analisis ekonomi kelautan dan arah kebijakan

advertisement
ANALISIS EKONOMI KELAUTAN DAN ARAH
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN JASA KELAUTAN
Oleh:
Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan,
Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)
1. Pendahuluan
Di era globalisasi yang bercirikan liberalisasi perdagangan dan persaingan antarbangsa
yang makin sengit, segenap sektor ekonomi harus mampu menghasilkan barang dan
jasa (goods and services) berdaya saing tinggi. Sebagai negara bahari dan kepulauan
terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi pembangunan (ekonomi) kelautan yang
besar dan beragam. Bidang Kelautan terdiri dari berbagai sektor yang dapat
dikembangkan untuk memajukan dan memakmurkan bangsa Indonesia, yaitu: (1)
perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan; (4)
industri bioteknologi kelautan; (5) pertambangan dan energi; (6) pariwisata bahari; (7)
angkutan laut; (8) jasa perdagangan; (9) industri maritim; (10) pulau-pulau kecil; dan
(11) sumberdaya non-konvensional; (12) bangunan kelautan (konstruksi dan rekayasa);
(13) benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage); (14) jasa lingkungan,
konservasi dan biodiversitas.
Dalam rangka mengatasi berbagai keterbatasan pengembangan ekonomi berbasis
daratan maupun stagnasi pertumbuhan ekonomi saat ini. Apabila dikelola dengan baik
berbagai sektor tersebut
memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan
menghasilkan produk-produk unggulan. Sementara itu permintaan produk kelautan
diperkirakan akan terus meningkat --seiring dengan bertambahnya penduduk dunia,
sehingga diyakini ekonomi kelautan dapat menjadi keunggulan kompetitif dan
memecahkan persoalan bangsa.
2. Analisis Keragaan Ekonomi Kelautan (Ocean Economy)
Beberapa kajian tentang keragaan ekonomi kelautan telah dilakukan, dalam uraian
berikut ini disajikan deskripsi dan analisis ekonomi kelautan tersebut:
1) Strategi Dasar Pembangunan Kelautan dan Rencana Aksi Pembangunan
Kelautan dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
(PKSPL) IPB, Bogor bekerjasama dengan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional dan Puslitbang Oseanologi LIPI Tahun 1997/1998
Hasil kajian tersebut menghasilkan pembagian bidang kelautan yang meliputi : (1)
sektor perikanan, (2) sektor pariwisata bahari, (3) sektor pertambangan (4) sektor
industri maritim, (5) sektor angkutan laut, (6) sektor bangunan kelautan, dan (7) sektor
jasa kelautan.
Pada kajian ini juga dihasilkan rumusan tentang arah strategi dan rencana aksi
pembangunan kelautan di Indonesia.
2) Kajian Kebutuhan Investasi Pembangunan Perikanan Dalam Pembangunan
Lima Tahun Mendatang (1999-2003) dilakukan oleh Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB Bogor bekerjasama dengan
Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian Tahun 1998/1999
Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kebutuhan investasi sector perikanan yang
didasarkan pada nilai ICOR dan ILOR. Incremental Capital Output Ratio (ICOR)
merupakan indikator untuk mengukur sejauh mana efisiensi dari suatu investasi. Makin
rendah angka ICOR, maka investasi yang dilakukan semakin efisien. ICOR dihitung
sebagai rasio investasi terhadap PDB.
ICOR merupakan salah satu metoda untuk menghubungkan pertumbuhan faktor
produksi dengan pertumbuhan ekonomi. ICOR juga menghubungkan besarnya
pembentukan modal tetap domestik bruto dengan pertambahan PDB, yang dapat
digunakan untuk menunjukkan efisiensi suatu perekonomian dalam menggunakan
barang modal. ICOR dapat juga menunjukkan pola kecenderungan penggunaan
metoda produksi (padat karya atau padat modal) dalam suatu perekonomian. Dalam
perencanaan makro, ICOR dapat digunakan untuk menaksir besarnya kebutuhan modal
yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu.
Nilai ICOR berdasarkan kajian tersebut untuk sektor perikanan berkisar antara 2,753,95; mengindikasikan bahwa sub sektor ini mempunyai prospek yang cukup baik bagi
investasi yang ditanamkan. Sedangkan ICOR rata-rata sektor perikanan sebesar 3,55
mengindikasikan bahwa sektor ini relatif efisien untuk penanaman modal dibandingkan
beberapa sector lainnya.
Pada kajian tersebut juga dikaji nilai ILOR. ILOR (Incremental Labor Output Ratio)
yang merupakan merupakan koefisien yang menghubungkan peningkatan jumlah tenaga
kerja dan output atau produk yang dihasilkan. Dalam kajian tersebut, maka ouput
didekati dari besarnya PDB yang dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel
Input-Output 1995. Berdasar analisis Tabel I-O didapatkan Nilai Indeks ILOR berkisar
7-9 dan hal tersebut menujukkan bahwa sektor perikanan merupakan sektor yang cukup
menyerap tenaga kerja dalam meningkatkan produksinya.
3) Kajian Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan Dalam Pembangunan Nasional
dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB
Bogor bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi
(Puslitbang Oseanologi) LIPI Tahun 2000
Pada kajian tersebut difokuskan kepada pendekatan terhadap produksi yang
didasarkan pada permintaan pasar terhadap komoditas dari bidang kelautan. Adanya
permintaan pasar ini merangsang terjadinya
pemanfaatan potensi sumberdaya.
Pemanfaatan sumberdaya tersebut, didasarkan pada dua hal pokok, yaitu potensi
sumberdaya yang masih besar, serta ketersediaan faktor-faktor produksi. Proses
pemanfaatan ini menghasilkan produksi, untuk memenuhi permintaan pasar tersebut.
Besarnya produksi bidang kelautan secara keseluruhan, merupakan Produk Domestik
Bruto sektor kelautan.
Dari kajian tersebut dihasilkan PDB sektor kelautan atas dasar harga konstan Tahun
1993 pada tahun 1995 –1998 menurut sub sektor (Milyar Rupiah).
Tabel 1. Distribusi Produk Domestik Bruto Bidang Kelautan atas Dasar Harga Berlaku
(dalam miliar rupiah)
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sektor
Perikanan
Energi dan Sumberdaya Mineral
Industri Maritim
-Pengilangan Minyak Bumi
-LNG
-Industri maritim lainnya
Angkutan Laut
Pariwisata Bahari
Bangunan Kelautan
Jasa Kelautan
Jumlah PDB Sektor Kelautan
Jumlah PDB Nasional
PDB 1995
6.474
19.712
PDB 1996
9.989
21.426
5.247
4.800
3.299
3.952
3.366
3.445
5.700
55.995
454.514,1
6.859
3.904
3.990
4.790
3.950
4.256
6.409
65.573
532.630,8
PDB 1997 PDB 1998
15.907
20.345
42.652
94.142
7.890
7.490
4.209
5.450
4.965
5.093
9.890
103.546
625.505,9
8.374
9.079
6.425
14.043
12.329
11.751
12.646
189.134
942.843,8
Sumber : PKSPL IPB, 2000
Dimana bila dilihat dari persentase, maka nilainya adalah sebagai berikut:
Distribusi Prosentase Produk domestik Bruto Bidang Kelautan tahun 1995-1998 atas
Harga Berlaku
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sektor
Perikanan
Energi dan Sumberdaya
Mineral
Industri Maritim
-Pengilangan Minyak Bumi
-LNG
-Industri maritim lainnya
Angkutan Laut
Pariwisata Bahari
Bangunan Kelautan
Jasa Kelautan Lainnya.
Jumlah PDB Sektor
Kelautan
Jumlah PDB Nasional
Persentase ( %) Produk Domestik Bruto
1998
1995
1996
1997
1,43
1,86
2,54
2,16
4,36
4,02
6,82
9,98
1,16
1,06
0,73
0,74
0,87
0,76
1,26
12,38
1,29
0,73
0,75
0,90
0,74
0,80
1,20
12,31
1,26
1,20
0,67
0,87
0,79
0,81
1,58
16,55
0,89
0,96
0,68
1,49
1,31
1,25
1,34
20,06
100
100
100
100
Sumber : PKSPL IPB, 2000
Sedangkan nilai ICOR berdasarkan analisis Tabel Input Output Tahun 1995 sebagai
berikut:
Tabel 3.
Nilai Koefisien ICOR Bidang Kelautan, berdasar Tabel I-O tahun 1995
No.
Nilai Indeks ICOR
Sektor
1.
Perikanan
3,42
2.
Energi dan Sumberdaya Mineral
3,64
3.
Industri Maritim
-Pengilangan Minyak Bumi
-LNG
-Industri maritim lainnya
3,56
4.
Angkutan Laut
3,81
5.
Pariwisata Bahari
3,10
6.
Bangunan Kelautan
4,01
7.
Jasa Kelautan Lainnya.
3,52
Sumber : PKSPL IPB, 2000
Merujuk pada Tabel 3 diatas maka sektor pariwisata bahari merupakan sektor yang
paling efisien dan mempunyai resiko paling kecil untuk penanaman investasi jika
dibandingkan dengan sub sektor lain.
Kajian tersebut juga merekomendasikan bahwa terdapat tiga hal yang harus dilakukan
dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional melalui ekonomi
kelautan, yaitu:
4)

Memperbesar dan memperluas diversifikasi sector-sektor kelautan.

Memperbanyak investasi dengan memberikan dorongan/stimulus pada
sektor- sektor yang mempunyai ICOR yang relatif rendah (perikanan,
pariwisata).

Meningkatkan efisiensi yang mencakup alokasi usaha yang optimum
berdasarkan jenis usaha, lokasi dan compatibility antar sektor kelautan.
Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan kerjasama Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL)
IPB Bogor dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2004
Kajian tersebut pada intinya ditujukan untuk menyusun strategi pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang mengintegrasikan pendekatan
kelestarian untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang dapat digunakan sebagai
acuan bagi penyusunan kebijakan operasional dan perencanaan bagi para stakeholders
dan pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan.
