Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik Karl Marx Sebelumnya, Marx tidak pernah menulis sebuah monografi yang terpisah pada hubungan etnis, membaca lebih dekat karya-Nya menunjukkan bahwa ia mengembangkan teori yang relatif koheren etnis. Inti dari teori ini dapat ditemukan dalam tulisan-tulisannya pada “pertanyaan Yahudi” (Marx, 1844 di Marx dan Engels, 1977), di adopsi oleh Engels dan pembedaan Hegel antara rakyat bersejarah dan non bersejarah, serta komentar tentang peran imigrasi Irlandia di Inggris, dan komentar umum tentang perkembangan kelompok-kelompok etnis tertentu di seluruh dunia. Ada tiga konsepsi tematik yang sangat berhubungan dengan teori Marx tentang etnisitas: 1. Keunggulan berbasis ekonomi berdasarkan budaya dan juga suprastruktur etnis. Prinsip penuntun dari teori Marxis adalah konflik kelas. Sejarah disajikan sebagai jalur perjuangan secara terus-menerus antara dua kelas terkemuka, posisi masing-masing ditentukan oleh hubungan mereka dengan mode produksi dari budak dan pemilik budak di dunia kuno, untuk budak dan tuan di feodalisme, untuk proletariat dan borjuasi di daerah kapitalisme modern. Ekonomi dipandang menjadi dasar utama perubahan sosial dan struktur sosial, sementara budaya dan ide-ide secara umum dilihat sebagai "superstruktur", keberadaan tersebut ditentukan oleh basis ekonomi. Dalam pandangan ini, etnisitas termasuk dalam lingkup suprastruktur. Dampak dari perbedaan kelompok budaya memiliki akar dalam sistem ekonomi dan ditentukan oleh sifat produksi kapitalis. Marx membuat perbedaan antara politik dan perjuangan manusia dan berpendapat bahwa ketika terjadi perjuanga politik, yaitu, kesetaraan politik formal, dapat dicapai dalam masyarakat kapitalis, emansipasi manusia, yang berarti melampaui keterasingan, hal itu tentu dapat mengandaikan penghancuran masyarakat borjuis sebagai lingkup kepentingan pria egois yang kontras dengan atribut manusia yang universal (Avineri, 1964: 445). Bagi Marx, "Pertanyaan Yahudi" tidak bisa hanya menjadi bingkai sebagai pertanyaan murni agama atau etnis, tetapi lebih merupakan gejala dari struktur menjauhkan masyarakat kapitalis yang menciptakan kondisi di mana manusia menjadi terasing dari satu sama lain. Oleh karena itu hubungan etnis dalam contoh terakhir ini ditentukan oleh hubungan manusia dengan alat-alat produksi dan tidak dapat berubah secara signifikan sampai dasar 1 Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik ekonomi dari perubahan tatanan kapitalis. Basis ekonomi memiliki keutamaan lebih dari suprastruktur etnis. 2. Kekhasan suatu Etnis sebagai hambatan bagi kemajuan secara universal dari unsure kemanusiaan secara keseluruhan. Ini berhubungan baik dengan argumen dalam tema lain yang hadir dalam teori Marx tentang etnis yang berpandangan bahwa etnisitas sebagai bentuk kekhususan untuk sebagian besar dapat menjelaskan suatu sejarah yang bersifat universal untuk dapat menuju kebebasan tanpa batas. Fokus yang paling ekstensif pada transisi dari feodalisme ke kapitalisme adalah ketika Marx percaya pada pasar yang merupakan pusat kapitalisme yang memerlukan keseragaman budaya. Marx tidak menentang pembentukan negara baru berbasis etnis yang pada kenyataannya dilihat dengan kecurigaan gagasan bahwa suatu bangsa akan hilang dalam waktu dekat. Sebaliknya, kunci dari teori ini seperti yang dijelaskan dalam ‘Manifesto Komunis’, dimana menunjukkan gagasan bahwa perjuangan proletariat dengan borjuasi adalah mula-mula suatu perjuangan nasional. Kaum proletar dari masing-masing negara harus dapat bertindak, pertama-tama menyelesaikan masalah dengan kaum borjuasi sendiri. Dalam hal ini, teori