model sebaran panas air kanal pendingin instalasi - Digilib

advertisement
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
ISSN 1410-6086
MODEL SEBARAN PANAS AIR KANAL PENDINGIN INSTALASI
PEMBANGKIT LISTRIK KE BADAN AIR LAUT
Chevy Cahyana
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
ABSTRAK
MODEL SEBARAN PANAS AIR KANAL PENDINGIN INSTALASI PEMBANGKIT
LISTRIK KE BADAN AIR LAUT. Pengoperasian suatu instalasi pembangkit listrik tenaga termal, baik
yang berbahan bakar batubara, minyak bumi maupun energi nuklir, umumnya menggunakan air laut sebagai
pendingin. Air pendingin yang masuk kembali ke laut memiliki temperatur di atas temperatur ambien air laut.
Masuknya limbah air panas dari kanal pendingin ke laut (thermal pollution) dalam jumlah besar dapat
memberikan dampak negatif bagi kehidupan biota laut di sekitarnya. Pengkajian tentang pola sebaran polutan
panas dari kanal pendingin pembangkit listrik perlu dilakukan untuk dapat mengetahui luas daerah yang
terkena dampak dan berapa besar perubahan temperatur yang terjadi. Simulasi sebaran panas di laut
dilakukan dengan mengasumsikan pembangkit listrik tenaga nuklir dengan kapasitas 7000 MWe beroperasi
di Semenanjung Muria Jepara sebagai calon tapak PLTN di Indonesia. Hasil simulasi menunjukkan
temperatur sebesar 34-360C menyebar sejauh 115 m, sementara temperatur sebesar 31-330C menyebar sejauh
1048 m dari outlet kanal pendingin.
Kata kunci: instalasi pembangkit tenaga thermal, sebaran polutan panas
ABSTRACT
HEAT DISPERTION MODEL OF COOLING CANAL WATER ON ELECTRICAL POWER PLANT
INSTALLATION TO SEA WATER. The operation of a thermal power plant, including coal-fired, oil and
nuclear energy, use sea water as coolant. Cooling water back into the sea has a temperature above the
ambient temperature of sea water. The entry of warm water waste from the cooling canal to the sea (thermal
pollution) in large quantities may cause negative impact on marine biota around the canal outlet. Assessment
of heat pollutant dispersion pattern from power plant cooling canal needs to be done in order to know the
area affected and how much the temperature changes that occur. It is assumed that 7000 MWe nuclear power
plant is operated to simulate heat dispersion to ocean water body at Muria peninsula, Jepara as a candidate
site of nuclear power plant at Indonesia. The simulation results show that 34-360C temperature disperse
along 115 meters, meanwhile 31-330C temperature disperse along 1048 meters from cooling canal outlet.
Keywords: thermal power plant, heat dispertion, thermal polution
PENDAHULUAN
Pengoperasian
suatu
instalasi
pembangkit listrik, baik yang berbahan
bakar batubara, minyak bumi maupun energi
nuklir, umumnya menggunakan air laut
sebagai pendingin. Air laut yang telah
digunakan sebagai pendingin ini dibuang
kembali ke laut. Untuk menurunkan
temperatur, sebelum dibuang kembali ke
laut, air pendingin dialirkan melalui suatu
kanal pendingin (cooling channel). Namun,
air pendingin yang masuk kembali ke laut
tetap memiliki temperatur di atas temperatur
ambien air laut.
Masuknya limbah air panas dari kanal
pendingin ke laut (thermal pollution) dalam
jumlah besar dapat memberikan dampak
negatif bagi kehidupan biota laut di
sekitarnya. Hanya ikan, krustasea dan
moluska yang dapat bertahan terhadap
temperatur yang tinggi dan dapat hidup
dalam lingkungan yang panas. Temperatur
tertinggi yang dapat ditoleransi oleh ikan
adalah 38,10C, krustasea 37,90C dan
moluska 36,70C [1].