Berdasarkan kajian tersebut dihasilkan nilai Produk Domestik Bruto sektor kelautan dan
perikanan pada Tahun 2002.
Tabel 4. PDB Bidang Kelautan atas dasar harga berlaku pada tahun 1995 –1998
menurut bidang (Milyar Rupiah).
Sektor
PDB 1995
PDB 1996
PDB 1997
PDB 1998
PDB 2002
6.474
19.712
9.989
21.426
15.907
42.652
20.345
94.142
46.610
170.234
5.247
4.800
3.299
3.952
3.366
3.445
5.700
55.995
6.859
3.904
3.990
4.790
3.950
4.256
6.409
65.573
7.890
7.490
4.209
5.450
4.965
5.093
9.890
103.546
8.374
9.079
6.425
14.043
12.329
11.751
12.646
189.134
35.049
23.039
13.949
26.304
29.328
13.293
22.323
322.133
454.514,1
532.630,8
625.505,9
942.843,8
1.610.012
No
1.
2.
Perikanan
Energi dan Sumberdaya
Mineral
3.
Industri Maritim
-Pengilangan Minyak Bumi
-LNG
-Industri maritim lainnya
4.
Angkutan Laut
5.
Pariwisata Bahari
6.
Bangunan Kelautan
7.
Jasa Kelautan
Jumlah PDB Sektor
Kelautan
Jumlah PDB Nasional
Sumber : PKSPL IPB,2004
Sedangkan bila dilihat dari presentase, maka nilai PDB sektor kelautan tersebut terlihat
pada Tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Persentase Produk domestik Bruto Bidang Kelautan tahun 1995-2002
atas Harga Berlaku
No.
1.
2.
Sektor
Perikanan
Energi dan Sumberdaya
Mineral
Industri Maritim
-Pengilangan Minyak Bumi
-LNG
-Industri maritim lainnya
4.
Angkutan Laut
5.
Pariwisata Bahari
6.
Bangunan Kelautan
7.
Jasa Kelautan Lainnya.
Jumlah PDB Sektor Kelautan
Jumlah PDB Nasional
Sumber : PKSPL IPB,2004
Prosentase ( %) Produk Domestik Bruto
1995
1996
1997
1998
2002
1,43
1,86
2,54
2,16
2,80
4,36
4,02
6,82
9,98
10,23
3.
1,16
1,06
0,73
0,74
0,87
0,76
1,26
12,38
100
1,29
0,73
0,75
0,90
0,74
0,80
1,20
12,31
100
1,26
1,20
0,67
0,87
0,79
0,81
1,58
16,55
100
0,89
0,96
0,68
1,49
1,31
1,25
1,34
20,06
100
2.10
1,14
0,83
1,81
1,42
1,10
1,01
23,57
100
Kajian tersebut juga menghasilkan nilai koefisien ICOR sektor kelautan seperti terlihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Koefisien ICOR Bidang Kelautan, berdasar Tabel I-O tahun 2000
No.
Nilai Indeks ICOR
Sektor
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Perikanan
Energi dan Sumberdaya Mineral
Industri Maritim
-Pengilangan Minyak Bumi
-LNG
-Industri maritim lainnya
Angkutan Laut
Pariwisata Bahari
Bangunan Kelautan
Jasa Kelautan Lainnya.
3,31
3,71
3,39
3,67
3,02
4,02
3,34
Sumber : PKSPL IPB, 2004
Bila melihat perbandingan kontribusi bidang kelautan pada Tahun 1998 dengan Tahun
2002, maka terlihat peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 1998 persentase
kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional sebesar 20,06 % maka pada Tahun
2002 nilainya meningkat menjadi 23, 57 %.
Bila dicermati lebih jauh lagi distribusi kontribusi bidang kelautan tersebut didominasi
oleh sektor pertambangan diikuti perikanan dan sektor-sektor lainnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa jika ketujuh sektor tersebut dipisah dimana sektor energi,
industri maritim, angkutan laut, pariwisata bahari, bangunan kelautan dan jasa kelautan
lainnya dianggap sebagai sub bidang jasa kelautan, maka sub bidang ini mempunyai
kontribusi yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan PDB nasional.
3. Deskripsi, Klasifikasi dan Arah Pengembangan Jasa Kelautan
Bidang Kelautan terdiri dari berbagai sektor yang dapat dikembangkan untuk
memajukan dan memakmurkan bangsa Indonesia, yaitu: (1) perikanan tangkap; (2)
perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan; (4) industri bioteknologi
kelautan; (5) pertambangan dan energi; (6) pariwisata bahari; (7) angkutan laut; (8) jasa
perdagangan; (9) industri maritim; (10) pulau-pulau kecil; dan (11) sumberdaya nonkonvensional; (12) bangunan kelautan (konstruksi dan rekayasa); (13) benda berharga
dan warisan budaya (cultural heritage); (14) jasa lingkungan, konservasi dan
biodiversitas. Berdasarkan uraian di atas, maka bidang kelautan dapat dibagi menjadi 2
sub bidang yakni sub bidang sumberdaya primer yakni (1) perikanan tangkap, (2)
perikanan budidaya dan (3) pertambangan dan sub bidang jasa kelautan yang
meliputi (1) industri bioteknologi, farmasi dan sumberdaya genetika, (2) energi, (3)
pariwisata bahari, (4) industri maritim : galangan kapal, garam dll; (5) angkutan
laut dan pelabuhan; (6) jasa perdagangan; (7) sumberdaya non konvensional
(deep sea water); (8) bangunan kelautan (kontruksi dan rekayasa); (9) pulau-pulau
kecil; (10) benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage); (11) jasa
lingkungan, konservasi dan biodiversitas. Dengan klasifikasi tersebut maka jasa
kelautan mempunyai potensi yang luar biasa untuk dikembangkan. Walaupun masih
perlu analisis dan pendalaman yang lebih komprehensif terhadap klasifikasi tersebut
arah pengembangan yang dapat dilakukan diantaranya adalah sebagai berikut:
3.1. Industri Bioteknologi, Farmasi dan Sumberdaya Genetika.
Indonesia sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan,
menyimpan potensi sumberdaya hayati laut yang sangat besar baik jumlah maupun
jenisnya (biodiversity). Potensi bioteknologi kelautan dan perikanan berupa senyawasenyawa bioaktif produk alam (natural products) seperti skualen, omega-3, fikokoloid
dan biopolimer yang terdapat pada mikro dan makroalgae, mikroorganisme maupun
invertebrata, saat ini belum dimanfaatkan dan dikelola secara optimal, padahal potensi
tersebut memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan antara lain untuk keperluan
industri makanan sehat, farmasi, kosmetik dan industri berbasis bioteknologi lainnya
Bioteknologi kelautan dan perikanan merupakan suatu teknik yang menerapkan ilmuilmu dasar maupun rekayasa (engineering) untuk memproses bahan dengan
menggunakan organisme atau bahan pembentuknya yang berhabitat laut melalui proses
yang terkontrol sehingga menjadi produk yang berguna. Berbagai bidang ilmu yang
menunjang dan terkait dengan bioteknologi adalah biologi, biokimia, kimia, genetika, dan
rekayasa. Sebagai contoh, Amerika Serikat yang memiliki potensi keanekaragaman
hayati laut yang jauh lebih rendah daripada Indonesia, sudah dapat meraup devisa dari
industri bioteknologi kelautan lebih dari 40 milyar dollar per tahun.
Oleh karena itu dalam era globalisasi ini, penguasaan ilmu dan teknologi termasuk
bioteknologi merupakan hal yang sangat penting bagi suatu institusi agar mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan (iptek) yang dapat diadopsi oleh masyarakat dan
industri untuk membantu memecahkan masalah nasional, misalnya dalam hal
menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan penduduk dan
sebagainya.
Industri perikanan dan bioteknologi diperkirakan memiliki nilai ekonomi sebesar 82
miliar dollar AS per tahun. Namun demikian karena Indonesia belum serius menggarap
sub sektor ini berdasarkan kajian PKSPL IPB (2006), Indonesia diperkirakan kehilangan
potensi pendapatan dari produk-produk bioteknologi kelautan minimal sekitar US$ 1
miliar per tahun. Hal ini disebabkan karena lemahnya aplikasi bioteknologi kelautan
serta jarangnya pengusaha yang terjun ke sektor tersebut. Padahal berdasarkan
inventarisasi Divisi Bioteknologi Kelautan PKSPL IPB, diperkirakan terdapat 35.000
biota yang dimiliki laut Indonesia, sehingga seharusnya Indonesia mempunyai
pendapatan miliaran dolar per tahun dari produk-produk biotek tersebut. Negara-negara
maju yang memiliki sumberdaya kelautan terbatas saja dalam tahun 2004 produk ekspor
bioteknologi kelautan Amerika Serikat mencapai US$4,6 miliar, sedang Inggris
memperoleh sekitar US$2,3 miliar.
Pemanfaatan industri perikanan dan bioteknologi tersebut melalui ekstraksi natural
produk atau bioactive substances dari biota laut untuk industri makanan dan minuman,
farmasi, kosmetika dan bioenergi bisa disediakan Indonesia dengan sumber daya alam
yang ada. Produk-produk yang bisa dihasilkan dari hasil rekayasa biota laut seperti
makanan, tablet, salep, suspensi, pasta gigi, cat, tekstil, perekat, karet, film, pelembab,
sampo, lotion, wet look.
Sebagai contoh pemanfaatan yang tidak optimum adalah rumput laut. Nilai ekspor
rumput laut Filipina mencapai US$700 juta sementara Indonesia hanya US$45 juta.
Padahal 60% bahan mentahnya berupa rumput laut diimpor dari Indonesia. Artinya
Indonesia masih kurang kuat dalam industri end product kelautan karena dukungan
teknologi serta formulasinya yang masih tertinggal, sehingga hanya mampu
memanfaatkan potensi kelautan sebatas bahan baku saja.
