Menyambut Fajar Menyingsing Teori Sosial Berba

advertisement
Menyambut Fajar Menyingsing
Teori Sosial Berbasis Kompleksitas
Hokky Situngkir
Department of Computational Sociology
Bandung Fe Institute
e-mail: [email protected]
Makalah pengantar disampaikan dalam diskusi yang diadakan atas kerja sama
Bandung Fe Institute (BFI) dengan Center for Strategies and International Studies (CSIS)
Jakarta, 5 Juni 2003.
Menyambut Fajar Menyingsing Teori
Sosial Berbasis Kompleksitas
"I am convinced that the nations and people who master the new sciences of complexity
will become the economic, cultural, and political superpowers of the next century”
Heinz Pagels
1. Pendahuluan: Mengapa Ilmu Kompleksitas?
Kompleksitas merupakan kajian atau studi terhadap sistem kompleks. Kata
‘kompleksitas’ berasal dari kata Latin complexus yang artinya “totalitas” atau “keseluruhan”;
sebuah ilmu yang mengkaji totalitas sistem dinamik secara keseluruhan (Dimitrov, 2003).
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa sebuah sistem dikatakan kompleks jika sistem itu
terdiri dari banyak komponen atau sub-unit yang saling berinteraksi dan mempunyai perilaku
yang menarik, namun, pada saat yang bersamaan, tidak kelihatan terlalu jelas jika dilihat
sebagai hasil dari interaksi antar sub-unit yang diketahui (Parwani, 2002). Mungkin bagi kita
terasa janggal, apalagi dengan kata “menarik” dan “jelas” pada definisi di atas. Bruce
1
Edmonds (1999) dalam disertasinya menawarkan definisi kompleksitas yang lebih integratif
sebagai sifat dari sebuah model yang membuatnya sulit untuk memformulasikan perilaku
keseluruhan dalam representasi bahasa yang ada, bahkan jika dengan informasi yang
lengkap tentang komponen-komponen dan inter-relasi di dalamnya. Dalam adaptasi dalam
ilmu sosial, Pavard dan Dugdale (2002) memberikan definisi bahwa sistem kompleks adalah
sistem yang sulit, yang tidak mungkin untuk membatasi deskripsi tentang sistem tersebut
dengan beberapa parameter atau variabel penyusunnya tanpa kehilangan hal fungsional dan
esensialnya secara keseluruhan.
Beberapa definisi telah diberikan untuk mengenali kompleksitas dengan sifat
dinamika non-liniernya. Namun secara singkat kita dapat mengatakan bahwa kompleksitas
adalah sifat dari sistem kompleks; di mana sistem kompleks adalah sistem yang sulit karena
disusun oleh komponen-komponen penyusun yang saling berinteraksi satu sama lain yang
menghasilkan faktor-faktor global sistem yang membrojol (emergent ) dalam dinamika
evolusionernya. Dalam hal ini kajian kompleksitas menjadi sangat dekat dengan biologi dan
dinamika non-linier. Ia dekat dengan biologi karena memang sebagian besar modelnya
dibangun dengan inspirasi model-model dalam biologi. Ia dekat dengan dinamika non-linier
karena kita berbicara soal sistem yang dinamik, tak tertebak dan tak pasti, yang memenuhi
sifat-sifat ketidaklinieran sistem. Lebih jauh sistem kompleks merupakan sistem yang
berusaha dilihat secara holistik. Melihat sistem sosial sebagai sistem kompleks berarti melihat
sistem sosial dalam dinamikanya secara evolusioner dan sifat-sifat ketidaklinierannya yang
alami. Dengan kata lain, kita melihat sistem sosial secara holistik dan tidak lagi tersekat -sekat
dalam kategorisasi ilmu warisan lama dalam ruang ilmu yang spektral yang disebut
interdisipliner (Permana, 2003). Dengan ilmu kompleksitas kita belajar bagaimana melihat
ketidakpastian, ketidakstabilan, dan ketidakmungkinan peramalan sistem merupakan hal
yang esensial bagi proses kreatif alam termasuk sistem sosial yang kita hidupi sehari-hari.
Kompleksitas ini sendiri sebagai sebuah bagian dari sisi keilmuan saat ini tidak tepat
lagi berada dalam sebutan “teori kompleksitas”. Kajian kompleksitas lebih tepat disebut
sebagai ilmu kompleksitas (Edmonds, 1999, hal 211), karena:
o Kajian kompleksitas menggunakan teknis formal yang memang baru secera
komprehensif (seperti automata, model topologis, jejaring saraf, dan sebagainya)
o Berkenaan dengan sistem di mana perilaku yang hendak diamati muncul secara
evolusioner berdasarkan dinamika sistem. Secara epistemologis ia memiliki beberapa
1
Kutipan ini dilakukan atas izin penulisnya, Bruce Edmonds (1999).
Halaman 2 dari 22 halaman
kaidah pengamatan yang melibatkan beberapa landasan ilmu dengan kategorisasi
lama.
o Cenderung menggunakan teknik pemodelan yang meramalkan atau menjelaskan
sistem dalam orde dua atau lebih (sifat non-linier). Memang disadari bahwa tidak
mungkin dilakukan peramalan (prediksi) terhadap kondisi masa depan, namun teknik
matematis yang digunakan dapat menunjukkan beberapa karakter statistik atau
mengungkapkan aspek kualitatif dari proses yang hendak didekati.
Makalah ini akan memberikan gambaran tentang penggunaan ilmu kompleksitas
dalam mendekati permasalahan sosial. Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa ilmu
kompleksitas dalam mendekati sistem sosial tidak bersifat substitusi yang mengeliminasi
sistem ilmu yang telah lebih dulu mendekatinya. Ilmu kompleksitas bertugas memberikan
ruangan inter-disipliner bagi penelaahan fenomena sosial dan komunikasi dengan
pendekatan konvensional tentu sangat diperlukan. Makalah ini akan dibagi dalam beberapa
bagian.
Bagian pertama akan menjelaskan fenomena kompleksitas sebagai daerah kritis tepi
chaos (edge of chaos) dan sistem yang berada di daerah ini bersifat mengatur diri sendiri
2
(self-organizing) serta bagaimana sistem tersebut ber-evolusi secara spasial dan temporal
sebagai sistem yang dinamis dan adaptif – jauh dari kondisi ekuilibrium. Bagian kedua akan
berbicara tentang sifat membrojol (emergent) dalam sistem sosial yang dipandang sebagai
sistem kompleks dan adaptif (complex adaptive system) dan bagaimana ilmu kompleksitas
mendekati sistem sosial tersebut. Bagian ketiga akan mengupas masyarakat buatan (artificial
society), bagaimana membentuk simulasi komputasional untuk tujuan ini. Bagian keempat
akan mengupas beberapa contoh sederhana penggunaan konsep dalam ilmu kompleksitas
untuk mendekati sistem sosial yang telah pernah dilakukan dan kemungkinan pengembangan
lebih lanjut. Pada bagian terakhir diberikan hal-hal yang menjadi diskusi hal-hal yang
berkenaan dengan sistem sosial dengan pendekatan ilmu kompleksitas. Bagian apendiks
akan memberikan gambaran yang lebih detil tentang beberapa hal yang tidak dijelaskan
dalam makalah. Sebagai tambahan untuk membaca makalah ini, pembaca dianjurkan untuk
secara seksama membaca catatan kaki yang disediakan untuk mencegah distorsi
pemaknaan.
Dengan pemikiran introduktif dari makalah ini tentunya kita ingin untuk bergerak lebih
jauh tentang bagaimana ilmu sosial menjadi diperkaya perangkat analitiknya dan secara
khusus mulai berfikir bagaimana menyelesaikan berbagai permasalahan sosial kita dengan
perspektif sistem kompleks dinamik (Situngkir, 2003a).
2. Evolusi Di Tepi Chaos: Jauh Dari Ekuilibrium
“…chaos is ubiquitous,
it’s stable and has structure …”
-James YorkeDalam evolusi perkembangan fisika (ilmu alam) dikenal diskursus seperti
termodinamika dan mekanika statistik yang dibuat untuk melihat berbagai gejala alam
sebagai bentuk sistem-sistem ekuilibrium. Namun saat ini, fokus pendekatan ilmu fisika telah
beranjak ke teori sistem alam yang lebih sesuai dengan eksperimen fisika, yakni sistem
dinamik yang umumnya tidak berada dalam kondisi ekuilibrium dan sarat dengan
kenonlinieran. Kondisi alami ini yang dikenal sebagai kompleksitas. Beberapa contoh sistem
atau fenomena kompleks adalah sistem ekonomi, pasar stok, pemerintahan, cuaca, semut,
sistem sosial dan masyarakat, ekosistem, turbulensi, epidemi, sistem kekebalan, lalu lintas
jalan raya, loreng pada kulit zebra, detak jantung, dan sebagainya. Seperti dikatakan di atas,
ilmu kompleksitas berwajah inter-disipliner, karena pada dasarnya tidak ada teori
kompleksitas yang tunggal. Yang dilakukan dalam kajian kompleksitas adalah membentuk
konsep, prinsip dan piranti yang memungkinkan kita mempelajari berbagai sistem kompleks.