Secara kimia kenaikan temperatur
berpengaruh terhadap kecepatan reaksi
dimana reaksi pada kondisi yang setimbang
akan berubah sejalan dengan perubahan
temperatur. Kecepatan reaksi akan naik
sekitar duakalinya untuk setiap kenaikan
100C. Banyak reaksi yang mempengaruhi
kualitas air yaitu reaksi biokimia di sekitar
pusat aktivitas mikroba. Rasa dan bau terjadi
pada air yang hangat karena terjadinya
penurunan kelarutan terutama gas H2S, SO2,
CH4, SOx [2].
Penyebaran temperatur di badan air
akan dipandang sebagai penyebaran material
yang konservatif yang tidak mengalami
peluruhan oleh proses kimia dan biologi di
dalam air, jadi perubahahan temperaturnya
hanya disebabkan oleh proses fisis saja [3].
Proses fisis tersebut berupa adveksi, difusi,
293
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
konduksi dan konveksi. Proses adveksi dan
difusi terjadi pada badan air laut, sedangkan
proses konduksi dan konveksi terjadi pada
batas air dan udara. Adveksi adalah proses
perpindahan panas sebagai akibat dari
adanya aliran. Difusi adalah proses
perpindahan panas berupa rambatan dari air
dengan temperatur tinggi ke air dengan
temperatur yang lebih rendah. Biasanya
permukaan laut lebih panas dari udara di
atasnya sehingga terdapat sejumlah panas
yang hilang dari laut melalui proses
konduksi. Kehilangan tersebut relatif kecil
dibanding total panas lautan sehingga
pengaruhnya dapat diabaikan, kecuali untuk
pencampuran konvektif oleh angin yang
memindahkan udara hangat dari permukaan
laut [4]. Dengan kata lain luas sebaran
polutan panas dari kanal pendingin
tergantung pada beberapa faktor yaitu
volume air limbah, temperatur air limbah,
temperatur ambien air laut dan sirkulasi air
laut di lokasi masuknya air limbah ke laut.
Pengkajian tentang pola sebaran polutan
panas dari kanal pendingin pembangkit
listrik perlu dilakukan untuk dapat
mengetahui luas daerah yang terkena
dampak dan berapa besar perubahan
temperatur yang terjadi. Pola sebaran
polutan panas di laut dapat diprediksi
dengan
cara
simulasi
menggunakan
pemodelan numerik hidrodinamika laut.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Hidrodinamika Laut
Definisi hidrodinamika adalah studi
ilmiah tentang gerak fluida, khususnya zat
cair incompressible yang dipengaruhi oleh
gaya internal dan eksternal. Dalam
hidrodinamika
laut
gaya-gaya
yang
terpenting adalah gaya gravitasi, gaya
gesekan dan gaya Coriolis [5].
Gaya gravitasi merupakan gaya yang
dominan dalam hidrodinamika. Gaya berat
dari air laut yang merupakan akibat dari
adanya gravitasi, menghasilkan tekanan
hidrostatis. Perubahan gravitasi yang
diakibatkan oleh gerakan matahari dan bulan
relatif terhadap bumi, menyebabkan
terjadinya pasang surut, arus dan
pencampuran. Gravitasi juga menyebabkan
terjadinya buoyancy, yaitu gaya naik atau
gaya turun pada paket-paket air yang
memiliki densitas lebih besar atau lebih kecil
294
ISSN 1410-6086
dari pada air di sekitarnya pada level yang
sama.
Gaya gesekan adalah gaya yang bekerja
pada dua buah permukaan yang saling
bersentuhan dan terjadi gerak relatif antara
keduanya. Permukaan di sini dapat berupa
paket air atau udara. Tekanan angin adalah
gesekan yang disebabkan oleh bertiupnya
angin di atas permukaan laut. Tiupan angin
mentransfer momentum horisontal kepada
laut sehingga menghasilkan arus. Jika angin
bertiup pada gelombang laut, maka akan
terjadi gelombang laut yang lebih besar.