Keadaan sebaliknya terjadi pada daya dukung alam serta kemampuan alam daratan
menyediakan segenap kebutuhan manusia sangat terbatas atau bahkan menurun.
Namun dengan perkembangan bioteknologi, usia pemanfaatan sumber-sumber
kehidupan yang ada dapat dipertahankan lebih lama. Dan potensi itu masih relatif
melimpah di dalam laut.
Hal ini yang mendorong berkembangnya bioteknologi kelautan yang bertujuan
memanfaatkan sel atau enzim yang terkandung dalam organisme di laut untuk berbagai
aplikasi atau kebutuhan manusia termasuk pemulihan lingkungan yang rusak. Selain
bioremediasi pencemaran lingkungan, dengan bioteknologi kelautan dilakukan ekstraksi
zat bioaktif dari biota laut untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika,
serta bioenergi. Selain itu, juga dilakukan rekayasa genetika untuk budidaya ikan dan
biota laut yang bernilai ekonomis tinggi.
Dengan pesatnya perkembangan bioteknologi kelautan, berbagai jenis produk makanan
dan obat-obatan memang berhasil dikembangkan oleh industri. Hasil pengolahan biota
laut oleh industri bioteknologi menjadi obat-obatan dan bahan farmasi di antaranya
adalah obat tidur dan obat penenang dari kuda laut, tempurung kura-kura untuk obat
luka dan tetanus, hati ikan buntel untuk obat tetrodotoxin yang memperbaiki saraf otak
yang rusak dan mengurangi rasa sakit. Selain itu, juga ada kitin dan kitosan dari kulit
udang dan kepiting untuk obat anti kolesterol, pelangsing tubuh, ataupun perban.
Adapun serbuk kerang digunakan untuk obat maag. Ular dari laut diambil serbuknya
untuk meningkatkan daya ingat.
Selain manfaat dari biota laut yang belum banyak dikenal orang, rumput laut yang
selama ini diketahui sebagai bahan makanan ternyata memiliki berbagai khasiat.
Rumput laut juga bisa diolah untuk obat influenza dan bahan pengawet makanan
Dari tumbuhan laut ini terutama alga hijau digunakan untuk penyembuh penyakit
kardiovaskular. Riset tentang rumput laut juga dilakukan untuk obat hepatitis, obat
penyakit HIV/AIDS, dan obat penyakit diabetes.
PKSPL IPB saat ini sedang meneliti spons. Spons saat ini juga tengah gencar diteliti di
berbagai negara untuk diambil senyawa bioaktifnya. Pada spons dan karang lunak
terdapat senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai alat pertahanan diri dari musuh
alaminya. Senyawa itu ternyata berkhasiat obat dan kemudian dibuat sintetisnya. Spons
dari spesies Petrosia contegnatta di antaranya diambil senyawa bioaktifnya untuk obat
anti-kanker, sedangkan obat anti-asma dibuat dari senyawa spons Cymbacela.
Senyawa bioaktif lainnya dari spons yang juga digunakan untuk industri farmasi adalah
Bastadin, Okadaic acid, dan Monoalide. Senyawa bioaktif Monoalide yang diperoleh dari
spons Luffariella variabilis merupakan senyawa yang memiliki nilai jual tertinggi daripada
senyawa bioaktif dari spesies spons lainnya, yaitu 20.360 dollar AS per miligram.
Melihat prospek manfaat dan ekonominya yang tinggi, budidaya spons yang relatif
mudah merupakan mata pencarian yang bisa dikembangkan para nelayan di Indonesia.
Budidaya spons laut dilakukan hanya dengan menjulurkan tali-temali ke dasar laut.
Pada tiap tali itu diikat spons-spons secara paralel. Setelah sekitar 18 bulan, spons yang
tumbuh ini bisa dipanen dan dijual ke industri kimia dan industri farmasi.
Satu hal yang juga terlupakan terhadap pengembangan bioteknologi kelautan ini, bahwa
sumberdaya ini dapat dikembangkan sebagai sumber pangan dan obat-obatan.
Tentunya akan sangat relevan dengan adanya semakin menipisnya sumber-sumber
pangan manusia dari daratan dan kebutuhan manusia akan bahan pangan, pakaian
(serat), obat-obatan, kosmetik, papan (kayu), mineral, dan lahan akan meningkat
berlipat ganda sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk.
Menurut proyeksi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun lalu, dalam waktu seabad akan
terjadi peningkatan lima kali lipat jumlah penduduk. Pada tahun 2050 penduduk dunia
akan mencapai 10,6 miliar jauh meningkat dari tahun 2000 penduduk meningkat dari 6,1
miliar dan pada tahun 1950 yang berjumlah 2,5 miliar orang. Pertambahan penduduk
berarti terjadi peningkatan terhadap semua jenis kebutuhan, seperti obat dan makanan.
Sementara persediaan ikan dunia sebanyak 90 juta ton per tahun, tetapi volume
penangkapannya telah mencapai 95 juta ton per tahun. Tahun 2000 total penangkapan
meningkat menjadi 110 juta ton per tahun.
Peningkatan kebutuhan ikan juga bakal terjadi di Indonesia. Pada 2006 diperkirakan
mampu mencapai 7,5 juta ton per tahun. Padahal, potensi ikan yang tersedia hanya
maksimal 6,4 juta ton per tahun.
Oleh karena itu, perlu dicari teknologi yang mampu memproduksi bahan kebutuhan
manusia di luar kemampuan alam. "
3.2. Energi
Bila ditelaah lebih jauh sektor energi dapat dikategorikan dalam jasa kelautan.
Berdasarkan data geologi diketahui Indonesia memiliki 60 cekungan potensi yang
mengandung minyak dan gas bumi. Sebanyak 40 cekungan di antaranya terdapat di
lepas pantai, 14 berada di daerah transisi daratan dan lautan (pesisir), dan hanya 6 saja
yang berada di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut diperkirakan mempunyai
potensi sebesar 11,3 miliar barrel yang terdiri atas 5,5 miliar barrel cadangan potensial
dan 5,8 miliar barrel berupa cadangan terbukti. Selain itu diperkirakan cadangan gas
bumi adalah 101,7 triliun kaki kubik yang terdiri dari cadangan terbukti 64,4 triliun dan
cadangan potensial 37,3 triliun kaki kubik.
Laut selain menjadi sumber pangan juga mengandung beraneka sumber daya energi.
Kini para ahli menaruh perhatian terhadap laut sebagai upaya mencari jawaban
terhadap tantangan kekurangan energi di waktu mendatang dan upaya menganekakan
penggunaan sumber daya energi. Kesenjangan antara kebutuhan dan persediaan
energi merupakan masalah yang perlu segera dicari pemecahannya. Apalagi mengingat
perkiraan dan perhi- tungan para ahli pada tahun 2010-an produksi minyak akan
menurun tajam dan bisa menja- di titik awal kesenjangan energi.
Namun, pengembangan sumber energi alternatif memerlukan waktu sebelum sampai
pada pemanfaatan secara ekonomi. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Rusia,
Inggris, Perancis, Kanada, Jepang, Belanda, dan Korea telah mulai meneliti
kemungkinan pemanfaatan energi dari laut terutama panas laut, gelombang dan pasang
surut, dengan hasil yang memberikan harapan cukup baik.
Energi samudera dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu energi panas laut, energi
pasang surut, dan energi gelombang. Untuk lautan di wilayah Indonesia, potensi termal
2,5 x 1023 joule dengan efisiensi konversi energi panas laut sebesar tiga persen dapat
menghasilkan daya sekitar 240.000 MW.
Potensi energi panas laut yang baik terletak pada daerah antara 6- 9° lintang selatan
dan 104-109° bujur timur. Di daerah tersebut pada jarak kurang dari 20 km dari pantai
didapatkan suhu rata-rata permukaan laut di atas 28°C dan didapatkan perbedaan suhu
permukaan dan kedalaman laut (1.000 m) sebesar 22,8°C. Sedangkan perbedaan suhu
rata-rata tahunan permukaan dan kedalaman lautan (650 m) lebih tinggi dari 20°C.
Dengan potensi sumber energi yang melimpah, konversi energi panas laut dapat
dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan energi listrik di Indonesia.
Wilayah Indonesia terdiri dari banyak pulau. Cukup banyak selat sempit yang
membatasinya maupun teluk yang dimiliki masing-masing pulau. Hal ini memungkinkan
untuk memanfaatkan energi pasang surut. Saat laut pasang dan saat laut surut aliran
airnya dapat menggerakkan turbin untuk membangkitkan listrik.
Pemanfaatan pusat listrik energi pasang surut direalisasikan di La Ranche Perancis
diikuti oleh Rusia di Murmansh, Lumboy, Tae Menzo Boy, dan The Thite Sea. Tidak jauh
dari Indonesia, ada Australia yang memanfaatkannya di Kimberly. Saat ini potensi
energi pasang surut di seluruh samudera di dunia tercatat 3.106 MW.
Untuk Indonesia daerah yang potensial adalah sebagian Pulau Sumatera, Sulawesi,
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Papua, dan pantai selatan Pulau Jawa, karena
pasang surutnya bisa lebih dari lima meter. Mekanisme pusat listrik energi pasang surut
tergantung pada beberapa faktor: arah angin, kecepatan, lamanya bertiup, dan luas
daerah yang dipengaruhi. Oleh karena itu, di dalam penelitian mengenai energi ini faktor
meteorologi/geofisika menjadi kuncinya.
Pada pemanfaatan energi ini diperlukan daerah yang cukup luas untuk menampung air
laut (reservoir area). Namun, sisi positifnya adalah tidak menimbulkan polutan bahanbahan beracun baik ke air maupun udara. Selain panas laut dan pasang surut, masih
ada energi samudera lain yaitu energi gelombang. Sudah banyak pemikiran untuk
mempelajari kemungkinan pemanfaatan energi yang tersimpan dalam ombak laut. Salah
satu negara yang sudah banyak meneliti hal ini adalah Inggris.
