metode pendidikan islam yang terkandung dalam al

advertisement
METODE PENDIDIKAN ISLAM
YANG TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN
SURAT AN-NAHL AYAT 125-126
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Jenjang Pendidikan Strata Satu (S-1)
Oleh:
MIFTAHUL JANNAH
109011000029
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/1435 H
ABSTRAK
Nama
: Miftahul Jannah
NIM
: 109011000029
Fak/Jur
: Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/Pendidikan Agama Islam
Judul
: Metode Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Al-Qur‟an
Surat An-Nahl Ayat 125-126
Al-Qur‟an merupakan sumber ilmu pengetahuan, di dalamnya menjelaskan
berbagai aspek-aspek kehidupan termasuk mengenai pendidikan. setiap ayat yang
disebutkan di dalam al-Qur‟an mempunyai makna dan nilai-nilai yang berarti, dan
nilai-nilai yang terkandung adalah sebagai pembelajaran dan pendidikan bagi
kehidupan umat manusia.
Al-Qur‟an surat An-Nahl ayat 125-126 merupakan ayat Al-Qur‟an yang di
dalamnya menjelaskan hal-hal mengenai metode pendidikan dalam islam.
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui metode pendidikan
islam yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125-126, sehingga dapat
diimplementasikan dalam proses pendidikan islam.
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
deskriptif analisis, yaitu menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara
mengumpulkan data-data kepustakaan, pendapat para mufassir. Kemudian
mendeskripsikan pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pendidikan islam yang
terkandung dalam Al-Qur‟an surat An-Nahl ayat 125-126 Metode pendidikan
islam dengan teladan, yaitu dengan meniru atau mencontohkan perbuatanperbuatan atau perilaku yang baik. Metode pendidikan islam dengan mauizhah
atau nasehat, yaitu dengan memberi pelajaran agar dapat memetik hikmah atau
I‟tibar yang terjadi dalam kehidupan. Metode pendidikan islam dengan diskusi,
yaitu memberi kesempatan untuk saling bertukar fikiran, atau bermusyawarah
untuk menemukan titik temu dalam suatu permasalahan. Dan yang terakhir adalah
metode pendidikan islam dengan hukuman, metode ini adalah cara terakhir
apabila penggunaan metode lain (yang telah disebutkan) tidak efektif diserap oleh
peserta didik, maka metode ini adalah alternatif yang dapat digunakan dengan
maksud agar memberikan pelajaran dan memberikan efek jera terhadap peserta
didik yang sering melakukan kesalahan.
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
segala nikmat yang tiada hentinya engkau menganugerahkan kepada penulis. Dan
berkat kasih serta saying-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga
dan sahabatnya, kelak syafaat beliaulah yang diharapkan umatnya di akhir zaman.
Skripsi ini berjudul “Metode Pendidikan Islam yang Terkandung dalam AlQur‟an Surat An-Nahl
Ayat 125-126”, merupakan tugas akhir yang harus
dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam.
Atas terselesainya Skripsi ini tidak terlepas dari upaya berbagai pihak yang
telah memberikan kontribusi atau bantuan dalam rangka penyusunan dan
penulisan skripsi ini, untuk itu penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dra. Hj. Nurlena Rifa‟i, M.A, Ph.D, Selaku dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, beserta seluruh staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan atas segala fasilitas yang diberikan kepada penulis.
2. Bahrissalim, M.Ag, selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam dan Drs.
Sapiuddin Shidiq M.Ag, selaku sekertaris jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyetujui
penyusunan skripsi ini.
3. Dr. H. Anshori LAL., MA., selaku dosen pembimbing skripsi atas dorongan
serta nasihat, masukan, arahan dan motivasi yang tiada henti-hentinya
sehingga skripsi ini dapat tersusun dan terselesaikan.
4. Dosen-dosen jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
ii
banyak memberikan pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis,
sehingga penulis mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan
penulis.
5. Kedua orang tua penulis ayahanda Edih S.Pd. dan ibunda Salbiyah S.Pd.,
terimakasi atas do‟a, cinta, serta kasih sayang, didikan, semangat, kepercayaan
dan pengorbanan kalian yang tulus tiada hentinya untuk penulis, serta kakakku
Diyah Aryani Utami beserta suami Yoni Sudana, serta adik-adikku tercinta
Ipul, Zahra dan Mufi yang selalu mengisi hari-hari penulis dengan canda dan
tawanya disaat penulis mengalami kejenuhan, terimakasih atas do‟a dan
semangat yang kalian berikan untuk penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
6. Sahabat-sahabatku tersayang, Fakihuddin Ahmad, Siti Humairoh, Adilah, Iga
Adrikni, Siti Umi, Konita Lutfiah, Siti Salbiyah, terimakasih atas dorongan,
semangat, masukan yang kalian berikan untuk penulis, yang selalu menemani
penulis disaat penulis mengalami kebimbangan dan masalah dalam hidup
penulis.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan PAI A angkatan 2009 dan seluruh mahasiswa/I
PAI angkatan 2009, terima kasih atas masukan, dorongan, dan sharingnya
yang telah diberikan untuk penulis sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan skripsi ini.
8. Racana fatahillah-Nyi Mas Gandasari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Angkling 2011 Racana UIN Jakarta, terima kasih atas masukan, dorongan,
ilmu dan sharingnya yang telah diberikan untuk penulis sehingga penulis
dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.
Tiada kata yang dapat melukiskan rasa syukur dan terimakasih kepada seluruh
pihak yang telah membantu kelancaran dalam penulisan skripsi ini yang
meungkin tidak dapat penulis sebutkan, semoga Allah SWT membalas kebaikan
kalian semua. Akhir kata tiada gading yang tak retak, penulis menyatakan sebagai
iii
manusia tidak sempurna, dengan senang hati akan menerima kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga karya sederhana ini
bermabfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Ciputat, 29 Desember 2013
Penulis
Miftahul Jannah
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah ...... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 6
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Metode ..................................................................................... 7
B. Pengertian Pendidikan Islam ..................................................................... 8
C. Pengertian Metode Pendidikan Islam ........................................................ 11
D. Macam-macam Metode Pendidikan Islam ................................................ 12
E. Fungsi Metode Pendidikan Islam .............................................................. 23
F. Hasil Penelitian yang Relevan ................................................................... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian ...................................................................... 25
B. Metodologi Penelitian ................................................................................ 25
C. Fokus Penelitian ......................................................................................... 26
D. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 27
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Teks Ayat dan Terjemahannya .................................................................. 28
B. Asbabun Nuzul .......................................................................................... 28
C. Tafsir Surat An-Nahl Ayat 125-126 ........................................................... 31
D. Metode Pendidikan Islam yang terkandung dalam Surat Al-Qur‟an AnNahl Ayat 125-126 .................................................................................... 42
v
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................................ 55
B. Saran .......................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 57
vi
`BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal sangat penting bagi kehidupan manusia. Allah
SWT telah memberikan nikmat yang amat besar kepada manusia berupa kitab suci
al-Qur‟an yang di dalamnya berisikan nilai-nilai pendidikan bagi kehidupan umat
manusia.
Menurut Abudin Nata, “Al-Qur‟an adalah kitab suci yang diturunkan Allah
kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, kehadirannya telah memberi
pengaruh yang luar biasa bagi lahirnya berbagai konsep yang diperlukan manusia
dalam berbagai bidang kehidupan”.1 Sebagaimana diterangkan dalam surat alBaqorah:
         
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa(Q.S. Al-Baqoroh [2]:2)
Pada ayat ini disebutkan bahwa al-Qur‟an merupakan petunjuk, tentunya
makna petunjuk ini dapat dijelaskan dengan cakupan yang luas termasuk petunjuk
dalam masalah pendidikan.
Dalam rangka memahami al-Qur‟an, telah banyak kaum muslimin yang
memfokuskan keilmuannya untuk menafsirkan al-Qur‟an sehingga lahirlah para
mufassir dengan berbagai karya-karyanya yang membahas kitab suci al-Qur‟an.
Setiap ayat yang disebutkan dalam al-Qur‟an memiliki makna sangat berarti
dalam kehidupan, makna tersebut ada yang dapat dipahami secara tersurat
maupun tersirat, semuanya dapat dijadikan pelajaran dan pedoman kehidupan.
1
Abudin Nata, Pendidikan dalam Persfektif Al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
h.1
1
2
Al-Qur‟an sebagai pedoman umat manusia merupakan kitab Allah yang
sempurna, keterangan yang terdapat di dalam al-Qur‟an tidak hanya berisikan
petunjuk dalam beragama, akan tetapi berisikan berbagai petunjuk dalam
kehidupan. Dari hal terkecilpun diterangkan dalam al-Qur‟an,
.Al-Qur‟an merupakan sumber ilmu pengetahuan, di dalamnya menjelaskan
berbagai aspek kehidupan termasuk mengenai pendidikan. Setiap ayat yang
disebutkan dalam al-Qur‟an mempunyai makna dan nilai-nilai yang berarti, dan
nilai-nilai yang terkandung adalah sebagai pembelajaran dan pendidikan bagi
kehidupan umat manusia.
Beberapa ayat al-Qur‟an juga ada yang menerangkan mengenai nilai-nilai
pendidikan, baik berupa objeknya, tujuannya, juga metodenya. Dalam skripsi ini,
penulis bermaksud membahas metode pendidikan islam dalam al-Qur‟an dalam
penelitiannya.
Metode pendidikan adalah suatu cara atau jalan yang ditempuh untuk
mencapai tujuan dalam kegiatan pendidikan. Armai Arief dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa, “metode adalah cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan”.2 Dengan metode, pencapaian tujuan dalam suatu kegiatan pendidikan
akan lebih sistematis dan terarah.
Metode pendidikan termasuk ke dalam komponen pendidikan3, dengan ini
maka keberadaan metode dalam suatu pendidikan merupakan hal yang amat
penting karena dapat menunjang keberhasilan suatu pendidikan. Berkaiatan antara
metode dengan pendidikan, Armai Arief mengatakan bahwa, “Pendidikan
merupakan usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk
mengembangkan intelektual pribadi anak didik ke arah kedewasaan dan dapat
2
3
Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD Press , 2005), h. 141.
M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.67.
3
menetapkannya dalam kehidupan sehari-hari”.4 Maka, untuk mewujudkan hal
tersebut diperlukan metode yang paling tepat agar intelektual pribadi anak didik
dapat dikembangkan ke arah kedewasaan.
Pendidikan secara umum merupakan usaha yang dilakukan sesorang
(pendidik) kepada sasarannya
(peserta didik) untuk mewujudkan adanya
perubahan tingkah laku sasaran tersebut dari tidak tahu menjadi tahu, salah
menjadi benar, dan buruk menjadi baik. Tidak jauh berbeda dengan pendidikan
islam, menurut Armai Arief, “pendidikan islam sebagai suatu proses
pengembangan potensi kreatifitas peserta didik, bertujuan untuk mewujudkan
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah, cerdas,terampil, memiliki etos
kerja yang tinggi, berbudi pekerti luhur, mandiri, dan bertanggung jawab terhadap
dirinya, bangsa dan negara serta agama.5
Dengan pengertian pendidikan di atas, sangat penting untuk menentukan
metode yang paling tepat guna mewujudkan hasil pendidikan yang ingin dicapai.
Berkaitan dengan hal tersebut, telah banyak bahasan-bahasan mengenai macammacam metode pendidikan yang dapat diterapkan dalam kegiatan pendidikan
sehari-hari, baik pendidikan dalam proses belajar mengajar maupun pendidikan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Telah banyak buku-buku pendidikan yang menerangkan berbagai macam
metode pendidikan yang dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan peserta didik,
pendidik dan faktor-faktor lainnya. Begitu juga di dalam al-Qur‟an, beberapa ayat
al-Qur‟an ada yang menjelaskan mengenai metode-metode pendidikan.
Hery Noer Ali dalam Abudin Nata mengemukakan:
Adanya metode ceramah, Tanya jawab, diskusi, pemberian tugas (resitesasi),
demonstrasi (eksperimen), bekerja kelompok, sosiodrama (bermain peran),
karya wisata, latihan siap (drill), dan sistem regu (team teaching). Selanjutnya
dengan merujuk kepada berbagai ayat al-Qur‟an, Noer Ali menyebutkan
adanya partisipasi guru di dalam situasi belajar mengajar (QS. Al-Nisa (4): 9),
4
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers
2002), h. 40.
5
Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,… hl. 3.
4
pengulangan bervariasi (QS. al-Isra (17): 41), membuat perumpamaan dan
bercerita untuk mengambil pelajaran (QS. al-Nahl (16): 76), pengalaman
pribadi dan widyawisata untuk mencari hakikat dan wisata alam (QS. al-Hajj
(22): 46), mengambil pelajaran dan peristiwa yang terjadi (QS. al-Taubah (9):
25-26), mencipatakan suasana senang sebagai upaya pendidikan (QS. al-An‟am
(6): 160), teladan yang baik (QS. al-Ahzab (33): 21), dan memerhatikan
karakteristik situasi belajar mengajar.6
Selain keterangan di atas, beberapa ayat-ayat al-Qur‟an yang menerangkan
tentang metode pendidikan juga di antaranya pendidikan melalui teladan (alAhzab (33): 21), pendidikan melalui nasehat (an-Nisa (4): 58), pendidikan melalui
hukuman (an-Nahl (16): 125), pendidikan melalui cerita (al-Maidah (5): 2730),dan lain-lain.7
Dari pembahasan di atas, penulis tertarik untuk menggali, membahas dan
mengetahui lebih jauh mengenai ayat tersebut sebagai bahan penulisan dalam
skripsi. Meskipun telah ada penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh saudara
Rudi Salam Nurusshobah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah FITK jurusan PAI
dengan judul “Unsur-unsur Pendidikan yang Terkandung dalam Surat An-Nahl
Ayat 125”, akan tetapi penulis pada penelitian sebelumnya memfokuskan pada
unsur-unsur pendidikan, berbeda dengan penelitian akan penulis lakukan, dalam
skripsi ini penulis akan membahas lebih lengkap dan terperinci mengenai metodemetode pendidikan islam yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125-126.
Atas pertimbangan di atas, penulis mengangkat masalah tersebut dan dituangkan
dalam skripsi yang berjudul “Metode Pendidikan Islam yang Terkandung
dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl Ayat 125-126”.
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
6
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 151-152.
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. oleh Salman Harun, (Bandung: PT alMa‟arif, 1988), cet. II, h.325-347.