Marx tentang etnisitas tidak hanya bersifat Eurocentric tapi lebih tepatnya bersifat West-Eurocentric. Marx percaya bahwa hanya etnis kuno yang mampu membangun dengan system berkelanjutan dan Negara dengan kapitalis yang kuat, sedangkan sisanya harus berasimilasi ke dalam negara bangsa yang besar. Ketika perbedaan etnis dapat mengakomodasi proyek universal maka emansipasi/perjuangan kelas dengan membantu untuk menghancurkan sisa-sisa tatanan feodal, tetapi ketika mereka tidak bisa membangun suatu monumen etnografi untuk mereka sendiri dan terjadi perpecahan masyarakat merupakan suatu yang tidak lebih dari sebuah penghalang untuk kemajuan sosial. 3. Naiknya sejarah kelas atas identitas etika Ini membawa kita ke bagian tematik akhir teori Marx tentang etnisitas supremasi mengenai sejarah kelas atas etnis. Marx akhirnya percaya bahwa solidaritas kelas akhirnya akan menang atas obligasi etnis. Teorinya adalah perjuangan kelas yang tergabung melalui suatu pandangan yang sama bahwa pengembangan kesadaran kelas ditentukan oleh faktor-faktor sejarah dan bahwa dalam jangka panjang pekerja akan 2 Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik menggeser loyalitas mereka dari etnis ke kelas. Namun, apa yang mencegah pekerja dari mencapai tingkat tinggi mengenai kesadaran kelas dalam kapitalisme adalah fakta bahwa kontrol kaum borjuis tidak hanya pada alat-alat produksi material, tetapi juga alat-alat produksi mental atau dalam kata-kata dari young Marx. Jadi, borjuasi tidak hanya melakukan kontrol hanya di pabrik-pabrik, tanah dan bahan baku tetapi juga melakukan control pada media massa, sekolah, dan gereja. Oleh karena itu, instrumentalis perbedaan kelompok budaya kapitalis penguasa adalah untuk keuntungan posisi kelas mereka sendiri. Dengan demikian, dalam kenyataannya, konflik etnis adalah bukan suatu yang lebih dari konflik kelas tersembunyi, dan dengan mengatasi ketidaksetaraan etnis kelas akan berkurang karena berperan sebagai faktor antagonisme sosial. Untuk Marx, kesadaran kelas masih merupakan kekuatan potensial yang nyata dari perubahan sosial, sementara identitas etnis tidak lebih dari epiphenomenon, sebuah realitas urutan kedua, yang akan jauh melampaui masyarakat komunis itu sendiri/asli. Emile Durkheim Dalam subbab mengenai teori sosiologi klasik dan etnik, disini Durkheim mencoba untuk menjelaskan berbagai hubungan teori sosiologi klasik dan etnik dengan melihatnya sebagai sebuah ikatan kekuatan budaya kolektif dan sifat dari solidaritas etnis itu sendiri. Bagi Durkheim, teori mengenai etnisitas dapat dilihat sebagai sebuah teori yang secara eksplisit dapat dinyatakan dan dianalisis, tetapi disisi lain bagi sebagian besar teori Durkheim tersebut lebih memfokuskan pada pembahasannya mengenai masyarakat1. Dalam hal ini, berbeda dengan Marx, Durkheim menjelaskan teori etnik bukan sebagai sebuah konflik sosial akibat kesenjangan kelas, melainkan sebagai sebuah pola integrasi sosial di dalam proses pengembangan masyarakatnya. Dalam pembahasannya mengenai etnik, terlihat sangat jelas ketika Durkheim membahas sifat solidaritas kelompok dalam dua jenis tatanan sosial, dimana ia memandang masyarakat 1 Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian -bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing -masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. (diakses dari http://hesti88.wordpress.com/2010/10/21/pola-hidup-stratifikasi/, pada tanggal 21 Februari 2011, pukul 14.10 WIB). 