Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik Karl Marx

advertisement
Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik
Karl Marx
Sebelumnya, Marx tidak pernah menulis sebuah monografi yang terpisah pada hubungan
etnis, membaca lebih dekat karya-Nya menunjukkan bahwa ia mengembangkan teori yang relatif
koheren etnis. Inti dari teori ini dapat ditemukan dalam tulisan-tulisannya pada “pertanyaan
Yahudi” (Marx, 1844 di Marx dan Engels, 1977), di adopsi oleh Engels dan pembedaan Hegel
antara rakyat bersejarah dan non bersejarah, serta komentar tentang peran imigrasi Irlandia di
Inggris, dan komentar umum tentang perkembangan kelompok-kelompok etnis tertentu di
seluruh dunia. Ada tiga konsepsi tematik yang sangat berhubungan dengan teori Marx tentang
etnisitas:
1. Keunggulan berbasis ekonomi berdasarkan budaya dan juga suprastruktur etnis.
Prinsip penuntun dari teori Marxis adalah konflik kelas. Sejarah disajikan sebagai jalur
perjuangan secara terus-menerus antara dua kelas terkemuka, posisi masing-masing
ditentukan oleh hubungan mereka dengan mode produksi dari budak dan pemilik budak
di dunia kuno, untuk budak dan tuan di feodalisme, untuk proletariat dan borjuasi di
daerah kapitalisme modern. Ekonomi dipandang menjadi dasar utama perubahan sosial
dan struktur sosial, sementara budaya dan ide-ide secara umum dilihat sebagai
"superstruktur", keberadaan tersebut ditentukan oleh basis ekonomi. Dalam pandangan
ini, etnisitas termasuk dalam lingkup suprastruktur. Dampak dari perbedaan kelompok
budaya memiliki akar dalam sistem ekonomi dan ditentukan oleh sifat produksi kapitalis.
Marx membuat perbedaan antara politik dan perjuangan manusia dan berpendapat bahwa
ketika terjadi perjuanga politik, yaitu, kesetaraan politik formal, dapat dicapai dalam
masyarakat kapitalis, emansipasi manusia, yang berarti melampaui keterasingan, hal itu
tentu dapat mengandaikan penghancuran masyarakat borjuis sebagai lingkup kepentingan
pria egois yang kontras dengan atribut manusia yang universal (Avineri, 1964: 445). Bagi
Marx, "Pertanyaan Yahudi" tidak bisa hanya menjadi bingkai sebagai pertanyaan murni
agama atau etnis, tetapi lebih merupakan gejala dari struktur menjauhkan masyarakat
kapitalis yang menciptakan kondisi di mana manusia menjadi terasing dari satu sama
lain. Oleh karena itu hubungan etnis dalam contoh terakhir ini ditentukan oleh hubungan
manusia dengan alat-alat produksi dan tidak dapat berubah secara signifikan sampai dasar
1
Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik
ekonomi dari perubahan tatanan kapitalis. Basis ekonomi memiliki keutamaan lebih dari
suprastruktur etnis.
2. Kekhasan suatu Etnis sebagai hambatan bagi kemajuan secara universal dari
unsure kemanusiaan secara keseluruhan.
