bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia terletak di antara tiga lempeng tektonik besar yaitu Lempeng IndoAustralian, Eurasia dan Lempeng Pasifik. Selain itu, Indonesia juga berada pada
Pasific Ring of Fire yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia yang
setiap saat dapat meletus dan mengakibatkan datangnya bencana. Oleh karena itu,
Indonesia menjadi Negara yang sangat rawan bencana terutama gempa bumi dan
tsunami. Bencana tsunami terbesar terjadi pada tahun 2004 di Nangroe Aceh
Darussalam. United States Geological Survey mengukur kekuatan gempa pada saat
itu sebesar 9,2 Mw.
Tahun 2006 gempa dan tsunami terjadi di daerah Pantai Selatan Jawa dengan
kekuatan gempa sebesar 7,8 Mw yang melibatkan dorongan sesar pada Patahan Jawa
sehingga membangkitkan tsunami dengan ketinggian 5 s.d 8 m(Ammon
2006).Sebaliknya, kejadian gempa bumi di daerah Simeulue pada tahun 2012yang
memiliki kekuatan yaitu 8,6 Mw, tetapi tidak menimbulkan tsunami karena
mekanisme gempa berupa sesar geser dan terjadi di daerah outer rise (Kongko 2012).
Berdasarka fakta yang ada bahwa pergerakan sesar menjadi salah satu faktor
yang mempengaruhi terjadinya tsunami. Pergerakan sesar merupakan salah satu
parameter sumber penyebab terjadinya deformasi vertikal pada daerah sumber dan
mengakibatkan gempa bumi tektonik. Parameter sesar dikenal juga dengan
mekanisme fokal. Mekanisme fokal adalah arah dan orientasi sesar pada gempa bumi
tektonik (USGS 2012). Mekanisme fokal terbagi menjadi empat jenis yaitu strike
slip, normal, reverse dan oblique reverse (USGS 2012). Secara umum sudut
pembentuk parameter sesar yaitu sudut strike, dip dan slip.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan maka diperlukan kajian khusus
mengenai pengaruh variasi pergerakan sesar terhadap terjadinya gelombang tsunami.
Salah satu cara untuk mengkaji mengenai variasi pergerakan sesar adalah
menggunakan model numerik. TUNAMI (Tohoku University’s Numerical Analysis
Model for Investigation of Near-field tsunamis) adalah salah satu model numerik
1
2
yang digunakan untuk melakukan simulasi terhadap gelombang tsunami. Model
numerik TUNAMI digunakan oleh Kongko (2011) untuk melakukan pemodelan
tsunami pada Pantai Selatan Jawa. Dalam penelitian lain model numerik digunakan
untuk penentuan daerah bahaya tsunami di kota Padang (Oktaviani 2013).
Penelitian menggunakan model numerik TUNAMI juga dilakukan oleh Ananda
(2013), model numerik
digunakan untuk mengetahui pengaruh data spasial
terhadap landaan tsunami. Selain itu, Hartanto (2014) juga melakukan pemodelan
menggunakan TUNAMI untuk mengkaji pengaruh morfologi dan kemiringan pantai
terhadap ketinggian gelombang tsunami.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan kajian mengenai pengaruh
parameter sesar terhadap gelombang tsunami menggunakan model numerik
TUNAMI. Simulasi tsunami menggunakan model numerik dengan variasi
pergerakan sesar diperlukan untuk membantu mitigasi bencana tsunami.
1.2. Rumusan Masalah
Gempa dengan magnitud yang besar tidak selalu menimbulkan gelombang
tsunami yang besar. Hal ini sangat terkait dengan parameter sesar atau mekanisme
fokal. Hubungan antara parameter sesar (strike, slip dan dip) dengan ketinggian
gelombang tsunami perlu dikaji, sehingga menimbulkan pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh kombinasi kekuatan magnitud dan parameter sesar
terhadap ketinggian gelombang tsunami baik di sumber gempa bumi
maupun di titik pantau?
2. Bagaimana pengaruh parameter sesar terhadap ketinggian gelombang
tsunamibaik di sumber gempa bumi maupun di titik pantau?
1.3. Cakupan Penelitian
Cakupan penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Simulasi pemodelan landasan tsunami menggunakan model numerik
yakni TUNAMI yang telah dikembangkan oleh Goto (1995) dan oleh
Kongko (2012).
2. Parameter sumber gempa bumi menggunakan :
3
a. Variasi magnitud 7,5 Mw, 8,0 Mw, 8,5 Mw.
b. Variasi sesar menggunakan:
i.
