BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan antara tiga lempeng besar yakni lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik yang menjadikan Indonesia memiliki tatanan tektonik yang kompleks. Akibat penunjaman lempeng ini cukup mempengaruhi pola geodinamika di area Pulau Jawa (Bock, dkk., 2003). Lempeng Samudera Hindia bergerak ke arah utara-timur laut dengan kecepatan antara 6.0 s.d. 7.5 cm/tahun (Hamilton, 1979). Pulau Jawa berada pada tutaman Lempeng Eurasia di utara dan Lempeng Indo-Australia di selatan. Lempeng Eurasia bergerak ke tenggara sedangkan Lempeng Indo-Australia yang berada di selatan bergerak ke utara dan menunjam ke bawah sistem busur kepulauan Sumatra dan Jawa (Tregoning, 1994). Gambar I.1 menunjukkan penunjaman lempeng di Pulau Jawa. Lempeng Eurasia Lempeng Indo-Australia Gambar I. 1. Gambar penunjaman lempeng di Pulau Jawa (Sumber : http://assets.decodedscience.com/) Selain zona subduksi yang berada di selatan pulau jawa, Tektonik regional wilayah Jawa dikontrol oleh tektonik tunjaman selatan Jawa. Akibat tunjaman tersebut 1 2 terbentuk struktur-struktur geologi regional di wilayah daratan Jawa. Struktur tersebut dapat diamati di daratan Jawa bagian barat hingga Jawa bagian timur, di antaranya Sesar Banten, Sesar Cimandiri, Sesar Citarik, Sesar Baribis, Sesar Citanduy, Sesar Bumiayu, Sesar Kebumen - Semarang - Jepara, Sesar Lasem, Sesar Rawapening, Sesar Opak, Sesar Pacitan, Sesar Wonogiri, Sesar Pasuruan, dan Sesar Jember (Soehaimi, 2008). Gambar I.2. menunjukkan pola dan struktur geologi di Pulau Jawa. Gambar I. 2. Pola dan struktur geologi di Pulau Jawa (Bachri, 2008) Selain itu terdapat dua buah sesar berukuran regional mengapit lekukan utara Jawa Tengah. Kedua unsur struktur ini ditafsirkan sebagai sesar normal maupun sesar naik. Kedua sesar mendatar ini masing-masing disebut sebagai Sesar Mendatar Dekstral Pamanukan-Cilacap yang berada di barat di sekitar cirebon dan Sesar Mendatar Sinistral Muria-Kebumen yang di berada di timur di sekitar semarang. Kedua sesar saling berlawanan arah, membuka di lekukan utara Jawa Tengah dan saling mendekat dan mungkin akhirnya berpotongan di bagian tengah lekukan selatan Jawa Tengah (Setyana, dkk, 2002). Gambar I.3 menunjukkan pola dan struktur dua sesar mendatar yang mengapit bagian tengah Pulau Jawa. 3 Gambar I. 3. Pola dan struktur dua sesar mendatar pengapit bagian tengah Pulau Jawa (Setyana, 2002)` Berdasarkan konfigurasi tektonik di Pulau Jawa, mengakibatkan terjadinya gempa-gempa yang disebabkan oleh aktifitas tektonik tersebut. Kegempaan regional wilayah Jawa dapat dibagi atas dua kelompok kegempaan, yakni kegempaan lajur tunjaman selatan Jawa dan kegempaan lajur sesar aktif Jawa. Gempa bumi lajur tunjaman Jawa dijumpai berkedalaman dangkal hingga dalam (0 – 400 km) Gempa bumi di lajur tunjaman ini umumnya tercatat berkekuatan > 4 SR. Pada lajur sesar aktif Jawa memperlihatkan mekanisme sesar naik, geser, dan normal (Soehaimi,2008). Gambar I.4. menunjukkan seismotektonik di Pulau Jawa. Pada gambar I.2 dan I.3 menunjukkan konfigurasi tektonik yang terdapat di Pulau Jawa. Pulau Jawa bagian tengah menunjukkan adanya dua buah sesar aktif mendatar Dekstral Pamanukan-Cilacap dan sesar mendatar Dekstral Pamanukan-Cilacap serta adanya sesar naik yaitu perpanjangan sesar kendeng yang memanjang dari timur ke barat yang terdapat di bagian utara Pulau Jawa. Sesar perpanjangan kendeng tersebut masih memiliki informasi yang sangat minim mengenai pergerakan di sekitar wilayah tersebut yaitu pada bagian utara Pulau jawa bagian tengah. 4 Gambar I. 4. Peta seismotektonik Jawa dan Bali. (Soehaimi, 2008) Gambar I.4. menunjukkan bahwa gempa yang kuat dan dangkal berasal dari zona subduksi yang berada di selatan pulau jawa. Namun pada daratan Pulau Jawa juga terdapat pusat gempa namun tidak terlalu besar. Gempa pertama yang pernah terjadi di Pulau Jawa selama periode 20 tahun ini adalah gempa yang terjadi pada tahun 1994 dengan magnitude 7.7, yang berpusat di Pacitan (Budhiawan, 2010). Gempa Pacitan ini menyebabkan Tsunami yang cukup besar serta korban yang cukup banyak. Setelah itu terjadi pula gempa Jogjakarta dan gempa Pangandaran pada tahun 2006 dengan pusat gempa di wilayah selatan Pulau Jawa, kemudian terjadi pula Gempa di Tasikmalaya pada tahun 2009. Peristiwa gempa tektonik yang terakhir terjadi adalah Gempa bumi Kebumen yang terjadi pada tanggal 25 Januari 2014 dengan kekuatan 6.5 richter (Laksmantyo,2014). Dengan kekuatan gempa yang besar tersebut tentu saja dapat dirasakan sampai ke wilayah Pantai Utara Jawa. Pola geodinamika lempeng bumi serta tektonik lokal yang dinamis seperti terjadi di Pulau Jawa diukur secara geometris dengan menggunakan receiver GNSS CORS yang dikelola oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) yang ditempatkan pada 5 suatu titik pengamatan geodinamika. Manfaat menggunakan jaringan CORS GNSS antara lain mendapatkan data pengamatan yang lebih banyak dari pada stasiun sementara karena beroperasi secara terus menerus selama 24 jam dan 7 hari seminggu sehingga memiliki ketelitian koordinat lebih tinggi dari stasiun sementara (Widjayanti,2010). Geodinamika yang dominan di Pulau Jawa terdapat di daerah selatan Pulau Jawa yaitu dekat dengan aktifitas Lempeng Eurasia dan Indo-Australia sedangkan pada bagian utara Pulau Jawa terdapat sesar aktif yang dapat menimbulkan pergerakan permukaan tanah seperti pada wilayah bagian utara Pulau Jawa bagian tengah. Namun penelitian dari konfigurasi tektonik yang terdapat di utara Pulau Jawa bagian tengah tersebut masih sedikit atau minim. Untuk itu, penelitian pada Pulau Jawa bagian utara menjadi suatu kebutuhan yang penting untuk mengetahui pergerakan Pulau Jawa bagian utara serta pengaruhnya terhadap zona subduksi yang berada di selatan Pulau Jawa. I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian kondisi geografis serta konfigurasi tektonik yang berada di Pulau Jawa yaitu terdapat lajur tujaman di selatan pulau jawa dan lajur sesar aktif pada daratan Pulau Jawa khususnya sesar mendatar dan naik yang terdapat di utara Pulau Jawa bagian tengah. Lajur-lajur tersebut mengakibatkan adanya gempa sebagai tanda adanya aktifitas tektonik. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai pergerakan Pulau Jawa dari kedua konfigurasi tektonik pulau tersebut. Berdasarkan perumusan masalah tersebut, pertanyaan pada penelitian ini adalah : 1. Berapa besar kecepatan pergerakan Pulau Jawa bagian utara pada rentang waktu tahun 2010 s.d. 2012 dan bagaimana pola pergerakan setiap stasiun CORS? 2. Berapa besar kecepatan pergerakan Pulau Jawa pada bagian utara dan selatan pada rentang waktu 2010 s.d. 2011 dan bagaimana pola pergerakan setiap stasiun CORS? 3. Bagaimana perbandingan nilai kecepatan dan pola umum pergerakan Pulau Jawa antara pengolahan stasiun CORS yang terdapat di utara Pulau Jawa 6 dengan pengolahan stasiun CORS yang tersebar di Pulau Jawa dari utara sampai selatan? 4. Bagaimana perbandingan nilai kecepatan dan pola pergerakan Pulau Jawa akibat pengaruh aktifitas subduksi yang terdapat di selatan pulau jawa terhadap titik pengamatan yang berada di utara Pulau Jawa? I.3. Cakupan Penelitian Penelitian ini dibatasi dengan cakupan sebagai berikut : 1. Data yang digunakan adalah data pengamatan GNSS CORS Badan Informasi Geospasial di Pulau Jawa pada tahun 2010, 2011, dan 2012. 2. Pengolahan data menggunakan dua skenario pengolahan data yaitu pada skenario pertama menggunakan enam stasiun CORS yang berada di utara Pulau Jawa bagian tengah yang berfokus pada lajur sesar naik dari perpanjangan sesar kendeng dan sesar mendatar dekstral dan sisnistral dan skenario kedua menggunakan 19 stasiun CORS yang tersebar di Pulau Jawa dari utara hingga selatan. 3. Data RINEX stasiun IGS yang berjumlah 12 stasiun yang tersebar di sekitar kepulauan Indonesia. 4. Data Broadcast Ephemeris dan Precise Ephemeris yang merupakan informasi mengenai orbit satelit sesuai DOY dari data pengamatan dan tahun pengamatan. 5. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GAMIT/GLOBK yang I.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menentukan kecepatan dan arah pergerakan enam stasiun CORS di bagian utara Pulau Jawa BIG pada tujuh hari pengamatan pada rentang waktu antara tahun 2010 s.d. 2012. 2. Menentukan kecepatan dan arah pergerakan 19 stasiun CORS BIG yang tersebar di Pulau Jawa pada tujuh hari pengamatan pada rentang waktu antara tahun 2010 s.d. 2011. 7 3. Membandingkan kecepatan dan pola umum pergerakan antara enam stasiun CORS BIG di utara pulau jawa dengan 19 stasiun CORS BIG yang tersebar di Pulau Jawa. 4. Membandingkan kecepatan dan pola pergerakan antara stasiun CORS BIG yang berada di utara pulau jawa dengan pengolahan stasiun CORS BIG yang dipengaruhi oleh aktifitas subduksi yang berada di selatan Pulau Jawa. I.