BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng tektonik besar yaitu Lempeng IndoAustralian, Eurasia dan Lempeng Pasifik. Selain itu, Indonesia juga berada pada Pasific Ring of Fire yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia yang setiap saat dapat meletus dan mengakibatkan datangnya bencana. Oleh karena itu, Indonesia menjadi Negara yang sangat rawan bencana terutama gempa bumi dan tsunami. Bencana tsunami terbesar terjadi pada tahun 2004 di Nangroe Aceh Darussalam. United States Geological Survey mengukur kekuatan gempa pada saat itu sebesar 9,2 Mw. Tahun 2006 gempa dan tsunami terjadi di daerah Pantai Selatan Jawa dengan kekuatan gempa sebesar 7,8 Mw yang melibatkan dorongan sesar pada Patahan Jawa sehingga membangkitkan tsunami dengan ketinggian 5 s.d 8 m(Ammon 2006).Sebaliknya, kejadian gempa bumi di daerah Simeulue pada tahun 2012yang memiliki kekuatan yaitu 8,6 Mw, tetapi tidak menimbulkan tsunami karena mekanisme gempa berupa sesar geser dan terjadi di daerah outer rise (Kongko 2012). Berdasarka fakta yang ada bahwa pergerakan sesar menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya tsunami. Pergerakan sesar merupakan salah satu parameter sumber penyebab terjadinya deformasi vertikal pada daerah sumber dan mengakibatkan gempa bumi tektonik. Parameter sesar dikenal juga dengan mekanisme fokal. Mekanisme fokal adalah arah dan orientasi sesar pada gempa bumi tektonik (USGS 2012). Mekanisme fokal terbagi menjadi empat jenis yaitu strike slip, normal, reverse dan oblique reverse (USGS 2012). Secara umum sudut pembentuk parameter sesar yaitu sudut strike, dip dan slip. Berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan maka diperlukan kajian khusus mengenai pengaruh variasi pergerakan sesar terhadap terjadinya gelombang tsunami. Salah satu cara untuk mengkaji mengenai variasi pergerakan sesar adalah menggunakan model numerik. TUNAMI (Tohoku University’s Numerical Analysis Model for Investigation of Near-field tsunamis) adalah salah satu model numerik 1 2 yang digunakan untuk melakukan simulasi terhadap gelombang tsunami. Model numerik TUNAMI digunakan oleh Kongko (2011) untuk melakukan pemodelan tsunami pada Pantai Selatan Jawa. Dalam penelitian lain model numerik digunakan untuk penentuan daerah bahaya tsunami di kota Padang (Oktaviani 2013). Penelitian menggunakan model numerik TUNAMI juga dilakukan oleh Ananda (2013), model numerik digunakan untuk mengetahui pengaruh data spasial terhadap landaan tsunami. Selain itu, Hartanto (2014) juga melakukan pemodelan menggunakan TUNAMI untuk mengkaji pengaruh morfologi dan kemiringan pantai terhadap ketinggian gelombang tsunami. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan kajian mengenai pengaruh parameter sesar terhadap gelombang tsunami menggunakan model numerik TUNAMI. Simulasi tsunami menggunakan model numerik dengan variasi pergerakan sesar diperlukan untuk membantu mitigasi bencana tsunami. 1.2. Rumusan Masalah Gempa dengan magnitud yang besar tidak selalu menimbulkan gelombang tsunami yang besar. Hal ini sangat terkait dengan parameter sesar atau mekanisme fokal. Hubungan antara parameter sesar (strike, slip dan dip) dengan ketinggian gelombang tsunami perlu dikaji, sehingga menimbulkan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh kombinasi kekuatan magnitud dan parameter sesar terhadap ketinggian gelombang tsunami baik di sumber gempa bumi maupun di titik pantau? 2. Bagaimana pengaruh parameter sesar terhadap ketinggian gelombang tsunamibaik di sumber gempa bumi maupun di titik pantau? 