pemagangan kognitif guru sekolah menengah kejuruan

advertisement
1
PEMAGANGAN KOGNITIF
GURU SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
Abdul Muis Mappalotteng
Jurusan Pendidikan Teknik Elektro, FT UNM Makassar
ABSTRAK
Guru yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan
terutama guru yang akan mengajar di sekolah menengah kejuruan (SMK)
belum banyak memiliki pengalaman. Mereka masih perlu mendalami
pengetahuan dan keterampilan untuk dapat mengajarkannya kepada
siswanya. Karakteristik siswa, dan arah tujuan dari pendidikan kejuruan
menuntut guru memiliki pengalaman dan keterampilan yang memadai,
sesuai tuntutan dunia kerja (industri).
Untuk hal ini, salah satu bentuk pemberian pengalaman dan keterampilan
yang memungkinkan dilakukan secepatnya adalah dengan pemagangan
kognitif, magang kepada guru-guru yang telah memiliki pengalaman dan
keterampilan yang ada di sekolah tersebut. Salah satu bentuk
pemagangan ini banyak diungkap oleh Lev Vykotsky, seorang psycholog
Rusia. Pemagangan terhadap Guru-Guru sangat penting artinya, karena
dia harus mampu menjelaskan keadaan yang ada di dunia kerja.
A. Latar Belakang
Jumlah sekolah dari tahun ke tahun terus bertambah, baik sekolah menengah
umum, maupun sekolah menengah kejuruan. Pertambahan jumlah sekolah ini
khususnya di tingkat SMK dalam 10 tahun terakhir (kurung waktu 1998-2007)
mengalami peningkatan hingga 100%. Dari jumlah awal sekitar 3971, saat ini
menjadi 6746 SMK (BPS, 2008). Pertumbuhan tersebut tentunya menuntut
penyediaan guru SMK yang memadai. Guru yang dibutuhkan untuk setiap
penambahan sebuah SMK diperkirakan mencapai 10 orang, maka perkembangan
2
fasilitas pendidikan yang berkisar 3000 an, membutuhkan guru sebanyak 30000 an
orang guru.
Disadari semua, bahwa pembentukan guru, khususnya untuk SMK tidak
semudah yang dibayangkan. Mereka akan terjung langsung, dan dituntut memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Mereka harus memiliki pengalaman
kerja di dunia kerja, dimana siswa mereka nantinya bekerja. Karakteristik inilah yang
membuat banyak persoalan yang harus dihadapi baik oleh guru, SMK, maupun
pemerintah.
Jalan pintas seperti memberikan kesembatan bagi calon guru untuk praktek di
industri, dirasakan belumlah cukup untuk member bekal bagi calon guru tersebut
memberikan ilmunya kepada calon-calon pekerja. Mereka dituntut lebih menguasai
apa yang ada didunia industri. Dalam kaitannya dengan permasalahan ini, konsep
yang pernah diungkapkan oleh Lev Vygotsky (Abu Bockarie, 2003 Abdul Muis,
2008) nampaknya layak untuk dikaji kembali. Mereka harus memanfaatkan guru
yang lebih senior dan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk belajar
memberikan pengalaman kognitik bagi dirinya.
Selanjutnya SMK merupakan salah satu bentuk pendidikan kejuruan yang ada
di Indonesia. Pendidikan kejuruan ini memiliki konsep, karakteristik, dan prinsip
yang membedakan dengan sekolah umum seperti SMK. Dalam kaitan dengan
pemagangan kognitif guru SMK, maka perlu dikaji berdasarkan konsep, karakteristik,
serta prinsip pendidikan kejuruan yang kemudian dikaitkan konsep pemagangan
kognitif yang dikemukakan oleh Lev Vygotsky.
B. Konsep pendidikan kejuruan
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) nomor 20
tahun 2003 pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik terutama untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu dan siap pula melanjutkan
3
ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan kejuruan menurut Djojonegoro
(1998: 34) adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didiknya untuk memasuki
lapangan kerja.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat dikemukakan bahwa pendidikan
kejuruan adalah pendidikan yang diselenggarakan bagi para peserta didik yang
mempersiapkan dan mengembangkan karirnya pada bidang keahlian tertentu untuk
bekerja secara produktif dan profesional dan juga siap melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
Tujuan pendidikan kejuruan adalah mempersiapkan peserta didik sebagai
calon tenaga kerja dan mengembangkan eksistensi peserta didik, untuk kepentingan
peserta didik, masyarakat, bangsa dan negara (Djojonegoro, 1998). Tujuan
pendidikan kejuruan menurut Evans dalam Slamet (1995: 2) adalah untuk (1)
memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kerja; (2) meningkatkan pilihan
pendidikan bagi setiap individu; (3) melayani sebagai dorongan motivasi untuk
meningkatkan semua jenis pembelajaran.