Menurut pengamatan Hulls, deretan ombak (gelombang) yang terdapat di sekitar pantai
Selandia Baru dengan tinggi rata-rata 1 meter dan periode 9 detik mempunyai daya
sebesar 4,3 kW per meter panjang ombak. Sedangkan deretan ombak serupa dengan
tinggi 2 meter dan 3 meter dayanya sebesar 39 kW per meter panjang ombak. Untuk
ombak dengan ketinggian 100 meter dan perioda 12 detik menghasilkan daya 600 kW
per meter. Karena beberapa laut di Indonesia mempunyai ombak dengan ketinggian di
atas 5 meter, maka potensi energi gelombangnya perlu diteliti lebih jauh.
Konversi energi panas laut adalah sistem konversi energi yang terjadi akibat perbedaan
suhu di permukaan dan di bawah laut menjadi energi listrik. Potensi terbesar konversi
energi panas laut untuk pembangkitan listrik terletak di khatulistiwa. Soalnya, sepanjang
tahun di daerah khatulistiwa suhu permukaan laut berkisar antara 25-30°C, sedangkan
suhu di bawah laut turun 5-7°C pada kedalaman lebih dari 500 meter.
Terdapat dua siklus konversi energi panas laut, yaitu siklus Rankine terbuka dan siklus
Rankine tertutup. Sebagai pembangkit tenaga listrik, konversi energi panas laut siklus
Rankine terbuka memerlukan diameter turbin sangat besar untuk menghasilkan daya
lebih besar dari 1MW, sedangkan komponen yang tersedia belum memungkinkan untuk
menghasilkan daya sebesar itu, alternatif lain yaitu siklus Rankine tertutup dengan fluida
kerja amonia atau freon.
Konversi energi panas laut landasan darat alat utamanya terletak di darat, hanya
sebagian kecil peralatan yang menjorok ke laut. Kelebihan sistem ini adalah dayanya
lebih stabil dan pemeliharaannya lebih mudah. Kekurangan sistem jenis ini
membutuhkan keadaan pantai yang curam, agar tidak memerlukan pipa air dingin yang
panjang. Status teknologi konversi energi panas laut jenis ini baru pada tahap
percontohan dengan kapasitas 100 W dan dengan fluida kerja freon yang dilakukan oleh
TEPSCO-Jepang, dengan lokasi percontohan di Kepulauan Nauru. Selain itu dibangun
pusat penelitian dan pengembangan konversi energi panas laut landasan darat (STF)
yang terletak di Hawaii.
Untuk konversi energi panas laut terapung landasan permanen, diperlukan sistem
penambat dan sistem transmisi bawah laut, sehingga permasalahan utamanya pada
sistem penambat dan teknologi transmisi bawah laut yang mahal. Jenis ini masih dalam
taraf penelitian dan pengembangan.
Konversi energi panas laut terapung kapal beroperasi dengan bebas karena dibangun di
atas kapal. Biasanya energi listrik yang dihasilkan untuk memproduksi berbagai bahan
yaitu amonia, hidrogen, methanol, dan lain-lain.
Status teknologi konversi energi panas laut jenis ini baru taraf percontohan, dengan
nama pembangkit Mini OTEC yang berkapasitas 50 kW dengan lokasi percontohan di
laut Hawaii. Mini OTEC menghasilkan daya bersih 10 kW sampai 15 kW. Selain itu,
pada tempat yang sama beroperasi konversi energi panas laut dengan nama OTEC1
dengan kapasitas 1 MW.
Perkembangan teknologi konversi energi panas laut di Indonesia baru mencapai status
penelitian, dengan jenis konversi energi panas laut landasan darat dan dengan
kapasitas 100 kW, lokasi di Bali Utara.
Secara umum kendala pada teknologi konversi energi panas laut adalah efisiensi
pemompaan yang masih rendah, korosi pipa, bahan pipa air dingin, dan biofouling, yang
semuanya menyangkut investasi. Selain itu kajian sumber daya kelautan masih terbatas
terhadap langkah pengembangan konversi energi panas laut.
Tidak kurang dari 100 lokasi di dunia yang dinilai sebagai tempat yang cocok bagi
pembangunan pembangkit energi pasang surut. Sistem pemanfaatan energi pasang
surut pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu kolam tunggal dan kolam ganda.
Pada sistem pertama energi pasang surut dimanfaatkan hanya pada perioda air surut
(ebb period) atau pada perioda air naik (flood time). Sedangkan sistem yang kedua
adalah kolam ganda kedua perioda baik sewaktu air pasang maupun air surut energinya
dimanfaatkan. Turbin dan saluran terletak dalam satu bendungan (dam) yang
memisahkan kolam dan laut. Sewaktu air pasang permukaan air di kolam sama dengan
permukaan laut. Sewaktu air mulai surut terjadilah perbedaan tinggi air (head) antara
kolam dan laut yang menyebabkan air mulai mengalir ke arah laut dan memutar turbin.
Pada sistem kolam ganda turbin akan berkerja dalam dua arah aliran. Kedua kolam
dipisahkan oleh satu bendungan (dam) yang didalamnya terdapat turbin dua arah,
masing-masing kolam memiliki saluran yang menghubungkan dengan laut. Meskipun
turbin bekerja terus-menerus tetapi kecepatannya bervariasi, selain dengan perbedaan
tinggi permukaan air di kolam dan permukaan laut. Perbedaan tinggi antara permukaan
air di kolam dan permukaan air laut di tempat-tempat energi pasang surut berkisar
beberapa meter sampai 13 meter.
Penelitian pemanfaatan energi pasang surut telah dilakukan oleh beberapa negara;
Perancis, Rusia, Amerika Serikat, dan Kanada sejak tahun 1920. Setelah lebih dari 40
tahun-tahun 1966- pembangkit energi listrik berkekuatan 240 MW yang digerakan oleh
tenaga pasang surut berhasil dibangun oleh Perancis di pantai Estuari Rance. Di Rusia
ada proyek energi pasang surut dengan kapasitas 2176 MW di Bay of Fundy.
Berdasarkan estimasi kasar jumlah energi pasang surut di samudera seluruh dunia
adalah 3.106 MW. Khusus untuk Indonesia beberapa daerah yang mempunyai potensi
energi pasang surut adalah Bagan Siapi-api, yang pasang surutnya mencapai 7 meter,
Teluk Palu yang ini struktur geologinya merupakan patahan (Palu Graben) sehingga
memungkinkan gejala pasang surut, Teluk Bima di Sumbawa (Nusa Tenggara Barat),
Kalimantan Barat, Papua, dan Pantai Selatan Pulau Jawa.
Gelombang laut merupakan salah satu bentuk energi yang bisa dimanfaatkan dengan
mengetahui tinggi gelombang, panjang gelombang, dan periode waktunya. Ada empat
teknologi energi gelombang yaitu sistem rakit Cockerell, tabung tegak Kayser,
pelampung Salter, dan tabung Masuda. Sistem rakit Cockerell berbentuk untaian rakitrakit yang saling dihubungkan dengan engsel-engsel dan sistem ini bergerak naik turun
mengikuti gelombang laut. Gerakan relatif rakit-rakit menggerakkan pompa hidrolik yang
berada di antara dua rakit.
Sistem tabung tegak Kayser menggunakan pelampung yang bergerak naik turun dalam
tabung karena adanya tekanan air. Gerakan relatif antara pelampung dan tabung
menimbulkan tekanan hidrolik yang dapat diubah menjadi energi listrik.
Sistem Pelampung Salter memanfaatkan gerakan relatif antara bagian/pembungkus luar
(external hull) dan bandul didalamnya (internal pendulum) untuk diubah menjadi energi
listrik.
Pada sistem tabung Masuda metodenya adalah memanfaatkan gerak gelombang laut
masuk ke dalam ruang bawah dalam pelampung dan menimbulkan gerakan
perpindahan udara di bagian ruangan atas dalam pelampung. Gerakan perpindahan
udara ini dapat menggerakkan turbin udara.
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Finlandia, dan Belanda,
banyak menaruh perhatian pada energi ini. Lokasi potensial untuk membangun sistem
energi gelombang adalah di laut lepas, daerah lintang sedang dan di perairan pantai.
Energi gelombang bisa dikembangkan di Indonesia di laut selatan Pulau Jawa dan
Pulau Sumatera. (Harsono, 2003). Beberapa langkah awal telah dimulai di PKSPL IPB
untuk menggunakan algae sebagai bahan untuk bioenergi, sehingga fungsi laut sebagai
sumber aktivitas ekonomi akan terus berkembang.
3.3. Pariwisata Bahari
Negara Bagian Queensland, Australia, dengan panjang garis pantai 2.100 kilometer,
mampu menghasilkan devisa 2 miliar dolar AS pada 2002. Tentunya hal ini
menimbulkan keirian, mengapa Indonesia tidak bias mengembangan pariwisata bahari
yang mempunyai nilai setidaknya mendekati apa yang diperoleh oleh Negara Bagian
Queensland tersebut.
Bila melihat nilai PDB nasional yang disumbang oleh pariwisata bahari pada Tahun
1998 sebesar 1,31 % dan meningkat menjadi 1,42 % pada Tahun 2002, maka terdapat
optimisme yang muncul. Namun demikian, berdasarkan perhitungan PKSPL IPB, 2006
menunjukkan bahwa peningkatan kontribusi pariwisata bahari terhdap PDB nasional
pada Tahun 2005 diperkirakan mencapai 1,46 %. Angka ini sebenarnya bisa jauh
meningkat sangat signifikan. Berdasarkan kajian, diperoleh proyeksi bahwa pada Tahun
2007 hingga Tahun 2010 seharusnya kontribusi pariwisata bahari dapat meningkat
hingga 0,1 % setiap tahun. Asumsi utama yang digunakan adalah adanya sumberdaya
pulau-pulau kecil yang ada di wilayah Negara ini. Bila upaya pengembangan pulaupulau kecil dilakukan secara serius, seharusnya dapat mendorong pertumbuhan
wisatawan asing untuk berkunjung ke Indonesia.