Ada beberapa cara untuk menunjukkan bagaimana kompleksitas (edge of chaos) berada
dalam dinamika sistem. Contoh yang terkenal dan mudah dimengerti adalah peta logistik May
2
Sifat mengatur dirinya sendiri diidentifikasi pertama kali dalam diskursus biologi sel oleh Humberto
Maturana dan Fransesco Valera (1992) sebagai sifat sel yang mampu memproduksi bagi kebutuhan
dirinya sendiri. Sifat ini disebut mereka sebagai autopoietk . Hal ini penting karena telah menjadi
populer dalam diskusi evolusi sistem dinamik yang dikatakan memiliki sifat autopoietik.
Halaman 3 dari 22 halaman
(Schuster, 1984, Elert, 2000) dan automata selular (Wolfram, 2002, Mitchell et. al., 2003).
3
Dalam peta logistik , kita dapat melihat laju pertumbuhan populasi dengan parameter kendali
r. Hal ini dengan jelas digambarkan pada gambar 1.
Pada gambar 1 terlihat bagaimana pertumbuhan dengan parameter kendali r. Pada titik
r=3.57 terjadilah situasi kompleks, peralihan dari keteraturan ke ketidakteraturan, sebuah
kondisi yang seolah acak (seemingly random). Secara sederhana dalam peta logistik
ditunjukkan urut -urutan perubahan sistem:
Fixed point à Periodic à “complex” à Ergodic (disorder)
Gambar 1
Peta logistik yang menunjukkan posisi kondisi kompleks di tepi chaos. Letak sistem yang kompleks ada
di antara sistem yang stabil (order) dan sistem yang tidak stabil (disorder).
Inti dari teori chaos adalah adanya similaritas yang dalam bahasa dan proses
teknisnya kita lakukan iterasi terhadap sebuah formulasi aljabar yang telah kita rumuskan
pada tahapan analisis sebelumnya. Pada analisis chaotik, hal yang sangat penting adalah
3
Peta yang menunjukkan pertumbuhan populasi dalam lingkungan yang terbatas. Jumlah populasi
makin bertambah dengan cepat ketika jumlah populasinya masih jauh dari daya dukung lingkungan,
tetapi makin melambat ketika sudah mendekati daya dukung lingkungan. Bentuk sederhana dari peta
logistik adalah: Jumlah populasi tahun depan sama dengan konstana r dikali jumlah populasi skrg dikali
(1-jumlah populasi tahun skrg), atau
x n +1 = rx n (1 − x n )
Faktor pembatas/daya dukung lingkungan pada peta logistik di atas adalah 1. Ketika xn jauh dari daya
dukung lingkungan, artinya jauh lebih kecil dari nilai xn , maka nilai (1– xn ) cukup besar sehingga
tingkat pertambahan xn juga makin besar, r(1 – xn ). Namun ketika jumlah xn mendekati daya dukung
lingkungan, mendekati angka 1, maka nilai (1 – xn ) mendekati 0, sehingga memperlambat pertumbuhan
xn .
Halaman 4 dari 22 halaman
4
kondisi awal (initial condition) dan sensitivitas sistem kepada kondisi awal tersebut . Kondisi
awal tadi akan mengalami dinamika oleh adanya attractor, yang akan mendinamisasi kondisi
tadi sedemikian. Dalam kondisi chaos (disorder) kita mengenal strange-attractor yakni
attractor yang tidak memiliki fixed-points dalam trayektori dinamikanya.
Dalam pemodelan automata selular hal ini dapat terlihat lebih jelas lagi. Stephen
Wolfram memberikan 4 tipe klasifikasi pada automata selular 1-D. Hal ini digambarkan pada
gambar 2, yaitu:
Kelas Pertama, automata selular yang seluruh konfigurasi inisialnya langsung berubah dan
hilang pada beberapa iterasi tertentu saja. Sistem berubah dengan secara fixed.
Kelas Kedua, automata selular yang seluruh konfigurasinya memiliki siklus periodik, namun
perubahan periodik ini masih tergantung kepada konfigurasi awal. Pola yang dihasilkan
adalah pola yang sama dan berulang terus setelah beberapa iterasi awal. Sistem berubah
secara periodik.
Kelas Ketiga, automata selular yang seluruh konfigurasi awalnya berubah secara chaotik.
Pengertian Wolfram untuk chaotik di sini adalah perilaku yang chaos dan tak dapat diprediksi
dari awal hingga akhir iterasi). Sistem berubah secara ergodik artinya memiliki similaritas dan
chaotik yang sangat sensitif pada kondisi awal.
Kelas Keempat, automata selular yang konfigurasi awalnya berubah hingga menghasilkan
terlokalisasi kompleks mengatur dirinya sendiri (self-organized).
Gambar 2
Empat jenis klasifikasi Wolfram untuk automata selular. Kelas I automata ber-evolusi
ke titik fixed, Kelas II berevolusi ke batas periodik, Kelas III ke batas ergodik, dan
Kelas IV menghasilkan panjang transien yang besar
Christopher Langton, programer peneliti di Santa Fe Institute, menemukan hal yang
menarik di sini bahwa ternyata sistem automata selular yang kompleks terjadi pada saat
faktor λ tertentu di antara periodik dan ergodik (Mitchell et. al., 1993). Sistem kompleks (kelas
IV) berada di antara kelas II dan kelas III. Sehingga urutan sistem menjadi:
Kelas I à Kelas II à “Kelas IV” à Kelas III
4
Ini merupakan sifat yang sangat penting dalam teori chaos. Hal ini pertama kali ditemukan oleh
Edward Lorenz, seorang fisikawan dan ahli cuaca Amerika Serikat. Ia menemukan bahwa pembulatan
hanya beberapa desimal saja di awal perhitungan peramalan cuaca telah mengakibatkan kesalahan
prediksi cuaca sangat besar setelah beberapa ratus kali di-iterasi dalam simulasi cuaca. Itulah sebabnya
timbul pemeo yang mengatakan, “kepakan sayap kupu-kupu di pantai Amerika Selatan dapat
mengakibatkan badai tornado di Texas”. Akibatnya timbullah ketakutan ilmuwan empiris untuk
melakukan kuantifikasi dalam risalah analitik mereka, karena kesalahan pembulatan dapat berdampak
luar biasa besar (untuk penjelasan non-matematis dapat dilihat di (Gleick, 1987). Perhitungan untuk
mengukur dampak chaotik sistem ini dihitung oleh Lyapunov (Schuster, 1984) dengan konstanta
Lyapunovnya.
Halaman 5 dari 22 halaman
Dalam interpretasi Langton pada workshop “Kehidupan Buatan” 1987, hal ini juga terjadi
pada berbagai sistem alam (Waldrop, 1993, hal. 234). Dalam sistem dinamik,
Keteraturan à “kompleksitas” à Chaos
dalam fisika bahan,
Padat à “Transisi Fasa” à Fluida
dalam komputasi,
Halting à “Undecideability” à non-halting
Dan dalam kehidupan,
Terlalu statis à “hidup/intelligence” à Terlalu berderau
Transisi fasa pada diskursus fisika bahan merupakan bentuk daerah tepi chaos
5
(kompleksitas) yang menunjukkan dan menerangkan keumuman distribusi power law yang
menunjukkan bahwa alam (termasuk sistem sosial) memiliki spesifikasi daerah tepi chaos
atau karakter kemampuan mengatur diri sendiri secara kritis (self-organized criticallity).
Dalam pemrograman komputer kita mengetahui bahwa sistem pemrosesan program berjalan
berada di wilayah antara halting dan non-halting. Hal ini sesuai dengan teorema
undecidability Turing yang mengatakan “…tak peduli secerdas apapun anda, akan selalu
terdapat algoritma yang melakukan suatu hal yang tak dapat anda ramalkan sebelum
program dijalankan. Satu-satunya cara untuk mengetahui apa yang dihasilkan algoritma
6
tersebut adalah dengan menjalankan algoritma tersebut dalam komputer…” Dari hal-hal ini
kita mendapatkan definisi (heuristik) baru tentang kehidupan (life) atau sistem cerdas
(intelligent system) sebagai sistem yang memiliki kemampuan mengatur dirinya sendiri antara
terlalu statik dengan terlalu berderau (too noisy).
Gambar 3
Menunjukkan urutan kondisi sistem dinamik dari fixed, periodik, chaotik,
dan rezim transisi “kompleks”.
5
Distribusi power-law adalah distribusi yang terjadi pada sistem kritis yang mengatur diri sendiri (selforganized criticallity). Fenomena ini diungkap pertama kali dalam kajian kompleksitas oleh Per Bak
(Waldrop, 1993) dengan menunjukkan perilaku power-law bongkahan es yang menyatakan, “frekuensi
rata-rata dari ukuran bongkahan es adalah berbanding terbalik dengan pangkat tertentu dari
ukurannya”. Hal yang menakjubkan adalah bahwa ternyata distribusi ini tak hanya ditemui pada fisika
material tapi juga pada distribusi gempa bumi, besar kota-kota di dunia, dan sebagainya. Jika N(E)
adalah rata-rata jumlah gempa bumi (untuk ukuran zona tertentu atau seluruh bumi), dan E
merepresentasikan energi gempa bumi tersebut, maka secara empiris ditemukan bahwa terdapat
hubungan N(E) = E-b dengan b adalah konstanta b ~ 1. Hal ini menjadi karakter umum yang diterima
secara empirik dan mengejutkan oleh para ilmuwan.