1.3. Cakupan Penelitian Cakupan penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Simulasi pemodelan landasan tsunami menggunakan model numerik yakni TUNAMI yang telah dikembangkan oleh Goto (1995) dan oleh Kongko (2012). 2. Parameter sumber gempa bumi menggunakan : 3 a. Variasi magnitud 7,5 Mw, 8,0 Mw, 8,5 Mw. b. Variasi sesar menggunakan: i. Strike atau jurus (1 variasi) : 270o. Nilai ini dipilih karena lokasi sesar terletak di Pantai Selatan Jawa. ii. Dip atau sudut kemiringan (4 variasi) : 20o, 40o , 60o,80o. Variasi dip tersebut mewakili sesar naik. iii. Slip atau sudut longsoran (6 variasi) : 90o, 70o, 50o, 40o, 20o, 0o. Variasi ini mewakili pergerakan slip keseluruhan. 3. Lokasi kajian penelitian ini menggunakan lokasi daerah Pantai Selatan Kabupaten Cilacap yang didapat dari Hartanto (2014). 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh kombinasi kekuatan magnitud dan parameter sesar terhadap ketinggian gelombang tsunami baik di sumber gempa bumi maupun di titik pantau. 2. Mengetahui parameter sesar yang paling berpengaruh terhadap ketinggian gelombang tsunami baik di sumber gempa bumi maupun di titik pantau. 1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk : 1. Mengetahui pengaruh variasi parameter sesar terhadap gelombang tsunami, sehingga mitigasi bencana dapat dilakukan secara tepat. 2. Dapat digunakan untuk masukan langkah kesiapsiagaan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. 1.6. Tinjauan Pustaka Pemodelan tsunami menggunakan model numerik TUNAMI telah banyak dilakukan. Model numerik TUNAMI digunakan oleh Goto (1995), Imamura dkk. (2006). Di Indonesia model numerik TUNAMI banyak digunakan, salah satu instansi yang menggunakan model numerik TUNAMI adalah Balai Pengkajian Dinamika Pantai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT) Yogyakarta. Model numerik TUNAMI digunakan dan dikembangkan oleh Kongko (2011) staf 4 ahli Tsunami di BPDP-BPPT dalam disertasinya untuk pemodelan landaan tsunami di kawasan Pesisir Selatan Jawa. Model numerik TUNAMI yang digunakan dalam penelitian selalu dikalibrasi oleh instansi terkait yakni BPDP-BPPT yang disebut dengan kalibrasi model. Kalibrasi model ini mencakup verifikasi dan validasi model (BPDP-BPPT 2013), sehingga hasil output dari pemodelan menggunakan TUNAMI ini langsung dapat digunakan untuk analisa hasil tanpa harus dilakukan pengujian hasil pemodelan. Penelitian mengenai tsunami yang disebakan oleh pergerakan sesar telah dilakukan oleh Ammon dkk. (2006) pada daerah Pantai Selatan Jawa dengan ketinggian tsunami yang dihasilkan sebesar 5 s.d 8 m dengan kekuatan 7,8 Mw. Penelitian itu menunjukkan bahwa gempa bumi di daerah Selatan Jawa tahun 2006 terjadi pada daerah sesar di zona subduksi. Bilek, dkk (2011) melakukan penelitian gempa bumi 2010 di daerah Mentawai. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa parameter sumber gempa bumi menentukan getaran utama pada kejadian tahun 2010 yang menghasilkan tsunami dengan durasi perambatan 130 detik. Getaran utama merambat dari pusat gempa sepanjang 110 s.d 150 km dan terjadi di daerah zona seismik. Penelitian yang dilakukan oleh Kongko (2012) di daerah Simeule menyatakan bahwa terjadi gempa dengan kekuatan 8,6 Mw didaerah “outer-rise” atau bagian punggung sesar dengan mekanisme sesar geser. Mekanisme diselidiki atas dua alternatif strike arah 200o dan 110o dengan dislokasi vertikal pada sumber kurang dari 5 m dan horizontal11,5 m, menghasilkan tsunami maksimal kurang dari 4,5 m. Penelitian mengenai tsunami dilakukan oleh Kongko (2011) dalam disertasinya. Penelitian dilakukan di Pantai Selatan Jawa. Data yang digunakan untuk pemodelan tsunami adalah data batimetri dan data topografi. Pemodelan landaan tsunami ini menggunakan model numerik TUNAMI yang menganggap gelombang tsunami ini gelombang perairan dangkal. Hasil dari penelitian tersebut bahwa menyatakan sumber tsunami dengan kekakuan rendah dan slip yang besar menghasilkan gelombang tsunami yang mirip dengan data lapangan dibandingkan dengan sumber tsunami dengan kekakuan normal. 