Analisis Pengarajian Batik Rembang Dalam Menghadapi Persaingan Pasar Bebas Sri Rahayu,SE,M.Si [email protected] 1.1 Latar Belakang Persaingan bisnis yang semakin ketat dikarena dampak globalisasi dan menghadapi era Masyarakat ekononomi Asean ,dan diberlakunya era perdagangan bebas telah menggeser paradigma bisnis dari Comparative Advantage menjadi competitive advadtage,yang memaksa suatu kegiatan bisnis mengarah pada era pemandangan pemasaran dari strategi bisnis yang tepat yang mampu bersaing dan bertahan dalam modernisasi dan mengetahui dan mengenal prodak yang dihasilkan dan keunikan yang dimiliki suatu perusahaan .Dalam perkembangan tahapan industrialisasi global, dunia tengah memasuki era industri gelombang keempat, industri ekonomi kreatif (creative economic industry). Usaha industri ekonomi kreatif diprediksi akan menjadi industri masa depan sebagai fourth waveindustry (industri gelombang keempat). Industri gelombang keempat sangat menekankan pada gagasan dan ide kreatif, dengan intensifitas informasi dan kreativitas, mengandalkan ide dan stock of knowledge dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya. (The Creative Economy Howkins, 2001:267) Bagi ekonomi Indonesia, momentum perkembangan industrialisasi gelombang keempat merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan bagi peningkatan petumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat Indonesia mempunyai beragam kekayaan potensi ekonomi kreatif berbasis seni/budaya khas dan unik. Pengembangan ekonomi kreatif bagi Indonesia, setidaknya memiliki dua manfaat sekaligus, yakni leverage pertumbuhan ekonomi yang pro rakyat dan sekaligus penguatan identitas kultural bangsa yang dapat mempertegas dan memperkaya identitas nasional. Pengembangan ekonomi kreatif juga sejalan dengan arah pembangunan ekonomi kerakyatan, dengan mengedepankan peran nyata koperasi dan UMKM berprinsip berkeadilan dan bermartabat, sehingga pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dapat dinikmati secara lebih merata oleh seluruh komponen masyarakat (inklusif growth). Tabel 1.1 Nilai Ekspor Industri Batik dibanding Kelompok Industri Tektil Lainnya di Indonesia Tahun 2006-2010 Sumber: Dinas Perindustrian (2013) Pengembangan ekonomi batik, sebagai salah satu dari 14 komponen ekonomi kreatif, perlu terus ditingkatkan, mengingat trend dan prospek pasar batik yang sangat menjanjikan. Ekonomi batik telah berkontribusi menggerakkan ekonomi nasional dengan nilai ekspor sebesar 761 juta dollar AS pada tahun 2011 (Table 1.1). Disamping itu sebesar 99,39% dari 326 unit usaha yang bergerak di dalam industri batik adalah Usaha Mikro dan Kecil, dengan penyerapan tenaga kerja industri batik sekitar 838 juta orang yang menyebar di berbagai wilayah, tentunya hal ini sangat signifikan dalam memberi kontribusi penciptaan lapangan kerja dan peningkatan penghasilan rakyat. Nilai tambah industry batik selalu meningkat tiap tahun dengan pertumbuhan rata-rata 32,27%. Industri batik, sebagai salah satu sub sektor Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) menawarkan kesempatan yang penting bagi suatu negara untuk memulai industrialisasi ekonominya UMKM batik mempunyai potensi yang dapat dikembangkan sebagai basis industri dalam jangka panjang. Sejumlah potensi tersebut diantaranya adalah: 1) batik sebagai komponen industri produk textile mempunyai siklus hidup yang pendek karena merupakan produk tidak tahan lama sehingga menjamin keberlanjutan permintaan, 2) permintaan yang dipengaruhi selera pasar (trend), 3) adanya unsur lokalitas dalam bersaing dalam mendukung produk fashion internasional, serta 4) dapat diproduksi secara handmade maupun dengan teknologi (NetFinTex, 2013). Potensi pasar Indonesia untuk komoditas TPT relatif