Sumeru dan Dr. H. Marzoeki Mahdi, namun yang terpilih adalah Dr. Marzoeki. Nah, ketika tahun 1945 diangkatlah Dr. H. Marzoeki sebagai direktur”.2 Rumah sakit Marzoeki Mahdi ini merupakan rumah sakit jiwa pertama di Indonesia yang sebelumnya bernama Hetkrankzinigengestithte Buitenzorg. Lembaga ini resmi beroperasi pada masa pemerintahan Hindia Belanda sejak tanggal 1 Juli tahun 1882, berdasarkan SK Kerajaan Belanda no 10, th 1885. Rumah sakit ini dibangun dengan tujuan untuk memperbaiki sistem perawatan pasien gangguan jiwa karena sebelumnya pasien tersebut dirawat di RS Umum, RS Tentara, Penjara dan kantor polisi dengan sistem perawatan yang kurang 1 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 14 Wawancara pribadi dengan Ibu Sumarni S., SKM. Bogor, Rabu 25 Maret 2015. 2 54 55 pantas seperti pasien selalu dikurung dan diasingkan, pengasingan tersebut terjadi karena pasien ini dianggap berbahaya untuk masyarakat dan diri pasien sendiri.3 Dan hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan Ibu Sumarni, S, SKM. “Pada saat itu masyarakat yang terkena gangguan jwa dirawat di RSU, Kantor polisi di tempat tentara sehingga penangannyapun dengan kekerasan jadi akhirnya bangsa belanda punya keinginan dan niat yang baik. Akhirnya dibuatlah rumah sakit khusus gangguan jiwa”.4 Berdasarkan kutipan diatas penulis dapat memahami bahwa sebenarnya niat yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu sangat baik karena meski mereka menjajah bangsa Indonesia tetapi ternyata mereka juga memperhatikan infrastruktur kesehatan masyarakat. Penanggung jawab pembangunan rumah sakit ini diserahkan kepada Dr. F.H. Bauer, psikiater RSJ di Belanda dan Dr. W.M. Smit dokter angkatan laut Belanda. Dengan beberapa persyaratan lokasi, diantaranya: 1. Terletak dekat dengan pusat pemerintahan di Jakarta 2. Dekat dengan jalan pos 3. Harus dapat mampu dan cocok untuk merawat 400 pasien jiwa5 Setelah survei ke beberapa tempat maka bogorlah yang dianggap paling cocok dengan persyaratan diatas, karena letaknya yang dekat dengan pusat pemerintahan dan memiliki udara yang sejuk sehingga dianggap cocok untuk proses penyembuhan pasien gangguan jiwa. Rumah sakit ini terletak di jalan 3 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 13 Wawancara pribadi dengan Ibu Sumarni S., SKM. Bogor, Rabu 25 Maret 2015. 5 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 13 4 56 Dr.Sumeru, no.144, kota Bogor, kode pos 16111, telepon (0251) 8324025 dan fax 8324026, dengan luas tanahnya yaitu 113,5601 hektar dan memiliki batas alamiah yang terbentuk oleh anak sungai cisadane dan cikema. Pada tanggal 4 maret 1866, Bogor resmi menjadi tempat pembangunan rumah sakit jiwa pertama di Indonesia. Tenaga kerja pertama terdiri dari 35 orang Eropa dan 95 pegawai Indonesia dan keturunan Cina. Diantara personil tersebut terdapat 3 orang dokter yaitu 2 dokter Eropa dan 1 dokter jawa yaitu Dr. Sumeru. Namun, terdapat beberapa kendala yaitu pada tahun 1942-1945, rumah sakit ini justru dijadikan sebagai tempat penampungan dan karantina tentara jepang dan masyarakat yang terserang wabah kolera. Hal ini sesuai dengan perkataan ibu Sumarni bahwa: “ Pada masa penjajahan Jepang. Jadi, yang dirawat di RS ini bukan hanya pasien gangguan jiwa saja yang dirawat. Karena pada saat itu terjadi wabah Kolera. Dan banyak sekali orang-orang yang terkena wabah tersebut ditampung di RS ini hampir 2000 orang lebih yang terkena wabah tersebut. Karena saking banyaknya masyarakat yang terkena wabah ini maka dirawat disini. Terlebih ketika itu rumah sakit tidak banyak”.6 Dari hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa alasan mengapa rumah sakit jiwa ini menjadi tempat perawatan pasien wabah kolera karena tidak memadainya fasilitas kesehatan di Indonesia saat itu, sehingga seluruh fasilitas umum khususnya fasilitas kesehatan digunakan sebagai tempat penyembuhan bagi pasien wabah kolera. 6 Wawancara pribadi dengan Ibu Sumarni S., SKM. Bogor, Rabu 25 Maret 2015. 57 B. Visi, Misi dan Tujuan 1. Visi Rumah sakit jiwa rujukan nasional dengan unggulan layanan rehabilitasi psikososial pada tahun 2019 2. Misi a. Mewujudkan layanan kesehatan jiwa dengan unggulan rehabilitasi psikososial b. Meningkatkan penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan riset unggulan dalam bidang kesehatan jiwa c. Meningkatkan peran strategis dalam program kesehatan jiwa nasional: bebas pasung, pengampunan/pembinaan layanan kesehatan jiwa di layanan primer dan rumah sakit umum. d. Meningkatkan kolaborasi dan pemberdayaan stakeholder. e. Meningkatkan komitmen dan kinerja pegawai untuk mencapai kesejahteraan.7 3. Tujuan Tujuan dari RS. Dr. H Marzoeki Mahdi Bogor adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat demi memajukan tingkat kesejahteraan umum dan juga demi mencerdaskan kehidupan bangsa melalui fleksibelitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas dan juga penerapan praktek bisnis yang sehat demi: a. 7 Tercapainya jasa layanan kesehatan jiwa dengan kualitas prima Wawancara pribadi dengan Ibu Sumarni S., SKM. Bogor, Rabu 25 Maret 2015. 58 b. Terciptanya produk unggulan dalam bidang kesehatan jiwa c. Tersedianya sumber daya manusia bidang kesehatan jiwa yang profesional dan berkomiten kegiatan rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor menyelenggarakan kegiatan: 1) Pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya kesehatan jiwa melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif serta pelayanan penunjangnya secara paripurna 2) Pengembangan pelayanan, pendidikan dan penelitian di bidang kesehatan jiwa, NAPZA dan pelayanan umum pendukung pelayanan kesehatan jiwa 3) Pendidikan, penelitian dan usaha lain di bidang kesehatan8 Agar tujuan rumah sakit dapat tercapai maka ada beberapa harapan ataupun prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman bagi seluruh civitas rumah sakit seperti motto dan makna filosofis logo rumah sakit. a. Motto Rumah Sakit Marzuki Mahdi Bogor Motto merupakan kalimat, frasa, atau kata yang digunakan sebagai pemicu semangat, pedoman atau prinsip. sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang mementingkan nilai-nilai humanisme motto yang tertanam, ialah: Pertama, sigap, penulis memahami bahwa seluruh civitas rumah sakit diharapkan selalu sigap saat merawat dan menyembuhkan pasien. Kedua, empati, empati adalah faktor yang dapat menumbuhkan rasa percaya, dan empati juga dianggap sebagai memahami orang lain 8 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 11 59 yang tidak mempunyai arti emosional bagi kita. Dan juga memiliki arti membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain. Dengan berempati kita berusaha melihat seperti orang lain melihat, merasakan seperti orang lain merasakannya.9Ketiga, harmonis, penulis dapat memahami bahwa semua civitas rumah sakit diharapkan untuk saling mendukung agar kenyamanan dan keakraban dapat terus. Keempat, antusias. Kelima, tertib. b. Makna Logo Logo rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yaitu berupa gambar empat ikan lumba-lumba yang sedang mengelilingi RSMM, logo ini telah ditetapkan sejak tahun 2004. 1) Makna ikan lumba-lumba a) Lumba-lumba memiliki sifat hidup berkelompok, yang menggambarkan tentang team work b) Hewan yang suka belajar, sebuah harapan agar organisasi RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor untuk terus selalu belajar. 9 Drs. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc, Psikologi Komunikasi (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2012), h. 131 60 c) Dapat hidup di laut dalam maupun di laut dangkal, menggambarkan bahwa rumah sakit ini mampu menyesuaikan diri dalam segala kondisi, dan hal ini telah terbukti dengan tetap eksisnya lembaga ini selama 128 tahun d) Hewan yang suka menolong, menggambarkan pengabdian RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor selalu melayani masyarakat 2) Makna jumlah 4 ekor ikan lumba-lumba Hal ini menggambarkan 4 (empat) pilar pelayanan yang ada di RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yaitu, pelayanan jiwa/psikiatri, pelayanan NAPZA, pelayanan nonpsikiatri/umum dan pendidikan dan penelitian. a) Pelayanan Jiwa/Psikiatri, pelayanan ini diberikan kepada pasien yang menderita gangguan jiwa.10 b) Pelayanan NAPZA, pelayanan diberikan kepada pasien yang addicted akan obat-obatan terlarang yaitu narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dan juga pasien yang terkena penyakit HIV/AIDS.11 c) Pelayanan nonpsikiatri/umum, pelayanan yang diberikan pada pasien nonpsikiatri yang memiliki jenis penyakit seperti penyakit 10 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 20 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 20 11 61 dalam, penyakit mata, kulit, telinga, gigi, kesehatan ibu dan anak dan lain sebagainya.12 d) Pendidikan dan penelitian, bagian ini merupakan bagian yang mengadakan perjanjian kerja sama dengan beberapa institusi seperti beberapa universitas di Indonesia, dan juga mengadakan beberapa pelatihan dan seminar, dan menjadi lahan penelitian bagi para karyawan maupun mahasiswa.13 Dari penjabaran diatas, jika empat pelayanan tersebut dianalogikan seperti empat lumba-lumba yang saling kejarkejaran dalam bentuk melingkar, maka dapat dipahami bahwa empat pelayanan tersebut diharapkan dapat terus bergerak bersama-sama tanpa henti dan tanpa terputus sesuai dengan makna filosofi bentuk lingkaran. 3) Makna warna logo Warna yang terdapat dalam logo ialah warna biru, kuning, dan hijau. Hal ini menggambarkan Tri Upaya Bina Jiwa, yang berarti pelayanan kesehatan jiwa mencakup 3 (tiga) bidang pelayanan, yaitu: a) Usaha prevensi dan promosi b) Usaha kuratif c) Usaha rehabilitatif14 12 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 25 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 26 14 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 12 13 62 Pendapat inipun senada dengan apa yang dikatakan oleh ibu Sumarni, yaitu: “Alasan logo lumba-lumba yang dipilih menjadi icon logo RSJ ini karena lumba-lumba merupakan binatang yang penyayang/penolong, suka tantangan terus kalo misalnya kalau ketengah laut selalu bersama-sama itulah yang mendasari kita mengambil lumba-lumba sebagai logo lalu mengapa 4, hal ini sesuai dengan 4 pilar RSJ yang pertama pelayanan kesehatan jiwa, pelayanan kesehatan umum, pelayanan NAPZA dan yang terakhir DIKLIT dan jika semuanya maju maka akan bergerak bersama. Dan warnanya biru itu kuratif, bentuknya bulat agar terus berputar dan tidak berhenti.” Dapat disimpulkan bahwa makna logo dan tujuan rumah sakit RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor memiliki titik poin yang sama yaitu agar semua aspek pelayanan dapat diberikan secara prima dan berkualitas. C. Fasilitas Pelayanan Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Pelayan yang diberikan oleh lembaga ini, ialah: pelayanan selama 24 jam bagi pasien psikiatri maupun non psikiatri, apotik, laboratorium, ruang radiologi dan jenis pelayanan lainnya. dengan berbagai jenis pelayanan medis dan fasilitas yang memadai, seperti: 1. Pelayanan kesehatan Jiwa a. Pelayanan gawat darurat psikiatri, Pelayanan ini merupakan pelayanan kegawatdaruratan yang diberikan kepada pasien gangguan jiwa akut, over dosis/intoksinasi Napza dan beroperasi selama 24 jam, serta dilayani oleh tim kesehatan jiwa yang profesional dan terlatih.15 15 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 18 63 b. Pelayanan rawat jalan psikiatri, pelayanan ini diberikan oleh dokter ahli kejiwaan/psikiater. Dengan fasilitas meliputi konsultasi, farmakoterapi, psikoterapi, psikoedukasi, pemeriksaan MMPI dan surat keterangan sehat jiwa dan bebas narkotika.16 c. Pelayanan rawat inap psikiatri, pelayanan ini terdiri dari 13 ruangan, dengan kapasitas 484 tempat tidur, yang terdiri dari: 1) Ruang PHCU (psychiatric high care unit), ruang ini tersedia hanya untuk pasien gangguan jiwa yang sangat akut (gaduh gelisah), dengan dua ruang didalamnya yaitu ruangan Kresna Pria dan Kresna Wanita.17 2) Ruang Intermediate, merupakan ruang peralihan dari ruang PHCU ke ruang pemulihan, dengan tuga ruangan didalamnya yaitu Ruang Utari, Ruang Gatot Kaca, Ruang Subadra.18 Dapat disimpulkan bahwa jika keadaan pasien sudah mulai membaik maka pasien akan dialihkan dari ruang jiwa akut PHCU menuju ruang yang agak tenang yaitu ruang intermediate. 3) Ruang Tenang, merupakan ruang peralihan dari ruang intermediate, ruangan yang tersedia berjumlah 9 ruangan 16 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 18 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 18 18 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 18 17 64 yaitu: Ruang Srikandi, Ruang Sadewa, Antareja, Bratasena, Dewi Amba, Arimbi, Saraswati, Abimanyu, Drupadi. Kesimpulannya ialah bahwa ruang tenang ini merupakan ruangan yang disediakan bagi pasien yang sudah mulai tenang sehingga sudah dapat banyak berinteraksi dengan sesama pasien maupun perawat, sehingga jika kondisi pasien sudah benar-benar membaik pasien sudah boleh dipulangkan. 4) Ruang Psiko Geriatri, ruang perawatan ini hanya tersedia bagi pasien gangguan jiwa dalam usia lanjut (LANSIA). 5) Ruang Perawatan Komorbiditas Fisik, merupakan tempat perawatan khusus untuk pasien gangguan jiwa yang disertai dengan penyakit fisik. 6) CLP : Consultation Liason Psychiatry (Paviliun Basudewa) Kegiatan rutin yang dilaksanakan di ruang rawat inap psikiatri ini meliputi: pemeriksaan rutin oleh dokter ruangan dan psikiater, evaluasi psikologi, psikoterapi dan psikoedukasi, terapi aktivitas kelompok, kegiatan rehabilitasi dan konseling dan penyuluhan keluarga. 2. Pelayanan NAPZA, pelayanan ini merupakan pelayanan yang diberikan bagi pasien yang terkena obat-obatan terlarang yaitu narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Pelayanan ini tersedia sejak tahun 2001 dan menjadi pusat rujukan pasien 65 NAPZA di Bogor, dengan jenis pelayanan meliputi: poliklinik VCT/CST HIV, ruang rehabilitasi, ruang detoksifikasi, ruang relaps, one stop service pelayanan HIV/AIDS, Ruang rawat (total care, biasa dan semi intensif).19 3. Pelayanan umum, menurut penulis pelayanan ini diberikan kepada pasien yang mengidap penyakit nonpsikiatri seperti penyakit dalam, mata, telinga dan lain sebagainya. Pelayanan jenis ini mulai dibangun sejak tahun 2002, Yang dilengkapi dengan fasilitas penunjang, yaitu: instalasi gawat darurat nonpsikiatri yang beroperasi selama 24 jam penuh, instalasi rawat jalan non psikiatri, pelayanan instalasi rawat jalan nonpsikiatri, instalasi rawat inap umum/non psikiatri dan kamar bedah.20 4. Pelayanan penunjang, menurut penulis pelayanan ini merupakan pelayanan penunjang demi mengoptimalkan pelayanan lainnya. dengan ragam pelayanan, yaitu: Instalasi Rehabilitasi Medik, Laboratorium, Radiologi, EEG, Farmasi, Ambulance RS, Fasilitas Taman, Binatu RS Pemulsaran Jenazah Satuan Pengamanan, Hemodialisa, dan Penunjang Spesialistik (endoscopy).21 5. Pelayanan pendidikan dan penelitian,22 pelayanan yang diberikan meliputi, fasilitasi kerjasama antara rumah sakit dengan berbagai 19 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 20 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 21-23 21 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 24 22 Profil Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor: 128 Tahun (1882-2010), h. 26 20 66 institusi, seperti institusi pendidikan dan institusi sosial, pengadaan seminar-seminar ataupun pelatihan, baik pelatihan kedokteran (psikiatri dan nonpsikiatri), keperawatan dan psikologi, serta memfasilitasi para karyawan dan mahasiswa yang hendak melakukan penelitian. D. Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan di rumah sakit ini meliputi tenaga kedokteran, farmasi/apoteker, psikolog, keperawatan, paramedis non keperawatan, dan S2 manajemen dan administrasi. 1. Tenaga kedokteran Terdapat beberapa tenaga kedokteran di rumah sakit ini, diantaranya: pertama, Dokter Spesialis Psikiatri anak dan Psikiatri remaja maupun dewasa yang berjumlah 13 orang. Kedua, Dokter Spesialis Gigi yang berjumlah 6 orang dan nonspesialis gigi berjumlah 3 orang. Ketiga,Dokter Umum yang berjumlah 24 orang.23 2. Tenaga fasmasi/apoteker Terdapat total 7 orang Apoteker baik spesialis maupun nonspesialis.24 3. Psikolog Psikolog yang terdapat di rumah sakit ini, merupakan sarjana S1/S2 bidang psikologi dari berbagai universitas, adapun jumlahnya yaitu 12 orang.25 23 Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. 24 67 4. Tenaga Keperawatan Tenaga keperawatan yang terdapat di rumah sakit ini merupakan para sarjana yang telah menempuh masa pendidikan jenjang D3, S1, S2 keperawatan yang berjumlah 481 orang.26 5. Paramedis non keperawatan, manajemen dan administrasi Tenaga kerja jenis paramedis nonkeperawatan ini berjumlah 87 orang, S2 manajemen (MARS, Mkes, MM, Msi) berjumlah 16 orang, tenaga administrasi 374 orang, sedangkan tenaga lainnya berjumlah 34 orang. Jadi dapat disimpulkan bahwa total jumlah tenaga kerja di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ini sebanyak 1072 orang.27 E. Grafik Kinerja Pelayanan Kunjungan Rawat Jalan Tahun 2005-2014 Chart Title 200.000 150.000 147579 100.000 91301 81.452 79.419 87.942 103.932 115.520 134.516 136.298 50.000 48.333 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Grafik 3.1 kinerja pelayanan di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor28 25 Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. 