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain dapat memberi prediksi terhadap pergerakan akibat konfigurasi tektonik sesar aktif di utara Pulau Jawa serta mengetahui pengaruh zona subduksi terhadap pergerakan di utara Pulau Jawa. I.6. Tinjauan Pustaka Penelitian yang berkaitan dengan geodinamika Pulau Jawa dilakukan oleh Bock, dkk., (2003) Pada penelitian tersebut dianalisis mengenai pergerakan lempeng di Kepulauan Indonesia menggunakan pengamatan data GPS selama 10 tahun dari Scripps Orbit and Permanent Array Center (SOPAC) pada 150 lebih titik pengamatan di seluruh Indonesia dari tahun 1991 s.d. 2001 untuk mengetahui pergerakan lempeng Kepulauan Indonesia relatif dengan lempeng yang berada disekitarnya, antara lain Lempeng Eurasia, Lempeng Hindia-Australia, Lempeng Pasifik dan sebagainya. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan adanya pergerakan lempeng secara relatif terhadap lempeng-lempeng di sekitarnya. Salah satunya Lempeng Indochina dan Asia Tenggara pada Paparan Sunda bergerak relatif terhadap Lempeng Eurasia dengan kecepatan 6 cm ± 3 mm per tahun kearah tenggara. Abidin, dkk., (2009) melakukan penelitian terhadap deformasi antar seismik tiga sesar aktif di wilayah Jawa Barat menggunakan metode survey GPS. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut bahwa daerah disekitar tiga sesar aktif tersebut mengalami pergeseran horisontal sebesar 1 s.d. 2 cm/tahun. Abidin dkk. juga melakukan penelitian sebelum dan sesudah gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dimana setelah dianalisis, hasil yang diperoleh pada tahun pertama yaitu 2006 s.d. 8 2007 pergeseran terjadi sejauh 5 cm, dan pada tahun selanjutnya yaitu 2007 s.d. 2008 berkurang menjadi kurang dari 3 cm. Budiawan (2010). Penelitian tersebut melakukan analisis deformasi akibat pengaruh subduksi di Jawa Barat. Dalam penyelidikan pola deformasi tersebut, dilakukan pengukuran GPS dengan teknik differensial menggunakan metode jaring. Titik-titik tersebut tersebut diukur secarakontinyu dan episodik, kemudian data titik hasil pengamatan GPS di bagian barat Pulau Jawa kemudian diolah dengan software ilmiah Bernese. Selanjutnya dilakukan perhitungan vektor pergeseran dan nilai parameter regangan sehingga tingkat rekatan pada zona subduksinya dapat dimodelkan. Berdasarkan nilai pergeseran dari titik-titik pengamatan, bagian barat Pulau Jawa berkisar 1 s.d. 6 cm/tahun dominan ke arah Tenggara. Berdasarkan hasil pola regangannya, bagian Barat Jawa dominan mengalami regangan dan tingkat rekatan yang terjadi adalah sebesar 0 %. Deformasi bagian Barat Pulau Jawa dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu pergerakan lempeng sunda, pengaruh subduksi dan pengaruh lokal dalam kasus ini dimungkinkan karena adanya aktivitas Sesar Cimandiri. Taftazani (2013) melakukan penelitian mengenai analisis geodinamika pulau Jawa melalui pengamatan dan pengukuran pergerakan lima stasiun pasut dengan tiga epok (2009, 2010, 2012). Penelitian tersebut menggunakan data pengamatan GNSS di lima stasiun pasang surut yang tersebar di Pulau Jawa. Pengolahan diikatkan dengan tujuh buah titik ikat global yang berada di sekitar kepulauan Indonesia. Data hasil pengamatan lima stasiun pasut tersebut diolah menggunakan perangkat lunak GAMIT/GLOBK. Hasil yang diperoleh yaitu perbedaan koordinat lima stasiun pasut yang relatif kecil pada masing-masing tahun. Pola pergeseran stasiun pasut pada rentang tahun 2009 s.d. 2012 memiliki kecenderungan bergeser ke arah tenggara dengan kecepatan berkisar antara 0,9 s.d. 65,9 mm/tahun. Laksmantyo (2014) melakukan penelitian pola pergerakan dan regangan di Jawa Tengah melalui pengamatan stasiun pengamatan GPS dengan proses pengolahan data menggunakan software Bernese 5.0. Metode pengamatan GPS yang digunakan adalah metode pengamatan diferensial. Dari hasil pengolahan data, didapatkan kecepatan vektor pergeseran titik-titik pengamatan GPS kontinu memiliki arah pergerakan bergerak ke arah tenggara secara keseluruhan, dengan kecepatan 9 pergeseran tertinggi yaitu 0,034607 m/tahun. Kemudian pola regangan yang diperoleh dari kecepatan pergeseran di wilayah Jawa Tengah memiliki sifat dominan kompresi. Hal tersebut mengindikasikan adanya zona subduksi di wilayah penelitian. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tersebut, adanya aktifitas kegempaan erat kaitannya dengan aktifitas lempeng-lempeng yang mengelilingi kepulauan indonesia khususnya Pulau Jawa. Penelitian ini menggunakan pengamatan GNSS terhadap stasiun CORS yang kontinyu menggunakan dua skenario pengolahan data dan diikatkan terhadap titik ikat global dan diolah menggunakan perangkat lunak GAMIT/GLOBK 10.50. I.7. Landasan Teori I.7.1. Geodinamika Pengemuka Teori Tektonik Lempeng pertama kali adalah dua orang ahli Geofisika dari Inggris, Dan McKenzie dan Robert L. Parker. Mereka mengemukakan teori ini pada tahun 1967 setelah menyempurnakan teori-teori yang ditemuknan ahliahli sebelumnya kemudian disempurnakan oleh J. Tuzo Wilson. Teori ini menyempurnakan teori-teori sebelumnya menjadi satu kesatuan konsep sehingga bisa lebih diterima oleh para ahli geologi. Berdasarkan teori ini, kulit bumi atau litosfer terdiri atas beberapa lempeng tektonik yang berada di atas lapisan astenosfer, Lempeng-lempeng tektonik pembentuk kulit bumi selalu bergerak karena pengaruh arus konveksi yang terjadi pada lapisan astenosfer yang berada di bawah lempeng tektonik kulit bumi. Litosfer sebagai lapisan paling luar dari badan bumi, bagaikan kulit ari pada kulit manusia dan merupakan lapisan kerak bumi yang tipis. Lempeng-lempeng selalu bergerak dan mendesak satu sama lain. Lempeng tektonik bagian atas disebut lempeng samudera, sedangkan lempeng tektonik pada bagian atas terdapat masa kontinen disebut lempeng benua. Kedua lempeng ini memiliki sifat yang berbeda. Apabila dua lempeng yang berbeda sifat tersebut saling mendekat, umumnya lempeng samudera akan ditekuk ke bawah lempeng benua hingga jauh ke dalam lapisan astenosfer. Pergerakan lempeng tektonik dibedakan 10 menjadi tiga macam, yaitu pergerakan lempeng yang saling mendekat, saling menjauh, dan saling melewati. Dengan adanya aktifitas kerak bumi tersebut, Daratan yang ditempati oleh manusia mengalami pergerakan yang mengakibatkan adanya perubahan nilai koordinat setiap posisi di Bumi. I.7.2. Global Navigation Satellite System (GNSS) GNSS adalah singkatan dari Global Navigation Satellite System. GNSS tersebut merupakan teknologi yang digunakan untuk menentukan posisi atau lokasi (lintang, bujut, dan ketinggian) serta waktu dalam satuan ilmiah di bumi. Satelit akan mentransmisikan sinyal radio dengan frekuensi tinggi yang berisi data waktu dan posisi yang dapat diambil oleh penerima yang memungkinkan pengguna untuk mengetahui lokasi tepat mereka dimanapun di permukaan bumi. GNSS merupakan perkembangan dari teknologi GPS. GNSS merupakan gabungan dari beberapa satelit pengamatan posisi seperti GPS milik Amerika Serikat, GLONASS milik Eropa, dan COMPASS milik China (Panuntun, 2012). Masing-masing satelit tersebut memiliki tiga segmen yang telah diuraikan sebelumnya. Dengan adanya teknologi GNSS ini, pengukuran posisi suatu titik di permukaan bumi menjadi lebih teliti karena jumlah satelit yang terekam oleh receiver lebih banyak. Namun, dalam pengolahan data pengamatan dibutuhkan suatu transformasi datum untuk mengintegrasikan hasil pengamatan dari beberapa satelit. Teknologi GPS ini terdiri atas tiga segmen, yaitu segmen kontrol, segmen angkasa, dan segmen pengguna. Gambar I. 5. Segmen dalam teknologi GNSS (El-Rabbany, 2002) 11 Gambar I.5 menunjukkan tiga segmen yang ada dalam teknologi GNSS. Segmen satelit terdiri atas satelit-satelit GNSS yang beredar pada orbitnya masing-masing. Orbit satelit GNSS memiliki inklinasi 550 untuk satelit GPS dan 64,80 untuk satelit GLONASS. Segmen kontrol terdiri atas stasiun-stasiun pemantau orbit satelit GPS. Segmen kontrol ini menentukan informasi broadcast ephemeris yang digunakan dalam perhitungan koordinat. Secara spesifik segmen kontrol terdiri atas Ground Control Stations (GCS), Monitor Stations (MS), Prelaunch Compatibility Stations (PCS), dan Master Control Stations (MCS) (Abidin, 1995). Segmen pengguna atau dalam Gambar I.5 dikenal dengan user segment merupakan pihak pengguna dari teknologi GPS. Dalam segmen pengguna, diperlukan suatu receiver GPS untuk menangkap sinyal satelit GPS, sehingga didapatkan posisi dari segmen pengguna. Receiver GPS ini juga dilengkapi dengan jam untuk mengukur waktu tempuh sinyal GPS, namun jam receiver ini tidak lebih teliti dari jam satelit. Sampai saat ini, terdapat 4 macam GNSS yang telah dan akan beroperasi secara penuh pada beberapa tahun kedepan, yaitu Global Positioning System (GPS) milik Amerika, GLONASS milik Russia, KOMPAS milik China, dan GALILEO milik Uni Eropa. I.7.3. Penentuan posisi menggunakan GNSS Penentuan posisi dengan GNSS pada dasarnya dilakukan dengan prinsip pengikatan ke belakang yaitu dengan mengukur jarak dari beberapa satelit