Hasil kajian Kusumastanto (2001) menunjukkan nilai ekonomi total suatu pulau kecil di
Indonesia bila akan dikembangkan untuk kawasan wisata mempunyai nilai sebesar US
$ 52.809,37 per Hektar.
Sehingga sangat beralasan bila kita serius untuk
mengembangan pariwisata bahari, maka akan terkait dengan pengembangan pulaupulau kecil sebagai specific marine tourism di Indonesia.
Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan
memanfaatkan obyek serta daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan
Indonesia, berupa kekayaan alam yang indah, keragaman flora dan fauna seperti
terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias.
Beberapa jenis kegiatan wisata bahari pada saat ini sudah dikembangkan oleh
pemerintah dan swasta, di antaranya wisata alam, pemancingan, berenang, selancar,
berlayar, rekreasi pantai dan wisata pesiar.
Sumberdaya hayati pesisir dan lautan Indonesia seperti populasi ikan hias yang
diperkirakan sekitar 263 jenis, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove dan
berbagai bentang alam pesisir atau coastal landscape yang unik lainnya membentuk
suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan. Kondisi tersebut menjadi daya
tarik sangat besar bagi wisatawan sehingga pantas bila dijadikan sebagai objek wisata
bahari.
Objek wisata bahari lainnya yang berpotensi besar adalah wilayah pantai. Pada
umumnya, Indonesia memiliki kondisi pantai yang indah dan alami. Di antaranya adalah
pantai barat Sumatera, Pulau Simeuleu. Nusa Dua Bali dan pantai terjal berbatu di
selatan Pulau Lombok. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai
yang indah, tempat pemandian yang bersih dan juga tempat untuk melakukan kegiatan
berselancar air atau surfing. Terutama pada pantai yang landai, memiliki ombak yang
besar dan berkesinambungan.
Dengan demkian terdapat dua faktor penting dalam strategi pembangunan kegiatan
pariwisata nasional. Pertama, faktor internal berupa strategi terukur manajemen daya
tarik objek wisata, yang terkait mulai dari aspek teknis, strategi jasa pelayanan sampai
kepada strategi penawaran. Kedua, faktor eksternal berupa dukungan perangkat
kebijakan dari pemerintah serta penciptaan iklim keamanan yang kondusif bagi kegiatan
pariwisata di Indonesia.
Selanjutnya, dalam membenahi strategi pengembangan pariwisata bahari, maka secara
teknis ada sejumlah upaya yang harus dilakukan. Pertama, pengembangan sarana dan
prasarana wisata bahari. Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang
pengembangan wisata bahari secara terpadu. Ketiga, penyediaan sistem informasi
pariwisata dan program promosi yang tepat.
Di lain pihak, ada faktor-faktor nonteknis yang berasal dari unsur kebijakan pemerintah
namun turut mempengaruhi daya tarik kegiatan wisata yang juga perlu dibenahi, antara
lain kebijakan dalam kemudahan mendapatkan visa bagi kunjungan wisata, dan
memudahkan pengurusan Cruising Approval For Indonesian Territiry, Custom,
Imiggration, Fort Clearance and Quarantine atau kemudahan untuk mengurus dokumendokumen kepariwisataan.
Ada pula pemikiran tentang menetapkan pelabuhan sebagai ”pintu masuk” wisata dan
mengembangkannya sesuai standar internasional. Juga upaya menciptakan suasana
aman dan nyaman sebagai iklim yang kondusif demi berlansungnya kegiatan pariwisata.
Semoga tulisan ini dapat dijadikan paradigma baru pembangunan dunia kepariwisataan
Indonesia yang berbasis pada industri pariwisata dan ekonomi kerakyatan
3.4. Industri Maritim: Kasus industri Garam
Berdasarkan kajian PKSPL-IPB (2006), sekalipun merupakan Negara bahari yang
memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, Indonesia akan sulit swasembada
garam. Alasannya, tidak ada hamparan lahan luas di kawasan pesisir pantai untuk
dijadikan ladang garam berskala besar. Penyebab lain, musim kemarau pada sebagian
wilayah Indonesia sangat pendek, yakni empat sampai enam bulan.
Saat ini, Indonesia hanya memiliki ladang garam seluas 25.383 hektar dengan total
produksi 1,7 juta ton. Sementara kebutuhan nasional pada tahun 2002 mencapai 2,8
juta ton, dengan total pertumbuhan kebutuhan 8,4 persen. Itu berarti, untuk dapat
berswasembada garam, Indonesia membutuhkan lahan minimal 55.000 hektar karena
kemampuan produksi hanya 40 ton-60 ton per hektar per tahun.
Alasan lain, minat investor untuk menanamkan modal dalam usaha produksi garam
sangat rendah. Bahkan, saat ini hanya ada satu perusahaan di bidang ini, yakni PT
Garam dengan areal seluas 5.116 hektar. Selebihnya dikelola petani secara tradisional
pada lahan 25.542 hektar. Harga yang diberlakukan pun sangat rendah, yakni Rp 250Rp 500 per kilogram. Akibatnya, setiap tahun hampir tak ada penambahan lahan garam
baru. Malahan, yang terjadi adalah penyusutan lahan karena dialihfungsikan untuk
usaha lain.
Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005 hingga saat ini hanya
ada satu perusahaan yang mau berinvestasi di usaha pergaraman. Diketahui bahwa
salah satu penyebabnya adalah karena bidang usaha ini tidak dapat dilakukan dalam
skala besar, sebab belum ditemukan hamparan kawasan pesisir seluas minimal 10.000
hektar.
Investasi bidang usaha ini juga membutuhkan investasi yang tinggi dengan risiko yang
cukup besar. Akibatnya, pedagang cenderung memilih menjadi importir garam, sebab
tak membutuhkan biaya investasi mahal. Apalagi, tak pernah diberlakukan bea masuk
(BM) impor garam sehingga harga gula impor jauh lebih murah dibanding garam lokal.
Sehingga DKP saat ini sedang mencari lahan kawasan pesisir di Nusa Tenggara Timur
(NTT) dan Sulawesi Selatan. Di dua provinsi ini masih terdapat lahan yang cukup luas
dengan musim kemarau yang panjang. Peluang akan ditawarkan kepada sejumlah
investor untuk membuka usaha garam dengan melibatkan rakyat setempat. Jika diminati
dan mulai ada investasi, maka pemerintah akan memberikan sejumlah stimulus.
Sejarah Garam di Indonesia
Berawal dari pertanian di ladang-ladang garam secara tradisional, Industri Garam
Indonesia terus berkembang, hingga saat ini menjadi salah satu bidang industri yang
memberi penghidupan bagi banyak masyarakat di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan
oleh tingkat kebutuhan dan rangkaian kegiatan yang menyertai keberadaan garam.
Dari material awal, yaitu garam kasar (krosok), industri garam di Indonesia memproduksi
berbagai jenis garam untuk memenuhi berbagai keperluan akan garam. Baik untuk
kebutuhan rumah tangga, maupun kebutuhan industri, peternakan, dan pertanian.
Namun demikian, industri garam di Indonesia bukan berarti berjalan mulus tanpa
hambatan dan kendala. Kualitas garam yang belum maksimal, ketidakstabilan harga
garam, proses produksi yang masih bersifat tradisional, dan persaingan dengan
komoditi garam dari luar negeri merupakan sedikit dari sekian banyak masalah garam di
Indonesia. Hal inilah yang harus terus dibenahi dan disempurnakan hingga Industri
Garam Indonesia mampu menjadi Pilihan Utama bagi seluruh lapisan masyarakat.
Garam yang didalamnya terkandung senyawa Kalium Iodat (Garam Beryodium)
merupakan salah satu nutrisi penting yang harus dikonsumsi secara teratur oleh
manusia. Jumlah garam yang harus dikonsumsi per hari untuk setiap orang kurang lebih
adalah 9 gram. Untuk masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, selain untuk
memenuhi nutrisi tubuh konsumsi garam ditujukan juga untuk memenuhi kebutuhan
tubuh akan yodium.
Garam beryodium adalah garam konsumsi yang mengandung komponen utama Natrium
Chlorida (NaCl) minimal 94,7%, air maksimal 5% dan Kalium Iodat (KIO3) sebanyak 3080 ppm (mg/kg) serta senyawa-senyawa lain. Penyebaran garam beryodium pada
masyarakat saat ini merupakan upaya pemerintah yang paling efektif dalam rangka
penanggulangan masalah GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium). Garam
merupakan salah satu bumbu masak yang hampir setiap makanan atau masakan
membutuhkannya, sehingga dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Garam juga
mudah untuk diperdagangkan oleh setiap pedagang atau pengecer dengan harga yang
sangat terjangkau oleh masyarakat luas, baik oleh pedagang besar (seperti
supermarket) atau pedagang kecil (seperti warung).
Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden RI No. 69 Tahun 1994 tanggal 13 Oktober
1994 tentang Pengadaan garam beryodium, maka telah diterbitkan Surat Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 77/M/SK/5/1995 tanggal 4 Mei 1995
tentang Persyaratan teknis pengolahan, pengawasan dan pelabelan garam beryodium,
maka perlu dilakukan penjabaran lebih lanjut mencakup prinsip dasar proses produksi
dan pengendalian mutu pengolahan garam serta tata cara perizinan. Sehingga
dipandang perlu adanya petunjuk teknis sebagai pedoman dalam rangka pengadaan
garam beryodium yang memenuhi syarat, yaitu antara lain :
1. Proses Produksi untuk memberikan gambaran tentang pembuatan garam
beryodium dengan menitikberatkan pada pencucian, pengeringan/ penirisan,
yodisasi dan pengemasan.
2. Sistem Pengendalian Mutu untuk memproduksi garam beryodium sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-3556-1994.