5 Penelitian landaan tsunami menggunakan model numerik dilakukan Oktaviani (2013). Pemodelan tsunami menggunakan TUNAMI N3 dan ketelitian data topografi dengan resolusi spasial yaitu 5 m. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kedekatan lokasi sumber gempa, besar magnitud gempa, dan seragam dan tidak seragamnya kekasaran dasar daratan mempengaruhi tinggi gelombang tsunami, waktu tempuh penjalarannya, serta luas landaan tsunami di darat. Penelitian menggunakan model numerik TUNAMI-N3 juga dilakukan oleh Ananda (2013). Data yang digunakan adalah data DSM (Digital Surface Model) resolusi tinggi, DTM (Digital Terrain Model) resolusi tinggi dan data DSM resolusi rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara nilai ketinggian gelombang awal tsunami, nilai kemiringan pantai dan koefisien kekasaran dasar terhadap luas landaan tsunami di daratan serta ketinggian maksimum gelombang saat mencapai garis pantai. Selain itu penelitian ini juga menggunakan model numerik TUNAMI-N2 untuk penaksiran cepat daerah rawan bencana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan data DTM resolusi tinggi menghasilkan luas area landaan yang paling besar yaitu 13258 ha, dibandingankan dengan data topografi yang lain. Besar nilai ketinggian awal gelombang tsunami, kemiringan pantai, dan koefisien kekasaran dasar sangat mempengaruhi luas landaan tsunami. Penelitian terbaru mengenai pemodelan tsunami menggunakan model numerik TUNAMI-N3 dilakukan oleh Hartanto (2014). Pada penelitian ini menggunakan enam variasi magnitud gempa yaitu 7,5 Mw, 7,8 Mw, 8,1 Mw, 8,4 Mw, 8,7 Mw, dan 9,0 Mw dan 27 variasi morfologi pantai. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa skenario yang menggunakan magnitud 7,5Mw menghasilkan ketinggian gelombang tsunami yang lebih rendah dibandingkan dengan seluruh skenario yang menggunakan magnitud lebih besar. Besar nilai magnitud berkorelasi positif terhadap ketinggian gelombang tsunami di titik pengamatan. Hal ini dikarenakan nilai magnitud dipengaruhi oleh parameter sumber gempa. Semakin besar nilai parameter sumber gempa, maka gelombang awal tsunami yang ditimbulkan juga semakin tinggi. Berdasarkan literatur yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa pemodelan tsunami menggunakan model numerik TUNAMI yang melibatkan variasi parameter 6 belum pernah dilakukan.Untuk kebutuhan mitigasi bencana, maka perlu dilakukan penelitian tentang variasi parameter sesar pada sumber pembangkit tsunami. Model numerik TUNAMI juga sudah digunakan oleh banyak penelitian dan model ini sudah terbukti mampu memberikan hasil yang akurat melihat dari penelitian-penelitian sebelumnya. Simulasi tsunami dengan variasi pergerakan sesar dengan model numerik TUNAMI berdasarkan dalam penelitian ini. 1.7. Landasan Teori 1.7.1. Pengertian dan Karakteristik Gelombang Tsunami Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang memiliki arti gelombang besar pelabuhan. Tsu berarti pelabuhan serta nami yang berarti gelombang. Menurut Lapidus (1990) dalam Geist (2006), tsunami adalah sistem gelombang gravitasi yang diikuti dengan durasi yang pendek, skala besar, gangguan cuaca dari permukaan laut bebas. Penyebab tsunami biasanya berhubungan dengan proses geologi seperti gempa bumi, tanah longsor, erupsi vulkanik dan meteorit, asteroid dan tubrukan