yang diketahui posisinya sehingga posisi pengamat dapat dihitung. Pengamatan dengan teknologi GPS akan menghasilkan koordinat dalam sistem koordinat geodetik (φ, λ, h), koordinat kartesi tiga dimensi (X,Y,Z) dan parameter waktu. Semakin banyak satelit yang dapat diamati maka hasil pengukuran akan memiliki akurasi yang semakin tinggi. Penetuan posisi dengan teknologi GPS dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode absolut dan metode relatif. (Sunantyo, 1999) I.7.3.1. Penentuan posisi secara absolut (Absolute Positioning). Prinsip dasar penentuan posisi dengan GNSS adalah rekseksi (pengikatan ke belekang) dengan jarak, melalui pengamatan simultan ke minimal 4 satelit yang koordinatnya diketahui 12 untuk mendapatkan nilai 3 parameter posisi dan waktu . Data yang dipakai adalah pseudorange, dengan demikian ketelitian yang dihasilkan tidak begitu tinggi (Sunantyo, 1999). Penentuan posisi absolut hanya memakai satu receiver, sehingga secara matematis penentuan posisi 3 dimensi dengan metode persamaan jarak pseudorange dapat digunakan rumus : ππ1 (π‘) = √(π’1 − π’π )2 + (π£ 1 − π£π )2 + (π€ 1 − π€π )2 - π. ππ‘π ............................. (I.1) ππ2 (π‘) = √(π’2 − π’π )2 + (π£ 2 − π£π )2 + (π€ 2 − π€π )2 - π. ππ‘π ............................ (I.2) ππ3 (π‘) = √(π’3 − π’π )2 + (π£ 3 − π£π )2 + (π€ 3 − π€π )2 - π. ππ‘π ............................ (I.3) ππ4 (π‘) = √(π’4 − π’π )2 + (π£ 4 − π£π )2 + (π€ 4 − π€π )2 - π. ππ‘π ............................ (I.4) Jika; π : kecepatan gelombang di dalam medium hampa ππ‘ : beda waktu antara gelombang satelit GNSS saat dipancarkan dan saat diterima π (π’, π£, π€) : posisi koordinat satelit GNSS (earth fix coordinates) dalam sistem kartesi 3D (u,v,w)k : posisi koordinat receiver dalam sistem koordinat kartesi 3D Pi πππ : jarak antara satelit GNSS ke receiver Adapun penentuan rumus untuk mendapatkan jarak melalui data fase adalah sebagai berikut : πΏπ(π‘) = π + ππ + ππ‘πππ – πππππ + (ππ‘ – π·π‘) + ππΆπ + ππ. ππ + ππΆπ ........... (I.5) Jika : Li = λi.Οi : adalah jarak fase (carrier range) pada frekuensi fi (m), (I = 1,2), ρ = jarak geometris antara satelit GNSS dengan receiver dρ = kesalahan jarak karena efek ephemeris (orbit) dtrop = bias karena efek refraksi troposfer (m) dioni = bias karena efek refraksi ionosfer (m) λi. = panjang gelombang dari sinyal (m) 13 dt, dT = kesalahan dan offset antara jam receiver dan jam satelit (m) MCi = efek dari multipath pada hasil pengamatan Li Ni = ambigiutas fase dari pengamatan fase seinyal – sinyal Li (dalam n gelombang) rCi = noise hasil pengamatan Li I.7.2.2. Penentuan posisi secara differensial (Differential Positioning). Penentuan posisi differensial atau penentuan posisi secara relatif adalah penentuan vektor jarak antara dua stasiun pengamatan, yang dikenal dengan jarak basis (baseline). Posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya. Penentuan posisi relatif melibatkan setidaknya 2 receiver GNSS, titik-titik stasiunnya statik (tidak bergerak) maupun bergerak (kinematik) , dan pengolahan data umunya dilakukan secara post-processing untuk memperoleh ketelitian yang lebih tinggi (Abidin, 2003). Pada penentuan posisi ini, dilakukan pengurangan data yang diamati oleh dua receiver yang mengamat satelit secara simultan (waktu pengamatan sama). Pengurangan (differencing) ini bisa mereduksi atau mengeliminasi efek kesalahan dan bias. Kesalahan jam receiver dan jam satelit, dapat dihilangkan, sedangkan kesalahan dan bias troposfer, ionosfer, dan efemeris dapat direduksi, sedangkan efek multipath tidak dapat direduksi. Differencing ini bisa dalam bentuk single difference, double difference, dan triple difference, masing-masing kombinasi linear differencing tersebut saling berbeda dan berbeda penggunaannya pula. Pada akhirnya, differencing ini akan meningkatkan ketelitian posisi yang didapat dari kondisi penentuan posisi absolut. Penentuan posisi secara differensial ini bias memakai dua metode, yakni dengan data pseudorange dan data carrier phase. Berikut rumus untuk differencing dengan memakai data pseudorange , dengan asumsi receiver GNSS i dan j mengamat pseudorange L1 ke m satelit secara simultan. Akan tersedia pseudorange berikut : ππ ij,1 , dimana k = 1,2,..,m. Linearisasi persamaan pengamatan pseudorange m single difference menjadi (Sunantyo, 1999) : π π (π‘1 ) = −[π’ππ (π‘1 )] βπππ (π‘1 ) + πβππ‘ππ (π‘1 ) ................................................... (I.6) βπππ,1 Jika, 