6
Hal ini sebagai diparafrasekan Chrisopher Langton dalam (Waldrop, 1993, hal. 234).
Halaman 6 dari 22 halaman
Dari sini kita dapat melihat dengan jelas bagaimana sistem kompleks adalah sistem
yang jauh dari kondisi ekuilibrium atau tetap. Sistem kompleks memiliki umpan balik untuk
terus berubah dan berpropagasi. Sistem kompleks memiliki kemampuan dan pola untuk
mengatur dirinya sendiri. Inilah yang mengatur sistem di alam semesta dan dalam hal ini
termasuk sistem sosial kita. Ada umpan-balik positif (positive feedback) yang mengatur pola
sistem alam kita termasuk sistem sosial. Mungkin mirip dengan istilah klasik Adam Smith
bahwa sistem ekonomi diatur oleh tangan-tangan tak kelihatan (invisible hand). Sistem alam
dan sistem sosial memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri untuk selalu hidup dan
berada di tapal batas keteraturan dan chaos.
Sekarang pertanyaan kita tentu lebih terarah. Bagaimanan kita memandang sistem
sosial yang kompleks dan adaptif itu? Apa landasan epistemologisnya? Bagaimana
metodologi untuk implantasi sistem teoretis ini? Jika pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab
dengan baik, tentunya ilmu sosial akan menjadi sangat diperkaya dan diperkuat dalam
kerangka memahami sistem sosial kita yang memang terasa sangat membingungkan ini…
Gambar 4
Urut-urutan kelas automata selular Wolframian mulai dari kelas I hingga kelas IV.
Terlihat bahwa daerah kompleks (kelas IV) berada di antara rezim periodik dan
chaotik. Berdasarkan hasil percobaan nilai λ 0,27 sebagai nilai kritis rezim
3. Sistem sosial sebagai Sistem Kompleks
…the world will have to be governed pluralistically or not at all…
-Murray Gell-MannMengapa sistem sosial harus dianggap sebagai sistem kompleks? Sistem sosial
terdiri atas individu-individu yang menyusun sistem sosial tersebut. Tiap-tiap individu tentulah
sangat unik. Masing-masing manusia memiliki keinginan sendiri, sifat-sifat sendiri, dan
memiliki cita-cita sendiri. Jika kita mencoba berandai-andai bahwa kita bisa mengetahui
semua sifat dan hal-hal inheren dalam diri tiap manusia yang menyusun sebuah masyarakat,
apakah kita akan bisa menebak seperti apa kira-kira sifat masyarakat tersebut? Inilah
sebabnya mengapa sistem sosial harus dianggap sebagai sistem kompleks, karena terdapat
hubungan makro-mikro dalam level-level hirarkis masyarakat tersebut.
Hal ini pula yang mendasari adanya kategorisasi dalam teori sosial. Ada yang bersifat
makro atau kolektivisme dan ada yang bersifat mikro atau individualisme (Sawyer, 2002). Hal
ini wajar karena memang kita sering merasa bahwa suatu teori sosial terasa terlalu
7
8
individualistik secara ontologis atau individualistik metodologis sementara ada yang terasa
Halaman 7 dari 22 halaman
terlalu makro atau bersifat kolektif yang meng-observasi dalam terminologi struktur
masyarakat dan sistem sosial itu sendiri – jarang untuk berbicara dalam level mikro atau
individual. Yang pertama sering ditemui contohnya pada karya-karya Emile Durkheim, para
psikoanalis seperti Sigmund Freud, Jaques Lacan, atau para simbolik-interaksionis,
sementara yang kedua dominan terlihat pada karya-karya seperti Talcott Parsons, Randall
Collins, dan sebagainya. Kajian tentang hal ini, dan bagaimana teori strukturasi Anthonny
Giddens dimodifikasi untuk menjelaskan lebih jauh dapat dilihat pada Situngkir (2002 dan
2003b). Sebagaimana telah dibahas pada bagian awal tulisan ini, karakter sosial yang
diamati oleh seorang ilmuwan sosial pada dasarnya adalah hal-hal makro yang membrojol
dari interaksi yang terjadi di antara individu-individu penyusun masyarakat tersebut.
Sebenarnya apakah faktor yang membrojol tersebut dalam sistem sosial?
9
Formalisme berikut akan memberikan gambaran :
Misalkan terdapat sejumlah struktur sistem sosial Si (untuk semua i ∈ J, di mana J
adalah himpunan indeks sistem sosial) yang masing-masing merupakan sistem
1
sosial yang kita observasi. Misalkan proses observasi lebih jauh Obs untuk
mengobservasi sifat struktur sosial, dan kemudian sekumpulan interaksi sosial Int di
dalam struktur sosial yang kita hendak observasi. Maka, untuk himpunan {S 1} yang
tersusun atas struktur sosial yang hendak kita amati, struktur baru yang kita dapati:
2
1
S = R(S i, Obs (S i), Int)
di mana R adalah konstruksi elemen-elemen sosial. Struktur sosial baru yang
2
dihasilkan kita nyatakan sebagai struktur orde dua, S , karena sifat-sifatnya hanya
2
bisa dilihat dengan proses Obs . Elemen primitif dari struktur baru adalah termasuk
1
juga struktur orde-satu, S i. Dengan menggunakan operasi himpunan biasa yang
menyatakan bahwa elemen x juga dapat dilihat sebagai himpunan bagian {x} – kita
dapati elemen dari {S i} yang juga dapat dilihat sebegai struktur orde-dua dengan
2 1
Obs (S i). Dalam notasi ini kita dapat mendefinisikan sifat membrojol sebagai:
2
2 2
P adalah sifat membrojol dari S jika dan hanya jika P ∈ Obs (S ),
2 1
tetapi P ∉ Obs (S i) untuk semua i.
Dalam hal ini kita bisa mengatakan bahwa untuk dapat melihat kebrojolan dari sebuah sistem
(apapun termasuk sistem sosial) ada 3 hal yang perlu diperhatikan, yakni:
• Entitas primitif yang membentuk sistem di mana kebrojolan muncul.
• Proses interaksi antara entitas primitif ini
• Mekanisme yang muncul secara makro akibat interaksi tersebut.
Dalam sistem sosial, komponen penyusunnya adalah individu-induvidu manusia.
Dengan kata lain kita tidak akan dapat mengetahui sifat sistem sosial hanya dengan
pengetahuan yang lengkap tentang sifat-sifat dari tiap agen penyusun sistem sosial tersebut.
Hal ini karena interaksi antara agen penyusun sistem sosial menghasilkan pola lain yang
membrojol dalam sistem. Secara sederhana dapat didefinisikan bahwa faktor membrojol
adalah efek dalam skala besar dari agen-agen yang berinteraksi secara lokal di dalam sistem
(Axelrod, 1997, hal.4). Dari sinilah kita bisa mengatakan bahwa sifat kolektif dari sebuah
komunitas adalah sama dengan sifat individual agen ⊕ bentuk interaksi di antara mereka.
Jadi, meskipun sistem sosial merupakan sistem yang dibentuk oleh komponen sosial
(individu), sistem sosial tidak bisa direduksi ke dalam sifat-sifat dan hukum-hukum yang
berlaku secara lokal pada individu (Sawyer, 2003).
Apa yang diformalkan di atas sebagai definisi dari kebrojolan dalam sistem sosial
pada dasarnya merupakan landasan epistemologis dari beberapa teoretisi ilmu sosial selama
berabad-abad dengan kadar yang tentunya tak sama. Ada yang lebih terasa pendekatan
makronya dan ada yang lebih kental dengan pendekatan mikro. Dari sini kita berharap bahwa
ilmu kompleksitas yang memandang sistem sosial sebagai sistem yang kompleks dapat
memberikan angin segar dengan konsep “kebrojolan” yang menjembatani kedua
ketimpangan teori sosial ini sehingga kita dapat memiliki teori sosial yang lebih holistik.
7
Inidivualisme ontologis merupakan landasan epistemologis teori sosiologi yang mendasarkan diri
pada individu manusia sebagai pusat yang ada, sifat-sifat dan obyek sosial masyarakat hanyalah bentuk
kombinasi dari partisipasi individual di dalamnya.
8
Individualisme metodologis merupakan landasan epistemologis yang berpendapat bahwa tiap
kejadian sosiologis dapat diterangkan secara individual dan setiap hukum-hukum sosial dapat
diterangkan dalam terminologi individual.
9
Dimodifikasi dari Smith et. al., 2003.