3. Perizinan untuk menginformasikan kepada perusahaan garam beryodium
maupun calon investor tentang cara memperoleh perizinan usaha industri.
Industri garam nasional yang sebenarnya berasal dari garam rakyat tradisional (mutu
rendah) yang kemudian diproses lebih lanjut menjadi garam briket (untuk bahan
pengawet dan keperluan industri), garam halus (garam meja) dan sangat halus (bahan
baku hujan buatan) serta makin bersih dan baik kualitasnya (tinggi NaCl-nya dan rendah
kadar airnya) tersebut; dihasilkan terutama di sentra-sentra garam yang terletak di :
o Barat : Cirebon
o Tengah : Pati, Rembang, Gresik dan Pulau Madura
o Timur : NTB (Bima), NTT dan Sulawesi Selatan (Jeneponto),
yang pada saat ini hanya menghasilkan produksi rata-rata 1 juta ton / tahun.
Produksi garam rakyat ini hanya dapat diharapkan selama musim kering saja, yang
berjalan secara efektif selama kurang-lebih 3-4 bulan saja selain 1,5 bulan sebelumnya
untuk masa persiapan produksi; untuk keperluan sisa waktu dalam satu tahun,
diperlukan adanya stok garam yang cukup banyak.
Belakangan ini, penggunaan garam sebagai konsumsi sangat kecil bila dibandingkan
dengan penggunaannya sebagai bahan baku untuk pengolahan / industri (terutama
untuk pabrik pulp dan industri yang membutuhkan banyak chlor dan soda). Penggunaan
garam untuk industri secara nasional mencapai 1,9 - 2 juta ton / tahun, sedangkan untuk
konsumsi hanya membutuhkan sekitar 0,8 juta ton / tahun; sehingga kebutuhan nasional
akan garam mencapai 2,7 - 2,8 juta ton / tahun. Kekurangan supply garam (terutama
untuk industri) tersebut dipenuhi dengan import garam (dari Australia) sebanyak 1,7 1,8 juta ton / tahun.
Menurut informasi Business News (10 Juli 2004), Indonesia telah mampu mengekspor
garam ke Thailand, Malaysia, dan Taiwan sebanyak 5.700 ton dengan nilai sekitar Rp. 1
Milyar.
Permasalahan Industri Garam
Adanya bencana alam La-Nina pada tahun 1998/99, telah menyebabkan produksi
garam nasional mengalami penurunan yang luar biasa dan menyebabkan kelangkaan
garam sampai dengan tahun 2001. Selama itu, industri yang tadinya juga menggunakan
bahan baku yang sebagian berasal dari garam rakyat telah terbiasa dengan garam
import yang tinggi mutunya, sehingga saat supply pulih kembali masih enggan untuk
menggunakan bahan baku yang berasal dari garam rakyat yang rendah mutunya
(meskipun murah).
Adanya kelebihan produksi sekitar 0,2 juta ton / tahun (kebanyakan garam rakyat
dipergunakan untuk konsumsi) tersebut menyebabkan petani garam mengeluh, karena
industri enggan menerima garam rakyat. Hal ini yang menyebabkan diterbitkannya SK
Menperindag no. 360/MPP/Kep/5/2004 yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2004, yang
mengatur tentang (1) kewajiban bagi industri yang mengimpor garam (importir terdaftar
garam) untuk membeli 50% kebutuhannya dari garam lokal terlebih dahulu, (2) dilarang
mengimpor garam pada masa tertentu (1 bulan sebelum panen, selama panen dan 2
bulan setelah panen garam rakyat), serta dilarang mengimpor garam bila harga garam
rakyat terlalu rendah (dibawah Rp.145.000/ton untuk mutu K1, Rp.100.000/ton untuk K2,
dan Rp.70.000 untuk K3).
Bagi industri pengguna garam besar diatas, terbitnya SK. No. 360/MPP/Kep/5/2004
(pengaturan tambahan dan serta-merta ini) dianggap berpotensi menghambat
kelancaran produksinya, karena beberapa industri hanya mempunyai stok garam untuk
keperluan 1-1,5 bulan ke depan saja (diperlukan waktu cukup lama untuk
mengimpornya). Pada saat kejelasan tentang perusahaan mana dan bagaimana
prosedurnya untuk dapat menjadi importir terdaftar garam tersebut belum ada, salah
satu perusahaan (Susanti Megah) bahkan telah dipanggil polisi untuk dimintai
keterangan karena pelanggaran, sementara SK no. 360 tersebut baru mulai berlaku
sejak 1 Juli 2004.
Upaya untuk meningkatkan mutu dan jumlah garam rakyat yang diproduksi juga
mengalami banyak kendala, antara lain : (1) makin buruknya mutu air laut sebagai
bahan baku pembuatan garam, (2) makin sempit dan kecilnya petak-petak ladang
garam karena kepemilikan per orang/penguasaan lahan yang terbatas, (3) bersaing
dengan penggunaan lahan yang lebih produktif, (4) lamanya musim hujan dan tingginya
curah hujan pada waktu tertentu, (5) makin tingginya biaya produksi di saat harga garam
rakyat jatuh, dll.
Industri Garam di Negara lain
Pada saat ini, Australia, Mexico atau China dianggap sebagai negara produsen garam
yang besar di dunia. Ladang garam Australia yang dikelola secara besar-besaran dapat
menghasilkan sekitar 70 cm endapan garam dan hanya 50 cm bagian atas yang diambil,
sehingga mutunya baik. Produksi ladang garam Australia seluas + 10.000 Ha dan
mendapat sinar matahari yang lebih panjang / panas, dapat menghasilkan 1 juta ton /
tahun. Namun sistem industri garam di China (dengan 4 musim dan dikelola dalam skala
yang lebih kecil) mungkin lebih sesuai dengan kondisi Indonesia.
Industri Garam Jabar Menggeliat
Penjualan Diperkirakan Naik 40% Sejak Keran Impor Ditutup
BANDUNG, (PR).Asosiasi Pengusaha Garam (APG) Jabar memprediksi penjualan garam rakyat di
kawasan Jawa Barat untuk musim panen 2005 ini akan meningkat sampai 40%.
Menyusul dikeluarkannya Keputusan Menteri Perdagangan No. 425/M-DAG/06/2005,
yang menetapkan larangan impor garam per 1 Juli - 31 Desember 2005.
"Dengan adanya penghentian impor garam, kami memproyeksikan hasil panen garam
pada paruh tahun 2005 ini bisa terjual sampai 90%, atau meningkat antara 30%-40%,"
ujar Ketua APG, Cucu Sutara, saat ditemui "PR" Rabu (6/7).
Dikatakan, produksi dari petani garam rakyat Jawa Barat, rata-rata 200.000 ton setiap
tahun. Dari jumlah tersebut hanya 50%-60% yang bisa terjual ke pasar, karena sisanya
diambil oleh garam impor yang merupakan pesaing utama mereka. Menurutnya,
walaupun Jawa Barat tidak secara langsung melakukan impor garam karena
kewenangan impor berada di Jakarta, pangsa pasar garam impor bisa mencapai 35%40% dari total penjualan garam di Jawa Barat. Karena itulah penghentian impor garam
dipastikan akan membuat penjualan garam rakyat akan meningkat.
"Jadi untuk kebutuhan Jawa Barat, penghentian impor tidak akan menyebabkan
terjadinya defisit garam. Karena kapasitas produksi garam yang ada, sudah di atas
angka kebutuhan. Malah, penghentian impor sangat positif, karena akan membuat
petani garam bisa merasakan manisnya garam," katanya. Dijelaskan, pada saat ini
total kebutuhan garam di Jabar adalah 184.000 ton per tahun. Sebanyak 142.000 ton
per tahun merupakan kebutuhan konsumsi masyarakat umum dan 42.000 ton diserap
untuk kebutuhan industri. Dengan produksi garam rakyat yang mencapai 200.000 ton
per tahun, masih mencukup memenuhi kebutuhan tersebut.
Peningkatan kualitas
Pada bagian lain, Cucu mengatakan pihak APG Jabar berharap selain mengeluarkan
kebijakan penghentian impor garam, pemerintah juga dapat mengeluarkan kebijakan
untuk meningkatkan kualitas produksi garam rakyat. Pasalnya, hal tersebut sangat
diperlukan, untuk lebih meningkatkan daya saing garam rakyat.
"Terutama untuk menghasilkan kristal garam yang lebih putih dan bersih. Karena
sebenarnya kelemahan inilah, yang menjadikan keberadaan garam rakyat sampai
terancam oleh garam impor," katanya.
Diakuinya, pada tahun 2000 untuk meningkatkan kualitas produk pemerintah pernah
membuat projek percontohan di 7 lokasi. Di antaranya di Cirebon (Jabar), Sampang
(Madura), Jeneponto (Sulsel), dan Bima (NTB). Hasilnya, memang bisa meningkatkan
kualitas garam, tapi biaya produksinya terlalu tinggi sehingga tidak bisa digunakan oleh
petani garam.
Selain masalah kualitas, juga harus dipikirkan cara untuk meningkatkan produktivitas.
Saat ini dengan lahan 1 ha, petani garam hanya bisa menghasilkan 6 ton garam. Hal
tersebut harus bisa ditingkatkan, setidaknya menjadi 10 ton garam/ha sehingga garam
rakyat bisa lebih bersaing.
"Karenanya, harus dicarikan cara untuk mendapatkan proses produksi yang bisa
meningkatkan kualitas dan produktivitas, tapi dengan penambahan modal yang terlalu
Lebih jauh Cucu menjelaskan, karena rendahnya kualitas produk dari petani garam,
memerlukan proses tambahan sebelum dijual. Pengusaha pengumpul (garam- red.)
perlu melakukan proses pencucian dan pengeringan, sebelum dicampur yodium dan
masuk proses pengemasan.