27 Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. 28 Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. 26 2014 68 Dari grafik diatas dapat dipahami bahwa kunjungan rawat jalan pasien sejak tahun 2005 hingga tahun 2014 bersifat fluktuatif. 1. Kunjungan pasien pada tahun 2005 lebih sedikit dibanding tahun-tahun setelahnya karena hanya berjumlah 48.333 pasien. 2. Kunjungan pasien pada tahun 2006 berjumlah 91.301 pasien. 3. Kunjungan pasien pada tahun 2007 mengalami penurunan hingga mencapai 81.452. 4. Kunjungan pasien pada tahun 2008 masih menurun hingga mancapai 79.419 pasien. 5. Kunjungan pasien pada tahun 2009 meningkat hingga mencapai 87.942. 6. Kunjungan pasien pada tahun 2010 meningkat tajam hingga mencapai 147.579 pasien, pencapaian tahun 2010 ini merupakan pencapaian tertinggi dari periode 2005 hingga tahun 2014 7. Kunjungan pasien pada tahun 2011 kembali menurun hingga 103.932. 8. Kunjungan pasien pada tahun 2012 kembali meningkat hingga 115.520. 9. Kunjungan pasien pada tahun 2013 terus meningkat hingga 134.516. 10. Kunjungan pasien pada tahun 2014 mencapai angka 136. 298. Kesimpulannya ialah bahwa total angka kunjungan pasien sejak tahun 2005-2014 berjumlah 1.026.292 pasien. Data diatas menunjukkan bahwa kunjungan pasien di Rs. Dr. H. Marzuki Mahdi Bogor tidak menentu, karena penurunan maupun peningkatan kunjungan kerap terjadi, dengan kunjungan paling sedikit ada pada tahun 2005 dengan jumlah 48.333 pasien dan terbanyak pada tahun 2010 dengan jumlah 147.579. 69 F. Data riwayat penyakit gangguan jiwa pasien tahun 2013-2014 1. 10 Besar Diagnosa Rawat Darurat Kasus Psikiatri No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Diagnosa Paranoid Schizofrenia Acute and transient psychotic disorder unspecified Unspecified nonorganic psychosis Deppresive episode unspecified HIV desease resulting in unspecified infectious or parasitic Imbalance of constituents of food intake Epilepsy, unspecified unspecified organic or symtomatic mental disorder Bipolar affective disorder unspecified Schizopernia unspecified Jumlah Kasus Baru L P Total 389 239 628 90 47 137 Kasus Lama L P Total 703 311 1014 7 6 13 1642 150 21 15 1 12 12 0 33 27 1 1 2 15 1 4 5 2 6 20 35 33 21 11 4 10 6 0 0 17 4 10 2 7 2 1 4 1 3 11 3 13 15 13 7 6 554 2 9 3 9 321 874 1 2 742 3 4 0 2 336 1078 Tabel 3.2 10 diagnosa rawat darurat kasus psikiatri29 Terdapat 10 jenis diagnosa gangguan jiwa di ruangan ini untuk periode 2013-2014, yaitu:paranoid schizoprenia, acute and transient psychotic disorder unspecified, unspecified nonorganic psychosis, deppresive episode unspecified, HIV desease resulting in unspecified infectious or parasitic, Imbalance of constituents of food intake, Epilepsy unspecified, unspecified organic or symtomatic mental disorder, Bipolar affective disorder unspecified, Schizopernia unspecified, dengan rincian data sebagai berikut: a. Paranoid schizoprenia, total pasien baru berjumlah 628 orang, dengan lakilaki berjumlah 389 orang, perempuan 239 orang. Sedangkan total pasien 29 Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Total 13 11 1953 70 lama berjumlah 1014 orang dengan laki-laki 703 orang, perempuan 311 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 1642 orang. b. Acute and transient psychotic disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 137 orang, dengan laki- laki berjumlah 90 orang, perempuan 47 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 13 orang dengan laki-laki 7 orang, perempuan 6 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 150 orang. c. Unspecified nonorganic psychosis, total pasien baru berjumlah 33 orang, dengan laki- laki berjumlah 21 orang, perempuan 12 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 2 orang dengan laki-laki 1 orang, perempuan 1 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 35 orang. d. Deppresive episode unspecified, total pasien baru berjumlah 27 orang, dengan laki- laki berjumlah 15 orang, perempuan 12 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 6 orang dengan laki-laki 2 orang, perempuan 4 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 33 orang. e. HIV desease resulting in unspecified infectious or parasitic, total pasien baru berjumlah 1 orang, dengan laki- laki berjumlah 1 orang, perempuan tidak ada. Sedangkan total pasien lama berjumlah 20 orang dengan laki-laki 15 orang, perempuan 5 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 21 orang. f. Imbalance of constituents of food intake, total pasien baru berjumlah 17 orang, dengan laki- laki berjumlah 11 orang, perempuan 6 orang. Sedangkan 71 total pasien lama berjumlah 3 orang dengan laki-laki 2 orang, perempuan 1 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 20 orang. g. Epilepsy unspecified, total pasien baru berjumlah 4 orang, dengan laki- laki berjumlah 4 orang, perempuan tidak ada. Sedangkan total pasien lama berjumlah 11 orang dengan laki-laki 7 orang, perempuan 4 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 15 orang. h. unspecified organic or symtomatic mental disorder, total pasien baru berjumlah 10 orang, dengan laki- laki berjumlah 10 orang, perempuan tidak ada. Sedangkan total pasien lama berjumlah 3 orang dengan laki-laki 2 orang, perempuan 1 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 13 orang. i. Bipolar affective disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 9 orang, dengan laki- laki berjumlah 7 orang, perempuan 2 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 4 orang dengan laki-laki 1 orang, perempuan 3 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 13 orang. j. Schizopernia unspecified, total pasien baru berjumlah 9 orang, dengan lakilaki berjumlah 6 orang, perempuan 3 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 2 orang dengan laki-laki 2 orang, perempuan tidak ada. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 11 orang. Dari tabel dan penjabaran diatas penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan. Kesimpulan pertama, jika kita membandingkan antara total jumlah pasien rawat darurat psikiatri dengan kasus baru berjumlah 874 sedangkan total pada kasus lama total berjumlah 1078. Dari total jumlah tersebut dapat 72 disimpulkan bahwa pasien yang kerapkali mengunjungi ruang gawat darurat psikiatri merupakan pasien lama yang belum sembuh sepenuhnya sehingga ia harus datang kembali ke ruangan tersebut untuk berobat. Kesimpulan kedua, jika dibandingkan antara total pasien psikiatri laki-laki yang berjumlah 1296 dan total pasien psikiatri perempuan hanya berjumlah 657. Dari total tersebut dapat dilihat bahwa ternyata pasien yang selama ini mendatangi ruang gawat darurat tersebut dominan kaum laki-laki. Kesimpulan ketiga, jika dilihat dari total pasien di setiap diagnosa penyakit kejiwaan diatas paling banyak pada kasus skizofrenia paranoid karena total jumlah pasiennya hingga mencapai 1642 sedangkan total pasien di kasus lain jauh dibawah itu, maka dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat lebih rentan terkena gangguan skizofrenia paranoid. 2. 10 Besar Diagnosa Rawat Jalan Kasus Psikiatri Tahun 2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Diagnosa Paranoid Schizofrenia Acute and transient psychotic disorder unspecified Deppresive episode unspecified Anxiety disorder unspecified Bipolar affective disorder unspecified Schizoaffective disorder unspecified Unspecified nonorganic psychosis Severa depressive episode with psychotic symptoms Conduct disorder unspecified Schizopernia unspecified Jumlah Kasus Baru L P Total 990 621 1611 185 144 110 64 46 60 145 144 123 89 42 54 330 288 233 153 88 114 34 49 23 10 35 63 1691 1340 83 33 98 3031 Kasus Lama L P Total 11932 6048 17980 270 113 187 127 97 58 190 218 172 158 92 38 460 331 359 285 189 96 53 67 120 86 51 137 21 25 46 12944 7059 20003 Total 19591 790 619 592 438 277 210 203 170 144 23034 73 Tabel 3.3 10 diagnosa rawat jalan kasus psikiatri tahun 201430 Terdapat 10 jenis diagnosa gangguan jiwa di ruang rawat jalan kasus psikiatri ini untuk periode 2013-2014, yaitu:Paranoid schizopernia, Acute and transient psychotic disorder unspecified, Deppresive episode unspecified, Anxiety disorder unspecified, Bipolar affective disorder unspecified, Schizoaffective disorder unspecified, Unspecified nonorganic psychosis, Severa depressive episode with psychotic symptoms, Conduct disorder unspecified, Unspecified dementia, adapun rinciannya sebagai berikut: a. Paranoid schizopernia, total pasien baru berjumlah 1611 orang, dengan lakilaki berjumlah 990 orang, perempuan 621 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 17980 orang dengan laki-laki 11932 orang, perempuan 6048 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 19591 orang. b. Acute and transient psychotic disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 330 orang, dengan laki- laki berjumlah 185 orang, perempuan 145 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 460 orang dengan laki-laki 270 orang, perempuan 190 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 790 orang. c. Deppresive episode unspecified, total pasien baru berjumlah 288 orang, dengan laki- laki berjumlah 144 orang, perempuan 144 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 331 orang dengan laki-laki 113 orang, perempuan 218 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 619 orang. 30 Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. 74 d. Anxiety disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 233 orang, dengan laki- laki berjumlah 110 orang, perempuan 123 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 359 orang dengan laki-laki 187 orang, perempuan 172 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 592 orang. e. Bipolar affective disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 153 orang, dengan laki- laki berjumlah 64 orang, perempuan 89 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 285 orang dengan laki-laki 127 orang, perempuan 158 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 438 orang. f. Schizoaffective disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 88 orang, dengan laki- laki berjumlah 46 orang, perempuan 42 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 189 orang dengan laki-laki 97 orang, perempuan 92 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 277 orang. g. Unspecified nonorganic psychosis, total pasien baru berjumlah 114 orang, dengan laki- laki berjumlah 60 orang, perempuan 54 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 96 orang dengan laki-laki 58 orang, perempuan 38 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 210 orang. h. Severa depressive episode with psychotic symptoms, total pasien baru berjumlah 83 orang, dengan laki- laki berjumlah 34 orang, perempuan 49 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 120 orang dengan laki-laki 53 orang, perempuan 67 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 203 orang. 75 i. Conduct disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 33 orang, dengan laki- laki berjumlah 23 orang, perempuan 10 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 137 orang dengan laki-laki 86 orang, perempuan 51 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 170 orang. j. Unspecified dementia, total pasien baru berjumlah 98 orang, dengan lakilaki berjumlah 35 orang, perempuan 63 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 46 orang dengan laki-laki 21 orang, perempuan 25 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 144 orang. Dari penjabaran diatas penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan. Kesimpulan pertama, bahwa total pasien pada rawat jalan kasus psikiatri untuk kasus baru berjumlah 3031, sedangkan kasus lama mencapai angka 20.003, hal ini membuktikan bahwa pasien yang telah dirawat dirumah sakit jiwa sebelumnya tidak sepenuhnya sembuh sehingga ia kembali terdaftar menjadi pasien gangguan jiwa. Kesimpulan kedua, total pasien perempuan baik kasus baru maupun lama berjumlah 8399 pasien, sedangkan untuk total pasien lakilaki mencapai angka 14.635 pasien. Dari total hitungan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kasus psikiatri ini lebih banyak dialami oleh kaum laki-laki. Kesimpulan ketiga, dari penjabaran diatas jika kita bandingkan total jumlah pasien dari setiap diagnosa kasus psikiatri untuk rawat jalan yang ada maka dapat disimpulkan bahwa jenis gangguan kejiwaan yang kerapkali melanda masyarakat Indonesia di tahun 2014 ialah gangguan paranoid schicoprenia. 76 3. 10 Besar Diagnosa Rawat Inap Kasus Psikiatri Tahun 2013- 2014 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Diagnosa Paranoid Schizofrenia Acute and transient psychotic disorder unspecified Unspecified nonorganic psychosis Deppresive episode unspecified HIV desease resulting in unspecified infectious or parasitic Imbalance of constituents of food intake Epilepsy, unspecified unspecified organic or symtomatic mental disorder Bipolar affective disorder unspecified Schizopernia unspecified Jumlah Kasus Baru L P Total 245 98 343 Kasus Lama L P Total 513 233 746 262 76 49 88 71 28 350 147 77 52 15 4 5 42 5 57 57 9 407 204 86 21 29 35 34 25 20 55 54 55 13 5 5 18 4 2 31 9 7 86 63 62 26 18 20 781 12 29 24 429 38 47 44 1,21 12 0 0 619 11 2 2 324 23 2 2 943 61 49 46 2,153 Tabel 3.4 10 besar diagnosa rawat inap kasus psikiatri tahun 2013-201431 Terdapat 10 jenis diagnosa gangguan jiwa di ruang rawat inap kasus psikiatri ini untuk periode 2013-2014, seperti paranoid schizoprenia, acute and transient psychotic disorder unspecified, unspecified nonorganic psychosis, deppresive episode unspecified, HIV desease resulting in unspecified infectious or parasitic, Imbalance of constituents of food intake, Epilepsy unspecified, unspecified organic or symtomatic mental disorder, Bipolar affective disorder unspecified, Schizopernia unspecified, adapun rinciannya sebagai berikut: a. Paranoid Schizofrenia, total pasien baru berjumlah 343 orang, dengan lakilaki berjumlah 245 orang, perempuan 98 orang. Sedangkan total pasien 31 Arsip Rumah Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Total 1,089 77 lama berjumlah 746 orang dengan laki-laki 513 orang, perempuan 98 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 1089 orang. b. Acute and transient psychotic disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 350 orang, dengan laki- laki berjumlah 262 orang, perempuan 88 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 57 orang dengan laki-laki 52 orang, perempuan 5 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 407 orang. c. Unspecified nonorganic psychosis, total pasien baru berjumlah 147 orang, dengan laki- laki berjumlah 76 orang, perempuan 71 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 57 orang dengan laki-laki 15 orang, perempuan 41 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 204 orang. d. Deppresive episode unspecified, total pasien baru berjumlah 77 orang, dengan laki- laki berjumlah 49 orang, perempuan 28 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 9 orang dengan laki-laki 4 orang, perempuan 5 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 86 orang. e. HIV desease resulting in unspecified infectious or parasitic, total pasien baru berjumlah 55 orang, dengan laki- laki berjumlah 21 orang, perempuan 34 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 31 orang dengan laki-laki 13 orang, perempuan 18 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 86 orang. f. Imbalance of constituents of food intake, total pasien baru berjumlah 54 orang, dengan laki- laki berjumlah 29 orang, perempuan 25 orang. 