komet. Tsunami memiliki panjang gelombang yang sangat panjang. Berbeda dengan gelombang laut biasa, tsunami memiliki panjang gelombang diantara dua puncaknya mencapai lebih dari 100 km di laut lepas dan selisih waktu diantara puncakpuncaknya berkisar antara 10 menit sampai 1 jam. Saat mencapai pantai yang dangkal, teluk, atau muara sungai gelombang ini menurun kecepatannya. Namun tinggi gelombangnya meningkat puluhan meter dan bersifat merusak dengan kecepatan mencapai 900 km/jam. Periode tsunami berkisar 10 s.d.60 menit. Tsunami disebabkan oleh pergerakan tiba-tiba dari volume air yang membesar.Energiyang dilepaskan mampu untuk memindahkan volume air yang besar dengan cepat. Bagaimanapun tsunami juga bisa terjadi disebabkan oleh hal-hal yang tidak langsung terdapat pada daerah dampak. Kecepatan rambat gelombang di laut, tergantung dari kedalaman laut dan penjalarannya dapat mencapai ribuan kilometer. Kecepatan rambat gelombang dapat dihitung dengan persamaan (I.1) v= (I.1) 7 Dengan v merupakan kecepata gelombang, g adalah percepatan gravitasi dan h adalah kedalaman laut. Widodo (2002) gelombang tsunami di laut dalam tidak memiliki ketinggian yang cukup besar. Hal ini berbeda dengan gelombang tsunami yang mendekati daerah pantai yang menyebabkan terjadinya peningkatan ketinggian gelombang tsunami dan penurunan kecepatan. Ilustrasi gelombang tsunami dapat dilihat pada Gambar 1.1. 213 km 23 km 50 m 10,6 km km 10 m 4000 m Kedalaman Kecepatan Panjang (m) (km/jam) Gelombang (km) 943 282 7000 713 213 4000 504 151 2000 159 48 200 79 23 50 36 10,6 10 Gambar I.1. Pembentukan gelombang tsunami (Sumber: Intergovernmental Oceanographic Commission 2012) Gambar I.1 merupakan uraian dari beberapa teori yang mencoba memodelkan pembentukan gelombang tsunami menuju pantai. Gambar I.1 menggambarkan bahwa semakin mendekati pantai maka gelombang tsunami semakin tinggi. 1.7.2. Pembangkit Tsunami Tsunami terjadi disebabkan oleh beberapa faktor atau penyebab. Tsunami dapat dibangkitkan oleh banyak gangguan yang menyebabkan perpindahan massa air yang besar dari titik keseimbangannya. Tsunami disebabkan oleh proses-proses geologi. Proses geologi yang menyebabkan tsunami seperti gempa bumi, tanah longsor, erupsi vulkanik, dan tabarakan meteorit. Pada sebuah peta yang berdasarkan 8 pada sejarah dan data instrumen dari National Geopysical Data Center (NGDC) penyebab dari tsunami semenjak 3500 tahun yaitu: 1. Gempa bumi Gempa bumi adalah salah satu sumber terjadinya tsunami. Gempa bumi yang terjadi di bawah laut menyebabkan posisi air laut bergerak dari keadaan seimbangnya. Gelombang yang ikut dipindahkan pada saat air laut bergerak dipengaruhi oleh adanya gaya gravitasi. Ketika area dari elevasi laut besar maka terjadi tsunami. Pergerakan vertikal lempeng bumi terjadi pada zona subduksi. Pergerakan vertikal ini dapat menyebabkan terjadinya gempa bumi dan menjadi utama penyebab tsunami disbutkan oleh Furumoto (1985) dalam Geist (2006). 2. Tanah longsor pada daerah pantai Tanah longsor penyebab tsunami dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tanah longsor di bawah air dan longsoran pantai. Beberapa mekanisme dapat memicu terjadinya tanah longsor, antara lain gempa bumi dengan kekuatan yang rendah, reruntuhan vulkanik dan erosi yang terjadi pada dasar laut. Pada lereng area pantai sumber utama terjadinya tsunami adalah erosi. Longsoran ini dapat dengan mudah menambah kuantitas dari bebatuan, pasir dan reruntuhan lain jatuh ke laut. Hal tersebut menyebabkan sebuah pergerakan permukaan laut dan dengan cepat menyebabkan tsunami dipaparkan oleh Yoshioka (1996) dalam Geist (2006). 