Strike atau jurus (1 variasi) : 270o. Nilai ini dipilih karena lokasi
sesar terletak di Pantai Selatan Jawa.
ii.
Dip atau sudut kemiringan (4 variasi) : 20o, 40o , 60o,80o. Variasi
dip tersebut mewakili sesar naik.
iii.
Slip atau sudut longsoran (6 variasi) : 90o, 70o, 50o, 40o, 20o, 0o.
Variasi ini mewakili pergerakan slip keseluruhan.
3. Lokasi kajian penelitian ini menggunakan lokasi daerah Pantai Selatan
Kabupaten Cilacap yang didapat dari Hartanto (2014).
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengaruh kombinasi kekuatan magnitud dan parameter sesar
terhadap ketinggian gelombang tsunami baik di sumber gempa bumi maupun
di titik pantau.
2. Mengetahui parameter sesar yang paling berpengaruh terhadap ketinggian
gelombang tsunami baik di sumber gempa bumi maupun di titik pantau.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk :
1. Mengetahui pengaruh variasi parameter sesar terhadap gelombang tsunami,
sehingga mitigasi bencana dapat dilakukan secara tepat.
2. Dapat digunakan untuk masukan langkah kesiapsiagaan terhadap bencana
gempa bumi dan tsunami.
1.6. Tinjauan Pustaka
Pemodelan tsunami menggunakan model numerik TUNAMI telah banyak
dilakukan. Model numerik TUNAMI digunakan oleh Goto (1995), Imamura dkk.
(2006). Di Indonesia model numerik TUNAMI banyak digunakan, salah satu instansi
yang menggunakan model numerik TUNAMI adalah Balai Pengkajian Dinamika
Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT) Yogyakarta.
Model numerik TUNAMI digunakan dan dikembangkan oleh Kongko (2011) staf
4
ahli Tsunami di BPDP-BPPT dalam disertasinya untuk pemodelan landaan tsunami
di kawasan Pesisir Selatan Jawa. Model numerik TUNAMI yang digunakan dalam
penelitian selalu dikalibrasi oleh instansi terkait yakni BPDP-BPPT yang disebut
dengan kalibrasi model. Kalibrasi model ini mencakup verifikasi dan validasi model
(BPDP-BPPT 2013), sehingga hasil output dari pemodelan menggunakan TUNAMI
ini langsung dapat digunakan untuk analisa hasil tanpa harus dilakukan pengujian
hasil pemodelan.
Penelitian mengenai tsunami yang disebakan oleh pergerakan sesar telah
dilakukan oleh Ammon dkk. (2006) pada daerah Pantai Selatan Jawa dengan
ketinggian tsunami yang dihasilkan sebesar 5 s.d 8 m dengan kekuatan 7,8 Mw.
Penelitian itu menunjukkan bahwa gempa bumi di daerah Selatan Jawa tahun 2006
terjadi pada daerah sesar di zona subduksi.
Bilek, dkk (2011) melakukan penelitian gempa bumi 2010 di daerah
Mentawai. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa parameter sumber gempa bumi
menentukan getaran utama pada kejadian tahun 2010 yang menghasilkan tsunami
dengan durasi perambatan 130 detik. Getaran utama merambat dari pusat gempa
sepanjang 110 s.d 150 km dan terjadi di daerah zona seismik.
Penelitian yang dilakukan oleh Kongko (2012) di daerah Simeule
menyatakan bahwa terjadi gempa dengan kekuatan 8,6 Mw didaerah “outer-rise”
atau bagian punggung sesar dengan mekanisme sesar geser. Mekanisme diselidiki
atas dua alternatif strike arah 200o dan 110o dengan dislokasi vertikal pada sumber
kurang dari 5 m dan horizontal11,5 m, menghasilkan tsunami maksimal kurang dari
4,5 m.
Penelitian mengenai tsunami dilakukan oleh Kongko (2011) dalam
disertasinya. Penelitian dilakukan di Pantai Selatan Jawa. Data yang digunakan
untuk pemodelan tsunami adalah data batimetri dan data topografi. Pemodelan
landaan tsunami ini menggunakan model numerik TUNAMI yang menganggap
gelombang tsunami ini gelombang perairan dangkal. Hasil dari penelitian tersebut
bahwa menyatakan sumber tsunami dengan kekakuan rendah dan slip yang besar
menghasilkan gelombang tsunami yang mirip dengan data lapangan dibandingkan
dengan sumber tsunami dengan kekakuan normal.