Gaya Coriolis adalah gaya semu yang
dominan yang mempengaruhi gerak dalam
sistem koordinat yang disesuaikan terhadap
bumi. Gaya semu adalah gaya yang nyata
yang muncul dari gerak dalam curvilinear
atau koordinat yang berputar. Efek Coriolis
adalah pantulan dari angin yang bergerak
sepanjang permukaan bumi ke kanan arah
gerak pada bagian utara bumi, dan ke kiri
arah gerak pada bagian selatan bumi. Efek
Coriolis disebabkan oleh rotasi bumi dan
menentukan arah rotasi dari massa air,
akibatnya arus berputar searah jarum jam di
bumi bagian selatan, dan berlawanan arah
jarum jam di bumi bagian utara.
Hidrodinamika adalah cabang dari
mekanika fluida. Dalam oseanografi,
mekanika fluida digunakan berdasarkan
mekanika Newton yang dimodifikasi dengan
memperhitungkan turbulensi. Persamaan
umum dalam konsep hidrodinamika
dibentuk dari hukum kekekalan massa,
hukum kekekalan momentum dan hukum
kekekalan energi [5].
Model Hidrodinamika untuk Perairan
Dangkal
Aliran pada muara, perairan pantai dan
laut tidak dapat dianggap satu dimensi.
Dalam tesisnya Yulianto [6] mengatakan
bahwa pemodelan perilaku aliran pada
muara
dan
perairan
pantai
harus
menggunakan
model
tiga
dimensi,
khususnya pada muara dan daerah perairan
pantai dengan batimetri yang sangat
kompleks dan cukup dalam serta terjadi
perlapisan (stratification). Untuk kasus
dimana kedalaman perairan cukup dangkal
dibandingkan dengan lebar perairan dan
tidak terjadi perlapisan (non stratification)
atau terjadi perlapisan yang sangat kecil
(weakly stratified), maka variasi kecepatan
dalam arah vertikal biasanya kecil dan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
jarang ditinjau. Menurut Yulianto, untuk
kasus seperti ini hanya distribusi horisontal
dari kecepatan rata-rata terhadap kedalaman
yang diperlukan, sehingga persamaan
hidrodinamiknya cukup didekati dengan
persamaan dua dimensi (two dimensional
depth average equation).
Gerak sirkulasi arus di pantai yang
dangkal dapat diasumsikan sebagai aliran
massa yang bercampur sempurna (homogen)
mulai dari permukaan laut sampai ke dasar
perairan, dan pengaruh angin di permukaan
diasumsikan mencapai dasar laut [3]. Oleh
karena itu pemodelan dapat dilakukan
dengan menggunakan persamaan yang
diintegrasikan terhadap kedalaman.
Resource
Management
Associates
(RMA2) merupakan model hidrodinamik
numerik dua dimensi untuk rata-rata
kedalaman dengan metode elemen hingga.
RMA2 menghitung solusi elemen hingga
untuk bentuk Reynold dari persamaan
Navier-Stokes untuk aliran turbulensi. Gaya
gesekan
dihitung
dengan
formula
Manning/Chezy,
sedangkan
koefisien
viskositas
olakan
digunakan
untuk
mendefinisikan karakteristik turbulensi [7].
Sistem persamaan yang digunakan
dalam RMA2 terdiri dari dua persamaan
gerak (persamaan 1 dan 2) dalam koordinat
Cartesian, serta satu persamaan kontinuitas
(persamaan 3) untuk fluida incompressible
sebagai berikut,
h
∂u
∂u
∂u h 
∂ 2u
∂ 2u 
+ hu
+ hv −  E xx 2 + E xy 2 
∂t
∂x
∂y ρ 
∂x
∂y 
gun 2
 ∂z ∂h 
+ gh +  +
+ u2 + v2
2
 ∂x ∂x   h 16 




(
)
1
2
− ζVa2 sinψ + 2hωv sin φ = 0 .................
