Minggu XII BAB XII RELASI-RELASI BUDAYA PENDAHULUAN

advertisement
Minggu XII
BAB XII
RELASI-RELASI BUDAYA1
A. PENDAHULUAN
Masih berkaitan dengan isu identitas budaya, di dalamnya kita dapat melihat ada
relasi-relasi budaya yang menjadi pembentukan atau terjadinya akulturasi budaya yang
membentuk identitas budaya suatu masyarakat. Dalam bahasan topik mengenai relasi
budaya ini, dapat kita lihat pada pola-pola hidup atau gaya hidup masyarakat tertentu.
Setelah melacak referensi dalam antropologi, saya cukup terkejut mendapati
sedikit sekali tulisan antropologi mengenai gaya hidup. Rupanya tidak banyak antropolog
menaruh perhatian pada soal gaya hidup, apalagi pada teori antropologi soal gayahidup.
Saya juga tidak menemukan entre tentang gaya hidup (lifestyle) dalam kamus antropologi
saduran Thomas Barfield yang saya miliki. Saya juga belum menemukannya dalam
kuliah teori antropologi klasik bahkan yang baru sekalipun. Koentjaraningrat, maestro
antropologi Indonesia, tidak pernah memasukkan isu gaya hidup dalam masalah-masalah
pokok bahasan antropologi. Mungkin, mata kuliah pancamakara2 di jurusan antropologi
UGM dapat dimasukkan sebagai satu di antara sedikit kuliah di jurusan-jurusan
antropologi yang menyentuh perkara gaya hidup. Kuliah itu semula untuk membuka
perhatian antropologi pada kebiasaan-kebiasaan yang, meskipun ada dalam wacana
sehari-hari, dianggap membahayakan integritas masyarakat. Kebiasaan itu dalam bahasa
Jawa sering disingkat malima.3 Menurut salah seorang pengampunya, perkuliahan
kemudian
menempatkan
pancamakara
lebih
sebagai
bagian
dalam
tindakan
pelanggaran/transgresi daripada sebagai bagian dalam pola ritual/identitas komunitas.
Harus diakui, bahwa ada problem ephistemik dalam antropologi ketika harus
berhadapan dengan praktek sehari-hari yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan
1
Topic bahasan untuk minggu kedua belas mata kuliah pengantar antropologi ini mengambil referensi dari tulisan
PM Laksono. 2011. ”GAYA HIDUP: Fakta di Luar Etnografi”. Seminar Nasional & Workshop SCAN#2: 2011
LIFESTYLE AND ARCHITECTURE,Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Atmajaya Yogyakarta,
Selasa 31 Mei 2011 & Rabu, 1 Juni 2011.
2
lima zat yang digunakan dalam ritual Tantra, yaitu madya atau anggur, mãmsa atau daging, matsya atau ikan,
mudrã atau bebijian sangrai, dan maithuma atau persetubuhan.
3
Dalam pengertian orang Jawa malima terdiri dari maling (mencuri), main (judi), madat (mencandu). mendem
(mabuk minuman keras), dan madon (main perempuan). Malima ini dianggap merugikan manusia. Oleh karena itu
ada malima yang mengacu pada kebqaikan, yaitu manembah (berdoa menyembah Tuhan); makarya (bekerja);
mangabekti (berbakti pada orangtua); makumpul (bergaul); mangerteni (mencintai anak isteri) (Cahyono 2010)
arus berpikir dalam budayanya sendiri. Memang sejarah antropologi diawali dengan
perjumpaan para antropolog Eropa dengan berbagai budaya ”asing” dari komunitaskomunitas di tanah jajahan. Mula-mula para entropolog menyusun etnografinya sematamata karena mereka terpukau oleh cara hidup yang eksotik. Apa pun yang memukau
perhatian, mereka ceritakan kembali. Antropologi kemudian tumbuh dan dimengerti
nyaris hingga tahun 1970an, sebagai ilmu yang terutama memperhatikan budaya-budaya
eksotik, ”aneh” terpinggirkan, di segala pelosok dunia, bukan di pusat-pusat pertumbuhan
industri (Barat). Memang banyak praktek penelitian antroppologi dari para sarjana di
negeri maju mengenai masyarakat dan budaya di negeri yang dianggap sedang
berkembang atau bahkan tertinggal. Antropologi kemudian memperoleh image sebagai
ilmu tentang ”orang lain,” sehingga para ahlinya lebih sering berbicara soal orang lain.
Kemudian bahan-bahan bahasan dalam pendidikan antropologi pun dominan diambil dari
kasus-kasus asing di ”luar negeri (Barat).” Bahkan pengalaman riset di antara masyarakat
asing seolah menjadi standar pendidikan antropologi. Persoalannya, apakah antropologi
berhenti sekadar mengetnografikan dunia lain ke dalam lembaran kertas laporan
penelitian saja? Untuk apa tahu mengenai orang lain, jika tidak ada kontribusi bagi
perubahan di dalam masyarakat dan budaya sendiri?
