ANALISIS EKONOMI KELAUTAN DAN ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN JASA KELAUTAN Oleh: Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) 1. Pendahuluan Di era globalisasi yang bercirikan liberalisasi perdagangan dan persaingan antarbangsa yang makin sengit, segenap sektor ekonomi harus mampu menghasilkan barang dan jasa (goods and services) berdaya saing tinggi. Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi pembangunan (ekonomi) kelautan yang besar dan beragam. Bidang Kelautan terdiri dari berbagai sektor yang dapat dikembangkan untuk memajukan dan memakmurkan bangsa Indonesia, yaitu: (1) perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) pertambangan dan energi; (6) pariwisata bahari; (7) angkutan laut; (8) jasa perdagangan; (9) industri maritim; (10) pulau-pulau kecil; dan (11) sumberdaya non-konvensional; (12) bangunan kelautan (konstruksi dan rekayasa); (13) benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage); (14) jasa lingkungan, konservasi dan biodiversitas. Dalam rangka mengatasi berbagai keterbatasan pengembangan ekonomi berbasis daratan maupun stagnasi pertumbuhan ekonomi saat ini. Apabila dikelola dengan baik berbagai sektor tersebut memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan menghasilkan produk-produk unggulan. Sementara itu permintaan produk kelautan diperkirakan akan terus meningkat --seiring dengan bertambahnya penduduk dunia, sehingga diyakini ekonomi kelautan dapat menjadi keunggulan kompetitif dan memecahkan persoalan bangsa. 2. Analisis Keragaan Ekonomi Kelautan (Ocean Economy) Beberapa kajian tentang keragaan ekonomi kelautan telah dilakukan, dalam uraian berikut ini disajikan deskripsi dan analisis ekonomi kelautan tersebut: 1) Strategi Dasar Pembangunan Kelautan dan Rencana Aksi Pembangunan Kelautan dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB, Bogor bekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Puslitbang Oseanologi LIPI Tahun 1997/1998 Hasil kajian tersebut menghasilkan pembagian bidang kelautan yang meliputi : (1) sektor perikanan, (2) sektor pariwisata bahari, (3) sektor pertambangan (4) sektor industri maritim, (5) sektor angkutan laut, (6) sektor bangunan kelautan, dan (7) sektor jasa kelautan. Pada kajian ini juga dihasilkan rumusan tentang arah strategi dan rencana aksi pembangunan kelautan di Indonesia. 2) Kajian Kebutuhan Investasi Pembangunan Perikanan Dalam Pembangunan Lima Tahun Mendatang (1999-2003) dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB Bogor bekerjasama dengan Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian Tahun 1998/1999 Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kebutuhan investasi sector perikanan yang didasarkan pada nilai ICOR dan ILOR. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) merupakan indikator untuk mengukur sejauh mana efisiensi dari suatu investasi. Makin rendah angka ICOR, maka investasi yang dilakukan semakin efisien. ICOR dihitung sebagai rasio investasi terhadap PDB. ICOR merupakan salah satu metoda untuk menghubungkan pertumbuhan faktor produksi dengan pertumbuhan ekonomi. ICOR juga menghubungkan besarnya pembentukan modal tetap domestik bruto dengan pertambahan PDB, yang dapat digunakan untuk menunjukkan efisiensi suatu perekonomian dalam menggunakan barang modal. ICOR dapat juga menunjukkan pola kecenderungan penggunaan metoda produksi (padat karya atau padat modal) dalam suatu perekonomian. Dalam perencanaan makro, ICOR dapat digunakan untuk menaksir besarnya kebutuhan modal yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Nilai ICOR berdasarkan kajian tersebut untuk sektor perikanan berkisar antara 2,753,95; mengindikasikan bahwa sub sektor ini mempunyai prospek yang cukup baik bagi investasi yang ditanamkan. Sedangkan ICOR rata-rata sektor perikanan sebesar 3,55 mengindikasikan bahwa sektor ini relatif efisien untuk penanaman modal dibandingkan beberapa sector lainnya. Pada kajian tersebut juga dikaji nilai ILOR. ILOR (Incremental Labor Output Ratio) yang merupakan merupakan koefisien yang menghubungkan peningkatan jumlah tenaga kerja dan output atau produk yang dihasilkan. Dalam kajian tersebut, maka ouput didekati dari besarnya PDB yang dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel Input-Output 1995. Berdasar analisis Tabel I-O didapatkan Nilai Indeks ILOR berkisar 7-9 dan hal tersebut menujukkan bahwa sektor perikanan merupakan sektor yang cukup menyerap tenaga kerja dalam meningkatkan produksinya. 3) Kajian Kontribusi Ekonomi Sektor Kelautan Dalam Pembangunan Nasional dilakukan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB Bogor bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (Puslitbang Oseanologi) LIPI Tahun 2000 Pada kajian tersebut difokuskan kepada pendekatan terhadap produksi yang didasarkan pada permintaan pasar terhadap komoditas dari bidang kelautan. Adanya permintaan pasar ini merangsang terjadinya pemanfaatan potensi sumberdaya. Pemanfaatan sumberdaya tersebut, didasarkan pada dua hal pokok, yaitu potensi sumberdaya yang masih besar, serta ketersediaan faktor-faktor produksi. Proses pemanfaatan ini menghasilkan produksi, untuk memenuhi permintaan pasar tersebut. Besarnya produksi bidang kelautan secara keseluruhan, merupakan Produk Domestik Bruto sektor kelautan. Dari kajian tersebut dihasilkan PDB sektor kelautan atas dasar harga konstan Tahun 1993 pada tahun 1995 –1998 menurut sub sektor (Milyar Rupiah). Tabel 1. Distribusi Produk Domestik Bruto Bidang Kelautan atas Dasar Harga Berlaku (dalam miliar rupiah) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sektor Perikanan Energi dan Sumberdaya Mineral Industri Maritim -Pengilangan Minyak Bumi -LNG -Industri maritim lainnya Angkutan Laut Pariwisata Bahari Bangunan Kelautan Jasa Kelautan Jumlah PDB Sektor Kelautan Jumlah PDB Nasional PDB 1995 6.474 19.712 PDB 1996 9.989 21.426 5.247 4.800 3.299 3.952 3.366 3.445 5.700 55.995 454.514,1 6.859 3.904 3.990 4.790 3.950 4.256 6.409 65.573 532.630,8 PDB 1997 PDB 1998 15.907 20.345 42.652 94.142 7.890 7.490 4.209 5.450 4.965 5.093 9.890 103.546 625.505,9 8.374 9.079 6.425 14.043 12.329 11.751 12.646 189.134 942.843,8 Sumber : PKSPL IPB, 2000 Dimana bila dilihat dari persentase, maka nilainya adalah sebagai berikut: Distribusi Prosentase Produk domestik Bruto Bidang Kelautan tahun 1995-1998 atas Harga Berlaku No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sektor Perikanan Energi dan Sumberdaya Mineral Industri Maritim -Pengilangan Minyak Bumi -LNG -Industri maritim lainnya Angkutan Laut Pariwisata Bahari Bangunan Kelautan Jasa Kelautan Lainnya. Jumlah PDB Sektor Kelautan Jumlah PDB Nasional Persentase ( %) Produk Domestik Bruto 1998 1995 1996 1997 1,43 1,86 2,54 2,16 4,36 4,02 6,82 9,98 1,16 1,06 0,73 0,74 0,87 0,76 1,26 12,38 1,29 0,73 0,75 0,90 0,74 0,80 1,20 12,31 1,26 1,20 0,67 0,87 0,79 0,81 1,58 16,55 0,89 0,96 0,68 1,49 1,31 1,25 1,34 20,06 100 100 100 100 Sumber : PKSPL IPB, 2000 Sedangkan nilai ICOR berdasarkan analisis Tabel Input Output Tahun 1995 sebagai berikut: Tabel 3. Nilai Koefisien ICOR Bidang Kelautan, berdasar Tabel I-O tahun 1995 No. Nilai Indeks ICOR Sektor 1. Perikanan 3,42 2. Energi dan Sumberdaya Mineral 3,64 3. Industri Maritim -Pengilangan Minyak Bumi -LNG -Industri maritim lainnya 3,56 4. Angkutan Laut 3,81 5. Pariwisata Bahari 3,10 6. Bangunan Kelautan 4,01 7. Jasa Kelautan Lainnya. 3,52 Sumber : PKSPL IPB, 2000 Merujuk pada Tabel 3 diatas maka sektor pariwisata bahari merupakan sektor yang paling efisien dan mempunyai resiko paling kecil untuk penanaman investasi jika dibandingkan dengan sub sektor lain. Kajian tersebut juga merekomendasikan bahwa terdapat tiga hal yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara nasional melalui ekonomi kelautan, yaitu: 4) Memperbesar dan memperluas diversifikasi sector-sektor kelautan. Memperbanyak investasi dengan memberikan dorongan/stimulus pada sektor- sektor yang mempunyai ICOR yang relatif rendah (perikanan, pariwisata). Meningkatkan efisiensi yang mencakup alokasi usaha yang optimum berdasarkan jenis usaha, lokasi dan compatibility antar sektor kelautan. Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan kerjasama Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB Bogor dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2004 Kajian tersebut pada intinya ditujukan untuk menyusun strategi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang mengintegrasikan pendekatan kelestarian untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang dapat digunakan sebagai acuan bagi penyusunan kebijakan operasional dan perencanaan bagi para stakeholders dan pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan. Berdasarkan kajian tersebut dihasilkan nilai Produk Domestik Bruto sektor kelautan dan perikanan pada Tahun 2002. Tabel 4. PDB Bidang Kelautan atas dasar harga berlaku pada tahun 1995 –1998 menurut bidang (Milyar Rupiah). Sektor PDB 1995 PDB 1996 PDB 1997 PDB 1998 PDB 2002 6.474 19.712 9.989 21.426 15.907 42.652 20.345 94.142 46.610 170.234 5.247 4.800 3.299 3.952 3.366 3.445 5.700 55.995 6.859 3.904 3.990 4.790 3.950 4.256 6.409 65.573 7.890 7.490 4.209 5.450 4.965 5.093 9.890 103.546 8.374 9.079 6.425 14.043 12.329 11.751 12.646 189.134 35.049 23.039 13.949 26.304 29.328 13.293 22.323 322.133 454.514,1 532.630,8 625.505,9 942.843,8 1.610.012 No 1. 2. Perikanan Energi dan Sumberdaya Mineral 3. Industri Maritim -Pengilangan Minyak Bumi -LNG -Industri maritim lainnya 4. Angkutan Laut 5. Pariwisata Bahari 6. Bangunan Kelautan 7. Jasa Kelautan Jumlah PDB Sektor Kelautan Jumlah PDB Nasional Sumber : PKSPL IPB,2004 Sedangkan bila dilihat dari presentase, maka nilai PDB sektor kelautan tersebut terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Distribusi Persentase Produk domestik Bruto Bidang Kelautan tahun 1995-2002 atas Harga Berlaku No. 1. 2. Sektor Perikanan Energi dan Sumberdaya Mineral Industri Maritim -Pengilangan Minyak Bumi -LNG -Industri maritim lainnya 4. Angkutan Laut 5. Pariwisata Bahari 6. Bangunan Kelautan 7. Jasa Kelautan Lainnya. Jumlah PDB Sektor Kelautan Jumlah PDB Nasional Sumber : PKSPL IPB,2004 Prosentase ( %) Produk Domestik Bruto 1995 1996 1997 1998 2002 1,43 1,86 2,54 2,16 2,80 4,36 4,02 6,82 9,98 10,23 3. 1,16 1,06 0,73 0,74 0,87 0,76 1,26 12,38 100 1,29 0,73 0,75 0,90 0,74 0,80 1,20 12,31 100 1,26 1,20 0,67 0,87 0,79 0,81 1,58 16,55 100 0,89 0,96 0,68 1,49 1,31 1,25 1,34 20,06 100 2.10 1,14 0,83 1,81 1,42 1,10 1,01 23,57 100 Kajian tersebut juga menghasilkan nilai koefisien ICOR sektor kelautan seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Koefisien ICOR Bidang Kelautan, berdasar Tabel I-O tahun 2000 No. Nilai Indeks ICOR Sektor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Perikanan Energi dan Sumberdaya Mineral Industri Maritim -Pengilangan Minyak Bumi -LNG -Industri maritim lainnya Angkutan Laut Pariwisata Bahari Bangunan Kelautan Jasa Kelautan Lainnya. 3,31 3,71 3,39 3,67 3,02 4,02 3,34 Sumber : PKSPL IPB, 2004 Bila melihat perbandingan kontribusi bidang kelautan pada Tahun 1998 dengan Tahun 2002, maka terlihat peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 1998 persentase kontribusi bidang kelautan terhadap PDB nasional sebesar 20,06 % maka pada Tahun 2002 nilainya meningkat menjadi 23, 57 %. Bila dicermati lebih jauh lagi distribusi kontribusi bidang kelautan tersebut didominasi oleh sektor pertambangan diikuti perikanan dan sektor-sektor lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa jika ketujuh sektor tersebut dipisah dimana sektor energi, industri maritim, angkutan laut, pariwisata bahari, bangunan kelautan dan jasa kelautan lainnya dianggap sebagai sub bidang jasa kelautan, maka sub bidang ini mempunyai kontribusi yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan PDB nasional. 3. Deskripsi, Klasifikasi dan Arah Pengembangan Jasa Kelautan Bidang Kelautan terdiri dari berbagai sektor yang dapat dikembangkan untuk memajukan dan memakmurkan bangsa Indonesia, yaitu: (1) perikanan tangkap; (2) perikanan budidaya; (3) industri pengolahan hasil perikanan; (4) industri bioteknologi kelautan; (5) pertambangan dan energi; (6) pariwisata bahari; (7) angkutan laut; (8) jasa perdagangan; (9) industri maritim; (10) pulau-pulau kecil; dan (11) sumberdaya nonkonvensional; (12) bangunan kelautan (konstruksi dan rekayasa); (13) benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage); (14) jasa lingkungan, konservasi dan biodiversitas. Berdasarkan uraian di atas, maka bidang kelautan dapat dibagi menjadi 2 sub bidang yakni sub bidang sumberdaya primer yakni (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya dan (3) pertambangan dan sub bidang jasa kelautan yang meliputi (1) industri bioteknologi, farmasi dan sumberdaya genetika, (2) energi, (3) pariwisata bahari, (4) industri maritim : galangan kapal, garam dll; (5) angkutan laut dan pelabuhan; (6) jasa perdagangan; (7) sumberdaya non konvensional (deep sea water); (8) bangunan kelautan (kontruksi dan rekayasa); (9) pulau-pulau kecil; (10) benda berharga dan warisan budaya (cultural heritage); (11) jasa lingkungan, konservasi dan biodiversitas. Dengan klasifikasi tersebut maka jasa kelautan mempunyai potensi yang luar biasa untuk dikembangkan. Walaupun masih perlu analisis dan pendalaman yang lebih komprehensif terhadap klasifikasi tersebut arah pengembangan yang dapat dilakukan diantaranya adalah sebagai berikut: 3.1. Industri Bioteknologi, Farmasi dan Sumberdaya Genetika. Indonesia sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan, menyimpan potensi sumberdaya hayati laut yang sangat besar baik jumlah maupun jenisnya (biodiversity). Potensi bioteknologi kelautan dan perikanan berupa senyawasenyawa bioaktif produk alam (natural products) seperti skualen, omega-3, fikokoloid dan biopolimer yang terdapat pada mikro dan makroalgae, mikroorganisme maupun invertebrata, saat ini belum dimanfaatkan dan dikelola secara optimal, padahal potensi tersebut memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan antara lain untuk keperluan industri makanan sehat, farmasi, kosmetik dan industri berbasis bioteknologi lainnya Bioteknologi kelautan dan perikanan merupakan suatu teknik yang menerapkan ilmuilmu dasar maupun rekayasa (engineering) untuk memproses bahan dengan menggunakan organisme atau bahan pembentuknya yang berhabitat laut melalui proses yang terkontrol sehingga menjadi produk yang berguna. Berbagai bidang ilmu yang menunjang dan terkait dengan bioteknologi adalah biologi, biokimia, kimia, genetika, dan rekayasa. Sebagai contoh, Amerika Serikat yang memiliki potensi keanekaragaman hayati laut yang jauh lebih rendah daripada Indonesia, sudah dapat meraup devisa dari industri bioteknologi kelautan lebih dari 40 milyar dollar per tahun. Oleh karena itu dalam era globalisasi ini, penguasaan ilmu dan teknologi termasuk bioteknologi merupakan hal yang sangat penting bagi suatu institusi agar mampu mengembangkan ilmu pengetahuan (iptek) yang dapat diadopsi oleh masyarakat dan industri untuk membantu memecahkan masalah nasional, misalnya dalam hal menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan penduduk dan sebagainya. Industri perikanan dan bioteknologi diperkirakan memiliki nilai ekonomi sebesar 82 miliar dollar AS per tahun. Namun demikian karena Indonesia belum serius menggarap sub sektor ini berdasarkan kajian PKSPL IPB (2006), Indonesia diperkirakan kehilangan potensi pendapatan dari produk-produk bioteknologi kelautan minimal sekitar US$ 1 miliar per tahun. Hal ini disebabkan karena lemahnya aplikasi bioteknologi kelautan serta jarangnya pengusaha yang terjun ke sektor tersebut. Padahal berdasarkan inventarisasi Divisi Bioteknologi Kelautan PKSPL IPB, diperkirakan terdapat 35.000 biota yang dimiliki laut Indonesia, sehingga seharusnya Indonesia mempunyai pendapatan miliaran dolar per tahun dari produk-produk biotek tersebut. Negara-negara maju yang memiliki sumberdaya kelautan terbatas saja dalam tahun 2004 produk ekspor bioteknologi kelautan Amerika Serikat mencapai US$4,6 miliar, sedang Inggris memperoleh sekitar US$2,3 miliar. Pemanfaatan industri perikanan dan bioteknologi tersebut melalui ekstraksi natural produk atau bioactive substances dari biota laut untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika dan bioenergi bisa disediakan Indonesia dengan sumber daya alam yang ada. Produk-produk yang bisa dihasilkan dari hasil rekayasa biota laut seperti makanan, tablet, salep, suspensi, pasta gigi, cat, tekstil, perekat, karet, film, pelembab, sampo, lotion, wet look. Sebagai contoh pemanfaatan yang tidak optimum adalah rumput laut. Nilai ekspor rumput laut Filipina mencapai US$700 juta sementara Indonesia hanya US$45 juta. Padahal 60% bahan mentahnya berupa rumput laut diimpor dari Indonesia. Artinya Indonesia masih kurang kuat dalam industri end product kelautan karena dukungan teknologi serta formulasinya yang masih tertinggal, sehingga hanya mampu memanfaatkan potensi kelautan sebatas bahan baku saja. Keadaan sebaliknya terjadi pada daya dukung alam serta kemampuan alam daratan menyediakan segenap kebutuhan manusia sangat terbatas atau bahkan