(1)
∂v
∂v
∂v h 
∂ 2v
∂ 2v 
h + hu + hv −  E yx 2 + E yy 2 
∂t
∂x
∂y ρ 
∂x
∂y 
 ∂z ∂h  gvn2
+ gh +  +
+ u 2 + v2
2
 ∂y ∂y   h 16 


(
1
)
2
− ζVa2 sinψ + 2 hωv sin φ = 0 .......................
(2)
 ∂u ∂v 
∂h
∂h
∂h
+ h +  + u
+v
= 0 ............
∂t
∂
x
∂
y
∂
x
∂
y


(3)
ISSN 1410-6086
Dimana:
H
u, v
t
ρ
E
g
z
n
ξ
Va
ψ
ω
φ
kedalaman air
kecepatan lokal dalam koordinat
Cartesian x, y
waktu
densitas fluida
koefisien viskositas olakan
percepatan gravitasi
elevasi dasar laut
koefisien kekasaran Manning
koefisien gesekan angin empiris
kecepatan angin
arah angin
laju rotasi angular bumi
garis lintang lokal
Persamaan 1, 2 dan 3 diselesaikan
dengan metode elemen hingga menggunakan
metode residu berpemberat Galerkin.
Elemen yang digunakan dapat berupa garis
satu dimensi, segi empat dua dimensi atau
segi tiga, serta dapat juga memiliki sisi yang
melengkung (parabolic). Fungsi dari bentuk
elemen adalah kuadratik untuk kecepatan
dan linear untuk kedalaman. Integrasi dalam
ruang dilakukan dengan integral Gaussian.
Turunan terhadap waktu diganti dengan
pendekatan beda hingga non linear.
METODOLOGI
Dalam kajian ini, pemodelan sebaran
temperatur dari kanal pendingin dilakukan
dengan menggunakan perangkat lunak
Surface Water Modeling System (SMS) yang
dikembangkan
oleh
Environmental
Modeling Research Laboratory (EMRL),
Brigham Young University bekerjasama
dengan US Army Corps of Engineers
Research and Development Center (ERDC)
dan US Federal Highway Administration
(FHWA). SMS dapat digunakan untuk
mengolah, mengedit dan memvisualisasi-kan
data geometris dan hidrolika, baik untuk
satu, dua maupun tiga dimensi.
Pemodelan sebaran temperatur dari
kanal pendingin menggunakan modul
RMA2 dan RMA4. RMA2 berfungsi untuk
mengeksekusi penghitungan hidrodinamik
aliran dengan asumsi kecepatan rata-rata
terhadap kedalaman menggunakan metoda
elemen hingga (finite element methods).
Metoda
elemen
hingga
melakukan
penghalusan jaring-jaring (mesh) untuk
merepresentasikan bentuk saluran sungai
maupun muara. Data arah dan kecepatan
aliran hasil penghitungan RMA2 digunakan
untuk memodelkan pola sebaran temperatur
295
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
air hangat kanal pendingin
menggunakan modul RMA4.
dengan
Data yang digunakan pada pemodelan
ini berupa peta batimetri, data pasang surut
dan data arus. Peta batimetri dan data pasang
surut diperoleh dari DISHIDROS TNI AL
[8,9].
Peta batimetri Semenanjung Muria
digunakan sebagai gambar latar belakang
untuk pemodelan. Peta tersebut dikalibrasi
dengan menggunakan tiga titik acuan untuk
mendapatkan koordinat garis lintang dan
garis bujur yang tepat.
Data kedalaman laut dari peta batimetri
disimpan dalam bentuk data digital dalam
format XYZ. Dalam format ini data
koordinat lintang dan bujur diubah ke dalam
satuan meter, dimana 1 derajat setara dengan
110 km. Selanjutnya data koordinat lintang
dan bujur serta data batimetri disajikan
dalam tiga kolom secara berurutan. Data
batimetri dalam format XYZ disimpan
dalam file dengan ekstensi dat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Validasi Model
Validasi model dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara membandingkan data
hasil pemodelan arus terhadap data hasil
pengukuran arus di lapangan. Pengukuran
arus di lapangan dilakukan di perairan
semenanjung Muria Jepara bersama dengan
tim dari Kelompok Oceanology, Pusat
Pengembangan Energi Nuklir, BATAN.