Hal tersebut membutuhkan biaya tambahan, selain untuk proses tambahan juga untuk
menutup penyusutan kuantitas dari proses pencucian dan pengeringan. Sehingga
garam rakyat yang dibeli dari petani seharga Rp 150,00 - Rp 175,00/kg, dijual di umum
dengan harga Rp 500,00 - Rp 550,00/kg.
"Sedangkan garam impor dibeli dengan harga Rp 250,00 - Rp 300,00/kg, tinggal
mencampur dengan yodium dan dibuatkan kemasannya, karena butiran garammnya
tetap jauh lebih putih dan bersih dari garam lokal, bisa dijual di pasar dengan harga Rp
600,00/kg," katanya. (A-135)
Pikiran Rakyat, 7 Juli 2005
3.5. Angkutan Laut dan Pelabuhan
Berdasarkan analisis PKSPL IPB, 2006 diperkirakan potensi ekonomi perhubungan laut,
sekitar 14,78 miliar dolar AS per tahun. Namun ini masih sekedar potensi, karena
faktanya
kita mengeluarkan biaya (devisa) sebesar lebih kurang 10 miliar dollar AS
untuk membiayai kegiatan transportasi ekspor-impor yang 97 persen menggunakan
kapal berbendera asing dan 50,15 persen kegiatan transportasi domestik yang juga
masih dikuasai oleh pelayaran asing
Sementara itu di jasa penyediaan tenaga kerja pelaut, potensinya pun luar biasa
besarnya. Kebutuhan pelaut dunia pada 2000 sebanyak 1,32 juta orang dengan gaji
mencapai 18 miliar dolar AS per tahun. Indonesia baru memasok 34 ribu orang (3
persen). Sedangkan Filipina 191 ribu pelaut (25 persen) dan RRC 104 ribu pelaut (10
persen). Belum lagi potensi ekonomi dari sektor industri dan jasa maritim.
Kusumastanto (2003), Indonesia memerlukan kebijakan transportasi laut yang berpihak
pada kepentingan armada pelayaran nasional sehingga sektor ini diharapkan agar
berperan penting dalam dunia perdagangan internasional maupun domestik.
Transportasi laut juga membuka akses dan menghubungkan wilayah pulau, baik daerah
sudah yang maju maupun yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan
(archipelagic state), Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut.
Vallega (2001) dalam perspektif geografis mengingatkan bahwa tantangan globalisasi
yang berkaitan dengan kelautan adalah transportasi laut, sistem komunikasi, urbanisasi
di wilayah pesisir, dan pariwisata bahari. Karena itu diperlukan kebijakan kelautan
(ocean policy) yang mengakomodasi transportasi laut di sebuah negeri bahari.
Perkembangan transportasi laut di Indonesia sampai saat ini masih dikuasai oleh pihak
asing. Di bidang transportasi laut, Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang
memadai dari segi jumlah maupun kapasitasnya.
Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan
luar negeri yang mencapai 345 juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Adapun share
armada nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya
mencapai 56,4 persen. Kondisi semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan terutama
dalam menghadapi era perdagangan bebas.
Sampai tahun 2001 tercatat ada 1.762 perusahaan pelayaran. Dari jumlah tersebut,
perusahaan pelayaran yang memiliki kapal berbobot sampai 174 gross ton (GT) ada 126
perusahaan, yang memiliki 175 GT-4.999 GT ada 6.070 perusahaan, dan 5.000 GT ada
129 perusahaan. Sisanya adalah sebanyak 809 perusahaan pelayaran yang kondisinya
tidak memiliki kapal atau hanya mencarter.
Perusahaan pelayaran yang mempunyai kapal adalah PT Pelni dengan 44 kapal,
Pertamina (35 kapal), Meratus (19 kapal), PT Arpeni (18 kapal), Berlian Laju Tanker (9
kapal), dan PT Pusri dan Bahtera Adiguna masing-masing 7 kapal (Dirjen Hubla).
Anehnya, perusahaan yang memiliki kapal bukan perusahaan yang benar-benar
memiliki core business dalam angkutan laut, tetapi mereka mengoperasikan kapal
tersebut sebagai sarana penunjang kegiatan industrinya.
Dominasi pelayaran asing terlihat dari muatan (freight) kapal asing yang mengangkut
muatan luar negeri (ekspor/impor), yakni menguasai muatan sebanyak 92,5 persen
(322,5 juta M/T). Adapun muatan dalam negeri, kapal asing menguasai 50 persen dari
seluruh angkutan total barang (89,8 juta M/T). Hal ini berarti perusahaan pelayaran
nasional kebanyakan hanya menjadi agen dari kapal-kapal pelayaran asing. Dampaknya
adalah bangsa Indonesia tidak memiliki otoritas untuk menekan sumber inefisiensi
dalam transportasi laut.
Peluang pengembangan transportasi laut dan sarana pendukungnya, yakni pelabuhan,
diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan secara ekonomi. Potensi nilai
ekonomi dari sektor ini minimal mencapai 6 miliar-9 miliar dollar AS dengan dasar
perhitungan jumlah nilai ekspor dan impor sekitar 90 miliar dollar AS per tahun, di mana
7-10 persen adalah porsi transportasi laut. Kontribusi transportasi laut terhadap PDB
sektor kelautan atas harga berlaku tahun 1998 mencapai 7,42 persen.
Dalam membangun transportasi laut nasional, kebijakan kelautan yang dikembangkan
harus ditinjau dari empat aspek, yakni pertama dari aspek perangkat lunak. Caranya
dengan mengembangkan berbagai kebijakan yang mendukung, termasuk meratifikasi
hukum-hukum laut internasional yang mendorong berkembangnya pelayaran nasional.
Kalau perlu sebagai langkah awal bekerja sama dengan pelayaran asing baik secara
regional maupun bilateral.
Indonesia perlu meratifikasi beberapa konvensi internasional menyangkut private
maritime law dengan menyesuaikan ketentuan-ketentuan hukum pusat maritim di
Indonesia dengan ketentuan-ketentuan internasional tersebut.
Agar armada nasional berkembang, maka peraturan yang memberatkan, kebijakan
perpajakan yang terlalu tinggi serta berbagai penyebab ekonomi biaya tinggi lainnya,
harus dihilangkan.
Berikutnya adalah aspek perangkat keras. Untuk itu perlu kebijakan yang meningkatkan
jumlah armada pelayaran nasional, baik untuk kapal niaga maupun kapal penumpang,
dengan cara merumuskan kebijakan tentang pengembangan industri perkapalan
nasional. Adalah suatu ironi, sebuah negara kepulauan semacam Indonesia tidak
memiliki industri perkapalan yang tangguh.
Berkembangnya industri perkapalan diharapkan meningkatkan armada transportasi laut
nasional. Ini selanjutnya akan meningkatkan perdagangan domestik antarpulau dan
membuka akses keterisolasian bagi daerah-daerah yang berada di pulau-pulau kecil
perbatasan seperti Pulau Nias, Natuna, Weh, dan Miangas. Dengan demikian,
perekonomian masyarakat di pulau-pulau perbatasan dapat lebih berkembang lagi.
Industri perkapalan akan menunjang jasa perhubungan antarpulau di daerah yang
berbasiskan kepulauan seperti Maluku, Riau Kepulauan, Bangka Belitung, NTT, dan
NTB, maupun Irian Jaya, sekaligus industri pariwisata baharinya. Daerah-daerah yang
memiliki taman laut seperti Bunaken, Wakatobi, Pulau Tujuh, dan Takabonerate, tentu
bisa berkembang lebih baik lagi.
Hal lain yang perlu dikembangkan adalah pelabuhan hubport di Kawasan Timur maupun
Kawasan Barat Indonesia untuk meningkatkan perolehan devisa negara yang selama ini
mengalir ke Singapura atau Malaysia. Pelabuhan hubport selain Tanjung Priok juga
perlu dipertimbangkan di Pelabuhan Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam dan
Makassar di Sulawesi Selatan. Ini akan mengurangi kehilangan devisa yang nilainya
sebesar Rp 2,7 triliun setiap tahun akibat aktivitas pelabuhan transit hubport di negara
lain (Kamaluddin, 2003).
Kebijakan lain yang tak kalah penting adalah mengalokasikan pendanaan untuk
pendidikan kelautan dari tingkat menengah sampai pendidikan tinggi melalui APBN,
sesuai amanat hasil amandemen UUD 1945.
Pengembangan sekolah-sekolah kejuruan kemaritiman di beberapa wilayah Indonesia
yang berbasiskan kelautan dengan jurusan transportasi laut di dalamnya perlu
mendapatkan prioritas.
Balai Latihan Kerja (BLK) Maritim perlu direvitalisasi untuk meningkatkan kapasitas
sumber daya manusia (SDM) yang bersifat teknis dalam bidang permesinan,
perbengkelan, dan galangan kapal. Pengembangan selanjutnya adalah pendidikan
tinggi kemaritiman minimal sampai strata dua. Ada baiknya digalang kerja sama antara
Institut Kelautan Indonesia (IKI) dan lembaga-lembaga internasional yang
berkompetensi dalam sertifikasi tenaga kerja di bidang kelautan. Dengan demikian,
kualitas SDM Indonesia diakui secara internasional dan berdaya saing tinggi di era
pasar global.
Aspek berikutnya adalah pendanaan (financial). Kebijakan kelautan yang dianjurkan
dalam aspek pendanaan adalah mengeluarkan paket insentif berupa kredit perbankan
yang diperuntukkan bagi pengadaan armada transportasi laut, biaya operasional, dan
biaya perawatan, sehingga pengusaha pelayaran nasional dapat memiliki armada
sendiri dan tidak kedodoran. Oleh karena itu, perlu dikembangkan dukungan
kelembagaan keuangan yang menunjang pengembangan armada transportasi laut
nasional.
Dengan adanya kebijakan-kebijakan kelautan semacam itu, diharapkan sektor
transportasi laut bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hanya dengan cara ini,
Indonesia sebagai bangsa bahari yang menganut prinsip negara kepulauan sesuai
dengan Wawasan Nusantara akan semakin dihormati masyarakat internasional.