7
5
a. Metode pendidikan islam yang terkandung di dalam al-Qur‟an surat AnNahl ayat 125-126.
b. Penerapan metode pendidikan islam yang terdapat di dalam al-Qur‟an
surat An-Nahl ayat 125-126.
c. Kekurangan dan kelebihan metode pendidikan islam yang terkandung
dalam surat An-Nahl ayat 125-126.
d. Kendala penerapan metode pendidikan islam yang terdapat di dalam alQur‟an surat An-Nahl ayat 125-126.
2. Pembatasan Masalah
Dengan adanya identifikasi di atas, penulis membatasi masalah yaitu, “Metode
pendidikan islam yang terkandung di dalam al-Qur‟an surat An-Nahl ayat 125126”.
3. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “Apa saja Metode
pendidikan islam yang terkandung di dalam al-Qur‟an surat An-Nahl ayat 125126?"
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah, “Mengetahui metode pendidikan
islam yang terkandung dalam surah An-Nahl ayat 125-126”.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
a. Sedikit banyaknya penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmu dan
khazanah ilmu pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya.
b. Menambah khazanah pengetahuan penulis sebagai calon guru mengenai
metode pendidikan islam yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur‟an.
c. Penelitian ini menjadi langkah awal dan dapat dikembangkan oleh peneliti
selanjutnya.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Metode
Menurut Armai Arief:
secara etimologis, istilah metode berasal dari bahasa Yunani “metodos”. Kata
ini terdiri dari dua suku kata: yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati
dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang
dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa Arab metode disebut “Thariqat”,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “metode” adalah : “Cara yang teratur
dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud.” Sehingga dapat dipahami
bahwa metode berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan
pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran.8
Menurut Abuddin Nata, “metode dapat berarti cara atau jalan yang harus
dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa
metode adalah suatu saran untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang
diperlukan bagi pengembangan disiplin ilmu tersebut”.9
Di dalam strategi pembelajaran menurut Wina Sanjaya, “metode termasuk ke
dalam komponen-komponen pendidikan yang juga mempunyai fungsi yang sangat
menentukan dalam pencapaian dari suatu tujuan yang diharapkan dalam kegiatan
pendidikan”.10
Selanjutnya pengertian metode menurut Jalaluddin dan Usman Said, “metode
dapat diartikan sebagai cara untuk menyampaikan materi pelajaran kepada anak
didik”.11
8
9
Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, h. 40.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2005),
h.143.
10
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta:
Kencana 2008), cet. V, h. 60.
11
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1996), cet.II, h. 52
7
8
B. Pengertian Pendidikan Islam
Menurut Ramaliyus, “Pendidikan berasal dari kata “didik” dengan awalan
“pe” dan akhiran “kan”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan
sebagainya)”.12
Menurut Ngalim Purwanto, “istilah Pendidikan ini dalam bahasa Yunani yaitu
Paedagogic. Paedagogic
berasal dari kata Paedos (anak) dan Agogic
(membimbing, memimpin). Paedagoog ialah “seseorang yang tugasnya
membimbing anak dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri.”13
Menurut Soedijarto, “Pendidikan secara umum didefinisikan sebagai sebuah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kesatuan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat”.14
Menurut Muhaimin,"istilah pendidikan dalam konteks pendidikan islam
memiliki dua pengertian. Pertama, merupakan aktifitas pendidikan yang
diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan
ajaran dan nilai-nilai islam. Kedua, pendidikan islam adalah sistem pendidikan
yang dikembangkan dari dan disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai
islam".15
Abuddin Nata mengutip Zakiyah Darajat mengatakan bahwa, "pendidikan
islam sebagai usaha membentuk manusia yang harus mempunyai landasan
12
Ramaliyus, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004) cet ke-4, h.1
Ngalim Purwanto,Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2007) cet. Ke-18, h. 3.
14
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara 2008), h.XVII
15
Muhaimin, Rekonstuksi Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2009), h. 14
13
9
keimanan, dan dengan landasan itu semua kegiatan dan semua perumusan tujuan
pendidikan islam dihubungkan".16
Menurut Abdurrahman Annahlawi pendidikan dalam konteks islam juga
memiliki beberapa pengertian diantaranya at-tarbiyah, at-at-ta‟lim, dan at-ta‟dib.
ketiga istilah tersebut dapat dijelaskan dengan makna sebagai berikut:
1. Istilah at-tarbiyah
Menurut Abdurrahman Annahlawi lafal at-tarbiyah berasal dari tiga kata
yaitu:
a. Raba yarbu yang berarti bertambah dan tumbuh.
b. Rabiya yarba, berarti menjadi besar.
c. Rabba yarubbu, yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun,
menjaga dan memelihara.17
Al-raghib Al-Ishfani yang dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan bahwa, “attarbiyah berarti menumbuhkan atau membina sesuatu tahap demi tahap hingga
mencapai batas yang sempurna”.18
Di dalam al-Qur‟an surat Assaba ayat 15 disebutkan:
    
Negrimu adalah negri yang baik dan Tuhanmu adalah yang maha pengampun
(Q.S. Sabaa [34]:15).
2. Istilah at-ta‟lim
Menurut Abudin Nata, “Lafal at-ta‟lim berasal dari kata „allama yang
mengandung kata mengajar. Abdul Fatah Jalal berpendapat bahwa, “istilah at16
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Persfektif Hadits,(Jakarta: UIN Jakarta Press 2005), h.
57.
17
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, (Bandung: CV.
Diponegoro 1989), h. 30-32.
18
Abudin Nata, Pendidikan Dalam Persfektif Al-Qur‟an, (Jakarta: UIN Jakarta Press 2005),
h. 90.
11
10
ta‟lim berhubungan dengan pemberian bekal pengetahuan yang dalam islam
pengetahuan dinilai sesuatu yang memiliki kedudukan yang tinggi”.19 Ia juga
mengatakan, “Banyak kegiatan yang menggunakan kata at-ta‟lim, di Indonesia
misalnya kita jumpai kata at-ta‟lim pada istilah majlis at-ta‟lim yaitu tempat
untuk melakukan pengajaran. Penggunaan kata at-ta‟lim juga biasanya dijumpai
pada saat membicarakan guru dan murid”.20
Di dalam al-Qur‟an kata at-ta‟lim dapat kita jumpai pada surat al-Hujurot
ayat16:
             
   
Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang
agamamu, Padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(Q.S. Al-Hujrot [49]:14)
3. Istilah at-ta‟dib
Menurut Abudin Nata, kata at-ta‟dib berasal dari kata addaba, kata ini tidak
dijumpai dalam al-Qur‟an akan tetapi terdapat di dalam hadits yang berbunyi
“addabani rabbi faahsana at-ta‟dibii”, artinya: Tuhanku telah mendidikku, dan
telah membuat pendidikkanku sebaik-baiknya.21 maka at-ta‟dib dapat juga
diartikan pengenalan dan pengakuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke
dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan.
Ketiga pengertian di atas, sebagaimana disebutkan oleh Abuddin Nata
terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Istilah at-tarbiyah
memberikan kesan proses pembinaan, dan pengarahan bagi pembentukan
kepribadian dan sikap mental, istilah at-ta‟lim memberikan kesan proses
19
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1997 ), h. 5-8.
Nata, Pendidikan Dalam Persfektif Al-Qur‟an,…h.92.
21
Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1…h.7.
20
12
pemberian bekal pengetahuan, dan istilah at-ta‟dib memberikan kesan proses
bembinaan terhadap sikap moral dan etika dalam kehidupan yang lebih mengacu
pada peningkatan martabat manusia.22
C. Pengertian Metode Pendidikan Islam
Menurut Ahmad Tafsir, “yang dimaksud dengan metode pendidikan ialah
semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik.23Adapun metode pendidikan
atau metode pembelajaran, dimaksudkan sebagai suatu cara atau strategi yang
digunakan guru untuk melakukan proses pembelajaran di kelas, terutama dalam
konteks transfer of knowledge atau transfer of value. Metode tersebut membantu
guru untuk mengoptimalkan proses pembelajaran sehingga kompetensi yang
direncanakan dapat tercapai dengan maksimal”.24
Menurut Armai Arief, “di dalam pendidikan islam, metode pendidikan adalah
cara yang dapat ditempuh dalam memudahkan pencapaian tujuan pendidikan
islam.25
Abdurrahman Annahlawi mengatakan:
Metode pendidikan islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak
didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode ini memungkinkan
puluhan ribu kaum mukminin dapat membuka hati manusia untuk menerima
petunjuk Ilahi dan konsep-konsep peradaban Islam. Selain itu, metode
pendidikan Islam akan mampu menempatkan manusia di atas luasnya
permukaan bumi dan dalamnya masa yang tidak diberikan kepada penghuni
bumi lainnya.26
Selanjutnya, penulis mengutip pendapat Abuddin Nata secara ringkasnya, alQur`an sendiri secara eksplisit tidak menjelaskan arti dari metode pendidikan.
Namun kata metode dalam bahasa Arab dibahasakan dengan kata al-tariqah ,
22
Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1…h.8
Ahmad Tafsir, Ilmu Penddidikan dalam Persfektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya
2007), cet. V h. 131.
24
Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-dasar Pendidikan,
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 122
25
Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,…h.41
26
Abdurrahman Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta:
Gema Insani, 1993), cet I, h. 205
23
13
banyak dijumpai dalam al-Qur‟an. Abuddin Nata mengutip Muhammad Abd alBaqi, menurutnya di dalam al-Qur`an kata al-tariqah diulang sebanyak sembilan
kali. Salah satunya kata ini terkadang dihubungkan dengan sifat dari jalan
tersebut, seperti al-tariqah al-mustaqimah, yang diartikan jalan yang lurus.27 Hal
ini terdapat dalam al-Qur`an surat Al-Ahqaaf ayat 30:
Mereka berkata: Hai kaum kami, Sesungguhnya kami Telah mendengarkan
kitab (al-Quran) yang Telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan
kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada
jalan yang lurus”.(Al-Ahqaf[46]:30).
Dari ayat di atas dapat dijelaskan bahwa metode atau jalan oleh al-Qur‟an
dilihat dari sudut objeknya, fungsinya, akibatnya, dan sebagainya. Ini dapat
diartikan bahwa perhatian al-Qur‟an terhadap metode demikian tinggi, dengan
demikian al-Qur'an lebih menunjukkan isyarat-isyarat yang memungkinkan
metode ini berkembang lebih lanjut.
Dengan berlandaskan pada beberapa definitif di atas dapat penulis
menegaskan bahwa metode pendidikan merupakan sebuah mediator yang
mengolah dan mengembangkan suatu gagasan sehingga menghasilkan suatu teori
atau temuan untuk menyampaikan sebuah visi pendidikan kepada tujuannya.
D. Macam-macam Metode Pendidikan Islam
Armai Arief menerangkan tentang metodologi pendidikan dalam islam yang
dinyatakan dalam al-Qur‟an menggunakan sistem multi approach yang meliputi
antara lain:
1. Pendidikan religius, bahwa manusia diciptakan memiliki potensi dasar
(fitrah) atau bakat agama.
2. Pendekatan filosofis, bahwa manusia adalah makhluk rasional atau berakal
pikiran untuk mengembangkan diri dan kehidupannya.
3. Pendekatan rasio-kultural, bahwa manusia adalah makhluk bermasyarakat
dan berkebudayaan sehingga latar belakangnya mempengaruhi proses
pendidikan.
27
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2005),
h. 144-145.
14
4. Pendekatan scientific, bahwa manusia memiliki kemampuan kognitif, dan
afektif yang harus ditumbuhkembangkan.
Berdasarkan multi approach tersebut, penggunaan metode harus dipandang
secara komprehensif terhadap anak. Karena anak didik tidak saja dipandang
dari segi perkembangan, tetapi juga harus dilihat dari berbagai aspek yang
mempengaruhinya.28
Menurut Abdurrahman Annahlawi diantara metode pendidikan islam yang
dianggap paling penting dan paling menonjol adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Metode dialog Qur‟ani dan Nabawi.
Mendidik melalui kisah-kisah Qur‟ani dan Nabawi.
Mendidik melalui perumpamaan Qur‟ani dan Nabawi.
Mendidik melalui keteladanan.
Mendidik melalui aplikasi dan pengalaman.
Mendidik melalui ibrah dan nasihat.
Mendidik melalui targhib dan tarhib.29
Selanjutnya, penulis menyebutkan lima penjelasan dari ketujuh metode
pendidikan yang dianggap paling penting dan paling menonjol oleh Abdurrahman
Annahlawi sebagai berikut:
1. Metode dialog Qur‟ani dan Nabawi.
Menurut Abdurrahman Annahlawi, “dialog dapat diartikan sebagai
pembicaraan antara dua pihak atau lebih yang dilakukan melalui tanya jawab
dan di dalamnya terdapat kesatuan topik atau tujuan pembicaraan”.30
Abdurrahman Annahlawi juga menjelasakan, “bentuk dialog yang
terdapat dalam al-Qur‟an dan sunnah sangat variatif. Namun, bentuk yang
paling penting adalah dialog khithabi (seruan dengan Allah) dan ta‟abbudi
(penghambaan terhadap Allah), dialog deskriptif, dialog naratif, dialog
argumentatif, serta dialog nabawiah”.31
Selanjutnya beliau juga menjelaskan, “tentang aspek-aspek dialog
ditujukan agar setiap pendidik dapat memetik manfaat dari setiap bentuk
28
Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam…, h. 41.
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h. 204
30
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h. 205
31
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h. 205
29
15
dialog tersebut dan dapat mengembangkan afeksi, penalaran, dan perilaku
ketuhanan anak didik. Selain itu, seorang pendidik dapat memanfaatkan dialog
untuk melengkapi metode pengajaran ilmu-ilmu lainnya”.32
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai macam-macam bentuk metode
dialog di dalam al-Qur‟an yang disebutkan oleh Abdurrahman Annahlawi:
a. Dialog Khithabi dan Ta‟abbudi
Mengenai dialog khithabi dan ta‟abbudi ini Abdurrahman Annahlawi
menjelaskan:
Al-Qur‟an diturunkan untuk menjadi petunjuk dan sebagai kabar gembira
bagi orang-orang yang bertakwa. Di dalamnya, pada puluhan tempat,
Allah menyeru hamba-hamba yang beriman melalui seruan ya ayyuhalladzina amanu. Seorang mukmin yang membaca seruan tersebut, niscaya
akan segera menjawab; ya Rabbi, aku memenuhi seruan-Mu. Hubungan
antara seruan Allah dan tanggapan seorang mukmin itulah yang
melahirkan sebuah dialog. Kondisi tersebut bisa berlangsung sebaliknya.33
b. Dialog Deskriptif
Mengenai dialog deskriptif ini Abdurrahman Annahlawi menjelaskan:
Dialog deskriptif disajikan dengan deskripsi atau gambaran orang-orang
yang tengah berdialog. Pendeskripsian itu meliputi gambaran kondisi
hidup dan psikologis orang-orang yang berdialog sehingga kita dapat
memahami kebaikan dan keburukannya. Selain itu, pendeskripsian itu
berpengaruh juga pada mentalitas seseorang sehingga perasaan ketuhanan
dan perilaku positif manusia akan berkembang.34
c. Dialog Naratif
Mengenai dialog naratif ini Abdurrahman Annahlawi menjelaskan:
Dialog naratif tampil dalam episode kisah yang bentuk dan alur ceritanya
jelas sehingga menjadi bagian dari cara atau unsur cerita dalam al-Qur‟an.