14 π (π‘1 ) πππ,1 : hasil single-difference tunggal pengamatan pseudorange πππ : vektor jarak basis Sedangkan untuk differencing dengan data carrier phase, dimisalkan titik A sebagai titik referensi dan B adalah titik yang tidak diketahui koordinatnya. A dan B diukur secara simultan dan menghasilkan baseline bAB beserta komponen vektornya. Dengan menggunakan vektor-vektor posisi XA , XB yang berhubungan.Rumusnya : ππ΅ = ππ΄ + ππ΄π΅ Dapat diformulasikan dan komponen vektor baseline bAB menjadi : βππ΄π΅ ππ΅ − ππ΄ ππ΄π΅ = [ ππ΅ − ππ΄ ] = [ βππ΄π΅ ] ................................................................................. (I.7) ππ΅ − ππ΄ βππ΄π΅ Adapun gambaran penentuan posisi secara differensial diatas topografi dan diatas model bumi ellipsoid ditunjukkan pada gambar I.1. berikut ini : Gambar I. 6. Penentuan posisi secara differensial (Prasidya, 2014) Jika, (SV)i = satellite vehicle ke-i Titik A, B, dan C = posisi receiver di permukaan bumi (φ, λ) = lintang dan bujur geodetis N = jari – jari kelengkungan vertikal utama 15 h = tinggi diatas ellipsoid datum WGS 1984 O = origin yang berhimpit dengan pusat massa bumi I.7.4. Bias dan kesalahan dalam penentuan posisi 1.7.4.1. Bias. Bias didefinisikan sebagai efek-efek pada pengukuran yang menyebabkan jarak sesungguhnya berbeda dengan jarak terukur dengan jumlah yang sistematis dan harus dimasukkan dalam model pengukuran pada pengolahan data (Sunantyo,1999) Bias dapat bergantung pada beberapa faktor yaitu bergantung pada satelit, receiver, dan receiver-satelit (Sunantyo,1999). Bias yang bergantung pada satelit yaitu adanya ketidakpastian efemeris, dan adanya ketidakpastian jam satelit. Bias yang bergantung pada receiver yaitu ketidakpastian pada jam receiver, dan koordinat stasiun. Adapula kesalahan yang disebabkan pada receiver-satelit yaitu bias ionosfer, bias troposfer, dan ambiguitas fase pembawa (Sunantyo,1999). 1.7.4.2. Kesalahan. Kesalahan dalam penentuan posisi dengan GPS dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu Bias yang tidak termodelkan, Cycle Slips, Mulitipath, Pergerakan pusat fase antena, dan Kesalahan acak pengamatan (Sunantyo,2000). Dalam pengolahan data GPS, bias dan kesalahan harus diperhitungkan untuk mendapatkan hhasil yang kualitasnya baik. Beberapa dari bias dan kesalahan tersebut dapat dihilangkan dengan teknik dan pemodelan tertentu, namun sebagian lagi masih sulit untuk dimodelkan (Sunantyo,1999). I.7.5. Continuously Operating Reference Station (CORS) CORS (Continuously Operating Reference Station) adalah suatu teknologi berbasis GNSS yang berwujud sebagai suatu jaring kerangka geodetik yang pada setiap titiknya dilengkapi dengan receiver yang mampu menangkap sinyal dari satelitsatelit GNSS yang beroperasi secara penuh dan kontinyu selama 24 jam perhari, 7 hari per minggu dengan mengumpukan, merekam, mengirim data, dan memungkinkan 16 para pengguna (users) memanfaatkan data dalam penentuan posisi, baik secara post processing maupun secara real time (Badan Pertanahan Nasional, 2011). Gambar I. 7. Konsep pada sistem CORS (Sunantyo, 2009) Infrastruktur dari GNSS-CORS terdiri dari dua komponen (Sunantyo 2009) yaitu master station dan rover station. Master station sebagai titik referensi dari GNSS CORS yang bertugas untuk merekam data dari stasiun server, download data dan koreksi untuk semua pengguna. Rover station sebagai pengguna dari GNSS CORS. 1.7.6. International Terrestrial Reference Frame (ITRF) International Terrestrial Reference Frame yang selanjutnya disingkat ITRF adalah kerangka referensi geospasial global sebagai realisasi dari ITRS sebagaimana didefinisikan oleh International Earth Rotation and Reference Systems Service. ITRS direalisasikan dengan koordinat dan kecepatan dari sejumlah titik yang tersebar di seluruh permukaan bumi, dengan menggunakan metode-metode pengamatan Very Long Baseline Interferometry (VLBI), Lunar Laser Ranging (LLR), Global Positioning System (GPS), Satelite Laser Ranging (SLR), dan DORIS. ITRF mempunyai origin di pusat massa bumi (Fakhrurrazi, 2011). 