Ini berhubungan baik dengan argumen dalam tema lain yang hadir dalam teori Marx
tentang etnis yang berpandangan bahwa etnisitas sebagai bentuk kekhususan untuk
sebagian besar dapat menjelaskan suatu sejarah yang bersifat universal untuk dapat
menuju kebebasan tanpa batas. Fokus yang paling ekstensif pada transisi dari feodalisme
ke kapitalisme adalah ketika Marx percaya pada pasar yang merupakan pusat kapitalisme
yang memerlukan keseragaman budaya. Marx tidak menentang pembentukan negara baru
berbasis etnis yang pada kenyataannya dilihat dengan kecurigaan gagasan bahwa suatu
bangsa akan hilang dalam waktu dekat. Sebaliknya, kunci dari teori ini seperti yang
dijelaskan dalam ‘Manifesto Komunis’, dimana menunjukkan gagasan bahwa perjuangan
proletariat dengan borjuasi adalah mula-mula suatu perjuangan nasional. Kaum proletar
dari masing-masing negara harus dapat bertindak, pertama-tama menyelesaikan masalah
dengan kaum borjuasi sendiri. Dalam hal ini, teori Marx tentang etnisitas tidak hanya
bersifat Eurocentric tapi lebih tepatnya bersifat West-Eurocentric. Marx percaya bahwa
hanya etnis kuno yang mampu membangun dengan system berkelanjutan dan Negara
dengan kapitalis yang kuat, sedangkan sisanya harus berasimilasi ke dalam negara bangsa
yang besar. Ketika perbedaan etnis dapat mengakomodasi proyek universal maka
emansipasi/perjuangan kelas dengan membantu untuk menghancurkan sisa-sisa tatanan
feodal, tetapi ketika mereka tidak bisa membangun suatu monumen etnografi untuk
mereka sendiri dan terjadi perpecahan masyarakat merupakan suatu yang tidak lebih dari
sebuah penghalang untuk kemajuan sosial.
3. Naiknya sejarah kelas atas identitas etika
Ini membawa kita ke bagian tematik akhir teori Marx tentang etnisitas supremasi
mengenai sejarah kelas atas etnis. Marx akhirnya percaya bahwa solidaritas kelas
akhirnya akan menang atas obligasi etnis. Teorinya adalah perjuangan kelas yang
tergabung melalui suatu pandangan yang sama bahwa pengembangan kesadaran kelas
ditentukan oleh faktor-faktor sejarah dan bahwa dalam jangka panjang pekerja akan
2
Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik
menggeser loyalitas mereka dari etnis ke kelas. Namun, apa yang mencegah pekerja dari
mencapai tingkat tinggi mengenai kesadaran kelas dalam kapitalisme adalah fakta bahwa
kontrol kaum borjuis tidak hanya pada alat-alat produksi material, tetapi juga alat-alat
produksi mental atau dalam kata-kata dari young Marx. Jadi, borjuasi tidak hanya
melakukan kontrol hanya di pabrik-pabrik, tanah dan bahan baku tetapi juga melakukan
control pada media massa, sekolah, dan gereja. Oleh karena itu, instrumentalis perbedaan
kelompok budaya kapitalis penguasa adalah untuk keuntungan posisi kelas mereka
sendiri. Dengan demikian, dalam kenyataannya, konflik etnis adalah bukan suatu yang
lebih dari konflik kelas tersembunyi, dan dengan mengatasi ketidaksetaraan etnis kelas
akan berkurang karena berperan sebagai faktor antagonisme sosial. Untuk Marx,
kesadaran kelas masih merupakan kekuatan potensial yang nyata dari perubahan sosial,
sementara identitas etnis tidak lebih dari epiphenomenon, sebuah realitas urutan kedua,
yang akan jauh melampaui masyarakat komunis itu sendiri/asli.
Emile Durkheim
Dalam subbab mengenai teori sosiologi klasik dan etnik, disini Durkheim mencoba untuk
menjelaskan berbagai hubungan teori sosiologi klasik dan etnik dengan melihatnya sebagai
sebuah ikatan kekuatan budaya kolektif dan sifat dari solidaritas etnis itu sendiri. Bagi
Durkheim, teori mengenai etnisitas dapat dilihat sebagai sebuah teori yang secara eksplisit
dapat dinyatakan dan dianalisis, tetapi disisi lain bagi sebagian besar teori Durkheim tersebut
lebih memfokuskan pada pembahasannya mengenai masyarakat1. Dalam hal ini, berbeda dengan
Marx, Durkheim menjelaskan teori etnik bukan sebagai sebuah konflik sosial akibat kesenjangan
kelas, melainkan sebagai sebuah pola integrasi sosial di dalam proses pengembangan
masyarakatnya.
Dalam pembahasannya mengenai etnik, terlihat sangat jelas ketika Durkheim membahas
sifat solidaritas kelompok dalam dua jenis tatanan sosial, dimana ia memandang masyarakat
1
Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian -bagian
yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunyai fungsi masing -masing yang membuat sistem
menjadi seimbang. Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang
tidak
berfungsi
maka
akan
merusak
keseimbangan
sistem.