3. Vulkanik Erupsi vulkanik di atas permukaan laut dapat menghasilkan longsoran batuan, reruntuhan mengalir ke laut sehingga dapat menyebabkan tsunami. Sejauh ini hal tersebut hanya berlaku pada pulau yang terdapat aktivitas vulkanik. Tetapi aktivitas vulkanik utama yang dapat menghasilkan sumber tsunami adalah erupsi vulkanik yang terdapat pada bawah air atau bawah laut. Tidak hanya memindahkan material yang berada pada lereng yang miring namun juga pembebasan gas yang dapat memancing tsunami. Erupsi itu sendiri dapat menyebabkan terjadinya gempa bumi kecil yang dapat memicu tsunami. Erupsi vulkanik dengan aktivitas plinian yang dicirikan oleh ledakan besar yang merusak dan reruntuhan akibat dari kaldera memberikan kekuatan untuk terjadinnya gelombang tsunami yang sangat besar, hal tersebut disebutkan oleh Tinti (1990) dalam Geist (2006). 9 4. Meteor Benda-benda langit seperti meteor memungkinkan terjatuh di bumi. Meteorit yang jatuh di bumi mengakibatkan penghancuran yang hebat. Penghancuran paling besar terjadi saat meteor jatuh di atas samudra. “Tsunami adalah bentuk paling serius yang disebabkan oleh batu asteroid dengan diameter antara 200 m sampai 2 km.” yang disebutkan oleh Hills dkk (1998) dalam Geist (2006). Gambar I.2 adalah perkiraan tinggi gelombang pada jarak yang berbeda dari zona tubrukan dari berbagai penulis. Gambar I.2. Estimasi ketinggian air pada 1000 km dari pengaruh asteroid (Sumber: Costa dkk. 2002) 5. Penyebab lainnya Tsunami bisa disebabkan karena tindakan manusia. Manusia melakukan uji nuklir di laut dapat menyebabkan terjadinya tsunami, khususnya pada 60 detik datangnya uji nuklir. Sangat sedikit referensi yang menyebutkan bahwa tsunami disebabkan oleh nuklir yang diledakan di bawah air di perairan pasifik. (Bolt dkk. 1975) dalam Geist (2006). 1.7.3. Gempa Bumi dan Zona Subduksi Lapisan litosfer melapisi seluruh permukaan bumi yang terdiri dari benua dan samudra. Litosfer relatif bergerak satu dan yang lain sampai 10 cm/tahun. Batas lempeng adalah daerah pertemuan antara dua lempeng yang saling bersinggungan. Pemekaran (spreading) adalah ketika dua lempeng bergerak menjauh satu sama lain. 10 Subduksi adalah ketika dua lempeng saling bergerak dan salah satu lempeng berada di bawah lempeng lainnya. Transform adalah ketika lempeng bergerak secara horizontal pada setiap lempengnya. Sebagian besar gempa bumi yang kuat terjadi pada zona subduksi dimana sebuah lempeng samudra berada di bawah lempeng benua, atau lempeng samudra yang lebih muda. Tidak semua gempa bumi yang terjadi dapat menghasilkan tsunami. Untuk menghasilkan tsunami, sesar harus berada di bawah atau dekat dengan samudra dan meyebabkan pergerakan vertikal dari permukaan air di atas sebuah area yang luas. Gempa bumi dangkal (kurang dari 70 km) dan berada di sekitar zona subduksi menyebabkan terjadinya tsunami besar yang merusak. 1.7.4. Pembentukan Nilai Awal Gelombang Perambatan gelombang tsunami sangat ditentukan oleh mekanisme pembangkitan awal, yaitu daerah dasar laut yang terangkat, ketinggian dan jenisjenis pengangkatan, serta kedalaman air dan karakteristik pantai pada daerah pembangkitan (Praktikto 1998). Gambar I.3. Pergerakan awal pembangkit tsunami (Sumber: Valdes dkk. 2005) Gambar I.3 menunjukan daerah dasar laut yang terangkat oleh adanya bidang sesar. Parameter bidang sesar tersebut panjang dan lebar sesar serta besar slip antara sesar yang saling menunjam. Kondisi awal dari gelombang tsunami tergantung dari bentuk perubahan dasar laut (deformasi dasar laut), dan kedalaman air di atas 11 deformasi. Cara sederhana yang digunakan untuk menganalisis kondisi awal gelombang tsunami yakni dengan mengasumsikan bahwa permukaan air memiliki pemindahan yang sama dengan perubahan dasar laut. Oleh karena itu pemindahan awal gelombang tidak bergantung waktu, dan selanjutnya pemindahan awal gelombang merambat keluar dari daerah pembangkitan menggunakan persamaan gelombang panjang (Praktikto 1998). 