Mengharapkan Kebijakan Transportasi Laut
JELAS tak mudah mengurus sebuah kabupaten yang terbagi atas 121 pulau yang letaknya
sangat jauh dari ibu kota provinsi. Dengan fakta ini, tak salah kalau Pemerintah Kabupaten
Banggai Kepulauan meminta perhatian Departemen Perhubungan, lebih khusus lagi PT Pelni,
agar memberi kebijakan khusus untuk masalah transportasi di daerah ini.
Permintaan ini bukan tanpa sebab. Sejak sebulan terakhir, Kapal Motor (KM) Ciremai, satusatunya kapal penumpang besar yang menghubungkan Banggai dengan Jakarta, tidak lagi
menyinggahi Pelabuhan Banggai. Ini membuat masyarakat dan Pemerintah Kabupaten
Banggai Kepulauan (Bangkep) terpukul. Pasalnya, selama lebih dari 12 tahun secara rutin
KM ini sandar di Pelabuhan Banggai. Keberadaan kapal penumpang dan barang ini sangat
membantu menghidupkan roda perekonomian masyarakat setempat.
Keberadaannya dirasakan betul oleh pedagang, mulai dari pedagang kaki lima di sekitar
pelabuhan, pedagang antarpulau, hingga pedagang yang bolak-balik Banggai-Jakarta.
Memang, dengan tidak beroperasinya lagi KM Ciremai di Pelabuhan Banggai, bukan berarti
perputaran roda ekonomi betul-betul tak jalan. Namun, ini jelas sangat berpengaruh, terutama
pada ekonomi berbiaya tinggi dan waktu yang banyak terbuang.
Sebagai gambaran, dengan KM Ciremai, penumpang asal Banggai tujuan Jakarta cukup
sekali naik kapal. Karena itu, setelah kapal ini tidak beroperasi, masyarakat harus
menghabiskan banyak waktu dan biaya. Untuk naik kapal laut dari Banggai, misalnya, calon
penumpang harus naik kapal kayu sehari semalam untuk tiba di Pelabuhan Bau-Bau, Buton,
Sulawesi Tenggara. Dari Bau-Bau, mereka mencari kapal untuk ke Jakarta. Dengan pilihan
ini, tak hanya waktu yang tersita, risiko kecelakaan laut pun mengintai mengingat laut di
sekitar Bangkep terkenal dengan ombaknya yang besar.
Pilihan lewat udara sama sulitnya. Dari Banggai, umpamanya, calon penumpang harus naik
kapal kayu selama tujuh jam untuk sampai ke Luwuk. Dari Luwuk, perjalanan dilanjutkan naik
kapal perintis sekitar 1,5 jam ke bandara di Palu. Dari Palu, baru ganti pesawat ke Jakarta.
"Padahal, tidak semua masyarakat kami mampu naik pesawat. Satu-satunya angkutan murah
dengan risiko kecelakaan yang tidak besar, ya memang naik kapal Pelni. Ini jelas sangat
memukul kami. Apalagi dari data statistik yang kami peroleh, walau sedikit, kontribusi Banggai
ke Pelni tetap ada. Misalnya, tahun 2000 pendapatan Pelni di Pelabuhan Banggai, dari
penumpang dan barang, mencapai Rp 2 miliar. Tahun 2001 Rp 1,9 miliar. Mungkin ini kecil,
tapi tetap ada," ujar Bupati Banggai HM Ali Hamid.
Sebagai gambaran, kata Ali lagi, potensi terbesar Bangkep ada di sektor kelautan dan
perikanan, setelah itu pertanian dan perkebunan. Untuk perikanan dan kelautan, misalnya,
kabupaten ini punya potensi besar, seperti ikan, udang, lobster, rumput laut, dan kerang.
Untuk pertanian dan perkebunan, masyarakat setempat menanam sayur dan buah-buahan,
kakao, jambu mete, kopra, dan lain-lain.
Sebenarnya, tambah Ali, untuk daerah seperti Banggai dengan laut menempati porsi
terbesar setelah daratan dan aktivitas masyarakat lebih banyak di laut, pemerintah harus
memberi kebijakan khusus untuk tidak sekadar berhitung bisnis dalam penyediaan
transportasi.
Sebagai gambaran, kata Ali lagi, potensi terbesar Bangkep ada di sektor kelautan dan
perikanan, setelah itu pertanian dan perkebunan. Untuk perikanan dan kelautan, misalnya,
kabupaten ini punya potensi besar, seperti ikan, udang, lobster, rumput laut, dan kerang.
Untuk pertanian dan perkebunan, masyarakat setempat menanam sayur dan buah-buahan,
kakao, jambu mete, kopra, dan lain-lain.
Selama ini, selain untuk kebutuhan lokal, banyak warga masyarakat yang menggunakan
jasa kapal Pelni untuk memasarkan hasil laut maupun pertanian dan perkebunan ke BauBau, Makassar, dan daerah lain di sekitarnya. Sebaliknya, untuk keperluan yang
didatangkan dari luar pulau, seperti sembilan bahan pokok, dan pakaian, masyarakat juga
menggunakan jasa kapal Pelni.
"Bisa dibayangkan, dengan naik kapal kayu, untuk barang-barang seperti udang, ikan, dan
hasil laut lainnya, atau hasil pertanian seperti buah atau sayur, risikonya besar untuk jadi
busuk setiba di tempat tujuan. Belum lagi risiko kecelakaan dan tambahan biaya. Ini juga
sama untuk pedagang yang membeli barang di luar pulau. Jadi, kami benar-benar minta
perhatian pemerintah untuk memberi kebijakan, khususnya masalah transportasi laut,
kepada daerah kami," ujar Ali berharap.
Dalam beberapa tahun ke depan, tutur Ali, pemerintah setempat masih akan terus
berupaya memfokuskan pembangunan pada sektor kelautan dan perikanan. Masalahnya,
kendala yang dihadapi tidak sedikit. Selain masalah transportasi laut tadi, pengembangan
perikanan juga masih menghadapi banyak masalah.
Persoalan lain yang juga berat adalah masih banyaknya nelayan dari luar Banggai
beroperasi di perairan Banggai. Ini masih ditambah transaksi di tengah laut yang dilakukan
oleh nelayan dari luar maupun dari Banggai sendiri.
"Banyak pemasukan daerah yang akhirnya hilang dengan cara seperti ini. Makanya, untuk
mencoba menarik kembali pendapatan dari laut, kami bekerja sama dengan pihak swasta.
Beberapa perusahaan swasta, walau masih kecil, berusaha bekerja sama dengan nelayan
untuk memasarkan hasil tangkapan mereka ke luar negeri. Untuk mengurangi penggunaan
bom dan obat bius, kami juga mengajarkan budidaya kepada nelayan. Untuk alat tangkap,
pemerintah juga bekerja sama dengan bank pembangunan daerah menyalurkan kredit
berbunga ringan kepada nelayan, di samping bantuan-bantuan pemerintah yang
anggarannya diambil dari APBD," kata Bupati Ali menjelaskan.
Kompas, 23 Desember 2003
4. Arah Kebijakan Pengembangan Jasa Kelautan
Bila melihat uraian diatas, maka jelaslah bahwa pengembangan jasa kelautan
mempunyai daya tarik yang luar biasa. Artinya jasa kelautan bisa menghela sektor -
sektor kelautan untuk menciptakan pertumbuhan dan pusat-pusat perekonomian baru.
Dampak selanjutnya adalah mendorong masuknya investasi dan secara tidak langsung
mendorong penciptaan lapangan kerja.
Namun demikian untuk menentukan arah pengembangan jasa kelautan hendaklah
mengacu pada suatu kebijakan kelautan (Ocean Policy). Ocean policy sebagai payung
besar kebijakan nasional, dibangun oleh pendekatan kelembagaan yang kajiannya
mencakup dua domain dalam suatu sistem pemerintahan, yakni eksekutif dan legislatif.
Dalam konteks ini, kebijakan kelautan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi-politik
yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama pada semua tingkatan institusi
eksekutif yang mempunyai keterkaitan kelembagaan maupun sektor pembangunan.
Sedangkan, pada level legislatif, yang perlu diupayakan adalah menciptakan instrumen
kelembagaan (peraturan perundang-undangan), mulai dari level pusat hingga daerah
untuk mendukung pelaksanaan policy itu. (Kusumastanto, 2003).
Dalam pengembangan jasa kelautan hendaknya juga diarahkan untuk meraih empat
tujuan secara seimbang, yakni: (1) pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan
dengan jasa kelautan sebagai salah satu penggerak utama (prime mover); (2)
peningkatan kesejahteraan seluruh pelaku usaha, khususnya para pemangku
kepentingan yang terkait jasa kelautan; (3) terpeliharanya kelestarian lingkungan dan
sumberdaya kelautan; dan (4) menjadikan jasa kelautan sebagai salah satu modal bagi
pembangunan kelautan nasional
Sehingga ada benang merah yang dapat terlihat antara ocean policy dan pengelolaan
sumberdaya kelautan dengan jasa kelautan sebagai penggerak bagi pertumbuhan
sektor kelautan seperti terlihat pada Gambar 1 di bawah ini.
PENGEMBANGAN JASA KELAUTAN
JASA KELAUTAN SEBAGAI
PRIME MOVER
OCEAN POLICY
PENGELOLAAN
SUMBERDAYA
KELAUTAN SECARA
BERKELANJUTAN
Kebijakan kelautan diharapkan mampu memayungi sektor-sektor jasa kelautan secara
holistik dengan sektor-sektor ekonomi lainnya melalui pengembangan kawasan ekonomi
khusus misalnya melalui kebijakan kawasan kluster industri bahari. Dengan demikian
pengembangan jasa kelautan tidak menjadi terkotak-kotak karena batasan –batasan
birokrasi namun justru dituntut agar sinergi departemen-depatermen yang terkait dalam
pengembangan jasa kelautan dapat dikembangkan.
Download