besar sebab kebutuhan kain masyarakat perkotaan tidak hanya berupa pakaian, tapi juga kebutuhan non pakaian1 (Hermawan, 2011). Tabel 1.2 Nilai Input, Output dan Nilai Tambah Industri Batik di Indonesia Tahun 2006-2010 Indikator Jumlah Unit Usaha (Unit) 2006 2007 2008 2009 2010 Trend 298 308 235 339 326 2,79% 394.641.105 509.194.105 699.661.151 572.380.745 838.329.888 17,63% 12.047 13.06 12.988 15.346 17.082 8,98% 80,6 79,8 80,4 76,6 78,5 -0,92% Nilai Input (Ribuan Rp.) 331.677.469 398.975.840 623.176.664 422.808.755 565.156.118 11,89% Nilai Output (Ribuan Rp.) 444.766.552 569.533.804 831.185.891 684.013.800 935.096.286 18,17% Nilai Tambah (Ribuan Rp.) 113.089.083 170.557.964 208.009.227 261.205.045 369.940.168 32,27% Nilai Produksi (Ribuan Rp.) Jumlah Tenaga Kerja (Orang) Utilisasi (%) Sumber: Dinas Perindustrian (2013) Batik merupakan bagian penting dari warisan budaya Indonesia. Teknik membatik sudah dikenal sejak ribuan tahun silam dan berkembang di Jawa. Batik yang semula hanya ada di Jawa khususnya Jawa Tengah kemudian berkembang ke daerah-daerah lain di Indonesia. Setiap daerah memiliki keberagaman corak batik yang menjadi ciri khas setiap daerah. Antara daerah satu dengan yang lain memiliki corak dan motif yang berbeda. Setiap daerah memiliki batik dengan ciri khasnya sendiri, itu sama seperti cerminan bangsa ini bahwa setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda.Batik sudah ada sejak lama di Indonesia, tetapi menjadi bertambah populer ketika United Nations Educational, Scientific, and Culture Organization (UNESCO) memberikan pengakuan dan mengesahkan secara resmi Batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia (World Heritage) pada tanggal 2 Oktober 2009. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut , rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran umum usaha batik di Rembang ? 2. Bagaimana permasalahan yang dihadapi pengusaha batik dalam mengahadapi pasar bebas ? 3. Bagaimana rencana tindak lanjut pengembanagn iklim usaha bagi pengrajin batik? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menjelaskan gambaran umum pengarajin batik di kabupaten rembang 2. Menganalisa permasalahan yang terjadi yang menghambat kemajuan pengrajin batik 3. Memberikan solusi dalam rencana pengembanagn usaha batik 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi mengenai permasalahan dan analisis stakeholder bagi para pengrajin batik di kabupaten rembang ,dan membantu mempersiapkandiri bagi pengrajin dalam menghadapi persaianagn pasar bebas 2. Kerangka Pikir Kabupaten Rembang merupakan daerah penghasil batik di Jawa Tengah Pengrajin rata – rata merupakan matapencahrian utama Batik memberikan kontribusi bagi kesejahteraan pengrajin belum optimal dalam posis penjualan Pemanfaatan kelembagaan yang ada masih kurang Kesadaran berorganisasi dan melibatkan pengambil kebijakan kurang Peningkatan kwalitas,keunikan yang mampu bersaing 3. Metodologi Penelitian 3.1 pendekatan penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pemdekatan kwalitatif. Penelitian kwalitatif adalah penelitian yang menggunakan epistemologi objectiveism dengan perspektif teorotis positivism menggunakan metode ini dengan tujuan untuk menemukan generalisasi dan menekankan pada pegukuran dan analisis sebab akibat ( crotty 1998;Hoepfl 1997; sekaran 2000 ) Penelitian kwalitatif adalah penelitian yang mencoba memahami fenomena dalam seting dan konteks naturalnya dimana peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi fenomena yang diamati ( Leedy & Ormrod 2005 ; Patton 2001; Sauders,Lewis 7 Thornhill 2007 ) 3.2 Lokasi studi Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Rembang ,khususnya di kecamatan Pancur yang menjadi sentra pengrajin batik.yaitu desa Lasem Dan desa Pohlandak. Di desa Lasem terdiri dari 3 pengrajin batik,4 industri batik dan 7 usaha batik .Sedangkan diDesa Pohlandak terdiri dari 3 Pengrajin batik,14 usaha batik . 