78 Sedangkan total pasien lama berjumlah 9 orang dengan laki-laki 5 orang, perempuan 4 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 63 orang. g. Epilepsy unspecified, total pasien baru berjumlah 55 orang, dengan lakilaki berjumlah 35 orang, perempuan 20 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 7 orang dengan laki-laki 5 orang, perempuan 2 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 62 orang. h. unspecified organic or symtomatic mental disorder, total pasien baru berjumlah 38 orang, dengan laki- laki berjumlah 26 orang, perempuan 12 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 23 orang dengan laki-laki 12 orang, perempuan 11 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 61 orang. i. Bipolar affective disorder unspecified, total pasien baru berjumlah 47 orang, dengan laki- laki berjumlah 18 orang, perempuan 29 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 2 orang dengan laki-laki tidak ada, perempuan 2 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 49 orang. j. Schizopernia unspecified, total pasien baru berjumlah 44 orang, dengan laki- laki berjumlah 20 orang, perempuan 24 orang. Sedangkan total pasien lama berjumlah 2 orang dengan laki-laki tidak ada, perempuan 2 orang. Sehingga total keseluruhan jenis diagnosis ini mencapai 46 orang. Dari beberapa penjabaran maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: kesimpulan pertama, total jumlah pasien baru yang jumlahnya mencapai 79 1210, sedangkan pasien lama mencapai 943. Dari total jumlah tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penghuni rawat inap kasus psikiatri lebih banyak pasien baru. Kesimpulan kedua, jika kita bandingkan total pasien perempuan yang mencapai 753, sedangkan laki-laki mencapai 1400. Dari total perolehan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasien yang menghuni ruangan di rumah sakit jiwa ini lebih banyak laki-laki dibanding perempuan. Kesimpulan ketiga, jika kita melihat pada total jumlah pasien di setiap jenis penyakit gangguan kejiwaannya, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit gangguan skizofrenia paranoid lebih rentan menjangkit masyarakat dibanding jenis gangguan kejiwaan lainnya pendapat ini dilandasi oleh data pasien yang mencapai 1.089 pasien. Dari kesimpulan tiga tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2014 ini pasien yang seringkali mengunjungi ruang gawat darurat, ruang rawat jalan maupun ruang rawat inap pikiatri dominan pasien lama, dan berjenis kelamin laki-laki, adapun jenis kasus psikiatri yang melanda ialah jenis kasus skizofrenia paranoid. BAB IV ANALISIS POLA KOMUNIKASI ANTARA PERAWAT TERHADAP PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT DR. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR A. Identifikasi Informan 1. Identifikasi Perawat Kejiwaan Di Rumah Sakit Jiwa Marzuki Mahdi Bogor Agar hasil penelitian dapat mendapatkan hasil yang optimal, maka peneliti melibatkan 6 perawat dalam proses penelitian ini yaitu pak Ahmad Riva’I, pak Mamat Sutedi, ibu ernawati, ibu Nurmilah, ibu Siti Rohmah, dan ibu Fujiati. a. Ahmad Rivai, Amd Kep. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Pak Riva’I dan merupakan kepala ruangan di bangsal Yudistira. Ia telah menjadi perawat di rumah sakit ini sejak tahun 1990 hingga sekarang. Menurutnya hambatan/kesulitan yang kerapkali ditemukan saat berinteraksi dengan pasien ialah saat menghadapi pasien yang tidak kooperatif untuk berkomunikasi/beriteraksi, saat pasien masih dominan dikuasai oleh halusinasi visual maupun auditori dan ketika pasien yang seringkali menunjukan perilaku kekerasan. Sedangkan pengalamannya ialah disaat pasien menunjukkan perkembangan positif yang signifikan, halusinasinya hilang atau berkurang, emosinya stabil, perilakunya baik, aktifitasnya terarah, dan cara pasien berkomunikasi dengan sesama terarah/koheren. Adapun pendekatan yang dilakukan oleh pak Riva’I saat berinteraksi dengan 80 81 pasien ialah dengan membina hubungan saling percaya terlebih dahulu sebelum menjalin hubungan komunikasi yang lebih jauh, menyapa pasien dengan ramah, memperkenalkan diri dengan sopan, menanyakan nama lengkap pasien dan nama panggilan, memperjelas tujuan, jujur dan menepati janji terhadap pasien, menunjukkan sikap empati, memberikan perhatian yang penuh, memberikan intonasi yang sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien serta mengajarkannya bagaimana cara untuk mengatasi halusinasi dan rasa marah.1 b. Mamat Sutedi, Amd kep. Biasa dipanggil dengan sebutan Pak Mamat, beliau telah bekerja disini sejak tahun 1991. Menurutnya yang menjadi hambatan/kesulitan saat berinteraksi dengan pasien ialah saat pasien berbicara menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh perawat, saat pasien tidak mau berkomunikasi dengannya. Dan halhal yang menurutnya menarik ialah saat pasien mudah untuk diajak berkomunikasi (kooperatif). Saat menghadapi pasien ia menggunakan teknik komunikasi yang asertif dan setiap memulai interaksi ia menerapkan prinsip BHSP (bina hubungan saling percaya) barulah setelah kepercayaan tersebut terbangun ia menggunakan teknik TAK atau terapi aktifitas kelompok.2 c. Ernawati, Amd Kep. Ia telah mengabdi selama 11 tahun sejak tahun 2004 lalu. Menurutnya yang menjadi kesulitan saat bertugas ialah saat pasien hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa daerahnya, sehingga 1 Wawancara pribadi dengan bapak Ahmad Riva’I , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Bogor 18 Mei 2015 2 Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Bogor 18 Mei 2015 82 ia sulit untuk memahami maksud dari pasien dan begitupun sebaliknya. Sedangkan hal yang menurutnya menarik saat bertugas ialah saat ia dapat mengetahui berbagai macam penyebab masalah yang dihadapi oleh pasien sehingga dari masalah tersebut bu Erna dapat mengambil pelajaran hidup.3 d. Nurmilah, Amd Kep. Biasa dipanggil Ibu Milah, ia telah mengabdi di rumah sakit ini sejak 11 tahun yang lalu atau sejak tahun 2004. Menurtnya hal yang menjadi hambatan ataupun kesulitan saat ia bertugas ialah saat pasien berbicara tidak nyambung/inkoheren dengan apa yang sedang dibicarakan, menunjukan ekspresi tegang karena marah, masih sangat gelisah sehingga tiba-tiba memukul perawat. sedangkan hal yang menurutnya menarik saat pasien menunjukan kondisi yang tenang sehingga dapat dengan mudah bekerjasama dengan perawat, pasien mau mengikuti kegiatan penyembuhan dengan baik dan antusias. Selama ini ia menggunakan teknik komunikasi yang mengedepankan kontrak terlebih dahulu saat hendak berkomunikasi sehingga di proses selanjutnya pasien dapat lebih terbuka terhadap perawat.4 e. Siti Rohmah, Amd Kep. Biasa dipanggil dengan nama ibu Siti. Ia telah mengabdi di rumah sakit ini sejak tahun 2003 yang lalu. Kesulitan yang seringkali ia temukan saat menghadapi pasien ialah 3 Wawancara pribadi dengan Ibu Ernawati , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Bogor 18 Mei 2015 4 Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Bogor 18 Mei 2015 83 saat pasien hanya bisa berbicara dan mengerti bahasa daerahnya saja. Yang berdampak sulitnya berkomunikasi karena kedua belah pihak sama-sama tidak mengerti bahasa yang dimaksud, saat pasien menunjukan perilaku yang tidak kooperatif sehingga seringkali perawat hilang kesabaran dengan membentak pasien, dan saat kondisi pasien yang masih gelisah dan menutup diri sehingga perawat sulit untuk menjalin hubungan dengan pasien. Menurutnya hal menarik saat ia bertugas ialah saat pengobatan pasien berhasil ditandai dengan pasien dapat kembali melakukan kegiatan/aktifitas di rumah dengan mandiri. Teknik komunikasi andalan yang ia lakukan saat menghadapi pasien ini ialah dengan cara pendekatan langsung secara terapeutik dan melaksanakan proses TAK (terapi aktifitas kelompok).5 f. Fujiati, Amd Kep. Biasa dipanggil dengan ibu Fuji dan telah bekerja di rumah sakit ini sejak tahun 1985. Yang menurutnya menjadi hambatan saat bertugas saat terapi yang diberikan oleh pihak rumah sakit belum sesuai dengan keluhan pasien sehingga kesembuhan tidak optimal, dan saat dimana pasien suka keluyuran sendiri. Adapun hal menurutnya menarik ialah saat terapi yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien sehingga pasien cepat menjadi tenang dan sembuh. Pendekatan komunikasi yang ia lakukan ialah dengan teknik komunikasi yang tegas, asertif, membimbing dan komunikatif.6 5 Wawancara pribadi dengan Ibu Siti Rohmah , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Bogor 18 Mei 2015 6 Wawancara pribadi dengan Ibu Fujiati , Amd Kep, Perawat RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Bogor 18 Mei 2015 84 2. Identifikasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Marzuki Mahdi Bogor Terdapat dua pasien yang terlibat dalam proses penelitian ini yang pertama namanya berinisial K dengan gangguan skizofrenia hebefrenik dan yang kedua namanya berinisial S dengan gangguan skizofrenia tipe paranoid ISOS (isolasi sosial) a. Pasien yang berinisial K (nama disamarkan karena berkaitan dengan dokumen rahasia rumah sakit), ia merupakan seorang laki-laki dan telah didiagnosis skizofrenia tipe hebefrenik sejak ia duduk di kelas II SMA. Umur 51 tahun, status belum menikah, ia berasal dari Jakarta.telah di rawat di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor sejak tahun 2012 yang sebelumnya hanya dirawat di sebuah yayasan kejiwaan. Sikap sangat introvertlah yang menjadi penyebab utama penyakitnya. Awal mulanya sejak SMA ia menyukai seorang perempuan yang berinisial A namun akibat rasa kurang percaya diri ia tidak dapat mengungkapkan perasaan yang ia punya, akibatnya ia hanya memendam perasaannya sendiri selama bertahun-tahun, suatu hari perempuan yang dimaksud mengetahui perasaan pasien, namun respon yang diberikan A kepada K cenderung antipati. Sehingga akhirnya ia frustasi. Hal ini berdampak buruk bagi dirinya karena setelah kejadian tersebut ia menjadi malas dan tidak mau sekolah. Penyebab kedua ialah minimnya kemampuan mencerna pelajaran, sehingga ia merasa tidak percaya diri dan karena sifatnya yang cenderung sangat tertutup ia tidak bisa berbagi apa yang ia rasakan 85 terhadap orang lain. Rasa marah, rasa kesal, rasa tidak percaya diri ia pendam sendiri.7 Gejala awal yang ia tunjukan ialah tingkah laku yang uring-uringan namun beberapa tahun kemudian tingkahnya semakin aneh, Dan pada tahun 2014 tanggal 20 desember keluhan utama saat di RSJ ialah sering berbicara inkoheren dan pikirannya dipenuhi dengan halusinasi auditori. Pada tahun 2015 bulan februari keluhan utamanya yaitu ia sering berbicara dan tertawa sendiri kedua hal ini dipicu oleh halusinasi auditori dan visualnya yang kuat. Keluhan terakhir di tahun yang sama yaitu 2015 bulan mei ia memiliki keluhan sering marah-marah, dengan menggedor-gedor pintu.8 b. Pasien kedua yang menjadi informan peneliti berinisial S (nama disamarkan karena berkaitan dengan dokumen rahasia rumah sakit), ia merupakan pasien yang didiagnosis mengidap gangguan skizofrenia tipe paranoid ISOS (isolasi sosial) sejak awal bulan januari 2015, ia adalah seorang lelaki yang berasal dari daerah Bogor dan dirawat dirumah sakit jiwa Dr. H. Marzuki Mahdi Bogor sejak tanggal 30 Januari 2015 dan dijadwalkan keluar tanggal 08 maret 2015. Ia berumur 35 tahun dengan status belum menikah. Ia merupakan pasien yang memiliki keluhan utama selalu diam dan sangat amat sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain dan hal ini dipicu oleh sifat pendiamnya, adapun penyebab yang melatarbelakangi gangguannya 7 Hasil wawancara pribadi dengan salah satu keluarga pasien yaitu bapak Suhendra, Bogor 18 Mei 2015 8 Data dari rekam medis pasien kejiwaan RSJ Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor pada tanggal 18 Mei 2015 86 ialah rasa kurang percaya akan dirinya sendiri karena ia memiliki bentuk tubuh yang besar dan terdapat banyak bercak putih di wajah dan tubuhnya sehingga ia akhirnya frustasi dan memilih untuk selalu berdiam diri. Menurut perawat diamnya dipicu oleh halusinasi yang ia lihat dan ia dengar yang selalu membisiki pikirannya untuk selalu diam tidak bicara. Meski pada masa penyembuhannya ia telah di terapi ECT yaitu nama terapi agar memori dalam pikirannya terbuka dan akhirnya ia mau berbicara dengan orang lain, namun karena memang pada dasarnya ia pendiam dan memiliki keluhan harga diri rendah terapi tersebut tidak efektif dengan bukti setelah terapi dilaksanakan respon yang ia berikan tetap saja diam. Dan faktor diam inilah yang melatarbelakangi pihak keluarga membawanya ke rumah sakit ini.9 Jika ditarik benang merah dari kedua kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hal yang paling menjadi pondasi masalah keduanya ialah rasa rendah diri dan sifat introvertnya yang berlebihan yang karenanya ia selalu memendam rasanya sendiri selama kurun waktu yang cukup lama dan akibat konsep dirinya yang kurang baik mereka larut oleh perasaannya sendiri dan hal ini menyebabkan mereka frustasi hingga akhirnya jiwanya tergoncang. B. Komunikasi antarpribadi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dalam Proses Meningkatkan Kesadaran 9 Hasil wawancara dengan Perawat ruangan Yudistira Ibu Nurmilah pada tanggal 18 mei 2015 87 1. Analisis Pengembangan Hubungan antara Perawat terhadap Pasien Skizofrenia a. Komponen-Komponen Pengembangan Hubungan antara Perawat terhadap Pasien Skizofrenia Berdasarkan hasil observasi lapangan, peneliti menemukan bahwa pola komunikasi yang terjalin antara perawat terhadap pasien skizofrenia di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor ialah pola komunikasi antarpribadi. Komponen dalam proses komunikasi yang memiliki keterikatan antara satu sama lain, yaitu: sumber/komunikator, proses encoding, pesan/informasi, media, komunikan, proses decoding, umpan balik/feed back, dampak, dan gangguan (noise). Begitupun dalam proses pengembangan hubungan yang terjalin antara perawat dan pasien ini, dimana perawat berperan sebagai komunikator, pasien penderita skizofrenia berperan sebagai komunikan, terdapat proses encoding yang dilakukan dalam diri komunikator, pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan, adanya proses decoding sehingga menghasilkan umpan balik/feed back dari komunikan kepada komunikator, serta ada dampak yang dihasilkan, Meski tingkat kontribusi dalam proses komunikasi ini lebih dominan terjadi di pihak komunikator (perawat) dibanding komunikan (pasien) hal ini disinyalir oleh kondisi mental pasien yang proses interaksinya akan lebih berjalan jika terdapat stimulus yang signifikan. Dalam proses komunikasi hal komunikator, yaitu. Pertama, yang harus dimiliki oleh komunikator diharapkan memiliki 88 kredibilitas yang tinggi bagi komunikasinya. Kedua, memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik. Ketiga,mempunyai pengetahuan yang luas. Keempat, memiliki sikap yang baik. Kelima, memiliki daya tarik atau memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan sikap/menambah pengetahuan pada diri sendiri. Teori tersebutpun terbukti ketika memang perawat memang memiliki kredibilitas dan skill komunikasi yang baik karena terlihat dari background komunikator yang telah berprofesi sebagai perawat sejak lama dan telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan selama kurang lebih 4 tahun bagi jenjang S1 keperawatan dan 3 tahun untuk jenjang D3 keperawatan. Komunikator inipun memiliki pengetahuan yang mapan tentang pasien yang diasuhnya karena setiap awal masa perawatan, pasien akan didata dan dianalisis berdasarkan informasi yang didapat dari keluarga maupun dari pasien itu sendiri. “Latar belakang penyakit pasien misalnya kenapa pasien akhirnya dibawa kemari, riwayat hal yang telah ia lakukan, misalnya memukul ibu atau bapaknya, misalnya keluarga tidak sanggup menghadapi pasien, lalu dimasukan ke IGD dan kita berkolaborsi dengan dokter.”10 Dampak dari proses komunikasi dapat diklasifikasikan menurut kadarnya yaitu dampak kognitif, yaitu berkat komunikasi seseorang menjadi tahu tentang sesuatu, afektif dan psikomotorik yang merupakan dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk tindakan atau perilaku. Begitupun dampak yang dihasilkan dari proses interaksi 10 Wawancara pribadi dengan bapak Riva’i, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang yudistira, Bogor 18 Februari 2015 89 terhadap diri pasien psikomotorik/behavioral. ialah Dampak dampak kognitif kognitif misalnya dan kini dampak pasien mengetahui tentang cara menghardik halusinasi dengan cara meyakinkan diri sendiri bahwa bisikan halusinasi tersebut tidaklah nyata. Sedangkan dampak psikomotorik/behavioral, ketika pasien sudah benar-benar mampu mempraktikan pengetahuan kognitifnya dalam kehidupan sehariharinya, misalnya pasien kini sadar akan menjaga kebersihan dirinya sendiri dengan mandi sendiri, mengangganti baju dan melakukan tindakan menjaga kebersihan lainnya secara mandiri. b. Ciri-ciri Pengembangan Komunikasi yang Terjalin antara Perawat terhadap Pasien Skizofrenia Ciri-ciri dalam komunikasi antarpribadi ialah harus pesan dua arah, suasana nonformal, umpan balik segera, peserta komunikasi memiliki jarak yang dekat, dan proses komunikasi dilakukan secara simultan. Begitupun ciri yang terdapat dalam onjek penelitian ini, yaitu: prosesnya terjalin secara dua arah, suasana nonformal, umpan balik segera, peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat. 1) Suasana nonformal Ciri-ciri dalam komunikasi antarpribadi yang telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa proses komunikasi ini dilaksanakan secara egaliter ataupun sejajar maka proses komunikasi bersifat santai, tidak kaku dan tidak terpaku dengan jabatan lawan bicara karena dalam komunikasi ini pendekatan secara personal lebih ditingkatkan. Begitupun yang terjadi dalam proses