Halaman 8 dari 22 halaman
Dari sini kita beranjak untuk melihat bagaimana kebrojolan merupakan jembatan
antara pendekatan pada level mikro dan pendekatan pada level makro. Pada level makro,
teoretisi sosial memberikan hukum-hukum yang mengatur bagaimana sistem sosial
berperilaku, sedangkan pada level mikro teoretisi sosial mengobservasi bagaimana individu
penyusun sistem sosial saling berinteraksi satu sama lain secara sembarangan.
Sawyer (2002) mencoba menunjukkan bagaimana analisis pada level makro
(kebrojolan) memiliki hubungan dengan analisis pada level mikro. Pada level makro, kita bisa
mengatakan misalnya bahwa sebuah perilaku sosiologis S1x menyebabkan perilaku
sosiologis S2x, dengan x adalah bentuk komunitas atau masyarakat yang terlokalisasi
sedemikian rupa untuk memudahkan analisis. Baik S1x dan S2x harus diingat terjadi oleh
interaksi yang acak oleh individu-individu yang menyusunnya (misalkan I1x, I2x, …Inx). Hal ini
dapat kita gambarkan sebagai:
Gejala Kolektif (Makro):
S1 x
Gejala Individual (Mikro):
I1 x (atau) I2 x (atau) I3 x (atau) … In x
S2 x
I* 1 x (atau) I* 2 x (atau) I* 3 x (atau) … I* n x
Dari sini kita dapat melihat ketidaklinearan sistem sosial yang kita hadapi dan bagaimana
ilmuwan sosial mendapatkan keuntungan untuk tidak terlalu bersifat kolektif dan reduktif dan
tidak terlalu bersifat individualistik dan naif.
Dengan ini kita dapat melihat bahwa apa yang kita sebut sebagai data statik berbasis
waktu yang menjadi acuan pokok oleh pendekatan konvensional sulit untuk diterima melihat
ketidaklinieran sistem sosial. Hanya pendekatan yang non-linier dapat menjelaskan
fenomena yang non-linier. Pendekatan yang hanya melihat fenomena membrojol yang makro
seperti variabel-variabel agregat dalam ekonomi (Tesfatsion, 2002 dan Keen, 2002), tipikaltipikal bentuk masyarakat (Adorno et.al., 1976), norma dan moral yang berkembang dalam
masyarakat, tanpa memperhatikan bagaimana sistem sosial tersebut terbentuk pada
dasarnya naif dan bukan tak mungkin terlindas kegenitan literatur-literatur posmodernisme
yang memang mendekonstruksi secara total analisis sosial klasik (Bogard, 1990). Sekarang
adalah saatnya membangun teori sosial yang dari level bawah ke atas, dari level individual ke
level struktur sosial yang dibentuknya (Epstein dan Axtell, 1996). Pada bagian berikut kita
akan berkenalan dengan tinjauan implementatif hal ini yang disebut sebagai pemodelan
berbasis agen (PBA).
4. Masyarakat Buatan: Rekayasa Komputasional Sistem Sosial
the chessboard is the world;
the pieces are the phenomena of the universe;
the rules of the game are what we call the laws of the nature..
-T.H. Huxley Satu-satunya hal yang membuat kita mungkin bermain dalam arena ketidaklinieran
dalam ilmu kompleksitas adalah perkembangan yang pesat teknologi komputasi. Teknologi
komputasi saat ini telah mampu melahirkan sistem pemrograman yang paralel dan
terdistribusi dan hal ini sangat berguna bagi simulasi sistem sosial untuk melihat kebrojolan
dalam sistem sosial tersebut. Beberapa tool yang penting antara lain adalah automata selular
(Wolfram, 2002), analisis memetika, algoritma genetika, iterasi non-linier, jaring sosial
kuantitatif, dan pemodelan jejaring saraf buatan yang dipadukan dalam apa yang kita sebut
sebagai masyarakat buatan (artificial society).
Pendekatan sosiologis, baik ekonomi, antropologi, sosiologi, et cetera, selama ini tak
melihat manusia dalam ruang dan waktu dalam dinamikanya. Ada kecenderungan yang tak
terelakkan bahwa ilmu sosial memotret fenomena sosial dalam interpretasi angka-angka
statistik. Namun sebagai fitrah manusia, kita tentu ingin lebih memperluas horizon pandang
kita. Kita ingin memperluas khazanah daya penglihatan analitik hingga ke sistem
dinamikanya. Tentu saja ini semua saat ini dimungkinkan tatkala ilmu-ilmu alam seperti fisika,
Halaman 9 dari 22 halaman
kimia, dan biologi telah sangat mendapatkan bantuan perkembangan teknologi komputasi
yang sedemikian cepat. Secara sederhana mungkin dapat dikatakan bahwa ilmu
kompleksitas menuntut penggunaan teori-teori komputasi dalam melihat fenomena sosial.
Sebuah hal menarik adalah sumbangan yang luar biasa dari sains biologi ke dalam
analisis sosial. Harus diakui karena seringnya penggunaan model digunakan dalam analisis
sistem sosial dengan ilmu kompleksitas, ilmu sosial akan menjadi mirip dengan fisika yang
memang sejak awal kaya model matematika. Hal ini akan menjadi keliru dengan praanggapan bahwa dengan ilmu kompleksitas dalam sistem dan fenomena sosial dipandang
sebagai sistem kompleks yang adaptif dan memiliki dinamika, dan ia berevolusi; melahirkan
analisis sistem sosial yang spasial dan temporal sekaligus. Dengan kata lain, ada semangat
biologi di dalam analisis sistem sosial; bahwa masyarakat itu berkembang, tidak statis; bahwa
masyarakat itu adaptif terhadap beberapa variabel humaniora dan masyarakat. Mungkin ini
memang eranya ilmu biologi memberikan pengaruhnya pada perkembangan sains dunia
lebih dari situasi pada sejarah biologi kapanpun sebelumnya.
Namun tentu hal ini bukan berarti kita tidak mengindahkan kaidah inter-disiplinaritas
dengan keyakinan semacam itu. Ilmu kompleksitas dalam ilmu sosial tetap merupakan
sebuah entitas epistemologis yang inter-disipliner, di mana kita tidak akan meributkan apakah
suatu hal lebih dekat ke biologi, fisika, matematika, dan sebagainya. Bahkan lebih jauh kita
tidak akan melihat apakah sebuah fenomena dapat diselesaikan dengan sosiologi, ekonomi,
psikologi, manajemen, dan sebagainya. Kita akan melihat permasalahannya sebagai
permasalahan tersebut par excelence. Di sini kita akan melihat permasalahan bukan
berdasarkan sistem epistemologis yang kita miliki. Kita tidak akan menyesuaikan
permasalahan dengan bidang ilmu kita, namun kita akan membuat bidang ilmu dari
permasalahan yang ada – menarik (jika perlu secara paksa) bidang ilmu kita ke dalam sistem
permasalahan yang ada. Tentunya ini menjadi tantangan yang menyenangkan bagi mereka
yang memang menginginkan perubahan dan memiliki kecintaan kepada sains dan
perkembangannya.
Secara sederhana mungkin dapat kita katakan bahwa masyarakat buatan (artificial
societies) adalah upaya pengembangan pemrograman distribusi. Dalam teknologi dan
rekayasa kecerdasan buatan (Doran, 1997), dikenal salah satu pengembangan yang disebut
sistem multi-agen (multi agent system). Dalam sistem pemodelan ini, sekumpulan agen-agen
yang otonom beraktivitas dan berinteraksi satu sama lain secara paralel. Interaksi mereka ini
menghasilkan apa yang dikenal dengan fenomena membrojol. Di sinilah letak menariknya
sistem analisis dengan pemodelan berbasis agen, bahwa kita tidak dapat mengetahui aspek
membrojol dari interaksi antar agen meskipun pengetahuan kita tentang agen bersangkutan
telah cukup lengkap. Interaksi antar agen penyusun sistem ini menghasilkan faktor yang
membrojol, dan ini dengan kentara diperoleh dari simulasi komputasional dengan
menganggap sistem sebagai sistem kompleks yang memiliki dinamika. Sebelumnya analisis
teoretis terhadap berbagai fenomena termasuk fenomena sosial bersifat analitik, atau dengan
kata lain berdasarkan persamaan (equation-based modeling); contoh-contohnya adalah
penggunaan fungsi-fungsi utilitas dari teori pilhan rasional dan sistem dinamik makro-sosial
dan model-model organisasional atau hirarki. Dengan teknologi komputasi ini kita dikenalkan
dengan sistem pemodelan yang sama sekali baru, yakni pemodelan sistem sosial berbasis
agen (agent-based modeling) atau disingkat PBA.
Peneliti The Brookings Institution, Joshua Epstein dan Robert Axtell (1996) dalam
bukunya yang fenomenal, Growing Artificial Societies, memunculkan cara pandang baru
untuk memahami berbagai fenomena sosial. Permasalahan utama dalam memandang
permasalahan sosial adalah bagaimana mengaitkan hal-hal yang terlihat dalam pandangan
makroskopik yang muncul/membrojol dengan pola interaksi mikroskopik agen-agen dan
membentuk faktor yang muncul/membrojol itu.
