HARIAN NASIONAL RABU, 31 AGUSTUS 2016 | Nomor 968 Tahun III C28 SCIE P R OX I M A B KEGEMBIRAAN BERTEMU “SAUDARA” BUMI roxima B belakangan menjadi populer setelah sejumlah astronom menyebut planet yang menyerupai Bumi ini tengah mengitari Bumi. Pada Rabu (24/8), sejumlah astronom telah mendeteksi Proxima B yang mengorbit Proxima Centauri, tetangga terdekat dari tata surya kita. Jaraknya mencapai 4,2 tahun cahaya atau 25 triliun mil dari Bumi, di mana ukuran itu sangat dekat dalam hal kosmik. Menariknya, Proxima B berada dalam Zona Goldilocks yang membuatnya tidak terlampau panas ataupun dingin dan menyebabkan air dalam kondisi cair dapat eksis di permukaan. Kondisi ini menciptakan kemungkinan adanya kehidupan. Astronom Universitas Queen Mary, London, Guillem Anglada-Escude menjelaskan, dirinya dan tim astronom lain sudah mengetahui bahwa ada beberapa planet terestrial di sekitar bintang-bintang. Selain ukuran planet dan jarak dari bintang induknya, banyak hal misterius yang perlu diungkap astronom dari Proxima B. Belum ada gambaran pasti dari Proxima B, menyebabkan Anglada-Escude dkk hanya bisa mendeteksi secara tidak langsung melalui teleskop untuk mempelajari cahayanya. Dari studi tersebut, mereka menetapkan bahwa Proxima B setidaknya memiliki massa 1,3 kali lebih besar dari massa Bumi. Setahun di Proxima B, waktu untuk menyelesaikan satu orbit sekitar bintang, berlangsung hanya 11,2 hari. Penemuan planet laik huni bukanlah P PLANET SEUKURAN BUMI DITEMUKAN DEKAT SISTEM TATA SURYA Bintang Ketiga dari Alpha Centauri Proxima Centauri Alpha Centauri A Merah Kecil massa 0.12 kali dari Matahari Menggambarkan Ilustrasi Alpha Centauri B 7.5 ju Proxima b ta km Planet Bebatuan Massa1,3 kali lebih besar dari Bumi 4.2 Tahun Cahaya dari Bumi... Atau 271,000 kali jarak antara Bumi dan Matahari Proxima Awan Oort Matahari 1 Orbit : 11.2 hari Alpha Cent. A dan B 2 3 Tahun Cahaya 4 5 Temperatur: Adanya Cairan memungkinkan keberadaan air Ultra-violet dan sinar-x 100 kali lebih kuat dari Bumi. Sumber: Nature, ESO/MKornmesser hal baru dalam dunia astronomi, terutama yang dilakukan melalui misi penemuan Planet Kepler milik NASA. Mereka telah menemukan beberapa calon bumi kedua. Hanya, Proxima B ini terlihat lebih menjanjikan karena mungkin saja suatu hari nanti para astronom dan manusia awam bisa mencapainya. Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin menuturkan, penemuan Proxima B merupakkan kejadian paling menarik karena memiliki lokasi paling dekat dibandingkan eksoplanet lain (planet di luar tata surya). “Jaraknya hanya 4,2 tahun cahaya, di mana banyak pihak yang sudah mulai berpikir untuk mengirimkan pesawat robotik untuk mempelajarinya,” ujar Thomas ketika ditemui HARIAN NASIONAL di Kantor LAPAN di Rawamangun, Jakarta, Senin (29/8). Dengan menggunakan wahana penerbangan ditambah dengan perkembangan teknologi masa kini, Thomas melihat dalam hitungan tahun sudah ada kepastian akan status Proxima B. Hanya, karena harus menempuh hingga luar tata surya, wahana tersebut membutuhkan bahan bakar yang saat ini baru bisa mengandalkan nuklir. Jika kelak ada penerbangan hingga Proxima B, Thomas menegaskan, kejadian tersebut merupakan momentum pertama untuk mencapai eksoplanet. “Kalaupun ada, biasanya wahana dilepaskan begitu saja setelah sampai di luar tata surya. Apabila ingin meneliti Proxima B, tentu harus diarahkan. Ini adalah impian yang masih jauh,” tutur alumnus Institut Teknologi Bandung itu. Sebagai eksoplanet yang tedekat dari Bumi, Proxima B merupakan obyek yang menarik untuk dipelajari, terutama untuk melihat secara mendetail terkait keberadaan atmosfir dan komposisi dari planet. Meski masih banyak informas yang harus digali, Thomas menjelaskan, orang-orang sudah mulai memikirkan bahwa suatu saat akan ada peluang bagi astronom untuk mempelajari planet laik huni yang sementara ini kriterianya hanya dipenuhi oleh Bumi. Proses penemuan berjalan lebih dari satu dekade setengah. Michael Endl, astronom dari Universitas Tecas dan salah satu penulis dalam jurnal Nature telah “mengintip” Proxima Centauri selama delapan tahun mulai 2000, mencari petunjuk akan keberadaan planet. “Waktu itu saya tidak melihat apapun yang sangat signifikan. Kemudian kami menerbitkan data dan pindah,” ujarnya. Selanjutnya, Anglada-Escaude menganalisis data dari instrumen berbeda pada teleskop yang berbeda pula. Ia menemukan petunjuk yang meyakinkan adanya sebuah planet. Bersama tim, ia menggunakan instrumen seperti Ultraviolet dan Visual Echelle Spectograph (UVES) serta High Accuracy Radial velocity Planet Searcher (HARPS). Kedua peralatan ini dipasang L | www.harnas.co RABU, 31 AGUSTUS 