3 Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik sebagai sebuah komponen yang berbeda yang mempunyai hubungan satu sama lain. Menurut Durkheim, masyarakat tradisional dan modern tidak memiliki suatu perbedaan dalam hal struktur internal dan fungsi eksternal, tetapi mereka dicirikan oleh berbagai jenis solidaritas kelompok, baik itu solidaritas mekanik2 dan solidaritas organik.3 Dalam solidaritas mekanik, didasarkan pada suatu kesadaran kolektif bersama (collective consciousness/conscience) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan, kebudayaan, dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama tersebut. Misalnya dalam masyarakat jamaah keagamaan. Ada suatu indikator yang saling berkaitan di dalam ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan, yang didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen tersebut. Sehingga homogenitas tersebut hanya berkembang bila tingkat pembagian kerja rendah. Karena itu individualitas (masyarakat tradisional) tidak berkembang, individualitas itu terus-menerus dilumpuhkan oleh tekanan yang besar untuk tercapainya konformitas. Sedangkan dalam solidaritas organik dibangun dari adanya spesialisasi dalam pembagian kerja yang saling berhubungan dan saling tergantung sedemikian rupa sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang fungsionalitas. Tingkat differensiasi dan spesialisasi yang menimbulkan saling ketergantungan secara relatif dari pada nilai dan norma yang berlaku.4 Tingkat individu pun relatif tinggi. Apa yang dianggap baik oleh salah satu orang, belum tentu menjadi baik pula oleh yang lain. Misalnya dalam suatu perusahaan dagang. Dimana di dalamnya anggota termotivasi oleh faktor imbalan ekonomi, ada ketergantungan antara orang yang bekerja di mesin, mengawasi mesin, memperbaiki mesin, mandor, dsb. Sehingga dalam pandangan Durkheim, masyarakat modern dipertahankan bersama oleh spesialisasi orang maupun kebutuhan mereka akan jasa. Spesialisasi tersebut tidak hanya terjadi pada tingkat individu saja tetapi juga kelompok, struktur, dan institusi.5 Yang pada akhirnya dengan semakin 2 Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik menjadi satu dan padu, karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti tersebut terjadi karena mereka terlihat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Kencana, 2008), hal. 90-91. 3 Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organic bertahan bersama dan justru dengan perbedaan yang berada didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda. 4 Diakses dari http://www.scribd.com/doc/36889160/Emile-Durkheim, pada tanggal 21 Februari 2011, pukul 14.54 WIB. 4 Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik banyaknya profesi yang terjadi di dalm masyarakat, menyebabkan etnisitas di dalam masyarakat berangsur-angsur menghilang (melebur). Apabila dilihat secara historis, solidaritas organik dalam hal ini berkembang dari adanya hubungan dengan solidaritas mekanik, atau hubungan di dalam masyarakat modern tumbuh dari adanya suatu hubungan yang telah ada dalam masyarakat adat (etnik). Walaupun mengalami pada akhirnya terjadi suatu pergeseran, namun basic utama bagi terbentuknya solidaritas organic adalah solidaritas mekanik. Sehingga dalam hal ini, masyarakatlah yang membuat individual daripada individual membentuk masyarakat (seperti dianut teori state of nature dan utilitarian). Dengan demikian masyarakat bukanlah produk dari individu-individu, karena justru individuindividu itulah yang merupakan produk dari masyarakat.6 Dalam pembahasan mengenai 2 jenis tatanan solidaritas, terutama dalam pembahasan mengenai solidaritas organik disini Durkheim mencoba untuk memandang sebuah etnik, sebagai sesuatu yang berkaitan erat dengan munculnya modernisasi obligasi komunitas etnis secara bertahap menurun dan mereka berkembang menjadi masyarakat yang kompleks dan mempunyai budaya yang heterogen.7 Hal tersebut dimaksudkan bahwa keragaman budaya dibangun diatas tujuan umum dan nilai-nilai universal masyarakat secara keseluruhan (ada suatu kesadaran kolektif) yang berarti bahwa loyalitas etnis yang pertama berubah menjadi pengabdian kepada bangsa (patriotisme) dan kemudian mengarah kepada pengabdian yang sepenuhnya ditujukan kepada sesuatu yang sifatnya kemanusiaan (patriotisme dunia). 