Walaupun al-Qur‟an mengandung kisah yang disajikan dalam bentuk
dialog, kita tidak dapat mengidentikkan keberadaannya dengan drama
yang sekarang ini muncul sebagai sebuah jenis karya sastra. Artinya, alQur‟an tidak menyajikan unsur dramatik walaupun dalam penyajian
kisahnya terdapat unsur dialog, seperti surat Hud yang mengisahkan
Syu‟aib dan kaumnya. Sepuluh ayat pertama dari kisah Syu‟aib disajikan
32
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h. 205-206.
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h. 206.
34
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h. 220.
33
16
dalam bentuk dialog yang kemudian diakhiri dengan ayat yang
menjelaskan kebinasaan kaum tersebut.35
d. Dialog Argumentatif
Mengenai, dialog argumentatif ini Abdurrahman Annahlawi menjelaskan:
Di dalam dialog argumentatif, akan ditemukan diskusi perdebatan yang
diarahkan pada pengkokohan hujjah atas kaum musyrikin agar mereka
mengakui pentingnya keimanan dan pengesaan kepada-Nya, mengakui
kerasulan akhir Muhammad saw, mengakui kebatilan tuhan-tuhan mereka,
dan mengakui kebenaran seruan Rasulullah saw.36
e. Dialog Nabawi
Selanjutnya, mengenai dialog deskriptif ini Abdurrahman Annahlawi
menjelaskan:
Pada dasarnya, Rasulullah saw, telah menjadikan jenis dan bentuk dialog
Qur‟ani sebagai pedoman dalam mempraktikkan metode pendidikan dan
pengajaran beliau. Hal itu tidaklah mengherankan karena bagaimanapun,
akhlak beliau adalah al-Qur‟an. Metode pendidikan dan pengajaran beliau
merupakan aplikasi yang dinamis dan manusiawi dari ayat-ayat Allah.37
2. Mendidik melalui kisah-kisah Qur‟ani dan Nabawi.
Menurut Abdurrahman Annahlawi:
Dalam pendidikan islam, dampak edukatif kisah sangat sulit digantikan oleh
bentuk-bentuk bahasa lainnya. Pada dasarnya, kisah-kisah al-Qur‟an dan
Nabawi membiaskan dampak psikologis dan edukatif yang baik, konstan, dan
cenderung mendalam sampai kapan pun. Pendidikan melalui kisah-kisah
tersebut dapat menggiring anak didik pada kehangatan perasaan, kehidupan,
dan kedinamisan jiwa yang mendorong manusia untuk mengubah perilaku dan
memperbaharui tekadnya selaras dengan tuntutan, pengarahan, penyimpulan,
dan pelajaran yang dapat diambil dari kisah tersebut. 38
Selanjutnya penulis meringkas pendapat Abdurrahman Annahlawi
mengenai dampak pendidikan melalui metode pengisahan sebagai berikut:
a. Kisah dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembaca tanpa
cerminan kesantaian dan keterlambatan sehingga dengan kisah, setiap
pembaca akan senantiasa merenungkan makna dan mengikuti berbagai
35
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat...,h. 223.
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.226.
37
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.231.
38
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.238.
36
17
situasi kisah tersebut sehingga pembaca terpengaruh oleh tokoh dan topik
dalam tersebut.
b. Interaksi kisah Qur‟an dan Nabawi dengan diri manusia dalam keutuhan
realitasnya tercermin dalam pola terpenting yang hendak ditonjolkan oleh
al-Qur‟an kepada manusia di dunia hendak mengarahkan perhatian pada
setiap pola yang selaras dengan kepentingannya.
c. Kisah-kisah Qur‟ani mampu membina perasaan ketuhanan.39
3. Mendidik melalui keteladanan
Menurut Abdurrahman Annahlawi:
Kurikulum pendidikan yang sempurna telah dibuat dengan rancangan yang
jelas bagi perkembangan manusia melalui sistematisasi bakat, psikologis,
emosi, mental, dan potensi manusia. Namun tidak dapat dipungkiri jika timbul
masalah bahwa kurikulum seperti itu masih tetap memerlukan pola
pendidikan yang dia perlihatkan kepada anak didiknya sambil tetap berpegang
pada landasan, metode, dan tujuan kurikulum pendidikan. Untuk kebutuhan
itu Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai hamba dan Rasul-Nya menjadi
teladan bagi manusia dalam mewujudkan tujuan pendidikan Islam, melalui
firman-Nya:40
       
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (Q.S. Al-Ahzab [33]:21)
Menurut
Abdurrahman
Annahlawi,
tinjauan
dari
sudut
ilmiah
menunjukkan bahwa, pada dasarnya keteladanan memiliki sejumlah asas
kependidikan berikut ini:
a. Pendidikan islami merupakan konsep yang senantiasa menyeru pada jalan
Allah.
b. Sesungguhnya islam telah menjadikan kepribadian Rasulullah saw sebagai
teladan abadi dan aktual bagi pendidik dan generasi muda sehingga setiap
kali kita membaca riwayat beliau, semakin bertambahlah hasrat dan
kecintaan beliau untuk meneladani.41
39
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.239-240.
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.260.
41
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.262-263
40
18
Selanjutnya Abdurrahman Annahlawi menyebutkan pola pengaruh tingkat
keteladanan berpindah kepada peniru melalui beberapa bentuk, dan bentuk
paling penting adalah:
a.
Pemberian pengaruh secara spontan.
b.
Pemberian pengaruh secara sengaja.42
4. Mendidik melalui ibrah dan Mauizhah.
a. Mendidik melalui Ibrah
Menurut Abdurrahman Annahlawi:
Ibrah berasal dari kata „abara ar-ru‟ya yang berarti „menafsirkan mimpi
dan memberitahukan implikasinya bagi kehidupan si pemimpi‟, atau
„keadaan setelah kematiannya‟ dan „Abara al-wadi berarti „melintasi
lembah dari ujung satu ke ujung lain yang berlawanan‟. Ibrah yang
terdapat dalam al-Qur‟an mengandung dampak edukatif yang sangat besar,
yaitu mengantarkan penyimak pada kepuasan berpikir mengenai persoalan
akidah. Kepuasan edukatif tersebut dapat menggerakkan kalbu,
mengembangkan perasaan ketuhanan; serta menanamkan, mengkokohkan,
dan mengembangkan akidah tauhid, ketundukkan kepada syari‟at Allah,
atau ketundukkan pada berbagai perintah-Nya.43
b. Mendidik melalui mau‟izhah
Abdurrahman Annahlawi mengatakan, “di dalam kamus Al-Muhith
terdapat kata “wa‟azhahu, ya‟izh-hu, wa‟zhan, wa‟izhah, wa mau‟izhah
yang berarti mengingatkannya terhadap sesuatu yang dapat meluluhkan
hatinya dan sesuatu itu dapat berupa pahala maupun siksa, sehingga dia
menjadi ingat”.44
Abdurrahman Annahlawi mengutip Rasyid Ridha mengatakan bahwa,
“al-wa‟zhu berarti nasihat dan peringatan dengan kebaikan dan dapat
melembutkan hati serta mendorong untuk beramal. Yakni nasihat melalui
penyampaian had (batasan-batasan yang ditentukan Allah) yang disertai
dengan hikmah, targhib dan tarhib”.45
42
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.266-267.
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.279.
44
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.289.
45
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.289.
43
19
Dan menurut Abdurrahman Annahlawi dari sudut psikologi dan
pendidikan, pemberian nasihat itu menimbulkan beberapa perkara,
diantaranya adalah:
1) Membangkitkan
perasaan-perasaan
ketuhanan
yang
telah
dikembangkan dalam jiwa setiap anak didik melalui dialog,
pengalaman, ibadah, praktik, dan metode lainnya. Perasaan ketuhanan
yang meliputi ketundukkan kepada Allah dan rasa takut terhadap azabNya atau keinginan menggapai surga-Nya. Nasihatpun membina dan
mengembangkan perasaan ketuhanan yang baru ditumbuhkan itu.
2) Membangkitkan keteguhan untuk senantiasa berpegang pada
pemikiran ketuhanan yang sehat, yang sebelumnya dikembangkan
dalam diri objek nasihat.
3) Membangkitkan keteguhan untuk berpegang kepada jama‟ah yang
beriman. Masyarakat yang baik dapat menjadi pelancar berpengaruh
dan meresapnya sebuah nasihat ke dalam jiwa. Oleh karena itu,
sebagian besar nasihat Qur‟ani dan nabawi ditampilkan dalam bentuk
jamak.
4) Dampak terpenting dari sebuah nasihat adalah penyucian dan
pembersihan diri yang merupakan salah satu tujuan utama dalam
pendidikan islam. Dengan terwujudnya dampak tersebut, kedudukan
masyarakat meningkat dan mereka menjauhi berbagai kemunkaran dan
kekejian sehingga seorang tidak berbuat jahat kepada orang lain.
Dengan kata lain, semuanya menjalankan perintah Allah dengan
ma‟ruf, adil, baik, bijaksana, dan ihsan. 46
5. Mendidik melalui targhib dan tarhib.
Menurut Abdurrahman Annahlawi, “targhib dan tarhib dalam pendidikan
islam lebih memiliki makna dari apa yang diistilahkan dalam pendidikan barat
dengan “imbalan dan hukuman”. Kelebihan itu bersumber dari karakteristik
ketuhanan yang tidak membunuh fitrah manusia dan yang menjadi identitas
pendidikan islam”. 47
Abdurrahman Annahlawi menyebutkan kelebihan yang paling penting
ialah:
a. Targhib-tarhib Qur‟ani dan Nabawi bertumpu pada pemberian kepuasan
dan argumentasi.
b. Targhib-tarhib Qur‟ani dan nabawi itu disertai oleh gambaran keindahan
dan kenikmatan surga yang menakjubkan atau pembeberan azab neraka.
46
47
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.294.
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.297.
20
c. Targhib-tarhib Qur‟ani dan Nabawi bertumpu pada pengobaran emosi dan
pembinaan afeksi ketuhanan. Pendidikan yang mentalistik ini merupakan
salah satu tujuan penetapan syariat islam.48
Selanjutnya penulis menjelaskan macam-macam metode pendidikan islam
yang dikemukakan oleh Abuddin Nata. Menurut Abuddin Nata, al-Qur‟an
menawarkan berbagai pendekatan dan metode dalam pendidikan, yakni dalam
menyampaikan materi pendidikan, yaitu:
1. Metode Teladan
Menurut Abuddin Nata, “dalam al-Qur‟an kata teladan diproyeksikan
dengan kata uswah yang kemudian diberi sifat hasanah yang berarti baik.
Sehingga terdapat uangkapan uswatun hasanah yang artinya teladan yang
baik.49
Selanjutnya beliau mengungkapkan, “metode ini dianggap penting karena
aspek agama yang terpenting adalah akhlak yang termasuk dalam kawasan
afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku (behavioral). Untuk
mempertegas keteladanan Rasulullah itu al-Qur‟an lebih lanjut menjelaskan
akhlak Nabi Muhammad yang disajikan secara tersebar di berbagai ayat dalam
al-Qur‟an”.50
2. Metode Kisah-kisah
Menurut Abuddin Nata,”kisah atau cerita sebagai suatu metode
pendidikan ternyata mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Islam
menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari
pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu, islam
mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan”.51
48
49
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.297-298.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2005),
h. 147.
50
51
Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.147.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.149.
21
8
3. Metode Nasihat
Menurut Abuddin Nata, “al-Qur‟an secara eksplisit menggunakan nasihat
sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. Al-Qur‟an
berbicara tentang penasihat, yang dinasihati, obyek nasihat, situai nasihat, dan
latar belakang nasihat. Karenanya sebagai suatu metode pengajaran nasihat
dapat diakui kebenarannya”.52
4. Metode pembiasaan
Menurut Abuddin Nata, “cara lain yang digunakan oleh al-Qur‟an dalam
memberikan materi pendidikan adalah melalui kebiasaan yang dilakukan
secara bertahap.” 53
Dalam
upaya
menciptakan
kebiasaan
yang
baik
ini
al-Qur‟an
menempuhnya melalui dua cara sebagaimana diungkapkan oleh Abuddin
Nata, yaitu sebagai berikut:
a. Melalui bimbingan dan latihan.
b. Melalui cara mengkaji aturan-aturan Tuhan yang terdapat di alam raya
yang bentuknya amat teratur.54
5. Metode Hukuman dan Ganjaran
Menurut Abuddin Nata, “keberadaan hukuman dan ganjaran diakui dalam
islam dan digunakan dalam rangka membina ummat manusia melalui kegiatan
pendidikan. Hukuman dan ganjaran ini diberlakukan kepada sasaran
pembinaan yang lebih khusus. Hukuman untuk orang yang melanggar dan
berbuat jahat, sedangkan pahala untuk orang yang patuh dan menujukkan
perbuatan baik”.55
52
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.152.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.153.
54
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.154.
55
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.157-158.
53
22
6. Metode Ceramah
Menurut Abuddin Nata, “ceramah atau khutbah termasuk cara yang paling
banyak digunakan dalam menyampaikan atau mengajak orang lain mengikuti
ajaran yang lebih ditentukan”.56
Abuddin Nata juga mengatakan bahwa, “khutbah ini dilakukan dengan
cara yang disesuaikan dengan tingkat kesanggupan peserta didik yang
dijadikan sasaran.57
7. Metode diskusi
Menurut Abuddin Nata, “metode diskusi juga diperhatikan oleh al-Qur‟an
dalam mendidik dan mengajar manusia dengan tujuan lebih memantapkan
pengertian dan sikap pengetahuan mereka terhadap suatu masalah”.58
Abuddin Nata juga mengatakan bahwa, “perintah Allah dalam hal ini,
agar kita mengajak ke jalan yang benar dengan hikmah dan mau‟izhah yang
baik dan membantah mereka dengan berdiskusi dengan cara yang baik (Q.S.