komunikasi ini dimana meski 90 komunikan mengalami masalah dalam dirinya, namun tetap saja ia berhak diperlakukan layaknya manusia secara umum. Terlebih jika proses interaksi yang terjalin adalah komunikasi yang sifatnya personal. ”saat berkomunikasi meski ada teori tapi kita tidak terlalu berpacu pada teori tersebut, artinya proses komunikasi bersifat natural saja dan sangat disesuaikan dengan keadaan pasien, agar pasien nyaman.”11 Penulis dapat memahami bahwa meski dalam dunia keperawatan telah ada ilmu ataupun acuan yang digunakan saat berinteraksi dengan pasien seperti komunikasi terapeutik, namun pada prakteknya komunikasi dilaksanakan sesantai mungkin agar iklim komunikasi nonformal dapat terjalin sehingga pasien tidak merasa di justifikasi oleh perawat dan berkat hal tersebut proses komunikasipun dapat terjalin secara dua arah. 2) Peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat Dalam komunikasi antarpribadi secara fisik akan berdekatan satu sama lain sehingga memungkinkan pembicaraan yang bersifat pribadi dan rahasia. Kedekatan ini sekaligus menunjukkan derajat hubungan antara dua belah pihak. Berdasarkan hasil observasi, terdapat sinkronisasi antara teori tersebut dengan hasil lapangan karena proses interaksi perawat dan pasien selalu dilaksanakan secara tatap muka sehingga baik pesan verbal maupun pesan nonverbal dapat diketahui secara spontan dan hubungan yang terjalin terkesan lebih personal dan rahasia. Dan 11 Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati , Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 91 komunikasi/interaksi antara perawat terhadap pasien merupakan salah satu metode penyembuhan yang diberikan rumah sakit kepada pasien. Oleh sebab itu, prosesnya selalu dilaksanakan secara berdekatan. dan lazimnya dilaksanakan di sekitar ruang asuh pasien. Hanya saja pada poin ini kerahasiaan tidak diutamakan karena meski komunikasi dilaksanakan secara berdekatan namun bukan berarti proses ini dilaksanakan benar-benar diruang tertutup karena disekitar komunikator dan komunikan terdapat pasien dan perawat-perawat lain. 3) Umpan balik segera Umpan Balik (feed back) merupakan tanggapan, jawaban atau respon komunikan kepada komunikator, bahwa komunikasinya dapat diterima dan berjalan. Dalam proses komunikasi antara perawat dan pasien umpan balik merupakan indikator apakah jalinan komunikasi terjalin efektif atau tidak. Umpan balik pasien disesuaikan dengan kemampuan sosialisasi mereka, seperti pasien yang memiliki riwayat ISOS (isolasi sosial), feedback atau umpan balik yang diberikan cenderung negatif karena ia lebih suka berdiam diri dan sukar untuk berbicara banyak. “Jika perawat banyak bertanya atau banyak mengajaknya berinteraksi ia akan lebih banyak diam.”12 “Respon mah ada aja, walaupun jawabnya singkat-singkat aja.”13 12 Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 13 Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 92 “Yang ngasih respon sih ada beberapa, Cuma kalo pasiennya ISOS ia akan jawabnya ia tidak, ia tidak aja, tapi kalo memang pasiennya yang kooperatif baru ia akan tanya balik.”14 Sedangkan pasien hebefrenik, feed back yang diberikannya akan selalu sama seperti dengan proses komunikasi sebelumnya karena apa yang ingin ia dengar dan apa yang ingin ia bicarakan hanyalah seputar keinginannya saja. “Respon ada, cuman hampir rata-rata yang dia omongin hampir sama, kalo hari ini yang obrolin itu yah besok juga yang diobrolin akan sama juga. Kenapa sama, karena yang ingin ia dengar, yang ingin ia bicarakan seputar itu-itu saja.”15 Berdasarkan hasil observasi pasien yang memiliki masalah komunikasi cenderung pada pasien ISOS dan Hebefrenik saja karena pasien-pasien lain, seperti pasien riwayat RPK (riwayat perilaku kekerasan), Waham, RBD (riwayat bunuh diri) menunjukan geliat komunikasi yang baik. Berikut percakapan yang dilakukan antara perawat dengan pasien skizofrenia tipe paranoid waham. “Perawat: iwan kenapa iwan dibawa kesini iwan? Pasien: dibawa kesini, karena pingin motor, Perawat: wah pingin motor, suster pingin pesawat. Perawat: emang udah kerja? Pasien: udah Perawat: kerja apa iwan? 14 Wawancara pribadi dengan ibu Ernawati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 15 Wawancara pribadi dengan ibu Ernawati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 93 Pasien: kerja biasa, cangkul.”16 Berdasarkan penyelidikan, perbedaan kondisi umpan balik/feed back antara pasien ISOS, Hebefrenik dengan pasien RPK, Waham, HDR ini dilatar belakangi oleh penyebab penyakitnya dan juga karakter asli pasien karena jika memang pasien memiliki karakter yang pendiam maka saat gangguan jiwanya terganggupun ia akan tetap saja menjadi pribadi yang diam. c. Bentuk Pesan yang Digunakan Perawat Saat Berkomunikasi Dengan Pasien Pesan yang digunakan dalam komunikasi antarpribadi yaitu pesan bersifat umum, jelas dan gamblang, bahasa yang jelas, positif, seimbang, dan penyesuaian dengan keinginan komunikator. Begitupun dalam proses ini pesan/bahasa yang digunakan bersifat jelas dan umum. Hal ini bertujuan agar pasien dapat dengan mudah memahami maksud dari perawat sehingga pasien dapat responsif mengimplementasikan apa yang dibicarakan oleh perawat. “Kalo kata-katanya, kita cari kata-kata yang mudah yah, kata-kata yang mudah difahami mereka, bahasa yang sehari yang engga sulit mereka fahami, bahasan yang dasar-dasar aja misalkan tadi udah makan belum? Makannya pakai apa?, jangan ditanya yang anehaneh kan susah juga yah buat mereka tar jawabnya. Misalnya udah nikah belum, gimana tadi tidurnya?.”17 Selain penggunaan bahasa yang jelas, mudah dan gamblang perawat juga kadang menggunakan bahasa daerah, seperti bahasa sunda, 16 Percakapan antara perawat ruangan Yudistira dengan pasien skizofrenia tipe paranoid wahambernama Iwan pada tanggal 20 Februari 2015 17 Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015 94 jawa dan bahasa daerah lainnya sesuai dengan latar belakang pasien. hal ini bertujuan agar pasien merasa nyaman dan merasa akrab dengan perawat sehingga hubungan emosional dapat dengan mudah terjalin. “Kalau dari segi bahasa paling pakai bahasa indonesia, kalo yang dari sunda ya pake bahasa sunda.”18 Pasien hebefrenik adalah pasien yang hanya akan membicarakan dan mendengarkan topik yang ia inginkan saja sehingga pesan yang disampaikan perawatpun harus sesuai dengan keinginan tersebut. “Perawat: kalo yang hebefrenik sih susah yah, kadang kalo kita ngomong engga di denger, dia kan udah sibuk yah dengan dunianya. Peneliti: lalu, saat keadaan yang seperti itu, maka bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka agar mereka mau mendengarkan perawat? Perawat: yah, kita ngikutin mereka dulu”.19 Dari beberapa poin diatas dapat disimpulkan bahwa pesan yang digunakan bersifat positif, disesuaikan dengan kondisi pasien, sehingga apa yang disampaikan tidak ada yang menganggu ketenangan pasien, karena secara kodrati manusia tak ingin mendengarkan dan melihat halhal yang tidak menyenangkan dari dirinya. Oleh karena itu, setiap pesan agar diusahakan bermakna positif. Bentuk pesan dapat bersifat informatif, persuasif dan koersif. Begitupun dalam kasus ini bentuk pesan yang digunakan dalam proses penetrasi ini lebih berbentuk persuasif atau ajakan. Karena bujukan 18 Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 19 Percakapan antara peneliti dengan perawat ibu Nurmilah di ruang Yudistira pada tanggal 17 Februari 2015 95 ialah proses membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan rupa pendapat atau sikap sehingga ada perubahan. Hal ini dapat diidentifikasi dari cara perawat berkomunikasi dengan pasien dengan intonasi yang lembut, pelanpelan, dan ada upaya pembangkitan kemampuan kognitif karena apapun yang disampaikan ialah demi merangsang kembali kesadaran pasien. “Kita tanya baik-baik dan selidiki dengan bahasa yang baik, Berarti kita bujuk/persuasi.” d. Tujuan Proses Komunikasi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia Komunikasi antarpribadi merupakan suatu action oriented atau suatu kegiatan yang dilakukan untuk tujuan tertentu, seperti mengungkapkan perhatian kepada orang lain, mengenal diri sendiri dan orang lain, menemukan dunia luar, menciptakan dan memelihara hubungan menjadi bermakna, mempengaruhi sikap dan perilaku, bermain dan mencari hiburan, menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi dan memberikan bantuan atau konseling. Jika diselidiki, maka tujuan pada praktek komunikasi ini lebih cenderung pada poin memberikan bantuan dan konseling kepada pasien yang sedang mengalami gangguan jiwa agar kembali sadar dan sembuh. 1) Membantu menghilangkan perilaku abnormal pasien Pada intinya segala hal yang diberikan oleh pihak rumah sakit kepada pasien dilakukan semata-mata untuk mengembalikan kesadaran pasien agar pasien semakin sadar akan keberadaan dirinya dan lingkungan sekitar sehingga kelak ia mampu kembali beraktifitas seperti biasanya. Misalnya yang pada awalnya ia bekerja sebagai 96 petani maka setelah keluar rumah sakit perawat berharap agar pasien kembali mampu melakukan kegiatannya secara normal, segala bentuk tindak abnormal bisa hilang seutuhnya dan kondisi lingkungan kembali kondusif saat ada pasien di lingkungan sekitar. “Tujuannya yah, untuk kesembuhan dia, saat pulang nanti seperti marah-marah, ngomong sendiri, g mau mandi, ngamukngamuk g jelas, nah, sepuluh item itu ya paling tidak beberapa item itu hilang.” 2) Membantu menghilangkan halusinasi pasien Tujuan lainnya ialah membantu pasien dalam menghilangkan/mengalihkan halusinasi ataupun delusi yang timbul dalam pikiran pasien, karena jika ia tidak dibiasakan berinteraksi dengan perawat ataupun sesama pasien dikhawatirkan akan semakin merasa sendiri, dan berdampak memburuknya kondisi pasien. “Bercakap-cakap dengan perawat atau pasien lainnya merupakan suatu aktifitas yang penting untuk bisa mendistraksi halusinasi pasien. Dan kegiatan-kegiatan lain seperti mengarahkan minat/bakat pasien.” 3) Membantu membiasakan aktifitas pasien Proses komunikasi yang terjalin antara perawat dan pasien merupakan salah satu trick agar perawat dengan mudah mengarahkan pasien menuju arah kesembuhan. Oleh karena itu, sesederhana apapun bentuk komunikasi dan konten yang disampaikan tetap saja selalu ada pesan penyembuhan disana. Oleh karena itu, proses ini bertujuan untuk menstimulasi pasien agar selalu ingat akan kewajibannya sebagai pasien, seperti menjalankan terapi yang telah disediakan oleh pihak 97 rehabilitasi, meminum obat secara teratur, dan tindakan-tindakan penunjang kesembuhan lainnya. “Berkomunikasi itu cara buat terus mengingatkan pasien, agar pasien terbiasa.”20 4) Membantu membentuk kembali jati diri/semangat pasien Hal terpenting dalam proses komunikasi yang terjalin antar perawat dan pasien ialah demi terbentuknya kembali jati diri, mengisi kekosongan jiwa, dan membangkitkan kembali semangat hidup pasien. Sehingga sakit dalam jiwanya dapat disembuhkan. “Kuncinya berkomunikasi karena yang sakitkan jiwanya yah jadi yang harus dibangkitkan semangat kejiwaannya, spiritnya.” e. Proses Pengembangan Hubungan Perawat terhadap Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Teori Altman dan Dalmas membuktikan bahwa hubunganhubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi intim. Hubungan komunikasi antara orang dimulai pada tahapan suferfisial dan bergerak pada sebuah kontinum menuju tahapan yang lebih intim. Terdapat keterkaitan antara prinsip hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menuju hubungan yang intim dengan praktek komunikasi antarpribadi ini, terlebih bagi pasien kategori hebefrenik dan ISOS (isolasi sosial), karena ia tidak akan mau berbicara dengan perawat jika tidak ada proses pendekatan seperti saling keterbukaan sebelumnya, indikasi keterbukaan ini dapat dilihat ketika pasien sudah terbuka akan 20 Wawancara pribadi dengan bapak Ahmad Riva’I, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 98 latar belakang penyebab gangguan dalam dirinya, Dan sudah bersedia memberikan respon positif kepada komunikator (perawat). Agar keterbukaan dapat terjalin maka harus ada rasa percaya pasien terhadap perawat. Sisi kepercayaan ini sangat terlihat pada pasien ISOS karena ia tidak akan memberikan respon apapun pada orang yang baru ia temui. Contoh, pada saat itu peneliti mencoba langsung berkomunikasi dengan pasien kategori ISOS tanpa melewati tahap pembangkitan kepercayaan terlebih dahulu, dan hal ini menyebabkan pasien hanya diam dan tidak memberikan respon apapun kepada komunikator. Kejadian ini sangat kontras ketika yang berkomunikasi dengannya adalah perawat yang memang telah lama menjalin interaksi sebelumnya, dan benar saja respon yang diberikan bersifat positif karena pada saat itu pasien sudi untuk memberikan respon kepada perawat. Dari contoh diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa hal terpenting yang harus dilalui untuk mengembangkan hubungan antara perawat dan pasien ialah pengambilan kepercayaan (bina trust) pasien. Karena jika kepercayaan tidak ada, pasien tidak akan terbuka kepada perawat, dan begitupun sebaliknya. Perihal kepercayaan merupakan pondasi utama dalam pengembangan hubungan perawat dan pasien, hal ini dibuktikan oleh beberapa kutipan yang dilontarkan oleh beberapa narasumber dari pihak rumah sakit, yaitu: 99 “Kalau awal iya pasti ada basa-basi dulu untuk bina trust, tapi setelah bina trust terjalin maka kita langsung difokuskan tentang apa yang akan kita ketahui tentang dia.”21 “Respon pastinya ada kalo emang udah ada rasa percaya.Yah intinya gimana trustnya sih yah.”22 “Intinya adalah trust atau percaya karena ketika pasien sudah trust maka ia akan mencari kita (perawat). Dan untuk membangun trust itu maka perawat harus punya kesabaran yang tinggi karena bukan hanya orang sakit saja kadang orang yang normal saja kalau melakukan pendekatan kalau orang itu benci kadang kita enggan untuk berkomunikasi jadi yang penting harus bersabar ekstra.”23 “Seiring dengan seringnya kita berinteraksi dengan pasien dan tergantung dengan pandai tidaknya perawat berinteraksi dengan pasien maka pasien akan sedikit-demi sedikit terbuka. Terlebih jika sudah ada bina trust.”24 Proses pembentukan kepercayaan pasien tidak dapat ditentukan berdasarkan waktu karena kadang prosesnya membutuhkan waktu sampai sebulan atau bahkan lebih. Hal ini ditentukan oleh kecakapan perawat melakukan persuasi terhadap pasien karena semakin sering perawat mendekati pasien untuk berkomunikasi, maka semakin besar kemungkinan kepercayaan terjalin hingga akhirnya keterbukaan antara pasien terhadap perawat dapat terjadi. “Kita tidak bisa pastikan waktu, kalo untuk bina trust pasienpasien, Mungkin bisa seminggu, mungkin bisa dua minggu, tergantung pasiennya dan tergantung pendekatan si petugasnya. Semakin sering berinteraksi maka pasiennya mungkin bisa,”25 21 Wawancara pribadi dengan ibu Ernawati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 22 Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 23 Wawancara pribadi dengan bapak Ahmad Riva’i, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015 24 Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 25 Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 100 1) Proses Pengembangan Hubungan antara Perawat Terhadap Pasien Skizofrenia Tipe Paranoid ISOS (Isolasi Sosial) a) Keadaan Pasien ISOS Saat Berkomunikasi Dengan Perawat Ciri khas dari penderita ini ialah murung, mudah tersinggung dan selalu curiga. Sehingga ia berpotensi berperilaku agresif pada dirinya sendiri atau orang lain. Namun, berdasarkan hasil observasi, respon yang diberikan tidaklah berperilaku agresif namun cenderung sangat pasif karena ia hanya suka berdiam diri, ekspresi wajah yang murung/tidak ceria, selalu menundukan wajahnya, dan fokus pada apa yang ia lakukan, seperti melihat jarijarinya sehingga fokus terhadap perawat teralihkan. Menurut Dokter Pras ada dua hal yang menyebabkan pasien bertingkah laku seperti itu, diantaranya: karena halusinasi visual dan halusinasi auditori yang kuat yang membisikinya agar ia terus terdiam dan tidak berbicara apapun terhadap semua orang, dan yang kedua ialah karena terdapat gangguan organik dalam tubuhnya, seperti terdapat kerusakan pada pita suara sehingga ia tidak dapat berbicara apapun terhadap orang lain. b) Teknik Komunikasi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia Tipe Paranoid ISOS (isolasi sosial) Tipe skizofrenia jenis ini sangat anti sosial karena ia sangat menyukai kesendirian dan tidak cakap untuk berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Adapun teknik yang dapat digunakan oleh seseorang saat menghadapi pasien skizofrenia tipe ISOS ini, ialah: 101 memancing pasien dengan pertanyaan-pertanyaan yang spesifik, frekuensi bertanya ataupun mengajak yang tinggi, selalu diberi contoh setiap kali ada instruksi, mengajaknya dengan pelan-pelan (artikulasi yang jelas, volume suara yang standar, sifat pesan persuasif), harus slalu diberi