Pendidikan kejuruan sebagai salah satu jenis pendidikan memiliki dasar
filosofi pendidikan yang kuat. Miller dalam Slamet (1995: 5) mendefinisikan filosofi
sebagai berikut: “philosophy is defined as conceptual framework for synthesis and
evaluation that represents a system of value to serve as basis for making decisions
that project vocational education’s future”
Definisi ini juga berlaku terhadap pendidikan kejuruan, yang jika
disederhanakan filosofi pendidikan kejuruan adalah cara pandang terhadap
pendidikan kejuruan. Sampai saat ini, paling tidak ada 5 filosofi pendidikan, antara
lain: perennialism, essentialism, progressivism/reconstructionism, existentialism, dan
behavioral engineering. Setiap filosofi ini mempunyai asumsi sendiri-sendiri tentang
nature of people, truth, and values, sehingga hal ini menimbulkan perdebatan dalam
pendidikan kejuruan tentang tujuannya, isinya (apa yang harus diajarkan), dan
bagaimana cara mengajarkan apa tersebut (Slamet, 1995: 5). Tentu saja tidak dapat
mengajarkan apa saja dan oleh karenanya apa yang akan diajarkan harus dipilih.
4
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, bahwa apa yang diajarkan kepada
peserta didik didasarkan 4 konsep: (1) ajarkan sesuatu yang belum diajarkan diluar
sekolah, (2) pengajaran didasarkan atas permintaan budaya umum dimana pembelajar
akan hidup kelak; (3) ajarkan konsep umum; (4) setiap pembelajar harus memahami,
mampu mengontrol, dan confident dalam lingkungannya. Finch (1984) berpendapat
bahwa pendidikan harus berisi education for a living and education for earning a
living. Sedangkan Slamet (1995: 5) berpendapat bahwa apa yang diajarkan perlu
memuat pembudayaan nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma bangsa, penyerapan
budaya asing yang baik dan berguna, dan penciptaan perubahan (transformasi).
Pendidikan kejuruan tidak hanya berdasarkan pada filosofi tetapi juga berdasarkan
pada prinsip.
Karakteristik dari pendidikan kejuruan menurut Djojonegoro (1998) adalah
sebagai berikut: a) pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan peserta
didik memasuki lapangan kerja; b) pendidikan kejuruan didasarkan atas “demanddriven” (kebutuhan dunia kerja); c) fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada
penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia
kerja; d) penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan peserta didik harus pada
pendidikan kejuruan; f) pendidikan “hand-on” atau performa dalam dunia kerja;
e) hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci sukses kejuruan yang
baik adalah responsif dan antisipatif terhadap kemajuan teknologi; g) pendidikan
kejuruan lebih ditekankan pada “learning by doing” dan “hand-on experience”; h)
pendidikan kejuruan memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktek; i)
pendidikan kejuruan memerlukan biaya investasi dan operasional yang lebih besar
daripada pendidikan umum.
Charles Prosser mengemukakan bahwa ada 16 prinsip pendidikan kejuruan
yakni (Slamet, 1994):
a. Pendidikan kejuruan akan efisien apabila disediakan lingkungan yang
sesuai dengan kondisi nyata dimana lulusan akan bekerja;
5
b. Latihan kejuruan akan efektif apabila diberikan tugas atau program sesuai
dengan apa yang dikerjakan kelak. Demikian pula fasilitas atau peralatan
beserta proses kerja dan operasionalnya dibuat sama dengan kondisi nyata
nantinya;
c. Pendidikan kejuruan akan efektif bilamana latihan dan tugas yang
diberikan secara langsung dan spesifik (dalam arti mengerjakan benda
kerja sesungguhnya, bukan sekedar tiruan);
d. Pendidikan kejuruan akan efektif bilamana dalam latihan kerja atau dalam
pengerjaan tugas sudah dibiasakan pada kondisi nyata nantinya;
e. Pendidikan kejuruan akan efektif bilamana program-program yang
disediakan adalah banyak dan bervariasi meliputi semua profesi serta
mampu dimanfaatkan atau ditempuh oleh peserta didik;
f. Latihan kejuruan akan efektif apabila diberikan secara berulang kali hingga
diperoleh penguasaan yang memadai bagi peserta didik;
g. Pendidikan kejuruan akan efektif bila para guru dan instrukturnya
berpengalaman dan mampu mentransfer kepada peserta didik;
h. Pendidikan kejuruan akan efektif bilamana mampu memberikan bekal
kemampuan minimal yang dibutuhkan dunia kerja (sebagai standar
minimal profesi), sehingga mudah adaptif dan mudah pengembangannya;
i. Pendidikan kejuruan akan efektif apabila memperhatikan kondisi pasar
kerja;
j. Proses pemantapan belajar dan latihan peserta didik dalam pendidikan
kejuruan akan efektif apabila diberikan secara proporsional;
k. Sumber data yang dipergunakan untuk menentukan program pendidikan
didasarkan atas pengalaman nyata pekerjaan di lapangan;
l. Pendidikan kejuruan memberikan program tertentu yang mendasar sebagai
dasar
kejuruannya
pengembangannnya;
serta
program
lain
sebagai
pengayaan
atau
6
m. Pendidikan kejuruan akan efisien apabila sebagai lembaga pendidikan yang
menyiapkan SDM untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja tertentu dan
dalam waktu tertentu;
n. Pendidikan
kejuruan
dapat
dirasakan
manfaatnya
secara
sosial
kemasyarakatan termasuk memperhatikan hubungan kemanusiaan dan
hubungan dengan masyarakat luar dunia pendidikan;
o. Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien apabila bersifat fleksibel
dan tidak bersifat kaku;
p. Walaupun pendidikan kejuruan telah diusahakan dengan biaya investasi
semaksimal mungkin, namun apabila sampai dalam batas minimal tersebut
tidak efektif, maka lebih baik penyelenggaraan pendidikan kejuruan
dibatalkan.
