Bedah Buku “MENOLAK WAHABI” Penulis: KH Muhammad Faqih Maskumambang Tahqiq & Terjemah: KH Aziz Masyhuri Penerbit: Sahifa, Agustus 2015 IAIBAFA, Tambakberas, Minggu, 2 Agustus 2015 Wahhabi: Sejarah Ideologi Teror Mohamad Guntur Romli1 Wahhabi: Antara ISIS dan Atheis Dukungan terhadap ISIS dan atheis adalah dua fenomena yang bertolak belakang namun menguat di Negeri Saudi Arabia saat ini. Menurut laporan al-Hayat (21 Juli 2014), media massa milik Saudi, dalam sebuah survei oleh As-Sakinah terhadap media-media sosial di Saudi menunjukkan 92% responden berpendapat “ISIS sesuai dengan nilai-nilai dan syariat Islam”. Demikian pula dalam survei yang dilakukan oleh Brooking Institute terhadap twitter, pada tahun 2015 dukungan kicauan (twit) yang mendukung ISIS mayoritas berasal dari Saudi Arabia. Hal ini menunjukkan dukungan terhadap radikalisme dan terorisme semakin menguat di Saudi, khususnya dari kalangan muda, kelas menengah dan terpelajar yang akrab dengan media sosial. Namun atheisme juga menguat di Saudi bahkan tertinggi di negeri-negeri yang penduduknya mayoritas Islam berdasarkan polling dari WIN-Gallup International di Zurich Swiss, 27 Juli 2012 yang memberikan laporan seluruh penduduk dunia mengaku religius (59%), tidak religius (23%) dan atheis (13%). Atheis di Saudi (5%) sama dengan AS, Maldiv, Polandia, di atas India (3%) dan Pakistan, Libanon, Uzbekistan, Turki (masing-masing 2%), Nigeria (1%). Sedangkan untuk tingkat negara yang “religius” Saudi hanya 75%, di bawah Nigeria (93%), Iraq (88%), Pakistan (84%), Afghanistan (83%) dan Malaysia (81%). Melihat angka ini, Pemerintah Saudi sampai membuat lembaga baru Pusat Pemberantasan Atheisme (Markaz li Mukafahah Ilhad) di Universitas Islam Madinah, namun pada awal tahun 2015 justeru publik Saudi dikejutkan dengan adanya Perkumpulan Para Atheis Makkah (Multaqa Mulhidin Makkah). Laporan ini juga dilengkapi sebuah foto yang menunjukkan tulisan di atas secaik kertas putih “Proud to be Atheist” (Bangga menjadi Atheis)” yang di belakang kertas tampak Ka’bah dan Masjidil Haram. Angka atheis Saudi berkisar 145-260 ribu orang dan lebih banyak daripada negeri-negeri yang disebut “sekular” seperti Tunisia, Libanon, Mesir dan Turki. Mengapa dukungan terhadap terorisme dan atheisme meningkat di Saudi Arabia? Inilah pertanyaan yang menjadi tema diskusi dalam tahun-tahun terakhir ini di mediamedia Arab, yang rata-rata memberikan jawaban pada satu masalah: fenomena ekstrimisme dalam pemikiran keagamaan (al-ghuluww fil fikr al-dini) yang berasal dari ideologi Wahhabi. Bagaimana satu ideologi bisa menghasilkan dua hal yang bertentangan? Penjelasannya adalah, pihak yang mengamini ideologi Wahhabi akan ekstrim, berhaluan garis keras, bersimpati hingga menjadi aktor terorisme. Sedangkan pihak yang menolak, atau menjadi korban ideologi garis keras ini akan melawan dengan bentuk ekstrim yang lain, menjadi atheis. 1 alumnus PP Tarbiyatul Muallimin al-Islamiyah Al-Amien Prenduan Sumenep Madura (19921998), pernah kuliah di Universitas al-Azhar Cairo Mesir (1998-2004), menjadi wakil ketua Tanfdziyah PCINU Mesir (2002-2004). Email: [email protected], HP: 081513191313, twitter: @gunromli Tahun 2004, Syaikh Hasan bin Farhan al-Maliki seorang penulis dan pemikir di Riyadh, Saudi Arabia, menulis kitab Qira’aah fi Kitabit Tauhid (Pembacaan Ulang terhadap Kitab Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah catatan kritis terhadap ideologi Wahabi. Bagi dia, kitab Muhammad bin Abd Wahhab yang sangat tipis itu (hanya 122 halaman dan 65 bab) namun menyebabkan meningkatnya ekstrimisme (al-ghuluww) dan pengkafiran di Arab Saudi karena dipakai sebagai buku ajar di sekolah-sekolah. Menurut dia saat Muhammad bin Abd Wahhab menulis tentang syirik zaman Nabi merupakan kebenaran, namun yang tidak benar ketika kemusyrikan dituduhkan kepada orang Islam di zamannya. Muhammad bin Abd Wahhab sangat pandai menyarikan ayat-ayat tentang mencegah syirik, namun sayangnya ia banyak lupa soal larangan membunuh manusia yang tidak bersalah. Sehingga saat itu Wahabi banyak membunuh orang Islam bahkan ketika mereka shalat di dalam masjid. Sayangnya pada tahun 2014, Syaikh Hasan bin Farhan pernah diinterogasi dan dijebloskan ke penjara, karena kritik-kritiknya terhadap pemikiran Ibn Taimiyah dan Muhammad bin Abd Wahhab. Ia dilepas setelah protes dari dunia internasional, khususnya organisasi HAM di Jenewa. Sebelum dia, ada tokoh Wahhabi yang menjadi atheis, bernama Abdullah AlQashimi (1907-1996) yang lahir Buraidah, di Saudi Arabia menulis kitab Ats-Taurah al-Wahhabiyah (Revolusi Wahhabi) yang memuj-muji ideologi Wahhabi dan keberhasilan Dinasti Saudi. Namun akhirnya Abdullah Al-Qashimi menjadi seorang atheis, tinggal dan wafat di Cairo, Mesir. Tokoh salafi lain yang menjadi atheis adalah Ahmad Husein al-Harqan dari Mesir yang pernah menjadi murid Syaikh Ahmad Al-Burhami, seorang tokoh salafi dan wakil pemimpin tertinggi Partai Nur, Salafi di Iskandaria, Mesir. Ahmad yang pernah menjadi imam di masjid salafi, pada tahun 2014 mendaklrasikan sebagai