pengertian. Menurut perawat ruangan Yudistira, ada beberapa cara yang dapat ditempuh saat menghadapi pasien jenis ini, yaitu: (1) Menggunakan komunikasi nonverbal Saat pasien fokus dengan dirinya ia hanya akan terus berdiam diri. Oleh karena itu, ia perlu untuk disadarkan dengan cara disentuh, diajak untuk memandang lawan bicara saat berkomunikasi, dan menggunakan intonasi yang agak tinggi agar pasien sepenuhnya sadar bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikannya. “Kalo kita nanya engga dijawab kita sentuh kan yah, di tepak itu namanya untuk yang tumpul. Karna orang yang seperti itu kalau diajak ngobrol nunduk aja, responnya lambat misalkan kita sentuh sambil nanya “rif namanya siapa?”, kalo disentuh begitukan akhirnya dia nengokkan dan akhirnya dia mau jawab. Kalau dia nunduk lagi kita sentuh lagi sambil nanya. Kalo pasien yang tumpul/ISOS begitu kita sentuhatau intonasinya agak kenceng.”26 (2) Menjalin kepercayaan dengan pasien Kepercayaan adalah pondasi bagi pasien ISOS (Isolasi sosial), ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar kepercayaan dapat terjalin dengan baik diantaranya: 26 Wawancara pribadi dengan Bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015 102 (a) Membuka diri Perawat harus membuka diri terhadap pasien, seperti memperkenalkan diri sebelum memulai interaksi. “Kita kenalkan dulu diri kita siapa misalnya, “saya namanya pa ini, saya yang akan merawat bapak disini, itukan tujuannya pasien engga takut, pasien percaya pada kita,, itu langkah awalnya untuk membangun rasa percaya.”27 (b) Hilangkan kecurigaan pasien Pasien ISOS merupakan pasien yang memiliki tingkat kecurigaan yang tinggi dibanding dengan pasien lain maka lakukanlah interaksi dengan keadaan yang terlihat senatural dan senyaman mungkin, dan hindari halhal yang membuat ia curiga, misalnya berinteraksi dengan membawa kertas dan media lainnya yang membuat proses interaksi tidak terkesan natural karena kecurigaan akan mengikis kepercayaan pasien. “Dan jika pasien dalam keadaan ISOS ketika mau berhubungan/interaksi dengan mereka jangan banyak berhubungan dengan kertas. Jadi proses bertanyapun jangan memegang kertas, karena itu akan membuat curiga pasien.” (c) Melaksanakan proses komunikasi dengan frekuensi yang tinggi Perawat harus sering membuat janji dengan pasien untuk berkomunikasi, namun pertanyaan ataupun topik yang dibicarakan tidaklah banyak. Maksudnya ialah 27 Wawancara pribadi dengan Bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015 103 karena frekuensi tinggi maka bobot pertanyaannya cukup sedikit-sedikit saja. Hal ini bertujuan agar pasien tidak jenuh. “Pendekatannya sedikit tapi sering soalnya pasien yang isolasi sosial, jika perawat banyak bertanya atau banyak mengajaknya berinteraksi ia akan lebih banyak diam, makanya frekuensinya lebih sering tetapi dengan sedikit pertanyaan. Jika nanti bertemu lagi nanya lagi.”28 “Kalo ISOS, paling kita dicoba berkali-kali, misalnya kalo engga mau ngobrol hari ini bisa dideketin besok, yah intinya yang sering-sering aja.”29 Metode tersebut perlu dilakukan karena tipe pasien ini merupakan tipe pasien yang sangat pasif sehingga perawatpun harus memiliki kesabaran yang ekstra untuk menghadapinya. “Jadi solusinya perawat harus intens dan sabar menggali informasi dan berinteraksi dengan pasien ISOS”30 Contohnya saja untuk satu pertanyaan, perawat perlu bertanya hingga 3 kali atau lebih agar pasien dapat menjawab. “Jika dari tiga pertanyaan dia dapat menjawab 1 pertanyaan sebenarnya itu sudah bagus.”31 28 Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 29 Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 30 Wawancara pribadi dengan ibu Ernawati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 31 Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 104 Proses intensitas komunikasi yang tinggi ini bertujuan agar pasien semakin sadar dan percaya bahwa orang yang sering kali mengajaknya berinteraksi memiliki maksud yang baik terhadap dirinya. (d) Memberikan pengertian tentang manfaat-manfaat berinteraksi dengan sesama Perawat harus memberikan kesadaran kepada mereka bahwa memiliki kawan itu menguntungkan dan tidak memiliki kawan itu merugikan, dan teknik komunikasi yang dilakukan ialah dengan cara menasihatinya secara lembut dan penuh pengertian. Contoh topik yang diajarkan perawat terhadap pasien ISOS seperti cara berkenalan dengan orang lain, mengajarkan bagaimana manyebutkan nama lengkap, nama panggilan, dan cara tersenyum. “Pendekatan dengan pasien ISOS ialah dengan cara identifikasi dulu alasan kenapa mereka tidak mau mengobrol dengan orang lain, menjelaskan keuntungan dan kerugiannya tidak punya teman, dan mengajarkan berkenalan pertama dengan 1 orang kedua dengan 2 orang seperti dengan cara sebutkan nama, nama panggilan. Dengan cara lebih banyak menasihati.”32 “Kasih pengertian keuntungan bergaul misalnya ko ga mau punya temen sih, kalau kamu engga punya temen tar kamu sedih loh. Jadi dijelasin dulu keuntungan dan kerugiannya. Kita jelasin dulu jadi 32 Wawancara pribadi dengan Bapak Ahmad Ri’vai, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 105 kalau kognitifnya udah tau nanti perlahan dia mau lakuin itu.”33 (e) Jangan memaksakan kehendak Perawat harus benar-benar peka terhadap kondisi pasien, jika memang dari gesture tubuh, intonasi suara, ekspresi wajah sudah menandakan kebosanan dan keengganan pasien untuk berkomunikasi maka perawat/komunikator dianjurkan untuk meninggalkan pasien sejenak hingga mood-nya kembali baik. Dan membuat janji lagi di lain waktu. “Yah, kalo misalkan dia engga mau berinteraksi kita engga bisa maksa, kita tinggalin dulu aja. Sampai nanti kondisinya dia sudah makan, kita bisa tanya lagi. Kalau dia tidak mau bicara dengan kita berarti dia memang lagi benar-benar marah, emang benerbener belum percaya, jadi g usah setiap ngobrol selalu bisa interaksi engga apa-apa nunggu dulu. Kita harus ngikutin kondisi pasien.”34 “Jika dari ekspresi muka, gesture dan dia sudah tidak dapat diajak berinteraksi maka akhiri komunikasi dan buat kontrak lagi untuk bisa bercakap-cakap di kemudian hari.”35 (3) Mengikuti semua aktifitas pasien dan menjawab sendiri pertanyaan perawat yang hendak diajukan kepada pasien Menurut Dokter Pras bahwa ada beberapa kategori pasien ISOS yang benar-benar tidak mau berkomunikasi sama sekali dengan perawat dan respon yang diberikan benar-benar pasif, 33 Wawancara pribadi dengan Bapak Mamat Sutedi, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 34 Wawancara pribadi dengan ibu Siti Rohmah, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 35 Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 106 seperti tidak pernah mau berbicara sama sekali. Adapun teknik yang dapat digunakan ialah dengan tidak bosan bertanya/berinteraksi dan menjawab sendiri pertanyaan yang diajukan, seperti perawat mengatakan, “gimana makannya tadi, enak?” maka perawat menjawab sendiri pertanyaannya, “owalah enak yah, kan kamu sudah sembuh yah, jadi besok makannya bisa lebih banyak lagi yah.”Adapun tujuan dari metode ini dilaksanakan ialah agar pasien terbiasa dan pola pikirnya terkonstruk oleh pola komunikasi yang dipraktekan oleh perawat. “Kalo ada tuh pasien yang cuma diem aja engga mau ngomong sama sekali yah kita nanya sama jawab sendiri aja pertanyaan kita entar juga dia terbiasa sama apa yang kita cohtohin”.36 Cara lainnya ialah dengan mengikuti seluruh aktifitas pasien, hal ini bertujuan agar pasien sadar bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikannya karena menurut pengalaman Dokter Pras bahwa saat ia melaksanakan praktek kedokteran ia bertugas untuk bisa mendekati dan berkomunikasi dengan pasien yang mengalami riwayat ISOS parah dan salah satu hal yang ia lakukan ialah dengan terus mengikuti apa yang pasien lakukan dan di suatu hari disaat ia hendak mengikuti pasien yang akan pergi suatu tempat pasien tersebut akhirnya berbicara, “Jangan ikuti saya, saya mau ke toilet”. Kata-kata itulah yang 36 Wawancara bersama dengan dokter Pras di rumah sakit Dr. H. Marzuki Mahdi Bogor, Bogor 19 Mei 2015 107 pertama kali keluar dari mulut pasien saat ia mengamatinya selama berminggu-minggu. 2) Proses Pengembangan Hubungan antara Perawat Terhadap Pasien Skizofrenia Tipe Hebefrenik a) Keadaan Pasien Hebefrenik Saat Berkomunikasi Dengan Perawat Pasien ini cenderung menunjukkan kedunguan dan mood yang gamang, cekikikan, berbicara yang tidak-tidak, ketidakpaduan antara pikiran, dan sifat kekanak-kanakan. Begitupun pada pasien yang berinisial K, ia menunjukan tingkah laku kanak-kanak, seperti tertawa-tawa sendiri, jalan-jalan sendiri seperti orang yang tak punya tujuan, dan kadang berbicara sendiri. Dan respon interaksi yang ditunjukan hanya menggunakan respon nonverbal saja, contohnya pada saat itu pasien menginginkan perawat untuk memberi rokok kepadanya namun cara ia menyampaikan keinginannya hanya dengan menengadahkan tangannya dan berbicara sangat pelan nyaris tidak terdengar sama sekali oleh orang lain. Dan berkali-kali perawat memintanya untuk berbicara lantang namun tetap saja yang ia lakukan hanyalah menengadahkan tangannya, sampai akhirnya perawat memfokuskan pasien terlebih dahulu, setelah itu barulah ia memberi respon dengan berbicara keras dan disebabkan menyampaikan karena keinginannya. fokusnya dia Keadaan terhadap tersebut dunianya 108 sendiri/halusinasi yang kuat dalam pendengaran dan penglihatannya. “Kalo yang hebefrenik sih susah yah, kadang kalo kita ngomong engga di denger, dia kan udah sibuk yah dengan dunianya.”37 b) Teknik Komunikasi terhadap Pasien Skizofrenia Tipe Hebefrenik Orang yang menderita gangguan ini akan menarik diri secara ekstrem. Ia tidak lagi tertarik pada lingkungannya, sehingga ia hampir sepenuhnya hidup dalam dirinya sendiri. Ledakan-ledakan emosi, seperti menangis dan tertawa, yang menimpanya bukan akibat stimulus-stimulus dari luar, tetapi stimulus-stimulus yang berasal dari dunia khayalan tempat ia hidup. Karena ia menarik dirinya secara ekstrem dari lingkungan, itu menyebabkan proses komunikasi tidak dapat dilaksanakan dengan mudah. Adapun teknik yang dapat digunakan saat menghadapi pasien jenis ini ialah dengan teknik focusing. Teknik ini merupakan teknik yang digunakan oleh perawat ketika pasien tidak dapat fokus dengan lawan bicara, seperti bicara melantur, tertawa-tawa sendiri, ataupun melamun. “Kita ada teknik focusing, apa yang ingin kita dengar itu di fokuskan. Jadi kalau dia muter-muter kemana-mana maka diarahkan kesitu. Misalnya kita akan membicarakan tentang 37 Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 109 halusinasi dia ya udah kita bicara terkait halusinasi dia saja, jadi engga ngelantur kemana-mana.”38 “Iya kalo dia lagi sibuk dengan fikirannya, kita fokusin dulu ke kita, difokusin pasiennya misalnya sini ngobrol sama suster dulu, dan langsung ikutin instruksi kok, asalkan bicaranya pelan-pelan, yah kaya ngajak aja. Intinya yah harus sabar, terus harus difokusin juga, kaya sini dengerin dulu suster bicara.”39 Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kedua tipe ini merupakan tipe yang memang sulit untuk bersosialisasi dengan lingkungan karena baik pasien ISOS maupun Hebefrenik telah asyik dengan dunianya sendiri, namun jika dibandingkan antara keduanya maka pasien tipe hebefrenik ia lebih sulit dibanding jenis skizofrenia lainnya. “Yah susahan yang hebefrenik yah, kadang suka engga nyambung. Kalo yang ISOS masih mending yah karena ada timbal baliknya. Walaupun jawabnya singkat-singkat.”40 Karena banyak hambatan dalam diri pasien ini maka perawat dituntut untuk dapat lebih aktif berbicara dibanding pasien, dan perawat dituntut cakap berkomunikasi saat berhadapan dengan mereka. “Hanya saja buat pasien yang ISOS dan hebefrenik yah kita yang aktif buat bicara. Karena kadang dia hanya jawabnya ya, tidak, udah, belum. Gitu aja, mending kalo ada verbalnya. Malah kadang dia Cuma diem. Makanya tergantung kemampuan perawatnya sih mancing kemampuan pasiennya.”41 38 Wawancara pribadi dengan Ibu Ernawati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 39 Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 40 Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 41 Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 110 3) Proses Pengembangan Hubungan Perawat Terhadap Pasien Gangguan Jiwa yang Tidak Kooperatif Gangguan yang terjadi pada pasien ini merupakan gangguan psikotik yang bersifat merusak yang melibatkan gangguan berfikir (delusi), persepsi (halusinasi), pembicaraan, emosi, dan perilaku pasien. Akibatnya menyebabkan emosi pasien tak stabil dan saat tidak stabil tersebut hal yang dapat dilakukan ialah: a) Mengandalkan injeksi obat, Jika kondisi pasien masih sangat gelisah, maka proses interaksi tidak dapat dilakukan sehingga hal yang bisa dilakukan hanyalah mengoptimalkan injeksi obat, sehingga enzim-enzim berlebih yang membuat kondisi pasien meledak-ledak dapat dinetralisir terlebih dahulu. Barulah ketika kondisi pasien mulai tenang proses interaksi dapat dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan perkataan dari ibu Siti Rohmah, yaitu: “Jika kondisi pasien masih sangat gelisah, maka kita minimalkan untuk banyak interaksi, paling Cuma langsung tindakan aja misalkan suntikan penenang soalnya di kasih obatnya juga lewat injeksi kadang-kadang kalo makin parah kita isolasi, kalo masih bisa pake injeksi, kita injeksi dulu dan engga digabung sama pasien lain sampe dia bener-bener tenang. Ciri-ciri engga tenangnya misalnya gedor-gedor, teriak-teriak yah kita fiksasi dia.paling delapan jam kemudian ada evaluasi kalo seandainya keadaan pasien udah mulai tenang baru di ajak interaksi dengan cara baik-baik, ya nanyanya paling sekitar, inget g dibawa kesini kenapa?”42 b) Membuat kontrak terlebih dahulu sehingga kita tidak terjebak dalam kondisi pasien yang sedang kurang baik. 42 Wawancara pribadi dengan Ibu Siti Rohmah, Amd, Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 111 “Pendekatannya ya itu paling kita kontrak dulu, kalo misalkan mau ngobrol dulu, kan kadang pasien suka moodnya suka g bagus jadi paling bikin janji dulu.” c) Menggunakan intonasi yang tinggi, jika perawat sudah berbicara dengan cara baik-baik, namun tetap saja pasien tidak paham karena memang kondisi dirinya sedang tidak baik, maka perawat berhak menggunakan intonasi yang tinggi dalam berbicara. “Jika dengan cara persuasif misalnya “ coba kamu diem dulu”. seandainya dia tidak bisa diem, ya udah kamu masuk dulu deh, ngbrolnya nanti (kita alihin) dan adakalanya butuh intonasi tinggi kalau pasiennya di deketin secara halus engga bisa, agak sedikit dibentak. Biasanya pasien takut misalnya, “diem kamu, kamu masuk dulu deh” intonasinya di tinggikan dan biasanya jika pasien melihat ekspresi kita begitu dia takut juga. Biasanya dia nurut. Tetapi cara tersebut jika diperlukan saja jika pasiennya susah.”43 2. Analisis Komunikasi Terapeutik Dalam Pengembangan Hubungan Perawat Terhadap Pasien Skizofrenia a. Komponen dalam komunikasi terapeutik yang terjadi antara perawat terhadap pasien skizofrenia Komponen yang penting dalam proses komunikasi terapeutik, ialah: kerahasiaan, keterbukaan diri, sentuhan, mendengar dan observasi aktif, dan menempatkan diri sebagai pasien. 1) Keterbukaan diri, perawat yang membuka diri dengan memberikan informasi mengenai diri perawat seperti informasi tentang biografi, ide, pikiran serta perasaan pribadi. Hal inipun terjadi dalam praktek keperawatan jiwa karena pada awal pertemuan, perawat memberikan informasi mengenai dirinya sendiri. Hal ini bertujuan agar memberi 43 Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 112 stimulus kepada pasien tentang keterbukaan diri dan awal mulanya membangun kepercayaan. “Kita kenalkan dulu diri kita siapa misalnya, “saya namanya pa ini, saya yang akan merawat bapak disini, itukan tujuannya pasien engga takut, pasien percaya pada kita, itu langkah awalnya untuk membangun rasa percaya.”44 2) Privasi dan menghormati batasan, maksudnya perawat tidak memaksakan kehendak tetapi menghormati keinginan dan kenyamanan pasien, seperti saat pasien enggan untuk bertemu maka perawat tidak memaksa. “Yah, kalo misalkan dia engga mau berinteraksi kita engga bisa maksa, kita tinggalin dulu aja.”45 3) Sentuhan, menyentuh pasien dapat meningkatkan rasa nyaman dan aman bila tersebut diizinkan atau diinginkan. dalam prakteknya sentuhan ini berfungsi untuk meningkatkan kenyamanan dan tingkat kepercayaan pasien seperti halnya saat menghadapi pasien ISOS beberapa perawat menggunakan teknik ini agar pasien mau terbuka dan terfokus kepada pasien. “Kalo nanya teknik saya, sepertinya banyak cara yah, bisa pendekatan dulu, bisa kita sambil sentuh dia.”46 4) Mendengar dan observasi aktif, mendengar aktif yang dimaksud ialah memperhatikan pesan yang disampaikan, mengatur duduk yang sesuai (berhadapan, jarak yang sesuai dan lain-lain), menghindari terjadinya interupsi, menyimak setiap perkataan pasien dengan 44 Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015 45 Wawancara pribadi dengan Ibu Siti Rohmah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 46 Wawancara pribadi dengan Ibu Fujiati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 113 penuh empati, dan secara ekslusif berkonsentrasi pada apa yang klien katakan. Begitupun antara perawat terhadap pasien karena ketika pasien berbicara perawat terfokus pada gerak gerik dan pada konten apa yang dibicarakan pasien, sehingga perawat dapat mengimbangi arah pembicaraan pasien meskipun pembicaraannya kadang out of the context. Sedangkan observasi aktif berarti mengobservasi tindakan nonverbal pembicara ketika ia berkomunikasi. Begitupun yang dilakukan oleh perawat saat ada salah satu pasien yang sedang marah dan memukul perawat dan pada saat situasi tegang tersebut, perawat memperhatikan raut dan ekspresi wajah dan sorot mata pasien.47 b. Keterampilan Komunikasi Yang Dimiliki Perawat Rumah Sakit Dr. H. Marzuki Mahdi Bogor 1) Keterampilan komunikasi verbal Dalam praktek komunikasi terapeutik janganlah menggunakan kata-kata sulit (medis) untuk menggambarkan masalah, jangan menggunakan kata-kata yang tidak dipahami masyarakat diluar rumah sakit, namun sangat dianjurkan untuk menggunakan bahasa sehari-hari seperti kata berjalan, bukan ambulasi. Begitupun yang terjadi di lapangan karena pesan yang digunakan ialah pesan yang menggunakan kata-kata yang konkret/jelas dan umum hal ini bertujuan agar pasien dapat dengan mudah memahami maksud dari perawat secara langsung. 