menurun. Namun dengan perkembangan bioteknologi, usia pemanfaatan sumber-sumber kehidupan yang ada dapat dipertahankan lebih lama. Dan potensi itu masih relatif melimpah di dalam laut. Hal ini yang mendorong berkembangnya bioteknologi kelautan yang bertujuan memanfaatkan sel atau enzim yang terkandung dalam organisme di laut untuk berbagai aplikasi atau kebutuhan manusia termasuk pemulihan lingkungan yang rusak. Selain bioremediasi pencemaran lingkungan, dengan bioteknologi kelautan dilakukan ekstraksi zat bioaktif dari biota laut untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, serta bioenergi. Selain itu, juga dilakukan rekayasa genetika untuk budidaya ikan dan biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Dengan pesatnya perkembangan bioteknologi kelautan, berbagai jenis produk makanan dan obat-obatan memang berhasil dikembangkan oleh industri. Hasil pengolahan biota laut oleh industri bioteknologi menjadi obat-obatan dan bahan farmasi di antaranya adalah obat tidur dan obat penenang dari kuda laut, tempurung kura-kura untuk obat luka dan tetanus, hati ikan buntel untuk obat tetrodotoxin yang memperbaiki saraf otak yang rusak dan mengurangi rasa sakit. Selain itu, juga ada kitin dan kitosan dari kulit udang dan kepiting untuk obat anti kolesterol, pelangsing tubuh, ataupun perban. Adapun serbuk kerang digunakan untuk obat maag. Ular dari laut diambil serbuknya untuk meningkatkan daya ingat. Selain manfaat dari biota laut yang belum banyak dikenal orang, rumput laut yang selama ini diketahui sebagai bahan makanan ternyata memiliki berbagai khasiat. Rumput laut juga bisa diolah untuk obat influenza dan bahan pengawet makanan Dari tumbuhan laut ini terutama alga hijau digunakan untuk penyembuh penyakit kardiovaskular. Riset tentang rumput laut juga dilakukan untuk obat hepatitis, obat penyakit HIV/AIDS, dan obat penyakit diabetes. PKSPL IPB saat ini sedang meneliti spons. Spons saat ini juga tengah gencar diteliti di berbagai negara untuk diambil senyawa bioaktifnya. Pada spons dan karang lunak terdapat senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai alat pertahanan diri dari musuh alaminya. Senyawa itu ternyata berkhasiat obat dan kemudian dibuat sintetisnya. Spons dari spesies Petrosia contegnatta di antaranya diambil senyawa bioaktifnya untuk obat anti-kanker, sedangkan obat anti-asma dibuat dari senyawa spons Cymbacela. Senyawa bioaktif lainnya dari spons yang juga digunakan untuk industri farmasi adalah Bastadin, Okadaic acid, dan Monoalide. Senyawa bioaktif Monoalide yang diperoleh dari spons Luffariella variabilis merupakan senyawa yang memiliki nilai jual tertinggi daripada senyawa bioaktif dari spesies spons lainnya, yaitu 20.360 dollar AS per miligram. Melihat prospek manfaat dan ekonominya yang tinggi, budidaya spons yang relatif mudah merupakan mata pencarian yang bisa dikembangkan para nelayan di Indonesia. Budidaya spons laut dilakukan hanya dengan menjulurkan tali-temali ke dasar laut. Pada tiap tali itu diikat spons-spons secara paralel. Setelah sekitar 18 bulan, spons yang tumbuh ini bisa dipanen dan dijual ke industri kimia dan industri farmasi. Satu hal yang juga terlupakan terhadap pengembangan bioteknologi kelautan ini, bahwa sumberdaya ini dapat dikembangkan sebagai sumber pangan dan obat-obatan. Tentunya akan sangat relevan dengan adanya semakin menipisnya sumber-sumber pangan manusia dari daratan dan kebutuhan manusia akan bahan pangan, pakaian (serat), obat-obatan, kosmetik, papan (kayu), mineral, dan lahan akan meningkat berlipat ganda sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Menurut proyeksi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun lalu, dalam waktu seabad akan terjadi peningkatan lima kali lipat jumlah penduduk. Pada tahun 2050 penduduk dunia akan mencapai 10,6 miliar jauh meningkat dari tahun 2000 penduduk meningkat dari 6,1 miliar dan pada tahun 1950 yang berjumlah 2,5 miliar orang. Pertambahan penduduk berarti terjadi peningkatan terhadap semua jenis kebutuhan, seperti obat dan makanan. Sementara persediaan ikan dunia sebanyak 90 juta ton per tahun, tetapi volume penangkapannya telah mencapai 95 juta ton per tahun. Tahun 2000 total penangkapan meningkat menjadi 110 juta ton per tahun. Peningkatan kebutuhan ikan juga bakal terjadi di Indonesia. Pada 2006 diperkirakan mampu mencapai 7,5 juta ton per tahun. Padahal, potensi ikan yang tersedia hanya maksimal 6,4 juta ton per tahun. Oleh karena itu, perlu dicari teknologi yang mampu memproduksi bahan kebutuhan manusia di luar kemampuan alam. " 3.2. Energi Bila ditelaah lebih jauh sektor energi dapat dikategorikan dalam jasa kelautan. Berdasarkan data geologi diketahui Indonesia memiliki 60 cekungan potensi yang mengandung minyak dan gas bumi. Sebanyak 40 cekungan di antaranya terdapat di lepas pantai, 14 berada di daerah transisi daratan dan lautan (pesisir), dan hanya 6 saja yang berada di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut diperkirakan mempunyai potensi sebesar 11,3 miliar barrel yang terdiri atas 5,5 miliar barrel cadangan potensial dan 5,8 miliar barrel berupa cadangan terbukti. Selain itu diperkirakan cadangan gas bumi adalah 101,7 triliun kaki kubik yang terdiri dari cadangan terbukti 64,4 triliun dan cadangan potensial 37,3 triliun kaki kubik. Laut selain menjadi sumber pangan juga mengandung beraneka sumber daya energi. Kini para ahli menaruh perhatian terhadap laut sebagai upaya mencari jawaban terhadap tantangan kekurangan energi di waktu mendatang dan upaya menganekakan penggunaan sumber daya energi. Kesenjangan antara kebutuhan dan persediaan energi merupakan masalah yang perlu segera dicari pemecahannya. Apalagi mengingat perkiraan dan perhi- tungan para ahli pada tahun 2010-an produksi minyak akan menurun tajam dan bisa menja- di titik awal kesenjangan energi. Namun, pengembangan sumber energi alternatif memerlukan waktu sebelum sampai pada pemanfaatan secara ekonomi. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, Kanada, Jepang, Belanda, dan Korea telah mulai meneliti kemungkinan pemanfaatan energi dari laut terutama panas laut, gelombang dan pasang surut, dengan hasil yang memberikan harapan cukup baik. Energi samudera dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu energi panas laut, energi pasang surut, dan energi gelombang. Untuk lautan di wilayah Indonesia, potensi termal 2,5 x 1023 joule dengan efisiensi konversi energi panas laut sebesar tiga persen dapat menghasilkan daya sekitar 240.000 MW. Potensi energi panas laut yang baik terletak pada daerah antara 6- 9° lintang selatan dan 104-109° bujur timur. Di daerah tersebut pada jarak kurang dari 20 km dari pantai didapatkan suhu rata-rata permukaan laut di atas 28°C dan didapatkan perbedaan suhu permukaan dan kedalaman laut (1.000 m) sebesar 22,8°C. Sedangkan perbedaan suhu rata-rata tahunan permukaan dan kedalaman lautan (650 m) lebih tinggi dari 20°C. Dengan potensi sumber energi yang melimpah, konversi energi panas laut dapat dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan energi listrik di Indonesia. Wilayah Indonesia terdiri dari banyak pulau. Cukup banyak selat sempit yang membatasinya maupun teluk yang dimiliki masing-masing pulau. Hal ini memungkinkan untuk memanfaatkan energi pasang surut. Saat laut pasang dan saat laut surut aliran airnya dapat menggerakkan turbin untuk membangkitkan listrik. Pemanfaatan pusat listrik energi pasang surut direalisasikan di La Ranche Perancis diikuti oleh Rusia di Murmansh, Lumboy, Tae Menzo Boy, dan The Thite Sea. Tidak jauh dari Indonesia, ada Australia yang memanfaatkannya di Kimberly. Saat ini potensi energi pasang surut di seluruh samudera di dunia tercatat 3.106 MW. Untuk Indonesia daerah yang potensial adalah sebagian Pulau Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Papua, dan pantai selatan Pulau Jawa, karena pasang surutnya bisa lebih dari lima meter. Mekanisme pusat listrik energi pasang surut tergantung pada beberapa faktor: arah angin, kecepatan, lamanya bertiup, dan luas daerah yang dipengaruhi. Oleh karena itu, di dalam penelitian mengenai energi ini faktor meteorologi/geofisika menjadi kuncinya. Pada pemanfaatan energi ini diperlukan daerah yang cukup luas untuk menampung air laut (reservoir area). Namun, sisi positifnya adalah tidak menimbulkan polutan bahanbahan beracun baik ke air maupun udara. Selain panas laut dan pasang surut, masih ada energi samudera lain yaitu energi gelombang. Sudah banyak pemikiran untuk mempelajari kemungkinan pemanfaatan energi yang tersimpan dalam ombak laut. Salah satu negara yang