1.7.5. Persamaan Gelombang Tsunami pada Model Numerik TUNAMI 1.7.5.1. Teori perambatan gelombang pada perairan dangkal. Tsunami disebakan oleh pergerakan vertikal dasar laut akibat gempa bumi memiliki gelombang yang panjang, percepatan vertikal partikel air dapat diabaikan. Hal tersebut dikarenakan nilainya lebih kecil dari percepatan gravitasi.Gerakan vertikal partikel air tidak berpengaruh pada distribusi tekanan (Imamura dkk. 2006). Berdasarkan pendekatan tersebut didapat tiga persamaan konservasi massa dan momentum dalam tiga dimensi, yaitu persamaan I.2, I.3, dan I.4. (I.2) (I.3) (I.4) , maka dapat ditulis , dapat ditulis Dalam hal ini, x dan y : sumbu horizontal z : sumbu vertikal t : waktu h : kedalaman air tenang η : perubahan vertikal permukaan air u, v, w : kecepatan patikel air arah sumbu x, y, z g : percepatan gravitasi (I.5) 12 η : perubahan vertikal permukaan air P : tekanan ρ : massa jenis air Model perambatan gelombang di perairan dangkal dinyatakan dengan persamaan kekekalan massa dan persamaan momentum dalam kasus tiga dimensi pada persamaan (I.5) dengan dua kondisi batas, yaitu kondisi batas dinamis dan kinetik permukaan dan bawah. Hal tersebut dapat diekspresikan dengan persamaan I.6, I.7 dan I.8 (Imamura 2006): di z = η (I.6) di z = η (I.7) di z = η (I.8) 1.7.5.2. Nested grid. Metode yang digunakan pada pemodelan penjalaran gelombang tsunami dengan model numerik TUNAMI-N3 adalah metode nested grid (Gambar I.4). Nested Grid adalah metode perhitungan nilai-nilai tinggi gelombang di dalam grid pada skema leap-frog. Grid yang digunakan dalam pemodelan ini menggunakan dua atau lebih grid yang saling bertampalan dengan ukuran grid yang berbeda. Ukuran grid yang satu dengan grid yang lain menggunakan konsep perbandingan bilangan ganjil 1:3 (Imamura 2006). Area L (Large) dengan warna garis merah memiliki ukuran grid lebih besar, sedangkan area S (Small) dengan warna garis hijau menunjukkan ukuran grid lebih kecil. Keadaan ini dikarenakan letak bidang sesar tidak tercakup dalam area S tetapi hanya pada area L, seperti pada Gambar I.4. Nilai-nilai grid yang berada diperbatasan pada area pertampalan digunakan untuk menghitung nilai grid pada area lainnya. Model numerik tsunami tidak linier yang dikembangkan oleh Imamura (2006), menggunakan metode nested grid, yaitu menggunakan lebih dari satu ukuran grid pada satiap area. Gambar I.4 menunjukkan bahwa satu buah grid pada area L memiliki 81 grid di area S. 13 Gambar I.4. Ilustrasi metode nested grid (Sumber : Imamura dkk 2006) 1.6.5.3 Skema model numerik tsunami. Tsunami dikategorikan sebagai gelombang perairan dangkal dikarenakan panjang gelombangnya lebih besar dibandingkan kedalaman batimetri yang dilewati gelombang. Model numerik TUNAMI memiliki berbagai macam variasi, sesuai dengan pengembangannya, variasinya antara lain : 1. TUNAMI-N1, model ini menerapkan teori linier perambatan gelombang dengan ukuran grid konstan, 2. TUNAMI-N2, model ini mengaplikasikan teori perambatan gelombang untuk perairan dalam, teori gelombang perairan dangkal dan landaan dengan grid konstan, 3. TUNAMI-N3, model ini mengaplikasikan teori linier perambatan gelombang dengan variasi ukuran grid. Konsep matematisnya sejenis dengan model numerik TUNAMI N2, diantaranya menggunakan teori linier pada perairan dalam, dan teori perairan dangkal pada laut dangkal, dan melibatkan efek kekasaran dasar disepanjang pantai. Model numerik tsunami tidakn linier didiskretisasi menggunakan prinsip fungsi deret Taylor (Gambar I.5) dengan menggunakan skema leap-frog (Gambar I.6) yaitu menggunakan skema beda pusat dengan kesalahan pemotongan orde kedua. 