47 Hasil observasi yang dilakukan di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi, Bogor 19 Mei 2015. 114 “Kalo kata-katanya kita cari kata-kata yang mudah yah, katakata yang mudah difahami mereka, bahasa yang sehari yang engga sulit mereka fahami bahasan yang dasar-dasar aja misalkan tadi udah makan belum? Makannya pakai apa?.”48 2) Keterampilan komunikasi nonverbal Pada tanggal 19 mei 2015 yang lalu terjadi pemukulan yang terjadi terhadap perawat di ruang Yudistira, hal ini terjadi karena ketidak nyamanannya akan kebisingan yang terjadi di luar ruangan pasien dan dengan kondisi pintu yang terbuka maka memudahkan pasien untuk keluar menghampiri perawat yang sedang duduk santai membelakangi ruang pasien sambil memukul salah satu perawat yang ada. Sebelum kejadian tersebut sebenarnya seorang dokter sudah dapat memprediksi kejadian yang akan terjadi karena saat ia masih di ruangannya ia terlihat seperti sedang mengintai dengan sorot mata penuh amarah, melotot dan memerah, tulang rahangnyapun mengeras dari beberapa sinyal tersebut dapat dipahami bahwa ia sedang marah, namun kejadian tersebut sangatlah cepat sehingga tidak dapat dihindari. Dari pemaparan kejadian diatas peneliti dapat memahami bahwa keterampilan komunikasi nonverbal sangat efektif digunakan disana untuk dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dan juga untuk mencari solusi atas masalah yang sedang terjadi. 48 Wawancara pribadi dengan Bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 115 a) Menginterpretasi ekspresi wajah Dalam proses komunikasi ini kita harus memperhatikan ekspresi pada wajah, sikap tubuh serta gerakan tubuh pasien. Karena wajah pasien atau tekanan suara, atau cara bicara dapat mengatakan lebih banyak daripada kata-kata. Pada saat pasien marah perawat mencoba menginterpretasi ekspresi wajah sehingga ia menyadari bahwa pasien sedang emosi. Hal ini terlihat dari rona wajahnya merah dan mulutnya cemberut, hal ini menunjukan bahwa emosinya sedang memuncak. b) Menginterpretasi isyarat vokal Isyarat vokal adalah suara nonverbal yang disampaikan bersama isi pembicaraan. Volume suara, nada suara, tinggi rendah nada (pitch) intensitas, penekanan, kecepatan, dan jeda mendukung pesan pengirim. Pada saat kejadian tersebut terjadi, semua perawat tahu bahwa ia sedang marah, pengetahuan tersebut muncul karena perawat menginterpretasi isyarat vokal pasien tersebut karena pada saat itu pasien memaki, “aing teu betah sia didie, sia awewe perusak rumah tangga aing”.Yang artinya, “Saya tidak betah disini, kamu wanita perusak rumah tangga saya”. Dengan menggunakan intonasi yang tinggi. c) Menginterpretasi kontak mata Mata disebut sebagai cerminan jiwa karena mata sering merefleksikan emosi kita.Pesan yang diberikan oleh mata meliputi humor, nafsu, penolakan, rasa tertarik, kebingungan, kebencian, 116 kebahagiaan, keedihan, ketakutan, peringatan, dan pembelaan. Saat kejadian tersebut mengobservasi terjadi mata baik pasien peneliti yang maupun melotot, perawat memerah dan memancarkan aura kemarahan. Berkat observasi tersebut perawat dapat memastikan bahwa emosi pasien benar-benar sedang tidak stabil. d) Memahami tingkat makna Kemampuan melakukan hal ini memerlukan teknik mendengar secara dangkal yaitu dengan mendengar pesan konkret dan juga mendengar secara mendalam yaitu memerlukan beberapa interpretasi pesan kemudian mengumpulkan informasi yang rinci untuk memvalidasi setiap asumsi atau tidak memvalidasi. Begitupun yang terjadi di lapangan perawat langsung tahu apa yang terjadi dengan hanya mendengar ucapan pasien bahwa,“Aing teu betah sia didie, sia awewe perusak rumah tangga aing”. Yang artinya, “Saya tidak betah disini, kamu wanita perusak rumah tangga saya”. Dari kata-kata “Saya tidak betah disini”. Perawat langsung dapat memahami bahwa pasien sedang marah karena terganggu akan keadaan yang tidak kondusif. c. Relevansi Injeksi Obat dengan Interaksi Sosial Obat dan interaksi sosial tidak dapat dipisahkan dalam proses penyembuhan pasien gangguan jiwa karena penyebab gangguan inipun bermacam-macam, seperti terdapat enzim dopamin yang berlebih dalam 117 tubuh sehingga obat dibutuhkan untuk menetralisis enzim berlebih tersebut. “Obat untuk mengurangi enzim-enzim yang berlebih yang ada dalam diri pasien”.49 Penyebab lainnya ialah karena krisis akan kepercayaan diri, kurangnya dukungan, rasa tertekan ataupun rasa kesepian. Hal inilah yang menurut peneliti memiliki hubungan erat dengan proses interaksi karena dengan proses interaksi pasien dapat merasa diakui oleh lingkungan sekitar, ditingkatkan motivasinya, dan selalu ditemani sehingga rasa sepi dalam diri pasien semakin terkikis. “Sebenarnya untuk menghilangkan rasa gelisah lebih efektif obat tapi kalau obat saja tidak ada interaksi sama aja, ya istilahnya butuh perhatian, mungkin alasan mereka dirawatpun karena memang kurang perhatian, dengan disini ia dianggap ada, dia diperhatiian dia diajak ngobrol berarti fifty-fifty.”50 Dan hal ini sesuai dengan tujuan dari proses komunikasi yang telah diulas diatas bahwa ujung pangkal sakit yang diderita pasien ini ialah jiwa dan spiritnya. Oleh karena itu, dengan proses komunikasi yang terjalin dengan baik, diharapkan ketidaksadaran dan spirit dalam jiwanya dapat bangkit kembali. 3. Peran Dakwah dalam Peningkatan Kesadaran Pasien di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Menurut beberapa perawat di ruang rehabilitasi rumah sakit pesan dakwah dibutuhkan agar pasien dapat kembali mengingat akan keberadaan 49 Wawancara pribadi dengan bapak Ahmad Rivai, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015 50 Wawancara pribadi dengan ibu Siti Rohmah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 118 Allah SWT. Menurut Bpk. Suganda selaku Da’i di ruang rehabilitasi, hal yang membedakan antara penyampaian pesan agama kepada masyarakat umum dengan pasien gangguan jiwa ialah terletak pada materi yang disampaikan. Karena untuk pasien gangguan jiwa materi yang disampaikan lebih bersifat aplikatif, sederhana, mudah dicerna, realistis, dan hanya bersifat anjuran saja. Menurutnya, pasien yang dibolehkan mengikuti kegiatan pengajian di ruang rehabilitasi hanyalah yang memang sehat fisiknya, seorang muslim, mau mengikuti aturan yang ada di ruang rehabilitasi, dan sudah mampu mengontrol kondisi jiwanya secara mandiri. Cara penyampaiannyapun lebih bersifat persuasif sehingga pesan dua arah dapat terlaksana. Acara pengajian ini terbagi menjadi dua sesi, sesi pertama ialah sesi melafalkan doa/surat-surat pendek, dan sesi yang kedua yaitu sesi tausiah. Pada sesi pertama pasien yang bersedia maju dipersilahkan untuk menghafalkan surat-surat ataupun doa yang ia hafal didepan forum. Adapun surat yang mereka hafal diantaranya surat alfatihah, an-nas, alkautsar, dan adapula yang membaca doa selamat. Pada sesi ini antusias pasien cukup tinggi karena banyak pasien yang semangat untuk maju ke depan untuk menghafal surat yang ia hafal. Sedangkan pada sesi kedua ialah sesi penyampaian tausiah yang disampaikan oleh ustadz Suganda. Pada tanggal 01 Juli 2015 pukul 10:00-11:00 pembahasan yang diangkat mengenai pentingnya melakukan hal-hal yang baik khususnya menjalankan ibadah puasa. Pada sesi ini metode yang beliau gunakan ialah memberi ruang secara bebas kepada pasien yang hendak bertanya dan setelah itu barulah ustad memberi jawaban yang berbentuk 119 arahan/nasihat tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk dilakukan. Metode tersebut digunakan agar kondisi pengajian dapat lebih interaktif sehingga dapat membangkitkan kembali kesadaran pasien untuk berfikir tentang wawasan ilmu agamanya. Berikut beberapa pertanyaan yang ditanyakan pasien kepada ustad, “Kenapa sebelum sholat itu cemas”, “kenapa jumlah rakaat dalam sholat itu berbeda-beda”, “kenapa puasa itu terasa lapar dan haus”. Pertanyaan-pertanyaan maupun hafalanhafalan surat-surat pendek serta doa inilah yang membuktikan bahwa ada respon positif pasien mengenai kemampuan kognitif mengenai kesadaran akan beragama. Adapun pada akhir sesi pengajian, pasien diajak untuk bersholawat dan membaca doa bersama-sama, sebagian besar pasien hafal akan sholawat serta doa yang sedang dilafalkan. Tingkat efektifitas pengajian ini tidak dapat dibuktikan secara nyata oleh pasien karena meski di pengajian pasien diajarkan untuk sholat, puasa dan jenis ibadah lainnya, namun tetap saja tidak semua pasien melaksanakan apa yang dianjurkan di ruang rehabilitasi karena kondisi pasien yang belum stabil sepenuhnya. C. Hambatan-Hambatan Yang Ditemui Perawat Saat Berkomunikasi Dengan Pasien Skizofrenia Terdapat dua jenis gangguan yang akan membuat proses komunikasi tidak berjalan dengan baik yaitu gangguan mekanik dan juga gangguan semantik. Gangguan mekanik yaitu gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Sedangkan gangguan semantik yaitu gangguan yang berasal dari dalam diri komunikator maupun komunikan seperti pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak karena makna 120 dari semantik itu sendiri ialah pengetahuan mengenai pengertian kata-kata yang sebenarnya atau perubahan pengertian kata-kata. Adapun gangguan yang terjadi pada proses komunikasi antarpribadi antara perawat dan pasien ini lebih cenderung meliputi gangguan semantik. 1. Hambatan yang terdapat dalam diri pasien a. Halusinasi Pasien ISOS maupun pasien hebefrenik memiliki hambatan yang sama yaitu halusinasi pendengaran dan penglihatan, adapun halusinasi yaitu jenis gangguan yang ditandai dengan gangguan persepsi pada berbagai hal yang dianggap dapat dilihat, didengar ataupun adanya perasaan dihina meskipun sebenarnya tidak realitas. Halusinasi merupakan penyebab utama mengapa pasien hebefrenik ini bertingkah laku aneh seperti tertawa, menangis, senyum-senyum dan berbicara sendiri dan hal inilah yang menyebabkan ia sangat sulit untuk berinteraksi dengan orang lain karena telah terlalu nyaman dengan dunianya sendiri. “Kalo yang hebefrenik sih susah yah, kadang kalo kita ngomong engga di denger, dia kan udah sibuk yah dengan dunianya.”51 Selain halusinasi akan kesenangan sendiri, adapula halusinasi bujukan agar tidak mendengarkan ajakan perawat. Jenis halusinasi pendengaran inipun berlaku bagi pasien skizofrenia tipe paranoid ISOS “Soalnya kan kenapa dia gak mau ngobrol karna emang ada bisikan buat engga mau ngobrol.”52 51 Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 52 Wawancara pribadi dengan Ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 121 b. Keadaan jiwa yang belum stabil Pasien baru di rumah sakit biasanya masih memiliki kondisi emosional yang tidak stabil. Oleh karena itu, pihak rumah sakit memasukannya ke dalam ruang isolasi sehingga ia tidak mengganggu/menyakiti orang lain. Dan dalam keadaan seperti ini, pasien tidak dapat berinteraksi sama sekali dan rasa gelisah yang masih amat tinggi inilah yang menjadi penghambat perawat untuk mendekati pasien karena jika dipaksakan bukan respon interaksi yang bagus yang akan didapat namun cacian bahkan tindakan anarkis yang akan diberikan pasien terhadap lawan komunikasinya, dan ini sangat membahayakan. “Kalo pasien yang baru dateng dimana kondisi pasien masih sangat gelisah sehingga sulit untuk bina trust karena kita baru pertama ketemu, ciri-ciri engga tenangnya misalnya gedorgedor, teriak-teriakmakanya di ruang ini kita minimalkan untuk banyak interaksi.”53 c. Belum adanya rasa percaya (bina trust) Seperti yang telah diulas di poin sebelumnya bahwa bina trust merupakan pilar utama dalam proses interaksi perawat terhadap pasien gangguan jiwa karena jika kepercayaan pasien belum didapat, proses ini tidak akan bisa berjalan. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa proses komunikasi pasien jenis ini sama seperti proses komunikasi yang terjadi diantara orang sehat pada umumnya karena ia sama-sama akan terbuka hanya pada orang yang dipercaya. 53 Wawancara pribadi dengan Ibu Siti Rohmah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 122 “Kalau dia tidak mau bicara dengan kita berarti dia emang benerbener belum percaya.”54 d. Kengganan Pasien Untuk Berkomunikasi They have trouble and tumultuous interactions with relatives, acquaintances, and even strangers, particularly during the actives phase of symptoms. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa pasien ini kesulitan untuk berinteraksi dengan keluarga, kenalan dan orang-orang yang ada disekitar. Kesulitan inilah yang menyebabkan mereka enggan untuk berinteraksi dengan sesama karena mood pasien yang tidak baik sehingga menyebabkan ia mudah merasa jenuh, malas, dan capek saat bertemu orang lain. “Pada saat-saat tertentu kan manusia ada perasaan bosen, malas, jenuh.”55 “Peneliti: hambatan yang berkomunikasi apa sih pak? mempengaruhi pasien susah Perawat: waham, caranya mengembalikan ke dunia yang nyata. Dan itu susah. Moodnya yang g bagus.”56 “Yah, kalo misalkan dia lagi engga mau berinteraksi kita engga bisa maksa.”57 “Kan, kadang pasien moodnya suka g bagus, jadi engga mau ngobrol.”58 e. Pembicaraan pasien yang inkoheren Pembicaraan yang tidak koheren maksudnya ialah seperti topik pembicaraan yang melompat-lompat, pembicaraan yang serampangan 54 Wawancara pribadi dengan Ibu Siti Rohmah , Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 55 Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015 56 Percakapan antara peneliti dengan bapak Rivai pada tanggal 18 februari 2015 57 Wawancara pribadi dengan ibu Siti Rohmah, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 58 Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, salah satu perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015 123 dan kehilangan asosiasi, neologisme59, beberapa hal tersebut kerapkali terjadi pada pasien di rumah sakit ini sehingga berdasarkan hasil observasi dan wawancara beberapa perawat beranggapan bahwa inkoherensi dalam berbicara ini sebagai salah satu penghambat interaksi antar sesama, karena jika perawat tidak cermat maka perawat akan salah memahami makna atau kondisi pasien yang sebenarnya. “Paling yah itu yang bikin interaksi agak sulit itu kalau pasien ngomognya g jelas, ngelantur disitu kadang bingung yang dia omongin itu maksudnya apa dan jadinya kadang kita suka salah persepsi kalo engga bener-bener merhatiin mah.”60 1. Hambatan yang Terdapat Dalam Diri Perawat a. Tidak mengerti akan bahasa yang diucapkan pasien Hambatan ini masih hambatan yang masuk dalam kategori semantik karena berpusat pada diri komunikator maupun komunikan, karena faktor keanekaragaman budaya dan bahasa menyebabkan banyak bahasa yang dijadikan acuan dalam berkomunikasi. Dan hal ini akan menjadi masalah ketika lawan bicara tidak memahami apa yang dimaksud oleh komunikan. Seperti pasien hanya memahami dan berbicara dengan menggunakan bahasa daerahnya saja sehingga menyebabkan perawat seringkali tidak memahami apa yang dimaksud. “Kalo ada pasien yang datang dari luar daerah tuh yang susah banget buat diajak interaksi karena sering mereka pahamnya cuma bahasa daerahnya aja kaya bahasa indonesia gitu g paham dia, jadi kan kita g paham omongan dia, dan dia juga g paham omongan kita.”61 59 Menciptakan kata atau kalimat yang aneh-aneh, tidak menjawab pertanyaan dan memberikan jawaban yang menyimpang dari pertanyaan 60 Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Mei 2015 61 Wawancara pribadi dengan ibu Siti Rohmah, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Mei 2015 124 b. Tingkat kesabaran perawat Seringkali pasien menunjukan perilaku tidak kooperatif dengan perawat seperti teriak-teriak sehingga akan mengganggu pasien lain dan pada kondisi seperti itu kadang pasien tidak mau mendengarkan instruksi dari perawat untuk tetap tenang. Dan pada saat-saat seperti itulah perawat hilang kesabaran, seperti perawat berteriak dan membentak pasien sehingga bagi sebagian pasien ia akan merasa terganggu dan saat kondisi seperti inilah pasien enggan untuk berinteraksi dengan perawat yang bersangkutan karena merasa takut. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah diulas pada bab sebelumnya maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, diantaranya: 1. Pola komunikasi perawat terhadap pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor ialah pola komunikasi antarpribadi. Kesimpulan tersebut berasal dari ciri-cirinya yang sangat identik dengan ciri-ciri yang ada dalam praktek komunikasi antarpribadi seperti, (1) suasana komunikasi yang terasa nonformal/natural sehingga pasien merasa nyaman dan iklim komunikasi yang diciptakan oleh komunikator (pasien) terasa hangat, (2) jarak antara komunikator (perawat) dan komunikan (pasien) teramat dekat karena proses ini dilaksanakan secara tatap muka dan dilaksanakan di ruangan Yudistira atau salah satu bangsal yang ada di rumah sakit ini, (3) umpan balik dapat secara spontan dilihat dan di observasi meski umpan balik ini ada yang bersifat positif maupun negatif. 2. Hambatan-hambatan yang ditemui perawat saat berkomunikasi dengan pasien skizofrenia, ialah: (1) Faktor halusinasi yang ada dalam diri pasien karena halusinasi merupakan bisikan-bisikan ataupun penampakan-penampakan yang timbul dalam penglihatan maupun pendengaran pasien, jika pasien belum bisa menguasai dirinya untuk menghardik halusinasi tersebut maka intervensi dari pihak luar tidak 125 126 akan efektif, (2) Keadaan jiwa yang belum stabil diantaranya ia masih sering marah-marah dan cenderung melakukan tindak kekerasan kepada orang lain ataupun kepada dirinya sendiri, (3) Belum adanya rasa percaya dari pasien terhadap perawat, hal ini menjadi hambatan karena pada realitas yang ada jika perawat tidak dapat meraih kepercayaan pasien maka pasien tidak akan mau terbuka kepada perawat sehingga hal ini akan sangat menghambat perkembangan komunikasi yang akan terjalin, (4) keengganan pasien untuk berkomunikasi, mood ini menghambat berlangsungnya komunikasi karena jika antusiasme hanya ada pada pihak komunikator (perawat) maka proses komunikasi akan bersifat pasif dan sulit untuk berkembang dan biasanya hal ini dilandasi oleh rasa malas, capek, jenuh, halusinasi atau bahkan memang terdapat masalah organik dalam diri pasien, (5) ketidakpahaman perawat akan bahasa yang diucapkan oleh pasien dan begitupun sebaliknya, misalnya pasien menggunakan bahasa medan sedangkan semua perawat berasal dari daerah sunda, (6) kurang adanya kesabaran dari perawat sehingga tindakan yang diberikan perawat terhadap pasien diluar batas, seperti membentak pasien. B. Saran 1. Kepada perawat yang merawat pasien gangguan jiwa disarankan agar lebih banyak berinteraksi dengan pasien agar pasien lebih merasa diperhatikan sehingga ia tidak merasa sendiri, dan disarankan pula agar perawat lebih banyak lagi melatih diri agar tingkat kesabaran dan 127 teknik menghadapi pasien lebih cakap sehingga apa yang diberikan kepada pasien selalu tepat sasaran. 2. Berdasarkan pengamatan penulis kegiatan penyembuhan yang dilaksanakan di salah satu ruang perawatan pasien gangguan jiwa ini hanya berkisar pada terapi aktifitas kelompok (TAK), terapi ngobrol dengan perawat dan makan bersama, namun kegiatan ini cenderung full hanya disaat pagi hingga siang saja. Dari beberapa kegiatan tersebut, maka penulis menyarankan kepada pihak manajemen rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi agar di ruang asuh pasien diberikan kegiatan yang sesuai dengan bakat pasien, seperti jika terdapat pasien yang memiliki bakat bernyanyi maka ia diajarkan untuk bernyanyi, jika terdapat pasien yang memiliki bakat untuk membuat kerajinan tangan maka pasien dapat diajarkan untuk membuat sebuah karya hingga akhirnya karya tersebut dapat diberdayakan sehingga dapat menjadi motivasi bagi generasi muda agar tidak kalah aktif dengan pasien gangguan jiwa. Saran kedua untuk pihak rumah sakit ialah agar kegiatan pasien ditambah dan waktu pasien dihabiskan dengan beraktifitas sehingga tidak ada waktu bagi pasien untuk melamun sendiri karena ditakutkan kesadaran pasien akan kembali turun karena lebih banyak berdiam diri. 3. Kepada pihak manajemen rumah sakit disarankan agar banyak melakukan penyuluhan kepada masyarakat terutama pada para keluarga pasien gangguan jiwa mengenai informasi peyakit yang diderita keluarganya secara komprehensif dan memberikan penyuluhan 128 tentang bagaimana memperlakukan pasien agar tidak ada lagi seorang penderita gangguan jiwa yang ditelantarkan oleh keluarganya sendiri lantaran ketidakpahaman keluaga atas kondisi yang sedang dihadapi. 4. Kepada peneliti yang akan meneliti tema yang sama, disarankan agar tidak hanya meneliti di ruang tenang pasien saja tetapi dapat meneliti juga di ruang ICU pasien. Hal ini bertujuan agar wawasan peneliti lebih kaya sehingga data yang diolahpun dapat bervariatif dan perbandingan antara satu pasien dengan pasien lain lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA AW, Suranto. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011. Budyatna, Muhammad dan Gariem, Leila Mons. Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011. Creswell, John. Qualitatif Inquiry and Research Design: Choosing among five traditions. California: Sage Publications, 1997. Effendy, Onong Ucjhana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. _____________. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2004. Ester, Monica. Pedoman Perawatan Pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005). Fajar, Marhaeni. Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek. Jakarta: Graha Ilmu, 2009. Halgin, Richard P dan Whitbourne, Susan Kraus. Abnomal Psychology: Clinical Perspective On Psychology Disorder. New York: McGraw Hill, 2007. Hawari, Dadang. Al-qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Pt. Dana Bhakti Prima Yasa, 1995. Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori & Praktik Lubis, Djuara P. dkk. Dasar-Dasar Komunikasi. Bogor: Sains KPM IPB Press, 2008. Morissan, Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana Prenada Group, 2013. Muhammad, Arni. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara,1995. Nevid, Jeffrey S. Dkk. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga, 2003. Nursalam. Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktek. Jakarta: Salemba Medika, 2009. OFM, Yustinus Semiun. Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kanisius, 2006. 129 130 Pieter, Herri Zan. Pengantar Psikopatologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011. Pieter, Herry Zan dan Lubis, Namora Lumonga. Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Rosyidi, Kholidi. Prosedur Praktik Keperawatan Jilid 2. Jakarta: Penerbut Buku Kesehatan, 2013. Roudonah. Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007. Semiun, Yustinus. Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Kanisius, 2006. Sendjaja, S.Djuarsa. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka: 1994. Soyomukti, Nurani. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media. Stuart, Gail Wiscarz dan Sundeen, Sandra J. Buku Saku Keperawatan Jiwa: Pocket Guide to Psychiatric Nursing. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 1998. Videbeck, Sheila L. Buku Ajar Keperawatan:Psychiatric Mental Health Nursing. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2008. West, Richard danTurner, Lynn H. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2012. Widjaja, H.A.W. Komunikasi: Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Wiramihardja, Sutardjo A. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Reflika Aditama, 2005. Yin, Robert K. Studi Kasus Desain & Metode. Jakarta: PT. Raja Persada. Grafindo STRUKTUR LEMBAGA Direktur Utama: Dr. Erie Dharma Irawan Dewan Pengawas Komite Medik Staff Medik Fungsional Direktorat-direktorat 1. Direktorat medik& keperawatan : Dr. Puji Triastuti Bidang medik : Dr. Siti Khalimah a. Seksi pelayanan medik : Drg. Desi Dwiriniah b. Seksi pelayanan penunjang medik : Andri Wulansari Bidang keperawatan : Wawan Hermawan a. Seksi pelayanan keperawatan b. Seksi pelayanan rawat inap : Ns. Aep Sumarna Instalasi Kelompok jabatan fungsional 2. Direktorat SDM dan Pendidikan : Drg.Rahmadayah Mansur Bagian SDM : Dra Fatimah a. Sub bagian administrasi : Landberto F b. Sub bagian administrasi kepegawaian : Caswa Bagian Pendidikan dan Penelitian : Dr. Erwanto W a. Sub bagian pendidikan dan penelitian : Dr. Irna Lidiawati b. Sub bagian DIKLIT Tenaga Keperawatan: Akemat. SKp Instalasi Kelompok jabatan fungsional 3. Direktorat keuangan dan administrasi : Syahnas Rasyid Bagian Keuangan : Juni Khair a. Sub bagian program dan anggaran : Sri Nurhayati b. Sub bagian akuntansi : Dwi Nurul Hayati c. Sub bagian mobilitas dana : Ernin Surachman Bagian administrasi umum : Basari Sirait a. Sub bagian TU dan Pelaporan : R. Moh Agus Barokah b. Sub bagian RT dan perlengkapan : Nuryanto c. Sub bagian hukum organisasi : Dr. Abdul Farid Patutie Instalasi Kelompok jabatan fungsional HASIL WAWANCARA Narasumber : Ahmad Riva’i, Amd Kep Jabatan : Kepala ruangan Yudistira Tanggal : 18 Februari 2015 1. Bagaimana cara bapak agar pasien mendengarkan apa yang bapak bicarakan? Jawab: paling pertama melakukan pengkajian, latar belakang penyakit pasien misalnya kenapa pasien akhirnya dibawa kemari, riwayat hal yang telah ia lakukan, misalnya memukul ibu atau bapaknya, misalnya keluarga tidk sanggup menghadapi pasien, lalu dimasukan ke IGD dan kita berkolaborsi dengan dokter biasanya dokter akan memberikan obat. Cara komunikasi yang digunakan ialah teknik komunikasi terapeutik seperti yang pertama berikan salam lalu evaluasi tentang apa yang telah ia lakukan. Misalnya apa yang telah ia dapatkan di ruangan sebelumnya misalnya bagaimana cara mengatasi perilaku kekerasan. Kita evaluasi kembali jika pasien belum faham secara kognitif dan psikomotorik lalu kita latih kembali. Sesuai dengan p yang dia butuhkan. Bercakap-cakap dengan pasien lainnya merupakan suatu aktifitas yang penting untuk bisa mendistraksi halusinasi pasien. Dan kegiatankegiatan lain seperti mengarahkan minat/bakat pasien dan juga obat untuk mengurangi enzim-enzim yang berlebih yang ada dalam diri pasien. Untuk mengatasi tindak prilaku kekerasan yaitu dengan cara tarik nafas dalam dan hal ini bisa dilakukan beberapa kali sampai akhirnya pasien tenang karena bisa mengalirkan oksgigen ke otak sehingga dapat menimbulkan rasa relaksasi dan juga memukul bantal agar rasa marah pasien dapat teralirkan tanpa harus melukai orang lain. Mengungkapkan rasa kesal dengan cara terbuka seperti dengan minta maaf dan hal tersebut diharapkan agar rasa kesal tersampaikan dan yang terakhir dengan cara spiritual sesuai dengan ajaran yang dianut. 2. Ketika pasien berhalusinasi baik halusinasi lihat ataupun dengar maka bagaimana pola berkomunikasi perawat terhadap pasien? Jawab: halusinasi ada tingkatannya fase pertama yaitu bengong-bengong lalu fase keempat yaitu fase dimana pasien akan marah-marah terhadap orang lain. Dengan cara terus mengingatkan terus agar pasien terbiasa. Dengan cara langsung dipraktekan langsung misalnya: ayo praktekan misalkan seperti ini. 3. Ketika memang pasien tidak mendengarkan perawat karena faktor penyakitnya maka tindak komunikasi yang seperti apa yang dilakukan? Jawab: intinya adalah trust atau percaya karena ketika pasien sudah trust maka ia akan mencari kita (perawat). Dan untuk membangun trust itu maka perawat harus kesabaran yang tinggi karena bukan hanya orang sakit saja kadang orang yang normal saja kalau melakukan pendekatan kalau orang itu benci kadang kita enggan untuk berkomunikasi jadi yang penting harus bersabar ekstra. 4. Saat kondisi seperti apa pasien tak mau berkomunikasi? Jawab: saat fase halusinasi sudah mencapai tahap ke-4 dan juga saat efek obat hilang maka tunggu mereka tenang. Pendekatan dengan pasien ISSOS ialah dengan cara identifikasi dulu alasan kenapa mereka tidak mau mengobrol dengan orang lain, menjelskan keuntungan dan kerugiannya tidak punya teman, dan mengajarkan berkenalan pertama dengan 1 orang kedua dengan 2 orang seperti dengan cara sebutkan nama, nama panggilan. Lalu selanjutnya bertanya tentang keluarga dirumahnya dan sebenarnya lebih banyak menasihati. Kuncinya berkomunikasi karena yang sakitkan jiwanya yah jadi yang harus dibangkitkan semangat kejiwaannya, spiritnya. 5. Jenis message/kata-kata yang seperti apa yang disampaikan kepada pasien? Jawab: ada tekhnik-teknik tertentu tergantung personalnya ada dengan yang to the point, ada yang membentak ada yang dengan cara baik-baik. 6. Apakah pasien harus mengikuti kegiatan di rumah sakit atau dibebaskan saja? Jawab: pada saat-saat tertentu kan manusia ada perasaan bosen, malas, jenuh, mungkin kita akan melakukan pendekatan kenapa malesnya kenapa engga mau ikut. Mengetahui Ahmad Rivai, Amd Kep HASIL WAWANCARA Narasumber : Mamat Sutedi, Amd Kep Jabatan : Perawat di ruang Yudistira Tanggal : 18 Februari 2015 1. Bagaimana cara bapak berkomunikasi dengan pasien? Jawab: untuk berkomunikasi diawali dengan perkenalan diri dulu, lalu baru ngobrol-ngobrol. Seperti Kenapa mereka dibawa kesini, ada masalah apa, masih berhalusinasi atau tidak , udah punya temen belom, kalo belum nanti diajarkan cara berkenalan, terus ditanya masih suka dengen suara-suara engga kalo masih denger kita ajarin cara supaya mengalihkannya. Kalo masih suka kesel yah diajarkan cara mengatasinya. 2. Jika pasien menolak untuk berinterakasi maka pendekatan apa yang dilakukan? Jawab: kalo untuk sekali itu engga berhasil yah kita tinggal dulu aja, kontak kan sering yah. siangkan ketemu lagi yah. Yang penting ketemu singkat tapi sering, kalo memang engga berhasil ya udah kita tinggalkan dulu tar dateng lagi nanti. Kalo yang kooperatif mah lebih mudah yah, diajak ngobrolnya lebih nyambung yah. Kecuali yang isos itu dia agak lama. Kalo kita nanya engga dijawab kita sentuh kan yah, di tepak itu namanya untuk yang tumpul yah. Karna orang yang seperti itu kalau diajak ngobrol an nunduk yah, responnya lambat misalkan kita sentuh sambil nanya “rif namanya siapa?”, kalo disentuh begitukan akhirnya dia nengokkan dan akhirnya dia mau jawab. Kalau dia nunduk lagi kita sentuh lagi sambil nanya. Kalo pasien yang tumpul/ISOS begitu kita sentuh yah atau intonasinya agak kenceng. Terus kalo semkin hari dia mau ikut beraktifitas yah. Walaupun ngobrolnye engga banyak seperti pasien yang kooperatif yah. 3. Apakah ada kemungkinan pasien akhirnya terbuka kepada perawat, seperti pasien-pasien yang lain? Jawab: kita liat dulu sebelum dia sakit. Kalo dia emang orangnya aktif bisa dia jadi terbuka, tapi kalo yang awalnya emang pendiem yah mungkin sudah maksimal jawab begitu. 4. Jenis kata-kata/pesan apa yang bapak gunakan saat berkomunikasi dengan pasien? Jawab: kalo kata-katanya kita cari kata-kata yang mudah yah, kata-kata yang mudah difahami mereka, bahasa yang sehari yang engga sulit mereka fahami bahasan yang dasar-dasar aja misalkan tadi udah makan belum? Makannya pakai apa?, jangan ditanya yang aneh-aneh kan susah juga yah buat mereka tar jawabnya. Misalnya udah nikah belum,gimana tadi tidurnya? Terus tanya kenapa sih diem aja. Nah itu kan berarti udah masuk yang ke permasalahan. Misalnya dia jawab males ah, kalo senadinya dia udah jawab kasih pengertian keuntungan bergaul misalnya ko ga mau punya temen sih, kalau kamu engga punya temen tar kamu sedih loh. Jadi dijelasin dulu keuntungan dan kerugiannya. Kita jelasin dulu jadi kalau kognitifnya udah tau nanti perlahan dia mau lakuin itu. 5. Butuh berapa lama agar pasien terbuka terhadap perawat? Jawab: kalau untuk pasien yang memang sosialnya bagus butuh waktu yang tidak cukup lama tetapi jika pasien tersebut ISSOS butuh waktu yang lama. Misalnya berbulan-bulan dan intens. Misalnya setiap hari yah. 6. Hambatan yang mempengaruhi pasien susah berkomunikasi apa sih pak? Jawab: waham, caranya mengembalikan ke dunia yang nyata. Dan itu susah. Moodnya yang g bagus. 7. Ketika pasien yang paranoid bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka? Jawab: kita tanya baik-baik dan selidiki dengan bahasa yang baik misalnya “ emang dikejar-kejar sama siapa?” terus tanya lagi ke temannya “ bener engga dikejar-kejar?” jika temannya tidak merasa seperti itu tidak ada, maka kita kasih pengertian bahwa pasien salah misalnya “berarti yang bapak dengarkan salah pak, berarti itu bapak tidak ada apa-apa” kita deskripsikan dulu apa yang dia lihat lalu kita bandingkan dengan apa yang dilihat temannya lalu kita kasih pengertian bahwa apa yang dilihatnya tidak benar adanya. Berarti kita bujuk/persuasi supaya mereka tidak memikirkan apa yang dia lihat. 