atheis karena kecewa dengan kekerasan dan pandangan sempit ideologi salafi di Mesir. Setelah sebelumnya dia dan istrinya menjadi korban kekerasan itu. Tokoh lain, Ayaan Hirsi Ali, kelahiran Mongadisu Somalia yang hidup di tengah keluarga salafi wahhabi dan menerima kekerasan, baik saat pindah ke Saudi Arabia, Etiopia dan Kenya. Ia pun akhirnya pindah ke Belanda dan terakhir di Amerika Serikat. Karena ia hanya mengenal Islam ala Wahhabi dan menerima kekerasan, saat menjadi korban, ia pun kecewa dan keluar dari Islam, hingga sekarang aktif menulis buku-buku yang menyerang Islam. Inilah dua fenomena yang berolak belakang sebagai dampak dari ideologi Wahhabi, bersimpati dan bisa ikut ISIS, atau menjadi atheis. Oleh karena itu, kehadiran dan terjemahan buku KH Muhammad Faqih Maskumabang ini sangat penting. Buku ini setelah 93 tahun “hilang” terbit tahun 1922 di Mesir, sebelum NU berdiri, menjadi buku penting dalam menolak paham Wahhabi. Buku yang ditahqiq dan diterjemahkan dengan sangat baik oleh KH Aziz Masyhuri ini mengenalkan pada kita tentang sekelumit pandangan dan tokoh-tokoh Wahhabi. Pengantar dari KH Maimoen Zubair juga sangat penting, selain memberikan riwayat hidup KH Muhammad Faqih juga menekankan sikap tenggang rasa dan saling menghormati antara KH Muhammad Faqih dan KH Hasyim Asy’ari yang berbeda pendapat tentang “kentongan” dan “bedug”. Istilah Wahhabi Wahabi (al-wahhabi), wahabisme, wahabiyah (al-wahhabiyah) adalah paham keagamaan yang dinisbatkan pada Syaikh Muhammad bin Abd Wahhab (1703 -1792 M/1115-1206 H). Ia dikenal sebagai Ibn Abd Wahhab (anak Abd Wahhab), diambil kependekannya menjadi Wahhab, jadilah wahhabi dan wahhabiyah. Penamaan seperti ini jamak dilakukan seperti halnya madzhab Hanafi ke nama pendirinya, Abu Hanifah, Maliki ke Malik bin Anas, Syafii ke Muhammad bin Idris as-Syafi’i, aliran teologi Asy’ari ke Abul Hasan al-Asy’ari, tarekat Syadziliyah ke Abul Hasan asSyadzili dst. Penggunaan istilah tidak mesti nama pertama yang berarti nama aslinya, tapi pada julukan yang dikenal. Seperti Syafii nisbatnya bukan pada nama Muhammad bin Idris, maka Wahabi pun tidak dinisbatkan pada nama Muhammad, tapi pada julukannya yang dikenal, Ibn Abd Wahhab. Hal ini perlu dijelaskan, karena kelompok Wahabi sangat alergi dengan istilah Wahabi, mereka tidak suka disebut dengan istilah ini, karena bagi mereka ajaran Muhammad bin Abd Wahhab bukan madzhab baru, lagi pula, sanggah mereka, Syaikh mereka bernama Muhammad bukan Wahhab, mereka juga katakan, istilah “Wahabi” merupakan penyebutan produk orientalis. Seperti sebuah buku yang ditulis oleh Nashir bin Ibrahim, Dosen Kebudayaan Islam di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saudi, Riyadh, Saudi Arabia: Syaikh Muhammad bin Abd Wahhab Hayatuhu wa Da’watuhu fi ar-Ru’yah al-Istisyraqiyah, Dirasah Naqdiyah (Syaikh Muhammad bin Abd Wahhab, Sejarah Hidup dan Dakwahnya dari Perspektif Orientalis, Studi Kritis). Penggunaan istilah Wahabi dan Wahabiyah bukan hal yang baru, bukan pula “ciptaan orientalis” atau “bikinan syiah” seperti yang sering dituduhkan oleh kelompok Wahhabi. Istilah ini telah ada sejak di zaman Muhammad bin Abd Wahhab. Kakak dia yang bernama Syaikh Sulaiman bin Abd Wahhab menulis kitab yang berisi bantahan terhadap ajaran adiknya, as-Shawa’iq al-Ilahiyyah fir Raddi Alal Wahhabiyah (Petir-Petir Ilahi dalam Membantah Paham Wahabi). Syaikh Sulaiman seorang hakim agama (qadli’) di Harimla bermadzhab Hambali dan pengikut Salaf (sebagaimana klem Muhammad bin Abd Wahhab). Tampaknya Syaikh Sulaiman perlu meluruskan bahwa adiknya tidak benar-benar mengikuti Madzhab Hambali dan Salafi, sehingga ia menggunakan istilah “Wahhabiyah” (wahabisme) dan “madzhab Ibn Abd Wahhab”. Dengan ini, Syaikh Sulaiman ingin menegaskan bahwa Wahabi adalah ciptaan adiknya, bukan turunan dari madzhab Hambali dan Salaf. Kitab yang ditulis 8 tahun setelah Petaka Wahabi dimulai, selain mengajukan bantahanbantahan dalil, Syaikh Sulaiman mencatat kekacauan-kekacauan akibat Gerakan Wahabi, seperti tuduhan kafir dan murtad yang dilanjutkan penyerangan dan perampasan. Buku ini juga membantah klem-klem bahwa ajaran-ajaran Wahabi bersumber dari ajaran Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim, misalnya tidak ada dari dua syaikh ini mengkafirkan dan memurtadkan apalagi menghalalkan darah orang yang minta syafaat, tawassul, dan tabarruk. Demikian pula Syaikh Ahmad bin Zaini bin Dahlan (1816-1886 M/1231-1304 H), seorang mufti Syafiiyah di Masjid Haram Makkah, yang hidup setelah wafatnya Muhammad bin Abd Wahhab menulis dua kitab Ad-Durar as-Saniyah fir Radd ‘Alal Wahhabiyah (Mutiara-Mutiara Berharga sebagai Bantahan terhadap Wahhabiyah) dan Fitnatul Wahhabiyah (Petaka Wahabisme). Sayyid Rasyid Ridla, murid Syaikh Muhammad Abduh menerbitkan buku Al-Wahhabiyun wal Hijaz (Orang Wahabi dan Tanah Hijaz) yang berisi keyakinan-keyakinan Wahabi dan kebangkitan Dinasti Saudi Ke-3 di bawah Abd Aziz bin Abd Rahman yang dikenal sebagai Ibn Saud pada abad ke-20. Intinya penggunaan istilah Wahabi sudah ada sejak zaman