(diakses
dari
http://hesti88.wordpress.com/2010/10/21/pola-hidup-stratifikasi/, pada tanggal 21 Februari 2011, pukul 14.10 WIB).
3
Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik
sebagai sebuah komponen yang berbeda yang mempunyai hubungan satu sama lain. Menurut
Durkheim, masyarakat tradisional dan modern tidak memiliki suatu perbedaan dalam hal struktur
internal dan fungsi eksternal, tetapi mereka dicirikan oleh berbagai jenis solidaritas kelompok,
baik itu solidaritas mekanik2 dan solidaritas organik.3 Dalam solidaritas mekanik, didasarkan
pada suatu kesadaran kolektif bersama (collective consciousness/conscience) yang menunjuk
pada totalitas kepercayaan, kebudayaan, dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga
masyarakat yang sama tersebut. Misalnya dalam masyarakat jamaah keagamaan. Ada suatu
indikator yang saling berkaitan di dalam ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang
bersifat menekan, yang didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam
kepercayaan, sentimen tersebut. Sehingga homogenitas tersebut hanya berkembang bila tingkat
pembagian kerja rendah. Karena itu individualitas (masyarakat tradisional) tidak berkembang,
individualitas itu terus-menerus dilumpuhkan oleh tekanan yang besar untuk tercapainya
konformitas. Sedangkan dalam solidaritas organik dibangun dari adanya spesialisasi dalam
pembagian kerja yang saling berhubungan dan saling tergantung sedemikian rupa sehingga
sistem tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang fungsionalitas. Tingkat differensiasi dan
spesialisasi yang menimbulkan saling ketergantungan secara relatif dari pada nilai dan norma
yang berlaku.4 Tingkat individu pun relatif tinggi. Apa yang dianggap baik oleh salah satu orang,
belum tentu menjadi baik pula oleh yang lain. Misalnya dalam suatu perusahaan dagang. Dimana
di dalamnya anggota termotivasi oleh faktor imbalan ekonomi, ada ketergantungan antara orang
yang bekerja di mesin, mengawasi mesin, memperbaiki mesin, mandor, dsb. Sehingga dalam
pandangan Durkheim, masyarakat modern dipertahankan bersama oleh spesialisasi orang
maupun kebutuhan mereka akan jasa. Spesialisasi tersebut tidak hanya terjadi pada tingkat
individu saja tetapi juga kelompok, struktur, dan institusi.5 Yang pada akhirnya dengan semakin
2
Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik menjadi satu dan padu, karena seluruh orang adalah generalis.
Ikatan dalam masyarakat seperti tersebut terjadi karena mereka terlihat dalam aktivitas yang sama dan memiliki
tanggung jawab yang sama. George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik
sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Yogyakarta: Kreasi Kencana, 2008), hal. 90-91.
3
Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organic bertahan bersama dan justru dengan perbedaan yang berada
didalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda.
4
Diakses dari http://www.scribd.com/doc/36889160/Emile-Durkheim, pada tanggal 21 Februari 2011, pukul 14.54
WIB.
4
Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik
banyaknya profesi yang terjadi di dalm masyarakat, menyebabkan etnisitas di dalam masyarakat
berangsur-angsur menghilang (melebur).
Apabila dilihat secara historis, solidaritas organik dalam hal ini berkembang dari adanya
hubungan dengan solidaritas mekanik, atau hubungan di dalam masyarakat modern tumbuh dari
adanya suatu hubungan yang telah ada dalam masyarakat adat (etnik). Walaupun mengalami
pada akhirnya terjadi suatu pergeseran, namun basic utama bagi terbentuknya solidaritas organic
adalah solidaritas mekanik. Sehingga dalam hal ini, masyarakatlah yang membuat individual
daripada individual membentuk masyarakat (seperti dianut teori state of nature dan utilitarian).