Sistem sosial adalah sistem yang kompleks, dan kompleksitasnya lahir dari interaksi
antar agen yang mem-produksi atau reproduksi sistem sosial yang dilihat dalam pandangan
makro (bdk. Giddens, 1984). Apa yang selama ini dilihat secara konvensional oleh sosiolog
(dan ekonom) tradisional adalah apa yang kita sebut faktor yang muncul/membrojol itu.
Akibatnya timbullah banyak ketidakpastian (uncertainty) dalam analisis mereka dan lahirlah
sebuah ketakutan penggunaan metodologi yang bersifat kuantitatif pada mereka (Situngkir,
2003b). Ketimpangan untuk tidak menjadi terlalu makroskopik (terlalu takut dengan
kuantifikasi dan ketidakpastian dalam penjelasan analitik) dan tidak terlalu mikroskopik
(terlalu sering melakukan ekstrapolasi dalam penjelasan analitik) pada dasarnya dapat
dijawab dengan analisis pemodelan komputasional berbasis agen (PBA).
Halaman 10 dari 22 halaman
Dalam PBA tiap agen akan berinteraksi secara otonom dan interaksi mereka (yang
didefenisikan dalam rule-rule tertentu) akan membentuk sistem sosial yang dapat kita
analisis sebagai faktor yang muncul/membrojol. Rule-rule ini disusun dengan melirik pada
deskripsi yang diformalisasi dalam bentuk analisis teori permainan, automata selular, ataupun
model evolusioner seperti algoritma genetika. Semua rule yang mikro ini akan memunculkan
hal-hal seperti struktur sosial baik berupa norma, dan sebagainya yang menjadi dasar
berpijak analisis yang dilakukan.
Hal-hal yang muncul inilah yang seringkali tak dapat “dilihat” oleh analisis sosial
konvensional. Tiap agen dapat merepresentasikan banyak hal, mulai dari individu hingga
institusi. Apa yang kita analisis adalah buah dari interaksi tiap agen yang muncul setelah
iterasi dilakukan beberapa kali secara komputasional.
Dalam pendekatan ini (Epstein et al., 1996, hal.3),
“...struktur fundamental dari proses sosial dan perilaku kelompok sosial muncul
(membrojol) dari interaksi dari individu yang “beraktivitas” dalam lingkungan buatan
dalam rule-rule yang mengatur keinginan terbatas dari tiap informasi dan kapasitas
komputasional tiap agen. Kita melihat masyarakat buatan sebagai sebauh laboratorium
di mana kita “menumbuhkan” struktur sosial tertentu pada komputer – atau in silico –
dengan tujuan untuk menemukan lokal fundamental atau mekanisme mikro yang
sedemikian untuk menghasilkan struktur makro-sosial dan perilaku sosial tertentu…”
Dengan bahasa yang lebih kurang mirip, kita bisa mengatakan bahwa dengan
masyarakat buatan, kita menarik struktur dari proses sosial di dunia nyata ke dalam algoritma
komputer, kemudian melakukan “percobaan” terhadap beberapa hal yang muncul setelah kita
melakukan iterasi yang merepresentasikan proses evolusi sosial. Percobaan dan simulasi
sosial tidak mungkin kita lakukan dalam dunia nyata karena akan berakibat kepada dampak
negatif yang muncul akibat rekayasa sosial (social-engineering). Kita akan mencobakan
beberapa hal di dalam sistem pemrograman komputer dan menganalisis dampaknya. Di
sinilah letak kekuatan decision support system dari analisis ini.
Sumbangsih terbesar dari pemodelan masyarakat buatan terhadap perkembangan ilmu
sosial akan dirasakan banyak pada teori sosial yang memang memiliki karakter kekuatan
logis dan kejelasan terminologi (Sawyer, 2003). Dalam hal ini model adalah teori, dan
dikotomi terhadap kedua hal tersebut menjadi tidak perlu lagi.
Dalam konstruksi masyarakat buatan, kita akan membagi dua kategori agen, yakni
agen yang aktif dan agen yang pasif. Agen yang aktif adalah agen yang senantiasa bergerak
sedemikian dengan aturan-aturan yang merepresentasikan apa yang diinginkan oleh agen
dan tingkat inteligensi agen. Sebuah hal yang pada dasarnya baru, karena analisis sosial
konvensional yang akrab dengan pemodelan statistika biasanya menganggap agen sebagai
agen tanpa kecerdasan (zero-intelligent agent). Di sisi lain agen yang tidak aktif atau pasif
adalah agen yang berupa sumber daya dari lingkungan di mana agen aktif berkecimpung,
misalnya adalah makanan, uang, dan sebagainya, yang keberadaannya ditentukan oleh agen
yang aktif.
Pada dasarnya harus disadari bahwa mendeskripsikan agen adalah melakukan
reduksi sedemikian yang dianggap oleh analis penting dan dicurigai menimbulkan faktor
membrojol tertentu. Di sinilah letak proses paling penting dari analisis pemodelan berbasis
agen. Kesalahan pada deskripsi ini tentu akan sangat berakibat fatal bagi hasil analisis faktor
yang muncul pasca simulasi komputasional. Dengan landasan ini pula analis harus
dipersenjatai dengan pengetahuan yang cukup (pada umumnya kualitatif) terhadap fenomena
yang hendak dibangun simulasi komputasionalnya. Dengan pengertian dan pemahaman ini
harus disadari bahwa analis sosial yang menggunakan pisau analisis simulasi sosial dan
masyarakat buatan tidak lantas menggunakan analisis kualitatif yang dilakukan secara
konvensional.
5. Beberapa Implementasi
“What we are looking for in the science of complexity
is the general law of the pattern formation in non-equilibrium system throughout the
universe…”
-Stuart Kauffman-
Halaman 11 dari 22 halaman
Beberapa bentuk hasil simulasi yang dilakukan dengan menggunakan pemodelan
berbasis agen dapat dilihat dalam gambar 6. Dalam gambar tersebut ditunjukkan beberapa
hasil simulasi yang dilakukan dengan menggunakan masyarakat buatan. Gambar pertama
menunjukkan simulasi ANASAZI. Simulasi ANASAZI didasarkan pada pemodelan
sugarscape yang dikembangkan oleh J. Epstein dan R.Axtell (1996). Proyeknya bertujuan
untuk menciptakan evaluasi terhadap dunia nyata yang empiris yang prosedurnya dibangun
dari model sugarscape. Simulasi ini ANASAZI bertujuan untuk memodelkan terjadinya
budaya Anasazi di lembah Long-House yang terletak di sebelah Timur Laut Arizona antara
tahun 1000 SM hingga 1300 M. Hal ini penting secara ilmiah (Pavard dan Dugdale, 2000)
karena daerahnya yang terbatas secara topologis dan merupakan wilayah yang cukup berdiri
sendiri. Di samping itu terdapat catatan paleoenvironnmental yang kaya yang bisa
memberikna data kuantitatif yang akurat untuk produksi pertanian tahunan. Untuk kawasan
ini, data regional etnografinya pun lengkap dan basis data yang banyak untuk aktvitas
manusianya selama 2000 tahun terakhir yang didapat dari riset arkeologis.
Faktor-faktor geomorfologi,
palinologi, dan klimatologi
Rekonstruksi kuantitatif fluktuasi tahunan dari produksi
potensial di lembah = f(curah hujan, keadaan tanah, dsb.)
Antropologi (New Guinea)
Model adapatasi sosial dari
populasi: migrasi, pertambahan
jumlah penduduk
Arkeologi, geoarkeologi,
dan palaeoetnobotani
Sejarah populasi, produksi agrikultural dan fasa
migrasi
Gambar 5
Gambaran inter-displiner dari proyek Anasazi yang menghasilkan simulasi (masyarakat
buatan) yang berguna bagi riset antropologi budaya di kawasan Lembah Long House,
Arizona.
Proyek Anasazi ini terkesan sangat interdisipliner karena tujuannya adalah untuk
membentuk model yang sangat akurat. Simulasi Anasazi terdiri atas agen-agen yang
heterogen dari berbagai atribut (seperti usia, lama hidup, kemampuan untuk bermigrasi,
kebutuhan nutrisi, konsumsi, dan sebagainya), himpunan rule yang berkenaan dengan
interaksi agen terhadap lingkungannya dan sesama agen lain, serta sebuah lanskap yang
menggambarkan kawasan lembah.
Beberapa tahapan dari simulasi yang disusun berbeda-beda dibuat dengan tahapan:
1. Agen rumah tangga yang berkaitan dengan panen dan produksi satu rumah tangga
dalam masyarakat di kawasan Lembah Long-House.
2. Agen yang mengkonsumsi hasil panen.
3. Agen yang menyimpan hasil panenan untuk 2 tahun setelah panen bagi kebutuhan
konsumsi selama menunggu panen berikutnya.
4. Potensi dan kemampuan agen untuk bertahan (agen mati karena kekurangan makanan
atau usia lanjut). Dalam hal ini ia bertahan hidup dengan cara mencari lokasi lain (migrasi
individual atau keluarga) yang memiliki kondisi geografis yang baik buat pertanian (air,
kesuburan tanah, dan sebagainya).