1.7.7. Internasional GNSS Service (IGS) International GNSS Service (IGS) adalah suatu organisasi internasional yang merupakan kumpulan dari berbagai agensi dan badan multinasional di seluruh dunia. IGS mengumpulkan sumber dan data permanen dari stasiun GNSS dan memelihara 17 sistem GNSS ersebut. IGS didirikan oleh International Association of Geodesy (IAG). Pada tahun 1993, dan secara formal beroperasi mulai tahun 1994. Setiap negara berkontribusi dalam IGS dengan membangun stasiun IGS. Saat ini IGS mempunyai sekitar 200 stasiun penjejak satelit yang tersebar di seluruh dunia yang mengamati satelit-satelit GNSS secara kontinyu. Data 26 pengamatan stasiun IGS diolah dan dikelola oleh 16 Operational Data Centers, 5 Regional Data Centers dan 3 Global Data Centers. Data ini selanjutnya diolah oleh 7 Analysis Centers yang kemudian hasilnya disebarluaskan secara global. IGS juga menerbitkan spesifikasi dan standar internasional dari data GNSS. (Aditya, 2014) I.7.8. Perangkat Lunak GAMIT/GLOBK 1.7.8.1. GAMIT. GAMIT merupakan perangkat lunak ilmiah fully automatic processing untuk menganalisis data GPS yang komprehensif dan dikembangkan oleh (Massachusetts Institute Of Technology). Perangkat lunak ini dapat digunakan untuk melakukan perhitungan posisi tiga dimensi dan satelit orbit. IGS (International GPS service) berdiri pada tahun 1992. Perkembangan IGS memungkinkan adanya perkembangan pengolahan data GPS secara otomatis. Dalam proses perhitungan posisi tiga dimensi, GAMIT melibatkan data pengamatan stasiun-stasiun kontinyu diseluruh dunia termasuk IGS. 1.7.8.2. GLOBK. GLOBK merupakan suatu paket program yang dapat mengkombinasikan data survei teristris dan ekstrateristris. File input pada pengolahan GLOBK adalah matriks kovarians dari data koordinat stasiun, parameter rotasi bumi, parameter orbit, dan koordinat hasil pengamatan lapangan (Herring,dkk.,2006). File yang digunakan untuk pengolahan GLOBK adalah h-file yang merupakan hasil pengolahan GAMIT. GLOBK dapat mengkombinasikan hasil pengolahan data pengamatan harian untuk menghasilkan koordinat stasiun rata-rata dari banyak hari pengamatan , mengkombinasikan hasil pengamatan selama bertahun-tahun untuk menghasilkan satu koordinat stasiun, dan melakukan estimasi koordinat stasiun dari pengamatan individual yang digunakan untuk menghasilkan time series koordinat. 18 I.7.9. Perataan Jaring pada GAMIT/GLOBK I.7.9.1. Perataan jaring pada GAMIT. Perangkat lunak GAMIT menggunakan metode double difference dan prinsip metode parameter berbobot dalam perhitungan data pseudorange dan carrier phase. Persamaan merupakan persamaan observasi dengan menggunakan data fase. Sebagai contoh, apabila ada dua receiver yang berada pada dua titik stasiun A dan B, dengan vektor koordinat stasiun A dan B dinyatakan sebagai (XA, YA, ZA) dan (XB, YB, ZB). Untuk persamaan double difference, pengamatan dilakukan terhadap dua satelit yaitu j dan k, menghasilkan persamaan umum seperti pada persamaan (I.8) : ρjA = √[ππ (π‘) − ππ΄ ]2 + [ππ (π‘) − ππ΄ ]2 + [ππ (π‘) − ππ΄ ]2 .................................... (I.8) Jika, ρjA = Jarak antara sateit i ke stasiun A i = notasi untuk satelit ke-n A = notasi untuk stasiun ke-m Koordinat stasiun A didefinisikan dengan koordinat pendekatan yaitu ππ΄0 , ππ΄0 , ππ΄0 Sehingga diperoleh nilai koordinat stasiun A (ππ΄ , ππ΄ , ππ΄ ) menggunakan rumus (I.9), (I.10), dan (I.11) sebagai berikut : ππ΄ = ππ΄0 + πππ΄ . ..................................................................................................... (I.9) ππ΄ = ππ΄0 + πππ΄ ........................................................................................................(I.10) ππ΄ = ππ΄0 + πππ΄ ...................................................................................................... (I.11) Jika, ππ΄ , ππ΄ , ππ΄ = Koordinat stasiun A ππ΄0 , ππ΄0 , ππ΄0 = Koordinat Pendekatan A πππ΄ , πππ΄ , πππ΄ = koreksi posisi stasiun A dari koordinat pendekatan. Setelah mendapatkan nilai koordinat stasiun A, selanjutnya dilakukan proses linearisasi persamaan (I.12). Hasilnya sebagai berikut : 19 ρjA (t) = ππ΄π0 + ππ₯ π (π‘). πππ΄ + ππ¦ π (π‘). πππ΄ + ππ§ π (π‘). πππ΄ ....................................(I.12) Jika, i = notasi untuk satelit ke-n i0 = notasi nilai pendekatan jarak antara satelit ke-n dengan stasiun ke-m A = notasi untuk stasiun ke-m Dengan melakukan substitusi persamaan tersebut ke dalam persamaan matriks residu, menghasilkan penyelesaian double difference menjadi persamaan (I.13): ο οοLAB jk (t) ο«οοrCAB jk (t) ο½ο οορAB jk (t) + οcx jk (t).πππ΄ + οcy jk (t).πππ΄ + οcz jk (t).