Dengan demikian masyarakat bukanlah produk dari individu-individu, karena justru individuindividu itulah yang merupakan produk dari masyarakat.6
Dalam pembahasan mengenai 2 jenis tatanan solidaritas, terutama dalam pembahasan
mengenai solidaritas organik disini Durkheim mencoba untuk memandang sebuah etnik, sebagai
sesuatu yang berkaitan erat dengan munculnya modernisasi obligasi komunitas etnis secara
bertahap menurun dan mereka berkembang menjadi masyarakat yang kompleks dan mempunyai
budaya yang heterogen.7 Hal tersebut dimaksudkan bahwa keragaman budaya dibangun diatas
tujuan umum dan nilai-nilai universal masyarakat secara keseluruhan (ada suatu kesadaran
kolektif) yang berarti bahwa loyalitas etnis yang pertama berubah menjadi pengabdian kepada
bangsa (patriotisme) dan kemudian mengarah kepada pengabdian yang sepenuhnya ditujukan
kepada sesuatu yang sifatnya kemanusiaan (patriotisme dunia).
5
6
Opcit., Solidaritas Mekanik dan Organik. hal. 92.
Diakses dari http://www.infodiknas.com/memahami-keteraturan-sosial-melalui-pembelajaran-sosiologi/, pada
tanggal 21 Februari 2011, pukul 15.01 WIB.
7
Dalam masyarakat yang heterogen menjadi corak masyarakat setempat, misalnya Indonesia, yang memiliki
hubungan yang cenderung mantap karena telah berlangsung selama beberapa generasi sehingga mereka telah saling
mengenal secara mendalam. Parsudi Suparlan, Suku Bangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa (Jakarta: YPKIK,
2005), hal. 5.
5
Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik
Georg Simmel
Simmel merupakan salah satu pemikir sosiologi yang menyumbangkan gagasannya
mengenai etnisitas. Tidak seperti dua Tokoh lainnya, yaitu Marx dan Durkheim yang membahas
sosiologi secara makro, Simmel membahas etnisitas dengan tingkatan yang lebih mikro, di mana
Simmel mencoba menjelaskan etnisitas dan hubungan kelompok etnik secara lebih eksplisit
mencoba “The Web of Group Affiliations” dan “On Social Differentiation” yang membahas
mengenai sifat dasar manusia dan perbedaan kelompok budaya. Teori Simmel mengenai
hubungan antar etnik lebih fokus pada tiga bahasan, yaitu:8
-
Etnisitas sebagai sebuah bentuk “sociation”, (proses sosial)
-
Sifat dasar dari interaksi sosial (etnik), (tipe sosial)
-
Menurunnya etnisitas karena perbedaan sosial, (pengembangan pola)
Simmel menjelaskan bahwa sociation merupakan suatu bentuk di mana individu tumbuh
bersama hingga membentuk kesatuan dan kepentingan individu-individu di dalamnya dapat
terealisasi. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana sosiasi merupakan proses di mana suatu
masyarakat atau kelompok etnis terjadi, yang meliputi interaksi timbal balik.9 Dan yang menjadi
cirri khas dari Simmel adalah menganalisis interaksi dengan melihat bentuk dan isi dari suatu
interaksi. Di mana isi diartikan sebagai sesuatu yang konkret dari kualitas individu baik secara
psikologis maupun biologis yang memicu terjadinya tindakan sosial. 10 Sedangkan bentuk adalah
pola umum dari suatu interaksi yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok etnik.11 Simmel
sendiri tidak menjelaskan isi interaksi secara jelas karena menurutnya akan sulit untuk melihat isi
dari interaksi. Bentuk dari interaksilah yang dapat dilihat dalam suatu masyarakat.
8
9
Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publications. Hlm. 21
Achmad Habib. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan. Yogjakarta: LKIS Yogyakarta. Hlm 27
10
Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publications. Hlm. 21
11
ibid
6
Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik
Kemudian mengenai sifat dasar dari interaksi sosial, pada bahasan ini Simmel lebih
menjelaskan pada peran dari tiap-tiap individu yang melakukan interaksi dalam suatu kelompok
atau kelompok dengan kelompok lainnya. Mungkin dalam bahasan ini Simmel sedikit lebih
melihat isi interaksi yang tercipta dari peranan tersebut.
Bahasan mengenai menurunnya etnisitas karena perbedaan sosial dapat dikatakan sebagai
pengembangan pola. Artinya ada perubahan pola interaksi seiring dengan perkembangan zaman.