5. Mengevaluasi kemampuan regenerasi dari agen.
Proyek Anasazi ini dijalankan dengan memperhatikan aspek konsumsi, reproduksi,
pergerakan, dan pemilihan ladang dan tempat tinggal, serta kecenderungan untuk
meninggalkan lembah Long-House. Secara historis mereka meninggalkan lembah LongHouse sekitar tahun 1300 (Dean, Gumerman, Epstein, Axtell, 1998).
Dari simulasi ini didapat banyak faktor brojol yang tidak akan dapat dari penyelidikan
konvensional, mulai dari faktor regenerasi, pola makro dan mikro sistem ekonomi, dan
Halaman 12 dari 22 halaman
seterusnya. Hal ini adalah sebuah faktor yang sangat komplementatif dari penelitian
antropologi yang bukan tak mungkin diimplementasikan di Indonesia mengingat sistem
antropologi Indonesia juga sangat kaya.
Gambar kedua adalah model simulasi sugarscape (Epstein et al., 1996) yang banyak
menginspirasi model berbasis agen. Model ini menganalisis pola konsumsi semut atas gula
yang disebar merata. Pada simulasi terlihat bagaimana perilaku semut dalam
mengeksploitasi gula yang ada. Simulasi ini menggunakan algoritma yang dijelaskan dalam
apendiks. Gambar ketiga menunjukkan simulasi moneyscape yang menunjukkan perilaku
koruptor dalam menyedot uang negara sesuai dengan jabatan ekonomi politiknya dalam
lanskap sumber daya (Situngkir, 2003c). Dan tentu saja banyak contoh simulasi sosial lain
yang dapat dilihat dalam menyelidiki berbagai fenomena sosial.
b
c
a
c
Gambar 6
Beberapa contoh masyarakat buatan dengan pemodelan berbasis agen: (a) Simulasi ANASAZI,
(b) Simulasi Sugarscape: semut dan eksploitasi sebaran gula dalam lanskap, dan (c) Simulasi
Moneyscape: koruptor yang menyedot uang negara.
Pada umumnya dikenal beberapa tipe dari analisis sosial dengan masyarakat buatan.
Namun pada dasarnya kita dapat membagi analisis dan bentuk modelnya sebagai dua model
utama, yakni model multi-agen dan model evolusioner. Model multi-agen adalah sebuah
model yang bersifat menjelaskan proses sosial yang terjadi dengan fokus analisis adalah
faktor-faktor membrojol yang terlihat baik kualitatif maupun kuantitatif di mana kecerdasan
agen biasanya tetat atau tidak berubah. Model evolusioner adalah model perilaku yang
menunjukkan kemungkinan bertambahnya kecerdasan dari agen dengan proses belajar yang
didesain (biasanya) dengan menggunakan model jejaring saraf buatan dan model algoritma
genetika. Sebagai contoh adalah model korupsi seperti dalam gambar c. Sebagai model
multi-agen ia menunjukkan dan menjelaskan bagaimana korupsi dapat mengganggu sistem
ekonomi sebuah masyarakat luas. Sebagai model evolusioner ia dapat menunjukkan titik-titik
kritis agen menjadi tidak korupsi karena sesuatu hal, misalnya jera karena hukuman, dan
sebagainya, sehingga sebagian besar agen akan bekerja efektif tanpa korupsi.
Dengan pemodelan berbasis agen (PBA) dalam analisis masyarakat buatan kita
mendapati sosiologi telah menjelaskan bagaiaman sebuah fenomena struktural makro
membrojol dari interaksi antar individu yang menyusun sebauh masyarakat. Beberapa hal
Halaman 13 dari 22 halaman
penting yang layak untuk dicatat adalah bahwa sosiologi yang seperti ini bersandar kepada
kritik dan rekonstruksi terhadap beberapa teori sosial yang sudah berkembang selama ini
yakni behaviorisme, teori pertukaran (exchange theory), dan teori pilihan rasional di satu sisi
dan di sisi lain dengan teori sosial interaksionisme simbol yang dipengaruhi oleh analisis
pragmatisme sosial dalam teori sosiologi mikro.
Kemunculan bentuk-bentuk makro dari interaksi mikro mungkin adalah sebauh faktor
yang paling menarik dalam masyarakat buatan (Sawyer, 2001). Dalam analisis masyarakat
buatan terlihat dengan jelas bagaimana fenomena dan struktur makro muncul dan bahkan
mencapai kondisi ekuilibrium dan kestabilan tertentu. Dengan perkataan lain adalah
masyarakat buatan adalah sebuah pena analisis yang ampuh bagi sosiolog untuk menjelajahi
transisi perspektif makro dan mikro dalam fenomena dan proses sosial. Secara lebih jauh,
kita akan diajak melihat bagaimana norma sosial bisa tumbuh dari agen-agen yang egois
sebelumnya (model evolusioner) dan struktur sosial bisa muncul dari interaksi agen-agen
sosial (model multi-agen).
6. Beberapa Diskusi dan Penutup
Dunia tak hanya lebih aneh dari apa yang kita yakini,
Dunia lebih aneh dari apa yang bisa kita bayangkan...
J.S.Haldane
Automata Selular, Pemodelan Jejaring Saraf, Algoritma Genetika, teori stokastik
chaos, iterasi non-linier, dan sebagainya telah mengubah wajah ilmu sosial yang selama ini
mendekam dalam sosiologi, ekonomi politik dan ekonometri, antropologi, psikologi, dan
sebagainya. Telah lahir wajah baru ilmu sosial yang lebih interdisipliner. Berbagai faktor
seperti hubungan antara pandangan makro (struktur sosial) dan pandangan mikro (struktur
kognitif) telah memberikan warna baru yang melibatkan metodologi dan epistemologi
komputasi sebagai konsekuensi dari kemajuan teknologi komputer saat ini. Masyarakat
buatan telah menjanjikan sebuah laboratorium komputasi bagi para sosiolog untuk
bereksperimen. Analisis kuantitatif dan simulasi jejaring saraf memberikan kemampuan kita
untuk memahami secara baru hakikat informasi dalam masyarakat yang luas. Ilmu Kognitif
baru menjanjikan pemahaman yang unik pada pengetahuan kita tentang diri kita sendiri
sebagai manusia yang memiliki kesadaran dan psike. Ekonometri non-linier merangsang
memberikan kaca mata baru bagi para ekonometriwan yang jenuh dengan analisis deret
waktu yang cenderung statik dengan data segudang.
Ilmu sosial jelas menjadi lebih kuat daripada apa yang bisa dibayangkan orang
beberapa dekade yang lalu. Ilmu sosial telah menempatkan ilmuwan sosial berada di balik
penguasa yang membisikkan arahan kebijakan dan keputusan yang ilmiah ke telinganya.
Ilmu sosial diupayakan tak lagi mengawang-awang dalam keterpisahan teori, model, dan
data. Koneksitas antara teori, model, dan data empirik adalah syarat mutlak bagi
pengembangan ilmu kompleksitas dalam ilmu sosial. Hal ini dikarenakan giroh dan semangat
inter-disipliner yang memang mendasari ruang geraknya.
• Self-Similarity Sistem Sosial
Sebuah atom oksigen di London dengan sebuah atom oksigen di Balikpapan
mungkin sama. Formalisme kimiawi dan kuantum di Tokyo sama saja dengan formalisme di
Cimahi. Kita bisa membangun reaktor nuklir di Chernobyl sama saja dengan kita bisa
membangun reaktor yang sama di Blitar. Tapi apakah jika kita bisa sudah pasti kita boleh
dan mungkin membangunnya dengan situasi yang sama? Tentu tidak semudah itu, karena
begitu kita berbicara soal kemungkinan dan keboleh-tidak-an, kita sudah bersentuhan dengan
ilmu tentang manusia, soal humaniora.
Manusia menyusun sistem sosial dan masyarakat bukanlah atom-atom yang
menyusun molekul-molekul. Manusia memiliki derajat kebebasan yang sama sekali lain
dengan derajat kebebasan sebuah atom. Derajat kebebasan atom dan faktor membrojol dari
interaksi antar atom dapat kita formalisasikan namun akan sangat jauh lebih sulit
memformalkan interaksi antara manusia yang membrojolkan faktor-faktor makro seperti
kemiskinan, pengangguran, lonjakan harga saham, norma sosial, dan sebagainya. Analisis
statistika menghitung faktor-faktor yang muncul, sedemikian namun tanpa ada pemikiran dan
asumsi bahwa manusia itu memiliki tingkat kecerdasan. Fluktuasi elastisitas logam mungkin
Halaman 14 dari 22 halaman
memiliki gambar grafik yang mirip dengan fluktuasi rupiah. Namun molekul-molekul
penyusun logam tidak berfikir, sebagaimana manusia berfikir dan memiliki kesadaran.