sudah banyak meneliti hal ini adalah Inggris. Menurut pengamatan Hulls, deretan ombak (gelombang) yang terdapat di sekitar pantai Selandia Baru dengan tinggi rata-rata 1 meter dan periode 9 detik mempunyai daya sebesar 4,3 kW per meter panjang ombak. Sedangkan deretan ombak serupa dengan tinggi 2 meter dan 3 meter dayanya sebesar 39 kW per meter panjang ombak. Untuk ombak dengan ketinggian 100 meter dan perioda 12 detik menghasilkan daya 600 kW per meter. Karena beberapa laut di Indonesia mempunyai ombak dengan ketinggian di atas 5 meter, maka potensi energi gelombangnya perlu diteliti lebih jauh. Konversi energi panas laut adalah sistem konversi energi yang terjadi akibat perbedaan suhu di permukaan dan di bawah laut menjadi energi listrik. Potensi terbesar konversi energi panas laut untuk pembangkitan listrik terletak di khatulistiwa. Soalnya, sepanjang tahun di daerah khatulistiwa suhu permukaan laut berkisar antara 25-30°C, sedangkan suhu di bawah laut turun 5-7°C pada kedalaman lebih dari 500 meter. Terdapat dua siklus konversi energi panas laut, yaitu siklus Rankine terbuka dan siklus Rankine tertutup. Sebagai pembangkit tenaga listrik, konversi energi panas laut siklus Rankine terbuka memerlukan diameter turbin sangat besar untuk menghasilkan daya lebih besar dari 1MW, sedangkan komponen yang tersedia belum memungkinkan untuk menghasilkan daya sebesar itu, alternatif lain yaitu siklus Rankine tertutup dengan fluida kerja amonia atau freon. Konversi energi panas laut landasan darat alat utamanya terletak di darat, hanya sebagian kecil peralatan yang menjorok ke laut. Kelebihan sistem ini adalah dayanya lebih stabil dan pemeliharaannya lebih mudah. Kekurangan sistem jenis ini membutuhkan keadaan pantai yang curam, agar tidak memerlukan pipa air dingin yang panjang. Status teknologi konversi energi panas laut jenis ini baru pada tahap percontohan dengan kapasitas 100 W dan dengan fluida kerja freon yang dilakukan oleh TEPSCO-Jepang, dengan lokasi percontohan di Kepulauan Nauru. Selain itu dibangun pusat penelitian dan pengembangan konversi energi panas laut landasan darat (STF) yang terletak di Hawaii. Untuk konversi energi panas laut terapung landasan permanen, diperlukan sistem penambat dan sistem transmisi bawah laut, sehingga permasalahan utamanya pada sistem penambat dan teknologi transmisi bawah laut yang mahal. Jenis ini masih dalam taraf penelitian dan pengembangan. Konversi energi panas laut terapung kapal beroperasi dengan bebas karena dibangun di atas kapal. Biasanya energi listrik yang dihasilkan untuk memproduksi berbagai bahan yaitu amonia, hidrogen, methanol, dan lain-lain. Status teknologi konversi energi panas laut jenis ini baru taraf percontohan, dengan nama pembangkit Mini OTEC yang berkapasitas 50 kW dengan lokasi percontohan di laut Hawaii. Mini OTEC menghasilkan daya bersih 10 kW sampai 15 kW. Selain itu, pada tempat yang sama beroperasi konversi energi panas laut dengan nama OTEC1 dengan kapasitas 1 MW. Perkembangan teknologi konversi energi panas laut di Indonesia baru mencapai status penelitian, dengan jenis konversi energi panas laut landasan darat dan dengan kapasitas 100 kW, lokasi di Bali Utara. Secara umum kendala pada teknologi konversi energi panas laut adalah efisiensi pemompaan yang masih rendah, korosi pipa, bahan pipa air dingin, dan biofouling, yang semuanya menyangkut investasi. Selain itu kajian sumber daya kelautan masih terbatas terhadap langkah pengembangan konversi energi panas laut. Tidak kurang dari 100 lokasi di dunia yang dinilai sebagai tempat yang cocok bagi pembangunan pembangkit energi pasang surut. Sistem pemanfaatan energi pasang surut pada dasarnya dibedakan menjadi dua yaitu kolam tunggal dan kolam ganda. Pada sistem pertama energi pasang surut dimanfaatkan hanya pada perioda air surut (ebb period) atau pada perioda air naik (flood time). Sedangkan sistem yang kedua adalah kolam ganda kedua perioda baik sewaktu air pasang maupun air surut energinya dimanfaatkan. Turbin dan saluran terletak dalam satu bendungan (dam) yang memisahkan kolam dan laut. Sewaktu air pasang permukaan air di kolam sama dengan permukaan laut. Sewaktu air mulai surut terjadilah perbedaan tinggi air (head) antara kolam dan laut yang menyebabkan air mulai mengalir ke arah laut dan memutar turbin. Pada sistem kolam ganda turbin akan berkerja dalam dua arah aliran. Kedua kolam dipisahkan oleh satu bendungan (dam) yang didalamnya terdapat turbin dua arah, masing-masing kolam memiliki saluran yang menghubungkan dengan laut. Meskipun turbin bekerja terus-menerus tetapi kecepatannya bervariasi, selain dengan perbedaan tinggi permukaan air di kolam dan permukaan laut. Perbedaan tinggi antara permukaan air di kolam dan permukaan air laut di tempat-tempat energi pasang surut berkisar beberapa meter sampai 13 meter. Penelitian pemanfaatan energi pasang surut telah dilakukan oleh beberapa negara; Perancis, Rusia, Amerika Serikat, dan Kanada sejak tahun 1920. Setelah lebih dari 40 tahun-tahun 1966- pembangkit energi listrik berkekuatan 240 MW yang digerakan oleh tenaga pasang surut berhasil dibangun oleh Perancis di pantai Estuari Rance. Di Rusia ada proyek energi pasang surut dengan kapasitas 2176 MW di Bay of Fundy. Berdasarkan estimasi kasar jumlah energi pasang surut di samudera seluruh dunia adalah 3.106 MW. Khusus untuk Indonesia beberapa daerah yang mempunyai potensi energi pasang surut adalah Bagan Siapi-api, yang pasang surutnya mencapai 7 meter, Teluk Palu yang ini struktur geologinya merupakan patahan (Palu Graben) sehingga memungkinkan gejala pasang surut, Teluk Bima di Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Kalimantan Barat, Papua, dan Pantai Selatan Pulau Jawa. Gelombang laut merupakan salah satu bentuk energi yang bisa dimanfaatkan dengan mengetahui tinggi gelombang, panjang gelombang, dan periode waktunya. Ada empat teknologi energi gelombang yaitu sistem rakit Cockerell, tabung tegak Kayser, pelampung Salter, dan tabung Masuda. Sistem rakit Cockerell berbentuk untaian rakitrakit yang saling dihubungkan dengan engsel-engsel dan sistem ini bergerak naik turun mengikuti gelombang laut. Gerakan relatif rakit-rakit menggerakkan pompa hidrolik yang berada di antara dua rakit. Sistem tabung tegak Kayser menggunakan pelampung yang bergerak naik turun dalam tabung karena adanya tekanan air. Gerakan relatif antara pelampung dan tabung menimbulkan tekanan hidrolik yang dapat diubah menjadi energi listrik. Sistem Pelampung Salter memanfaatkan gerakan relatif antara bagian/pembungkus luar (external hull) dan bandul didalamnya (internal pendulum) untuk diubah menjadi energi listrik. Pada sistem tabung Masuda metodenya adalah memanfaatkan gerak gelombang laut masuk ke dalam ruang bawah dalam pelampung dan menimbulkan gerakan perpindahan udara di bagian ruangan atas dalam pelampung. Gerakan perpindahan udara ini dapat menggerakkan turbin udara. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Finlandia, dan Belanda, banyak menaruh perhatian pada energi ini. Lokasi potensial untuk membangun sistem energi gelombang adalah di laut lepas, daerah lintang sedang dan di perairan pantai. Energi gelombang bisa dikembangkan di Indonesia di laut selatan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. (Harsono, 2003). Beberapa langkah awal telah dimulai di PKSPL IPB untuk menggunakan algae sebagai bahan untuk bioenergi, sehingga fungsi laut sebagai sumber aktivitas ekonomi akan terus berkembang. 3.3. Pariwisata Bahari Negara Bagian Queensland, Australia, dengan panjang garis pantai 2.100 kilometer, mampu menghasilkan devisa 2 miliar dolar AS pada 2002. Tentunya hal ini menimbulkan keirian, mengapa Indonesia tidak bias mengembangan pariwisata bahari yang mempunyai nilai setidaknya mendekati apa yang diperoleh oleh Negara Bagian Queensland tersebut. Bila melihat nilai PDB nasional yang disumbang oleh pariwisata bahari pada Tahun 1998 sebesar 1,31 % dan meningkat menjadi 1,42 % pada Tahun 2002, maka terdapat optimisme yang muncul. Namun demikian, berdasarkan perhitungan PKSPL IPB, 2006 menunjukkan bahwa peningkatan kontribusi pariwisata bahari terhdap PDB nasional pada Tahun 2005 diperkirakan mencapai 1,46 %. Angka ini sebenarnya bisa jauh meningkat sangat signifikan. Berdasarkan kajian, diperoleh proyeksi bahwa pada Tahun 2007 hingga Tahun 2010 seharusnya kontribusi pariwisata bahari dapat meningkat hingga 0,1 % setiap tahun. Asumsi utama yang digunakan adalah adanya sumberdaya pulau-pulau kecil yang ada di wilayah Negara ini. Bila upaya pengembangan pulaupulau kecil dilakukan secara serius, seharusnya dapat mendorong pertumbuhan wisatawan asing untuk berkunjung ke Indonesia. Hasil kajian Kusumastanto (2001) menunjukkan nilai ekonomi total suatu pulau kecil di Indonesia bila akan dikembangkan untuk kawasan wisata mempunyai nilai sebesar US $ 52.809,37 per Hektar. Sehingga sangat beralasan bila kita serius untuk mengembangan pariwisata bahari, maka akan terkait dengan pengembangan pulaupulau kecil sebagai specific marine tourism di Indonesia. Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan memanfaatkan obyek serta daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan Indonesia, berupa kekayaan alam yang indah, keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias. Beberapa jenis kegiatan wisata bahari pada saat ini sudah dikembangkan oleh pemerintah dan swasta, di antaranya wisata alam, pemancingan, berenang, selancar, berlayar, rekreasi pantai dan wisata pesiar. Sumberdaya hayati pesisir dan lautan Indonesia seperti populasi ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis, terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove dan berbagai bentang alam pesisir atau coastal landscape yang unik lainnya membentuk suatu pemandangan alamiah yang begitu menakjubkan. Kondisi tersebut menjadi daya tarik sangat besar bagi wisatawan sehingga pantas bila dijadikan sebagai objek wisata bahari. Objek wisata bahari lainnya yang berpotensi besar adalah wilayah pantai. Pada umumnya, Indonesia memiliki kondisi pantai yang indah dan alami. Di antaranya adalah pantai barat Sumatera, Pulau Simeuleu. Nusa Dua Bali dan pantai terjal berbatu di selatan Pulau Lombok. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk panorama pantai yang indah, tempat pemandian yang bersih dan juga tempat untuk melakukan kegiatan berselancar air atau surfing. Terutama pada pantai yang landai, memiliki ombak yang besar dan berkesinambungan. Dengan demkian terdapat dua faktor penting dalam strategi pembangunan kegiatan pariwisata nasional. Pertama, faktor internal berupa strategi terukur manajemen daya tarik objek wisata, yang terkait mulai dari aspek teknis, strategi jasa pelayanan sampai kepada strategi penawaran. Kedua, faktor eksternal berupa dukungan perangkat kebijakan dari pemerintah serta penciptaan iklim keamanan yang kondusif bagi kegiatan pariwisata di Indonesia. Selanjutnya, dalam membenahi strategi pengembangan pariwisata bahari, maka secara teknis ada sejumlah upaya yang harus dilakukan. Pertama, pengembangan sarana dan prasarana wisata bahari. Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang pengembangan wisata bahari secara terpadu. Ketiga, penyediaan sistem informasi pariwisata dan program promosi yang tepat. Di lain pihak, ada faktor-faktor nonteknis yang berasal dari unsur kebijakan pemerintah namun turut mempengaruhi daya tarik kegiatan wisata yang juga perlu dibenahi, antara lain kebijakan dalam kemudahan mendapatkan visa bagi kunjungan wisata, dan memudahkan pengurusan Cruising Approval For Indonesian Territiry, Custom, Imiggration, Fort Clearance and Quarantine atau kemudahan untuk mengurus dokumendokumen kepariwisataan. Ada pula pemikiran tentang menetapkan pelabuhan sebagai ”pintu masuk” wisata dan mengembangkannya sesuai standar internasional. Juga upaya menciptakan suasana aman dan nyaman sebagai iklim yang kondusif demi berlansungnya kegiatan pariwisata. Semoga tulisan ini dapat dijadikan paradigma baru pembangunan dunia kepariwisataan Indonesia yang berbasis pada industri pariwisata dan ekonomi kerakyatan 3.4. Industri Maritim: Kasus industri Garam Berdasarkan kajian PKSPL-IPB (2006), sekalipun merupakan Negara bahari yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, Indonesia akan sulit swasembada garam. Alasannya, tidak ada hamparan lahan luas di kawasan pesisir pantai untuk dijadikan ladang garam berskala besar. Penyebab lain, musim kemarau pada sebagian wilayah Indonesia sangat pendek, yakni empat sampai enam bulan. Saat ini, Indonesia hanya memiliki ladang garam seluas 25.383 hektar dengan total produksi 1,7 juta ton. Sementara kebutuhan nasional pada tahun 2002 mencapai 2,8 juta ton, dengan total pertumbuhan kebutuhan 8,4 persen. Itu berarti, untuk dapat berswasembada garam, Indonesia membutuhkan lahan minimal 55.000 hektar karena kemampuan produksi hanya 40 ton-60 ton per hektar per tahun. Alasan lain, minat investor untuk menanamkan modal dalam usaha produksi garam sangat rendah. Bahkan, saat ini hanya ada satu perusahaan di bidang ini, yakni PT Garam dengan areal seluas 5.116 hektar. Selebihnya dikelola petani secara tradisional pada lahan 25.542 hektar. Harga yang diberlakukan pun sangat rendah, yakni Rp 250Rp 500 per kilogram. Akibatnya, setiap tahun hampir tak ada penambahan lahan garam baru. Malahan, yang terjadi adalah penyusutan lahan karena dialihfungsikan untuk usaha lain. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005 hingga saat ini hanya ada satu perusahaan yang mau berinvestasi di usaha pergaraman. Diketahui bahwa salah satu penyebabnya adalah karena bidang usaha ini tidak dapat dilakukan dalam skala besar, sebab belum ditemukan hamparan kawasan pesisir seluas minimal 10.000 hektar. Investasi bidang usaha ini juga membutuhkan investasi yang tinggi dengan risiko yang cukup besar. Akibatnya, pedagang cenderung memilih menjadi importir garam, sebab tak membutuhkan biaya investasi mahal. Apalagi, tak pernah diberlakukan bea masuk (BM) impor garam sehingga harga gula impor jauh lebih murah dibanding garam lokal. Sehingga DKP saat ini sedang mencari lahan kawasan pesisir di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Selatan. Di dua provinsi ini masih terdapat lahan yang cukup luas dengan musim kemarau yang panjang. Peluang akan ditawarkan kepada sejumlah investor untuk membuka usaha garam dengan melibatkan rakyat setempat. Jika diminati dan mulai ada investasi, maka pemerintah akan memberikan sejumlah stimulus. Sejarah Garam di Indonesia Berawal dari pertanian di ladang-ladang garam secara tradisional, Industri Garam Indonesia terus berkembang, hingga saat ini menjadi salah satu bidang industri yang memberi penghidupan bagi banyak masyarakat di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tingkat kebutuhan dan rangkaian kegiatan yang menyertai keberadaan garam. Dari material awal, yaitu garam kasar (krosok), industri garam di Indonesia memproduksi berbagai jenis garam untuk memenuhi berbagai keperluan akan garam. Baik untuk kebutuhan rumah tangga, maupun kebutuhan industri, peternakan, dan pertanian. Namun demikian, industri garam di Indonesia bukan berarti berjalan mulus tanpa hambatan dan kendala. Kualitas garam yang belum maksimal, ketidakstabilan harga garam, proses produksi yang masih bersifat tradisional, dan persaingan dengan komoditi garam dari luar negeri merupakan sedikit dari sekian banyak masalah garam di Indonesia. Hal inilah yang harus terus dibenahi dan disempurnakan hingga Industri Garam Indonesia mampu menjadi Pilihan Utama bagi seluruh lapisan masyarakat. Garam yang didalamnya terkandung senyawa Kalium Iodat (Garam Beryodium) merupakan salah satu nutrisi penting yang harus dikonsumsi secara teratur oleh manusia. Jumlah garam yang harus dikonsumsi per hari untuk setiap orang kurang lebih adalah 9 gram. Untuk masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, selain untuk memenuhi nutrisi tubuh konsumsi garam ditujukan juga untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan yodium. Garam beryodium adalah garam konsumsi yang mengandung komponen utama Natrium Chlorida (NaCl) minimal 94,7%, air maksimal 5% dan Kalium Iodat (KIO3) sebanyak 3080 ppm (mg/kg) serta senyawa-senyawa lain. Penyebaran garam beryodium pada masyarakat saat ini merupakan upaya pemerintah yang paling efektif dalam rangka penanggulangan masalah GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium). Garam merupakan salah satu bumbu masak yang hampir setiap makanan atau masakan membutuhkannya, sehingga dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Garam juga mudah untuk diperdagangkan oleh setiap pedagang atau pengecer dengan harga yang sangat terjangkau oleh masyarakat luas, baik oleh pedagang besar (seperti supermarket) atau pedagang kecil (seperti warung). Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden RI No. 69 Tahun 1994 tanggal 13 Oktober 1994 tentang Pengadaan garam beryodium, maka telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 77/M/SK/5/1995 tanggal 4 Mei 1995 tentang Persyaratan teknis pengolahan, pengawasan dan pelabelan garam beryodium, maka perlu dilakukan penjabaran lebih lanjut mencakup prinsip dasar proses produksi dan pengendalian mutu pengolahan garam serta tata cara perizinan. Sehingga dipandang perlu adanya petunjuk teknis sebagai pedoman dalam rangka pengadaan garam beryodium yang memenuhi syarat, yaitu antara lain : 1. Proses Produksi untuk memberikan gambaran tentang pembuatan garam beryodium dengan menitikberatkan pada pencucian, pengeringan/ penirisan, yodisasi dan pengemasan. 2. Sistem Pengendalian Mutu untuk memproduksi garam beryodium sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-3556-1994. 3. Perizinan untuk menginformasikan kepada perusahaan garam beryodium maupun calon investor tentang cara memperoleh perizinan usaha industri. Industri garam nasional yang sebenarnya berasal dari garam rakyat tradisional (mutu rendah) yang kemudian diproses lebih lanjut menjadi garam briket (untuk bahan pengawet dan keperluan industri), garam halus (garam meja) dan sangat halus (bahan baku hujan buatan) serta makin bersih dan baik kualitasnya (tinggi NaCl-nya dan rendah kadar airnya) tersebut; dihasilkan terutama di sentra-sentra garam yang terletak di : o Barat : Cirebon o Tengah : Pati, Rembang, Gresik dan Pulau Madura o Timur : NTB (Bima), NTT dan Sulawesi Selatan (Jeneponto), yang pada saat ini hanya menghasilkan produksi rata-rata 1 juta ton / tahun. Produksi garam rakyat ini hanya dapat diharapkan selama musim kering saja, yang berjalan secara efektif selama kurang-lebih 3-4 bulan saja selain 1,5 bulan sebelumnya untuk masa persiapan produksi; untuk keperluan sisa waktu dalam satu tahun, diperlukan adanya stok garam yang cukup banyak. Belakangan ini, penggunaan garam sebagai konsumsi sangat kecil bila dibandingkan dengan penggunaannya sebagai bahan baku untuk pengolahan / industri (terutama untuk pabrik pulp dan industri yang membutuhkan banyak chlor dan soda). Penggunaan garam untuk industri secara nasional mencapai 1,9 - 2 juta ton / tahun, sedangkan untuk konsumsi hanya membutuhkan sekitar 0,8 juta ton / tahun; sehingga kebutuhan nasional akan garam mencapai 2,7 - 2,8 juta ton / tahun. Kekurangan supply garam (terutama untuk industri) tersebut dipenuhi dengan import garam (dari Australia) sebanyak 1,7 1,8 juta ton / tahun. Menurut informasi Business News (10 Juli 2004), Indonesia telah mampu mengekspor garam ke Thailand, Malaysia, dan Taiwan sebanyak 5.700 ton dengan nilai sekitar Rp. 1 Milyar. Permasalahan Industri Garam Adanya bencana alam La-Nina pada tahun 1998/99, telah menyebabkan produksi garam nasional mengalami penurunan yang luar biasa dan menyebabkan kelangkaan garam sampai dengan tahun 2001. Selama itu, industri yang tadinya juga menggunakan bahan baku yang sebagian berasal dari garam rakyat telah terbiasa dengan garam import yang tinggi mutunya, sehingga saat supply pulih kembali masih enggan untuk menggunakan bahan baku yang berasal dari garam rakyat yang rendah mutunya (meskipun murah). Adanya kelebihan produksi sekitar 0,2 juta ton / tahun (kebanyakan garam rakyat dipergunakan untuk konsumsi) tersebut menyebabkan petani garam mengeluh, karena industri enggan menerima garam rakyat. Hal ini yang menyebabkan diterbitkannya SK Menperindag no. 360/MPP/Kep/5/2004 yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2004, yang mengatur tentang (1) kewajiban bagi industri yang mengimpor garam (importir terdaftar garam) untuk membeli 50% kebutuhannya dari garam lokal terlebih dahulu, (2) dilarang mengimpor garam pada masa tertentu (1 bulan sebelum panen, selama panen dan 2 bulan setelah panen garam rakyat), serta dilarang mengimpor garam bila harga garam rakyat terlalu rendah (dibawah Rp.145.000/ton untuk mutu K1, Rp.100.000/ton untuk K2, dan Rp.70.000 untuk K3). Bagi industri pengguna garam besar diatas, terbitnya SK. No. 360/MPP/Kep/5/2004 (pengaturan tambahan dan serta-merta ini) dianggap berpotensi menghambat kelancaran produksinya, karena beberapa industri hanya mempunyai stok garam untuk keperluan 1-1,5 bulan ke depan saja (diperlukan waktu cukup lama untuk mengimpornya). Pada saat kejelasan tentang perusahaan mana dan bagaimana prosedurnya untuk dapat menjadi importir terdaftar garam tersebut belum ada, salah satu perusahaan (Susanti Megah) bahkan telah dipanggil polisi untuk dimintai keterangan karena pelanggaran, sementara SK no. 360 tersebut baru mulai berlaku sejak 1 Juli 2004. Upaya untuk meningkatkan mutu dan jumlah garam rakyat yang diproduksi juga mengalami banyak kendala, antara lain : (1) makin buruknya mutu air laut sebagai bahan baku pembuatan garam, (2) makin sempit dan kecilnya petak-petak ladang garam karena kepemilikan per orang/penguasaan lahan yang terbatas, (3) bersaing dengan penggunaan lahan yang lebih produktif, (4) lamanya musim hujan dan tingginya curah hujan pada waktu tertentu, (5) makin tingginya biaya produksi di saat harga garam rakyat jatuh, dll. Industri Garam di Negara lain Pada saat ini, Australia, Mexico atau China dianggap sebagai negara produsen garam yang besar di dunia. Ladang garam Australia yang dikelola secara besar-besaran dapat menghasilkan sekitar 70 cm endapan garam dan hanya 50 cm bagian atas yang diambil, sehingga mutunya baik. Produksi ladang garam Australia seluas + 10.000 Ha dan mendapat sinar matahari yang lebih panjang / panas, dapat menghasilkan 1 juta ton / tahun. Namun sistem industri garam di China (dengan 4 musim dan dikelola dalam skala yang lebih kecil) mungkin lebih sesuai dengan kondisi Indonesia. Industri Garam Jabar Menggeliat Penjualan Diperkirakan Naik 40% Sejak Keran Impor Ditutup BANDUNG, (PR).Asosiasi Pengusaha Garam (APG) Jabar memprediksi penjualan garam rakyat di kawasan Jawa Barat untuk musim panen 2005 ini akan meningkat sampai 40%. Menyusul dikeluarkannya Keputusan Menteri Perdagangan No. 425/M-DAG/06/2005, yang menetapkan larangan impor garam per 1 Juli - 31 Desember 2005. "Dengan adanya penghentian impor garam, kami memproyeksikan hasil panen garam pada paruh tahun 2005 ini bisa terjual sampai 90%, atau meningkat antara 30%-40%," ujar Ketua APG, Cucu Sutara, saat ditemui "PR" Rabu (6/7). Dikatakan, produksi dari petani garam rakyat Jawa Barat, rata-rata 200.000 ton setiap tahun. Dari jumlah tersebut hanya 50%-60% yang bisa terjual ke pasar, karena sisanya diambil oleh garam impor yang merupakan pesaing utama mereka. Menurutnya, walaupun Jawa Barat tidak secara langsung melakukan impor garam karena kewenangan impor berada di Jakarta, pangsa pasar garam impor bisa mencapai 35%40% dari total penjualan garam di Jawa Barat. Karena itulah penghentian impor garam dipastikan akan membuat penjualan garam rakyat akan meningkat. "Jadi untuk kebutuhan Jawa Barat, penghentian impor tidak akan menyebabkan terjadinya defisit garam. Karena kapasitas produksi garam yang ada, sudah di atas angka kebutuhan. Malah, penghentian impor sangat positif, karena akan membuat petani garam bisa merasakan manisnya garam," katanya. Dijelaskan, pada saat ini total kebutuhan garam di Jabar adalah 184.000 ton per tahun. Sebanyak 142.000 ton per tahun merupakan kebutuhan konsumsi masyarakat umum dan 42.000 ton diserap untuk kebutuhan industri. Dengan produksi garam rakyat yang mencapai 200.000 ton per tahun, masih mencukup memenuhi kebutuhan tersebut. Peningkatan kualitas Pada bagian lain, Cucu mengatakan pihak APG Jabar berharap selain mengeluarkan kebijakan penghentian impor garam, pemerintah juga dapat mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kualitas produksi garam rakyat. Pasalnya, hal tersebut sangat diperlukan, untuk lebih meningkatkan daya saing garam rakyat. "Terutama untuk menghasilkan kristal garam yang lebih putih dan bersih. Karena sebenarnya kelemahan inilah, yang menjadikan keberadaan garam rakyat sampai terancam oleh garam impor," katanya. Diakuinya, pada tahun 2000 untuk meningkatkan kualitas produk pemerintah pernah membuat projek percontohan di 7 lokasi. Di antaranya di Cirebon (Jabar), Sampang (Madura), Jeneponto (Sulsel), dan Bima (NTB). Hasilnya, memang bisa meningkatkan kualitas garam, tapi biaya produksinya terlalu tinggi sehingga tidak bisa digunakan oleh petani garam. Selain masalah kualitas, juga harus dipikirkan cara untuk meningkatkan produktivitas. Saat ini dengan lahan 1 ha, petani garam hanya bisa menghasilkan 6 ton garam. Hal tersebut harus bisa ditingkatkan, setidaknya menjadi 10 ton garam/ha sehingga garam rakyat bisa lebih bersaing. "Karenanya, harus dicarikan cara untuk mendapatkan proses produksi yang bisa meningkatkan kualitas dan produktivitas, tapi dengan penambahan modal yang terlalu Lebih jauh Cucu menjelaskan, karena rendahnya kualitas produk dari petani garam, memerlukan