An-Nahl [16]:125)”.59
Selanjutnya Abuddin Nata menjelaskan, “diskusi itu harus didasarkan
kepada cara-cara yang baik. Cara yang baik ini perlu dirumuskan lebih lanjut,
sehingga timbullah etika berdiskusi, misalnya tidak memonopoli pembicaraan,
saling menghargai pendapat orang lain, kedewasan pikiran dan emosi,
berpandangan luas, dan seterusnya.60
Abuddin Nata mengutip M. Thalib mengemukakan 30 metode pendidikan
islami yang dirangkum dalam istilah metode 30 T. metode itu adalah:
1. Ta‟lim, secara harfiyah artinya memberitahukan sesuatu kepada seseorang
yang belum tahu.Mendidik melalui kisah-kisah Qur‟ani dan Nabawi.
56
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.158.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.158.
58
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.159.
59
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.159.
60
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.159.
57
23
2. Tabyin, yaitu memberi penjelasan lebih jauh kepada lawan bicara setelah
dia mengajukan permintan penjelasan (pertanyaan).
3. Tafshil, memberi keterangan yang lebih detail mengenai suatu masalah.
4. Tafhiim, memberikan pengertian tentang suatu masalah dengan
merumuskan obyek secara utuh, baik benda, keadaan, persoalan atau
kasus.
5. Tarjib, cara memilih suatu masalah dari beberapa masalah dengan
memperhitungkan kekuatan atau mana yang lebih banyak maslahatnya.
6. Taqrib, melakukan pendekatan bila ada yang menjauhkan hubungan
antara dua atau beberapa orang atau masalah.
7. Tahkiim, menjadi penengah antara seseorang yang bersengketa.
8. Ta‟syir, menggunakan benda atau isyarat dalam menyampaikan sesuatu.
9. Taqrir, memberi pengakuan atau persetujuan tanpa kata, baik dengan
senyuman atau angguk.
10. Talwiih, menggunakan simbol atau kiasan dalam menyampaikan sesuatu.
11. Tarwiih, memberi penyegaran fisik dan mental dengan melakukan hal-hal
yang menyegarkan.
12. Taqshiir, mengurangi atau meringankan beban yang semestinya dipikul
oleh peserta didik sehingga tugas menjadi ringan dan pekerjaan dapat
diselesaikan dengan baik.
13. Tabsyfir, menggembirakan sehingga tugas dapat dilaksanakan dengan
senang tanpa tekanan lahir maupun batin.
14. Tamtii, pemberian tambahan selain apa yang pernah diperoleh, seperti
memberikan pujian setelah mendapatkan nilai yang hak.
15. Takfiz, memberikan tanda kehormatan atau penghargaan atas prestasi yang
dicapai.
16. Targhib, memotivasi untuk mencintai kebaikan.
17. Ta‟tsfir, menggugah rasa kepedulian sosial.
18. Tahriidl, membangkitkan semangat untuk menghadapi rintangan.
19. Tahdiidl, mengajak melakukan perbuatan baik bagi orang yang tidak
peduli padahal dia mampu malakukannya.
20. Tadarus, mempelajari sesuatu secara bersama-sama.
21. Tazwid, memberikan bekal moril maupun materil untuk menghadapi masa
depan.
22. Tajriib, mengadakan masa percobaan unutk melakukan sesuatu untuk
mengetahui kemampuan yang dimiliki.
23. Tandzir, memperingatkan resiko yang akan datang.
24. Taubikh, mencerca kejahatan agar mengetahui kebenaran yang harus
diikuti.
25. Tahrim, melarang melakukan sesuatu yang diharamkan.
26. Tahjir, menjauhkan diri dari orang yang tidka mempan lagi diperingati.
27. Tabdiil, mengganti yang lebih baik.
28. Tarhiib, mengancam dengan kekerasan.
29. Targhib, mengasingkan dari rumah.
24
30. Ta‟dzib, memberi hukuman fisik.61
E. Fungsi Metode Pendidikan
Abuddin Nata menjelaskan tentang fungsi metode pendidikan, “tentang fungsi
metode secara umum dapat dikemukakan sebagai pemberi jalan atau cara yang
sebaik mungkin bagi pelaksanan operasional dari ilmu pendidikan tersebut”.62
Abuddin Nata juga menjelaskan bahwa, “pada intinya metode berfungsi
menghantarkan suatu tujuan kepada obyek sasaran dengan cara yang sesuai
dengan obyek sasaran tersebut”.63
Selanjutnya beliau mengatakan, “dalam menyampaikan materi pendidikan
kepada peserta didik sebagaimana disebutkan di atas perlu ditetapkan metode
yang didasarkan kepada pandangan dan persepsi dalam menghadapi manusia
sesuai dengan unsur penciptaannya, yaitu jasmani, akal, dan jiwa yang dengan
mengarahkannya agar menjadi orang yang sempurna”.64
F. Hasil Penelitian yang Relevan
Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan
adalah sebagai berikut:
1. “Metode Dakwah dalam Surat An-Nahl Ayat 125 Menurut Pandangan Dr.
Yusuf Qardhawi”, ditulis oleh Alamsyah Nim. 0051019729 mahasiswa
jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007, dengan hasil penelitian, bahwa metode
61
Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Persfektif hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2005). h. 351-352.
62
Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1,…h.93.
63
Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1,…h.94.
64
Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1,…h.94.
25
dakwah yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125 adalah melalui
metode hikmah, mauidzah hasanah, dan dengan mujadalah.65
2. “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Surat An-Nahl Ayat
90 dan Aplikasinya di Madrasah”, ditulis oleh Siti Masyuroh Nim.
107011000636 mahasiswi jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012, adapun nilai-nilai pendidikan
Akhlak yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 90 adalah nilai pendidikan
adil, nilai pendidikan ihsan, nilai pendidikan memberi kepada kerabat, nilai
pendidikan larangan berbuat keji, nilai pendidikan larangan berbuat munkar,
dan nilai pendidikan langan berbuat aniaya.66
65
Alamsyah, “Metode Dakwah yang terkandung dalam Surat An-Nahl Ayat 125 Menurut
Pandangan Dr. Yusuf Qardhawi,” Skripsi pada Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2007,
h. 78,80, tidak dipublikasikan.
66
Siti Masyuroh, “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang terkandung dalam Surat An-Nahl Ayat 90
dan Aplikasinya di Madrasah,” Skripsi pada Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2012, h.
45, 49, 51, 453, 55, 56.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian
1.
Objek penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah mengenai metode pendidikan islam
yang terkandung dalam surat An-Nahl Ayat 125-126
2.
Waktu penelitian
Adapun waktu yang dilalui penulis dalam penelitian ini adalah mulai
tanggal 19 februari 2013 sampai tanggal 19 november 2013.
B. Metode Penulisan
1.
Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data penelitian kualitatif
dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan teknik
analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Reseach).
2.
Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini berasal dari literatur-literatur yang
berkaitan dengan tema dalam penelitian ini. Sumber-sumber tersebut terdiri
dari data primer, yaitu kitab suci al-Qur‟an dan kitab-kitab tafsir al-Qur‟an
yang menjelaskan ayat 125 sampai 126 suat An-Nahl, di antaranya: kitab AlQur‟an dan Tafsirnya, Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir
Nurul Qur‟an karya Alamah Kamal Faqih Imani, dan Tafsir Al-Azhar karya
Hamka. Dan data sekunder, yaitu dari buku-buku yang membahas mengenai
metode pendidikan, diantaranya: Pengantar Imu dan Metodologi Pendidikan
Islam karya Armai Arief, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita karya Soedijarto,
dan lain-lain.
26
27
3.
Analisis Data
Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
analisis metode tafsir maudhui.
Menurut
Anshori,
metode
tafsir
maudhui
mempunyai
dua
pengertian.Pertama, metode maudhu‟i adalah penafsiran menyangkut satu
surat dalam al-Qur‟an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum
dan khusus serta hubungan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam
surat tersebut antara satu dengan lainnya. Kedua, metode maudhu‟i adalah
menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang membahas masalah tertentu dari
berbagai
surat
al-Qur‟an
kemudian
menjelaskan
pengertian
secara
menyeluruh ayat-ayat tersebut sehingga jawaban terhadap masalah yang
menjadi pokok pembahasannya. ( atau dapat disebut pembahasan atau
topik).67
Analisis metode maudhu‟i yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi
ini mirip dengan pengertian kedua, surat An-Nahl ayat 125-126 berkaitan
dengan metode pendidikan, maka penulis mencari penjelasan mengenai
metode pendidikan yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut dengan mencari
sumber-sumber yang menjelaskan surat An-Nahl ayat 125-126 sebagai
metode pendidikan islam.
C. Fokus Penelitian
Menurut Sugiyono, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut
fokus, yang berisi pokok masalah yang masih bersifat umum”.68 Dengan melihat
pendAPAT Sugiyono, maka penulis mencantumkan apa yang terdapat dalam
batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan ini. Adapun fokus
67
Anshori, Tafsir Bil Ra‟yi Menafsirkan Al-Qur‟an dengan Ijtihad, (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2010), cet. 1, h. 81-82.
68
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitataif dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2008), cet. IV, h. 285-286.
28
penelitian tersebut adalah mengenai metode pendidikan islam yang terdapat dalam
al-Qur‟an surat AN-Nahl ayat 125-126. jadi dalam penelitian ini penulis
bermaksud mencari nilai-nilai metode pendidikan islam yang terkandung dalam
ayat tersebut, dengan mencari data-data dan sumber-sumber yang membahas
mengenai ayat 125-126 dalam surat An-Nahl.
D. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Oleh karena itu teknik yang
digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data literer yaitu bahanbahan pustaka yang koheren dengan objek pembahasan yang dimaksud.69 Data
yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara:
1.
Editing yaitu pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama dari segi
kelengkapan, kejelasan makna, dan keselarasan makna antara yang satu
dengan yang lain.
2.
Organizing, yaitu mengorganisir data-data yang diperoleh dengan kerangka
yang sudah diperlukan.
3.
Penemuan hasil penelitian yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil
pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah-kaidah, teori dan metode
yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang
merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah.
69
Suharsimi Arikunto, Prosedur Peneltian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1990), h.24.
BAB IV
TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Teks Ayat dan Terjemahannya
             
             
           
)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.dan jika
kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. akan tetapi jika kamu bersabar,
Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (QS: AnNahl [16]:125-126)
B. Asbabun Nuzul
1. Ayat 125
Adapun asbabun nuzul dari ayat ini menurut Imam Jalalain yaitu, “ayat
ini diturunkan sebelum diperintahkan untuk memerangi orang-orang kafir.
Dan diturunkan ketika Hamzah gugur dalam keadaan tercincang; ketika Nabi
saw melihat, lalu beliau bersumpah dengan sabdanya; „sungguh aku
bersumpah akan membalas tujuh puluh orang dari
mereka sebagai
penggantimu‟”.70
Jadi ayat 125 surat An-Nahl tersebut menunjukkan bahwasanya turunnya
ayat ini adalah ketika Hamzah gugur dalam perang dan jasadnya dicabik-cabik
70
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir jalalain Berikut
Asbabun Nuzul Jilid 2, terj. dari: Tafsir Jalalain oleh Bahrun Abu Bakar,(Bandung: Penerbit Sinar
Baru Algensindo, 2000), cet. VI, h.1117.
29
30
oleh orang kafir. Dan Rasulullahv bersumpah akan membalas tujuh puluh
orang dari mereka sebagai penggantinya.
2. Ayat 126
Jalaluddin As-Suyuthi menerangkan:
Al-Hakim, al-Baihaqi dalam ad-Dalaa‟il, dan al-Bazzar meriwayatkan dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah berdiri di dekat Hamzah yang telah mati
syahid dengan tubuh yang dicabik-cabik musuh. Beliau berkata, “sungguh
aku akan mencabik-cabik tujuh puluh orang dari mereka sebagai
pembalasanmu!” maka Jibril turun sementara Nabi saw masih berdiri di
tempat membawa bagian akhir surah An-Nahl, “Dan jika kamu membalas,
maka balaslah dengan (balasan) yang sama,…” hingga akhir surah. Maka
Rasulullah tidak jadi melaksanakan niatnya.At-tirmidzi meriwayatkan dari
Ubai bin Ka‟ab dan dinyatakan Hasan oleh al-Hakim, kata Ubai,”Pada
waktu Perang Uhud, 64 orang Anshar dan 6 orang Muhajirin gugur, di
antaranya terdapat Hamzah bin Abdul Muththalib. Jenazah mereka
dicabik-cabik musuh. Maka orang-orang Anshar berkata, “Kalau lain kali
kita mendapat kesempatan seperti sekarang, kita akan tunjukkan kepada
mereka bahwa kita pun dapat mencabik-cabik mayat mereka. „Lalu pada
hari penaklukkan Mekkah Allah menurunkan Ayat, ‟Dan jika kamu
membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama,…‟”Zhahir riwayat
ini menunjukkan ayat ini baru turun pada waktu penaklukkan
Mekkah.Sedangkan dalam hadits sebelumnya ayat ini turun di Uhud.
Ibnul Hashshar mengompromikan kedua riwayat ini bahwa pertama-tama
ayat ini turun di Mekkah, lalu turun kedua kalinya di Uhud, dan turun lagi
untuk ketiga kalinya pada waktu penaklukkan Mekkah, sebagai
pengingatan dari Allah buat hamba-hamba-Nya.71
Shaleh menjelaskan:
Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika Rasulullah saw. berdiri di
mayat Hamzah yang syahid dan dirusak anggota badannya, bersabdalah
beliau: “Aku akan membunuh tujuh puluh orang dari mereka sebagai
balasan atas perlakuan mereka terhadap dirimu.” Maka turunlah jibril
menyampaikan wahyu akhir surah an-Nahl (Q.S. An-Nahl: [16] 126-128)
di saat Nabi masih berdiri, sebagai teguran kepada beliau. Akhirnya
Rasulullah pun mengurungkan rencana itu.Diriwayatkan oleh al-Hakim,
al-Baihaqi di dalam kitab ad-Dala-il, dan al-Bazzar, yang bersumber dari
Abu Hurairah.Dalam suatu riwayat dikemukakan, pada waktu Perang
Uhud gugurlah enam puluh empat orang sahabat dari kaum Anshar dan
enam orang dari kaum Muhajirin, di antaranya Hamzah. Kesemuanya
dirusak anggota badannya secara kejam. Berkatalah kaum Anshar:”Jika
71
Jalaluddin As-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat AL-Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet.