Muhammad bin Abd Wahhab sendiri, baik dipakai oleh pihak lawan atau pihak yang netral. Muhammad bin Abd Wahhab lahir di Uyainah, lokasi yang berdekatan dengan kampung al-Jubainah, tempat kelahiran Musailamah al-Kadzdzab—seorang yang mengaku nabi di era Nabi Muhammad Saw. Kawasan itu disebut Najd, yang disebutkan oleh Rasulullah Saw akan muncul gempa, petaka dan tanduk setan (hunaka al-zalazil wal fitan wa yathlu’ wal qarn syaithan). Nubuat ini disampaikan saat Rasulullah Saw berdoa, “Ya Allah berkatilah kawasan Syam kami dan berkatilah Yaman kami” ada yang meminta, “Berkati Najd juga” namun Rasul enggan mendoakan Najd bahwa bernubuat darinya akan datang gempa, petaka dan tanduk setan (HR Bukhari dan Muslim). Nubuat ini mungkin terlalu dihubung-hubungkan dengan tempat kelahiran Muhammad bin Abd Wahhab, namun bagi Syaikh Ahmad Zaini Dahlan nubuat ini relevan dengan munculnya sosok Muhammad bin Abd Wahhab. Dan memang, kawasan Najd menjadi daerah yang penuh gejolak dalam sejarah Islam. Pada era Rasululullah Saw, muncul sosok Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku nabi, kelompok Khawarij pembunuh Imam Ali juga datang dari kawasan ini. Pada era Dinasti Umawi, kelompok Khawarij berhasil mendirikan sistem pemerintahan sendiri. Dalam kajian sejarah: kekacauan, gempa dan “tanduk setan” muncul dari kawasan ini. Syaikh Ahmad dalam menulis bantahan terhadap Muhammad bin Abd Wahab menyimpan kegeraman yang luar biasa. Saat menulis sejarah Muhammad bin Abd Wahhab sampai periode wafat, beliau menggunakan kata halakal khabitsu sanah 1206 H—dalam bahasa sekarang, “si busuk ini mampus tahun 1206 H, halaka penggunaan kata yang kasar dalam bahasa Arab, yang wajar adalah tufiya (wafat, meninggal)—yang beliau ulang di dua kitab yang telah disebutkan tadi. Gaya bahasa Syaikh Ahmad yang menunjukkan kegeraman yang luar biasa merupakan pelampiasan dari kemarahannya terhadap dampak-dampak dari gerakan dan ajaran Muhammad bin Abd Wahhab dan pengikutnya. Pasukan Dinasti Saud pernah menduduki kota Makkah dan Madinah yang kemudian memaksa ulama-ulamanya menerima dogma Wahabi. Dan Syaikh Ahmad menulis kitab ini setelah ibu kota Dinasti Saudi-Wahabi Dir’iyah ditaklukkan oleh Pasukan Muhammad Ali Pasha atas perintah Dinasti Turki Ustmani tahun 1818 M. Akibat dari penaklukan itu pembesarpembesar dari Dinasti Saud, ada yang dibunuh dan ada yang digelandang sebagai tawanan ke Mesir dan Turki. Apa yang membuat sosok Syaikh Ahmad Zaini Dahlan ini sangat geram dan marah pada Muhammad bin Abd Wahhab? Menurut hemat saya, berpulang pada dua sebab. Pertama, ajaran-ajaran Muhammad bin Abd Wahhab yang mudah mengkafirkan umat Islam saat itu dengan tuduhan: tauhidnya tidak sesuai dengan tauhid yang ia yakini: tauhid uluhiyyah (disebut juga tauhid ibadah). Tuduhantuduhan Ibn Abd Wahhab juga sangat keji, bahwa yang melalukan tawassul, tabarruk, meminta syafaat, meminta doa pada Nabi dan orang Saleh lebih musyrik, dan lebih kafir dari orang Musyrik di era Nabi Muhammad Saw. Kedua, keonaran, kekacauan, kekerasan, pembunuhan, perampasan, penjarahan dan pembantaian yang biasa disebut al-fitnah yang berasal dari pengikut Ibn Abd Wahhab, mereka memerangi dan membantai orang Islam, merampas harta benda, perempuan dan anak-anak yang disebut sebagai ghanimah (harta rampasan perang). Orang Islam saat itu dianggap halal diperangi kalau divonis musyrik, kafir dan tidak mau mengikuti ajaran Ibn Abd Wahhab. Tauhid Pengkafiran Wahabi Fokus Ibnl Wahhab hanya pada Tauhid Uluhiyyah, yang menurutnya menjadi bukti keislaman seseorang. Kalau belum bertauhid dengan versi dia, yakni tauhid uluhiyyah belum dihitung masuk Islam, masih musyrik dan kafir. Orang musyrik zaman Nabi menurutnya mengakui “tauhid rububiyyah, namun tidak mampu menyelamatkan mereka dari kemusyrikan”... “tauhid yang mereka tentang adalah tauhid ibadah yang dinamakan oleh orang musyrik zaman kita ini sebagai i’tiqad—alladzi yusammihi al-musyrikuun fi zamanina al-i’tiqad. Kutipan “orang musyrik di zaman kita” asli dari Muhammad bin Abd Wahhab. Ia pun menambahkan, “pengakuan mereka (orang musyrik) terhadap tauhid rububiyyah, tidak serta merta memasukkan mereka ke dalam Islam” dan orang kafir pada zaman Nabi “lebih mengetahui makna (tauhid rububiyah) daripada orang yang mengaku Islam (zaman sekarang)...” ia melanjutkan “...orang musyrik di zaman kita ini mengira mereka punya perantara yang pada zaman dulu disebut tuhan-tuhan...” Muhammad bin Abd Wahhab memberikan alasan mengapa orang kafir zaman dulu dianggap juga bersyadahat tauhid rububiyah, “pertama, orang kafir yang diperangi Rasulullah Saw, dibunuh dan dirampas harta mereka, serta wanita-wanita mereka, mereka juga bersaksi pada Allah Swt dengan tauhid rububiyah, tak ada yang menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, mengatur segala urusan kecuali Allah saja... meskipun orang kafir itu telah bersaksi dengan hal-hal tadi, tidak serta merta memasukkan mereka ke Islam, dan tetap tidak diharamkan darah dan harta mereka, mereka juga memberi sedekah, berhaji, umrah, giat