Jika pada zaman primitive, kelompok-kelompok yang terbentuk memiliki solidaritas mekanik. Di
mana biasanya mereka memiliki ikatan atau kohesivitas yang lebih kuat dari kelompok organic.
Terutama bagi kelompok etnis, mereka memiliki kesadaran terhadap pemahaman simbol-simbol
yang sama sehingga ikatan mereka semakin kuat. Namun seiring perkembangan zaman yang
pada akhirnya akan menimbulkan banyaknya interaksi antar individu dan antar kelompok, pola
interaksi mulai berubah dan berkembang menjadi lebih universal atau modern. Kelompokkelompok terbentuk berdasarkan ikatan organik yang menekankan pada saling ketergantungan
antar individu karena adanya pembagian keahlian atau spesialisasi. Sehingga pada akhirnya,
Simmel melihat bahwa pada masyarakat modern telah terjadi perubahan pola interaksi disertai
menurunnya aroma etnisitas karena masyarakat lebih menanamkan nilai universal agar bisa
berkembang dan bertahan hidup pada zaman modern.
Simmel juga membahas mengenai orang asing atau “stranger” yang dijelaskan sebagai
individu atau kelompok individu yang berada di sekitar kelompok dan berinteraksi dengan
kelompok tersebut. Namun mereka tidak diidentifikasi sebagai bagian dari kelompok, batasan
yang membedakan mereka bukan anggota kelompok adalah perbedaan nilai dan norma yang
mereka anut. Di mana orang asing tersebut tidak menanamkan nilai atau norma yang ada pada
kelompok etnis yang menguasai wilayah tersebut, sehingga dapat dengan mudah orang asing ini
teridentifikasi bahwa ia bukan anggota kelompok etnis. Simmel juga menjelaskan bahwa suatu
kelompok etnis biasanya memiliki daerah kekuasaan atau wilayah di mana nilai dan norma
mereka berlaku, Simmel menyebutnya dengan “spatial boundaries”.12 Wilayah tersebut bukan
sesuatu batasan yang formal, namun kekuatan nilai dan norma yang ada dapat dengan kuat
memaksa atau mempengaruhi individu yang ada di dalamnya dalam melakukan tindakan sosial.
12
Sinisa Malesevic. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publications. Hlm. 23
7
Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik
Kemudian Simmel juga membahas mengenai konflik. Berbeda dengan pandangan para
pemikir lainnya yang melihat konflik sebagai suatu ancaman yang dapat merusak kelompok,
Simmel cenderung melihat konflik sebagai suatu media untuk membangun atau mempertahankan
interaksi (kelompok). Dalam penjelasannya secara umum mengenai fungsi konflik dalam sistem
sosial, Simmel menjabarkan:13
-
Semakin rendah derajat kekerasan suatu konflik, maka semakin besar kemungkinan
konflik tersebut mengarahkan pada integrasi sistem sosial.
-
Semakin besar derajat kekerasan suatu konflik dan lama konflik tersebut, maka semakin
mungkin terjadi koalisi antara kelompok yang belum pernah terkait pada sistem sosial
sebelumnya.
-
Semakin lama terjadinya konflik, maka semakin lama juga koalisi yang terjadi antar
kelompok yang terkait.
Kemudian Simmel juga menambahkan, konflik dapat menjadi media untuk mempererat
kohesivitas suatu kelompok ketika kelompok tersebut berkonflik dengan kelompok lain.
Max Weber
Secara eksplisit, Weber terlibat dengan hubungan etnis. Kita dapat melihatnya dari teoriteorinya yang masih mengingat kerangka kerja ekpslanatori dalam berurusan dengan sosiologi
hubungan antar etnis. Weber menyediakan beberapa model yang terintegrasi dan koheren untuk
penjelasan hubungan antar etnik. Satu diantaranya mengidentifikasi empat prinsip utama:
1. Etnisitas sebagai bentuk dari status kelompok. Weber mendefinisikan kelompok etnis
sebagai kelompok yang menyuguhkan kepercayaan subyektif di dalam keturunan mereka
karena adanya tipe fisik yang mirip. Hal yang krusial dari prinsip ini adalah etnisitas ada
hanya ada di dasar dari kepercayaan kelompok tertentu. Lalu etnisitas berakar di dalam
satu kepercayaan yang mahakuasa. Selain itu, etnisitas ternyata diperkuat dan ditegaskan
di ranah kultural atau kesamaan fisik atau pada dasar dari pembagian ingatan bersama.