I h. 336-337
31
kami memperoleh kemenangan, kami akan berbuat lebih dari apa yang
mereka lakukan.” Ketika terjadi pembebasan kota Mekkah, turunlah ayat
ini (Q.S. 16 An-Nahl: 126) yang melarang kaum Muslimin mengadakan
pembalasan yang lebih kejam dan menganjurkan supaya bersabar.
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi yang menganggap Hadits ini hasan, dan alHakim, yang bersumber dari Ubay bin Ka‟b.Menurut lahiriahnya,
turunnya tiga ayat terakhir ini (Q.S. 16 An-Nahl: 126-128) ditangguhkan
sampai Fat-hu Makkah. Namun, mengacu pada Hadits-hadits sebelumnya,
dapatlah dikatakan bahwa turunnya ayat-ayat tersebut dalam Perang Uhud.
Menurut kesimpulan Ibnul Hishar, ayat-ayat ini (Q.S. 16 An-Nahl: 126128) turun tiga kali: mula-mula di Mekah, kemudian di Uhud, dan yang
ketiga kalinya pada waktu Fat-hu Mekkah, sebagai Peringatan Allah bagi
Hamba-Nya.72
Disebutkan juga dua buah hadits yang menerangkan asbabun nuzul ketiga
ayat ini oleh A. Mudjab Mahali:
“Pada waktu Rasulullah SAW berdiri di depan jenazah pamannya
Hamzah yang mati syahid dalam kondisi rusak tubuhnya, beliau bersabda:
“Aku akan membunuh tujuh puluh orang dari kaum musyrikin
sebagaimana mereka telah berlaku semena-mena terhadapmu, wahai
pamanku”. Ketika beliau sedang berdiri di situ, malaikat jibril turun
dengan membawa ayat ke-126 – 128 yang memerintahkan kepada
Rasulullah agar mengurungkan niatnya tersebut. Sebab kesabaran akan
membawa dampak yang lebih positif dari pada membalas mereka dengan
kekerasan”. (HR. Hakim dan Baihaqi dalam kitab Dalail dan Imam Bazzar
dari Abi Hurairah)
Pada waktu terjadi perang Uhud sebanyak enam puluh empat orang dari
kalangan sahabat Anshar gugur sebagai Syuhada. Sedang dari fihak
sahabat Muhajirin ada enam orang, di antaranya Hamzah paman
Rasulullah SAW. melihat kenyataan yang demikian, para sahabat Anshar
berkata:”jika kami memperoleh kemenangan dalam suatu pertempuran,
akan mengadakan pembalasan serupa, atau bahkan lebih dari itu”.
Sewaktu Fat-hu Makkah (kemenangan ats kota Mekkah), maka Allah SWT
menurunkan ayat 126-128 yang melarang mereka untuk mengadakan
pembalasan dengan kekejaman terhadap kaum musyrikin. Tidak perlu
membalas mereka dengan kekejaman.Sebab kesabaran akan
72
K.H.Q. Shaleh, dkk.,Asbabun Nuzul Latar Belzakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-
Qur‟an, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007)., h. 317-318.
32
mendatangkan manfaat yang lebih baik”. (HR. Tirmidzi dan Hakim dari
Ubayyin bin Ka‟ab. Menurut Tirmidzi, hadis ini Hasan).73
Menurut A. Mudjab Al-Mahali, “secara lahiriah, hadis ini menerangkan
bahwa turunnya ayat ke 126-128 ditangguhkan sampai terbukanya kota
Mekkah. Namun dalam hadis di atas diterangkan ayat ini turun ketika
terjadinya perang Uhud”.74
A. Mudjab Al-Mahali mengutip pendapat dan kesimpulan Ibnu Hisyar
mengatakan, “ayat ini turun tiga kali Yakni: di Madinah, ketika terjadi perang
Uhud, dan pada waktu terbukanya kota Mekkah. Yang demikian dimaksudkan
untuk memberi peringatan kepada kaum kuslimin agar senantiasa bersabar dan
penuh perhitingan dalam segala tindakan”.75
Jadi turunnya ayat 126 surat An-Nahl ini melanjutkan penjelasan pada
ayat sebelumnya (ayat 125), bahwa pada ayat 125 Rasulullah bersumpah
bahwa beliau akan membalas apa yang dilakukan pada hamzah kepada tujuh
puluh orang kafir, setelah turunnya ayat ini Rasulullah mengurungkan niatnya,
dan beliau menjelaskan berdasarkan ayat ini apabila ingin membalas makan
balas dengan balasan yang sama/setimpal atau bersabar itu lebih baik lagi.
C. Tafsir Surat An-Nahl ayat 125-126
1. Tafsir ayat 125
a. Menurut Bustami A. Gani (ed) (dalam Kitab al-Qur‟an dan Tafsirnya).
Menurut Bustami A. Gani dan tim penyusun lainnya mengatakan
bahwa, “dalam ayat ini Allah SWT memberikan pedoman-pedoman
kepada Rasul-Nya tentang cara mengajak manusia (dakwah) ke jalan
Allah. Yang dimaksud jalan Allah disini ialah agama Allah yakni syari‟at
Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw”.76
73
A. Mudjib Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman al-Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Press),
h. 262.
74
A. Mudjib Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman al-Qur‟an,…h.263.
75
A. Mudjib Mahali, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman al-Qur‟an,…h.263.
76
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya jilid V, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf,1990), h. 501.
33
Selanjutnya Bustami A. Gani dan tim penyusun lainnya mengatakan
bahwa, “Allah SWT dalam ayat ini meletakkan dasar-dasar dakwah untuk
pegangan bagi umatnya dikemudian hari dalam mengemban tugas
dakwah”.77
Adapun mengenai dasar-dasar dakwah tersebut yang dijelaskan oleh
Bustami A. Gani dan tim penyusun lainnya adalah sebagai berikut.
1) Allah SWT menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa sesungguhnya
dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah sebagai jalan menuju
rida Ilahi. Bukanlah dakwah untuk pribadi da‟i (yang berdakwah)
ataupun untuk golongannya dan kaumnya.78
2) Allah SWT menjelaskan kepada Rasul saw agar dakwah itu dengan
hikmah.79 Adapun mengenai hikmah, Bustami A. Gani dan tim
penyusun lainnya menyebutkan bahwa hikmah itu mengandung
beberapa arti sebagai berikut:
a) Berarti pengetahuan tentang rahasia dari faedah segala sesuatu.
Dengan pengetahuan itu sesuatu dapat diyakini keadaannya.
b) Berarti perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil
(argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang batal
atau syubhat (meragukan).
c) Arti lain ialah kenabian mengetahui hukum-hukum al-Qur‟an,
paham al-Qur‟an, paham agama, takut kepada Allah, benar
perkataan dan perbuatan.80
3) Allah SWT menjelaskan kepada Rasul agar dakwah itu dengan
pengajaran yang baik, yang diterima dengan lembut oleh hati manusia
tapi berkesan di dalam hati mereka.81
4) Allah SWT menjelaskan bahwa bila terjadi perbantahan atau
perdebatan dengan kaum musyrikin ataupun ahli kitab, maka
hendaklah Rasul membantah mereka dengan perbantahan yang baik.82
77
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya Jilid V,…h.501.
78
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya Jilid V,…h.501.
79
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya Jilid V,…h.501.
80
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya Jilid V,…h.501.
81
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya Jilid V,…h.502.
34
5) Allah SWT menjelaskan kepada Rasul saw bahwa tentuan akhir dari
segala usaha dan perjuangan itu, pada Allah SWT. Hanya Allah SWT
sendiri yang menganugerahkan iman kepada jiwa manusia, bukanlah
orang lain atau da‟i itu sendiri. Dialah Tuhan Yang Maha Mengetahui
siapa di antara hamba-Nya yang tidak dapat mempertahankan fitrah
insaniahnya (iman kepada Allah) dari pengaruh-pengaruh yang
menyesatkan, hingga dia jadi sesat, dan siapa pula di antara hamba
yang fitrah insaniahnya tetap terpelihara sehingga dia terbuka
menerima petunjuk (hidayah) Allah SWT.83
b. Menurut M. Quraisy Shihab
Ayat ini menyatakan: Wahai Muhammad, serulah, yakni lanjutkan
usahamu untuk menyeru semua yang engkau sanggup seru kepada jalan yang
ditunjukkan Tuhanmu, yakni ajaran islam dengan hikmah dan pengajaran
yang baik dan bantahlah mereka, yakni siapapun yang menolak atau
meragukan ajaran Islam dengan cara yang terbaik. Itulah tiga cara berdakwah
yang hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia yang beraneka ragam
peringkat dan kecenderungannya; jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhantuduhan tidak berdasar kaum musyrikin dan serahkan urusanmu dan urusan
mereka pada Allah, karena sesungguhnya Tuhanmu yang selalu membimbing
dan berbuat baik kepadamu Dialah sendiri yang lebih mengetahui dan siapa
pun yang menduga tahu tentang siapa yang bejat jiwanya sehingga tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah saja juga yang lebih mengetahui orang-orang yang
sehat jiwanya sehingga mendapat petunjuk.
Ayat ini dipahami oleh sementara ulama sebagai menjelaskan tiga macam
metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah. Terhadap
cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi diperintahkan menyampaikan
dakwah dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan
82
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya Jilid V,…h.502.
83
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya jilid V,…h503.
35
tingkat kepandaian mereka.Terhadap kaum awam, diperintahkan untuk
menetapkan mau‟izhah, yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang
menyentuh jiwa sesuai taraf pengetahuan mereka yang sederhana. Sedang
terhadap Ahl al-Kitab dan penganut agama-agama lain yang diperintahkan
adalah jidal/perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan
retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.84
Dalam bukunya Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab menjelaskan
tentang ayat 125, bahwasanya pada ayat ini diperintahkan untuk mengajak
siapa pun agar mengikuti prinsip-prinsip ajaran Bapak para Nabi dan
Pengumandang Tauhid.85
M. Quraish Shihab juga menjelaskan arti kata mengenai ayat 125 ini.
Kata 
hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu,
baik pengetahuan maupun perbuatan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu
yang bila diperhatikan / digunakan akan mendatangkan kemaslahatan dan
kemudahan yang besar dan lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat
atau kesulitan yang besar atau lebih besar Kata )‫ (الموعظة‬berarti nasihat.
Mau‟izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada
kebaikan. Kata
terambil dari kata
jidal yang bermakna diskusi
atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan
menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh
semua orang maupun hanya oleh mitra bicara.86
Dalam ayat ini penulis mengamati penafsiran ayat 125 menurut M.
Quraish Shihab berkaitan dengan metode pendidikan, pada ayat ini
84
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an Volume 7,
(Ciputat: Lentera Hati, 2007), cet. VIII, h.390-391.
85
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an Volume 7,…h.390.
86
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an Volume 7,…h.391-392.
36
mengandung beberapa metode pendidikan. Yaitu metode pendidikan dengan
mau‟izhah atau nasehat dan metode pendidikan dengan cara diskusi.
c.
Menurut Hamka
Dan Hamka dalam kitab al-Azharnya pun menjelaskan mengenai
penafsiran ayat 125. Beliau mengatakan, “ayat ini adalah mengandung ajaran
kepada Rasul saw tentang cara melancarkan da‟wah, atau seruan terhadap
manusia agar mereka berjalan di atas Jalan Allah (Sabilillah).87
Dalam kitab ini juga, Hamka menerangkat tiga macam atau tiga tingkatan
da‟wah, yaitu; pertama, Hikmat, (kebijaksanaan).Yaitu secara bijaksana, akal
budi, yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih menarik perhatian
orang kepada agama, atau kepada kepercayaan terhadap Tuhan. Contohcontoh kebijaksanaan itu selalu pula ditunjukkan Tuhan. Kedua,
Al
Mau‟izhatil Hasanah, yang kita artikan pengajaran yang baik, atau pesanpesan yang baik, yang disampaikan sebagai nasihat. Sebagai pendidikan dan
tuntutan sejak kecil. Sebab itu termasuklah dalam bidang “Al Mau‟izhatil
Hasanah ”, pendidikan ayah-bunda dalam rumah-tangga kepada anakanaknya, yang menunjukkan contoh beragama di hadapan anak-anaknya,
sehingga menjadi kehidupan mereka pula. Termasuk juga pendidikan dan
pengajaran dalam perguruan-perguruan. Pengajaran-pengajaran yang baik
lebih besar kepada kanak-kanak yang belum ditumbuhi atau belum di isi lebih
dahulu oleh ajaran-ajaran yang lain. Ketiga, “jadil-hum billati hiya ahsan”,
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Kalau telah terpaksa timbul
perbantahan atau pertukaran fikiran, yang di zaman kita ini disebut polemik,
ayat ini menyuruh, agar dalam hal yang demikian, kalau sudah tidak dapat
dielakkan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Di antaranya ialah
membedakan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan benci atau
sayang kepada pribadi orang yang tengah diajak berbantah.88
87
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ 13-14-15-16-17,(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 321.
88
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ 13-14-15-16-17,… h.321.
37
Hamka menjelaskan:
Ketiga pokok cara melakukan da‟wah ini, hikmat, mau‟izhah hasanah, dan
mujadalah bil lati hiya ahsan, amatlah diperlukan di segala zaman. Sebab
da‟wah atau ajakan dan seruan membawa ummat manusia kepada jalan
yang benar itu, sekali-kali bukanlah propaganda, meskipun propaganda itu
sendiri kadang-kadang menjadi bagian dari alat da‟wah. Da‟wah
meyakinkan, sedangkan propaganda atau di‟ayah adalah memaksakan.