3.3 jenis dan sumber data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder .Data primer diperoleh dari hasil survei atau wawancara dan focus group discussion dengan stakeholder pengrajian,usaha,industri serta pekerja dan dinas terkait .Data sekunder diperoleh dari Dinas UKM dan Badan Pusat statistik serta lembaga atau instansi lainnya. 3.4 metode pengumpulan data dan pemilihan responden Pengumpulan data primerdalam studi ini dilakukan dengan cara : 1.Angket (Kuesioner). Kuesioner adalah daftar pertanyaan tertulis yang telah dirumuskan sebelumnya yang akan responden jawab (Sekaran, 2006). Jenis argket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket terbuka. Angket terbuka artinya responden diberi kebebasan penuh untuk memberikan jawaban yang dirasa perki. Responden berhak dan diberi kesempatan menguraikan jawaban (Soeratno dan Lincolin, 1993). 2.Wawancara. Cooper dan Emory (1995) mengatakan bahwa wawancara pribadi adalah percakapan dua arah arah atas inisiatif pewawancara untuk memperoleh informasi dua arah. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data, apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit (Sugiyono, 2010). Melalui wawancara dapat diketahui informasi yang dibutuhkan berupa pilihan alternatif kebijakan dan prioritas-prioritas dalam distribusi jagung 3.Observasi. Observasi meliputi segala hal yang menyangkut pengamatan aktivitas atau kondisi perilaku maupun nonperilaku (Cooper dan Emory, 1995). Menurut Burhan (2011) dan Nawawi (2006) metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan. Observasi lapangan bertujuan agar peneliti memperoleh fakta dan wilayah studi serta untuk melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dan telaah dokumen, studi literatur, kuesioner, maupun wawancara. Observasi lapangan dilakukan dengan dokumentasi gambar di lapangan untuk memperkuat fakta yang ditemukan serta membuat catatan-catatan penting yang harus segera ditulis setelah mengamati keadaan dan kejadian di wilayah studi. Catatan yang dibuat hendaknya seteliti rnungkin tentang kondisi, waktu, dan bagairnana kejadiannya, tidak berdasarkan pendapat observer 4.Focus Group Discussion (FGD). Focus Group Discussion (FGD) merupakan sebuah teknik yang dimaksudkan untuk memperoleh data dari suatu kelompok masyarakat berdasarkan hasil diskusi yang terfokus pacla suatu permasalahan tertentu. FGD dipakai untuk tujuan menghimpun data sebanyak-banyaknya dari peserta. Kalau metode lain diperoleh data dari informan/responden yang bersifat individu, sedangkan informasi yang diperoleh dari FGD merupakan informasi, sikap, pendapat, dan keputusan kelompok. Dengan demikian kebenaran informasi bukan lagi kebenaran perorangan (subyektif), tetapi menjadi kebenaran Intersubyektif. Karena selama diskusi berlangsung masing-masing orang/peserta tidak saja memperhatikan pendapatnya sendiri, namun ia juga mempertimbangkan apa yang dikatakan oleh peserta FGD lainnya (Dwiatno, 2008). 3.5 metode analisis Untuk menjawab rumusan masalah penelitian menggunakan pendekatan kwalitatif dengan metodologi action researh yaitu sebagai proses demokratis partisipatif yaitu sebagai proses demokratis partisipatif ,penelitian ini berusaha membawa perubahan dan pengembangan kompetensi untuk menyelesaikan masalah . 