beribadah, dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan karena takut pada Allah, namun perkara kedua, mereka yang dikafirkan, dan dihalalkan darah serta hartanya, karena mereka belum bersaksi pada Allah dengan tauhid uluhiyyah.”2 Kalimat Muhammad bin Abd Wahhab ini sudah tegas, bahwa tauhid rububiyyah juga diakui oleh orang kafir zaman dulu, selama tidak bertauhid uluhiyyah maka belum bisa dibilang Islam, dan masih halal darah dan hartanya (alias bisa dibunuh dan diperangi). Bahkan Muhammad bin Abd Wahhab menegaskan lebih jauh, kekafiran orang musyrik di zaman dia (yang sebenarnya adalah orang muslim) lebih kafir dari pada orang yang diperangi oleh Rasulullah Saw.3 Dalam kitab Kasyf Syubahat, ia menulis satu bab, Penegasan Kemusyrikan Orang Terdahulu Lebih Ringan daripada Kemusyrikan Orang Zaman Sekarang; Jika kamu tahu yang dinamakan oleh orang musyrik di zaman kita (al-i’tiqad) adalah kemusyrikan, karenanya Al-Quran turun dan Rasulullah Saw memerangi manusia yang berpegang padanya. Ketahuilah! Kemusyrikan orang terdahulu lebih ringan daripada orang zaman kita, dengan dua sebab: Pertama, orang dulu melakukan kemusyrikan dan memohon pada para malaikat, wali, dan berhala bersama (dan juga berdoa) pada Allah dalam keadaan senang. Namun dalam keadaan susah, mereka ikhlaskan berdoa pada Allah saja sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt. Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilang semua yang biasa kamu seru, kecuali Dia. Tetapi ketika Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling (dari-Nya). Dan manusia memang selalu ingkar (QS. Al-Isra’: 67)... barang siapa yang memahami masalah ini yang telah Allah Swt jelaskan dalam kitabnya, yakni orang musyrik yang diperangi Rasulullah Saw, memohon pada Allah dan pada selain Dia saat senang, namun dalam keadaan susah mereka tidak memohon kecuali pada Allah saja, Yang Maha Satu, tidak ada sekutu bagi-Nya, mereka lupa tuan-tuan mereka (yang disembah), telah jelas perbedaan antara kemusyrikan oran-orang zaman kita dan orang terdahulu.. [Ibn Abd Wahhab menjelaskan dalam risalah Makna Laa Ilaaha Illallaah maksud perbedaan kemusyrikan orang zaman dia dan zaman dulu di pon pertama, dengan kalimat: kamu lihat orang musyrik zaman kita ini, mungkin dari sebagian mereka mengaku ahli ilmu, zuhud, ijtihad dan ibadah, jika mereka terkena kesusahan meminta tolong pada selain Allah seperti Ma’ruf atau Abd Qadir al-Jailani, dan iya, dari mereka (yang diminta pertolongan), Zaid bin al-Khaththab dan AlZubair dan iya, dari mereka seperti Rasulullah Saw dan keluarganya. Sedangkan Allah Maha Penolong]4 Kedua, orang terdahulu menyekutukan Allah dengan manusia-manusia yang dekat dengan Allah, baik para nabi, wali, malaikat, atau pepohonan dan bebetuan yang patuh pada Allah tidak berbuat maksiat. Sedangkan orang zaman sekarang menyekutukan Allah dengan manusia yang paling fasik, mereka yang disekutukan dengan Allah dikisahkan melakukan dosa-dosa, seperti zina, 2 Makna Laa Ilaaha Illallaah, Muhammad bin Abd Wahhab, Riyadh: Wizarah Awqaf As-Saudiyah, h. 2 Ibid., h. 4 4 Ibid,, h. 4 3 mencuri, meninggalkan shalat dan lain-lain. Barang siapa yang meyakini (beriman) pada orang saleh atau bahkan yang tidak bisa melakukan maksiat seperti kayu dan batu lebih ringan daripada yang beriman pada orang yang telah ketahuan fasik dan rusaknya.5 Kutipan yang panjang ini menegaskan bahwa kemusyrikan orang yang diperangi oleh Rasulullah Saw lebih ringan daripada kemusyrikan orang zaman Muhammad bin Abd Wahhab (meskipun mereka adalah orang Islam) karena dua sebab, pertama, orang musyrik zaman dulu hanya menyekutukan Allah Swt saat senang saja, kalau mereka susah dan terjepit, hanya menyeru dan memohon pada Allah, sedangkan orang musyrik zaman sekarang, menyekutukan Allah baik saat senang ataupun susah. Kedua, orang dulu mengangkat berhala dari figur-figur yang benar-benar saleh, atau yang tidak akan bisa bermaksiat sama sekali seperti batu dan pohon, sedangkan orang musyrik zaman sekarang mengangkat berhala dari orang yang sudah ketahuan rusaknya dan melanggar agamanya, seperti berzina, mencuri. Klem Kebenaran dan Kemusliman Dalam salah satu surat yang ia kirim ke penduduk Riyadh, Muhammad bin Abd Wahhab menuliskan testimoni tentang dirinya: Aku akan beritahu kalian siapa diriku: demi Allah, tidak tuhan selain Dia, aku telah mencari ilmu, aku yakin siapa yang tahu aku pasti tahu kalau aku memiliki pengetahuan, namun saat itu aku masih tidak tahu mana Laa Ilaaha Illallaah, tidak tahu agama Islam sebelum kebaikan ini yang dilimpahkan pada Allah, juga guru-guruku, tidak ada seorang pun dari mereka yang tahu (makna Laa Ilaaha Illallaah. Barang siapa yang di antara ulama yang mengerti Laa Ilaaha Illallaah atau mengetahui Islam sebelum ini, atau menduga guru-gurunya mengetahui hal ini, maka ia bohong.6 Surat terbuka ini menegaskan bahwa Muhammad bin Abd Wahhab yang paling tahu makna syahadat dan agama Islam, tidak ada orang sebelum dia (baik ulama-ulama), hingga guru-gurunya sendiri tidak tahu. Klem surat ini juga bisa