proses tambahan sebelum dijual. Pengusaha pengumpul (garam- red.) perlu melakukan proses pencucian dan pengeringan, sebelum dicampur yodium dan masuk proses pengemasan. Hal tersebut membutuhkan biaya tambahan, selain untuk proses tambahan juga untuk menutup penyusutan kuantitas dari proses pencucian dan pengeringan. Sehingga garam rakyat yang dibeli dari petani seharga Rp 150,00 - Rp 175,00/kg, dijual di umum dengan harga Rp 500,00 - Rp 550,00/kg. "Sedangkan garam impor dibeli dengan harga Rp 250,00 - Rp 300,00/kg, tinggal mencampur dengan yodium dan dibuatkan kemasannya, karena butiran garammnya tetap jauh lebih putih dan bersih dari garam lokal, bisa dijual di pasar dengan harga Rp 600,00/kg," katanya. (A-135) Pikiran Rakyat, 7 Juli 2005 3.5. Angkutan Laut dan Pelabuhan Berdasarkan analisis PKSPL IPB, 2006 diperkirakan potensi ekonomi perhubungan laut, sekitar 14,78 miliar dolar AS per tahun. Namun ini masih sekedar potensi, karena faktanya kita mengeluarkan biaya (devisa) sebesar lebih kurang 10 miliar dollar AS untuk membiayai kegiatan transportasi ekspor-impor yang 97 persen menggunakan kapal berbendera asing dan 50,15 persen kegiatan transportasi domestik yang juga masih dikuasai oleh pelayaran asing Sementara itu di jasa penyediaan tenaga kerja pelaut, potensinya pun luar biasa besarnya. Kebutuhan pelaut dunia pada 2000 sebanyak 1,32 juta orang dengan gaji mencapai 18 miliar dolar AS per tahun. Indonesia baru memasok 34 ribu orang (3 persen). Sedangkan Filipina 191 ribu pelaut (25 persen) dan RRC 104 ribu pelaut (10 persen). Belum lagi potensi ekonomi dari sektor industri dan jasa maritim. Kusumastanto (2003), Indonesia memerlukan kebijakan transportasi laut yang berpihak pada kepentingan armada pelayaran nasional sehingga sektor ini diharapkan agar berperan penting dalam dunia perdagangan internasional maupun domestik. Transportasi laut juga membuka akses dan menghubungkan wilayah pulau, baik daerah sudah yang maju maupun yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut. Vallega (2001) dalam perspektif geografis mengingatkan bahwa tantangan globalisasi yang berkaitan dengan kelautan adalah transportasi laut, sistem komunikasi, urbanisasi di wilayah pesisir, dan pariwisata bahari. Karena itu diperlukan kebijakan kelautan (ocean policy) yang mengakomodasi transportasi laut di sebuah negeri bahari. Perkembangan transportasi laut di Indonesia sampai saat ini masih dikuasai oleh pihak asing. Di bidang transportasi laut, Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang memadai dari segi jumlah maupun kapasitasnya. Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345 juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Adapun share armada nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya mencapai 56,4 persen. Kondisi semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas. Sampai tahun 2001 tercatat ada 1.762 perusahaan pelayaran. Dari jumlah tersebut, perusahaan pelayaran yang memiliki kapal berbobot sampai 174 gross ton (GT) ada 126 perusahaan, yang memiliki 175 GT-4.999 GT ada 6.070 perusahaan, dan 5.000 GT ada 129 perusahaan. Sisanya adalah sebanyak 809 perusahaan pelayaran yang kondisinya tidak memiliki kapal atau hanya mencarter. Perusahaan pelayaran yang mempunyai kapal adalah PT Pelni dengan 44 kapal, Pertamina (35 kapal), Meratus (19 kapal), PT Arpeni (18 kapal), Berlian Laju Tanker (9 kapal), dan PT Pusri dan Bahtera Adiguna masing-masing 7 kapal (Dirjen Hubla). Anehnya, perusahaan yang memiliki kapal bukan perusahaan yang benar-benar memiliki core business dalam angkutan laut, tetapi mereka mengoperasikan kapal tersebut sebagai sarana penunjang kegiatan industrinya. Dominasi pelayaran asing terlihat dari muatan (freight) kapal asing yang mengangkut muatan luar negeri (ekspor/impor), yakni menguasai muatan sebanyak 92,5 persen (322,5 juta M/T). Adapun muatan dalam negeri, kapal asing menguasai 50 persen dari seluruh angkutan total barang (89,8 juta M/T). Hal ini berarti perusahaan pelayaran nasional kebanyakan hanya menjadi agen dari kapal-kapal pelayaran asing. Dampaknya adalah bangsa Indonesia tidak memiliki otoritas untuk menekan sumber inefisiensi dalam transportasi laut. Peluang pengembangan transportasi laut dan sarana pendukungnya, yakni pelabuhan, diharapkan mampu memberikan kontribusi yang signifikan secara ekonomi. Potensi nilai ekonomi dari sektor ini minimal mencapai 6 miliar-9 miliar dollar AS dengan dasar perhitungan jumlah nilai ekspor dan impor sekitar 90 miliar dollar AS per tahun, di mana 7-10 persen adalah porsi transportasi laut. Kontribusi transportasi laut terhadap PDB sektor kelautan atas harga berlaku tahun 1998 mencapai 7,42 persen. Dalam membangun transportasi laut nasional, kebijakan kelautan yang dikembangkan harus ditinjau dari empat aspek, yakni pertama dari aspek perangkat lunak. Caranya dengan mengembangkan berbagai kebijakan yang mendukung, termasuk meratifikasi hukum-hukum laut internasional yang mendorong berkembangnya pelayaran nasional. Kalau perlu sebagai langkah awal bekerja sama dengan pelayaran asing baik secara regional maupun bilateral. Indonesia perlu meratifikasi beberapa konvensi internasional menyangkut private maritime law dengan menyesuaikan ketentuan-ketentuan hukum pusat maritim di Indonesia dengan ketentuan-ketentuan internasional tersebut. Agar armada nasional berkembang, maka peraturan yang memberatkan, kebijakan perpajakan yang terlalu tinggi serta berbagai penyebab ekonomi biaya tinggi lainnya, harus dihilangkan. Berikutnya adalah aspek perangkat keras. Untuk itu perlu kebijakan yang meningkatkan jumlah armada pelayaran nasional, baik untuk kapal niaga maupun kapal penumpang, dengan cara merumuskan kebijakan tentang pengembangan industri perkapalan nasional. Adalah suatu ironi, sebuah negara kepulauan semacam Indonesia tidak memiliki industri perkapalan yang tangguh. Berkembangnya industri perkapalan diharapkan meningkatkan armada transportasi laut nasional. Ini selanjutnya akan meningkatkan perdagangan domestik antarpulau dan membuka akses keterisolasian bagi daerah-daerah yang berada di pulau-pulau kecil perbatasan seperti Pulau Nias, Natuna, Weh, dan Miangas. Dengan demikian, perekonomian masyarakat di pulau-pulau perbatasan dapat lebih berkembang lagi. Industri perkapalan akan menunjang jasa perhubungan antarpulau di daerah yang berbasiskan kepulauan seperti Maluku, Riau Kepulauan, Bangka Belitung, NTT, dan NTB, maupun Irian Jaya, sekaligus industri pariwisata baharinya. Daerah-daerah yang memiliki taman laut seperti Bunaken, Wakatobi, Pulau Tujuh, dan Takabonerate, tentu bisa berkembang lebih baik lagi. Hal lain yang perlu dikembangkan adalah pelabuhan hubport di Kawasan Timur maupun Kawasan Barat Indonesia untuk meningkatkan perolehan devisa negara yang selama ini mengalir ke Singapura atau Malaysia. Pelabuhan hubport selain Tanjung Priok juga perlu dipertimbangkan di Pelabuhan Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam dan Makassar di Sulawesi Selatan. Ini akan mengurangi kehilangan devisa yang nilainya sebesar Rp 2,7 triliun setiap tahun akibat aktivitas pelabuhan transit hubport di negara lain (Kamaluddin, 2003). Kebijakan lain yang tak kalah penting adalah mengalokasikan pendanaan untuk pendidikan kelautan dari tingkat menengah sampai pendidikan tinggi melalui APBN, sesuai amanat hasil amandemen UUD 1945. Pengembangan sekolah-sekolah kejuruan kemaritiman di beberapa wilayah Indonesia yang berbasiskan kelautan dengan jurusan transportasi laut di dalamnya perlu mendapatkan prioritas. Balai Latihan Kerja (BLK) Maritim perlu direvitalisasi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang bersifat teknis dalam bidang permesinan, perbengkelan, dan galangan kapal. Pengembangan selanjutnya adalah pendidikan tinggi kemaritiman minimal sampai strata dua. Ada baiknya digalang kerja sama antara Institut Kelautan Indonesia (IKI) dan lembaga-lembaga internasional yang berkompetensi dalam sertifikasi tenaga kerja di bidang kelautan. Dengan demikian, kualitas SDM Indonesia diakui secara internasional dan berdaya saing tinggi di era pasar global. Aspek berikutnya adalah pendanaan (financial). Kebijakan kelautan yang dianjurkan dalam aspek pendanaan adalah mengeluarkan paket insentif berupa kredit perbankan yang diperuntukkan bagi pengadaan armada transportasi laut, biaya operasional, dan biaya perawatan, sehingga pengusaha pelayaran nasional dapat memiliki armada sendiri dan tidak kedodoran. Oleh karena itu, perlu dikembangkan dukungan kelembagaan keuangan yang menunjang pengembangan armada transportasi