Pengukuran arah dan kecepatan arus
dilakukan dengan cara melepaskan bola
pelampung yang dilengkapi dengan sirip
besi ke laut. Bola pelampung akan bergerak
terbawa arus. Kecepatan arus diperoleh
dengan cara menghitung waktu yang
diperlukan untuk membentangkan tali
pengikat pelampung sepanjang 5 meter
dengan menggunakan stopwatch. Sedangkan
arah arus diukur dengan mengukur arah
gerak bola pelampung dengan menggunakan
kompas. Pengukuran arah dan kecepatan
arus dilakukan pada rentang koordinat
110,890 BT - 6,400 LS sampai dengan
110,950 BT - 6,400 LS atau sejauh 6820
meter. Pengukuran dilakukan pada sembilan
titik. Pada setiap titik, pengukuran dilakukan
sebanyak lima kali. Untuk keperluan
validasi, nilai rata-rata data pengukuran pada
setiap titik selanjutnya dibandingkan dengan
data hasil pemodelan.
Gambar 1. Peta batimetri Semenanjung Muria Jepara.
Sumber: DISHIDROS TNI AL [8]
296
ISSN 1410-6086
Kecepatan arus, m/s
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
ISSN 1410-6086
1
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
Model
Pengukuran
110,88 110,9 110,92 110,94 110,96
Koordinat, Bujur Timur
Arah arus, derajat
Gambar 2. Perbandingan besarnya kecepatan arus hasil pemodelan dan pengukuran
350
330
310
290
270
250
Model
Pengukuran
110,88 110,9 110,92 110,94 110,96
Koordinat, Bujur Timur
Gambar 3. Perbandingan arah arus hasil pemodelan dan pengukuran
Gambar 2 dan 3 merupakan grafik
perbandingan arah dan kecepatan arus hasil
pengukuran dan pemodelan. Standar deviasi
dari data pengukuran rata-rata disajikan
dalam bentuk error bar. Tampak bahwa arah
dan kecepatan arus hasil pemodelan dan
pengukuran tidak menunjukkan selisih yang
signifikan. Selisih antara keduanya berada
pada rentang 0,02 - 0,13 m/s atau 3,42% 24,01% untuk kecepatan arus. Sementara itu
selisih antara hasil pemodelan dan hasil
pengukuran arah arus berada pada rentang 0
- 26 derajat atau 0 - 26%.
Simulasi Kanal Pendingin PLTN 7000
MWe
Indonesia
berencana
membangun
pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN)
yang pertama di semenanjung Muria Jepara,
Jawa Tengah. Pembangunan PLTN yang
direncanakan berkapasitas 7000 MWe ini
diharapkan sudah dapat dioperasikan secara
komersial pada sekitar tahun 2016 [10].
Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk
membuat simulasi sebaran panas dari kanal
pendingin PLTN dengan kapasitas daya
7000 MWe. Simulasi dibuat dengan lokasi
di laut pesisir semenanjung Muria pada
kondisi arus laut mengalir dari barat ke
timur dengan kecepatan 0,1 m/s dengan
temperatur ambien air laut 290C. Kanal
pendingin dibuat dengan skenario lebar
kanal 40 meter, panjang kanal 1000 m dan
temperatur limbah panas 400C. Adapun
waktu pemodelan ditentukan selama 168
jam (7 hari) yang terdiri dari 337 tahapan
waktu masing-masing sebesar 30 menit.