4. hasil dan pembahasan 4.1 gambaran umum usaha batik di rembang Penelitian dilakukan pada UMKM batik pada sentra wilayah batik di Jawa Tengah yaitu UMKM Batik Lasem dan Batik Pohlandak Kabupaten Rembang merupakan batik pesisiran yang berkembang dan dipengaruhi oleh kebudayaan Islam dan Cina. Batik yang tadinya berpusat di Keraton keluar dan berkembang di daerah pantai utaran jawa (pesisir). Batik pesisir berkembang di daerah pesisiran seperti: Pekalongan, Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Lasem, Sidoarjo, Gresik, dan Madura. Perkembangan batik ini dipengaruhi oleh kebudayaan Islam dan China, memiliki motif dengan bentuk Non Geometris dan ragam hiasnya bersifat natural. Motif batik pesisir berbentuk non geometris dengan hiasan bersifat natural. Pada mulanya sebagian besar usaha batik dijalankan dengan teknik produksi yang sangat sederhana dengan konsentrasi pada pembuatan batik tulis. Dengan perkembangan produksi batik tradisional yang ada sekarang ini sudah mulai dilakukan kolaborasi alat yang semi modern. Pengayaan model telah banyak dilakukan, terutama untuk batik cap dan sablon/printing yang dapat menghasilkan batik lebih cepat dan banyak. Sebagian usaha kelas menengah sudah mulai menggunakan alat mesin modern yang mempunyai kapasitas produksi jauh lebih cepat dan besar. Jumlahpengusaha batik yang dijadikan sampel adalah sebanyak31unit usaha. Data-data ini diperolehdarihasilwawancara langsungkepadaparapengusahabatikyangada. Karakteristik industri Lasem dan desa Pohlandak merupakan Perusahaan keluarga, yang merupakan Usaha Mikro, Kecil Menengah (UMKM), industri rumahan, jumlah tenaga kerja kurang 10 orang, dikelola secara turun temurun, dengan teknologi handmade dalam produksi. Dari tahun ke tahun pelaku usaha melakukan proses produksi secara tradisional dan merupakan usaha warisan turun temurun, sehingga peningkatan pada kualitas dan kuantitas produksi sangat kecil. Sebagian besar pelaku usaha UMKM Batik sudah merintis usaha lebih dari 10 tahun, sehingga sudah banyak pengalaman yang diperoleh dalammendirikanusaha,tanpamodal .Modalmerupakansalahsatufaktor yangmencukupimakausahayang dibanguntidakakanberjalandengannormal. Modal awalyang digunakan olehparapemilik usahabatikpalingbanyakadalahantara5-10 jutarupiah Jenisprodukyangada dapatdihasilkan.Produkbatikyang tidakhanya satusaja,melainkanberbagaijenisbatikyang dihasilkanyaitubatikcap, batik printingdanbatikkombinasi(campuranbatikcapdantulis). Batik cap mempunyai ciri-ciri: corak besarbesar dan teratur (sama), warnanya cenderung terang dan cerah (bukan warna-warna alam), warna bagian depan kain terlihat jelas, sedangkan bagian belakang kain terlihat buram. Kain yang digunakan cenderung kaku meskipun terkadang batik cap juga menggunakan kain sutra dan kain katun mori. Batik printing mempunyai ciri-ciri: umumnya mencontoh desain batik yang sudah ada, dari batik tradisional hingga batik modern. Warna batik printing kebanyakan tidak tembus karena proses pewarnaannya satu sisi saja yaitu bagian depan kain. Menggunakan berbagai macam kain namun jarang menggunakan kain sutra atau kain mori. Harganya cenderung murah. Batik tulis mempunyai ciri-ciri: corak atau motif batik tidak terlalu rapi, karena batik dikerjakan dengan tangan (manual). Corak dan warna batik tulis antara kain bagian depan dan belakang terlihat jelas, meskipun antara corak yang satu dan yang lain terkadang tidak sama. Batik jenis ini juga memiliki wangi yang khas karena proses pembatikan menggunakan lilin khusus. Bahannya dari kain katun, kain mori, atau kain sutra. Harga batik tulis relatif mahal karena pengerjaan selembar kain batik bisa memakan waktu lebih dari 1 bulan. Tabel1.3 Profil UMKMBatik No. A. 1. 2. 3. 4. 5. TahunBerdiri 1960-1970 1971-1980 1981-1990 1991-2000 2001-2010 Jumlah B. 1. 2. 3. 4. 6. 7. ModalAwal ≤5 juta 5-10 juta 11-15 juta 16-20 juta 21-25 juta 26-30 juta 31-35 juta C. 1. 