Apa yang harus guru ajarkan tentunya guru sudah harus menguasainya, untuk
dapat menguasainya guru harus memiliki pengalaman yang cukup, baik sebagai guru
maupun sebagai orang yang terlibat langsung dalam dunia industri. Karena
pengajaran yang baik, ditinjau dari konsep, tujuan, karakteristik dan prinsip
pendidikan kejuruan adalah jika yang mengajarkan telah mengetahui apa yang
diajarkan, memiliki pengalaman langsung di dunia kerja. Pendidikan kejuruan akan
efektif bila para guru dan instrukturnya berpengalaman dan mampu mentransfer
kepada peserta didik.
C. Pemagangan Kognitif
Salah satu konsep pemagangan, dikemukakan oleh Lev Vygotsky. Mengacu
pada teori perkembangan yang dikemukakannya, dimana Vygotsky menekankan pada
penggabungan kognitif dan sosial. Perkembangan sesorang bergantung kepada
bagaimana interaksinya dengan orang-orang disekitarnya. Hal ini yang menjadi alat
7
penyampaian sesuatu budaya yang membantu mereka membina pandangan tentang
sekelilingnya.
Dalam teori yang dikembangkan oleh Lev Vygotsky (Vygotsky, 1971),
setidaknya ada empat prinsip dasar dalam pembelajaran, yakni:
1) the sosiocultural of learning, yakni penekanan pada hakekat sosio-kultural
pada pembelajaran.
2) zone of proximal development, Zona perkembangan terdekat,
3) cognitive apprenticeship,Pemagangan kognitif.
4) scaffolding, perancahan.
Pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship), menurut Vygotsky adalah
suatu proses dimana seseorang belajar setahap demi setahap akan memperoleh
keahlian dalam interaksinya dengan orang lain yang memiliki keahlian yang lebih.
Seorang ahli bisa orang dewasa atau orang yang lebih tua atau teman sebaya yang
telah menguasai permasalahannya.
Seorang guru kejuruan, yang dituntut memiliki pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang baik harus aktif dalam mencari pengalaman, pengetahuan, dan
keterampilan tersebut. Pemagangan kognitif menjadi salah satu jalan bagi guru untuk
mendapatkan pengetahuan tersebut. Pembelajaran setahap-demi setahap yang
dilakukan oleh guru tidak haru ditempuh melalui pendidikan formal, tetapi dapat
dilakukan melalui pembelajaran tahap demi tahap melalui seseorang yang lebih ahli
dalam bidang tersebut. Seseorang ini bukan hanya orang yang lebih tua, atau lebih
senior, tetapi mungkin dapat saja terjadi dengan teman sebaya. Guru lain yang
memiliki keahlian, dapat memberikan pengetahuannya kepada rekan sesama guru.
Sehingga proses pemagangan kognitif dapat terjadi seiring dengan proses
pembelajaran yang berlangsung di sekolah.