5
Penelitian landaan tsunami menggunakan model numerik dilakukan
Oktaviani (2013). Pemodelan tsunami menggunakan TUNAMI N3 dan ketelitian
data topografi dengan resolusi spasial yaitu 5 m. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa kedekatan lokasi sumber gempa, besar magnitud gempa, dan
seragam dan tidak seragamnya kekasaran dasar daratan mempengaruhi tinggi
gelombang tsunami, waktu tempuh penjalarannya, serta luas landaan tsunami di
darat.
Penelitian menggunakan model numerik TUNAMI-N3 juga dilakukan oleh
Ananda (2013). Data yang digunakan adalah data DSM (Digital Surface Model)
resolusi tinggi, DTM (Digital Terrain Model) resolusi tinggi dan data DSM resolusi
rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara nilai ketinggian
gelombang awal tsunami, nilai kemiringan pantai dan koefisien kekasaran dasar
terhadap luas landaan tsunami di daratan serta ketinggian maksimum gelombang saat
mencapai garis pantai. Selain itu penelitian ini juga menggunakan model numerik
TUNAMI-N2 untuk penaksiran cepat daerah rawan bencana. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa penggunaan data DTM resolusi tinggi menghasilkan luas
area landaan yang paling besar yaitu 13258 ha, dibandingankan dengan data
topografi yang lain. Besar nilai ketinggian awal gelombang tsunami, kemiringan
pantai, dan koefisien kekasaran dasar sangat mempengaruhi luas landaan tsunami.
Penelitian terbaru mengenai pemodelan tsunami menggunakan model
numerik TUNAMI-N3 dilakukan oleh Hartanto (2014). Pada penelitian ini
menggunakan enam variasi magnitud gempa yaitu 7,5 Mw, 7,8 Mw, 8,1 Mw, 8,4
Mw, 8,7 Mw, dan 9,0 Mw dan 27 variasi morfologi pantai. Hasil pada penelitian ini
menunjukkan bahwa skenario yang menggunakan magnitud 7,5Mw menghasilkan
ketinggian gelombang tsunami yang lebih rendah dibandingkan dengan seluruh
skenario
yang
menggunakan magnitud lebih besar. Besar nilai magnitud
berkorelasi positif terhadap ketinggian gelombang tsunami di titik pengamatan.
Hal ini dikarenakan nilai magnitud dipengaruhi oleh parameter sumber gempa.
Semakin besar nilai parameter sumber gempa, maka gelombang awal tsunami yang
ditimbulkan juga semakin tinggi.
Berdasarkan literatur yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa pemodelan
tsunami menggunakan model numerik TUNAMI yang melibatkan variasi parameter
6
belum pernah dilakukan.Untuk kebutuhan mitigasi bencana, maka perlu dilakukan
penelitian tentang variasi parameter sesar pada sumber pembangkit tsunami. Model
numerik TUNAMI juga sudah digunakan oleh banyak penelitian dan model ini sudah
terbukti mampu memberikan hasil yang akurat melihat dari penelitian-penelitian
sebelumnya. Simulasi tsunami dengan variasi pergerakan sesar dengan model
numerik TUNAMI berdasarkan dalam penelitian ini.
1.7. Landasan Teori
1.7.1. Pengertian dan Karakteristik Gelombang Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang memiliki arti gelombang besar
pelabuhan. Tsu berarti pelabuhan serta nami yang berarti gelombang. Menurut
Lapidus (1990) dalam Geist (2006), tsunami adalah sistem gelombang gravitasi yang
diikuti dengan durasi yang pendek, skala besar, gangguan cuaca dari permukaan laut
bebas. Penyebab tsunami biasanya berhubungan dengan proses geologi seperti
gempa bumi, tanah longsor, erupsi vulkanik dan meteorit, asteroid dan tubrukan
komet.
Tsunami memiliki panjang gelombang yang sangat panjang. Berbeda dengan
gelombang laut biasa, tsunami memiliki panjang gelombang diantara dua puncaknya
mencapai lebih dari 100 km di laut lepas dan selisih waktu diantara puncakpuncaknya berkisar antara 10 menit sampai 1 jam. Saat mencapai pantai yang
dangkal, teluk, atau muara sungai gelombang ini menurun kecepatannya. Namun
tinggi gelombangnya meningkat puluhan meter dan bersifat merusak dengan
kecepatan mencapai 900 km/jam. Periode tsunami berkisar 10 s.d.60 menit. Tsunami
disebabkan oleh pergerakan tiba-tiba dari volume air yang membesar.Energiyang
dilepaskan mampu untuk memindahkan volume air yang besar dengan cepat.