2. Jenis Produk Batik Cap dan Printing Batik Kombinasi F(N=31) Persen (%) 0 0 14 3 14 31 0 0 45,2 9,6 45,2 100% 0 0 1 4 0 10 16 0 0 3,4 12,8 0 32,2 51,6 100% 22 9 31 71 29 100% 5 10 16,2 32,4 0 45,2 6,4 100 % Jumlah Jumlah Daerah pemasaran Lokal Luar Kota Luar Negeri Lokal danLuarKota Lokal,Luar Kota danLuar Negeri Jumlah E. Metode pemasaran Tidak mempunyai akses pasar 1. Modal 2. langsung Teknologi dan Informasi 3. Akses Jaringan Usaha 4. Jumlah Sumber : diolah dari data kuesioner (2014) D. 1. 2. 3. 4. 5. 14 2 10 2 8 11 100 32,2 6,4 25,8 35,5 100% Daerah pemasaranyang dilakukanoleh para pemilikusahabatikyang palingbanyak adalahdi daerah pemasaran luarkota,lokal dan luarkota(Solo, Jogyakarta, Surabaya,Jakarta,Bandung,Bali)masing masingsamabanyakyaitu mencapai persentase 16,2%,32,4% ,dan 45,2%untukdaerahpemasaranlokal.Sedangkandengandaerahpemasaran danluarnegeridenganpersentase 6,4%. lokal,luar kota Daerahpemasarankeluar negeriitusendirikeMalaysia,Singapura,Thailand, India, Pemasaran Keinginan dan Kebutuhan pelanggan Lit bang Rekayasa Proses Manufaktur Nilai Pelanggan Pelaku Usaha dalam menjalankan usahanya tidak sepenuhnya berjalan lancar. Pelaku usaha tersebut mengalami hambatan atau kendala diantaranya adalah akses pasar langsung 32,2% Dan jaringan usaha (35,5%).Akses jaringan usaha dikarenakan mereka belum memanfaatkan peran kelompok usaha secara optimal dan peran serta pemerintah .Pemanfaatan tehnologi informasi masih sangat besar dikarenakan kemampuan mereka untuk mengikuti pelatihan yang dilakuakn olek dinas terkait hanya di ikuti olaeh orang –orang itu saja tanpa adanya kemauan yang timbul dari kehendak mereka . Rendahnya akses permodalan juga masih menjadi alasan klasik kendala pengembangan usaha. Biasanya modal bisa dinilai dari harta kekayaan yang dimiliki pelaku usaha untuk menjalankan usahanya baik modal awal maupun modal kerja. Modal awal antara lain meliputi tempat, peralatan dan perlengkapan industri, umumnya diusahakan oleh para pelaku usaha melalui berbagai cara. Adapun modal kerja dalam bentuk uang biasanya diusahakan sendiri oleh pelaku usaha dengan menabung, hutang pada teman atau keluarga. Sebagian besar pelaku usaha yang mempunyai umur di atas 50 tahun sebanyak 28,8%. Pelaku usaha dengan umur 41-50 Tahun sebanyak 29%, 31-40 Tahun sebanyak 19,3%. Jumlah pelaku 32,2usaha yang mempunyai umur dibawah 30 tahun pada umumnya merupakan pelaku usaha baru (12,9%) (Tabel 1.4). Sampel responden pelaku usaha yang berada di wilayah lokasi penelitian yang mempunyai tingkat pendidikan SD dan tidak tamat SD sebesar 3,2%, SMP (9,7%), diikuti SMA (4,3%) dan sedangkan pelaku usaha dengan pendidikan Diploma atau Sarjana sebesar 45,2%. Ditinjau dari jenis kelamin, pengelola atau pemilik usaha lebih banyak wanita (77,4%), sedangkan pria (23,6%). Sebagian pelaku usaha mendapatkan pelatihan pengelolaan usaha seperti dari pemerintah daerah dan dari perbankan (6,5). Tabel 1.4 Profil Responden Pelaku Usaha No. 1 2 3 4 ProfilPespondenPelakuusahaIndustri F(N=31) Persen (%) < 30 Tahun 4 12,9 31 – 40 Tahun 6 19,3 41 – 50 Tahun 9 29,o > 50 Tahun 12 28.8 Total 31 100 SD, Tidak Tamat SD 1 3,2 SMP 3 9,7 SMA 13 4`,9 Diploma, Sarjana 14 45,2 Total 31 100 Umur Pendidikan Jenis Kelamin Pemilik Usaha Wanita 24 77,4 Pria 7 22,6 Total 31 100 Tidak 2 6,5 Ya 29 93,5 Total 31 100 Pelatihan Sumber : diolah dari data kuesioner (2014) Peran pemilik usaha UMKM Batik sangat dominan dalam mengelola usaha baik dalam mengawasi produksi, melakukan pemasaran dan pengambilan keputusan. Pada umumnya industri kecil mempunyai karakteristik organisasi yang sederhana, tidak ada pedoman, tidak mempunyai standar operasional prosedur, tidak mempunyai pedoman pamasaran yang baku. Kebanyakan usaha dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. 