Da‟wah dengan jalan paksa tidaklah akan berhasil menundukkan
keyakinan orang. Apalagi dalam hal agama.Al-Qur‟an sudah menegaskan
bahwa dalam hal agama sakali-kali tidak ada paksaan. (al-Baqarah ayat
256). Dan di ujung ayat ini dengan tegas Tuhan mengatakan bahwa urusan
memberi orang petunjuk atau menyesatkan orang, adalah hak Allah
sendiri: „Sesungguhnya Tuhan engkau, Dialah yang lebih tahu siapa yang
dapat petunjuk”.89
2. Ayat 126
a. Menurut M. Quraisy Shihab
Quraisy Shihab Mengatakan:
Pada ayat 125 memberi pengajaran bagaimana cara-cara berdakwah,
maka ayat ini memberi pengajaran bagaimana seharusnya membalas
jika kondisi telah mencapai tingkat pembalasan. Jika ayat 125
menuntun bagaimana cara mengahadapi sasaran dakwah yang diduga
dapat menerima ajakan tanpa membantah atau bersikeras menolak,
serta dapat menerima ajakan setelah jidal (bermujadalah), maka disini
dijelaskan bagaimana menghadapi mereka yang membangkang dan
melakukan kejahatan terhadap para pelaku dakwah, yakni
da‟i/penganjur kebaikan. Demikian terlihat ayat ini dan ayat yang lalu
tersusun urutannya secara bertahap.Begitu penjelasan banyak ulama.90
Beliau juga mengatakan:
Penggunaan kata (‫ )ان‬in/apabila dalam firman-Nya: (‫ )اذا‬dan apabila
kamu membalas memberi kesan bahwa pembalasan dimaksud
diragukan akan dilakukan atau jarang akan terjadi dari mitra bicara,
dalam konteks ini adalah kaum muslimin. Ini dipahami demikian,
karena kata (in) yang bisa diterjemahkan apabila tidak digunakan oleh
bahasa Arab kecuali terhadap sesuatu yang jarang atau diragukan akan
terjadi, atau semacamnya. Berbeda dengan kata (idza) yang
mengandung isyarat tentang kepastian terjadinya apa yang
dibicarakan. Itu sebabnya antara lain ketika berbicara tentang
kehadiran kematian dan peninggalan harta yang banya, QS. Al89
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ 13-14-15-16-17,… h.322.
90
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an Volume 7,…h. 394.
38
Baqarah (2): 180 menggunakan kata idza untuk yang pertama, karena
kehadiran kematian adalah pasti bagi setiap orang. Berbeda dengan
meninggalkan harta yang banyak, yang bukan merupakan kepastian,
tetapi jarang terjadinya.91
Setelah mengesankan tidak akan terjadinya pembalasan, ayat di atas
melanjutkan dengan perintah sabar, tetapi redaksi perintah ini berbentuk
tunggal, berbeda dengan redaksi yang menggambarkan kemungkinan
membalas sebelumnya. Bentuk tunggal disini ditujukan kepada Nabi
Muhammad saw. Sungguh wajar hal itu demikian, karena anjuran untuk
tidak membalas adalah yang terbaik, dan ini hendaknya ditampilkan oleh
Rasul saw. Agar dapat diteladani oleh umatnya. Dengan demikian, beliau
menjadi muhsin dan yang meneladani beliau pun demikian.92
Dan mengenai ayat 126, M. Quraish Shihab menerangkan bahwa ayat
ini menjelaskan bagaimana menghadapi orang-orang yang membangkang
dan melakukan kejahatan terhadap para pelaku dakwah.93 Beliau juga
mengutip Thahir Ibn Asyur yang menjelaskan ayat ini dimulai dengan
“dan”, yakni dan apabila kamu membalas, yakni menjatuhkan hukuman
kepada siapa yang menyakitimu, maka balaslah yakni hukumlah dia persis
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepada kamu atau kesalahan yang
mereka lakukan. Jangan sedikitpun melampaui batas. Akan tetapi, jika
kamu bersabar dan tidak membalas, maka sesungguhnya itulah yang lebih
baik bagi para penyabar baik di dunia maupun di akhirat kelak.94
Dalam ayat ini penulis mengamati penafsiran ayat 126 menurut M.
Quraish Shihab berkaitan dengan metode pendidikan, pada ayat ini
mengandung metode pendidikan, yaitu metode pendidikan dengan
hukuman (pemberian hukuman).
91
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an Volume 7,…h.396.
92
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an Volume 7,…h.396.
93
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an Volume 7,…h.394.
94
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an Volume 7,…h.394.
39
b. Menurut Alamah Kamal Faqih
Alamah Kamal Faqih Mengatakan:
Sampai sekarang, masalah yang dibicarakan adalah bagaimana kita
harus berdialog secara logis atau melakukan perdebatan emosional
maupun rasional dengan pihak lawan. Sekalipun demikian, jika terjadi
hal paling buruk dan timbul pertikaian, kemudian lawan mengangkat
senjata dan menyerbu, maka al-Qur‟an memerintahkan dengan
mengatakan bahwa jika merasa perlu membalas, maka pembalasan
kita haruslah sepadan dengan apa yang kita derita, tak lebih dari itu.
Akan tetapi, jika kita tidak kehilangan kesabaran dan bersikap
mengampuni, maka itulah yang terbaik bagi orang-orang yang sabar.
Ayat di atas mengatakan:
Dan jika kamu balas menghukum, maka balaslah dengan hukuman
yang dikenakan kepadamu; tetapi jika kamu bersabar, maka
sesungguhnya itulah yang lebih baik dari orang-orang yang sabar.
Beliau juga mengatakan:
Dalam beberapa riwayat, kita mendapati bahwa ayat di atas
diwahyukan selama Perang Uhud, ketika Nabi saw menyaksikan
kesyahidan paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib, dimana
musuh tidak merasa puas hanya dengan membunuhnya saja,
melainkan juga merobek dada dan lambungnya dengan cara kejam,
serta mengambil hati atau jantungnya, seraya memotong hidung dan
telinganya. Ini membuat beliau teramat gusar. Kemudia beliau
berkata,”wahai Tuhanku! Engkau Maha Terpuji dan aku mengadukan
halku kepada-Mu.Engkau-lah penolongku dalam apapun yang
kualami.” Menurut penafsiran dalam Majma‟ul Bayan, Jawami‟ul
Jami‟,al-Burhan, ash-Shafi, dan lain-lain, kaum muslimin, setelah
menyaksikan mayat Hamzah berkata,”jika kita mengalahkan mereka,
kita akan memotong-motong anggota tubuh mereka semuanya.”
Sekalipun demikian, dalam tafsir-tafsir lain, seperti Ayyasyi, adDurrul Mantsur, dan lainnya, riwayat ini dinisbatkan pada Nabi saw
sendiri. Saat itulah turun ayat di atas. Setelah itu Nabi saw
mengatakan:”Ya Allah! Aku akan bersabar, aku akan bersabar.”
Selanjutnya beliau menjelaskan:
Barangkali saat itu adalah saat paling menyakitkan dalam kehidupan
Nabi saw. namun beliau mampu mengatasi perasaannya dan memilih
jalan kedua, yakni „memaafkan‟. Sebagaimana kita saksikan dalam
sejarah penaklukkan Mekkah, saat mana Nabi saw menaklukkan
orang-orang kafir yang berhati batu itu, beliau mengumumkan amnesti
umum kepada mereka dan tetap berpegang pada kata-katanya dalam
perang Uhud itu.Sesungguhnya, jika orang ingin menyaksikkan
contoh-contoh keutamaan manusiawi dan sikap pengasih, hendaklah
menengok peristiwa perang Uhud dan membandingkannya dengan
40
Penaklukkan Mekkah.Besar kemungkinan bahwa tak satu pun bangsa
yang berada dalam posisi menang, akan memperlakukan musuh yang
dikalahkannya sebagaimana yang dilakukan Nabi saw saat kaum
Muslim menaklukkan orang-orang kafir Mekkah (mengingat masalah
balas dendam dan kebencian merupakan aturan yang berlaku di
masyarakat waktu itu). Dalam situasi demikian, kebencian dan
permusuhan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; dan
tidak melancarkan balas dendam dipandang sebagai kelemahan
besar.Sebagai hasil yindakan berjiwa besar, amnesti, dan
pengampunan ini, maka bangsa Arab yang buta huruf, terbelakang,
dank eras kepala itu menjadi sedemikian tersentuh. Mereka pun
tersadar, lalu menurut al-Qur‟an, satu-persatu diantara mereka masuk
islam, agama Allah.95
d. Menurut Bustami A. Gani (ed) (dalam Kitab al-Qur‟an dan Tafsirnya).
Menurut Bustami A. Ghani dan tim penyusun lainnya, “Dalam ayat ini
Allah swt menegaskan kepada kaum muslimin yang akan mewarisi perjuangan
Nabi Muhammad saw dalam menyebarkan agama Islam, tentang sikap yang
harus menjadi pegangan mereka jika menghadapi permusuhan.”96
Selanjutnya mereka juga menjelaskan:
Pedoman dakwah yang diberikan Allah SWT pada ayat yang lalu, adalah
pedoman dakwah dalam medan dakwah dengan lisan, hujjah lawan hujjah.
Dakwah berjalan dalam suasana damai. Tetapi bilamana terjadi dakwah
mendapat perlawanan dengan kasar, misalnya para da‟i disiksa atau
dibunuh, maka Islam menetapkan sikap tegas untuk mengahadapi keadaan
demikian itu. Dakwah wajib terhadap gejala rong-rongan untuk
menjungjung tinggi kebenaran.97
Mereka juga menyebutkan bahwa ada dua macam jalan yang diterangkan
Tuhan dalam ayat ini, yaitu:
1) Membalas dengan balasan yang seimbang. Dengan penganiayaan yang
dialami. Tidaklah dibenarkan oleh agama melakukan pembalasan atau
hukum yang melebihi dari kesalahannya. Tindakan yang berlebihan itu
adalah suatu kezalaiman. Batas tertinggi dari pembalasan itu adalah sama
seimbang dengan kesalahan itu. Ayat ini hanyalah menunjukkan
95
Alamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an, terj. dari Tafsir Nurul Qur‟an oleh
Salman Nano (Isfahan: Imam Ali Public Library, 2005), h. 724-726.
96
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya,….h. 503.
97
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya,….h. 503.
41
kebolehan untuk melakukan pembalasan atas suatu kesalahan, asal saja
dalam batas seimbang dan sepadan dengan kesalahan itu dan bukan
penunjukkan “harus diberi pembalasan dengan pembalasan yang sama
setimpat”.
2) Menerima tindakkan permusuhan itu dengan hati yang sabar dan
memaafkan kesalahan itu bilamana sikap sabar dan pemaafan itu memberi
pengaruh yang baik untuk jalannya dakwah dan sikap demikian itu
menyebabkan permusuhan itu menjadi melenyap. Sikap sabar dan pemaaf
baru mengandung arti baik, bilamana ada kesanggupan dan kekuatan yang
berbuat. Sikap sabar tidakbenar, jika mengakibatkan permusuhan terhadap
dakwah tidak berhenti. Sikap sabar dalam arti yang benar, sangat terpuji
dalam pandangan islam, karena meningkatkan dan membentuk diri
pribadi, seperti dinyatakan dalam ayat bahwa kesabaran itu benar-benar
sangat baik bagi mereka yang sabar itu sendiri. Dengan sifat sabar itu
manusia terbiasa mengontrol/mengendalikan jiwanya.98
Selanjutnya, Bustami A. Gani dan tim penyusun lainnya mengutip
pendapat Ibnu Kasit, menyatakan bahwa: “ ayat ini mempunyai makna dan
tujuan yang sama dengan beberapa ayat dalam al-Qur‟an yang mengandung
keharusan adil dan dorongan berbuat keutamaan”,99 sepetri firman Allah:
               
 
Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka
barang siapa memaafkan dan berbuat baikMaka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang
zalim. (Q.S. Asy Syura [42]:40)
Dan firman Allah:
         
          
            
98
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya,….h. 503-504.
99
Bustami A. Gani (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya,….h. 504.
42
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka
(pun) ada kisasnya.Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka
itu adalah orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Maidah [5]:45)
43
D. Metode Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Al-Qur’an Surat AnNahl Ayat 125-126
Dari berbagai aspek yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125-126,
hasil penelitian yang penulis temukan tentang metode pendidikan islam yang
terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125-126 sebagai berikut:
1. Metode Pendidikan Islam dengan Teladan
M. Quraish Shihab menjelaskan arti kata mengenai ayat 125. Kata 
hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik
pengetahuan maupun perbuatan. Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang
bila
diperhatikan/digunakan
akan
mendatangkan
kemaslahatan
dan
kemudahan yang besar dan lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat
atau kesulitan yang besar atau lebih.100
Sedangkan Hamka menjelaskan kata hikmah: Hikmat, (kebijaksanaan).
Yaitu secara bijaksana, akal budi, yang mulia, dada yang lapang dan hati yang
bersih menarik perhatian orang kepada agama, atau kepada kepercayaan
terhadap Tuhan. Contoh-contoh kebijaksanaan itu selalu pula ditunjukkan
Tuhan.101
Mengenai kata hikmah di atas, penulis mengaitkan kata hikmah dengan
metode pendidikan islam, yaitu sebagai metode pendidikan islam dengan
hikmah atau dengan teladan. Berdasarkan arti hikmah yang ditelah diterangkan
oleh M. Quraisy Shihab di atas yaitu hikmah antara lain berarti yang paling
utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Hikmah juga
diartikan
sebagai
sesuatu
yang
bila
diperhatikan/digunakan
akan
mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar dan lebih besar, serta
menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau lebih. 102 Dan
100
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an Volume 7,…h.391.
101
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ 13-14-15-16-17,… h.321.
102
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an Volume 7,…h.391.
44
Hamka yang mengartikan hikmah adalah kebijaksanaan.103 Arti hikmah ini
tertuju kepada tingkah laku atau perbuatan baik seseorang yang dapat ditiru
sehingga menjadi teladan terutama seorang guru kepada peserta didiknya.
Sebagaimana menurut Abuddin Nata, “dalam al-Qur‟an kata teladan
diproyeksikan dengan kata uswah yang kemudian diberi sifat hasanah yang
berarti baik. Sehingga terdapat uangkapan uswatun hasanah yang artinya
teladan yang baik.104
Selanjutnya Abudin Nata mengungkapkan, “metode ini dianggap penting
karena aspek agama yang terpenting adalah akhlak yang termasuk dalam
kawasan afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku (behavioral). Untuk
mempertegas keteladanan Rasulullah itu al-Qur‟an lebih lanjut menjelaskan
akhlak Nabi Muhammad yang disajikan secara tersebar di berbagai ayat dalam
al-Qur‟an”.105
Jadi, metode pendidikan islam yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat
125 sebagaimana diungkapkan oleh penulis, salah satunya adalah metode
pendidikan islam dengan hikmah atau metode pendidikan islam dengan
keteladanan.
Mengeni pelaku metode pendidikan dalam ayat ini, yaitu Rasulullah
sebagai sumber keteladan bagi umat manusia, segala perkataan, perbuatan dan
pendapat beliau dijadikan contoh dan pedoman dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Selain keteladan kata hikmah dalam ayat ini juga diartikan dengan
kebijaksanaan, maka dalam hal ini Rasulullah saw selalu berlaku bijaksana
dalam mengambikl segala keputusan. Contoh dalam ayat ini dapat juga kita
lihat pada ayat 126, dimana ayat tersebut menjelaskan mengenai cara
pemberian balasan atau hukuman, harus dilakukan dengan sebijaksana dan
103
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ 13-14-15-16-17,… h.321.