Bagaimanapun tsunami juga bisa terjadi disebabkan oleh hal-hal yang tidak langsung
terdapat pada daerah dampak.
Kecepatan rambat gelombang di laut, tergantung dari kedalaman laut dan
penjalarannya dapat mencapai ribuan kilometer. Kecepatan rambat gelombang dapat
dihitung dengan persamaan (I.1)
v=
(I.1)
7
Dengan v merupakan kecepata gelombang, g adalah percepatan gravitasi dan h
adalah kedalaman laut.
Widodo (2002) gelombang tsunami di laut dalam tidak memiliki ketinggian
yang cukup besar. Hal ini berbeda dengan gelombang tsunami yang mendekati
daerah pantai yang menyebabkan terjadinya peningkatan ketinggian gelombang
tsunami dan penurunan kecepatan. Ilustrasi gelombang tsunami dapat dilihat pada
Gambar 1.1.
213 km
23 km
50 m
10,6 km
km
10 m
4000 m
Kedalaman Kecepatan Panjang
(m)
(km/jam)
Gelombang (km)
943
282
7000
713
213
4000
504
151
2000
159
48
200
79
23
50
36
10,6
10
Gambar I.1. Pembentukan gelombang tsunami
(Sumber: Intergovernmental Oceanographic Commission 2012)
Gambar I.1 merupakan uraian dari beberapa teori yang mencoba memodelkan
pembentukan gelombang tsunami menuju pantai. Gambar I.1 menggambarkan
bahwa semakin mendekati pantai maka gelombang tsunami semakin tinggi.
1.7.2. Pembangkit Tsunami
Tsunami terjadi disebabkan oleh beberapa faktor atau penyebab. Tsunami
dapat dibangkitkan oleh banyak gangguan yang menyebabkan perpindahan massa air
yang besar dari titik keseimbangannya. Tsunami disebabkan oleh proses-proses
geologi. Proses geologi yang menyebabkan tsunami seperti gempa bumi, tanah
longsor, erupsi vulkanik, dan tabarakan meteorit. Pada sebuah peta yang berdasarkan
8
pada sejarah dan data instrumen dari National Geopysical Data Center (NGDC)
penyebab dari tsunami semenjak 3500 tahun yaitu:
1. Gempa bumi
Gempa bumi adalah salah satu sumber terjadinya tsunami. Gempa bumi yang
terjadi di bawah laut menyebabkan posisi air laut bergerak dari keadaan
seimbangnya. Gelombang yang ikut dipindahkan pada saat air laut bergerak
dipengaruhi oleh adanya gaya gravitasi. Ketika area dari elevasi laut besar maka
terjadi tsunami. Pergerakan vertikal lempeng bumi terjadi pada zona subduksi.
Pergerakan vertikal ini dapat menyebabkan terjadinya gempa bumi dan menjadi
utama penyebab tsunami disbutkan oleh Furumoto (1985) dalam Geist (2006).
2. Tanah longsor pada daerah pantai
Tanah longsor penyebab tsunami dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tanah
longsor di bawah air dan longsoran pantai. Beberapa mekanisme dapat memicu
terjadinya tanah longsor, antara lain gempa bumi dengan kekuatan yang rendah,
reruntuhan vulkanik dan erosi yang terjadi pada dasar laut. Pada lereng area pantai
sumber utama terjadinya tsunami adalah erosi. Longsoran ini dapat dengan mudah
menambah kuantitas dari bebatuan, pasir dan reruntuhan lain jatuh ke laut. Hal
tersebut menyebabkan sebuah pergerakan permukaan laut dan dengan cepat
menyebabkan tsunami dipaparkan oleh Yoshioka (1996) dalam Geist (2006).