14 F(x) Fi+1-Fi-1 Δy Fi-1 Fi i-1 Fi+1 x i Δx i+1 Gambar I.5. Fungsi pada deret Taylor Dengan F {(i-1)Δx} = Fi-1 , F (i Δx) = Fi , F {(i+1) Δx} = Fi+1 Nilai Fi-1 dan Fi+1berdasarkan fungsi pada deret Taylor dengan kesalahan pemotongan orde kedua diperoleh persamaan I.9 dan I.10. (I.9) ) (I.10) Dengan menyelisihkan persamaan (I.9) dan (I.10), maka didapat persamaan beda pusat pada persamaan I.11. (I.11) Skema leap-frog dalam perhitungannya menggunakan sistem grid dengan ukuran tertentu (Goto dkk. 1995). 15 (a) (b) Gambar I.6. Perhitungan titik grid pada metode leap-frog (a) Perhitungan pada arah x dan y, (b) Perhitungan pada arah x dan t (Sumber : Imamura dkk. 2006) 1.7.5.3. Simulasi penjalaran gelombang tsunami. Model penjalaran gelombang tsunami disimulasikan dengan input hasil estimasi tinggi gelombang tsunami awal (inisialisasi gelombang tsunami) yang terbangun oleh deformasi dasar laut akibat gempa bumi. Data input yang digunakan untuk simulasi penjalaran gelombang tsunami adalah : a. Data batimetri dalam bentuk kedalaman setiap grid. b. Data hasil simulasi awal gelombang tsunami (initial condition). Kondisi tersebut harus mewakili syarat stabilitas dari CFL (Courant Freiderick Lewy) 1, seperti pada persamaan I.12 (I.12) Dengan Dalam hal ini, hmax : kedalaman perairan maksimum dt : langkah waktu perhitungan g : gaya gravitasi (10 m/dt) Cmax : kecepatan awal 16 Dalam penentuan run-up tsunami terdapat daerah terendam air (submerge) serta tidak terendam air (dry). Nilai daerah yang terendam air serta tidak terendam air pada model diperoleh dari: D=h+η > 0, maka nilai sel adalah terendam air(submerge), dan D=h+η ≤ 0, maka nilai sel adalah kering Dengan h merupakan kedalaman, D merupakan total kedalaman permukaan air, η merupakan perubahan permukaan air (Imamura dkk. 2006). Pada perhitungan gelombang tsunami menggunakan metode numerik nilai kedalaman (batimetri) bernilai positif sedangkanuntuk topografi bernilai negatif. 1.7.6.Mekanisme Fokal Gempa bumi tektonik terjadi karena pergerakan yang diawali dari dasar laut dan mengakibatkan pergerakan vertikal dasar laut. Teori dislokasi digunakan untuk model deformasi pada simulasi numerik tsunami yang dikenalkan ke dalam disiplin ilmu oleh Steketee tahun 1958 (Kongko 2011). Arah dan orientasi sesar pada saat gempa bumi yang terjadi disebut mekanisme fokal. Informasi dari seismogram digunakan untuk menghitung mekanisme fokal dan tampilannya pada peta sebagai simbol “beach ball”. Simbol ini adalah sebuah proyesi bidang horizontal, kerangka bola (bola fokal) melingkupi sumber gempa bumi. Beach ball juga menggambarkan orientasi tegangan (Gambar I.7). Kenampakan samping Kenampakan atas c a T P P a d “Beach ball” c b Gambar I.7. Beach ball (Sumber : USGS 2012) Keterangan Gambar I.7.: a : bidang patahan 17 b : proyeksi bidang patahan c : bidang bantu d : kedalaman P : tekanan T : tegangan Beach ball berisi sumbu tegangan (T), yang merefleksikan arah stress compressive minimum dan tekanan (P), yang merefleksikan arah stress compressive maksimum (Gambar I.6). Perhitungan mekanisme fokal ditampilkan pada sumbu P dan T dan tidak menggunakan bayangan (shading). Tiga contoh pertama pergerarakan sesar yaitu fault motion yang murni horizontal (strike slip) atau vertikal (normal atau reverse). Mekanisme oblique reverse diilustrasikan bahwa slip dapat juga mempunyai komponen dari horizontal dan vertikal. 