ππ - λοο NAB jk .......................................................................................................... (I.13) Jika, οοLAB jk = Besaran double difference C ρ = Matriks = merupakan jarak antara satelit ke titik pengamatan dan λ merupakan panjang gelombang sinyal pembawa. Selanjutnya penerapan metode parameter berbobot sehingga menjadi persamaan (I.14): L’a = Xa ................................................................................................................ (I.14) Dengan matriks bobot seperti tertera pada persamaan (I.15) dan persamaan matriks residu pada (I.16) berikut ini : ........................................................................................................ (I.15) V = A X + L .......................................................................................................... (I.16) 20 Dalam hal ini matriks A, X dan L dapat dilihat dalam persamaan (I.17), (I.18), (I,19): ............................................................ (I.17) ............................................................................. (I.18) ...................................................................................................... (I.19) Maka hasil persamaan observasi (I.29) yang telah dilinierisasi menjadi persamaan (I.20): .................................................................................................. (I.20) Jika, L = matriks observasi A = matriks desain X = matriks parameter N = ambiguitas fase P = Matriks Bobot L’ = Matriks Observasi terkoreksi I.7.9.2. Perataan jaring pada GLOBK. Proses hitungan pada GLOBK merupakan proses Kalman Filter untuk mengkombinasikan solusi-solusi hasil pengolahan data pengamatan. Ada tiga program utama dalam perangkat lunak GLOBK, yaitu GLOBK, GLRED, dan GLORG. GLOBK merupakan proses Kalman Filtering untuk mengkombinasikan data pengolahan harian GAMIT dan untuk mendapatkan estimasi posisi rata-rata titik pengamatan. GLORG melakukan pengikatan titik-titik pengamatan terhadap titik-titik referensi yang diberikan. Sedangkan GLRED 21 melakukan perhitungan posisi pada masing-masing hari. Sehingga ketelitian posisi yang diperoleh dapat dibandingkan per waktu tertentu (Herring, 2006). 1.7.10. Uji Signifikansi Beda Dua Parameter Uji signifikansi beda dua parameter dilakukan untuk mengetahui signifikansi perbedaan dua parameter dengan menggunakan distribusi student pada tingkat kepercayaan dan derajat kebebasan tertentu. Pada penelitian ini, uji signifikansi beda dua parameter digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan koordinat dan kecepatan pergerakan enam stasiun CORS pada hari pengolahan pertama dengan skenario kedua. Kriteria pengujian yang digunakan sesuai dengan persamaan I.21. dan persamaan I.22. (Widjajanti, 2010). t= | π₯1 − π₯2 | 2 + π2 √ππ₯1 π₯2 t ≤ t (πΌ/2,df) .......................................................................................................... (I.21) ............................................................................................................. (I.22) Jika, t = nilai t-hitungan π₯1 = komponen koordinat pertama stasiun pengamatan π₯2 = komponen koordinat kedua stasiun pengamatan 2 ππ₯1 = simpangan baku komponen koordinat pertama stasiun pengamatan 2 ππ₯2 = simpangan baku komponen koordinat kedua stasiun pengamatan Hipotesis nol (Ho) dinyatakan ditolak apabila kriteria tidak sesuai dengan persamaan I.14. Penolakan Ho ini mengindikasikan bahwa dua parameter berbeda secara signifikan. Sedangkan penerimaan Ho mengindikasikan bahwa dua parameter tidak berbeda signifikan secara statistik. I.8. Hipotesis Hasil dari penelitian geodinamika Pulau Jawa pada tahun 1991 s.d 2001 menggunakan data pengamatan GPS, terdapat pergerakan ke arah tenggara dengan kecepatan 6 cm ± 3mm/tahun (Bock, dkk., 2003). Pada tahun 2009 s.d. 2012 dilakukan penelitian menggunakan data pengamatan GPS kontinyu yang berada di utara Pulau 22 Jawa dan didapatkan pergeseran tertinggi sebesar 0,034607 m/tahun (Laksmantyo, 2014). Penelitian ini menggunakan data pengamatan GNSS CORS pada pengamatan tahun 2010, 2011, dan 2012. Data GNSS diolah dengan GAMIT/GLOBK dengan pengikatan pada ITRF 2008 dan titik ikat dua belas stasiun IGS untuk mendapatkan pola variasi pergerakan dan pola pergeseran stasiun CORS. Pola pergerakan dan pergeseran yang didapatkan pada pengolahan skenario pertama yang melibatkan stasiun CORS di utara Pulau Jawa dan pada pengolahan skenario kedua yang melibatkan stasiun CORS yang tersebar dari utara ke selatan diduga memiliki kecepatan berkisar antara 1 s.d. 7 cm/tahun dengan arah cenderung ke tenggara karena pengaruh penunjaman lempeng Hindia-Australia di bawah lempeng Eurasia yang terdapat di selatan Pulau Jawa.