menegaskan bahwa, Muhammad bin Abd Wahhab telah membuat paham tersendiri, yang biasa disebut Wahabi. Dalam risalah-risalahnya kita akan banyak menemukan istilah “orang musyrik zaman kita sekarang” “orang kafir zaman kita sekarang” yang ditujukan pada mereka yang tidak bertauhid sesuai versi dia tauhid uluhiyyah, dan masih melakukan tawassul, tabbarruk (ngalap berkah), istighotsah, dan minta syafaat. Memosisikan Dirinya Seperti Nabi Tanpa disadari, sebenarnya Muhammad bin Abd Wahhab sudah memosisikan dirinya seperti seorang nabi, bahkan melebihinya. Ia telah berani memvonis orang musyrik zaman dia seperi halnya orang musyrik dan kafir zaman Nabi, bahkan lebih buruk dan lebih sesat. Muhammad bin Abd Wahhab menyamakan yang ziarah kubur, tawassul dan tabarruk seperti halnya orang musyrik zaman dulu yang menyembah berhala, bahkan mereka lebih ringan, karena sembahan mereka orang saleh, kalau zaman dia, “sembahan” bisa saja dari orang busuk. Maka dari itu, orang yang tidak mau mengikuti ajaran dan tauhid Muhammad bin Abd Wahhab akan diperangi oleh Muhammad bin Saud setelah sebelumnya Muhammad bin Abd Wahhab mengirimkan surat ke mereka, persis seperti yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. Muhammad bin Abd Wahhab seperti nabi yang bisa memilah mana yang muslim dan kafir, mana yang bisa diperangi. Dan Muhammad bin Saud adalah tentara-tentara yang mengeksekusi fatwanya, menyerang, merampas dan 5 6 Kasyfu Syubahat, Muhammad bin Abd Wahhab, Wizarah Syuun al-Islamiyah wal Awqaf, 1418 H, h. 33-36 Tarikh Najd, Ibn Ghannam, editor: Nasiruddin al-Asad, Cairo: Dar Syuruq, 1994, h. 309-310 membunuh orang yang tidak mau bertauhid sesuai versi Muhammad bin Abd Wahhab. Aliansi Teror: Dinasti Saudi-Wahabi Muhammad bin Abd Wahhab memulai misinya di Harimla, setelah ayahnya yang seorang hakim agama (qadli) di sana wafat, dikabarkan ia memperoleh beberapa pengikut yang tertarik dengan ajarannya, pada periode ini pula ia menulis kitab AtTauhid, namun di tempat ini ia tidak bertahan lama, karena gerakannnya dipersulit dan mau dibunuh. Anda bisa membayangkan bagaimana reaksi orang waktu itu terhadap ajaran Muhammad bin Abd Wahhab yang main tuding musyrik, kafir dan belum sempurna Islam seseorang. Ia pun pindah ke Uyaynah, memperoleh suaka politik dari Utsman bin Mu’ammar seorang pembesar yang memiliki ambisi politik dan melihat potensi Muhammad bin Abd Wahhab yang punya kemampuan mengumpulkan pengikut yang fanatik. Muhammad bin Abd Wahhab menikah dengan bibinya. Di Uyaynah yang sebenarnya kampung halamannya sendiri, Muhammad bin Abd Wahhab “naik daun” ia memperoleh banyak pengikut dan sokongan politik. Ia mulai memaksakan ajaranajarannya dalam aks-aksi, seperti penghancuran makam Zaid bin Al-Khaththab, menebang pohon-pohon yang dituduh disembah, hingga merajam seorang perempuan yang konon telah mengaku kepadanya telah melakukan zina. Inilah cikal bakal gerakan Wahabi yang pertama. Gerakan Wahabi ini mulai menjadi pusat perhatian sekililingnya. Kemunculan, gerakan dan aksinya dianggap sebagai ancaman teror. Seorang pembesar dari Ibn Ghurair dari Al-Hasa menekan Ibn Muammar agar mengusir Muhammad bin Abd Wahhab. Ibn Muammar patuh dan mengusir Muhammad bin Abd Wahhab, karena kalau ia tidak lakukan, tanahtanahnya di Al-Hasa akan dipungut pajak bahkan disampas oleh Ibn Ghurair. Muhammad bin Abd Wahhab pindah ke Dir’iyyah. Perpindahan ini disebut oleh sejarahwan yang simpati pada gerakan Wahabi dan Dinasti Saudi sebagai hijrah. Dir’iyyah adalah Darul Hijrah bagi orang muslim atau ahlu tauhid, para pengikut Muhammad bin Abd Wahhab di Uyaynah juga mengikuti kepindahan Syaikhnya, dan mereka disebut sebagai al-muhajirun—seperti halnya dulu orang Makkah yang mengikuti Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Sejarahwan Wahabi seperti Ibn Bisyr dan Ibn Ghannam menuliskan perjalanan Muhammad bin Abd Wahhab seperti sejarah Nabi Muhammad Saw, seakan-akan peristiwa itu terulang kembali pada zaman itu, dan lawan-lawan mereka adalah orang musyrik pada zaman itu yang sebenarnya adalah orang muslim juga yang tidak mau mengikuti ajaran Muhammad bin Abd Wahhab, namun mereka orang Islam yang dituduh musyrik lebih buruk daripada orang musyrik zaman Nabi Muhammad Saw. Dir’iyyah adalah “Madinah” bagi hijrahnya Muhammad bin Abd Wahhab dan pengikutnya di bawah kepemimpinan Muhammad bin Saud. Seperti halnya Ibn Muammar, Ibn Saud juga melihat potensi pada diri Muhammad bin Abd Wahhab dan gerakan Wahabinya. Ia pun menawarkan perlindungan dan suaka politik. Pada pertemuan pertamanya, yang dilanjutkan baiat (sumpah setia) Muhammad bin Abd Wahhab diceritakan seperti berikut oleh Ibn Ghannam: “Hai Syaikh, sungguh ini adalah agama Allah dan Rasul-Nya, tidak ada keraguan di dalamnya. Maka, kabarkan berita gembira tentang kemenangan untuk mu dan apa-apa yang kamu perintahkan serta jihad (maksudnya perang) bagi siapa pun yang menentang Tauhid (versi Muhammad bin Abd Wahhab), namun aku ingin memberimu dua syarat: (pertama) bila kami bangkit untuk memenangkan (ajaran)mu dan berjihad (berperang) di jalan Allah, dan Allah menaklukkan bagi kami dan kamu negeri-negeri—aku khawatir kamu akan pergi dari kami, atau kamu mengganti kami dengan selain kami dan kedua, aku memiliki aturan atas Di’riyah, aku mengambilnya saat Musim Panen, aku khawatir kamu akan melarang aku mengambil (jatah) dari mereka,” Syaikh menjawab: “Yang pertama, julurkan tanganmu, darah dengan darah, mati satu mati semua, sedangkan yang kedua, semoga Allah membantumu melakukan penaklukanpenaklukan, dan Allah menggantinya dengan harta rampasan yang lebih baik dari mereka.” Muhammad bin Saud pun menjulurkan tangannya, dan Syaikh Muhammad bin Abd Wahhab membaiat setiap padanya.7 Kisah di atas menjelaskan koalisi antara Dinasi Saudi dan Gerakan Wahabi yang bertahan hingga sekarang. Masing-masing menyatakan loyalitas dan saling membantu, namun tidak boleh mencampuri urusan masing-masing. Syaikh tidak boleh melarang aturan yang telah dijalankan oleh Ibn Saud di Di’riyah, aturan itu adalah orang atau suku yang lemah membayar pada suku yang kuat agar mendapatkan perlindungan dari mereka (bahasa sekarang “jatah preman”). Ibu Saud menggunakan pengaruh Muhammad bin Abd Wahhab, bahkan pembenaran untuk melakukan penaklukan ke wilayah sekitarnya dengan dalih menyebarkan tauhid pada orang musyrik. Dan Muhammad bin Abd Wahhab pun berjanji tentang jihad (perang) itu. Inilah koalisi agama dan politik yang saling membantu dan tidak terpisahkan, ibarat dua mata uang. Ibn Saud menyediakan pengaruh politik dan tentaranya, sementara Ibn Abd Wahhab menyediakan pengaruh agama dan fatwa-fatwa keagamaannya untuk ambisi politik Dinasti Saud. Hubungan ini juga diperkuat dengan perkawinan, Abd Aziz, anak Muhammad bin Saud, yang nantinya akan mengganti ayahnya menikah dengan putri Muhammad bin Abd Wahhab.8 Sejarah Berdarah Dinasti Saudi-Wahabi Persis seperti sejarah Nabi Muhammad Saw, Ibn Bisyr menuliskan kisah perang (jihad) yang pertama yang berarti penyerbuan bersenjata yang berasal dari perintah Muhammad bin Abd Wahhab dengan dalih sasarannya adalah mereka yang memusuhi Ahlu Tauhid. Mereka menyerbu beberapa perkambung suku Arab badui, memperoleh harta rampasan dan kembali.9 Maka, penyerangan berdarah yang merupakan koalisi Dinasti Saudi-Wahabi pun dimulai dengan dalih menyebarkan tauhid, memberantas kemusyrikan, dikobarkan jihad fi sabilillah, mereka seperti mengulangi sejarah Nabi Muhammad Saw, melawan musuh-musuhnya orang kafir dan musyrik, tapi yang disebut oleh Dinasti Saudi-Wahabi ini sebenarnya orang Islam juga. Wilayah-wilayah di sekitar Dir’iyyah tidak tinggal diam atas gerakan politik Dinasti Saudi dan Gerakan Wahabi, tidak sedikit yang melawan balik, baik dengan senjata dan juga penolakan ideologi. Seperti yang dilakukan oleh Sulaiman bin Abd Wahhab qadli di Harimla, kakaknya Muhammad bin Abd Wahhab yang menulis buku AsShawa’iq dan memerintahkan seorang bernama Sulaiman bin Khuwaithir untuk menyebarkannya ke Uyaynah. Peristiwa ini direkam oleh Ibn Bisyr dan Ibn Ghannam yang menyebutnya sebagai konspirasi terhadap umat Islam (yakni pengikut Wahabi). Akhirnya Ibn Khuwaithir ditangkap dan dieksekusi oleh pengikut Wahabi.10 Pasukan Saudi-Wahabi terus meneruskan penaklukannya baik pada periode Muhammad bin Saud, Abd Aziz anak dan penggantinya serta menantu Muhammad 7 Ibid., h. 87 Koalisi politik, agama, dan darah antara Keluarga Saudi (Al Saud) dengan Keluarga Syaikh (Al-Syaikh) Muhammad bin Abd Wahhab masih bertahan hingga sekarang. Saat ini yang menjawab sebagai Ketua Dewan Syura (Konsultatif), Mufti Saudi dan Menteri Urusan Islam berasal dari Keluarga Al-Syaikh 9 Unwanul Majd, Ibn Bisyr, editor: Abdurrahman Al-Syaikh, Riyadh: Matbuat Daratul Malik, 1982, Vol. I, h. 45-46 10 Tarikh Najd, h. 108 8 bin Abd Wahhab, yang terkenal memerintahkan menyerang Karbala menghancurkan makam Sayyidina Husain dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib (2 tahun setelah peristiwa itu, Abd Aziz dibunu) dan cucunya: Saud, yang menduduki kota Makkah dan Madinah yang kemudian memaksakan ideologi Wahabi diterapkan pada ulamaulama di Haramain. Pembantaian Periode-periode itu adalah masa-masa berdarah koalisi Saudi-Wahabi, dimulai dari penyerangan dan pembunuhan terhadap pemimpin-pemimpin di daerah-daerah sekitar Dir’iyyah, mulai dari penyerbuan ke Tsarmada dan membunuh 70 orang yang disebut sebagai “orang murtad” (menentang kelompok Wahabi)11, penyerangan ke Riyadh, Harimla, dan lain-lainnya. Menurut penuturan Ibn Bisyr saat Abd Aziz menaklulan Riyadh pada Musim Panas tahun 1187 H, penduduknya laki-laki, perempuan dan anak-anak lari ke bukit-bukit, banyak dari mereka yang mati kelaparan dan kehausan, Abd Aziz pun meneruskan penaklukan, memerangi dan mengambil rampasan perang.12 Ibn Ghannam menceritakan Saud, anak Abd Aziz saat menaklukkan Al-Qathif dan Al-Hasa tahun 1206-1207 H membantai 1500 orang.13 Dalam pertempuran Raqiqah tahun 1210 H, Saud membunuh 300 orang dari sebuah dusun agar menjadi pelajaran bagi dusun-dusun yang lain agar tidak menentang pasukannya.14 Pengrusakan dan Pembantaian di Karbala