D. Pemagangan Kognitif Guru SMK
Arti kata magang, dalam kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai
calon pegawai yang belum diangkat secara tetap serta belum menerima gaji atau upah
8
karena dianggap masih dalam taraf belajar. Secara yuridis, masalah magang telah
diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya
pasal 21 – 30. Namun disini istilah pemagangan kognitif seperti dasar yang
digunakan mengacu pada teori perkembangan manusia yang dikemukakan oleh Lev
Vygotsky. Jadi pemagangan yang dimaksud adalah bagaimana seseorang belajar
tahap-demi tahap dari orang yang berada disekelilingnya. Jika ia ditempatkan di
industri, maka ia akan belajar kepada orang-orang yang ada di industri dimana dia
berada. Magang guru dapat membuat relevansi kompetensi keahlian guru, khususnya
guru produktif dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada di dunia
kerja. Jika magang itu dilakukan di dunia kerja, maka magang bagi guru SMK dapat
mengamati secara nyata, kompetensi seperti apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja
tersebut. Magang juga tak kalah pentingnya dapat meningkatkan kompetensi guru itu
sendiri, sehingga dapat mengajarkan kepada siswanya dengan lebih baik.
Hal ini karena tamatan SMK yang diharapkan seyogyanya adalah orang-orang
yang kompeten, dan profesional di bidangnya. Mampu bersaing dengan calon tenaga
kerja tamatan sekolah lainnya. Salah satu indicator keberhasilan SMK, diukur
berdasarkan seberapa banyak lulusan dapat bekerja di dunia kerja atau dapat
menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat lainnya.
Bila guru melaksanakan magang, baik di industri maupun dengan rekan
sesama guru, dia dapat melihat prosedur kerja yang benar, keterampilan yang
dibutuhkan dan pengetahuan yang diperoleh. Guru tidak menebak lagi bagaimana
sebenarnya untuk mencapai kompetensi yang dibutuhkan peserta didik tersebut. Dari
pemagangan yang dilakukan tersebut, guru akan dapat mengatasi masalah jika terjadi
dalam mengerjakan tugasnya. Mungkin, selama ini guru menggali pengetahuan, sikap
dan keterampilan hanya dengan membaca buku, searching internet, baca di
perpustakaan tanpa mengalami langsung seperti apa yang dialami oleh guru
seniornya.
9
E. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni:
Pemagangan kognitif guru SMK dapat membantu terutama guru-guru baru. Dengan
model pemagangan ini, seorang guru akan dibimbing tahap demi tahap oleh guru
senior yang ada di sekolah itu, atau dibimbing oleh trainer yang ada di industri.
Melalui pemgangan tersebut, guru memperoleh pengalaman langsung, kegiatan yang
dilakukan oleh guru senior atau pengalaman langsung. Pemagangan kognitif yang
dilakukan oleh guru menekankan pada aspek kognitif dan sosial.
Daftar Pustaka
Abdul Muis Mappalotteng. (2008). Sumbangan Vigotsky's Terhadap Pemahaman
Pemagangan Kognitif Sebagai Suatu Proses Pengembangan Pendidikan
Vokasi Orang Dewasa Di Era Global. Seminar Nasional Pendidikan Dengan
Tema Meningkatkan Kualitas Pendidikan Untuk Membangun Insan Indonesia
Cerdas Dan Kompetitif Diselanggarakan Oleh Lembaga Penelitian Dan Fkip
Unila Lampung, Tanggal 26 Januari 2008.
Abu Bockarie. (2003). The Potential of Vygotsky’s Contribution to our
understanding of Cognitive Appreticeship as A Proceess of Developmental in
Adult Vocational and Technical Education Journal of Career and Technical
Educational.
Volume
19,
Nomor
1
Tahun
2003.
akses
http://www.Scholar.lib.vt.edu/ejournals/jcte, tanggal 1 Desember 2004.
Anonim. (2007). UUSPN No. 20 tahun 2003. Jakarta: Sekretariat Negara
Anonim. (2007). Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Jakarta: Sekretariat Negara
BPS. (2008). Indonesia dalam Angka. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Djojonegoro, Wardiman. 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui
Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Depdiknas
Joy A. Palmer (2003). Fifty modern thinkers on education: from Piaget to the present.
Terjemahan oleh Farid Assifa. Yogyakarta: Jendela.
10
Leinhardt, G. (1993) What research on learning tells us about teaching. In K.N.
Cauley; F. Linder, JH.McMillan (Eds.), Annual editions: Educational
Psychology 93/94. Guilford, CT: Dushkin.
Muhammad Nur dan Prima Retno Wikandari. (2000). Pengajaran berpusat kepada
siswa dan pendekatan konstrukktivis dalam pengajaran. Surabaya: Pusta studi
Matematika dan IPA Sekolah Universitas Negeri Surabaya.
Kozulin, A., dan Presseisen, B.Z. (1995). Mediated learning experinece and
psycologist tools: Vygotsky’s and Feurstein’s perpectives in a study of student
learning. Educational Psychologist, 30, 67-75.
Slamet PH. (1995). Kumpulan tulisan dan makalah. Yogyakarta: PPS IKIP
Yogyakarta.
Vygotsky. (1971). Psychology of Arts. New York: MIT Press
Download