Untuk menghasilkan energi listrik sebesar
7000 MWe, PLTN dengan efisiensi 33%
akan melepaskan energi panas ke
lingkungan sebesar:
E=
67
x7000 = 14212,12 MWatt
33
Sebanyak 5% dari energi panas
yang terlepas ke lingkungan terbuang di
dalam instalasi. Sedangkan 62% energi
panas atau sebesar 13151,5 MWatt dibuang
ke dalam air pendingin pada saat kondensasi
uap menjadi air pada kondensor. Sesuai
dengan skenario yang dibuat, beda
temperatur antara air yang masuk ke
kondensor (temperatur ambien) dan air yang
297
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
dibuang ke kanal pendingin (air limbah
panas) adalah sebesar 100C. Untuk
memperoleh kondisi ini maka dibutuhkan air
pendingin sebesar 314,6 m3/s. Nilai tersebut
diperoleh dari penghitungan berikut [11],
Q=
H
............................................
(4)
ρ ⋅ C p ⋅ ∆T
Dimana,
Q
debit aliran air pendingin, m3/s
H
laju perpindahan energi panas ke
air pendingin = 13151,515 x 106 J/s
p
kerapatan air = 1000 kg/m3
Cp kapasitas panas = 4180 J kg-1 K-1
∆T kenaikan temperatur air pendingin
= 11°C
Sehingga diperoleh
13151,515 × 106
Q=
= 314,6 m 3 s
1000 × 4180 × 11
Dengan memasukkan nilai 314,6 m3/s
sebagai debit inlet kanal pendingin,
diperoleh hasil simulasi pola arus dan pola
sebaran panas seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4 dan Gambar 5. Pada Gambar 4
tampak bahwa aliran air dari kanal
pendingin hanya sedikit berpengaruh
terhadap pola arus laut, hal ini terjadi karena
arus laut jauh lebih kuat daripada arus aliran
kanal pendingin. Untuk ukuran lebar domain
pemodelan 5000 meter dengan kedalaman
rata-rata 15 meter, maka kecepatan arus laut
ISSN 1410-6086
sebesar 0,1 m/s identik dengan debit aliran
sebesar 7500 m3/s, jauh lebih besar
dibanding debit kanal pendingin yang hanya
314,6 m3/s. Pengaruh debit aliran yang
keluar dari kanal hanya berdampak pada
pola arus pada sekitar 100 meter dari outlet
kanal.
Pada Gambar 5 tampak bahwa secara
kualitatif sebaran panas mengikuti pola arus
yaitu bergerak ke arah timur dan timur laut.
Untuk dapat menganalisa pola sebaran panas
secara kuantitatif, maka dibuat beberapa titik
tinjau pada arah barat laut, utara dan timur
laut. Besarnya temperatur pada titik-titik
tinjau ini disajikan dalam bentuk grafik
temperatur terhadap jarak dengan titik nol
diambil pada outlet kanal (Gambar 6, 7 dan
8).
Grafik pada Gambar 6 menunjukkan
bahwa pada arah barat laut terjadi penurunan
temperatur yang sangat signifikan, yaitu
sebesar 40C pada jarak 600 meter. Ini berarti
bahwa pada arah barat laut sebaran
temperatur yang terjadi sangat kecil. Hal ini
terjadi karena arah sebaran yang disebabkan
oleh perbedaan suhu (difusi) membentuk
sudut -450 dengan arah sebaran yang
disebabkan oleh arus (adveksi) sehingga
arah sebaran total yang dihasilkan bersifat
destruktif.
Gambar 4. Pola sebaran arus yang dipengaruhi debit kanal pendingin
298
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
ISSN 1410-6086
Gambar 5. Sebaran panas dari PLTN dengan kapasitas 7000 Mwe
Temperatur, C
34
33
32
31
30
29
150
350
550
750
Jarak, m
Gambar 6. Sebaran temperatur ke arah barat laut
35
Temperatur, C
34
33
32
31
30
29
28
100
600
1100
1600
Jarak, m
Gambar 7. Sebaran temperatur ke arah utara
299
Temperatur, C
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
ISSN 1410-6086
37
36
35
34
33
32
31
30
29
0
1000
2000
3000
4000
5000
Jarak, m
Gambar 8. Sebaran temperatur ke arah timur laut
Pada arah utara, arah sebaran
temperatur akibat proses difusi tegak lurus
dengan arah sebaran oleh proses adveksi,
sehingga arah sebaran totalnya justru
cenderung berbelok ke arah timur laut.