Atom di Amerika dengan atom di Indonesia mungkin sama, tapi manusia di Indonesia
dengan manusia di Amerika sangat tidak sama. Secara fisiologis manusia di manapun
memiliki rambut, kepala, dan struktur tubuh yang memiliki kemiripan, namun kemiripan
fisiologis atau biologis tak menjamin kesamaan kultural, norma sosial, dan sistem nilai
masyarakatnya. Dengan landasan inilah kita berpijak bahwa analisis sistem sosial yang
berhasil dengan baik di Eropah adalah naif jika langsung ditelan bulat-bulat oleh kalangan
pencinta ilmu sosial di Indonesia. Begitu banyak faktor yang membrojol, meski mirip satu
sama lain.
Secara metaforis kita bisa mengatakan bahwa ada self-similarity konstruksi sistem
sosial secara spasial dan temporal. Akibatnya, karena dengan pandangan makro mirip, kita
seolah bisa menerapkan satu ilmu sosial dari satu tempat ke tempat lain, padahal hal ini bisa
berakibat fatal. Ibarat sebuah torus (gambar 7), konstruksi ilmu sosial yang bersifat lokal itu
seperti pembuatan sebuah torus. Torus dibentuk dari beberapa garis lingkaran yang
digambarkan secara similar tapi tidak sama dalam sebuah bidang 3 dimensi. Satu garis
dengan yang lain sama melingkar namun dengan lintasan pembentukan lingkaran tidak
sama. Torus terbentuk setelah beberapa kali garis melingkar. Sebuah torus yang lengkap
adalah konstruksi ilmu sosial yang kita harapkan, bersifat lokal.
Gambar 7
Torus. Dibentuk dari lingkaran pertama, kemudian diulang secara similar tapi tentu
tidak sama. Setelah beberapa kali lingkaran, akan terbentuk sebuah torus yang
tersusun sedemnikian dari beberapa ratus garis yang dibuat secara similar.
Ilmu sosial harus bersifat lokal. Ini merupakan konsekuensi dari ketidakmungkinan
manusia memperoleh penjelasan umum tentang ilmu sosial (metanarasi) sebagaimana
diyakini oleh beberapa sosiolog kontemporer. Karena sistem sosial di berbagai tempat di
dunia ini terjadi dengan kondisi awal (initial condition) yang tidak sama dan berbeda-beda
secara geografis, klimatologis, dan sebagainya, sistem sosial yang hidup di berbagai tempat
itu masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda pula. Inilah yang menyebabkan
konstruksi ilmu sosial itu harus dibuat dari bawah ke atas (bottom-up) – harus dari agen-agen
yang berinteraksi satu sama lain secara lokal, membentuk faktor membrojol yang kemudian
kita sebut sebagai sistem sosial secara makro. Dari satu sistem sosial ke sistem sosial yang
lain mungkin dapat kita kemukakan beberapa kemiripannya, namun tentu saja, tetap ada
perbedaannya. Inilah karakteristik self-similarity dari seluruh sistem sosial yang ada di planet
bumi.
• Masyarakat Sebagai Hal Membrojol
Secara umum, kita melihat sistem sosial yang ada sebagai sesitem yang teratur. Ada
norma-norma dan moralitas yang berkembang dalam masyarakat luas yang mengatur hidup
dan berkelanjutannya sistem sosial tersebut. Namun secara mikro, kita tentu akrab dengan
perselisihan antar individu di dalam masyarakat. Kita mengenal dendam antara satu individu
yang satu dengan yang lain. Kita terbiasa dengan kejahatan dan perbuatan kriminal antara
satu orang dengan orang yang lain. Berbagai gejolak sering terjadi secara mikro, namun
secara makro masyarakat terlihat begitu teratur. Contoh yang lebih riil mungkin adalah
kondisi bangsa Indonesia. Sebagai bangsa, Indonesia terdiri atas berbagai macam suku dan
agama yang jelas tak sama. Ada heterogentitas yang inheren dalam struktur sosial
masyarakat di Indonesia. Namun secara makro, jelas terlihat bahwa Indonesia adalah satu
Halaman 15 dari 22 halaman
kesatuan yang memiliki keteraturan dalam kesatuan itu. Bagaimana kondisi heterogen dalam
dunia mikro (inividual) bisa menghasilkan kondisi global makro yang teratur dalam
masyarakat? Inilah pertanyaan yang sangat menarik dari Epstein dan Axtell (1996).
Keteraturan dalam sistem sosial adalah hal yang kita lihat sebagai sebuah faktor
yang membrojol dari interaksi antar indiviual di dalam sistem sosial tersebut. Sistem ini
memiliki regularitas yang kita lihat sebagai pandangan makro. Jika ada 4 individu dalam
sebuah masyarakat, katakanlah a,b,c,d di dalam sistem sosial X. Apakah karakter dari sistem
sosial X adalah penjumlahan (kualitatif atau kuantitatif) dari tiap individualnya (a+b+c+d)?
Tentu tidak. Jika a,b,c, dan d adalah pencuri, maka apakah anggota komunitas pencuri X,
akan saling mencuri barang masing-masing? Apakah a akan mencuri milik b, dan b akan
mencuri milik c, dan c akan mencuri milik a, sementara mencuri milik b? Jawanbannya tentu
tidak sederhana, karena X haruslah merupakan faktor yang membrojol, bukan sekadar
penjumlahan yang sederhana. Itulah letak kompleksitas di dalam ilmu sosial. Inilah kerumitan
yang harus diatasi bagi setiap ilmuwan sosial di manapun.
Antara anggota masyarakat X, yakni a,b,c, dan d, terdapat interaksi satu sama lain.
Interaksi ini bisa merupakan pertemanan, persekongkolan, komunikasi biasa, atau apapun.
Interaksi ini menjadi penghubung antar mereka satu sama lain. Interaksi inilah yang
menghasilkan faktor membrojol di dalam masyarakat X, dan menjadi karakteristik pandangan
makro dari masyarakat X. Dengan kata lain, apa yang bisa kita katakan sewaktu meneliti
masyarakat X adalah apa yang disebut sebagai faktor membrojol, dan secara konvensional,
para sosiolog bermain dalam area ini. Motivasi di dalam tiap diri a,b,c, dan d, adalah aturanaturan yang ada di dalam diri mereka, dan para psikolog bermain dalam tataran ini.
Kenyataan yang memotivasi tiap anggota masyarakat X, baik a,b,c, dan d adalah kenyataan
inividiual, namun secara kolektif di dalam masyarakat X, mereka memiliki kenyataan yang
dihadapi bersama, yang disebut kenyataan kolektif (Adorno, et. al, 1976, hal. 76). Kenyataan
kolektif inilah yang dilihat oleh para sosiolog, dan inilah faktor yang membrojol dari interaksi
antar anggota-anggota masyarakat.
Dari pemikiran ini, kita bisa melihat bahwa sosiologi memang harus dibangun dari
bawah ke atas sedemikian sehingga kita bisa memberikan analisis yang integratif di dalam
sosiologi tersebut. Faktor membrojol harus menjadi dasar analitik terhadap sebuah sistem
sosial. Mengutip Epstein dan Axtell (1996, hal.20),
“…apa yang membentuk sebuah penjelasan terhadap penelitian sebuah
fenomena sosial? Mungkin suatu saat sosiolog akan menerjemahkan
pertanyaan, ‘dapatkah kamu menjelaskannya?’, dengan pertanyaan, ‘dapatkah
kamu mensimulasikannya?’…”
karena analisis terhadap sebuah fenomena sosial memang harus merupakan analisis
terhadap faktor membrojol dari sebuah sistem sosial. Dan faktor membrojol tersebut
merupakan faktor yang dapat dimunculkan dengan simulasi komputasional dalam bentuk
masyarakat buatan…
• Menuju Ilmu Yang Interdisipiner
Masa depan ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan saat ini menjadi jauh
terkembang. Kompleksitas telah memperindah wajah ilmu sosial. Kita tentu tidak lagi
berharap bagaimana ilmu ekonomi akan berkembang, atau sosiologi akan memperoleh
inovasi, atau bahkan psikologi akan bergerak maju, dalam pengertian-pengertian klasik ilmuilmu tersebut. Dengan kata lain, dalam tataran ilmu, ekonomi, sosiologi, antropologi, dan
seterusnya tidak akan berkutat dalam batasan-batasan obyek penelitian mereka lagi, karena
ilmu kompleksitas telah memberikan kesempatan untuk insaf, bahwa ilmu sosial membahas
obyek yang kompleks yakni manusia dan lingkungan hidupnya. Manusia tidak boleh terkotakkotak dalam sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, dan seterusnya. Kompleksitas dalam
ilmu sosial mengajak semua elemen ilmu sosial tradisional untuk merubah paraigmanya akan
fenomena sosial yang selama ini dihadapi. Inilah yang disebut sebagai ruang inter-disipliner
ilmu. Ruangan ini memang sangat interdisipliner, karena jika mungkin, ilmu sosial pun
bersilaturahmi dengan ilmu-ilmu alam seperti biologi, fisika, kimia, dan seterusnya.
Ilmu tidak boleh terpisah dari obyek yang hendak diamatinya. Ilmu harus timbul sebagai
solusi akan permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Ilmu tidak boleh menciptakan
permasalahan. Ilmu harus dapat menjawab pertanyaan dan permasalahan. Secara konsisten,
ilmu sosial harus menjawab tantangan permasalahan sosial, bukan menjadi permasalahan
sosial.