3. Vulkanik
Erupsi vulkanik di atas permukaan laut dapat menghasilkan longsoran batuan,
reruntuhan mengalir ke laut sehingga dapat menyebabkan tsunami. Sejauh ini hal
tersebut hanya berlaku pada pulau yang terdapat aktivitas vulkanik. Tetapi aktivitas
vulkanik utama yang dapat menghasilkan sumber tsunami adalah erupsi vulkanik
yang terdapat pada bawah air atau bawah laut. Tidak hanya memindahkan material
yang berada pada lereng yang miring namun juga pembebasan gas yang dapat
memancing tsunami. Erupsi itu sendiri dapat menyebabkan terjadinya gempa bumi
kecil yang dapat memicu tsunami. Erupsi vulkanik dengan aktivitas plinian yang
dicirikan oleh ledakan besar yang merusak dan reruntuhan akibat dari kaldera
memberikan kekuatan untuk terjadinnya gelombang tsunami yang sangat besar, hal
tersebut disebutkan oleh Tinti (1990) dalam Geist (2006).
9
4. Meteor
Benda-benda langit seperti meteor memungkinkan terjatuh di bumi. Meteorit
yang jatuh di bumi mengakibatkan penghancuran yang hebat. Penghancuran paling
besar terjadi saat meteor jatuh di atas samudra. “Tsunami adalah bentuk paling serius
yang disebabkan oleh batu asteroid dengan diameter antara 200 m sampai 2 km.”
yang disebutkan oleh Hills dkk (1998) dalam Geist (2006). Gambar I.2 adalah
perkiraan tinggi gelombang pada jarak yang berbeda dari zona tubrukan dari
berbagai penulis.
Gambar I.2. Estimasi ketinggian air pada 1000 km dari pengaruh asteroid
(Sumber: Costa dkk. 2002)
5. Penyebab lainnya
Tsunami bisa disebabkan karena tindakan manusia. Manusia melakukan uji
nuklir di laut dapat menyebabkan terjadinya tsunami, khususnya pada 60 detik
datangnya uji nuklir. Sangat sedikit referensi yang menyebutkan bahwa tsunami
disebabkan oleh nuklir yang diledakan di bawah air di perairan pasifik. (Bolt dkk.
1975) dalam Geist (2006).
1.7.3. Gempa Bumi dan Zona Subduksi
Lapisan litosfer melapisi seluruh permukaan bumi yang terdiri dari benua dan
samudra. Litosfer relatif bergerak satu dan yang lain sampai 10 cm/tahun. Batas
lempeng adalah daerah pertemuan antara dua lempeng yang saling bersinggungan.
Pemekaran (spreading) adalah ketika dua lempeng bergerak menjauh satu sama lain.
10
Subduksi adalah ketika dua lempeng saling bergerak dan salah satu lempeng berada
di bawah lempeng lainnya. Transform adalah ketika lempeng bergerak secara
horizontal pada setiap lempengnya. Sebagian besar gempa bumi yang kuat terjadi
pada zona subduksi dimana sebuah lempeng samudra berada di bawah lempeng
benua, atau lempeng samudra yang lebih muda.
Tidak semua gempa bumi yang terjadi dapat menghasilkan tsunami. Untuk
menghasilkan tsunami, sesar harus berada di bawah atau dekat dengan samudra dan
meyebabkan pergerakan vertikal dari permukaan air di atas sebuah area yang luas.
Gempa bumi dangkal (kurang dari 70 km) dan berada di sekitar zona subduksi
menyebabkan terjadinya tsunami besar yang merusak.
1.7.4. Pembentukan Nilai Awal Gelombang
Perambatan
gelombang
tsunami
sangat
ditentukan
oleh
mekanisme
pembangkitan awal, yaitu daerah dasar laut yang terangkat, ketinggian dan jenisjenis pengangkatan, serta kedalaman air dan karakteristik pantai pada daerah
pembangkitan (Praktikto 1998).
Gambar I.3. Pergerakan awal pembangkit tsunami
(Sumber: Valdes dkk. 2005)
Gambar I.3 menunjukan daerah dasar laut yang terangkat oleh adanya bidang
sesar. Parameter bidang sesar tersebut panjang dan lebar sesar serta besar slip antara
sesar yang saling menunjam. Kondisi awal dari gelombang tsunami tergantung dari
bentuk perubahan dasar laut (deformasi dasar laut), dan kedalaman air di atas
11
deformasi. Cara sederhana yang digunakan untuk menganalisis kondisi awal
gelombang tsunami yakni dengan mengasumsikan bahwa permukaan air memiliki
pemindahan yang sama dengan perubahan dasar laut. Oleh karena itu pemindahan
awal gelombang tidak bergantung waktu, dan selanjutnya pemindahan awal
gelombang merambat keluar dari daerah pembangkitan menggunakan persamaan
gelombang panjang (Praktikto 1998).