2016 | Nomor 968 Tahun III ENCE C29 AFP | EUROPEAN SOUTHERN OBSERVATORY teleskop, Anglada-Escude dan sejumlah rekannya mengesampingkan kemungkinan bahwa sinyal tersebut dapat disebabkan dari aktivitas variabel Proxima Centauri. “Kesimpulannya: Kami telah menemukan sebuah planet di sekitar Proxima Centauri,” tutur Anglada-Escaude pada Selasa (23/8) saat konferensi pers. Penemuan Proxima B dapat memberikan dorongan terhadap teleskop yang digunakan untuk menemukan planet. Ruslan Belikov dari NASA Ames Research Center di Mountain View, California, telah mengusulkan sebuah teleskop luar angkasa kecil dengan biaya kurang dari US$ 175 juta yang dideikasikan untuk pencarian planetplanet di Alpha Centauri. “Penemuan ini akan menimbulkan kesdaran pada masyarakt bahwa ada dunia baru di samping kita,” tuturnya. pada teleskop yang dioperasikan oleh European Southern Observatory di Chile. UVES, HARPS, dan instrumen lain sejenisnya memungkinkan peneliti untuk mendeteksi sedikit getaran dalam gerakan sebuah bintang yang disebebkan oleh entakan gravitasi planet saat mengorbit. Para astronom menemukan petunjuk dari getaran tersebut, seperti yang sudah dirasakan pada 2013. Hanya, AngladaEscude mengatakan, sinyalnya tidak meyakinkan. Jadi, ia dan sejumlah peneliti lain meluncurkan sebuah kampanye untuk menggali lebih dalam tentang planet tersebut yang disebut sebagai Pale Red Dot. Tim Pale Red Dot memfokuskan HARPS pada Proxima Centauri setiap malam dari 19 Januari hingga 31 Maret tahun ini. Setelah mereka memgombinasikan data-data baru dengan pengamatan UVES dari 2000 sampai 2008 serta observasi sepanjang 2005 hingga awal 2014, sinyal dari planet baru dirasakan lebih keras dan jelas. Kemudian, setelah menganalisis pengmatan kecerahan bintang yang dilakukan menggunakan sejumlah LAIK HUNI? Proxima B masih membutuhkan perjalanan panjang untuk disebut sebagai laik huni bagi makhluk hidup, terutama manusia. Thomas menjelaskan, terdapat beberapa poin yang harus dipenuhi dalam mencari eksistensi kehidupan. Termasuk di antaranya, memiliki suhu belasan hingga puluhan derajat dan keberadaan air dalam kondisi cair, bukan padat maupun gas. Selanjutnya, sumber panas yang biasanya berasal dari bintang di sekitar planet. Tidak kalah penting, adanya unsur organik sebagai tanda-tanda kehidupan sekalipun dalam derajat rendah seperti jasad renik. Dari ketiga ini, Thomas menjelaskan, Proxima B hanya memenuhi pertama dan kedua yang baru sekadar indikasi karena belum ada pembuktian secara jelas. Namun, ia menambahkan, ada poin lain yang menjadi prioritas, yakni atmosfer. “Kalaupun suhu Proxima B laik untuk kehidupan, tapi tidak ada atmosfir, maka kehidupan tidak bisa berjalan di permukaan. Atau, ada juga kehidupan jenis lain yang tidak butuh atmosif, yaitu kehidupan tingkat rendah,” ujar Thomas. Masih banyak kriteria yang harus dipenuhi, para astronom membutuhkan teknik yang lebih cermat lagi untuk meneliti komposisinya. Saat ini, mereka baru mencapai tahap penelitian yang menunjukkan bahwa ada planet yang mengitari satu bintang, belum sampai memastikan sifatnya secara pasti, apakah berbatu padat seperti Bumi atau justru laiknya Jupiter yang pada permukaannya terkandung gas. Dalam menemukan ‘Bumi kedua’, Thomas menjelaskan, tidak ada urgensi yang berkaitan dengan kebutuhan. “Lebih pada arah keingintahuan paling hakiki para astronom, di mana adanya keyakinan bahwa bumi bukan satusatunya planet yang ada kehidupan. Keyakinan ini ingin dibuktikan melalui pencarian,” tuturnya. Pendapat publik yang menyatakan daya tampung Bumi semakin minim sehingga butuh untuk melakukan perpindahan besar-besaran, disampaikan Thomas, bukanlah faktor penyebab munculnya gerakan mencari planet laik huni. Meski mungkin saja terjadi, pemikiran tersebut tidak lebih dari fiksi ilmiah dan berpeluang sangat kecil. Tidak seperti pola migrasi pada umumnya, perpindahan planet merupakan kondisi ekstrim yang bisa menyebabkan manusia meninggal dalam perjalannya dari segi umur rata-rata. Mimpi seperti itu, Thomas menjelaskan, paling dekat bisa dilakukan pada Mars yang mempunyai kesamaan permukaan dengan Bumi. “Kalaupun ada planet lain yang kondisinya menyerupai Bumi, perjalanan menuju planet itu juga bisa puluhan bahkan ratusan tahun,” ucap Thomas. Secara umum, eksplorasi ke luar planet sudah menjadi tantangan internasional. Meski secara umum keterlibatan Indonesia masih belum ada, memahami terkait planet di luar bumi dan planet laik huni merupakan tantangan ilmiah yang nantinya dapat memicu manfaat lain. Termasuk di antaranya dalam menciptakan teknologi baru yang dikembangkan manusia. OADINDA PRYANKA | NEW YORK TIMES | LIVE SCIENCE