1.7.6.1 Parameter Sesar. Bumi terdiri dari dua lempeng utama yaitu lempeng benua dan lempeng samudra. Lempeng-lempeng di bumi terus aktif bergerak. Pergerakan lempeng membuat kemungkinan adanya tubrukan semakin besar, sehingga dapat menghasilkan patahan. Bidang atau bagian kulit bumi yang retak atau patah disebut patahan. Bidang patahan yang sudah mengalami pergerakan disebut sesar atau fault. Pergeseran bidang patahan tersebut bisa terjadi secara horizontal dan vertikal. Berdasarkan arah gerak dan pergeserannya ada beberapa jenis sesar (Gambar I.8) yaitu: 1. Sesar naik (reverse) Sesar naik yaitu gejala pergeseran atau gerakan sesar yang atap sesar (hanging wall) bergerak ke atas. Sesar naik biasa disebut reverse fault. 2. Sesar turun (normal) Sesar turun adalah gerakan sesar dengan bagian atap sesar atau (hanging wall) bergerak turun terhadap alas sesarnya (foot wall). Sesr turun biasa disebut dengan sesar normal. 3. Sesar geser(strike slip) Sesar geser adalah sesar yang gerakannya horizontal, tidak terjadi pergerakan naik atau turun pada sesar. Sesar geser biasa disebut strike slip. 18 4. Sesar oblique reverse Sesar yang arah pergerakan sesarnya campuran, baik naik atau turun dan bergeser secara horizontal. Sesar ini bisa disebut dengan oblique reverse. Strike slip Normal Reverse Oblique reverse e Gambar I.8. Macam-macam sesar (Sumber : USGS 2012) Sesar memiliki parameter yang terdiri dari sudut strike, dip dan slip. Dip adalah sudut yang terbentuk antar permukaan sesar dan bidang sesar. Dip biasa disebut sudut kemiringan. Sudut diukur dari permukaan bumi. Posisi sudut diphorizontal memiliki niali 0o dan untuk vertikal memiliki nilai dip 90o. Ilustrasi dip dapat dilihat pada Gambar I.9. Gambar I.9. Dip (Sumber : Epicentral 2013) Strike adalah sebuah sudut yang digunakan khusus untuk orientasi sesar dan diukur searah jarum jam dari arah utara. Sebagai contoh sebuah strike dengan nilai 0o 19 atau 180o mengindikasikan sebuah sesar memiliki orientasi arah utara-selatan, 90o atau 270o mengindikasikan orientasi arah timur-barat (Gambar I.10). Gambar I.10. Strike (Sumber : Epicentral 2013) Dip dan strike menggambarkan orientasi dari sesar. Arah pergerakan silang dari sesar adalah slip. Slip diukur pada permukaan sesar dan seperti dip dan strike, slip merupakan sebuah sudut. Slip menggambarkan arah sudut dari hanging wall ke foot wall. Jika hanging wall bergerak ke kanan maka sudut slip alah 0o, jika bergerak ke atas maka slip bernilai 90o, apabila bergerak ke kiri sudut slip senilai 180o dan jika bergerak turun maka sudutnya 270o atau -90o(Gambar I.11). Gambar I.11. Slip (Sumber : Epicentral 2013) 20 1.8.Hipotesis Tsunami sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain parameter sesar yang membangkitkan adanya gelombang tsunami. Meskipun pada dasarnya banyak faktor yang mempengaruhi tsunami seperti data topografi, batimetri dan waktu penjalaran gelombang tsunami. Namun, penelitian ini fokus terhadap pengaruh parameter sesar yang menyebabkan terjadinya tsunami. Oleh karena itu, penelitian ini mengemukakan hipotesis-hipotesis awal sebagai berikut: 1. Diantara dua parameter sesar, slip dan dip, slip memberikan pengaruh ketinggian gelombang tsunami lebih besar dibandingkan dengan dip karena mekanisme slip membuat sesar bergerak naik atau turun sehingga mengakibatkan permukaan air yang tenang menjadi terdeformasi. 2. Pada umumnya ketinggian gelombang tsunami di daerah sumber gempa lebih kecil dibandingkan dengan ketinggian gelombang tsunami di titik pantau, tetapi keterlibatan pengaruh dari variasi parameter sesar membuat ketinggian gelombang tsunami lebih bervariasi.