5 6 Opcit., Solidaritas Mekanik dan Organik. hal. 92. Diakses dari http://www.infodiknas.com/memahami-keteraturan-sosial-melalui-pembelajaran-sosiologi/, pada tanggal 21 Februari 2011, pukul 15.01 WIB. 7 Dalam masyarakat yang heterogen menjadi corak masyarakat setempat, misalnya Indonesia, yang memiliki hubungan yang cenderung mantap karena telah berlangsung selama beberapa generasi sehingga mereka telah saling mengenal secara mendalam. Parsudi Suparlan, Suku Bangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa (Jakarta: YPKIK, 2005), hal. 5. 5 Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik Georg Simmel Simmel merupakan salah satu pemikir sosiologi yang menyumbangkan gagasannya mengenai etnisitas. Tidak seperti dua Tokoh lainnya, yaitu Marx dan Durkheim yang membahas sosiologi secara makro, Simmel membahas etnisitas dengan tingkatan yang lebih mikro, di mana Simmel mencoba menjelaskan etnisitas dan hubungan kelompok etnik secara lebih eksplisit mencoba “The Web of Group Affiliations” dan “On Social Differentiation” yang membahas mengenai sifat dasar manusia dan perbedaan kelompok budaya. Teori Simmel mengenai hubungan antar etnik lebih fokus pada tiga bahasan, yaitu:8 - Etnisitas sebagai sebuah bentuk “sociation”, (proses sosial) - Sifat dasar dari interaksi sosial (etnik), (tipe sosial) - Menurunnya etnisitas karena perbedaan sosial, (pengembangan pola) Simmel menjelaskan bahwa sociation merupakan suatu bentuk di mana individu tumbuh bersama hingga membentuk kesatuan dan kepentingan individu-individu di dalamnya dapat terealisasi. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana sosiasi merupakan proses di mana suatu masyarakat atau kelompok etnis terjadi, yang meliputi interaksi timbal balik.9 Dan yang menjadi cirri khas dari Simmel adalah menganalisis interaksi dengan melihat bentuk dan isi dari suatu interaksi. Di mana isi diartikan sebagai sesuatu yang konkret dari kualitas individu baik secara psikologis maupun biologis yang memicu terjadinya tindakan sosial. 10 Sedangkan bentuk adalah pola umum dari suatu interaksi yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok etnik.11 Simmel sendiri tidak menjelaskan isi interaksi secara jelas karena menurutnya akan sulit untuk melihat isi dari interaksi. Bentuk dari interaksilah yang dapat dilihat dalam suatu masyarakat. 8 9 Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publications. Hlm. 21 Achmad Habib. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan. Yogjakarta: LKIS Yogyakarta. Hlm 27 10 Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publications. Hlm. 21 11 ibid 6 Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik Kemudian mengenai sifat dasar dari interaksi sosial, pada bahasan ini Simmel lebih menjelaskan pada peran dari tiap-tiap individu yang melakukan interaksi dalam suatu kelompok atau kelompok dengan kelompok lainnya. Mungkin dalam bahasan ini Simmel sedikit lebih melihat isi interaksi yang tercipta dari peranan tersebut. Bahasan mengenai menurunnya etnisitas karena perbedaan sosial dapat dikatakan sebagai pengembangan pola. Artinya ada perubahan pola interaksi seiring dengan perkembangan