4.2 produksi 4.3 kelembagaan Kelembagaan yang terbentuk dalam pengrajin Batik adalah kelompok usaha yang dilakukan dalam wadah lingkungan tempat mereka tinggal yang dibentuk berdasarkan inisiatif dari kelompok usaha batiik ,yang berfungsi sebagai forum diskusi .Kelompok ini juga berfungsi sebagai wadah untuk menjalankan aktivitas usaha mereka dan berusaha untuk memajukan anggota kelompok. Kelembagaan lain yang terbentuk adalah koperasi usaha yang berfungsi sebagai wadah untuk beraktivitas dalam menjalankan usaha serta berharap mendapatkan informasi dan pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah .Namun koperasi ini belum berjalan secara optimal untuk dapat mendukung aktifitas para pengrajin.Dengan keberadaan kelembagaan yang belum optimal ini maka pengrajin tidak dapat memiliki kekuatan kekuatan yang mampu bersaing dengan produk – produk batik lainnya seperti dari pekalongan ,solo maupun yogya yang berada didaerah Jawa Tengah . Keberadaan koperasi harusnya dapat dioptimalkan pemanfaatannya karena dapat membantu dalam aktivitas pelatihan ,pendampingan ,akses pasar,inovasi agar mampu bersaing dan berkompetitif dengan daerah-daerah lain yang hampir semua wilayang yang ada di Indonesia memiliki kerajinan batik ataupun tenun yang diharapkan mampu menjadi identitas suatu daerah terteentu .Persaingan dengan negara-negara lain juga menjadikan ancaman buat pengrajin – pengrajin lokal .apabila meraka tidak berusaha menunjukan ke unik suatu produk yang dihasilkan , serta kwaltas produk yang bagus ,maka mereka tidak mampu bersaing dengan pasar non lokal apalagi menembus pasar dunia akan semakin sulit karena kalah bersaing dengan daerah atau negara lain. 4.4 sumber daya manusia Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam produksi dan melakukan kegiatannya .Tingkat pengetahuan dan ketrampilan pengrajin batik masih sangat beragam.melihat dari latar belakang pendidikan para pengarajin Batik di kabupaten rembang rata-rata sudah dikelola oleh mereka yang sudah memiliki tingkat pendidikan SMA dan Diploma / Sarjana hal ini menunjukan apabila di daerah tersebut dibentuk suatu kelembagaan yang mendapat dukungan dari pemerintah yang kuat maka masyarakat memiliki kemampuan untuk dapat menerima nya dengan baik .Keberadaan mereka yang memperoleh pelatihan dari pemerintah maupun perbankan baru 6,5% hal ini menunjukan distribusi penerapan pelatihan dan akses informasi yang diberikan oleh pemerintah belum merata.Kurangnya motivasi dalam ikut pelatihan dari dinas terkait mengakibatkan pengetahuan dan kemampuan untuk berkompetitif yang lebih luas lagi sangat kurang.Tingkat pengetahuan yang rendah terhadap standar kwalitas dan harga pada akhirnya membuat pengrajin penjual selalu mengandalkan pasar dari lokal saja. Upaya dari dinas UMK dan dinas perindustrian untuk meningkatkan pegetahuan dan akses informasi dengan pengrajin sudah bertambah ,program-program penyuluhan ,pelatihan dan akses permodalan dengan pengutan kapasitas kelompok dan kelembagaan dilakukan dengan harapan kesadaran para pengrajin untuk menambah ilmu pengetahuan dan mengatasi masalah permodalan dapat terselesaikan. Dampak dari beberapa program yang dilakukan oleh pemerintah hingga kini masih ada kemalasan dari pengrajin untuk aktif dan paertisispasi dengan program – program pemerintah . Margin keuntungan yang kecil akan memberikan kemalasan juga kepada pengrajian untuk lebih giat berproduksi ,pengetahuan yang sempit menghambat mereka untuk melakukan inovasi dan menggali kreativitas ,peningkatan kwalitas perlu dilakuakn agar kemampuan mereka bersaingan dengan daerah lain ataupun negara lain besar .Sehingga orenasi perdagangan mereka bukan hanya didalam pasar lokal,tetpi mampu bersaing dengan daerah lainnya tanpa menghilangkan keunikan yang dimilikinya. 