Halaman 16 dari 22 halaman
Dengan inilah kita memandang fajar menyingsing dalam ilmu sosial kita. Sebuah
pendekatan dari berbagai sudut pandang ilmu untuk mendekati fenomena-fenomena sosial
harus dibuka selebar-lebarnya untuk menjawab berbagai kebuntuan sosiologis dan psikologis
yang kita hadapi hari ini. Ruang inter-disipliner ini membuka peluang kepada survey dan
observasi fenomena sosial sama besarnya dengan ruang laboratorium komputasional dan
teknologi untuk melihat, menganalisis, dan mengkonstruksi solusi bagi berbagai
permasalahan sosial. Inilah yang kita sebut sebagai fajar menyingsing dalam ilmu sosial…
Pengakuan:
Penulis
berterima kasih kepada Prof. Keith Sawyer (Washington University) atas
korespondensi seputar isu yang dibahas dalam makalah ini, Yohanes Surya (Universitas
Pelita Harapan) atas buku-buku kompleksitas yang dipinjamkan (pustaka no.16 dan 39), dan
kepada rekan-rekan Bandung Fe Institute khususnya Rendra S. dan Rio S. atas diskusi dan
kritik pada draft kasar makalah ini.
Kepustakaan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Adorno, T., R. Dahrendorf, H. Pilot, J. Habermas, dan K. Popper (1976), The Positive
Dispute in German Sociology, terjemahan Inggris: Glyn Adey dan David Frisby,
Heinemann, London.
Axelrod, Robert (1997), The Complexity of Cooperation: Agent-Based Models of
Competition and Colaboration, Princeton University Press.
Axtell, Robert (2000), Why Agents? On the varied Motivations for Agent Computing in
The Social Sciences, Working Paper No.17 Center on Social Economics Dynamics,
The Brookings Institution.
Axtell, R., Epstein, Joshua M., dan Young, H. Peyton (2000), The Emergence of
Classes in a Multi-Agent Bargaining Model, Working Paper No.9 Center on Social
and Economic Dynamics, The Brookings Institution.
Bogard, William (1990), Closing Down The Social: Baudrillard’s Challenge to
Contemporary Sociology, dalam Sociological Theory, Vol. 8, No.1, John Wiley and
Sons Ltd.
Dean, Gumerman, Epstein, dan Axtell (1998), Understanding Anasazi culture change
through agent-based modeling, Working Paper 98-10-094, Santa Fe Institute.
7.
Dimitrov, Vladimir (2003), A New Kind of Social Science: Study of Self-Organization
in Human Dynamics, Springer-Verlag, Berlin-Heidelberg.
8. Doran, Jim (1997), From Computer Simulation to Artificial Societies, Department of
Computer Science, Essex University.
9. Edmonds, Bruce (1999), Syntactic Measures of Complexity, tesis doktoral (PhD)
disampaikan kepada Faculty of Arts, University of Manchester, URL:
http://www.cpm.mmu.ac.uk/~bruce/.
10. Elert, Glenn (2000), The Chaos Hypertextbook , publikasi on-line, URL:
http://hypertextbook.com/chaos/
11. Epstein, J.M., dan R. Axtell (1996), Growing Artificial Societies: Social Science from
the Bottom Up, The Brookings Institution Press dan MIT Press.
12. Giddens, A. (1984), The Constitution of Society, Polity Press.
13. Gilbert, Nigel, dan Troitzsch, Klaus G. (1998), Simulation for the Social Scientist, The
Open University Press.
14. Gilbert, N. (1997), A Simulation of The Structure of Academic Science, Sociological
Research On-line Vol.2 No.2, URL:
http://www.socresonline.org.uk/socresonline/2/2/3.html.
15. Gleick, James (1987), Chaos: Making A New Science, Viking, New York.
16. Keen, Steve (2002), Debunking Economics: The Naked Emperor of the Social
Sciences, Pluto Press, Annandale.
Halaman 17 dari 22 halaman
17. Kiel, Douglas L. dan Elliot E. (editor) (1997), Chaos Theory in the Social Sciences:
Foundations and Applications, University of Michigan Press.
18. Kluver, Jürgen., Stoica, Christina., dan Scmidt, Jörn. (2003), Formal Models, Social
Theory and Computer Simulations: Some Methodological Reflections, dalam Journal
of Artificial Societies and Social Simulations, Vol. 6, No. 2, publikasi on-line:
http://jasss.soc.surrey.ac.uk/6/2/8.html.
19. Langton, J. Stephen (2002), Artificial Societies and the Social Sciences, Working
Paper WP 02-03-011, Santa Fe Institute.
20. Levy, David L. (2000), Application and Limitation of Complexity Theory in
Organization Theory and Strategy, dalam Jack Rabin, Gerald Miller, dan W. Bartley
Hildreth (editor), Handbook of Strategy Management, edisi ke-2, Mercel Dekker, New
York.
21. Maturana, H., and F. Varela (1992), The Tree of Knowledge: The Biological Roots of
Human Understanding, Shambhala, Boston.
22. Mitchell, M., P.T. Hraber, and J.P. Crutchfield (1993), Revisiting the edge of chaos:
Evolving cellular automata to perform computations, dalam Complex Systems,. No. 7,
hal. 89-130.
23. Parwani, Rajesh R. (2002), Complexity, publikasi on-line, URL:
http://staff.science.nus.edu.sg/~parwani/
24. Pavard, Bernard, dan Dugdale, Julie (2002), An Introduction to Complexity in Social
Science, GRIC-IRIT, Toulouse, Perancis, publikasi on-line: URL:
http://www.irit.fr/COSI/
25. Permana, Sidik (2003), Towards the Complexity of Science, dalam Journal of Social
Complexity Vol.1 No.1, hal.1-6, Bandung Fe Institute Press.
26. Rasmussen, Jens (2002), Textual Interpretation and Complexity – Radical
Hermeneutics, makalah untuk The American Educational Research Conference,
AERA SIG, April 1-5 2002, New Orleans.
27. Schelling, Thomas C. (1971), Dynamic Models of Segregetion, Journal of
Mathematical Sociology,Vol. 1, hal. 143-186.
28. Schuster, H.G. (1984), Deterministic Chaos, Physik-Verlag, Weinheim & VCH
Publishers, New York.
29. Sawyer, R. Keith (2001), Emergence in Sociology: Contemporary Philosophy ofMind
and Some Implications for Sociological Theory, dalam American Journal of Sociology
Vol.107 No.3, hal. 551-585, The University of Chicago Press.
30. Sawyer, R. Keith (2002), Nonreductive Individualism: Part I – Supervenience and
Wild Disjunction, dalam Philosophy of the Social Sciences, Vol.32 No.4, hal. 537-559,
Sage Publications.
31. Sawyer, R. Keith (2003), Artificial Societies: Multiagent Systems and Micro-Macro
Link in Sociological Theory, dalam Sociological Methods & Research, Vol. 31, No.3,
Sage Publications.
32. Situngkir, Hokky (2002), Apa yang Bisa Kita Ketahui: Memperkenalkan Humaniora
Integratif Chaotik, Working Paper WPA2002, Bandung Fe Institute Press.
33. Situngkir, Hokky (2003a), Impotensi Kronis Ilmu Sosial di Indonesia, makalah
disampaikan pada diskusi di YLBHI Jakarta, 31 Maret 2003, Bandung Fe Institute dan
YLBHI Jakarta.
34. Situngkir, Hokky (2003b), Emerging the Emergence Sociology: The Philosophical
Framework of Agent-Based Social Studies, dalam Journal of Social Complexity Vol. 1
No.2, halaman 3-15, Bandung Fe Institute Press.
35. Situngkir, Hokky (2003c), Moneyscape: The Generic Agent Based Model of
Corruption, Working Paper WPD2003, Bandung Fe Institute Press.
36. Smith, Thomas S., dan Stevens, Gregory T. (1996), Emergence, Self-Organization,
and Social Interaction: Arousal-Dependent Structure in Social Systems, dalam
Sociological Theory, Vol. 14 No.2, hal. 131-153, John Wiley & Sons, Ltd.
37. Soros, George (2000), Open Society: Reforming Global Capitalism, Little Brown and
Co., London.
Halaman 18 dari 22 halaman
38. Tesfatsion, Leigh (2002), Agent -Based Computational Economics: Growing
Economics from the Bottom-Up, Working Paper ISU Economics, Iowa State
University, URL: http://www.econ.iastate.edu/tesfatsi/
39. Waldrop, M. Mitchell (1993), Complexity: The Emerging Science at the edge of order
and chaos, Simon & Schuster.
40. Wolfe, Alan (1991), Mind, Self, Society, and Computer: Artificial Intelligence and The
Sociology of Mind, dalam American Journal of Sociology, Vol.96, Issue 5, The
University of Chicago Press, hal. 1073-1096.
41. Wolfram, Stephen (2002), A New Kind of Science, Wolfram Media Inc.
Halaman 19 dari 22 halaman
Download