Sebaran temperatur pada arah utara relatif
lebih besar dibanding sebaran pada arah
barat laut, hal ini terlihat pada grafik pada
Gambar 7 dimana terdapat penurunan
temperatur sebesar 60C pada jarak 1597
meter.
Sebaran temperatur pada arah timur laut
sangat besar. Hal ini terjadi selain karena
adanya
penguatan
akibat
adanya
pembelokan arah difusi yang menuju utara,
juga karena sebaran temperatur oleh proses
adveksi dan difusi membentuk sudut 450
sehingga arah sebaran totalnya bersifat
konstruktif. Besarnya sebaran temperatur ke
arah timur laut dicirikan dengan kecilnya
penurunan temperatur pada arah tersebut.
Penurunan temperatur sebesar 70C terjadi
pada jarak 4482 meter.
Dalam pengkajian dampak dari lepasan
limbah air panas pembangkit listrik tenaga
termal, selain pola sebaran temperatur
terhadap ruang (sebaran spasial), perlu juga
300
dikaji pola sebaran temperatur terhadap
perubahan waktu (temporal). Pola perubahan
temperatur secara temporal dilakukan
dengan melakukan pemodelan untuk
beberapa variasi rentang waktu. Gambar 9
menunjukkan grafik sebaran temperatur
terhadap jarak pada selang waktu 1 jam
sampai dengan 20 hari. Tampak bahwa
untuk selang waktu 24 jam sampai dengan
20 hari, kurva sebaran temperatur berhimpit
yang berarti bahwa besarnya temperatur
pada setiap titik tinjau nilainya sama.
Agar sebaran temperatur secara temporal
dapat lebih jelas, maka dibuat plot grafik
perubahan temperatur terhadap waktu untuk
beberapa titik tinjau pada arah timur laut,
yaitu pada jarak 870 m, 1684 m, 2472 m,
3071 m dan 4077 m (Gambar 10). Tampak
bahwa pada selang waktu 24 jam atau lebih
besarnya temperatur konstan. Ini berarti
bahwa setelah mencapai selang waktu 24
jam sebaran temperatur bersifat stasioner.
Nilai stasioner ini terjadi karena setelah
mencapai
waktu
24
jam
terjadi
kesetimbangan antara sebaran temperatur
oleh proses difusi dan sebaran temperatur
oleh proses adveksi.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
ISSN 1410-6086
36
1 jam
Temperatur, C
35
34
5 jam
33
10 jam
32
24 jam
31
30 jam
30
36 jam
29
48 jam
28
0
1000
2000
3000
4000
5000
10 hari
20 hari
Jarak, m
Gambar 9. Perubahan temporal sebarantemperatur terhadap jarak
32
Temperatur, C
31,5
31
870 m
30,5
30
1684 m
29,5
2472 m
29
3017 m
28,5
4077 m
0
10
20
30
40
50
Waktu, jam
Gambar 10. Perubahan temperatur secara temporal pada beberapa titik tinjau
KESIMPULAN
Dari uraian hasil dan pembahasan dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut,
1. Analisis sensitivitas perangkat lunak
terhadap parameter potensial berupa
kekasaran dasar laut dan viskositas
olakan menunjukkan bahwa semakin
besar nilai kekasaran dasar laut, maka
semakin besar pula elevasi muka air
pada bagian hulu kanal. Sementara itu
perubahan viskositas olakan tidak
memberikan perubahan yang signifikan
terhadap elevasi muka air. Walau
rentang variasi viskositas olakan yang
digunakan
sangat
besar,
tetapi
perubahan nilai elevasi muka air pada
solusi model tidak menunjukkan nilai
yang signifikan.