104
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Gaya Media Pratama, 2005),
h.147.
105
Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.147.
45
seadil mungkin, tidak lebih dan tidak kurang. Sebagaimana diceritakan dalam
asbabun nuzul pada ayat 126, Rasulullah bersabar dengan mengurungkan niat
beliau membalas perbuatan orang-orang kafir terhadap jasad Hamzah.
Keputusan Rasulullah dalam hal ini adalah contoh hal kecil mengenai
kebijaksanaan Rasulullah saw.
Dan jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, di sekolah guru sebagai
tokoh keteladanan dan kebijaksanaan yang dapat ditiru oleh murid-muridnya,
segala perbuatan dan tingkah lakunya harus sesuai dengan peran guru sebagai
sumber keteladanan bagi murid-muridnya.
2. Metode Pendidikan Islam dengan Nasehat
Penulis setuju bahwasanya di dalam ayat 125-126 pada surat An-Nahl ini
mengandung metode pendidikan islam dengan mau‟izhah atau memberi
nasihat, berdasarkan arti ayat “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik”, dan berdasarkan pendapat M.
Quraisy Shihab yang mengartikan kata Mau‟izhah sebagai uraian yang
menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan, atau dapat diartikan sebagai
nasihat. Mauizhah atau nasihat ini juga merupakan cara atau metode yang
dapat digunakan dalam proses pendidikan.
Heri jauhari Muchtar mengatakan, “memberi nasihat sebenarnya
merupakan kewajiban kita selaku muslim seperti tertera antara lain dalam alQur‟an surat al-Ashr ayat 3, yaitu agar kita senantiasa memberi nasihat dalam
hal kebenaran dan kesabaran”.106
Menurut Abuddin Nata, “al-Qur‟an karim juga menggunakan kalimatkalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang
dikehendaki. Inilah yang kemudian dikenal sebagai nasihat”.107
106
Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2005), h.20.
107
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), cet. I, h. 150.
46
Abuddin Nata juga mengatakan bahwa, “al-Qur‟an secara eksplisit
menggunakan nasihat sebagai salah satu cara untuk menyempaikan suatu
ajaran. Al-Qur‟an berbicara tentang penasihat, yang dinasihati, obyek nasihat,
situasi nasihat dan latar belakang nasihat. Karenanya sebagai suatu metode
pengajaran nasihat dapat diakui kebenarannya”.108
Al-maghribi bin Said Al-Maghribi dalam bukunya menjelaskan:
Nasehat yang baik termasuk sarana-sarana yang bisa menghubungkan jiwa
seseorang dengan cepat, karena jiwa manusia dapat terpengaruh dengan
yang disampaikan kepadanya berupa kata-kata, bagaimana bila kata-kata
itu dihiasi dengan keindahan, lunak, sayang dan mudah, jelas hal itubisa
menggetarkan hatinya. Para penasehat memiliki pengaruh yang dapat
dirasakan melalui kata-kata mereka, ceramah-ceramah mereka kaetika
mengajarkan manusia, menasehati mereka dan membimbing mereka
dalam urusan agama dan dunia mereka. Al-Qur‟anul Karim sendiri penuh
dengan nasehat-nasehat dalam berbagai urusan, di dalamnya terdapat
pendidikan dan di dalamnya terdapat seluruh kebaikan bagi seorang
muslim.109 Allah Berfirman:

  
...ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia... (Q.S al-Baqarah[2];
83)
Tentang nasehat Allah juga berfirman:

    
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
(Q.S An-Nisa[4]; 58)
M. Asy‟ari mengutip Abdurrahman al-Nahlawi mengatakan, bahwa yang
dimaksud
dengan
nasihat
ialah
penjelasan
tentang
kebenaran
dan
kemaslahatan dengan tujuan mengindarkan orang yang dinasihati dari bahaya
108
109
Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h. 152.
Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini seharusnya Mendidik, Terj. dari kaifa
Turabbi Waladan Shaliban, oleh Zainal Abidin, (Jakarta: Darul Haq, 2007), cet. V, h. 370.
47
serta menunjukkannya ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan
manfaat.110
Menurut A. Fatah Yasin, metode ini adalah metode yang digunakan oleh
pendidik dalam proses pendidikan dengan cara memberi nasehat-nasehat yang
baik dan dapat digugu atau dipercaya, sehingga dapat dijadikan sebagai
pedoman oleh peserta didik atau bekal kehidupan sehari-hari. Karena islam
juga merupakan agama nasehat (al-Din al-Nasihah).111
M. Asy‟ari mengutip Abdurrahman al-Nahlawi juga mengatakan:
Memberi nasihat merupakan salah satu metode penting dalam pendidikan
islam. Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan pengaruh yang
baik ke dalam jiwa apabila digunakan dengan cara yang mengetuk relung
jiwa melalui pintunya yang tepat. Bahkan, dengan metode ini pendidik
mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik
kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan serta kemajuan masyarakat
dan umat. Cara yang dimaksud ialah hendaknya nasihat lahir dari hati
yang tulus. Artinya, pendidik berusaha menimbulkan kesan bagi peserta
didiknya bahwa ia adalah orang yang mempunyai niat baik dan sangat
peduli terhadap kebaikan peserta didik. Hal ini yang membuat nasihat
mendapat penerimaan yang baik dari orang yang diberi nasihat.112
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, dari sudut psikologi dan pendidikan,
pemberian nasihat itu menimbulkan beberapa perkara, diantaranya adalah:
a. Membangkitkan perasaan-perasaan ketuhanan yang telah dikembangkan
dalam jiwa setiap anak didik melalui dialog, pengalaman, ibadah, praktik,
dan metode lainnya. Perasaan ketuhanan yang meliputi ketundukkan
kepada Allah dan rasa takut terhadap azab-Nya atau keinginan menggapai
surga-Nya. Nasihatpun membina dan mengembangkan perasaan ketuhanan
yang baru ditumbuhkan itu.
b. Membangkitkan keteguhan untuk senantiasa berpegang pada pemikiran
ketuhanan yang sehat, yang sebelumnya dikembangkan dalam diri objek
nasihat.
c. Membangkitkan keteguhan untuk berpegang kepada jama‟ah yang
beriman. Masyarakat yang baik dapat menjadi pelancar berpengaruh dan
meresapnya sebuah nasihat ke dalam jiwa. Oleh karena itu, sebagian besar
nasihat Qur‟ani dan nabawi ditampilkan dalam bentuk jamak.
110
H. M. Asy‟ari, Konsep Pendidikan Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 2011), cet. 1, h. 50.
111
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008),
cet. 1, h. 145.
112
Asy‟ari, Konsep Pendidikan Islam,…h. 50-51.
48
d. Dampak terpenting dari sebuah nasihat adalah penyucian dan pembersihan
diri yang merupakan salah satu tujuan utama dalam pendidikan islam.
Dengan terwujudnya dampak tersebut, kedudukan masyarakat meningkat
dan mereka menjauhi berbagai kemunkaran dan kekejian sehingga seorang
tidak berbuat jahat kepada orang lain. Dengan kata lain, semuanya
menjalankan perintah Allah dengan ma‟ruf, adil, baik, bijaksana, dan
ihsan. 113
113
Annahlawi, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat…,h.294.
49
Heri Jauhari Muchtar memberikan beberapa saran agar sebuah nasihat
dapat terlaksana dengan baik, yaitu dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:
a. Gunakan kata dan bahasa yang baik dan sopan serta mudah dipahami.
b. Jangan sampai menyinggung perasaan orang yang dinasihati atau orang di
sekitarnya.
c. Sesuaikan perkataan kita dengan umur, sifat dan tingkat kemampuan/
kesdudukan anak atau orang yang kita nasihati.
d. Perhatikan saat yang tepat kita memberi nasihat. Usahakan jangan di
hadapan orang lain atau – apalagi – di hadapan orang banyak (kecuali
ketika memberi ceramah/tausiyah).
e. Beri penjelasan, sebab atau kegunaan mengapa kita memberi nasihat.
f. Agar lebih menyentuh perasaan dan hati nuraninya, sertakan ayat-ayat alQur‟an, hadits Rasulullah atau kisah para Nabi/Rasul, para sahabatnya atau
orang-orang shalih.114
Dengan pemberian nasihat ini, diharapkan peserta didik mampu menyerap
dan menerima dengan baik apa yang diharapkan dan disampaikan oleh
gurunya. Karena pemberian nasihat dapat meluluhkan hati murid, sehingga ia
secara sadar mengambil pelajaran dari nasihat-nasihat yang diberikan gurunya
dan menuju pribadi yang lebih baik lagi.
Selain mengenai pemberian nasihat terhadap peserta didik, dalam arti
metode pendidikan islam mau‟izhoh pada ayat ini juga dapat diterapkan oleh
guru bukan hanya pada peserta didik, akan tetapi juga terhadap kurikulum
yang berlaku. Jadi dalam hal ini peran guru sebagai pemantau dan pemberi
masukan, misalnya dalam menggunakan SK dan KD dalam proses belajar
mengajar, guru harus bisa memilih apakah SK dan KD tersebut sesuai jika
diterapkan kepada peserta didiknya atau tidak, maka dalam hal ini guru dapat
memberi masukan untuk menerapkan SK dan KD yang paling sesuai dengan
kebutuhan peserta didiknya.
3. Metode Pendidikan Islam dengan Diskusi
Mengenai
surat
An-Nahl
ayat
125,
Abuddin
Nata
menyebutkan,”ringkasnya ayat tersebut menyuruh agar Rasulullah menempuh
114
Muchtar, Fiqih Pendidikan,…h.50.
50
cara berdakwah dan berdiskusi dengan cara yang baik”.115 Penulis pun setuju
dengan pendapat Abuddin Nata, bahwasanya terdapat metode diskusi dalam
surat An-Nahl ayat 125.
Penulis berpendapat bahwa di dalam surat An-Nahl terdapat metode
pendidikan islam dengan menggunakan metode diskusi, hal ini sesuai dengan
arti surat pada ayat 125 yaitu pada kalimat “jadilhum billati hiya ahsan” yang
artinya bantahlah mereka dengan cara yang baik. Dengan mengutip Pendapat
Hamka:
“jadil-hum billati hiya ahsan”, bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Kalau telah terpaksa timbul perbantahan atau pertukaran fikiran, yang di
zaman kita ini disebut polemic, ayat ini menyuruh, agar dalam hal yang
demikian, kalau sudah tidak dapat dielakkan lagi, pilihlah jalan yang
sebaik-baiknya. Di antaranya ialah membedakan pokok soal yang tengah
dibicarakan dengan perasaan benci atau sayang kepada pribadi orang yang
tengah diajak berbantah.116
Bantahan yang dimaksudkan pada ayat ini adalah pertukaran fikiran. Jadi
dalam mencari penyelesaian dalam suatu permasalahan jika tidak dapat
diselesaikan dengan cara yang lain, kita dapat menggunakan cara berdiskusi
atau saling bertukar fikiran menemukan jalan yang terbaik. Maka penulis
berpendapat bahwa salah satu metode pendidikan islam yang terkandung
dalam ayat tersebut adalah metode diskusi.
Dengan metode diskusi ini, peserta didik dapat saling bertukar fikiran atau
bermusyawarah dalam memecahkan suatu permasalahan dengan peserta didik
yang lainnya. Hal ini dapat mengembangkan kreatifitas dan kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain. Sehingga metode ini bukan sekedar
memudahkan dalam proses pembelajaran akan tetapi juga dapat memudahkan
dalam mendidik pendewasaan pribadi peserta didik sehingga menjadi pribadi
yang lebih baik lagi.
115
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), cet.
IV, h. 172.
116
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu‟ 13-14-15-16-17,… h.321.
51
Abuddin Nata menjelaskan mengenai metode diskusi sebagai berikut:
Metode diskusi juga diperhatikan oleh al-Qur‟an dalam mendidik dan
mengajar manusia dengan tujuan lebih memantapkan pengertian dan sikap
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah. Perintah Allah dalam hal ini,
agar kita mengajak ke jalan yang benar dengan hikmah dan mau‟izhah
yang baik dan membantah mereka dengan berdiskusi dengan cara yang
paling baik (Q.S. al-Nahl, 16:125), selanjutnya terdapat pula ayat-ayat
yang artinya: Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik…(Q.S. al-Ankabut, 29:49). Di dalam alQur‟an kata diskusi atau mujadalah itu diulang sebanyak 29 kali. Di
antaranya dua ayat yang telah disebutkan disini, terlihat bahwa keberadaan
diskusi amat diakui dalam pendidikan Islam. Namun, sebagaimana
disebutkan di atas, diskusi itu harus didasarkan kepada cara-cara yang
baik. Cara yang baik ini perlu dirumuskan lebih lanjut, sehingga timbullah
etika berdiskusi, misalnya tidak monopoli pembicaraan, saling menghargai
pendapat orang lain, kedewasaan pikiran dan emosi, berpandangan luas,
dan seterusnya.117
Zakiah Darajat mengatakan bahwa, “metode diskusi bukanlah hanya
percakapan atau debat biasa saja, tapi diskusi timbul karena ada masalah yang
memerlukan jawaban atau pendapat yang bermacam-macam”.118 Maka peran
guru dalam pelaksanaan metode diskusi ini adalah sebagai fasilitator, yaitu
yang
memfasilitasi,
memantau,
mengarahkan
murid-muridnya
dalam
melaksanakan metode diskusi ini. Zakiah Darajat juga menerangkan peran
guru menggunakan metode diskusi ini, di antaranya; pertama, Guru atau
pemimpin diskusi harus berusaha dengan semaksimal mungkin agar semua
murid turut aktif dan berperan dalam diskusi tersebut. kedua, Guru atau
pemimpin diskusi sebagai pengatur lalu lintas pembicaraan, harus bijaksana
dalam mengarahkan diskusi, sehingga diskusi tersebut berjalan dengan lancar
dan aman. ketiga, Membimbing diskusi agar sampai kepada suatu
kesimpulan.119
117
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), cet. I, h.
118
Zakiah Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2008),
159.
cet. IV, h. 292.
119
Darajat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam,…h. 292-293.