Pengrusakan terbesar Dinasti Saudi-Wahabi adalah Karbala tahun 1216 H/1801 M, seperti yang dicatat oleh Ibn Bisyr, Saud yang memimpin pasukan, membunuh warga Karbala baik di rumah-rumah dan di pasar-pasar, menghacurkan makam Sayyidina Husain, dan merampas barang-barang berharga dari makam itu, permata, batu-batu mulia, mereka juga merampas semua barang dari Karbala, senjata, pakaian, karpet, perak, emas. Mereka juga membantai tidak kurang dari 2000 orang. Setelah menunaikan misinya, Saud pergi dari Karbala dengan membawa rampasan perang, ia memperoleh 1/5 bagian dan sisanya dibagikan kepada “orang Islam” yakni pasukannya bagi pasukan infantri satu bagian, sementara pasukan kavaleri mendapat dua bagian.15 Saat Saud akan menduduki kota Makkah, ia mengirimkan surat, yang nadanya penerimanya adalah orang non-muslim, seperti halnya gaya bahasa Rasulullah Saw terdahulu mengirimkan surat pada Ahlul Kitab—assalamu ala man ittaba’al huda bukan assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh, kemudian ia mengutip ayat 64 surat Ali Imran, Ya Ahlal Kitab—hai orang Ahlul Kitab.16 Jadi ia memahami bahwa ulama-ulama Makkah dan para pembesarnya saat itu adalah orang Kristen, Yahudi, atau agama lain! Ketika ia berhasil menduduki Muharram 1218, setelah pertempuran yang berdarah, meminta penduduk berkumpul di Masjidil Haram, ia pun berkhutbah dengan meminta baiat dari mereka secara paksa dan menegaskan ideologi baru, yakni tauhid Wahabi yang harus mereka patuhi, menjauhi tradisi syirik dan mengutip hadits Nabi yang disebutkan dalam kitab Tauhid Muhammad bin Abd Wahhab, menjelang Kiamat akan ada umat Islam yang mengikuti kaum musyrik dan menyembah berhala. 11 Ibid., h. 102 Unwanul Majd. Vol I, h. 120 13 Tarikh Najd, h. 182-183 14 Unwanul Majd, h. 216 15 Ibid., h. 257-258 16 Ibid., h. 261 12 Setelah itu, Pasukan Saudi-Wahabi menghancurkan monumen kelahiran Nabi, Abu Bakar, Imam Ali, dan Sayyidah Khadijah yang mereka tuduh sebagai “berhalaberhala yang disembah selain Allah” setelah itu Saud mengirimkan surat ke Sultan Turki bahwa ia telah menghancurkan agama berhala. Saud digantikan Abdullah yang menjadi raja terakhir Dinasti Saudi Pertama, setelah ibu kotanya Dir’iyyah dihancurkan pasukan Dinasti Turki Utsmani di bawah komando Ibrahim Pasha, anak gubernur Mesir, Muhammad Ali Pasha pada tahun 1818. Pada Periode Dinasti Saudi Kedua, tidak ada hal yang penting diceritakan, karena periode ini mencatat perebutan kekuasaan dan pembunuhan internal dalam Dinasti Saudi. Dinasti Kedua yang didirikan oleh Turki Al Saud, dibunuh oleh keponakannya sendiri, Musyari, dan nantinya anak Turki, Faisal, membunuh Musyari untuk merebut kekuasaan ayahnya. Pada periode ini, Gerakan Wahabi yang diwakili Keluarga AlSyaikh (Keturunan Syaikh Muhammad bin Abd Wahhab) bersikap pragmatis, siapapun yang menjadi pemimpin, meskipun dengan cara memberontak dan membunuh pemimpin sebelumnya, mereka akan berbaiat. Raja Abd Aziz Ibn Saud dan Kebangkitan Wahabi Modern Abd Aziz (Ibn Saud) memproklamirkan Kerajaan Arab Saudi tahun 1932 karena tiga dukungan. Pertama, keturunan dari Dinasti Saudi dan kemampuannya mempersatukan dengan pemaksaan terhadap kabilah-kabilah di Najd, kedua, bantuan milisi Wahabi yang disebut al-Ikhwan, ketiga, bantuan Inggris melalui Kesepakatan Darin 1915. Yang menarik diceritakan di sini adalah Kelompok Milisi Ikhwan yang sengaja diciptakan oleh Ibn Saud sebagai pasukan yang siap mati untuk berjihad di jalan Allah. Kelompok ini bermula dari binaan seorang syaikh wahabi yang berpengaruh Abd Karim al-Maghribi yang berkeliling ke suku-suku Badui untuk mengajar mereka ke Darul Hijrah, di perkampungan yang ia asuh bernama Al-Arthawiyah. Mereka dididik dengan ideologi Muhammad bin Abd Wahhab, namun Ibn Saud memiliki kepentingan khusus, dengan mempersenjatai mereka. Milisi Ikhwan ini dipakai saat menaklukkan Al-Hasa 1913, ini pertempuran pertama milisi Ikhwan melawan “orang kafir”. Milisi Ikhwan semakin populer, sehingga suku-suku badui yang lain pun bergabung. Kelompok Ikhwan semakin radikal dalam ideologi, mereka semakin berambisi menegakkan agama Allah dengan menaklukkan wilayah-wilayah sekitarnya. Sedangkan Ibn Aziz sudah memiliki kesepakaan dengan Inggris dan menetapkan wilayah kekuasaannya. Tapi Ikwan ingin memperluas jajahannya. Dari mitra menjadi musuh inilah akhir hubungan Ibn Saud dan kelompok Ikhwan. Kalau tidak karena bantuan Inggris, mungkin saja Ibn Saud sudah kehilangan kekuasaanya. Milisi Ikhwan ditaklukkan pada perang Sabilla tahun 1929. Dua tokohnya Sultan bin Bajad al-Utaibi dan Faishal Al-Duwais berhasil dilumpuhkan. Namun kelompok Ikhwan ini kembali bangkit pada tahun 1979 saat cucu Sultan, Juhaiman Al-‘Utaibi memimpin gerakan bersenjata yang menyandera Makkah. Ibu Saud mulai berfikir mengebiri gerakan Wahabi, melakukan demiliterisasi dan “deradikalisasi”. Misalnya, setelah itu tidak ada yang boleh berfatwa, apalagi mengkafirkan sikap politiknya, kecuali berdasarkan dewan ulama yang ia bentuk di bawah mertuanya, Abdullah bin Abd Lathif Al-Syaikh yang masih