Pertanyaan seperti itu selalu mengingatkan saya pada pertanyaan guru antropologi
saya P.E. de Josselin de Jong yang tersentak oleh fakta, bahwa posisi mahasiswa
bimbingannya dari Indonesia berbeda dengan para mahasiswa dan dirinya di universitas
Leiden bila dikaitkan dengan obyek penelitian antropologi. Katanya, kalau beliau dan
para mahasiswanya membicarakan orang Indonesia itu kan sebagai orang asing
(Belanda), tetapi para mahasiswa Indonesia belajar dari sarjana Belanda justeru mengenai
kebudayaannya sendiri. Antropolog Indonesia belajar mengenai kebudayaan di mana
mereka sendiri jadi partisipannya. Ia kemudian, dalam pidato dies Universitas Leiden
tahun 1984, sampai pada pertanyaan apa sumbangan antropologi Belanda yang begitu
kaya pengetahuannya tentang Indonesia, dalam memahami dan mengubah masyarakat
Belanda sendiri yang bergaya hidup (modern)? Artinya dalam antropologi Belanda ada
kegelisahan bagaimana memasukkan pengetahuan tentang ”negeri seberang” sebagai
sumbangan untuk pengembangan pengetahuan mengenai diri sendiri yang konon sedang
”menyembah” gaya hidup?
B. PENYAJIAN
Sementara itu di Indonesia, Koentjaraningrat, maestro antropologi Indonesia,
merasa penting mentautkan antropologi dengan kebutuhan orang-orang Indonesia
mencari suatu identitas budaya.”Identifikasi pada budaya Timur katanya tidak masuk
akal, karena konsepnya diciptakan di Barat dan untuk kebutuhan Barat” (1975: 173).
Sementara itu, kembali mengidentifikasi diri dengan lingkungan lama di kampung
halaman juga absuurd, karena hanya akan mentautkan orang dengan budaya etnik dan
kekerabatan yang sempit. Kemudian antropologi Indonesia menyaksikan betapa
globalisasi kapital sejak tahun 1980an sudah merasuk hampir ke seluruh hidup sehari-hari
dan kita semua sudah terikat dalam sistem komunikasi (radio, telpon, televisi dan
internet) dan sistem perdagangan mondial yang menebar gaya hidup global. Antropologi
Indonesia menyaksikan dan mengalami dari dalam bagaimana kebudayaan Indonesia
mengalami gravitasi yang nyaris sama kuat tarikannya baik dari komunitas-komunitas
domestik di dalamnya maupun dari globalisasi yang datang dari banyak arah dan penuh
kejutan. Meskipun antropologi berpartisipas di dalam kebudayaannya sendiri, memhami
kebudayaan sendiri yang nyata-nyata telah terkoneksi dengan begitu banyak pengaruh
dari globalisasi tidaklah mudah. Seandainya satu di antara tiga anak dalam foto 1 adalah
seorang antropolog, maka tetap saja tidak mudah untuk menemukan pola budaya dari
ketiga anak yang bergaya dalam foto ini. Bagaimana mungkin menghubungkan tiga arah
pandang dengan pola berpikir tertentu? Kalau pun mereka sama-sama mengaku anak
Timor Leste, mengapa arah pandang mata mereka berbeda ketika difoto (tidak samasama menatap kamera)? Meskipun berbeda-beda sikap anak-anak itu, mereka toh tampak
sama-sama mengurai senyum? Dari mana kita harus menemukan kebudayaan mereka?
Dari perbedaan atau dari persamaan sikap mereka?
Bagaimana kemudian analisis
antropologi harus bergerak ketika berhadapan dengan persoalan gaya (hidup)?
Aktivitas: Diskusi
Tugas: Mahasiswa diminta untuk membaca materi dan membuat pertanyaan kritis atas
pembacaannya serta terlibat aktif dalam diskusi di kelas.
C. PENUTUP
 Tes formatif dan kunci tes formatif: mahasiswa diminta untuk membaca setiap materi
sesuai topik bahasan setiap minggunya dan membuat pertanyaan kritis dari hasil
membaca materi tersebut dan memberikan contoh yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari.
 Petunjuk penilaian dan umpan balik:
Kriteria pertanyaan bernilai A: pertanyaan kritis yang merupakan hasil dari review materi
serta memiliki bobot untuk berpikir secara reflektif terkait
dengan isu sosial.
Kriteria pertanyaan bernilai B: pertanyaan yang jawabannya dapat ditemukan di dalam
materi.
Kriteria pertanyaan bernilai C: hanya menyuguhkan review tanpa membuat pertanyaan
kritis.
 Tindak lanjut: akumulasi nilai
Download