5.Kesimpulan 1. UMKM batik untuk bersaing di pasar lokal, domestik maupun di pasar global tidak hanya dapat mengandalkan kemampuan produksi yang mangakar pada tradisi sebagai sumber keunikan lokal, subsidi permodalan, bantuan akses pasar, maupun pelatihan jangka pendek, namun harus mempunyai efisiensi skala ekonomi, memiliki kualitas sumberdaya kompeten di bidangnya, mandiri serta mempunyai brand yang kuat di pasar lokal dan global. Di sisi lain, skala ekonomi membuat UMKM tidak efisien untuk adopsi teknologi, akses infrastruktur, membangun brand, membayar professional (seperti: manajer, akuntan, desainer, riset dan development), sehingga menjadi kendala untuk kompetitif dalam jangka panjang. UMKM harus mengatasi kendala efisiensi skala ekonomi dengan koperasi/kelompok usaha baik dalam kluster maupun jaringan bisnis, membangun aliansi vertikal dalam kelompok usaha berelasi, atau memperkerjakan agen baik melalui akuisisi sumberdaya dan berbasis kontrak. 2. Pengembangan UMKM CENTER merupakan show room produk-produk UMKM batik untuk meningkatkan peran wirausaha batik dalam akses pasar, inovasi desain produk, mutu, dampak lingkungan dan bantuan permodalan. 3. Pemerintah daerah dapat menyediakan sistem insentif dan pembinaan untuk memacu pengembangan pelaku usaha baru untuk akses pasar, pengembangan inkubator teknologi dan bisnis, serta pemberian dukungan pengembangan kemitraan antar usaha kecil. DAFTAR PUSTAKA Asia Foundation dan Yayasan Indonesia Forum (1998). Industri kecil Menengah: Tantangan dan Alternatif Jalan Keluar. The Asia Foundation and AKATIGA (1999). The Impac Of Economic Crisis on Indonesian Small Medium Enterprises. Agunan P Samosir, 2000, Analisis Faktor – Faktor Penghambat UKM Produsen Eksportir dan UKM Indirect Eksportir di Subsektor Industri Keramik dalam Melakukan Ekspor, Yogyakarta, Biro Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Departemen keuangan. Amstrong Harvey and Jim Taylor, 2000, Regional Economics and Policy (Third Edition), New York. Anderson Dennis, 2002, Small – Scale Industry in Developing Countries: A Discussion of the Issues, World Development 10 (11). Alters Theo and van Mark Ronald, 1986, The Regional Development Potensial of SMEs: A European Perspective, Routledge. Badan Pusat Statistik, 2000, Industri Kecil dan Menengah di Indonesia, Berita Resmi Statitik No.05/01/Th.X.2 Januari 2000 Badan Pusat Statistik, Hasil Pendaftaran (Listing) Perusahaan/ Usaha Sensus Ekonomi 2006, Berita Resmi Statitik No.05/01/Th.X.2 Januari 2007 Bank Dunia (2003) Industrial Policy-Shifting into High Gear, Laporan Bank Dunia 2003 Baumol, W. (1968). Entrepreneurship in economic theory. American Economic Review Papers and Proceedings,64–71. Biggs T and J. Oppenheim, 1986, What Drives The Sizes Distribution of Firm in Developing Countries? EEPA Discussion Paper No 6 HID, Harvard University Becchetti dan Trovato (2002) The Determinants of Growth for Small and Medium Sized Firms: The Role of the Availability of External Finance, Small Business Economics, 19 (2) , p. 291 – 306 Biro Pusat Statistik, 2002, Tabel Input – Output Jawa Tengah 1995, Semarang. Blaum, J. Robert, Edwin A Locke dan Ken G Smith, 2001. A Multidimensional Model of Venture Growth. Academic Management Journal. Vol. 44 No. 2, 292-303 Budiono, 1992. Ekonomi Mikro. Seri Sinopsis PIE No. 1, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM -------------, 2000, Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM Cornelis Rintuh dan Miar, 2003, Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat, Yogyakarta, Fakultas Ekonomi Gadjah Mada. Carland James W and Joann C. Carland, The Exportation of the American Model of Entrepreneurship: Realty or Illusion? A Comparative Trait Study of American and Finnish Entrepreneurs, Western Carolina University Cullowhe, NC 28723.