1.7.5. Persamaan Gelombang Tsunami pada Model Numerik TUNAMI
1.7.5.1. Teori perambatan gelombang pada perairan dangkal. Tsunami
disebakan oleh pergerakan vertikal dasar laut akibat gempa bumi memiliki
gelombang yang panjang, percepatan vertikal partikel air dapat diabaikan. Hal
tersebut dikarenakan nilainya lebih kecil dari percepatan gravitasi.Gerakan vertikal
partikel air tidak berpengaruh pada distribusi tekanan (Imamura dkk. 2006).
Berdasarkan pendekatan tersebut didapat tiga persamaan konservasi massa dan
momentum dalam tiga dimensi, yaitu persamaan I.2, I.3, dan I.4.
(I.2)
(I.3)
(I.4)
, maka dapat ditulis
, dapat ditulis
Dalam hal ini,
x dan y
: sumbu horizontal
z
: sumbu vertikal
t
: waktu
h
: kedalaman air tenang
η
: perubahan vertikal permukaan air
u, v, w
: kecepatan patikel air arah sumbu x, y, z
g
: percepatan gravitasi
(I.5)
12
η
: perubahan vertikal permukaan air
P
: tekanan
ρ
: massa jenis air
Model perambatan gelombang di perairan dangkal dinyatakan dengan
persamaan kekekalan massa dan persamaan momentum dalam kasus tiga dimensi
pada persamaan (I.5) dengan dua kondisi batas, yaitu kondisi batas dinamis dan
kinetik permukaan dan bawah. Hal tersebut dapat diekspresikan dengan persamaan
I.6, I.7 dan I.8 (Imamura 2006):
di z = η (I.6)
di z = η (I.7)
di z = η (I.8)
1.7.5.2. Nested grid. Metode yang digunakan pada pemodelan penjalaran
gelombang tsunami dengan model numerik TUNAMI-N3 adalah metode nested grid
(Gambar I.4). Nested Grid adalah metode perhitungan nilai-nilai tinggi gelombang di
dalam grid pada skema leap-frog. Grid yang digunakan dalam pemodelan ini
menggunakan dua atau lebih grid yang saling bertampalan dengan ukuran grid yang
berbeda. Ukuran grid yang satu dengan grid yang lain menggunakan konsep
perbandingan bilangan ganjil 1:3 (Imamura 2006).
Area L (Large) dengan warna garis merah memiliki ukuran grid lebih besar,
sedangkan area S (Small) dengan warna garis hijau menunjukkan ukuran grid lebih
kecil. Keadaan ini dikarenakan letak bidang sesar tidak tercakup dalam area S tetapi
hanya pada area L, seperti pada Gambar I.4. Nilai-nilai grid yang berada
diperbatasan pada area pertampalan digunakan untuk menghitung nilai grid pada area
lainnya.
Model numerik tsunami tidak linier yang dikembangkan oleh Imamura
(2006), menggunakan metode nested grid, yaitu menggunakan lebih dari satu ukuran
grid pada satiap area. Gambar I.4 menunjukkan bahwa satu buah grid pada area L
memiliki 81 grid di area S.
13
Gambar I.4. Ilustrasi metode nested grid
(Sumber : Imamura dkk 2006)
1.6.5.3 Skema model numerik tsunami. Tsunami dikategorikan sebagai gelombang
perairan dangkal dikarenakan panjang gelombangnya lebih besar dibandingkan
kedalaman batimetri yang dilewati gelombang. Model numerik TUNAMI memiliki
berbagai macam variasi, sesuai dengan pengembangannya, variasinya antara lain :
1. TUNAMI-N1, model ini menerapkan teori linier perambatan gelombang
dengan ukuran grid konstan,
2. TUNAMI-N2, model ini mengaplikasikan teori perambatan gelombang
untuk perairan dalam, teori gelombang perairan dangkal dan landaan
dengan grid konstan,
3. TUNAMI-N3, model ini mengaplikasikan teori linier perambatan
gelombang dengan variasi ukuran grid. Konsep matematisnya sejenis
dengan model numerik TUNAMI N2, diantaranya menggunakan teori
linier pada perairan dalam, dan teori perairan dangkal pada laut dangkal,
dan melibatkan efek kekasaran dasar disepanjang pantai.
Model numerik tsunami tidakn linier didiskretisasi menggunakan prinsip fungsi
deret Taylor (Gambar I.5) dengan menggunakan skema leap-frog (Gambar I.6) yaitu
menggunakan skema beda pusat dengan kesalahan pemotongan orde kedua.