laut nasional. Dengan adanya kebijakan-kebijakan kelautan semacam itu, diharapkan sektor transportasi laut bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hanya dengan cara ini, Indonesia sebagai bangsa bahari yang menganut prinsip negara kepulauan sesuai dengan Wawasan Nusantara akan semakin dihormati masyarakat internasional. Mengharapkan Kebijakan Transportasi Laut JELAS tak mudah mengurus sebuah kabupaten yang terbagi atas 121 pulau yang letaknya sangat jauh dari ibu kota provinsi. Dengan fakta ini, tak salah kalau Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan meminta perhatian Departemen Perhubungan, lebih khusus lagi PT Pelni, agar memberi kebijakan khusus untuk masalah transportasi di daerah ini. Permintaan ini bukan tanpa sebab. Sejak sebulan terakhir, Kapal Motor (KM) Ciremai, satusatunya kapal penumpang besar yang menghubungkan Banggai dengan Jakarta, tidak lagi menyinggahi Pelabuhan Banggai. Ini membuat masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) terpukul. Pasalnya, selama lebih dari 12 tahun secara rutin KM ini sandar di Pelabuhan Banggai. Keberadaan kapal penumpang dan barang ini sangat membantu menghidupkan roda perekonomian masyarakat setempat. Keberadaannya dirasakan betul oleh pedagang, mulai dari pedagang kaki lima di sekitar pelabuhan, pedagang antarpulau, hingga pedagang yang bolak-balik Banggai-Jakarta. Memang, dengan tidak beroperasinya lagi KM Ciremai di Pelabuhan Banggai, bukan berarti perputaran roda ekonomi betul-betul tak jalan. Namun, ini jelas sangat berpengaruh, terutama pada ekonomi berbiaya tinggi dan waktu yang banyak terbuang. Sebagai gambaran, dengan KM Ciremai, penumpang asal Banggai tujuan Jakarta cukup sekali naik kapal. Karena itu, setelah kapal ini tidak beroperasi, masyarakat harus menghabiskan banyak waktu dan biaya. Untuk naik kapal laut dari Banggai, misalnya, calon penumpang harus naik kapal kayu sehari semalam untuk tiba di Pelabuhan Bau-Bau, Buton, Sulawesi Tenggara. Dari Bau-Bau, mereka mencari kapal untuk ke Jakarta. Dengan pilihan ini, tak hanya waktu yang tersita, risiko kecelakaan laut pun mengintai mengingat laut di sekitar Bangkep terkenal dengan ombaknya yang besar. Pilihan lewat udara sama sulitnya. Dari Banggai, umpamanya, calon penumpang harus naik kapal kayu selama tujuh jam untuk sampai ke Luwuk. Dari Luwuk, perjalanan dilanjutkan naik kapal perintis sekitar 1,5 jam ke bandara di Palu. Dari Palu, baru ganti pesawat ke Jakarta. "Padahal, tidak semua masyarakat kami mampu naik pesawat. Satu-satunya angkutan murah dengan risiko kecelakaan yang tidak besar, ya memang naik kapal Pelni. Ini jelas sangat memukul kami. Apalagi dari data statistik yang kami peroleh, walau sedikit, kontribusi Banggai ke Pelni tetap ada. Misalnya, tahun 2000 pendapatan Pelni di Pelabuhan Banggai, dari penumpang dan barang, mencapai Rp 2 miliar. Tahun 2001 Rp 1,9 miliar. Mungkin ini kecil, tapi tetap ada," ujar Bupati Banggai HM Ali Hamid. Sebagai gambaran, kata Ali lagi, potensi terbesar Bangkep ada di sektor kelautan dan perikanan, setelah itu pertanian dan perkebunan. Untuk perikanan dan kelautan, misalnya, kabupaten ini punya potensi besar, seperti ikan, udang, lobster, rumput laut, dan kerang. Untuk pertanian dan perkebunan, masyarakat setempat menanam sayur dan buah-buahan, kakao, jambu mete, kopra, dan lain-lain. Sebenarnya, tambah Ali, untuk daerah seperti Banggai dengan laut menempati porsi terbesar setelah daratan dan aktivitas masyarakat lebih banyak di laut, pemerintah harus memberi kebijakan khusus untuk tidak sekadar berhitung bisnis dalam penyediaan transportasi. Sebagai gambaran, kata Ali lagi, potensi terbesar Bangkep ada di sektor kelautan dan perikanan, setelah itu pertanian dan perkebunan. Untuk perikanan dan kelautan, misalnya, kabupaten ini punya potensi besar, seperti ikan, udang, lobster, rumput laut, dan kerang. Untuk pertanian dan perkebunan, masyarakat setempat menanam sayur dan buah-buahan, kakao, jambu mete, kopra, dan lain-lain. Selama ini, selain untuk kebutuhan lokal, banyak warga masyarakat yang menggunakan jasa kapal Pelni untuk memasarkan hasil laut maupun pertanian dan perkebunan ke BauBau, Makassar, dan daerah lain di sekitarnya. Sebaliknya, untuk keperluan yang didatangkan dari luar pulau, seperti sembilan bahan pokok, dan pakaian, masyarakat juga menggunakan jasa kapal Pelni. "Bisa dibayangkan, dengan naik kapal kayu, untuk barang-barang seperti udang, ikan, dan hasil laut lainnya, atau hasil pertanian seperti buah atau sayur, risikonya besar untuk jadi busuk setiba di tempat tujuan. Belum lagi risiko kecelakaan dan tambahan biaya. Ini juga sama untuk pedagang yang membeli barang di luar pulau. Jadi, kami benar-benar minta perhatian pemerintah untuk memberi kebijakan, khususnya masalah transportasi laut, kepada daerah kami," ujar Ali berharap. Dalam beberapa tahun ke depan, tutur Ali, pemerintah setempat masih akan terus berupaya memfokuskan pembangunan pada sektor kelautan dan perikanan. Masalahnya, kendala yang dihadapi tidak sedikit. Selain masalah transportasi laut tadi, pengembangan perikanan juga masih menghadapi banyak masalah. Persoalan lain yang juga berat adalah masih banyaknya nelayan dari luar Banggai beroperasi di perairan Banggai. Ini masih ditambah transaksi di tengah laut yang dilakukan oleh nelayan dari luar maupun dari Banggai sendiri. "Banyak pemasukan daerah yang akhirnya hilang dengan cara seperti ini. Makanya, untuk mencoba menarik kembali pendapatan dari laut, kami bekerja sama dengan pihak swasta. Beberapa perusahaan swasta, walau masih kecil, berusaha bekerja sama dengan nelayan untuk memasarkan hasil tangkapan mereka ke luar negeri. Untuk mengurangi penggunaan bom dan obat bius, kami juga mengajarkan budidaya kepada nelayan. Untuk alat tangkap, pemerintah juga bekerja sama dengan bank pembangunan daerah menyalurkan kredit berbunga ringan kepada nelayan, di samping bantuan-bantuan pemerintah yang anggarannya diambil dari APBD," kata Bupati Ali menjelaskan. Kompas, 23 Desember 2003 4. Arah Kebijakan Pengembangan Jasa Kelautan Bila melihat uraian diatas, maka jelaslah bahwa pengembangan jasa kelautan mempunyai daya tarik yang luar biasa. Artinya jasa kelautan bisa menghela sektor - sektor kelautan untuk menciptakan pertumbuhan dan pusat-pusat perekonomian baru. Dampak selanjutnya adalah mendorong masuknya investasi dan secara tidak langsung mendorong penciptaan lapangan kerja. Namun demikian untuk menentukan arah pengembangan jasa kelautan hendaklah mengacu pada suatu kebijakan kelautan (Ocean Policy). Ocean policy sebagai payung besar kebijakan nasional, dibangun oleh pendekatan kelembagaan yang kajiannya mencakup dua domain dalam suatu sistem pemerintahan, yakni eksekutif dan legislatif. Dalam konteks ini, kebijakan kelautan pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi-politik yang nantinya menjadi tanggung jawab bersama pada semua tingkatan institusi eksekutif yang mempunyai keterkaitan kelembagaan maupun sektor pembangunan. Sedangkan, pada level legislatif, yang perlu diupayakan adalah menciptakan instrumen kelembagaan (peraturan perundang-undangan), mulai dari level pusat hingga daerah untuk mendukung pelaksanaan policy itu. (Kusumastanto, 2003). Dalam pengembangan jasa kelautan hendaknya juga diarahkan untuk meraih empat tujuan secara seimbang, yakni: (1) pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan dengan jasa kelautan sebagai salah satu penggerak utama (prime mover); (2) peningkatan kesejahteraan seluruh pelaku usaha, khususnya para pemangku kepentingan yang terkait jasa kelautan; (3) terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya kelautan; dan (4) menjadikan jasa kelautan sebagai salah satu modal bagi pembangunan kelautan nasional Sehingga ada benang merah yang dapat terlihat antara ocean policy dan pengelolaan sumberdaya kelautan dengan jasa kelautan sebagai penggerak bagi pertumbuhan sektor kelautan seperti terlihat pada Gambar 1 di bawah ini. PENGEMBANGAN JASA KELAUTAN JASA KELAUTAN SEBAGAI PRIME MOVER OCEAN POLICY PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELAUTAN SECARA BERKELANJUTAN Kebijakan kelautan diharapkan mampu memayungi sektor-sektor jasa kelautan secara holistik dengan sektor-sektor ekonomi lainnya melalui pengembangan kawasan ekonomi khusus misalnya melalui kebijakan kawasan kluster industri bahari. Dengan demikian pengembangan jasa kelautan tidak menjadi terkotak-kotak karena batasan –batasan birokrasi namun justru dituntut agar sinergi departemen-depatermen yang terkait dalam pengembangan jasa kelautan dapat dikembangkan.