13
Achmad Habib. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan. Yogjakarta: LKIS Yogyakarta. Hlm .30
8
Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik
2. Etnisitas sebagai mekanisme dari terpaan monopolistik sosial. Status kelompok sering
berjalan pada basis terpaan sosial dimana posisi monopolostik mereka secara teratur
dipakai untuk mencegah orang-orang yang bukan anggota kelompok dari memperoleh
keuntungan simbolik atau material dari kelompok merekas.
3. Keragaman bentuk etnik dari organisasi sosial. Meskipun sebagian besar mereka
beroperasi sebagai status kelompok, kelompok etnis dapat menggunakan bentuk kelas,
kasta dan tanah. Weber sangat tertarik dengan adanya fenomena kasta etnis, dimana
status kelompok Nampak bertransformasi menjadi sistem kasta. Tidak seperti status
kelompok, perbedaan kasta jauh lebih kaku dan mendekati kelompok sosial.
4. Etnisitas dan mobilisasi politik. Weber mendefinisikan etnisitas dalam istilah dinamika
aktivitas politik. Menurutnya, eksistensi dari komunitas politik merupakan prasyarat bagi
perilaku kelompok etnis. Kesadaran kelompok terutama dibentuk oleh pengalaman
politik secara umum, bukan dengan common descent.
Dilihat dari empat prinsip utama di atas, status kelompok merupakan hal yang paling
sering menjelaskan kelompok etnis. Status kelompok dalam kelompok etnis membuat orangorang percaya bahwa mereka sama dari segi kultur, common descent, serta bahasa. Tak hanya
itu, mereka juga percaya bahwa semua itu adalah milik mereka. Contohnya ada di sekitar kita.
Bila ada seseorang berbicara bahasa Sunda, kita bisa menduga kalau ia berasal dari suku Sunda.
Karena itulah jika seorang sosiolog melakukan penelitian di suatu daerah-daerah, sangat
disarankan untuk mempelajari bahasa umum di daerah tersebut. Hal itu akan membuat peneliti
lebih terasa karib bagi orang daerah situ dan memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data.
Dengan kata lain, arti dari lampiran etnis dikembangkan di dalam ideologi etnis dan
mitos dari asal etnis yang sama datang ke dalam permainan atau menjadi sosiologis yang relevan
hanya setelah atau selama mobilisasi politik kelompok.
Conclusion
Teori-teori klasik sosiologi telah menanam benih dari semua teori sosiologi tentang
etnisitas tumbuh. Para sosiolog klasik telah memberikan konsep tentang etnis dalam pemikiran-
9
Hubungan Antar Etnik : Teori Sosiologi Klasik
pemikiran mereka masing-masing, dan pemikiran sosiologis tersebut berkembang secara koheren
dengan hubungan antar etnis. Akan tetapi perbedaan paradigma yang dimiliki tokoh-tokoh
tersebut menimbulkan interpretasi yang berbeda pula tentang hubungan antar etnis sehingga
terdapat beberapa perdebatan dalam perkembangannya.
Sumber Bacaan :
-
Malesevic, Sinisa. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publications.
-
Habib, Achmad. 2004. Konflik Antar Etnik di Pedesaan. Yogjakarta: LKIS Yogyakarta.
-
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi
Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi
Kencana.
-
Suparlan, Parsudi. 2005. Suku Bangsa dan Hubungan antar Suku Bangsa. Jakarta:
YPKIK.
-
http://www.scribd.com/doc/36889160/Emile-Durkheim, diakses pada tanggal 21 Februari
2011, pukul 14.54 WIB.
-
http://www.infodiknas.com/memahami-keteraturan-sosial-melalui-pembelajaransosiologi/ diakses pada tanggal 21 Pebruari 2011, pukul 18.43 WIB.
10
Download