keturunan Syaikh Muhammad bin Abd Wahab. Mulai saat itu, Keluarga Al-Syaikh dan keturunannya kembali menjadi referensi paham Wahabi yang resmi bagi Kerajaan Saudi. Paham Wahabi kini praktis mengabdi dan menjadi stempel bagi kebijakan politik Dinasti Saudi. Terkadang mereka melakukan kritik, namun tidak wajib diikuti, bahkan mereka harus tersingkir. Ada cerita, seorang imam masjid Riyadh membaca ayat 120 surat al-Baqarah—wa lan tardla ankal yahudu wa lan nasharaa... tidak akan pernah rela orang Yahudi dan Kristen kepadamu.. Dan saat itu Raja Ibu Saud menjadi makmum. Imam ingin menyindir kebijakan rajanya yang berkoalisi dengan Amerika dalam mengelola minyak. Sang Raja merasa tersindir, belum sempat imam shalat menyelesaikan bacaannya, Raja memukul tengkuknya, kemudian Raja meninggalkan jamaah sambil berteriak membaca surat al-Kafirun, Qul Yaa Ayyuhal Kafiruun...17 Syaikh bin Baz pernah melakukan kritik terbuka saat pada kebijakan Raja Ibn Saud saat menjadi hakim agama di al-Haraj tahun 1944—“Raja telah berkhianat, menjual negerinya kepada orang asing bla bla....” Raja memanggil Bin Baz dalam sebuah sidang di istana yang dihadiri pembesar kerajaan, para ulama dan anggota mahkamah agung. Raja Ibn Saud mendebat Bin Baz bahwa yang ia lakukan juga pernah dilakukan Rasulullah Saw saat yang meminta bantuan orang non muslim untuk kemaslahatan negerinya. Pendapat Raja diamini oleh para ulama dan Mahkaman Agung, Bin Baz terpojok. Raja pun berkata “Kau terbukti salah, para ulama sudah memberikan fatwanya, kalau kau tidak minta maaf dalam 24 jam, aku akan potong lehermu!”18 Demikianlah politik Raja Ibn Saud menggunakan agama untuk kepentingan politiknya, dari kelompok milisi Ikhwan hingga dewan ulama yang dia politisir. Saat Kerajaan Arab Saudi terpojok dengan isu radikalisme, maka ulama pun mengeluarkan fatwa. Pada tahun 1979 Juhaiman al-Utaibi menduduki kota Makkah dan Masjidil Haram, ulama pun mengeluarkan fatwa kelompok Juhaiman adalah khawarij, murtad yang harus diperangi. Demikian pula saat Perang Teluk tahun 90an, di mana Saudi harus berkoalisi dan menjadi tempat bagi militer Amerika Serikat. Ada beberapa ulama yang mengajukan keberatan. Raja Fahd mengangkat Bin Baz sebagai mufti untuk menjadi “bamber”. Setelah Bin Baz wafat tahun 1999, diangkat Abd Aziz bin Abdullah Al-Syaikh menjadi mufti. Dan kembalilah keluarga Al-Syaikh menjabat mufti Saudi yang memang menjadi tradisi keluarga mereka sejak era Muhammad bin Abd Wahhab. Dalam hubungannya dengan Rejim Dinasti Saudi, Wahhabi memiliki tiga varian: Pertama, loyalis kerajaan dan tukang stempel kebijakannya. Hal ini ditunjukkan oleh Keluarga Al-Syaikh yang menempati posisi penting di Kerajaan Arab Saudi, seperti Mufti Utama, Ketua Majelis Syura, dan Menteri Urusan Islam. Mereka adalah penafsir yang otoritatif dan resmi soal pemikiran Wahabi. Semua kitab yang berkaitan dengan ajaran Wahabi, khususnya tentang Muhammad bin Abd Wahhab harus lulus sensor dan diberi pengantar dari Keluarga al-Syaikh ini. Loyalis kelompok ini pula seperti Bin Baz yang menjadi benteng bagi kebijakan-kebijakan politik Kerajaan. Ia mengeluarkan fatwa-fatwa penting soal larangan mengafirkan pemimpin Islam dan larangan mengkritik kebijakan politik secara terbuka. Kritik menurutnya harus disampaikan secara rahasia kepada pemimpin. Dan ini memang sikap politik resmi Muhammad bin Abd Wahhab sejak dulu. Saat muncul desakan reformasi dan demokrasi di Arab Saudi, ulama-ulama varian ini pun mengeluarkan fatwa bahwa demokrasi haram dan bentuk kesyirikan karena bertentangan dengan syariat Islam. Kedua, kelompok oposisi politik, yang terbagi jadi dua bagian: (1) bersenjata, seperti Kelompok Juhaiman al-Qutaibi dan “Saudi-Afghan” yang sebelumnya dipakai oleh rejim Saudi untuk membantu mujahidin Afghanistan melawan Uni Soviet. Peristiwa ini mirip milisi Ikhwan yang pada era Raja Ibn Saud dipakai, kemudian dihancurkan 17 18 As-Su’udiyun wal Hall al-Islami, Muhammad Galal Kisyk, MA: Halliday, 1982, h. 429 Ibid., h. 65-64 setelah berani menentang. “Saudi-Afghan” yang kemudian membentuk Al-Qaidah mulai mengafirkan pemimpin Arab Saudi dan melakukan teror di wilayah Arab Saudi sendiri, menentang pangkalan militer Amerika Serikat di Arab Saudi. Kelompok ini dilawan oleh fatwa-fatwa ulama Wahabi yang menjadi loyalis Rejim Saudi. (2) non-bersenjata yang menginginkan reformasi dan suksesi di Arab Saudi. Tokoh kelompok ini adalah Dr Muhammad Al-Massari yang mendirikan Parpol Tandzim Tajdid Islami, ia pernah menjadi anggota Hizbut Tahrir yang sekarang memperoleh suaka politik di Inggris sejak tahun 1996. Ketiga Oposisi kritik tanpa ada niat kekuasaan. Tokoh ini adalah Syaikh Hasan bin Farhan al-Maliki. Ia melakukan kritik-kritik terhadap ideologi kelompok salafi, khususnya pemikiran Ibn Taimiyah dan Muhammad bin Abd Wahhab. Pada bulan Oktober 2014 ia ditangkap dan dipenjara. Penangkapannya tanpa pengadilan mengundang respon keras dari dunia internasional. Kitab-kitab karangannya mengundang kontroversi di Saudi Arabia, karena ia menentang keras ideologi Wahabi.