2. Validasi
model
dengan
cara
membandingkan arah dan kecepatan
arus hasil pemodelan dengan hasil
pengukuran di lapangan menunjukkan
selisih yang tidak terlalu signifikan,
yaitu berada pada rentang 0,01 - 0,1 m/s
atau 3,5% - 24% untuk kecepatan arus.
Sementara itu selisih antara hasil
pemodelan dan hasil pengukuran arah
arus berada pada rentang 0 - 26 derajat
atau 0 - 26%.
Hasil simulasi arus dan sebaran panas yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa pola
arus dipengaruhi oleh kedalaman laut dan
elevasi muka air yang dipengaruhi oleh
pasang surut. Sementara itu pola sebaran
panas secara spasial dipengaruhi oleh proses
adveksi dan difusi berupa besarnya debit
aliran dari kanal pendingin dan pola arus
pada badan air laut. Pola sebaran panas
secara temporal menunjukkan bahwa
sebaran temperatur akan mencapai kondisi
yang tunak setelah tercapai kesetimbangan
antara pengaruh difusi dan adveksi.
301
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah IX
Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Fakultas Teknik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
302
MIHARDJA, D. K., et al. Modelling of
the Heated Water Spreading in Muara
Karang Coastal Waters, Jakarta Bay,
Proceeding ITB, Vol. 31, No. 1,
Bandung, 1999.
HUBOYO, H. S., ZAMAN, B. Analisis
Sebaran Temperatur dan Salinitas Air
Limbah PLTU-PLTGU Berdasarkan
Sistem Pemetaan Spasial (Studi Kasus:
PLTU-PLTGU
Tambak
Lorok
Semarang), Jurnal Presipitasi, Vol. 3,
No. 2, Semarang, September 2007.
ISMANTO,
A.,
WIDADA,
S.,
SUSIATI, H. Kajian Dispersi Termal
dalam Rencana Pembangunan PLTN
Muria:
Sebuah
Analisis,
Jurnal
Geoaplika, Vol. 3, No. 3, 2008.
SUPANGAT,
A.,
SUSANNA.
Pengantar Oseanografi. Pusat Riset
Wilayah Laut dan Sumberdaya NonHayati, Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan. Jakarta.
STEWART, R. H. Introduction to
Physical Oceanography, Department of
Oceanography, Texas A&M University.
Texas, 2006.
YULIANTO, P. Justifikasi Pemakaian
Model Numerik Dua Dimensi (2D)
ISSN 1410-6086
Transport Sedimen di Muara, Tesis
Program Studi Ilmu Teknik Sipil,
Kekhususan Manajemen Sumber Daya
Air, Program Pasca Sarjana Bidang
Ilmu Teknik, Universitas Indonesia.
Depok, 2005.
7. PETRESCU, V., SUMBASACU, O.
Comparison
Between
Numerical
Simulation and Measurements of the
Pollutant Dispersion in a River Case
Study, U.P.B. Sci. Bull., Series D, Vol.
72, Iss. 3, 2010.
8. DISHIDROS. Peta Batimetri Jawa –
Pantai Utara, Semarang sampai Tanjung
Awar-awar. Dinas Hidro-Oseanografi,
TNI AL. Jakarta, 2007.
9. DISHIDROS. Daftar Pasang Surut (Tide
Tables) Tahun 2011 Kepulauan
Indonesia, Dinas Hidro-Oseanografi
TNI AL. Jakarta, 2011.
10. Pusat Pengembangan Energi Nuklir.
Sejarah singkat program pembangunan
PLTN
di
Indonesia,
(http://www.batan.go.id/ppen/).
11. MAJEWSKI, W., MILLER, D. C.
Predicting Effect of Power Plant OnceThrough Cooling on Aquatic System.
United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization. Paris, 1979.
Download