14
F(x)
Fi+1-Fi-1
Δy
Fi-1
Fi
i-1
Fi+1 x
i
Δx
i+1
Gambar I.5. Fungsi pada deret Taylor
Dengan F {(i-1)Δx} = Fi-1 , F (i Δx) = Fi ,
F {(i+1) Δx} = Fi+1
Nilai Fi-1 dan Fi+1berdasarkan fungsi pada deret Taylor dengan kesalahan
pemotongan orde kedua diperoleh persamaan I.9 dan I.10.
(I.9)
)
(I.10)
Dengan menyelisihkan persamaan (I.9) dan (I.10), maka didapat persamaan beda
pusat pada persamaan I.11.
(I.11)
Skema leap-frog dalam perhitungannya menggunakan sistem grid dengan
ukuran tertentu (Goto dkk. 1995).
15
(a)
(b)
Gambar I.6. Perhitungan titik grid pada metode leap-frog
(a) Perhitungan pada arah x dan y, (b) Perhitungan pada arah x dan t
(Sumber : Imamura dkk. 2006)
1.7.5.3. Simulasi penjalaran gelombang tsunami. Model penjalaran
gelombang tsunami disimulasikan dengan input hasil estimasi tinggi gelombang
tsunami awal (inisialisasi gelombang tsunami) yang terbangun oleh deformasi dasar
laut akibat gempa bumi. Data input yang digunakan untuk simulasi penjalaran
gelombang tsunami adalah :
a. Data batimetri dalam bentuk kedalaman setiap grid.
b. Data hasil simulasi awal gelombang tsunami (initial condition).
Kondisi tersebut harus mewakili syarat stabilitas dari CFL (Courant Freiderick
Lewy) 1, seperti pada persamaan I.12
(I.12)
Dengan
Dalam hal ini,
hmax
: kedalaman perairan maksimum
dt
: langkah waktu perhitungan
g
: gaya gravitasi (10 m/dt)
Cmax
: kecepatan awal
16
Dalam penentuan run-up tsunami terdapat daerah terendam air (submerge)
serta tidak terendam air (dry). Nilai daerah yang terendam air serta tidak terendam air
pada model diperoleh dari:
D=h+η > 0, maka nilai sel adalah terendam air(submerge), dan
D=h+η ≤ 0, maka nilai sel adalah kering
Dengan h merupakan kedalaman, D merupakan total kedalaman permukaan air, η
merupakan perubahan permukaan air (Imamura dkk. 2006). Pada perhitungan
gelombang tsunami menggunakan metode numerik nilai kedalaman (batimetri)
bernilai positif sedangkanuntuk topografi bernilai negatif.
1.7.6.Mekanisme Fokal
Gempa bumi tektonik terjadi karena pergerakan yang diawali dari dasar laut
dan mengakibatkan pergerakan vertikal dasar laut. Teori dislokasi digunakan untuk
model deformasi pada simulasi numerik tsunami yang dikenalkan ke dalam disiplin
ilmu oleh Steketee tahun 1958 (Kongko 2011).
Arah dan orientasi sesar pada saat gempa bumi yang terjadi disebut mekanisme
fokal. Informasi dari seismogram digunakan untuk menghitung mekanisme fokal dan
tampilannya pada peta sebagai simbol “beach ball”. Simbol ini adalah sebuah
proyesi bidang horizontal, kerangka bola (bola fokal) melingkupi sumber gempa
bumi. Beach ball juga menggambarkan orientasi tegangan (Gambar I.7).
Kenampakan
samping
Kenampakan atas
c
a
T
P
P
a
d
“Beach ball”
c
b
Gambar I.7. Beach ball
(Sumber : USGS 2012)
Keterangan Gambar I.7.:
a : bidang patahan
17
b : proyeksi bidang patahan
c : bidang bantu
d : kedalaman
P : tekanan
T : tegangan
Beach ball berisi sumbu tegangan (T), yang merefleksikan arah stress
compressive minimum dan tekanan (P), yang merefleksikan arah stress compressive
maksimum (Gambar I.6). Perhitungan mekanisme fokal ditampilkan pada sumbu P
dan T dan tidak menggunakan bayangan (shading).
Tiga contoh pertama pergerarakan sesar yaitu fault motion yang murni
horizontal (strike slip) atau vertikal (normal atau reverse). Mekanisme oblique
reverse diilustrasikan bahwa slip dapat juga mempunyai komponen dari horizontal
dan vertikal.