zaman. Jika pada zaman primitive, kelompok-kelompok yang terbentuk memiliki solidaritas mekanik. Di mana biasanya mereka memiliki ikatan atau kohesivitas yang lebih kuat dari kelompok organic. Terutama bagi kelompok etnis, mereka memiliki kesadaran terhadap pemahaman simbol-simbol yang sama sehingga ikatan mereka semakin kuat. Namun seiring perkembangan zaman yang pada akhirnya akan menimbulkan banyaknya interaksi antar individu dan antar kelompok, pola interaksi mulai berubah dan berkembang menjadi lebih universal atau modern. Kelompokkelompok terbentuk berdasarkan ikatan organik yang menekankan pada saling ketergantungan antar individu karena adanya pembagian keahlian atau spesialisasi. Sehingga pada akhirnya, Simmel melihat bahwa pada masyarakat modern telah terjadi perubahan pola interaksi disertai menurunnya aroma etnisitas karena masyarakat lebih menanamkan nilai universal agar bisa berkembang dan bertahan hidup pada zaman modern. Simmel juga membahas mengenai orang asing atau “stranger” yang dijelaskan sebagai individu atau kelompok individu yang berada di sekitar kelompok dan berinteraksi dengan kelompok tersebut. Namun mereka tidak diidentifikasi sebagai bagian dari kelompok, batasan yang membedakan mereka bukan anggota kelompok adalah perbedaan nilai dan norma yang mereka anut. Di mana orang asing tersebut tidak menanamkan nilai atau norma yang ada pada kelompok etnis yang menguasai wilayah tersebut, sehingga dapat dengan mudah orang asing ini teridentifikasi bahwa ia bukan anggota kelompok etnis. Simmel juga menjelaskan bahwa suatu kelompok etnis biasanya memiliki daerah kekuasaan atau wilayah di mana nilai dan norma mereka berlaku, Simmel menyebutnya dengan “spatial boundaries”.12 Wilayah tersebut bukan sesuatu batasan yang formal, namun kekuatan nilai dan norma yang ada dapat dengan kuat memaksa atau mempengaruhi individu yang ada di dalamnya dalam melakukan tindakan sosial. 12 Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publications. Hlm. 23 7 Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik Kemudian Simmel juga membahas mengenai konflik. Berbeda dengan pandangan para pemikir lainnya yang melihat konflik sebagai suatu ancaman yang dapat merusak kelompok, Simmel cenderung melihat konflik sebagai suatu media untuk membangun atau mempertahankan interaksi (kelompok). Dalam penjelasannya secara umum mengenai fungsi konflik dalam sistem sosial, Simmel menjabarkan:13 - Semakin rendah derajat kekerasan suatu konflik, maka semakin besar kemungkinan konflik tersebut mengarahkan pada integrasi sistem sosial. - Semakin besar derajat kekerasan suatu konflik dan lama konflik tersebut, maka semakin mungkin terjadi koalisi antara kelompok yang belum pernah terkait pada sistem sosial sebelumnya. - Semakin lama terjadinya konflik, maka semakin lama juga koalisi yang terjadi antar kelompok yang terkait. Kemudian Simmel juga menambahkan, konflik dapat menjadi media untuk mempererat kohesivitas suatu kelompok ketika kelompok tersebut berkonflik dengan kelompok lain. Max Weber Secara eksplisit, Weber terlibat dengan hubungan etnis. Kita dapat melihatnya dari teoriteorinya yang masih mengingat kerangka kerja ekpslanatori dalam berurusan dengan sosiologi hubungan antar etnis. Weber menyediakan beberapa model yang terintegrasi dan koheren untuk penjelasan hubungan antar etnik. Satu diantaranya mengidentifikasi empat prinsip utama: 1. Etnisitas sebagai bentuk dari status kelompok. Weber mendefinisikan kelompok etnis sebagai kelompok yang menyuguhkan kepercayaan subyektif di dalam keturunan mereka karena adanya tipe fisik yang mirip. Hal yang krusial dari prinsip ini adalah etnisitas ada hanya ada di dasar dari kepercayaan kelompok tertentu. Lalu etnisitas berakar di dalam satu kepercayaan yang mahakuasa. Selain itu, etnisitas ternyata diperkuat dan ditegaskan di ranah kultural atau kesamaan fisik atau pada dasar dari pembagian ingatan bersama. 