8. Jika pasien takut untuk berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak mau berbicara maka apa trick yang sebaiknya digunakan? Jawab: makanya kita kenalkan dulu diri kita siapa misalnya “ saya namanya pa ini, saya yang akan merawat bapak disini, itukan tujuannya pasien engga takut, pasien percaya pada kita,, itu langkah awalnya untuk membangun rasa percaya. 9. Untuk menghadapi pasien ini kita sebagai komunikator harus sabar dan tenang dan dua tips itu tips yang sama saat menghadapi anak-anak yah pa, lalu apa bedanya pak menghadapi pasien gangguan jiwa ini dengan anakanak? Jawab: harus sabar, tidak seperti menghadapi orang yang normal langsung faham, tetapi harus berulang-ulang. Dan belum tentu dia ngerti yah karna pasien yang kita ajak ngobrol diem, dengan cara persuasif misalnya, “Coba kamu diem dulu”. Tapi kalau seandainya dia tidak bisa diem , ya udah kamu masuk dulu deh, ngbrolnya nanti (kita alihin) dan adakalanya butuh intonasi tinggi kalau pasiennya di deketin secara halus engga bisa, agak sedikit dibentak. Biasanya pasien takut misalnya, “Diem kamu, kamu masuk dulu deh” intonasinya di tinggikan dan pasien jika melihat ekspresi kita begitu dia takut juga ya. Biasanya dia nurut. Tetapi cara tersebut jika diperlukan saja jika pasiennya susah baru. Mengetahui Mamat Sutedi, Amd Kep HASIL WAWANCARA Narasumber : Ernawati, Amd Kep Jabatan : Perawat di ruang Yudistira Tanggal : 17 Februari 2015 1. Bedanya seperti apa bu pendekatan komunikasi dengan pasien skizofrenia hebefrenik dengan yang paranoid? Jawab: cara pada intinya sama, tapi cara penyerapan pasien yang berbeda, kalo yang hebefrenik agak susah yah, dia mau diajarin yang gimana juga yah begitu-begitu aja terus, kalo yang paranoid gampang sejalan dengan terapi obat, terapi oral dari perawat jadi cepet, beda sama yang hebefrenik. 2. Lalu bagaimana strategi yang dilakukan oleh perawat ketika memang sulit menghadapi pasien hebefrenik? Jawab: kalo yang hebefrenik yah kita lebih ke pemenuhan ADL dia kebutuhan daily activity misalkan kebutuhan tidurnya, makannya, mandinya, itu lebih kesitunya. Jadi kalo untuk penyembuhan kemampuan sosial/interaksi itu agak susah. 3. Lalu bagaimana cara perawat mengajak pasien agar dia mau ikut memenuhi kebutuhan ADLnya? Jawab: yah kita fasilitasi, klo mandi kita fasilitasi alatnya, kita motivasi, kita ajak, kalo yang paranoid kan dengan berjalannya waktu dia bisa sendiri tapi kalo yang hebefrenik harus selalu diajak, dimotivasi 4. Salah satu hambatan pasien hebefrenik kan dia bertingkah laku seperti anakanak sama bicara melantur dan sibuk dengan dunianya, lalu bagaimana strategi komunikasi perawat ketika menghadapi pasien yang seperti itu? Jawab: macam-macam tipenya tapi yang tipenya seperti itu kita ada teknik focusing, apa yang ingin kita dengar itu di fokuskan. Jadi kalau dia mutermuter kemana-mana maka diarahkan kesitu. Misalnya kita akan membicarakan tentang halusinasi dia ya udah kita bicara terkait halusinasi dia saja, jadi engga ngelantur kemana-mana. 5. Jadi message yang disampaikan langsung, jelas dan to the point tidak memakai basa-basi terlebih dahulu yah bu? Jawab: kalau awal iya pasti ada basa-basi dulu untuk bina trust, tapi setelah bina trust terjalin maka kita langsung difokuskan tentang apa yang akan kita ketahui tentang dia. 6. Apakah ada feed back dari pasien saat perawat berinteraksi dengan pasien? Jawab: ada cuman hampir rata-rata yang diomongin hampir sama, kalo hari ini yang obrolin itu yah besok juga yang diobrolin akan sama juga. Kenapa sama, karena yang ingin ia dengar, yang ingin ia bicarakan seputar itu-itu saja. Tetapi paranoid lebih gampang kalo yang paranoid ditanya-tanya biasa akan langsung nyambung. 7. Apakah pasien bertanya kembali ke perawat/komunikan bertukar peran menjadi komunikator? Jawab: ada beberapa kalo pasiennya ISOS ia akan jawabnya ia tidak, ia tidak aja tapi kalo memang pasiennya yang kooperetif ia akan tanya balik. 8. Apa tujuan perawat berinteraksi dengan pasien? Jawab: tujuannya yang untuk kesembuhan dia, saat pulang nanti seperti marah-marah, ngomong sendiri, g mau mandi, ngamuk-ngamuk g jelas, nah, sepuluh item itu ya paling tidak beberapa item itu hilang. 9. Apakah pasien ISOS bisa dirubah menjadi orang yang bersosialisasi? Jawab: tergantung jika memang awal mulanya dia memang orangnya mau bergaul tapi kalo memang tidak yah balik lagi sama. Jadi kembali sesuai dengan kegiatannya yang sebelumnya. Mengetahui Ernawati, Amd Kep HASIL WAWANCARA Narasumber : Nurmilah, Amd Kep Jabatan : Perawat di ruang Yudistira Tanggal : 17 Februari 2015 1. Pendekatan personal yang seperti apa yang digunakan jika pasien sedang agresif? Jawab: pendekatannya ya itu paling kita kontrak dulu, kalo misalkan mau ngobrol dulu, kan kadang pasien suka moodnya suka g bagus jadi paling bikin janji dulu. Engga langsung sih, paling kaya gini contohnya, nanti misalkan jam 10 kita ngobrol yah trus perkenalan, ajak ngobrol tentang ngontrol emosi. Pendekatannya juga sama kalo dari segi bahasa paling pakai bahasa indonesia, kalo yang dari sunda ya pake bahasa sunda. 2. Jika tipe pasien isolasi sosial (ISOS) yang karakternya susah untuk berinteeraksi, maka pendekatan komunikasi yang seperti apa yang digunakan? Jawab: kalo ISOS, paling kita dicoba berkali-kali, misalnya kalo engga mau ngobrol hari ini bisa dideketin besok, yah intinya yang sering-sering aja, soalnya kan kenapa dia gak mau ngobrol karna emang ada bisikan buat engga mau ngobrol. Dan cara ngilangin bisikannya diajak ngikutin kegiatan aja. Misalnya, ayo kita nyapu, ayo kita ikut terapi. Yah gimana trustnya sih yah. 3. lalu ketika ada pasien yang tidak percaya dengan susternya yang menimbulkan susahnya berinteraksi, maka strategi komunikasi apa yang digunakan agar dia percaya? Jawab: ya, kita kontrak terus sih yah, misalnya jam segini yah kita ketemu, terus ngenalin diri aja kalo dia udah mau bareng kita. Salam terapeutik paling yah, kaya. Assalamualaikum, gimana kabarnya? 4. Apakah terdapat feed back dari komunikan saat berkomunikasi dengan komunikator? Jawab: feed back mah ada pastinya kalo emang udah ada rasa percaya. 5. Saat masa akhir tindakan keperawatan bagaimana cara berkomunikasi dengan pasien agar mereka tidak merasa sedih dan tambah tertekan saat berpisah dengan perawat? Jawab: kita kasih pengertian aja, kan disini tuh engga selamanya, kan disini ada waktunya. Intinya trust sama kontrak aja yah. 6. Bagaimana kondisi pasien yang menderita hebefrenik? Jawab: kalo yang hebefrenik sih susah yah, kadang kalo kita ngomong engga di denger, dia kan udah sibuk yah dengan dunianya. 7. Lalu, dengan keadaan pasien yang seperti itu, pendekatan apa yang digunakan agar mereka mau mendengarkan instruksi perawat? Jawab: yah, kita ngikutin mereka dulu, iya kalo dia lagi sibuk dengan fikirannya, kita fokusin dulu ke kita, difokusin pasiennya misalnya sini ngobrol sama suster dulu, dan langsung ikutin instruksi kok, asalkan bicaranya pelan-pelan, yah kaya ngajak aja. Intinya yah harus sabar, terus harus difokusin juga, kaya sini dengerin dulu suster bicara. Gitu. Hanya saja buat pasien yang ISOS dan hebefrenik yah kita yang aktif buat bicara. Karena kadang dia hanya jawabnya ya, tidak, udah, belum. Gitu aja, mending kalo ada verbalnya. Malah kadang dia Cuma diem. Makanya tergantung kemampuan perawatnya sih mancing kemampuan pasiennya. 8. Mana yang lebih sulit, lebih sulit berkomunikasi dengan tipe pasien ISOS atau dengan pasien tipe hebefrenik? Jawab: yah susahan yang hebefrenik yah, kadang suka engga nyambung. Kalo yang ISOS masih mending yah karena ada timbal baliknya. Walaupun jawabnya singkat-singkat. Yah kalo yang hebefrenik paling di fokusing dulu aja. Paling yah kaya gitu-gitu aja yah kalo buat berkomunikasi paling kaya bina rasa trust, sering dideketinnya, sama di fokusin. Mengetahui Nurmilah, Amd Kep HASIL WAWANCARA Narasumber : Siti Rohmah, Amd Kep Jabatan : Perawat di ruang Yudistira Tanggal : 17 Februari 2015 1. Ceritakan tentang pengalaman ibu, bagaimana cara ibu berinteraksi dengan pasien gangguan jiwa? Jawab: kalau di ruang krisna kalo pasien yang baru dateng dimana kondisi pasien masih sangat gelisah sehingga sulit untuk bina trust karena kita baru pertam ketemu trus kondisi pasien juga masih sangat gelisah trus juga terus belum dikasih obat, makanya di ruang ini kita minimalkan untuk banyak interaksi, paling Cuma langsung tindakan aja misalkan suntikan penenang soalnya di kasih obatnya juga lewat injeksi kadang-kadang kalo makin parah kita isolasi, paling delapan jam kemudian ada evaluasi kalo seandainya keadaan pasien udah mulai tenang baru di ajak interaksi dengan cara baikbaik, ya nanyanya paling sekitar, inget g dibawa kesini kenapa? 2. Lalu apakah pasien langsung memberikan feed back atas apa yang ditanyakan? Jawab: rata-rata pasien yang gelisah terus langsung di injeksi obat biasanya masih pada bengong-bengong aja, soalnya efek dari obatnya belum maksimal, rata-rata sih suntikan tiga hari, kalo udah lebih dari tiga hari baru udah mulai bisa ditanya. Awalnya kita bina trust dulu aja jangan terlalu menyinggung tentang masalah dia, jangan memvonis kalau dia itu salah yah, misalnya, kamu udah ngerusak rumah yah kamu, ngerusak kaca yah kamu, biasanya langsung marah, kondisina masih labil soalnya, pendekatannya misalnya, kenapa sih di rumah?, ada apa sih emangnya? Kegiatanya lagi apa?, inget engga waktu kesini karena apa?, 3. Lalu apakah ada pasien yang langsung emosi setelah ditanya tentang hal tersebut? Jawab: ada pasti misalnya, udh deh engga usah nanya-nanya, ada juga yang langsung pergi. 4. Lalu bagaimana cara perawat berkomunikasi dengan pasien yang kondisinya seperti itu? Jawab: yah, kalo misalkan dia engga mau berinteraksi kita engga bisa maksa, kita tinggalin dulu aja. Sampai nanti kondisinya dia sudah makan, kita bisa tanya lagi. Kalau dia tdak mau bicara dnegan kita berarti dia memang lagi benar-benar marah, emang bener-bener belum percaya, jadi g usah setiap ngobrol selalu bisa interaksi engga apa-apa nunggu dulu. Kita harus ngikutin kondisi pasien. Tar kalao dia udah mulai mau ngobrol nah baru kita mulai masuk ke masalah dianya. Biasanya dia kan langsung cerita “ia nih di rumah abisan saya g boleh ini, ya udah saya marahin aja saya pukul”. Gitu aja sih kalo di ruang kresna (ICU Psikiatri) banyaknya tindakan sih yang. Soalnya emosinya masih belom stabil, mereka masih agresif. 5. Lalu bagaimana cara perawat mengontrol pasien yang sedang sangat agresif seperti itu? Jawab: ya kalo masih bisa pake injeksi, kita injeksi dulu dan engga digabung sama pasien lain sampe dia bener-bener tenang. Ciri-ciri engga tenangnya misalnya gedor-gedor, teriak-teriak yah kita fiksasi dia. 6. Lebih efektif mana antara interaksi dan penyembuhan obat? Jawab: sebenarnya untuk menghilangkan rasa gelisah lebih efektif obat tapi kalau obat saja tidak ada interaksi sama aja, ya istilahnya butuh perhatian, mungkin alasan mereka dirawatpun karena memang kurang perhatian, dengan disini ia dianggap ada, dia diperhatiian dia diajak ngobrol berarti fifty-fifty. Mengetahui Siti Rohmah HASIL WAWANCARA Narasumber : Fujiati, Amd Kep Jabatan : Perawat di ruang Yudistira Tanggal : 17 Februari 2015 1. Bagaimana cara agar pasien isos mau untuk terbuka atau berbicara dengan perawat sehingga masalah dapat diketahui? Jawab: pendekatannya sedikit tapi sering soalnya pasien yang isolasi sosial, jika perawat banyak bertanya atau banyak mengajaknya berinteraksi ia akan lebih banyak diam, makanya frekuensinya lebih sering tetapi dengan sedikit pertanyaan. Jika nanti bertemu lagi nanya lagi. Misalnya: kenapa kok, diam saja tidak mau gabung dengan yang lain? Jika pasien tidak mau menjawab maka beri pertanyaan yang lain. Misalnya, kalo di rumah kenapa sih dibawa kesini sama keluarga? Misalnya dia menjawab. Jika dari tiga pertanyaan dia dapat menjawab 1 pertanyaan sebenarnya itu sudah bagus. Jika dari ekspresi muka, gesture dan dia sudah tidak dapat diajak berinteraksi maka akhiri komunikasi dan buat kontrak lagi untuk bisa bercakap-cakap di kemudian hari. Dan jika sudah bertemu lagi maka jangan langsung ke pertanyaan yang sama tetapi dimulai dengan pertnyaan basa-basi yang lain dulu, nanti setelah sekiranya pasien sudah terlihat nyaman baru kembali ke pertanyaan yang dituju. Adapun pertanyaan yang dapat ditanyakan agar pasien mau terbuka ialah bertanya mengenai mengapa ia dibawa kerumah sakit? Mengapa ia tidak mau bergabung dengan yang lain? Mengapa interaksi ini penting agar pasien setidaknya mau mengikut bujukan perawat untuk setidaknya mau menjaga kebersihan dirinya. 2. Sebenarnya data mengenai pasien didapat dari mana? Jawab: jika memang pasien ISOS (isolasi sosial) maka data akan didapat dari keluarga, tetapi seiring dengan seringnya kita berinteraksi dengan pasien dan tergantung dengan pandai tidaknya perawat berinteraksi dengan pasien maka pasien akan sedikit-demi sedikit terbuka. Terlebih jika sudah ada bina trust. Jika pasien ISOS maka bagaimana perawat menggunakan, yah memang yah setiap orang memiliki tekhniknya sendiri. Dan jika pasien dalam keadaan ISOS ketika mau berhubungan/interaksi dengan mereka jangan banyak berhubungan dengan kertas. Jadi proses bertanyapun jangan memegang kertas, karena itu akan membuat curiga pasien. Udah dia ISOS kan? Terus ditambah lagi dia curiga. 3. Jadi proses interaksi harus dibuat senatural/se nonformal mungkin yah? Jawab: maksudnya kita jangan, dari pertanyaan sepuluh, kita jangan 10 juga dapat jawaban. Karena dengan dua pertanyaan aja dapat di jawab oleh pasien ISOS itu udah sangat bagus. 4. Butuh waktu berapa lama agar trust dapat terjalin antara perawat dengan pasien ISOS? Jawab: kita, tidak bisa pastikan waktu, kalo untuk bina trust pasien-pasien ISOS karena kan masing-masing pasien belum tentu sekarang keteku sekarang mau berinteraksi/kenalan. Iyakan? Mungkin bisa seminggu, mungkin bisa dua minggu, tergantung pasiennya dan tergantung pendekatan si petugasnya. Semakin sering berinteraksi maka pasiennya mungkin bisa, tapi semakin sering juga pasiennya kadang-kadang bete. 5. Bagaimana strategi perawat/ibu ketika pasien tidak mau berinteraksi/berkomunikasi dengan perawat ketika sedang bad mood/tidak mau berkomunikasi ? Perawat: kalo nanya teknik saya, sepertinya banyak cara yah, bisa pendekatan dulu, bisa kita sambil sentuh dia, bisa kasih pujian dia. 6. Memang pasien gangguan jiwa dibolehkan untuk disentuh yah bu? Jawab: sentuh dalam artian gini, saya kan suka menggandeng pasien tuh, itukan secara tidak langsung kita bina trust juga, seperti yang tadi pasien baru itu, dia kan memang pasien yang susah yah, akhirnya aku dengan sentuhan itu kadang-kadang pasien suka mudah percaya. 7. Jadi intinya bina trust dulu hingga akhirnya pasien mau terbuka untuk berinteraksi? Jawab: yah, tentu karena kalo pasien langsung ditanya begini-begini, yah belum bisa. 8. Apakah semua pasien gangguan jiwa dihadapi sengan cara yang serupa bu agar mau diajak berkomunikasi? Jawab: oh beda, hanya saja pasien ISOS itu agak sulit yah, karena untuk bina trust aja susah. Tapi jika pasien yang dengn RPK (riwayat pelaku kekerasan) tidak sesulit dengan pasien ISOS dan cara penanganannya juga beda, kalo memang dia riwayat RPK ya, kita masih bisa komunikasnya bagus sama dia terutama jika pasiennya udah agak lama yah. Misalnya kenapa sih kamu bisa sampe sini? Kenapa sih kamu mecahin gelas? Jawaban pasien: saya marah, perawat: kenapa kamu marah? Sekarang masih ada gak marahnya? Yah seputar itulah. Intinya pendekatannya itu harus heart to heart (hati ke hati) secara baik-baik, lembut dan pengertian. Saat berkomunikasi meski ada teori tapi kita tidak terlalu berpacu pada teori tersebut, artinya proses komunikasi bersifat natural saja dan sangat disesuaikan dengan keadaan pasien, agar pasien nyaman. 9. Apa yang menyebabkan pasien tidak percaya pada perawat sehingga komunikasi tak dapat terlaksana dengan baik? Jawab: itu kembali kepada pasien dan kembali pada keluarga, bagaimana dia teknik mendidik anak, karena balik-baliknya kesitu juga, misalnya awalnya dia pendiam. Tetep keluarga itu berperan penuh dalam mendidik anak, kenapa ia jadi ISOS kenapa ia RPK tetep kembalinya pada keluarga. Jadi, solusinya perawat harus intens dan sabar menggali informasi dan berinteraksi dengan pasien ISOS dan RPK. 10. Lalu dari segi pemilihan pesan atau redaksi, jenis redaksi yang seperti apa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan pasien? Jawab: kita pake sistem family aja, jadi gini, seolah-olah kita sudah kenal banget dengan lawan bicara kita itu. Kalo misalkan dia orang sunda ya kitanya juga pake bahasa sunda, untuk mudah supaya lawan bicara lebih terbuka kepada perawat. Kalo saya sih seperti itu, teknik-teknik seperti itu. Tapi kan masing-masing person beda-beda yah. Mengetahui Fujiati, Amd Kep A. FOTO-FOTO 1. Foto-foto ruang perawatan 2. Foto-foto peneliti dan perawat