52
Metode diskusi yang terkandung dalam ayat ini adalah contoh dari
kegiatan active learning yang merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan
dalam proses belajar mengajar dalam acuan kurikulum 2013. Ini membuktikan
bahwa, jauh sebelum para pakar pendidikan merancang mengenai kegiatan
active learning ini al-Qur‟an telah lebih dahulu menjelaskan mengenai
kegiatan pendidikan yang menjadikan murid sebagai center-nya.
4.
Metode Pendidikan Islam dengan Punishment (Hukuman)
Menurut Heri Jauhari Muchtar, “metode ini (hukuman) sebenarnya
berhubungan dengan pujian dan penghargaan. Imbalan atau tanggapan
terhadap orang lain itu terdiri dari dua, yaitu penghargaan dan hukuman.
Hukuman dapat diambil sebagai metode pendidikan apabila terpaksa atau tak
ada alternative lain yang bisa diambil.120
Mengenai metode ini, al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi menjelaskan:
Islam sangat kepada orang tua dan para pendidik agar mendidik anak-anak
mereka secara bertahap hingga bias mendatangkan manfaat. Metode ini
(pemberian sanksi/hukuman) adalah cara terakhir yang dilakukan, saat
sarana lain tidak bias mencapai tujuan. Saat itu, boleh menggunakan
metode penjatuhan sanksi. Pandangan dan pemikiran barat sangat anti
terhadap metode ini dan menolak mentah-mentah penjatuhan sanksi atau
hukuman sebagai metode pendidikan. Padahal pemberian sanksi dalam
pendidikan boleh jadi menjadi obat manjur bagi penelusuran terhadapt
kekeliruan anak bila dilakukan dengan cara dan ukuran yang benar.121
Al-Maghribi juga menjelaskan,”bukan berarti seorang pendidik selalu berfikir
mengenai bagaimana memberi sanksi kepada anak tetapi ia harus berfikir
pertama kali untuk mengarahkan anak-anak mereka dengan metode dan
pengarahan yang baik serta mengajak mereka kepada nlai-nilai mulia dengan
penuh kesabaran”mengenai hal ini Allah berfirman: 122
120
Muchtar, Fiqih Pendidikan,…h.21.
121
Al-Maghribi, Begini seharusnya Mendidik,…h. 385.
122
Al-Maghribi, Begini seharusnya Mendidik,…h. 385.
53`
             
             
    
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya
aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?". Dan tidaklah sama
kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih
baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (Q.S
Fushilat [41]: 33-34)
Abuddin Nata mengutip Muhammad Qutbh mengatakan: “Bila teladan dan
nasihat tidak mampu , maka pada waktu itu harus diadakan tindakan tegas
yang dapat meletakkan persoalan di tempat yang benar. Tindakkan tegas itu
adalah hukuman”.123
Abuddin Nata juga mengatakan:
Terhadap metode hukuman tersebut di atas terdapat pro dan kontra, setuju
dan menolak. Kecenderungan-kecenderungan pendidikan modern
sekarang memandang tabu menerapkan hukuman itu, tetapi generasi muda
yang dibina tanpa hukuman itu seperti di Amerika adalah generasi muda
yang sudah kedodoran, meleleh, dan yang sudah tidak bias dibina
eksistensinya. Padahal dalam kenyataan, manusia banyak melakukan
pelanggaran, dan ini tidak dapat dibiarkan. Islam memandang bahwa
hukuman bukan sebagai tindak yang pertama kali harus dilakukan oleh
seorang pendidik, dan bukan pula cara yang didahulukan. Nasihatlah yang
paling didahulukan. 124
Selanjutnya Abuddin Nata mengatakan, “keberadaan hukuman dan
ganjaran diakui dalam Islam dan digunakan dalam rangka membina ummat
manusia
melalui
kegiatan
pendidikan.
Hukuman
dan
ganjaran
ini
diberlakukan kepada sasaran pembinaan yang lebih bersifat khusus. Hukuman
123
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, …h. 155.
124
Nata, Filsafat Pendidikan Islam,…h.155-156.
54
untuk orang yang melanggar dan berbuat jahat, sedangkan pahala untuk orang
yang patuh dan menunjukkan perbuatan baik”. 125
Abudin Nata mengutip Ahmad Tafsir, “membagi jenis hukuman menjadi
dua, yaitu hukuman fisik dan hukuman psikis. Keduanya itu pun berfariasi,
mulai dari yang ringan sampai yang berat”.126 Hal ini dapat dilihat dari arti
hadits Nabi SAW sebagai berikut:
Dari Ubadah bin Samit ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “ambillah
(hukum itu) dariku, sungguh Allah telah membuat jalan bagi mereka
(perempuan) yaitu perawan (yang berzina) dengan jejaka, sama-sama
didera seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedang janda dengan
duda sama-sama didera seratus kali dan dirajam. (H.R. Jama‟ah kecuali
Bukhori dan Nasa‟i).
Mengenai metode hukuman ini, Heri Jauhari Muchtar mengatakan bahwa
agama islam memberi arahan dalam memberi hukuman (terhadap anak/peserta
didik) hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Jangan sampai menghukum ketika marah. Karena pemberian hukuman
ketika marah akan lebih bersifat emosional yang di pengaruhi nafsu
syaithaniyah.
b. Jangan sampai menyakiti perasaan dan harga diri anak atau orang yang
kita hukum.
c. Jangan sampai merendahkan derajat dan martabat orang yang
bersangkutan, misalnya dengan menghina atau mencaci maki di depan
orang lain.
d. Jangan menyakiti secara fisik, misalnya menampar mukanya atau menarik
kerah bajunya, dan sebagainya.
e. Bertujuan mengubah perilakunya yang kurang/tidak baik. Kita
menghukum karena anak/peserta didik berperilaku tidak baik.127
Penulis berpendapat bahwa metode pendidikan islam dengan pemberian
hukuman ini terdapat pada ayat126 dalam surat An-Nahl. Yang artinya:
Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. akan tetapi jika kamu
125
Nata, Filsafat Pendidikan Islam…h. 157-158.
126
Abuddin Nata dan Fauzan, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005), cet. 1, h. 376-377.
127
Muchtar, Fiqih Pendidikan,…h.21-22.
55
bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
sabar. (QS: An-Nahl [16]: 126)
Kata “balaslah” dalam ayat di ataslah yang menurut penulis mengandung
pengertian pemberian hukuman. Dalam ayat ini diterangkan bagaimana cara
pemberian hukuman atau balasan. Menghukum seseorang dengan hukuman
yang setimpal sesuai dengan kesalahan yang ia perbuat. Hukuman ini sebagai
teguran agar si pelaku kesalahan jera dan tidak lagi mengulangi kesalahannya.
Selanjutnya, penulis mengutip perkataan Bustami A. Gani, berkaitan
dengan masalah hukuman yang diterangkan dalam surat An-Nahl Ayat 126.
Menurutnya ada dua macam jalan yang diterangkan Tuhan dalam ayat 126 :
Pertama, membalas dengan balasan yang seimbang.Dengan penganiayaan
yang dialami.Tidaklah dibenarkan oleh agama melakukan pembalasan
atau hukum yang melebihi dari kesalahannya.Tindakan yang berlebihan itu
adalah suatu kezhaliman. Batas tertinggi dari pembalasan itu adalah sama
seimbang dengan kesalahan itu. Ayat ini hanyalah menunjukkan
kebolehan untuk melakukan pembalasan atas suatu kesalahan, asal saja
dalam batas seimbang dan sepadan dengan kesalahan itu dan bukan
penunjukkan “harus diberi pembalasan dengan pembalasan yang sama
setimpat”.Kedua, menerima tindakkan permusuhan itu dengan hati yang
sabar dan memaafkan kesalahan itu bilamana sikap sabar dan pemaafan itu
memberi pengaruh yang baik untuk jalannya dakwah dan sikap demikian
itu menyebabkan permusuhan itu menjadi lenyap.Sikap sabar dan pemaaf
baru mengandung arti baik, bilamana ada kesanggupan dan kekuatan yang
berbuat.Sikap sabar tidak benar, jika mengakibatkan permusuhan terhadap
dakwah tidak berhenti.Sikap sabar dalam arti yang benar, sangat terpuji
dalam pandangan islam, karena meningkatkan dan membentuk diri
pribadi, seperti dinyatakan dalam ayat bahwa kesabaran itu benar-benar
sangat baik bagi mereka yang sabar itu sendiri. Dengan sifat sabar itu
manusia terbiasa mengontrol/mengendalikan jiwanya. Menurut IBnu
Kasir, ayat ini mempunyai makna dan tujuan yang sama dengan beberapa
ayat dalam al-Qur‟an yang mengandung keharusan adil dan dorongan
berbuat keutamaan,128
Sebaiknya, seorang pendidik menggunakan metode ini sebagai alternatif
terakhir apabila seorang pendidik tidak mampu lagi mengubah prilaku peserta
didiknya dengan metode yang lain, sehingga pemberian hukuman ini
128
Bustami A. Gani, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,….h. 503-504.
56
54diharapkan dapat menimbulkan efek jera dalam diri peserta didik untuk
mengulangi kesalahan yang pernah ia perbuat. Pemberian hukuman ini juga
sebagiknya diiringi dengan pemberian nasihat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
Metode pendidikan islam yang terkandung dalam surat An-Nahl ayat 125-126
adalah sebagai berikut:
a. Metode Teladan
Abudin Nata mengungkapkan, “metode ini dianggap penting karena aspek
agama yang terpenting adalah akhlak yang termasuk dalam kawasan
afektif yang terwujud dalam bentuk tingkah laku (behavioral). Untuk
mempertegas
keteladanan
Rasulullah
itu
al-Qur‟an
lebih
lanjut
menjelaskan akhlak Nabi Muhammad yang disajikan secara tersebar di
berbagai ayat dalam al-Qur‟an”.
b. Metode nasehat
Dengan metode ini, dalam proses pendidikan seorang pendidik
memberikan nasehat-nasehat agar peserta didik dapat mengambil ibrah
atau pelajaran dari nasehat-nasehat yang disampaikan pendidik, sehingga
menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
c. Metode diskusi
Yaitu dalam suatu persoalan dan permasalahan, dapat menggunakan
metode ini dengan cara bertukar fikiran atau bermusyawarah menemukan
jalan yang paling baik dan tepat.
d. Metode punishment/hukuman
Metode ini sebagai alat atau cara terakhir, apabila seorang pendidik tidak
mampu lagi menggunakan metode yang lain untuk merubah peserta didik
menjadi lebih baik. Dengan metode ini diharapkan peserta didik jera untuk
mengulangi kesalahan-kesalahan yang sering ia perbuat.
57
58
B. Saran
1. Al-Qur‟an selain sebagai petunjuk bagi umat manusia juga sebagai sumber
ilmu pengetahuan. Mempelajari dan menghayati isi kandungannya merupakan
kewajiban khususnya bagi umat muslim. Salah satunya dengan cara membaca.
Mengkaji dan mempelajari penafsiran-penafsiran para ulama mengenai isi
kandungan Al-Qur‟an.
2. Ketelitian dalam memilih metode dalam proses pendidikan sangat penting
dilakukan oleh seorang pendidik. Agar peserta didik mampu menyerap dan
menerima apa yang disampaikan atau dimaksudkan seorang pendidik dengan
baik.
3. Penerapan metode dalam proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi
yang terjadi dalam proses pendidikan tersebut. Terutama menyesuaikan
dengan kemampuan pendidik dalam menggunakan metode dan keadaan
peserta didik. Karena setiap peserta didik mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, “Metode Dakwah yang terkandung dalam Surat An-Nahl Ayat 125 Menurut
Pandangan Dr. Yusuf Qardhawi,” Skripsi pada Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta: 2007, tidak dipublikasikan.
Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi. Begini seharusnya Mendidik. Jakarta: Darul Haq,
cet. V, 2007.
Al-Mahalli, Jalaluddin., dan As-Suyuthi, Jalaluddin. Tafsir jalalain Berikut Asbabun
Nuzul Jilid 2, Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, cet. VI, 2000.
Annahlawi, Abdurrahman. Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Jakarta:
Gema Insani, cet. I, 1993.
-----.Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, Bandung: CV. Diponegoro, 1989.
Anshori. Tafsir Bil Ra‟yi Menafsirkan Al-Qur‟an dengan Ijtihad, Jakarta: Gaung
Persada Press, cet. I, 2010.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers
2002.
-----. Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD Press , 2005.
Arikunto, Suharsimi., Prosedur Peneltian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta, 1990
As-Suyuthi, Jalaluddin. Sebab Turunnya Ayat AL-Qur‟an, Jakarta: Gema Insani, cet. I
,2008.
Asy‟ari, H. M. Konsep Pendidikan Islam, Jakarta: Rabbani Press, cet. 1,2011.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi
Offset, 1997.
Darajat, Zakiah. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet.
IV, 2008.
59
60
Gani , Bustami A. (ed.), Al-Qur‟an dan Tafsirnya Jilid V, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1990.
Hamka. Tafsir Al-Azhar Juzu‟ 13-14-15-16-17, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Imani, Alamah Kamal Faqih. Tafsir Nurul Qur‟an, Isfahan: Imam Ali Public
Library, 2005.
Jalaluddin, dan Said, Usman. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, cet. II, 1996.
Mahali, A. Mudjib. Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur‟an, Jakarta: Rajawali
Press, 1989.
Muchtar, Heri Jauhari. Fiqih Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2005.
Nata, Abuddin., dan Fauzan. Pendidikan dalam Persfektif Hadits, Jakarta: UIN Jakarta
Press, cet. I, 2005.
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
-----. Pendidikan Dalam Persfektif Al-Qur‟an, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
-----. Filsafat Pendidikan Islam 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
-----. Pendidikan dalam Persfektif Hadits, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
-----. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
-----, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, cet. IV, 2010.
Purwanto, Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, cet. ke-18, 2007.
Quthb, Muhammad .Sistem Pendidikan Islam, Bandung: PT al-Ma‟arif, cet. II, 1988.
Ramaliyus, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, cet ke-4, 2004.
Sabri, M. Alisuf. Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005),
61
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:
Kencana, cet. V, 2008.
Shaleh, Q., dkk. Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur‟an,
Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an Volume
7, Ciputat: Lentera Hati, cet. VIII, 2007.
Siti Masyuroh, “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak yang terkandung dalam Surat An-Nahl
Ayat 90 dan Aplikasinya di Madrasah,” Skripsi pada Sarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta: 2012, tidak dipublikasikan.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
Bandung: Alfabeta, cet. IV, 2008.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Penddidikan dalam Persfektif Islam, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, cet. V, 2007.
Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN Malang Press, cet. I,
2008.
Z, Zurinal., dan Sayuti, Wahdi. Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-dasar Pendidikan,
Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Download