13 Achmad Habib. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan. Yogjakarta: LKIS Yogyakarta. Hlm .30 8 Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik 2. Etnisitas sebagai mekanisme dari terpaan monopolistik sosial. Status kelompok sering berjalan pada basis terpaan sosial dimana posisi monopolostik mereka secara teratur dipakai untuk mencegah orang-orang yang bukan anggota kelompok dari memperoleh keuntungan simbolik atau material dari kelompok merekas. 3. Keragaman bentuk etnik dari organisasi sosial. Meskipun sebagian besar mereka beroperasi sebagai status kelompok, kelompok etnis dapat menggunakan bentuk kelas, kasta dan tanah. Weber sangat tertarik dengan adanya fenomena kasta etnis, dimana status kelompok Nampak bertransformasi menjadi sistem kasta. Tidak seperti status kelompok, perbedaan kasta jauh lebih kaku dan mendekati kelompok sosial. 4. Etnisitas dan mobilisasi politik. Weber mendefinisikan etnisitas dalam istilah dinamika aktivitas politik. Menurutnya, eksistensi dari komunitas politik merupakan prasyarat bagi perilaku kelompok etnis. Kesadaran kelompok terutama dibentuk oleh pengalaman politik secara umum, bukan dengan common descent. Dilihat dari empat prinsip utama di atas, status kelompok merupakan hal yang paling sering menjelaskan kelompok etnis. Status kelompok dalam kelompok etnis membuat orangorang percaya bahwa mereka sama dari segi kultur, common descent, serta bahasa. Tak hanya itu, mereka juga percaya bahwa semua itu adalah milik mereka. Contohnya ada di sekitar kita. Bila ada seseorang berbicara bahasa Sunda, kita bisa menduga kalau ia berasal dari suku Sunda. Karena itulah jika seorang sosiolog melakukan penelitian di suatu daerah-daerah, sangat disarankan untuk mempelajari bahasa umum di daerah tersebut. Hal itu akan membuat peneliti lebih terasa karib bagi orang daerah situ dan memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data. Dengan kata lain, arti dari lampiran etnis dikembangkan di dalam ideologi etnis dan mitos dari asal etnis yang sama datang ke dalam permainan atau menjadi sosiologis yang relevan hanya setelah atau selama mobilisasi politik kelompok. Conclusion Teori-teori klasik sosiologi telah menanam benih dari semua teori sosiologi tentang etnisitas tumbuh. Para sosiolog klasik telah memberikan konsep tentang etnis dalam pemikiran- 9 Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik pemikiran mereka masing-masing, dan pemikiran sosiologis tersebut berkembang secara koheren dengan hubungan antar etnis. Akan tetapi perbedaan paradigma yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut menimbulkan interpretasi yang berbeda pula tentang hubungan antar etnis sehingga terdapat beberapa perdebatan dalam perkembangannya. Sumber Bacaan : - Malesevic, Sinisa. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publications. - Habib, Achmad. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan. Yogjakarta: LKIS Yogyakarta. - Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Kencana. - Suparlan, Parsudi. 2005. Suku Bangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa. Jakarta: YPKIK. - http://www.scribd.com/doc/36889160/Emile-Durkheim, diakses pada tanggal 21 Februari 2011, pukul 14.54 WIB. - http://www.infodiknas.com/memahami-keteraturan-sosial-melalui-pembelajaransosiologi/ diakses pada tanggal 21 Pebruari 2011, pukul 18.43 WIB. 10