1.7.6.1 Parameter Sesar. Bumi terdiri dari dua lempeng utama yaitu lempeng benua
dan lempeng samudra. Lempeng-lempeng di bumi terus aktif bergerak. Pergerakan
lempeng membuat kemungkinan adanya tubrukan semakin besar, sehingga dapat
menghasilkan patahan. Bidang atau bagian kulit bumi yang retak atau patah disebut
patahan. Bidang patahan yang sudah mengalami pergerakan disebut sesar atau fault.
Pergeseran bidang patahan tersebut bisa terjadi secara horizontal dan vertikal.
Berdasarkan arah gerak dan pergeserannya ada beberapa jenis sesar (Gambar I.8)
yaitu:
1. Sesar naik (reverse)
Sesar naik yaitu gejala pergeseran atau gerakan sesar yang atap sesar (hanging
wall) bergerak ke atas. Sesar naik biasa disebut reverse fault.
2. Sesar turun (normal)
Sesar turun adalah gerakan sesar dengan bagian atap sesar atau (hanging
wall) bergerak turun terhadap alas sesarnya (foot wall). Sesr turun biasa disebut
dengan sesar normal.
3. Sesar geser(strike slip)
Sesar geser adalah sesar yang gerakannya horizontal, tidak terjadi pergerakan
naik atau turun pada sesar. Sesar geser biasa disebut strike slip.
18
4. Sesar oblique reverse
Sesar yang arah pergerakan sesarnya campuran, baik naik atau turun dan
bergeser secara horizontal. Sesar ini bisa disebut dengan oblique reverse.
Strike slip
Normal
Reverse
Oblique reverse
e
Gambar I.8. Macam-macam sesar
(Sumber : USGS 2012)
Sesar memiliki parameter yang terdiri dari sudut strike, dip dan slip. Dip
adalah sudut yang terbentuk antar permukaan sesar dan bidang sesar. Dip biasa
disebut sudut kemiringan. Sudut diukur dari permukaan bumi. Posisi sudut
diphorizontal memiliki niali 0o dan untuk vertikal memiliki nilai dip 90o. Ilustrasi dip
dapat dilihat pada Gambar I.9.
Gambar I.9. Dip
(Sumber : Epicentral 2013)
Strike adalah sebuah sudut yang digunakan khusus untuk orientasi sesar dan
diukur searah jarum jam dari arah utara. Sebagai contoh sebuah strike dengan nilai 0o
19
atau 180o mengindikasikan sebuah sesar memiliki orientasi arah utara-selatan, 90o
atau 270o mengindikasikan orientasi arah timur-barat (Gambar I.10).
Gambar I.10. Strike
(Sumber : Epicentral 2013)
Dip dan strike menggambarkan orientasi dari sesar. Arah pergerakan silang
dari sesar adalah slip. Slip diukur pada permukaan sesar dan seperti dip dan strike,
slip merupakan sebuah sudut. Slip menggambarkan arah sudut dari hanging wall ke
foot wall. Jika hanging wall bergerak ke kanan maka sudut slip alah 0o, jika bergerak
ke atas maka slip bernilai 90o, apabila bergerak ke kiri sudut slip senilai 180o dan jika
bergerak turun maka sudutnya 270o atau -90o(Gambar I.11).
Gambar I.11. Slip
(Sumber : Epicentral 2013)
20
1.8.Hipotesis
Tsunami sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain parameter sesar
yang membangkitkan adanya gelombang tsunami. Meskipun pada dasarnya banyak
faktor yang mempengaruhi tsunami seperti data topografi, batimetri dan waktu
penjalaran gelombang tsunami. Namun, penelitian ini fokus terhadap pengaruh
parameter sesar yang menyebabkan terjadinya tsunami. Oleh karena itu, penelitian
ini mengemukakan hipotesis-hipotesis awal sebagai berikut:
1. Diantara dua parameter sesar, slip dan dip, slip memberikan pengaruh
ketinggian gelombang tsunami lebih besar dibandingkan dengan dip
karena mekanisme slip membuat sesar bergerak naik atau turun sehingga
mengakibatkan permukaan air yang tenang menjadi terdeformasi.
2. Pada umumnya ketinggian gelombang tsunami di daerah sumber gempa
lebih kecil dibandingkan dengan ketinggian gelombang tsunami di titik
pantau, tetapi keterlibatan pengaruh dari variasi parameter sesar membuat
ketinggian gelombang tsunami lebih bervariasi.
Download